Anda di halaman 1dari 152

Bab.

1
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
DI INDONESIA

Kebijakan Perumahan dan Permukiman Nasional di Indonesia pada masa sebelum merdeka
(Pra Kemerdekaan) masih terbatas pada penyediaan perumahan untuk: Pegawai Negeri,
Rumah Sewa dan Perbaikan lingkungan dalam rangka kesehatan. Sementara pelaksanaan
lebih lanjut mengenabbi kebijakan perumahan dan permukiman masyarakat pada waktu
tersebut awalnya dijalankan melalui Burgerlijke Woningsregeling 1934 yang pelaksanaannya
menggunakan Algemene Voorwaaden voor de uitvoering bij aaneming van Openbare Werken
in Indie 1941 serta Indische Comptabiliteits Wet. Pelaksanaan ketentuan tersebut dilakukan
oleh Departement Van Verkeer en Waterstaat yang menangani perumahan rakyat
(Volkshuivesting) dan bangunan gedung/ rumah Negara. Pemerintah (Landsgeuwen) Pest
Bestrijding untuk menangani wabah penyakit perkotaan yang sudah memiliki permasalahan
yang kompleks. Sementara itu pada masa Jepang masalah perumahan ditangani oleh
“Doboku” yang merupakan lembaga pengganti Departement Vab Verkeer en Waterstaat.

Pada masa itu pola permukiman di Indonesia diatur oleh pemerintah kolonial pada masa
tersebut dibuat dengan pola teratur mengikuti pola perumahan di Eropa. Pola permukiman
untuk golongan rakyat umumnya tidak teratur, buruk dan kurang fasilitas. Ini sebenarnya adalah
siasat penjajah untuk merusak lingkungan. Kondisi lingkungan yang kurang baik relatif akan
membuat kondisi masyarakat tidak solid. Kemudian timbul program yang namanya: “gilded
getto” dengan maksud merubah pola permukiman rakyat agar lebih rapi dan teratur. Sasaran
pemerintah waktu itu dengan dibangunnya hunian yang lebih baik, murah dan dibuat besar-
besaran diharapkan mengurangi niat penduduk Indonesia akan kemerdekaannya. Pada saat itu
program ini tidak selesai karena ada Perang Dunia ke 2. Banyak rumah-rumah kosong waktu
itu, lalu digunakan markas pejuang. Lalu pemerintah kemudian membentuk :
a. Dinas Perumahan dengan maksud mengatur penggunaan rumah sitaan tersebut
b. Dibentuk kelompok-kelompok masyarakat untuk memudahkan pengontrolan.

Lalu kemudian pada tahun 1947 kebijakan yang dijalankan pada awal kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945 mengalami perkembangan dengan dibentuknya Kementrian Pekerjaan Umum
dan Perhubungan yang antara lain menangani perumahan pada tingkat “Balai Perumahan”.
Pada saat itu sebagian penanganan tugas dan fungsi Kementrian mulai dilakukan lebih
terstruktur pada dengan adanya tingkat: Jawatan, Balai dan Bagian. Sedangkan kelembagaan

1
di daerah mengikuti struktur pada jaman penjajahan Jepang yang sebagian besar mengikuti
organisasi jaman kolonial Jepang yang sebagian besar mengikuti organisasi jaman kolonial
Belanda dengan membentuk Dinas-Dinas dan Jawatan-Jawatan. Memahami sejarah
perumahan dan permukiman kota penting untuk dilakukan karena ada cukup banyak bangunan
berkarakter kolonial di Indonesia untuk analisis strategi perkembangan dan pembangunan
perumahan dan permukiman di Indonesia selanjutnya baik secara makro maupun mikro.

Balai Perumahan antara lain membawahi Centrale Stiching Wederopbouw, diantaranya di


Jakarta untuk penanganan pembangunan perkotaan dengan cabang-cabangnya dalam bentuk
Regionale Opbouw yang membangun kota Satelit Kebayoran. Perkembangan kota satelit ini
kemudian juga berkembang dengan konsep Jabotabek dan Jabodetabek. Hal ini juga adalah
awal yang mendasari pesatnya perkembangan perumahan di kota Jakarta dan menyebar ke
kota-kota lainnya. Berbagai kebijakan dan arahan pembangunan diterapkan memperlihatkan
kemajuan di bidang perumahan. Akan tetapi di sisi lain tentunya banyak pula masalah seperti
ketersediaan sarana-prasarana, kemacetan lalu lintas dan berbagai masalah sosial yang
senantiasa memerlukan penelitian dan solusi konkrit masalah.

Gambar 1
Kondisi perumahan Pecinan pada zaman penjajahan Belanda, dimana kondisi negara saat itu masih
belum merdeka, tingkat sosial dan ekonomi yang rendah menciptakan penurunan kualitas lingkungan
https://anisavitri.wordpress.com/page/52/?s

Pada masa ini dibentuk kongres perumahan rakyat oleh Departemen PUTL hasil yang dapat
dicapai ialah dibentuknya Yayasan Kas Pembangunan Perumahan Rakyat untuk membangun
perumahan di setiap daerah. Pada tanggal 25 - 30 Agustus 1950 telah diselenggarakan
“Kongres Peroemahan Rakjat Sehat” di Bandung. Kongres tersebut dihadiri oleh Peserta dari
63 Kabupaten dan Kotapradja, 4 Propinsi, wakil dari Djawatan Pekerjaan Oemoem, Oetoesan
Organisasi Pemoeda, Barisan Tani, Pengoesroes Parindra dan tokoh-tokoh perseorangan yang
memaparkan masalah: Pembangunan Cepat; Bahan untuk Pembangunan Rumah-rumah
Rakyat: Bentuk Perumahan Rakyat; Kepentingan Kesehatan dalam membangun Rumah
Rakyat; Kepentingan Kesehatan dalam dalam Membangun Rumah. Adapun selengkapnya

2
mengenai sejarah perumahan dan permukiman di Indonesia setelah merdeka adalah seperti
deskripsi periodisasi berikut di bawah ini :

1.1. MASA ORDE LAMA

Pada tahun 1955 dengan kerjasama dengan PBB di Bandung di bentuk pusat perumahan
negara tropis dibentuk Regional Housing Center yang menyelidiki masalah permukiman.
Lembaga ini kemudian berkembang menjadi DPMB (Direktorat Penyelidikan Masalah
Bangunan) lalu dirubah menjadi LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan). Dari
lembaga inilah menghasilkan prototipe-prototipe perumahan yang ada di Indonesia juga
material bahan bangunan untuk perumahan yang kemudian direalisasikan pada masa orde
baru oleh setiap PELITA dan oleh PERUMNAS.

LPMB pada tahun 1984 berubah nama menjadi Puslitbangkim dibawah naungan Departemen
PU, setelah sebelumnya sempat berganti nama menjadi Direktorat Penyelidikan Masalah
Bangunan (DPMB). Sementara itu Perumnas didirikan berdasarkan peraturan pemerintah
nomor 29 tahun 1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1988 dan
disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah no. 15 tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004. Sejak
didirikan tahun 1974, Perumnas selalu tampil dan berperan sebagai pioneer dalam penyediaan
perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Gambar 2
Untuk kategori perumahan untuk kaum Kolonialis terlihat berbeda yakni, terlihat sudah teratur namun memiliki ciri
khas kaum pendatang yang khas. Maksud ciri khas dibawah ini yakni adanya ruang terbuka yang menghadap ke
teras belakang seperti huruf L atau U atau adanya gaya khas Eropa Mediterania yang tengah berkembang di era
mereka pada zamannya. Peta di atas adalah figure ground bentukan awal permukiman di kawasan sekitar Gedung
Sate Bandung.
https://anisavitri.wordpress.com/page/52/?s

3
1.2. MASA ORDE BARU

PELITA I (1969-1974) masalah perumahan dan permukiman telah lebih jelas terdapat pada
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Masalah perumahan dan permukiman di Indonesia
pada saat ini ditandai oleh adanya keadaan tempat tinggal serta lingkungan yang pada
umumnya jauh dari memenuhi syarat-syarat kehidupan keluarga yang layak. Karena setiap
tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA), perhatian pemerintah terhadap pembangunan
semakin meningkat.

1.3. PERBANDINGAN PROGRAM PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN PELITA I-VI DAN KINI

1. PELITA I (1969-1974)
Pada masa ini program mengenai masalah perumahan dan permukiman, masih bertitik
berat pada :
a.Penelitian dan pengembangan di bidang teknis seperti mencari prototipe-prototipe
rumah, meneliti cara-cara pembangunan dan bahan bangunan dengan maksud dapat
mengusahakan pembangunan rumah yang efisien dengan biaya relatif.
b.Penelitian dan pengembangan di bidang kebijaksanaan dan program seperti
mempelajari sistem kelembagaan, pembiayaan dan sarana penunjang bagi
pelaksanaan program perumahan pada pelita selanjutnya.
c.Menyelenggarakan kegiatan penyuluhan seperti latihan-latihan, pameran-pameran
teknis, publikasi dan proyek percontohan.

2. PELITA II (1974-1979)
Pada Pelita II ini pemenuhan kebutuhan sandang, pangan masyarakat mulai lebih baik,
demikian pula berangsur baik untuk penanganan kebutuhan perumahan. Pada tahap ini
telah mulai dilakukan pengembangan program dengan cara penyempurnaan
kebijaksanaan serta konsepsi-konsepsi yang komprehensif tentang perkembangan
perumahan. Pada Pelita II juga terjadi peningkatan harga minyak dunia yang mendorong
pada perkembangan industri hilir dan industri terkait lainnya. Kondisi ini mendorong
perkembangan pembangunan terutama di perkotaan termasuk permukiman dan
infrastrukturnya. Maka dilakukan usaha-usaha dan langkah-langkah yang mencakup :
 Membentuk BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional) yang berfungsi
membantu presiden dalam merumuskan kebijaksanaan dan petunjuk-petunjuk
pelaksanaan di bidang pembinaan pembangunan perumahan dan mengkordinasi
pengawasan pelaksanaan.
 Mendirikan PERUMNAS sebagai upaya menangani pembangunan perumahan
secara langsung dibawah menteri PU.
 BTN (Bank Tabungan Negara) sebagai wadah pembiayaan proyek-proyek

4
perumahan proyek dengan nama bank hipotik Negara.
 Mengikut sertakan pihak swasta untuk berkecimpung di bidang pembangunan
perumahan secara khusus atau dibidang konstruksi secara umum. pada pengelola
Real Estate diwajibkan membangun rumah mewah juga rumah menengah dan
murah dengan perbandingan 1 : 2 : 3.

3. PELITA III (1979-1984)


Pada Pelita III ini, pemerintah sudah lebih mendetail secara rinci mengenai konsepsi 8
jalur pemerataan lebih dari sekedar sandang, pangan dan papan yang masih umum
sifatnya. Termasuk dalam 8 jalur pemerataan adalah mengenai fasilitas kesehatan dan
juga fasilitas kesempatan kerja. Dengan demikian rincian pembangunan fisik lebih detail
lagi termasuk pembangunan perumahan.

Untuk membangun golongan masyarakat dibantuk PT. PAPAN SEJAHTERA yang


khusus membantu masalah KPR ( Kredit Pemilikan Rumah ).

Pada realisasi program pembangunannya :


Kota : Perintisan perbaikan kampung 15000 ha untuk 3.500.000 penduduk
dengan terlaksana untuk di 200 kota/ 11.757 ha/ 2.500.000
penduduk.
Desa : Perintisan pemugaran perumahan dan lingkungan di 6000 lokasi
desa.

4. PELITA IV (1984-1989)
Perumahan dan permukiman lebih ditingkatkan lagi dan dikembangkan.
a. Menjelang tahun 2000 sebagian besar masyarakat telah menempati rumah sehat
dalam lingkungan yang sehat.
b. Pembangunan perumahan di daerah perkotaan telah dapat mengimbangi
pertambahan penduduk.
c. Perintisan perbikan perumahan dan lingkungan di daerah pedesaan secara
terpadu telah mencapai semua desa.
d. Sistem kelembagaan sistem pembiayaan, sistem teknologi dan perundang-
perundangan mampu mendukung dan menjamin kesinambungan pembangunan
perumahan dan permukiman dalam jangka panjang dan skala yang panjang.
e. Untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam strategi pengembangan.

Kerangka Landasan :
a. Pemanfaatan tata ruang fisik wilayah dan pengendalian pembangunan.
b. Penyiapan kelembagaan perumahan di tingkat daerah
c. Pemanfaatan sistem pembiayaan sektor formal dan pengembangan sitem non
formal.

5
Tujuan Landasan :
a. Kependudukan dan perumahan
b. Pengembangan wilayah
c. Peraturan dan perundang-undangan
d. Pertanahan dan sarana
e. Moneter dan pembiayaan
f. Teknologi dan industri konstruksi
g. Kelembagaan

5. PELITA V (1989-1994)
Pada tahapan ini diperlukan konsepsi yang secara nasional mampu memacu upaya
pembangunan nasional dalam Pelita V. Pemerintah mengkhususkan pembangunan
pada bidang pertanian dan industri. Dengan demikian di kota dipusatkan perbaikan
pembangunan perumahan juga untuk masyarakat industri. Sementara di desa juga
diterapkan konsep perumahan petani.

Usaha-usaha pembangunan perumahan harus benar-benar diorientasikan pada


masalah manusia sebagai obyek pembangunan antara lain :
- Sebagai masyarakat telah menempati rumah layak
- Pembangunan perumahan khusus di daerah perkotaan telah dapat mengimbangi
pertambahan penduduk
- Perintisan dan penyuluhan pemugaran perumahan desa telah mencapai sebagai
besar desa.

Sistem kelembagaan peraturan perundang-undangan pembiayaan, teknologi dan


pengelolaan bahan-bahan bangunan terjamin.

6. PELITA VI (1994 -1999)


Tahapan ini sudah masuk pada tahapan kondisional pada saat dimulainya upaya
pengembangan dan pembangunan kepada tahap maju. Tahapan ini untuk mengejar
segala kekurangan dan ketinggalan jumlah kebutuhan rumah dan untuk meningkatkan
mutu rumah yang baik serta dengan tingkat kecukupan yang tinggi yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat.

Tujuan :
- Pembangunan perumahan yang seimbang dengan pertambahan penduduk
- Rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat.

6
1.4. PROGRAM PERUMAHAN RAKYAT

Perumahan merupakan kebutuhan pokok, sangat penting pula artinya dalam meningkatkan
stabilitas sosial, dinamika dan produktivitas kerja, sehingga pemecahan masalah perumahan
dapat mempunyai pengaruh positif bagi proses pembangunan pada umumnya. Tujuan
pembangunan perumahan rakyat adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang
memadai, di dalam lingkungan yang sehat, serta memenuhi syarat-syarat sehat, kuat dan
dalam jangkauan daya beli masyarakat umum.

Perumahan dalam arti luas meliputi rumah dan segala fasilitas pendukungnya, yang bersama-
sama merupakan suatu lingkungan perumahan. Fasilitas lingkungan perumahan mencakup
penyediaan air minum, jaringan saluran pembuangan, jalan lingkungan, dan sebagainya yang
semuanya penting bagi pemeliharaan kesehatan lingkungan. Untuk menanggulangi masalah
kebutuhan perumahan diperlukan waktu yang lama dan investasi yang besar. Oleh karenanya
perlu dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas kebutuhan dan kemampuan.
Karena itu jelas bahwa pemecahan masalah perumahan harus merupakan suatu usaha yang
kontinu dan berkesinambungan, serta pemecahannya tidak dapat dilakukan oleh pemerintah
sendiri tetapi merupakan kegiatan seluruh masyarakat.

Pembangunan perumahan membutuhkan dukungan penyediaan sarana-sarana fisik, antara


lain tanah, bahan bangunan, dan sarana-sarana penunjang lain yang bersifat non-fisik seperti
lembaga yang mengatur segala sesuatu tentang perumahan, koperasi perumahan, yayasan
pembangunan perumahan, sistem pembiayaan perumahan dan sebagainya. Pembinaan dan
pengembangan sarana fisik maupun non-fisik tersebut dapat menciptakan iklim
pembangunan yang potensial bagi pembangunan perumahan rakyat. Tersedianya sarana-
sarana ini merupakan prasyarat bagi pelaksanaan suatu program pembangunan perumahan
yang tertib dan terarah serta lebih melibatkan potensi masyarakat.

Cara pendekatan dan penanggulangan serta program pembangunan perumahan tidak sama
untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di daerah perkotaan pada umumnya meng-
hadapi permasalahan dari segi kuantitas yaitu kurangnya jumlah perumahan dan fasilitas
lingkungan lainnya, sedangkan di daerah pedesaan permasalahan lebih pada segi kualitas
rumah dan lingkungannya. Berikut merupakan beberapa program perumahan rakyat pada
wilayah perkotaan dan pedesaan.

Kota :
a. Perbaikan kampung (perintisan 400 kota dan penyempurnaan 200 kota)
b. Peremajaan kota dengan perintisan di kota-kota besar
c. Pembangunan rumah sederhana (300.000) unit baik oleh perumnas maupun swasta.
d. Pengembangan kota-kota baru.

7
Desa :
a. Perintis Pemugaran Perumahan Desa
b. Pemugaran dan Pemugaran Lingkungan Desa secara terpadu dan selektif.

Sasaran :
- Pemanfaatan sistim perangkat lunak
- Pembiayaan
- Pertahanan
- Perundang-undangan

Pemerintah mempunyai stategi dan arah pemikiran yang berencana bertahap sesuai dengan
kemampuan Negara untuk menyediakan perumahan dan permukiman yang layak bagi
masyarakat Indonesia. Meski pembangunan perumahan sebenarnya telah mewujudkan
konsep-konsep besar seperti kota baru, akan tetapi sebenarnya tidaklah sudah betul-betul
sempurna. Perumahan baru belum optimal menciptakan kemandirian masyarakat desentralis.
Terdapat perumahan kota baru yang cukup berhasil misalnya BSD (Bumi Serpong Damai),
dimana selain daripada menciptakan pusat bisnis, perumahan ini juga menyediakan fasilitas
pendidikan yang lengkap sejak pendidikan dasar sampai dengan universitas. Hanya
kekurangan dari perancangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) adalah:

Pada masa ini juga sudah mulai diterapkan Koperasi untuk membantu masyarakat memiliki
rumahnya. Adapun selanjutnya yakni Pelita ke VII dan selanjutnya kurang lazim dipergunakan,
setelah masa reformasi atau yang dahulu ditargetkan menjadi era “tinggal landas”, hal ini akan
lebih banyak dan spesifik dideskripsikan pada bab-bab selanjutnya misalnya : Pembangunan
Lingkungan Perumahan, Perumahan Sederhana dan Rumah Susun. Ada banyak konsep-
konsep kontemporer perumahan yang sudah berkembang yang akan dideskripsikan pada buku
ini.

Adapun inti dari pembangunan perumahan permukiman pada periode 2005 – 2025 menurut
Bapenas, adalah :
1. Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan
pada: (i). Penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai,
layak dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan
sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara :
profesional, kredibel, mandiri dan efisien; (ii). Penyelenggaraan pembangunan
perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu
membangkitkan potensi pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal,
peningkatan lapangan kerja serta peningkatan pemanfaatan dan penyelenggaraan
pembangunan; dan (iii) Pembangunan perumahan, prasarana dan sarana
pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
2. Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait

8
lainnya seperti: industri, perdagangan, transportasi, pariwisata dan jasa serta upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan dengan
melalui pemenuhan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan
pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber
daya air serta kesehatan. Pembangunan air minum dan sanitasi dilakukan melalui: (i).
Peningkatan kualitas pengelolaan asset (asset management) dalam penyediaan air
minum dan sanitasi, (ii). Pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi dasar bagi
masyarakat, (iii). Penyelenggaraan kebutuhan air minum dan sanitasi yang kredibel
dan profesional dan (iv). Penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam
pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

9
Bab. 2
PENGERTIAN PENGERTIAN DASAR
DAN KEPRANATAAN PERUMAHAN
DI INDONESIA

Strategi penanganan masalah perumahan di Indonesia, memerlukan pengetahuan yang


komprehensif. Kota yang sedang berkembang memiliki masalah yang multidimensi sehingga
memahami teori perlu pula dikaitkan dengan sejarah, selain itu memerlukan pemahaman
secara detail mengenai pengertian-pengertian mendasarmya selain itu diperlukan pula
pengetahuan mengenai kepranataan, sehingga pemahaman dapat disesuaikan dengan kondisi
yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Menurut Saftar (1978) dalam Budiharjo (1998),
disebutkan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan perumahan rakyat secara massal,
memang rumah lebih dilihat sebagai barang konsumsi yang pasif dan statis. Akan tetapi
kemudian disadari bahwa perumahan merupakan kebutuhan sosial dan bahkan dapat menjadi
kebutuhan sosial dan bahkan dapat berperan sebagai instrumen pembangunan yang aktif dan
dinamis baik pada tingkat lokal perkotaan maupun secara nasional.

2.1. LATAR BELAKANG

Menurut Doxiadis (1971), perumahan adalah ruang dengan fungsi dominan untuk tempat
tinggal. Sementara permukiman adalah ruang untuk hidup dan berkehidupan bagi kelompok
manusia. Pengertian yang diajukan oleh Doxiadis sendiri sebenarnya merujuk kepada
pengertian dari Human Settlements sebagai berikut :

Shelter : Perlindungan dari gangguan eksternal; pondok


House : Struktur bangunan untuk aktivitas bertempat tinggal.
Housing : Perumahan, hal-hal yang terkait dengan aktivitas tempat tinggal
Human Settlement : Kumpulan (agregat) rumah dan kegiatan perumahan
Habitat Lingkungan kehidupan (tidak terbatas pada manusia saja)

Adapun, menurut Silas pengertian rumah adalah :

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, setelah sandang dan pangan
disamping pendidikan dan kesehatan, yang berfungsi sebagai tempat pelindung dan pengaman
manusia dari pengaruh dan gangguan alam/ cuaca maupun makhluk lain. (Silas,1993).

Teori perumahan permukiman (human settlement) di atas adalah teori utama dalam ilmu
perancangan perumahan. Rumah adalah kebutuhan dasar bagi manusia. Rumah memiliki

10
fungsi sebagai tempat/ wadah aktivitas utama manusia. dan area privat bagi manusia
(keluarga) dan juga sebagai pelindung dari cuaca, panas, dan lain-lain. Pemahaman teori
perumahan secara benar dan menyeluruh diperlukan untuk tercapainya kenyamanan
perumahan dan permukiman dalam jangka panjang dan juga dalam sudut pandang lingkungan
kota yang berkelanjutan (sustainable city). Pesatnya perkembangan kota dan juga tuntutan
akan pemenuhan kebutuhan perumahan yang semakin meningkat dan bahkan menimbulkan
beban masalah ketidak terpenuhinya perumahan secara keseluruhan (backlog) adalah bukan
hal sederhana. Para arsitek maupun peneliti harus mengembalikan alur pemecahan solusi
dengan memahami kembali teori-teori perumahan dan permukiman baik kuantitatif maupun
kualitatif. Selain itu perlu pula untuk melihat hasil-hasil penelitian terbaru mengenai perumahan
dan permukiman untuk memperkaya wawasan untuk menuangkan gagasan ide desain
perumahan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, manusia tidak hanya bergantung pada bahan yang
tersedia pada alam tetapi dengan anugrah akal pikirannya mampu mengembangkan berbagai
desain dan juga bahan-bahan untuk bangunannya. Sehingga ditinjau dari perkembangan
kebudayaan dan peradaban, bentuk rumah pun tidak hanya beratap pelana, joglo dan
sebagainya tetapi bisa berbentuk perumahan, rumah susun, apartemen, dan lain-lain sesuai
perkembangan teknologi dan perkembangan zaman. Tata ruang spatial dan bentuk fisik pada
arsitektur tradisional selalu mengacu pada aspek non-fisik seperti: adat, kepercayaan, agama
dan memperhatikan kaidah komponen alamiah seperti gunung, laut, flora dan fauna. Pada
konteks tradisional, rumah seringkali sangat terkait dengan kaidah alam, dan norma-norma
kepercayaan yang bersifat mistis, misalnya pada rumah-rumah zaman dahulu. Pada zaman
sekarang yang tersisa banyak pada rumah-rumah yang sifatnya adalah masih kuat memegang
tradisi leluhur, misalnya saja: Kampung Naga dan Kampung Pulo di Garut atau perkampungan
adat di Bali.

Seiring dengan adanya perkembangan zaman dan juga perkembangan pendapatan/


penghasilan maka tingkat kehidupan atau taraf kesejahteraan meningkat pula. Maka biasanya
acuan atau kerangka dalam proses pembangunan perumahan dan permukiman juga
mengalami peningkatan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pokok-pokok bahasan
perumahan, yang penting dilihat adalah mengenai peraturan pembangunan perumahan.

2.2. PRANATA PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Kebutuhan manusia yang paling dasar (primer) terdiri dari: sandang (pakaian), pangan
(makanan) dan papan. Maka mengingat fungsi rumah sebagai kebutuhan manusia yang
mendasar (kebutuhan primer), pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan
tentang perumahan dan permukiman yang dimaksudkan untuk memberikan arahan (guide line)
bagi pembangunan dalam sektor perumahan dan permukiman. Peraturan perundang-undangan
tersebut antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan
Permukiman.

11
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika undang-undang ini meliputi aspek-
aspek sebagai berikut:
1.Ketentuan Umum;
2.Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup;
3.Pembinaan;
4.Tugas dan Wewenang;
5.Penyelenggaraan Perumahan;
6.Penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
7.Pemeliharaan dan Perbaikan;
8.Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan
9.Permukiman Kumuh;
10. Penyediaan Tanah;
11. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan;
12. Hak dan Kewajiban;
13. Peran Masyarakat;
14. Larangan;
15. Penyelesaian Sengketa;
16. Sanksi Administratif;
17. Ketentuan Pidana;
18. Ketentuan Peralihan;
19. Ketentuan Penutup.

Landasan Konstitusional : UUD 1945 Pasal 27


1) Persamaan didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan memberikan dasar pengaturan bahwa setiap warga Negara harus diberikan
kesempatan dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam upaya pembangunan di
bidang perumahan dan permukiman.
2) Hak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan mengandung makna bahwa setiap
warga Negara berhak atas perumahan dan permukiman yang layak untuk dapat hidup
secara pribadi berkeluarga dan bermasyarakat.

Falsafah pembanguan perumahan dan permukiman :


1) Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya
dan pembangunan seluruh masyarakat.
2) Perumahan bukan sebagai benda, melainkan sebagai proses bermukim manusia
berbudaya dalam menciptkan ruang dalam lingkungan masyarakat.
3) Seiap warga Negara berhak menempati rumah yang layak dan berkewajiban untuk
berpastisipasi dalam mewujudkan pembangunan perumhan dan permukiman

12
4) Pembangunan perumahan dan permkimsn pada dasarnya adalah tanggung jawab
masyarakat baik secara perseorangan maupun bersama.

2.2.1. Permukiman
Permukiman (settlement) adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan
dan penghidupan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarananya.
Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen :
• Nature (unsur alami), yang mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi,
topografi, hidrologi, tanah, iklim maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
• Man (manusia sebagai individu), dengan segala kebutuhannya (biologis, emosional,
nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya).
• Society (masyarakat), yaitu adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
• Shells (tempat) di mana manusia sebagai individu maupun kelompok masyarakat
melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupannya.
• Network (jaringan), yang merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang
menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik
dan sebagainya.

Sementara itu, Silas (1993) merumuskan permukiman yang sesuai di Indonesia yaitu sebagai
teritorial habitat dimana penduduknya masih dapat melaksanakan kegiatan:
• Biologis,
• Sosial,
• Ekonomis,
• Politis,
• Penjaminan kelangsungan lingkungan yang seimbang dan serasi.

2.2.2. Perumahan
Perumahan (housing) adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang belum dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan (Doxiadis: 1946).

2.2.3. Prasarana Lingkungan


Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan
masyarakat yang tinggal di lingkungan perumahan (kumpulan rumah-rumah) tersebut dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan prasarana terdiri dari: infrastruktur
jalan, taman-taman (ruang terbuka publik), fasilitas-fasilitas pendukung seperti kesehatan,
keagamaan, komersial, pendidikan dan lain sebagainya.

13
2.2.4. Lingkungan Hunian yang Berimbang
Lingkungan Hunian yang Berimbang adalah wujud kawasan dan lingkungan perumahan dan
permukiman yang pembangunan perumahan dan permukimannya meliputi rumah sederhana,
rumah menengah, dan rumah mewah dengan perbandingan tertentu sehingga dapat
menampung secara serasi berbagai kelompok masyarakat. Perbandingan tertentu dimaksud
adalah perbandingan jumlah rumah sederhana, berbanding jumlah rumah menengah, dan
jumlah rumah mewah, sebesar 6 (enam) atau lebih, berbanding 3 (tiga) atau lebih, berbanding
1 (satu).

2.3. PENGEMBANGAN KONSEP PEMBANGUNAN

Dalam rangka memberi arahan, dan acuan pembangunan, pemerintah bertugas


mengembangkan konsep-konsep utama untuk menciptakan perumahan yang sehat, teratur,
dan aman. Konsep-konsep perumahan yang inovatif terutama diperlukan untuk perumahan
yang berlokasi di kota-kota besar, dikarenakan jumlah penduduknya lebih banyak dan
pertumbuhnnya lebih cepat sehingga kekumuhan cepat terjadi. Tetapi di pedesaan juga bukan
berarti tidak memerlukan perbaikan. Pada tahap awal Repelita I sampai Repelita V
dikembangkan konsep Rumah Sangat Sederhana (RSS) sehingga keluarga dengan
penghasilan rendah bisa memiliki rumah yang layak, selanjutnya dikembangkan pengadaan
sarana dan prasarana perkotaan dan mulai tahun 1987 dikenalkan Ketentuan sempadan
bangunan, dan Ketentuan bangunan sebagai perwujudan fisik bangunan dan lingkungan.

Lalu program-program penyehatan lingkungan permukiman pun mulai dijalankan meliputi


pengelolaan persampahan, pengelolaan drainase, pengelolaan air limbah, serta pengelolaan
air bersih. Upaya tersebut sudah ditempuh pemerintah, untuk meningkatkan pelayanan
terhadap golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, masyarakat yang berada pada
daerah terpencil dan sulit air.

2.4. PROGRAM POKOK PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Seperti yang termuat dalam GBHN 1993, program pokok yang dilaksanakan adalah :

2.4.1. Program Penyediaan Perumahan dan Permukiman


Program ini terdiri dari dua bagian, pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan,
dan pembangunan perumahan dan permukiman di pedesaan. Terdapat istilah yang disebut
sebagai site service dalam artian penyedian perumahan dimulai dengan persiapan lahan dan
lalu penyediaan perumahan dan sarana prasarananya (permukiman). Program pembangunan
perumahan dan permukiman di perkotaan meliputi kegiatan :
 Perintisan kawasan permukiman kawasan besar, lingkungan siap bangun di wilayah
kota yang sudah terbangun, atau di wilayah pengembangan yang berupa
pengembangan kota baru.

14
 Perintisan pola kerja sama pemerintah dengan dunia usaha dalam pengembangan
permukiman skala besar.
 Penyiapan pengadaan rumah yang meliputi rumah inti, rumah sederhana, dan rumah
sangat sederhana.
 Penelitian dan pengadaan rumah sewa susun di perkotaan.

Pengembangan dan pemanfaatan pola pembiayaan khusus bagi masyarakat berpenghasilan


rendah dengan memanfaatkan dana pemerintah dan dana masyarakat melalui fasilitas hipotek
sekunder, KPR dan lainnya.
Program pembangunan perumahan dan permukiman di pedesaan meliputi kegiatan :
 Pembangunan rumah percontohan dengan pengadaan rumah desa melalui
pengembangan swadaya masyarakat.
 Pengembangan penyuluhan dan pergerakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
swadaya.
 Penyediaan prasarana dan sarana pedesaan.

2.4.2. Program perbaikan Perumahan dan Permukiman


Program perbaikan perumahan dan permukiman dilakukan dengan pendekatan Tribina (bina
manusia, bina lingkungan, dan bina usaha), program ini meliputi :
 Perbaikan dan peremajaan kawasan perumahan dan permukiman di perkotaan,
kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan kehidupan
masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui perbaikan lingkungan dan
penyediaan prasarana dasar.
 Pemugaran perumahan dan permukiman di pedesaan, kegiatan ini dilakukan dengan
pendekatan Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Terpadu (P2LT) yang
mencakup perumahan dan permukiman, jalan desa, dan listrik desa.

Gambar 3. Kondisi permukiman perkotaan yang tidak beraturan memerlukan penanganan yang benar
dan strategis
Sumber : Nurcahya (2008)

15
2.4.3. Program Penyehatan Lingkungan Permukiman

Program penyehatan lingkungan permukiman dilaksanakan dalam beberapa kegiatan berikut :


 Pengelolaan air limbah, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan lingkungannya dengan mengelola limbah berupa cairan
yang berasal dari perumahan dan permukiman.
 Pengelolaan persampahan, yaitu kegiatan yang ditujukan untuk mengendalikan,
mengumpulkan, dan membuang atau memusnahkan limbah padat guna menghasilkan
lingkungan yang bersih, sehat, dan aman.
 Penanganan drainase, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang aman, baik terhadap genangan maupun luapan air sungai, serta banjir
yang diakibatkan oleh hujan.

2.4.4. Program Penyediaan dan Pengelolaan Sarana Air Bersih


Program penyediaan dan pengelolaan sarana air bersih terdiri dari kegiatan :
 Penyediaan dan pengelolaan air bersih di perkotaan: kegiatan ini meliputi pengelolaan
sistem air bersih melalui upaya penurunan kebocoran Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), peningkatan dan perluasan prasarana air bersih untuk memenuhi kebutuhan
dasar penduduk serta menunjang perkembangan ekonomi kota dan kawasan
pertumbuhan melalui sistem perpipaan dan non-perpipaan, peningkatan pemanfaatan
kapasitas produksi yang sudah terpasang melalui perluasan jaringan distribusi,
sambungan rumah, hidran umum, terminal air, peningkatan kawasan produksi sistem
terpasang, serta peningkatan efisiensi pengelolaan dan pengusahaan PDAM.

 Penyediaan dan pengelolaan air bersih di pedesaan: kegiatan ini direalisasikan dengan
mengadakan berbagai kegiatan, yaitu pengembangan dan penerapan teknologi tepat
guna untuk penyediaan air bersih, peningkatan swadaya masyarakat dalam penyediaan
dan pengelolaan air bersih, peningkatan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan air
bersih bagi kesehatan masyarakat, pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan
prasarana air bersih pedesaan.

