edu/4766700/
Perencanaan_Pembangunan_pada_orde_lama_sampai_orde_Baru_sampai_revormasi
Perencanaan Pembangunan pada orde lama sampai orde Baru sampai revormasi.
A. Perencanaan Pembangunan pada Orde Lama
Pada masa Orde Lama, strategi pembangunan didasarkan atas pendekatan perencanaan
pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai
dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan
nasional sehingga tidak memungkinkan pelaksanaannya secara baik.
a. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Badan ini
dibentuk atas usul dari menetri kemakmuran AK. Gani. Badan ini merupakan badan tetap
yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu 2 sampai 3
tahun yang akhirnya disepakati Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun.
Bangunan umum vital milik asing dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi
Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI. Perusahaan modal
asing lainnya dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian Republik
Indonesia dengan Belanda. Badan ini bertujuan untuk menasionalisasikan semua cabang
produksi yang telah ada dengan mengubah ke dalam bentuk badan hukum.
Hal ini dilakukan dengan harapan agar Indonesia dapat menggunakan semua cabang
produksi secara maksimal dan kuat di mata hukum internasional. Pendanaan untuk
Rencana Pembangunan ini terbuka baik bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal
asing. Inti rencana ini adalah agar Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal
asing dan melakukan pinjaman baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Hal tersebut ditambah dengan adanya Pemberontakan PKI dan Agresi mIliter Belanda II
yang mengakibatkan kesulitan ekonomi semakin memuncak.
b. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 Program ini bertujuan
untuk mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi, selain meningkatkan efisiensi.
Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang, dan aparat
ekonomi.
Sejumlah angkatan perang dikurangi secara drastis untuk mengurangi beban negara di
bidang ekonomi dan meningkatkan effisiensi angkatan perang dengan menyalurkan para
bekas prajurit pada bidang-bidang produktif dan diurus oleh kementrian Pembangunan
dan Pemuda. Rasionalisasi yang diusulkan oleh Mohammad Hatta diikuti dengan
intensifikasi pertanian, penanaman bibit unggul, dan peningkatan peternakan.
c. Rencana Kasimo (Kasimo Plan) Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan
Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950)
mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang
praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan
menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah : Menanami tanah
kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA, Melakukan intensifikasi di
Jawa dengan menanam bibit unggul, Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang
berperan penting bagi produksi pangan. Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
3. Tahun 1956-1960 telah berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi
pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara.
Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan
disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas
RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan
RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
Hasil-hasil yang diraih pun dapat dipilah dari segi politik dan ekonomi. Dari
segi politik yang utama adalah :
menjadikan Indonesia tulang-punggung kekuatan politik yang sangat
disegani di Dunia; dan
Indonesia mempunyai pengalaman dalam menjalankan kehidupan
demokrasi multipartai dan pemerintahan parlementer. Sementara dari
segi ekonomi telah dicapai:
meningkatnya investasi pemerintah hingga melampui sasaran
lima tahunan;
produksi beras dan jagung melebihi target.
peremajaan karet rakyat mengalami kemajuan di tengah
melemahnya produksi perkebunan akibat ditinggalkan para
pengusaha Belanda.
beberapa produksi peternakan telah mencapai sasaran.
produksi hasil–hasil industri kurang mencapai sasaran.
pengeluaran untuk sektor perhubungan telah melampaui target
karena mendapat prioritas tinggi dalam APBN dan adanya
dana dari pampasan perang.
realisasi investasi di sektor listrik selama tiga tahun baru
mencapai sepertiga dari yang direncanakan; dan
pelaksanaan perbaikan kualitas pendidikan masih jauh di
bawah sasaran walaupun telah dikeluarkan biaya yang
melebihi rencana. Periode ini ditutup dengan situasi politik
yang genting dan memaksa dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959.
