Anda di halaman 1dari 22

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER


Periode 1959-1966

Cakupan :

Halaman
1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1959- 2
1966
2. Kebijakan Pengetatan Moneter Tahun 1959 4
3. Kebijakan Moneter 13 Desember 1965 12
4. Arah kebijakan 1959-1966 18
5. Langkah-Langkah Strategis 1959-1966 19
6. Kebijakan Devisa 1959-1966 20
7. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966 21
8. Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966 22

1
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode


1959 - 1966

Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat


sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan
politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi
Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak
mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan
investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
(BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah
juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah,
serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga
negara dan pengusaha.

Mulanya pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan


moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter
1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit
bagi tiap-tiap bank secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu,
pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering
uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500
dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959
membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp
25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi
ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit
perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.

Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah
sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai
rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang
dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini
ditetapkan pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan
harga valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan
pungutan ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan
untuk membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada
jenis barang impor- kepada pemerintah.

Kebijakan moneter yang diambil


pemerintah ini ternyata tidak
melibatkan Gubernur Bank
Indonesia (BI). Merasa dilangkahi,
Mr. Loekman Hakim -Gubernur BI
saat itu- mengajukan permohonan
pengunduran diri pada Presiden
Soekarno. Kejadian ini
membuktikan bahwa pada waktu
itu ada upaya dan tekanan-tekanan
kuat untuk membatasi
kewenangan BI sebagai bank
sirkulasi dan penjaga stabilitas
moneter.

2
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

Pada paruh pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin


besar, terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak
inflatoir dari pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini,
pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang
nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000 -uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru.
Berikutnya, untuk mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada
periode ini, pemerintah melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu
lintas perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa
serta pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri.

Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung
berpihak kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia
menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus
1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank
Dunia, dan PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian
utang atas Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati-
diganti dengan persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD
61,9 juta menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan
dilunasi dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari
1966. Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin
mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia
dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga
stabilitas perekonomian Indonesia.

3
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

2. Kebijakan Pengetatan Moneter Tahun 1959

Kondisi ekonomi pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi. Untuk
mengatasinya, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengetatan moneter
berupa pengawasan kredit, devaluasi rupiah, dan kebijakan devisa. Dalam periode
ini, pemerintah juga melancarkan operasi di bidang keuangan berupa kebijakan
sanering. Akibat dari kebijakan ini, bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, yang
ditanggapi oleh Bank Indonesia (BI) melalui pemberian kredit likuiditas kepada
bank-bank. Selain itu, BI juga menangguhkan penerapan ketentuan plafon kredit
terhadap bank-bank karena kebijakan pembatasan pemberian kredit dinilai
menghambat bank-bank untuk berkembang. Pemerintah kemudian mengganti
strategi kebijakan moneternya dengan meningkatkan cash ratio. Hasilnya,
pemberian kredit meningkat. Selain itu, dilakukan pula pengawasan kredit secara
kualitatif kepada sektor-sektor produktif dan sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Sementara itu, kebijakan devaluasi rupiah berpengaruh pada nilai ekspor masa itu.
Kebijakan lainnya yang yang dikeluarkan pada periode ini adalah pemberlakuan
Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan Impor (PUIM).

Tingkat inflasi yang tinggi akan membawa pengaruh negatif terhadap kondisi
perekonomian suatu Negara. Tingginya laju inflasi mewarnai kondisi perekonomian
Republik Indonesia tahun 1959, akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan
pengetatan moneter, yaitu: kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan
kualitatif, kebijakan devaluasi rupiah, kebijakan sanering dan kebijakan devisa untuk
lalu lintas pembayaran luar negeri guna menekan laju inflasi tersebut. Bagaimanakah
kiprah kebijakan-kebijakan tersebut dalam mengatasi laju inflasi? Berhasil atau
tidaknya pelaksanaan kebijakan tersebut dapat anda ketahui dalam artikel berikut
ini...

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk
mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah
makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan
susunan uang yang beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang
tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga
sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2)
tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak
akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat
dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan
timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-
bank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta
tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi.

Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan


membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga
cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.

4
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

Kebijakan diskonto dilakukan dengan menaikkan tingkat bunga sehingga mengurangi


keinginan badan-badan pemberi kredit untuk mengeluarkan pinjaman guna
memenuhi permintaan pinjaman dari masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang
dikeluarkan oleh badan-badan kredit akan berkurang, yang pada akhirnya
mengurangi tekanan inflasi.

Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan kebijakan
uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-surat berharga,
seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank. Akibatnya, jumlah uang
beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit (bank)
berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi.

Sedangkan cash ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-bank ditambah
dengan demand deposit pada bank sentral terhadap demand deposit masyarakat
pada bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio dari bank-bank merupakan
tindakan anti-inflasi karena akan mengurangi kemampuan bank untuk memberikan
kredit kepada masyarakat.

