Cakupan :
Halaman
1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1959- 2
1966
2. Kebijakan Pengetatan Moneter Tahun 1959 4
3. Kebijakan Moneter 13 Desember 1965 12
4. Arah kebijakan 1959-1966 18
5. Langkah-Langkah Strategis 1959-1966 19
6. Kebijakan Devisa 1959-1966 20
7. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966 21
8. Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966 22
1
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah
sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai
rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang
dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini
ditetapkan pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan
harga valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan
pungutan ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan
untuk membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada
jenis barang impor- kepada pemerintah.
2
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung
berpihak kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia
menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus
1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank
Dunia, dan PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian
utang atas Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati-
diganti dengan persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD
61,9 juta menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan
dilunasi dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari
1966. Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin
mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia
dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga
stabilitas perekonomian Indonesia.
3
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Kondisi ekonomi pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi. Untuk
mengatasinya, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengetatan moneter
berupa pengawasan kredit, devaluasi rupiah, dan kebijakan devisa. Dalam periode
ini, pemerintah juga melancarkan operasi di bidang keuangan berupa kebijakan
sanering. Akibat dari kebijakan ini, bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, yang
ditanggapi oleh Bank Indonesia (BI) melalui pemberian kredit likuiditas kepada
bank-bank. Selain itu, BI juga menangguhkan penerapan ketentuan plafon kredit
terhadap bank-bank karena kebijakan pembatasan pemberian kredit dinilai
menghambat bank-bank untuk berkembang. Pemerintah kemudian mengganti
strategi kebijakan moneternya dengan meningkatkan cash ratio. Hasilnya,
pemberian kredit meningkat. Selain itu, dilakukan pula pengawasan kredit secara
kualitatif kepada sektor-sektor produktif dan sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Sementara itu, kebijakan devaluasi rupiah berpengaruh pada nilai ekspor masa itu.
Kebijakan lainnya yang yang dikeluarkan pada periode ini adalah pemberlakuan
Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan Impor (PUIM).
Tingkat inflasi yang tinggi akan membawa pengaruh negatif terhadap kondisi
perekonomian suatu Negara. Tingginya laju inflasi mewarnai kondisi perekonomian
Republik Indonesia tahun 1959, akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan
pengetatan moneter, yaitu: kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan
kualitatif, kebijakan devaluasi rupiah, kebijakan sanering dan kebijakan devisa untuk
lalu lintas pembayaran luar negeri guna menekan laju inflasi tersebut. Bagaimanakah
kiprah kebijakan-kebijakan tersebut dalam mengatasi laju inflasi? Berhasil atau
tidaknya pelaksanaan kebijakan tersebut dapat anda ketahui dalam artikel berikut
ini...
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk
mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah
makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan
susunan uang yang beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang
tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga
sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2)
tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak
akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat
dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan
timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-
bank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta
tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi.
4
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan kebijakan
uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-surat berharga,
seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank. Akibatnya, jumlah uang
beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit (bank)
berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi.
Sedangkan cash ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-bank ditambah
dengan demand deposit pada bank sentral terhadap demand deposit masyarakat
pada bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio dari bank-bank merupakan
tindakan anti-inflasi karena akan mengurangi kemampuan bank untuk memberikan
kredit kepada masyarakat.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik
dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank
Indonesia (BI).
Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi, yang
dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai akibat
ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa:
Dalam rapat tanggal 8 April 1959, Dewan Moneter menetapkan bahwa bank-bank
dilarang mengucurkan kredit melebihi jumlah kredit yang telah diberikan oleh bank
tersebut pada akhir Agustus 1958. Bank-bank diberikan waktu tiga bulan sejak 16
April 1959 untuk menyesuaikan pemberian kreditnya. Selain itu, bank-bank juga
diwajibkan menyetor 75% dari kelebihan uang tunainya ke dalam "Rekening
Istimewa" di Bank Indonesia.
5
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
sembilan barang pokok (tekstil, tepung terigu, benang tenun, kapas, semen, besi
beton dan tali beton, guni/jute, kertas, dan tiplate). Dalam hal ini, badan-badan
kredit dapat memberikan dana sampai 50% dari harga bukti ekspor yang harus
dibayarkan dalam rangka pembelian barang-barang tersebut.
