Anda di halaman 1dari 9

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER


Periode 1966-1983

Cakupan :

Halaman
1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1966- 2
1983
2. Arah Kebijakan 1966-1983 5
3. Langkah-Langkah Strategis 1966-1983 6
4. Kebijakan Devisa di Indonesia 1966-1983 7
5. Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1966-1983 8
6. Kebijakan hutang luar Negeri 1966-1983 9

1
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode


1966 - 1983

Peristiwa Supersemar 11 Maret 1966


dan pembubaran PKI pada 12 Maret
1966 adalah tonggak kelahiran orde
baru. Selanjutnya, pada tanggal 25
Juli 1966 telah dibentuk Kabinet
Ampera menggantikan Kabinet
Dwikora. Tugas pokok Kabinet Ampera
adalah melaksanakan program
stabilisasi dan rehabilitasi yang
berkonsentrasi pada pengendalian
inflasi, pencukupan penghidupan
pangan, rehabilitasi prasarana
ekonomi, peningkatan ekspor, dan
pencukupan kebutuhan sandang. Dalam mewujudkan program kerjanya, Kabinet
Ampera membagi pelaksanaan tugas dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Program jangka pendek yaitu program stabilisasi dan rehabilitasi, meliputi peraturan
tentang penyesuaian tarif dan harga, serta penyempurnaan sistem bonus ekspor.
Sementara, program jangka panjang meliputi program pembangunan dengan skala
prioritas sektor pertanian, prasarana dan industri pertambangan dan minyak. Dalam
periode ini, kebijakan moneter dirumuskan oleh dewan moneter dan dikeluarkan
oleh pemerintah, serta untuk selanjutnya dilaksanakan oleh BI.

Sampai dengan tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem kontrol devisa yang
ketat. Hal ini sesuai dengan UU No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa
yang menetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha
Indonesia dikuasai oleh negara. Konsekuensinya, eksportir wajib menjual devisa
hasil ekspor pada bank devisa yang selanjutnya dijual lagi ke BI. Selain itu, warga
negara atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat
berharga dalam valuta asing yang dimilikinya di bank devisa pemerintah.

Kebijakan ini, di satu pihak ternyata cukup berhasil dalam mengisolasikan


perekonomian nasional terhadap pengaruh eksternal. Tapi di pihak lain, kebijakan ini
telah menciptakan pasar gelap valuta asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing
jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu, sejak tahun 1967,
secara berangsur-angsur kontrol devisa mulai dikurangi lewat UU No. 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Tujuan UU ini adalah menarik masuknya
modal asing untuk pembiayaan investasi dalam negeri.

Setelah kembali menjadi anggota IMF, Indonesia berharap memperoleh persetujuan


penjadualan kembali utang-utang luar negeri dan perolehan utang baru untuk
pembiayaan pembangunan. Maka pada awal orde baru ini, dilakukan beberapa
pertemuan dengan negara-negara kreditur yang di antaranya melahirkan Paris Club
dan IGGI sebagai lembaga yang kerap mendukung dana pembangunan Indonesia.
Sebagai langkah awal di bidang moneter, pemerintah mengambil langkah untuk
merangsang kegiatan menabung dan menggerakkan dunia usaha melalui kebijakan
di bidang penghimpunan dana dan perkreditan. Berkaitan dengan itu, pemerintah
memperkenalkan Program Deposito Berjangka dengan suku bunga tinggi dan
dengan jaminan BI kepada bank-bank pemerintah disertai subsidi bunga. Langkah
tersebut diikuti dengan Program Tabungan Berhadiah 1969 pada bank-bank

2
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

pemerintah dan beberapa bank swasta. Pada 20 Agustus 1971, untuk merangsang
kegiatan menabung, BI memprakarsai gerakan tabungan nasional melalui Program
Tabanas dan Taska sebagai pengganti Program Deposito Berjangka (1968) dan
Program Tabungan Berhadiah pada 1969. Kedua program ini dinilai lebih baik dari
program sebelumnya, antara lain karena berskala gerakan nasional.

Melalui Program Pemerintah (PP) No. 16/1970 pemerintah melonggarkan


pengawasan devisa dan membuka kembali kesempatan bagi masuknya penanaman
modal swasta asing. PP tersebut juga memberikan kebebasan perdagangan valuta
asing dan menyederhanakan sistem dan prosedur lalu lintas devisa. Masih melalui PP
yang sama, BI diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan lalu lintas devisa, dan
Biro Lalu Lintas Devisa (BLLD) diintegrasikan ke dalam BI pada 1 Januari 1971.
Devisa yang berasal dari hasil ekspor dalam ketentuan Devisa Umum wajib dijual
kepada Bank Indonesia dengan kurs yang berlaku di bursa valuta asing. Dengan
demikian, BI dapat mengawasi lalu lintas devisa dan posisi cadangan devisa.
Kemudian, pada Agustus 1971, pemerintah memberlakukan sistem devisa bebas dan
ketentuan nilai tukar tetap serta mendevaluasi rupiah dari Rp 378 per USD menjadi
Rp 415 per USD untuk melakukan penyesuaian rupiah terhadap USD yang
mengalami depresiasi terhadap valuta-valuta beberapa negara Eropa dan Jepang.

