pada masa liberal yang berlangsung pada 1959 sampai 1957, terjadi
pergantian kabinet yang cukup sering. Hal tersebut disebabkan oleh
jumlah partai yang cukup banyak namun tidak memiliki partai
mayoritas mutlak. Pada masa demokrasi liberal, perekonomian
diberikan kepada pasar untuk mengaturnya.
Kebijakan tersebut mengakibatkan adanya ketimpangan sosial antara
pengusaha pribumi dengan pengusaha non-pribumi karena adanya
ketidakmampuan dalam bersaing di pasar.
Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada masa demokrasi liberal,
maka diberlakukan beberapa kebijakan ekonomi. Berikut ini adalah
beberapa kebijakan pada masa demokrasi liberal.
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini diterapkan oleh Syarifuddin selaku menteri keuangan
yang menjabat saat itu untuk memotong nilai uang atau sanering.
Kebijakan ini diterapkan dengan memotong nilai mata uang dengan
nominal Rp 2,50 ke atas.
Kebijakan tersebut diterapkan dengan tujuan untuk menanggulangi
defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar dan mengurangi peredaran
jumlah uang.
2. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.
De Javasche Bank yang mulanya dikuasai pihak Belanda kemudian
dinasionalisasikan oleh pemerintah sehingga menjadi Bank Indonesia.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menaikkan pendapatan dan
menurunkan biaya ekspor.
Nasionalisasi De Javasche Bank ini juga membuat pemerintah
menjadi lebih leluasa untuk menjalankan kebijakan ekonomi dan
moneter.
3. Gerakan Benteng
Kebijakan yang dicetuskan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo
diterapkan untuk melindungi pengusaha Indonesia melalui kredit.
Kebijakan ini juga dijalankan dengan tujuan mengubah struktur
ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.
4. Sistem Ekonomi Ali Baba
Sistem ekonomi yang diinisiasi oleh Menteri Perekonomian Kabinet
Ali I, Mr. Iskaq Cokrohadisuryo, dijalankan dengan tujuan untuk
memajukan pengusaha pribumi. Kebijakan ekonomi ini diberi nama
Ali Baba sbab melibatkan pengusaha pribumi (Ali) dan pengusaha
keturunan Tionghoa (Baba).
Pada program ini pengusaha keturunan Tionghoa diminta untuk
melatih tenaga kerja pribumi. Sebagai imbalannya, pengusaha
keturunan Tionghoa mendapatkan bantuan kredit beserta lisensi dari
pemerintah.
5. Rencana Pembangunan Lima Tahun
Adanya pergantian kabinet pemerintahan yang terus menerus
membuat adanya hambatan pembangunan. Maka dari itu Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional merancang Rencana
Pembangunan Lima Tahun atau RPLT.
Kemudian DPR menyetujui RPLT pada 11 November 1958. Namun
kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan baik akibat adanya resesi
ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa yang memberikan dampak
bagi perekonomian Indonesia.