Anda di halaman 1dari 9

Makalah Sejarah Agraria

Perkebunan Inti Rakyat (PIR BUN)


Guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Agraria
Dosen Pembimbing Ririn Darini, S.S., M.Hum.

Di susun oleh:
Laela Khotimatul Qiptiya (17407141038)
Mohammad Anggi (17407141051)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Berbicara mengenai Orde Baru tak lepas dari peran Soeharto dalam
pemerintahannya. Istilah Orde Baru lahir menggantikan Orde Lama yang dipimpin
oleh Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11
Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada tahun 1966-
1968 atau awal masa Orde Baru, Indonesia berhasil mengatasi masalah inflasi
sehingga mendapat julukan sebagai negara pengendali inflasi yang efektif.
Keberhasilan tersebut memacu Indonesia untuk berkembang menjadi negara industri
mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura,
dan Hongkong.1 Disusul dengan era keemasannya, pemerintah Orde Baru kemudian
mencetuskan berbagai proyek pembangunan yang membawa perubahan besar yang
berakibat banyaknya para pemodal-pemodal asing yang berdatangan. Negara hadir
sebagai fasilitator, penyedia kondisi politik yang kondusif bagi akumulasi modal serta
berinventsasii di bidang infrastruktur dan produksi. Negara hadir diwakili oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana di bidang perkebunan terlahir dengan nama
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN).
Kehadiran para pemodal asing memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat
agraris sebab pembangunan di bidang perkebunan dilakukan secara besar-besaran.
Pada tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan program Perusahaan Inti Rakyat PIR-
BUN. Pelaksanaan PIR dimulai pada tahun 1977/1978 berdasar keputusan Presiden
RI no. 11 tahun 1974 tentang Repelita II PIR-BUN merupakan pola pelaksanaan
perkebunan besar sebagai inti. Pengembangan PIR ini menggunakan kemitraan yang
merupakan bentuk kerjasama pembangunan dan pengembangan perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membimbing perkebunan rakyat di
sekitarnya sebagai plasma melalui suatu sistem kerjasama yang saling
menguntungkan dan berkesinambungan.2 Pemerintah berusaha mengembangkan

