Konsep ekonomi sektor pertanian dengan perkebunan sebagai subsektornya sudah menjadi dasar pemikiran para pemimpin bangsa sejak awal Indonesia merdeka. Cita cita itu membutuhkan waktu yang panjang dalam penerapan dikarenakan geliat kondisi perekonomian dan perpolitikan negara, sehingga secara konkrit baru menjadi bagian dari perencanaan secara nasional pada tahun 1969 yang ditetapkan pada Garis Besar Haluan Negara. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat rencana jangka panjang 25 tahun pertama yang dituangkan dalam serangkaian Repelita, (Repelita I sampai V) dimulai sejak 1969/1970 secara tegas menetapkan implementasi pelaksanaan yang diwujudkan dalam bentuk proyek pembangunan. GBHN ini menggariskan bahwa setiap kebijakan dan program departemen dan semua lembaga harus berdasarkan amanah Trilogi Pembangunan yaitu : pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Perkebunan inti rakyat merupakan konsep Bank Dunia, yang mana pendapat tersebut perlu ditinjau secara bijaksana, karena konsep ini lebih merupakan pemikiran murni anak bangsa. PIR adalah suatu sejarah panjang dalam dunia perkebunan di Indonesia, dan menjadi milestone didalam pola dasar pembangunan ekonomi pertanian secara nasional sampai masa kini. Ide awal para pendahulu pemimpin bangsa ini lahir ketika mempelajari sejarah panjang pertanian secara umum dan perkebunan khususnya yang dimulai dari zaman VOC, Cultuur Stelsel 1830 sampai dengan Agrarisch Wet 1870, terlihat bahwa pertanian menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda. Pemerintah penjajahan mampu mendapatkan keuntungan ekonomis yang sangat besar dari hasil pertanian. Di zaman prakemerdekaan hasil pertanian tersebut dikelola dengan pola kapitalis, sehingga hasil yang besar tersebut tidak dinikmati oleh rakyat hindia belanda karena peranannya yang sangat kecil didalam rantai ekonomi perkebunan pada saat itu. Segera setelah Republik Indonesia berdiri secara defacto pada 1949, salah satu tindakan ekonomi yang langsung dilaksanakan adalah dengan
menasionalisasi perkebunan milik Negara Belanda pada tahun 1951
(terbentuknya Perusahaan Perkebunan Negara / PPN Lama), nasionalisasi ini berlanjut lagi dengan kebijakan kebijakan lain dalam rangka mengatur konsepsi peran pertanian secara umum dan perkebunan khususnya dalam kerangka konsep pembangunan nasional. Tonggak berikutnya terjadi pada 10 Desember 1957, dimana dalam rangka perjuangan mengembalikan Irian Barat kepangkuan RI, dilakukan pengambil alihan perkebunan milik swasta Belanda. Perkebunan Swasata Belanda ini selanjutnya disebut dengan PPN Baru. PPN Lama dan PPN Baru kemudian digabung menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN). Dengan PP No. 142 sampai dengan 175 tahun 1961, seluruh perkebunan di Indonesia dikelompokkan ulang menjadi 34 kesatuan/ unit, dan hal menjadi ini merupakan reorganisasi pertama dari serangkaian reorganiasi didalam pengelolaan BUMN perkebunan. Tindak lanjut dari penggabungan itu adalah dibentuknya BPU-PPN Cabang. BPU-PPN Cabang ini bertugas melakukan konsolidasi, penataan, dan penguatan sehingga berkemampuan untuk mendukung pembangunan perkebunan rakyat. Hasil dari penggabungan dan konsolidasi tersebut dapat dilihat dari berkembangnya BUMN perkebunan sehingga memiliki unit-unit yang mampu berperan strategis dalam mendukung pengembangan perkebunan. Unit-unit milik bersama BUMN tersebut antara lain adalah tumbuhnya Pusat-Pusat Lembaga Penelitian untuk menjadi sumber paket teknologi, Kebun-Kebun Induk sebagai sumber bibit bermutu, dan Lembaga Pendidikan untuk pengembangan SDM. Dalam rangka mendukung upaya pengembangan perkebunan rakyat, BUMN perkebunan juga mempunyai peran kunci sebagai perusahaan inti pengembangan perkebunan pola PIR. Didalam sejarah perkembangan BUMN perkebunan, tidak dapat dilepaskan peran dari Direktorat Jenderal Perkebunan sebagi pembina BUMN perkebunan ditingkat departemen. Ditjen Perkebunan mempunyai sejarah yang panjang dalam proses kelahirannya. Diawali oleh Kabinet Dwikora, 27 Agustus 1964 - 25 Maret 1966, untuk pertama kalinya dibentuk Departemen Perkebunan dengan ruang lingkup hanya Perkebunan Besar.
