Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah
menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala
keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai
devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002
dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat
Jenderal Perkebunan 2006).
Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah
menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil
sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan
banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung
tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak
saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi
perekonomian regional Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19
triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil
sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28%
dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping
itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor
ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao
seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri
pengolahan biji kakao.
Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi
kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao
dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir
tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International
2

Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan
kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang
hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun
1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun.
Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh
petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan
Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a).
Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak
terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran
pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan
kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut
dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta
menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah
menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah
tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak
turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut
Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di
Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah,
tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan
menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan tersebut merupakan suatu
biaya lingkungan yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan
pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian
regional. Akibatnya pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi
dalam perekonomian regional masih bersifat “semu” dan masyarakat masih harus
menanggung biaya eksternalitas dari suatu proses produksi atau kegiatan ekonomi.
Lebih lanjut, karena perencanaan pembangunan ekonomi umumnya disusun
berdasarkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga ada kemungkinan
3

pembangunan yang direncanakan akan lebih memperparah kerusakan lingkungan


dan memperbesar beban biaya ekternalitas yang harus ditanggung masyarakat.
Lebih lanjut, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah
menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang sambung-menyambung, sehingga
setiap adanya serangan hama penyakit tanaman kakao akan cepat menyebar dan sulit
dikendalikan. Pada saat ini, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi
persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao
(PBK), Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera; Gracillariidae). Hama PBK
teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun
1995 dan menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru. Menurut Dinas Perkebunan
Provinsi Sulawesi Selatan (2004 dalam Mustafa 2005), hama PBK sudah menyerang
hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan diperkirakan
menimbulkan kerugian mencapai Rp 810 milyar per tahun.
Kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk
memelihara perkebunan kakaonya menurun, sehingga perkebunan kakao menjadi
terlantar, rusak dan lahannya akan terdegradasi. Di sisi lain, sebagian petani tetap
berupaya untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan
mengembangkan perkebunan kakao baru di daerah yang terpencil dan biasanya
memasuki kawasan hutan dengan harapan terhindar dari serangan hama PBK.
Pengembangan perkebunan kakao yang dilakukan petani tersebut dapat selamat dari
serangan hama PBK dalam beberapa musim panen, tetapi kemudian hama PBK juga
menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti
perkebunan kakao lainnya.
Sampai tahun 2005, kerugian dan kerusakan perkebunan kakao di Sulawesi
Selatan akibat serangan hama PBK belum separah kerusakan perkebunan kakao di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Serangan hama PBK sejak awal tahun 2003
menyebabkan sekitar 90% dari 20.000 ha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten
Sikka mengalami kerusakan dan puluhan ribu kepala keluarga petani pemiliknya
4

terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan
menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih
parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah
beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia.
Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak
hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga
berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao
yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan
menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan
hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian
ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan
perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya
eksternalitas.
Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah
disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama
terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat
lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari
permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas
merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis
perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan
perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pengembangan perkebunan kakao dan kelestarian fungsi lingkungan


merupakan dua agenda yang diharapkan dapat berjalan harmonis dalam
pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pembangunan perkebunan di
satu sisi akan memberikan dampak positif bagi perekonomian regional khususnya
sebagai penyedia kesempatan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, serta

1
Kompas, 14 Juni 2006. Penanganan Kakao di Sikka 3 Tahun.
5

pendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Namun di sisi lain pengembangan


perkebunan kakao memaksa terjadinya alih fungsi lahan dan proses alih fungsi lahan
ini dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi
lahan yang dialih fungsikan dan teknologi budidaya kakao yang digunakan.

Teknologi budidaya kakao yang diterapkan petani sangat menentukan


dampak dari proses alih fungsi lahan dan tingkat produksi perkebunan kakao petani.
Alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak positif apabila lahan yang dialih
fungsikan merupakan lahan kritis yang diubah menjadi perkebunan kakao dengan
menggunakan teknologi budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya alih fungsi lahan
akan berdampak negatif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan hutan
lindung pendukung kehidupan menjadi perkebunan kakao yang kurang mampu
menggantikan fungsi ekologis hutan lindung.

Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses
alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun
serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal
proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan
sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan
emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat
tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai
berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak
terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan
biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya
eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu
sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”.
Dalam perekonomian regional sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan
dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya
memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa
konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor
6

ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya
dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk
tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh
berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan
perekonomian regional.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan
saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu
mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup
efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum
diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang
keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi
Selatan.
Berbagai permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
pendekatan Input Output dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
teknologi pengendalian hama PBK. Kemudian hasil analisis tersebut dilengkapi
dengan analisis prospektif guna merumuskan strategi pembangunan perkebunan
kakao berkelanjutan. Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
7

Pengembangan Pengembangan Sektor


Perkebunan Kakao Ekonomi Lainnya

Serangan Produksi Kakao Teknologi Alih Fungsi Lahan Limbah


Hama PBK Budidaya Kakao

Output, PDRB, Pendapatan Kebun Kerusakan Perbaikan


Lapangan Kerja Petani Terlantar Lingkungan Lingkungan

Valuasi Ekonomi

IO-Konvensional: Adopsi Teknologi: IO-Lingkungan:


Peran “Semu” kakao Faktor Berpengaruh Peran Riil kakao

Analisis Prospektif

Keterangan:
Saling Berpengaruh Strategi Pembangunan Perkebunan
Kakao Berkelanjutan
Berpengaruh
Di Analisis
Rekomendasi

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan.


8

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peran perkebunan kakao


secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam situasi
ketersediaan dana pemerintah yang relatif terbatas, maka keputusan alokasi dana pada
suatu sektor perekonomian sangat tergantung pada perannya dalam menggerakkan
perekonomian daerah. Melalui pendekatan input output, akan diperoleh gambaran
yang lebih rinci bagaimana peran perkebunan kakao dalam menggerakkan
perekonomian regional melalui penelaahan pengganda output, pengganda pendapatan
dan pengganda tenaga kerja serta keterkaitan antar sektor perekonomian.
Melalui pendekatan input output juga dapat ditelaah dampak negatif dari
serangan hama PBK. Apabila serangan hama PBK tidak terkendali, maka peran
sektor perkebunan kakao akan mengalami kontraksi dan melalui pendekatan input
output akan diperoleh gambaran berapa besar dampak serangan hama PBK bagi
perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dengan memahami dampak serangan hama
PBK tersebut akan diketahui bagaimana pentingnya upaya pengendalian hama PBK
di daerah ini.
Namun karena adanya externalitas dalam proses produksi, maka berbagai
informasi tersebut masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi
dengan melakukan internalisasi biaya eksternalitas ke dalam tabel input-output
konvensional, sehingga menjadi tabel input output berwawasan lingkungan. Koreksi
terhadap tabel input output konvensional tersebut idealnya dilakukan dengan cara
mengembangkan model tabel input output umum atau model ekonomi ekologi
maupun model komoditi industri. Namun karena keterbatasan ketersediaan data,
maka pengembangan model input output berwawasan lingkungan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara mengoreksi atau menginternalisasikan biaya eksternalitas ke
nilai output tabel input output konvensional, sehingga menjadi tabel input output
terkoreksi biaya eksternalitas.
Koreksi biaya eksternalitas tersebut dilakukan terhadap sektor-sektor ekonomi
yang menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya
eksternalitas karena secara teoritis sektor ekonomi tersebut bertanggungjawab atas
pencemaran atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Koreksi output
9

dilakukan mengikuti asumsi dasar tabel input-output yaitu secara proposional


terhadap nilai outputnya. Secara matematis, koreksi output masing-masing sektor
ekonomi dengan biaya eksternalitas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Xi = Xi1 + Xi2 + ........ + Xij + ......... + Xin + Yi ....................................... (1)
Xi yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas (BE) adalah Xi-BE = X*i, maka
Xi* = ai1* Xi1 + ai2*Xi2 + ........ + aij*Xij + .......... + ain*Xin + ai*Yi ............ (2)
dimana:
Xi = Total output sektor ke-i,
Xij = Jumlah output sektor ke-i yang dijual ke sektor j,
Yi = Jumlah permintaan akhir untuk sektor ke-i,
BE = Total biaya eksternalitas sektor ke-i.
Xi* = Total output sektor ke-i yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,
aij = (Xij/Xi) = koefisien input output,
aij* = aij - (Xij/Xi)BE dan ai* = (Yi/Xi) - (Yi/Xi)BE.