Tingginya harga minyak bumi di pasar internasional pada tahun 1973 mendatangkan
pendapatan yang cukup besar bagi pemerintah. Hal ini memungkinkan pemerintah
memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan
pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk
mendorong kegiatan ekonomi lemah. Tetapi, pengucuran deras kredit perbankan
tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar.
Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.

Untuk mengatasi tingginya inflasi, pada tanggal 9 April 1974, pemerintah


melancarkan program stabilisasi. Di bidang moneter, program ini tertuang dalam
kebijakan moneter secara langsung melalui langkah-langkah berikut: (1)
menetapkan batas tertinggi (pagu) pertambahan pemberian pinjaman dan tagihan-
tagihan serta aktiva lainnya yang pengaruh moneternya sama dengan pemberian
pinjaman; (2) menaikkan suku bunga pinjaman secara selektif dan mempertahankan
suku bunga pinjaman berprioritas tinggi seperti Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK),
dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP); (3) menaikkan persentase likuiditas
minimum untuk deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah, dan menaikkan
cadangan wajib valuta asing bank-bank pada BI; (4) menaikkan suku bunga
deposito berjangka INPRES dan untuk pertama kalinya mengadakan deposito
berjangka waktu 18 bulan dan 24 bulan; (5) menaikkan suku bunga Tabungan
Pembangunan Nasional (TABANAS); (6) melarang bank-bank pemerintah menerima
deposito berjangka INPRES yang dananya berasal dari luar negeri; (7) memperketat
pelaksanaan pembatasan pemasukan dana dari luar negeri untuk perbankan maupun
untuk perusahaan-perusahaan pemerintah; (8) mengharuskan wajib lapor dan
simpanan wajib tanpa bunga pada BI sebesar 30% untuk pinjaman luar negeri
tertentu bagi perusahaan swasta dan lembaga keuangan bukan bank.

Program stabilisasi yang dilakukan oleh pemerintah pada 1974 tersebut sangat
berperan dalam menurunkan laju inflasi dari 47,40% pada 1973/1974 menjadi 21%
pada 1974/1975. Hal ini memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku
bunga deposito dan kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam
negeri pada Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi

3
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

kelonggaran tersebut justru menimbulkan tekanan inflatoir sehingga mengakibatkan


lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri karena nilai rupiah menjadi
over valued. Maka pada 15 Nopember 1978 pemerintah mengambil kebijakan yang
dikenal dengan KNOP 15 yang mendevaluasi Nilai Rupiah sebesar 33,6% dari Rp 415
per USD menjadi Rp 625 per USD. Selain itu dalam sistem nilai tukar, dianut sistem
nilai tukar mengambang terkendali dengan mengaitkan mata uang Rupiah dengan
sekeranjang mata uang mitra dagang utama. Pemerintah akan melakukan intervensi
jika nilai tukar Rupiah bergerak melebihi batas atas atau batas bawah dari kisaran
yang telah ditentukan.

4
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

2. Arah Kebijakan 1966-1983

Pergantian Pemerintahan pada tahun 1966 dari orde lama ke orde baru,
berpengaruh secara signifikan terhadap arah pembangunan ekonomi di Indonesia.

Pergantian Pemerintahan pada tahun 1966 dari orde lama ke orde baru,
berpengaruh secara signifikan terhadap arah pembangunan ekonomi di Indonesia.
Secara garis besar arah pembangunan ekonomi pada periode ini tertuju pada dua
sasaran utama, yaitu perbaikan kondisi warisan periode sebelumnya dan stabiliasi
menuju peningkatan taraf hidup rakyat sebagaimana tertuang dalam GBHN.

Warisan periode sebelumnya antara lain berupa hiperinflasi, kerusakan prasarana


dan sarana ekonomi, penurunan moral pegawai negeri akibat korupsi dan
kemiskinan rakyat. Hiperinflasi terutama bersumber dari dua hal utama yaitu déficit
spending policy serta kekurangan pasokan barang, terutama pangan.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan moneter ditujukan untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut di atas.

