http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih
Abstract
___________________________________________________________________
Sukarno's speech on August 17, 1956 signaled the takeover of Dutch-owned companies, which began in
December 1957. The Law set up for the nationalization act was Law No. 86 of 1958. One of the things
nationalized by the government was the Kalibagor sugar factory. In this study, the author discusses how the
process of nationalizing the Kalibagor sugar factory until its closure and the socio-economic dynamics of the
community that occurred after nationalization. The results of this study are that the people in Kalibagor
experienced some changes. This is the impact of the nationalization. In 1975, the sugar commodity was replaced
by rice and tobacco. Then the government issued Presidential Instruction No. 9 of 1975 concerning People's
Intensification Sugar Cane (TRI). But the program was also unsuccessful with a number of problems, which
made the Kalibagor sugar factory continue to suffer losses. Finally, in 1997 the crisis that occurred in Indonesia
resulted in a decline in the sugar industry, so that there were several sugar mills which were closed or
diamalgamasi including the Kalibagor sugar factory.
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Ruang Jurnal Sejarah, Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: renardi47@yahoo.co.id
177
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
178
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
melakukan kritik intern dan ekstern terhadap berlangsungnya nasionalisasi aset bisnis Belanda
semua sumber-sumber yang didapatkan untuk pada tanggal 1 Desember 1957. Nasionalisasi
mendapatkan sebuah fakta yang integral dengan membawa dampak perubahan struktural dalam
fakta-fakta lainnya. Caranya dengan merangkai konteks yang lebih luas (Lindblad, 2008:6).
fakta-fakta, dengan disertai penafsiran penulis Lahirnya pemerintah baru, Indonesia
berdasarkan data-data yang telah diseleksi dan pasca kemerdekaannya membawa konsekuensi
dilakukan kritik sumber (Kuntowijoyo dalam pengelolaan aset kolonial, terutama
2003:102). Tahapan ini disebut juga interpretasi. kolonialisme Belanda. Aset-aset ekonomi
Tahap terakhir adalah historiografi atau kolonial diusahakan oleh para pejuang
penulisan sejarah. (Kuntowijoyo 2003:103) kemerdekaan untuk beralih menjadi asset negara
Dalam tahapan ini, meliputi penyusunan dan bangsa Indonesia. Proses peralihan aset
kumpulan dari data sejarah dan berlangsung dengan dua cara, yaitu peralihan
penyajian/penceritaannya (pada umumnya kelembagaan dari pemerintah Kolonial Belanda
dalam bentuk tertulis) di dalam batas-batas ke Pemerintah Indonesia dan Nasionalisasi atau
kebenaran yang objektif dan arti atau maknanya. Indonesianisasi (John Sutter, 1959).
(Wasino, 2018:12). Pidato Soekarno pada 17 Agustus 1956
menyangkut pembatalan perjanjian Konferensi
HASIL DAN PEMBAHASAN Meja Bundar (KMB) secara uniteral. Dengan
Nasionalisasi Pabrik Gula Kalibagor sendirinya terpaut di dalamnya adalah
Embrio nasionalisasi adalah “Indonesianisasi”. pembatalan pembayaran hutang-hutang
Ia bermula dari proses politik yang berimplikasi Republik seperti yang termaktub dalam
pada proses ekonomi dan proses hukum. Sebagai perjanjian. Selain itu, pidato tersebut
sebuah proses politik, nasionalisasi dikaitkan mengisyaratkan pengambilalihan perusahaan-
dengan proses “Indonesianisasi” kepemilikan perusahaan milik Belanda, yang mulai
asset milik asing di Indonesia. Proses ini berawal dilaksanakan pada Desember 1957. (Mc Rickfles,
dari cara berpikir yang telah berkembang puluhan 2005:96) Karena peristiwa ini, banyak staf
tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan perusahaan bangsa Belanda kembali ke
Indonesia sebagaimana tercermin dalam negerinya, sehingga mula-mula timbul banyak
program politik Perhimpunan Indonesia (salah kesulitan untuk mengelola perusahaan-
satu pendirinya Bung Hatta yang kemudian perusahaan yang diambil alih karena sukarnya
menjadi Wakil Presiden Indonesia), dan pidato memperoleh tenaga ahli, onderdil-onderdil
politik Bung Karno yang dikenal sebagai mesin, permodalan maupun pemasaran hasil
“Indonesia Menggugat”. (Taufik Abdullah, gula. Namun demikian tindakan
2004) Proses Indonesianisasi tersebut mulai pengambilalihan ini dinilai merupakan suatu
diimplementasikan pada masa pendudukan langkah yang tepat dan menentukan bagi
Jepang di Indonesia, tahun 1942-1945 dan perkembangan perusahaan perkebunan pada
semakin menguat selama revolusi kemerdekaan umumnya di Indonesia. Sebelum
Indonesia. pengambilalihan, perusahaan-perusahaan gula
Nasionalisasi mengacu pada penghapusan berfungsi sebagai alat untuk mencari keuntungan
pengawasan oleh Belanda dan reorientasi sebesar-besarnya bagi bangsa Belanda (sistem
ekonomi Indonesia secara mendasar pada masa ekonomi liberal). Namun setelah diambilalih,
dekolonisasi dan selama tahun-tahun segera perusahaan-perusahaan gula mempunyai fungsi
setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia tahun sosial ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah
1949. Istilah nasionalisasi juga dapat dimaknai Indonesia (Mubyarto, dkk, 1991:14-15).
menggantikan pegawai-pegawai berkebangsaan Untuk dapat melaksanakan nasionalisasi
Belanda dan para manajer berkebangsaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
Indonesia dalam birokrasi dan perusahaan- sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
perusahaan swasta di Indonesia selama Undang No. 86 Tahun 1958 maka perlu dibentuk
179
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
lembaga yang mengatur serta mengawasi dibubarkan. Sebagai gantinya melalui PP No. 14
kelancaran dari jalannya nasionalisasi tersebut. tahun 1968 dibentuk PNP (Perusahaan Negara
Peraturan Pemeritah No. 3 Tahun 1959 Perkebunan) yang keseluruhannya berjumlah 28
mengatur tentang pembentukan badan tersebut. buah, 8 di antaranya PNP gula. Dalam PP
Badan yang mengatur dan mengawasi tersebut dicantumkan pula ketetapan bahwa
pelaksanaan nasionalisasi berdasarkan PP PNP-PNP yang telah memenuhi persyaratan
tersebut dinamakan Badan Nasionalisasi sebagaimana ditentukan maka PNP tersebut
disingkat Banas (PP RI No. 3 Tahun 1959, menjadi PTP (PT. Persero). PNP selaku
dimuat dalam tambahan LN RI Tahun 1959 perusahaan milik Negara dibebani tanggung-
No1731). jawab untuk turut membangun ekonomi nasional
Tugas Banas ialah menentukan dengan tiga tuga utama yaitu:
perusahaan mana yang akan dinasionalisasikan 1. Menghasilkan laba baik berupa devisa
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah maupun rupiah bagi negara;
daerah dan menampung serta menyelesaikan 2. Membuka kesempatan kerja bagi seluruh
persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat warga negara Indonesia;
nasionalisasi (pembebasan dan hak milik, 3. Memelihara, mempertahankan dan
menyusun peraturan dan menerbitkan surat-surat meningkatkan produksi budidaya beserta
keputusan berdasarkan undang-undang kesuburan tanahnya (Mubyarto, dkk,
nasionalisasi perusahaan Belanda). (Bisuk 1991:15-16).
Siahaan, 2000:235) Tujuan pembentukan Banas
sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum Sebelum tahun 1975, pengusahaan
dari PP ini adalah “untuk menjamin koordinasi tanaman tebu milik rakyat oleh sebagian pabrik
dalam pimpinan, kebijaksanaan dan pengawasan gula dengan menggunakan sistem sewa tanah.
terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda Sistem sewa tanah dari tahun ke tahun terus
yang telah dikenakan nasionalisasi dapat tetap mengalami kesukaran, karena di satu pihak
dipertahankan dan dipertinggi”. Dengan petani pmilik tanah harus memberikan
demikian, tujuan dari Banas adalah untuk pengorbanan, sedangkan di lain pihak pabrik
terjaminnya pengelolaan aset ekonomi nasional gula harus dapat memberikan pendapatan
yang diperoleh melalui proses nasionalisasi kepada Negara. Dalam hal ini bukan hanya
perusahaan-perusahaan Belanda (Wasino, dkk, mempertimbangan aspirasi produsen saja
2014). melainkan juga mempertimbangkan aspirasi
Setelah pengambilalihan, yang konsumen gula (Selo Soemardjan, dkk, 1984:54-
sebelumnya pabrik gula Kalibagor dipegang dan 55).
dikelola oleh pihak swasta dari Belanda yang Atas dasar inilah tepatnya pada 22 April
bernama Cultuur Maatschappij der 1975, pemerintah mengeluarkan instruksi
Vorstenlanden diserahkan pada suatu badan Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat
yang disebut BPU-PPN (Badan Pimpinan Umum Intensifikasi (TRI). Selanjutnya tebu ditanam di
Perusahaan Perkebunan Negara). Badan ini atas tanah yang tidak lagi disewa dari rakyat.
dibentuk tahun 1951 dengan tujuan untuk Sebagai gantinya kepada masyarakat petani
mengkoordinir perusahaan perkebunan. Dengan diberikan kesempatan untuk menanam tebu
koordinasi di bawah satu tangan diharapkan diatas tanahnya sendiri. Melalui program TRI
perusahaan-perusahaan tersebut dapat mencapai diharapkan agar para petani pemilik tanah mau
hasil guna yang sebesar-besarnya. BPU-PPN bekerja di tanah miliknya masing-masing,
Gula di samping menangani bidang produksi, sebagaimana yang mereka lakukan pada waktu
sekaligus menangani pemasarannya. Namun bercocok tanam palawija (Selo Soemardjan, dkk,
kemudian penyatuan unit produksi dan 1984:54-55). Sebagaimana diketahui ada tiga
pemasaran dalam satu badan ini dianggap tidak tujuan utama yang disuratkan dalam Inpres No.
efektif sehingga pada tahun 1968 BPU-PPN 9 Tahun 1975, yaitu:
180
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
1. Mengalihkan pengusahaan tebu yang semula terjadi perubahan yang fundamental dalam
berada di tangan pabrik gula dengan sistem sistem produksi gula di Indonesia, pengusahaan
sewa, ke tangan petani yang harus tebu dilakukan oleh petani sedangkan pabrik gula
mengusahakan sendiri tanaman tebu di atas bertindak sebagai pengolahnya. Tujuan
lahannya. diadakannya Inpres no. 9 Tahun 1975 yaitu
2. Memperbaiki penghasilan petani tebu dengan untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri
meningkatkan produktivitas melalui yang akan menjadikan Indonesia berswasembada
pengelolaan usaha tani yang lebih intensif. gula (Mubyarto, dkk, 1991:17).
3. Menjamin peningkatan dan kemantapan Tujuan resmi dilaksanakannya program
produksi gula. TRI adalah untuk meningkatkan produksi gula
guna mencukupi kebutuhan gula dalam negeri
Dari yang tersurat dalam tujuan tersebut, dan untuk memperbaiki pendapatan petani
maka tampak bahwa sasaran dari Inpres ini melalui peningkatan produktivitas yang dicapai
sangat luas dan menyangkut perubahan yang dengan pengelolaan usaha tani secara intensif.
mendasar dibandingkan pola atau sistem Namun tujuan lain yang sebenarnya lebih
penanaman tebu sebelumnya. Petani yang penting adalah pengalihan sistem peggunaan
sebelumnya umumnya menyewakan tanahnya tanah dari sistem sewa ke sistem non-sewa yaitu
kepada pabrik-pabrik gula, dengan Inpres TRI. setelah beberapa waktu program TRI
tersebut diarahkan menjadi aktor/pelaku berjalan ternyata menghadapi berbagai masalah
ekonomi yang terlibat langsung dalam proses sehingga tujuan tersebut belum dapat tercapai
produksi tebu. Mereka tidak lagi hanya secara mantap. Produksi gula memang
dimanfaatkan sebagai buruh kasar dari pabrik- meningkat, namun hal ini dicapai karena
pabrik tebu di atas tanah miliknya. Petani tebu bertambahnya luas areal dan bukan karena
dengan demikian diharapkan menjadi seperti peningkatan produktivitas. Produktivitas bahkan
petani tanaman pangan umumnya, yang bisa menunjukan penurunan. Berbagai masalah yang
menikmati keuntungan dan sekaligus siap timbul dalam pelaksanaan program TRI adalah
menaggung resiko kerugian dari usaha TRI sebagai berikut (Mubyarto,dkk, 1991:50-51).