Selanjutnya sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK merupakan


ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.
Serangan hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80%, sehingga sangat
merugikan petani. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kebun ditelantarkan
dan menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lingkungan.
Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengendalikan serangan
hama PBK secara menyeluruh guna menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kakao
di Sulawesi Selatan.
Upaya pengendalian hama PBK sebenarnya sudah dilakukan sejak hama PBK
teridentifikasi menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995.
Upaya pengendalian hama PBK pada awalnya dilakukan dengan menggunakan
pestisida, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya pengendalian
hama PBK dilakukan dengan menerapkan paket teknologi PsPSP yaitu: Panen sering,
Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan. Namun upaya tersebut juga belum
memberikan hasil yang optimal karena sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian
hama PBK tersebut sangat lambat. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk
mempercepat sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK.
10

Menurut Rogers (1995), adopsi teknologi merupakan suatu proses yang


dimulai dari pengetahuan tentang inovasi (teknologi baru), diikuti dengan
pembentukan sikap terhadap inovasi dan diakhiri dengan keputusan (tindakan) untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Pengetahuan tentang inovasi merupakan proses
pengenalan dimana seseorang menerima atau mengetahui informasi tentang teknologi
baru. Pembentukan sikap merupakan suatu proses mental seseorang untuk
mengevaluasi terhadap teknologi baru. Sementara itu, keputusan atau tindakan
merupakan suatu tahapan dimana seorang petani mulai mengambil keputusan untuk
menerapkan atau tidak menerapkan teknologi baru pada usahataninya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa adopsi teknologi dipengaruhi oleh karakteristik
teknologi, karakteristik pengambil keputusan, karakteristik lingkungan, saluran
komunikasi dan usaha promosi. Karakteristik teknologi meliputi keuntungan relatif,
kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan observabilitas. Sementara karakteristik
petani sebagai pengambil keputusan dipengaruhi oleh individu petani, kelompok tani
dan penguasa. Sedangkan karakteristik lingkungan sosial, saluran komunikasi dan
usaha promosi dipengaruhi antara lain: toleransi terhadap perubahan, keberadaan
sumber informasi, keberadaan pembina dan intensitas kerjasama antar petani (Rogers,
1995). Secara sederhana proses adopsi teknologi dapat dilihat pada Gambar 2.
11

Sifat-sifat Individu Petani: Kemampuan Petani


1. Karakteristik Petani 1. Tenaga kerja terampil
2. Kebutuhan Petani Terhadap 2. Modal
Perubahan/Inovasi 3. Bahan dan alat
Terus mengadopsi

ADOPSI
Diskontinu
PENGETAHUAN SIKAP TINDAKAN 1. Ganti yang baru
2. Kecewa

Pengadopsian
Lingkungan Sosial: MENOLAK terlambat
1. Keberadaan Sumber Informasi Karakteristik Teknologi
2. Keberadaan Pembinaan Karakteristik Kebun Tetap menolak
1. Keuntungan ekonomi
3. Intensitas Kerjasama 2. Keuntungan sosial 1. Luas kebun kakao
4. Toleransi Terhadap Perbeda- 3. Kompatibilitas 2. Umur tanaman
an/Perubahan 4. Kompleksitas 3. Kemiringan lahan.
5. Pola Pengambilan Keputusan 5. Observabilitas