Penyesuaian dilakukan pada kabinet Ampera, 25 Juli 1966 -17 Oktober
1967. Departemen Perkebunan membawahi Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat, tetapi belum mencakup perkebunan besar swasta. Baru pada tahun 1968, di bawah Departemen Pertanian dibentuk Ditjen Perkebunan yang merupakan penggabungan lengkap dari Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat serta ditambah dengan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perkebunan besar swasta. Dalam sejarah panjang perkebunan nasional, harus diakui bahwa peran besar Direktur Jenderal Perkebunan saat itu sangatlah besar. Mayor Jenderal (Purn) A. Moeloek Loebis (alm), sebagai Direktur Jenderal Perkebunan pertama periode 1968-1976 yang juga masih merangkap sebagai ketua BKU PPN memiliki visi bahwa perkebunan rakyat harus dikembangkan sejajar dengan perkebunan besar, dan menuangkannya dalam kerangka landasan untuk kesiapan langkah implementasinya. Konsep awal tersebut kemudian dimantapkan dan disosialisasikan oleh Mayor Jenderal (Purn) R. Pang Suparto Direktur Jenderal Perkebunan periode 1976-1982 yang selanjutnya disempurnakan dan diutuhkan oleh Dr. Ir Rachmat Soebiapradja Direktur Jenderal Perkebunan periode 19821992. Sebelum masa kemimpinan A Moeloek Loebis, peran Dirjen perkebunan lebih banyak sebagai administrator bagi perkebunan besar baik BUMN maupun swasta, sedangkan BUMN perkebunan sendiri lebih banyak menjadi sumber eksploitasi bagi kepentingan ekonomi negara sehingga mengabaikan perannya sebagai sumber kesejahteraan rakyat dengan mengabaikan investasi dan eksploitasi yang seharusnya dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan perkebunan. Membaiknya situasi ekonomi Indonesia sejalan dengan perubahan peta politik membuka pula peluang untuk memulai lagi cita cita lama membangun BUMN perkebunan yang kuat berbarengan dengan perkebunan rakyat. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi pada waktu itu salah satu langkah peletakan dasar yang ditempuh ialah pemanfaatan kredit bantuan luar negeri untuk subsektor perkebunan mulai tahun 1969. Dalam perkembangannya, tata cara pemanfaatan kredit luar negeri tersebut telah diupayakan sebaik mungkin melalui suatu proses dari periode ke periode.
Proses tersebut berlangsung lewat serangkaian pengkajian dan
pembahasan yang dilakukan bersama instansi terkait, sehingga dapat dicapai kesepahaman pendekatan pelaksanaannya. Untuk pelaksanaan kegiatannya, diperlukan dukungan pembiayaan yang besar, apalagi pelaksanaannya dilakukan secara simultan dibanyak lokasi. Mengingat pada waktu itu penyediaan kredit jangka panjang dalam negeri belum tersedia, maka pendanaan dilakukan dengan bantuan kredit luar negeri. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan tersebut, pengembangan pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang kemudian dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, yang kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Persyaratan kredit Bank Dunia bersifat detail, teliti, ketat, mendikte, dan cenderung menekan, utamanya terhadap isu-isu global yang sedang berkembang seperti pelestarian lingkungan hidup, konservasi dan kelayakan sosial. Persyaratan Bank Dunia tersebut, ternyata sangat bermanfaat dalam meletakkan dasar bagi perjalanan pengembangan perkebunan kelapa sawit ke depan. Persyaratan yang dimaksud pada hakekatnya memperkenalkan penerapan kriteria layak secara ekonomi, secara sosial dan ramah lingkungan yang merupakan unsur-unsur pokok konsep pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan konsep PIR melibatkan perusahaan besar sebagai inti yang akan membina perkebunan rakyat sebagai plasma, dimana pada saat awal konsep ini dijalankan perkebunan swasta masih dianggap belum terlalu kuat sehingga pilihan jatuh pada BUMN untuk mengembangkan pola PIR. Agar pembangunan perkebunan pola PIR dapat dilaksanakan menurut standar teknis yang berlaku, fungsi Perusahaan Inti memegang peranan yang penting dan menentukan.