tersebut. Dalam teknis pelaksanaannya, petani 1. Masalah lahan;
bekerja dalam kelompok-kelompok tani dan 2. Masalah biaya usaha tani;
melibatkan koperasi-koperasi unit desa. Dengan 3. Masalah teknis budidaya;
kata lain, petani akan dididik menjadi wiraswasta 4. Masalah tenaga kerja; dan
yang mampu berusaha mandiri, dalam bentuk 5. Masalah panen dan pasca panen
kelompok tani maupun koperasi petani dan
mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat Perkembangan industri gula setelah
(Mubyarto, 1984:93). adanya program TRI mengalami penurunan,
Setelah ditetapkannya Inpres no. 9 Tahun industri gula tidak lagi mampu bersaing dengan
1975 sebagai kebijakan baru dalam bidang komoditi lain. Sejak diberlakukannya Undang-
industri gula yang menggantikan tatanan Undang No. 12 Tahun 1992 yang menjamin
hubungan produksi gula tebu dari sistem petani bebas memilih komoditi tanaman paling
penyewaan tanah petani oleh pabrik gula menguntungkan (Suara Karya, 6 Desember
menjadi sistem produksi langsung oleh petani 1997). Sehingga tanaman tebu tidak dapat
pemilik sawah sendiri, keadaan produksi pabrik dipaksakan lagi. Sehingga para petani lebih suka
gula Kalibagor menjadi tidak menentu. Secara menanam tanaman yang lebih menguntungkan
eksplisit Inpres tersebut menetapkan dua tujuan jika dibandingkan dengan tanaman tebu seperti
pokoknya, yaitu peningkatan dan pemantapan padi dan tembakau yang hasilnya lebih
produksi gula nasional dan meningkatkan menguntungkan. Dari segi waktu tanaman tebu
pendapatan petani (Adisasmito, 1983:192). memerlukan waktu yang lama antara 12 sampai
Dengan dikeluarknnya Inpres tersebut, maka 14 bulan, sedangkan jika ditanami komoditi lain
181
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
waktu 12 bulan bisa panen 2 sampai 3 kali ini karena dengan adanya pengambilalihan aset-
(Mufiddatut Diniyah, 2011:57-58). aset perusahaan Belanda oleh bangsa Indonesia
Adanya krisis yang terjadi di Indonesia menjadi titik awal perekonomian bagi rakyat
pada tahun 1997 mengakibatkan industri gula setempat. Nasionalisasi pabrik gula Kalibagor
mengalami penurunan, karena tidak mampu lagi secara resmi dilaksanakan setelah adanya PP No.
memenuhi pasokan bahan baku tebu, sehingga 1 tahun 1963 tentang pendirian perusahaan-
ada beberapa pabrik gula yang ditutup atau perusahaan perkebunan gula Negara (Arsip
diamalgamasi. Amalgamasi merupakan ANRI, PP No. 1 tahun 1963). Setelah adanya PP
penutupan sementara pabrik. Hal itu terjadi di ini pabrik-pabrik yang telah di tangan pemerintah
pabrik gula Kalibagor dan empat pabrik lainnya. dipimpin langsung oleh orang-orang pribumi
Pabrik gula yang mengalami penutupan yaitu: yang sebelumnya dipegang oleh orang Belanda.