REPELITA IV Prestasi:
• Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,32 persen
• Beban hutang luar negeri menjadi membesar
• Penghematan anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran
• Perkembangan pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa • Laju inflasi rata-
rata 9 persen
• Porsi pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran Kondisi:
• Harga minyak turun menjadi US $10 Kibijakan:
Deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan
pemerintah untuk memberikan kesempatan pihak swasta dan investor
asing dalam pembangunan
Devaluasi untuk meningkatkan ekspor non migas
REPELITA VI
REPELITA VI
Tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun:
• Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan 6,2 persen
• Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,5 persen
• Sektor industri 9 persen
• Sektor manufaktur diluar migas 10 persen
• Sektor jasa 6,5 persen
• Inflasi rata-rata 5 persen
• Ekspor nonmigas 16,5 persen
• Ekspor manufaktur 17,5 persen
• Debt Service Ratio 20 persen
• PDB Rp 2,150 trilliun
• Nilai Investasi Rp 660,1 trilliun atau 30,7 % dari PDB
• Dana dalam negeri : (a) Pemerintah (25,5 %) Rp 169,4 trilliun (b) Swasta (69 %)
Rp454,1 trilliun
• Dana luar negeri (5,5 %) Rp 36,6 trilliun Era PJPT II, BAPPENAS telah
mensimulasikan 2 skenario terhadap pertumbuhan ekonomi; (a) Skenario pertama
(Optimis) menyatakan
Dengan diluncurkannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 oleh Kabinet Reformasi
bersama dengan pengaturan-pengaturan lainnya yang berkaitan, di dalam negeri secara
dramatik telah terjadi perubahan keseimbangan dari tanggung jawab antara berbagai
tingkatan (level) pada sistem pemerintahan. Berkaitan dengan reformasi dan komitmen yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat serta beberapa Pemerintah Daerah dan DPRD agar mampu
memberikan bukti dan mendorong kearah terjadinya transparansi, partisipasi, dan sistem
manajemen sumbersumberdaya yang melibatkan kepentingan masyarakat secara berimbang
masih mengalami hambatan karena terjadinya aktivitas mempertahankan surplus keuntungan
(rent seeking activities) terutama dari para pejabat birokrasi pusat maupun daerah setelah
terjadinya proses desentralisasi sesuai dengan kebijaksanaan otonomi daerah.
Dengan terjadinya proses perubahan yang dipelopori oleh semangat reformasi dalam
perkembangan berikutnya telah terjadi perubahan besar dalam kehidupan bernegara dengan
dibuatnya sejumlah amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, dimana saat ini telah
mencapai amandemen ke-4. Salah satu butir penting dalam amandemen ke-4 UUD 1945 ini
adalah Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini membawa
konsekuensi yang cukup besar terhadap terjadinya perubahan dalam kebijakan perencanaan
pembangunan di Indonesia.
Dimana setiap calon Presiden akan dipilih oleh rakyat berdasarkan pada programprogram
kebijakan dan pembangunan yang akan dilakukannya. Sebagai akibatnya Presiden bukan lagi
merupakan mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang harus melaksanakan
GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Presiden mempertanggungjawabkan secara langsung hasil
dari pelaksanaan program-program pembangunan yang dilaksanakannya kepada masyarakat
yang memilihnya melalui MPR yang beranggotakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan demikian MPR hanya berfungsi seperti lembaga
legislatif yang tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden.
Program-program yang disampaikan oleh Presiden terpilih pada saat Pemilihan Umum
(PEMILU), yang akan menjadi acuan bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional
selama periode kepemimpinannya. Sehingga, keberhasilan pelaksanaan pembangunan sangat
ditentukan oleh kemampuan Presiden dalam membentuk tim yang menerjemahkan kebijakan
politiknya kedalam program-program pembangunan secara riil.
Selain amandemen ke-4 UUD 1945, perubahan lain yang mendasar adalah diberlakukannya
Rancangan Undang-Undang Keuangan No. 17 Tahun 2003 yang menyebabkan fungsi
planning dan budgeting menjadi wewenang DEPKEU. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi
keterbatasan dana sehingga alokasi dana untuk kegiatan pembangunan dapat diperhitungkan
secara cermat dan pemilihan prioritas pembangunan dapat disesuaikan dengan kemampuan
pendanaan yang tersedia. Dengan terjadinya berbagai perubahan tersebut di atas, ada
beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan mekanisme perencanaan
pembangunan: (1) Ide dasar pembentukan institusi perencanaan pembangunan tingkat
nasional. (2) Bagaimana sistem
perencanaan pembangunan nasional yang berbasis visi presiden terpilih ? (3) Bagaimana
fungsi
lembaga legislatif dalam mekanisme penilaian, pengesahan, dan pengawasan perencanaan
pembangunan nasional presiden terpilih ?