2.4.5. Program Penataan Kota

Pembahasan mengenai program tidak dapat dilepaskan dengan aspek kebijakan. Menurut
Jones (1984), program merupakan cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Dalam
pengertian tersebut menggambarkan bahwa program-program adalah penjabaran dari langkah-
langkah dalam mencapai tujuan itu sendiri. Dalam hal ini, program pemerintah berarti upaya
untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan. Program-program
tersebut muncul dalam Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga atau Rencana Kerja
Pemerintah (RKP). Salah satu dari program pemerintah yaitu program dalam penataan kota.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi,

16
akibatnya munculnya permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai
dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya pendirian rumah
ataupun fasilitas publik seperti kios dagang dengan liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga
mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota.
Terbentuknya permukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dipandang
menimbulkan banyak permasalahan perkotaan (Simollah, 2015) . Oleh karena itu diperlukan
adanya program penataan perkotaan sebagai upaya mencegah dan memperbaiki masalah kota
yang ada.

Program penataan dilaksanakan dengan kegiatan berikut ini:


 Penyiapan dan penyusunan rencana Program Jangka Menengah (PJM) dalam rangka
pelaksanaan pembangunan prasarana kota terpadu yang mengacu pada rencana tata
ruang dan rencana pengembangan wilayah.
 Rintisan pengadaan sistem data dan informasi penataan kota yang membantu informasi
dalam rangka pengadaan perumahan dan permukiman.

Pada prinsipnya program penataan kota bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penyediaan,
pelayanan prasarana dan sarana perkotaan yang mendorong pemantapan fungsi kawasan-
kawasan kota sehingga dapat meningkatkan produktivitas kota dengan tidak
mengesampingkan aspek-aspek pemerataan, lingkungan, dan budaya.
(a) DAHULU (b) KINI

Dahulu lahan-lahan perkotaan masih luas perumahan yang Kini lahan-lahan perkotaan semakin mahal dan
dibangun secara formal maupun mandiri masih luas sempit, banyak perumahan cluster yang dibangun
sehingga dimungkinkan dibangun sarana dan prasarana yang minim sarana dan prasarana. Perumahan di
yang memadai. Alam juga masih bersahabat. kampung kota mendapatkan program-program
pemerintah seperti PNPM. Tetapi
kesinambungannya memerlukan tindak lanjut
penelitian dan penanganan yang terus menerus.
Gambar 4
Pergeseran Tren Kondisi Perumahan Secara Umum di Kota-Kota Besar Dulu dan Kini
Sumber: (a) Wikipedia dan (b) Lucy Yosita

2.4.6. Program Penataan Bangunan

Program penataan bangunan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata bangunan dan
lingkungan yang terkendali sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang perkotaan yang tertib
dan keselamatan bangunan, serta terpeliharanya bangunan dan lingkungan yang mempunyai
nilai, tradisi, dan sejarah yang luhur. Program penataan bangunan terdiri dari:

17
 Pengendalian ketertiban dan keselamatan bangunan melalui penyusunan peraturan
daerah sehingga daerah menjadi tertib dan aman.
 Perintisan penyusunan pedoman teknis dan prosedur pembangunan serta standar
bangunan dan lingkungan, sehingga bangunan meningkat kualitas dengan adanya
standar yang dapat menjadi suatu acuan tersebut.
 Pemasyarakatan dan penyuluhan produk hukum ataupun produk teknis yang telah
dibuat.

2.5. PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DALAM KAITANNYA DENGAN


PENATAAN RUANG

Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah menyelenggarakan pembangunan


perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah,
sehingga dapat berlangsung tertib, terorganisasi dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna,
sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan ini tidak
akan tercapai bila tidak dilakukan perubahan dalam pengelolaan tanah (pendaftaran, sertifikasi,
pembebasan tanah, ganti rugi, pemberian hak atas tanah).

Sasaran dari rencana pembangunan perumahan dan permukiman antara lain:


 Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan permukiman di daerah yang
aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara
pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);
 Tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang
memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta
terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;
 Terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh
kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
 Tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai
bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pemerintah serta bagi berbagai
pihak yang akan terlibat/ melibatkan diri.

Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang adalah
sebagai berikut :
 Rencana Tata Ruang Wilayah–sebagai hasil perencanaan tata ruang merupakan
landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain setiap pembangunan sektoral yang
berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari
kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor yang berkepentingan
dan dampak merugikan pada masyarakat luas.

18
 Dalam RUTR Kawasan Perkotaan diatur alokasi untuk pemanfaatan ruang untuk
berbagai penggunaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan,
keserasian, keterbukaan, dan efisiensi agar tercipta kualitas permukiman yang layak
huni.
 Untuk Kawasan Perkotaan, alokasi ruang untuk perumahan dan permukiman
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan alokasi penggunaan lainnya. Lingkup
pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa mencakup aspek penataan
ruang dan aspek penyediaan prasarana dan sarana lingkungan.
 Dalam mendukung pelaksanaan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
mewujudkan visi dan misi pembangunan perumahan dan permukiman yang tertuang
dalam KSNPP (Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman), maka
telah disiapkan Pedoman Penyusunan RP4D. RP4D pada dasarnya merupakan alat
operasional untuk mewujudkan kebijakan dan strategi perumahan dan permukiman
tersebut.

2.6. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN


PERMUKIMAN

Secara umum tantangan pengadaan dan pembangunan perumahan dan permukiman


diantaranya meliputi hal-hal di bawah ini:
 Pengadaan perumahan dan permukiman bagi keluarga masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR).
 Mengurangi kesenjangan pelayanan sarana dan prasarana antar tingkat golongan
masyarakat.
 Meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha
 Penyediaan perumahan dan permukiman yang serasi dan berkelanjutan.
 Pengelolaan pembangunan dan permukiman secara efektif dan efisien.

Adapun kendala pembangunan perumahan dan permukiman :


 Terbatasnya lahan yang tersedia, terjadi ketimpangan dari pertumbuhan penduduk
yang pesat dengan keadaan lahan yang tidak bertambah terutama di perkotaan
yang memiliki tingkat pembangunan yang pesat.
 Rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama yang berpenghasilan
rendah.
 Terbatasnya informasi tentang standar atau kriteria perumahan yang layak
terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
 Terbatasnya kemampuan pemerintah daerah, dalam hal ini tergantung dari
daerahnya ada daerah yang sudah baik, tetapi masih banyak daerah yang masih
terbatas kemampuannya.

19
Sementara peluang pembangunan perumahan dan permukiman:
 Meningkatnya pendapatan masyarakat, yang secara langsung berpengaruh
terhadap pendanaan pembangunan perumahan dan permukiman.
 Telah terdapatnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah pada tiap-tiap provinsi dan
kabupaten/ kota sehingga memudahkan proses pembangunan.
 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan.

Diagram perkembangan kebutuhan perumahan:


JUMLAH RUMAH TITIK KESEIMBANGAN
(JUMLAH
HARGA=JUMLAH
KELUARGA
4.2
TAHAP
PENINGKATAN
MUTU DAN
3,3
KECUKUPAN

PELITA IV PELITA V PELITA VI

KTL PEMANTAPAN TINGGAL WAKTU


LANDAS

Diagram 1. Perkembangan kebutuhan Perumahan


KET :
Garis Kebutuhan Perumahan
Garis Pertumbuhan Perumahan Yang Ada
Garis Pertumbuhan Yang Seimbang
Garis Pembangunan Untuk Mengejar Titik

Keseimbangan
Angka Kekurangan Rumah (Juta) Angka Pertambahan Penduduk.

2.7. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Permasalahan perumahan dan permukiman merupakan sebuah isu utama yang selalu
mendapat perhatian lebih dari pemerintah jika pemerintahan itu adalah pemerintahan yang pro
rakyat. Permasalahan perumahan dan permukiman merupakan sebuah permasalahan yang
berlanjut dan bahkan akan terus meningkat, seirama dengan pertumbuhan penduduk, dinamika
kependudukan dan tuntutan-tuntutan sosial ekonomi yang semakin berkembang. Tanpa solusi
yang tepat, menyeluruh dan strategis dan hanya setengah-setengah apalagi jika dibarengi
dengan tingkat korupsi seperti banyak terjadi di masa pemerintahan sebelumnya dan bahkan
hingga kini sulit diberantas, akan dapat menimbulkan revolusi sosial pada suatu negara.
Menarik bahkan untuk memperlajari penyelesaian masalah perumahan di negara China dan

20
Jepang, meski sebenarnya bukan memiliki dasar negara Islam, akan tetapi dalam hal
pembangunan fisik lebih sempurna,menyeluruh dan minim tingkat korupsinya rendah. Dasar
hukum memang kekuatan juga untuk pengembangan masalah perumahan dan permukiman.
Semoga pada era pemerintahan saat ini, harapan itu terus berkembang dengan bentuk solusi-
solusi kita bersama.

Permasalahan terbesar Perumahan dan Permukiman di Indonesia adalah kekurangsiapan kota


dengan sistem perencanaan dan pengelolaan kota yang tepat, dalam mengantisipasi
pertambahan penduduk dengan berbagai motif dan keragaman, nampaknya menjadi penyebab
utama yang memicu timbulnya permasalahan perumahan dan permukiman. Seperti ini harga
lahan sudah demikian tinggi, lahan untuk perumahan semakin sulit di dapat. Untuk wilayah
Bandung pinggiran kota saja sudah Rp. 800.000,-/ meter persegi. Jika membeli lahan dengan
luasan 120 m² saja diperlukan dana Rp.96.000.000,-.

Kemudian untuk biasa pembangunan diperlukan dana minimum Rp. 4.000.000,- per m². Jika
menginginkan rumah dengan luasan 45 m². Maka diperlukan dana sebesar 180.000.000,-. Jika
ditambah dengan fee arsitek dengan jasa full sampai pengawasan (8 % x total biaya
pembangunan), maka dana yang diperlukan untuk memiliki sebuah rumah dengan cara
mandiri, adalah Rp. 294.000.000,-.

Jika membeli di developer tentunya harga lebih mahal karena seiring harga tanah dengan
fasilitas lebih lengkap lebih mahal, untuk mengkompensasi sarana prasarana umum dan sosial.
Saat ini harga rumah seluas 45 m² jika membeli di developer kisarannya sudah di angka 400 –
600 juta untuk kawasan pinggiran kota Bandung. Untuk tipe besar seperti tipe 70 m² saat ini
sudah milyaran. Maka apartemenpun menjadi pilihan alternatif karena harganya bisa lebih
murah 30 – 40 % dari rumah biasa. Suatu kondisi yang cukup pelik bagi masalah perumahan di
Indonesia, karena angkanya sudah mendekati kisaran milyaran. Fenomena inflasi yang
kencang dan memerlukan kemampuan serta kearifan arsitek untuk menemukan solusi-solusi
strategis mengenai penanganan masalah perumahan dan permukiman ini.

Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini adalah tidak sesuainya
jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang
akan menempatinya. Tetapi apa bila kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan
dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah :

2.7.1. Kependudukan

Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor utama yang menyebabkan
permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu menjadi sorotan utama pihak pemerintah.
Pesatnya angka pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan sarana
perumahan menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan serius. Permasalahan
kependudukan dewasa ini tidak hanya menjadi isu pada kota-kota di Pulau Jawa, tetapi kota-

21
kota di pulau-pulau lainpun sudah mulai memperlihatkan gejala yang hampir serupa.
Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang pemisah antara kota dan desa
merupakan salah satu pemicu permasalahan kependudukan ini.

2.7.2. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah

Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan wilayah yang seharusnya menjadi
perhatian khusus pihak yang berkepentingan dalam hal pembangunan ini, khususnya
pembangunan perumahan dan permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk
melaksanakan pemerataan dalam pembangunan antar keduanya.

Tetapi yang kita temui di lapangan sekarang adalah semakin pesatnya pembangunan yang
dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan semakin tertinggal. Pesatnya pembangunan
perumahan di daerah perkotaan banyak yang tidak sesuai dengan rencana umum tataruang
kota, inilah yang menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas arah
pengembangannya.

2.7.3. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masih belum


optimal

Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah mata, dengan perencanaan
yang matang, sinergis dan integral dalam setiap sektor akan menghasilkan keluaran
pengembangan perumahan dan pemukiman. Belum optimalnya perencanaan dapat berakibat
pada lemahnya arah kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana aksi
pengembangan antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan prioritas pengembangan
perumahan dan pemukiman.

2.7.4. Pertanahan dan Prasarana

Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar akan selalu dihadapkan kepada
masalah tanah, yang di daerah perkotaan menjadi semakin langka dan semakin mahal. Tidak
sedikit yang kita jumpai areal pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal ini
terjadi karena ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan permintaan akan sarana
hunian selalu meningkat setiap saatnya. Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian
sebagai kawasan perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi pangan serta
rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih lanjut merupakan awal dari
permasalahan lingkungan diperkotaan, seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.

Alternatif lain dalam menanggulangi permasalahan pertanahan di dalam kota ini adalah dengan
membangun fasilitas-fasilitas hunian didaerah pinggiran kota, yang relatif lebih murah
harganya. Namun permasalahan baru muncul lagi disana, yaitu jarak antara tempat tinggal dan
lokasi bekerja menjadi semakin jauh sehingga kota tumbuh menjadi tidak efisien dan terasa
mahal bagi penghuninya.

22
Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus diikuti dengan penyediaan
prasarana dasar yang menjadi pelengkapnya. Hal ini meliputi: penyediaan air bersih, sistem
pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air
hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang
memadai.

2.7.5. Pembiayaan

Permasalahan biaya merupakan salah satu poin penting dalam pemecahan permasalahan
perumahan dan permukiman ini. Secara mikro, hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis
masyarakat untuk menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah
sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat dengan tingkat
perekonomian menengah kebawah, sedangkan secara makro hal ini juga tidak terlepas dari
kemampuan ekonomi nasional untuk mendukung pemecahan masalah perumahan secara
menyeluruh.

Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan pembiayaan ini adalah adanya
kecenderungan meningkatnya biaya pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang
tidak sebanding dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar untuk
memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi.

2.7.6. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi

Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut menentukan sukses atau tidaknya
program pembangunan perumahan rakyat ini adalah produksi bahan bangunan dan
distribusinya yang erat kaitannya dengan harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan
teknologi pembangunan perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan kepada tulisan dalam buku
“Rumah Untuk Seluruh Rakyat”, mengatakan bahwa teknologi dan industri jasa konstruksi,
khususnya untuk pembangunan perumahan sederhana belum banyak kemajuan yang ada.
Terutama untuk perumahan sederhana yang dibangun pemerintah.

Jika untuk karya arsitek mandiri, saat ini ada seorang arsitek di Indonesia yakni Yu-Sing, yang
mengemukakan dan aktif berkecimpung dalam perancangan “Rumah Murah”. Saat ini buku
“Rumah Murah” ada dipasaran, beberapa tahun yang lalu sempat menjadi buku best seller.
Untuk menekan biaya kreativitas arsitek ditentukan dalam perancangan denah optimal pada
lahan terbatas, rekayasa struktur dan pemilihan material serta juga penyelesaian finishing
rumah. Temuan-temuan material baru yang efisien namun efektif juga akan menentukan arah
perkembangan perumahan dan permukiman. Hanya sinergi antara pemerintah, swasta dan
instansi pendidikan perlu diperkuat. Tanpa ada sinergi yang cukup memadai suatu hasil
penelitian ataupun adanya hasil produksi industri akan kurang dapat optimal nilai
kemanfaatanya bagi masyarakat.

23
2.7.7. Kelembagaan

Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu kesatuan sistem kelembagaan


untuk mewujudkan pembangunan perumahan secara berencana, terarah dan perpadu, baik itu
yang berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan pada berbagai
tingkat pemerintahan, maupun lembaga-lembaga pelaksana pembangunan di sektor
pemerintah dan swasta.

Hal lain yang juga berhubungan dengan kelembagaan ini adalah pengembangan unsur-unsur
pelaksana pembangunan yang harus lebih dikembangkan lagi, khususnya kelembagaan pada
tingkat daerah, baik itu yang bersifat formal maupun non-formal yang dapat mendukung
swadaya masyarakat dalam bidang perumahan dan permukiman.

2.7.8. Peran Serta Masyarakat

Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang menyatakan bahwa setiap warga
negara Indonesia berhak atas perumahan yang layak, tetapi juga mempunyai peran serta
dalam pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan
pembangunan perumahan adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, baik itu secara
perorangan maupun secara bersama-sama, pada poin ini peran pemerintah hanyalah sebagai
pengatur, pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar masyarakat dapat
memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan mereka.

Masyarakat bukanlah semata-mata objek pembangunan, tetapi merupakan subjek yang


berperan aktif dalam pembangunan perumahan dan pemukiman. Peran serta masyarakat akan
dapat berlangsung lebih baik apabila sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar
hasilnya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan
ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian perumahan dan pemukiman dapat
menciptakan suatu proses kemajuan sosial secara lebih nyata.

Program pemberdayaan masyarakat (community empowerment) sebelumnya banyak dikelola


oleh pemerintah, misalnya Kampong Improvement Project (KIP), P2BPK, dan PNPM. Tetapi
saat ini terutama sejak tahun 2009 mulai banyak menjadi bidang garapan universitas dalam hal
ini dosen-dosen dengan dibantu oleh mahasiswa. Hal terakhir adalah terkait dengan
persyaratan dalam tunjangan/sertifikasi dosen. Hal ini bermanfaat untuk menolong masyarakat
yang secara penghasilan berkekurangan dalam artian seringkali hanya mampu memenuhi
kebutuhan pokoknya seperti sandang dan pangan yang sederhana.

Hal di atas ini bisa dikatakan suatu kemajuan, hanya yang perlu diperhatikan adalah validasi
kesinergian seluruh program pemberdayaan masyarakat tersebut. Masih jarang adanya suatu
review dari pemerintah mengenai kegiatan pengabdian masyarakat, lain halnya dengan
penelitian sudah banyak diterdapat review-review oleh pihak berwenang dalam hal ini DIKTI.

24
2.7.9. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi penerapan berbagai
kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun
bidang pembangunan.

Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah mulai digagas dan


dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode pra-PELITA hingga saat sekarang.

Namun hal ini belum dapat memberikan dampak yang cukup berarti dalam pembangunan
perumahan, bahkan dalam banyak hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
kenyataan sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan dan tuntutan
pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang, sehingga pembaharuan dan
penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan penting.

2.7.10. Permasalahan lainnya


Menurut data saat ini terdapat 15 juta backlog (kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan
rumah) di Indonesia. Sementara hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat bahwa
kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumah-rumah yang belum memenuhi
syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan rumahnya maupun kepadatan huniannya.

Kebutuhan akan hunian yang selalu meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan
masyarakat dalam pemenuhannya, sehingga hal ini telah menyebabkan kecenderungan sarana
hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh yang tidak mudah untuk dikendalikan. Hal lain
yang juga masih berhubungan dengan permasalahan ini adalah faktor sebaran penduduk
Indonesia yang masih belum merata.

2.8. MASALAH PERMUKIMAN DAN KEPENDUDUKAN

Perpindahan penduduk dari desa ke kota akan selalu kita jumpai dilatarbelakangi oleh hal
pekerjaan yang banyak lapangan kerja di kota maupun tuntutan sosial yang mengharuskan
untuk berpindah ke kota untuk kecukupan hidup. Ini akan menimbulkan permasalahan bagi
kota dengan tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan kemampuan penyediaan
pemukimannya. Tingginya laju pertambahan penduduk merupakan masalah pokok dalam
pembangunan perumahan. Dengan ini kebutuhan akan rumah akan semakin meningkat
disamping itu ditemukan masalah lain yaitu kualitas rumah dan lingkungan yang tidak memadai
/ memenuhi persyarataan dan memerlukan perbaikan atau pemugaran serta penambahan
fasilitas.

Pembangunan ke arah Indonesia Timur yang marak dilakukan percepatan pada tahun 1990an
juga adalah fenomena yang merubah kepranataan di masa yang akan datang. Kondisi
perkembangan informasi, sebaran polulasi yang mengalami perubahan pergerakan secara
sebaran menjadi teori dan kepranataan memerlukan penelaahan yang tiada henti bagi peneliti
maupun praktisi. Misalnya saja kota-kota seperti Makassar, Banjarmasin, atau Manado adalah

25
kota-kota yang berkembang lebih cepat karena alasan potensi yang dimiliki, masalah yang
dimiliki tidaklah sama. Misalnya kota Makassar adalah kota perairan sementara kota
Banjarmasin adalah kota perairan tetapi memiliki potensi pertambangan. Adanya ekspatriat di
kawasan permukiman milik perusahaan pertambangan misalnya memerlukan penelitian sosial
yang berbeda dalam penerapan aplikasi desain permukiman maupun ruang luarnya.

Fenomena yang meruncing saat ini adalah mengenai isu kurangnya pendidikan berkarakter di
bangku sekolah sehingga mengakibatkan masalah kriminal tinggi baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Pendidikan bukan hanya teoritik, menarik untuk memperhatikan sistem pendidikan
di Jepang dimana anak-anak sedari kecil diminta untuk mandiri dan memiliki kedekatan
terhadap lingkungan hidup dan sosialnya. Misalnya dengan kunjungan ke sentra pertanian,
kewajiban membersihkan kelas bersama meski sekolah luxurius, dan pula kedisiplinan yang
tinggi adalah hal yang terlepas dari mata kuliah perumahan dan permukiman.

Jadi memperbaiki strategi perumahan dan permukiman juga haruslah memperhatikan sistem
pendidikan secara komprehensif dengan melihat tantangan sosial masa kini yang ada di
masyarakat. Permukiman pada hakikatnya tidak dapat dipandang dalam definisi fisik saja,
namun pula non fisik (sosial) nya, pendekatan pendidikan berkarakter dan membumi akan
dapat melahirkan manusia-manusia kreatif dalam ruang permukiman. Kreatif di sini maksudnya
kreatif dalam pertahanan dan perbaikan kualitas lingkungan fisik maupun perbaikan dalam
aktivitas sosialnya termasuk jiwa wirausaha. Hal ini masih dikatakan lemah di Indonesia, untuk
semestinya untuk tingkat perekonomian yang lebih berkembang saat ini, kestabilannya lebih
terjaga. Revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi pada hakikatnya, adalah
revolusi mulai dari bangku pendidikan yang paling dasar, bukan semata-mata revolusi mental
dalam arti sempit.

26
Bab. 3
STRATEGI DAN TEKNIK
DALAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN

Menurut John Turner, dalam bukunya “Housing by People” (1976), disebutkan bahwa terdapat
3 aktor dalam pengadaan perumahan yakni: pemerintah (pulic sector), swasta (private sector)
dan masyarakat (popular/community). Perumahan dan permukiman juga tidak dapat terlepas
dari aspek regulasi, maka konsep-konsep yang akan diuatamakan adalah yang berasal dari
kebijaksanaan yang telah ada, termasuk di dalamnya adalah penelitian sebelumnya yang
pernah dilakukan penulis. Strategi pembangunan yang terjadi di lapangan yang dilaksanakan
pemerintah, swasta atau perorangan di lapangan sebenarnya sangat ditentukan oleh
bagaimana arah kebijakan dari pemerintah, tidak hanya pemerintah pusat tapi juga pemerintah
daerah. Misalnya saja kebijakan-kebijakan yang telah mengalami perubahan selain daripada
pengembangan kota satelit seperti yang dijelaskan di Bab 1, contoh lain adalah misalnya
sistem penggajian pegawai pemerintah atau pegawai negeri atau pembaharuan kebijakan
mengenai rumah susun.

Sinergi antara keseluruhan faktor haruslah menjadi syarat utama dalam merumuskan strategi.
Misalnya saja yang terbaru di awal tahun 2015 adanya pembaharuan mengenai kebijakan
rumah susun (apartemen). Hal ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Betapa
cukup banyak masalah di lapangan seperti developer yang kurang bertanggung jawab, tingkat
inflasi yang terlalu tinggi hingga harga rumah melambung atau kurangnya dorongan kondisi
lingkungan untuk dihasilkannya temuan-temuan (hak paten) baru yang akan lebih manfaat
terhadap kondisi sosial perumahan yang semakin dinamis, seperti semakin terbatasnya lahan,
tuntutan tinggi akan desain yang efisien namun berkualitas, atau adanya perubahan sosial yang
memiliki implikasi kebutuhan desain dan ruang yang baru (inovatif). Dengan demikian
peningkatan penghasilan dapat memiliki solusi yakni iklim investasi perumahan yang semakin
baik.

Pada intinya yang perlu diperhatikan oleh para peneliti, praktisi atau pemerhati di bidang
perumahan adalah kemajuan di bidang perumahan akan terjadi bila permintaan akan rumah
cukup baik dan stabil. Dalam artian kebutuhannya ada dan sesuai pula dengan daya beli. Yang
terjadi saat ini, karena kencangnya inflasi, belum memadainya regulasi, atau kendala-kendala
lainnya adalah kurang sesuai antara kebutuhan dan pemenuhan (backlog), dan juga kurang
sesuainya tingkat pemenuhan kebutuhan dengan harga yang dapat dijangkau oleh pasar
perumahan. Pada pembahasan di Bab 3 ini akan diuraikan mengenai hal tersebuat.

27
3.1 STRATEGI PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN KOTA

Sebelum memahami strategi-strategi perumahan secara detail penting untuk mengetahui


regulasi dasar apakah yang menjadi acuan dalam pembangunan perumahan dan permukiman
kota. Adapun program pokok pembangunan perumahan dan permukiman salah satu yang
dimaksud di atas, menurut GBHN 1993 juga menurut Sastra dan Marlina (2006) meliputi hal-hal
di bawah ini:
1. Program penyediaan perumahan dan permukiman.
2. Program perbaikan perumahan dan permukiman.
3. Program penyehatan lingkungan permukiman.
4. Program penyediaan dan pengelolaan sarana air bersih.
5. Program penataan kota.

Hal lainnya yang juga penting, adalah rincian strategis program pembangunan perumahan kota
adalah :
1. Program pengadaan perumahan baru.
2. Program perbaikan kampung meliputi : perbaikan klasikal yakni tidak total maupun
perbaikan yang total yakni menyangkut lahan: land sharing, land adjustment.
3. Program peremajaan kota.
4. Program rumah sewa.
5. Program rehabilitasi perumahan.

3.2 PERWUJUDAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI DAERAH PERKOTAAN

Masalah perumahan di perkotaan sangat kompleks karena daerah permukiman membutuhkan


lahan untuk kemajuan kota. Pada dasarnya masalah perumahan di kota disebabkan oleh:
 Pertambahan penduduk yang pesat yaitu angka kelahiran yang tinggi secara alamiah
maupun dari perpindahan penduduk ke daerah perkotaan.
 Mahalnya biaya pembangunan rumah di kota yang disebabkan langkanya tanah
perumahan sehingga harga tanah menjadi mahal dan biaya konstruksi rumah menjadi
tinggi.
 Terbatasnya kemampuan ekonomi penduduk untuk membeli/ membangun rumah.
 Prasarana kota kurang memadai dan kurangnya pengawasan dalam ketertiban
bangunan dan pemakaian tanah perumahan.

Masalah perumahan di kota dalam perkembangan kota menjadi penyebab munculnya


perkampungan miskin/ kumuh yang kan memungkinkan timbulnya gejala penurunan kualitas
lingkungan. Baik dari segi fisik maupun dari segi sosial penduduknya dan secara visual
mengganggu keindahan wajah kota.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kota :

28
 Keadaan rumah itu sendiri yang mencangkup segi kualitas rumah yaitu luas rumah ,
desain rumah, kelengkapan fasilitas dan utilitas dalam rumah tersebut.
 Keadaan lingkungan pemukimannya yang mencangkup tata letak bangunan, dan
fasilitas sosial lingkungan perumahan.
 Lokasi lingkungan pemukiman dalam struktur kota yang mencakup segi lokasi.

3.3 PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI KOTA

Pada PELITA I, II, III, telah diupayakan pembangunan perumahan melalui program
pembangunan perumahan dan permukiman . Dan sudah diupayakan dengan prinsip
keterjangkauan masyarakat. Kegiatan utama dalam program perumahan rakyat dan
permukiman didaerah perkotaan antara lain :
1. Pembangunan oleh swadaya masyarakat dengan penyuluhan pemerintah yaitu
Kampung Improvement Program
2. Pembangunan perumahan sederhana baik oleh PERUMNAS swasta melalui KPR-
BTN maupun PT. Papan Sejahtera. Jenis perumahan kota yang dibangun adalah
rumah sub-inti , rumah inti , rumah sederhana dan rumah susun dan jenis rumah
menengah sampai mewah.
3. Perusahaan pembangunan perumahan swasta yang tergabung dalam Real Estate.

3.4 PROGRAM PERBAIKAN KAMPUNG

Pada PELITA II DAN III, program perbaikan kampung telah dirasakan masyarakat kota.

Kampung diartikan daerah pemukiman penduduk yang umumnya :


- Tidak atau hampir tidak memiliki prasarana seperti air, listrik, sistem pembuangan,
saluran dsb.
- Berkembang tanpa rencana dan berkepadatan tinggi hingga diatas 1000 ha,
- Merupakan konsentrasi masyarakat berpenghasilan rendah
- Bangunan-bangunannya sebagian bersifat non dan semi permanen atau darurat tidak
memenuhi syarat-syarat kesehatan keselamatan kebersihan umum.

29
Gambar 5. Contoh Hasil Perbaikan Kampung dan Fasilitasnya
di Kampung Kota di Jakarta pada Era Jokowi menjadi Gubernur Jakarta
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2014/11/02/17045311/Hasil.Kerja.Jokowi.Akan.Menjawab.Isu.Presiden.Boneka

Kampung-kampung dikota tidak semuanya diperbaiki yang masuk kriteria lah yang akan
diperbaiki seperti :
- Kampung dengan kondisi fisik terburuk
- Kepadatan tinggi
- Dinamika penduduk
- Umur kampung
- Lokasi kampung
- Mengatur jadwal pengembangan KIP agar menguntungkan seluruh kota.

3.5 PENYEDIAAN PERUMAHAN KOTA

Sesuai asas pemerataan, dalam pelaksanaan pembangunan pada proyek PELITA II, maupun
III telah membangun rumah sebanyak 131.933 unit di 61 kota, setelah itu dirintis pembangunan
rumah susun di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Palembang , Bandung dan
Semarang.

30
Pada pelita IV diperkirakan dapat dibangun 300.000 unit rumah dengan fasilitas KPR-BTN.
Disamping itu dalam PELITA IV akan direncanakan 25.000 unit rumah sewa untuk golongan
masyarakat belum mampu. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman di daerah perkotaan
dilaksanakan melalui program sistem saluran pembuangan air limbah, dan penanganan
persampahan.

3.6 PENGADAAN RUMAH SEDERHANA

Sejak PELITA I-VI untuk pengadaan perumahan sederhana. Jenis rumah yang dibangun
berupa rumah sub inti, rumah inti dan rumah sederhana dengan luas bangunan 15 m2-36 m2
yang kemudian dapat dikembangkan oleh pemilik dan rumah susun 4 lantai dengan ukuran 18
m2 – 54 m2. Pada tahun 1985/ 1986 PERUMNAS berhasil membangun rumah siap huni
sebanyak 15.072 unit yang terdiri dari 3408 rumah sederhana 8680 rumah inti dan 2984 rumah
susun. Pada tahun 1986/1987 Perumnas mengalami penurunan pembangunan yaitu sebanyak
12.470 yang terdiri dari 4996 rumah sederhana, 7774 rumah inti dan 416 rumah susun.

Tapi, meningkatnya peran developer swasta untuk ikut membantu pembangunan perumahan ,
kesempatan perumnas terbuka untuk melakukan kewajiban dalam rintisan pembangunan
perumahan bersama dengan pemerintah daerah setempat :
- Peremajaan dan perataan kembali daerah bekas lapangan kemayoran, Jakarta seluas
1420 ha yang sebagian diperuntukan untuk perumahan.
- Perintisan pembangunan kota baru untuk mengantisipasi pertambahan penduduk
akibat migrasi ke kota besar di Indonesia .

Pada PELITA V pemerintah akan memperkenalkan pembangunan tipe baru yaitu kapling siap
bangun . Jadi pemerintah hanya menyiapkan tanah untuk siap dibangun, sedangkan rumahnya
dibangun oleh penghuninya sendiri sesuai tipe-tipe tertentu T-54, T 60, T-70. Setelah tahun
2000 mulai marak pembangunan perumahan vertikal (rumah susun), selain perumahan biasa
(landed houses).

3.7 RUMUS-RUMUS PERHITUNGAN KUANTITATIF MENGENAI KEBUTUHAN


PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Selain rincian teori-teori kualitatif yang bersifat abstrak, berikut di bawah ini disertakan pula
mengenai rumus-rumus kebutuhan rumah. Hal ini penting untuk mengkaji proses transformasi
dan kemungkinan pengembangannya di masa mendatang. Harapannya memiliki manfaat
positif bagi pengembang kebijakan, swasta, institusi pendidikan maupun untuk masyarakat.

Untuk menghitung kekurangan rumah dengan model perhitungan kebutuhan rumah (housing
need) dapat digunakan rumus sebagai berikut :

KRo = Io – I = Ro

31
Io = Po

Ro

Keterangan :
Kro = Kekurangan rumah
Po = Jumlah penduduk pada tahun hitungan.
Ro = Jumlah rumah pada tahun hitungan.
Io = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau
penghunisebenarnya pada tahun hitungan.
I = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau
penghuni (occupation rate) yang diharapkan ideal.

Selain angka kekurangan rumah, perlu waktu juga diperhitungkan angka kebutuhan rumah
tambahan. Untuk menghitung kebutuhan rumah tambahan tersebut perlu dipertimbangkan
beberapa faktor yakni: angka kelahiran, kepentingan restorasi, faktor relokasi migrasi, dan
faktor bencana alam.

Berikut ini adalah uraian rumus-rumusnya :

Kebutuhan rumah karena faktor jumlah penduduk karena kelahiran.

Rtp = Pn
I

Pn = Po (I + c)
Keterangan :
Rtp = Jumlah rumah tambahan akibat faktor
pertambahan penduduk.
Pn = Jumlah penduduk pada tahun tertentu.
Po = Jumlah penduduk pada tahun hitungan.
C = Indeks/ratio pertambahan penduduk
pertahun.
I = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau
penghuni (occupation rate) yang diharapkan ideal.

Kebutuhan rumah karena keperluan restorasi rumah-rumah yang sudah ada :

Rtd = Po/ Io
Vm
Keterangan :
Rtd = Jumlah rumah yang membutuhkan perbaikan.
Vm = Umur rumah tinggal secara rata-rata.
Po = Jumlah penduduk pada tahun hitungan.
Io = Angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau
penghuni sebenarnya pada tahun hitungan.

