Anda di halaman 1dari 2

Kondisi perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1949-1959) terseok-seok.

Hal ini
dikarenakan politik dan perekonomian masih belum tertata dan belum stabil. Keterpurukan ekonomi
pada masa itu membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan besar. Kebijakan yang
dimaksud di antaranya:

1. Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang diambil
Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di
email kamu. Daftarkan email Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas
dipotong nilainya hingga setengahnya. Tujuannya, menanggulangi defisit anggaran sebesar
Rp 5,1 miliar. Dengan kebijakan ini, jumlah uang yang beredar bisa berkurang.
2. Gerakan Benteng
Gerakan Banteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sistem ini dicanangkan oleh Menteri
Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto. Gerakan Benteng
diwujudkan dengan menumbukan pengusaha Indonesia lewat kredit. Sayangnya, program
ini gagal karena pengusaha tak mampu bersaing. Kegagalan ini justru menambah defisit
anggaran dari Rp 1,7 miliar pada 1951 menjadi Rp 3 miliar pada 1952.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada 1951, pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Bank
milik Belanda itu dijadikan sepenuhnya bank milik Indonesia untuk menaikkan pendapatan,
menurunkan biaya ekspor, dan menghemat secara drastis. Sebab sebelumnya, operasional
De Javasche Bank masih membutuhkan persetujuan dari Belanda. Dengan nasionalisasi bank
milik Belanda, pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan
moneter.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Kabinet Ali I, Iskaq
Tjokrohadisurjo. Program ini diberi nama Ali Baba karena melibatkan pengusaha pribumi
(Ali) dan pengusaha keturunan Tionghoa (Baba). Lewat program ini, pengusaha keturunan
Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi. Sebagai imbalan, para pengusaha keturunan
Tionghoa akan mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah. Sayangnya, program
ini tak berjalan sesuai harapan
5. Persaingan finansial ekonomi
Persaingan Finansial Ekonomi Utang kepada Belanda seperti yang disepakati lewat
Konferensi Meja Bundar (KMB), memberatkan Indonesia. Untuk itu, pada 7 Januari 1956,
Indonesia memutuskan langkah Finansial Ekonomi (Finek). Isinya: Persetujuan hasil KMB
dibatalkan Indonesia keluar dari Uni Indonesia-Belanda Akibatnya, banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya. Di sisi lain, pengusaha pribumi belum mampu
mengambil alih perusahaan-perusahaan itu.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang Rencana Pembangunan
Lima Tahun (RPLT) dengan tujuan pembangunan dapat berjalan sesuai kerangka yang
disepakati. Sebab saat itu, kabinet pemerintahan kerap berganti. Akibatnya, pembangunan
berjalan tersendat karena disibukkan persaingan politik. RPLT disetujui DPR pada 11
November 1958. Pembiayaan Rp 12,5 miliar rencananya akan digunakan untuk
pembangunan selama lima tahun dari 1956 sampai 1961. Namun RPLT tak berjalan karena
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perekonomian dalam negeri terkena
imbasnya. Ekspor lesu dan pendapatan negara merosot. Selain itu, gejolak politik membuat
pembangunan tak bisa berjalan.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Di masa Kabinet Juanda, terjadi kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Masalah ini diatasi dengan diadakannya Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Munap mengubah rencana pembangunan yang sudah ditetapkan agar lebih sesuai
dengan kebutuhan. Kendati demikian, tetap saja Munap tak mampu menyelesaikan
masalah. Ini karena pemberontakan politik PRRI/Permesta. Kemudian kesulitan pemerintah
dalam menentukan skala prioritas.

Anda mungkin juga menyukai