Anda di halaman 1dari 24

TUGAS ANALISA USAHATANI

RESUME JURNAL PENELITIAN

ANALISIS STRUKTUR BIAYA PRODUKSI DAN


KONTRIBUSI PENDAPATAN KOMODITI KAKAO
(Theobroma Cacao L) DI DESA LATU

DISUSUN OLEH :

Nama : TEGUH GUMELAR

NIM : 12. 05. 0113

BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN D IV

POLITEKNIK LPP

YOGYAKARTA

2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan


suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Proses pembangunan ekonomi adalah suatu pertumbuhan di lapangan ekonomi yang
didalamnya telah mengandung investasi-investasi baru yang cukup besar, sebagai unsur
kekuatan dalam bertambahnya pendapatan dan produktivitas. Pada dasarnya arah
pembangunan pertanian adalah mewujudkan pertanian yang tangguh, maju, dan efisien
yang tercermin dalam kemampuannya mensejahterakan para petani. Kemampuan tersebut
dicapai melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta keanekaragaman
pertanian bahan baku industri, pengembangan industri pertanian dan agribisnis yang
mampu memanfaatkan peluang pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, memperluas
kesempatan kerja dan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi (Djojohadikusumo,
1998:36).
Sektor pertanian, sektor perkebunan merupakan sektor yang dianggap
pertumbuhannya paling konsisten jika dilihat dari hasil produksi, luas areal lahan, dan
produktivitasnya. Sektor perkebunan juga mempunyai kontribusi penting dalam hal
penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB). Salah satu komoditi unggulan sektor perkebunan adalah kakao. Hal ini
dibuktikan dengan mampunya kakao sebagai penyumbang devisa Indonesia peringkat
keempat setelah kelapa sa wit, karet, dan kelapa (Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementrian Pertanian, 2012). Indonesia yang dikenal sebagai negara penghasil kakao
terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, sehingga turut berperan aktif
dalam ekspor komoditas kakao dunia karena Indonesia menyumbang sebesar 16 persen
kakao untuk dunia (Direktorat Jenderal Perkebunan , 2010). Berdasarkan harga yang
berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
perekonomian Indonesia. Tanaman perkebunan Indonesia mampu menghasilkan
153.884.70 miliar rupiah terhadap PDB Indonesia, sedangkan untuk tenaga kerja
sektor ini mampu menyerap 39.328.915 tenaga kerja (BPS, 2011) .
Pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan,
peternakan dan perikanan. Salah satu subsektor pertanian yang dijadikan titik perhatian
untuk terus dikembangkan adalah subsektor perkebunan. Kakao (Theobroma Cacao, L)
adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan penting dalam
pembangunan, karena dapat memberikan pekerjaan bagi rumahtangga petani, buruh, dan
pengguna import pertanian. Kedepan dapat memberikan kesempatan kerja dan berusaha
di bidang transportasi, industri makanan, rumah makan/restoran dan industri minuman.
Oleh karena itu pengusahaan perkebunan kakao tidak saja menampung kesempatan kerja
tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat pedesaan dan
perkotaan (Mangdeska,2009).
Indonesia adalah negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai
Gading, dengan luas areal 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton yang mampu menyerap
1.526.271 kepala keluarga. Produksi kakao Indonesia sebagian besar diekspor dan
hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Produk yang
diekspor sebagian besar (78,5 persen) dalam bentuk biji kering dan hanya sebagian kecil
(21,5 persen) dalam bentuk hasil olahan (Departemen Pertanian, 2005). Sungguhpun
Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan
mutunya masih sangat rendah. Dalam perkembangan kedepan, perkebunan kakao
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembangunan daerah (Dirjen
Perkebunan,2009).
Daerah Maluku dilihat dari pemanfaatan sumber daya alam lebih didominasi oleh
sektor pertanian dan mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti, karena lebih
sesuai dengan kondisi geografi serta kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku tahun 2010, menunjukkan bahwa usaha perkebunan
kakao di Provinsi Maluku dari tahun 2004 – 2008 setiap tahunnya mengalami peningkatan,
baik untuk luas areal tanaman kakao, jumlah petani maupun produksi yang dihasilkan
(tabel 1). Peningkatan produksi yang terjadi menunjukkan bahwa kebutuhan pasar akan
komoditi kakao terus meningkat.