32
Kebutuhan rumah karena Relokasi Migrasi.

Nm = Pu (Uc – Tc)
RNm = Nm
Keterangan :
Nm = Jumlah migrasi.
Pu = Jumlah penduduk kota/daerah pada saat tertentu.
Tc = Indeks (ratio) pertambahan penduduk (total
kelahiran) dalam jangka
waktu satu tahun.
RNm = Kebutuhan rumah karena faktor migrasi.

Kebutuhan rumah karena bencana alam.


Kebutuhan rumah karena faktor ini biasanya dihitung menurut kerusakan yang terjadi akibat
bencana alam secara time series.
Adapun mengenai sarana dan prasarana perumahan, biasanya mengikuti aturan memerlukan
luasan meliputi 20% - 30% dari lahan keseluruhan. Rasio kini menurut REI 1 : 2 : 3, untuk
golongan rumah mewah berbanding menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah. Jika
dahulu rasio adalah 1 : 3 : 6, artinya golongan masyarakat kini tingkat ekonomi menengah ke
bawah sudah meningkat jumlahnya.

3.8 TEKNIK PEMBANGUNAN PERUMAHAN


3.8.1 Proses Pembangunan Rumah
Secara umum proses pembangunan meliputi desain dan pelaksanaan pembangunan yang
berlangsung secara berurutan. Awal proses pembangunan sebuah rumah adalah dengan
proses desain yaitu dengan merencanakan dan merancang. Ditinjau dari jenisnya rumah terdiri
dari :
1. Perumahan Formal.
2. Perumahan Informal.
3. Kampung Kota.

33
(a) (b)

(c)

Gambar 6. Tipe Rumah Berdasarkan Jenisnya


(a) Perumahan Formal, (b) Perumahan Informal, dan (c) Kampung Kota
Sumber : (a) http://kanalsatu.com/images/20150205-134237_92.jpg, 2015, (b) Susanti, 2013
(c) http://images.detik.com/content/2013/09/11/4/091626_tamansaribandung.jpg, 2015

Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah, perumahan formal merupakan rumah-rumah yang
dibangun oleh developer (pengembang) bisa berupa pengembang swasta maupun pemerintah.
Yang dibangun oleh pemerintah biasanya dibuat antara kerjasama Perumnas dan BTN (Bank
Tabungan Negara). Sementara itu perumahan informal adalah perumahan yang dibangun
secara swadaya dari perorangan, dengan bantuan perencana (arsitek). Dan terakhir
perumahan di kampung kota adalah perumahan yang dibangun murni atas inisiatif masyarakat,
dan banyak yang berupa perumahan yang tidak legal karena tumbuh secara acak (sprawl).

Hal ini terkait dengan keinginan calon pemilik rumah mengenai desain yang diinginkan
diantaranya kemampuan pendanaan, selera, kebutuhan, dan keinginan sang calon pemilik
rumah.Pembangunan tersebut dapat dilakukan secara mandiri maupun pihak ketiga atas
perintah calon pemilik rumah.

Setelah rancangan rumah selesai maka proses pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan.
Proses ini melibatkan bahan-bahan bangunan, pekerja-pekerja, dan biaya pembangunan.

34
Keinginan membuat hunian
Menggali informasi tentang
kebutuhan terhadap hunian

Kebutuhan/keinginan Pengecekan dana


calon pemilik hunian

Pencarian lokasi hunian

Pencarian sumber daya Perancangan rumah


proses pembangunan

Pengurusan ijin

Keinginan membuat hunian


Diagram 2
Diagram rangkaian aktivitas dalam Pembangunan Rumah

3.8.2 Sumber Daya Pembangunan


Proses pembangunan rumah memerlukan suatu dukungan yang antara lain :
1. Dana Pembangunan
Sebelum membangun rumah, pemilik haruslah mempunyai dana yang cukup berapa biaya
yang akan dikeluarkan untuk pembangunan tersebut. Karena dana pembangunan ini sangat
penting bagi adanya suatu pembangunan, tanpa ada dana maka pembangunan pun tidak akan
terjadi. Beberapa biaya pembangunan yang harus dikeluarkan adalah :

a. Biaya Desain Rancangan


Jika kita memerlukan seorang perencana atau perancang suatu rumah, perumahan, hotel,
apartemen dan lain-lain. Maka kita akan mebutuhkan seorang ahli di bidangnya untuk
mendesain apa yang ingin pemilik bangunan inginkan dan diimplementasikan oleh tenaga ahli
tersebut maka sebagai pemilik bangunan kita harus mengeluarkan biaya untuk sebuah
rancangan desain tersebut. Untuk itu dalam suatu biaya desain perancangan harus dibuat
sebagai dana pengeluaran. Tenaga ahli sebagai perencana yang dimaksud bisa berupa:
Arsitek, Desainer Interior dan atau Insinyur Sipil. Dapat pula mereka tergabung dalam suatu
konsultan perencana.

35
b. Biaya Pelaksanaan Pembangunan
Biaya pelaksanaan pembangunan adalah biaya pengeluaran pada saat proses pembangunan
mulai dari biaya pengeluaran peminjaman alat-alat, biaya upah untuk para pekerja dan biaya
lainnya untuk proses pembangunan.
Biaya pelaksanaan bangunan, meliputi :
1. Biaya Pengadaan Lahan
2. Biaya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
IMB sangat perlu dilakukan untuk sebuah pembangunan karena berkaitan dengan ijin
dari pemerintah apakah kita boleh membuat bangunan pada suatu lahan itu. Jika tidak
ada ijin dari pemerintah mengenai IMB maka bangunan tersebut bisa disita pemerintah
sebelum proses pembangunan itu selesai. Maka untuk proses IMB tersebut
memerlukan biaya untuk ijin pada pemerintah.
3. Biaya Material Bahan Bangunan
Biaya material adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian-pembelian
material bahan-bahan bangunan seperti pasir, semen, batu bata, batu kali, dll. Yang
sangat penting untuk proses pembangunan tersebut.
4. Biaya Pengawasan Jalannya Pembangunan
Pada saat proses pembangunan maka untuk kelancaran proses pembangunan
tersebut harus ada pengawas yang memerhatikan proses pekerjaan yang dilakukan
oleh para pekerja bila ada kesalahan dalam pelaksanaannya yang dapat berakibat
fatal pada bangunan tersebut. Maka dibutuhkan tenaga ahli dalam pengawasan
jalannya pembangunan tersebut.
5. Biaya Interior Bangunan
Setelah proses pembangunan selesai maka tidak langsung bangunan itu selesai,
maka perlu adanya ornamen pengisi bangunan itu yaitu interior bangunan tersebut,
mulai dari furniture, penataan warna, penataan ruang dll.

2. Bahan-Bahan Pembangunan
Setelah dana pembangunan ada, maka selanjutnya pengadaan Bahan-bahan pembangunan
haruslah ada, apa yang dibutuhkan dalam pembuatan bangunan tersebut. Mulai dari bahan-
bahan seperti pasir, semen, kayu, bata, batu alam dan lain-lain. Sesuai yang dibutuhkan oleh
pembangunan tersebut.

3. Tenaga Kerja
Jika ada bahan-bahan bangunan maka selanjutnya syarat pembangunan adalah tenaga ahli
dalam pembangunan tersebut dan pekerja-pekerja bangunan tersebut, mulai misalnya dari
tukang kayu, tukang besi, tukang pasang bata, dan lain-lain. Itu sesuai dengan keahlian di
bidangnya masing-masing agar proses pengerjaan pembangunan pun cepat terselesaikan.

4. Peralatan Pembangunan
Alat-alat pembangunan tentu perlu untuk membantu kelangsungan dalam pembangunan

36
bangunan sebagai kelengkapan yang membantu para pekerja seperti membengkokan besi
dengan dongkrak misalnya, mengangkat batu bata ke atas membutuhkan mobile crane dan
sebagainya yang tak bisa dilakukan oleh manusia.

Beberapa cara mengklasifikasikan building system dapat dilihat dari beberapa sudut pandang
yang berbeda, misalnya:
1. Bahan bangunan, misalnya beton, kayu, metal dan sebagainya.
2. Kemampuan bentukan komponen, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka.
3. Macam bentuk rumahan, yaitu rumah tunggal, rumah gandeng (row), apartemen
rendah, dan apartemen tinggi.
4. Macam struktur yang digunakan, yaitu box, rangka struktural (structur frame), struktur
dengan panel pendukung (bearing panel) dan lain-lain.
5. Lokasi pembuatannya dibedakan menjadi pabrikasi dan perakitan (assembly). Terkait
dengan lokasi dapat dibedakan: Keduanya off site atau pabrikasi saja, dan keduanya
on-site dan in-place (khusus untuk beton). Sistem off site berarti komponen bangunan
dibuat di luar site bangunan, biasanya di pabrik (sehingga sering dikatakan fabrikasi),
dan kemudian dirakit di site bangunan. Khusus bahan beton, seringkali sistem yang
digunakan adalah on-site dan in-place dalam arti komponen bangunan dibuat dan
dirangkai langsung di site banguan.

Gambar 7. Material Prefabrikasi


Sumber : http://www.steelstructureschina.com/heavy-steel-structures.htm, 2015 dan
http://www.busyboo.com/2013/03/31/prefab-cabin-morerava/, 2015

37
6. Dalam kaitannya dengan teknik membangun, lebih baik diklasifikasikan terlebih dahulu
berdasarkan lokasinya yaitu:
a. Off site, berarti di luar site/dipabrikasi.
b. On site, berarti di dalam site (dibedakan dengan in-place), di luar posisi yang
sebenarnya di dalam bangunan/setempat.
c. In place, berarti in site persis pada posisi yang sebenarnya di dalam bangunan
setempat.

Terdapat dua kemungkinan fabrikasi off-site, yaitu :


a. Seluruh komponen dirakit off-site (di pabrik) kemudian diangkat ke site dan
diletakkan pada dudukannya. Pada system ini biasanya yang menjadi masalah
antara transportasi karena membutuhkan teknologi dan biaya yang tinggi.
b. Komponen dirakit off site. Setelah siap, paket-paket komponen diangkut ke site
dan dirakit on-site pada posisi yang sebenarnya di dalam bangunan. Sistem ini
mempunyai dua kemungkinan yaitu:
1) Pre-fab-kit: Keseluruhan komponen dibuat oleh satu pabrik dan hanya
berlaku untuk bangunan yang bersangkutan saja (closeved system).
2) Pre-fab components: Seluruh komponen bisa berasal lebih dari satu pabrik.
Pabrikasi dan perakitan on-site: seluruh komponen dibuat di dalam site (on-
site prefabrication), sehingga memerlukan site yang cukup luas. Pabrikasi in-
place: sebenarnya hanyalah masalah rasionalisasi bangunan yang
menyangkut masalah mekanisasi dan organisasi.

38
Bab. 4
PERENCANAAN TATA LINGKUNGAN PERUMAHAN

4.1 PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN

Perumahan formal dalam artian yang dibangun oleh lembaga formal terdiri dari 2 jenis yakni
perumahan yang dibangun oleh pemerintah dan perumahan yang dibangun oleh swasta
(Developer Real Estate). Perbedaan keduanya adalah dari segi subyek pelaksana
pembangunan, lokasi, harga, kelengkapan fasilitas, konstruksi, desain dan detail serta material
bangunanya. Jika dahulu syarat perbandingan antara kelompok mewah, menengah dan
sederhana adalah 1 : 3 : 6. Saat ini standar tersebut telah bergeser menjadi 1 : 2 : 3. Suatu
kondisi yang sebenarnya membaik dimana tingkat perekonomian sudah dikatakan membaik,
dimana sebelumnya rasio untuk rumah sederhana yang dibutuhkan lebih banyak tetapi
sekarang sudah berkurang (berimbang).

Kondisi di atas sebenarnya adalah kondisi yang membaik, karena jika dianalisis sebenarnya
kemampuan daya beli masyarakat sudah lebih meningkat, sudah semakin banyak masyarakat
yang mampu membeli rumah menengah, bila sebelumnya lebih banyak yang mencari rumah
sederhana atau sangat sederhana. Namun, hal ini bukan berarti tidak menimbulkan
permasalahan karena di sisi lain menimbulkan permasalahan yakni semakin meluasnya
kebutuhan akan lahan, dikarenakan jumlah keluarga yang membutuhkan luasan tanah yang
lebih luas akan semakin banyak, dan akan terus bertambah banyak.

Jika melihat dari teori dasar mengenai permukiman (Sundjaja: 1999), dalam menentukan
sebuah lingkungan perumahan, terdapat 2 kelompok persyaratan:
a. Persyaratan Teknik
b. Persyaratan Non Teknis.

Dari segi teknis suatu lingkungan perumahan hendaknya memperhatikan hal-hal :


1. Pada pemilihan lahan untuk lokasi perumahan harus tersedia lahan yang cukup bagi
pembangunan perumahan minimal 50 unit rumah dan dilengkapi dengan prasarana
lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial. Bila pembangunan baru bergabung
dengan lingkungan yang sudah teratur, maka banyaknya rumah dapat diperkenankan
kurang dari 50 unit.
2. Lokasi hendaknya bebas dari pencemaran air, udara dan kebisingan, baik yang
berasal dari sumber daya buatan dan sumber daya alam, misal: gas beracun.
3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan yang sehat bagi pembinaan individu
masyarakat penghuni.
4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%, sehingga dapat
dibuat sistem saluran air (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang

39
memungkinkan untuk dibangun perumahan.
5. Harus terjamin adanya hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan
bangunan di atasnya yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Yang
dimaksud dengan kepastian hukum yang jelas terhadap tanah, bangunan di atasnya
dan penghuniannya akan dilindungi oleh hukum. Kegiatan-kegiatan/prosedur hukum
pemilikan tanah, bangunan di atasnya dan penghuniannya dapat dilakukan oleh
perorangan maupun badan hukum, yang meliputi tahap-tahap antara lain:
 Pembebasan tanah.
 Permohonan hak.
 Pembangunan.
 Penghunian.

Apabila dilihat pada syarat di atas terdapat pengecualian atau anomali, yakni kondisi kota besar
dimana jumlah rumah sudah sulit untuk dibangun sejumlah 50 rumah pada kompleks
perumahan (landed house), yang ada sekarang adalah rumah-rumah cluster, kalaupun ada
perumahan pasti lokasinya jauh dari pusat kota. Hal ini disebabkan lahan yang semakin
terbatas. Kecuali jika perumahan dibangun vertikal (rumah susun atau apartemen).

Sementara dari segi non teknis hendaknya, suatu lokasi daerah permukiman memenuhi 4 sifat,
yaitu:
1. Wisma : Rumah harus konstruktif, sehat, indah dan efisien.
2. Marga : Lingkungan perumahan harus mudah dicapai dengan menggunakan
alat transportasi umum maupun pribadi.
3. Karya : Lingkungan perumahan harus memudahkan pada penghuninya
menuju tempat mereka bekerja.
4. Suka : Lingkungan perumahan secara individu maupun secara keseluruhan
masyarakat di dalamnya harus mencerminkan kegairahan hidup dan
gembira, dengan memadainya lingkungan tersebut dengan tempat
rekreasi, ruang-ruang terbuka,fasilitas olahraga, dan sebagainya.

4.2 PERSYARATAN KESEHATAN PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN

Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah kondisi fisik, kimia, dan biologik di
dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni
mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan
lingkungan pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka
melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat
sekitar daribahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatanperumahan yang meliputi
persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat
diperlukankarena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan
derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie, 1992).

40
Adapun persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai
berikut :
1.Lokasi
1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran
lahar, tanah longsor, gelombangtsunami, daerah gempa, dan sebagainya;
2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau
bekas tambang;
3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur
pendaratan penerbangan.
2.Kualitas udara
1) Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas
beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :
a) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi;
b)
c) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;
d) Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari.
3.Kebisingan dan getaran
1) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;
2) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik.
4.Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman
1) Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg
2) Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg
3) Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg
4) Kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg
5.Prasarana dan sarana lingkungan
1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi
yang aman dari kecelakaan;
2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit;
3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksijalan tidak
mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki
dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu
peneranganjalan tidak menyilaukan mata;
4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan;
5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi
persyaratan kesehatan;
6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat
kesehatan;

41
7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja,
tempat hiburan, tempat pendidikan,kesenian, dan lain sebagainya;
8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya;
9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi
makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
6.Vektor penyakit
1) Indeks lalat harus memenuhi syarat;
2) Indeks jentik nyamuk dibawah 5%.
7.Penghijauan
Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan
juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam.

Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No.


829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut :
1. Bahan bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yangdapat

asbestos kurang dari 0,5 serat/ m 3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300
mg/kg bahan;
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruangan
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan
mudah dibersihkan;
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan;
d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir;
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya;
f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak
menyilaukan mata.
4. Kualitas udara
a. Suhu udara nyaman antara 18 – 30 °C;
b. Kelembaban udara 40 – 70 %;
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/ 24 jam;
d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/ penghuni;
e. Gas CO kurang dari 100 ppm/ 8 jam;
f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/ m 3

42
5. Ventilasi minimal 10% luas lantai.
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen
6. Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
7. Penyediaan air
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitasminimal 60 liter/
orang/hari;
b. kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan
Kepmenkes 907 tahun 2002.Kualitas air harus memenuhi persyaratan
8. Sarana penyimpanan makanan
a. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman
9. Pembuangan Limbah
a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah;
b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak
mencemari permukaan tanah dan airtanah.
10. Kepadatan hunian
a. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.
b. Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap
c. kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan)
pada zona pemukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenaipersyaratan kesehatan
perumahan dan lingkungan pemukiman
d. menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggarapembangunan
perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah.
e. Penyelenggara pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi
ketentuan tentang persyaratan kesehatanperumahan dan lingkungan pemukiman
dapat dikenai sanksi pidanadan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4
/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992
tentangKesehatan, serta peraturan pelaksanaannya.

4.3 TATA ATUR LINGKUNGAN

Struktur/ order adalah tata atur lingkungan perumahan yang menjamin pemakai berorientasi
dan dapat memahami lingkungannya. Tata atur ini mencakup pengolahan dan pengaturan
unsur-unsur fisik pembentuk arsitektur kota atau arsitektur kawasan perumahan. Menurut
telaah Shirvani (1985), unsur pembentuk kawasan adalah pola tata guna lahan, tata bangunan
sirkulasi dan parkir, tata ruang terbuka, jalur pedestrian aktivitas pendukung, tata informasi
(signing system), serta preservasi dan konservasi.

43
Selanjutnya untuk mengukur kualitas tata atur lingkungan menurut Greene (1992: 182) dalam
Barliana (2011) paling tidak ditentukan oleh empat hal: keterkaitan (linkage), kesinambungan
(continuity), kejelasan (clarity) dan keseimbangan (balance).

4.3.1. Pola Tata Guna Lahan dan Pemintakatan (Zoning)


Pola tata guna lahan mencakup alokasi dan pembagian lahan serta peruntukan lahan yang
dirasakan manfaat sebesar-besarnya oleh sebanyak-banyaknya kalangan masyarakat.
Keputusan peruntukan lahan akan menentukan hubungan antara sirkulasi, parkir, dan
kepadatan aktivitas kota.

Permasalahan yang sering muncul dalam pengaturan tata guna lahan ini adalah adanya
benturan kepentingan fungsi-fungsi yang terus berkembang dengan kepentingan
mempertahankan unsur-unsur alam dan daerah konservasi lainnya. Sebuah lahan dapat diatur
untuk kepentingan fasilitas umum, hunian, rekreasi, ruang terbuka, fasilitas komersial dan lain-
lain.

4.3.2. Tata Bangunan

Tata bangunan meliputi tatanan bentuk fisik bangunan yang lahir dari pengaturan kepadatan
dan ketinggian bangunan, selubung, posisi sempadan serta komposisi bangunan. Bangunan
pada dasarnya ada untuk mendefinisikan ruang, meskipun sebaliknya ruang dapat mendikte
tata bangunan dengan cara menentukan komposisi bangunan. Unsur-unsur lain yang
menentukan tata bangunan diantaranya adalah warna, material, tekstur, dan bentuk fasade
bangunan.

Dalam setiap pertemuan antar arsitek, hampir dapat dipastikan selalu muncul ke permukaan
perdebatan sengit tentang perlu tidaknya memperbincangkan tentang identitas arsitektur dan
lingkungan. Menurut (Budihardjo: 1998) wawasan identitas diperlukan sebagai pegangan
handal bagi setiap perencana pembangunan. Di negara Barat konon masyarakat banyak yang
begitu muak dengan modernisasi atau arsitektur kontemporer sehingga ada istilah yang kuno
(tua) itulah yang terbaik (Old is the Best). Maka karakter-karakter bangunan yang memiliki
peninggalan bersejarah (historis) haruslah mendapatkan pelestarian.

4.3.3. Sirkulasi dan Parkir


Sirkulasi merupakan salah satu sarana pembentuk struktur kawasan. Jalur sirkulasi dibentuk
dan diarahkan untuk mengontrol pola aktivitas dalam sebuah kawasan, misalnya jalur
kendaraan bus, mobil pribadi, sepeda motor, sepeda dan lain-lain. Berkaitan dengan ini, unsur-
unsur penghubung fungsi yang ada akan berhubungan dengan baik apabila memiliki sarana
penghubung yang baik pula. Aspek-aspek sirkulasi ini adalah jalan pergerakan utama, jalur
pedestrian, peralihan moda transportasi pejalan kaki, dan kendaraan pejalan kaki.

44
Berkaitan dengan di atas, Kamil (2004) dengan mengutip Jane Jacobs menteorikan bahwa
koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya merupakan bagian dari ruang publik utama kota.
Kehidupan sosial yang terjadi di koridor jalan itulah yang menjadi denyut nadi peradaban
masyarakat urban. Lebih lanjut, Jacobs menekankan bahwa kehidupan di koridor jalan yang
baik jika bersifat self regulating, yang menjaga kualitas fisik dan sosial dengan kombinasi
control sosial warga, perancangan fisik yang baik, dan tata guna lahan yang mendukung
terjadinya interaksi dan ekspresi sosial.

4.3.4. Jalur Pedestrian


Pedestrian sebagai salah satu jalur sirkulasi untuk pejalan kaki, merupakan unsur penting
dalam suatu kawasan, baik dari segi secara fisik mewadahi lalu lintas orang dan elemen
penghubung yang membentuk vitalitas kawasan, tetapi terutama juga sebagai wahana interaksi
sosial budaya.

4.3.5. Aktivitas Pendukung


Aktivitas pendukung kawasan ini mencakup seluruh pemakaian dan aktivitas yang membantu
kekuatan ruang publik perkotaan. Bentuk, lokasi dan karakteristik area yang spesifik dan unik
akan menciptakan kualitas fungsi, penggunaan ruang, dan aktivitas yang spesifik pula.

4.3.6. Tata Informasi (Sign) dan (Way Finding)


Tata Informasi dalam sebuah kawasan atau kota terdiri dari dua jenis, yaitu built in (terintegrasi
dengan lingkungan) dan grafis. Kawasan yang baik adalah kawasan yang mudah dikenali,
mudah ditemukan tujuannya, serta mudah dimengerti, karena adanya tata informasi yang baik.
Signage ini dapat berupa elemen-elemen kecil seperti pohon, lampu, tempat duduk, halte, dan
lain-lain.

4.3.7. Preservasi dan Konservasi


Elemen ini terkait juga dengan kualitas visual misalnya bagaimana unsur-unsur alam seperti
sungai, lembah, dan lain-lain tidak diganggu atau bahkan menjadi elemen estetis dan sekaligus
dijaga keseimbangan ekologisnya.

Preservasi (pelestarian) mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan


lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Sementara konservasi lebih
kepada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang lebih menunjang kegiatan di bangunan kuno
tersebut. Misalnya saja kegiatan pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi dan juga
revitalisasi (Budihardjo : 1988).

4.4. PRASARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN

Pada lingkungan perumahan diperlukan adanya sarana prasarana yang mendukung lingkungan
perumahan tersebut sehingga dapat berfungsi dengan baik. Salah satu fasilitas prasarana yang

45
sangat penting dalam perumahan dan permukiman misalnya adalah ruang terbuka publik (open
space). Sementara fasilitas-fasilitas lain biasanya berbantuk bangunan tertutup. Kebutuhan
akan ruang publik adalah sangat penting karena akan menjadi faktor yang dapat memperkuat
modal sosial di masyarakat dan selanjutnya memperkuat juga pencapaian tujuan suatu bangsa.
Saat ini penyediaan dan ketersediaan akan sarana dan prasarana semakin terbatas, karena
persaingan kepemilikan lahan yang semakin ketat. Diperlukan analisis dan perancangan yang
optimal untuk memperoleh kualitas sarana dan prasarana yang memadai namun efisien dan
efektif. Adapun sarana dan prasarana terdiri dari :
4.4.1. Fasilitas sosial
Fasilitas sosial merupakan kelengkapan lingkungan berupa: fasilitas-fasilitas pendidikan,
kesehatan, perbelanjaan, niaga, pemerintahan, pelayanan umum, peribadatan, rekreasi,
kebudayaan, olahraga dan lainnya.

4.4.2. Jalan
Adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagiannya
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas.

4.4.3. Utilitas Umum


Utilitas Umum Adalah bangunan-bangunan yang dibutuhkan dengan sistem pelayanan yang
diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah dan terdiri dari :
 Jaringan listrik.
 Jaringan telepon.
 Jaringan gas
 Pembuangan sampah.
 Jaringan air bersih.
 Pemadam kebakaran.

Peraturan dan Persyaratan utilitas umum untuk perumahan :


 Air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perda huruf a dapat
menggunakan air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) atau sumber air bersih
setempat.
 Lokasi perumahan yang di sekitarnya terdapat jaringan air bersih dari PAM diharuskan
menggunakan jaringan PAM.
 Penggunaan air bersih dari PAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan
dengan kesanggupan dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Pengelolan PAM
dengan pemohon/pengembang.
 Sumber air bersih harus terletak pada jarak paling rendah 10 (sepuluh) meter dari sumur
peresapan air kotor.
 Apabila sumber air bersih menggunakan sumur bor, maka harus mendapat izin
pengeboran dari SKPD yang membidangi perijinan.

46
4.4.4. Fasilitas pembuangan air limbah dan pembuangan air hujan

Air limbah adalah semua jenis air buangan yang mengandung kotoran dari rumah tangga,
manusia, hewan atau tumbuhan atau dari industri serta buangan kimiawi. Sebelum air limbah
dibuang ke saluran pembuangan air limbah kota harus melalui proses pengolahan hingga aman
bagi kesehatan.

Fasilitas pengolahan air limbah yang seharusnya ada dalam rumah adalah : septiktank, sumur
resapan, dan saluran yang mengalirkan limbah dengan lancar sampai ke saluran pembuangan
air limbah kota.

Sementara pembuangan air hujan pada bangunan dimulai dengan talang-talang air, pipa dari
talang ke saluran-saluran air horisontal (riol) di sekitar rumah, yang kemudian mengalirkan air
hujan ke riol kota.

Peraturan dan Persyaratan fasilitas buangan air limbah untuk perumahan :


1. Kawasan perumahan yang dilewati jaringan limbah rumah tangga (assenering) dari
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpusat wajib menyambung ke jaringan IPAL.
2. IPAL komunal wajib dibangun apabila :
a. Dalam 1 (satu) rumah tidak memungkinkan untuk dibangun resapan limbah sendiri;
dan/atau
b. Kawasan perumahan yang tidak dilewati jaringan limbah rumah tangga (assenering)
dan memiliki jumlah kavling paling sedikit 40 (empat puluh) unit rumah.
3. Penempatan peresapan limbah paling rendah harus berjarak 10 (sepuluh) meter dari
sumber air bersih.
4. Penempatan peresapan limbah pada tanah berpasir, maka jarak paling rendah 15 (lima
belas) meter dari sumber air bersih.
5. Limpahan air limbah dilarang dibuang di saluran drainase.

4.5. SARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN

Suatu lingkungan perumahan dipersyaratkan memiliki prasarana untuk memberikan


kemudahan bagi penghuni. Prasarana-prasarana yang harus disediakan adalah sebagai
berikut:

4.5.1. Jalan
Klasifikasi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Jalan Penghubung Lingkungan Perumahan, yaitu jalan yang menghubungkan
lingkungan perumahan yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan lingkungan
perumahan dengan fasilitas layanan di luar lingkungan perumahan.

47
2) Jalan Poros Lingkungan Perumahan, yaitu jalan utama pada suatu lingkungan
perumahan.
3) Jalan lingkungan, yaitu jalan pembagi suatu lingkungan perumahan yang hierarkinya
lebih rendah daripada jalan poros lingkungan perumahan. Jalan lingkungan ini dapat
dibagi lagi menjadi jalan lingkungan tingkat I, jalan lingkungan tingkat II, dan jalan
lingkungan tingkat III, yang mempunyai hierarki yang semakin rendah.

Proporsi jalan pada lingkungan perumahan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Pada perumahan dengan kriteria daerah kemudahan tingkat I, jalan lingkungan II dan
III sebesar 80%, jalan lingkungan I 15%, dan jalan poros lingkungan 5%.
b. Pada perumahan dengan kriteria daerah kemudahan tingkat II, jalan lingkungan II dan
III sebesar 60%, jalan lingkungan I 30%, dan jalan poros lingkungan 10%.
c. Pada perumahan daerah kemudahan tingkat III, jalan lingkungan II dan III sebesar
40%, jalan lingkungan I 40%, dan jalan poros lingkungan 20%.

4.5.2. Air minum


Suatu lingkungan perumahan harus menyediakan sumber air bersih bagi warganya. Sumber air
bersih ini dapat saja disediakan perunit ataupin secara sentral untuk seluruh area permukiman.

4.5.3. Air limbah


Lingkungan perumahan yang baik harus mempunyai sarana pengolahan air limbah. Karena
fungsinya sebagai kawasan permukiman, sebagian besar air limbah merupakan limbah rumah
tangga, yang pengelolaannya cukup dengan menyediakan septic tank dan sumur resapan.

4.5.4. Pembangunan air hujan


Untuk pembuangan air hujan dapat disediakan sumur resapan di area-area terbuka di dalam
kawasan perumahan ataupun berupa selokan yang dikendalikan bersama untuk seluruh area
perumahan. Untuk memenuhi persyaratan kesehatan, saluran air hujan ini sebaiknya berupa
saluran tertutup.

4.5.5. Pembuangan sampah


Sarana pembuangan sampah merupakan kelengkapan yang penting terkait dengan
persyaratan kesehatan lingkungan. Tempat pembuangan sampah rumah tangga sebaiknya
disediakan pada setiap unit hunian. Dari unit-unit hunian ini sampah diangkut ke Tempat
Pembuangan Sementara (TPS), misalnya dengan menggunakan gerobak ataupun mobil
sampah. Selanjutnya sampah diangkut ke tempat pembuangan akhir dengan menggunakan
dumb truck, yang operasionalisasinya dapat dikoordinasikan dengan pemerintah Daerah
Setempat dan dapat pula dikelola secara mandiri.

48
4.5.6. Jaringan listrik
Sesuai tuntutan kebutuhan hidup saat ini listrik merupakan sarana penerangan yang penting.
Pada lingkungan perumahan pasokan listrik harus diperhitungkan dengan standar minimal 450
VA per keluarga ataupun 90 VA per individu.

4.5.7. Tinjauan fasilitas untuk orang tua dan orang cacat pada fasilitas publik dan
umum

Orang tua dan orang cacat (kaum diffable) adalah manusia yang memerlukan desain arsitektur
yang seringkali smemiliki kekhususan. Mereka adalah orang-orang yang lebih lemah namun
memiliki hak yang sama terhadap fasilitas ruang publik. Di Indonesia hal ini masih memerlukan
penerapan yang lebih sempurna, termasuk dalam fasilitas perumahan dan permukiman, yakni
ruang publiknya. Melihat contoh dari negara-negara maju akan membuka wawasan. Meski
detailnya memerlukan penyesuaian karena budayanya yang berbeda.

Gambar 8. Contoh Fasilitas yang mengakomodir older people di negara maju.


Pada hakikatnya fasilitas untuk kaum yang sudah berumur, haruslah cukup nyaman, hijau dan memiliki tempat berjalan-jalan
dan duduk-duduk. Kaum older people tidak memerlukan aktivitas yang kompleks atau neko-neko seperti kaum muda.
Sumber : https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities+

Gambar 9. Contoh Fasilitas untuk orang cacat (diffable) di negara-negara maju.


Pada hakikatnya fasilitas untuk kaum diffable di negara-negara maju, adalah terkait dengan regulasi yang lebih luas, misalnya
kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan yang enggunakan bbm, tingkat pendidikannya yang suah tinggi dan arsiteknya yang
sudah lebih detail dan kreatif dalam implementasi fasilitas bagi kaum diffable.
Sumber : https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities

49
a. Jalur pedestrian
Jalur yang digunakan untuk berjala kaki atau berkursi roda bagi difabel
secara mandiri yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak
aman mudah, nyaman dan tanpa hambatan.
Persyaratan untuk pedestrian untuk kaum difabel :
1) Permukaan jalan harus kuat stabil kuat, tahan cahaya, hindari
sambungan atau gundukan pada permukaan
2) Kemiringan maksimum 2 0 dan pada setiap jarak 900 cm dan bagian
datar minimal memiliki lebar 120 cm.
3) Area istirahat digunakan untuk membantu pengguna jalan difabel
dengan menyediakan tempat duduk santai dibagian tepi.
4) Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untul jalur searah dan
160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian bebas dari pepohonan tiang
rambu-rambu dan lain-lain.
5) Tepi pengaman dibuat setinggi maksimal 10 cm dan lebar 15 cm
sepanjang jalur pedestrian.

b. Ramp
Ramp merupakan jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan
tertentu sebagai alternative bagi orang tidak dapat menggunakan tangga.
Persyaratan ramp :
1) Kemiringan ramp diluar bangunan maksimum 6 0 .
2) Panjang mendatar dari suatu ramp tidak boleh dari 900 cm.
3) Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman, dan 120
cm dengan tepi pengaman.
4) Muka datar atau bordes pada awalan dan akhiran dari suatu ramp harus
bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk
memutar kursi roda dengan ukuran minimum 160 cm. dan harus
bertekstur agar tidak licin
5) Lebar tepi pengaman ramp dirancang untuk menghalangi roda kursi roda
agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ramp.
c. Area parkir
Area parkir untuk penyandang cacat harus mempunyai area yang lebih luas
untuk naik turun kursi roda, dari tempat parkir biasanya.

