Anda di halaman 1dari 30

1

Empat Langkah Implementasi Target Costing (Capai Target Margin)


Diantara banyaknya macam metode costing yang lumrah di implementasikan, terutama di lingkungan manufaktur, yang paling bagus sekaligus paling menantangmenurut saya pribadi adalah target costing. Saya katakan bagus karena, disamping bisa menjamin profitabilitas juga sangat cocok diterapkan dalam era persaiangan bisnis yang ketat seperti saat ini. Hanya saja, menerapkan target costing bukan perkara mudah. Melalui tulisan sederhana ini saya ingin memperkenalkan target costingbeserta empat langkah yang harus dilalui untuk mengimplementasikan target costing. Namun sebelum itu, ada baiknya jika kita lihat perbandingan target costing dengan 2 metode costing lainnya, yang selama ini sudah cukup populer, yaitu: Standard Costing dan Activity Based Costing (ABC) system. Lebih dalam mengenai implementasi target costing di lingkungan manufaktur, saya juga akan bahas sedikit mengenai penggunaan konsep Value Engineering untuk mensukseskan target cost dan target margin dalam target costing; apa itu itu value engineering? Apa pernannya dalam target costing? Dan apa wujud konkretnya dalam tataran implementasi. Ini penting, agar pembaca memperoleh gamabaran yang lebih jelas mengenai implementasi target costing secara keseluruhan.

Standard Costing dan ABC System (Sebagai Pembanding)


Di luar target costing, ada 2 metode costing yang menurut saya pribadi cukup bagus untuk diimplementasikan, namun tidak bisa berdiri sendiri, yaitu: standard costing dan ABC system. 1. Standard Costing Seperti namanya, implementasi standard costing di mulai dengan menentukan standard tertentu pada masing-masing komponen cost, misal: Harga raw material (Misal: Rp 20,000/Kg) Jumlah raw material digunakan (Misal: 0.5 kg per satu unit produk) Labor cost (misal: Rp 5000 per satu unit produk) Manufacturing overhead (misal: Rp 9000 per satu unit produk) Dst Setelah barang selesai diproduksi, selanjutnya masing-masing komponen cost dibandingkan antara fakta yang terjadi dengan standard-nya. Bila terjadi perbedaan, selisihnya disebut variance. Di akhir periode manajemen perusahaan bisa mengevalasi berapa variance atas harga raw material misalnya, berapa variance atas jumlah rawa material yang digunakan, berapa variance atas labor cost, dan seterusnya. Sehingga, keunggulan utama dari standard costing adalah: bisa dijadikan alat takar kinerja yang handal. Dari variance-variance yang terjadi, management dapat melihat di wilayah mana efisiensi bisa terjadi dan di wilayah mana pemborosan terjadi di sisi lainnya. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, manajemen perusahaan bisa menentukan strategi yang lebih tepat untuk diterapkan di periode berikutnya. 2. Activity Based Costing (ABC) system Salah satu kelemahan standard costing dan metode-metode lainnya adalah: sulitnya mengendalikan manufacturing overhead. Overhead adalah komponen manufacturing cost yang porsinya cukup besar setelah bahan baku (raw material) dan upah buruh (labor cost). Sudah menjadi fenomena yang lumrahterutama di perusahaan-perusahaan manufakturbahwa: kelompok manufacturing overhead sering menjadi sarang aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah (value-added) bagi produk yang dihasilkan. Itu sebabnya wilayah ini membutuhkan pengawasan yang ekstra ketat dari pihak manajementerutama accounting dan finance.

Sayangnya, secara natural manufacturing overhead sulit ditelusuridalam artian, tidak bisa dihubungkan dengan aktivitas produksi tertentu, sehingga cenderung tidak terkendali. Kendala inilah yang coba diatasi oleh ABC system. Dengan mengimplementasikan Activity Based Costing, secara konseptual manajemen bisa menghubungkan setiap overhead yang timbul dengan aktivitas tertentu di wilayah produksi sehingga bisa menentukan aktivitas mana yang perlu dan tidak perlu terjadi. Jika dikombinasikan dengan Lean System, ABC system dapat dijadikan alat telusur yang ampuh untuk menemukan aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah (non-value added activities) bagi produk yang dihasilkan, sehingga bisa diminimalisir di periode-periode berikutnya. Kedua metode costing ini termasuk cukup sering saya rekomendasikan ke perusahaan-perusahaan. Namun demikian, seperti sudah pernah disinggung di tulisan lain, saya tidak penah berpaku pada satu metode costingkarena masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pertanyaannya: Apa kelebihan target costing jika dibandingkan dengan standard costing, ABC system dan metode costing lainnya? Yuk kita pindak ke paragraph berikutnya

Apa Itu Target Costing?


Baik dalam standard costing maupun ABC system (termasuk metode-metode costing lainnya), cost accountant menghimpun informasi (baca: data) cost setelah produksi berlangsung. Dengan kata lain; menggunakan data historiesberarti juga: cost sudah terjadi baru dianalisauntuk kemudian dijadikan masukan dalam penentuan strategi di periode berikutnya. Itu bukan kondisi yang ideal. Mengapa? Dengan standard costing, misalnya: IYA, manajemen bisa membandingkan antara kenyataan cost yang timbul dengan standard yang ditentukan sebelumnyalalu menemukan variance (dimana efisiensi dan pemborosan terjadi)TETAPI tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah variance tersebut, karena sudah terjadi. Tetap saja variance tersebut menjadi kerugian di periode tersebutsehingga profit yang maksimal idak bisa dijamin. Dengan ABC system (plus Lean System), misalnya: IYA, non-value added activities di wilayah overhead bisa diidentifikasi secara akurat, TETAPI tetap saja tidak bisa mencegah aktivitasaktivitas tersebut, karena sudah terlanjur terjadi. Sami mawon, podo wae, sama saja, sebelasduabelas. Apalagi direct costing yang semuanya berjalan tanpa kendali, sudah pasti manajemen tidak bisa berbuat banyak dalam memaksimalkan profitabilitas perusahaan. Ketidakmampuan mencegah pembengkakan cost (sehingga tidak bisa memaksimalkan profit) adalah kelemahan paling fundamental dalam sistim penentuan cost (metode costing). Kelemahan mendasar inilah yang bisa dijawab oleh target costing. Singkatnya (dan sederhananya): Target costing adalah sistim penentuan cost yang diimplementasikan dengan cara mematok cost tertentusekaligus margin tertentusebelum barang dibuat, bahkan sebelum dirancang. Note: Cost yang ditentukan di awal ini disebut dengan target cost. Sedangkan margin yang diharapkan disebut target margin. Misalnya: PT. JAK produsen ponsel yang fokus untuk memproduksi dan menjual ponsel high-end. Manajemen PT. JAK sadar betul; mereka harus mampu menghasilkan ponsel yang bisa bersaing

di era persaingan ketat seperti saat ini. Untuk itu CFO PT. JAK memutuskan untuk menerapkan target costing. Untuk satu tahun ke depan, PT. JAK berencana untuk membuat 1 model ponsel baru yang diharapkan bisa bersaing di kelasnya. Setelah melalui proses perhitungan, PT. JAK mematok harga Rp 2,250,000/unit dengan target cost Rp 750,000/unit. Selanjutnya semua bagian di PT. JAK harus mematuhi target cost Rp 750,000/unit tersebut, sehingga setelah barang selesai diproduksi cost yang timbul tidak lebih dari Rp 750,000/unit, bagaimanapun caranyasehingga bisa menjamin tingkat profitabilitas yang mereka harapkan bisa tercapai. Pertanyaannya: Darimana PT. JAK tahu harga jual ponsel mereka adalah Rp 2,250,000/unit? Darimana PT. JAK tahu kalau cost pembuatan ponsel baru mereka adalah Rp 750,000/unit? Bagaimana caranya PT. JAK bisa memastikan cost produksi ponsel mereka tidak lebih dari Rp 750,000/unit? Kita pindah ke paragraph berikutnya.

Empat Langkah Utama Implementasi Target Costing


Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, berikut adalah empat langkah utama untuk menerapkan target costingyang dipimpin oleh seorang cost accountant: Langkah-1. Riset Pasar Dalam metode costing lain, proses berjalan sbb: merancang produk/bikin produk ===> costing ==> jual barang pada harga jual tertentu. Target costing mengalir kea rah sebaliknya. Yang pertama dilakukan justru menentukan harga jual. Untuk mengetahui harga jual, bagian riset dan pengembangan (research & development), dikomendoi oleh seorang cost accountant, perlu melakukan riset pasarsebelum merancang suatu produkuntuk menentukan berapa harga jual yang bisa memberikan profit yang diharapkan tetapi bisa bersaing di pasaran. Contoh: Melanjutkan contoh kasus PT. JAK sebelumnya. Sebelum melakukan perancangan ponsel yang akan dibuat, bagian research and development bersama-sama dengan cost accountant-nya PT. JAK perlu melakukan riset pasar untuk mengetahui fitur ponsel seperti apa yang diharapkan oleh calon pembeli (baca: pasar) untuk kelas high-end, berapa harga jual yang tepat agar nantinya ponsel tersebut bisa bersaing di kelasnya. Ada 2 macam riset yang harus dilakukan, yaitu: Riset Konsumen (Customer research); dan Riset Pesaing (Competitor research) Setelah kedua riset itu dilakukan, manajemen perusahaan diharapkan bisa mengetahui 2 informasi utama berikut ini: Permintaan pasar (customers requirements) Fitur Produk (products features) Permintaan pasar yang dimaksudkan di sini adalah jenis/model barang yang kemungkinan besar dibeli oleh customer beserta harga yang diharapkan. Dalam contoh kasus PT. JAK tadi, melalui riset team menemukan bahwa untuk ponsel high-end customer bersedia membeli pada harga Rp 2,250,000/unit. Sedangkan fitur produk adalah fungsi dan dayaguna produk (untuk ponsel misalnya: apakah memakai camera 8 megapixel atau 5 megapixel, apakah touchscreen atau qwerty keypad, apakah ada aplikasi kerja atau tidak, ada pushmail atau tidak, dan lain sebagainya).

Khususnya di fitur produk, team harus bisa mengelaborasikan riset sedemikian rupa, sehingga mereka tidak sekedar tahu fitur apa saja yang diharapkan oleh calon pembeli, tetapi juga tahu nilai yang bisa diterima (perceive value) dari masing-masing fitur. Dengan demikian maka nantinya mereka bisa melakukan perubahan-perubahan tertentu (mengurangi, menambahkan, mengganti, mengkombinasikan, mengubah) pada fitur tertentu jika diperlukan, guna mencapai target margin dan cost yang diharapkan. Langkah-2. Menentukan Cost dan Margin Yang Paling Memungkinkan Anak-anak MBA menyebut ini dengan istilah Margin and Cost Feasibility. Di langkah kedua ini, cost accountant mengurangkan harga jual (Rp 2,250,000/unit pada contoh kasus PT JAK) dengan target margin yang diharapkan (Rp 1,500,000/unit dalam contoh kasus di atas). Sehingga sampai pada perhitungan target cost atas produk yang akan dibuat (dan dijual), yaitu: Harga Jual Target Margin = Rp 2,250,000 1,500,000 = Rp 750,000. Note: Pada prakteknya, untuk tiba pada titik target margin dan target cost yang paling ideal, bukan sesuatu yang mudah dicapai. Hambatan yang paling utama adalah sulitnya mencapai target cost yang di satu sisinya tidak membuat harga jual meningkat dan di sisi lainnya sungguh-sungguh bisa diwujudkan dalam proses produksi masal nantinya. Tentunya perusahaan tidak ingin setelah produksi berjalan, ternyata target cost tidak bisa dicapai karena memang sungguh-sungguh tidak memungkinkan. Lagipula, bisa saja manajemen (terpaksa harus) memutuskan untuk menjual barangnya jauh dibawah harga jual hasil risetuntuk tujuan tertentu: untuk fenetrasi pasar misalnya, yang penting produk bisa diterima oleh pasar dahulu. Perubahan-perubahan strategi ini, harus tercermin dalam penentuan target margin dan target cost. Dalam keputusan menurunkan harga misalnya, manajemen harus memilih apakah akan: menurunkan-targetmargin-dengan-tetap-mempertahankan-target-cost ATAU mempertahankan-target-margin-denganmenurunkan-target-cost. Keputusan-keputusan ini memerlukan proses tertentu yang disebut dengan Value Engineering di langkah-3 berikut (saya juga akan bahas secara mengkhusus, sebentar lagi). Langkah-3. Mencapai Target Margin dan Target Cost - Seperti telah disampaikan di atas, hingga langkah-2, cost accountant dan para engineer besar kemungkinanya belum bisa menghasilkan rancangan produk yang bisa mencapai titik target margin dan target cost yang ideal. Dalam banyak kasus, rancangan produk yang dihasilkan (sampai di langkah-2) masih menimbulkan cost yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan target cost. Artinya, besar kemungkinan target cost (dan target margin) tidak akan tercapai, bila proses produksi sudah benar-benar berjalan nantinya. Di langkah ketiga inilah team mengelaborasikan kembali hasil riset dan perhitungan target cost dan target margin yang sudah mereka lakukan di langkah-1 dan 2. Untuk maksud tersebut mereka bisa mengaplikasikan suatu konsep yang disebut dengan value engineering (yang akan saya bahas secara khusus, sebentar lagi). Tujuan utama dari value engineering adalah melakukan berbagai upaya rekayasa kembali (pada rancangan produk) untuk menurunkan costsehingga bisa menghasilkan produk yang nantinya menelan cost tidak lebih besar dari target cost. Konkretnya, di langkah-3 ini, team perlu: Membuat rancangan produk yang manufacturing costnya lebih rendah; Mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang dianggap tidak memberi nilai tambah pada produk yang akan dihasilkan; Membuat rencangan produksi masal yang durasinya lebih pendek; Mencari sumber bahan baku dan bahan penolong yang harganya lebih murah;