Desa Latu adalah salah satu desa yang terletak di Pulau Seram, tepatnya di
Kabupaten Seram Bagian Barat, Kecamatan Ama Latu. Mayoritas mata pencaharian
penduduk desa Latu adalah petani (70 %). Usahatani kakao yang berada di Desa Latu
diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat karena usaha tersebut dikelola oleh petani
sendiri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Salah satu penyebab produksi kakao Indonesia rendah karena sebagian besar
wilayah perkebunan kakao di Indonesia dikelola para petani / rakyat yang secara
langsung memiliki keterbatasan di dalam pengelolaan sarana dan prasaranya yang
digunakan . Sebagian besar petani cendrung mengelolanya secara konvensional sehingga
menyebabkan tingkat produktivitas dan harga jual kakao Indonesia yang rendah . Oleh
karena itu analisis usaha tani kakao diperlukan dalam upaya untuk mengetahui faktor-
faktor pembatas apa saja yang dihadapi para petani sehingga aka nada perbaikan dalam
upaya peningkatan produksi kakao . .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal diatas dapat dirumuskan masalah :

1. Berapa besar persentase dari masing-masing komponen struktur biaya produksi


usahatani kakao?
2. B e r a p a b e s a r k o n t r i b u s i p e n d a p a t a n usahatani kakao terhadap total
pendapatan rumahtangga?
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Agronomi Tanaman Kakao


Tanaman perkebunan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: tanaman
tahunan dan tanaman semusim. Tanaman tahunan (parenial crop) berumur lebih
dari satu tahun, mulai berproduksi 2-6 tahun sejak ditanam dan bisa dipanen lebih
dari satu kali. Contohnya cengkeh, kakao, karet, kelapa sawit, kopi, lada, pala dan
panili. Tanaman semusim (annual crop) merupakan tanaman yang Cuma sekali
bisa dipanen. Misalnya kapas, tebu, dan tembakau. Sebagai suatu komoditas,
tanaman perkebunan memiliki sebutan lain yaitu: tanaman perdagangan dan
tanaman industri. Dua predikat itu jelas menjukkan suatu legitimasi bahwa ada
peluang bisnis dari pengusahaan tanaman perkebunan (Rahardi, 1995).
Kakao merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon yang
dikenal di Indonesia sejak tahun 1560, namun baru menjadi komoditi yang
penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan
mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PTP IV berhasil menaikkan
produksi kakao per hektar melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon
Interclonal Hibryd, yang merupakan hasil persilangan antar klon dan sabah.
Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk Maya dan
Astec di Amerika Selatan dipercayai sebagai perintis pengguna kakao dalam
makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa di
Amerika Selatan, hanya bangsa spanyol yang mengenal tanaman kakao. Dari
Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia.
Tanaman kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari
batang atau cabang. Untuk itulah tanaman kakao digolongkan menjadi kelompok
tanaman Caulifloris, adapun sistematika tanaman kakao menurut klasifikasi secara
botani adalah:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotiledoneae
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiceae
Genus : Theobroma
Species : Theobroma cacao L
Gambar 1. Tanaman Kakao

(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Indonesia, 2004)

Tanaman cokelat (Theobroma cacao L) termasuk famili sterculiaceae.


Tanaman ini berasal dari hutan-hutan didaerah Amerika Selatan yang kemudian
tanaman ini diusahakan penanamannya oleh orang-orang Indian Aztec.
Sesungguhnya terdapat banyak jenis tanaman cokelat, namun jenis yang paling
banyak ditanam untuk produksi cokelat secara besar-besaran hanya tiga jenis,
yaitu:
a. Jenis criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika
Selatan. Jenis ini menghasilkan biji cokelat yang mutunya sangat baik dan
dikenal sebagai: cokelat mulia, fine flavour cocoa, choiced cocoa, edel
cocoa.
b. Jenis Forastero, banyak diusahakan diberbagai Negara produsen cokelat dan
menghasilkan biji cokelat yang mutunya sedang. Jenis cokelat ini berasal dari
Brasil, Afrika barat dan Ekuador.
c. Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hibrida dari jenis criollo dan
forastero secara alami, sehingga cokelat jenis ini sangat heterogen.
(Sunanto, 1992).
Tanaman cokelat tumbuh baik dihutan tropik, sebab pertumbuhan cokelat
sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu. Tanaman cokelat yang dapat
tumbuh ada di daerah yang terletak diantara 20 LU dan 20 LS (Lintang Selatan).
Tanaman cokelat juga dapat tumbuh baik di daerah-daerah yang memiliki curah
hujan 1600 sampai 3000 mm per tahun atau rata-rata optimumnya sekitar 1500
mm per tahun yang terbagi merata sepanjang tahun. Tanaman cokelat sangat peka
terhadap kekeringan yang panjang (3-4 bulan) (Sunanto, 1994).
Tanaman kakao termasuk tanaman yang berakar tunggang. Pertumbuhan
akarnya cukup dalam, bisa mencapai 15 m kearah dalam dan 8 m ke arah
samping. Batangnya dapat mencapai tinggi antara 8-10 m. Meskipun demikian,
tanaman ini mempunyai kecenderungan tumbuh lebih pendek jika ditanam tanpa
pohon pelindung. Cabang primer idealnya tumbuh antara 1,2-1,5 m agar tanaman
mempunyai tajuk yang baik dan seimbang. Daunnya terdiri atas tangkai daun dan
helai daun. Ukuran daunnya antara (25-34 x 9-12)cm. Daun yang tumbuh pada
ujung tunas biasanya berwarna merah, tapi menjadi hijau setelah dewasa
(Setiawan, 1995).