50
4.6. SYARAT KELENGKAPAN PRASARANA DAN SARANA PERUMAHAN

Penjelasan Khusus Sektor Permukiman Dan Prasarana WilayahSub Sektor Usaha


Pembangunan Perumahan dan Permukiman Pengembangan usaha dalam sektor perumahan
dan permukiman pada dasarnya harus mengikuti:
a. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
b. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Badan
Kebijaksanaan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Nasional (BKP4N) No. 217/KPTS/M/2002 tanggal 13 Mei 2002 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP).
c. Pembangunan Perumahan dan Permukiman Tidak Bersusun.
d. Pembangunan perumahan dan permukiman tidak bersusun harus mengikuti
Kawasan Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, terdiri
dari:
1) Rumah sederhana
2) Rumah menengah
3) Rumah mewah

Persyaratan pembangunan perumahan dan permukiman tidak bersusun:


1. Pembangunan perumahan sederhana tidak bersusun harus mengikuti
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik
Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dan peraturan
perubahannya.
2. Pembangunan rumah sangat sederhana harus memenuhi Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 54/PRT/1991 tentang Pedoman Teknik Pembangunan
Perumahan Sangat Sederhana dan peraturan perubahannya.
3. Pembangunan rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah wajib
menerapkan ketentuan lingkungan hunian yang berimbang sesuai dengan Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Perumahan Rakyat No. 648-384 Tahun 1992, No. 739/KPTS/1992 dan
No. 09/KPTS/1992 dan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku
Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Nasional No. 04/KPTS/BKP4N/1995 tentang Ketentuan Lebih Lanjut
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Negara Perumahan Rakyat.
4. Bangunan rumah tidak bersusun yang belum selesai dibangun, dapat dijual
dengan syarat harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Surat
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 09/KPTS/ M/1995 tentang
Pedoman Perikatan Jual Beli Rumah.

51
Fasilitas Lingkungan Permukiman yang baik harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas
pelayanan bagi penghuninya. Fasilitas-fasilitas ini secara umum dibedakan menjadi:

a. Fasilitas pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana untuk membangun individu. Pada era globalisasi saat
ini, pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi peningkatan derajat sosial
seseorang. Karenanya kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas
pendidikan sesuai dengan standar di bawah ini:
1) Untuk setiap 1000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidkan setingkat
Taman Kanak-kanak (TK).
2) Untuk setiap 1600 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan setingkat
Sekolah Dasar (SD).
3) Untuk setiap 6000 penduduk harus disediakan 1 fasilitas pendidikan setingkat
sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

b. Fasilitas kesehatan
Suatu lingkungan permukiman yang penduduknya telah mencapai 6000 orang,
selain harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, juga harus dilengkapi dengan
fasilitas kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Untuk setiap 6000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat
Puskesmas pembantu yang sebaiknya diletakkan di tengah-tengah
lingkungan permukiman dengan radius pencapaian maksimum 1500 m.
2) Selain itu, apabila jumlah penduduk di suatu lingkungan permukiman telah
mencapai 6000 jiwa, selain Puskesmas Pembantu juga perlu dilengkapi
dengan fasilitas pendukung yang lain seperti tempat praktek dokter. Fasilitas
ini sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan permukiman dengan
radius pencapaian maksimum 1500 meter.
3) Apabila jumlah penduduk mencapai 10.000 jiwa, suatu lingkungan
permukiman harus dilengkapi dengan rumah bersalin. Fasilitas ini sebaiknya
diletakkan dengan radius pencapaian 2000 meter.
4) Untuk setiap 30.000 jiwa harus disediakan 1 fasilitas kesehatan setingkat
Puskesmas yang lebih tinggi daripada Puskesmas Pembantu. Pada
lingkungan ini harus disediakan Puskesmas Induk yang membawahi 5
Puskesmas Pembantu. Sebaiknya fasilitas tersebut diletakkan di tengah-
tengah lingkungan permukiman sehingga akses setiap Puskesmas Pembantu
ke Puskesmas Induk dapat sama rata, dengan radius pencapaian maksimum
3000 meter.
5) Selain itu apabila penduduk suatu permukiman sudah mencapai 10.000 jiwa
maka lingkungan ini juga harus dilengkapi dengan apotik yang sebaiknya
diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian 1500 m.

52
c. Fasilitas Perbelanjaan dan Niaga
Fasilitas perbelanjaan dan niaga merupakan fasilitas komersial sebagai layanan
sebuah lingkungan permukiman. Fasilitas ini direncanakan dengan tujuan untuk
mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat. Ketentuannya adalah sebagai
berikut:
1) Untuk lingkungan perumahan dengan penduduk mencapai 250 jiwa
sebaiknya disediakan fasilitas perbelanjaan terkecil yang dapat berwujud
warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Fasilitas ini diletakkan di
tengah-tengah dengan radius pencapaian 300 meter.
2) Apabila penduduk mencapai 30.000 jiwa, suatu lingkungan permukiman
sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas perbelanjaan berupa pertokoan yang
diletakkan di tengah-tengah dengan radius pencapaian maksimum 500
meter.
3) Apabila jumlah penduduknya sudah mencapai 30.000 jiwa suatu lingkungan
permukiman sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan lingkungan seperti
tempat jual beli keperluan sehari-hari seperti bahan makanan, pakaian, alat
rumah tangga, alat sekolah dan lain-lain. Pusat perbelanjaan ini terdiri dari
pertokoan dan pasar, yang sebaiknya terletak di tengah-tengah agar mudah
dicapai oleh setiap warga permukiman.
4) Untuk lingkungan permukiman setara kecamatan dengan jumlah penduduk
mencapai 120.000 jiwa sebaiknya mempunyai pusat perbelanjaan dan niaga
setara kecamatan. Selain pusat perbelanjaan dan niaga biasa, perlu juga
dilengkapi dengan bank dan industri unit produksi yang tidak menimbulkan
gangguan polusi serta tempat-tempat hiburan.

d. Fasilitas Pemerintah dan Layanan Umum


Untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat selain fasilitas-
fasilitas yang standar di atas perlu juga disediakan fasilitas umum antara lain,
seperti:
1) Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa penduduk perlu disediakan balai
pertemuan, parker umum, kamar mandi umu dan pos keamanan/hansip.
2) Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa perlu disediakan kantor kelurahan, pos
polisi, kantor pos pembantu, pos pemadam kebakaran, parker umum dan
kamar mandi umum, serta gedung serbaguna.
3) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa perlu disediakan kantor kecamatan,
kantor polisi, kantor pos cabang, kantor telepon cabang, pos pemadam
kebakaran, parker umum dan kamar mandi umum, gedung serba guna dan
gardu listrik.

53
e. Fasilitas Peribadatan
Untuk membangun kehidupan rohani warga, dalam suatu kawasan permukiman
juga perlu disediakan sarana peribadatan. Ketentuannya adalah sebagai berikut
(misalnya 80% penduduk beragama Islam):
1) Untuk setiap 500 kk atau 2500 jiwa perlu disediakan 1 buah langgar.
2) Untuk setiap 600 kk atau 30.000 jiwa selain langgar perlu pula disediakan
masjid.
3) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa, perlu disediakan masjid setingkat
kecamatan dan fasilitas ibadah lain di samping masjid dan langgar tingkat
kelurahan.
f. Fasilitas Rekreasi dan Kebudayaan
Sebagai wahana untuk memberikan keseimbangan pada kondisi psikologi warga,
selain fasilitas-fasilitas di atas perlu juga disediakan fasilitas rekreasi dan
kebudayaan sebagai sarana apresiasi diri. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
1) Untuk setiap 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan) perlu disediakan
gedung serbaguna.
2) Untuk setiap 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan) di samping
gedung serbaguna perlu juga disediakan gelanggang remaja.

g. Fasilitas Olahraga dan Lapangan Terbuka


Pada suatu kawasan permukiman perlu juga disediakan fasilitas olahraga dan
lapangan terbuka. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
1) Untuk kelompok 50 kk atau 250 jiwa (setingkat RT) perlu disediakan tempat
bermain anak sebagai pengikat lingkungan.
2) Untuk kelompok 500 kk atau 3000 jiwa (setingkat RW) perlu disediakan
lapangan terbuka, sebaiknya berupa taman sekaligus dapat digunakan untuk
berolahraga (volley, badminton, dll).
3) Untuk kelompok 6000 kk atau 30.000 jiwa (setingkat kelurahan), disamping
tempat bermain anak, lapangan terbuka, perlu juga disediakan lapangan olah
raga.
4) Untuk kelompok 24.000 kk atau 120.000 jiwa (setingkat kecamatan), selain
fasilitas-fasilitas di atas perlu juga lapangan olahraga yang diperkeras seperti:
tennis, bola basket, dilengkapi dengan tempat ganti pakaian dan kakus
umum.

h. Fasilitas Untuk Kaum Difabel


Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas penyandang difabel
d. Ukuran dasar ruang
Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada ukuran
tubuh manusia dewasa juga peralatan yang digunakan dan ruang yang
dibutuhkan agar mewadahi semua pergerakan standar pengguna.

54
Persyaratan untuk desain fasilitas difabel :
1) Ukuran dasar ruang mempertimbangkan fungsi
2) Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman
ini dapat atau dikurangi sampai pencapaian aksesibilitas dapat terwujud.

e. Jalur pemandu
Jalur pemandu penyandang cacat untuk berjalan memanfaatkan tekstur
ubin/keramik pengarah dan ubin/keramik peringatan.
Persyaratan tekstur ubin/keramik :
1) Tekstur ubin pengarah garis-garis menunjukan arah perjalanan dan
penyandang cacat peka dengan tekstur tersebut.
2) Tekstur ubin peringatan dengan motif bulat memberi peringatan adanya
perubahan situasi disekitarnya.
3) Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (
guilding block).
a) Didepan jalur lalu lintas kendaraan
b) Didepan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas
persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai.
c) Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan.

55
Bab. 5
UNSUR-UNSUR PERENCANAAN
PERUMAHAN DAN ORGANISASI DALAM
RUMAH TINGGAL

Dalam perencanaan permukiman, tidak jarang terdapat pandangan pesimistik sehubungan


dengan akumulasi sistem politik terdahulu yang masih menciptakan marjinalisasi. Akan tetapi
sebenarnya pada sisi lain terdapat peluang-peluang inovasi positif misalnya: sistem teknologi
yang makin berkembang dan efisien, kreativitas perkembangan desain interior yang semakin
inovatif, ataupun adanya ketegasan mengenai kepranataan yang lebih akurat pada sistem
politik permukiman saat ini. Hal ini memerlukan pengetahuan teoritik secara terperinci pula
mengenai unsur-unsur perencanaan perumahan dan organisasi rumah tinggal.

Pada hakikatnya strategi perumahan dan permukiman saat ini mesti terstruktur dan terarah
sehingga solusi-solusi inovatif tersebut dapat terwujud. Back log kebutuhan perumahan seperti
dibahas pada bagian pendahuluan adalah hal yang tidak mudah untuk diselesaikan, dalam teori
teori apraissal diperlukan analisis pendapatan, analisis pasar (market) selain analisis data
(cek). Pada bahasan ini akan difokuskan mengenai unsur-unsur dan organisasi dalam rumah
tinggal.

5.1 TEORI DASAR PERANCANGAN RUMAH TINGGAL

Sebelum mengurai lebih lanjut mengenai teori-teori mengenai perancangan perumahan, perlu
diketahui terlebih dahulu teori-teori yang sifatnya mendasar. Seperti pada bab ini akan
dijelaskan lebih dahulu mengenai unsur perencanaan dan organisasi dalam rumah tinggal.
Adapun proses membangun bangunan arsitektural secara umum terdiri dari tahapan-tahapan
berikut :

1. Ide/ gagasan/ keinginan membangun


2. Skematik
3. Pra rancangan
4. Pengembangan rancangan
5. Detail rancangan
6. Tender (lelang) : tahapan ini biasa ada pada skala proyek yang besar. Pada proyek
rencana kecil seringkali tidak melalui tahapan ini
7. Pelaksanaan pembangunan
8. Operasional

56
Dalam merancang rumah juga harus memperhatikan syarat-syarat: Keamanan (safety),
kesehatan (healthy), kenyamanan (comfortability) dan keindahan (beauty).Teori yang cukup
penting lagi dalam menentukan kebutuhan manusia adalah Teori Maslow. Teori ini berkaitan
dengan tingkatan (piramida) kebutuhan manusia. Berbeda strata masyarakat akan berbeda
budaya dan selanjutnya akan berbeda pula ruang, bentuk dan detail arsitektur rumahnya.
Semakin tinggi status sosial dan juga tingkat ekonominya maka kebutuhannya akan rumahnya
akan berbeda pula. Dan kebutuhan juga bisa berubah seiring dengan dinamika yang dimiliki
seseorang sepanjang usia kehidupannya. Adapun teori Maslow ini meliputi hal-hal di bawah ini
:

Gambar 10. Skema teori kebutuhan Maslow


Sumber : Abraham Maslow pada : https://behindus.wordpress.com/2011/04/15/masalah-ekonomi-dan-
elastisitas- bag-1/

1. Survival Needs
Tingkat kebutuhan yang paling dasar ini adalah kebutuhan yang harus dipenuhi pertama
kali. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana untuk menunjang keselelamatan hidup
manusia. Kebutuhan untuk dapat selamat berarti manusia menghuni bangunan rumah
agar dapat selamat dan tetap hidup, terlindung dari gangguan iklim maupun makhluk
hidup yang lain.

2. Safety and Secutity Needs


Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat berikutnya ini
terkait dengan keselamatan dari kecelakaan, keutuhan anggota badan serta hak milik.
Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana perlindungan untuk keselamatan anggota
badan dan hak milik tersebut. Dengan demikian sebuah rumah harus memenuhi kaidah
keamanan selain daripada kenyamanan, sehingga aktivitas survival manusia dapat
ditunjang oleh rumah yang mereka miliki. Setelah berjuang (bekerja) seharian, manusia
tentunya berharap tinggal di rumah yang aman dari bencana alam, gangguan binatang dan
juga gangguan dari manusia lainnya.

57
3. Affiliation Needs
Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota dalam
golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam
golongan masyarakat. Dari segi lokasi biasanya perumahan memiliki identitas atau ciri
khas masyarakat termasuk strata yang mana. Kekumuhan kota dapat terjadi bila
pemerintah kurang memahami dan memberi solusi untuk masyarakat yang termarjinalkan
dari segi perumahan. Termarjinalkan adalah suatu kondisi kurang terakui, pada tingkatan
yang sulit dapat mengganggu kelompok masyarakat yang lain sehingga pemenuhan yang
berkeadilan adalah kebutuhan yang hakiki dalam suatu negara.

4. Esteem Needs
Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai dan diakui
eksistensi. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk mendapatkan
pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini,
rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah bukan tergolong
kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi yang
harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Rumah yang mewah, bagus dapat
memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik rumah tersebut.

5. Cognitive and Aesthetic Needs


Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek psikologis,
seperti halnya esteem need. Hanya saja pada level ini hunian tidak saja merupakan sarana
peningkatan kebanggaan dan harga diri, tetapi juga agar dapat dinikmati keindahannya.
Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya sekedar keindahannya. Pada tingkatan ini,
produk hunian tidak hanya sekedar keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak
hanya sekedar untuk digunakan tetapi juga dapat memberi dampak kenikmatan (misalnya
dinikmati secara visual) pada lingkungannya sekitarnya.

Dalam perencanaan bangunan termasuk perencanaan rumah tinggal pada intinya terdapat
3 hal yang harus diperhatikan yaitu: unsur-unsur perencanaan, organisasi ruang dan
elemen-elemen perencanaan.

5.2 UNSUR-UNSUR DALAM PERENCANAAN

Termasuk dalam unsur-unsur dalam perencanaan adalah unsur-unsur :


a. Keadaan dan orientasi tanah setempat
b. Keadaan iklim setempat

58
5.2.1. Keadaan dan Orientasi Tanah Setempat
Hal-hal yang termasuk dalam lokasi keadaan tanah setempat, dimana bangunan rumah akan
direncanakan adalah :
 Perbedaan tinggi rendahnya (split level kontur) tanah
 Orientasi persil tanah
 Orientasi bangunan terhadap sinar matahari
 Kekerasan/kepadatan tanah
 Kecepatan dan arah alirah udara
 Kebisingan dan frekuensi lalu lintas
 Pengaturan jarak bangunan
 Pengaturan pembukaan pada dinding
 Pengaturan atap/pelindung panas dan hujan
 Tumbuh-tumbuhan/pohon yang ada di dalam persil.

Gambar 11. Bangunan adalah seperti juga alam, memiliki unsur-unsur dan urutan proses. Seluruhnya mesti dalam perencanaan
dan perancangan arsitek secara komprehensif dan paripurna
Sumber : Frick, Heinz (2007)., Dasar-dasar Ekologis, Penerbit Kanisius

Permasalahan pertanahan sendiri bukan masalah yang mudah, terlebih untuk lingkungan
perkotaan. Ada banyak kasus-kasus sengketa tanah apabila pembeli lahan, perorangan
maupun kelompok (developer) kurang cermat. Kasus sengketa tanah sendiri sebenarnya bukan
fenomena baru, tetapi sudah sering terjadi. Kasus ini muncul sejak masyarakat mulai merasa
kekurangan tanah, sebagai akibat penjajahan dan ledakan jumlah penduduk. Kebijakan

59
agrarian yang dikeluarkan pemerintah colonial seperti pelaksanaan penanaman kopi wajib di
Priangan (Preangerstelsel), kebijakan pajak tanah (landrente) dari Rafles, kebijakan tanam
paksa (Culturstelsel), dan kebijakan pemberian tanah partikelir sangat merugikan hak-hak
penduduk atas tanah. Penderitaan penduduk sangat berat ketika pemerintah Kolonial Belanda
memberlakukan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 yang kemudian dikenal dengan
Agrarische Wet (Sunendar: 1994).

Diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 (yang memberikan kebebasan kepada swasta


asing dengan hak erfpacht dan konsep domein verklaring-nya dan bertambahnya jumlah
penduduk, menyebabkan timbulnya kekurangan tanah untuk pertanian. Dimana-mana
masyarakat petani telah kehilangan tanah mereka, karena sebagian besar digunakan untuk
komoditas perkebunan. Sampai tahun 1920-an di Jawa Barat telah berdiri ribuan perusahaan
perkebunan yang tersebar hamper di semua karesidenan. Kondisi kekurangan tanah pertanian
ini pada gilirannya mengakibatkan timbulnya berbagai gerakan petani, seperti yang terjadi di
Tangerang tahun 1924 dan di seputar daerah Priangan antara 1900-1925. Gerakan ini pada
dasarnya menuntut pengembalian hak atas tanah masyarakat yang selama ini lepas dari
genggamannya.

Memasuki babak baru kemerdekaan sampai diberlakukannya UUPA 1960, kasus pertanahan
masih mewarnai kehidupan penduduk, terutama penduduk pedesaan. Pada periode ini pula
pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan keagrariaan, seperti Undang-undang Pokok
Bagi Hasil (UUPBH), Undang-undang landreform, Peraturan Pendaftaran tanah, dan lain-lain.
Periode ini sering pula dikatakan sebagai periode keberhasilan pemerintah dalam meletakkan
dasar pembangunan pedesaan. Kasus-kasus sengketa tanah yang muncul pada periode ini
lebih bersifat lokal pedesaan, seeprti antara petani pemilik dengan petani penggarap atau
buruh tani, atau lebih menyangkut masalah landreform dan implikasi-implikasi sosialnya.

Pada masa Orde Baru dengan Orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung
mengagungkan modal, luka-luka lama persoalan agrarian terkoyak-koyak kembali. Tanah-
tanah yang telah diperjuangkan penduduk selama ini kini terancam oleh cengkraman kekuatan
modal yang kian mendominasi kehidupan ekonomi. Kasus-kasus sengketa tanah timbul secara
serentak hamper di seluruh wilayah jawa Barat. Prinsip-prinsip hak menguasai dari negara
untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan udara berdasarkan UUPA 1960 semakin terbawa arus kekuatan
ekonomi, politik kelompok elite tertentu (Sunendar : 1994).

60
5.2.2. Keadaan iklim setempat

Iklim yang nyaman (comfort) adalah syarat yang diperlukan dalam lingkungan rumah tinggal.
Iklim yang nyaman (comfort) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Temperatur udara.
2. Kelembaban,
3. Peredaran udara.
4. Radiasi panas.

Gambar 12. Iklim mempengaruhi, rincian faktor-faktor dan prioritas dalam perancangan bangunan termasuk untuk
fungsi perumahan. Untuk fungsi permukiman lebih kompleks lagi pertimbangannya, karena akan digunakan oleh
banyak orang (publik)
Sumber : Frick, Heinz (2007)., Dasar-dasar Ekologis, Penerbit Kanisius

5.3 ORGANISASI RUANG


Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun organisasi rumah tinggal adalah
sebagai berikut :

5.3.1. Fungsi dan sifat dasar setiap ruangan


Ruang-ruang dalam rumah tinggal seperti : teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan,
ruang tidur, ruang kerja, ruang hobi, dapur, kamar mandi/ WC, dan sebagainya, memiliki fungsi
dan sifat masing-masing yang berbeda satu sama lain.

Pada dasarnya ruang-ruang dalam bangunan rumah tinggal secara fungsi dan sifat dapat
dibagi menjadi 3 jenis area, yaitu:
 Area permukiman (living area), ruang-ruang yang termasuk dalam area ini terdiri dari :
ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga ruang belajar dan ruang kerja.
 Area peristirahatan (sleeping area), termasuk area ini adalah ruang tidur dan kamar
mandi/WC, kegiatan di kamar mandi/WC termasuk kegiatan yang rutin dan privat bagi
anggota keluarga.
 Area pelayanan (service area), yang termasuk dalam area ini adalah: dapur, gudang
dan garasi. Ruang-ruang tersebut adalah fasilitas pelayanan (service) bagi kegiatan
dalam rumah tinggal.

61
5.3.2. Prinsip penetapan jumlah dan ukuran ruangan
Jumlah dan ukuran ruang didapat dengan melakukan pengumpulan data mengenai :
 Jumlah anggota keluarga.
 Adat dan kebiasaan.
 Hobi dan selera.
 Ukuran persil tanah.
 Dana yang tersedia.

5.3.3. Standar Ruangan secara Minimal

Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis pelayanan yang disediakan oleh pemerintah
untuk Perumahan Permukiman (PP) dan Pekerjaan Umum (PU) dan syarat-syarat
minimumnya:
Tabel 1.
PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
PEDOMAN PENENTUAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENATAAN RUANG, PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN DAN PEKERJAAN UMUM
(Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001)

62
63
64
Catatan :
1. Nilai Kualitas SPM yang diberikan berdasarkan analisis terhadap kajian pada beberapa propinsi.
2. Metoda kajian belum sepenuhnya mengikuti kaidah penetapan SPM
3. Belum diperoleh Nilai Dasar (baseline) kualitas SPM sebagai dasar penilaian kerja
4. Diusulkan penerapan SPM ini dilakukan secara bertahap (tahapan ditentukan oleh Pemerintah Daerah
dengan berkonsultasi dengan Pemerintah), dengan dua cara :
a. Menyesuaikan Nilai Kualitas SPM berdasarkan kemajuan Pemerintah Daerah
b. Menerapkan Nilai Kualitas SPM diatas pada cakupan wilayah tertentu
5. Sejalan dengan pelaksanaan cara yang dipilih, Pemerintah harus segera menerbitkan NSPM untuk
mendukung proses pencapaian SPM dan melakukan kajian secara nasional untuk menetapkan Nilai dasar
(baseline) untuk masa yang akan datang dimana Nilai kualitas SPM benar-benar mewakili harapan
masyarakat terhadap tingkat pelayanan prasarana jalan.

5.3.4. Teknis penyusunan organisasi ruang


Tahapan dalam teknis perencanaan ruang adalah, sebagai berikut :
 Pengelompokan ruang sejenis menjadi 1 area
 Pemilihan tata letak ruang area di atas persil tanah
 Sketsa denah rangkaian ruang

65
-
Gambar 13. Skema Urutan Dalam Desain
Sumber : Surowiyono, Tutu TW (1996), Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta

Diatas ditunjukan elemen-elemen bangunan mulai dari kepala, badan kaki, mulai dari atap
sampai dengan pondasi. Dalam proses perencanaan dan perancangan selalu ada desain awal
(preliminary design) dan desain akhir (final design). Desain awal dimaksudkan desain tahap
pertama yang masih akan dikembangkan lebih sempurna pada desain akhir. Pada sebuah
konsultan biasanya ada rapat dan juga pertemuan dengan klien untuk mempertemukan
keinginan desain terbaik yang sebenarnya dituju. Berikut di bawah ini contoh dari desain akhir
suatu perencanaan bangunan rumah tinggal yang sudah lebih detail dalam bentuk gambar
akhir yang lengkap, berskala dan konstruktif.

66
Gambar 14. Contoh Gambar Presentasi Standar
Sumber : Surowiyono, Tutu TW (1996), Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta

Dari gambar di atas dapat dilihat elemen-elemen penting bangunan berupa : pondasi, lantai,
balok, kolom sampai dengan atap. Masing-masing elemen penting memerlukan perencanaan
secara komprehensif.

67
Bab. 6
BENTUK, JENIS DAN GARIS BANGUNAN
PADA RUMAH TINGGAL

Sesuai hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow, setelah manusia terpenuhi kebutuhan
jasmaniahnya (sandang, pangan dan kesehatan). Kebutuhan akan rumah merupakan salah
satu motivasi untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik dan tinggi. Dengan memiliki
rumah, walaupun kecil, secara hakiki pemilik telah memiliki atau menguasai ruang yang dapat
diatur sesuka hatinya, sesuai seleranya. Ruang tersebut akan memberikan respon
terhadapnya, artinya dapat tercipta suasana timbal balik dan saling menghidupkan. Dengan
demikian, suasana home telah tercipta pada house tersebut. Bukan lagi sekedar menghindari
hujan dan panas, tetapi memberikan ketenangan, kesenangan, bahkan kenangan akan segala
peristiwa dalam kehidupannya. Karena rumah telah menjadi satu dengan hidupnya, maka
tercipta mikro kosmos (rumah dan suasananya) terpadu dengan makro kosmos (lingkungan
kota, daerah, negara, dunia, alam), secara harmonis yang saling mempengaruhi.

Hubungan yang tidak serasi pada suatu lingkungan rumah dalam akan mengakibatkan
ketidaktenangan dan ketidakstabilan hidup bagi manusia. Menyadari hal tersebut di atas,
disepakati untuk membangun rumah untuk memenuhi kebutuhan rakyat tetapi pula penting
untuk memperhatikan kaidah kearifan lokal menurut Prof. Naomi Maeda dari Tokyo University
Research Group lebih lanjut berujar bahwa bentuk-bentuk rumah merupakan ekspresi budaya
daerah dan budaya setempat yang adiluhung. Jadi betapapun kompleks situasi dan kondisi
yang dihadapi, sistem perumahan harus dapat dilihat sebagai budaya yang mencerminkan
keunikan lokal. Perumahan massal dengan teknologi canggih yang berdasarkan pada sistem
nilai tunggal-gatra dikhawatirkanakan menciptakan keseragaman yang steril, memiskinkan
kreatifitas dan menipiskan motivasi untuk membangun dari dalam secara berswadaya.. Untuk
membangun rumah yang layak, sehat untuk dihuni. Berikut ini dasar-dasar perencanaan rumah
dari segi bentuk, jenis, serta aturan tata kota untuk membangun rumah tinggal.

6.1. Rumah Berdasarkan Bentuk Penggunaannya:


a. Rumah tangga tunggal: rumah yang mempunyai satu pintu bebas dengan jalan
masuk sendiri, dalam suatu persil kavling rumah. Misalnya rumah-rumah di kota
(town house), villa dan tipe-tipe rumah tinggal lainnya.
b. Rumah tangga majemuk: suatu rumah tinggal yang mempunyai beberapa pintu
masuk. Misalnya: rumah untuk barak tentara, atau rumah-rumah sewa yang dibuat
saling menempel satu sama lain dan sebagainya.
c. Rumah berpindah tempat: rumah yang tidak menetap dalam satu lokasi misalnya

68
trailer pada rumah mobile. Misalnya : rumah yang dibuat dengan sistem
prefabrikasi sehingga dapat diubah-ubah lokasinya, sehingga ketika baru dibeli
tinggal dipasang atau dirangkai di lokasi yang diinginkan.
d. Rumah bukan untuk tempat tinggal: misalnya rumah yang bersifat darurat atau non
permanen karena dibangun untuk penanggulangan akibat bencana alam,
keperluan keadaan darurat perang dan sebagainya.

6.2. Rumah Berdasarkan Jenisnya :


a. Rumah tunggal (detached house): rumah yang berdiri sendiri pada persil yang
terpisah dengan rumah di sebelahnya.

Gambar 15. Contoh Gambar Presentasi Standar 3 Dimensi


Rumah tunggal. Berdiri sendiri dalam persil, terpisah dengan rumah di sebelahnya. Tingkat privasi & kenyamanannya
yang tertinggi.

b. Rumah kopel (semi detached house): rumah yang umumnya berada satu persil
terdiri dari 9 (dua unit) rumah tinggal dimana atapnya menjadi satu.ciri khas bentuk
rumah kopel biasanya terdapat sharing dinding/dinding bersama pada tepi kiri atau
kanan bagian bangunan yang bersebelahan dengan wilayah tetangga.

Gambar 16. Contoh Gambar Presentasi Standar Rumah Kopel

69
c. Rumah deret (row house): suatu jenis hunian yang bangunan/unit rumahnya
menempel satu sama lain, yang pada umumnya maksimal berderet sejumlah 6
unit.

Gambar 17. Contoh Gambar Presentasi Standar Rumah Deret

d. Rumah tipe Maisonette: rumah tinggal yang terdiri dari dua lantai, bisa
berupa 1 lantai satu untuk kegiatan umum (publik), seperti: ruang makan
keluarga, dapur dan lantai dua khusus untuk ruang-ruang privat, seperti:
ruang-ruang tidur. Dan Rumah Maisonette merupakan gabungan antara
rumah kopel dan rumah flat, hasilnya pada rumah maisonatte adalah unit-
unit rumah bisa berjajar berdampingan dengan setiap unit rumah memiliki
akses masuk dan garasi pribadi yang langsung berhubungan dengan jalan,
rumah maisonatte biasanya terdiri dari dua sampai tiga lantai.

Gambar 18. Contoh Gambar Standar Rumah Tipe Maisonette


Sumber : puribotanical.blogspot.com

e. Apartmen: Sebuah bangunan besar yang umumnya bertingkat banyak dan


terdiri dari unit-unit hunian; setiap unit dapat terdiri dari banyak lantai (bisa
sampai puluhan lantai). Apartemen atau dalam bahasa Indonesia disebut
sebagai rumah susun adalah suatu solusi perumahan pada lahan yang
sangat terbatas, terutama di kota-kota besar. Masa pembangunannya juga
lebih lama karena rumah dibangun secara vertikal memerlukan teknologi

70
yang lebih tinggi.

Gambar 19. Contoh Apartemen di Australia


Sumber : http://blog.touchofmodern.com/wp-content/uploads/2013/03/OHP-610x285.jpg

f. Rumah inti: rumah yang hanya terdiri dari ruang-ruang pokok (tidak
lengkap) yaitu WC kamar tidur dapur dan 1 ruang serbaguna; yaitu yang
perkembangannya di kemudian hari dapat dilakukan penghuni sendiri
sesuai arahan dari pengelola. Luas minimum 12 m² dan dimungkinkan
untuk dikembangkan menjadi rumah sederhana lengkap dengan luas
minimum 36 m². Ada jenis lain yaitu rumah sub inti yang hanya terdiri dari
KM/ WC dan satu ruangan serba guna.
g. Rumah tumbuh: yaitu rumah yang dibangun secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan penghuni, tetapi denah keseluruhan
telah dirancang. Latar belakang rumah tumbuh adalah: Adanya
pertambahan jumlah anggota keluarga (anak), pertambahan penghasilan,
atau pertambahan kebutuhan ruang baru, misalnya: Ruang kerja, Ruang
hobi, atau bisa pula berupa modifikasi entrance atau gaya (style) rumah
dan sebagainya.
h. Rumah berjenjang ('terrace house'): rumah yang mempunyai taman dan
umumnya bertingkat dibangun pada tapak yang berlereng/ miring.

Gambar 20. Contoh Terrace House Colley End Park, Paignton, Devon
Sumber : http://www.godfreys-architects.co.uk/properties/buildings-paignton-devon/

71
i. Split-level-house: rumah yang memiliki mezzanin sebagai fungsi dari tiap
aktivitas, misal : ruang keluarga dan ruang tamu terpisah lantainya tapi
berbeda ketinggian (split).

Gambar 21. Contoh Split level house in Philadelphia


http://server1.tpbpn.com/images/www.digsdigs.com/photos/modern-remodel-of-the-post-war-split-level-house-into-a-
five-level-house-4.jpg

j. Rumah taman (court house): rumah yang mengelilingi satu ruang terbuka
di tengah; istilahnya rumah yang beratrium.

Gambar 22. Contoh rumah taman (court house) in spanish


Sumber : http://st.houzz.com/simgs/d541259e0f7a1abf_4-7420/mediterranean-landscape.jpg

72
.Gambar 23. Skema Ilustrasi Rumah berdasarkan Tipe atau Bentuknya
Sumber : Gambar disketsa penulis berdasarkan Toni Sundjaja (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan. Bandung:
Universitas Katolik Parahyangan Bandung

6.3. Rumah Berdasarkan Langgamnya

Rumah berdasarkan gaya atau langgamnya terdiri dari: Rumah Tropis, Rumah Gaya
Rennaisance, Rumah Gaya Mediterania/ Spanyol, Rumah Gaya Modern dan Rumah Gaya
Modern Minimalis. Dengan catatan rumah tersebut adalah rumah yang ada pada saat ini bukan
rumah tradisional.

73
a. Rumah Tropis adalah rumah dimana bentuk maupun elemen–elemen pembentuknya
dirancang sedemikian rupa sehingga cocok dan nyaman untuk daerah yang beriklim
tropis. Konsep Desain Rumah Tropis akan mengoptimalkan potensi iklim tropis dan
mengurangi dampak/ pengaruh buruk iklim tropis. Dengan kata lain konsep desain
rumah tropis adalah konsep desain yang mampu beradaptasi dengan iklim tropis.

1) Prinsip Desain Rumah Tropis


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan utama di daerah iklim
tropis adalah permasalahan suhu udara yang cukup panas. Untuk itu dalam konsep desain
rumah tropis, perlu adanya pengendalian suhu udara di dalam rumah.

Pengendalian suhu udara dapat dilakukan dengan cara :


1. Memperbesar volume ruang atap
2. Memperbesar luas bukaan ventilasi agar volume angin yang masuk ke dalam ruangan
menjadi lebih banyak
3. Penataan ruang yang bersifat terbuka sehingga angin lebih mudah bergerak dalam
ruangan
4. Memasukkan unsur air berupa kolam juga akan mengurangi suhu udara
5. Memperbanyak unsur tanaman / taman

b. Rumah Mediterania memiliki elemen dekoratif yang khas pada desain rumah mediterania
adalah banyaknya tiang-tiang pilar besar dan tinggi yang digunakan sebagai penyangga
eksterior rumah. Tiang-tiang ini biasanya menggunakan aksen berputar atau spiral yang
elegan, disertai dengan ukiran tertentu di bagian bawah dan atasnya.