5
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

3. Langkah-Langkah Strategis 1966-1983

Untuk menurunkan hiperinflasi, kebijakan-kebijakan moneter yang diterapkan di sisi


permintaan adalah penaikan GWM perbankan hingga 30%, penaikan suku bunga
perbankan (baik kredit maupun deposito), penerapan pagu ekspansi aktiva neto
perbankan dan larangan terhadap pemberian kredit jangka panjang serta kredit
impor terutama yang bersifat konsumtif.

Untuk menurunkan hiperinflasi, kebijakan-kebijakan moneter yang diterapkan di sisi


permintaan adalah penaikan GWM perbankan hingga 30%, penaikan suku bunga
perbankan (baik kredit maupun deposito), penerapan pagu ekspansi aktiva neto
perbankan dan larangan terhadap pemberian kredit jangka panjang serta kredit
impor terutama yang bersifat konsumtif. Kebijakan ini didukung pula dengan
perubahan kebijakan fiskal, terutama dari deficit spending policy menjadi balanced
budhet policy. Dalam kebijakan ini, defisit yang kemungkinan akan terjadi tidak
ditutup lagi dengan cara pencetakan uang melainkan dengan pinjaman luar negeri.
Dalam kaitan ini, hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional dijalin
kembali untuk memperoleh pinjaman baru dan untuk menjadwal ulang pinjaman luar
negeri sebelumnya.

Di samping itu, pembenahan di sisi suplai dilakukan secara terkonsolidasi antar


berbagai Departemen yang mana sektor perbankan diberi tugas dalam pemberian
kredit bersubsidi, terutama untuk pencukupan pangan dan sandang.
Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, kebijakan-kebijakan moneter yang
ditempuh adalah mendorong ekonomi kerakyatan melalui pengembangan usaha
golongan ekonomi lemah, baik dengan cara pemberian kredit bersubsidi maupun
pelatihan kewiraswastaan.

Di bidang devisa, kebijakan yang ditempuh terutama ditujukan untuk


mengembangkan komoditas ekspor melalui perbaikan kebijakan nilai tukar yang
lebih realistik dan menarik bagi eksportir serta mengubah kebijakan devisa dari
devisa terkontrol menjadi devisa semi terkontrol dengan pemberian keleluasaan bagi
masuknya arus devisa melalui investasi asing. Kebijakan-kebijakan lainnya yang
terkait dengan kebijakan moneter antara lain adalah pengembangan sektor swasta
melalui program gerakan menabung, pengembangan ekonomi kerakyatan dan
koperasi, intensifikasi dan ekstensifikasi potensi ekonomi melalui program
transmigrasi serta kebijakan stabilisasi pangan melalui pendirian Badan Urusan
Logistik (BULOG). Hingga akhir tahun 1969, tingkat inflasi berhasil ditekan hingga
mencapai 9%??? Kebijakan moneter selanjutnya diarahkan untuk mendukung
program pembangunan jangka panjang dengan tahapan 5 tahunan yang skala
prioritasnya diatur di dalam GBHN.

6
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

4. Kebijakan Devisa di Indonesia 1966-1983

Di awal periode ini, bidang devisa ditandai oleh deficit neraca pembayaran sebesar
USD364 juta dan tidak terbayarnya pinjaman luar negeri sebesar USD 2,4 milyar.

Di awal periode ini, bidang devisa ditandai oleh deficit neraca pembayaran sebesar
USD364 juta dan tidak terbayarnya pinjaman luar negeri sebesar USD2,4 milyar.

Oleh karena itu, melalui Peraturan Pemerintah No.64 tahun 1970 menggantikan UU
No.32 Tahun 1964, Pemerintah melonggarkan pengawasan devisa dan membuka
kesempatan bagi masuknya penerimaan modal asing. Kebijakan tersebut
dimaksudkan untuk melancarkan kegiatan ekspor dan lalu lintas devisa. Dalam
Peraturan pemerintah tersebut diperkenalkan dua macam devisa, yaitu Devisa
Umum (DU) dan Devisa Kredit (DK). DU berasal dari perdagangan barang dan jasa,
sedangan DK berasal dari bantuan luar negeri, yaitu berupa pinjaman luar negeri
dan hibah.

Bank Indonesia diberi tugas melakukan pengawasan lalu lintas devisa. Sementara
itu, Pemerintah juga membentuk Lembaga Pengembangan Ekspor nasional (LPEN)
guna meningkatkan ekspor. Tugas LPEN tersebut antara lain menyediakan dan
memberikan penerangan kepada jawatan Pemerintah, eksportir dan pembeli di luar
negeri.

Kebijakan devisa semi terkontrol tersebut berlaku hingga tahun 1982. Selanjutnya
Indonesia menganut kebijakan devisa bebas berdasarkan PP No.1 tahun 1982.
Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki
dan menggunakan devisa tanpa mengatur tentang kewajiban melapor, tidak seperti
di negara-negara lain.