Implikasi mendasar yang harus diantisipasi dalam sistem perencanaan pembangunan adalah
hilangnya GBHN yang selama ini mempunyai fungsi sebagai pemandu bagi arah
perencanaan pembangunan. Tidak adanya GBHN merupakan akibat langsung dari hilangnya
eksistensi lembaga tertinggi negara atau MPR. Oleh karena itu tidak akan ada lagi
PROPENAS yang merupakan penjabaran dari GBHN, dan tidak akan ada lagi PROPEDA
yang merupakan penjabaran dari PROPENAS.
Hilangnya koridor perencanaan makro yang selama ini telah menjadi arahan dan panduan
bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan bisa menimbulkan kesemrawutan yang semakin
parah. Perubahan ini bisa menimbulkan kebingungan terutama ditingkat lokal dan di level
operasional.
Beberapa pihak tetap merasa optimis karena pada dasarnya GBHN tidak hilang namun akan
digantikan oleh program-program pembangunan yang telah disampaikan oleh Presiden
terpilih pada saat Pemilu. Namun tentunya masih harus dikaji kembali apakah keberadaan
program kerja Presiden tersebut dapat menggantikan peranan GBHN atau bahkan menjadi
lebih efektif.
1. Program-program yang diajukan oleh para calon presiden pada dasarnya merupakan
komoditas politik yang ditujukan untuk memperoleh suara. Sebagai akibatnya
programprogram yang ditawarkan akan lebih bersifat populis, dan bisa jadi akan
kurang realistis sehingga sulit untuk dilaksanakan.
3. Sebagian besar masyarakat kita adalah kelas menengah ke bawah yang kurang
mempunyai kemampuan untuk mengkaji program yang ditawarkan secara
komprehensif. Akibatnya pilihan akan dijatuhkan pada figur calon presiden yang
mereka kenal, meskipun program yang ditawarkan kurang relevan. Dalam kondisi
demikian peluang salah pilih akan menjadi tinggi
4. Setiap calon presiden mempunyai kendaraan politik dalam bentuk partai politik.
Sebagai akibatnya program-program yang akan ditawarkan dalam pemilu pada
dasarnya merupakan paltform dari partai yang bersangkutan. Sehingga menjadi
pertanyaan apakah platform dari partai politik merupakan suatu bentuk produk politik
yang telah mengemban amanat rakyat Indonesia, mengingat sampai saat inipun setiap
partai politik lebih sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri.
Keempat hal ini akan membuat program-program yang ditawarkan oleh seorang calon
presiden
menjadi sulit untuk dijadikan kerangka makro yang bisa menjadi panduan dalam dalam
penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan terutama di tingkat lokal dan di level
operasional.
Situasi initentunya akan bisa mematikan demokrasi dan sekaligus membalikaan asumsi
bahwa perubahan ini akan memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi berkembangnya
partisipasi dan kehidupan berdemokrasi. Beberapa pihak mungkin akan mengatakan bahwa
uraian di atas terlalu pesimistis. Pengalaman empiris di negara-negara lain terutama di
negara-negara maju menunjukkan bahwa mekanisme tersebut dapat diterapkan secara efisien
dan efektif. Proses politik akan menjadi lebih transparan, aspiratif, partisipatif dan kehidupan
berdemokrasi akan berkembang dengan lebih baik.
Namun tentunya ada perbedaan kondisi antara negara-negara maju dan berkembang.
Indonesia pada saat ini masih sebagai negara berkembang, belum maju, dan bahkan berada
dalam kondisi terpuruk akibat krisis. Oleh karena itu sebenarnya masih diperlukan
perencanaan yang berciri.
Pada tulisan ini penulis akan merangkum perkembangan ekonomi di Indonesia.
Penulis akan menjelaskan mengenai orientasi pembangunan pada masa orde lama hingga
reformasi dan orientasi pembangunan manakah yang sesuai bagi Indonesia pada saat ini.
Penjelasan tersebut akan dijelaskan penulis dengan bersumber pada tulisan karya Mochtar
Mas’oed yang berjudul ‘Stabilisasi dan Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi Keluar’
dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971.