Mencari komponen atau sparepart alternative yang harganya lebih Mengubah/mengganti/mengurangi fitur produk yang akan dihasilkan (bila terpaksa); Dan lain sebagainya. Proses ini juga perlu disertai dengan konfirmasi (misalnya berupa quotation kalau perlu kontrak) dari pihak supplier, sub-contractor (outsource)termasuk pegawai dalamyang akan terlibat dalam proses produksi nantinya, untuk memperoleh kepastian cost (agar tidak ada perubahan lagi di tengah jalan). Proses di langkah-3 ini mungkin memakan waktu berminggu-minggu bahkan mungkin berbulan-bulan. Tantangan yang tak kalah beratnya adalah mengejar capaian target cost sebelum waktu untuk melakukan proses rekayasa berakhir. Pertanyaan: Bagaimana jika sampai diakhir batas waktu team belum berhasil mencapai target cost yang telah ditetapkan? Ada 4 kemungkinan: Kemungkinan pertama: target cost dinaikan, target margin tetap, harga jual dinaikan; atau Kemungkinan kedua: target cost dinaikan, target margin diturunkan, harga jual dipertahankan. Kemungkinan ketiga: kombinasi pertama dengan kedua Kemungkinan keempat: rencana dibatalkan Bagaimanapun juga, perusahaan sudah terlanjur menghabiskan waktu dan sumberdaya untuk menjalankan langkah-1 hingga langkah-3, sehingga kemungkinan untuk membatalkan rencana (proyek), biasanya sangat kecil. Adakalanya perusahaan berani meneruskan rencana mereka meskipun target cost yang berhasil dicapai melalui value engineering baru 80% (belum mencapai titik ideal). Tentunya dengan berbagai pertimbangan, terutama sekali kemungkinan speed produksi yang masih bisa digenjotseiring dengan keterbiasaan para pekerja dalam mengerjakan barang yang baru mereka produksi (bahasa jawanya kulino), dan berbagai kemungkinan bagian yang masih bisa diefisienkan dalam proses produksi masal nantinya. Note: Mulai dari langkah-1 hingga 3 ini, proses masih berjalan di wilayah research & development (R&D) dengan panduan ketat dari cost accountant (accounting), belum masuk ke wilayah produksi. Saat keputusan untuk meneruskan rencana telah diambil (entah karena sudah mencapai target margin dan target cost ATAU baru mencapai 80%), maka proses sudah berpindah ke wilayah produksi. Di wilayah produksilah kekurangan 20% dari target margin dan target cost akan dikejar lagi, sehingga target cost dan target margin nantinya benar-benar tercapai hingga 100%. Kita lanjut ke langkah-4. Langkah-4. Implementasi Perbaikan Yang Berkesinambungan - Terlepas apakah target margin dan target cost sudah tercapai di proses perancangan produk atau belum, perbaikan yang berkesinambungan disepanjang alur proses produksi masal tetap diperlukan. Jika target margin dan target cost belum tercapai (dalam proses perancangan produk), maka di proses produksi masal inilah harus dikejar. Bagian produksi harus berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai target margin dan target cost yang diharapkan, melalui perbaikan yang berkesinambungan di sepanjang proses. Dalam situasi seperti ini, cost accountant melakukan pemantuan ketat terhadap proses produksi terutama terhadap cost yang timbul (mulai dari pemesanan bahan baku, proses pengerjaan barang, finishing, hingga proses packaging.) Cost accountant perlu memberi panduan, saran dan masukan kepada production dept agar mereka bisa mencapai target cost yang ditetapkan. Teknik manufaktur yang dikenal ampuh untuk melakukan perbaikan (sekaligus penurunan cost) secara berkesinambungan saat ini, adalah Keizen dan Lean System

Keizen misalnya, melakukan perbaikan berkesinambungan dengan tahapan sebagai berikut: Improvement Planning -> Implementasi -> Improvement Evaluation Hasil evaluasi dijadikan improvement planning berikutnya, lalu diimplementasikan, akhirnya dievaluasi lagitentunya hasil evaluasi ini diharapkan jauh lebih baik dibandingkan hasil sebelumnya. Demikian terus berputar, hingga target yang diharapkan tercapai. Capian target margin dan target cost juga bisa dicapai dengan mengadopsi prinsip yang sama (continuous improvement). Lean system, sedikit berbeda. System ini khusus berfokus pada usaha-usaha untuk meminimalisir aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah pada poduk yang dihasilkan. Dengan lean system, perusahaan dapat menekan cost tanpa mengorbankan kualitas produk yang dihasilkan (karena yang dihilangkan hanya aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah). Kombinasi Keizen dan Lean System, menurut pengalaman saya, bisa menekan cost minimal hingga 20%dalam perusahaan manufaktur yang tergolong sudah cukup efisien. Pada perusahaan manufaktur yang tergolong masih jauh dari kategori efisien, saya yakin, bisa menekan cost hingga 50%. Itu sebabnya, untuk capaian target margin dan target cost yang belum mencapai 100% di proses perancangan, sangat saya rekomendasikan untuk mengadopsi Keizen dan Lean System. Tanpa itu, continuous improvement akan sulit dicapai. Secara keseluruhan, jika target costing bisa diimplementasikan dengan baik, hampir bisa dipastikan; profitabilitas yang diharapkan oleh perusahaan bisa dicapai dengan tingkat kesuksesan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode lain. Dengan target costing, perusahaan hanya akan memproduksi barang yang sudah pasti ada peminatnya, harga yang disesuaikan dengan kesediaan konsumen membayar, dan dengan profit margin yang nyaris pasti. Terlebih-lebih jika diterapkan bersamaan dengan implementasi Keizen dan Lean System, sudah pasti tingkat profitabilitas yang diharapkan bisa tercapai. Tentu. Menerapkan target costing bukan perkara mudahmembutuhkan skill yang cukup, keseriusan, komitmen dan sumberdaya yang relative lebih besar jika dibandingkan dengan metode lain. Begitu juga dengan continuous improvement (melalui Keizen dan Lean System), bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Seperti sudah saya janjikan di awal tulisan, saya akan masuk sedikit lebih dalam ke konsep value engineering, sehingga pembaca memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenai implementasi target costing (tidak sekedar teori-teori belaka). Implementasi Value Engineering Untuk Mensukseskan Target Costing Topik ini sesungguhnya sudah mengarah ke manajemen terapan (bukan akuntansi manajemen lagi). Ya, bisa dibilang ini topik-topiknya anak MBA (bukan orang akuntansi murniyang biasanya lebih sering berkutat diseputaran laporan keuangan, audit dan pajak.) TETAPI, sangat penting untuk diketahui oleh mereka yang ingin tahu tentang target costing hingga ke tataran implementasi, termasuk para akuntan. Di JAK, kita tidak hanya belajar tentang akuntansi keuangan, standar akuntansi dan pajak, tetapi juga belajar tentang akuntansi manajemententu saja termasuk akuntansi biaya. Tidak hanya sebatas mengetahui konsep dan teorinya, tetapi mencoba memahami konsep dalam tataran pelaksanaan. Yang tidak tertarik, silahkan berhenti sampai di sini. Yang tertarik, yuk kita masuk ke esensi dari value engineering (mudah-mudahan ada manfaatnya). Aslinya, value engineering adalah metode (yang digunakan oleh para engineer perancang/designer) untuk meningkatkan value suatu produk, dengan mengilangkan fitur-fitur (dan aktivitas-aktivitas produksi terkait) yang tidak memberi nlai tambah. Nah, di sisi lainnya, para cost accountant sesungguhnya bisa menggunakan (baca: mendompleng) metode ini untuk usaha-usaha mengejar target penurunan cost. So, menurut versi cost accountant:

Value engineering adalah serangkaian cara untuk menekan costselama proses perancangan/engineering dan sampling suatu produksehingga bisa menghasilkan produk yang nantinya bisa diproduksi dengan cost yang sungguh-sungguh paling efektif. Rangkaian cara tersebut (tentunya berbeda dengan value engineering aslinya), saya kemas dalam bentuk pertanyaan-petanyaan sebagai berikut: Adakah suatu proses (atau langkah tertentu) yang bisa dikurangi atau dihilangkan samasekali? Langkah ini memerlukan review semua aktivitas produksi dalam semua tahapan, untuk melihat apakah ada langkah (misalnya pemeriksaan kualitas di tengah-tengan proses yang sedang berjalan) yang tidak menghasilkan nilai tambah pada produk. Jika ada, dengan menghilangkan langkah ini otomatis biaya langsung yang terkait atau overhead yang berhubungan dengan langkah ini, tidak terjadi. Apakah kekuatan atau daya tahan bisa dikurangi? Adakalanya suatu produk dirancang sedemikian kokoh dan kuat, melebihi kewajaran. Misalnya: membuat produk ponsel yang tahan jatuh adalah bagus, tetapi mungkin tidak perlu membuat ponsel yang bisa tahan jatuh dari atas gedung berlantai 25sebab kemungkinan ponsel jatuh dari lantai ke-25 mencapai lantai dasar adalah nyaris tidak mungkin. Sehingga tidak perlu menggunakan material setebal 2 inch, cukup hanya 0.25 cm misalnya. Sebelum memutuskan untuk melakukan pengurangan, tentunya perlu melakukan ujicoba-ujicoba yang cukup dan layak, sehingga tidak sampai di bawah standar kualitas yang seharusnya. Apakah ada aspek desain produk yang bisa lebih disederhanakan? Cara ini dimaksudkan untuk merancang produk yang menggunakan jumlah sparepart yang lebih kecil atau raw material yang lebih sedikit. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa, desain yang lebih sederhana membutuhkan proses perakitan (assembling) yang lebih mudah, lebih cepat, sekaligus dengan raw material dan sparepart yang lebih sedikit. Disamping itu, dengan lebih sedikitnya sparepart yang harus dibeli otomatis akan mengurangi overhead terkait dengan proses pembelian dan pemeliharaan sparepart tersebut. Akan tetapi pengurangan jumlah sparepart secara ekstrim bisa jadi menimbulkan cost perakitan yang lebih besarjika terpaksa menggunakan sparepart yang dirancang secara khusus misalnya. Apakah produk bisa dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi lebih mudah diproduksi dan dirakit? Di dunia engineering ini dikenal dengan istilah design for manufacture and assembly (DFMA). Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah produk yang hanya bisa dibuat dan dirakit dengan cara tertentu. Sebagai ilustrasi: bayangkan bentuk catridge toner mesin photocopy yang dirancang sedemikian rupa sehingga hanya bisa dimasukan dari sisi depan saja. Bila ada sesorang yang memasukan cartridge dari sisi belakang maka cartridge tidak akan bisa masuk. Dengan mengadopsi metode ini, suatu sparepart hanya akan bisa dirakit dengan cara tertentu. Jika ada operator melakukan perakitan dengan cara yang salah maka tidak akan bisa. Hal ini bisa mengurangi potensi salah rakit. Barang yang berhasil dirakit sudah pasti terpasang dengan benarsehingga tidak akan ada cost yang keluar karena harus membongkar barang salah rakit dan merakit ulang. Adakah sparepart atau komponen produk yang bisa diganti dengan komponen yang harganya (atau harga raw materialnya) lebih murah? Khusunya di wilayah sector industri yang berbasis teknologi (eletronik misalnya), hal ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena nyaris tiap bulan atau tahun selalu ada supplier yang berhasil memproduksi komponen substitusi dengan harga yang lebih murahtanpa menurunkan kualitas. Tetapi perlu diwaspadai bahwa, penggantian suatu komponen sangat mungkin memerlukan penggantian komponen lain yang berhubunganyang bisa jadi justru membuat cost jadi meningkat. Adakah langkah proses produksi yang bisa dikombinasikan? Jika ada, maka sangat mungkin 2 langkah yang bisa dikombinasikan sesungguhnya bisa dikerjakan oleh satu orang operator saja di

satu lokasi secara bersamaan. Hal ini tentu saja bisa mengurangi labor cost, sekaligus mengurangi konsumsi waktu pemindahan barang dari seorang operator di suatu lokasi ke operator lain di lokasi lainnya. Pendekatan lain yang bisa diterapkan selama proses value engineering (akan tetapi sering tidak terpikirkan oleh para cost accountant) adalah: Melibatkan supplier-supplier utama/besar dalam usaha menurukan cost. Mengapa pendekatan ini bagus? Karena sangat mungkin justru supplierlah yang lebih tahu mengenai alternative cara untuk memperlakukan suatu sparepartkarena mereka lebih memahami karakter sparepart yang mereka jual. Lain daraipada itu, mungkin supplier bisa membuat komponen yang mereka rancang secara khusus guna memenuhi kebutuhan yang diharapkandengan cost yang lebih rendahsehingga perusahaan juga bisa membeli dengan harga yang lebih murah. Meskipun target margin dan target cost tidak membutuhkan langkah value engineering secara penuh, ada baiknya perusahaan menjalankan proses value engineering secara penuh. Mengapa? Sebab proses value engineering secara penuh sering menghasilkan penurunan harga yang lebih banyaksehingga produk menjadi memiliki daya saing yang lebih tinggi lagi di pasaran, atau perusahaan memperoleh profit margin yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditargetkan. Sulit? Tidak mudah memang. Tetapi bisa dilakukan bila ada skill dan kemauan yang cukup. Target costing hanya berhasil diterapkan jika cost accountant terus-menerus melakukan pengawasan terhadap perkembangan cost yang timbulmulai dari proses perancangan produk hingga proses produksi. Koordinasi yang efektif (sekaligus proaktif) antara bagian R&D, Accounting dan Produksi, adalah kunci utama keberhasilan dalam menerapkan metode target costingtentu saja cost accountant (accounting) lah yang menjadi navigator utama, karena mereka yang mematok target cost dan target margin sejak di awal. Jika ada keinginan untuk mengimplementasikan target costing, silahkan dipertimbangkan.

