Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang diambil Menteri
Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke
atas dipotong nilainya hingga setengahnya. Tujuannya, menanggulangi defisit anggaran sebesar
Rp 5,1 miliar. Dengan kebijakan ini, jumlah uang yang beredar bisa berkurang.
Untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1 miliar rupiah, Menteri Keuangan saat itu
Syafruddin Prawiranegara, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU I,
melakukan tindakan pemotongan uang. Kebijakan ini merupakan kebijakan mata uang pertama
kali di Indonesia, sekaligus kebijakan yang membuat banyak pihak terkejut kala itu. Kebijakan
gunting Syafruddin ini berlaku sejak pukul 20.00 WIB tanggal 10 Maret 1950.
Kebijakan ekonomi Gunting Syafruddin tidak hanya memangkas setengah dari nilai mata
uangnya, tetapi juga dengan cara memotong fisik uang kertas tersebut menjadi dua bagian.
Gunting Syafruddin diterapkan untuk menggunting mata uang NICA dan mata uang de Javasche
Bank pecahan 5 gulden ke atas. Nah, untuk guntingan yang sebelah kiri, masih berlaku sebagai
alat pembayaran yang sah. Misal sewaktu membeli sayuran, kita membayarnya dengan uang
guntingan sebelah kiri. Sedangkan yang sebelah kanan, ditukar dengan obligasi negara sebesar
setengah dari nilai semula. Jika nilai uangnya 5 gulden, maka yang ditukar sebesar 2,5 gulden.
Setelah itu, nantinya akan dibayar tiga puluh tahun kemudian oleh negara, dengan bunga tiga
persen setahun.
Kemudian pada 22 Maret 1950 sampai 16 April 1950, bagian sebelah kiri sudah harus ditukarkan
dengan uang kertas yang baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditentukan. Jika lebih dari
tanggal tersebut tidak ditukarkan, maka uang bagian kiri tersebut sudah tidak lagi dapat
digunakan. Di samping itu, kebijakan ini tidak merugikan rakyat kecil karena yang memiliki
uang 5 gulden ke atas, hanya orang kelas menengah atas waktu itu.
Kebijakan Gunting Syafruddin ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara jumlah uang dan
barang yang beredar, sehingga tidak akan terjadi inflasi nantinya. Selain itu, menurut Ki Agus
Ahmad Badaruddin, seorang mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan melihat jika arah
kebijakan ini menyasar pada penggantian mata uang baru.
Namun secara jangka menengah, kebijakan ini tak cukup untuk mengatasi kekacauan ekonomi.
Jumlah uang beredar terus meningkat dan inflasi terjadi lagi. Sedangkan untuk jangka panjang,
Gunting Syafruddin menimbulkan dampak psikologis bagi pelaku ekonomi. Perusahaan-
perusahaan besar dengan modal kuat menimbun barang kebutuhan masyarakat. Ini membebani
rakyat dan merugikan pedagang.
Gerakan benteng
Gerakan Banteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sistem ini dicanangkan oleh Menteri
Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto. Gerakan Benteng
diwujudkan dengan menumbukan pengusaha Indonesia lewat kredit. Sayangnya, program ini
gagal karena pengusaha tak mampu bersaing. Kegagalan ini justru menambah defisit
anggaran dari Rp 1,7 miliar pada 1951 menjadi Rp 3 miliar pada 1952. Program Benteng
melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama
mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan
Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha
pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh
lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari
pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni
1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap
importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap
dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti
dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka. Dibentuknya Kabinet Karya di
bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke
"ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.
Gerakan ini berimbas pada bertambahnya beban keuangan pemerintah sehingga kebijakan
Gerakan Benteng dianggap telah mengalami kegagalan. Sistem Gerakan Benteng mengalami
kegagalan yang disebabkan oleh:
2. Jiwa spekulasi dari pengusaha pribumi dinilai kurang jika dibandingkan dengan
pengusaha asing sehingga pengusaha pribumi sangat bergantung pada pemerintah.
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Kabinet Ali I, Iskaq
Tjokrohadisurjo. Program ini diberi nama Ali Baba karena melibatkan pengusaha
pribumi (Ali) dan pengusaha keturunan Tionghoa (Baba). Lewat program ini, pengusaha
keturunan Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi. Sebagai imbalan, para
pengusaha keturunan Tionghoa akan mendapat bantuan kredit dan lisensi dari
pemerintah. Sayangnya, program ini tak berjalan sesuai harapan. Kebijakan ini bertujuan
memperbaiki perekonomian, sekaligus meningkatkan kondisi ekonomi kaum pribumi.
Pada masa itu kaum pribumi banyak tertinggal dibandingkan kaum non pribumi, keturnan
Eropa, Arab dan China. Karena itu pemerintah berusaha mengatasi kondisi ini dengan
mewajibkan pengusaha non-pribumi untuk bekerja sama dalam perusahaannya dengan
pengusaha pribumi. Selain itu mereka juga diwajibkan memberi pelatihan pada para
pengusaha dan pekerja pribumi. Pemerintah juga memberikan bantuan dengan kredit
lunak kepada pengusaha pribumi.