Buah cokelat yang masih muda disebut cherelle dan sampai 3 bulan
pertama sejak perkembangannya akan terjadi cerelle wilt yaitu buah muda
menjadi kering dan mengeras. Buah yang sudah masak disebut pod atau tongkol,
warnanya bermacam-macam dan ukurannya antara 10-30 cm. Buah yang sudah
masak pada umumnya memiliki dua macam warna, yaitu:

Warna belum masak Warna sudah masak

1. Hijau muda –hijau tua 1. Kuning

2. Merah 2. Orange

Buah cokelat menjadi masak setelah 5-6 bulan dari proses penyerbukannya. Setiap
tongkol berisi 30-50 biji cokelat, berat bji kering sekitar 0,8-1,3 gr/biji.
(Sunanto, 1994)
Hama pada tanaman kakao sangat besar pengaruhnya terhadap pencapaian
produksi, beberapa hama penting yang sering dijumpai dikebun kakao adalah
penggerek buah kakao, kepik penghisap buah, penggerek kulit batang, ulat kilan,
tikus dan tupai (PT. Perkebunan Nusantara IV, 1996).
Hama ini dapat menyebabkan kerugian yang besar bila menyerang buah-
buah muda. Serangannya dapat menyebabkan buah berhenti perkembangannya,
bahkan serangan yang berat dapat menyebabkan buah mati. Untuk itu perlua
adanya pengendalian secara terpadu dan kontinu agar tanaman dapat terpelihara
dengan baik dan tidak merugikan secara ekonomi (Sudarmo, 1989).
B. Tinjauan Ekonomi Tanaman Kakao

Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah


negara Pantai Gading dan Ghana. Tiga besar negara penghasil kakao sebagai
berikut ; Pantai Gading (1.276.000 ton), Ghana (586.000 ton), Indonesia (456.000
ton). Luas lahan tanaman kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha dengan
produksi biji kakao sekitar 456.000 ton per tahun, dan produktivitas rata-rata 900
Kg per ha .
Daerah penghasil kakao Indonesia adalah sebagai berikut: Sulawesi
Selatan 184.000 ton (28,26%), Sulawesi Tengah 137.000 ton (21,04%), Sulawesi
Tenggara 111.000 ton (17,05%), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85%), Kalimantan
Timur 25.000 ton (3,84%), Lampung 21.000 ton (3,23%) dan daerah lainnya
122.000 ton (18,74%). Menurut usahanya perkebunan kakao Indonesia
dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu ; Perkebunan Rakyat 887.735 Ha,
Perkebunan Negara 49.976 Ha dan Perkebunan Swasta
54.737 Ha.
Tabel 1. Kawasan dan Negara Penghasil Kakao

Kawasan Negara
Eropa Jerman, Belanda
Afrika Pantai Gading
Amerika Brazil, Amerika Serikat
Asia Malaysia
Sumber : Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian Tahun 2008

Biji buah coklat/kakao yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang


disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat
berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji
dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao merupakan sumber
ekonomi kakao. Dari biji kakao tersebut, dapat diproduksi empat jenis produk
kakao setengah jadi yaitu: cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake and cocoa
powder dan cokelat. Walaupun pasar untuk cokelat merupakan konsumen terbesar
dari biji kakao, produk kakao setengah jadi seperti cocoa powder dan cocoa
butter, namun dapat juga digunakan untuk keperluan lain.
Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah citarasa pada
biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai
pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikonsumsi
oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan
perment, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan
kosmetika. Secara tradisional juga dapat menyembuhkan luka bakar, batuk, bibir
kering, demam, malaria, rematik, digigit ular dan luka. Juga dapat digunakan
sebagai antiseptik dan diuretic.
Perkembangan harga kakao (coklat) di pasaran ekspor sulit diprediksi,
karena tingkat harga berkaitan langsung dengan situasi politik di negara Pantai
Gading, penghasil utama komoditas itu di dunia. "Tingkat harga kakao di pasaran
lokal, menyesuaikan perkembangan harga di bursa London yang sejak dua bulan
terakhir cenderung naik.