6 Rasio Keuangan Terpenting Di Saat Krisis (Bag-1)


Untuk perusahaan yang sedang mengalami krisis, ada beberapa rasio keuangan yang super-penting untuk diawasi dengan ketat. Tak peduli itu krisis lokalan yang hanya dialami oleh perusahaan itu saja atau krisis global, rasio keuangan ini selalu menjadi alat pengukur utama untuk dapat membawa perusahaan keluar dari krisis keuangan. Rasio apa saja itu, bagaimana cara menggunakannya? Mungkin ada yang bertanya. Diantara banyaknya item di dalam kelompok aktiva (assets) dari sebuah laporan keuangan, kas adalah item yang paling sensitif, bahkan terhadap krisis paling kecil sekalipun. Jika perusahaan dianalogikan dengan tubuh manusia, maka kas adalah darahnya perusahaan. Terlebih-lebih ntuk perusahaan bersekala menengah dan besar, tanpa kas perusahaan akan lumpuh total, yang artinya juga mati alias bangkrut. Kekurangan kas saja, sudah cukup membuat operasional sebuah perusahaan menjadi tersendat-sendat. Tidak lancar. Dalam jangka panjang, jika hal itu sering terjadi maka bisa dipastikan kian-lama-keadaan akan kiat sulit. Untuk itu, memastikan perusahaan selalu memiliki cukup kas untuk beroperasi adalah super-penting bagi setiap orang di dalam perusahaan, terlebih-lebih bagi anda yang berada di bagian akuntansi dan keuangan. Ya. Menyimpan cadangan kas memang ide yang selalu baik, dalam kondisi apapun perusahaan memang harus menyimpan cadangan kas untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan mendesak dan mendadak. Akan tetapi, dalam kondisi krisis perusahaan sudah pasti tidak memiliki cadangan kasjika punya tentu tidak disebut krisis, bukan? Lupakan cadangan kas. Dalam kondisi krisis, sebisa mungkin perusahaan harus tetap bisa beroperasi dengan lancar. Untuk memastikan hal itu, mau tidak mau anda harus selalu melakukan pengawalan ketat, agar perusahaan jangan sampai lebih banyak mengeluarkan dibandingkan menerima kas. Tidak

ada cara selain mengawasi tingkat pengembalian kas ke dalam perusahaanseberapa cepat kas keluar berputar dan kembali masuk ke dalam perusahaan (tentunya dengan silisih lebih/untung). Semakin cepat semakin bagus. Teorinya, untuk memastikan tingkat perputaran kas selalu cepat, segala potensi masalah yang dapat menghalangi tujuan itu harus dicegah sedini mungkin, setiap kelambatan harus dikejar. Tetapi dalam prakteknya, melakukan itu bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih-lebih jika perusahaan memeiliki banyak jenis komoditi, banyak pelanggan dengan termin pembayaran yang berbeda-beda. Bagaimana caranya agar perusahaan (khususnya anda yang di bagian akuntansi dan keuangan) dapat mendeteksi potensi masalah itu? Disinilah rasio-rasio tersebut menunjukan keampuhannya. Untuk dapat maksud tersebut, anda bisa menggunakan beberapa rasio keuangan sebagai alat ukur. Apakah anda ingin menggunakan rasio-rasio likuiditas? Jangan! Memang ini ada hubungannya dengan tingkat lukuiditas, akan tetapi secara keseluruhan rasio-rasio liquiditas samasekali tidak dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkat likuiditas perusahaanhanya cocok untuk situasi normal, tidak untuk masa krisis. Untuk masa krisis, anda harus menelisik lebih ke dalam lagitepatnya adalah dengan melakukan pegukuran aktivitas dan likuiditas akun-akun di kelompok aktiva lancar (current assets). Apa saja itu? Mari kita lihat satu persatu.

1. Rasio-rasio Piutang (Accounts Receivable Ratios)


Rasio Piutang (accounts receivable ratios) terdiri dari: rasio perputaran piutang (accounts receivable turnover ratio) dan waktu rata-rata penagihan (average collection period). Tingkat perputaran piutang, memberikan gambaran mengenai berapa kali akun piutang bisa ditagih untuk tahun yang dikukur. Angka itu diperoleh dengan cara membagi nilai bersih penjualan kredit (atau total penjualan saja) dengan angka rata-rata piutang. Sedangkan rata-rata piutang diperoleh dengan cara menjumlahkan saldo awal dengan saldo akhir piutang kemudian dibagi dua. Dalam sistuasi normal, rata-rata nilai putang mungkin dihitung untuk periode tertentutahunan, kuartalan atau bulanan. Tetapi untuk masa krisis, saya menyarankan agar pengukuran dilakukan paling lama seminggu sekali. Hal ini penting agar potensi masalah bisa diketahui lebih awal, dan akhirnya tindaka-lanjut (follow up) bisa dilakukan dengan segera apabila masalah itu tetap terjadi. Secara umum, semakin tinggi nilai tingkat perputaran piutang, semakin bagusartinya perusahaan bisa segera menerima kembali uang yang sempat keluar dari perusahaan. (Catatan Penting: Pada masa normal, rasio perputaran piutang yang terlalu tinggi merupakan pertanda burukmungkin perusahaan menetapkan termin pembayaran yang terlalu ketat, sehingga sangat mungkin akan membuat penjualan menurun karena banyaknya pelanggan yang tidak sanggup memenuhi termin tersebut). Sebelum persahaan berpikir untuk mengubah kebijakan penujualan kredit, ada baiknya perusahaan mempertimbangkan hilangnya peluang perusahaan untk menjaring pelangganpelanggan kecil) Namun demikian, pada masa krisis tentunya pertimbangan dalam catatan di atas menjadi perioritas kedua, setelah tingkat pengembalian kas yang tinggi. Berikut adalah formula Rasio Perputaran Putang: Nilai penjualan bersih / Nilai rata-rata Piutang Katakanlah, nilai rata-rata piutang JAK di tahun 2010 adalah (15 juta + 20 juta) / 2 = 17.5 juta. Dan, tingkat perputaran putang untuk tahun 2011 adalah 80 juta / 17.5 juta = 4.57 kali. Jika rasio perputaran piutang JAK ditahun 2010 adalah 8.16 kali. Itu artinya rasio perputaran piutang JAK di tahun 2011 menurun drastis. Itu artinya ada masalah besar dalam proses penagihan di tahun 2011. JAK perlu mencari tahu lebih lanjut, mesalah apa itu persisnya untuk kemudian diatasi: apakah perlu mengevaluasi

10

kebijakan kredit yang mungkin terlalu longgar, atau ada masalah pada pegawai bagian penagihan, jangan-jangan ada penyelewengan (fraud), dan seterusnya. Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menagih pembayaran piutang dalam satuan hari (days sales in receivables) disebut Waktu Penagihan Rata-rata (Average Collection Period), yang dinyatakan dalam formula sebagai berikut: Waktu Penagihan Rata-rata = 365 / Rasio Perputaran Piutang Jika menggunakan contoh kasus yang sama, maka Waktu Penagihan Rata-rata JAK untuk tahun 2011 adalah 365 / 4.57 = 79.9 hari. Apa ini artinya? JAK butuh waktu rata-rata 80 hari untuk mengubah penjualan menjadi kas. Jika di tahun 2010 waktu penagihan rata-rata JAK hanya 44.7 hari (anggak 45 hari), artinya tingkat perubahan penjualan menjadi kas molor hingga 35 hari jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dengan perubahan drastis ini, hampir bisa dipastikan ada beberapa pelanggan yang mengalami gangguan untuk memebayar, dan perusahaan harus segera menemukan, siapa pelanggan itu persisnya, menggencarkan usaha penagihan dan menahan penyerahan barang selanjutnya, hingga semua tagihan tuntas tertagih.

2. Rasio-rasio Persediaan (Inventory Ratios)


Jika perusahaan memiliki banyak barang persediaan, itu artinya sebagian kas tertimbun dan mengendap dalam bentuk barang persediaan. Lain daripada itu, barang persediaan bukan hanya kas yang mengendap dalam bentuk barang. Barang persediaan perlu dirawat agar tidak mengalami kerusakan, perlu pengamanan yang cukup agar tidak menguap (kecurian). Semua itu adalah beban yang akan semakin membengkak seiring dengan pertambahan jumlah barang persediaan yang disimpan. Tentu. Perusahaan juga perlu menyadari bahwa menyimpan barang persediaan terlalu sedikit juga bisa menjadi potensi masalahterutama akan keteteran ketika menghadapi pesanan yang datang mendadak, memaksakan diri akan menimbulkan pembengkakan biaya di produksi (upah lembur, listrik, dll). Namun demikian, dalam kondisi krisisaya selalu menyarankan agar pertimbangan ini ditempatkan di prioritas kedua. Rasio Perputaran Persediaan dihitung dengan formula sebagai berikut: Rasio Perputaran Persediaan = Harga Pokok Penjualan / Persediaan Rata-rata Sementara itu, Persediaan Rata-rata dihitung dengan cara menjumlahkan saldo awal dengan saldo akhir persediaan, kemudian dibagi dua. Sebagai ilustrasi, anggaplah Rasio Perputaran Persediaan PT. JAK untuk tahun 2011 adalah Rp 50 juta / 47.5 Juta = 1.05 kali. Jika rasio di tahun sebelumnya (2010) adalah 1.26 kali, itu artinya tingkat perputaran persediaan JAK menurun. Penurunan tingkat perputaran ini pertanda bahwa JAK mengalami masalah dalam penjualan. Untuk itu, JAK perlu melakukan penelusuran lebih jauh untuk menemukan sumber masalahnyabarang apa persisnya yang sudah dijual? Mengapa susah dijual? Atau, ada peningkatan jumlah barang cacat yang kemudian ditimbun di gudang? Cacat apa? Atau ada barang penjualan yang dikembalikan oleh pelanggan dalam jumlah banyak? Mengapa dikembalikan? Demikian seterusnya, hingga masalah bisa teratasi. Bisa jadi penurunan rasio perputaran terjadi akibat adanya produk (komoditi) baru yang sedang dikembangkan oleh bagian penelitian dan pengembangan. Untuk masa krisis, saya selalu menyarankan agar perusahaan tidak terlalu agresif dalam melakukan pengembangan-pengembangan. Usia Rata-rata Persediaan juga perlu diukur. Rasio Usia Rata-rata persediaan dapat dihitungn dengan formula sebagai berikut: Usia Rata-rata Persediaan = 365 / Rasio Perputaran Persediaan

11

Sehingga, jika melanjutkan contoh kasus di atas, maka usia rata-rata persediaan JAK untuk tahun 2011 adalah 365 / 1.05 = 347.6 hari. Jika usia rata-rata persediaan JAK tahun sebelumnya (2010) hanya 289.7 hari, itu juga pertanda adanya masalah serius di persediaan barang. Untuk itu perusahaan perlu melakukan investigasi lebih mendalam untuk mengetahui apa masalah yang sesungguhnya, agar dapat dicarikan jalan keluar dengan segera.

Siklus Operasi (Rasio Keuangan Penting Saat Krisis Bag-2)


Mengetahui siklus operasi perusahaan, sangat penting untuk mendeteksi dan mencegah setiap kemungkinan ancaman likuiditas. Sekaligus menjadi piranti utama dalam menyusun grand strategy untuk membawa perusahaan keluar dari krisis dan kembali ke titik likuiditas yang ideal (normal). Menyambung tulisan sebelumnya (6 Rasio Keuangan Terpenting Di Saat Krisis Bag-1). Mengetahui rasio perpuataran piutang dan barang persediaan saja tidaklah cukup. Itu baru sebagian dari keselutuhan analisa rasio keuangan yang wajib dilakukan di masa-masa krisis. Masih ada setidaknya empat rasio keuangan yang perlu diukur. Salah satu rasio terpenting berikutnya adalah Siklus Operasi. Dalam kalimat singkat, siklus operasi (operating cycle) suatu perusahaan adalah jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengkonversikan barang persediaan dan piutang MENJADI kas (masuk). Semakin pendek siklus operasi semakin bagus. Siklus operasi atau operating cycles bisa dihitung dengan cara menjumlahkan usia rata-rata persediaan dengan waktu rata-rata penagihan piutang. Jika dituliskan dalam bentuk formula, maka: Siklus Operasi = Usia Rata-rata Persediaan + Waktu Rata-rata penagihan Piutang (Untuk formula usia rata-rata persediaan dan waktu rata-rata penagihan piutang, silahkan baca bagian-1). Langsung ke contoh kasus: Pada tanggal 1 Januari 2011, JAK memiliki saldo awal barang persediaan (stok) senilai Rp 400,000. Di sepanjang tahun 2011, JAK membeli tambahan barang persediaan senilai Rp 1,900,000. Setelah dilakukan penghitungan fisik, pada tanggal 3 Desember saldo akhir barang persediaan JAK diketahui sebesar Rp 500,000 saja. Berapa siklus operasi JAK untuk tahun 2011 jika waktu rata-rata penagihan piutang untuk tahun yang sama diketahui adalah 42 hari? Untuk menghitung siklus operasi, anda butuh angka Usia Rata-rata Persediaan dan Waktu Rata-rata penagihan. Untuk itu, anda memerlukan 5 langkah perhitungan: Langkah-1. Hitung Harga Pokok Penjualan JAK terlebih dahulu: Saldo Awal Persediaan Rp 400,000 Pembelian 1,900,000 (+) Barang Tersedia Untuk Dijual Rp 2,300,000 Saldo Akhir Persediaan 500,000 (-) Harga Pokok Penjualan 1,800,000 Langkah-2. Hitung Rata-rata Persediaan: = (Saldo Awal Persediaan + Saldo Akhir Persediaan) / 2 = (400,000 + 500,000) / 2 = Rp 450,000 Langkah-3. Hitung Perputaran Persediaan: = Harga Pokok Penjualan / Rata-rata Persediaan = 1,800,000 / 450,000 = 4 hari

12

Langkah-4. Hitung Usia Rata-rata Persediaan: = 365 / Perputaran Persediaan = 365 / 4 = 91.3 hari Oke. Usia Rata-rata Persediaan telah diketahui. Yang terakhir tinggal menjumlahkan angka ini dengan Waktu Rata-rata Penagihan Piutang. Sehingga: Langkah-5. Hitung Siklus Operasi Siklus Operasi = Usia Rata-rata Persediaan + Waktu Rata-rata penagihan Piutang Siklus Operasi = 91.3 hari + 42 hari = 133.3 hari. Dengan demikian, maka waktu yang dibuthkan oleh JAK untuk mengkonversikan barang persedian dan piutang dagang menjadi kas adalah 133 hari (pembulatan ke bawah). Rasio keuangan terpenting berikutnya yang perlu diawasi dengan ketat di masa-masa krisis adalah Siklus Konversi Kas (Cash Conversion Cycle), kadang hanya disebut Siklus Kas (Cash Cycle) saja. Apa itu siklus kas? Saya akan tuliskan di seri berikutnya.