Kondisi Politik dan Perekonomian Tahun 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik
dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank
Indonesia (BI).

Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi, yang
dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai akibat
ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa:

1. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif


2. Kebijakan devaluasi rupiah
3. Kebijakan sanering
4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

Kebijakan Moneter 1959

Kebijakan Pembatasan Kredit Secara Kuantitatif

Pembatasan kredit secara kuantitatif dilakukan dengan cara membatasi jumlah


kredit yang dapat diberikan oleh badan-badan kredit (bank) sampai pada tingkat
tertentu.

Dalam rapat tanggal 8 April 1959, Dewan Moneter menetapkan bahwa bank-bank
dilarang mengucurkan kredit melebihi jumlah kredit yang telah diberikan oleh bank
tersebut pada akhir Agustus 1958. Bank-bank diberikan waktu tiga bulan sejak 16
April 1959 untuk menyesuaikan pemberian kreditnya. Selain itu, bank-bank juga
diwajibkan menyetor 75% dari kelebihan uang tunainya ke dalam "Rekening
Istimewa" di Bank Indonesia.

Tanggal 10 Mei 1959, Dewan Moneter menetapkan pengecualian ketentuan-


ketentuan tersebut atas perusahaan negara yang ditugaskan untuk mengimpor

5
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

sembilan barang pokok (tekstil, tepung terigu, benang tenun, kapas, semen, besi
beton dan tali beton, guni/jute, kertas, dan tiplate). Dalam hal ini, badan-badan
kredit dapat memberikan dana sampai 50% dari harga bukti ekspor yang harus
dibayarkan dalam rangka pembelian barang-barang tersebut.

Pada kenyataannya, bank-bank sulit untuk melakukan penyesuaian jumlah kredit


yang diberikan. Hal ini disebabkan karena bank-bank sulit untuk menarik kembali
kredit yang telah diberikannya. Terbukti pada akhir Maret 1959, jumlah kredit bank-
bank tercatat sebesar Rp 1.270,6 juta lebih tinggi dari plafon yang ditetapkan yaitu
Rp 5.177,8 juta. Untuk mengatasi hal tersebut Dewan Moneter mengeluarkan
ketentuan baru yang berkaitan dengan plafon kredit dan cash ratio/reserve
requirement.

Berdasarkan rapat tanggal 3 Agustus 1959, Dewan Moneter menetapkan plafon


kredit baru untuk masing-masing bank secara individual, sejak tanggal 4 Agustus
1959.

Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah melancarkan kebijakan sanering dengan


memberlakukan Perpu No. 2 dan No. 3 tahun 1959. Pelaksanaan kebijakan tersebut
mengakibatkan bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga. BI segera
mengeluarkan kebijakan pemberian kredit likuiditas (darurat) kepada bank-bank dan
penangguhan penerapan ketentuan pembatasan pemberian kredit bagi bank-bank
(berdasarkan Rapat Dewan Moneter 3 Agustus 1959). Selain itu, ketentuan
mengenai cash ratio/reserves requirements yang ditetapkan dalam Keputusan
Dewan Moneter No. 28 tentang dan No. 33 Tahun 1957, juga ditangguhkan
pelaksanaanya dengan beberapa pengecualian ketentuan yang menyangkut Kertas
Perbendaharaan Negara (KPN) dan kelebihan uang tunai yang disetor dalam
Rekening Istimewa pada Bank Indonesia.

Sebelum pemerintah melakukan operasi di bidang moneter, jumlah penanaman


dalam bentuk KPN pada Juli 1959 adalah Rp 716,6 juta, lebih besar dari targetnya
sebesar Rp 566,9 juta. Namun, target tersebut menurun pada bulan Agustus 1959
menjadi Rp 517,3 juta yang diakibatkan oleh penarikan kewajiban penanaman KPN
untuk Nationale Handelsbank NV (akibat dinasionalisasi tanggal 19 Agustus 1959)
dan Bank Timur NV. Setelah pemerintah melakukan operasi di bidang moneter sejak
Agustus 1959, penanaman KPN oleh bank-bank semakin menurun dari Rp 714,6 juta
di bulan Agustus dan Rp 584,50 juta di bulan September. Bahkan, pada Desember
1959, penanaman KPN oleh bank-bank hanya sebesar Rp 486,70 juta, kurang dari
targetnya sebesar Rp 517,30 juta. Hal ini disebabkan karena beberapa bank belum
dapat memenuhi kewajibannya akibat kesulitan likuiditas.

Sedangkan di sisi pemberian kredit oleh 13 bank devisen dan BI, berdasarkan
Laporan Tahun Pembukuan 1959-1960, menunjukan tren peningkatan. Pada akhir
Maret 1960, jumlah tersebut sudah melebihi dua kali lipat dari jumlah kredit pada
akhir Juli 1959 sebelum pemerintah melakukan operasi moneter. Dalam waktu lima
bulan setelah pemerintah melakukan operasi moneter Agustus 1959, jumlah kredit
yang disalurkan oleh bank-bank meningkat menjadi Rp 11.432,1 juta pada akhir
Desember 1959 dari Rp 6.326 juta pada akhir Juli 1959. Peningkatan ini terutama
disebabkan oleh bertambahnya kredit yang diberikan kepada sektor-sektor yang
bebas dari plafon kredit.

6
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

Dengan adanya kebijakan sanering melalui pemberlakuan Perpu No. 3 Tahun 1959,
pemerintah menetapkan agar semua badan-badan kredit menyetorkan secara efektif
saldo-saldo simpanan yang dibekukan pada badan-badan kredit tersebut sebagai
akibat dari tindakan operasi keuangan tanggal 25 Agustus 1959 ke dalam rekening
Thesauri Bank Negara Indonesia. Penyetoran tersebut harus dilakukan menurut
ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 1 tanggal 28
Januari 1960 dan No. 2 tanggal 22 Februari 1960. Bank-bank perlu menjaga
likuiditasnya masing-masing agar dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka untuk
mengakomodir kepentingan tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan melalui
Peraturan Menteri Keuangan No. 3 tanggal 12 April 1960, yaitu terhitung tanggal 1
April 1960 semua bank swasta dan bank negara diwajibkan untuk membatasi
pemberian kreditnya hingga mencapai posisi saldonya per akhir bulan Februari 1960.
Apabila posisi saldo kredit melampaui batas jumlah sebagaimana yang ditetapkan
dalam ketentuan tersebut, maka bank yang bersangkutan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu tiga bulan terhitung mulai tanggal dikeluarkannya ketentuan
tersebut akan menyesuaikan jumlah kredit yang diberikan sampai dengan ambang
batas posisi kredit sesuai dengan yang ditetapkan.

Berkaitan dengan ditetapkannya plafon kredit baru tersebut, maka Dewan Moneter
menetapkan plafon kredit tersebut tidak berlaku bagi kredit Jajasan Lembaga
Djaminan Kredit (LDK) yang disalurkan melalui bank-bank. Pemberian kredit impor
kepada 8 (delapan) Perusahaan Negara atas 9 (sembilan) barang pokok dan
pembelian kredit kepada Badan pembelian Padi yang sebelumnya dikecualikan dari
penetapan plafon kredit, per akhir Februari 1960 termasuk dalam plafon kredit
sebagaimana yang ditetapkan.

Melihat pengalaman selama satu tahun setelah dilaksanakannya kebijakan sanering,


maka pemerintah menyadari bahwa suatu kebijaksanaan pembatasan kredit secara
kuantitatif dengan penetapan plafon kredit bagi masing-masing bank dalam
prakteknya setiap kali harus dilakukan penyesuaian dengan perkembangan keadaan.
Di samping itu pembatasan kredit secara kuantitatif tersebut menghalangi
perkembangan bank-bank.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pada tanggal 15 Oktober 1960


pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1960 mengenai
"penetapan dasar perbandingan minimum antara jumlah alat-alat likuid yang
dikuasai (seperti uang tunai yang dimiliki oleh bank tersebut) dan jumlah kewajiban
(seperti wesel-wesel yang dapat di bayar) yang segera dapat ditagih dari semua
bank dengan bagian minimum dari alat likuid yang dikuasai bank sebagai giro pada
Bank Indonesia (peraturan cash ratio)." Besaran rasio berdasarkan ketentuan
tersebut sebagai berikut:

1. Ketentuan batas pemberian kredit oleh bank-bank sampai jumlah yang telah
dikeluarkan pada akhir Februari 1960 sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 3 tanggal 12 April 1960 dinyatakan tidak
berlaku.
2. Pemerintah menetapkan peraturan cash ratio sebesar 30%.
3. Semua bank diwajibkan menyimpan sekurang-kurangnya 10% dari alat
likuidasi yang diperhitungkan dalam cash ratio sebagai giro pada Bank
Indonesia.
4. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan No 5 Tahun 1960, bank wajib memiliki cash ratio sebesar 30%.

7
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

5. Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban tersebut dikenakan denda berupa


bunga, berlaku mulai tiga bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan No. 5 Tahun 1960. Ketentuan denda tersebut adalah sebagai
berikut:
o Bunga sebesar 1% (satu persen) setahun dikenakan atas pelanggaran
yang berlangsung selama tidak lebih dari tiga bulan takwim berturut-
turut. Tingkat bunga tersebut kemudian diubah menjadi 4% setahun
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. 4
Tahun 1965.
o Bunga sebesar 9% (sembilan persen) setahun dikenakan terhadap
pelanggaran yang berlangsung lebih dari tiga bulan takwim berturut-
turut. Tingkat suku bunga pelanggaran tersebut kemudian diubah
menjadi 12% setahun berdasarkan Surat Keputusan Bank Sentral.

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 5 Tahun 1960, maka


Peraturan Menteri Keuangan No. 3 Tahun 1960 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
terhitung mulai tanggal 15 Oktober 1960.

Kebijakan Pembatasan Perkreditan Secara Kualitatif

Selain pembatasan kredit secara kuantitatif, pemerintah juga mengeluarkan


ketentuan pembatasan kredit secara kualitatif. Hal ini dilakukan dengan pembatasan
pemberian kredit pada sektor-sektor tertentu serta menjuruskan kredit pada usaha
produktif dan ekspor. Sejak September 1959, bank-bank dilarang memberikan kredit
atas semua transaksi impor, kecuali untuk barang-barang yang diimpor oleh dan
melalui Perusahaan Dagang Negara (PDN), beras oleh Jajasan Urusan Bahan
Makanan (JUBM), dan cambrics oleh Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).
Sehingga importir wajib menyetor jaminan khusus pada banknya sebesar 100% dari
nilai lawan (dalam rupiah) tiap-tiap transaksi impor. Nilai itu meliputi komponen
harga, retribusi SIVA, sumbangan untuk Monumen Nasional, retribusi L.A.A.P.L.N
dan biaya-biaya bank yang harus dilunasi pada waktu penutupan Kontrak Valuta
(KV)/pembukaan L/C, dengan sumber keuangan dari para importir sendiri.
Ketentuan mengenai jaminan ini tidak berlaku bagi Perusahaan Negara (PN).

Namun, bank-bank tetap dapat mengeluarkan kredit bagi perusahaan importir yang
akan mengimpor bahan baku/penolong untuk digunakan sendiri dan perusahaan
non-importir yang mendapat jatah bahan baku/penolong untuk digunakan di
perusahaannya sendiri.

Kebijakan Devaluasi Mata Uang

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 1959, pemerintah mendevaluasi


nilai tukar rupiah dari Rp 11,40 menjadi Rp 45 per USD (basic rate). Selain itu,
sistem multiple exchange rate yang sudah berlaku sejak 12 Maret 1950, berubah
menjadi sistem fixed rate. Lewat Perpu No. 4 Tahun 1959 (24 Agustus 1959), yang
berlaku sejak tanggal 25 Agutus 1959, sistem Bonus Ekspor (BE) yang telah
diperkenalkan sejak tanggal 25 Juni 1957, dihapuskan.

Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri. Angka rata-rata
pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya,
walaupun masih berada di bawah tahun angka rata-rata tahun 1954-1956. Selain
itu, tindakan ini juga memaksa dilakukannya revaluasi pada pos kekayaan emas dan

8
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

devisen yang ada pada Dana Devisen BI dan bank-bank devisen lainnya. Dari
seluruh tambahan uang sebesar Rp 13.988 juta yang ditimbulkan oleh sektor luar
negeri, bagian terbesar didapat dari pos kekayaan emas dan devisen yang telah
mengalami mutasi tambahan sebesar Rp 12.350 juta.

Kebijakan Sanering

Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan,


reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada 25 Agustus 1959, adalah
sebagai berikut:

1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100
(Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang kertas ini harus
dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus
1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu
No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak
(Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar
90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa
simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang
oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai
dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp
8.521 juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut
tindakan moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang
digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan
tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada
perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga
berakibat pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang
dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,
sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan
pengunduran diri pada presiden.

Kebijakan Devisa

Melalui PP No. 42 Tahun 1959 tentang Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan
Impor (PUIM), untuk setiap ekspor yang dilakukan berdasarkan Kontrak Valuta yang
ditutup pada atau setalah 25 Agustus 1959, dikenakan PUEKS sebesar 20% dari
harga penjualan menurut kurs baru (USD 1 = Rp 45). Pembayaran PUEKS harus
dilakukan pada saat penyerahan valuta asing yang bersangkutan. Bila ekspor
dilakukan secara konsinyasi, PUEKS dibayarkan saat hasil konsinyasi telah ditransfer
ke Indonesia atau setelah penyerahan formulir yang ditandatangani oleh pihak
pabean. Selain itu, pihak konsinyatir juga sudah harus menarik wesel dan dokumen
perkapalan telah diterima oleh bank.

PUEKS dikenakan pula terhadap konversi valuta asing ke rupiah di bidang invisible,
seperti transfer valuta asing, dan penyerahan emas kepada dana devisa atas dasar
Rp 49.203,95 untuk setiap kilogram emas murni.

PUIM, pada hakekatnya, dapat disamakan dengan Tambahan Pungutan Impor (TPI).
Pemungutan PUIM ditetapkan atas dasar c&f (dalam rupiah) dari barang-barang

9
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

impor. Besarnya PUIM ditetapkan 0% untuk barang golongan I, 25% untuk golongan
II, 50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 150% untuk golongan V, dan
200% untuk golongan VI. Penggolongan ini ditetapkan oleh pemerintah. Dengan
pemberlakuan peraturan ini, maka pemerintah menghapuskan kewajiban importir
untuk membayar uang jaminan (prepayment) pada saat mengajukan permohonan
ijin impor kepada bank.