Gaya arsitektur Eropa ini muncul diantara abad ke 15 sampai awal abad ke 17 arsitektur ini
muncul akibat kebangkitan dan rindunya bangasa eropa akan kebangkitan dan ridunya
bangsa eropa akan kebangkitan Yunani dan Romawi kuno yang pada saat itu sedang
terpuruk.

c. Rumah bergaya arsitektur Renaissance adalah adanya tiang-tiang bergaya klasik yang
dipengaruhi bangunan Yunani dan Romawi. Hal ini yang sangat dominan dari gaya ini
adalah menghadirkan detil pada tiang-tiangnya yang ornamentral dan dekoratif. Gaya
arsitektur ini juga sering disebut gaya dorik atau gaya ionik contohnya bisa kita liat di
bangunan Bait Olympicon.

d. Rumah Minimalis yaitu rumah yang berbentuk kecil yang bisa di design modern seperti di
era modernisasi ini , tinggal bagaimana kita bisa menata, mendekorasi ruang-ruang interior
maupun eksterior rumah kita agar rumah terlihat modern. Juga pengertian rumah minimalis
yaitu simpel, memiliki bukaan- bukaan yang lebar, warna cat cenderung monokrom dengan
sentuhan aksen-aksen garis-garis yang sangat tegas, baik vertikal maupun horizontal serta
banyaknya bentukan kotak-kotak.

74
e. Rumah Minimalis Komtemporer, yaitu rumah minimalis yang semakin efektif dan
dinamis, sesuai tuntutan zaman dan juga masalah lahan yang semakin terbatas. Mulai
marak diakhir era tahun 2010 dengan ciri khas lahan yang lebih sempit, warna yang lebih
kontras dan cerah, bentuk yang semakin elegan dan pemilihan elemen furniture yang lebih
mempertimbangkan kefektifan kehupan masyarakat di masa kini. Kebutuhan masyarakan
di masa kini adalah: serba cepat, efektif dan memungkinkan terjadinya progres
pengembangan di masa depan secara tidak rumit. Rumah minimalis kontemporer
sebenarnya tidak hanya berlaku untuk perumahan horizontal, akan tetapi juga untuk
perumahan vertikal (apartemen).

Dalam dunia arsitek entang rancang bangun,fungsi dari bentukan yang sederhana. Yang
banyak mengambil unsur-unsur geometris. Unsur geometris ini memang sangat mudah di
terima, karena kesan yang luas dan bersih sekarang ini sepertinya menjadi sebuah harga
mahal. Yang bertujuan untuk membuat rumah terasa nyaman juga bisa meminimalisir
tingkat kelelahan selepas bekerja (stress) para penghuni rumah tersebut. Pemilihan
material, pilihan struktur dan juga desain rumah dengan karakter arsitektur modern
minimalis maupun arsitektur minimalis kontemporer tetap mesti mempertimbangkan
karakter arsitektur tropis. Misalnya untuk : Jenis atap, lebar kanopi, detail fasade dan
sebagainya. Perkembangan kreatifitas mesti tetap memperhatikan khasanah budaya lokal
Indonesia, ini sangat perlu diperhatikan untuk perencana pengembang perumahan di
lapangan selain untuk kebutuhan kenyamanan psikologis penghuni juga untuk tujuan
keberlanjutan arsitektur lokal (tropis) di masa mendatang.

Berikut di bawah ini adalah ilustrasi-ilustrasi langgam arsitektur rumah tinggal yang
dideskripsikan di atas :

75
Rumah Gaya Tropis Rumah Gaya Rennaisance

Rumah Gaya Mediterania/ Gaya Spanyol Rumah Gaya Modern Minimalis

Rumah Gaya Arsitektur Minimalis Kontemporer

Gambar 24. Rumah Berdasarkan Gaya atau Langgamnya


Sumber : Survey Pribadi Lucy Yosita, dan http://dekorasirumah.org/wp-content/uploads/2014/09/Contoh-Desain-
Rumah-Mewah-ala-Eropa.jpg

76
6.4. Persyaratan Garis Batas Pada Bangunan Rumah Tinggal

Gambar 25. Contoh Gambar Garis Batas Rumah


Halaman depan diisi dengan aneka tanaman

Gambar 26. Contoh Gambar Presentasi Standar


Taman dalam rumah ( inner court )

Garis batas bangunan adalah persyaratan teknis yang mengatur posisi rumah di atas tanah
yang sudah ditetapkan ukuran dan jenis penggunaannya (persil, kavling), jenisnya:
 Garis Sempadan Jalan ( GSJ ): batas pekarangan terdepan, batas terdepan pagar yang
boleh didirikan

 Garis Sempadan Bangunan ( GSB ) atau Garis Muka Rumah ( GMR ), Rollyn: batas
dinding terdepan rumah pada sebuah persil, panjang antara GSB dan GSJ ditentukan
persyaratan yang berlaku untuk setiap jenis bangunan dan letak persil setempat.

77
 Guna GSB: rumah memiliki halaman depan yang bisa digunakan untuk taman atau
penghijauan sehingga timbul kesegaran dan keserasian dengan lingkungan. Rumah lebih
aman karena tidak langsung bisa dimasuki pencuri. Bisa dimanfaatkan sebagai pelindung
(buffer) kebisingan arus lalu lintas, tempat bermain anak-anak, dll. Jarak tsb
memungkinkan dibuat teritis atap yang cukup lebar untuk melindungi (penghuni) rumah
dari cuaca buruk dan mengalirkan air hujan dengan baik sampai ke saluran yang
sebenarnya.

 Garis Jarak Bebas Samping (GJBS): Pada bangunan rumah tunggal, sering ada induk
bangunan dan anak bangunan yang biasa disebut paviliun. Jenis ini boleh dibangun rapat
dengan batas persil samping, posisi dinding terdepan anak bangunan pada jarak minimal 2
kali jarak GSB dan GSJ sesuai persyaratan. Lebar GJBS antara rumah dan batas
pekarangan ditentukan berdasarkan jenis bangunan dan perpetakan tanah setempat. Luas
area bebas samping: jarak bebas samping x jarak antara GSB dan GSJ yang ditentukan.
Jarak bebas samping untuk memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan dan
keindahan, mengingat faktor iklim tropis di Indonesia, dengan ciri-ciri temperatur udara
tinggi, curah hujan besar sepanjang tahun, sudut datang matahari yang besar. Adanya
jarak bebas samping menyebabkan: terjadinya sirkulasi udara yang baik ke dalam ruangan
untuk mengurangi panas dan lembab. Penyinaran matahari langsung ke dalam ruang
minimal sejam sehari, baik untuk kesehatan. Rumah dapat dilengkapi dengan teritis atap
yang cukup melindungi (penghuni) bangunan dari panas matahari dan curah hujan.

 Garis Bebas Jarak Belakang (GBJB) : batas dinding belakang rumah terhadap batas pagar
belakang. Panjang garis belakang ditentukan sesuai jenis bangunan dan lingkungan persil
tanah setempat. Di halaman belakang sebuah persil boleh didirikan bangunan turutan
(paviliun), asal bangunan tersebut tidak menyesaki seluruh halaman belakang. Halaman
kosong di sini minimal lebarnya sama dengan panjang garis jarak bebas belakang yang
ditentukan. Jadi, luas halaman kosong tersebut minimal = pangkat 2 panjang garis
belakang. Adapun Tujuan garis jarak bebas belakang: memungkinkan sirkulasi udara dan
sinar matahari secara langsung ke dalam ruangan, memungkinkan pertamanan di halaman
belakang guna kesejukan dan keindahan rumah, menghindari/ mencegah bahaya
menjalarnya api, bila terjadi kebakaran, sebagai tempat servis (jemuran), dll, sehingga
tidak merusak pemandangan rumah bagian depan, aman terhadap pencurian, dan sebagai
tempat rekreasi/ bermain para penghuni rumah (Ir.Toni Sudjaja, M.Arch.Eng).

78
Gambar 27. Garis-garis bangunan
Sumber : Toni Sundjaja (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan.
Bandung : Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Garis-garis batas bangunan ditentukan oleh Dinas Bangunan dan Tata Kota setempat,
melalui serangkaian penelitian, untuk memberi manfaat optimal bagi penghuni rumah dan
warga kota di sekitarnya. Demikian pula mengenai KDB (Koefisien Dasar Bangunan) dan KLB
(Koefisien Lantai Bangunan) ditentukan oleh Dinas Tata Kota. Hal ini perlu diperhatikan tidak
hanya untuk perumahan skala kecil yakni yang berada dalam 1 kavling, tetapi untuk perumahan
skala besar misalnya: Kompleks Cluster Perumahan, Kompleks Permukiman Skala Besar
maupun Rumah Susun (Apartemen).

Untuk Kota Bandung misalnya pernah ada kasus yakni apartemen Dago yang tidak
turun izinnya karena lokasi yang diajukan tidak tepat dengan rancangan yang digambar. Lokasi
rencana apartemen ini berada pada Kawasan khusus Bandung Utara (KBU). Ironisnya
apartemen ini meski belum memiliki lokasi yang jelas telah hampir terjual habis (sold out)

79
sebanyak 80%. Kiranya hal seperti ini tidak dibenarkan untuk terjadi. Pada akhirnya mengalami
perubahan lokasi ke daerah Sekeloa, dekat UNPAD. Permintaan perumahan di kota-kota besar
memang saat ini sangat tinggi, terlebih jika harga yang ditawarkan adalah harga bersaing dan
lokasinya berada pada lokasi yang strategis. Dinamika perkembangan perumahan yang
dikuasai oleh kaum kapital sebaiknya harus lebih dapat dikendalikan lagi di masa yang akan
datang sehingga tidak terjadi kerugian bagi masyarakat di kemudian hari seperti di atas.

80
Bab. 7
PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
TATA GUNA LAHAN DAN SIRKULASI PERUMAHAN
DAN PERMUKIMAN

Peruntukan lahan untuk fungsi perumahan mencakup penggunaan lahan terbesar di kota-kota
besar manapun. Keberhasilan perancangan dan pembangunan perumahan sangat penting
agar dapat berfungsi secara efisien dan menarik secara estetis. Hampir semua pembangunan
perumahan terjadi dari subdivisi lahan yang masih alamiah dalam artian belum terolah menjadi
bangunan. Pembagian demikian merupakan proses yang melibatkan pembagian lahan yang
relatif luas menjadi blok-blok oleh sirkulasi jalan yang memberikan akses. Pada bab 4 telah
dijelaskan mengenai teori-teori dan juga aturan yang merupakan pedoman dasar tata
lingkungan perumahan. Adapun bab 7 ini adalah pembahasan yang lebih detail mengenai
perencanaan ruang-ruang di lingkungan yang terbentuk di lingkungan permukiman dan juga
teori perencanaan yang lebih detail mengenai sirkulasi baik jalan maupun pedestrian, pada
lingkup makro hal ini untuk kepentingan kualitas perencanaan kota.

Kota memiliki bermacam-macam kategori tergantung pada potensinya, baik desa ataupun kota
sebenarnya memiliki fungsi yang sama yakni kegiatan produksi. Menurut Burgess (19..),
terdapat 3 wahana produksi yakni : “industrial”, “manufacture” dan “artisanal”. Perencanaan
lahan ruang terbuka untuk perumahan perkotaan misalnya untuk saat ini haruslah lebih teliti
dari segi : pemilihan jenis pohon, setting perilaku pada ruang terbuka, dan pemerhatian
terhadap pelestarian alam haruslah lebih baik. Pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), mesti dikaji dalam proses sehingga tidak menjadikan dampak besar di kemudian
hari. Petak-petak blok lahan ini lazimnya dibagi lagi menjadi persil kavling milik pribadi. Untuk
suatu pembangunan rumah sewa atau koperasi, mungkin pembagian persil milik pribadi. Untuk
pembangunan rumah sewa atau koperasi, mungkin pembangunan persil semacam ini tidak
akan terjadi.

Beberapa bagian lahan yang luas ini akan disediakan untuk taman semacam ini tidak akan
terjadi. Beberapa bagian lahan yang luas ini akan disediakan untuk taman atau sekolahan.
Daerah yang berdekatan biasanya memuat pertokoan dan fasilitas lingkungan lainnya.
Fasilitas-fasilitas umum dan juga sosial diperlukan dalam lingkungan permukiman supaya
fungsi permukiman dapat berjalan lancar. Jika proses ini berlangsung di suatu daerah yang
belum dibangun, maka hasilnya secara umum dinyatakan sebagai “kota baru”. Tren kota-kota
baru di kota-kota besar terlebih Jakarta banyak terdengar pada waktu menjelang abad ke-20.

81
Apabila hal ini berlangsung berdekatan dengan daerah terbangun yang sudah ada maka
pembangunan ini dianggap sebagai bagian atau tambahan dari lingkungan yang sudah ada.
Pada kedua kasus ini maka proses yang terjadi pada dasarnya sama. Perancangan kota baru
yang baik haruslah melihat pada rencana sistem infrastruktur kota secara keseluruhan. Agar
supaya perancangan yang dihasilkan merupakan sistem yang dapat terintegrasi dengan baik
dengan kota. Sebagaimana kita ketahui bahwa perumahan baru pasti akan memiliki dampak
terhadap lalu lintas jalan, terhadap pembuangan limbah cair dan sampah dan juga dampak-
dampak sosial lainnya yang harus dapat diprediksi dengan baik oleh perencana.

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kota-kota besar dan kota-kota baru atau kota
kecil. Untuk kota besar dengan kategori metropolitan sekarang trennya sudah cenderung
mengarah ke dominasi perkembangan rumah berlantai banyak (susun), atau jenis perumahan
dengan jumlah terbatas (cluster). Namun untuk kota-kota-kota baru atau kota kecil yang sedang
berkembang dengan luasan lahan yang masih luas masih dimungkinkan terjadinya
perkembangan perumahan landed house (perkembangan secara horizontal).

Bagian ini akan menguraikan proses pembangunan perumahan dan berbagai tahapannya.
Penekanannya adalah pada pembangunan fisik dan bukan aspek administratif atau perundang-
undangannya. Standar intensitas penggunaan tanah memberikan suatu cara untuk
menentukan luas ruang terbuka yang harus disediakan oleh luas lantai tertentu. Lalu
bagaimana pula strategi manajemen lahan untuk jenis-jenis bentuk dan intensitas kota yang
berbeda seperti di atas. Tipe jalan dan parkir adalah unsur penting untuk rancangan subdivisi
perumahan manapun. Sistem jalan harus diletakkan secara fungsional dan sesuai dengan
kegunannya. Sistem ini memerlukan pemisahan atau klasifikasi, jalan lokal, kolektor dan utama.
Yang langsung berhubungan dengan tata letak atau tipe parkir yang akan digunakan. Ruang
terbuka dan sirkulasi pejalan kaki merupakan aspek penting lainnya dalam proses subdivisi.

7.1 Intensitas Tata Guna Lahan

Arti Intensitas Tata Guna Tanah dalam Standar Ketentuan Minimum untuk Rumah Susun
(1965) dari Badan Perumahan Federal Amerika Serikat (Federal Housing Administration=
FHA), intensitas tataguna lahan berarti hubungan menyeluruh dari masa struktur dan ruang
terbuka di suatu daerah terbangun. Ia mengaitkan jumlah luas lantai, ruang terbuka, ruang
hunian, ruang rekreasi dan ruang penyimpanan mobil terhadap luas tapak, atau luas lahan.

Intensitas tata guna lahan hamper serupa dengan kepadatan: unit hunian atau penghuni per
acre. Tetapi pendekatannya berbeda; ia mencakup cakrawala faktor perencanaan yang lebih
luas dan keterkaitannya. Pola kota memiliki berbagai ragam pengaturan ruang. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pola perkembangan yang konsentrik, yaitu bentuk tipikaldari kota zaman


pertengahan yang biasanya ditemukan pada daerah kota yang kecil, apabila ciri

82
topografi tidak membentuk penggunaan lahan kota.
2. Pola perkembangan tipe pita, yaitu penggunaan intensif yang diletakkan dalam
bentuk linier, seperti di sepanjang jalan raya utama pada suatu kota kecil.
3. Pola radial, seperti jari-jari roda, yang biasanya terlihat di tengah kota atau daerah
dengan tataguna tanah intensif lain sepanjang jalur transportasi, jalan.

7.2 Pengertian Tata Guna Lahan (Land Use)

Land use atau tata guna lahan adalah pengaturan mengenai penggunaan lahan dimana
memerlukan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya. Terdiri dari lahan terbangun
(urban solid) dan lahan terbuka (urban void).

Pendekatan “figure ground” adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah
pola “existing figure ground” dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola
geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan dengan
ruang terbuka Figure ground menekankan adanya “public civics space” atau “open space” pada
kota sebagai figur. Melalui “figure ground plan” dapat diketahui antara lain pola atau tipologi,
konfigurasi “solid void” yang merupakan elemental kawasan atau pattern kawasan penelitian,
kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figur bangunan-bangunan yang melingkupinya,
dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan
fasade (bagian muka) sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang
membentuknya.

Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung
(enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut
pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang
tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang “enclosure” terasa seperti
interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai
public domain yang menyatu.

1. Urban solid
Solid adalah bentukan fisik dari kota, yaitu berupa bangunan-bangunan dan blok-blok
kosong.
Tipe urban solid terdiri dari:
 Massa bangunan, monumen
 Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan
 Edges yang berupa bangunan
2. Urban void
Void adalah ruang kosong yang terdapat diantara bangunan-bangunan atau tatanan
bangunan yang terbentuk oleh adanya ruang terbuka, misalnya jalan yang merupakan
ruang penghubung antar bangunan.

83
Tipe urban void terdiri dari:
 Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara publik dan privat
 Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai
privat
 Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat publik karena mewadahi aktivitas publik
berskala kota
 Area parkir publik bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi
kawasan hijau
 Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curva linier. Tipe ini berupa daerah
aliran sungai, danau dan semua yang alami dan basah.

7.3 Pembagian Tata Guna Lahan (Land Use)


Tata guna lahan (land use) terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Kawasan terbangun, meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
peribadatan, fasilitas perumahan fasilitas perkantoran, fasilitas rekreasi dan olah
raga, fasilitas perdagangan dan jasa serta fasilitas umum.
2. Kawasan terbuka/tak terbangun, RTH (Ruang Terbuka Hijau) adalah ruang dalam
kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk areal memanjang/ jalur
maupun dalam bentuk lain, dimana dalam penggunaanya lebih bersifat terbuka
yang pada dasarnya tanpa bangunan dan pemanfaatannya lebih bersifat
pengisian hijau tanaman atau tumbuhan.
3. Daerah konservasi adalah daerah yang mengandung arti perlindungan
sumberdaya alam dan tanah tebuka serta pelestarian daerah perkotaan. Kawasan
lindung diatur dalam keppres RI Nomor 32 tahun 1990.

7.4 Teori Keterkaitan ( linkage )

Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan
yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan yang lain.
Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris
dan sebagainya.

Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk
upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu
kota. Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan
masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan
meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan
penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang
mendukung elemen linkage tersebut.

84
1. Tipe-Tipe Teori Linkage Urban Space
Teori ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu:
a. Compositional form
Bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam tipe ini
hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung.
b. Mega form
Susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus dan
hirarkis.
c. Group form
Bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota
tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.

2. Teori Lokasi (Place)

Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik ,
dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik
morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia
yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada
dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang
kota baik publik maupun privat.

Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan
karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu
pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya.
Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang
pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek
spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur
tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang.

Teori ini berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya
dan karakteristik manusia terhadap ruang fisik. Space adalah void yang hidup mempunyai
suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place apabila diberikan makna
kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya.

7.5 Teori Desain Ruang Kota

Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang dikemukakan
Kevin Lynch untuk desain ruang kota:

1. Legibillity (kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga kotanya.
Artinya suatu kota atau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas
mengenai distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola

85
keseluruhannya.

2. Identitas dan susunan


Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana
didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga
orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman
pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang terbukanya.

3. Imageability
Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk timbulnya
image yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau
lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya.

Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota,
yaitu:
a. Paths
Adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah.
Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya.
b. Edges
Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang
merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Edges berupa dinding, pantai hutan
kota, dan lain-lain.
c. Districts
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari
luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu
karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.
d. Nodes
Adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang
berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan
tempat mengumpulnya karakter fisik.
e. Landmark
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik
buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa
dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.

86
Gambar 28. Ilustrasi 5 elemen pembentuk wajah kota (image of the city) menurut Kevin Lynch
Sumber : Lynch, Kevin (1960)., Images of the City., Harvard (MIT)., Paperback

4. Visual and symbol conection


a. Hubungan yang terjadi karena kenyamanan visual (Visual conection)
Visual conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan visual
antara satu bangunan dengan bangunan lain dalam suatu kawasan, sehingga
menimbulkan image tertentu. Visual conection ini lebih mencakup ke non visual atau
ke hal yang lebih bersifat konsepsi dan simbolik, namun dapat memberikan kesan kuat
dari kerangka kawasan
Dalam pengaturan suatu land use atau tata guna lahan, relasi suatu kawasan
memegang peranan penting karena pada dasarnya menyangkut aspek fungsional dan
efektivitas. Seperti misalnya pada daerah perkantoran pada umumya dengan
perdagangan atau fungsi-fungsi lain yang kiranya memiliki hubungan yang relevan
sesuai dengan kebutuhannya.
b. Symbolic connection
Symbolic connection dari sudut pandang komunikasi simbolik dan cultural
anthropology meliputi:
 Vitality
Melalui prinsip-prinsip sustainance yang mempengaruhi sistem fisik, safety yang
mengontrol perencanaan urban struktur, sense seringkali diartikan sebagai sense
of place yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang
merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang memiliki keunikan
dan karakteristik suatu kota.
 Fit
Menyangkut pada karakteristik pembangkit sistem fisikal dari struktur kawasan
yang berkaitan dengan budaya, norma dan peraturan yang berlaku.

87
7.6 Pola Sirkulasi Jalan
Ada banyak pola jalan pada perumahan tergantung perencana mendesain jalan tersebut agar
memudahkan akses penghuni untuk memasuki perumahan tersebut atau akses untuk kejalan
utama dan perlu diperhatikan juga kontur dan arah pola jalan sebelumnya. Berikut beberapa
pola jalan pada kavling perumahan :
a. Gridion b. Culdesac
c. Lengkung d. Simpangan
e. Taman f. Loop

Gambar 29. Pola-pola Jalan


Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga

Pola-pola di atas pada masa awal perkembangan kota dapat diterapkan secara lebih bervariasi
pada perancangan lahan perumahan. Misalnya adanya beberapa pola yakni pola grid, culdesac
dan taman yang disinergikan dalam lahan perumahan yang sangat luas. Sebagai contoh
misalnya perumahan Batununggal di Bandung atau Bumi Serpong Damai (BSD) di Jakarta.
Akan tetapi kalau lahannya terbatas, hanya dapat dibangun untuk sekitar 20 atau bahkan 10
rumah seringkali pola yang dapat digunakan terbatas, misalnya pola loop saja, atau pola
taman atau culdesac.

7.7 Klasifikasi Sirkulasi Jalan

Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi :


1. Jalan Arteri
Yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jauh, kecepatan rata-rata
tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu
lintas tinggi antara kota-kota penting. Jalan dalam golongan ini harus direncanakan dapat
melayani lalulintas cepat dan berat.

88
2. Jalan Kolektor
Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu
lintas cukup tinggi antara kota-kota yang lebih kecil, juga melayani daerah sekitarnya.

3. Jalan Lokal
Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini
digunakan untuk keperluan aktifitas daerah, juga dipakai sebagai jalan penghubung antara
jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan.

7.8. Tipe Jalan


Adapun jenis-jenis jalan adalah sebagai berikut :
 Jalan lokal sekunder 1 adalah jalan yang terdiri dari 2 jenis jalan, yaitu :
 Jalan Setapak : Jalan yang diperuntukkan bagi pejalan dan kendaraan beroda dua
dengan lebar badan jalan minimum 2 m maksimum 3,5 m.
 Jalan Kendaraan : Jalan yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda dua atau
tiga serta mungkin bagi kendaraan roda empat dengan lebar badan jalan minimum 3,5
m dan maksimum 5 m.
 Jalan Lokal Sekunder II, adalah suatu jalan yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor
roda tiga atau lebih dengan lebar jalan tidak kurang dari 5 m.
 Jalan Kolektor Sekunder adalah jalan yang menghubungi antar lingkungan perumahan dan
dirancang berdasarkan kecepatan rencana minimum 20 km/jam, dengan lebar jalan
minimum 7 m.
 Jalan Arteri Sekunder adalah jalan yang menghubungkan antara kawasan perumahan dan
dirancang berdasarkan kecepatan rencana minimum 30 km/jam, dengan lebar badan jalan
minimum 8 m.

Gambar 30. Tipe-tipe Jalan


Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga

89
Dengan adanya teori-teori mengenai pola, tipe dan klasifikasi jalan di atas, maka sirkulasi pada
lingkungan perumahan dan permukiman dapat direncanakan dan dirancang. Yang paling
menentukan biasanya adalah kondisi eksisting jalan di sekitar, sehingga yang pertama
ditentukan adalah dimana posisi entrance. Baru setelah itu optimasi perancangan dilakukan
dengan pengaturan district (bagian-bagian) dari fungsi pada tapak yakni berupa komponen-
komponen massa bangunan, vegetasi, parkir, pedestrian, elemen-elemen landscape furniture
dan sebagainya (White: 2001) Comment [I1]: benerin

Konseptual didapatkan setelah melakukan analisis tapak terlebih dahulu secara terperinci
dengan demikian seorang arsitek telah memahami potensi dan analisis dari faktor-faktor tapak
tersebut.

7.9. Penampang Tipikal Jalan


a. Jalan

Gambar 31. Penampang jalan


Sumber : Deasy Hartanti M (2013)

b. Badan Jalan

Gambar 32. Penampang badan jalan


Sumber : Deasy Hartanti M

90
7.10. Subdivisi
a. Peta Lingkungan

Gambar 33. Peta lingkungan

b. Peta Kontur

Gambar 34. Peta kontur

91
Gambar 35. Contoh Potongan kontur

c. Sketsa Pendahuluan Pola Jalan

Gambar 36. Peta kontur 3D


Sumber : Habitat, An Urbanizing World; Global Report On Human Settlements 1996, Oxford University Press, New York, 1996.

92
d. Penampang Jalan

Gambar 37. Potongan jalan


Sumber : Deasy Hartanti M (2013)

e. Saluran Air pada Lahan

Gambar 38. Saluran air kotor


Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya

93
f. Saluran Utilitas Air

Gambar 39. Skema Jalur Air Bersih dan Air Kotor untuk Rumah 2 lantai
Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan .
Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Gambar 40. Contoh Skema Utilitas Rumah 1 lantai


Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan .
Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

g. Perletakan Aliran

Gambar 41. Detail Perletakan aliran


Sumber : Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

94
h. Pertimbangan Rancangan
Setelah perancangan selesai, maka tidak langsung dieksekusi rancangan
tersebut, terlebih dahulu harus dipertimbangkan baik buruknya, apa kendala dan
solusinya agar perancangan tersebut bisa terlaksana dengan baik dan benar.

7.11. Alternatif Ruang Terbuka:


Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non-hijau. Mengingat pentingnya peran ruang terbuka (ruang
terbuka hijau maupun ruang terbuka non hijau) dalam penataan ruang kota maka
ketentuan mengenai hal tersebut perlu diatur. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang pasal 31 juga diamanatkan perlunya ketentuan
mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non
hijau. Pada Tahun Anggaran 2008 telah ditetapkan Permen PU No. 5/PRT/M/2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pada
Tahun Anggaran 2009 ini telah ditetapkan “Permen PU No. 11/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Wilayah
Perkotaan/Kawasan Perkotaan”.

Ruang Terbuka menurut UU 26/07 adalah ruang yang secara fisik bersifat terbuka,
dengan kata lain ruang yang berada di luar ruang tertutup (bangunan).
Dalam definisi lain, ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka yang ditumbuhi tanaman
(UU 26/07). Sehingga ruang terbuka yang tidak ditumbuhi tanaman tidak dapat
digolongkan sebagai RTH.
Sementara ruang terbuka non hijau, (Pedoman RTH) ruang terbuka di bagian wilayah
perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras
maupun yang berupa badan air.

95
a. Jenis-jenis ruang terbuka :

Berikut dibawah ini adalah ilustrasi bentukan ruang-ruang terbuka yang dapat
terjadi di lingkungan perumahan menurut teori Chiara (1978) :

Gambar 42. Jenis-jenis Bentukan Ruang Terbuka


Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta: Erlangga

(a).Ruang terbuka privat pada lahan yang bersebelahan dengan unit hunian; ruang terbuka bersama menjadi
berkurang hanya sekedar ruang pencapaian. (b). Ruang terbuka pribadi di dalam atau pada struktur bangunan
bersebelahan dengan unit bangunan; ruang terbuka bersama berkurang menjadi sekedar ruang pencapaian. (c).
Ruang terbuka pribadi pada permukaan tanah di dalam atau pada struktur bangunan bersebelahan dengan unit
hunian; ruang terbuka bersama dimiliki oleh kelompok-kelompok unit hunian. (d). Ruang terbuka pribadi pada
permukaan tanah atau di dalam struktur bangunan bersebelahan dengan unit hunian. (d). Ruang terbuka pribadi
pada permukaan tanah atau di dalamm struktur bangunan bersebelahan dengan unit hunian; ruang terbuka bersama
dipadukan dengan parkir dimiliki oleh kelompok-kelompok unit hunian. (e). Ruang terbuka bersama dipadukan
dengan parkir dan dimiliki oleh kelompok-kelompok hunian. (g). Ruang terbuka bersama dimiliki oleh semua
kelompok hunian.

b. Contoh ruang terbuka (public space).

Gambar 43. Contoh ruang terbuka


http://seputarhotel.blogspot.com/2013/07/bintaro-jaya-primadona-perumahan.html

Sistem sirkulasi jalan harus terintegrasi dengan sistem sirkulasi pedestrian, vegetasi, dan juga
elemen-elemen perencanaan tapak lainnya. Kesatuan perancangan yang baik akan
menghasilkan lingkugan perumahan yang baik, nyaman dan asri dalam sistem kota.

96
7.12. Peletakan dan Tipe Parkir
Lingkungan fasilitas umum dan sosial di lingkungan perumahan permukiman harus memenuhi
standar kaidah parkir yang benar dan juga estetis (indah). Di bawah ini adalah beberapa
persyaratan parkir :
a. Tata Letak Parkir

Gambar 44. Jenis-jenis perletakan parkir


Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga

b. Parkir Tepi Jalan

Gambar 45. Jenis parker


Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga.

97
Gambar 46. Ruang Gerak Kendaraan pada Ruang Parkir
Sumber : Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga

7.13. Prasarana Dan Sarana Lingkungan Serta Utilitas Umum Perumahan

Umum :
1. Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum harus memenuhi persyaratan
administratif, teknis, dan ekologis.
2. Prasarana lingkungan perumahan meliputi :
a. jalan;
b. drainase;
c. air limbah;
d. persampahan; dan
e. penerangan jalan.
3. Sarana lingkungan perumahan meliputi fasilitas :
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. perbelanjaan dan niaga; dan
d. umum dan sosial.
4. Utilitas umum perumahan meliputi :
a. air bersih; dan
b. pemadam kebakaran.
5. Pengembang wajib melestarikan fungsi irigasi di lokasi pembangunan perumahan.
6. Apabila dalam lokasi pembangunan perumahan akan dilakukan penggeseran jaringan
irigasi harus mendapat persetujuan dari Perkumpulan Petani Pemakai Air yang
membidangi jaringan irigasi.
7. Prasarana Lingkungan

98
Jalan :
1. Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dalam lingkungan perumahan
meliputi :
a. Jalan masuk;
b. Jalan utama;
c. Jalan pembantu; dan
d. Jalan pembagi.
2. Jalan masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jalan yang
menghubungkan jalan yang sudah ada dengan jalan lokasi perumahan dengan lebar
paling rendah sama dengan lebar jalan yang terlebar dalam perumahan.
3. Jalan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan jalan yang
menghubungkan antara jalan lingkungan pembagi satu dengan jalan lingkungan pembagi
lainnya dengan jalan masuk di dalam perumahan dengan lebar paling rendah 7 (tujuh)
meter (termasuk drainase).
4. Jalan pembantu sebagaimana pada ayat (1) huruf c adalah jalan yang menghubungkan
antara jalan pembagi satu dengan jalan pembagi lainnya dengan lebar paling rendah 5
(lima) meter sampai 7 (tujuh) meter disesuaikan dengan besarnya rumah, terdiri atas :
b. Untuk tipe inti sampai dengan tipe 36 (tiga puluh enam) meter persegi paling rendah
lebar jalan pembagi 5 (lima) meter;
c. Untuk rumah tipe lebih besar dari tipe 36 ( tiga puluh enam) meter persegi sampai
dengan tipe 70 (tujuh puluh) meter persegi paling rendah lebar jalan lingkungan 6
(enam) meter; dan
d. Untuk rumah tipe lebih besar dari tipe 70 (tujuh puluh) meter persegi paling rendah
lebar jalan lingkungan 7 (tujuh) meter.
5. Jalan pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah jalan menuju kapling
yang ada dengan lebar paling rendah 4 (empat) meter.
6. Jalan dalam lingkungan perumahan harus menyediakan ruang untuk berputar kendaraan
roda empat (culdesac).
7. Jalan buntu yang diperbolehkan dengan panjang jalan paling tinggi 30 (tiga puluh) meter
dan tidak disyaratkan menyiapkan tempat berputar. 8
8. Sistem prasarana dan sarana sirkulasi baik sirkulasi horisontal maupun vertical dalam
rumah susun harus mempertimbangkan kebutuhan sirkulasi penghuni, jumlah penghuni,
dan mempertimbangkan pelayanan evakuasi dalam kondisi darurat. Sehingga selain
memenuhi standar umum harus memenuhi kaidah standar khusus kondisi bencana.