1
Budi Rajab, “Negara Orde Baru: Berdiri Di Atas Sistem Ekonomi dan Politik Yang Rapuh”,
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 6, No. 3, November 2004, hlm. 183.
2
Sabar, Lindayanti, Zaiyardam Zubir, “JALAN TERJAL MEMBENTUK KARAKTER
BANGSA: DIALEKTIKA PETANI VERSUS PENGUSAHA DAN PENGUASA DI
SUMATERA BARAT, RIAU DAN JAMSI 1970.2010”, Volume. 6, No 2, 2017, hlm. 148
pertanian yang berorientasi ekspor untuk meningkatkan devisa baginya. Dalam hal ini
perkebunan teh, karet dan kelapa sawit menjadi perhatian besar dan dikembangkan
dengan skala besar di berbagai tempat di Indonesia. Konsep Hak Guna Usaha menjadi
masalah pokok dalam pelaksanaan PIR. Hak Guna Usaha merupakan salah satu
kebijakan yang memungkinkan para pemilik modal melakukan investasi untuk
melakukan kegiatan usaha di Indonesia dengan cara menguasai luas lahan skala luas.
Ekpansi modal besar inilah kemudian mulai mengusik kehidupan masyarakat. Belum
lagi pelaksanaan Hak Guna Usaha tidak sesuai dengan hukum adat yang ada. Dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit terjadi masalah di lapangan antara lain:
pengambil alihan lahan petani, ganti rugi yang tidak memadai, dan luas lahan yang
digunakan melebihi ganti rugi.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik tiga rumusan masalah. Ketiga
rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana terbentuknya progam dan perkembangan PIR-BUN?
2. Bagaimana konflik tentang penerapan PIR-BUN?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui terbentuknya progam dan perkembangan PIR-BUN.
2. Untuk mengetahui konflik tentang penerapan PIR-BUN.
3.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembentukan dan Perkembangan PIR-BUN
Akibat menurunnya pendapatan negara dari minyak bumi, pemerintah Orde Baru
mencari sumber lain yang berpotensi sebagai sumber pemasukan negara. Pemerintah
melirik sektor pertanian dan memandang sektor ekonomi itu sebagai sektor penggerak
pembangun negara. Pemerintah orde baru kemudian membangun sektor itu guna
meningkatkan produksi pertanian agar mampu meningkatkan pendapatan negara. Di
samping berusaha keras untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah juga
berusaha mengembangkan pertanian yang berorientasi ekspor untuk meningkatkan
devisa negara. Dalam hal ini perkebunan teh, karet dan kelapa sawit berskala besar
dikembangkan di berbagai tempat di Indonesia.
Niat serius pemerintah dalam mengelola perkebunan kemudian melahirkan
program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan PIR-BUN pada tahun 1970 dan
dilaksanakan pada tahun 1977/1978. Yang dilaksanakan berdasar keputusan Presiden
RI no.11 tahun 1974 tentang Repelita II. PIR-BUN dikembangkan pada akhir 1970
dengan menggunakan dana pinjaman Bank Dunia. Namun upaya percepatan
pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai awal 1980-an melalui proyek PIR
(Perkebunan Inti Rakyat) melibatkan perusahaan perkebunan negara (PT Perkebunan
Nusantara - PTPN). Pengembangan PIR ini menggunakan kemitraan yang merupakan
bentuk kerjasama pembangunan dan pengembangan perkebunan dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membimbing perkebunan rakyat di
sekitarnya sebagai plasma melalui suatu sistem kerjasama yang saling
menguntungkan dan berkesinambungan.
Sistem kemitraan usaha inti plasma adalah program andalan pemerintah dalam
pupaya menggalakan program kemitraan dalam perkebunan rakyat dengan perusahaan
milik negara maupun perkebunan besar swasta. Berdasar Keputusan Menteri
Pertanian tentang pedoman kemitraan usaha pertanian, kebun plasma kelapa sawit
bertujuan agar investor membagikan profit kebun kepada masyarakat sekitar kebun
secara langsung. Dalam mode produksi perkebunan seperti ini, perkebunan terdiri
dari sebuah perkebunan inti yang luasnya biasanya beribu-ribu hektar dan dimiliki
oleh sebuah perusahaan besar, dapat perusahaan swasta maupun perusahaan milik
negara.3
3
Sabar, Lindayanti, Zaiyardam Zubir, loc.cit.
Berdasarkan peserta plasmanya, ada dua model pula PIR yang diterapkan dalam
Orde Baru. Pertama adalah Perkebuanan Inti Rakyat yang petani plasmanya mayoritas
transmigran. PIR ini disebut dengan PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat transmigran),
dan telah dikembangkan sejak tahun 1970-an. Kedua adalah Perkebunan Inti Rakyat
Khusus (PIR SUS) yang telah diperkenalkan sejak 1991. Di dalam model ini,
perkebunan dimiliki oleh sebuah perusahaan swasta maupun negara, sedangkan
perkebunan plasma dimiliki oleh penduduk lokal yang pada umumnya pemilik tanah.
Program ini kemudian cepat berkembang terutama tanaman kelapa sawit dan karet
karena ketersediaan tanah yang cukup luas dan harga yang relatif terjangkau sehingga
memberikan keterbukaan ruang bagi para investor asing. Seperti halnya yang terjadi
di Padang Bolak khususnya di Desa Batang Pane II. Usaha perkebunan rakyat di desa
ini mulai dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1990 melalui ide dan pengetahuan
mereka yang diperoleh dari perkebunan-perkebunan besar seperti Aek Nabara, Kota
Pinang dan PT. Sungai Pinang yang kemudian menjadi kebun plasma atau
Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Salah satu tujuan pola perkebunan inti rakyat yaitu
memobilisasi keunggulan atau keahlian teknis dan manajerial yang dimiliki
perkebunan besar untuk membantu mengembangkan plasma bagi pemukim yang
tidak memiliki tanah dan berada di lahan yang cocok untuk komoditas perkebunan.4
Ekspansi perkebunan sawit trans-nasional semakin cepat, sejalan dengan krisis
keuangan Asia pada akhir dekade 1990-an. Organisasi semacam IMF, memberikan
bantuan kepada Indonesia untuk melakukan liberalisasi investasi asing di sektor
kelapa sawit. Sebagai konsekuensinya datanglah banyak investor asing yang membeli
perusahaan perkebunan kelapa sawit nasional yang terancam bangkrut dan masuk
dalam daftar BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sejak 1998, tercatat
sebanyak 45 investor sawit Malaysia masuk bermitra dengan pebisnis Indonesia untuk
membuka 1,3 juta hektar lahan melalui kerjasama.5
Konsep Hak Guna Usaha menjadi masalah pokok dalam pelaksanaan PIR. Hak
Guna Usaha merupakan salah satu kebijakan yang memungkinkan para pemilik modal
melakukan investasi untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia dengan cara
menguasai luas lahan skala luas. HGU telah menjadi salah satu upaya pemerintah
dalam menyerap modal asing. Ekpansi modal besar inilah kemudian mulai mengusik

4
Id.wikipedia.org/Perkebunan_Inti_Rakyat, Akses: 29 April 2020
5
___, Deskripsi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit dan Kearifan Ekoteologis Masyarakat
Terusan, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, hlm. 46
kehidupan masyarakat. Belum lagi pelaksanaan Hak Guna Usaha tidak sesuai dengan
hukum adat yang ada, sehingga timbullah konflik antara penduduk setempat dengan
perusahaan perkebunan.
2. Konflik antara Penduduk setempat dengan Perusahaan Perkebunan
Di berbagai tempat di Indonesia terjadi konflik antara perusahaan inti dengan
penduduk setempat pada umumnya mengenai pencaplokan tanah penduduk oleh
pihak perusahaan. Beda halnya dengan konflik di Nagari Kinali, Kabupaten Pasaman
Barat, Sumatera Barat, mengenai pambangunan kebun plasma untuk penduduk
setempat.