1. Pabrik Gula Kalibagor; Namun tidak ada data yang terkait tentang
2. Pabrik Gula Jatibarang; siapa orang Indonesia pertama yang memimpin
3. Pabrik Gula Cepiring Kendal; di pabrik gula Kalibagor dan bagaimana dengan
4. Pabrik Gula Banjaratma; dan struktur pertama kali setelah pabrik gula
5. Pabrik Gula Colomadu Sukoharjo (Suara Kalibagor tersebut dinasionalisasi. Tetapi,
karya, 6 Desember 1997). berdasarkan hasil wawancara dengan pensiunan
pekerja pabrik gula Kalibagor dapat disimpulkan
Berikut faktor-faktor yang menjadi bahwa para pemimpin pabrik sudah orang
penyebab ditutupnya pabrik gula Kalibagor, Indonesia (Wawancara dengan Thoyyib,
yaitu: Mustofa dan Cipto, 7 dan 23 Januari 2019).
1. Kapasitas maksimal dari mesin giling yang Orang-orang Belanda yang masih tersisa di sana
sebenarnya sudah direnovasi belum mencapai sudah tidak ikut campur dengan masalah
angka maksimum yang disebabkan oleh pengelolaan pabrik.
kurangnya pasokan tebu dari petani. Nasionalisasi terhadap perusahaan milik
2. Manajemen tebang yang masih banyak Belanda diikuti dengan pemulangan dan
menunjukan kesalahan. pengusiran warga Negara Belanda. Di samping
3. Areal tanaman tebu yang sempit, tersebar dan pengambilalihan perusahaan milik Belanda juga
jauh yang menyulitkan proses diserukan anti Belanda. Menteri Kehakiman
pengangkutannya. pada awal bulan Desember 1957 mengumumkan
4. Kondisi tanah yang kurang bagus yaitu tanah bahwa 50.000 warga Negara Belanda diusir atau
dengan tingkat keasaman yang relatif tinggi dipulangkan dalam tiga tahap. Tahap pertama,
yang berpengaruh terhadap rendahnya merupakan gelombang warga negara yang tidak
produktivitas terutama pencapaian memiliki pekerjaan. Tahap kedua untuk
rendemen. golongan menegah dan tahap terakhir atau ketiga
5. Pengaruh iklim yang kurang mendukung untuk gelombang warga negara yang merupakan
karena curah hujan yang cukup tinggi dengan tenaga ahli yang sukar dicari penggantinya
rata-rata tingkat kelembapan 75 persen, suhu (Bondan Kanumoyoso, 2001:65).
25 derajat dan lama penyinaran matahari 60 Pabrik gula Kalibagor setelah
persen. dinasionalisasi mengalami perubahan dalam hal
6. Kapasitas mesin-mesin giling tua dan kepengurusan. Sebelum dinasionalisasi
membutuhkan perawatan ekstra sehingga kepengurusan pabrik gula sepenuhnya dipegang
menaikkan biaya pemeliharaan. oleh perusahaan Belanda, setelah adanya
nasionalisasi kepengurusan pabrik gula berganti
Dampak Pabrik Gula Terhadap Kondisi Sosial menjadi milik orang Indonesia. Semenjak
Ekonomi Masyarakat Kalibagor 1957-1997 nasionalisasi kepengurusan pabrik gula
Nasionalisasi Pabrik gula Kalibagor pada tahun diserahkan kepada Badan Pimpinan Umum
1957 disambut gembira oleh warga sekitar. Hal Perusahaan Negara (BPU-PN), kemudian
182
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
diserahkan ke Pusat Perkebunan Negara Baru staff administratur sampai karyawan musiman
(PPN-Baru) yang mengelola 13 pabrik gula, yaitu diambil atau dikerjakan oleh kaum pribumi dan
pabrik gula Banjaratma, Jatibarang, Pangka, pemerintah Indonesia tanpa ada campur tangan
Sumberharjo, Sragi, Cepiring, Rendeng, Comal, dari pihak Belanda. Kebanyakan pekerja pabrik
Kalibagor, Gondang Baru, Ceper Baru, Mojo, gula Kalibagor merupakan warga sekitar kecuali
Colomadu dan Tasikmadu. Berdasarkan PP No. bagian staff administratur, hal ini dikarenakan
14 tahun 1968 tentang pendirian Perusahaan staff administratur harus mempunyai keahlian
Negara Perkebunan (PNP), didirikan PNP XV khusus dan biasanya dipilih atau diseleksi dari
dan PNP XVI. Pada perkembangnnya pabrik pusat. Pabrik pun langsung bisa beroperasi tanpa
gula Kalibagor berada dalam suatu manajemen kendala apapun karena Belanda tidak mengambil
yang disebut PT Perkebunan Negara (PTPN). mesin dan peralatan yang ada di pabrik gula.