Pada saat orde lama yang dipimpin oleh soekarno, keadaan perekonomian Indonesia
jauh dari stabil. Keadaan tersebut dipicu oleh keadaan Indonesia yang baru saja merdeka
sehingga masih terdapat banyak ketidakstabilan dari sisi politik maupun ekonomi. Pada masa
orde lama ini ditandai dengan adanya inflasi yang sangat tinggi dan kurangnya pemenuhan
kebutuhan pokok. Pada masa ini kegiatan ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan
pemerintah dan mengabaikan prinsip ekonomi yang ada. Keadaan diperburuk dengan adanya
proyek-proyek mercusuar yang mengakibatkan bertambahnya inflasi yang sangat tinggi.
Puncaknya pada ahun 1965 cadangan devisa Indonesia telah banyak dihabiskan akibat dari
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kondisi ekonomi yang buruk dicoba untuk diperbaiki pada era Soeharto yakni orde
baru yang dimulai pada tahun 1965. Pada masa kepemimpinan Soeharto telah terjadi banyak
perubahan yang menuju pada stabilisasi ekonomi. Pembangunan di segala bidang merupakan
tujuan dari perekonomian orde baru. Pada masa orde baru pemerintah melakukan stabilisasi
ekonomi dengan pendekatan ke luar yakni dengan membuka pintu bagi investor asing agar
dapat mendongkrak pendapatan Indonesia. Bantuan dari organisasi internasional seperti IMF
menjadi pemicu kembalinya perekonomian Indonesia dari keterpurukan. Stabilisasi
pembangunan yang ada pada orde baru dirangkum dalam program pembangunan lima tahun
yang membawa dampak positif yakni terbukanya lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan
khususnya pada bidang pertanian dan industry. Stabilisasi ekonomi pada masa orde baru
mendukung perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik.
Sejarah perencanaan kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang
berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, kota-kota di Nusantara tidak
memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada
masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi
sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-
kolonial.
Perencanaan sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah
melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan
kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh
kepercayaan terhadap Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun
dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat dan terkait pula dengan hirarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh
pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa
wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati
kedudukan sentral pada sebuah kota.
Dalam hal tersebut, perencanaan kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”.
Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya penyeimbangan antara
kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di
Bali, meskipun diterapkan semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.
sumber:https://gedebudi.wordpress.com
Pada pengetahuan lokal tersebut, ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen
umum yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat adalah
rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman
warga kota biasa.
Evers dan Korff (2000) menyebut adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di
pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk karena kekuatan Ilahi dari
penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka
dari berbagai tempat. Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan
kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama muncul lebh banyak, sebelum perdagangan
dengan daerah-daerah di seberang lautan semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan
samudera oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang) menjadi sasaran
empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di
pedalaman (kota suci) yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh
politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak ada cara-
cara sistematis untuk mencegah hal tersebut. Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahal awal ini
kurang mampu mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.
Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa.
Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian
menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam
yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama
di pedalaman. Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama
untuk mendukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar
yang lebih besar merupakan tanggapan atas perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, “perencanaan”
masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini.
Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia adalah salah
satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih
rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah
kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di
dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa. Hal ini digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan
orang-orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah ‘India Kuno’ yang besar dan luas dengan pekarangan yang
terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap
primitif dan tidak tertata. Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan
karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam kamp China
yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan
kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Inilah adalah
bentuk pengaturan awal yang muncul dari tata kota.
Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang
diambilkan dari kota-kota Jawa. Kota Batiavia dibangun dengan jalan besar yang melingkari kota dan dilengkapi
dengan alun-alun yang luas. Sama halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk
dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan
dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya.
Lorong-lorong kecil menembus kawasan pusat dengan bagian kiri dan kanan berpagar rangkaian bamboo.
Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan.
Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
Pemisahan ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan atas kebangsaan. Orang-
orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya
pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara
ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen. Pengaturan ini, oleh Voskuil (2006) didasarkan
terutama oleh tingkat kesejahteraan, namun lebih mencerminkan segregasi spasial. Kini, di permukiman utara
pun masih ditemukan adanya kantong-kantong permukiman miskin baru.