Struktur Modal Perusahaan: Debt Vs. Equity, Mana yang Terbaik?


Kecuali dalam skala kecil, struktur modal perusahaan tidak ada yang murni berasal dari satu sumber saja. Selalu merupakan kombinasi atau bauran antara utang dengan ekuitas (debt and equity)baik itu ekuitas yang terbentuk sendiri dalam perusahaan maupun yang timbul dari penerbitan saham baru. Lalu, yang mana yang terbaiktepatnya, bauran yang seperti apa yang terbaik? Ini bukan keputusan yang mudah memangakan berpengaruh terhadap eksistensi persahaan dalam jangka panjang, termasuk besarnya beban yang akan ditanggung. Struktur modal perusahaan tergantung pada beberapa faktor. Jika sebuah perusahaan membiayai aktivitasnya dengan menggunakan utang (debt), tentunya kreditur mengharapkan bunga dan pokok pinjaman terbayar seperti yang sudah dijanjikan dan disepakati sebelumnya. Gagal melaksanakan kesepakatan tersebut bisa berbuntut hukum. Contoh: Katakanlah sebuah perusahaan baru saja memperoleh pesanan barang untuk diproduksi, dan untuk merampungkan pesanan tersebut persahaan membutuhkan dana Rp 100 milyar. Perusahaan meminjam Rp 100 miliar pada bank, dan berjanji untuk mengembalikan pokok Rp 100 miliar ditambah bunganya 5 milyar dalam satu tahun. Itu artinya perusahaan menggantungkan sumber modalnya pada satu sumber saja, yaitu utang (debt). Perusahaan mulai berproduksi dengan menggunakan dana pinjaman tersebut. Selanjutnya: Jika dari Rp 100 milyar yang diinvestasikan perusahaan dapat menghasilkan uang kembali Rp 120 milyar, berarti Rp 105 milyar dikembalikan kepada bank (kreditur), dan perusahaan menikmati keuntungan 15 milyar. Jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 105 milyar, berarti Rp 105 milyar seluruhnya dibayarkan kepada kreditur, sementara perusahaan tidak dapat apa-apa. Lebih parahnya, jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 100 milyar, perusahaan tetap harus mengembalikan Rp 105 milyar. Artinya perusahaan tombok (rugi) 5 milyar. Jika tidak kreditur tentunya akan membawa kasus tersebut ke wilayah hukum. Dengan demikian (dalam contoh kasus ini), jika perusahaan memutar (menginvestasikan) dana pinjaman tersebut dan memperoleh keuntungan lebih dari biaya atas pendaan (the cost of funds) yang 5 milyar tersebut, maka perusahaan akan menikmati selisih tersebut seluruhnya. Tetapi jika perusahaan hanya mampu menghasilkan keuntungan 5 milyar atau kurang, perusahaan masih harus mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya!

13

Dari pertimbangan inilah ide dasar penerapan financial leverage berawal, yaitu: sistim pendanaan yang bersifat tetap, namun dengan pembayaran yang terbatas: Jika perusahaan memperoleh keuntungan (earning) yang bagus, maka perusahaan dapat menikmati keuntungan sepenuhnya, tentunya setelah pelunasan terhadap pinjaman dan bunga dilakukan. Jika earningnya rendah, maka kreditor masih tetap harus dibayar tetapi tidak sepenuhnya, melainkan hanya sebesar yang jatuh tempo saja. Sisanya masih tetap harus dibayar di periode berikutnya. Gagal membayar pokok dan bunga yang jatuh tempo akan menciptakan suatu kedaan yang disebut dengan FINANCIAL DISTRESS, yaitu: suatu keadaan dimana persahaan terpaksa harus mengambil keputusan dibawah tekanan untuk memenuhi kewajiban legalnya terhadap kreditur. Tentu saja model keputusan seperti ini sangat tidak diharapkan oleh manajemen perusahaan manapun. Di sisi lainnya. Dengan pendanaan ekuitas (equity financing) praktis tidak ada kewajiban legal yang memaksa. Meskipun perusahaan dapat memilih untuk mendistribusikan dana kepada pemilik dalam bentuk dividen tunai, tidak ada persyaratan hukum yang memaksa perusahaan untk melakukan hal itu. Salah satu alat untuk mengukur sejauh mana efektifitas utang digunakan untuk membiayai perusahaan adalah DEBT RATIO, yaitu rasio utang terhadap ekuitas persahaan. Berikut adalah persamaan: Debt Ratio = Debt / Equity (atau Utang dibagi Equitas) (Note: dinyatakan dalam persentase). Ini adalah ukuran relatif utang terhadap ekuitas: semakin besar rasio utang, semakin besar penggunaan utang untuk operasi pembiayaan, relatif terhadap pembiayaan ekuitas. Pengukuran lainnya adalah DEBT-to-ASSETS RATIO (rasio utang-terhadap-aset), mengukur sejauh mana (seberapa besar) aset perusahaan yang dibiayai dengan utang: Debt-to-Assets Ratio = Debt / Total Asset (atau Utang dibagi Total Aset) Ini adalah proporsi utang dalam struktur modal perusahaan, diukur dengan menggunakan nilai buku atau nilai tercatat dari utang dan aset. Ketika mengevaluasi struktur modal persahaan, berfokus pada modal jangka panjang perusahaan, selalu lebih baikyaitu: dengan cara melihat perbandingan antara: bunga utang (interest-bearing debt) perusahaan dengan ekuitas perusahaan atau dengan modalnya. Modal perusahaan adalah jumlah dari bunga utang dan ekuitas. Sehingga, rasio utang (debt ratio) dapat dinyatakan kembali sebagai rasio utang bunga dari perusahaan terhadap ekuitas (Debt-to-equity Ratio), dengan persamaan sbb: Debt-to-equity Ratio = Interest-bearing Debt / Equity (Utang Bunga dibagi Ekuitas). Dan, utang terhadap asset dapat dinyatakan kembali sebagai proporsi bunga utang modal perusahaan: Debt-to-capital Ratio = Interest-bearing Debt / Total Capital (Bunga Utang dibagi total modal). Berfokus pada modal jangka panjang, keputusan modal kerja perusahaan yang mempengaruhi kewajiban lancarseperti utang, misalnyadikeluarkan dari analisis. Komponen ekuitas dari semua rasio-rasio ini sering dinyatakan dalam nilai buku atau carrying value-nya. Namun, ketika mengambil perspektif pasar struktur modal perusahaan, membandingkan modal utang dengan nilai pasar ekuitas, seringkali bermanfaat. Dalam formulasi di atas misalnya, total modal perusahaan adalah jumlah utang bunga dan nilai pasar ekuitas. Oke. Jika nilai pasar dari utang dan ekuitas yang paling berguna dalam pengambilan keputusan, apakah sebaiknya kita mengabaikan nilai buku? Jawabannya: Tidak, karena nilai buku tetap relevan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, perjanjian obligasi seringkali ditentukan dalam hal nilai buku atau rasio nilai buku. Contoh lainnya, dividen dibedakan dari pengembalian modal berdasarkan ketersediaan dari nilai buku laba ditahan. Oleh

14

karena itu, meskipun fokusnya adalah terutama pada nilai pasar modal, pengambil keputusan tetap harus mempertimbangkan nilai buku utang dan ekuitas. Ada kecenderungan bagi perusahaan-perusahaan di beberapa sektor dan industri untuk menggunakan lebih banyak utang daripada yang lain, di mana proporsi aset dibiayai dengan utang dan ekuitas (perhatikan garfik di bawah ini). Perusahaan yang lebih banyak melakukan aktivitas penelitian dan pengembangan (research and development)untuk produk dan teknologi baru, misalnyacenderung memiliki rasio-utang-terhadapasset yang lebih rendah jika dibandingkan perusahaan yang tidak banyak melakukan riset dalam opersionalnya. Perusahaan yang memerlukan investasi yang relatif besar dalam aktiva tetap yang lebih rendah cenderung memiliki rasio utang terhadap aset . Pertanyaan: Mengapa beberapa industri cenderung memiliki perusahaan dengan rasio utang yang lebih tinggi dari industri lain? Dengan memeriksa kondisi kesulitan, kondisi keuangan normal dan perpajaknya, anda dapat melihat beberapa variasi dalam rasio utang antara industri. Dan dengan menganalisis faktor-faktor ini, anda dapat melihat bagaimana nilai perusahaan dapat dipengaruhi oleh struktur modalnya.

Bagaimana Caranya Mengelola Manajemen Risiko?


Ketiadaan manajemen risiko (risk management), tidak diragukan lagi sebagai biang penyebab ambruknya suatu perusahaan. Satu dasawarsa terakhir ini, menejemen risiko mulai dikelola, namun masih dalam kadar yang meraba-raba. Hal itu bisa dilihat dari hadirnya bagian (departemen) khusus yaitu: risk department dan para pejabatanya, namun risiko usaha (bisnis) masih dipandang dalam kisaran yang sangat sempit dan dangkal, sehingga gagal menjalankan fungsinya. Risiko apa yang seharusnya dikelola? Kapan tatakelola harus dijalankan? Bagaimana pengelolaan risiko seharusnya dilakukan? Itulah yang akan saya fokuskan dalam tulisan ini.

Siapa Yang Seharusnya Mengelola Risiko?


Di perusahaan korporasi besar, manajemen risiko (risk management) biasanya dikelola oleh seorang Chief Risk Officer (CRO)yang semakin populer belakangan ini, atau seorang Chief Financial Officer (CFO) yang paling banyak. Di perusahaan korporasi skala menengah biasanya ditangani oleh seorang risk manager, ada juga yang diserahkan kepada seorang financial controller. Di perusahaan kecil malahan tidak ada pejabat resmi yang mengelola, sehingga sering dilakukan oleh pegawai yang menangani akuntansi dan pembukuan. Terlepas siapapun seharusnya, yang jelas risiko di dalam perusahaan harus ada yang mengelola. Dan, siapapun berkecimpung di wilayah akuntansi dan keuangan, wajib hukumnya untuk memiliki pengetahan manajemen risiko, meskipun pada tingkatan dan kadar yang paling minimal.

Risiko Apa Yang Seharusnya Dikelola?


Seandainya, anda kebetulan menangani manajemen risiko? Apa yang seharusnya anda kelolatepatnya, dari risiko apa seharusnya perusahaan dilindungi? Jika anda pikir, manajemen risiko. hanya mengelola risiko-risiko keuangan (terkait dengan nilai tukar, hedging, asuransi, investasi, atau perubahan harga-harga komoditi), anda SALAH besar! hanya mengelola risiko yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar regulasi atau undangundang (yang dikeluarkan oleh pemerintah atau asosiasi), sekalilagi anda SALAH! hanya mengelola risiko akibat kesalahan analisa yang timbul dari ketidakberesan sistim informasi akuntansi dan keuangan (MRP, CRM, dll) atau kesalahan-kesalahan pada data dan laporan keuangan, tolong perbaharui (kalau perlu mutahirkan) pengetahuan anda mengenai manajemen risiko!

15

hanya mengelola risiko operasional dan strategismisalnya: potensi risiko yang timbul akibat kegagalan supplier (vendor) menyediakan barang berkwalitas, atau pelanggan (customer) yang tidak membayar, sekalilagi, anda SALAH besar. Apalagi jika anda pikir manajemen risiko hanya mengelola potensi risiko akibat pengucuran kredir pada debitur yang salah dan potensi ketidaktertagihannya saja, saya sarankan untuk belajar lebih banyak lagi tentang bagaimana mengelola manajemen risiko dengan baik dan benar. Mengelola manajemen risiko, artinya mengelola semua yang saya sebutkan di atas, bukan sebiji-sebiji berdiri sendiri-sendiri, apalagi hanya setengah-setengah. Jika bicara potensi risiko, maka yang dikelola adalah segala potensi risiko yang mungkin timbul akibat KETIDAKPASTIANapapun bentuknya, di sepanjang (dan selebar) operasional serta tata kelola perusahaan pada semua level & wilayah: dari kebijakan hingga implementasi, dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi, dari tukang sapu hingga eksekutif, dari gerbang masuk hingga pagar belakang perusahaan. Berpegang pada pemahaman di atas, maka: Kapanpun para eksekutif perusahaan berdiskusi dan menentukan strategi, mereka harus mempertimbangkan POTENSI RISIKO yang akan timbul dari strategi yang akan dijalankan. Kapanpun para manajer perusahaan mengambil keputusan, mereka harus berpikir tentang POTENSI RISIKO yang akan timbul dari pelaksanaan keputusannya, DAN melakukan sesuatu untuk mencegah potensi risiko tersebut sungguh-sungguh terjadi.