Harga kakao di pasar luar negeri tidak stabil dan hampir terjadi perubahan
setiap hari, sedangkan harga pembelian kakao di pasar disesuaikan harga di bursa
London, yang sebulan terakhir turun-naiknya namun masih pada level cukup baik.
Posisi harga kakao di pasar hari Senin (07/08) tercatat Rp11.200/kg, turun dari
sepekan sebelumnya Rp12.500/kg sedangkan tiga pekan lalu Rp13.000/kg yang
turun tipis dari sebulan sebelumnya Rp11.250/kg untuk kakao kering mutu asalan.
(www:\KapanLagi_com Sulit Diprediksi Harga Kakao di Pasaran Ekspor.mht )

C. Landasan Teori
Usahatani merupakan suatu kegiatan produksi dimana peranan input
(faktor produksi atau korbanan produksi) dalam menghasilkan output (hasil atau
produksi) menjadi perhatian yang utama. Peranan input bukan saja dilihat dari
macam atau ketersediaannya dalam waktu yang tepat, tetapi dapat juga dilihat dari
segi efisiensi penggunaan faktor tersebut (Tohir, 1991).
Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output. Produk
atau produksi dalam bidang pertanian atau lainnya dapat bervariasi, antara lain
disebabkan karena perbedaan kualitas. Hal ini dimengerti karena kualitas yang
baik dihasilkan oleh proses produksi yang dilaksanakan dengan baik dan begitu
juga sebaliknya kualitas produksi menjadi kurang baik bila usaha tani tersebut
dilaksanakan dengan kurang baik (Soekartawi, 1995).
Faktor produksi dalam usahatani mencakup tanah, modal, dan tenaga
kerja. Tanah merupakan faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanpa tanah rasanya
mustahil usahatani dapat dilakukan. Dalam tanah dan sekitar tanah banyak lagi
faktor yang harus diperhatikan, katakan luasnya, topografinya, kesuburannya,
keadaan fisiknya, lingkungannya, lerengnya, dan lain sebagainya. Dengan
mengetahui semua keadaan mengenai tanah, usaha pertanian dapat dilakukan
dengan baik (Daniel, 2002).
Sebagai faktor produksi, tentu modal mutlak diperlukan dalam usaha
pertanian. Tanpa modal, sudah pasti usaha tidak bisa dilakukan, paling tidak
modal dibutuhkan untuk pengadaan bibit dan upah tenaga kerja. Kecukupan
modal mempengaruhi ketepatan waktu dan ketepatan takaran dalam penggunaan
masukan (Daniel, 2002).
Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahtani swasembada,
khususnya faktor tenaga kerja petani dan para anggota keluarganya. Dalam
usahatani swasembada atau usahatani keluarga, faktor tenaga kerja keluarga
petani merupakan unsur penentu (Tohir, 1991).
Untuk menghasilkan produksi (output) diperlukan bantuan kerjasama
beberapa faktor produksi sekaligus. Masalah ekonomi yang kita hadapi kini
adalah bagaimana petani dapat mengkombinasikan faktor-faktor produksi tersebut
agar tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya baik secara fisik maupun secara
ekonomis (Mubyarto, 1998).
Menurut Soekartawi (1995), biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua
yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap
umumnya relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang
diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya ini tidak tergantung pada besar
kecilnya produksi yang diperoleh, sedangkan biaya variabel dipengaruhi oleh
besar kecilnya produksi yang diperolehnya, yang termasuk biaya tetap adalah
sewa tanah, pajak, alat-alat pertanian, iuran irigasi, dan lainnya. Biaya tetap dapat
dilihat dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana :

FC = Biaya tetap (Fixed cost)

X = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Px = Hasil input

n = Macam input
Menurut Soekartawi (1995), biaya variabel terdiri dari biaya sarana
produksi, biaya tenaga verja, biaya panen, biaya angkutan dan biaya lainnya yang
dipengaruhi oleh besar kecilnya volume produksi. Cara menghitung biaya variabel
adalah :

Dimana :
VC = biaya tidak tetap (variable cost)
Bv = Biaya variabel dari setiap kegiatan
n = Banyak kegiatan

Menurut Soekartawi (1995), total biaya adalah penjumlahan biaya variabel


dengan biaya tetap secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
TC = FC + VC
Keterangan:
TC = Total biaya

FC = Biaya tetap

VC = Biaya variabel

Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani diperoleh dengan


mengalikan total produksi dengan harga jual petani atau ditulis sebagai berikut:
TR = Y. Py
Keterangan:
TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dari usahatani

Py = Harga Y

Menurut Soekartawi (1995), pendapatan yang diterima dalam usahatani


antara lain pendapatan tenaga kerja, pendapatan bersih dan pendapatan keluarga.
Pendapatan bersih usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan
penerimaan dengan biaya atau dirumuskan :
Pd = TR-TC
Keterangan:
Pd = Pendapatan bersih usahatani

TR = Total penerimaan
TC = Total biaya

Menurut Gray, dkk (1999), keuntungan bersih suatu usaha adalah


pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya. Mencari NPV suatu proyek adalah
selisih Present Value arus benefit (manfaat) dengan PV arus cost (biaya), yang
dapat ditulis sebagai berikut :