PERJALANAN WAKTU

Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi


Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa adopsi teknologi merupakan
suatu variabel tidak bebas kualitatif dengan dua kategori yaitu 0 (nol) untuk menolak
inovasi teknologi dan 1 (satu) untuk menerima atau mengadopsi teknologi. Menurut
Pindyck dan Rubinfeld (1998), untuk menduga regresi peubah tidak bebas kualitatif
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Model Probabilistik Linier (Linear
Probability Model), Model Probit (Probit Model), dan Model Logit (Logit Model).
Model Probabilistik Linier mempunyai kelemahan karena ada kemungkinan peluang
bersyaratnya berada diluar kisaran 0-1, sehingga sulit dilakukan pendugaan dengan
menggunakan model OLS (Ordinary Least Square). Sementara itu, Model Probit dan
Model Logit selalu memenuhi peluang bersyarat pada kisaran 0-1. Namun Model
Probit lebih rumit perhitungannya dari pada Model Logit, maka dalam penelitian
terapan lebih sering digunakan Model Logit.
Pada penelitian ini pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
teknologi pengendalian hama PBK dilakukan dengan menggunakan Model Logit
yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld 1998):
⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞
Pi = F ( Z i ) = (α + βX i ) = ⎜ − zi ⎟
=⎜ α + βXi ⎟
….………….................…(3)
⎝1 + e ⎠ ⎝1 + e ⎠
Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (1) di kalikan dengan (1+e-zi), maka akan
diperoleh:
(1 + e − z i )Pi = 1 ........................................................................................... (4)
Kemudian jika kedua ruas kiri dan kanan persamaan (2) dibagi dengan Pi dan
dikurangi 1 maka diperoleh:
⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 − Pi ⎞
e − z i = ⎜⎜ − 1 ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟ .......................................................................... (5)
⎝ Pi ⎠ ⎝ Pi ⎠

Dengan mendefinisikan e − z i = 1 / e z i maka


⎛ Pi ⎞
e − z i = ⎜⎜ ⎟⎟ .............................................................................................. (6)
⎝ 1 − Pi ⎠
13

Jika kedua ruas kiri dan kanan di Ln-kan maka diperoleh :


⎛ Pi ⎞
Z i = Ln ⎜⎜ ⎟⎟ = α + β X i + e i ................................................................ (7)
⎝ 1 − Pi ⎠
dimana:
Pi = Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1
jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi),
Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3, ...... n)
α = intersep,
βi = Parameter peubah Xi
ei = galat acak.

Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang telah


diuraikan diatas, maka kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan
sebagai berikut: Tahap pertama adalah perumusan masalah dan tujuan penelitian.
Tahap kedua adalah survei pendahuluan untuk mengumpulkan data dasar dan
penentuan lokasi sampel serta penentuan pendekatan pemecahan masalah.
Selanjutnya, tahap ketiga adalah survei utama untuk mengumpulkan data dan
informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dilakukan analisis data
dan simulasi guna merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan
kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan (Gambar 3).
14

Persiapan Penelitian

- Perumusan masalah,
- Perumusan tujuan penelitian

Survei Pendahuluan

- Identifikasi data, lokasi, dan pendekatan,


- Pengumpulan data dasar,
- Pengolahan dan analisis data dasar.

Survei Utama

- Identifikasi dan pengumpulan data sekunder,


- Pengumpulan data dan informasi primer.

Pengolahan dan
Analisis Data
- Biaya Lingkungan,
- Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas,
- Simulasi dampak serangan hama PBK,
- Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi
pengendalian hama PBK-PsPSP.

Analisis Prospektif untuk merumuskan strategi


pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.


15

1.3. Perumusan Masalah


Perkebunan kakao mempunyai arti yang cukup strategis bagi perekonomian
regional Sulawesi Selatan. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa
permasalahan khususnya permasalahan lingkungan dan serangan hama PBK yang
mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di daerah ini. Permasalahan tersebut
perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena Sulawesi Selatan merupakan
sentra utama produksi kakao nasional dan kakao merupakan salah satu andalan
ekspor komoditas perkebun Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya peran perkebunan dalam perekonomian nasional
telah mendorong pemerintah pusat untuk mencanangkan program revitalisasi
terhadap tiga komoditas utama perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao mulai
pertengahan tahun 2005. Pencanangan program revitalisasi tersebut disambut baik
oleh dunia usaha khususnya perusahaan perkebunan besar yang mengusahakan
komoditas kelapa sawit. Program revitalisasi perkebunan juga mendapat dukungan
dari perbankan nasional khususnya BRI dan Bank Mandiri. Namun kenyataannya
perhatian dan respon yang diterima oleh komoditas kakao sangat berbeda dengan
kelapa sawit, padahal kakao sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup
berat dan memerlukan perhatian yang lebih serius.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao telah memberikan
sumbangan yang cukup nyata bagi penyediaan lapangan kerja, pendapatan petani,
pangsa PDRB dan ekspor Sulawesi Selatan, meskipun peran tersebut masih bersifat
semu karena berbagai kerusakan lingkungan dan dampak turunannya belum
diperhitungkan. Di sisi lain, serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian
ekonomi, tetapi berpotensi untuk melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sentra
produksi kakao dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di
Sulawesi Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya peran
perkebunan kakao, dampak serangan hama PBK dan keberlanjutan perkebunan
kakao di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk memberikan
gambaran dan informasi khususnya kepada para pengambil kebijakan dan pelaku
agribisnis perkebunan kakao tentang:
16

a. Berapa besar peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi


Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB), ekspor, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta
perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.
b. Berapa besar biaya lingkungan (eksternalitas) yang harus diperhitungkan agar
penilaian peran kakao tidak bersifat ”semu” dan bagaimana pengaruh
internalisasi biaya eksternalitas terhadap peran kakao bagi perekonomian
regional Sulawesi Selatan.
c. Bagaimana dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani dan
perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta peningkatan biaya eksternalitas
karena peningkatan areal perkebunan kakao petani yang rusak dan upaya
perluasan areal perkebunan kakao untuk mengantisipasi permintaan kakao dunia
yang terus meningkat.
d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama
PBK dan bagaimana mempercepat laju adopsi teknologi pengendalian hama PBK
tersebut untuk mengamankan pendapatan petani dan pangsa kakao dalam
menghasilkan PDRB, serta menjaga keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi
perekonomian regional Sulawesi Selatan.

1.4. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan permasalahan yang
telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi
pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sehubungan
dengan itu dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan menganalisis biaya eksternalitas pengembangan
perkebunan kakao dan biaya eksternalitas karena kerusakan perkebunan kakao
akibat serangan hama PBK serta menganalisis biaya eksternalitas sektor
perekonomian lainnya.
b. Menganalisis peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi
Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, PDRB, ekspor, penyediaan
17

lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan


perekonomian regional.
c. Menganalisis dampak internalisasi biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi
terhadap output, PDRB dan nilai indikator pengganda serta nilai indikator
keterkaitan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi
Selatan.
d. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak serangan hama PBK terhadap
pendapatan petani kakao dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam rangka
mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

1.5. Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:
a. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan
pembangunan regional, khususnya pembangunan perkebunan kakao yang
berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
b. Menambah khasanah Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu-Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, terutama pengelolaan sumberdaya alam
untuk pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan melalui pendekatan
perencanaan yang terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi pengembangan
wilayah dan kualitas lingkungan.

1.6. Kebaharuan (Novelty)


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan serangkaian pendekatan atau
metode yang meliputi: berbagai metode valuasi ekonomi untuk menghitung biaya
lingkungan (eksternalitas) dari berbagai sektor ekonomi, analisis Tabel Input Output
konvensional dan Tabel Input Output yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,
pendekatan dengan Model Logit untuk menemukan faktor-faktor kunci yang
mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif
untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.
18

Metode/pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode-


metode yang sudah baku yang dikemas dalam suatu rangkaian yang baru untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Jadi kebaharuan dari penelitian ini adalah rangkaian metode penelitian dan hasil
penelitiannya terutama peran riil perkebunan kakao, faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi teknologi dan arahan kebijakan untuk mempercepat adopsi
teknologi pengendalian hama PBK serta arahan strategi pembangunan perkebunan
kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

Anda mungkin juga menyukai