Ketentuan mengenai PUEKS dan PUIM dicabut melalui Perpu No. 32, No. 33 dan No.
34 Tahun 1960 tentang penggunaan mata uang rupiah dalam lalu lintas pembayaran
luar negeri. Peraturan-peraturan ini juga menetapkan untuk ekspor hasil bumi ke
luar Daerah Pabean Indonesia dikenakan bea keluar sebesar 10% dari harga f.o.b
berdasarkan nilai kurs USD 1 = Rp 45.

Barang impor dibagi dua golongan, yaitu golongan I untuk barang-barang penting
bagi perekonomian dan golongan II untuk barang-barang lain yang masih
dibutuhkan. Untuk impor dikenakan TPI menurut kurs USD 1 = Rp 200. Penjualan
devisa oleh bank-bank untuk jasa-jasa tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan dikenakan pajak transfer sebesar 100% dari nilai lawan (dalam rupiah)
terhadap mata uang asing yang bersangkutan menurut kurs dasar rupiah.

Perkembangan Uang Beredar Tahun 1959-1960

Uang beredar pada tahun 1959 dan 1960 meningkat, yaitu Rp 5.518 juta dan Rp
12.953 juta dibandingkan dengan Rp 10.453 juta pada tahun 1958. Pertambahan
tersebut terjadi pada keempat sektor berikut ini (Tabel 1):

Tabel 1
Sektor-Sektor yang Berpangaruh Terhadap Uang Beredar Periode 1958-1960
(Dalam jutaan rupiah)
Sektor 1958 1959 1960

Sektor resmi +10.858 +8.614 + 2.519

Sektor partikelir - 850 +1.075 - 1.224

Sektor luar negeri + 580 +13.988 - 4.472

Sektor lainnya - 135 -18.159 + 7.186

Pertambahan Jml. Uang Beredar +10.453 +5.558 + 12.953

Pada tahun 1959 "sektor luar negeri" memberikan pengaruh terbesar terhadap
jumlah uang yang beredar. Hal ini merupakan pengaruh dari revaluasi kekayaan
emas dan devisen pada Dana Devisien BI dan bank devisen lainnya sebagai akibat
devaluasi 25 Agustus 1959 (USD 1 = Rp 45 dan 1 kg emas murni = Rp 50.510,80).
Apabila mutasi tambahan uang beredar akibat dari penilaian kembali emas dan
devisa tidak turut diperhitungkan maka sumber terbesar dalam tahun 1959 berasal
dari sektor resmi (Rp 8.614 juta). Pertambahan uang beredar juga disebabkan oleh
pemberian kredit kepada perusahaan dan yayasan pemerintah sebesar Rp 5.257
juta, termasuk tambahan kredit kepada perusahaan asing yang dinasionalisasi.

10
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

Selama tahun 1959, jumlah uang kartal naik (Rp 6.511 juta), jumlah uang giral
turun (Rp 993 juta), dan jumlah uang beredar secara keseluruhan naik (Rp 5.518
juta). Kenaikan tersebut, di satu sisi, memperbesar permintaan efektif kredit.
Namun, di sisi lain, persediaan barang, baik produksi dalam negeri maupun impor,
tidak bertambah secara seimbang. Akibatnya terjadi kenaikan harga barang-barang
dan biaya hidup.

Pada tahun 1960, jumlah uang giral naik menjadi 29% dari total uang beredar.
Pemberian kredit kepada perusahaan dan yayasan pemerintah bertambah menjadi
Rp 3.327 juta, akibat kebijakan pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas
perusahaan.

Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959 yang dilancarkan oleh pemerintah tidak
dapat menghambat laju inflasi malahan makin mempertinggi laju inflasi. Hal ini
terlihat dari meningkatnya jumlah uang yang beredar pada tahun 1959 dan 1960
meningkat, yaitu Rp 5.518 juta dan Rp 12.953 juta jika dibandingkan dengan Rp
10.453 juta pada tahun 1958. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
kebijakan tersebut tidak efektif.

11
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

3. Kebijakan Moneter 13 Desember 1965

Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik


semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan
Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk
membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces
(Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka
mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13
Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang
berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No.
27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru
dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) =
Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank
Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar
sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus
1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk
menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk
menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta
keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali
uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga
lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang
beredar, dan inflasi.

Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku
dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu, tentu saja, akan menyebabkan situasi
moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia
pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter,
pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan
uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus
Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp). Bagaimana implikasi pemberlakuan Penpres ini
terhadap situasi moneter Indonesia?
Dalam artikel ini, akan ditelusuri dampak pemberlakuan Penpres No. 27 tahun 1965
tersebut di tengah situasi keuangan pemerintah yang mengalami defisit akibat
membiayai politik konfrontasi dan proyek-proyek mercusuar.