7
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

5. Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1966-1983

Dengan Peraturan Pemerintah tanggal 28 Juli 1967, multiple exchange rate system
disederhanakan dengan cara mematok nilai tukar Rupiah terhadap USD berdasarkan
dua nilai tukar dasar, yaitu System Bonus Ekspor dan Devisa Pelengkap (DP).

Dengan Peraturan Pemerintah tanggal 28 Juli 1967, multiple exchange rate system
disederhanakan dengan cara mematok nilai tukar Rupiah terhadap USD berdasarkan
dua nilai tukar dasar, yaitu System Bonus Ekspor dan Devisa Pelengkap (DP). Dalam
hal ini, eksportir setiap menjual devisa hasil ekspor memperoleh bonus ekspor dan
devisa pelengkap. Bonus ekspor digunakan untuk impor atau pembelian barang yang
diprioritaskan, sedangkan DP digunakan untuk segala macam tujuan.
System nilai tukar ganda ini kemudian dicabut pada tanggal 17 April 1971 dan
diganti dengan nilai tukar tunggal sebesar Rp.378,- per USD1,-

Nilai tukar dimaksud kemudian didevaluasi menjadi Rp.415,- per USD pada tanggal
23 Agustus 1971. Selanjutnya, pada tanggal 15 November 1978 didevaluasi lagi
menjadi Rp.625,- per USD1,- dan sekaligus mengubah system nilai tukar dari
sebelumnya hanya dikaitkan dengan USD diganti dengan sekeranjang mata uang
mitra dagang utama.

Dengan perubahan ini maka nilai tukar Rupiah semakin didekatkan pada berbagai
pasar sehingga diharapkan dapat lebih mendorong ekspor. Di akhir periode ini,
tepatnya 30 Maret 1983 dilakukan devaluasi lagi sehingga menjadi Rp.970,- per
USD1,-

8
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

6. Kebijakan hutang luar Negeri 1966-1983

Pada awal periode ini, Pemerintah memulai pelaksanaan APBN yang berimbang
dengan utang luar negeri sebagai sumber dana penyeimbangnya.

Pada awal periode ini, Pemerintah memulai pelaksanaan APBN yang berimbang
dengan utang luar negeri sebagai sumber dana penyeimbangnya. Selain itu,
kebijakan Pemerintah adalah mengusahakan untuk memperoleh persetujuan
penjadwalan kembali utang-utang luar negeri (lama) yang diperoleh pemerintahan
sebelumnya dari negara-negara donor, baik blok barat maupun blok timur. Selain
itu, juga diusahakan memperoleh utang baru untuk membiayai program
pembangunan sehingga tidak lagi semata-mata mengandalkan pembiayaan dari
bank sentral.

Usaha penjadwalan kembali utang lama Pemerintah dilakukan melalui forum The
Paris Club, dengan Pemerintah Belanda sebagai tuan rumah. Pertemuan tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh persetujuan penjadualan kembali utang-utang lama
Pemerintah. Setelah melalui beberapa pertemuan, dalam pertemuan Paris Club April
1970, disetujui cara-cara pembiayaan utang lama, yaitu utang pokok dibayar selama
30 tahun dari tahun 1970 hingga tahun 1999 dengan cara angsuran tahunan dan
pembayaran bunga pinjaman dilakukan dalam 15 kali angsuran mulai tahun 1981.
Utang pokok akan dibayar dalam jangka waktu 30 tahun dengan jumlah angsuran
tahunan yang sama. Pembayaran angsuran pertama dilakukan pada tahun 1970,
sedangkan utang bunga akan dibayar dalam jangka waktu 15 tahun dengan jumlah
angsuran tahunan yang sama. Pembayaran angsuran bunga dilakukan mulai tahun
1985.

Untuk menggerakkan kegiatan perekonomian, pada Februari 1967 dilakukan


pertemuan di Amsterdam untuk membahas kebutuhan pinjaman, yang merupakan
sumber pembiayaan pelengkap dalam APBN guna membiayai program pembangunan
dengan syarat-syarat lunak. Dari pertemuan tersebut lahirlah Inter Governmental
Group on Indonesia (IGGI). IGGI merupakan organisasi yang informal dalam arti
tidak memiliki anggaran dasar yang resmi, tidak memiliki sekretariat yang
permanent, dan piranti institusional lainnya yang mencerminkan status organisasi
yang resmi. Organisasi ini adalah sebuah lembaga internasional tanpa beban atau
paksaan bagi para anggotanya. Tujuan IGGI hanya sebagai forum untuk
memperlancar aktivitas terkoordinir diantara anggota-anggotanya sebagai media
berbagi pendapat.

Anda mungkin juga menyukai