Situasi dan kondisi areal yang akan di land clearing
Persyaratan umum setiap rencana proyek bantuan Bank Dunia cukup ketat, detail dan teliti. Selain persyaratan kelayakan fisik dan teknis rencana proyek, juga dikaji secara mendalam kemampuan teknis maupun kemampuan keuangan perusahaan inti, dimana untuk perusahaan inti yang dicalonkan sebagai bapak angkat dikaji posisi dan proyeksi menyeluruh keuangannya. Analisa yang dilakukan meliputi penyediaan
dana sendiri dan kemampuan mempertahankan posisi keuangan yang
sehat. Untuk hal tersebut kepada perusahaan yang dicalonkan sebagai bapak angkat dilakukan proses penguatan, yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai berikut : Tahapan Pertama (1969 - 1972). Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP. Penguatan perusahaan tersebut nantinya menjadi bukti kesanggupan calon Perusahaan Inti dalam mengimplementasikan pola PIR. Tahap Kedua (mulai 1973). Merintis prototype proyek pola UPP dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) sebagai prototype pola UPP/PMU (Project Management Unit) dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN) sebagai prototype pola PIR. Tahap Ketiga (mulai 1977). Mengembangkan perkebunan dengan pola PIR. Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Alue Ie Mirah Provinsi NAD dan Tebenan di Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80an, yaitu proyek NES IV Betung. Pada setiap NES yang dibangun selalu ada komponen untuk memperkuat PTP lainnya. Ini dilakukan sebagai persiapan untuk menjadikannya inti pada tahap pengembangan PIR selanjutnya. Bantuan Bank Dunia di setiap rencana pengembangan proyeknya secara garis besar meliputi studi kelayakan, apraisal, dan negosiasi. Studi kelayakan dilakukan oleh perusahaan konsultan internasional dengan tujuan meneliti dan mengkaji kelayakan dari aspek teknis, sosial, finansial, ekonomi, lingkungan, pemasaran, dan manajamen. Sedangkan apraisal merupakan kegiatan penilaian yang mendalam oleh pihak lender untuk menilai dan mengkaji hasil studi kelayakan yang tujuan akhirnya untuk menentukan layak atau tidaknya calon proyek pola PIR tersebut. Pada saat negosiasi, rencana perjanjian pinjaman calon bank pelaksana sudah harus ditetapkan. Sejak awal pembangunan, subsektor perkebunan sudah diletakkan sebagai salah satu kekuatan andalan dalam
pembangunan ekonomi nasional. Hal tersebut terkait dengan ciri umum
usaha perkebunan yang hasil produksinya merupakan bahan baku industri atau ekspor dan pengusahanannya sebagian besar merupakan usaha perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, keberhasilan subsektor perkebunan berarti keberhasilan juga dalam melaksanakan amanat Trilogi Pembangunan. Pemilihan BUMN sebagai wahana pembangunan khususnya dalam pengembangan PIR bukanlah tanpa alasan. Paling tidak dapat dilihat bahwa BUMN mempunyai peran historis dalam pembangunan perkebunan pada umumnya. Ditinjau dari sejarah pembentukannya, BUMN terkait langsung dengan peristiwa pengakuan kedaulatan dan perjuangan perebutan Irian Barat pada tanggai 10 Desember 1957. Hal ini berarti bahwa kelahiran BUMN merupakan bagian dari proses langkah patriotik perjuangan sejak revolusi fisik sampai dengan tercapainya keutuhan kedaulatan. Proses konsolidasi, penataan dan penguatan yang dimaksud sangat penting artinya karena bila potensi peluang yang akan hilang kalau tidak