Uang mulai digunakan pada saat


kondisi perekonomian sedemikian
berkembang sehingga perekonomian
barter (perekonomian yang
mensyaratkan double coincidence of
want) dirasakan tidak memadai. Uang
memiliki peranan yang sangat penting
dalam perekonomian. Hal ini dapat
dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai
alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran
pembayaran di masa depan, dan
penyimpan daya beli.

12
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian
perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan permintaan
terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat dengan perubahan-
perubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak
terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang
dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang
diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang
kita berikan kepadanya.

Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan
masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan
cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada
situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan
menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang
akan mempengaruhi aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan
menyebabkan aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang
akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang
secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang
digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah
kebijakan moneter.

Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk
menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru
bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres)
No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang
lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp
1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan
kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

Kondisi Ekonomi

Dalam rangka pelaksanaan


ekonomi terpimpin, bank-bank
negara tidak cukup hanya
dikoordinasikan oleh suatu
instansi. Presiden Soekarno juga
menganggap perlu untuk
mengintegrasikan semua bank
negara ke dalam suatu organisasi
bank sentral. Untuk itu,
dikeluarkan Penpres No. 17 tahun
1965 tanggal 27 Juli 1965.
Pertimbangan pembetukan bank
tunggal milik negara tersebut
berdasarkan Undang-Undang
Dasar RI dan doktrin-doktrin revolusi Indonesia. Bank tunggal itu bertugas sebagai
satu-satunya bank milik negara yang menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi,
bank sentral, dan bank umum.

Besarnya defisit anggaran belanja pemerintah dari tahun 1961 sampai dengan tahun
1965 terus meningkat, masing-masing berturut-turut adalah sebagai berikut: 29,7%
(1961), 38,7% (1962), 50,8% (1963), 58,4% (1964) dan 63,4% (1965) dari jumlah

13
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

realisasi pengeluaran seluruhnya untuk tahun yang bersangkutan. Defisit tersebut


timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara jumlah pengeluaran dan
penerimaan setiap tahunnya yang disebabkan oleh usaha pemerintah untuk
merealisasikan proyek-proyek pemerintah, baik di bidang politik maupun di bidang
ekonomi sepanjang tahun 1961 sampai dengan 1965. Proyek-proyek tersebut adalah
proyek mengembalikan wilajah Irian Barat dan Trikora, proyek konfrontasi dengan
Malaysia, serta proyek-proyek mercusuar lainnya, seperti Games of the New
Emerging Forces (Ganefo), dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).

Krisis Devisa

Keguncangan harga yang terjadi di luar negeri sangat berpengaruh terhadap


merosotnya penerimaan devisa, terutama dari ekspor karet yang merupakan bagian
paling besar dari nilai seluruh ekspor Indonesia. Di samping harga karet alam yang
tidak menguntungkan tersebut, ternyata karet alam mendapat saingan cukup keras
dari karet sintetis. Penurunan devisa juga disebabkan oleh besarnya penggunaan
untuk mengimpor beras yang dimulai sejak tahun 1957. Jumlah impor beras dari
tahun 1960 hingga tahun 1966 menunjukkan angka yang tinggi, terutama
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara kenaikan produksi beras dalam
negeri dan bertambahnya permintaan. Hal tersebut berakibat kacaunya pasar dalam
negeri yang menyulut terjadinya kenaikan harga-harga, bukan saja harga beras
namun juga harga barang lainnya dan akhirnya pemerintah terpaksa membuka
kembali keran impor beras meskipun tidak sebanyak yang direncanakan semula.

Krisis devisa yang terjadi sejak tahun 1950-an terus berlanjut hingga periode ini
sebagaimana tecermin pada merosotnya posisi cadangan Dana Devisa mulai
permulaan tahun 1960-an hingga akhir tahun 1965 yang menunjukkan posisi negatif
USD 3 juta pada akhir tahun 1965.

Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965

Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965 mengatur bahwa:

1. Sejak tanggal 13 Desember 1965, alat pembayaran yang sah di seluruh


wilayah Republik Indonesia, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat adalah
uang yang dikeluarkan oleh Bank Negara Indonesia.
2. Nilai perbandingan antara uang rupiah baru dan uang yang berlaku sebagai
alat pembayaran yang sah di Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp) dan di luar
Daerah Provinsi Irian Barat (Rp lama).

a. IB Rp 1 sama dengan Rp 1 (baru)


b. Rp 1.000 (lama) sama dengan Rp 1 (baru)

3. Pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia yang telah beredar sebelum
diberlakukannya Penpres No. 27 tahun 1965 dilakukan secara bertahap,
yaitu:

a. Semua jenis uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Negara


Indonesia pecahan Rp 10.000 dan Rp 5.000 dinyatakan tidak berlaku
sejak satu bulan sesudah tanggal 13 Desember 1965. Hak
penggantian untuk uang kertas tersebut berakhir pada tanggal 25
Februari 1966 (Penpres No. 1 tahun 1966)

14
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

b. Semua jenis uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Negara


Indonesia pecahan Rp 2.500 dan Rp 500 dinyatakan tidak berlaku
sejak tiga bulan sesudah tanggal 13 Desember 1965. Terhitung mulai
tanggal 31 Desember 1966, jenis-jenis uang kertas yang dikeluarkan
oleh Bank Negara Indonesia serta uang kertas dan uang logam yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam pecahan Rp 2.500 (dua ribu lima
ratus rupiah) ke bawah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran
yang sah (Keputusan Presidium Kabinet No. 56/EK/KEP/10/1966,
berlaku pada tanggal 7 Oktober 1966)
c. Semua jenis uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Negara
Indonesia dalam pecahan Rp 100 ke bawah dinyatakan tidak berlaku
sejak enam bulan sesudah tanggal 13 Desember 1965

Berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet


Ampera Rl No. 31/EK/KEP/9/1966, yang
berlaku sejak tanggal 15 September 1966,
ditetapkan bahwa uang rupiah baru yang
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah
bagi Daerah Provinsi Irian Barat menurut
Penpres No. 27 tahun 1965 ditunda
berlakunya dan ditarik dari peredaran. Uang
rupiah Irian Barat yang berlaku dan beredar
sebagai alat pembayaran yang sah
berdasarkan Penpres No. 2 tahun 1963 tetap
berlaku dan beredar di Daerah Provinsi Irian
Barat.

Sebagai kelanjutan dari Penpres No. 27 tahun 1965, diterbitkan Surat Edaran
Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan No. EK/194/C/23/66 tanggal 20
Agustus 1966. Ketentuan itu menginstruksikan kepada semua instansi swasta untuk
menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta
keperluan administrasi keuangannya mulai tanggal 1 Oktober 1966. Ketentuan
tersebut diterbitkan dengan latar belakang bahwa, sejak diedarkannya uang rupiah
baru pada bulan Desember 1965 hingga dikeluarkannya surat edaran ini, uang
rupiah lama dan uang rupiah baru beredar bersama-sama.

Akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya ditetapkan sebesar 1000 kali
uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-barang dalam rupiah baru
menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama.Hal ini menunjukkan bahwa nilai
tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama bergerak antara 1:10. Jadi,
nilai uang rupiah baru hanya dinilai oleh umum kurang lebih 10 kali lebih tinggi
daripada uang rupiah lama.

Implikasi Kebijakan Terhadap Perkembangan Uang Beredar

Peredaran uang pada akhir Juli 1959 mencapai jumlah Rp 33.987 juta, sedangkan
pada akhir Agustus 1959 mencapai Rp 20.999 juta atau turun sebesar Rp 12.988
juta (38,2%) hanya dalam waktu satu bulan. Tetapi, pada akhir Desember 1959
atau hanya empat bulan kemudian, jumlah uang yang beredar sudah mencapai
angka Rp 34.883 juta. Setahun kemudian, pada akhir tahun 1960, jumlah tersebut
telah meningkat menjadi Rp 47.847 juta atau 37% lebih tinggi dari posisinya pada
akhir tahun 1959. Dalam Laporan Tahun Pembukuan 1960-1965, jumlah uang

15
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

beredar terus meningkat setiap tahun dengan persentase yang tinggi hingga
mencapai puncaknya pada akhir tahun 1966, yaitu mencapai Rp 5.164.552 juta.

Berdasarkan Laporan Tahun Pembukuan Bank Negara Indonesia Unit I 1960-1965,


laju inflasi, yang pada tahun 1959 masih sekitar 22.2%, telah meningkat terus-
menerus dari tahun ke tahun hingga mencapai puncaknya pada tahun 1966. Pada
saat itu, laju inflasi adalah sebesar 653.3%. Berikut ini disajikan tabel pertambahan
uang beredar dan tingkat laju inflasi dari tahun 1958 sampai dengan 1966 (triwulan
I):

Tabel 1
Jumlah Pertumbuhan Uang Yang Beredar dan Laju Inflasi
Periode 1959-1966
(dalam jutaan rupiah)

Pertambahan
Tahun M1 *) Pertambahan M1 Inflasi (%)
M1 (%)

1958 29.372 - - 46

1959 34.889 5.517 19 22

1960 47.842 12.953 37 38

1961 67.648 19.806 41 27

1962 135.898 68.250 101 174

1963 263.361 127.463 94 119

1964 675.105 411.744 156 135

1965 2.713.688 2.038.582 302 594

1966 5.164.552 2.450.864 90 635,5

*) M1 = Jumlah uang yang beredar

Pertambahan jumlah uang beredar tersebut terjadi akibat tindakan pemerintah di


bidang keuangan pada bulan Agustus 1959 dan diikuti oleh kenaikan harga barang-
barang, baik di daerah pedalaman maupun di kota besar. Selama periode 1960-
1966, terjadi kenaikan angka indeks harga bahan makanan, baik dari 12 bahan
makanan di daerah pedalaman Pulau Jawa maupun indeks dari 19 bahan makanan di
beberapa kota besar. Kenaikan yang mencolok terjadi pada tahun 1961 dan tahun-
tahun berikutnya.