Salah satu tonggak penting dalam pengelolaan kota di Indonesia adalah munculnya undang-undang
desentralisasi yang memungkinkan pemerintah kota mengatur urusan kotanya sendiri. Kota-kota di Indonesia
kemudian memberlakukan peraturan bangunan, seperti Bataviasche Plannerorderning 1941, Bataviasche
Bestemingkringe en Bouwtypenverordening 1941, dan Bataviasche Bouwverordening 1919 – 1941. Semua
peraturan tersebut masih berorientasi kepada fisik kota. Dengan perhatian Thomas Karsten tahun 1920 dalam
laporan Town Planning in Indonesia, maka terbentuk Komite Perencanaan Kota oleh pemerintah kolonial yang
menghasilkan RUU tentang perencanaan kota pertama di Indonesia yang kemudian menjadi SVV dan SVO.
Kota-kota paska-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan
nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat karena migrasi masuk. Selain itu, terjadinya baby
boom yang turut melanda Indonesia paska-Perang Dunia Kedua. Pada saat tersebut, kondisi infrastruktur masih
kurang baik. Rencana Lima Tahun Pertama (1956 – 1960) dibuat, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan Komite Perencanaan Nasional. Komite ini membuat Rencana Pembangunan Delapan Tahun
(1961 – 1968). Kedua rencana tersebut sangat ambisius dengan tidak memperhatikan ketersediaan dana dan
daya dukung ekonomi. Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai
dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan
ekonomi Indonesia yang sebenarnya sangat rapuh oleh Presiden Soekarno, sebagai simbol New Emerging
Forces of the World (Winarso, 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan gaya kepemimpinan nasional yang lebih rasional, maka disusun
perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, kota-
kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional
muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang
didanai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme)
yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an.
Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah
(BAPPEDA). Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah
berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.
Pada tahu 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak bagi
perencanaan spasial yang mengambil gagasannya dari gaya perencanaan di Inggris (Winarso, 1999).
Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP
(Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan
investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta. Pada tahun 1992,
lahir UU No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada
berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antartingkatan tersebut. Meskipun sangat kental bercorak
top-down, lahirnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Lahirnya PP No.
69 Tahun 1996 tidak banyak berpengaruh terhadap pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif karena
perencanaan belum mampu mengikutsertakan masyarakat ke dalam bentuk paritisipasi yang lebih nyata,
ketimbang sekedar informasi dan konsultasi.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat berat. Kota-kota mengalami masalah akut
terkait mandegnya investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar
justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di
Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor
penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang
demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun UU
Penataan Ruang yang baru (yang dimaksud adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). UU
Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004,
memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun
2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antardaerah otonom.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 memberikan peluang bagi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk muncul
ke permukaan. Pendekatan didasarkan atas potensi dan kendala yang dihadapi oleh kota-kota, baik itu fisik,
ekonomi, dan budaya. Selain itu, secara hubungan spasial antara wilayah tidak lagi didominasi hubungan antara
pusat – pinggiran, melainkan berkembangkan menjadi hubungan-hubungan yang sifatnya lebih self-sustai
dengan memperhatikan peluang pasar ke luar. Disini, perencanaan spasial menjadi bersifat strategis, ketimbang
memperkuat hubungan ‘tradisional’ kota dengan wilayah sekitarnya sebagai hubungan pusat – pinggiran.
Dibalik perencanaan kota yang disebut mainstream (formal) pengaruh-pengaruh perencanaan yang berkembang
di dunia barat pun turut mempengaruhi gagasan perencana di Indonesia. Beberapa perencana bergerak di
bidang advokasi dan pendampingan masyarakat yang memungkinkan akses masyarakat terhadap sumber-
sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka ini bergabung ke dalam Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Meskipun demikian, praktek-praktek ini pun tidak dapat dilepaskan dari “pesanan” organisasi-
organisasi internasional yang menginginkan perubahan dalam demokrasi masyarakat Indonesia yang tengah
mengalami transisi.
