Anda di halaman 1dari 12

Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin

Pada dasarnya tujuan pemerintah Indonesia menjalankan prinsip ekonomi


terpimpin ialah mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Dalam
pelaksanaannya kebijakan ekonomi terpimpin berubah menjadi sistem yang
bernama “Sistem Lisensi”. Dalam sistem ini orang-orang yang dapat
melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor hanyalah orang-orang
yang mendapat Lisensi atau ijin khusus dari pemerintah.

Pada masa Kabinet Djuanda pada tahun 1958, pemerintah membuat sebuah
undang-undang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian untuk
meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Badan ini dinamakan Dewan Perancang
Nasional yang dipimpin oleh Mohammad Yamin sebagai wakil kepala
menteri . Adapun tugas dari Dewan Perancang Nasional tersebut adalah :

1. Mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional


Indonesia yang berencana dan bertahap.
2. Mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan
tersebut.

Tugas dan bidang kerja badan ini secara tegas ditetapkan dalam Undang-
Undang No. 80/1958, 19 Januari 1958, serta Peraturan Pemerintah
No.2/1958. Pada 26 Juli 1960 dikeluarkanlah sebuah susunan kebijakan
perekonomian yang dinamakan Rancangan Dasar Undang-Undang
Pembangunan Nasional Sementara Berencan Tahapan tahun 1961-1969.
Rancangan kebijakan ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui TAP No.
2/MPRS/1960.

 Pembentukan Badan Perancang Pembangunan


Nasional (Bappenas)
   Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus
1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tugas Depernas :

1. Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional


yang berencana
2. Menilai Penyelenggaraan Pembangunan

Hasil yang dicapai :

1. Dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar


Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana
tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
2. Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan
dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan
prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan.
3. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama
Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Tugas Bappenas :

 Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik


nasional maupun daerah.
 Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan.
 Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.

 Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)


Tujuan dilakukan Devaluasi :

1. Guna membendung inflasi yang tetap tinggi


2. Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
3. Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan
keputusannya mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai
berikut.

 Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50


 Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
 Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000

Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan


ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para
pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya
ketentuan keuangan tersebut.

Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang
menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka
tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena :
Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat
pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
Pengambilalihan perusahaan  Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi
oleh tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI
sedang mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.

 Kenaikan laju inflasi


Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :

1. Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami


kemerosotan.
2. Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.
3. Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.
4. Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.
5. Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna
penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
belanja tidak berhasil.
6. Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai
keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh.
7. Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.

Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:

 Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam


melakukan pengeluaran.
 Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti
GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO
(Conferenceof the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah
untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.

Dampaknya :

1. Inflasi semakin bertambah tinggi


2. Harga-harga semakin bertambah tinggi
3. Kehidupan masyarakat semakin terjerpit
4. Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai
kekeurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa.
5. Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
6. 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan
saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi
dengan Malaysia dan negara-negara barat.

Kebijakan pemerintah :
Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah
dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga
menambah berat angka inflasi.
13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan
menjadikan uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.

Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :


Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama
akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat
lebih tinggi dari uang rupiah baru.

Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan


menyebabkan meningkatnya angka inflasi.

 Deklarasi Ekonomi (Dekon)


Untuk mengatasi “Sistem Lisensi “ tersebut presiden mengeluarkan Deklarasi
Ekonomi (DEKON) pada tanggal 23 Maret 1963. Dari deklarasi ini
dikeluarkannya peraturan tentang ekspor-impor dan masalah penetapan
harga. Namun, pada akhirnya DEKON juga tidak berdaya mengatasi kesulitan
ekonomi Indonesia.

Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:

1. Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor


(export drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor
(BE).
2. Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri
sehingga pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf
hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik.
3. Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna
perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi
(DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.

Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang


menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia.

Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana


8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus
1960.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi


Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri.

Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang


bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.

Pelaksanaannya:

1. Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan


masalah inflasi
2. Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia
3. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan
adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-
1962.
4. Beban hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena:

 Tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF)


sebesar US$ 400 juta.
 Adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan
dengan Singapura dan Malaysia dalam rangka kasi Dwikora.
 Politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin
memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.

 Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar


Negeri
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang
lebih 80% penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian
tersebut diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan
untuk mengimpor berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum
dihasilkan di Indonesia.

Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari


bantuan berupa kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan
memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia
mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport tersebut maka akan
digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan dalam
negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan
dari negara yang memeberikan pinjaman kepada Indonesia.

 Kebijakan Lain Pemerintah


a. Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan
Kesatuan Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando
Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)
dalam usaha perdagangan.
b. Peleburan bank-bank negara
Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank
sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres
No. 7 tahun 1965.
Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank
umum.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank
negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara,
Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia.
Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit
dengan tugas dan pekerjaan masing-masing.
Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan
uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.

Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi,


disebabkan karena:

1. Semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi


mengalami penuruan yang disertai dengan infasi.
2. Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi,
tetapi diatasi dengan cara-cara politis.
3. Kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi
diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi).
4. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana
antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya.
5. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil
dari suatu usaha.
6. Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.
7. Kebrangkutan tidak dapat dikendalikan, Masyarakat mengalami
kesulitan hidup, kemiskinan, dan kriminalitas.
Upaya Perbaikan Ekonomi Nasional

Upaya perbaikan ekonomi

Yuk belajar tentang Upaya perbaikan Kondisi Ekonomi!

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi terpimpin,


sebagai awal berlakunya herordering ekonomi. Dimana alat-alat produksi dan distribusi yang
vital harus dimiliki dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara.
Dengan demikian peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin
menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan kemandirian
ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi. Masalah pemilikan aset
nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis
nasional.

Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa demokrasi liberal berusaha
diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang dilakukannya antara lain
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan melakukan sanering mata uang
kertas yang nilai nominalnya Rp 500 dan Rp 1000 masing-masing nilainya diturunkan
menjadi 10% saja. Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959
yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas dewan ini
menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental. 

Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas
yang tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu
perencanaan overall  dan hubungan pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin. Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan nasional
yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan mempertimbangkan
faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan. 

Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah, rohaniah, teknik,


mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul dalam
alam adil dan makmur. Pola Pembangunan Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint
tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola
pembiayaan pembangunan. Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap
pertama dibuat untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede ini
kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960  dan
diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.

Bappenas

Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas Bappenas adalah
menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional
maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan
menilai Mandataris untuk MPRS. Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus
1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang
beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara. 

Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp 500 dan Rp 1000 yang ada dalam
peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100.
Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-
bank yang nilainya di atas Rp25.000 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp
1000 dan Rp 500 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai
Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari 1960.

Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan pembebasan Irian
Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi
ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir
Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati
sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama
dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia. Upaya perbaikan ekonomi lain yang
dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13. 

Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai
politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA.
Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai
strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin Dalam Dekon

Yuk belajar tentang Strategi Ekonomi Terpimpin dan Dekon..

Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri dari beberapa tahap; Tahapan pertama, harus
menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa
imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua
yaitu tahap ekonomi sosialis. Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas
ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan
menghentikan subsidi.

Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir
sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit
terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas
peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh
PKI telah menyerah kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan
peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi
pada konfrontasi dengan Malaysia. 

Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya
terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah satu
penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek
mercusuar, yang lebih bersifat politis daripada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen
Nasional (Monas), pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan
untuk Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo). Kondisi
perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa kredit
(kredit impor) jangka panjang yang harus dibayar kembali setelah satu atau dua tahun. 

Menteri Bank Sentral Yusuf Muda dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai defered
payment khusus untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara
melakukan pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas
kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar. Perusahaan atau perseorangan itu harus
membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan. Walaupun cadangan devisa
menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi,
karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau
mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.

Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai
200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata
uang Rp 1000 (uang lama) diganti dengan Rp1 (uang baru). Tindakan penggantian uang lama
dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang
mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura).

Anda mungkin juga menyukai