Kenaikan inflasi ini selain disebabkan oleh tindakan moneter pada bulan Agustus
1959, juga diakibatkan oleh tindakan moneter kedua, yaitu pengeluaran uang rupiah
baru pada tanggal 13 Desember 1965 dengan Penpres No. 27 tahun 1965. Bahwa
tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena meningkatnya

16
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

pengeluaran pemerintah untuk merealisasi program, baik di bidang politik maupun


ekonomi.

Di sektor swasta, meningkatnya pemberian kredit ini terutama disebabkan oleh


makin meningkatnya inflasi dalam negeri yang tercermin pada meningkatnya harga
barang-barang dan jasa. Akibat ongkos-ongkos eksploitasi dan investasi perusahaan-
perusahaan yang juga meningkat, maka kebutuhan kredit dari bank-bank secara
langsung juga bertambah. Di sektor luar negeri, tercermin pada menurunnya
kekayaan emas dan devisa pemerintah yang bertalian erat dengan menurunnya
penerimaan ekspor pada tahun-tahun yang bersangkutan. Untuk mengurangi
pengaruh penurunan cadangan devisa, jumlah impor terpaksa diperkecil. Namun,
neraca berjalan masih tetap mengalami defisit karena pada saat yang bersamaan
terjadi penurunan sokongan/pampasan luar negeri. Hal tersebut diikuti pula dengan
meningkatnya pembayaran angsuran utang-utang luar negeri, sehingga defisit
neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan makin besar.

17
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

4. Arah kebijakan 1959-1966

Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah
yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan
simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang.

Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah
yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan
simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan
masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus disetorkan kepada
Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.

Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol


(Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era
Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung
perjuangan revolusi, yaitu perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas
dari penjajahan dan bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa.
Pembanguna bidang politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang
secara ekonomis tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan
proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran
baru seperti biaya konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari
Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.

Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya
perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami
kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan
defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa.

Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang
Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan
uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi.
Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan
inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter
ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.

18
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

5. Langkah-langkah strategis 1959-1966

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan akibat dari kebijakan sanering, Bank
Indonesia memberikan Kredit Likuiditas bagi bank-bank tersebut.

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan akibat dari kebijakan sanering, Bank
Indonesia memberikan Kredit Likuiditas bagi bank-bank tersebut. Sementara itu
untuk menekan inflasi akibat belanja Pemerintah yang menaikkan uang beredar,
Bank Indonesia menerapkan kebijakan berupa pembatasan pagu kredit dan larangan
pemberian kredit bagi sektor-sektor ekonomi tertentu. , namun hasilnya tetap tidak
efektif seperti periode sebelumnya, terutama karena kebijakan-kebijakan tersebut
tidak diimbangi oleh pertumbuhan out-put riil (pertumbuhan ekonomi). Di samping
itu, untuk meningkatkan cadangan devisa, ekspor terus didorong melalui pemberian
insentif ekspor maupun melalui devaluasi Rupiah. Sementara itu pembatasan impor
dilakukan melalui penetapan nilai tukar devisa impor yang lebih tinggi dari pada nilai
tukar resmi.

19
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

6. Kebijakan Devisa 1959-1966

Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung
semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor
berbagai jenis barang.

Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung
semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor
berbagai jenis barang.

Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan


kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas
utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan
tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya
impor beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi
berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat
kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi
upaya peningkatan ekpor.

Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964
tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940
dan Deviezen Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang
No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan
kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun
tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara
menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah
pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.

Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui
peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.

20
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

7. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966

Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang


dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca
pembayaran dan menekan laju inflasi.

Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang


dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca
pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah,
sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan
perdagangan internasional.

Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi
Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan
mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank
Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.

Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar
dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang
masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960.
Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum
melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam
ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan
tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob.
Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi
sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan
II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan
beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar
baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat
ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.

Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam
pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple
exchange rate system.

21
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

8. Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966

Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi
neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui
pinjaman dana dari luar negeri.

Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi
neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui
pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri,
utang luar negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara
blok Timur, seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain
dipergunakan untuk membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga
dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk
konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah
tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan
membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang
berasal dari ekspor.

Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari
Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5
juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, US-
Eximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni
untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek
listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang
cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari
USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.

22

Anda mungkin juga menyukai