Keterangan :

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan proyek tahun t

Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek t pada tahun t


t = Waktu
n = Umur ekonomis proyek
i = Tingkat suku bunga
Menurut Soekartawi (1995), tingkat pengembalian internal (IRR)
merupakan parameter yang dipakai apakah suatu usaha mempunyai kelayakan
usaha atau tidak. Kriteria layak atau tidak layak bagi suatu usaha adalah bila IRR
lebih besar daripada tingkat suku bunga yang berlaku saat usaha itu dilaksanakan
dengan meminjam uang (biaya) dari bank pada saat nilai netto sekarang (Net
Present Value, NPV= 0), oleh karena itu untuk menghitung IRR diperlukan nilai
NPV terlebih dahulu.
Menurut Kadariah, dkk (1999), perkiraan IRR dapat dicari dengan

memecahkan persamaan sebagai berikut :

- Bila IRR ≥ tingkat suku bunga berlaku maka usaha tersebut layak diusahakan.

- Bila IRR < tingkat suku bunga berlaku maka usaha tersebut tidak layak
diusahakan .
Menurut Prawirokusumo (1990), Income statement adalah suatu ringkasan
dari pendapatan atau pengeluaran untuk jangka waktu tertentu dan berfungsi
sebagai alat kontrol untuk alat evaluasi suatu usaha. Ada beberapa pembagian
tentang pendapatan yaitu:
1. Pendapatan tenaga kerja (labour income) adalah jumlah seluruh
penerimaan dikurangi biaya produksi kecuali biaya tenaga kerja.
2. Pendapatan tenaga kerja keluarga (family labour income) adalah total
pendapatan tenaga kerja dikurangi upah tenaga kerja dalam keluarga.
3. Pendapatan keluarga petani (family’s income) adalah pendapatan bersih
ditambah nilai tenaga kerja keluarga.
Istilah tataniaga di negara kita diartikan sama dengan pemasaran atau
distribusi, yaitu semacam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau
menyampaikan barang dari produsen kekonsumen (Mubyarto, 1998).
Dalam pemasaran komoditi pertanian terdapat pelaku-pelaku ekonomi
yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, dengan cara melaksanakan
fungsi-fungsi pemasaran. Komoditi yang dipasarkan juga bervariasi kualitasnya
dengan harga yang beragam pula. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan
lembaga-lembaga pemasaran juga bervariasi (Sudiyono, 2004).
Sebagai proses produksi yang komersial, maka pemasaran pertanian
merupakan syarat mutlak yang diperlukan dalam pembangunan pertanian.
Pemasaran pertanian dapat menciptakan nilai tambah melalui guna tempat, guna
bentuk, dan guna waktu. Dengan demikian, pemasaran pertanian dianggap
memberikan nilai tambah yang dapat dianggap sebagai kegiatan produktif
(Sudiyono, 2004).

Analisis Data
Teknik analisa data menggunakan :
1. Untuk menghitung persentase dari struktur biaya produksi digunakan rumus:

Dimana :
TC = Total biaya produksi
TFC = total biaya tetap
TVC = Total biaya variabel
Untuk mencari persentase dari setiap struktur biaya digunakan rumus :
Dimana :
P = Nilai dari struktur biaya produksi
NTFC = Nilai dari tiap komponen biaya tetap
NTVC = Nilai dari tiap komponen biaya variabel

NTC = Nilai dari total biaya produksi

2. Analisis kontribusi dilakukan dengan membandingkan pendapatan usahatani


kakao baik terhadap pendapatan dari sektor pertanian dan pendapatan total
rumahtangga dengan menggunakan rumus :

Dimana :
Kpc = Kontribusi pendapatan usahatani cacao
Pc = Pendapatan dari usahatani cacao (Rp)
PTR = Pendapatan total rumahtangga (Rp)
D . Kerangka Pemikiran
Pengelolaan usahatani merupakan suatu sistem yang terkait,
dimana adanya input, proses, dan output. Faktor-faktor produksi yang
terdiri dari lahan, modal untuk pembiayaan sarana produksi serta
tenaga kerja, yang seluruhnya ditujukan untuk proses produksi
sehingga akan dihasilkan output. Semua biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan output disebut biaya produksi.
Kepemilikan lahan dan biaya produksi sangat mempengaruhi
perkembangan usahatani lada. Hal ini dikarenakan semakin luas lahan
serta semakin besar modal yang dimiliki oleh petani maka akan semakin
besar potensi petani tersebut untuk mengembangkan usahatani kakao.
Sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida, serta upah
tenaga kerja yang digunakan didalam usahatani kakao akan memiliki
pengaruh terhadap produksi atau output yang dihasilkan. Penggunaan
berbagai sarana produksi tersebut haruslah efektif dan efisien sehingga
akan dapat mengurangi biaya produksi tetapi tetap meningkatkan hasil
produksi/output.
Output atau produksi yang dihasilkan dari usahatani kakao jika
dikalikan dengan harga jual akan menghasilkan penerimaan usahatani,
dan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya produksi inilah
yang disebut dengan pendapatan usahatani. Dengan melihat pendapatan
yang diperoleh petani di dalam suatu usahatani kakao, akan dapat
diketahui layak tidaknya usaha tani lada tersebut untuk dilaksanakan.
Untuk lebih memperjelas mengenai analisis usahatani kakao
serta hubungannya dengan hal-hal yang tercantum dalam identifikasi
masalah, maka dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran berikut ini
(Gambar 1).
III. HASIL dan PEMBAHASAN