99
Gambar 47.
Contoh Rencana Tapak dan Desain Perumahan yang mengikuti kaidah-kaidah yang tepat. Gerbang
direncanakan dengan baik dan jelas dan memiliki kekhasan karakter lokal setempat. Penempatan fasilitas
umum dan fasilitas sosial yang strategis dan mudah dijangkau. Privacy perumahan yang terjaga dan ruang
terbuka sebgai paru-paru lingkungan cukup hijau dan memadai.
Sumber : SML., Hong Kong, (2009), Top House, Patrika Book Center., New Delhi., India

100
Bab. 8
PERUMAHAN SEDERHANA
DAN RUMAH SUSUN (APARTEMEN)

8.1 PERUMAHAN SEDERHANA

Indonesia masih termasuk ke dalam kategori negara berkembang, dimana tingkat penghasilan
masyarakat masih banyak pada kategori sedang (menengah) dan rendah. Memang sejalan
dengan waktu struktur masyakat ini berubah, ada peningkatan jumlah masyarakat menengah
ke atas dan menengah. Namun jumlah masyarakat berpenghasilan rendah masih tergolong
tinggi. Tercatat bahwa masih ada 30 juta penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan di
bawah Rp. 12.000,- perhari, menurut data yang dikemukakan oleh ketua APINDO (Asosiasi
Pengusaha Indonesia), pada suatu Seminar pada tahun 2014 di JCC, Jakarta. Dengan kata
lain penghasilan mereka tidak sampai Rp. 700.000,- perbulan.

Pada perkembangan kota yang dinamis menurut Yosita (2013), terdapat faktor-faktor penentu
yakni : (1). Integrasi antar multi stakeholders, (2). Figur pemimpin, (3). Kondisi Sosial dan
Budaya, (4). Peran/ keterlibatan universitas, dan (5). Partisipasi Masyarakat. Pada masyarakat
berpenghasilan rendah (low income people), berbeda dengan masyarakat menegah ke atas, di
mana faktor figur pemimpin, keterlibatan universitas dan partisipasi masyarakat menjadi faktor
yang lebih signifikan dalam menindaklanjuti masalah kebutuhan perumahan-permukiman.
Keterbatasan akses, tingkat pendidikan dan juga kondisi sosial mereka membuat diperlukannya
jenis pengadaan atau perbaikan permukiman dengan strategi dan teknik khusus. Untuk kota-
kota dengan populasi yang besar seperti Bandung, Jakarta, dan sebagainya akan lebih sulit
dibandingkan kota yang lebih kecil seperti : Solo atau Palembang.

Penghasilan sangat terkait dengan kemaampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan


mengenai perumahan. Berikut di bawah ini adalah perkembangan kebutuhan perumahan
berdasarkan golongan masyarakatnyamulai dari kelompok masyarakat berpenghasilan sangat
rendah sampai dengan golongan atas :

101
Tabel 2
Skema pelaku (aktor) pembangunan perumahan

8.1.1 Pengertian Perumahan Sederhana

Perumahan sederhana adalah perumahan dengan harga yang relatif murah (low cost housing)
yang dapat dijangkau oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam istilah
asingnya selain disebut low cost housing bisa juga disebut sebagai affordable housing.
Perumahan sederhana adalah tipe perumahan dengan luas bangunan antara 21m2 – 90m2.
Pada perumahan sederhana biasanya ruangan-ruangan yang tersedia biasanya merupakan
ruangan-ruangan primer seperti ruang tidur, ruang tamu, dan ruang makan. Bahkan pada tipe-
tipe dengan luas yang kecil fungsi-fungsi tersebut digabungkan dalam satu ruang, misalnya
ruang tamu berfungsi juga sebagai ruang keluarga dan ruang makan pada rumah tipe 21.

8.1.2 Syarat-syarat Perencanaan Perumahan Sederhana

Untuk mengetahui persyaratan mengenai rumah sederhana kita perlu mengetahui siapa
sajakah orang (subyek) yang memerlukan rumah sederhana tersebut. Mereka adalah :
- Buruh atau pekerja industri pangkat biasa.
- Karyawan-karyawan perkantoran dengan status biasa
- Pegawai negeri dengan pangkat biasa atau masih pemula.
- Siswa yang sedang belajar.
- Keluarga muda
- Masyarakat yang berlokasi di pinggiran-pinggiran kota

Perencanaan perumahan sederhana akan berhasil apabila dilakukan berbagai pendekatan,


seperti: Pendanaan, pertanahan, perijinan, sosial ekonomi, budaya dan teknik teknologis, bila
diuraikan meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Menggiatkan masyarakat untuk membangun sendiri pondoknya/ rumah sederhana
(konsep partisipasi masyarakat). Kepandaian manusia untuk membangun rumahnya
sendiri di negara-negara Barat sudah hilang, akan tetapi di negara-negara yang
sedang membangun seperti Indonesia kepandaian manusia ini harus dipelihara dan
didukung oleh pemerintah.
- Menggunakan teknologi sederhana yang seimbang dengan kepandaian pertukangan
tradisional setempat.

102
- Menggunakan bentuk, konstruksi dan bahan bangunan tradisional setempat.
- Menghindari teknologi yang harus diimpor/ yang asing dan bahan bangunan jadi
seperti elemen dan rumah pre - fabricated.
- Memilih bahan bangunan dan konstruksi-konstruksi yang dapat disesuaikan dan/atau
diperbanyak dengan mudah oleh penghuni sendiri tanpa keahlian/pengalaman
khusus.
- Meski bangunan adalah perumahan sederhana tetap mesti mempertimbangkan
standarisasi, misalnya memiliki kemungkinan untuk perletakkan mebel, menampung
aktivitas keluarga secara baik dan sebagainya.

8.1.3 Perkembangan Rancang Bangun Rumah Sederhana

Sejak tahun 1957 Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan-LPMB (yang sekarang bernama
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Balitbang-Departemen Pekerjaan Umum)
telah melakukan penelitian dan pembangunan rumah percobaan didasarkan pada rancangan
bangunan yang telah dipelajari dan diamati. Rencana perumahan sederhana dan murah yang
telah disiapkan oleh LPMB antara lain meliputi pembangunan beberapa prototipe, yaitu :
- Perumahan Dokter (Health Center), Lemah Abang tahun 1957.
- Perumahan Veteran Teluk Lada, Banten tahun1958.
- Perumahan Pegawai DKA Bandung, 1959.
- Perumahan Pegawai Jawatan Kesehatan, Bandung, tahun 1960.
- Perumahan Pegawai di Kalimantan tahun 1960.
- Perumahan AURI di Malang tahun 1960.
- Perumahan Rakyat percobaan di Pejompongan, Jakarta tahun 1960.
- Perumahan Buruh tahun 1961.
- Perumahan Pegawai LPMB, berbentuk maisonette, Bandung 1962.
- Perumahan Pegawai di Irian jaya tahun 1964.
- Perumahan PegawaiPerkebunan tahun 1965.
- Perumahan Percobaan LPMB dari bahan sekam padi 1968.

Selain dari pembangunan perumahan di atas, juga dilakukan berbagai program yang masih
dalam lingkup pengupayakan pemenuhan kebutuhan perumahan sederhana, seperti: Program
Kawasan Siap Bangun (KASIBA), Pemugaran Perumahan Desa, Perumahan Usaha Tani dan
Pembangunan Rumah Susun. Khusus mengenai rumah susun akan dibahas pada pokok
bahasan selanjutnya. Sebelum dilakukan pembangunan perumahan secara besar-besaran
melalui tahapan pengamatan pada prototipe rumah-rumah sederhana yang dibangun secara
terbatas untuk dipelajari dan diamati.

103
Gambar 48. Prototipe Rumah Sederhana
Sumber: Yudohusodo Siswono, dkk (1991), Rumah untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL, Jakarta

Gambar 49. Contoh Rumah Sederhana


Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-Rumah-
Sederhana#scribd

104
Gambar 50. Contoh Hasil Akhir Inovasi Rumah Sederhana
Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-Rumah-Sederhana#scribd

Masih banyak permasalahan mengenai perumahan sederhana di Indonesia. Misalnya saja


perumahan bagi kalangan buruh yang sampai saat ini belum dapat juga direalisasikan secara
keseluruhan. Penghasilan buruh saat ini yang sekitar 2,3 juta, rata-rata mereka harus
menyisihkan penghasilan sebanyak 20% untuk menyewa kontrakan. Jumlah tersebut adalah
jumlah terbesar berikutnya setelah kebutuhan pangan (makan). Pengadaan perumahan saat ini
masuh menjangkau masyarakat menengah ke atas. Misalnya saja di Bandung sebuah
apartemen di Mekarwangi memiliki angka cicilan sebesar 1,7 juta untuk jangka waktu 10 tahun.
Sementara untuk rumah rata-rata cicilan sudah di atas angka 3 juta.

Pada kondisi ini marginaliasi dan jangka waktu menunggu untuk memiliki rumah semakin
besar. Kebijakan yang ada masih sebatas memperhatikan kepentingan bagi masyarakat
menengah ke atas. Sementara masyarakat menengah ke bawah kurang diperhatikan. Menurut
catatan terdapat angka 15.000.000 backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan)
perumahan Indonesia. Ini adalah PR bersama pemerintah dan para ahli di bidang perumahan.
Tercatat bahwa masih ada masih ada 7,2 juta rumah tangga yang masih menumpang dengan
orang tua dan 6,4 juta rumah tangga masih menyewa rumah. Hal ini sebenarnya peluang bagi
praktisi, atau peneliti untuk menangkapnya menjadikannya wahana untuk membangun
menuangkan pemikiran dan juga kreativitasnya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak
memudah, diperlukan aparatur pemerintahan yang medukung. Masih sering terjadi

105
marginalisasi masyarakat miskin oleh developer swasta yang gencar membangun perumahan.
Contoh yang menarik adalah kemampuan walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil untuk
mampu mengendalikan hal ini dengan menjaga Kawasan Bandung Utara dari gempuran
pembangunan apartemen pencakar langit, sisa kekurangtegasan kepemimpinan terdahulu
yang kurang arif dalam memberikan perizinan.

Contoh lain yang menarik juga adalah keberanian Gubernur Ahok di Jakarta untuk
menindaklanjuti menanganan Kampung Pulo sehingga kualitas ekologisnya terjaga, dengan
memfasilitasi pembangunan apartemen rakyat, meski awalnya tentangan masyarakat cukup
berat. Kembali pada definisi dari permukiman bahwa permukiman meliputi fasilitas perumahan
yang dilengkapi fasilitas-fasilitas pendukungnya. Menangani kampung kota dengan melalui
proses penggusuran tidak sederhana karena mesti memperhatikan elemen-elemen dari
permukiman, seperti tempat bekerja, bersosialisasi dan juga lingkungan ekologis yang sesuai
dan nyaman. Memindahkan tanpa pertimbangan yang baik dan terperinci akan menimbulkan
gejolak sosial.

Gambar 51. Mewujudkan Ide hingga ke Desain Perumahan Sederhana


Sumber : http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-Rumah-
Sederhana#scribd

Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana


Pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat (rumah tembok) :
1. Pedoman teknis ini meliputi ketentuan-ketentuan umum, ketentuan ketentuan teknis dan
teknis pengerjaan untuk pembangunan rumah tinggal sederhana dari bahan baku ocal,
2. Pedoman teknis ini merupakan bagian dari paket pengembangan rumah sederhana sehat:

106
Tabel 3
Paket pengembangan rumah sederhana sehat

3. Pedoman Teknis ini memberikan arahan pengembangan dari Rumah Inti Tumbuh (RIT)
menjadi Rumah Sederhana Sehat (RSS) secara bertahap.
4. Pelaksanaan pembangunan rumah tipe ini dapat dilakukan untuk lokasi dengan potensi
bahan baku ocal yang didominasi oleh pasir dan untuk daerah dengan lapisan tanah
kering, serta memiliki tegangan tanah s tn ³ 0,5 kg/cm2.
5. Pemilihan tipe rumah ini dilakukan atas dasar potensi bahan bangunan terbanyak dengan
harga paling rendah disuatu daerah dimana rumah tersebut akan didirikan.
6. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis rumah yang dapat diterapkan di satu
propinsi, dibuat zonasi Rumah Sederhana Sehat yang merupakan penggambungan dari
berbagai potensi, diantaranya potensi bahan bangunan ocal, potensi budaya serta
kondisi geologis di setiap propinsi.
7. Untuk propinsi yang memiliki lebih dari satu pilihan jenis rumah, urutan pertama
merupakan pilihan yang utama, pilihan jenis rumah lainnya ditentukan berdasarkan Mikro
Zonasi yang dibuat untuk tingkat daerah.

Pada sekitar tahun 2006-2007 Presiden Susilo Bambang Yudoyono, memprakarsai kegiatan
PNPM atas desakan dari publik yang meragukan bahwa angka kemiskinan mengalami
penurunan. Sementara peluncuran kegiatannya mulai aktif pada tahun 2008. PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat) terdiri dari PNPM Perdesaan dan PNPM Perkotaan.
Program ini banyak bergerak pada perbaikan infrastruktur dan perbaikan tingkat penghasilan
penduduk setempat dengan menjalankan proposal-proposal kegiatan usaha yang diusulkan
penduduk dan diseleksi serta dibimbing oleh fasilitator. Tetapi ada pula kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada perbaikan perumahan permukiman. Kegiatan PNPM ini adalah kegiatan yang
serupa dengan program-program sebelumnya seperti P2KP dan P2BPK.

107
Gambar 52. Contoh kegiatan PNPM berupa perbaikan infrastruktur dan perbaikan kegiatan wirausaha
pada akhirnya memberi dampak positif pada lingkungan permukiman
http://www.pnpm-perdesaan.or.id/

Pemenuhan kebutuhan perumahan adalah tanggung jawab banyak pihak tidak hanya
pemerintah, namun juga tanggung jawab peneliti, masyarakat swasta dan masyarakat
seluruhnya. Sebagaimana pula telah dijelaskan di awal bahwa pemerintah memang
penanggung jawab dalam hal ini seperti peranan : Perumnas, Dinas Perumahan, atau Dinas
PU Puslitbangkim. Puslitbangkim misalnya aktif mengadakan seminar dan kolokium tahunan
untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian mereka yang terkini. Contoh di bawah ini adalah
penelitian-penelitian terkini Puslitbangkim yang didapat dari Kolokium tahunan
PUSLITBANGKIN pada awal Mei 2005 yang diadakan di kota Bandung.

Gambar 53

Struktur di atas adalah struktur yang sifatnya mempermudah dan membuat lebih praktis proses pengerjaan karena
antara kolom dan balok lebih cepat diintegrasikan dalam pembangunan. Permukaan tidak 100% masif sesuai
kebutuhan fungsional struktur sehingga harga dapat ditekan (lebih murah)

Sumber : Brosur hasil Penelitian Puslitbangkim (2014-2015)

108
Gambar 54

Contoh inovasi lain struktur aplikatif untuk penggunaan dalam perumahan massal. Struktur di atas adalah struktur yang sifatnya
mempermudah dan membuat lebih praktis proses pengerjaan karena antara kolom dan balok lebih cepat diintegrasikan dalam
pembangunan. Permukaan tidak 100% masif sesuai kebutuhan fungsional struktur sehingga harga dapat ditekan (lebih murah)

Sumber : Brosur hasil Penelitian Puslitbangkim (2014-2015)

Inovasi dalam teknologi pengembangan perumahan senantiasa diperlukan di atas adalah


contoh inovasi terbaru yang disajikan dalam Kolokium Puslitbangkim 2015. Pada intinya
inovasi-inovasi di atas adalah memiliki keunggulan dalam kemudahan aplikasi struktur,
kemudahan pemasangan material yang modular dan inovasi-inovasi lainnya. Dengan syarat
tentunya inovasi tersebut tidak hanya memiliki 1 faktor kelebihan, sebaiknya memiliki beberapa
aspek keunggulan, misalnya kemudahan untuk mendapatkan akses ketersediaan dan juga
harga yang bersaing. Dari hal ini kembali lagi ditekankan bahwa penting adanya sinergi yang
sangat baik antara pemerintah, swasta dan institusi pendidikan. Dengan kata lain hasil-hasil
penelitian pusat penelitian tersebut harus didukung pula oleh relasi dengan pihak swasta yang
sangat mendukung seperti yang telah lama dilakukan di negara-negara maju. Inovasi-inovasi
akan terhambat jika mata rantai multi stake holder di atas tidak ideal.

8.2 RUMAH SUSUN

8.2.1 Rumah Susun Secara Umum

Keberadaan Rusun di Indonesia diatur dengan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(UU Rusun). Rumah susun (Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik
dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing

109
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Rusun dapat dibangun di atas tanah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak
pakai (HP) di atas tanah Negara; dan HGB atau HP di atas tanah hak pengelolaan (HPL).
Rumah susun (apartemen) adalah kebutuhan yang signifikan di kota-kota besar yang
pertumbuhannya pesat, terlebih lagi angka deforestasi (pengrusakan hutan) di Indonesia yang
tinggi. Sejak 2008, Indonesia tercatat masuk Guiness of the Record Pengrusakan hutan
terbesar di dunia yakni 1,8 juta Ha/ tahun. Di Bandung saat ini sejak tahun 2013 ada
perkembangan signifikan, walikota Ridwan Kamil menghentikan atau membatalkan perizinan
pembangunan beberapa apartemen yang terletak di Kawasan Bandung Utara, karena tidak
memenuhi syarat lokasi dan ketinggian bangunan (KLB). Tercatat pada bulan November 2015,
Bandung kembali meraih lagi Penghargaan Adipura, setelah 17 tahun absen.

Pengertian Rumah Susun

Istilah rumah susun (rusun) adalah terjemahan dari istilah asing yaitu apartment atau flats yang
definisinya adalah tempat tinggal (hunian) berlantai banyak. Perumahan seperti ini sudah lazim
digunakan di kota-kota di Eropa atau di kota-kota di belahan dunia lainnya sejak berabad-abad
lalu. Sementara di Indonesia pembangunan dan penggunaan rumah susun masih tergolong
baru. Bahkan ada studi mengenai pemilihan rumah oleh Purnamasari (2012), bahwa pemilihan
rumah di masyarakat masih berada pada tren perumahan yang berada di tanah (landed house).

Hanya kondisinya pada saat ini yang membuat apartemen mulai menjadi pilihan adalah karena
mahalnya perumahan yang berada di atas tanah. Untuk di Bandung misalnya harga rumah
pada saat ini (akhir 2014), sudah berada pada kisaran di atas 350-500 juta untuk tipe kecil
seluas sekitar 28 meter persegi, sementara untuk apartemen masih ada yang dipasarkan pada
harga antara 180 – 250 juta untuk tipe 23 m², sementara untuk tipe 36 m² seharga 350-an juta.
Perbedaan harga yang mencolok ini mengakibatkan pemasaran apartemen cukup didatangi
pembeli (investor) secara berduyun-duyun sejak dimulainya launching pertama suatu
apartemen.

Rumah susun adalah salah satu solusi pemecahan permasalahan perumahan yang sangat
penting terutama di perkotaan. Hal ini mengingat adanya kecenderungan makin langkanya
tanah perkotaan yang dapat dipakai untuk pembangunan perumahan, selain itu karena
mengingat harga lahan yang makin tinggi. Rumah susun adalah sebuah cara untuk
mengefektifkan pembangunan perumahan pada lahan yang terbatas.

8.2.2 Latar belakang dibangunnya rumah susun

Kebutuhan akan perumahan setiap tahun semakin meningkat di kota-kota besar yang menjadi
pusat permukiman dan kegiatan niaga di Indonesia, karena perumahan mempunyai arti yang
sangat penting bagi kehidupan seseorang, tidak hanya dalam fungsinya sebagai tempat tinggal,

110
melainkan juga sebagai sarana pembinaan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
bernegara.

Masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan perumahan, khususnya di
daerah perkotaan adalah disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
sedangkan persediaan tanah sangat terbatas, harga tanah yang cukup tinggi dan lokasi tanah
dan luasan tanah yang tidak memungkinkan dibangunnya perumahan dalam jumlah banyak
(perumahan massal). Dalam pembangunan perumahan terutama di kota-kota besar yang
berkembang pesat seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya dibutuhkan membangun
perumahan dalam jumlah besar dengan memanfaatkan tanah yang relatif kecil. Dengan kata
lain efisiensi pemanfaatan tanah yang diperlukan yaitu membangun perumahan dengan sistem
lebih dari satu lantai mutlak diperlukan dan merupakan usaha yang paling baik.

Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai adalah solusi dari permasalahan di atas
diartikan sebagai perumahanyang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-
satuan yang masing-masing dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor
sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai
yang dikenal dengan rumah susun yang dibangun untuk mengantisipasi luas tanah yang
terbatas di kota besar.

8.2.3 Ciri-ciri Rumah Susun

Adapun ciri-ciri yang membedakan rumah susun dengan rumah biasa yang berdiri di atas tanah
(landed house), adalah:
- Jumlah lantai lebih dari 2 tingkat
- Terdiri dari unit-unit hunian yang relatif sama besar
- Dihuni oleh perorangan atau keluarga tergantung tipe nya.
- Memiliki fasilitas bersama yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama
- Sirkulasi vertikal sangat berperan
- Tidak ada kepemilikan lahan secara pribadi (sertifikat tanah)

8.2.4 Perkembangan Rumah Susun di Indonesia


Beberapa contoh rumah susun (rusun) di Jakarta yang menjadi titik awal perkembangan rusun
di Indonesia adalah:
- Rusun di Krekot Dalam, Jakarta, dibangun mulai 1956-1960. Rusun ini adalah bagi
penghuni berpenghasilan rendah, merupakan tempat penampungan korban kebakaran,
milik PEMDA DKI dan penghuninya berstatus penyewa.
- Rusun di Jalan Krekot, dibangun 1959. Rusun ini adalah tempat karyawan Bank
Pembangunan Indonesia (BPI) milik BPI, penghuninya berstatus sebagai penyewa.
- Rusun di Jalan Teuku Umar- Menteng, dibangun pada tahun 1957. Rusun ini tempat
penampungan pegawai negeri yang belum mendapat kediaman di Jakarta, milik Dept.

111
PU, Jawatan gedung-gedung Negara Daerah Jakarta dan penghuni berstatus penyewa.
- Rusun di Jalan Kebon Sirih Jakarta, dibangun pada tahun 1953. Rusun ini tempat
hunian pegawai perusahaan-perusahaan swasta, milik suatu Yayasan Perumahan
Swasta. Yang menyewa adalah perusahaan-perusahaan swasta untuk karyawan-
karyawannya.

Rumah Susun di Indonesia, dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu sebagai berikut :
1. Rumah Susun Sederhana (Rusun), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang
kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN).
2. Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan oleh
Perumnas/ Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah kebawah.
3. Rumah Susun Mewah (Apartemen/condominium), selain dijual kepada masyarakat
konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh
Pengembang Swasta. Harganya dapat berlipat-lipat dari rusun biasa atau apartemen
biasa. Lokasinya juga biasanya berada di pusat-pusat utama perkembangan kota
dengan bentuk, struktur dan material yang berbeda, lebih unik dan seringkali lebih
mahal pula jenisnya.

(a) (b) (c)


Gambar 55. (a) Rusun Sederhana, (b) Apartement, (c) Condominium
https://sumirin.files.wordpress.com/2010/06/rusunawaj.jpg
http://www.condoexpert.sg/wp-content/uploads/2012/02/Levenue-Facade.jpg
http://s290.photobucket.com/user/gulaly/media/Apartment/1279177838_105310253_1-Green-Bay-Pluit-
Pluit-1279177838_zpsf5ed0961.jpg.html

112
Gambar 56. Contoh Site Plan Rumah Susun yang berlokasi di Surabaya
Sumber : Disketsa oleh Lucy Yosita (2014)

Gambar 57. Contoh Rancangan Bentuk dan Detail Rumah Susun


Yang Sudah Ada

8.2.5 Teknik dan Metoda Merancang Rumah Susun

Yang perlu diperhatikan dalam merancang rumah susun adalah bahwa perancangan ini akan
berlokasi di perkotaan ‘kota-kota metropolitan atau megapolitan’ yang sarat dengan
permasalahan sosialnya. Kawasan perkotaan yang menjadi pilihan dari Program pembangunan
1000 Tower Rumah Susun seolah pisau bermata dua, di satu sisi sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan hunian masyarakat dan di sisi lainnya sebagai upaya peremajaan kota dari kawasan
kumuh.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sisi perancangan kota/ urban design adalah:
 Kepadatan dan intensitas tinggi, akan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan
menuntut adanya kebijakan publik yang adil.

113
 Dominasi kegiatan komersial dan Jasa, memicu arus pergerakan baik dari dalam
maupun luar kawasan sehingga cenderung menyuburkan pertumbuhan sektor
informal.
 Lokasi strategis dalam kaitannya dengan nilai ekonomi dari pengembangan kawasan.
 Potensi berkembang secara tidak terkendali, karena sangat bergantung ekonomi
makro.
 Sarat dengan permasalahan sosial, seperti: kaki lima, penyerobotan lahan, kumuh,
dan lain-lain.

Selain itu terdapat juga permasalahan dari segi calon penghuni :


 Tingkat kemampuan ekonomi/ daya beli rendah
 Budaya tinggal di rumah biasa
 Interaksi sosial (tetangga) relatif lebih kuat
 Tingkat pendidikan dan pengetahuan.
 Sektor informal.
 Rentan pengangguran.

Permasalahan lainnya ditemukan pada Bangunan yang Tinggi :


 Transportasi vertikal.
 Penanggulangan bahaya kebakaran.
 Ventilasi dan pencahayaan.
 Teknologi dan sistem membangun.

Dari data-data tersebut di atas dapat kita ambil bahwa kemungkinan terbaik pada saat
merancang rumah susun adalah: menentukan sistem struktur, memilih material, menentukan
sistem utilitas, menentukan strategi metoda membangun, dan memilih strategi pemasaran yang
cepat terkait jumlahnya hunian yang banyak. Membangun secara berulang (tipikal) baik
horizontal maupun vertikal, lebih banyak jumlahnya semakin baik, terletak diperkotaan, nilai
lahan dan intensitas tinggi, dekat dengan kawasan komersial dan jasa, sistem moduler diambil
sebagai penerapan modul baik secara mikro maupun makro.

Strategi pembangunan juga memerlukan penanganan yang khusus, karena jumlah hunian yang
lebih banyak membuat tahapan pembangunan lebih dikejar waktu. Dalam hal ini peran dan
pengalaman developer sangat berpengaruh besar. Developer yang sudah terpercaya akan
memenuhi jadwal sesuai dengan perjanjian awal, misalnya saja lama pembangunan 1,5 tahun
atau 2 tahun. Tetapi developer yang kurang baik jadwalnya bisa mulur-mulur mengakibatkan
pembeli memprotes karena lama pembangunan melewati jadwal yang sudah disepakati dan
dijanjikan di awal pembelian investasi rumah susun atau apartemen ini.

Banyak faktor yang menyebabkan lama pembangunan rumah susun yang mulur, misalnya:
lahan yang belum siap (masih dalam sengketa), developer yang kurang bertanggung jawab

114
atau kurang berpengalaman, harga yang terlalu murah sehingga pembangunan akhirnya
tersendat-sendat dan akhirnya mulur secara waktu, atau adanya protes dari warga bila
pembangunan dilakukan mengejar waktu dengan cara dibangun di malam hari. Yang terakhir
ini biasanya terjadi bila suatu lokasi rumah susun berada pada lingkungan perumahan yang
penduduknya cukup padat, biaya ganti rugi dapat di luar perkiraan. Bila lokasi berada di
perkantoran atau di lahan yang jauh dari perumahan, maka bisa berbeda kondisinya. Pada
awal 2015, Presiden Jokowi telah meminta untuk dirumuskannya peraturan yang lebih baik
mengenai pembangunan dan kepemilikan rusun/ apartemen, suatu langkah yang sangat baik.

Hal yang tidak kalah penting selain teori mengenai apartemen/ rusun ini adalah mempelajari
studi banding dari negara-nega lain yang telah berhasil membangun perumahan bertingkat ini
secara lebih optimal, berkualitas dan berkeadilan, misalnya saja di Jepang atau Singapura.
Berikut di bawah ini adalah contoh tipologi perumahan bertingkat di Jepang yang dikenal
dengan istilah Danchi.

Berikut merupakan eksterior bangunan dan penataan ruang luar Danchi yang telah
dibangun terletak di Sapporo dan Yokohama Jepang.

Gambar 58. Danchi di Sapporo dan Danchi di Yokohama


Sumber : Kchoze Urban, 2015

115
Meningkatnya jumlah permintaan masyarakat akan kebutuhan tempat tinggal, maka
sejak tahun 1950-1970-an pemerintah membangun banyak Danchi. Pembangunan
Danchi atau Rumah Susun untuk masyarakat di Jepang memiliki kelebihan dengan
tempat tinggal lainnya, diantaranya yaitu:
1. Harganya murah, harga sewa ataupun pembelian cukup murah apabila
dibandingkan dengan harga manssion bekas. Sewa Danchi dengan luas rumah :
a. 30m2 sekitar 30 ribu yen (3 juta rupiah) perbulannya
b. 53m2 sekitar 60 ribu yen (6 juta rupiah) perbulannya
Rumah-rumah di Danchi dapat pula dibeli secara tunai yang harganya tergantung
dari umur bangunan, ada tidaknya elevator, serta letak Danchi (Tokyo atau di luar
Tokyo). Pada umumnya tata letak dalam rumah Jepang biasanya menggunakan
istilah seperti berikut:
SINGKATAN ISTILAH TATA LETAK DALAM RUMAH JEPANG
1K One Room
DK Dining Kitchen
LDK Living Dining Kitchen
Bila terdapat hunian yang akan disewa atau dijual 2 LDK artinya rum;;ah tersebut
mempunyai 2 kamar, serta Living, Dining dan Kitchen, semakin banyak jumlah
ruangannya, harga pun akan menyesuaikan.
2. Sebagian Danchi merupakan bangunan tua tapi masih bersih dan terawat,
meskipun sudah berumur puluhan tahun, dikarenakan adanya pengurus Danchi,
dan petugas piket yang ditugaskan oleh para penghuninya.
3. Lokasinya strategis, pada umumnya lokasi tidak jauh dari stasiun kereta api, dan
dekat jalan besar atau utama. Hal tersebut dikarenakan pemerintah membangun
perumahan sesuai dengan perencanaan kota yang telah dirancang.
4. Keberadaan taman atau tempat bermain anak dalam area Danchi membuat
lingkungan sekitar terlihat asri dan nyaman.
5. Lokasinya dekat pusat perbelanjaan. Perencanaan pembangunan rumah, yang
dihuni oleh banyak orang, mengharuskan pemerintah untuk memikirkan juga
pembangunan pusat perbelanjaan, seperti supermarket, dan lain-lain. Terlihat
sekarang di sekitaran wilayah Danchi banyak berdiri supermarket dan tempat-
tempat belanja kebutuhan sehari-hari. (Weedy, 2013).

Keunggulan lainnya dalam perancangan Danchi ini adalah fasade yang sederhana tetapi
masihdapat mebarik lalu juga adanya efisiensi interior. Pada gambar di atas terlihat
bagaimana fleksibilitas antara kegiatan menonton televisi dan meja kerja yang dibuat
efisien sehingga dapat menghemat ruang. Lalu untuk dapur yang digabungkan dengan

116
ruang makan sehingga efisien, dan dapur juga disesuaikan dengan kebutuhan masa
kini masyarakat, yakni dimana lebih ditujukan untuk kegiatan memasak yang sifatnya
praktis. Selain itu pada denah di Gambar 4 terlihat bahwa ruang tamu dibuat pula lebih
kecil dengan perangkat furniture minimalis. Kiranya bila biaya pembangunan permeter
persegi adalah 4 juta jika dapat menghemat 0,5 x 8 m² saja, maka dapat dihemat
sebangak 16 juta untuk 1 unit hunian dan dapat lebih besar kemungkinan
terjangkaunya oleh masyarakat. Hal ini memiliki konsekuensi beberapa ruang dibuat
lebih minimalis misalnya ruang 3 x 3 m² menjadi 2,5 x 3m², 2 x 2,5 m²menjadi 2 x 2
m²dan seterusnya.

Dari di atas dapat dipelajari bahwa, pengembangan rusun bagi masyarakat menengah
ke bawah lebih diperhatikan di Jepang. Sementara di Indonesia pembangunan vertikal
masih terpusat pada masyarakat menengah ke atas. Sementara kebutuhan masyarakat
menengah ke bawah masih kurang terpenuhi, bahkan di kota-kota metropolitan
cenderung sangat sulit, banyak pengembang membuat perumahan cluster yang
terbatas jumlahnya yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat menengah ke atas.
Ciri-ciri khas perancangan perumahan publik vertikal di Jepang di atas dapat dipelajari,
dapat disimpulkan bahwa : perlu ada sistem perumahan sewa dalam jumlah yang
cukup banyak, perlu peran pemerintah untuk assestment lokasi perumahan, karena
banyak kasus pembebasan lahan masih dimonopoli oleh developer bagi perumahan
menengah ke atas, perlu dibarengi dengan pengembangan potensi-potensi lokal
masyarakat untuk dapat mendapatkan/ meningkatkan penghasilannya. Angka
pengangguran adalah cukup tinggi, masyarakat akan sulit/ lama dapat membeli rumah
bila penghasilan terbatas.

8.2.6 Ketentuan Teknis Pembangunan Rusun


Ketentuan teknis rumah susun bertingkat tinggi meliputi:
1) Ketentuan teknis tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi dan
intensitas, arsitektur, serta persyaratan dampak lingkungan.
2) Ketentuan teknis keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

8.2.7 Pengaturan Pelaksanaan Persyaratan Teknis Rusun Bertingkat Tinggi :


1. Persyaratan teknis rusun bertingkat tinggi disamping mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan menteri ini tetap mengacu pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/M/1992 tentang Persyaratan
Teknis Pembangunan Rumah Susun.
2. Dalam melaksanakan pembinaan rusun bertingkat tinggi, Pemerintah melakukan
peningkatan kemampuan aparat Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota

117
maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 untuk terwujudnya penataan bangunan dan lingkungan, serta
terwujudnya keandalan rusun bertingkat tinggi.
3. Dalam melaksanakan pengendalian penyelenggaraan rumah susun bertingkat
tinggi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikuti Pedoman
Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
4. Terhadap aparat Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Kabupaten/Kota yang
bertugas dalam penentuan dan pengendalian rusuna bertingkat tinggi yang
melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 5 dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Terhadap penyelenggaraan rusuna bertingkat tinggi yang melakukan pelanggaran
ketentuan dalam Pasal 5 dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

118
Bab. 9
PENERAPAN ANALISIS REAL ESTATE
DALAM PROYEK PERUMAHAN

Analisis ekonomi adalah analisis yang mendasar dalam perumahan, selain daripada
teori-teori yang sifatnya kualitatif. Pada bab 3 telah diuraikan hal-hal mendasar
mengetani strategi ekonomi mengenai perumahan dan permukiman, adapun pada Bab
9 ini akan diuraikan mengenai analisis real estate dengan metoda ekonomi teknik. Hal
ini penting untuk dipelajari karena teori-teori kualitatif perumahan, memerlukan analisis
kuantitatif yang sangat memadai. Juga untuk perumahan menengah ke bawah, hanya
untuk real estate memiliki perbedaan prosedural dan mekanisme yang berbeda, karena
ada tuntutan perancangan yang lebih khusus untuk nilai lahan yang lebih tinggi (mahal)
di pusat-pusat perkembangan kota.