Protes sering dilakukan Komunitas Nagari Kinali terhadap tujuh perusahaan yang
ada di daerah mereka. Awal tahun 1990-2006 menjadi tahun dalam melakukan
perlawanan, sebanyak 50 kali terjadi aksi koletif menuntut perusahaan-perusahaan
perkebunan. 76% aksi dilakukan semenjak bulan juni 19986.

Ninik manak yang merupakan pemimpin sebuah kelompok, pada tahun 1993
menuntut kebun plasma kelapa sawit. Ninik mamak beserta kaumnya menuntut PT.
TSG untuk membangun bagi mereka 100 hektar kebun kelapa sawit dalam bentuk
plasma dengan perusahaan tersebut. Selain pada bulan juni 1998, datuak MM dan
kaumnya juga meminta kebun plasama kelapa sawit seluas 900 hektar dan selama
tahun 1998, 20 orang ninik mamak Nagari Kinali meminta kebun seluas 7000 hektar.

Selanjutnya, Ninik Mamak Nagari Kinali menuntut perusahaan inti yang


beproduksi pada Mei tahun 1997 dan desember 1999. Datuak BBS yang saat itu
menjabat sebagai wakil ketua Kerapatan Adat Nagari setempat dan ketua koperasi
AWM, menuntut direktur PT. AMP untuk mentransfer kebun Plasma kelapa sawit
yang telah dibangun perusahaan tersebut. Selain itu tanggal 1 dan 4 November 2002
orang Kinali mendemonstrasi Buapti Kabupaten Pasaman dan DPRD setempat untuk
menyatakan tuntutan mereka tersebut.

Alasan utama Komunitas Nagari Kinali menuntut Kebun Plasma adalah tanah
yang mereka berikan untuk pembangunan kebun oleh Investor adalah tanah ulayat
mereka yang tidak mereka jual kepada investor. Pembayaran uang oleh investor pada
nini mamak setempat adalah pembayaran uang adat atau uang buangku mamak (tanda

6
DR Afrizal, MA, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-protes Agraris dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Padang: Andalas Universitas Press, 2018, hlm. 153.
bagi pendatang yang diterima sebagai anak nigari). Dengan demikian, tuntutan yang
mereka lakukan adalah untuk kompensasi selain uang adat.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kebanyakan konflik disebabkan oleh
dua hal. Petama, konflik terjadi disebabkan oleh motif mencari keuntungan oleh pihak
perusahaan. Kedua perilaku pemerintah setempat.
BAB III
KESIMPULAN
Karena adanya penuruan pendapatan negara dari minyak bumi, pemerintah Orde
Baru mencari sumber lain yang berpotensi sebagai sumber pemasukan negara.
Pemerintah melirik sektor pertanian dan memandang sektor ekonomi itu sebagai
sektor penggerak pembangun negara. Pemerintah juga berusaha mengembangkan
pertanian yang berorientasi ekspor untuk meningkatkan devisa negara. Dalam hal ini
perkebunan teh, karet dan kelapa sawit berskala besar dikembangkan di berbagai
tempat di Indonesia. Niat serius pemerintah dalam mengelola perkebunan kemudian
melahirkan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan PIR-BUN pada tahun 1970
dan dilaksanakan pada tahun 1977/1978.
Konsep Hak Guna Usaha menjadi masalah pokok dalam pelaksanaan PIR. Hak
Guna Usaha merupakan salah satu kebijakan yang memungkinkan para pemilik modal
melakukan investasi untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia dengan cara
menguasai luas lahan skala luas. HGU telah menjadi salah satu upaya pemerintah
dalam menyerap modal asing. Ekpansi modal besar inilah kemudian mulai mengusik
kehidupan masyarakat. Belum lagi pelaksanaan Hak Guna Usaha tidak sesuai dengan
hukum adat yang ada sehingga timbullah konflik antara penduduk setempat dengan
perusahaan perkebunan.
Daftar Pustaka
Budi Rajab, “Negara Orde Baru: Berdiri Di Atas Sistem Ekonomi dan Politik Yang
Rapuh”, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 6, No. 3, November 2004.
Sabar, Lindayanti, Zaiyardam Zubir, “JALAN TERJAL MEMBENTUK KARAKTER
BANGSA: DIALEKTIKA PETANI VERSUS PENGUSAHA DAN PENGUASA DI
SUMATERA BARAT, RIAU DAN JAMSI 1970.2010”, Volume. 6, No 2, 2017.
___, Deskirpsi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit dan Kearifan Ekoteologis Masyarakat
Terusan, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Id.wikipedia.org/Perkebunan_Inti_Rakyat, Akses: 29 April 2020
DR Afrizal, MA, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-protes Agraris dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Padang: Andalas Universitas Press, 2018.

Anda mungkin juga menyukai