Kapan Risiko Seharusnya Dikelola?


Sejauh yang saya ketahui, di korporasi yang bergerak di bidang keuangan (perbankan dan finance, misalnya), pembahasan dan evaluasi sudah dilakukan secara rutin. Namun masih dijadwalkan pada hari tertentusore hari, yang lebih parah lagi mingguan atau bulanan. Di wilayah lainnya bahkan ada yang dibahas (rencana-evaluasi dibuat) kuratalan. Itupun jika mereka sungguh-sungguh menjalankan apa yang telah dijadwalkan. Jelas ini kasalahan persepsi. Risiko bukan sesuatu yang bisa dikelola sekali dalam setiap kuartal, bulan, atau minggu. Risiko timbul dan hars dikelola sepanjang waktu. Sehingga, pengelolaan risiko seharusnya terintegrasi dengan setiap proses pengambilan-keputusan, penentuan dan implementasi strategi, serta pengelolaan kinerja setiap elemen perusahaan. Lain daripada itu, manajemen risiko mustinya TIDAK dilihat hanya sebatas pemenuhan standar (standard compliance). Perusahaan yang telah melakukan pengelolaan risiko secara efektif dapat menghasilkan kinerja yang optimal, dapat dihandalakan dan berkesinambungan dari waktu-ke-waktu. Mereka siap mengahadapi segala macam kemungkinan kejadianbukan hanya sekedar mencegah dan mengatasi risiko belaka, melainkan dapat mengubah risiko itu menjadi peluang dan keuntungan yang nyata bagi perusahaan.

Bagaimana Risiko Seharusnya Dikelola?


Kerangka kerja Committee of Sponsoring Organizations (COSO) dengan jelas menyebutkan bahwa Enterprise Risk Management (ERM) membantu suatu organisasi (red: perusahaan) untuk mencapai apa yang ingin dicapai dan menghindari kejutan-kejutan yang mungkin timbul disepanjang perjalanan (red: proses). Pada kenyataanya, pelaksanaan manajemen risiko saat ini masih sangat kurang. Pada laporan hasil penelitian pada eksekutif yang diselnggarakan oleh KPMG yang terakhir menunjukan, dua-pertiga dewan direksi perusahaan responden, tidak mampu mendayagunakan informasi risiko yang diperoleh untuk meningkatkan kinerja strategi bisnis mereka. Lalu, bagaimana manajemen risiko seharusnya dikelola? Setiap kali ada pertanyaann seperti itu, saya selalu menganjurkan untuk membaca dan mengimplementasikan isi dari prinsip-prinsip yang terdapat pada standar ISO 31000 (2009) Global mengenai Manajemen Risiko yang menyebutkan:

16

Manajemen risiko menciptakan dan melindungi nilai (value). Manajemen risiko merpakan bagian tidak terpisahkan dari setiap proses yang ada dalam perusahaan (organisasi). Manajemen risiko adalah bagian dari setiap proses pengambilan-keputusan. Manajemen risiko mengatasi ketidakpastian secara ekplisit. Manajemen risiko berdasarkan pada informasi terbaik. Manajemen risiko adalah dinamis, iterative, dan responsif terhadap perubahan. Beberapa perusahaanutamanya yang berskala korporasi telah melakukan telaah manajemen risiko secara berkala (periodic). Akan tetapi: Sudahkan hasil telaah tersebut menjadikan manajemen risiko sebagai bagian dari setiap proses pengambilan-keputusan seperti disarankan oleh COSO? Sudahkan manajemen risiko menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap proses yang baerlangsung dalam perusahaan? Sudahkah praktek manajemen risiko membuat perusahaan menjadi cukup mampu menangani situasi buruk sekaligus mengambil peluang untuk optimalisasi keuntungan perusahaan? Manajemen risiko, seperti dikatakan oleh COSO, membantu perusahaan untuk mencapai apa yang ingin dicapai. Untuk itu, siapapun yang bekerja di wilayah akuntansi keuanganmeskipun tidak bertanggungjawab langsung atas pengelolaan manajemen risikokiranya sangat perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah program manajemen risiko kita sudah cukup dewasa? Sudahkah manajemen risiko menjadi bagian dari setiap proses pengambilan-keputusan pada semua level di dalam perusahaan? Sudahkan kita siap mengatasi setiap keadaan sulit (kritis) sekaligus mengambil peluang dibalik keadaan sulit itu? Seberaap sering kita terkaget-kaget ketika seharusnya tidak? Apakah para pimpinan dan eksekutif sudah memperoleh informasi (terkait risiko) yang cukup untuk dimasukkan ke dalam strategi bisnis mereka ke depan? Langkah apa yang akan kita ambil? Persisnya apa dan kapan dilaksanakan?

Chief Risk Officer (CRO), Penguasa Baru Manajemen Risiko


Chief Risk Officer (CRO) tampil sebagai penguasa baru di wilayah manajemen risiko. Posisi baru yang kian populer dan berkibar di wilayah Keuangan di tahun 2011 ini. Sebelumnya, posisi yang sangat diperhitungkan dalam kancah manajemen risiko adalah Chief Accounting Officer (CAO), lalu pindah ke Chief Financial Officer (CFO), sekarang berpindah lagi ke posisi baru yaitu, Chief Risk Officer (CRO). Lalu, siapa penguasa manajemen risiko yang sebenarnya? Hampir setengah dari eksekutif dalam sebuah laporan hasil penelitian yang dirilis hari ini (30 Juni 2011) menunjukan bahwa perusahaan mereka memiliki Chief Risk Officer (CRO)naik menjadi 45% dibandingkan dua tahun lalu (2009) yang hanya mencapai 33% saja. Peran yang kian meningkat pada golongan eksekutif C-suite membuat CFO kehilangan posisi teratas sebagai penguasa manajemen risiko. Survei terhadap hampir 400 eksekutif dilakukan oleh Accenture (sebuah lembaga konsultasi keuangan di Amerika Serikat sana) pada awal tahun 2011 ini (dirilis hari ini), melaporkan bahwa hanya 14% perusahaan yang menetapkan CFO sebagai pemegang utama tanggung jawab manajemen risiko, hanya setengah dibandingkan dengan 34% dua tahun lalu. Yang mengagetkan dari hasil survei ini, ternyata ada lumayan banyak perusahaan yang menetapkan Chief Executive Officer (CEO) sebagai pemegang tanggungjawab di manajemen risiko. Accenture melaporkan bahwa 23% dari responden survei (yang semuanya dari eksekutif golongan C-suite), mengatakan CEO mereka memiliki tanggung jawab untuk manajemen risiko, nyaris dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 13%.

17

Managing Director risiko-manajemen lini konsultasi Accenture, Steve Culp, dalam press releasenya menyatakan bahwa, perubahan itu sebagian disebabkan oleh kenaikan CRO secara umum akibat perkembangan bisnis yang terus meluas secara global, dan manajemen risiko telah bergerak melampaui compliance dan modeling exercise. Selain itu, para CFO seharusnya tidak merasa kehilangan otoritas apapun. Sebaliknya, sama halnya dengan posisi CFOyang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir di luar angka-angka, posisi CRO pun demikian. Lain Accenture, lain pula Marsh. Survey terhadap para manajer risiko dan eksekutif yang dilakukan oleh Marsh melaporkan bahwa CFO merupakan pemegang tanggung jawab paling penting dalam manajemen risiko. Hampir 30% dari responden melaporkan bahwa Chief Financial Officer merekalah yang menjalankan peranan tersebut. Senada dengan laporan dari Accenture, sebuah survei terbaru dari Deloitte melaporkan bahwa 86% kliennya memiliki CRO atau setara, dan kebanyakan dari mereka melapor langsung kepada dewan direktur, CEO, atau keduanya. Accenture juga melihat munculnya CRO sebagai tanda bahwa, manajemen risiko telah mengalami pergerakan penting di dalam agenda perusahaan secara keseluruhan dan dituntut untuk memiliki perhatian yang luas di luar departemen keuangan. Perusahaan yang cerdas akan menggunakan hal itu untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dengan memasukan faktor tersebut ke dalam perencanaan strategis mereka.

Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)


Produk akhir dari proses akuntansi, yang paling penting, adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, manajemen, pemilik perusahaan, dan sesiapapun yang berkepentingan, bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Ironinya, dari sekian banyak pihak yang berkentingan atas produk ini, yang sungguh-sungguh memahami logika laporan keuangan tidak banyak. Dan itu bisa dimengerti karena mereka memang berasal dari kalangan yang berbeda-bedamungkin malah lebih banyak yang dari luar akuntansi dan keuangan. Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat laporan itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik laporan keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah saya temukan berkali-kali. Mana mungkin. Bukankah orang-orang accounting memang dididik dan ditempasejak di bangku kuliahuntuk sungguh-sungguh menguasai akuntansi? Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh rekanrekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di kampus-kampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak sungguh-sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat. Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar. Tetapi begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri darimana sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan. Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan mengapa bisa demikian?-pun tidak bisa. Misalnya: 1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab karena cost-nya tinggi, nanti terjebak sendiri.) 2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya menunjukan angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?

18

3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran? 4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi mengapa tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham? Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika akuntansi yang sangat sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua perusahaan. Kenyataannya, saat ditanya pegawai accounting seringkali gelagapan, akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya, minimal mereka bisa menjelaskan mengapa bisa terjadi demikian?. Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan keuangan, mestinya mereka bisa memberi saran dan masukan bagi manajemen mengenai apa yang perlu (atau tak perlu) dilakukan di masa-masa yang akan datang agar masalah yang sama tidak terjadi lagi. Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah jauh lebih baik), materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang tersedia sangat sempit, so little time, so many things to do. Mata kuliah Akuntansi Dasar (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi yang begitu banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan. Setiap pertemuan selalu digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang isinya memang semuanya bersifat teknikal. Samasekali tidak ada ruang untuk menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi (mulai dari siklus akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan). Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja, BETUL. Bahwa bangku kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA (terutama untuk universitas non-elite, tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai kapur tulis, seperti tempat saya berkuliah dahulu). Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU. Tantangan utamanyaterutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana caranya mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada habisnya? Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa Jurnal Akuantansi Keuangan (JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan diskusi sambil mengasah skill akuntansi (hard maupun soft skill) di sela-sela rutinitas sehari-hari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya bahwa keberadaan JAK pastinya masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan bisa menjadi alternative sekaligus awal yang baik. Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan keuangan. Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang berkepentingan bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan? Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri sebagai sesorang yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Untuk sementara lupakan status anda saat ini (sebagai pegawai accounting), anggap diri anda adalah pemilik usaha. Nah, sebagai pemilik usaha, apa yang ingin anda ketahui mengenai kondisi keuangan perusahaan? Saya coba menebak-nebak (dengan menggunakan kelaziman). Sebagai pengusaha, minimal anda ingin tahu 2 hal berikut ini:

19

1. Kekayaan Perusahaan
Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam kondisi baik-baik saja? Baik-baik saja dalam hal ini maksudnya: Dapat beroperasi secara lancar. Perusahaan hanya akan bisa lancar beroperasi bila: (a) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari; (b) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu: mampu membayar utang kepada vendor/supplier, bank, dan membayar dividen kepada pemegang saham; (c) Memiliki persediaan (bahan baku untuk diproduksi atau barang jadi untuk di jual); (d) Memiliki sarana dan fasilitas yang cukup untuk menunjang kelancaran operasional perusahaan. Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki kekayaan yang cukup untuk bisa beroperasi dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACAyang sering juga disebut sebagai Laporan Posisi Keuangan. Masih ingat dengan persamaan akuntansi di bawah ini? Aktiva (asset) = Kewajiban (Liability) + Ekuitas Pemilik (equity) Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh necara sederhana di bawah ini: Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi keuangan perusahaan dan memperoleh informasi sbb: Kekayaan kotor perusahaan sama dengan total nilai aktiva (asset)-nya. Dalam contoh ini adalah 137. Jika dibandingkan dengan total kewajiban (utang) yang sebesar 67, masih ada selisih kekayaan sebesar 70. Selisih yang 70 inilah yang disebut dengan Kekayaan Bersih (Net Asset atau Net Worth) perusahaan. Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset dijual maka semua utang bisa dilunasi. Jika kembali ke contoh pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan: Mestinya perusahaan bisa memenuhi kewajibannya, tetapi mengapa banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran? Untuk menjawab pertanyaan spesifik seperti ini, perhatian harus diarahkan ke elemen-elemen neraca yang lebih kecil. Pada sisi aktiva nampak akun Kas saldonya hanya 10, sementara akun Utang Dagang di sisi sisi Kewajiban nampak sebesar 30. Jelas perusahaan akan mengalami defisit (kekurangan) kas sebesar 20, sehingga banyak vendor yang mengalami penundaan pembayaran. Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang perlu dilakukan oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang? Bentuk Neraca sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjawab semua kemungkinan pertanyaan yang ada. Dengan catatan, anda harus memahami logikanya. Dari total aktiva (asset) sebesar 137, mengapa akun kas nilainya hanya 10, dimana sisanya? Perhatian di alihkan ke elemen-elemen aktiva (asset) lainnya, yaitu: Piutang = 85 Persediaan = 32 Aktiva Tetap = 10. Nah ketahuan sudah, asset menumpuk di akun Piutang sebesar 85. Sehingga pertanyaan mengapanya sudah terjawab. Tinggal berpikir bagaimana cara mengatasinya dan cara mencegahnya di waktu

20

yang akan datang. Untuk mengatasinya manajemen perusahaan perlu memfokuskan perhatian pada proses penagihan piutangmungkin dengan menawarkan potongan untuk pembayaran lebih awal, kalau perlu panggil debt collector jika mengalami kesulitan penagihan. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, manajemen perlu mengubah kebijakan kreditmungkin di buat lebih ketat lagi, lebih selektif terhadap pemberian kredit, termin pembayaran di perpendek, dan lain sebagainya. Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total Ekuitas Pemilik meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70. Mengapa angkanya sama dengan Kekayaan Bersih perusahaan yaitu 70, apakah karena kebetulan? Tidak. Ini berasal dari persamaan dasar akuntansi: Asset = Kewajiban + Equitas Pemilik. Dengan demikian, maka: Equitas Pemilik = Asset Kewajiban. Nah jika Kekayaan Bersih = Asset Kewajiban, Maka otomatis: Kekayaan Bersih = Ekuitas Pemilik. Jika kembali ke pertanyaan di awal tulisan: Mengapa ekuitas pemiliki meningkat tetapi tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham? (dengan kata lain perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada pemegang saham) Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki cukup persediaan Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi sebelumnya. Lebih detail mengenai ketersediaan kas dan pengalokasiannya (apakah sudah seperti yang direncanakan, apakah dipergunakan secara efeisien, dan lain sebagainya) bisa dilihat di Laporan Arus Kas. Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa saham) wajib ada. Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa tidak. Mengapa boleh ada boleh tidak? Karena Laporan Arus Kas hanya merupakan rincian lebih detail dari akun Kas di Neraca. Sehingga pada dasarnya, nilai akhir dari laporan arus kas sama dengan saldo yang ada pada akun Kas di Neraca. (Catatan: Saya akan membahas laporan arus kas secara terpisah (di tulisan lain). Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah Tanggal Neraca (dibawah tulisan NERACA PT. JAK), dalam contoh ini adalah Per 31 Januari 2012. Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan Kekayaan Bersih sebesar 70 adalah Kekayaan Perusahaan per tanggal 31 Januari 2012. Itu sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca didefinisikan sebagai Laporan yang menyajikan posisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu. Di U.S. sana sering disebut dengan Snapshot of Financial Position.