Real estate berasal dari suku kata real = royal dan estate = tanah pertanian/ kebun,
merupakan bahasa Spanyol. Dengan kata lain real estate didefinisikan pengelolaan
lahan menjadi nilai peningkatan ekonomi yang signifikan karena asalnya sendiri dari
sejarahnya adalah tanah yang dikuasai oleh pihak raja atau orang yang memiliki
pengaruh di Spanyol. Real estate sendiri adalah bahasa Inggris yang lazim dijadikan
istilah bagi para pelaku pelaksanaan pembangunan perumahan untuk kelas menengah
ke atas, secara rata-rata.

Menurut Duhaime (2011), real estate intinya memiliki defiisi suatu nilai investasi
terhadap lahan yang harus memiliki peningkatan (signifikan). Perumahan adalah hanya
salah satu dari real estate, villa, hotel dan lain sebagainya yang pada intinya
meningkatkan nilai lahan dan juga kawasan di sekitarnya termasuk dalam kategori real
estate. Dalam sehari-hari real estate memiliki pergeseran fungsi yakni perumahan
untuk kategori menengah ke atas, seringkali bisa jadi sebagai kawasan elit saja.

Real Estate adalah salah 1 jenis dari beberapa kategori perumahan Real Estate
merupakan perumahan dengan karakter khusus yakni memiliki lokasi di lokasi yang
strategis, memiliki kualitas desain yang lebih tinggi, dan memiliki material bangunan
yang juga lebih baik. Pengertian secara mendasar mengenai real estate sendiri adalah
tentunya dengan adanya permasalahan sosial yang berbeda pula. Biasanya

119
masyarakat pada lingkungan real estate sifatnya lebih individualistis daripada di
lingkungan perumahan BTN atau di lingkungan kampung kota (urban village).

Kota-kota di Indonesia sebenarnya telah berkembang cepat, hanya beberapa saja yang
dapat dikatakan pesat, ada lebih banyak kota yang belum berkeadilan, kurang memiliki
fasilitas publik dan memiliki permasalahan lingkungan hidup. Bandung adalah ketegori
kota yang tengah berkembang pesat dengan walikotanya yakni Ridwan Kamil,
Bandung terlihat lebih terencana secara makro, memperhatikan aspirasi masyarakat
bawah dan juga memperhatikan perancangan ruang publik yang cukup signifikan.
Hanya aspek infrastruktur masih memerlukan perbaikan juga pengadaan perumahan
untuk masyarakat menengah ke bawah. Maka real estate adalah suatu ilmu ekonomi
dalam perumahan yang tidak terlepas dari ilmu-ilmu lainnya, seperti infrastruktur,
lingkungan hidup dan lain-lain. Rumus-rumus teori strategi perumahan perlu didalami
secara lebih lanjut dengan teori-teori kenaikan harga rumah, tingkat suku bunga dan
juga rincian deskriptif fenomena inflasi dan faktor-faktor penyebabnya. Hal ini akan
diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

9.1. FUNGSI DAN PERAN ANALISIS REAL ESTATE MELALUI ILMU EKONOMI
TEKNIK

Parameter kemajuan dan perkembangan suatu perusahaan di bidang properti atau real
estate adalah dilihat melalui pengelolaan ekonomi dan keuangan perusahaan. Dalam
perusahaan yang bergerak pada bidang pengembangan proyek perumahan (properti),
pengelolaan ekonomi teknik yang transparan dan professional sangat dibutuhkan
karena sangat berguna dalam menjaga kestabilan perusahaan-perusahaan real estate
baik milik swasta maupun milik pemerintah. Analisis real estate dengan metoda
ekonomi teknik juga penting untuk prediksi pengembangan proyek-proyek perusahaan
tersebut. Ekonomi yang transparan dapat menekan harga jual rumah sehingga lebih
terjangkau oleh masyarakat. Hal-hal yang sifatnya tidak transparan seperti: tingkat
korupsi, waktu yang terlalu panjang dalam pembangunan atau terlibatnya subyek-
subyek yang tidak profesional hanya mengandalkan tingkat kedekatan (nepotism),
dapat ditekan se optimal dan seobyektif mungkin.

Sebagaimana kita ketahui harga jual rumah di Indonesia seringkali memiliki kenaikan
yang kurang rasional. Hal ini dapat menjadi salah 1 faktor yang membuat nilai inflasi
saat ini menjadi tidak terkendali. Sebagai salah satu benda yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, sektor perumahan menuntut analisis ekonomi teknik yang memadai. Ekonomi

120
teknik dapat ditafsirkan sebagai upaya pengambilan keputusan yang didasarkan atas
perbandingan harga dari kegiatan-kegiatan dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Pengambilan keputusan tersebut merupakan pilihan dari kegiatan-kegiatan yang akan
dijalankan oleh perusahaan seperti konstruksi, produksi, serta yang berupa pelayanan
jasa. Realisasi dari keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan antara lain
dapat berupa investasi tenaga manusia (resource), peralatan (perangkat pendukung),
dan budget (anggaran) yang akan digunakan pada seluruh bagian struktur organisasi
perusahaan.

Adapun implikasi ekonomi teknik dalam proyek perumahan berupa pematangan lahan
yang merupakan salah satu tahapan dalam proses pembangunan perumahan,
kemudian pada proses perencanaan, konstruksi, pelaksanaan hingga pemasaran.
Tahap pematangan lahan terdiri dari pembebasan tanah, prasarana kawasan (urug-
pagar-jalan) dan sarana kawasan (infrastruktur- fasilitas umum). Perencanaan kegiatan
yang baik dan pengendalian penggunaan biaya pada tahap pematangan lahan
merupakan titik tolak keberhasilan pelaksanaan proyek perumahan maupun bidang
konstruksi lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena di dalamnya terdapat salah satu
tahapan yang cukup banyak membutuhkan dana sepanjang operasional pelaksanaan
proyek konstruksi maupun proyek perumahan yaitu pembebasan tanah.

9.2. KONSEPSI TENTANG NILAI UANG

Sebuah perusahaan lazimnya menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang


utama dan juga dapat digunakan sebagai alat untuk menafsirkan nilai keputusan yang
akan diambil dalam mempersiapkan investasi perusahaan tersebut. Uang dapat berupa
: giro, bilyet ataupun berupa uang secara real. Namun saat ini perkembangan teknologi
sudah begitu canggih, orang yang jauh di negeri di balik belahan bumipun dapat
berinvestasi di negeri lain, sepanjang memiliki uang. Teknologi transfer sudah demikian
berkembang pesat dan beragam. Di satu sisi hal ini sebenarnya sangat memberi
kemudahan, orang Indonesia yang sedang tinggal di luar negeri untuk beberapa
waktupun bisa sambil mencicil produk real estate. Tetapi sebenarnya hal ini memiliki
sisi negatif yakni tanpa pemantauan dari pemerintah secara optimal, maka akan
membuat tingkat marginalisasi yang tajam. Dalam artian yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin.

Uang juga memegang peranan yang sangat penting dalam operasional perusahaan.
Segala sesuatu perlu diperhitungkan secara teliti guna merealisasikan perencanaan

121
(konsep) dan perancangan (pembuatan desain) agar nilai ekonomis suatu proyek dapat
dimaksimalkan setinggi mungkin. Untuk menjalankan usahanya, perusahaan properti
biasanya menjalin hubungan dengan pihak pemberi pinjaman modal yang berfungsi
sebagai rekanan yang akan membantu perusahaan dalam hal keuangan (pihak bank).

Menurut Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie dua dasar pemikiran dalam hal
keuangan yang ditekankan pada konsep alami/logika bukan perhitungan secara
sistematis adalah bila seseorang meminjam uang kepada orang lain maka ia berhak
mendapatkan hadiah berupa bunga (interest). Kemudian dasar pemikiran yang kedua
adalah sejumlah uang pada masa sekarang, dengan mendapat bunga dari waktu
kewaktu dan semakin lama semakin besar, tergantung pada tingkat suku bunga dan
periode waktunya. Sebaliknya sejumlah uang pada suatu waktu yang akan datang
adalah ekuivalen dengan sejumlah uang yang lebih kecil, tergantung pada tingkat suku
bunga dan periode waktunya.

Pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) melihat bunga dari dua sudut
pandang yang sama dan berbeda. Persamaannya uang yang dipinjam akan terus
berlipat ganda (compound) kuantitasnya. Perbedaannya adalah pemberi pinjaman
melihat bunga sebagai suatu bentuk hadiah atau kompensasi dari uangnya bila uang
tersebut dipakai untuk keperluan lain, sedangkan pihak peminjam melihat hal tersebut
sebagai beban yang akan selalu bertambah bila periodenya semakin panjang,
sehingga peminjam harus dapat memanfaatkan pinjaman tersebut untuk suatu aktivitas
atau usaha.

9.4. BUNGA DAN SUKU BUNGA

Adapun nilai bunga diartikan sebagai uang dengan jumlah yang harus dibayarkan
karena perusahaan sudah menggunakan uang tersebut dengan nilai atau jumlah
tertentu. Sementara suku bunga dapat diartikan sebagai bunga dengan nilai tertentu
setiap satu satuan waktu dibandingkan dengan uang yang harus dibayarkan kepada
pemberi pinjaman. Bunga dan suku bunga biasanya digunakan sebuah perusahaan
dalam pengelolaan keuangan termasuk dalam perumahan atau real estate lazimnya
melalui jasa bank atau langsung ke developer untuk beberapa perusahaan
pengembang kontemporer apartemen saat ini.

Harga jual produk real estate harus dapat melingkupi bunga piutang yang harus
dibayarkan ke bank oleh pengembang. Dengan demikian pengembang real estate

122
harus memahami harga ideal yang harus dijadikan harga jual, harga yang diproyeksi
menjadi nilai jual di masa mendatang bila pembangunan real estate dilakukan secara
bertahap. Dan juga faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan harga
(differences). Beberapa macam ragam pengembalian pinjaman terhadap pemberi
pinjaman yang sering digunakan dalam kredit perumahan, diantaranya :

1. Pembayaran bunga setiap bulan, dengan membayar bunga dan pinjaman


pokok pada tahun terakhir (pada saat jatuh tempo).
2. Setiap tahun harus membayar bunga dan mengangsur pembayaran sebagian
utangnya.
3. Pembayaran tiap tahun atau setiap bulan merata. Jumlah total pembayaran
tiap angsuran sama. Cara ini merupakan salah satu cara yang paling sering
digunakan dalam kredit perumahan, yang disebabkan oleh :
a. Jumlah nilai kredit perumahan cukup besar
b. Kemampuan setiap orang untuk menabung tidak sama dan biasanya
terbatas
c. Jangka waktu kredit biasanya sangat panjang (bisa sampai puluhan
tahun). Untuk saat ini ada perubahan, jika dahulu bisa hingga 25 tahun,
saat ini mayoritas maksimum adalah 10 atau 15 tahun. Bahkan untuk
apartemen banyak ditawarkan secara cash bertahap atau cash.
4. Pengembalian bunga maupun pokoknya dilakukan pada saat terakhir
pembayaran.

9.5. PENGGUNAAN MATEMATIKA UANG

Perhitungan pada pelayanan para pengguna jasa perbankan menggunakan perhitungan


beberapa rumus dengan penggunaan istilah-istilah berikut.

123
P

A/F , i%,n
A F/A , i%,n F
Diagram 3 . Faktor-faktor penghubung antara P, F, dan A
Sumber : Sastra (2005), dkk dalam “Perencanaan dan Pengemabangan Perumahan”

Keterangan :
I = tingkat suku bunga
n = jangka waktu
P = Present Value (nilai sekarang)
F = Future Value (nilai yang akan datang)
A = Annuity (pembagian seri merata dari suatu pembayaran)

Adapun jenis-jenis perhitungan yang sering digunakan sebagai dasar analisis ekonomi
teknik dalam proyek perumahan adalah sebagai berikut :

1. Future Value (F), diketahui P, i %, n


Rumus digunakan untuk mengetahui nilai uang pada jangka waktu n yang akan
datang apabila diketahui besarnya uang pada saat ini.

F = P (1 + i)n

(1 + i)n = faktor jumlah berganda

2. Present Value (P), diketahui F, i%, n


Digunakan untuk mengetahui nilai uang pada saat sekarang, dari jumlah uang
yang akan datang.
1
P=F
(1 + i)n

124
3. Annuity (A), diketahui F, i %,n
Untuk mengetahui besarnya annuity (A) dari suatu nilai yang akan datang.
1
A=F
(1 + i)n

4. Annuity (A), diketahui P, i %,n


Digunakan untuk mengetahui A, diketahui P, i%, n.

1(i + 1)n
A=P
(1 + i)n -1

5. Future Value (F), diketahui A, i %, n


(1 + i)n -1
F=A
i

6. Present Value (P), diketahui A, i%, n


(1 + i)n -1
A=P
i (1 + i)n

9.6. ESTIMASI COST AND BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Cost and Benefit Analysis (CBA) atau analisis manfaat dan biaya dalam suatu proyek
perumahan memiliki peranan penting sebagai bagian dari evaluasi proyek (project
evaluation), yang dapat menentukan suatu proyek layak dilaksanakan atau tidak.
Menurut Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie menjelaskan bahwa manfaat analisis
ekonomi teknik pada suatu proyek pembangunan akan mengarahkan para perencana
dalam menentukan pilihan terbaik dari beberapa alternatif hasil perencanaan yang
dipilih.
Harga dalam produk real estate adalah faktor yang sangat signifikan dalam
menentukan keberhasilan penjualan produk real estate. Untuk menentukan harga ada
pengetahuan khusus. Harga ditentukan dengan produk real estate setara dan faktor-
faktornya yang berbeda (differences).

125
P subject = P (comparable) ± D (differences)

P (comparable) = Harga subyek real estate yang sebanding


D (differences) = Faktor-faktor yang membedakan dari subyek yang dibandingkan
(kekhususan tertentu).

Penentu Price (P) adalah :


1. Karakter penjual (“sales”)
2. Karakter harga (persepsi antara “sales” dan “subject property”)
3. Nilai dollar.
4. Rekonsiliasi “harga tetap”

Sementara faktor-faktor penentu nilai (value) berbeda dengan harga. Mengenai nilai
(value), sifatnya lebih bersifat abstrak dengan kata lain terkait dengan faktor-faktor tidak
langsung (eksternal). Faktor-faktor yang menentukan nilai (value) adalah :
1. Perubahan kepemilikan.
2. Keuntungan dan Cicilan.
3. Perhitungan pajak.
4. Pembelian dan keuntungan.
5. Resiko properti.

Sementara itu terdapat 3 faktor yang dapat menentukan sistem marketing RE dan
harga jualnya, yakni :
1. Skala Proyek.
2. Target
3. Tahapan Pembangunan Proyek RE

ANTISIPASI

PERSAINGAN KESEIMBANGAN

Diagram 1
Siklus dalam RE, kelaziman yang terjadi adalah Masalah Persaingan, dalam hal ini diperlukan analisis kuantitatif maupun kualitatif
untuk keseimbangan atau target yang ingin dicapai.

126
Penentuan alternatif dapat berupa perbandingan biaya dan juga dapat melibatkan
unsur resiko yang mungkin terjadi, maka kompetisi (persaingan) sesungguhnya
memiliki manfaat pula dalam terciptanya keseimbangan investasi perumahan. Selain itu
analisis ekonomi mengenai harga produk di atas dapat juga dikembangkan dengan
berbagai macam biaya berdasarkan asas manfaat dari proyek tersebut. Untuk saat ini
hal ini sangat penting metoda CBA untuk dipergunakan, karena lahan yang semakin
terbatas, material yang semakin mahal dan demikian pula biaya untuk tenaga pekerja
dalam pelaksanaan pembangunan arsitektural. Misalnya saja kamar yang lazimnya
berukuran 3 x 3 meter, pada kondisi kebutuhan manusia yang semakin efektif dan
memperhatikan efisiensi, dapat disesuaikan menjadi 2,5 x 3 meter. Lalu antara ruang
tamu dan ruang keluarga dapat disatukan menjadi living room, karena seringkali
bertamu mulai menjadi aktivitas yang penting hanya pada saat-saat tertentu. Perilaku
masyarakat mulai ada perubahan banyak bertemu di ruang luar dengan alasan jarak.
Selain itu furniture interior kini juga lebih efisien ringan dan tipis sehingga anthropometri
kebutuhan ruang gerak dapat disesuaikan lebih minimalis tanpa mengurangi kebutuhan
dasar.

Harga untuk pengurangan 3 meter persegi tidak murah untuk saat ini, jika
diperhitungkan biaya pembangunan 4 juta permeter persegi maka dapat
mengefektifkan 12 juta rupiah, jika ada 3 kamar diefektifkan maka akan menghemat 36
juta rupiah. Harga saat ini bukanlah hal yang sederhana, pada tingkat persaingan
kehidupan masyarakat global, Indonesiapun masih harus belajar dari negara-negara
seperti : Jepang, China, atau negara-negara maju lainnya. Contoh-contoh hasil studi
banding mengenai perumahan publik vertikal di Jepang dapat dilihat pada bab
sebelumnya mengenai perumahan publik di Jepang yakni pada bab 8 (danchi).
Efektifitas ruang dan aplikasi temuan teknologi material baru haruslah diaplikasikan
sehingga harga rumah dapat ditekan, dengan tanpa mengurangi kualitas sehingga
back log (ketidakterpenuhan) yang tinggi kebutuhan perumahan dapat lebih tercapai.

9.7. PENETAPAN MANFAAT DAN BIAYA DALAM PERUSAHAAN

Sebuah perusahaan real estate dalam menjalankan proyeknya pasti akan mengkaji dan
menggali berbagai manfaat, manfaat itu dapat ditafsirkan sebagai seluruh bentuk
penerimaan yang dapat diperkirakan dan diperhitungkan akan diterima dari suatu
proyek yang sedang dijalankan. Penerimaan dan pengeluaran suatu perusahaan dapat
diukur dengan menggunakan uang secara langsung (tangible) maupun tidak dinilai
secara langsung dengan uang (intangible). Adapun sistem penerimaannya secara

127
langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect).

Rumah merupakan salah satu jenis barang yang dapat dinilai langsung dengan uang
karena rumah dan tanah yang diperjualbelikan di pasar properti memiliki nilai tertentu.
Bentuk penerimaan dan pengeluaran yang dapat dinilai dengan uang yaitu segala
barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar, tempat perbelanjaan, dan sebagainya.
Sedangkan bentuk penerimaan dan pengeluaran yang intangible yaitu hal-hal yang
bersifat kualitatif, seperti kebanggaan atas profesi, kemampuan teknologi, semangat
patriotism, dan lain-lain.

Manfaat dari sebuah perusahaan properti yaitu manfaat langsung (direct benefit) dan
manfaat tidak langsung (indirect benefit). Manfaat langsung seperti pembangunan
perumahan yang menghasilkan rumah tinggal (hunian), pembangunan jembatan dan
jalan tol yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya. Manfaat tidak
langsung seperti dengan adanya pembangunan perumahan maka pembangunan
sarana dan prasarana suatu wilayah dapat berkembang pula sehingga dapat
meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.

Diagram 4. Tiga Parameter Analisis Manfaat dan Biaya


Sumber : Yosita (2015) - hasil analisis

Kemudian manfaat dari suatu proyek dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu :

128
Diagram 5. Empat Manfaat dalam Proyek
Sumber : Sastra (2005), dkk dalam “Perencanaan dan Pengemabangan Perumahan”

Tiga Parameter dalam melakukan Analisis Manfaat dan Biaya real estate menurut
Kuiper (1971) dalam Robert J. Kodoatie, yaitu :

1. Manfaat Langsung (direct benefit), yaitu manfaat yang langsung dapat


diperoleh dari suatu proyek. Misalnya pembangunan PLTA yang menghasilkan
listrik, pembangunan jalan tol, dan lain-lain.
2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit), seperti pembuatan suatu jembatan
yang menjadikan suatu daerah berkembang industrinya; karena dibangun
PLTA pada suatu daerah maka tingkat pendapatan pemerintah dari pajak jadi
meningkat.
3. Manfaat nyata (tangible benefit), yaitu manfaat nyata yang dapat diukur dalam
bentuk suatu nilai uang.
4. Manfaat tidak nyata (intangible benefit), misalnya perasaan aman terhadap
banjir sesudah terdapatnya proyek pengendalian banjir, dan sebagainya.

Dasar-dasar ekonomi teknik untuk real estate di atas memiliki urgensi khususnya untuk
menganalisis nilai ekonomi dan juga logika kesesuaian antara harga rumah dengan
tingkat inflasi. Apabila dimasukkan pada rumus di atas, saat ini terjadi signigikansi
ketidaksesuaian antara harga rumah dengan daya beli (affodability) masyarakat. Pada
kasus-kasus yang lebih kompleks penyelesaian solusi real estate tidak seperti pada
masa-masa pengembangan awal seperti pada tahun 1990-an hingga sekitar awal
tahun 2000, kondisi kota-kota di Indonesia sudah banyak yang mengalami perubahan.
Konsepsi baru seperti Cost Benefit Analysis, Social Benefit Cost Analysis atau Land

129
Sharing (LS), menjadi solusi-solusi yang harus dikembangkan dan dijadikan pilihan di
lapangan. Konsep-konsep terakhir ini selain bermanfaat untuk mengatasi banyak
polemik lahan, dapat punya mengatasi masalah sosial dan lingkungan hidup.

Masalah sosial mengenai pertanahan misalya, cukup banyak lahan yang memiliki
konflik, namun diduduki oleh masyarakat secara ilegal. Sementara masalah lingkungan
hidup, yakni pengurangan prosentase luasan hutan, sejak tahun 2008 Indonesia masuk
dalam Guiness of the Record untuk masalah pengurangan luasan hutan yang tinggi
pada angka 1,8 juta hektar pertahun. Kawasan berkonflik di Bandung misalnya, pernah
dilakukan oleh penulis pada tahun 2007 terhadap lahan di milik Universitas Padjajaran
(Unpad) di Kawasan Sekeloa, Bandung dengan judul “Strategi Penataan dan
pengembangan Kampung Kota : KAJIAN PROSPEK DAN PERMODELAN “LAND
SHARING’ SEBAGAI SUATU ALTERNATIF TERHADAP PENDEKATAN
KONVENSIONAL.

Lahan di atas telah diduduki oleh masyarakat dan komersial, sementara lahan ini
sebenarnya milik Unpad, fenomena mafia, premanisme menjadikan masalah lahan
menjadi kompleks. Dari hasil penelitian dapat diberikan usulan yakni 60% dikembalikan
kepada Unpad dan sisanya 40% dikembalikan ke masyarakat dengan suatu angka nilai
jual. Pada solusi ini juga ditawarkan adanya pengembalian fungsi hutan kota di
kawasan Sekeloa yang termasuk ke dalam kawasan konservasi KBU (Kawasan
Bandung Utara). Dengan demikian teori real estate, harus dikorelasikan dengan
konsep-konsep baru di atas pada masalah yang lebih kompleks. Masalah pertanahan
saat ini memiliki masalah yang lebih kompleks lagi, misalnya saja pada April 2015, saat
anggaran APBN/APBD mulai diturunkan, dan dana-dana pijaman dapat dicairkan
banyak proyek yang meski dananya dapat dicairkan untuk pembangunan namun
memiliki permasalahan konflik lahan. Pemerintah dan peneliti harus mampu
menemukan solusi atas permasahan ini.

Masalah yang sama juga untuk kawasan di wilayah Indonesia Timur, seperti Manado
terdapat lahan berkonflik dengan rasio 30 : 70, dalam artian 30% milik masyarakat, dan
70% milik Instansi menurut Mononimbar (2006). Solusi LS (land sharing), menawarkan
kawasan permukiman yang tertata, bernilain ekonomis dan berkeadilan. Perumahan
untuk saat ini masih sebagai komoditi yang laris hanya kebanyakan pada masyarakat
menengah ke atas. Saat ini masalah perumahan permukiman untuk masyarakat
menengah dan masyarakat miskin belum terkelola optimal setelah adanya PNPM pada
kepemimpinan SBY (2004 - 2009), pemerintah belum terlihat serius menangani hal ini,
hal ini adalah wacana untuk banyak pihak. Namun pula hal ini perlu penyadaran untuk

130
seluruh pihak tidak hanya pemerintah, kesadaran perlunya perluasan berwirausaha,
kesadaran perlunya adanya penyadaran pengembang untuk adanya penggunaan
konsepsi baru tidak sekedar teori real estate klasikal yang hanya mementingkan
kebutuhan perumahan bagi seluruh golongan rakyat. Pemahaman para peneliti dan
juga para arsitek yang rasional mengenai hal ini sangat diperlukan untuk mengimbangi
kondisi ini dan juga permasalahan back log perumahan seperti dijelaskan di awal.

CONTOH USULAN PELAKSANAAN LS

131
Bab. 10
REKAYASA ARSITEKTUR VERNAKULAR
DAN ARSITEKTUR HIJAU SEBAGAI KONSEP INOVATIF
UNTUK PERUMAHAN

9.1 PARADIGMA DASAR ARSITEKTUR VERNAKULAR KAITANNYA DENGAN


KONSEPSI ARSITEKTUR HIJAU

Arsitektur vernakular memiliki makna sebagai arsitektur yang terbentuk dalam proses waktu
yang lama, menurut dasar perilaku dan budaya setempat masyarakatnya. Kata dasarnya
adalah vernacullus yang artinya adalah “pribumi”. Arsitektur vernakular di daerah tropis seperti
Indonesia sangat erat kaitannya dengan arsitektur hijau, saat ini isu kontemporer yang banyak
didengungkan oleh arsitek adalah arsitektur hijau (green architecture) dan juga isu kearifan
lokal (local wisdom). Untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungan hidup memang
diperlukan kearifan dalam pelestarian budaya.

Arsitektur vernakular juga erat kaitannya dengan permukiman terlebih di Indonesia yang
memiliki akar sosial dan budaya yang kaya, karena dalam sistem budaya terkandung juga
sistem sosial selain daripada sistem fisik dan sistem idea (Koentjaraningrat: 1974). Keduanya
saling melengkapi antara sistem sosial dan sistem fisik akan memiliki landasan
kemasyarakatan yang sangat kuat, maka dari itu unsur permukiman adalah arsitektur yang
utama karena permukiman adalah wadah masyarakatnya. Menurut Prof. Eko Budiharjo,
dikatakan pula bahwa perumahan permukiman tidak dapat semata-mata dipandang sebagai
pengadaan perumahan secara fisik (house, dwelling dan shelter). Sisi mata uang yang lain
tidak dapat dilepaskan dari masalah fisik ini yakni: aspek paguyuban, kekentalan komunitas,
persepsi, aspirasi dan harapan penghuninya (Budiharjo : 1998).

Akar budaya yang kuat dipastikan memiliki modal sosial komunitas dalam sistem permukiman
yang baik dan solid pula. Sistem permukiman yang solid pada akhirnya akan menuju konsepsi
pembangunan lingkungan berkelanjutan yang lebih terarah dan terencana. Dalam konteks
perkembangan ilmu pengetahuan, topik arsitektur vernakular pertama kali diperkenalkan
lebih ke publik oleh Bernard Rudofsky tahun 1964 melalui pameran yang bertema
Architecture without Architects di Museum of Modern Art (MoMA). Term vernakular ini
sendiri berasal dari kata verna (dari bahasa Latin) yang artinya domestic, indigenous,
native slave, atau home-born slave, dan dipilih oleh Rudofsky untuk mengklasifikasikan
arsitektur lokal (umumnya berupa hunian) yang ditemukannya di berbagai belahan dunia.

132
Dari sinilah selanjutnya dalam berbagai literatur-literatur kontemporer makna yang paling
populer bagi arsitektur vernakular adalah arsitektur tanpa arsitek. Perdebatan mengenai
pengertian atau definisi arsitektur vernakular diawali oleh Rapoport dalam bukunya “House
Form and Culture” tahun 1969. Perdebatan ini terus berlangsung hingga tahun 1990,
ketika Rapoport menulis artikel berjudul “Defining Vernacular Design” dan sampai saat ini
diperkirakan perdebatan itu belum memperoleh hasil yang memuaskan. Namun demikian,
pengertian ini masih sebatas kategorisasi dalam ranah arsitektur dan baru pada tahun
1970-an hal-hal menyangkut vernakular ini mulai dipertimbangkan sebagai bagian dalam
desain arsitektur meskipun terdapat banyak sekali sudut pandang dalam “melihat” hakikat
vernakular ini, seperti: Christopher Alexander (A Pattern Language), Howard Davis (The
Culture of Building), Robert Venturi (Learning from Las Vegas), Hassan Fathy (Natural
Energy and Vernacular Architecture) dan masih banyak lainnya.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai paradigmanya maka dalam


beberapa referensi yang ada, term vernakular lebih dipahami untuk menyebutkan adanya
hubungan dengan “lokalitas” atau kedaerahan atau tradisional.

Beberapa diantaranya adalah:


1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional melainkan
dengan tenaga ahli lokal / setempat.
2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan
lingkungan setempat.
3. Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi,
teknologi dan material setempat,
4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang
berkembang di dalam masyarakat tradisional,
5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai budaya
masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat.
6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek
struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku masyarakatnya.

Dari gambaran diatas diterangkan bahwa arsitektur vernakular erat kaitannya dengan budaya,
masyarakat dan lingkungan. sehingga sangat berpengaruh pada lingkungan disekitarnya.
Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim, khususnya dalam
bidang arsitektur dan lingkungan, pada beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan
tajam. Gerakan hijau yang tengah berkembang pesat saat ini tidak hanya bertujuan untuk
melindungi sumber daya alam, tetapi juga diimplementasikan sebagai upaya efisiensi
penggunaan energi serta meminimalisir kerusakan lingkungan sekitar. Hal ini tentu sangat
bermanfaat apabila dilakukan secara merata dan berkelanjutan, khususnya di Indonesia yang
notabene adalah negara yang sedang berkembang.

133
Berikut di bawah ini adalah contoh 2 lingkungan permukiman yang memiliki nilai vernakular
yang masih asli yakni Kampung Naga dan Kampung Pulo yang berada di Jawa Barat. Bentuk
fisik perumahannya maupun sistem sosial masyarakatnya masih memegang teguh budaya dari
leluhur mereka.

Gambar 60.
Kampung Naga sebagai contoh Arsitektur Vernakular yang masih ada di Jawa Barat tepatnya di Garut di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu yakni, Kampung Naga. Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang
masih memegang teguh adat istiadat setempat.
Sumber : www.wikipedia.com

Gambar 61.
Suasana Kampung Pulo yang juga berada di Garut. Kampung Pulo sejarahnya diawali pendiriannya oleh Arif
Muhammad yang makamnya berada di sebelah Candi Cangkuang. dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat
yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid.
Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh
lebih dari 6 kepala keluarga.
Sumber : www.wikipedia.com

Arsitektur tradisional atau arsitektur vernakular seperti di atas sulit ditemukan di kota-kota besar
untuk saat ini, tingkat urbanisasi yang tinggi, tuntutan kecepatan dan kepraktisan membuat
arsitektur di perkotaan dituntut dibangun secara massal dan cepat. Arsitektur vernakular
memang harus berdasarkan kearifan lokal (local wisdom), dimana di dalamnya masih

134
mengandung nilai budaya yang tinggi. Arsitek dan juga calon arsitek harus dapat mencari titik
tengah antara tuntutan pembangunan kota yang cepat dan kearifan lokal tersebut, karena alam
adalah media untuk manusia dapat hidup dan melanjutkan generasi selanjutnya.

Namun sulit bukan berarti tidak ada, hal ini tergantung sejauh mana arsitek memiliki komitmen
terhadap lingkungan hidup dan kondisi degradasi lingkungan hidup, akhir-akhir ini menimbulkan
kebutuhan baru akan arsitektur yang lekat dengan alam. Di Bandung ada beberapa developer
mengembangkan perumahan modern namun memiliki sisi vernakular yang kental, demikian
pula di kota Bogor misalnya. Biasanya developer menggabungkan konsep perumahan dengan
konsep fasilitas komersialnya. Semisal : Restoran, Fasilitas Wisata, dan lain-lain.

Pengembangan arsitektur hijau sendiri sangat terkait dengan arsitektur hemat energi. Dalam
hal ini arsitektur hemat energi bergantung erat pada kebijakan pemerintah, misalnya saja
kebijakan membatasi penggunaan bahan bakar premium (BBM premium), kebijakan
pembatasan penggunaan pribadi dengan car free day, atau three in one), atau kebijakan
anjuran menggunakan kendaraan umum dan sepeda.

Dari sejumlah standar pengukuran yang dikembangkan berbagai negara, beberapa aspek atau
parameter dominan yang diukur untuk menentukan tingkat “hijau” adalah: pemilihan dan
pengolahan tapak, energi, material, air limbah, dan kualitas ruang dalam (Karyono : 2010).
Contoh-contoh di atas adalah contoh lingkungan perumahan yang masih alamiah menerapkan
prinsip arsitektur tradisonal dan arsitektur hijau. Tetapi sekarang banyak diadopsi bhkan untuk
bangunan-bangunan bertingkat tinggi seperti apartemen dan hotel, yang dikenal dengan istilah
“zero waste” atau memiliki buangan total “nol/zero” terhadap lingkungan hidup. Berikut dibawah
ini adalah uraian definisi dan aplikasi parameter arsitektur hijau :

9.1.1 Pemilihan dan Pengolahan Tapak


Parameter itu terkait dengan bagaimana memilih tapak yang aman untuk mendirikan bangunan
atau sekumpulan bangunan pada suatu kompleks dengan fungsi tertentu. Sejumlah
kemungkinan terhadap terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir,
gunung meletus dan lainnya, patut diperhitungkan dalam memilih lokasi tapak. Di sisi lain
dalam pembangunan rumah atau bangunan, perubahan fisik tapak, seperti cut and fill
diharapkan dapat diminimalkan agar supaya dampak lingkungan tidak buruk di kemudian hari.
Penyelesaian bangunan dengan konsep panggung dianggap paling aman terhadap perusakan
tapak, dan tidak mengurangi kemampuan permukaan tapat meresap air hujan.

9.1.2 Energi
Dalam paradigma arsitektur hijau, parameter energi terkait dengan besarnya energi yang
dikonsumsi serta persentase pemanfaatan sumber energi yang dapat terbarukan di dalam
sistem bangunan, baik karena aktivitas manusia maupun karena sistem dalam bangunan itu
sendiri secara mandiri. Bangunan dinilai baik jika dalam mewadahi aktivitas manusia energi
yang dikonsumsi rendah, sementara kenyamanan fisik manusia seperti kenyamanan termal,

135
visual, dan spasial tetap dapat dipenuhi.
Di sisi lain, diukur pula bagaimana pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti bahan bakar
nabati, panas dan sinar matahari, sumber energi air, angin dan lainnya. Sumber energi
terbarukan diperkirakan mengemisi karbondioksida dalam jumlah yang relatif sedang dibanding
emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi.

