Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemangkasan nilai mata uang.
Redenominasi biasanya dilakukan ketika kondisi perekonomian negara stabil. Sementara,
sanering ditempuh ketika negara mengalami krisis dan ingin mengurangi peredaran uang di
masyarakat.
Pada dasarnya, sanering adalah tidak beda jauh dengan devaluasi, yang di dalamnya
merupakan suatu wujud kebijakan pihak pemerintah pada suatu negara untuk menurunkan
nilai mata uang agar daya beli masyarakat menjadi menurun.
berlaku mulai tanggal 15 Maret 1950 berdasarkan surat keputusan menteri keuangan,
kebijakan ini dilakukan dengan memotong nilai uang yang bernilai Rp2,5 ke atas hingga nilai
setengahnya.
Penerapannya, uang De Javasche Bank dan NICA pecahan 5 gulden ke atas, digunting
dengan cara benar-benar dipotong dengan gunting tepat di bagian tengahnya menjadi dua.
Guntingan sebelah kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah
dari jumlah semula. Dalam jangka waktu yang ditentukan, guntingan sisi kiri ini harus
ditukarkan ke bank-bank atau tempat-tempat tertentu dengan uang baru.
Sedangkan guntingan yang sebelah kanan, bisa digunakan sebagai alat pinjaman berupa
obligasi, juga bernilai setengah dari nominal semula, dengan bunga 3 persen setahun.
Obligasi ini nantinya akan diganti atau dibeli oleh pemerintah. Dengan kata lain, guntingan
uang bagian kanan dimaksudkan untuk investasi jangka panjang Selain untuk membatasi
peredaran uang, hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan meniadakan mata
uang keluaran Belanda
Pada tahun 1959-1966 Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang dicetuskan
oleh Presiden Soekarno. Hal ini mengakibatkan roda perekonomian juga mengikuti cara kerja
dari sistem ini menjadi sistem ekonomi terpimpin.
Dalam pelaksanaan sistem ekonomi terpimpin terdapat beberapa kebijakan moneter yang
diambil pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian negara pada saat itu yang mulai
kacau akibat inflassi yang semakin tinggi, salah satunya ialah Kebijakan Sanering atau sering
disebut sebagai Kebijakan Gunting Syarifuddin
Kebijakan Sanering merupakan pemotongan nilai mata uang dan nilai tukarnya tanpa
mengubah harga barang di pasaran
Kebijakan Sanering diambil oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi laju
inflasi yang semakin meningkat. Kebijakan Sanering ini diberlakukan dengan keluarnya
Perpu No. 2 dan 3 Tahun 1959.
Pelaksanaan kebijakan ini memberikan dampak bagi semua elemen masyarakat khususnya
masyarakat menengah ke bawah dimana kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat
harga barang yang malah semakin tinggi dengan daya beli masyarakat yang rendah. Hal ini
juga berdampak pada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Terjadi kekacauan ekonomi besar sehubungan dengan masa demokrasi terpimpin ini.
Sehubungan dengan penurunan nilai uang kertas Rp 500,00 dan Rp 1000,00 menjadi
sepersepuluh dari nominalnya dan deposito-deposito bank yang besar jumlahnya dibekukan
tindakan tersebut mengurangi jumlah persediaan uang dari 34 miliyar menjadi 21 miliyar
dalam sekali pukul. (Rickleifs, 2007).
Didevaluasikanya rupiah sebesar 75% pada 25 Agustus 1959 dan deposito-deposito bank
yang besar jumlahnya. Dampak lain dari kebijakan Tindakan Moneter 25 Agustus 1959
adalah, sebagai berikut:
Kebijakan Sanering Mata Uang
Dengan adanya kenaikan tersebut pemerintah kembali melakukan kebijakan sanering yang
dikenal sebagai Tindakan Moneter II pada 13 Desember 1965 dengan harapan mengatasi
hyperinflasi.
Namun ternyata belum dapat mencapai target kebijaksanaan untuk menutup hutang
pemerintah kepada BI dan mengurangu jumlah uang beredar. Dampak lain adalah:
1. Dana yang berhasil dihimpun pemerintah melalui penurunan nilai rupiah (Rp
1000 uang lama) menjadi (Rp 1 uang baru) dengan pajak penukaran 10% tidak
berhasil menutup hutang pemerintah kepada BI pada Triwulan I 1966
kemudian bertambah sebesar Rp 3.180 juta
2. Pada 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga BBM melalui Surat
Keputusan Minyak dan Gas Bumi No 216/M/Migas 1965 sebesar 400% yang
berdampak pada harga bensin perliter semula Rp 250 per liter menjadi Rp
1000 per liter, kemudian minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi 400 per
liter.
3. Namun dengan adanya desakan masyarakat pada 21 Januaru 1966 pemerintah
akhirnya menurunkan harga bensin sebesar 50%. Dengan Surat Keputusan
Minyak dan Gas Bumi No 34/M/Migas/1966 harga bensin kemudian turun
menjadi Rp 500 per liter dan harga minyak tanah dari Rp 400 per liter menjadi
Rp 200 per liter.
4. Tetap terjadi kenaikan harga barang yang mendorong inflasi hingga mencapai
puncaknya pada tahun 1966 sebesar 63,26% Sri Suyanti, Kebijakan moneter:
Sanering dalam menahan laju inflasi pada masa ekonomi terpimpin (1959-
1966), Tesis, Universitas Indonesia, Depok hal 2-4
Kebijakan Sanering Mata Uang
Referensi:
Web:
Jurnal:
Sri Suyanti, Kebijakan moneter: Sanering dalam menahan laju inflasi pada masae konomi
terpimpin (1959-1966), Tesis, Universitas Indonesia, Depok,
Joseph, Redenominasi dan Sanering Mata Uang Rupiah (IDR): Analisis Komparasi, Jurnal
EBBANK, Vol 6. No 1, 2015. Hlm 91 – 95 ).
Buku: