MAKALAH
INDONESIA
OLEH :
NIM : 1901101011
PROGRAMSTUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERNATIAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sumber devisa negara; peningkatan penerimaan negara dari cukai, pajak ekspor,
dan bea keluar; penyedia bahan pangan dan bahan baku industri; penyerap tenaga
adalah tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, lada, teh, pala, cengkeh,
jambu mete, sagu, kemiri sunan, kapas, tembakau, dan nilam (Ditjenbun 2015).
kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Selain itu kakao juga berperan dalam
program besar pada tahun 1980an, yang dikenal dengan Proyek Rehabilitasi dan
untuk mengantisipasi penurunan produksi dan ekspor minyak dan gas bumi, yang
swasta, dan perkebunan negara. Luas areal kakao Indonesia pada tahun 2016
sebesar 1.720.773 hektar yang berasal dari 97,55% (1.678.638 hektar) perkebunan
rakyat, 1,59% (27.342 hektar) perkebunan swasta, dan 0,86% (14.793 hektar)
karena lebih dari 95% luas areal dan produksi kakao berasal dari perkebunan
rakyat. Jika dilihat dari data luas lahan sebesar 1.720.773 hektar dengan jumlah
petani 1.726.359 KK, maka dapat diambil rata-rata kepemilikan lahan petani
kakao hanya sekitar 1 hektar per petani. Produktivitas rata-rata perkebunan kakao
rakyat pada tahun 2016 sebesar 798 kg per hektar. Rendahnya produktivitas kakao
rakyat ini disebabkan kondisi pertanaman yang sudah tua, serangan hama
bulan April 2010 hingga saat ini terus mengalami penurunan. Penurunan jumlah
ekspor kakao sesuai dengan salah tujuan dari penerapan kebijakan tersebut, yaitu
Sehingga terbentuk nilai tambah dari kakao yaitu peningkatan ekspor kakao
industri pengolahan harus dapat dipenuhi dari produksi kakao rakyat sehingga
dampak positif dari penerapan kebijakan pajak ekspor dapat dirasakan petani.
bahan baku industri pengolahan kakao. Hal ini yang masih menjadi permasalahan
maupun kualitas. Hal ini menjadi alasan bagi industri pengolahan kakao untuk
permintaan kakao di pasar internasional yang tinggi, serta adanya jaminan harga
yang baik akan membuka peluang bagi pengembangan kakao rakyat Indonesia.
dan global.
BAB II
PEMBAHASAN
Sumatera yaitu Provinsi Sumatera Barat, Lampung dan Sumatera Utara (Pusdatin
swasta. Perkebunan swasta dapat dibedakan atas swasta nasional dan swasta
asing. Tetapi dalam tulisan ini tidak dibedakan antara perkebunan swasta nasional
perkebunan negara dan swasta memiliki luas areal yang kecil areal perkebunan
negara dan swasta pada periode tahun 2008 sampai 2016 terus mengalami
penurunan. Penurunan ini terjadi karena banyaknya tanaman yang terserang hama
penyakit dan perkebunan tersebut beralih ke komoditas lain seperti kelapa sawit.
kakao walaupun serangan hama penyakit dan kondisi pertanaman yang kurang
perkembangan luas areal maka dapat dilihat bahwa produksi kakao perkebunan
rakyat lebih tinggi dibanding kakao perkebunan negara dan swasta. Produksi
kakao perkebunan negara dan swasta pada periode tahun 2008 sampai 2016 terus
swasta sejalan dengan penurunan luas areal didua jenis pengusahaan kakao
tanaman kakao yang rusak, tua ataupun yang terkena serangan hama penyakit
2008 sampai 2016 menunjukkan bahwa produksi perkebunan rakyat yang paling
hanya sebesar 3,33% dan produksi kakao perkebunan swasta sebesar 3,66%.
kakao perkebunan rakyat dapat dilakukan dengan mengetahui potensi dari sisi
areal, produksi, produktivitas, maupun aspek pasar. Potensi areal dibedakan atas
Perkembangan total areal perkebunan kakao rakyat relatif stabil dan cenderung
meningkat. Perkebunan kakao rakyat yang paling luas ada di Pulau Sulawesi dan
Pulau Sumatera, sementara dipulau lain seperti Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Pangsa rata-rata total areal kakao perkebunan rakyat yang terbesar adalah di
pulau Sulawesi yaitu sebesar 59,84%, diikuti pulau Sumatera dengan pangsa
sebesar 23,30%, sementara pulau lainnya dibawah 7%. Hal ini menunjukkan ada
dan intensifikasi kakao oleh pemerintah dilakukan melalui program Gernas kakao
wilayah akan memberikan hasil yang optimal untuk pengembangan kakao rakyat.