2. Untung atau Rugi


Mengetahui berapa besarnya kekayaan perusahaan, mengetahui apakah perusahaan mampu melunasi utang-utangnya saja, belumlah cukup. Sebagai pengusaha anda juga ingin tahu: Apakah bulan/tahun ini anda untung atau rugi? Jika rugi, mengapa? Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya, boros? Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu? Semua jawabanya ada di Laporan Laba Rugi. Untuk visualisasi silahkan lihat contoh Laporan Laba Rugi PT. JAK di bawah ini: Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas bahwa: (a) Pendapatan (Revenue) sebesar 187 (b) Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50 (c) Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137 (d) Biaya-biaya 132 (e) Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5

21

Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda sebagai pengusaha? Sudah pasti Laba Bersih. Laba bersih menunjukan angka 5. Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang menunjukan angka 187. Dengan kata lain, profit margin anda hanya 3% (=5/187). Kalau begini ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di deposito kan? Lalu anda tanya orang accounting Mengapa labanya hanya 5, padahal revenuenya tinggi? Pasti ada yang tidak beres di sini. Mungkin dengan cekatan mereka menjawab Karena biayanya tinggi, boss. Ya iyalah. Revenue tinggi, wajar jika biaya juga tinggi (kecuali yang bikin barang dari golongan jin.) Tidak usah orang manajemen, Mbok Jum warung sebelah juga tahu pendapatan dikurangi biaya sama dengan laba atau rugi. Tapi, bukankah bila revenue tinggi, biaya tinggi, mestinya laba masih tetap tinggi? Pertama, mungkin mereka akan memeriksa kembali angka-angka di laporan, dibandingkan dengan neraca saldo, dibandingkan dengan buku besar, bahkan bukti transaksi dibandingkan dengan catatan transaksi (jurnal) satu-per-satu. Semua perhitungan diperiksa satu per satu. Beberapa hari kemudian mereka kembali dengan jawaban Semua angka sudah saya periksa, hasilnya benar dan akurat. Semua jurnal sudah benar, tidak ada transaksi yang tertinggal atau diposting dua kali. Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir menjunal dan membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami logika akuntansi dengan baik. Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam hal ini), mereka tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu, bahkan mungkin tidak sampai perlu memeriksa saldo buku besar. Cukup hanya dengan melihat Laporan secara sepintas (scanning) dari atas kebawah: Pertama anda lihat Pendapatan (revenue), lalu anda bandingkan dengan Harga Pokok Penjualan, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan sebesar 187, apakah logis jika harga pokok penjualannya 50 sehingga laba kotornya menjadi 137? Permasalahan dilokalisir sampai di sini dahulu. Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat bantu di bawah Laba Kotor (Gross Profit) yang disebut dengan Gross Profit Margin yang menunjukan angka 73%. Angka ini tidak akan ada di sana jika tidak ada fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui apakah perbandingan antara pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah gross profit margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant anda, merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk produk yang dijual. Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73% ini dengan angka gross profit margin bulan lalujika perlu, tarik hingga satu tahun ke belakang untuk melihat trend-nya. Saya pribadi, untuk penelusuran cepat, memilih menggunakan kelaziman dan benchmark. Dari sana saya tahu bahwa untuk jenis usaha manufaktur gross profit margin ada di kisaran 25 hingga 50%. Untuk jenis perusahaan jasa ada di kisaran 50 hingga 70%. Dan untuk jenis usaha trading (termasuk retail) ada di kisaran 70 hingga 200%. Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka angka gross profit margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar masalahnya sudah pasti tidak ada di antara wilayah revenue hingga harga pokok penjualan. Lalu dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-biaya. Selanjutnya tinggal scanning wilayah akun-akun biaya yang ada di laporan laba rugi. Diantara biayabiaya tersebut mana yang terlihat tidak wajar? Jika anda punya laporan laba rugi bulan sebelumnya, anda tinggal meletakannya secara bersisian dengan laporan laba rugi Januari 2012 ini, lalu bandingkan. Dalam contoh ini saya tidak buatkan laporan laba rugi bulan sebelumnya sebagai pembanding. Angka yang janggal langsung saja saya beri warna merah, yaitu Biaya Telepon sebesar 35. Mengapa ini janggal? Bandingkan dengan Biaya Gaji?apakah logis biaya telepon lebih besar dibandingkan biaya gaji dalam sebuah perusahaan manufaktur? Tidak logis.

22

Bukankah tadi sudah diperiksa oleh orang accounting dan mereka mengatakan semua transaksi sudah diperiksa hingga ke nota-nya dan hasilnya akurat? Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG YANG BOROS MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu besar sudah pasti ada pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan perusahaan. Selanjutnya tinggal kirim memo ke HRD untuk investigasi lebih lanjut (siapa yang menelpon pacar berjam-jam setiap hari?). Untuk mencegah agar tidak tejadi lagi di masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat aturan pemakaian telepon. Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI hanya untuk manajer ke atas dengan menggunakan PINsehingga penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan untuk staff, jika perlu interlokal, SLI atau handphone harus via operator (front office) dengan approval dari manajer. Logika-logika dasar seperti ini sangat perlu terus diasah, agar penguasaan akuntansi dan keuangan menjadi semakin matang, sehingga bisa menjalankan fungsi dengan baik, bisa memberi masukan yang bermanfaat bagi perusahaan. Ini baru sebagian kecil dan masih di permukaan. Semakin dalam menyelam, semakin detail, sudah pasti semakin banyak pula ragam logika akuntansi yang harus dipelajari. Tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dikuasai secara instant. Butuh waktu, kesabaran dan kesungguhan. Bagi mereka yang sudah bekerja, dan masih merasa perlu mengasah kemampuan akuntansi melalui pemahaman logika-logikanya, tidak ada cara selain Learn as you go. Modal awalnya hanya satu: selalu penasaran/ingin tahu. Selanjutnya tergantung pada seberapa besar keberanian kita dalam mengikuti instinct rasa ingin tahu itu.

12 Gejala Gangguan Kondisi Keuangan Yang Perlu Ditangani Secepatnya


Perusahaan tak jauh berbeda dengan tubuh kita, bisa mengalami gangguan kesehatan yang bila tidak ditangani secepatnya bisa berubah menjadi penyakit kronis, kolaps, lalu meninggal alias bangkrut. Ada minimal 12 gejala gangguan kondisi keuangan yang perlu ditangani secepatnya. Apa saja ke 12 gejala tersebut? Bagi mereka yang hidup berkecukupan, untuk memastikan apakah gejala yang dialaminya berpotensi membahayakan atau tidak, mengunjungi dokter ahli penyakit dalam (internis) sudah pasti jalan terbaik. Bagaimana dengan mereka yang hidupnya pas-pas-an (gaji sebulan hanya cukup untuk makan)? Dilematis. Kondisi itulah yang kami (sekeluarga) alami di tahun 1980-an, dilematis memang. Pada saat itu (saya duduk di kelas 1 SMA), ayah saya mengalami gangguan kesehatan. Awalnya hanya mengeluh pegal-pegal di punggung, kami pikir hanya karena capek. Jika boleh berdalih, kondisi paspas-an itulah yang membuat kami sekeluarga cenderung mengabaikan gejala penyakit beliauyang sebenarnya sudah mulai nampak. Ayah saya memang pekerja keras. Beliau masih tetap bekerja meskipun kian lama kondisi kesehatannya kian menurun. Sementara penghasilan beliau diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seharihari, tidak untuk pergi mengunjungi dokter. Hingga di bulan ke 5 (atau 6, saya lupa persisnya), rasa pegal di punggung beliau berubah menjadi serangan rasa sakit yang tak tertahankan. Rasa sakit itu bahkan menjalar hingga ke dada. Pada saat itulah baru beliau memutuskan untuk pergi ke dokter. Oleh dokter, ayah saya dirujuk ke rumah sakit. Setelah di scan dan dianalisa oleh seorang internis, ayah saya divonis menederita tumor paru-paru stadium 4, dengan kesempatan hidup yang tinggal 10%. Lagi-lagi, di luar urusan takdir, kondisi keuangan pas-pas-an lah yang membuat kesempatan hidup ayah saya kian menipistidak sanggup membawa ayah saya ke rumah sakit besar yang fasilitasnya lebih lengkap. Hingga hidup ayah saya habis

23

digerogoti oleh penyakit yang beliau derita. Beliau meninggal sekitar 1 tahun sejak gejala awal mulai dirasakan. Andai saja ayah (dan kami sekeluarga) tahu bahwa gejala awal itu bisa berakibat fatal, andai saja kami tahu bahwa pegal-pegal dipunggung itu adalah gejala tumor paru-paru, andai saja kami memiliki pengetahuan tentang suatu penyakit, andai saja saya seorang dokter internis, andai saja saya bisa memutar waktu kembali.. Ah andai tinggal andai, tak akan bisa membatalkan kejadian yang telah berlaku. Maaf, saya larut dalam kenangan yang sentimentil. Kita kembali ke topik utama

Mengenali dan Mengatasi Gejala Gangguan Kondisi Keuangan Sangat Penting


Kondisi keuangan perusahaan tak jauh berbeda dengan kondisi kesehatan tubuh kita. Gangguan kondisi keuangan adalah keniscayaanpasti dan akan terus terjadi di sepanjang operasional perusahaantak peduli perusahaan kecil atau besar. Mampu atau tidaknya perusahaan bertahan dari gangguan kondisi keuangan, tergantung pada 3 faktor berikut ini: 1. Seberapa cepat perusahaan menyadari kehadiran gangguan kondisi tersebut Ini artinya pengelola perusahaan (terutama pimpinan dan bagian keuangan) mesti, terlebih dahulu, tahu berbagai gejala gangguan kondisi keuangan. Tanpa itu, mereka tidak akan pernah tahu bahwa kondisi keuangan perusahaan sedang terganggusehingga tidak pernah berpikir untuk mencari cara untuk mengatasinya. 2. Seberapa mampu perusahaan mengidentifikasi sumber pemicu yang membuat gejala itu timbul Mengetahui gejalanya saja tidaklah cukup. Perusahaan perlu mengetahui pemicu (akar atau sumber) masalahnyasehingga tahu persis dimana tindakan penanganan dilakukan. 3. Seberapa mampu perusahaan mengatasi gejala-gejala tersebut sejak di awal Mengetahui gejala dan sumber gangguan saja tidak akan mengubah apa-apa tanpa mengetahui cara untuk mengatasinya. Dan penanganan yang sudah terlambat sudah pasti akan lebih sulit, bahkan mungkin sudah tidak ada pengaruhnya lagi. Faktanya, terutama di usaha kecil dan menengah, kebangkrutan lebih banyak terjadi karena gangguan kondisi keuangan yang tak kunjung teratasientah karena perusahaan tidak pernah menyadari kehadiran gangguan tersebut, baru menyadarinya setelah begitu terlambat atau menyadari tetapi tidak tahu cara mengatasinya. Pada gangguan kesehatan tubuh, kita selalu bisa menyerahkan proses diagnose hingga pengobatan pada ahlinya, yaitu dokter. Pada gangguan kondisi keuangan perusahaan, pemilik atau pengelolapun selalu bisa menyerahkan urusan identifikasi gangguan keuangan dan cara mengatasi pada ahlinya, yaitu konsultan keuangan profesional. Korporasi besar yang memiliki konsultan keuangan tetap, tak ubahnya seperti orang kaya yang memiliki dokter pribadi yang siap memeriksa kondisi kesehatan si kaya setiap saatbaik saat ada gangguan maupun tidak. Kondisi yang kontras terjadi pada perusahaan-perusahaan yang sumberdayanya terbatasperusahaan kecil dan menengah. Disamping tidak memiliki kemampuan untuk melakukan diagnose awal, mereka juga tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup untuk mengatasinya. Mempekerjakan konsultan keuanganpun mungkin bukan pilihan bagi merekakarena tidak sanggup membayar. Apakah karena kecil (dengan kemampuan sumberdaya terbatas) lalu perusahaan kecil dan menengah harus tersingkir dari kancah dunia usaha? Jika itu yang terjadi, tentu tidak ada yang namanya perusahaan. Faktanya, korporasi-korporasi besar saat ini adalah usaha-usaha kecil beberapa puluh tahun yang lalu, yang selalu kreatif, inovatif dan gigih berusaha. Ketidakmampuan membayar konsultan keuangan

24

profesionalyang memang mahal, bukanlah hambatan bagi mereka yang selalu kreatif dan mau berusaha. Kreatifitas dan usaha yang seperti apa? Mencari sumber informasi dan panduan mengenai cara mendiagnose gangguan kondisi keuangan yang murah, misalnya: Bertanya pada pengusaha (atau pengelola keuangan) lain yang lebih berpengalaman Membaca buku-buku terkait dengan manajemen keuangan Membaca di blog-blog atau website yang membahas topik terkait dengan cukup mendalam (seperti JAK) Melalui tulisan sederhana ini, saya akan sampaikan gejala gangguan kondisi keuangan yang jika tidak ditangani secepatnya bisa berubah menjadi gangguan serius, kronis, kolaps lalu bangkrut.

