Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk
bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara Pemuda
Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon
angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara
tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan
perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan
Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan
untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira
angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat
Indonesia sebuah "negara bebas".
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh
dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk
adat.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh
Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :
1. Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat
pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
2. Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
3. Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang
mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
3. Kenaikan Laju Inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
1. Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami
kemerosotan.
2. Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
3. Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar
4. Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
5. Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
6. Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh
7. Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.Kegagalan-
kegagalan tersebut disebabkan karena:
8. Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam
melakukan pengeluaran.
9. Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO
(Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New
Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya
pada setiap tahunnya.
Dampaknya :
Inflasi semakin bertambah tinggi
Harga-harga semakin bertambah tinggi
Kehidupan masyarakat semakin terjepit
Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan
neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa
Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif
sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara barat.
Kebijakan Pemerintah :
Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka
inflasi.
13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan
uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.
-Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih
tinggi dari uang rupiah baru.
Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan
menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
3. Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam
Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan
bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam
perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.
Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua
tahun.
Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan
pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Pihak Belanda tidak
mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat di
bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu 16
tahun.
Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda
tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua,
lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan
semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan
kekuatan fisik (militer).
Perjuangan jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk :
Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang
memang menjadi haknya.
Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.
Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.
Kesimpulan
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
ARTIKEL PERKEMBANGAN PEMERINTAH PADA MASA ORDE BARU
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat membentuk kesatuan aksi
dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G30S/PKI yang
didalangi oleh PKI, mereka menuntut dilaksanakannya penyelesaian pokitis terhadap mereka
yang terlibat dalam gerkan itu. Kesatauan Aksi yang muncul tersebut antara lain :Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI),Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan lain-
lain.Kesatuan Aksi tersebut tergabung dalam Front Pancasila yang kemudian terkenal dengan
sebutan Angkatan 66. Mereka yang tergabung dalam dalam Front Pancasila mengadakan
demonstrasi-demonstrasi dijalan-jalan raya. Pada tanggal 8 Januari 1966 mereka menuju
gedung Setneg dengan mengajukan peryataan bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan tidak
dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan Aksi yang
tergabung dalam Front Pancasila berkumpul dihalaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan
Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang isinya sebagai berikut:
Dengan Supersemar Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit
terkendali itu. Dengan berkuasanya Soeharto sebagai pemegang tampuk pemerintahan negara
RI sebagai pengganti Presiden Soekarno, maka dimulailah babak baru yaitu sejarah Orde
Baru.
Pada hakikatnya Orde baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara
yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi
terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada masa lampau. Disamping itu juga
berupaya menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan bangsa.
Sebagai jawaban dari Tritura, maka diambil kebijakan sebagai berikut:
Pengukuhan tindakan pengemban Supersemar yang membubarkan PKI dan Ormasnya
pada sidang MPRS dengan Tap MPRS no. IV/MPRS/1966 dan tap MPRS no.
IX/MPRS/1966.
Pelarangan paham dan Ajaran Komunisme/marxisme – Lenimisme di Indonesia
dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966;
Pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum
dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.
Setelah peristiwa G30S/PKI, negara RI dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya
kepemimpinan Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa itu. Sementara itu
parpol-parpol terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, atra
penentang dan pendukung kebijakan Soekarno. Selanjutnya terjadilah situasi konflik yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat situasi konflik antara masyarakat pendukung Orde lama dengan Orde baru semakin
bertambah, DPR-GR berpendapat bahwa situasi konflik harus segera diselesaikan secara
konstitusional. Pada tanggal 3 Pebruari 1967 DPR-GR menyampaikan resolusi dan
memorandum yang berisi anjuran kepada ketua Presidium kabinet Ampera agar segera
dilaksanakan SI MPRS.
Pada tanggal 20 Pebruari 1967, Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
Soeharto. Penyerahan kekuasaan tersebut dikukuhkan didalam SI MPRS. MPRS dalam tap
No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari soekarno dan
megangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Dengan adanya tap MPRS itu, situasi
konflik yang merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara konstitusional.
Sekalipun situasi konflik berhasil diatasi, namun kristalisasi Orde Baru belum selesai. Untuk
mencapai stabilitas nasional diperlukan proses yang baik dan wajar agar dapat dicapai
stabilitas yang dinamis, yang mendorong dan mempercepat pembangunan. Proses ini dimulai
dari penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Usaha penataan kembali kehidupan politik ini dimulai pada awal tahun 1968 dengan
penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan
mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR
terdiri dari wakil-wakil parpol dan golkar. Tahap selanjutnya adalah penyederhanaan
kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dengan cara pengelompokan parpol dan
golkar. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan
pipmpinan parpol-parpol. Hasilnya lahirlah 3 kelompok di DPR yaitu:
Kelompok Demokrasi pembangunan yang terdiri dari PNI, Parkindo, Katolik, IPKI
dan Murba.
Kelompok Persatuan pembangunan yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti.
Organisasi profesi yang terdiri dari organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi
tani dan nekayan, organisasi seniman tergabung dalam kelompok Golkar.
Selanjutnya pemerintah Orde baru memurnikan kembali politik luar negeri yang bebas-Aktif.
Politik Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia
berhasil dicapai dengan ditandatanganinya Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966.
Kemudian pemerintah memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28
September 1966, guna mengembalikan kepercayaan dunia internasional sertah menumbuhkan
saling pengertian yang bermanfaat bagi pembangunan. Disamping itu, untuk mempererat dan
memperluas hubungan kerjasama regional bangsa-bangsa Asia Tenggara, pada tanggal 8
Agustus 1967 Deklarasi Bangkok berhasil ditandatangani. Dengan ini, lahirlah Perhimpunan
Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN).
Perhimpunan ini beranggotakan Indonesia, Muangthai, Malaysia, Singapura dan Filipina.