Pangsa rata-rata total areal kakao perkebunan rakyat yang terbesar adalah di
pulau Sulawesi yaitu sebesar 59,84%, diikuti pulau Sumatera dengan pangsa
sebesar 23,30%, sementara pulau lainnya dibawah 7%. Hal ini menunjukkan ada
dan intensifikasi kakao oleh pemerintah dilakukan melalui program Gernas kakao
wilayah akan memberikan hasil yang optimal untuk pengembangan kakao rakyat.
2016 areal kakao menghasilkan yang terluas adalah Pulau Sulawesi kemudian
Produksi kakao rakyat berdasarkan pulau periode tahun 2008 – 2016 Arah
perkembangan produksi pada periode 2010 – 2011 dan 2014 – 2015 mengalami
produksi tahun 2010 – 2011 dan 2014 – 2015 disebabkan juga oleh penurunan
luas areal menghasilkan serta bertambahnya areal tua/rusak pada periode yang
sama.
Produksi terbesar adalah Pulau Sulawesi dengan pangsa sebesar 69,95%, Pulau
Sumatera sebesar 19,01%, dan pulau lainnya dibawah 3%. Hal ini
kecil yaitu sekitar 900 kg per hektar dari potensi yang sebenarnya dapat mencapai
> 2 ton per hektar (Rubiyo 2011). Walaupun ada beberapa daerah yang
produktivitas kakao sudah diatas 1 ton per hektar. Produktivitas kakao di Pulau
Sulawesi tertinggi pada tahun 2008 dan cenderung menurun hingga meningkat
kembali pada tahun 2016. Hal yang sama terjadi pada produktivitas kakao di
Pulau Sumatera yang mulai meningkat pada tahun 2016. Antara dan Effendy
produktivitas kakao adalah teknologi budidaya kakao yang baik dan benar belum
kurangnya modal petani untuk membiayai tenaga kerja dan sarana produksi yang
masih rendah.
masalah yang dihadapi oleh kakao Indonesia, baik di dalam negeri maupun
rendah yaitu sekitar 900 kg/ha/tahun, sementara potensi yang dapat dicapai > 2,0
ton/ha/tahun; kakao yang diproduksi masih didominasi oleh kakao non fermentasi
walaupun pemerintah sudah menerapkan wajib SNI; dan program Gernas Kakao
yang baru mencapai 30% dari total area kakao di Indonesia. Rendahnya
busuk buah kakao (blackpod) maupun Vascular Streak Dieback (VSD), petani
menggunakan benih asalan yang rentan terkena hama penyakit, kondisi dan
perawatan kebun yang kurang baik, tanaman tua, pemupukan tidak sesuai anjuran,
Indonesia sampai saat ini adalah mutu biji yang masih rendah, terutama
disebabkan penanganan pascapanen yang belum dilakukan dengan baik dan benar.
Biji kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik. Harga
fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari pada harga biji kakao yang
paling rendah karena didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi, kadar kotoran
yang tinggi dan banyak terkontaminasi serangga, jamur dan mikotoksin, serta cita
diskon harga oleh Amerika Serikat selaku salah satu negara importir kakao
mutu kakao perkebunan rakyat yang sudah banyak dicanangkan oleh pemerintah
belum menunjukkan hasil yang optimal disebabkan skala pengusahaan yang
relatif kecil, kondisi sosial ekonomi petani yang lemah dan posisi tawar yang
rendah. Kakao rakyat yang masih diusahakan secara konvensional dengan luas
lahan pengusahaan relatif sempit yaitu rata-rata satu hektar per KK, selain itu
masih banyak ditemukan tanaman kakao yang ditanam dipekarangan rumah. Hal
ini menyebabkan produksi yang dihasilkan relatif rendah karena tidak dikelola
dan dipelihara dengan maksimal. Masih banyak ditemukan kakao rakyat yang
belum difermentasi dengan alasan klasik harga yang diberikan pedagang untuk
kakao fermentasi maupun non fermentasi tidak jauh berbeda. Petani beranggapan
tidak ada intensif yang diterima walaupun mereka melakukan proses fermentasi.
cepat karena sumber mata pencaharian utama mereka adalah dari perkebunan
kakao.
umumnya terletak pada harga dan peluang pasar. Jika ditinjau dari sisi harga,
faktor inilah yang dianggap mampu menarik minat petani untuk menanam dan
komoditas, menghendaki harga jual yang tinggi sebagai imbalan atas biaya
produksi yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku juga bagi petani kakao. Asimetri
informasi juga merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi petani kakao.