A. Karakteristik Petani

Karekteristik petani kakao meliputi umur, pendidikan, jumlah beban


tanggungan keluarga dan luas lahan yang diusahakan untuk usahatani
komoditi kakao.

a. Umur

Umur petani merupakan salah satu faktor yang berkaitan


dengan kemampuan petani dalam mengelola usahataninya. Hasil
penelitian menunjukan umumnya umur yang dimiliki petani
responden bekisar antara 29 – 62 tahun. Umur produktif tenaga
kerja menurut Badan Pusat Statistik, 2010 adalah 14 – 64 tahun.
Dengan demikian petani responden seluruhnya tergolong umur
produktif yaitu sebanyak 32 responden (100%). Petani yang
tergolong usia produktif biasanya mempunyai semangat kerja yang
tinggi untuk mengelola lahan usahataninya dan ditunjang oleh
pengalaman dalam berusahatani yang telah diguluti sejak lama,
sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan usahatani kakao

b. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan formal


responden dapat digolongkan atas empat tingkatan yaitu SD, SMP,
SMA dan Perguruan Tinggi. Hasil penelitian menunjukan tingkat
persentase terbesar pada responden adalah tingkat pendidikan SD
yaitu 56,3 %, kemudian diikuti tingkat SMP 7 responden (21,9%),
SMA 6 responden (18,7 %) dan terendah perguruan tinggi 1
renponden (3,1%). Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh
rendahnya tingkat ekonomi keluarga sehingga tidak memungkinkan
petani untuk melanjutkan sekolah pada jenjang pendidikan
berikutnya. Disamping itu pula jenjang pendidikan SMP dan SMA
belum ada di daerah tersebut. Rendahnya tingkat pendididkan
responden dapat mempengaruhi kemampuan petani untuk
meningkatkan ketrampilan dan penyerapan informasi. Untuk
mengatasi masalah tersebut para petani perlu memperoleh
pendidikan non formal seperti cara budidaya tanaman kakao yang
baik dari par penyuluh pertanian.

c. Jumlah tanggungan keluarga

Berdasarkan hasil penelitian, umumnya jumlah beban


tanggungan dari petani responden antara 2 – 9 orang. Persentase
tertinggi yaitu 68,7 % (22 responden) dengan beban tanggungan
sedang 4 – 6 orang, kemudian diikuti oleh beban tanggungan
katagori tinggi 7 – 9 orang (21,9 %) atau 7 responden dan terakhir
katagori rendah 2– 3 orang (9,4%) atau 3 responden. Jumlah beban
tanggungan dapat dijadikan sebagai pendorong bagi petani untuk
berusaha guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini sejalan
dengan pandangan Hernanto, 1996 yang mengatakan bahwa,
semakin besar beban tanggungan dalam satu keluarga maka petani
akan lebih giat dalam kegiatan usahataninya untuk meningkatkan
pendapatan agar kesejahteraan petani dan seluruh anggota keluarga
dapat terpenuhi.

d. Luas Lahan Usaha

Lahan adalah tanah yang digunakan untuk usaha pertanian.


Luas penguasaan lahan pertanian merupakan salah satu faktor
produksi yang sangat penting dalam proses usahatani. Lahan
usahatani yang dimiliki petani pada daerah penelitian berkisar 0,1 Ha
– 3 Ha. Luas lahan usahatani kakao di daerah penelitian didominasi
oleh lahan sedang (0,5 - 2 Ha) yaitu 18 responden (56,3%) ;
kemudian diikuti luas lahan sempit ( < 0 , 5 H a ) s e b a n y a k 1
3 r e s p o n d e n a t a u 40,6 % dan katagori lahan luas (> 2 Ha)
hanya 1 responden atau 3,1 %.