Banyak pengusaha pribumi mengalihkan usahanya kepada pengusaha non-pribumi.
Selain itu, banyak pengusaha non-pribumi yang hanya “meminjam nama” pengusaha
pribumi untuk mendapatkan kredit pemerintah dan memenuhi kewajiban bekerjasama
dengan pengusaha pribumi.
Finansial Ekonomi
Utang kepada Belanda seperti yang disepakati lewat Konferensi Meja Bundar (KMB),
memberatkan Indonesia. Untuk itu, pada 7 Januari 1956, Indonesia memutuskan
langkah Finansial Ekonomi (Finek). Isinya: Persetujuan hasil KMB dibatalkan Indonesia
keluar dari Uni Indonesia-Belanda Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya. Di sisi lain, pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan-perusahaan itu. Finek adalah kepanjangan dari Finansial Ekonomi. Perjanjian
Finek yang dilakukan antara Belanda dengan Indonesia untuk menyelesaikan masalah
finansial ekonomi antara kedua negara yaitu Belanda dan Indonesia. Perjanjian Finek
terjadi pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap dengan mengirimkan
perwakilan Indonesia yaitu Anak Agung Gde ke Jenewa dan pada tanggal 7 Januari 1959,
tercapai kesepakatan yang merupakan rencana Perjanjian Finek yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan
Hubungan Finek Indonesia dan Belanda didasarakan atas hubungan bilateral
Hubungan Finek didasarkan pada undang-undang nasional, yang tidak boleh
diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Pihak Belanda tidak menyetujui rencana Perjanjian Finek ini dengan tidak
ditandatanganinya rencana Perjanjian Finek sehingga Indonesia mengambil langkah
sepihak. Langkah sepihak yang diambil Kabinet Burhanudin adalah dengan pembubaran
Uni Indonesia Belanda pada 13 Februari 1959 agar Indonesia tidak memiliki keterkaitan
ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut pembubaran Uni Indonesia Belanda,
Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB pada tanggal 3
Mei 1956 yang berakibat banyaknya pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan
Belanda tersebut.
Banyaknya pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya dan banyaknya pengusaha
pribumi yang belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda menyebabkan
ketidakseimbangan berupa minimnya pembangunan infrastruktur diluar Jawa sehingga
tingginya urbanisasi, pengelolaan fiscal APBN yang tidak sehat, pengawasan kegiatan
sector finansial yang lemah.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) dengan tujuan pembangunan dapat berjalan sesuai
kerangka yang disepakati. Sebab saat itu, kabinet pemerintahan kerap berganti.
Akibatnya, pembangunan berjalan tersendat karena disibukkan persaingan politik. RPLT
disetujui DPR pada 11 November 1958. Pembiayaan Rp 12,5 miliar rencananya akan
digunakan untuk pembangunan selama lima tahun dari 1956 sampai 1961. Namun RPLT
tak berjalan karena depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perekonomian
dalam negeri terkena imbasnya. Ekspor lesu dan pendapatan negara merosot. Selain itu,
gejolak politik membuat pembangunan tak bisa berjalan.
Dalam Repelita I penekanan pemerintah berada pada bidang pertanian dan pembangunan
infrastruktur. Langkah ini dinilai berhasil mengangkat tingkat kemakmuran masyarakat
desa. Menurut rincian yang disarikan dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, 1966-1982 (2005: 387), hasil fisik yang
dicapai selama Repelita I meliputi perbaikan 1.600 kilometer jalan dan tidak kurang dari
380 ribu hektare rehabilitasi sawah. Pencapaian ini mampu mengurangi angka
pengangguran hingga lebih dari 1,4 juta orang setiap tahun. Secara garis besar, Repelita I
disusun menggunakan pendekatan realistis dan pragmatis. Sebagaimana diuraikan dalam
lampiran Surat Keputusan Presiden No. 319 Tahun 1968 tentang Repelita I bahwa
sasaran pembangunan yang hendak dicapai meliputi “pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakjat, perluasaan lapangan pekerdjaan dan kesedjahteraan
rochani.” Selama lima tahun program-program Repelita I berjalan, sasaran pembangunan
paling besar adalah wilayah perdesaan. Selain membangun jalan, waduk, saluran irigasi,
dan rehabilitasi sawah, pemerintahan Soeharto memberikan dana bantuan pembangunan
sebesar Rp100 ribu tiap desa. Agar pelaksanaan pembangunan berjalan seperti yang
diharapkan, para pejabat desa diwajibkan mengikuti program pengawasan dan pelaporan
proyek.
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Di masa Kabinet Juanda, terjadi kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Masalah ini diatasi dengan diadakannya Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar
dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Munap
mengubah rencana pembangunan yang sudah ditetapkan agar lebih sesuai dengan
kebutuhan. Kendati demikian, tetap saja Munap tak mampu menyelesaikan masalah. Ini
karena pemberontakan politik PRRI/Permesta. Kemudian kesulitan pemerintah dalam
menentukan skala prioritas. Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan
PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.Memuncaknya ketegangan
politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi
bersenjata.