PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah
menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala
keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai
devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002
dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat
Jenderal Perkebunan 2006).
Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah
menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil
sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan
banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung
tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak
saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi
perekonomian regional Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19
triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil
sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28%
dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping
itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor
ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao
seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri
pengolahan biji kakao.
Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi
kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao
dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir
tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International
2
Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan
kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang
hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun
1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun.
Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh
petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan
Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a).
Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak
terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran
pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan
kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut
dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta
menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah
menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah
tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak
turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut
Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di
Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah,
tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan
menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan tersebut merupakan suatu
biaya lingkungan yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan
pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian
regional. Akibatnya pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi
dalam perekonomian regional masih bersifat “semu” dan masyarakat masih harus
menanggung biaya eksternalitas dari suatu proses produksi atau kegiatan ekonomi.
Lebih lanjut, karena perencanaan pembangunan ekonomi umumnya disusun
berdasarkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga ada kemungkinan
3
terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan
menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih
parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah
beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia.
Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak
hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga
berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao
yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan
menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan
hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian
ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan
perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya
eksternalitas.
Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah
disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama
terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat
lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari
permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas
merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis
perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan
perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.
1
Kompas, 14 Juni 2006. Penanganan Kakao di Sikka 3 Tahun.
5
Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses
alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun
serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal
proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan
sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan
emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat
tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai
berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak
terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan
biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya
eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu
sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”.
Dalam perekonomian regional sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan
dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya
memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa
konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor
6
ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya
dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk
tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh
berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan
perekonomian regional.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan
saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu
mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup
efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum
diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang
keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi
Selatan.
Berbagai permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
pendekatan Input Output dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
teknologi pengendalian hama PBK. Kemudian hasil analisis tersebut dilengkapi
dengan analisis prospektif guna merumuskan strategi pembangunan perkebunan
kakao berkelanjutan. Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
7
Valuasi Ekonomi
Analisis Prospektif
Keterangan:
Saling Berpengaruh Strategi Pembangunan Perkebunan
Kakao Berkelanjutan
Berpengaruh
Di Analisis
Rekomendasi
ADOPSI
Diskontinu
PENGETAHUAN SIKAP TINDAKAN 1. Ganti yang baru
2. Kecewa
Pengadopsian
Lingkungan Sosial: MENOLAK terlambat
1. Keberadaan Sumber Informasi Karakteristik Teknologi
2. Keberadaan Pembinaan Karakteristik Kebun Tetap menolak
1. Keuntungan ekonomi
3. Intensitas Kerjasama 2. Keuntungan sosial 1. Luas kebun kakao
4. Toleransi Terhadap Perbeda- 3. Kompatibilitas 2. Umur tanaman
an/Perubahan 4. Kompleksitas 3. Kemiringan lahan.
5. Pola Pengambilan Keputusan 5. Observabilitas
PERJALANAN WAKTU
Persiapan Penelitian
- Perumusan masalah,
- Perumusan tujuan penelitian
Survei Pendahuluan
Survei Utama
Pengolahan dan
Analisis Data
- Biaya Lingkungan,
- Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas,
- Simulasi dampak serangan hama PBK,
- Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi
pengendalian hama PBK-PsPSP.