Sedangkan di sisi pemberian kredit oleh 13 bank devisen dan BI, berdasarkan
Laporan Tahun Pembukuan 1959-1960, menunjukan tren peningkatan. Pada akhir
Maret 1960, jumlah tersebut sudah melebihi dua kali lipat dari jumlah kredit pada
akhir Juli 1959 sebelum pemerintah melakukan operasi moneter. Dalam waktu lima
bulan setelah pemerintah melakukan operasi moneter Agustus 1959, jumlah kredit
yang disalurkan oleh bank-bank meningkat menjadi Rp 11.432,1 juta pada akhir
Desember 1959 dari Rp 6.326 juta pada akhir Juli 1959. Peningkatan ini terutama
disebabkan oleh bertambahnya kredit yang diberikan kepada sektor-sektor yang
bebas dari plafon kredit.
6
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Dengan adanya kebijakan sanering melalui pemberlakuan Perpu No. 3 Tahun 1959,
pemerintah menetapkan agar semua badan-badan kredit menyetorkan secara efektif
saldo-saldo simpanan yang dibekukan pada badan-badan kredit tersebut sebagai
akibat dari tindakan operasi keuangan tanggal 25 Agustus 1959 ke dalam rekening
Thesauri Bank Negara Indonesia. Penyetoran tersebut harus dilakukan menurut
ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 1 tanggal 28
Januari 1960 dan No. 2 tanggal 22 Februari 1960. Bank-bank perlu menjaga
likuiditasnya masing-masing agar dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka untuk
mengakomodir kepentingan tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan melalui
Peraturan Menteri Keuangan No. 3 tanggal 12 April 1960, yaitu terhitung tanggal 1
April 1960 semua bank swasta dan bank negara diwajibkan untuk membatasi
pemberian kreditnya hingga mencapai posisi saldonya per akhir bulan Februari 1960.
Apabila posisi saldo kredit melampaui batas jumlah sebagaimana yang ditetapkan
dalam ketentuan tersebut, maka bank yang bersangkutan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu tiga bulan terhitung mulai tanggal dikeluarkannya ketentuan
tersebut akan menyesuaikan jumlah kredit yang diberikan sampai dengan ambang
batas posisi kredit sesuai dengan yang ditetapkan.
Berkaitan dengan ditetapkannya plafon kredit baru tersebut, maka Dewan Moneter
menetapkan plafon kredit tersebut tidak berlaku bagi kredit Jajasan Lembaga
Djaminan Kredit (LDK) yang disalurkan melalui bank-bank. Pemberian kredit impor
kepada 8 (delapan) Perusahaan Negara atas 9 (sembilan) barang pokok dan
pembelian kredit kepada Badan pembelian Padi yang sebelumnya dikecualikan dari
penetapan plafon kredit, per akhir Februari 1960 termasuk dalam plafon kredit
sebagaimana yang ditetapkan.
1. Ketentuan batas pemberian kredit oleh bank-bank sampai jumlah yang telah
dikeluarkan pada akhir Februari 1960 sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 3 tanggal 12 April 1960 dinyatakan tidak
berlaku.
2. Pemerintah menetapkan peraturan cash ratio sebesar 30%.
3. Semua bank diwajibkan menyimpan sekurang-kurangnya 10% dari alat
likuidasi yang diperhitungkan dalam cash ratio sebagai giro pada Bank
Indonesia.
4. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan No 5 Tahun 1960, bank wajib memiliki cash ratio sebesar 30%.
7
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Namun, bank-bank tetap dapat mengeluarkan kredit bagi perusahaan importir yang
akan mengimpor bahan baku/penolong untuk digunakan sendiri dan perusahaan
non-importir yang mendapat jatah bahan baku/penolong untuk digunakan di
perusahaannya sendiri.
Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri. Angka rata-rata
pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya,
walaupun masih berada di bawah tahun angka rata-rata tahun 1954-1956. Selain
itu, tindakan ini juga memaksa dilakukannya revaluasi pada pos kekayaan emas dan
8
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
devisen yang ada pada Dana Devisen BI dan bank-bank devisen lainnya. Dari
seluruh tambahan uang sebesar Rp 13.988 juta yang ditimbulkan oleh sektor luar
negeri, bagian terbesar didapat dari pos kekayaan emas dan devisen yang telah
mengalami mutasi tambahan sebesar Rp 12.350 juta.
Kebijakan Sanering
1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100
(Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang kertas ini harus
dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus
1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu
No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak
(Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar
90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa
simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang
oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).
Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai
dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp
8.521 juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut
tindakan moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang
digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan
tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada
perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga
berakibat pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang
dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,
sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan
pengunduran diri pada presiden.
Kebijakan Devisa
Melalui PP No. 42 Tahun 1959 tentang Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan
Impor (PUIM), untuk setiap ekspor yang dilakukan berdasarkan Kontrak Valuta yang
ditutup pada atau setalah 25 Agustus 1959, dikenakan PUEKS sebesar 20% dari
harga penjualan menurut kurs baru (USD 1 = Rp 45). Pembayaran PUEKS harus
dilakukan pada saat penyerahan valuta asing yang bersangkutan. Bila ekspor
dilakukan secara konsinyasi, PUEKS dibayarkan saat hasil konsinyasi telah ditransfer
ke Indonesia atau setelah penyerahan formulir yang ditandatangani oleh pihak
pabean. Selain itu, pihak konsinyatir juga sudah harus menarik wesel dan dokumen
perkapalan telah diterima oleh bank.
PUEKS dikenakan pula terhadap konversi valuta asing ke rupiah di bidang invisible,
seperti transfer valuta asing, dan penyerahan emas kepada dana devisa atas dasar
Rp 49.203,95 untuk setiap kilogram emas murni.
PUIM, pada hakekatnya, dapat disamakan dengan Tambahan Pungutan Impor (TPI).
Pemungutan PUIM ditetapkan atas dasar c&f (dalam rupiah) dari barang-barang
9
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
impor. Besarnya PUIM ditetapkan 0% untuk barang golongan I, 25% untuk golongan
II, 50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 150% untuk golongan V, dan
200% untuk golongan VI. Penggolongan ini ditetapkan oleh pemerintah. Dengan
pemberlakuan peraturan ini, maka pemerintah menghapuskan kewajiban importir
untuk membayar uang jaminan (prepayment) pada saat mengajukan permohonan
ijin impor kepada bank.
Ketentuan mengenai PUEKS dan PUIM dicabut melalui Perpu No. 32, No. 33 dan No.
34 Tahun 1960 tentang penggunaan mata uang rupiah dalam lalu lintas pembayaran
luar negeri. Peraturan-peraturan ini juga menetapkan untuk ekspor hasil bumi ke
luar Daerah Pabean Indonesia dikenakan bea keluar sebesar 10% dari harga f.o.b
berdasarkan nilai kurs USD 1 = Rp 45.
Barang impor dibagi dua golongan, yaitu golongan I untuk barang-barang penting
bagi perekonomian dan golongan II untuk barang-barang lain yang masih
dibutuhkan. Untuk impor dikenakan TPI menurut kurs USD 1 = Rp 200. Penjualan
devisa oleh bank-bank untuk jasa-jasa tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan dikenakan pajak transfer sebesar 100% dari nilai lawan (dalam rupiah)
terhadap mata uang asing yang bersangkutan menurut kurs dasar rupiah.
Uang beredar pada tahun 1959 dan 1960 meningkat, yaitu Rp 5.518 juta dan Rp
12.953 juta dibandingkan dengan Rp 10.453 juta pada tahun 1958. Pertambahan
tersebut terjadi pada keempat sektor berikut ini (Tabel 1):
Tabel 1
Sektor-Sektor yang Berpangaruh Terhadap Uang Beredar Periode 1958-1960
(Dalam jutaan rupiah)
Sektor 1958 1959 1960
Pada tahun 1959 "sektor luar negeri" memberikan pengaruh terbesar terhadap
jumlah uang yang beredar. Hal ini merupakan pengaruh dari revaluasi kekayaan
emas dan devisen pada Dana Devisien BI dan bank devisen lainnya sebagai akibat
devaluasi 25 Agustus 1959 (USD 1 = Rp 45 dan 1 kg emas murni = Rp 50.510,80).