12 Gejala Gangguan Kondisi Keuangan Yang Perlu Penanganan Secepatnya


Seperti telah saya sampaikan di awal, sejauh pengalaman saya, ada 12 gejala gangguan kondisi keuangan yang perlu ditangani secepatnya: 1. Akumulasi saldo piutang dagang meningkat Jika tidak diatasi secepatnya, akan membawa perusahaan ke dalam kondisi yang tidak mampu membiaya operasional mereka dengan lancar (tidak sanggup membayar vendor, pegawai, dan tagihan-tagihan rutin.) 2. Akumulasi saldo persediaan barang meningkat Disamping pertanda penjualan yang tidak lancaryang artinya aliran pendapatan juga tersumbat, volume persediaan barang dagangan yang membumbung tingga akan menimbulkan beban (biaya) ekstra, potensi kehilangan (minimal kerusakan) akan semakin tinggi. 3. Investasi pada aktiva tetap meningkat Di satu sisi, aktiva tetap (bangunan, mesin, peralatan, kendaraan, furniture & fixture, dll) memang diperlukan. Di sisi lainnya, aktiva tetap yang tidak didayagunakan secara optimal (karena kebanyakan) akan berubah menjadi asset yang mengganggur yang nilainya kian-lama-kian menyusut (terdepresiasi). 4. Saldo utang dagang yang menurun [updated: May o5] Piutang dagang adalah sumber pendanaan paling murahbahkan kebanyakan gratis (tanpa bunga)dari vendor (supplier) bagi perusahaan. Menurunnya saldo piutang dagang artinya perusahaan tidak memanfaatkan peluang untuk menggunakan sumber dana tersebut secara optimal. Artinya juga, perusahaan lebih banyak menggunakan sumber dana lain yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi/pembuatan jasa. 5. Pengembalian ekuitas yang rendah Perusahaan skala menengah mungkin menginvetasikan dana mereka pada perusahaan laindengan cara membeli saham atau surat berharga (bond, promes, sertifikat danareksa, dll). Tingkat pengembalian yang rendah dari investasi-invetasi tersebut, jika tidak diatasi secepatnya, tidak saja akan membuat keuntungan menurun tetapi juga bisa tak pernah kembali lagi, alias merugi. 6. Penjualan menurun Sudah nyata dan terang benderang bahwa penurunan penjualan adalah gejala yang cepat atau lambat akan mengganggu stabilitas keuangan perusahaan. 7. Keuntungan perusahaan menurun pada level penjualan yang sama seperti periode sebelumnya Ada kalanya penjualan nampak stabil atau bahkan meningkat, tetapi kenyataan lainnya menunjukan bahwa keuntungan tetap atau bahkan menurun. Ini gejala super serius yang memerlukan diagnose yang lebih kompleks, akan tetapi pengelola keuangan yang tidak jeli tidak akan mampu menangkapnya. 8. Biaya atau beban bahan baku meningkat Peningkatan beban atau biaya pada bahan baku (khususnya perusahaan manufaktur) sudah pasti akan membuat Harga Pokok Penjualan meningkat. Itu artinya keuntungan akan menurun sekeras apapun perusahaan mencoba melakukan efisiensi di biaya tetap (rutin).

25

9. Biaya kirim (shipping) meningkat Terutama di perusahaan yang memiliki pelanggan jarak jauh (antar pulau atau ekspor antar negara), biaya kirim atau shipping cost sering disepelekan. Sehingga tanpa disadari, jika tidak teralokasi dengan baik, peningkatan biaya kirim bisa berubah menjadi monster penghisap keuntungan perusahaan yang ganas. Peningkatan biaya kirim (shipping cost) akan membuat overhead meningkat, artinya harga pokok penjualan juga meningkat. Akhirnya akan bernasib sama seperti gejala yang ke delapan (keuntungan perusahaan lama-lama akan tergerus). 10. Cost atau biaya per departemen (bagian) meningkat Pada perusahaan yang telah memiliki struktur organisasi yang rapi, analisa cost dan biaya per bagian (departemen) bisa menangkap gejala gangguan kondisi keuangan. Peningkatan cost dan biaya pada salah satu atau beberapa departemen adalah gejala serius yang jika tidak diidentifikasi dan ditangani secepatnya bisa menjalar ke semua departemen, lalu berubah menjadi bencana yang tak akan sanggup diatasi lagi. 11. Biaya bunga meningkat Alternatif sumberdana melalui pinjaman kerap digunakan oleh perusahaan untuk menopang kelancaran operasional. Jika ini tidak terkelola dengan baik, bisa berubah menjadi senjata bunuh diri yang sangat berbahaya bagi perusahaan itu sendiri. Salah satu gejala pengelolaan utang yang tidak baik adalah meningkatnya biaya bunga. 12. Kekurangan Kas Kekurangan kas adalah gangguan paling nyata yang bisa dirasakan dengan mudah dan relative cepat. Kekurangan kas sudah pasti akan sangat mengganggu. Tak perlu berpikir tentang kekurangan kas untuk membayar tenaga kerja atau bahan baku, bayangkan saja jika tidak punya cukup kas untuk membayar tagihan listrik perusahaan? Apa yang akan terjadi? Yang sedikit bisa menjebak (tricky) di sini adalah: masing-masing perusahaan memiliki karakter dan perilaku atau behavior yang berbeda-beda. Sehingga, untuk memastikan bahwa kondisi keuangan perusahaan baik-baik saja, tidak sedang mengalami gangguan kesehatan: Pertama-tama perusahaan perlu mengetahui apakah gejala itu wajar atau tidak? Untuk itu diperlukan investigasi dan analisa-analisa lebih lanjutlebih detail dan mendalamyang bisa memetakan kondisi dengan lebih pasti. Jika hasil investigasi lanjutan menunjukan bahwa gejala itu memang sungguh-sungguh berpotensi ancaman, selanjutnya perusahaan perlu mengidentifikasi dimana akar masalahnya, apa pemicunya, mengapa itu bisa terjadi. Setelah diketahui sumber penyebabnya, selanjutnya perusahaan perlu mengetahui cara untuk mengatasinya, sehingga gejala itu bisa (a) dilokalisasi agar tidak menjalar ke wilayah lain (b) diatasi sehingga tidak membesar; dan (c) dihilangkan samasekali sehingga perusahaan menjadi sehat. Nah, bagiaman cara melakukan identifikasi dan analisa lebih lanjut untuk memastikan apakah gejala tersebut potensi ancaman atau tidak? Bagimana caranya menelusuri gejala tersebut untuk menemukan sumber pemicu? Bagaimana caranya melokalisasi dan menghilangkan gejala gangguan tersebut agar kondisi keuangan perusahaan senantiasa sehat? Sepeninggal ayah saya, kondisi keluarga saya kian memburuk. Sungguh beruntung dan karena kebesaran Tuhan, kami bisa bertahan dalam keterpurukan untuk kemudian bangkit, sehingga saya bisa menyelesaikan SMA dan kuliah di perguruan tinggi. Sayang sekali, lagi-lagi keterbatasan keuanganlah yang membuat saya tidak mampu kuliah di kedokteran. Andai, sekalilagi andai saja saya mampu, tentu sekarang saya sudah menjadi seorang dokter yang artinya terbuka kesempatan yang luas untuk membantu mereka-mereka yang kurang mampu dengan menyediakan pengobatan yang murah. Nyatanya, saya hanya mampu kuliah dengan jurusan akuntansiitupun dengan perjuangan yang luar biasa keras. Tetapi bukan berarti kesempatan saya untuk meringankan beban mereka yang kurang mampu menjadi tertutup samasekali.

26

Saya tidak mampu menyediakan klinik pengobatan murah tetapi saya bisa menyediakan wadah bertukar informasi sesuai bidang yang saya kuasai (akuntansi, keuangan, pajak, ekspor-impor dan panduan karir) yang mudah-mudahan manfaat, sembari menambah tali pertemanan dan persaudaraan. Untuk niat itulah JAK dibuat. Disamping lewat JAK, khusus mengenai langkah-langkah penangangan gangguan kondisi keuangan perusahaan , saya juga ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman yang terbatas ini melalui buku (karena terlalu luas dan kompleks untuk di bahas secara online di JAK) yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian akhir. Mungkin bulan depan sudah jadi dan siap untuk diluncurkan. Buku ini, meskipun tidak setebal PSAK pastinya, mudah-mudahan bisa menjadi panduan yang jelas dan efektif bagi kawan-kawan di bagian akuntansi dan keuangan yang sehari-hari pasti bergelut dengan masalah-masalah gangguan gejala kondisi keuangan. Terdiri dari 12 bab yang setiap babnya mengulas langkah-langkahnya secara rinci, dilengkapi dengan contoh kasus beserta tips-tips insight yang bisa memastikan setiap pembaca memperoleh nilai tambah nyatadiintisarikan dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman kerja selama bertahun-tahun. Sebenarnya bisa menjadi buku yang tebalnya bisa mengalahkan yellow pages, tetapi saya pikir itu tidak ada gunanya, tidak cost-effectivehanya akan membuat biayanya menjadi tinggi. Untuk itu, saya meminimalisasi teori-teori dan konsep-konsep yang tidak perlu. Sebagai gantinya, saya hanya menyajikan langkah-langkah praktis yang logis, dalam bahasa sederhanayang mudah-mudahan bisa diikuti dan diaplikasikan secara nyata dalam pekerjaan yang sesungguhnya, oleh siapa sajatermasuk mereka yang tidak memiliki latarbelakang keuangan.

Mengapa Inisiatif Cost-Cutting Jarang Berhasil?


Cost cutting, cost trimming, cost reduction exercise, memangkas biaya, termasuk slogan yang sangat populer di dunia bisnis. Tidak hanya di bagian akuntansi dan keuangan, hampir setiap manager (bagian manapun) mencantumkan inisiatif cost-cutting sebagai salah satu program kerja mereka. Uniknya (atau ironisnya), entah mengapa, paling jarang berhasil, diantara banyaknya inistiatif yang dijalankan di dalam perusahaan. Mengapa inisiatif cost-cutting jarang berhasil? Apakah karena istilah cost-cutting ini memang hanya sebatas retorika atau karena konsepnya mulukmuluk? Entahlah. Yang jelas, pengalaman saya beberapa tahun di accounting menunjukan; cost-cutting memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Tetapi bukan berarti mustahil. Adakah cara (atau pendekatan) yang ampuh untuk menjalankan program cost-cutting, tanpa gagal? Jawaban saya sudah pasti: ADA. Ah, saya sudah bosan membaca tips cost-cutting; dari itu-ke-itu terus. Kenyataannya, sampai saat ini saya masih mengalami kesulitan untuk menekan biaya, meskipun tips-nya sudah saya ikuti. Mungkin ada yang berpikir demikian. Ya. Saya tahu. Di ranah online, tips sejenis sudah ada sejak pertamakali saya membaca media online dan saya yakin tips yang sama sudah dipublikasikan di media-media traditisional (majalah/tabloid/koran) sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Sayangnya, rata-rata isinya hanya common-senseenak dibaca tetapi tidak pernah menyentuh masalah yang sesungguhnya. Ibarat makan kerupuk; ringan dikunyah, tapi tak mengatasi perut lapar. Pertanyaan yang paling pokok, dalam hal ini, adalah: Apa masalah cost-cutting yang sesungguhnyasehingga inisiatif cost-cutting lebih sering gagal ketimbang berhasilnya? Sebelum menjawab pertanyaan pokok di atas, rasanya akan lebih baik jika kita mulai dari pertanyaan yang paling mendasar terlebih dahulu; mengapa perlu program cost-cutting?

27

Mengapa Perusahaan Perlu Menjalankan Inisiatif Cost-Cutting?