B. Biaya Produksi dan Penerimaan

a. Biaya Produksi

Dari hasil penelitian, usahatani kakao ternyata besarnya biaya


produksi rata-rata setahun sebesar Rp 1.594.532,81 dengan jumlah
produksi rata-rata 405,93 kg biji kakao kering. Biaya produksi dapat
diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap
adalah biaya yang tidak berubah-ubah (konstan) untuk setiap hasil
produksi (Basu Swasta, 2002). Biaya tetap dari usahatani kakao, meliputi
biaya penyusutan alat dan pajak bumi dan bangunan (PBB), Besar
persentasenya terhadap biaya total sebesar 9,97 % (biaya produksi
tertinggi ketiga) dan mengambil porsi terkecil jika dibandingkan dengan
persentase biaya variabel ( 90,03 %).

Besarnya rata-rata biaya penyusutan alat Rp 151.044,72 atau 95,03


% dari biaya tetap tetapi memberikan kontribusi 9,5 % dari total biaya
produksi (tabel 2). Perhitungan biaya penyusutan pada penelitian ini
dengan menggunakan metode garis lurus tanpa nilai residu dengan waktu
pemakaian alat pertanian berkisar antara 1– 3 tahun, sesuai daya tahan
alat-alat pertanian tersebut. Alat yang digunakan dalam usahatani kakao
adalah parang, linggis, pacul, arit, garpu dan pengait.
Pada tabel diatas, terlihat pajak bumi dan bangunan menyumbang
4,97 % dari total biaya tetap atau 0,5 % dari total biaya produksi.
Rendahnya biaya pajak bumi dan bangunan disebabkan oleh nilai jual
objek pajak yang rendah karena didasarkan atas kedudukan tanah yang
tidak terlalu stategis.

Biaya variabel meliputi : biaya bibit, tenaga kerja, pengangkutan


dan pemasaran. Biaya ini memberikan persentase 90.03 % dari total biaya
produksi dan mengambil bagian terbesar jika dibandingkan dengan biaya
tetap. Perincian persentase tiap komponen terlihat pada tabel dua, dimana
upah tenaga kerja memegang peranan yang cukup dominan didalam
struktur biaya produksi. Keadaan ini ditunjukan oleh kontribusi yang
diberikannya terhadap rata-rata total biaya produksi yaitu sebesar 67,10 %
dan 74,50 % terhadap biaya total variabel rata-rata. Besarnya biaya tenaga
kerja disebabkan oleh petani menggunakan tenaga kerja baik dari dalam
usahatani maupun luar usahatani (upahan) untuk mengerjakan kegitan
mulai dari pemeliharaan sampai pasca panen. Tenaga kerja yang berasal
dari dalam keluarga merupakan sumbangan keluarga petani pada
produksi pertanian secara keseluruhan yang tidak dinilai dengan uang
(Mubyarto 1994). Sedangkan tenaga kerja diluar keluarga atau menyewa
orang lain, sehingga harus mengeluarkan biaya tenaga kerja kepada buruh
tani. Hanya 5 responden yang meggunakan buruh atau diupah untuk
mengerjakan kegiatan- kegiatan pembibitan, pemeliraan dan pemanenan.

B i a ya t e r b e s a r k e d u a ya i t u : b i a ya pemasaran sebesar Rp
256.666,67 atau 17,9 % dari total biaya variabel rata-rata tetapi
persentase untuk total biaya produksi 16,10 %. Besarnya biaya ini
karena tiga responden memasarkan hasil produksinya (kakao) ke
Ambon sedangkan sisanya memasarkan hasil produksi pada pedagang
pengumpul desa. Pemasaran ke Ambon disebabkan karena petani ingin
mendapatkan penerimaan yang lebih besar, karena harga jual/kg (Rp20.000)
biji kakao lebih tinggi dari menjual ke pedagang pengumpul desa (kisaran
Rp 17.500 – Rp 18.000).
B i a y a t e r b e s a r b e r i k u t n y a a d a l a h penyusutan alat dan
diikuti biaya pembibit tanaman kakao yang mengambil bagian 5,8 % dari
total biaya variabel rata-rata tetapi persentase 5,2 % dari total biya produksi.
Biaya persentase terkecil yaitu biaya pengangkutan (1,8 %) dari total
biaya variabel rata-rata tetap untuk persentase biaya produksi mengambil
sejumlah 1,6 %. . Hanya 3 responden (9,4 % dari jumlah responden) yang
membeli bibit, sedangkan 90,6 responden mengadakan pembibitan sendiri.
Biaya pengangkutan dalam penelitian ini yaitu untuk mengangkut petani
ke areal pertaniannya dan digunakan juga untuk mengangkat hasil panen.
Hanya empat responden yang tidak mengeluarkan biaya angkut karena
mereka menggunakan sepeda atau berjalan kaki. D i d a e r a h p e n e l i t i a n ,
p e t a n i d a l a m mengusahakan usahatani kakao tidak menggunakan pupuk,
sehingga biaya untuk kegiatan ini tidak ada. Petani hanya mengandalkan
kondisi alam bagi tanaman yang diusahakan