Hal ini menyebabkan suatu kerjasama dengan Menurut para ahli, dampak adalah akibat,
pabrik gula lainnya khususnya yang berada imbas atau pengaruh yang terjadi (baik itu negatif
dalam satu manajemen PTPN IX. maupun positif) dari sebuah tindakan yang
Para pekerja di pabrik gula Kalibagor dilakukan oleh satu atau sekelompok orang yang
dikelompokkan menjadi 3 yaitu, karyawan/staff melakukan kegiatan tertentu. Dampak tersebut
pimpinan, karyawan pelaksana dan karyawan timbul akibat adanya interaksi yang terjadi antara
musiman. Karyawan pimpinan terdiri dari staff manusia dan lingkungannya dalam proses
administratur, kepala tanaman, kepala memenuhi kebutuhan. Suatu kegiatan disebut
pengolahan, kepala pabrik, kepala TUK dan positif apabila mempunyai manfaat bagi manusia
kepala Instalasi. Masing-masing kepala maupun di lingkungan sekitarnya, sebaliknya
membawahi karyawan pelaksana yang berada apabila suatu kegiatan dikatakan negatif apabila
dalam tingkat 2 dalam struktur organisasi. dalam kegiatan tersebut banyak menimbulkan
Karyawan tingkat dua terdiri dari karyawan kerugian, baik fisik maupun non fisik. Dampak
bagian instalasi, karyawan bagian tanaman, disini merupakan dampak yang bersifat positif.
karyawan bagian pengolahan, dan lain-lain. Berikut Dampak pabrik gula Kalibagor setelah
Terakhir adalah karyawan musiman. Karyawan dinasionalisasi terhadap masyarakat Kalibagor:
musiman adalah para pekerja yang dipekerjakan 1. Perluasan Lapangan Pekerjaan dan
hanya pada saat masa giling dan panen Peningkatan Pendapatan Masyarakat, karena
(wawancara dengan Thoyyib, Mustofa, dan dengan adanya nasionalisasi banyak sekali
Cipto, 7 dan 23 Januari 2019). masyarakat sekitar yang bekerja di berbagai
Sekitar tahun 1960-an setelah posisi dan roda perekonomian disekitar
nasionalisasi, proses perekrutan pekerja di pabrik berjalan dengan baik.
gula Kalibagor sangat mudah tidak ada 2. Membantu Pembangunan Desa, seperti
persyaratan khusus, asal mau bekerja mereka bantuan pembangunan irigasi, perbaikan
sudah diterima bekerja di pabrik kecuali jalan, dan lain-lain. Kedua belah pihak
staff/karyawan pimpinan. Karyawan pimpinan berusaha saling menguntungkan.
biasanya bukan berasal dari daerah sekitar tetapi 3. Bidang Pendidikan dan Kesehatan,
dari pusat yang memang ditempatkan di pabrik keberadaan pabrik gula Kalibagor sangat
gula Kalibagor sesuai keahlian mereka. berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi
Karyawan pimpinan biasanya diangkat dan masyarakat Kalibagor yang berimbas ke
diberhentikan oleh direksi PTP XV. Kemudian bidang pendidikan dan kesehatan. Belum lagi
karyawan pelaksana dan karyawan musiman bantuan yang di berikan pihak pabrik gula
inilah yang biasanya diambil dari masyarakat untuk menunjang pendidikan di desa
sekitar (wawancara dengan Mustofa, 7 Januari Kalibagor.
2019).
Jadi setelah pabrik gula Kalibagor
dinasionalisasi semua pekerja pabrik dari mulai
183
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
184
Renardi Pamikat, dkk/ Journal of Indonesian History 8 (2) (2019); pg. 177-185
185