Saya percaya; sebagian besar perusahaan, dewasa ini, sudah sangat ngeh mengenai betapa pentingnya mengendalikan biaya (cost-control). Apakah ngeh saja sudah cukup? Sejauh mana tingkat keberhasilan cost-control di perusahaan-perusahaan? Saya belum pernah melakukan penelitian khusus sehubungan dengan hal ini. Yang jelas; cost-control ada, pegawai cost control adasehingga bisa dikatakan systemnya sudah adaakan tetapi faktanya, sampai saat ini, yang namanya program cost-cutting hampir selalu menghiasi job description setiap manager. Mengapa demikian? Banyak kemungkinan yang bisa menjadi penyebab mengapa perusahaan masih saja perlu melakukan program cost-cutting. Yang paling utama, menurut saya, karena cost-control tidak berjalan secara efektifentah karena staf cost-control tidak terampil atau karena desain system cost-controlnya itu sendiri yang memang lemah atau malah tidak ada samasekali. Yang namanya inefficiency, menggelinding seperti bola salju; kian lama kian membesar. Pemborosan sekecil apapunjika dibiarkan terus terjadibisa menjadi parasit yang menggerogoti kesehatan keuangan perusahaan, perlahan tapi pasti. Dalam kondisi yang buruk, inefficiency bisa mengancam kelangsungan-hidup perusahaan. Perusahaan sekuat apapun bisa bangkrut kalau terusmenerus digerogoti oleh pemborosan di sana-sini. Dan sudah menjadi pemandangan umum, khususnya di usaha kecil dan menengah, dimana manajemen perusahaan baru sadar setelah mereka mulai mengalami kesulitan lukuiditas (telat bayar vendor, telat bayar gaji, telat bayar listrik, dlsb). Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya cara untuk kembali ke kondisi keuangan yang normal adalah denga menjalankan program cost-cutting (sudah bukan waktunya lagi untuk mengandalkan cost-control). Mau-tidak-mau perusahaan harus segera mengikis parasit inefficiency itu. Sayangnya, seperti sudah saya sampaikan di awal tulisan, inisiatif cost-cutting-pun lebih sering gagal ketimbang suksesnya. Perusahaan yang berada dalam situasi yang paling sulit sering dipaksa (oleh keadaan) untuk menjalankan program cost-cutting secara aggressiveyang sudah pasti menimbulkan excess negative, di sisi lainnya. Misalnya: perusahaan terpaksa mengurangi aktivitas operasional mereka (menutup sebagian toko, mengistirahatkan sebagian mesin, melakukan PHK.) Ini mimpi buruk bagi perusahaan manapun. Oleh sebab itu, jika cost-control tidak berjalan dengan efektif maka perusahaan harus berusaha mensukseskan program cost-cutting yang mereka jalankan. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu jika ingin sukses menjalankan inisiatif cost-cutting. Apa saja yang perlu diketahui?

Inefficiency Itu Bukan Masalah Angka Semata


Betul. Urusan mengukur efisensi jatuhnya memang di bagian Accounting. Cost control juga di Accounting. Program cost-cutting, meskipun di jalankan oleh semua bagian, yang menjadi project leader biasanya orang accountingterutama cost controller atau cost accountant. Dan, bicara accounting sudah pasti bicara angka. Inilah rupanya yang menjadi rasionalisasi sehingga pemborosan atau inefficiency sering dianggap tak lebih dari persoalan angka. Dan ini pula yang menyebabkan cost-cutting sering menjadi slogan sematalebih sering gagal ketimbang suksesnya. Benar juga bahwa, usaha untuk menekan cost memang dimulai dari aktivitas mengidentifikasi pemborosan melalui angka-angka, sehingga bisa diketahui; berapa dan dimana pemborosan terjadi. Misalnya: Membandingkan cost dan expense dengan revenue (vertical analysis) Membandingkan Harga Pokok Penjualan dengan Profit Margin (vertical analysis)

28

Membandingkan Net Earning dengan Total Revenue (vertical analysis) Membandingkan cost dan expense tahun ini dengan tahun lalu (trend/horizontal analysis) Membandingkan rasio-rasio dengan industry average (benchmarking) Dan lain sebagainya. Hanya saja, perlu disadari bahwa: aktivitas mengidentifikasi berapa dan dimana pemborosan terjadi, hanya tindakan awal. Setelahnya, aktivitas program cost-cutting lebih banyak berada di wilayah-wilayah non-numerical. Wilayah mana saja itu? Wilayah-1. Mindset (Pola-Pikir) Ini yang paling penting. Pemborosan atau inefficiency adalah bentuk SIKAP dan PERILAKU, yang jika keterusan bisa berubah menjadi kebiasaan, lama-lama jadi budaya. Dan root (akar) dari perilaku adalah mindset (pola-pikir). Darimana perilaku boros berasal? Mungkin anda tidak. Tetapi pada umumnya, dalam menjalankan pekerjaan di kantor kebanyakan orang (terutama di level bawah) cenderung untuk melakukan apa yang mudah dan nyaman bagi diri mereka sendiri, dalam jangka pendektanpa memperhitungkan konsekwensi yang lebih luas dalam jangka panjang. Misalnya: Daripada mengais-ngais kertas bekas untuk ngeprint, jauh lebih mudah membuka satu reem kertas baru yang masih kosong. Daripada mencari pulpen yang nyelip diantara tumpukan kertas di meja, jauh lebih mudah mengambil pulpen baru. Daripada memeriksa stock availability, jauh lebih mudah request baru saja. Daripada minta quotation dari 3 vendor, jauh lebih mudah meminta quotation dari 1 vendor saja. Daripada melakukan analisa cost-benefit yang layak, jauh lebih mudah memutuskan sesuatu hanya dengan menggunakan kira-kira. Daripada melakukan verifikasi yang njlimet, sebelum memberikan approval (persetujuan), jauh lebih mudah mempercayai apapun yang disajikan oleh bawahan. Mengobrol ngalor-ngidul di ruang meeting jauh lebih nyaman dibandingkan mensupport staff menyelesaikan pekerjaanya. See? Itu sebabnya, hal penting pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pola-pikir seperti itu. Usaha menekan cost model apapun tidak akan pernah berhasil jika mindset orang-orang yang ada di dalamnya belum berubah. Sehingga, bisa dikatakan bahwa: pekerjaan menjalankan inisiatif cost-cutting sesungguhnya sebagian besarnya adalah pekerjaan mengubah mindset (atau mengubah budaya, dalam kasus yang lebih parah). Bagaimana caranya mengubah mindset inefficient ke efficient? Mengubah mindset yang terlanjur mengakar dan mengurat (terutama di level bawah), memang bukan pekerjaan yang mudah. Diajak menjalankan program tertentuapalagi yang akan membuat hidup mereka lebih susah, orang cenderung untuk menolak. Setidak-tidaknya, mereka akan berpikir: ngapain susah-susah, yang rugi juga perusahaan koq, bukan gue. Untuk itu, tanamkan pemahaman pada setiap kepala orang (yang ada di dalam perusahaandari office boy hingga manager) bahwa: Membiarkan pemborosan terjadi di depan mata, apalagi melakukan sendiri, adalah bentuk sikap tidak bertanggungjawabkarena membiarkan perusahaan menghadapi risiko kerugian. Membiarkan perusahaan menghadapi risiko kerugian, bukan saja tidak baik bagi perusahaan, tetapi juga tidak baik bagi dirinya dan ratusan (atau mungkin ribuan) anggota keluarga pegawai lainnya. Dalam kondisi merugi, perusahaan tidak akan mampu menyediakan bonus, tidak akan

29

ada kenaikan gaji, bahkan mungkin membuat mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka. Pilihan yang tersisa hanya satu, yaitu: mengubah sikap dan perilaku dari inefficient ke efficient. Bagaimana caranya menyampaikan pesan itu? Banyak: Pertama, disampaikan secara lisan. Kedua, disampaikan secara tertulis (via email untuk office staff dan pasang banner di setiap ruang kerja untuk buruh dan pegawai lainnya). Ketiga (dan yang paling efektif), dengan memberi contohsetiap supervisor dan manajer memberi contoh nyata dalam perilaku sehari-hari. Tegur siapapun yang menjukan sikap dan perilaku inefficient. Wilayah-2. Cost Control System Mengubah mindset adalah satu hal. Menggarap wilayah sistem adalah hal lai yang harus dilakukan jika ingin sukses mengubah mindset mereka secara permanent sehingga program cost-cutting tidak diperlukan lagi di masa-masa yang akan datang. Ada tiga alasan mengapa menggarap wilayah cost control system adalah penting: Pertama, bisa jadi pemborosan selama ini terjadi bukan saja disebabkan oleh faktor mindset, tetapi juga didorong oleh system control yang membuat mereka bisa leluasa melakukan pekerjaan (atau menjalankan operasional perusahaan) secara inefficient. Untuk itu, perusahaan perlu memiliki cost-control system yang kuat. Jika tidak ada, perlu dibikin ada. Jika sudah ada, perlu direview temukan kelemahannya. Kedua, kesadaran untuk mengubah orientasi jangka-pendek (mempermudah diri-sendiri) ke orientasi jangka-panjang (menjaga kelangsungan hidup perushaaan), seringkali bersifat temporal. Bisa dibilang: perilaku boros adalah sejenis penyakit yang bisa kambuh kapan saja. Sampai pada tingkat kesulitan tertentu mungkin pegawai masih mau menukar kemudahan (yang mereka nikmati selama ini) dengan ekspektasi kenaikan gaji/bonus dan kelangsungan-hidup perusahaan. Tetapi, di tingkat kesulitan yang lebih tinggi, sangat mungkin mereka mengkompromikannya. Satu-satunya cara untuk memastikan mereka selalu berada dalam track yang diinginkan adalah dengan mengontrol mereka by system. Ketiga, penanaman orientasi untuk ikut menjaga kelangsungan-hidup perusahaan bisa menimbulkan rasa ikut memiliki (sense-of-belonging) yang berlebihan, dan ini bisa berubah menjadi masalah yang sulit di atasi. Pada kadar tertentu (terutama di middle management level = supervisor, manager, kepala bagian, kepala divisi, kepala biro), sense of belonging yang terlalu tinggi cenderung mendorong mereka untuk berani mengambil judgment dan keputusan secara aggressivesementara mungkin saja mereka belum memiliki kapasitas yang cukup (masih perlu panduan dari senior management/executive)sehingga menghasilkan output yang justru membuat perusahaan dalam kondisi berisiko. Untuk menghindari hal itu, dibutuhkan system kendali (policy and procedure) yang jelas.

Menjalankan Inisiatif Cost-Cutting Tidak Seperti Memakan Cabai


Pemicu kegagalan inisiatif cost-cutting berikutnya disebabkan oleh adanya kekeliruan persepsi yang memandang cost-cutting sebagai program instantyang sekali jalan langsung sukses; sekali tekan cost dan expense turun drastis. Pada kenyataannya menjalankan program cost-cutting tidak seperti makan cabai (begitu dikunyah, pedasnya langsung terasa). Tidak semudah dan secepat itu. Mengapa? Mengubah perilaku boros yang sudah terlanjur kronis adalah tidak mudah. Pegawai perusahaan terdiri dari berbagai orang yang memiliki daya pemahaman yang berbeda-bedasangat mungkin diperlukan pendekatan dan treatment yang terkustomasisasi. Dan itu, butuh waktu.

30

Memperbaiki cost control system (apalagi menyusun dari awal) juga butuh waktu yang tidak singkat. Perlu perencanaan, test dan ujicoba-ujicoba. Sangat mungkin, setiap jenis aktivitas membutuhkan system kendali yang berbeda-beda. Itu sebabnya, istilah lain dari cost-cutting (khususnya di Eropa) adalah Cost reduction exercise. Artinya cost-cutting initiative perlu dilakukan secara bergelombang. Tentu tergantung kondisi di masing-masing perusahaan. Tetapi, pada umumnya (dan idealnya) program cost-cutting atau cost reduction exercise berjalan seperti berikut ini: Gelombang I: Cost Analysis > Identifikasi > Observasi > Cost-Cutting Plan > Implementasi > Evaluasi = Cost dan expense turun 15% Gelombang II: Cost Analysis > Identifikasi > Observasi > Cost-Cutting Plan > Implementasi > Evaluasi = Cost dan expense turun 25% Gelombang III: Cost Analysis > Identifikasi > Observasi > Cost-Cutting Plan > Implementasi > Evaluasi = Cost-cutting output 45% Demikian terus, hingga mencapai titik penurunan cost yang diharapkan. Tidak bisa dilakukan secara instant.

Inefficiency Bukan Persoalan Parsial


Untuk meng-goal-kan program cost-cutting memang butuh waktu, karena dilakukan secara bertahap dan terkustomisasi. Akan tetapi, tidak bisa dijalankan dengan menggunakan kaca mata yang memandang persoalan inefficiency secara parsial (cost cutting dilakukan hanya di bagian tertentu saja, lalu berharap langsung berhasil.) Mengapa? Suatu unit bisnis terdiri dari bagian-bagian yang terkait antara yang satu dengan lainnya. Tidak parsial. Aktivitas di suatu bagian memicu aktivias di bagian lain. Sehingga, inefficiency di suatu bagian sangat mungkin bersumber dari aktivitas di bagian lain. Dan inefficiency di suatu bagian besar kemungkinannya menjalar ke bagian lainnya. Oleh sebab itu, jika ingin berhasil menjalankan program cost-cutting, inefficiency harus dipandang secara comprehensivedari hulu hingga hilir aktivitas operasional bisnis. Perspektive seperti ini mesti digunakan dalam setiap tahapan program cost-cutting, sejak cost analysis, identifikasi, observasi, planning, implementasi, hingga evaluasi. Jika tidak, maka usaha untuk menekan cost menjadi tidak ubahnya seperti mencoba mengempiskan balon udara tanpa lubangpencet di salah satu ujungnya, kembung di ujung lainnya. Penurunan cost yang drastis di bagian tertentu, memicu peningkatan cost di bagian lain. Begitu terus, tiada akhir, sehingga program cost-cutting tidak akan pernah berhasil. Jika saat ini anda sedang menjalankan program memangkas cost (cost-cutting) dengan pendekatan berbeda, apa yang sudah saya sampaikan lewat tulisan ini mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan atau pelengkap inisiative yang sudah anda jalankan selama ini. Untuk sementara, jika ingin berbagai pengalaman mengenai program cost-cutting yang pernah anda jalankan, silahkan disampaikan via ruang komentar di bawah. Mungkin bisa menjadi masukan yang berharga bagi pembaca JAK lainnya. Terimakasih dan sukses selalu.

Anda mungkin juga menyukai