9.1.3 Material
Konsep arsitektur hijau menuntut penggunaan material yang mengkontaminasi lingkungan dan
membahayakan manusia. Material terbarukan seperti kayu, bambu, dahan dan lainnya
merupakan salah satu material yang direkomendasi disamping penggunaan material yang re-
use dan re-cycle. Material dari tumbuhan merupakan material yang dalam pembentukannya
menyerap CO2 dari udara.

Hal ini berbeda dengan material nonorganik yang dalam pembentukan justru mengemisi CO2
ke udara karena memerlukan bahan bakar, seperti : besi, kaca, dan logam-logam lainnya.
Meskipun demikian sejumlah material non organik yang dalam proses pembuatannya tidak
konsumtif energi dan tidak mencemari lingkungan, tetap direkomendasikan dalam konsep
arsitektur hijau.

9.1.4 Air
Konsumsi air persatuan waktu perindividu merupakan salah satu parameter dominan yang
diukur dalam konsep arsitektur hijau. Bangunan yang rendah dalam konsumsi airnya akan
mendapat nilai baik atau tinggi dalam konsep arsitektur hijau.

9.1.5 Limbah
Sistem penanganan limbah yang dihasilkan manusia dan bangunan dapat diolah kembali atau
dapat diminimalkan jumlahnya merupakan salah satu ukuran tingkat hijau suatu bangunan. Hal
ini sebenarnya telah ada dari prinsip-prinsip dasar arsitektur vernakular. Sejumlah bangunan
modern memasang instalasi pengolah limbah agar limbah cair atau limbah padat dapat
diproses dan dimanfaatkan kembali.

Filosofi utama dalam aspek ini adalah bagaimana agar limbah cair atau padat dapat diproses
dan dimanfaatkan kembali. Filosifi utama dalam aspek ini adalah bagaimana agar limbah yang
dikeluarkan bangunan masih dalam jumlah yang mampu diolah oleh alam atau lingkungan di
sekitar bangunan atau dikenal dengan konsep “zero waste”. Zero waste dapat diterapkan
dengan cara cara misalnya: mengolah air hujan untuk dapat dipergunakan menjadi air yang
manfaat baik untuk menyiram tanaman atau untuk pembersih dalam utilitas, dengan memilah
sampah menjadi organik dan anorganik dan atau bahan kimia yang berbahaya, sejak dari
rumah tangga, dengan cara prinsip biopori sehingga air hujan dapat tersimpan sebagai
cadangan air untuk rumah tangga dan ekologi, dan lain sebagainya. Yang menjadi kendala
adalah konsep zero waste dapat menjadi mahal, tanpa simulasi yang optimal. Seringkali

136
manajer proyek kurang memiliki kesadaran yang baik mengenai lingkungan hidup, sehingga hal
seperti memang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang yang lebih legal. Contoh yang
menarik adalah rencana walikota Bandung berjalan untuk merumuskan dan mensosialisasikan
aturan mengenai persyarakatan bangunan hijau untuk di kota Bandung. Harus dengan peran
serta politisi hingga tingkat yang terkecil pula.

9.2 ARSITEKTUR HIJAU

Konsep arsitektur hijau terkait dengan konsep arsitektur berkelanjutan (sustainable


development). Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987, pembangunan berkelanjutan adalah
terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development yang dapat diartikan bahwa
pembangunan pada saat ini tidak mengganggu ekosistem pada generasi selanjutnya.. Salah
satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Arsitektur hijau (green building) adalah bangunan yang bersahabat dengan alam atau
merespon alam dalam proses desainnya. Proses yang dimaksud adalah : pemilihan
lingkungan, proses desain, pelaksanaan pembangunan, konstruksi, pemilihan material,
pengelolaan bangunan hingga aspek pengembangan bangunan tersebut dimasa yang akan
datang. Sementara itu menurut (Karyono: 2010), arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim
mengkonsumsi sumber daya alam seperti material, air, serta minim menimbulkan efek negatif
bagi lingkungan.

Tujuan dari arsitektur hijau adalah untuk mengurangi dampak-dampak lingkungan sehingga
alam memiliki umur yang lebih panjang karena kerusakan yang diminimalisir. Sehingga alam
dapat berkelanjutan, arsitektur yang mampu secara sinergi memenuhi kaidah-kaidah di atas ini
disebut dengan arsitektur yang berkelanjutan (sustainable architecture). Tingkat kehijauan
suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisiskan dalam level yang dapat dimengerti
atau diukur oleh acuan standar yang dapat mengukur tingkat kehijauan suatau bangunan
tersebut.

Ada beberapa parameter untung mengukur suatu tingkat kehijauan bangunan atau lingkungan :
1. Penggunaan Energi Listrik
2. Penggunaan Energi Terbarukan (Kayu, Biogas, dll)
3. Penggunaan Air Bersih
4. Kenyamanan Fisik Dan Kualitas Udara
5. Rancanagan Ruang Luar
6. Pemanfaatan Limbah

137
Jadi arsitektur hijau merupakan suatu teknologi baru dalam arsitektur tentang bagaimana dapat
memanfaatkan sumberdaya seminimalisir mungkin dan tidak merugikan lingkungan sekitar.

9.3 KONSEP GREEN ARCHITECTURE (ARSITEKTUR HIJAU) DALAM PERANCANGAN


PERUMAHAN

9.3.1 Prinsip Dasar Arsitektur Hijau


Prinsip-prinsip arsitektur hijau meliputi hal-hal berikut di bawah ini yakni :
1.Hemat energi / Conserving energy
2.Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi
listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan )
3.Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate: Mendisain bagunan harus
berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada.
4.Minimizing new resources: mendesain dengan mengoptimalkan kebutuhan
sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat
digunakan di masa mendatang.
5.Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber
daya alam.
6.Tidak berdampak negatif bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan
tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai
merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai,
tapak aslinya masih ada dan tidak berubah (tidak merusak lingkungan yang ada).
7.Merespon keadaan tapak dari bangunan/ Respect for user : Dalam merancang
bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua
kebutuhannya.
8.Menetapkan seluruh prinsip–prinsip green architecture secara keseluruhan: Ketentuan
diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.

Adapun penjabaran prinsip-prinsip green architecture beserta langkah-langkah


mendesain green building :

9. Conserving Energy (Hemat Energi)

Menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang lama untuk
menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain
bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan
bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan memanfaatkan
potensi matahari sebagai sumber energi.

Cara mendesain bangunan agar hemat energi, antara lain :


1. Bangunan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan
dan menghemat energi listrik.

138
2. Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal
sebagai sumber listrik dengan menggunakan alat photovoltaic yang diletakkan
di atas atap. Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju dinding
timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan
sinar matahari yang maksimal.
3. Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah. Selain
itu juga menggunakan alat kontrol pengurangan intensitas lampu otomatis
sehingga lampu hanya memancarkan cahaya sebanyak yang dibutuhkan
sampai tingkat terang tertentu.
4. Menggunakan sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat mengatur
intensitas cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan.
5. Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang
bertujuan untuk meningkatkan intensitas cahaya.
6. Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan
oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.
7. Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift.

10. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)

Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan lingkungannya.


Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim dan lingkungannya sekitar
ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan cara:
1. Orientasi bangunan terhadap sinar matahari.
2. Menggunakan sistem air pump dan cross ventilation untuk mendistribusikan
udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan.
3. Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Misalnya dengan
membuat kolam air di sekitar bangunan.
4. Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk
mendapatkan cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.

11. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)

Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan tapaknya. Hal ini
dimaksudkan keberadan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan
pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut:
1. Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti
bentuk tapak yang ada.
2. Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan
mendesain bangunan secara vertikal.
3. Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusak lingkungan.

139
12. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)
Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang
didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.

13. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)


Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dengan
meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat
digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur lainnya.

14. Holistic
Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi
satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya
tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secara parsial
akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak
mungkin dapat mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan
sesuai potensi yang ada di dalam tapak. Dalam merancang arsitektur hijau di Indonesia
perlu dipertimbangkan letak geografis tapak dimana bangunan akan didirikan. Secara
garis besar wilayah Indonesia dapat digolongkan ke dalam klasifikasi utama, yaitu
kawasan atau kota pantai dan kawasan atau kota dataran tinggi atau pegunungan.

Gambar 62. Pada dekade tahun-tahun terakhir Indonesia dan Malaysia berusaha keras untuk mempelajari dan
menerapkan konsep keberlanjutan (sustainable development). Gambar di atas adalah contoh karya arsitekternama
Ken Yeang “Green Houses” yang menggunakan alternatif efisiensi energi dan pengelolaan air hujan. Ken Yeang
banyak membuat karya arsitektur hijau di Kuala Lumpur dan London, kekhasannya adalah mengoptimalkan kaidah-
kaidah alam dan meminimalisir kerusakan terhadap alam.
http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropical-gardens.html

Contoh lingkungan perumahan yang memiliki konsep vernakular dan arsitektur hijau yang kuat
adalah misalnya : Perumahan Triniti (Kampung Daun), Parongpong, Kabupaten Bandung. Di
lingkungan ini diperkuat dengan landmark restoran bertemakan alam pegunungan yakni : The

140
Peak, Restoran Parongpong. Kemudian contoh lain adalah : Perumahan Villa, Cluster Sevilla,
Cileungsi Kabupaten Bogor. Villa ini bernuansa alami dan memiliki lokasi di Puncak, Bogor.

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus bangunan yang dirancang oleh Prof. Tri Harso
Karyono dengan konsep arsitektur hijau disajikan dalam paparan selanjutnya. Hal di bawah ini
dapat dipelajari mengenai bagaimana pengalaman perancangan rumah susun di perkotaan
dengan tema arsitektur hijau. Perumahan villa di kawasan Bandung Utara ini, menawarkan
solusi menghilangkan kepenatan dari beban kehidupan dengan panorama alamnya yang
menarik, pilihan material ataupun detail arsitekturalnya. Hanya pengembangannya seringkali
saat ini berbenturan dengan ketentuan KBU (Kawasan Bandung Utara), sehingga tidak dapat
dilakukan secara luas (terbatas).

Pilihan untuk solusi perumahan permukiman saat ini untuk kota-kota besar di Indonesia, untuk
beberapa kota yang sudah tergolong metropolis adalah solusi perumahan vertikal (apartemen).
Inipun harus banyak mendapatkan evaluasi, karena perancangan ruang luarnya masih belum
merespon ketentuaan arsitektur hijau (green building). Suatu pekerjaan rumah besar untuk
pendidik supaya mampu mengajar di bidang arsitektural untuk lebih teliti dalam perancangan
ruang luar (landscape) apartemen saat ini dengan dasar-dasar teori yang kuat atas dasar
penelitian itu tentunya jauh sangat lebih baik.

Penulis mengamati bahwa perancangan ruang luar untuk bangunan tinggi secara optimal
belum diterapkan dalam regulasi yang memadai, lain halnya dengan perancangan bangunan
yang lebih komersial seperti hotel atau mall, mestinya konsultan-konsultan arsitektur lebih
memiliki kearifan lokal yang lebih baik lagi pula. Misalnya dengan : memberikan pelatihan
(workshop) mengenai perancangan green building bagi karyawannya, menyediakan literatur
yang memadai di konsultan mereka dan memiliki review desain yang lebih ketat mengenai
ketentuan ini. Kota-kota kita sudah bersuhu lebih panas, polusi tinggi dan memiliki masalah
sosial yang tinggi. Suhu udara Bandung saja misalnya, jika dahulu jarang melewati 23 - 27 °C,
namun saat ini sudah mencapai angka 32 atau 33 °C saat kemarau, sudah lebih sangat panas.

9.3.2 Rumah Susun Hijau :

1. Latar belakang rancangan


Penyusunan proposal rancangan rumah susun hijau ini dilandasi oleh sejumlah alasan sebagai
berikut :
a. Lonjakan kebutuhan penyediaan hunian warga kota.
b. Keterbatasan lahan kota, mendekatkan tempat tinggal dan tempat bekerja, tersiptanya
ruang terbuka hijau (RTH) sebagai paru-paru kota, diperlukan fasilitas hunian massal
yang disusun secara vertikal.

141
c. Sejumlah rumah susun yang dibangun di berbagai lokasi di tanah air baik oleh pihak
pemerintah maupun swasta seringkali dilakukan tanpa pertimbangan kondisi iklim
setempat-tropis lembab, serta tuntutan kenyamanan fisik dan penghematan energi.
d. Ada kecenderungan rumah susun dibangun hanya sebagai sarana memenuhi
kebutuhan dasar manusia untuk berlindung dari hujan, matahari dan kebutuhan
privacy.
e. Cukup banyak dijumpai penghuni merasa tidak nyaman (secara termal) dan
berpotensi untuk menggunakan AC di unit hunian, berkonsekuensi meningkatkan
penggunaan energi.
f. Diperlukan strategi penyediaan sarana hunian vertikal (susun) yang dapat mewadahi
kegiatan penghuni secara nyaman (spasial, visual, audial dan termal) tanpa harus
banyak menggunakan energi listrik.

2. Konsep Rancangan
Rumah susun hijau adalah suatu hunian massal (bersama) yang hemat dalam penggunaan
(konsumsi) sumber daya alam, termasuk energi tanpa harus mengorbankan kenyamanan fisik
pengguna rumah susun dan menimbulkan permasalahan lingkungan. Dalam pengertian hemat
energi dalam bangunan rumah susun, adalah penggunaan energi terkait dengan sistem
pengudaraan buatan (penggunaan AV) pencahayaan artifisial (lampu). Sedangkan pengertian
kenyamanan fisik terkait dengan kenyamanan termal dan kenyamanan visual (penglihatan/
pencahayaan).

Rincian Detail Konsep Utama:


- Bangunan rumah susun dapat terdiri dari 3-5 lantai.
- Lantai bangunan terbagi atas dua deret unit hunian dipisahkan oleh ‘selasar’ di tengah.
- Lebar selasar sekitar 1,5 hingga 2,4 m disesuaikan dengan kebutuhan. Semakin ke
atas, lantai semakin melebar sekitar 80 cm. Ini dimaksudkan untuk memberi
peneduhan terhadap dinding/ jendela pada lantai di bawahnya, tanpa harus membuat
kanopi tersendiri.
- Sisi memanjang bangunan terhadap utara-selatan untuk mengurangi penyinaran
(radiasi) langsung dari matahari, sehingga diharapkan ruang di dalam bangunan tidak
terlalu panas.
- Pada setiap unit hunian (atau kamar untuk asrama), ketinggian plafon dari lantai
minimal 3 m, dimaksudkan untuk memberikan volume udara yang memadai bagi
penghuni.
- Sepanjang dinding luar banguan pada ketinggian 20 cm di atas lantai dipasang
lubang-lubang ventilasi (‘rooster’ atau ‘kerawang’) masing-masing setinggi 20 cm dan
80 cm untuk keperluan ventilasi udara dan memberikan efek sejuk di dalam unit
hunian/ kamar.

142
Gambar 63. Rumah Susun Hijau
Sumber : Tri Harso Karyono (2009)

9.3.3 Greenship (Standar Bangunan Hijau Indonesia)

Greenship merupakan suatu standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh lembaga Konsul
Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBCI). Lembaga GBCI
dibentuk tahun 2009 merupakan lembaga yang dibentuk atas inisiatif sector non pemerintah
yakni berupa Greenship Rating Tools untuk Gedung Terbangun-Third Draft. Standar ini dalam
perkembangannya cukup didukung oleh sejumlah lembaga pemerintah di Indonesia. Namun,
pihak yang berperan dalam pembentukan GBCI diantaranya adalah sector yang bergerak
dalam bidang jasa konstruksi, baik konsultan arsitektur (bangunan, interior, lanskap), struktur,
M&E bangunan maupun kontraktor bangunan. GBCI tercatat sebagai anggota World Green
Building Council (WGBC) yang berpusat di Canada. Di setiap Negara hanya dimungkinkan satu
lembaga Green Building Council.

GBC menyusun standar bangunan hijau yang diberlakukan di Indonesia dengan istilah
Greenship. Aspek-aspek yang dinilai dalam standar Greenship adalah 6 aspek di bawah ini:
 Appropriate Site Development (Ketepatan pengembangan tapak).
 Energy Efficiency and Conservation (Efisiensi dan penghematan energy).
 Water Conservation (Penghematan air).
 Material Resource and Cycle (Sumber material dan daur ulang).
 Indoor Health and Comfort (Kesehatan ruang dalam kenyamanan).
 Building Environment and Management (Kondisi lingkungan bangunan dan
manajemen bangunan).

Cara menggunakan standar bangunan hijau di atas adalah dengan melakukan scoring aspek-
aspek tersebut di atas. Dengan demikian perumahan dengan tema arsitektur hijau maupun pula
apartemen haruslah memenuhi aspek-aspek tersebut di atas. Apabila score-nya baik maka
terpenuhi standar arsitektur hijau yang baik, sementara bila kurang atau tidak baik maka
berlaku sebaliknya. Hal di atas dapat digunakan pula sebagai regulasi (peraturan). Berikut
contoh perumahan jenis villa yang menggunakan perpaduan konsep arsitektur vernakular dan
arsitektur hijau

143
Gambar 64. Kampung Layung

Kampung Layung yaitu villa yang bisa disewa juga sebagai rumah untuk nikmati keindahan
alam Dusun Bambu, terletak di kaki Gunung Burangrang. Yang menarik di villa-villa ini diberi
nama tokoh Khas Sunda seperti Sangkuriang, Kabayan, dan sebagainya. Dari Luar, bangunan
suasana desa tempo dulu betul-betul terihat asri berpadu dengan keindahan taman-taman yang
ada di sekitar villa. Hal semacam ini terlihat dari bahan utama yang digunakan untuk eksterior
villayakni bambu serta kayu. Untuk Interior, villa-villa ini menghadirkan kesan moderen yang
menawan dipadukan dengan sarana rumah yang moderen. Ketidaksamaan arsitektur
tradisional serta modern yang sempurna.

Gambar 65. Dusun Bambu

9.3.4 Peraturan Gubernur Provinsi DKI tentang Bangunan ramah Lingkungan.


Selain hal di atas contoh salah satu langkah positif yang dilakukan pemerintah adalah yang
terjadi di lingkungan DKI yakni Standar bangunan Ramah Lingkungan berupa Rancangan
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Bangunan Gedung
Ramah Lingkungan (2010). Dengan adanya peratutan ini maka semua bangunan yang akan
dibangun di Jakarta harus memenuhi standar regulasi yang ada di dalam pedoman tersebut.
Maka peraturan ini akan secara langsung maupun tidak langsung mendukung upaya GBCI
melalui Greenship.

144
Gambar 66. Detail Arsitektur Hijau pada bangunan bertingkat.
http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropical-gardens.html

Konsep-konsep perumahan perlu untuk mengacu pada tren-tren konsep yang sedang giat
digalakan oleh akademisi dan pemerintah seperti di atas. Akademisi memiliki konsep-konsep
baru yang didasarkan pada hasil-hasil studi dan penelitian mereka. Sementara pemerintah juga
berdasarkan hasil-hasil studi lembaga yang kompeten di pemerintahan khususnya mengenai
perumahan dan permukiman dan juga dari hasil-hasil penelitian universitas.

9.4 DETAIL ARSITEKTUR HIJAU

Dari uraian di atas didapatkan kesimpulan yakni pada intinya perlu dilihat lingkup permukiman
yang dirancang apakah berada di pedesaan atau di perkotaan. Jadi didapat 2 kesimpulan inti
yakni:
1. Untuk permukiman yang berlokasi di pedesaan-pedesaan akan sangat baik apabila
memperbanyak pelestarian arsitektur vernakular di dalamnya, dimana material alami
masih mudah di dapat. Bagaimana pola site plan, detail perancangan dapat digali dari
khasanah arsitektur tradisional nusantara.
2. Untuk permukiman yang berlokasi di perkotaan perlu dkembangkan detail-detail
perancangan pada lahan dan detail bangunan yang terbatas.

Khusus kesimpulan pertama tentunya memerlukan pembahasan khusus menggali sejarah


arsitektur tradisional. Tetapi ada contoh yang didapat dari hasil penelitian penulis yaki
mengenai permukiman agrikultur di Cihideung-Lembang, Bandung. Dahulu tapak permukiman
petani adalah berpencar seperti gambar di bawah ini :

145
Gambar 67. Karakter Perumahan Pertanian Pedesaan yang Berpencar di pegunungan

Detail tapak dan bangunan permukiman di pinggir kota ini berkembang pesat hingga
permukiman memadat kemudian bahkan petani kesulitan lahan sehingga terjadi kios bersama
di depan atau di pinggiran jalan yang baru dibangun di tahun 90-an. Akhirnya terjadi pola tata
guna lahan permukiman yang mengalami perubahan dan adaptasi secara fisik dan sosial yang
kurang lebih seperti skema yang dapat digambarkan seperti gambar berikut ini, yaitu
perumahan mencari area pinggiran jalan. Para petani bunga di kawasan Cihideung ini mampu
bertahan meski terdapat invasi perkembangan kota dengan adanya developer developer
perumahan karena memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi.

Mereka menjual bunga-bunga yang mereka tanam tidak hanya pada penduduk Bandung, tetapi
pada wisatawan dari luar kota yang banyak datang pada akhir pekan, selain itu pemasaran juga
hingga ke Padng, Surabaya atau Bali untuk keperluan bunga untuk acara-acara penting
tertentu. Untuk petani kelas besar mereka mampu berpenghasilan 10 – 15 juta perbulan,
sementara untuk kelas kecil mereka berpenghasilan sekitar 3 - 5 juta perbulan. Sistem komunal
masyarakatpun cukup baik masyarakat dapat menitipkan bunga pada lahan di depannya bila
mereka tidak memiliki lahan, atau menempati lahan-lahan di sepanjang Jalan Sersan Bajuri,
Lembang Bandunng. Dan pertanian pun berkembang ke pertanian bunga atau tanaman hias
yang lebih komersial pasarnya.

146
Perubahan Tapak Lingkungan dan Ilustrasi detail bangunan setempat,

Gambar 68.
Pola tata guna lahan permukiman yang mengalami perubahan dan adaptasi secara fisik dan sosial . Tetapi tema bangunan masih kuat
struktur dan material alamiah setempat, misalnya bambu dan kayu. Konsep arsitektur hijau merupakan konsep yang harus pula
dipadukan dengan arsitektur wisata untuk daerah-daerah di kota-kota tertentu yang memiliki potensi alam yang baik seperti contohnya
Kota Bandung.

Sumber : Sketsa pribadi Lucy Yosita dalam Tesis Magister dan literatur Heinz Fritz

Tetapi untuk kesimpulan ke-2 yakni mengenai arsitektur perumahan di perkotaan perlu dilihat
pula sisi lain yakni bahwa di masa yang akan datang, kota-kota di Indonesia, akan mengarah
ke tren pembangunan apartemen. Hal ini dikarenakan lahan yang sudah makin terbatas,
pembangunan yang tak terkendali pada lahan kota akan membahayakan ekosistem lingkungan
perkotaan. Jika di Jakarta sebelum era milenium sudah banyak dibangun apartemen. Di kota-
kota besar lainnya, menyusul, misalnya di : Bandung, Surabaya, dan sebagainya. Diperlukan
solusi-solusi kreatif meski lahan terbatas, meski menanam dilakukan di podium-podium atau
balkon, hal ini mesti difahami secara struktural maupun detail arsitekturalnya. Untuk lebih
jelasnya contoh aplikasi detail-detail arsitektur hijau untuk dapat diterapkan pada bangunan-
bangunan termasuk bagi fungsi perumahan adalah seperti pada tabel berikut di bawah ini :

147
Tabel 4
Contoh Detail Konsep Arsitektur Hijau

Contoh Detail Konsep Detail arsitektur hijau

Desain khusus pada kanopi bagian entrance


bangunan dan taman. Berikut ini adalah contoh
detail arsitektur hijau yang diterapkan pada kanopi
dan taman yang tersisa suatu bangunan berwarna
putih. Warna dasar berpadu dengan nuansa hijau
vegetasi menjadikan bangunan terlihat cerah, alami
dan juga hidup.

Desain khusus pada pedestrianisasi dan roof


garden. Berikut ini adalah contoh detail arsitektur
hijau yang diterapkan pada pedestrian dan pada roof
garden. Kesan kekakuan dan keangkuhan bangunan
tinggi ternetralisir demikian pula perpaduan dengan
bangunan di bawahnya terlihat harmoni.

Desain roof garden pada podium bangunan vertikal


di bangunan The World Green Building Council and
IF. Bangunan ini memiliki konsep hemat energi dan
hemat material. Dengan adanya roof garden akan
mengurangi kegersangan di lokasi perkotaan yang
padat di mana sudah begitu banyak bangunan
tinggi.

Contoh sebuah maket desain lingkungan kawasan


MTR Station di Hong Kong, hal ini dapat dipelajari
dan difahami untuk kepentingan perancangan
lingkungan permukiman kota. Saat ini
perkembangan kota-kota besar di Indonesia sudah
banyak memerlukan transportasi massal (mass
transportation). Konsep green architecture pada
kasus di atas terlihat kreatif, integratif dan sangat
mempertimbangkan efisiensi dan kecepatan, meski
merupakan sebuah bangunan modern.
Sumber : www.wikipedia.com : green architecture

148
Bab XI
Penutup

Strategi pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa


memerlukan kerjasama berbagai pihak baik akademisi, pemerintah maupun masyarakat. Pola
perkembangan perumahan saat ini bila ditelaah mengalami perubahan atau pergeseran seperti:
(1). Tren apartemen di kota-kota besar. (2). Fenomena redesain kampung kota yang rentan
masalah penggusuran. (3). Maraknya perumahan cluster daripada perumahan dengan luasan
memadai, yang mengakibatkan sempitnya ruang terbuka. Dan yang ke (4). Adanya
kecenderungan renovasi rumah untuk beberapa keluarga pada suatu rumah warisan (rumah
keluarga). Hal-hal di atas memerlukan penelitian-penelitian kembali terutama untuk tren
pengembangan apartemen dan perbaikan kampung kota.

Pada suatu penelitian penulis, didapatkan kesimpulan bahwa ruang-ruang terbuka publik
berukuran besar memerlukan desain secara lebih baik dan komprehensif. Apartemen,
perumahan cluster atau kampung-kampung kota akan semakin menyempit sehingga ruang
terbuka memerlukan erhatian secara ekologis, fungsi dan juga desain. Secara sosial
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat kekerabatan tinggi. Masih
kurangnya hasil-hasil penelitian yang dimiliki Indonesia membuat hal ini menjadi kurang
tersentuh dalam praktek desain di lapangan. Bila ingin dikatakan bahwa penelitian-penelitian
permukiman, aplikasinya di lapangan yang masih terkotak-kotak (segmentasi).

Tekanan secara sosial atau pembangunan yang belum berkeadilan saat ini menimbulkan
dampak yang tidak dapat dikatakan sederhana seperti misalnya: Maraknya kriminalitas, masih
banyaknya penolakan dari kaum yang termarginalitas seperti buruh atau sekedar penurunan
tingkat produktivitas. Apabila tidak disikapi secara benar dan strategis hal ini sebenarnya
membahayakan bagi keutuhan bangsa secara sosial maupun fisik, karena keduanya memiliki
keterkaitan yang erat. Politisi di masa mendatang mesti lebih tekun dalam terjun ke lapangan,
Presiden Jokowi dan Walikota Bandung, Ridwan Kamil adalah 2 contoh yang inspiratif.
Kesiapan masyarakat sebenarnya sudah lebih baik, masyarakat sudah lebih cerdas saat ini,.
Yang diperlukan sebenarnya adalah peran universitas untuk terus mengembangkan link
dengan swasta maupun pemerintah dalam program-programnya sehingga masyarakat yang
solid, jujur dan berkualitas akan terwadahi dengan proporsional dan terencana dalam struktur
yang semakin baik lagi dari waktu ke waktu.

Dari penulisan buku referensi ini yang diawali dengan sejarah permukiman hingga konsep-
konsep inovatif permukiman, mudah-mudahan didapatkan gambaran yang kiranya lebih
strategis. Literatur mengenai perumahan juga masih dapat dikatakan kurang dalam bentuk
buku yang mudah diakses praktisi dan peneliti, kebanyakan adalah buku-buku yang sifatnya

149
masih menitikberatkan desain semata. Semoga penulisan literatur ini juga memberi percik
keilmuan untuk pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia. Akan tetapi pastinya
tidak dapat berhenti sampai di sini karena literatur penelitian termasuk dalam permukiman
masih sangat kurang. Diharapkan peneliti-peneliti terutama yang masih muda akan terus dapat
melanjutkan strategi ini dalam detail aplikasi yang lebih rinci dan tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Partisipasi masyarakat juga faktor yang harus lebih diperbaiki
konsepnya secara strategis, karena modal sosial saat ini sifatnya lebih sensitif untuk negara
berkembang. Apabila saat ini telah dilakukan pengabdian masyarakat secara intensif dalam
bentuk kegiatan mandiri universitas terkait dengan mata kuliah mahasiswa, maupun melalui
proses pengangkatan masalah-masalah dilapangan lewat penelusuran kebutuhan yang ada di
masyarakat. Mudah-mudahan intisari ini memberikan gambaran strategi pengembangan
permukiman di Indonesia selanjutnya.

150
DAFTAR PUSTAKA

Aditama,TY. (1992). Polusi Udara dan Kesehatan. Jakarta : Arcan.


Anonim. (1997). Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat. Jakarta : Ditjen Cipta Karya
Departemen Pekerjaan Umum R.I.
Azwar, A. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Balchin, P., N., Isaac, D. And Chen, J., 2006, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota (Regional
and City Planning Journal), Penerbit ITB, Bandung.
______ (2000). Urban Economics ; A Global Perspective, Palgrave, Hampshire.
Barliana, M. Syaom, (2010) ; Arsitektur, Komunitas, dan Sosial. Metatekstur, Bandung.
Butaru, Redaksi (____) : Green Building A Sustainable Consept for Construction
Development in Indonesia. Redaksi Butaru.
Chiara, Joseph De (1978); Standar Perencanaan Tapak, Jakarta : Erlangga.
________ . (2000) . Diktat Mata Kuliah Perumahan Perumahan. Bandung : Universitas
Katolik Parahyangan Bandung.
Devas, Nick & Rakodi Carole, 1993. Managing Fast Growing Cities : New Approaches
to Urban Planning and Management in Developing World, Longman Scientific and Technical,
John Willey, New York.
Direktorat Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga, (1990), Panduan
Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. Permen, Jakarta.
Ditjen PPM dan PL . (2002). Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat . Jakarta :
Departemen Kesehatan R.I.
Habitat, An Urbanizing World; Global Report OnHuman Settlements 1996, Oxford
University Press, New York, 1996.
Habitat, Cities In A Globalizing World; Global
Report On Human Settlements 2001, Earthscan Publications Ltd, London, 2001.
Harvey, David. 1973, Social Justice and the City, Edward Arnold Publisher Ltd,
London, UK.
Henry, Sannoff (1977); Method of Architectural Programming, Dowden Hutchinson
Ross Inc., London.
Karyono, Tri Harso (2010); Green Architecture, Pengantar Pemahaman Arsitektur
Hijau di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Mentayani, Ika Dkk. (2012) ; Menggali Makna Arsitektur Vernakular : Ranah, Unsur, Dan
Aspek-Aspek Vernakularitas, Journal Of Architecture UGM. Yogyakarta.
Lynch, Kevin (1960)., Images of the City., Harvard (MIT)., Paperback.
Panudju, Bambang (1999); Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta
Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Penerbit Alumni, Bandung.
Poerbo, Hasan (1999); Lingkungan Binaan untuk Rakyat, PPLH ITB-Yayasan Akatiga,
Bandung.
________,(1983): Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman Kota, Departemen
PU, Cetakan ke-3, Jakarta.
Sastra, S & Marlina E, 2006, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Penerbit
ANDI, Yogyakarta.
Surowiyono, Tutu, T.W. (1996); Dasar Perencanaan Rumah Tinggal, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.

151
SML., Hong Kong, (2009), Top House, Patrika Book Center., New Delhi., India
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, (2007), Pedoman Teknis Pembangunan Rumah
Susun Sederhana Bertingkat Tinggi, Permen, Jakarta.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat, (2008), Standar Pelayanan Minimal
Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota, Permen, Jakarta.
Peraturan Daerah Bantul (2013), Penyelenggaraan Perumahan, Perda. Bantul.
____________, Penerbit Yayasan Akatiga (1995), Tanah, Buruh dan Usaha Kecil
dalam Proses Perubahan, Kumpulan Ringkasan Hasil Penelitian Akatiga.
Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan.
Sassen, S., The Global City , Princeton University Press, New Jersey, 2001.
White, Edward T (2001)., Analisis Tapak., Intermatra., Bandung.
Yosita, Lucy., (2003)., Keberlanjutan Permukiman Agrikultur di Pinggiran Kota., Tesis
Magister., Institut Teknologi Bandung (ITB).
Yosita, Lucy, dkk (2007), Makalah “ANALYSIS OF MOVEMENT OF DYNAMIC
INDONESIA MEGACITIES AFTER 2010”, dipresentasikan pada Konfrensi tingkat Asia berjudul
Asian Urbanism and Beyond di Chinese University of HK, Agustus 2013, Hong Kong China.
, Lucy, Yosita, Lucy, dkk (2007), Penelitian Prospek Land Sharing di Sekeloa,
Bandung, HIBAH PEKERTI, lolos tahun anggaran 2007, LPPM UPI, Bandung.
Yudohusodo, Siswono dkk. (1991); Rumah untuk Seluruh Rakyat, Inkoppol, Jakarta.
http://www.academia.edu/3212171/Pembangunan_Perumahan_dan_Permukiman_di_I
ndonesia
http://anggsiregar.blogspot.com/2012/10/belajar-untuk-uts-p4-mencoba-cara.html
http://www.bakrieglobal.com/news/read/2326/2014-Backlog-Rumah-Ditaksir-15-Juta-
Unit
https://behindus.wordpress.com/2011/04/15/masalah-ekonomi-dan-elastisitas-bag-1/
http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/20.pdf
https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=adequate+public+facilities+http://nasional.kompas.co
m/read/2014/11/02/17045311/Hasil.Kerja.Jokowi.Akan.Menjawab.Isu.Presiden.Boneka.
http://www.dusun-bambu.com/2014/09/kampung-layung.html
http://www.ifa.de/en/visual-arts/ifa-galleries/past-exhibitions/green-houses-tropical-
gardens.html
http://www.p2kp.org/bestpractice.asp
http://www.scribd.com/doc/54192794/Pedoman-Teknis-Pembangunan-Rumah-
Sederhana#scribd

152

Anda mungkin juga menyukai