b. Penerimaan

Hasil penelitian menunjukan (tabel 3), produkti total untuk 32


responden sebanyak 12.990 Kg kakao atau produksi rata-rata sebesar
405,93 kg untuk 0,78 Ha. Harga jual rata-rata/kg kakao Rp 19.296,9 dan
penerimaan rata-rata Rp 7.804.843,75.Persentase penerimaan tertinggi
dari total penerimaan yaitu pada luasan lahan 0,5 – 2,0 Ha dengan
mengambil porsi 74,88 % untuk 18 responden, diikuti luas lahan < 0,5
dengan persentase 18,65 % untuk 13 responden dan persentase terkecil
yaitu pada luas lahan > 2,0 Ha dengan satu responden. Jika dilihat dari
rata-rata penerimaan, maka luas lahan yang lebih besar dari dua Ha
memperoleh penerimaan terbesar yaitu Rp 16.150.000.

C. Kontribusi Pendapatan Usahatani Kakao terhadap Pendapatan


Rumahtangga

Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah tingkat


pendapatan yang meningkat. Hal ini dapat diperoleh dari
penganekaragaman usahatani dan pendapatan diluar usahatani (Sahara,
2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh
petani didaerah penelitian tidak hanya diperoleh dari usahatani kakao saja
tetapi dari usahatani lain disektor pertanian seperti tanaman umur panjang
(cengkih, kelapa, pala), ternak (ayam dan kambing), tanaman pangan
seperti jagung, pisang dan sagu, tanaman buah-buahan seperti durian, suku,
langsadan rambutan. Sedangkan dari luar usaha seperti PNS dan wirausaha.
Pendapatan usahatani kakao di Desa Latu tergantung kepada
harga jual dan jumlah produksi yang dihasilkan serta biaya-biaya yang
dikeluarkan dari seluruh struktur biaya produksi. Total pendapatan
rumahtangga adalah keseluruhan pendapatan yang diterima petani dari
usahatani kakao, usahatani non kakao dan pendapatan diluar usahatani.
Kontribusi pendapatan usahatani kakao adalah proporsi pendapatan dari
usahatani kakao terhadap total pendapatan rumahtangga. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani kakao
adalah Rp 6.210.310,94/ tahun atau kontribusi 30,05 % terhadap sektor
pertanian dan 15,10 % terhadap total pendapatan rumahtangga. sedangkan
usahatani di sektor non kakao (dalam sektor pertanian) menyumbang
kontribusi 69,95 % dari total pendapatan sektor pertanian atau 35,15 %
terhadap total pendapatan rumahtangga (tabel 3)

Sektor pertanian memberikan kontribusi tertinggi (50,26 %) terhadap


total pendapatan rumahtangga. Sedangkan sektor non pertanian
menyumbangkan 49,74 % dari total pendapatan keluarga. Rendahnya
kontribusi pendapatan (15,0 % ) usahatani kakao dari pendapatan total
keluarga menunjukkan bahwa petani menutupi tingkat pendapatannya
dengan usahatani lain guna meningkatkan kesejahteraan keluarganya,
disamping itu juga menghindari resiko kegagalan dari usahatani kakao
sendiri.
IV . PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Komponen biaya terbesar dari struktur total biaya produksi adalah
biaya tenaga kerja (67,1 %), dan diikuti biaya pemasaran 16,1 %,
biaya penyusutan alat 9,5 % ; Bibit tanaman 5,2 %, pengangkutan
1,6 % dan biaya terendah adalah pajak bumi dan bangunan 0,5 %.
2. Kontribusi pendapatan usahatani kakao terhadap total pendapatan
rumahtangga sebesar 15,0 %.
B. Saran
1. Perlu ada penganekaragaman usaha pada lokasi penelitian agar
kegagalan pendapatan dari satu cabang usaha dapat menutupi
pendapatan dari usahatani lainnya dalam m e m p e r t a h a n k a n t i n g
k a t p e n d a p a t a n rumahtangga sekaligus mempertahankan tingkat
kesejahteraan petani.
2. Perlu ada penyuluhan dan pelatihan guna meningkatkan
kemampuan berusahatani dalam mengembangkan usahanya.

V. DAFTAR PUSTAKA

Margaretha Pattiasina Suripatty . 2011 . Analisis Struktur Biaya Produksi


dan Kontribusi Pendapatan Komoditi Kakao (Theobroma Cacao L) di
Desa Latu . Fakultas Pertanian Universitas Pattimura ; Vol.4 No. 2
Juni 2011 , Ambon .

Irving Clark Kaiya Putri . 2013 . Analisis Pendapatan Petani Kakao .


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Jurusan Ekonomi Pembangunan
Universitas Sam Ratulangi; Vol.1 No.4 Desember 2013, Hal. 2195-
2205 , Manado .

Anda mungkin juga menyukai