Permasalahan ini tidak hanya di alami petani kakao di Indonesia tetapi juga
dialami oleh petani kakao di Ghana seperti yang diungkapkan oleh Quarmine etal
(2012). Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat kelembagaan
petani.
Kakao rakyat dengan berbagai masalah dan tantangan ternyata masih memiliki
prospek jika dikelola dengan baik dan ditata arah pengembangannya kedepan oleh
semua pihak terkait mulai dari hulu hingga hilir. Dradjat dan Herman (2009)
menyatakan bahwa biji kakao Indonesia mempunyai daya saing yang cukup kuat
yang cukup besar untuk meningkatkan nilai dan pertumbuhan ekspor biji kakao.
fasilitator ekspor kakao. Pihak swasta merupakan aktor yang penting dalam
dalam pengembangan ekspor kakao. Hal ini harus disikapi dengan memberikan
perannya dalam
global.
lebih besar dibanding penawaran. Angka defisit akan terus membesar bila negara-
negara produsen kakao dunia tidak ada yang melakukan perubahan yang
mendasar dalam aspek produksi. Hal ini seharusnya menjadi pendorong bagi
Indonesia untuk mengembangkan potensi kakao terutama kakao rakyat. Prospek
yang potensial. Wahyudi dan Misnawi (2007b) mengungkapkan bahwa pasar Uni
Eropa merupakan pasar yang sangat potensial, untuk itu harus dipelihara
dilakukan jika kakao yang dihasilkan sesuai dengan kualitas yang ditetapkan oleh
negara tersebut. Kualitas yang diharapkan yaitu aspek kualitas intrinsik (cita rasa
dan sifat produk lainnya), kualitas fisik (kebersihan, ukuran biji, dan lain-lain),
keamanan pangan dan sertifikasi. Sistem produksi di dalam negeri harus mampu
kecil. Selain pasar Uni Eropa, terbuka juga peluang untuk memenuhi pasar China,
India, dan Indonesia sendiri, karena ketiga negara ini konsumsi kakaonya masih
dibawah 1 kg per kapita per tahun. Peningkatan konsumsi kakao oleh ketiga
negara ini merupakan peluang yang dapat diambil oleh Indonesia. Peluang pasar
sangat terbuka lebar, sehingga perlu upaya pengembangan kakao Indonesia yang
kakao menurut Rubiyo dan Siswanto (2012) dapat dilakukan pada 10 provinsi
yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara
maupun alat dan mesin pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas kakao
rakyat sangat dibutuhkan. Selain itu perlu penyuluhan dan pendampingan bagi
petani kakao agar dapat mengelola dan memelihara perkebunan kakao dengan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
pembangunan pertanian saat ini. Kakao Indonesia berasal dari perkebunan kakao
rakyat. Rata-rata luas pengusahaan kakao rakyat hanya satu hektar per petani
dihadapi petani baik dari aspek produksi maupun perdagangan perlu diatasi
dengan campur tangan pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait seperti
kakao dan pihak lain yang berkompeten agar menjadi peluang tidak hanya bagi
petani kakao rakyat tetapi juga bagi pengembangan industri perkakaoan
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2016. Outlook Kakao. Komoditas
Pertanian. Sub Sektor Perkebunan. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian.
Rubiyo, Siswanto. 2012. Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao
(Theobroma cacao L.) di Indonesia. Bul. RISTRI 3(1):33-48
Smith CP. 2013. Kakao untuk Masa Depan : Program Penelitian dan Pelatihan
Inovatif untuk Mengubah Kehidupan Masa Depan Petani Kakao di
Indonesia dan Tempat Lainnya. World Agroforestry Centre.
Nairobi. Kenya. [Internet]. [diunduh 2018 September 16]. Tersedia
pada:https://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/P
DFS/B17661.