Apabila mutasi tambahan uang beredar akibat dari penilaian kembali emas dan
devisa tidak turut diperhitungkan maka sumber terbesar dalam tahun 1959 berasal
dari sektor resmi (Rp 8.614 juta). Pertambahan uang beredar juga disebabkan oleh
pemberian kredit kepada perusahaan dan yayasan pemerintah sebesar Rp 5.257
juta, termasuk tambahan kredit kepada perusahaan asing yang dinasionalisasi.
10
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Selama tahun 1959, jumlah uang kartal naik (Rp 6.511 juta), jumlah uang giral
turun (Rp 993 juta), dan jumlah uang beredar secara keseluruhan naik (Rp 5.518
juta). Kenaikan tersebut, di satu sisi, memperbesar permintaan efektif kredit.
Namun, di sisi lain, persediaan barang, baik produksi dalam negeri maupun impor,
tidak bertambah secara seimbang. Akibatnya terjadi kenaikan harga barang-barang
dan biaya hidup.
Pada tahun 1960, jumlah uang giral naik menjadi 29% dari total uang beredar.
Pemberian kredit kepada perusahaan dan yayasan pemerintah bertambah menjadi
Rp 3.327 juta, akibat kebijakan pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas
perusahaan.
Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959 yang dilancarkan oleh pemerintah tidak
dapat menghambat laju inflasi malahan makin mempertinggi laju inflasi. Hal ini
terlihat dari meningkatnya jumlah uang yang beredar pada tahun 1959 dan 1960
meningkat, yaitu Rp 5.518 juta dan Rp 12.953 juta jika dibandingkan dengan Rp
10.453 juta pada tahun 1958. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
kebijakan tersebut tidak efektif.
11
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku
dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu, tentu saja, akan menyebabkan situasi
moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia
pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter,
pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan
uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus
Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp). Bagaimana implikasi pemberlakuan Penpres ini
terhadap situasi moneter Indonesia?
Dalam artikel ini, akan ditelusuri dampak pemberlakuan Penpres No. 27 tahun 1965
tersebut di tengah situasi keuangan pemerintah yang mengalami defisit akibat
membiayai politik konfrontasi dan proyek-proyek mercusuar.
12
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian
perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan permintaan
terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat dengan perubahan-
perubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak
terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang
dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang
diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang
kita berikan kepadanya.
Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan
masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan
cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada
situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan
menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang
akan mempengaruhi aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan
menyebabkan aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang
akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang
secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang
digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah
kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk
menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru
bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres)
No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang
lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp
1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan
kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Kondisi Ekonomi
Besarnya defisit anggaran belanja pemerintah dari tahun 1961 sampai dengan tahun
1965 terus meningkat, masing-masing berturut-turut adalah sebagai berikut: 29,7%
(1961), 38,7% (1962), 50,8% (1963), 58,4% (1964) dan 63,4% (1965) dari jumlah
13
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Krisis Devisa
Krisis devisa yang terjadi sejak tahun 1950-an terus berlanjut hingga periode ini
sebagaimana tecermin pada merosotnya posisi cadangan Dana Devisa mulai
permulaan tahun 1960-an hingga akhir tahun 1965 yang menunjukkan posisi negatif
USD 3 juta pada akhir tahun 1965.
3. Pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia yang telah beredar sebelum
diberlakukannya Penpres No. 27 tahun 1965 dilakukan secara bertahap,
yaitu:
14
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Sebagai kelanjutan dari Penpres No. 27 tahun 1965, diterbitkan Surat Edaran
Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan No. EK/194/C/23/66 tanggal 20
Agustus 1966. Ketentuan itu menginstruksikan kepada semua instansi swasta untuk
menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta
keperluan administrasi keuangannya mulai tanggal 1 Oktober 1966. Ketentuan
tersebut diterbitkan dengan latar belakang bahwa, sejak diedarkannya uang rupiah
baru pada bulan Desember 1965 hingga dikeluarkannya surat edaran ini, uang
rupiah lama dan uang rupiah baru beredar bersama-sama.
Akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya ditetapkan sebesar 1000 kali
uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-barang dalam rupiah baru
menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama.Hal ini menunjukkan bahwa nilai
tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama bergerak antara 1:10. Jadi,
nilai uang rupiah baru hanya dinilai oleh umum kurang lebih 10 kali lebih tinggi
daripada uang rupiah lama.
Peredaran uang pada akhir Juli 1959 mencapai jumlah Rp 33.987 juta, sedangkan
pada akhir Agustus 1959 mencapai Rp 20.999 juta atau turun sebesar Rp 12.988
juta (38,2%) hanya dalam waktu satu bulan. Tetapi, pada akhir Desember 1959
atau hanya empat bulan kemudian, jumlah uang yang beredar sudah mencapai
angka Rp 34.883 juta. Setahun kemudian, pada akhir tahun 1960, jumlah tersebut
telah meningkat menjadi Rp 47.847 juta atau 37% lebih tinggi dari posisinya pada
akhir tahun 1959. Dalam Laporan Tahun Pembukuan 1960-1965, jumlah uang
15
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
beredar terus meningkat setiap tahun dengan persentase yang tinggi hingga
mencapai puncaknya pada akhir tahun 1966, yaitu mencapai Rp 5.164.552 juta.
Tabel 1
Jumlah Pertumbuhan Uang Yang Beredar dan Laju Inflasi
Periode 1959-1966
(dalam jutaan rupiah)
Pertambahan
Tahun M1 *) Pertambahan M1 Inflasi (%)
M1 (%)
1958 29.372 - - 46
Kenaikan inflasi ini selain disebabkan oleh tindakan moneter pada bulan Agustus
1959, juga diakibatkan oleh tindakan moneter kedua, yaitu pengeluaran uang rupiah
baru pada tanggal 13 Desember 1965 dengan Penpres No. 27 tahun 1965. Bahwa
tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena meningkatnya
16
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
17
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah
yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan
simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang.
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah
yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan
simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan
masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus disetorkan kepada
Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya
perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami
kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan
defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa.
Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang
Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan
uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi.
Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan
inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter
ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.
18
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan akibat dari kebijakan sanering, Bank
Indonesia memberikan Kredit Likuiditas bagi bank-bank tersebut.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan akibat dari kebijakan sanering, Bank
Indonesia memberikan Kredit Likuiditas bagi bank-bank tersebut. Sementara itu
untuk menekan inflasi akibat belanja Pemerintah yang menaikkan uang beredar,
Bank Indonesia menerapkan kebijakan berupa pembatasan pagu kredit dan larangan
pemberian kredit bagi sektor-sektor ekonomi tertentu. , namun hasilnya tetap tidak
efektif seperti periode sebelumnya, terutama karena kebijakan-kebijakan tersebut
tidak diimbangi oleh pertumbuhan out-put riil (pertumbuhan ekonomi). Di samping
itu, untuk meningkatkan cadangan devisa, ekspor terus didorong melalui pemberian
insentif ekspor maupun melalui devaluasi Rupiah. Sementara itu pembatasan impor
dilakukan melalui penetapan nilai tukar devisa impor yang lebih tinggi dari pada nilai
tukar resmi.
19
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung
semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor
berbagai jenis barang.
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung
semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor
berbagai jenis barang.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964
tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940
dan Deviezen Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang
No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan
kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun
tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara
menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah
pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui
peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
20
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi
Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan
mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank
Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar
dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang
masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960.
Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum
melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam
ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan
tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob.
Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi
sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan
II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan
beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar
baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat
ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam
pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple
exchange rate system.
21
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi
neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui
pinjaman dana dari luar negeri.
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi
neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui
pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri,
utang luar negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara
blok Timur, seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain
dipergunakan untuk membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga
dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk
konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah
tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan
membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang
berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari
Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5
juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, US-
Eximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni
untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek
listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang
cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari
USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.
22