Dari rangkaian praktek dan pengetahuan perencanaan yang terakumulasi di atas, kita melihat perkembangan
perencanaan kota di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehadiran penjajah kolonial di bumi Nusantara. Secara
indigenous, perencanaan kota yang disebut ‘Indonesia’ hampir tidak tidak muncul ke permukaa. Perencanaan
seringkali diarahkan oleh inovasi perencanaan yang berkembang di dunia Barat. Meskipun demikian, paska-
kemerdekaan perkembangan perencanaan sangat pesat dan masih belum jelas arah dari perencanaan kita pada
masa mendatang. Semecam otokritik perlu dialamatkan, bahwa dari pengalaman selama ini sekolah
perencanaan seakan menjadi persiapan untuk menjadi birokrat (Winarso, 1999), sehingga kurang memberikan
gambaran tentang perencanaan kota yang benar-benar dibutuhkan selama ini dalam teori dan praktek. Tentu
saja, dengan demikian, tidak dapat diharapkan untuk meramalkan wajah perencanaan pada masa depan.
Praktek-praktek yang berkembang di luar jalur formal tersebut seringkali menjadi good practice yang belum
terlembagakan dengan baik ke dalam sistem perencanaan kita, seperti perumahan untuk Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) oleh Johan Silas dan Hasan Poerbo.
sumber:https://gedebudi.wordpress.com
gmbar:http://rh-indonesiadoeloe.blogspot.co.id
Sumber Berita: http://perkimtaru.pemkomedan.go.id/artikel-959-merunut-sejarah-perencanaan-kota-di-
indonesia.html#ixzz7uJGBa8Ef
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives
https://www.satuharapan.com/read-detail/read/perencanaan-pembangunan-di-indonesia-dari-
masa-ke-masa
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 13:28 WIB | Selasa, 12 Januari 2016
Pada masa Orde Lama atau era Presiden Soekarno, strategi pembangunan didasarkan
perencanaan pembangunan lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai
dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan
nasional,
Tahun 1947 dimulai suatu perencanaan beberapa sektor ekonomi dan diberi nama
Plan Produksi Tiga Tahun RI untuk tahun 1948, 1949, dan 1950, ditujukan terhadap
bidang- bidang pertanian, peternakan, perindustrian dan kehutanan. Dan juga
beberapa program lainnya.
Rencana Kasimo (Kasimo Plan) Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan
MakananI J Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950)
mengenai usaha swasembada pangan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara,
dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1947. Tugas biro ini
merancang pembangunan jangka panjang. Ir Juanda diangkat sebagai menteri
perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan LimaTahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Badan ini tidak
dapat berjalan dengan baik karena, adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan
Eropa Barat pada akhir tahun1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan
pendapatan negara merosot, selain itu masih adanya perjuangan pembebasan Irian
Barat, dan nasionalisasi perusahaan- perusahaan Belanda di Indonesia, hal ini
menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah,
menyebabkan banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-
masing.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967, MPR Sementara
(MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan
nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik
Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960
tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-
1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut, fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha, dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas,
untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain. Repelita I
membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3 persen menjadi 6,7 persen per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8 persen pada akhir Repelita I pada tahun 1974. Repelita II (1974-1979)
dan Repelita III (1979-1984), fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas
nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri
yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
Tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya
merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an. Fokus
Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan
kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri
khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri.
Ketiadaan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era reformasi, telah mendorong Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menghadirkan UU No 17/2007, tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025. Strategi pembangunan yang sesuai
konteks Indonesia. Ekonomi Indonesia memadukan pendekatan sumber daya (resources),
pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Pertumbuhan ekonomi yang dianut adalah
pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equality, agar benar-benar membawa rasa
adil. Ekonomi dalam negeri yang berdimensi kewilayahan, daerah-daerah menjadi kekuatan
ekonomi lokal. Dengan strategi pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-rakyat miskin, dan
pro-lingkungan diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional.
RPJP Nasional ini merupakan, dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode
20 (dua puluh) tahun. RPJP Nasional untuk tahun 2005 sampai dengan 2025 diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi
dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan
jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan.
RPJM tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap
tahunnya. RKP rencana pembangunan tahunan nasional, yang memuat prioritas
pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program
kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka
regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. RKP merupakan pedoman bagi penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(academia.edu/wikipedia.org)