dilakukan langkah konsolidasi atau bahkan yang dilakukan justru membagi menjadi unit kecil atau bahkan dilepaskan pemilikannya kepada pihak lain. Sebagai sebuah perusahaan perkebunan besar, BUMN memiliki kemampuan menyediakan berbagai kemudahan dalam mendukung pengembangan usaha perkebunan rakyat seperti : sumber benih/bibit berbagai jenis komoditas utama perkebunan melalui kebun-kebun induk yang dimiliki, sebagai sumber paket teknologi baik dari hasil Pusat Penelitian yang dimiliki maupun pengalaman praktek pengelolaan kebunnya, dan peningkatan keterampilan SDM melalui Lembaga Pendidikan Perkebunan. Dengan demikian, BUMN berperan sangat strategis dalam mewarnai berlangsungnya kegiatan pengembangan perkebunan, khususnya PIR. Melalui peran strategis dan kepioniran BUMN perkebunan, tercapai keberhasilan pengembangan perkebunan PIR dan penyediaan berbagai akses kemudahan bagi kegiatan pengembangan usaha perkebunan rakyat sehingga perkembangannya terus meningkat, jangkauannya semakin menyebar termasuk berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar didunia sejak tahun 2006, dan sekitar 40% dari total luas areal merupakan usaha perkebunan rakyat. Selanjutnya peran BUMN perkebunan selaku perusahaan inti menjadi contoh dan stimulan bagi perkebunan besar swasta untuk turut serta
membangun perkebunan di wilayah bukaan baru. Pada awal tahun 80an
areal perkebunan kelapa sawit swasta hanya seluas 88 ribu Ha atau 30% dari total areal seluas 294 ribu Ha, namun kemudian pada tahun 2008 areal meningkat menjadi 2.903 ribu Ha atau 41% dari total areal perkebunan kelapa sawit seluas 7.020 ribu Ha. Sebaliknya areal perkebunan rakyat pada awal tahun 80an masih nol (0) Ha, pada tahun 2008 telah menjadi 3.178 ribu Ha atau 45% dari total areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.020 ribu Ha. Dengan demikian maka terdapat titik hubungan nyata untuk menjadikan tanggai 10 Desember 1957 sebagai Hari Perkebunan yaitu harinya seluruh masyarakat perkebunan. Perbedaan plasma inti Perkebunan inti : perkebunan yang dimiliki perusahaan Perkebunan plasma : perkebunan yang akan diserahkan kepada petani setempat pada saat siap menghasilkan Tujuan dibangun plasma 1. Tumbuhnya semangat kebersamaan ekonomi petani program kemitraan/petani plasma dalam wadah kelompok kerja produktif untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan denan pengembangan agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya di wilayah kebun plas,a/kebun kemitraan. 2. Meningkatkan kemampuan sumber daya manuasia petani kebun kemitraan/petani plasma dalam aspek teknis budidaya atau menyerap alih teknologi budidaya kelapa sawit dari Perusahaan Inti. 3. Tumbuhnya kesadaran dan semangat untuk meningkatkan produktivitas kebun kemitraan, baik hasil maupun rendemen. 4. Mempersiapkan organisasi petani (Kelompok, Koperasi, baik Koperasi Primer maupun Koperasi Sekunder) dalam mengelola kebun kemitraan/kebun plasma, dan kegiatan perekonomian masyarakat perkebunan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan di pedesaan dan mampu berperan secara aktif dalam sistem agribisnis di wilayah perkebunan pola kemitraan.
Contoh plasma di riau
PT Mega Nusa Inti Sawit (PT MNIS) seberida dan batang Cinaku. (http://www.antarariau.com/berita/24404/perusahaan-sawit-wajib-bangunkebun-plasma)
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro