Anda di halaman 1dari 120

NOTA KEUANGAN

DAN

RANCANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN 1970/1971

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BAB I
UMUM

A. Kebijaksanaan Keuangan
1.1. Pendahuluan

Tahun anggaran 1970-1971 merupakan tahun kedua daripada pelaksanaan Pelita I,


1969-1974. Pelaksanaan pembangunan ini sesuai dengan garis-garis kebijaksanaan yang
telah dituangkan dalam berbagai ketetapan hasil-hasil sidang MPRS tahun 1966, terutama
Ketetapan MPRS XXIII/MPRS/1966. Ketetapan MPRS No.XLI/MPRS/1968 menentukan
bahwa tugas pokok Kabinet Pembangunan adalah melanjutkan tugas-tugas Kabinet Ampera
dengan perincian sebagai berikut :
(a) Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya
pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan pemilihan umum
(b) Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(c) Melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan Ketetapan MPRS
No.XLII/MPRS/1968.
(d) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa
G 30 S/PKI dan setiap perongrongan, penyelewengan serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
(e) Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh Aparatur Negara
dari Tingkat Pusat sampai Daerah.
Sudah barang tentu tugas pembangunan itu tidak akan dapat berhasil bila beberapa
prasyarat tidak dipenuhi atau tidak ada.
Prasyarat-prasyarat yang diperlukan untuk berhasilnya pembangunan itu adalah :
(1) Adanya kepemimpinan negara dan pemerintahan yang sepenuhnya merasa dan
bertindak terikat pada usaha-usaha pembangunan;
(2) Terciptanya suatu mentalitas rakyat yang yakin akan berhasilnya suatu pembangunan,
sehingga dengan demikian bersedia untuk memikul segala biaya dan akibat-akibatnya
dan turut serta didalamnya;
(3) Adanya kesepakatan tentang sasaran-sasaran dan cara-cara untuk mencapai sasaran
pembangunan tersebut, sasaran-sasaran dan cara-cara mana haruslah cukup realistis
mengingat kondisi, waktu dan tempat; dengan perkataan lain, harus ada suatu rencana
pembangunan yang baik dan realistis;

1
(4) Memiliki sumber-sumber, baik yang bersifat manusia, kekayaan alam maupun modal,
yang dapat dikerahkan untuk melaksanakan usaha-usaha pembangunan; dan akhirnya
(5) Memiliki perangkat kelembagaan masyarakat yang membantu bahkan turut serta di
dalam usaha-usaha pembangunan.
Suatu usaha pembangunan mensyaratkan adanya suatu ketenangan dan kemantapan
di dalam bidang moneter. Atas dasar itulah Pemerintah telah melaksanakan usaha-usaha
stabilisasi di dalam tahun 1967/1968. Tahun 1969 merupakan tahun pertama kali di mana
Indonesia mengalami suatu kemantapan harga meskipun jumlah uang yang beredar terus
bertambah (lihat grafik). Stabilisasi moneter bukanlah menjadi tujuan akhir Pemerintah.
Kestabilan moneter merupakan salah satu prasyarat ekonomis obyektif yang memungkinkan
berhasilnya usaha-usaha pembangunan ekonomi. Berkat tekad dan kesungguhan masyarakat
bersama Pemerintah untuk sepenuhnya mengabdikan dan melibatkan diri di dalam usaha
stabilisasi dan rehabilitasi itu, maka prasyarat pembangunan tersebut dapat dicapai dalam
suatu jangka waktu yang relatif pendek.
Usaha pembangunan itu sendiri memerlukan pembiayaan yang besar sekali. Seluruh
sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang dapat dihasilkan dan disisihkan oleh
masyarakat, baik oleh Pemerintah maupun oleh sektor swasta, merupakan pembatasan yang
mencerminkan sampai di mana usaha-usaha pembangunan dapat dilaksanakan. Pembatasan-
pembatasan pembiayaan ini pulalah yang mengharuskan Pemerintah dan masyarakat untuk
melakukan pilihan di antara banyak bidang sasaran. Untuk itulah harus diadakan prioritas-
prioritas tertentu.
Kondisi-kondisi obyektif yang ada di Indonesia mengharuskan Pemerintah untuk
menentukan sektor pertanian sebagai prioritas utama kegiatan-kegiatan pembangunan
Repelita 1969/1970 – 1973/1974. Dengan terarahnya kegiatan pembangunan pada sektor
pertanian, diusahakn pula secara simultan pembangunan sektor-sektor perekonomian lain
yang akan menunjang sektor pertanian tersebut. Sebaliknya dengan berkembangnya sektor
pertanian itu sendiri diharapkan akan mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
Jelaslah bahwa berhasilnya usaha pembangunan sesuai dengan strategi umum
Repelita itu bergantung pada 2 hal, yakni : (a) berlangsungnya terus stabilisasi moneter
sebagai landasan pembangunan dan (b) tersedianya dana-dana pembiayaan pembangunan
serta pengarahan kegiatan-kegiatan pembangunan. Di samping itu adanya tekad dan
kesungguhan masyarakat untuk sepenuhnya mengabdikan dan melibatkan diri di dalam
usaha-usaha pembangunan tersebut merupakan pula prasyarat. Dengan demikian tugas untuk
tetap menjaga stabilisasi di samping meningkatkan suber-sumber pembiayaan membawa

2
konsekuensi terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang ekonomi –
keuangan.

1.2. Landasan Pokok Kebijaksanaan APBN 1970/1971

Landasan pokok Kebijaksanaan APBN 1970/1971 didasarkan pada hal-hal sebagai


berikut :
(1) Sesuai dengan ketetapan MPRS XXIII/MPRS/1966 Pemerintah akan tetap
menyelenggarakan kebijaksanaan integral yang mencakup kebijaksanaan budget,
kebijaksanaan fiskal, kebijaksanaan upah, kebijaksanaan neraca pembayaran luar
negeri dan sebagainya disertai dengan perubahan-perubahan institusionil dan
proseduril guna lebih memantapkan stabilisasi sebagai prasyarat pembangunan dan
sesuai dengan skala prioritas pembangunan yang telah dituangkan dalam Repelita
1969/1970 – 1973/1974.
(2) Tetap melaksanakan budget management yang disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan
ekonomi di Indonesia dan dengan tahap-tahap pembangunan.
(3) Mengingat akan bertambah besarnya pembiayaan pembangunan di satu pihak dan
makin terbatasnya bantuan program yang nilai lawannya dipergunakan untuk
pembiayaan pembangunan, maka bagian penerimaan dalam negeri yang sejak
pelaksanaan tahun pertama PELITA disisihkan sebagai tabungan Pemerintah untuk
pembiayaan pembangunan harus lebih ditingkatkan dalam tahun anggaran 1970/1971.
(4) Kebijaksanaan di bidang anggaran yang dianut adalah tetap anggaran berimbang.
Tetapi anggaran berimbang ini sifatnya tidak statis. Mengingat di dalam anggaran
berimbang tersebut harus diciptakan public savings yang makin lama makin besar bagi
pembiayaan pembangunan, maka anggaran tersebut merupakan anggaran berimbang
yang dinamis.
(5) Tetap melaksanakan pengintegrasian antara rencana fisik PELITA dengan anggaran
pembangunan dari APBN untuk menjamin berhasilnya pelaksanaan rencana
pembangunan.
(6) Pelaksanaan anggaran tetap disusun atas dasar orientasi pada program (program
oriented budget).

1.2.1. Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Penerimaan Negara

Khusus mengenai landasan pokok kebijaksanaan APBN yang menyangkut


segi penerimaan dapatlah diperinci sebagai berikut :

3
Dalam segi penerimaan negara selalu diusahakan kebijaksanaan yang dapat
menjamin bagian yang makin meningkat dari pendapatan nasional (GNP). Untuk
tahun anggaran 1970/1971 kenaikan penerimaan negara adalah 40% dibandingkan
dengan tahun anggaran 1969/1970. Didalam rangka meningkatkan penerimaan
Pemerintah tersebut, maka harus dijaga agar tabungan Pemerintah terus meningkat
disamping menjamin pemberian perangsang yang cukup bagi kegiatan-kegiatan
produktif. Sehubungan dengan ini Pemerintah akan menurunkan dan
menyederhanakan tarif-tarif pajak terutama pajak perseroan dan pajak pendapatan.
Untuk pajak perseroan tarif maksimum akan diturunkan dari 60% menjadi 45%,
sedangkan jumlah golongan tarif dari 7 macam disederhanakan menjadi 2 macam
saja.
Dalam hubungan inilah maka Pemerintah bermaksud mengajukan 5 buah
rancangan undang-undang tentang perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan
terhadap :
1. Ordonansi Pajak Perseroan 1925
2. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944
3. Undang-undang Pajak Dividen 1959
4. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
5. Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri.
Disamping itu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, tetap
diusahakan usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi mencakup hal-hal seperti : penetapan dasar pengenaan pajak,
yakni besarnya pendapatan, laba ataupun peredaran, yang lebih sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya, sedangkan penagihannnya diawasi dan dijaga supaya
pajak-pajak dibayar tepat pada waktunya.
Dalam hal itu sistim pemungutan MPS dan MPO, yang kini sudah cukup
dikenal masyarakat, akan lebih ditingkatkan kemanfaatannya. Dari masyarakat
sendiri diharapkan adanya kesadaran, rasa tanggung jawab serta kerelaan yang lebih
besar untuk memenuhi kewajiban membayar pajak sebagaimana telah ditetapkan
dalam masing-masing undang-undang pajak yang bersangkutan.
Adapun ekstensifikasi berarti usaha-usaha untuk menjangkau obyek-obyek
serta subyek-subyek yang kini masih lolos dari pengenaan pajak.

4
Kedua usaha tersebut hanya akan berhasil apabila disatu pihak kemampuan
aparatur dan ketertiban administrasi perpajakan sendiri ditingkatkan, dilain pihak
ditempuh usaha-usaha untuk mempertebal kesadaran masyarakat tentang fungsi
perpajakan didalam kehidupan bernegara, tentang diperlukannnya pajak-pajak guna
membiayai kebutuhan-kebutuhan umum.
Demikian pula dalam bidang bea masuk pokok kebijaksanaan yang ditempuh
akan tetap dilaksanakan dalam rangka Peraturan Pemerintah No. 6 bulan Maret 1969
yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan Menteri Keuangan RI. No.
Kep.600/MK/III/9/1969 tertanggal 1 September 1969. Dalam bidang cukai,
penetapan harga limit hasil tembakau, penertiban merk hasil tembakau dan usaha
secara langsung mengawasi produksi beberapa hasil tembakau merupakan langkah-
langkah kearah pengamanan penerimaan negara yang berasal dari cukai.

1.2.2. Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Pengeluaran Negara

Dibandingkan dengan pengeluaran Negara tahun 1969/1970, maka


pengeluaran negara untuk tahun 1970/1971 akan merupakan beban yang lebih berat
bagi Pemerintah. Bila didalam tahun 1969/1970 anggaran rutin berjumlah Rp 204
milyar, maka didalam thaun 1970/1971 akan bertambah besar menjadi Rp 283,4
milyar. Sedangkan anggaran pembangunan (diluar bantuan proyek) akan meningkat
dari Rp 87 milyar di dalam tahun 1969/1970 menjadi Rp 115,8 milyar didalam tahun
1970/1971.
Peningkatan dari pengeluaran negara tersebut meliputi sektor-sektor belanja
pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, pembayaran hutang, biaya
pemilihan umum dan public savings.
Mengenai belanja pegawai, Pemerintah bermaksud untuk menaikkan gaji
pegawai negeri dan ABRI sebesar 50%. Kenaikan ini hanya sebesar jumlah tersebut
karena terbatasnya kemampuan penerimaan negara dan adanya pengeluaran-
pengeluaran lain yang tidak dapat dielakkan dan haruis dibayar oleh Pemerintah,
misalnya Pemilihan Umum, dan sebagainya.
Pengeluaran lain yang memerlukan pembiayaan yang jauh meningkat
dibandingkan dengan tahun 1969/1970 adalah pembiayaan Pemilihan Umum. Untuk
ini dalma tahun 1970/1971 disediakan Rp 10 milyar. Meskipun sebenarnya keperluan
pembiayan Pemilihan Umum adalah lebih besar daripada jumlah tersebut, tetapi

5
berhubungan terbatasnya dana yang tersedia maka jumlah tersebut adalah yang
maksimal dapat disediakan.
Disamping itu pengeluaran pembangunan juga memerlukan pembiayaan yang
sangat meningkat berhubung dengan adanya faktor-faktor sebagai berikut :
(a) Diperkirakan bahwa untuk tahun anggaran 1970/1971 penyediaan rupiah untuk
“local cost” daripada bantuan proyek akan meningkat menjadi kurang lebih
Rp 32,0 milyar.
(b) Berhubungan adanya keperluan “local cost” yang sangat meningkat tersebut,
diperlukan tambahan biaya untuk proyek-proyek lain yang sekarang sedang
berjalan guna menghindari kemacetan dan kemunduran di dalam pembangunan.
(c) Pembangunan dari daerah Irian Barat yang harus makin ditingkatkan.
(d) Disamping subsidi desa yang juga akan diberikan di dalam tahun 1970/1971 ini
seperti juga di dalam tahun anggaran yang lalu, maka Pemrintah merasa perlu
untuk juga memberikan subsidi kepada kabupaten-kabupaten. Tujuan daripada
subsidi tersebut selain dimaksudkan untuk memperluas lapangan kerja juga
bertujuan mendorong peningkatan usaha dalam kegiatan ekonomi dan produksi
pada tingkat Kabupaten. Dengan demikian dapat lebih dimanfaatkan kelebihan
tenaga kerja yang masih tersedia di daerah tersebut, sehingga pendapatan
daerah dan kesejahteraan rakyat juga akan meningkat lagi.
Untuk tahun-tahun berikutnya pemberian subsidi ini akan dikaitkan dengan
penerimaan daerah. Dengan demikian maka akan diukur dan dinilai pula usaha suatu
daerah Kabupaten didalam meningkatkan penerimaan daerah dari sumber-sumber
didaerahnya.
Dengan demikian maka tabungan Pemerintah yang harus disediakan lebih
besar daripada didalam tahun anggaran yang lalu. Untuk itu diperkirakan tabungan
Pemerintah akan berjumlah Rp 37,1 milyar (menurut perkiraan didalam REPELITA
hanya Rp 33,0 milyar).
Mengenai pembiayaan disekitar belanja barang telah terjadi peningkatan dari
Rp 36,7 milyar menjadi Rp 69,4 milyar; ini berarti suatu kenaikan hampir sebesar
100%. Kenaikan ini sebagian disebabkan keperluan pemeliharaan (maintenance) dan
pelaksanaan proyek-proyek disamping kebutuhan belanja barang yang diperlukan
untuk lebih meningkatkan jalannya roda Pemerintahan.

6
Sebagai akibat daripada usaha Pemerintah untuk meningkatkan gaji pegawai,
maka subsidi daerah otonom juga meningkat yaitu dari Rp 41,4 milyar menjadi
Rp 53,2 milyar.
Mengenai pembayaran hutang-hutang terjadi peningkatan sebagai akibat
semakin besarnya hutang-hutang yang telah jatuh tempo.

1.3. Landasan Pokok Kebijaksanaan Perkreditan Bank

Pada azasnya kebijaksanaan perkreditan Pemerintah dalam tahun 1970/1971 masih


tetap berlandaskan kebijaksanaan perkreditan yang selektif yang mendorong kegiatan-
kegiatan pembangunan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut meliputi kebijaksanaan suku
bunga, pengarahan kredit, penyediaan kredit jangka menengah/panjang untuk investasi dan
penyediaan kredit jangka pendek untuk sektor-sektor produksi dan industri.
Mengenai kebijaksanaan suku bunga debet, seperti dalam tahun 1969/1970, akan
terus disesuaikan sedemikian rupa sehingga akan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi
tanpa mengganggu kestabilan ekonomi. Disamping itu guna menjaga pengarahan kredit ke
sektor-sektor yang lebih prodyktif maka kebijaksanaan “differential interes rates” akan tepat
dilaksanakan.
Begitu pula mengenai kebijaksanaan suku bunga deposito akan disesuaikan dengan
perkembangan ekonomi pada umumnya.
Kebijaksanaan kredit investasi yang telah dimulai sejak bulan April 1969 akan tetap
dilanjutkan untuk 1970/1971 guna lebih memberikan perangsang kepada kegiatan-kegiatan
investasi yang diprioritaskan oleh Pemerintah.
Diperkirakan bahwa ekspansi kredit perbankan untuk tahun 1970/1971 akan
mencapai jumlah Rp 130,0 milyar. Didalam pelaksanan daripada pemberian kredit tersebut
akan tetap diperhatikan situasi dan keadaan moneter pada umumnya.

1.4. Situasi Moneter Internasional

Segala kebijaksanaan yang akan dilakukan Pemerintah tidak terlepas dari situasi
monoter internasikonal. Kalau diperhatikan keadaan moneter pada waktu ini dan
memperkirakan apa yang akan terjadi dalam tahun anggaran 19701971, maka keadaan
tersebut secara umum dapat dikatakan tidak begitu mengkhawatirkan dibandingkan dengan
beberapa tahun yang lalu.
Seperti diketahui, krisis moneter internasional dimulai dengan devaluasi Pound
Sterling Inggris dalam bulan Nopember 1967 yang kemudian diikuti oleh negara-negara

7
commonwealth. Krisis tersebut terjadi sebagai akibat adanya defisit dalam Neraca
Pembayaran Inggris yang sangat berat yang telah menimbulkan balance of payment gap dan
mengakibatkan merosotnya cadangan emas dan devisa secara drastis.
Beberapa bulan kemudian telah terjadi pula kegoncangan moneter internasional yang
kedua sebagai akibat terjadinya krisis emas internasional. Di dalam bulan Maret 1968
ditentukan adanya “two-tier System” untuk emas yang berarti adanya 2 harga untuk emas :
satu harga untuk transaksi emas antar bank sentral beberapa negara besar dan harga yang lain
untuk pasaran bebas emas. Harga untuk antar bank sentral ditentukan sebesar US$ 35 per
ounce sedangkan untuk pasar bebas diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran.
Sementara itu dalam tahun 1968 di Perancis telah terjadi kenaikan-kenaikan harga
sebagai akibat tuntutan kenaikan upah buruh yang telah mengakibatkan meningkatnya
ongkos produksi dan aggregate demand. Gejala ini pada akhirnya telah menekan pada
Neraca Pembayaran luar negeri sehingga terjadi defisit yang menyebabkan merosotnya
cadangan emas dan devisa pula. Pada bulan November 1968 Pemerintah Perancis terpaksa
mengumumkan devaluasi mata uang Franc.
Pada waktu yang bersamaan keadaan moneter di Jerman Barat menunjukkan gejala
yang sebaliknya dibandingkan dengan di Inggris dan Perancis. Keadaan perekonomian
adalah demikian pesatnya sehingga nilai mata uang DM menjadi sangat kuat. Neraca
Pembayaran luar negerinya menunjukkan surplus yang sangat besar yang telah menyedot
cadangan emas dan devisa dari negara-negara lain. Dengan adanya tekanan-tekanan tersebut
Pemerintah Jerman Barat terpaksa melepaskan nilai paritasnya terhadap emas dan US$ dan
menyerahkan kursnya kepada suatu “floating rate” dan kemudian diakhiri dengan suatu
revaluasi di dalam bulan Oktober 1969.
Kegoncangan yang di satu pihak berbentuk devaluasi dan di lain pihak revaluasi pada
hakekatnya bersumber pada ketidakseimbangan kekuatan ekonomi di antara negara-negara
yang mata uangnya dianggap sebagai cadangan alat pembayaran internasional. Sebagai
akibat hal-hal yang disebutkan itu maka terasa sekali gangguan terhadap kelancaran lalu-
lintas pembayaran internasional. Untuk mengatasi hal ini IMF telah mengambil berbagai
langkah untuk menetralisir akibat-akibat negatifnya.
Didalam sidang tahunan Dana Moneter Internasional 1969 yang baru lalu telah
diambil keputusan yang mengijinkan negara-negara yang ekonomi lemah untuk
mempergunakan “hak tarik dana khusus” (special drawing right) untuk menambah liquiditas
dalam perdagangan luar negeri negara-negara yang bersangkutan yang dapat dipergunakan
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya.

8
Jumlah SDR yang disediakan IMF adalah US$ 9,5 milyar yang akan dibagikan di
dalam 3 tahun. Untuk tahun pertama (1970) akan disediakan US$ 3,5 milyar, sedangkan
untuk tahun kedua (1971) dan tahun ketiga (1972) masing-masing disediakan US 3,0 milyar.
Besarnya SDR bagi masing-masing negara tergantung pada quota negara-negara mereka.
70% daripada SDR ini dapat digunakan secara bebas sedangkan yang 30% pada akhir tahun
harus dikembalikan kepada IMF. SDR tidak dapat digunakan oleh negara-negara yang
mengalami surplus di dalam Neraca Pembayarannya tetapi untuk kelebihan SDR-nya IMF
membayar bunga.
Disamping penciptaan SDR ini IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar negara yang
maju tetap memenuhi kewajibannya untuk menyisihkan 1% dari Pendapatan Nasional
mereka untuk bantuan-bantuan luar negeri.
Dalam bidang ekspor diharapkan bahwa harga-harga daripada barang-barang ekspor
kita yang berada pada tingkatan yang menguntungkan akan tetap bertahan. Demikian pula
dalam bidang impor dapat diharapkan tidak akan terjadi kenaikan-kenaikan harga sehingga
tidak akan merugikan “terms of trade” Indonesia.
Keadaan moneter internasional dan indikator-indikator ekonomi internasional selalu
akan diperhatikan Pemerintah untuk menentukan kebijaksanaan APBN dan kebijaksanaan-
kebijaksanaan ekonomi lainnya.

1.5. Landasan Pokok Kebijaksanaan Dalam Penanaman Modal Asing dan


Penanaman Modal Dalam Negeri

Di dalam melaksanakan pencapaian sasaran dalam pembangunan, maka pemerintah


berusaha untuk merangsang sebanyak mungkin dana, baik di dalam sektor pemerintahan
sendiri maupun dlaam sektor swasta, dalam dan luar negeri, karena pemerintah berkeyakinan
bahwa pendobrakan keterbelakangan ekonomi tidaklah mungkin dilakukan dengan
permodalan yang kecil. Saling berkaitannya pelbagai sektor menandakan betapa luas dan
banyaknya modal yang dibutuhkan. Oleh karena itu maka keserasian dan harmoni dalam
kerjasama antara sektor Pemerintah dan Swasta dalam maupun luar negeri sangatlah
dibutuhkan.
Haruslah diakui bahwa selama kemampuan kita masih terbatas, maka perlu
dimanfaatkan dana-dana luar negeri sepanjang hal tersebut tidak diikuti ikatan-ikatan politik
dan dapat dipertanggungjawabkan penggunannya secara ekonomis. Tujuan terpenting
penanaman modal asing adalah sebagai alat pembantu untuk mempercepat proses

9
pengolahan kekayaan alam kita yang potensiil menjadi kekayaan yang riil terutama selama
kita sendiri belum mampu melaksanakannya.
Landasan pokok daripada penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri pada hakekatnya berdasarkan pada Undang-undang No.1 tahun 1967 dan No. 6 tahun
1968 serta Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut oleh Pemerintah telah dikeluarkan
beberapa keputusan baik yang mengenai bidang perpajakan maupun yang mengenai bidang
bea dan cukai. Dalam bidang perpajakan telah dikeluarkan :
a. Instruksi Presidium Kabinet No. 06/EK/IN/I/1967 tanggal 27 Januari 1967 yang
mengatur tentang pedoman pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1967
b. Instruksi Menutama EKKU No.IN/026/MEKKU/IV/1967 tanggal 1 April 1967 yang
mengatur tax holiday bagi investasi baru oleh perusahaan-perusahaan asing yang
dikembalikan.
c. Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967 tanggal 3 Juni 1967 mengenai
pemberian tambahan tax holiday 1 tahun untuk proyek-proyek yang mengadakan joint
enterprise.
Dalam bidang bea dan cukai telah dikeluarkan :
a. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 156/Men.Keu/1967 tanggal 3 Agustus 1967
yang kemudian disempurnakan dengan surat keputusan No. Kep-246/M/IV/9/1968
tanggal 5 September 1968, yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan/keringanan
bea masuk dan pajak penjualan impor, terhadap barang-barang modal yang diimpor.
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-342/MK/III/5/1969 tanggal 23 Mei 1969
tentang pemberian fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk dan pajak penjualan
impor terhadap barang-barang modal yang diimpor dengan mempergunakan DICS-Rp.
Sedang dalam rangka memanfaatkan dan merangsang agar modal nasional/domestik
turut serta di dalam pembangunan, maka Undang-undang No.6 tahun 1968 merupakan
landasan pokok bagi penanaman modal dalam negeri. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut, telah
pula dikeluarkan beberapa ketentuan baik yang mengatur pemberian fasilitas perpajakan
maupun bea dan cukai.
Ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan penanaman
modal dalam negeri adalah :
a. Surat Keputusan Ketua Panitia Tehnis Penanaman Modal No.01/Kep/PTPM/68 tanggal
18 November 1968 tentang prosedure pengajuan permohonan fasilitas PMDN.

10
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep-24/MK/II/1/1969 tanggal 21 Januari 1969
tentang fasilitas-fasilitas di bidang perpajakan :
a. tax holiday (pajak perseroan dan pajak dividen);
b. bea materai modal;
c. pemutihan modal;
d. pajak kekayaan atas modal yang ditanam.
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-202/MK/IV/3/1969 tanggal 28 Maret 1969
tentang fasilitas-fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor.
d. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep-611/MK/III/9/1969 tanggal 3 September
1969 tentang fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor (PMDN dan PMA), khusus
mengenai pembangunan/rehabilitasi hotel tingkat internasional.
Dalam pemberian fasilitas penanaman modal, Pemerintah berpegang teguh pada
kebijaksanaan ekonomi sebagai keseluruhan. Pemberian fasilitas hanyalah diberikan kepada
investor-investor yang benar-benar melakukan penanaman modal dengan mempertaruhkan
modalnya terhadap resiko yang harus dihadapi serta yang proyeknya benar-benar sangat
diperlukan masyarakat.
Di samping memberikan perangsang-perangsang, juga harus diperhitungkan bahwa
penanaman modal baru tidak boleh mematikan bahkan sebaliknya harus lebih menyehatkan
cara kerja dan management daripada perusahaan-perusahaan yang telah ada (asas proteksi).
Akhirnya selalu diperhitungkan pula bahwa pemberian fasilitas kepada perusahaan
penanaman modal baru tidak boleh mengganggu kebijaksanaan keuangan negara
(penerimaan negara) dan kebijaksanaan moneter yang dilaksanakan Pemerintah.
Seperti dijelaskan di atas, pemberian perangsang dalam rangka penanaman modal
dimaksudkan untuk menarik modal baik dari luar negeri maupun nasional yang belum
dimanfaatkan untuk usaha produktif, agar mau menanamkannnya di dalam usaha-usaha
produktif terutama dalam bidang penggalian kekayaan alam. Selain itu juga dimaksudkan
untuk menciptakan lapangan kerja baru, mendatangkan skill dan teknik modern dan lain-lain
hal sehubungan dengan pembangunan ekonomi.
Dengan adanya fasilitas penanaman modal dalam negeri, kredit investasi dan lain-
lain memungkinkan mereka mengadakan pembaruan teknik, management dan organisasinya
sehingga dengan demikian mereka akan lebih maju. Dalam kebijaksanaan perekonomian
dewasa ini dan dalam suasana pembnagunan sekarang, tidak pada tempatnya lagi usaha-
usaha yang bekerja dengan sistim jatah, sistim lisensi, sistim golongan dan sebagainya

11
seperti di masa-masa lampau, melainkan harus didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi
secara rasionil.

B. Perkembangan Harga, Gaji, Produksi dan Penanaman Modal

Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 1969 menunjukkan


perkembangan yang cukup menggembirakan. Perbedaan tersebut secara fundamental
terutama terdapat dalam bidang-bidang perkembangan harga, lalu lintas devisa, perkreditan
dan investasi/produksi.
Di bidang perkembangan harga, maka selama sembilan bulan pertama dalam tahun
1969 tingkat harga menunjukkan perkembangan yang jauh lebih bantap dan stabil. Apabila
dalam tahun 1966 tingkat harga telah mengalami kenaikan yang sangat tinggi yaitu lebih dari
600%, maka dalam periode terakhir ini kenaikannya hanya berjumlah 4%. Lebih-lebih bila
diperhatikan bahwa kestabilan ini telah dapat dicapai meskipun jumlah uang yang beredar
terus bertambah. Kalau di dalam tahun 1967 setiap pertambahan uang beredar selalu
mengakibatkan kenaikan harga, maka keadaan ini tidak terjadi lagi dewasa ini. Perbedaan
yang fundamentil ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah uang tersebut dapat
dikendalikan dan diarahkan oleh pemerintah. Dengan tercapainya kemantapan harga maka
telah timbul kembali kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah.
Hal ini akan lebih jelas lagi apabila dilihat perkembangan di bidang lalu lintas devisa.
Dengan adanya kemantapan kurs BE dan DP yang terjadi untuk jangka waktu yang lama
yang berbeda pula dengan keadaan sebelumnya, maka telah terjadi pengaliran kembali
devisa yang dahulu justru melarikan diri dari Indonesia. Pada gilirannya gejala ini
menambah supply devisa dalam negeri dan memperkuat kestabilan kurs devisa yang pada
akhirnya menambah pula kemantapan harga pada umumnya.
Di bidang suku bunga telah pula terjadi perubahan yang fundamentil jika
dibandingkan dengan masa yang lalu. Jika dahulu tingkat bunga di pasar bebas dapat
mencapai lebih dari 20% sebulan, maka sebagai hasil daripada kebijaksanaan suku bunga
Pemerintah, suku bunga pada waktu ini dapat ditekan menjadi sekitar 6% sebulan.
Kalau dahulu Pemerintah tidak dapat mengendalikan suku bunga pasar bebas dan
terpaksa mengikuti saja gerak arahnya, maka sekarang Pemerintah justru mengendalikan
kekuatan-kekuatan pasar bebas itu sesuai dengan kebijaksanaan ekonomi Pemerintah.
Dengan pengendalian itu maka kegiatan spekulatip dapat dialihkan ke arah kegiatan-kegiatan
yang produktif.

12
Masalah daya beli rakyat adalah masalah ekonomi secara keseluruhan. Jika keadaan
ekonomi bertambah baik, maka yang sedemikian itu akan membawa kekuatan pula pada
daya beli. Dalam suasana inflasi, daya beli rakyat akan terus menerus merosot.
Pada hakekatnya usaha stabilitasi pemerintah dalam tahun 1967 – 1968 adalah usaha
untuk memberikan kemantapan pada daya beli rakyat. Namun demikian, harus disadari
bahwa daya beli rakyat masih harus terus ditingkatkan. Yang sedemikian ini hanya dapat
dicapai dengan kerja keras, dengan terus menerus meningkatkan investasi dan penanaman
modal, dengan terus menerus memperluas produksi serta dalam suatu suasana yang stabil
baik ekonomis maupun politis.
Di dalam hubungan ini perlu ditegaskan kembali peringatan yang diberikan di dalam
REPELITA (Bab I) sebagai berikut :
“Oleh karena itu maka perlu diperingatkan bahwa pembangunan tidaklah segera
akan memberi kepuasan dan pemenuhan secara menyeluruh. Lain dari pada itu perlu pula
dikemukakan bahwa ikhtiar pembangunan tidaklah identik dengan hasil pembangunan.
Semua orang menghasrati pembangunan untuk memetik hasil-hasil dan manfaat
pembangunan. Akan tetapi mengusahakan pembangunan memerlukan sikap hidup yang
berani mengurangi konsumsi, berani menabung dan memupuk modal serta rela untuk
dipajak. Usaha pembangunan memerlukan cucuran keringat, kerja keras dan pengorbanan
yang tidak kecil.
Hasil pembangunan ini tidak segera akan terasa. Hasil jerih payah hari ini baru
akan terpetik beberapa waktu kemudian. Menyadari hal ini sepenuhnya maka sudah
sewajarnya apabila kita tidak mengharap terlalu banyak dalam waktu terlalu pendek.
Yang penting adalah agar masyarakat Indonesia mengetahui ke arah mana bangsa
dan negara kita di bawa. Apa yang dapat diharapkan terjadi di hari esok. Apa perspektif di
masa depan. Dan apa pula yang belum dapat diharapkan dengan segera.”

1.6. Perkembangan Harga, Gaji dan Upah


1.6.1. Perkembangan Harga
Perkembangan harga-harga dalam semester pertama dari masa pelaksanaan
PELITA tahun pertama ini dapat dilihat pada perkembangan angka-angka indeks
harga 62 macam barang dan jasa (indeks biaya hidup), indeks harga 9 bahan pokok
dan indeks harga beras di Jakarta. Dapat ditambahkan pula bahwa di samping indeks
tersebut dapat dilihat pula perkembangan harga-harga barang ekspor penting dan kurs
valuta asing di Jakarta sebagai di muat dalam Tabel-tabel yang dilampirkan.

13
a. Indeks Biaya Hidup
Angka indeks biaya hidup di Jakarta seperti dimuat dalam Tabel 1.1. selama
periode triwulan II 1969/1970 ini menunjukkan kenaikan pada bulan Juli dan
Agustus masing-masing sebesar + 1,87% dan + 3,04% dan pada bulan September
menunjukkan penurunan sebesar – 1,12% sehingga selama triwulan tersebut
terdapat kenaikan indeks sebesar + 3,79% atau rata-rata sebesar + 1,26% per
bulan. Dari Tabel 1.2. ternyata kenaikan tersebut terjadi pada semua sektor
indeks biaya hidup, yang masing-masing sebesar + 1,09% pada sektor makanan,
+ 3,10% pada sektor perumahan, + 0,71% pada sektor pakaian dan +1,45% pada
sektor lain-lainnya. Sebaliknya angka-angka indeks di dalam periode triwulan I
1969/1970 menunjukkan penurunan total – 6,18% selama triwulan tersebut atau
rata-rata – 2,06% per bulan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk semester I tahun pertama pelaksanaan PELITA ini indeks biaya hidup
menunjukkan suatu penurunan. Jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi
pada masa Januari – Maret 1969 yang lalu yakni sebesar + 2% per bulan, maka
kenaikan yang terjadi pada masa Juli – September ini sebesar + 1,26% terutama
sebagai akibat dari kenaikan indeks harga yang terjadi pada bulan Agustus
sebesar + 3,04%. Pada Tabel 1.2. indeks biaya hidup pada sektor perumahan
dalam bulan Juli mengalami kenaikan sebear + 7,14% dan pada sektor makanan
dalam bulan Agustus menunjukkan kenaikan sebesar + 5,10%.
b. Indeks Harga 9 Bahan Pokok
Indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta selama periode triwulan II 1969/1970
mengalami kenaikan rata-rata sebesar + 5,37% per bulan. Untuk bulan Juli,
Agustus dan September masing-masing sebesar + 2,38%, + 10,45% dan + 3,27%.
Dibandingkan dengan keadaan pada masa triwulan I – 1969/70 dimana terdapat
penurunan rata-rata – 4,88% per bulan, kenaikan pada truwulan II – 1969/70
cukup berarti. Kenaikan yang agak besar terjadi pada bulan Agustus yakni
sebesar + 10,45% sebagai akibat dari kenaikan harga beras dan harga bahan lain-
lain pada minggu ke-IV dan V bulan Agustus. Kenaikan yang terjadi dalam bulan
Agustus itu sebagian diimbangi dengan berkurangnya kenaikan dalam bulan
September yakni hanya sebesar + 3,27%.
c. Indeks Harga Beras
Harga beras di Jakarta (Tabel 1.1.) pada periode triwulan II – 1969/70 ini
menunjukkan kenaikan pula dengan terjadinya kenaikan sebesar +20% dalam

14
bulan Agustus. Dalam bulan Juli tidak terdapat kenaikan harga, sedangkan dalam
bulan September hanya ada sedikit saja perubahan harga sehingga kenaikan rata-
rata adalah sebesar + 7,86% per bulannya. Dalam periode Januari – Juni 1969
terdapat penurunan rata-rata per bulan sebesar – 3,13%. Masalah dan
kebijaksanaan harga beras tetap mendapat perhatian besar dari Pemerintah,
terutama di dalam menghadapi hari-hari raya pada akhir tahun 1969agar harga
beras tidak mempengaruhi kestabilan harga-harga umumnya.
d. Indeks Harga Emas, BE, DP dan Valuta Asing
Harga emas (Tabel 1.5.) selama periode triwulan II – 1969/70 menunjukkan
harga yang stabil selama dua bulan pertama yakni masing-masing 0,00% (nol)
dalam bulan Juli dan Agustus dan dalam bulan September terdapat penurunan
sebesar – 1,67% (harga emas 24 karat). Periode triwulan Januari – Maret dan
April – Juni tahun 1969 menunjukkan penurunan rata-rata masing-masing sebesar
– 1,84% dan – 1,54%.
Dibandingkan dengan periode triwulan II – 1969/70 dimana angka penurunan
rata-rata sebesar – 0,56% per bulan, dapat dikatakan bahwa harga emas (24 karat)
adalah stabil. Harga BE (Tabel 1.5.) dalam periode truwulan II – 1969/70 tetap
bertahan pada kurs Rp 326,- untuk setiap US$. Karena keadaan ini telah terjadi
sejak bulan Oktober 1968 yang lalu, maka kurs BE telah stabil untuk jangka
waktu kurang lebih satu tahun lamanya. Harga DP selama periode triwulan II –
1969/70 tidak mengalami kenaikan. Dalam periode Januari – Juni 1969 yang lalu
terlihat adanya tendensi penurunan sebear – 1,46% per bulan, sedang untuk
periode Juli – September keadaan harga/kurs DP tetap stabil. Kurs valuta asing di
pasaran bebas Jakarta untuk bulan Juli dan Agustus mengalami penurunan
masing-masing sebesar – 0,03% dan – 0,17%; dan untuk bulan September
sebesar 0,00% (stabil) sehingga untuk masa Juli – September 1969 ini terdapat
penurunan sebear – 0,07% per bulan (lihat Tabel 1.4.). Dibandingkan dengan
periode Januari – Juni yang lalu dimana penurunan rata-rata sebesar – 0,89% per
bulan, harga valuta asing di pasaran bebas adalah stabil pada dua bulan terakhir
triwulan II – 1969/70. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa nilai rupiah kita
di pasaran valuta asing telah menunjukkan kemantapan dan kepercayaan yang
bertambah besar dari masyarakat pada umumnya.

15
e. Harga Hasil Bumi Ekspor Golongan A
Harga beberapa hasil bumi ekspor di pasar luar negeri dan lokal dalam periode
triwulan II – 1969/70 mengalami kenaikan, kecuali biji sawit yang mengalami
tendens harga menurun. (lihat Tabel 1.6. dan Tabel 1.7.). Harga rata-rata karet
RSS III di pasar luar negeri untuk triwulan II – 1969/70 tercatat sebesar US$ 26
cts/lb per bulannya, sedang untuk triwulan Januari – Maret dan triwulan I –
1969/70 masing-masing tercatat sebesar US$ 22 cts/lb dan US$ 24 cts/lb per
bulannya. Dari angka-angka tersebut ternyata bahwa tendens kenaikan harga
karet di pasar luar negeri telah terjadi sejak awal tahun 1969, kenaikan mana
diikuti pula oleh kenaikan harga lokal/dalam negeri sebagaimana terlihat pada
harga rata-rata karet di pasar lokal Jakarta pada periode triwulan Januari – Maret,
I dan I I – 1969/70 yang masing-masing adalah sebear Rp 138,-; Rp 152,- dan
Rp 163,- per kg. Harga kopra rata-rata di pasar luar negeri Manila pada periode
triwulan II – 1969/70 mengalami tendens kenaikan dengan catatan harga sebesar
US$ 200,81/longton. Dibandingkan dengan kejadian pada masa triwulan I –
1969/70 yang mengalami tendens menurun, maka tendens pada periode triwulan
II ini menunjukkan suatu kenaikan yang mendekati harga yang tercatat pada
triwulan Januari – Maret 1969, yakni sebesar US$ 201,48/longton. Kenaikan
harga tersebut diikuti pula dengan kenaikan harga lokal di Sulawesi yang
mencatat harga rata-rata Rp 52,57/kg untuk masa triwulan II – 1969/70. Harga
kopi (robusta) di pasar luar negeri Singapore mengalami penurunan di dalam
triwulan I, II dan III tahun 1969 yang masing-masing tercatat sebesar Str$
90,14/pic, Str$ 79,52/pic dan Str$ 74,49/pic dan di pasar New York untuk
triwulan II – 1969 mengalami kenaikan dengan catatan sebesar US$ 27 cts/lb
sedang untuk triwulan II – 1969 tercatat sebesar US$ 26 cts/lb. Kenaikan yang
terjadi di pasar New York tidak mempunyai pengaruh terhadap harga pasar lokal.
Pada waktu ini harga Singapore yang mempunyai pengaruh terhadap harga lokal.
Hal ini ternyata dari harga lokal di Jakarta yang telah menurun sampai
Rp 75,70/kg sedang untuk triwulan-triwulan Januari- Maret dan April-Juni 1969
masing-masing tercatat sebesar Rp 111,67 dan Rp 89,67 per kg. Harga Lada
hitam di pasar luar negeri New York pada triwulan I, II dan III tahun 1969
masing-masing mencatat sebesar US$ 32 cts, US$ 34 cts, dan US$ 40 cts per lb,
sehingga terlihat adanya kenaikan harga. Kenaikan tersebut diikuti pula oleh
kenaikan harga lokal di Jakarta untuk triwulan I, II dan III tahun 1969 masing-

16
masing tercatat Rp 157,85; Rp 176,66 dan Rp 192,41 per kg. Harga timah di
pasar luar negeri London pada periode triwulan II – 1969/70 masih menunjukkan
tendens kenaikan. Dari catatan harga-harga di pasar luar negeri, untuk periode
triwulan I sampai akhir triwulan III tahun 1969 ini masing-masing tercatat
sebesar : £ 1370; £ 1420 dan £ 1465 per long ton. Dari angka-angka yang tercatat
di pasar luar negeri maupun di pasar lokal, jelas terlihat bahwa harga hasil bumi
ekspor golongan A pada periode triwulan II – 1969/70 cukup baik.

Tabel 1.1
INDEKS BIAYA HIDUP, INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DAN INDEKS HARGA BERAS
DI JAKARTA, 1965 - 1969

Biaya Hidup 9 Macam Bahan Pokok Beras


Tahun/Bulan Indeks Indeks Indeks
(%) (%) (%)
Oktober'66 = 100 Oktober'66 = 100 Rata-rata '66 = 100

1965 Desember 15,23 46,17


1966 Maret 29,48 + 34,97 70,31 + 25,37
Juni 46,99 + 16,91 80,46 + 14,44
September 73,38 + 13,38 110,10 + 36,87
Desember 106,92 + 10,23 116,76 - 140,80 + 27,88
Rata-rata 1966 - + 18,85 - - 100,00 26,14

1967 Maret 136,63 + 10,80 154,18 + 11,38 187,16 + 12,15


Juni 154,05 + 1,21 153,64 - 1,89 181,90 - 4,01
September 171,85 + 5,93 191,82 + 14,86 244,86 + 21,53
Desember 226,31 + 8,81 345,92 + 17,94 504,30 + 22,18
Rata-rata 1967 - + 6,69 - + 10,55 - + 12,95

1968 Maret 356,47 + 17,39 652,35 + 23,61 996,94 + 26,39


Juni 369,22 + 0,55 545,59 - 5,05 748,58 - 7,99
September 409,18 + 2,74 558,16 - 0,74 783,56 + 0,71
Desember 424,54 + 2,00 518,99 - 1,00 703,10 - 1,94
Rata-rata 1968 - + 5,76 - + 4,21 - + 3,94

1969 Januari 449,40 + 2,16 516,79 - 0,29 671,62 - 3,03


Februari 456,72 + 1,63 521,07 + 0,83 671,62 0,00
Maret 466,83 + 2,21 506,70 - 2,76 650,63 - 3,13
April 447,22 - 4,20 483,16 - 4,65 598,16 - 8,06
Mei 444,40 - 0,63 454,57 - 5,92 545,49 - 8,77
Juni 438,42 - 1,35 436,10 - 4,06 524,70 - 3,85
Juli 446,63 + 1,87 446,50 + 2,38 524,70 0,00
Agustus 460,22 + 3,04 493,14 + 10,45 629,65 + 20,00
September 458,52 - 0,37 509,38 + 3,27 652,27 + 3,59
Oktober 469,23 + 2,34 570,44 + 12,01 770,27 + 18,09
Nopember
Desember
Rata-rata 1969

Triwulan I + 2,00 - 0,74 2,05


II - 2,06 - 4,88 6,89
III + 1,57 + 5,37 + 7,86
IV

Sumber : Biro Pusat Statistik; diolah kembali oleh Departemen Keuangan

17
Tabel 1.2.
INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA (BERDASARKAN 62 MACAM BAHAN), 1968 - 1969

Makanan (63%) Perumahan (11%) Pakaian (9%) Lain-lain (17%) Umum (100%)
Tahun / Bulan Indeks % Indeks % Indeks % Indeks % Indeks %
(Okt'66=100) (Okt'66=100) (Okt'66=100) (Okt'66=100) (Okt'66=100)

1968 Januari 420,79 49,54 280,74 5,91 154,67 23,38 229,54 22,76 332,24 39,81
Februari 465,03 10,51 267,09 - 4,86 163,59 5,77 253,22 10,32 362,93 9,24
Maret 467,60 0,55 286,19 7,15 166,29 1,65 293,76 16,01 374,25 3,12
April 417,35 - 10,75 302,64 5,75 186,42 1,21 307,82 4,79 352,25 - 5,80
Mei 430,14 3,06 443,71 46,61 202,67 8,72 311,90 1,33 372,85 5,85
Juni 441,27 2,59 391,30 - 11,81 221,03 9,06 332,93 6,74 382,59 2,61
Juli 460,50 4,36 373,56 - 4,53 246,55 11,54 346,10 3,96 398,97 4,28
Agustus 468,58 1,75 367,29 - 1,68 262,57 6,50 386,84 11,77 413,76 3,71
September 465,80 - 0,60 367,29 0,00 264,45 0,72 398,70 3,06 414,80 0,25
Oktober 453,64 - 2,61 367,29 0,00 272,51 3,05 400,25 0,39 409,32 - 1,32
Nopember 458,65 1,10 368,39 0,30 307,71 12,92 734,16 8,47 424,42 3,69
Desember 463,47 1,05 449,52 22,02 323,10 5,00 457,39 5,35 439,89 3,64
Rata-rata 1968 451,52 + 5,05 355,42 + 5,41 230,96 + 7,46 346,05 + 7,91 398,86 + 5,76

1969 Januari 470,10 1,43 449,52 0,00 326,43 1,03 480,78 5,11 449,40 2,16
Februari 479,01 1,90 456,61 1,58 327,29 0,26 488,77 1,66 456,72 1,63
Maret 484,99 1,25 486,02 6,44 325,98 - 0,40 515,10 5,39 466,83 2,21
Rata-rata Triwulan I + 1,53 + 2,67 + 0,297 + 4,05 + 2,00

April 450,54 - 7,10 482,84 - 0,05 325,73 - 0,077 517,86 + 0,54 447,22 - 4,20
Mei 441,75 - 1,95 482,55 - 0,06 326,40 - 0,21 528,74 + 2,10 444,40 - 0,63
Juni 434,13 - 1,72 473,00 - 1,98 325,62 - 0,24 524,82 - 0,74 438,42 - 1,35
Rata-rata Triwulan II - 3,59 - 0,90 - 0,18 + 0,63 - 2,06

Juli 434,67 + 0,12 508,06 + 7,41 331,59 + 1,83 547,52 + 4,33 446,63 + 1,87
Agustus 456,83 + 5,10 517,61 + 1,88 332,14 + 0,17 547,63 + 0,02 460,22 + 3,04
September *) 447,88 - 1,96 517,61 0,00 332,57 + 0,13 547,39 - 0,04 458,52 - 0,37
+ 1,09 + 3,10 + 0,71 + 1,45 + 1,51

Oktober 485,50 + 8,40 437,40 - 15,50 321,76 - 3,25 546,02 - 0,25 469,23 + 2,34
Nopember
Desember
Rata-rata

Sumber : Biro Pusat Statistik; diolah kembali oleh Departemen Keuangan

18
Tabel 1.3.
HARGA DAN INDEKS 9 BAHAN POKOK DI JAKARTA (HARGA DALAM Rp) TAHUN 1969

Macam Barang Unit Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
1. Beras liter 32,00 32,00 30,75 28,90 26,13 25,00 25,80 29,84 31,30 36,80
2. Ikan kg 159,82 167,68 170,53 162,71 161,61 160,09 151,71 150,00 149,71 147,80
3. Minyak Goreng btl 81,61 85,72 82,14 79,28 76,97 73,75 75,57 75,54 74,79 75,00
4. Gula Pasir kg 65,00 63,93 61,88 65,00 79,91 69,20 63,21 59,68 59,71 62,40
5. Garam Bataan bata 13,79 14,52 14,55 14,86 15,00 15,00 15,64 16,34 15,64 15,00
6. Minyak Tanah btl 4,39 4,54 4,85 4,55 4,51 4,20 4,56 4,88 4,84 4,80
7. Sabun Cuci btg 40,54 43,30 43,22 42,43 42,14 40,71 42,00 42,14 42,00 40,80
8. Tekstil mtr 110,18 110,71 110,36 110,00 110,00 108,57 113,15 114,65 115,71 114,60
9. Batik lbr 426,79 428,57 425,00 421,43 421,43 421,43 427,14 430,36 435,71 435,70

Indeks Rata-rata (Dasar : 4 Oktober 1966 = 100)


1. Beras liter 556,52 556,52 534,78 502,61 454,43 434,78 448,70 518,96 544,35 640,00
2. Ikan Asin kg 694,87 729,04 741,43 707,43 702,65 699,52 650,60 652,17 650,91 642,40
3. Minyak Goreng btl 582,92 612,28 586,71 566,28 549,78 526,78 539,78 539,57 534,21 535,71
4. Gula Pasir kg 650,00 639,30 618,80 650,00 799,10 692,00 632,10 596,80 597,10 624,00
5. Garam Bataan bata 913,24 961,59 963,58 984,10 993,38 993,38 1035,76 1082,12 1035,76 993,38
6. Minyak Tanah btl 313,57 324,29 346,43 325,00 322,14 300,00 325,71 348,57 345,71 342,86
7. Sabun Cuci btg 405,40 433,00 432,20 424,30 421,40 407,10 420,00 421,40 420,00 408,00
8. Tekstil mtr 367,26 369,03 367,86 366,66 366,66 361,90 377,16 382,16 385,70 382,00
9. Batik lbr 189,67 190,46 188,87 187,28 187,28 187,28 189,82 191,25 193,63 193,63
Indeks Keseluruhan 516,79 521,07 506,70 483,16 454,57 436,10 446,50 493,14 509,28 570,44
Kenaikan Indeks (%) - 0,29 + 0,83 - 2,81 - 4,65 - 5,92 - 4,06 + 2,06 + 2,38 + 10,45 12,01
Sumber : Biro Pusat Statistik Catatan : Pada bulan Juli 1969 Minggu ke I, II & III harga beras Rp 25/ltr
Diolah kembali oleh Departemen Keuangan Minggu ke IV menjadi Rp 26/ltr
Minggu ke V menjadi Rp 28/ltr

19
Tabel 1.4
HARGA RATA-RATA INDEKS BEBERAPA VALUTA ASING DI JAKARTA, 1965 - 1969
(DASAR HARGA RATA-RATA OKTOBER 1966 = 100)

US$ $ SINGAPORE £ INGGRIS $ AUSTRALIA RATA-RATA


TAHUN/BULAN
Harga (Rp) Indeks Kenaikan (%) Harga (Rp) Indeks Kenaikan (%) Harga (Rp) Indeks Kenaikan (%) Harga (Rp) Indeks Kenaikan (%) Harga (Rp) Indeks Kenaikan (%)

1965 Des 1) 30.000 800 65.000 55.000

1966 Maret 2)
Juni
Sept
Des 128,33 89,28 - 5,65 36,67 91,67 - 4,17 283,33 94,44 - 26,67 111,67 82,71 - 9,83 140,00 91,06 14,93
Rata-rata 1966

1967 Maret 128,33 91,66 + 1,59 41,50 103,75 + 4,86 319,67 106,55 + 7,48 121,33 89,87 + 6,46 152,71 99,32 + 5,62
Juni 135,83 97,02 + 6,56 42,33 105,83 + 6,29 328,33 109,44 + 5,62 121,67 90,12 + 3,36 157,04 102,14 + 5,40
Sept 165,00 117,86 + 3,33 51,50 128,75 + 0,59 375,00 125,00 + 4,61 155,67 115,31 + 7,74 186,79 121,49 + 4,80
Des 183,00 130,71 + 7,35 53,33 133,33 + 1,90 413,33 137,78 + 0,95 170,00 125,93 + 4,73 204,92 133,28 + 3,20
Rata-rata 1967 153,04 109,31 + 4,76 47,13 117,92 + 3,41 359,08 119,69 + 4,66 142,17 105,31 + 5,57 175,37 114,06 + 1,58

1968 Maret 286,67 204,76 13,22 80,00 200,00 + 15,15 543,33 181,11 + 13,58 263,33 195,06 + 14,38 293,33 190,79 + 13,41
Juni 323,33 230,95 6,76 103,07 257,42 + 9,14 756,67 252,28 + 9,26 309,40 253,87 + 10,52 381,47 248,13 + 8,71
Sept 406,67 290,48 16,69 132,50 331,25 + 12,41 946,77 315,59 + 7,39 442,87 328,05 + 7,79 482,30 313,63 + 8,39
Des 435,58 313,51 - 0,84 137,17 342,92 - 2,66 958,94 316,31 - 1,00 456,32 353,44 - 0,78 497,01 323,38 - 0,91
Rata-rata 1968 363,88 259,93 + 8,96 113,84 282,92 + 8,51 801,43 267,16 + 7,31 375,48 277,61 + 7,98 413,51 268,96 + 7,40

1969 Jan 410,00 292,85 - 1,50 128,13 320,21 0,00 947,46 315,82 - 5,87 441,13 326,77 - 4,34 481,68 313,29 + 3,06
Feb 393,75 281,25 - 3,96 125,50 314,06 - 1,95 908,83 302,94 - 4,08 424,78 314,68 - 3,70 463,22 301,28 - 3,83
Maret 333,50 273,93 - 2,60 122,40 306,00 - 2,57 887,44 295,82 - 2,35 413,92 306,61 - 2,57 451,82 293,87 - 2,46
April 381,88 272,77 - 0,42 121,88 304,69 - 0,43 883,46 294,49 - 0,45 411,93 305,13 - 0,48 449,79 292,55 - 0,45
Mei 378,00 270,00 - 1,02 120,00 300,00 - 1,54 867,79 289,30 - 1,76 407,26 301,68 - 1,13 443,26 288,30 - 1,45
Juni 378,00 270,00 - 0,00 122,50 306,25 + 2,08 864,50 288,17 - 0,39 404,50 299,63 - 0,68 442,38 287,73 - 0,20
Juli 377,00 269,29 - 0,26 123,00 307,50 + 0,41 865,00 288,35 + 0,06 404,00 299,26 - 1,23 442,23 287,64 - 0,03
Agust 378,00 270,00 + 0,26 122,50 306,25 - 0,41 862,00 287,33 - 0,35 403,50 298,87 - 0,12 441,50 287,15 - 0,17
Sept 378,00 270,00 0,00 122,50 306,25 0,00 862,00 287,33 0,00 403,50 298,87 0,00 441,50 287,15 0,00
Okt 379,00 270,71 + 0,26 123,00 307,50 + 0,41 858,50 286,17 - 0,40 404,50 299,63 0,25 441,25 287,00 0,05
Nop
Des
Rata-rata 1969
Rata-rata Triw. I 395,75 282,68 - 2,69 125,34 313,42 - 1,51 914,58 304,86 - 4,10 426,61 312,69 - 3,53 465,57 302,81 - 1,08
Rata-rata Triw. II 379,29 271,59 - 0,48 121,46 303,65 + 0,04 871,92 290,65 - 0,87 407,90 302,15 - 0,76 445,14 289,53 - 0,70
Rata-rata Triw. III 377,67 269,76 0,00 122,67 306,67 0,00 863,00 287,66 - 10,10 403,67 299,00 - 0,45 441,75 287,31 - 0,07
Rata-rata Triw. IV

Sumber : Biro Pusat Statistik


Diolah Kembali oleh Departemen Keuangan
1). Peraturan uang baru mulai berlaku tanggal 14-2-1965 (Penpres No.27 tahun 1965) Rp 1.000,- = Rp 1,-

20
2). Mulai bulan Februari 1966 mata uang Australia diganti dari POUND ke DOLLAR
Tabel 1.5
HARGA RATA-RATA DAN INDEKS RATA-RATA EMAS SERTA KURS DAN INDEKS RATA-RATA BE & DP DI JAKARTA, 1966-1969
(DASAR INDEKS & HARGA RATA-RATA OKTOBER 1966 = 100)

E M A S 24 E M A S 23 E M A S 22 B. E D. P
TAHUN/BULAN Harga Harga Harga Harga Harga
Indeks +% Indeks +% Indeks +% Indeks +% Indeks +%
rata-rata (Rp) rata-rata (Rp) rata-rata (Rp) rata-rata (Rp) rata-rata (Rp)

1966 Okt 200,00 100,00 - 175,00 100,00 - 170,00 100,00 - 85,00 100,00 - 95,00 100,00 -
1967 Maret 207,50 103,75 - 196,33 117,38 - 186,67 109,80 - 99,75 117,33 - 116,47 122,67 -
Juni 208,00 104,00 + 3,11 198,00 113,33 + 3,05 189,00 111,18 + 2,95 126,00 114,67 + 9,76 134,30 141,33 + 7,99
Sept 237,00 118,67 + 2,57 226,33 129,33 + 2,94 216,33 127,26 + 2,81 142,33 168,00 + 2,44 138,48 166,67 + 3,52
Des 259,00 129,67 + 7,08 248,00 141,72 + 6,97 237,67 139,80 + 7,13 174,80 205,67 + 11,96 192,79 203,00 11,91
Rata-rata 1967 227,88 114,02 - 217,33 124,19 - 207,42 122,00 - 135,78 159,75 - 145,49 158,42 -

1968 Maret 357,38 195,33 + 11,40 367,50 209,99 + 10,68 342,17 201,47 + 9,51 234,67 315,33 + 10,35 288,00 303,00 + 8,57
Juni 452,38 226,33 + 3,89 403,00 229,68 + 11,61 387,33 227,84 + 12,29 290,00 341,33 + 4,63 314,00 330,67 + 3,40
Sept 581,18 280,42 + 7,61 561,17 354,00 + 7,59 542,83 319,31 + 7,80 309,60 364,33 + 1,57 380,73 401,00 + 11,65
Des 675,38 337,69 + 0,03 658,33 376,19 + 2,29 639,98 375,98 + 2,50 325,00 382,67 + 0,88 436,33 459,33 + 1,98
Rata-rata 1968 524,05 259,94 + 5,73 502,75 284,14 + 0,07 477,96 281,15 + 8,02 293,98 350,92 + 4,36 354,76 373,50 + 5,51

1969 Jan 660,00 330,00 - 1,11 640,00 365,71 - 1,16 620,00 364,74 - 1,59 326,00 384,00 0,00 408,50 430,00 - 1,38
Feb 607,50 303,75 - 7,95 585,00 334,29 - 8,59 562,50 330,88 - 9,28 326,00 384,00 0,00 393,50 413,68 - 3,80
Maret 629,00 314,50 + 3,54 629,00 359,43 + 7,52 588,00 345,88 + 4,53 326,00 384,00 0,00 382,75 402,89 - 2,61
April 602,50 301,25 - 4,21 602,50 344,29 - 4,21 526,50 330,88 - 4,34 326,00 384,00 0,00 381,59 401,67 - 0,30
Mei 600,00 300,00 - 0,41 580,00 331,43 - 3,44 560,00 329,41 - 0,44 326,00 384,00 0,00 379,22 399,19 - 0,62
Juni 600,00 300,00 0,00 580,00 331,43 0,00 560,00 329,41 0,00 326,00 384,00 0,00 379,00 399,00 - 0,05
Juli 600,00 300,00 0,00 580,00 331,43 0,00 560,00 329,41 0,00 326,00 384,00 0,00 379,00 399,00 0,00
Agt 600,00 300,00 0,00 580,00 331,43 0,00 560,00 329,41 0,00 326,00 384,00 0,00 379,00 399,00 0,00
Sept 590,00 295,00 - 1,67 570,00 325,71 1,73 550,00 323,53 - 1,69 326,00 384,00 0,00 379,00 399,00 0,00
Okt 580,00 290,00 - 1,69 560,00 320,00 1,75 540,00 317,65 - 1,82 326,00 384,00 0,00 379,00 399,00 0,00
Nop - - - - - - - - - - - - - - -
Des - - - - - - - - - - - - - - -
Rata-rata 1969
Rata-rata Triw. I 631,17 316,08 - 1,84 618,00 353,14 - 0,74 590,17 347,16 - 2,11 326,00 384,00 0,00 394,52 415,52 - 2,60
Rata-rata Triw. II 600,83 300,42 - 1,54 587,50 335,72 - 2,55 560,90 329,90 - 1,59 326,00 384,00 0,00 379,60 399,95 - 0,32
Rata-rata Triw. III 596,67 289,33 - 0,56 576,67 329,52 - 0,58 556,67 327,45 - 0,56 326,00 384,00 0,00 379,00 399,90 0,00

Sumber : Biro Pusat Statistik

21
Diolah kembali oleh Departemen Keuangan
Tabel 1.6
PERKEMBANGAN HARGA LOKAL BEBERAPA HASIL BUMI EKSPOR GOLONGAN A DI JAKARTA 1968 - 1969
(Dalam Rp/Kg)

RSSI Kopra (Sul) Lada Putih Kopi Robusta


TAHUN/BULAN Indeks Indeks Indeks Indeks
Harga Harga Harga Harga
(Okt'66=100) (Okt'66=100) (Okt'66=100) (Okt'66=100)

1968 Jan 61,50 266,46 24,00 331,03 97,50 230,33 86,27 212,33
Feb 59,93 259,66 26,50 365,52 130,00 307,11 108,45 266,92
Maret 62,44 270,54 36,75 506,90 131,00 309,47 126,03 310,19
April 70,55 305,68 37,50 517,24 136,50 322,47 122,80 302,24
Mei 81,15 351,60 46,00 634,48 136,50 322,47 119,93 295,18
Juni 87,44 378,86 46,00 634,48 132,50 313,02 118,39 291,39
Juli 100,33 434,71 42,50 586,21 127,50 300,02 108,12 266,11
Agt 100,88 437,09 40,00 551,72 110,00 259,86 161,25 396,87
Sept 109,08 472,62 38,00 524,14 107,50 253,96 100,00 246,12
Okt 130,12 563,78 38,25 527,59 164,50 388,61 95,00 233,82
Nop 128,40 556,33 41,00 565,52 158,00 373,26 95,00 233,82
Des 126,00 545,93 40,00 551,72 166,25 392,75 110,00 270,74

Rata-rata 1968 93,11 403,60 38,04 524,71 133,10 314,44 109,66 277,14
Rata-rata Triwulan I 61,29 265,56 29,09 401,15 119,50 282,30 106,92 263,11
Rata-rata Triwulan II 79,71 345,38 43,17 595,40 135,17 319,32 120,37 296,27
Rata-rata Triwulan III 103,43 448,12 40,25 554,02 114,83 271,28 123,12 303,03
Rata-rata Triwulan IV 128,17 555,35 39,75 548,28 162,92 384,87 100,00 246,13

1969 Jan 124,10 537,69 50,70 847,17 165,00 389,79 110,00 270,74
Feb 135,13 585,49 49,10 677,24 157,50 372,08 110,00 270,74
Maret 155,54 673,92 50,38 694,90 151,56 358,04 115,00 283,04
April 156,12 676,43 49,39 681,24 166,25 392,75 109,00 268,28
Mei 149,10 646,01 48,26 665,66 173,12 408,98 95,00 191,42
Juni 150,82 653,47 51,00 703,45 190,62 450,32 75,4 *) 159,98
Juli 163,42 708,06 51,70 713,10 186,00 439,40 72,95 179,55
Agt 177,44 768,80 55,00 758,62 200,62 473,94 78,75 193,82
Sept
Okt
Nop
Des

Rata-rata 1969
Rata-rata Triwulan I 138,26 559,03 50,06 739,77 157,85 373,30 111,67 274,84
Rata-rata Triwulan II 152,01 658,64 49,55 683,45 176,66 417,35 89,67 206,56
Rata-rata Triwulan III 163,89 710,11 52,57 725,06 192,41 454,55 75,70 177,78
Rata-rata Triwulan IV

Sumber : Biro Pusat Statistik


Diolah kembali oleh Departemen Keuangan
*) Angka Sementara

22
Tabel 1.7
PERKEMBANGAN HARGA BEBERAPA HASIL BUMI EKSPOR GOLONGAN A DI PASAR INTERNASIONAL, 1967 - 1969

MINYAK
KARET R S S III KOPRA KOPI ROBUSTA LADA TIMAH BIJI SAWIT
SAWIT
TAHUN/BULAN Str.$/Pic US$/LB Putih Hitam E£ /Lt E£ /Lt
US$.Ct/l b Br.P./l b Str.$.Ct/l b US$.$/Lt US$/Lt E£ /Lt
Lampung Palembang Br.P/LB US$/Ct/LB (London) (London)
(New York) (London) (Singapore) (Manila) (London) (London)
(Singapore) (New York) (London) (New York) Ex. Sumatra Ex. Nigeria

1967 Des 16,39 15,93 45,80 261,85 - 88,53 - 36,13 31,20 1.352,39 - -
1968 Jan 15,91 15,97 45,03 243,76 - 91,75 - 36,41 30,93 1.319,92 - 84,50
Feb 15,63 15,54 43,43 265,18 - 93,19 - 38,44 36,34 1.316,50 28,50 83,50
Maret 16,02 16,09 45,30 264,94 - 91,35 - 37,44 33,63 1.320,52 79,70 87,50
April 16,51 16,21 42,97 271,47 - 89,30 - 34,87 34,85 1.268,05 79,70 91,00
Mei 17,72 16,89 48,00 284,01 - 88,04 - 35,35 34,95 1.305,72 77,13 91,33
Juni 19,31 18,93 54,13 259,19 - 90,06 - 33,41 33,50 1.304,75 73,13 86,91
Juli 19,03 18,66 53,43 157,49 - 89,48 - 32,72 30,86 1.302,34 66,57 66,81
Agt 18,86 19,19 54,14 210,67 - 90,03 - 32,38 31,35 1.296,78 61,43 66,80
Sept 18,27 18,90 53,72 198,53 - 91,00 29,60 32,38 35,23 1.282,11 57,58 65,66
Okt 19,83 19,53 55,31 190,89 194,60 94,72 29,48 33,68 30,10 1.311,21 57,22 64,02
Nop 20,50 20,02 56,73 194,23 196,85 94,75 29,88 34,44 35,50 1.446,45 57,00 66,30
Des 20,36 20,23 57,62 199,38 205,65 91,85 28,72 34,32 35,00 1.381,66 57,00 70,40
Rata-rata 1968 18,16 18,01 50,82 228,31 - 91,29 - 34,65 33,52 1.321,33 - 77,06
Rata-rata Triw. I 15,85 15,87 44,59 257,96 - 92,10 - 37,43 33,83 1.318,98 - 85,17
Rata-rata Triw. II 17,85 17,34 48,37 271,56 - 89,13 - 34,54 34,43 1.292,84 76,65 89,75
Rata-rata Triw. III 18,72 18,92 53,76 188,90 - 90,17 - 32,49 32,49 1.293,74 61,86 66,42
Rata-rata Triw. IV 20,23 19,93 56,55 194,83 199,03 93,77 29,36 34,15 33,53 1.379,77 53,74 66,91
1969 Jan 20,81 20,47 58,27 209,94 210,60 91,00 28,68 30,93 35,60 1.367,00 - 71,48
Feb 22,00 22,23 62,98 195,78 198,40 90,29 28,90 32,16 30,00 1.372,00 - 71,50
Maret 24,15 24,49 69,04 198,72 200,26 89,13 28,84 32,50 29,91 1.372,00 174,60 67,90
April 24,61 24,48 71,00 193,67 195,98 83,17 26,46 33,38 32,90 1.400,72 172,00 63,59
Mei 23,95 23,93 68,29 184,10 185,42 80,11 25,89 34,88 34,50 1.422,00 165,25 61,94
Juni 24,47 24,47 70,04 187,34 190,10 75,27 25,15 34,56 34,02 1.436,00 160,27 59,46
Juli 25,89 25,85 73,65 199,01 200,75 73,38 24,75 35,95 34,50 1.455,65 163,45 59,50
Agt 27,63 27,49 78,99 199,29 200,85 73,15 26,53 40,38 35,10 1.468,10 171,25 59,50
Sept 26,35 25,95 74,58 204,57 205,57 76,95 28,99 51,49 50,77 1.470,63 - 60,65
Okt
Nop
Des
Rata-rata 1969
Rata-rata Triw. I 22,35 22,40 63,43 203,09 203,09 90,14 28,81 31,88 31,87 1.370,33 - 70,29
Rata-rata Triw. II 24,34 24,39 69,78 188,37 190,50 79,52 25,83 34,27 33,81 1.419,57 165,84 61,63
Rata-rata Triw. III 26,62 26,43 75,74 200,81 202,39 74,49 26,76 42,61 40,12 1.464,79 - 59,88

Sumber : Lembaga Penyaluran Perdagangan Departemen Perdagangan

23
Diolah kembali oleh Departemen Keuangan
1.6.2. Perkembangan Gaji dan Upah

Dalam rangka stabilitasi dan pembangunan beberapa kebijaksanaan tarif dan


harga dari barang-barang dan jasa-jasa milik Pemerintah telah disesuaikan dan
disempurnakan. Kebijaksanaan tersebut pada umumnya berbentuk subsidi harga
penjualan dan/atau subsidi harga dari bahan baku.
Subsidi dari harga bahan baku telah diberikan bersamaan dengan subsidi
harga penjualan pada produksi bahan makanan pokok, misalnya beras. Pemerintah
menjamin harga padi kering sawah Rp 13,20/kg agar petani mendapat balas jasa yang
sama nilainya dengan harga pupuk chemis Rp 31,50/kg yakni harga pupuk yang
minimal ditentukan atas dasar kurs BE Rp 326/US$ dan tanpa dipungut bea masuk.
Tujuan kebijaksanaan demikian tidak saja untuk tetap mendorong kegairahan petani
meningkatkan penggunaan pupuk tetapi juga untuk memantapkan baik harga BE
maupun harga beras karena kedua macam barang-barang itu pada saat sekarang
merupakan “pemimpin harga” (price leader) dalam pembentukan harga jasa-jasa dan
barang-barang lainnya. Dalam rangka menstabilkan harga bahan makanan pokok dna
kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya Pemerintah telah memberikan subsidi dollar
guna memungkinkan harga penjualan yang serendah-rendahnya bagi masyarakat.
Untuk beras impor Pemerintah telah pula mengambil kebijaksanaan dimana
harga jualnya disamakan dengan harga pasaran di dalam negeri.
Subsidi dollar telah diberikan untuk tepung terigu dimana penerimaan
Pemeritnah adalah hanya Rp 20/kg. Subsidi ini diberikan disamping fasilitas-fasilitas
lain untuk importir. Pemberian subsidi ini dimaksud supaya masyarakat konsumen
dapat mengurangi konsumsinya akan beras pada saat-saat dimana harga beras
meningkat karena sebab musiman.
Subsidi berbentuk penurunan bea masuk atas berbagai-bagai bahan makanan
pokok seperti ikan asin, gula dan garam telah diberikan pada masa yang lalu.
Demikian pula atas minyak tanah yang diprodusir di dalam negeri atau langsung
harus diimpor berhubung dengan pemakaian yang meningkat pada hari-hari Lebaran
dan Tahun Baru.
Subsidi dollar pun telah diberikan pada industri tekstil dimana harga kapas
kasar yang ditetapkan adalah Rp 170,- - Rp 200,- per US$. Untuk memungkinkan
industri pertenunan dapat bersaing dengan tekstil impor telah diberikan pula subsidi
impor benang tenun asal USA dengan harga hanya Rp 120/US$.

24
Dalam produksi hasil jasa-jasa dan barang di samping subsidi berupa
keringanan bea masuk dan subsidi dollar, Pemerintah telah pula memberikan barang-
barang modal tambahan sebagai hadiah dan tambahan modal kerja jika dialami
kerugian-kerugian pada industri transpor perhubungan dan tenaga listrik, satu dan
lain denganmaksud untuk dapat melaksanakan kebijaksanaan tarif dan harga yang
sesuai dengan kemampuan masyarakat konsumen tanpa mengurangi kewajiban-
kewajiban perusahaan negara tersebut untuk berusaha atas dasar cost accounting.
Pada dasarnya kebijaksanaan tarip dan harga Pemerintah adalah sedemikian rupa
sehingga terdapat suatu tingkat seminimum mungkin dimana perusahaan-perusahaan
negara tidak mengalami kerugian dalam biaya operasionilnya.
Jelas bahwa subsidi demikian tidak mungkin kita alihkan
pertanggungjawabnya kepada negara kreditor, melainkan harus ditanggung oleh
Pemerintah di dalam pembayaran kembali hutang-hutangnya. Pemerintah
berpendirian bahwa kebijaksanaan pemberian subsidi lebih diutamakan karena tujuan
utamanya adalah meningkatkan produksi di dalam negeri tanpa mengorbankan
masyarakat konsumen. Menjadi jelas pula bahwa karena beban hutang-hutang luar
negeri harus dipikul oleh generasi yang akan datang, kebijaksanaan pemberian
subsidi seperti disebutkan di atas tidak bisa berlangsung terus dan tahap demi tahap
harus dikurangi. Misalnya seiring dengan sehatnya management, maka bantuan
permodalan bagi perusahaan-perusahaan public utilities dapat dihilangkan. Dalam
hubungan ini penyehatan management yang dikaitkan dengan penyempurnaan
permodalan sudah dilaksanakan dengan bantuan Bank Dunia.
Gaji dan upah umumnya meningkat dalam tiap-tiap sektor, bahkan
dikebanyakan sektor secara nominal naik antara 40 – 60%. Secara terperinci, maka
dibandingkan dengan keadaan pertengahan 1968, gaji di berbagai sektor adalah
sebagai berikut :
a. Pertambangan : Naik antara 40% - 50% untuk gaji minimum
dan maksimum.
b. Perindustrian : Naik antara 74% - 174%, terutama di industri-
industri rokok kretek.
c. Konstruksi : Gaji minimum naik 15% dan gaji maksimum
turun 35%.
d. Perdagangan : Gaji minimum naik dengan 75% dan
maksimum dengan 55%.

25
e. Transport : Gaji minimum dan maksimum naik dengan
10%.
f. Pegawai negeri : Penyesuaian PGPS 1968 yang membawa
kenaikan 33% untuk pegawai golongan I dan
100% untuk golongan II keatas.
Khusus mengenai gaji pegawai negeri, maka usaha-usaha Pemerintah dalam
memperbaiki nasib pegawai negeri tidaklah dapat terlepas dari usaha-usaha dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan di lain-lain bidang dalam rangka pembangunan
ekonomi, khususnya kebijaksanaan yang menyangkut soal tenaga kerja secara
keseluruhan.
Dalam rangka ini yang harus diperhatikan adalah kenaikan gaji secara riil dan
bukannya secara moneter. Dengan demikian kebijaksanaan di bidang perbaikan gaji
pegawai negeri tidak dapat terlepas dari kebijaksanaan menaikkan produksi nasional
dan kebijaksanaan stabilitasi. Kenaikan gaji hanya akan berarti apabila harga-harga
dapat dipertahankan pada tingkat yang stabil.
Di dalam tahun 1969, dalam rangka perbaikan gaji pegawai negeri, telah
dilaksanakan 2 hal :
(1) Berlakunya secara penuh PGPS 1968.
(2) Pemberian tambahan gaji bulan ke-13 dan ke-14.
Di dalam tahun 1970/1971 direncanakan untuk kenaikan gaji pegawai negeri
sipil dan ABRI sebesar 50%.

1.7. Perkembangan Produksi dan Realisasi Penanaman Modal


1.7.1. Perkembangan Produksi

Realisasi perkembangan produksi selama masa satu semester pelaksanaan


PELITA tahun pertama ini belum dapat digambarkan dengan data-data yang lengkap
dalam laporan ini karena angka-angka statistiknya masih belum terkumpul
seluruhnya. Namun untuk memperoleh sedikit gambaran tentang perkembangan
produksi berikut ini dikemukakan angka-angka realisasi sementara yang tersedia
untuk beberapa jenis hasil produksi nasional menurut sektor-sektor sebagai dimuat di
bawah ini. Untuk beberapa sektor produksi dimana angka-angka realisasi
produksinya belum terkumpulkan dapat dikemukakan beberapa angka perkiraan dan
target menurut REPELITA.

26
a. Pertanian
Berdasarkan anga-angka sementara yang diperoleh, perkembangan produksi
sektor pertanian adalah sebagai berikut :
(i) Bahan makanan utama
Angka-angka produksi bahan makanan utama yang disajikan di bawah ini
meliputi periode Januari- Juni 1969 dan untuk periode Juli-Desember merupakan
angka-angka taksiran. Angka-angka triwulanan belum terkumpulkan walaupun
diperlukan untuk mengadakan penilaian dalam triwulan I dan II tahun 1969/70.
Dari angka-angka produksi bahan makanan utama dibuat berdasarkan
realisasi masa Januari-Juni 1969 dapat diharapkan bahwa target produksi beras
1969/70 akan dapat tercapai. Target untuk masa 1969/70 adalah 20.231.000 ton padi
atau 10.520.000 ton beras.
Pertambahan produksi beras diharapkan dengan perbaikan persediaan dan
pemakaian pupuk dalam tahun 1969, keadaan hujan yang diramalkan normal, dan
disamping itu adanya penambangan luas areal sawah dengan mulai mengalirnya air
dari proyek pengairan Jatiluhur.
Angka-angka produksi hasil palawija yakni jagung, ubi-ubian dan kacang-
kacangan menunjukkan kemunduran. Hal ini dapat disebabkan karena iklim yang
terlalu basah pada musim tanam tiap tanaman itu sehingga hasil per Ha. Turun.
Sedang kemungkinan kedua adalah karena harga yang relatif turun pada awal tahun
1969 ini sehingga mengurangi kegairahan untuk berproduksi.

Tabel 1.8
PRODUKSI BAHAN MAKANAN UTAMA DI INDONESIA, 1969 - 1970
( Dalam Ton )

Jan-Juni 1969 Juli-Des 1969 Jumlah Target


Bahan Makanan
(Realisasi) (Taksiran) Jan-Des 1969 1969/70

1. Padi (kering giling) 15.852.634 +) +) 20.231.000


2. (Beras) ( 8.243.370 ) +) +) ( 10.520.000 )
3. Ketela pohon (ubi basah) 3.783.139 6.814.161 10.597.300 12.287.000
4. Jagung (pipilan kering) 1.252.008 691.529 1.943.537 3.370.000
5. Ketela rambat (ubi basah) 780.469 1.175.431 1.955.900 3.363.000
6. Kacang tanah (biji kering) 172.425 135.356 307.781 } 947.500
7. Kacang kedele (biji kering) 112.823 206.720 319.543 }

Sumber :
1) Biro Pusat Statistik (untuk padi; konversi padi-beras = 100 : 52)
2) Departemen Pertanian
+) Menurut Sumber Departemen Pertanian, maka angka target 1969/70 akan dapat dicapai, bahkan
akan dilampaui. Angka realisasi baru dapat diperoleh pada bulan Januari 1970.
27
(ii) Perkebunan
Angka-angka realisasi produksi hasil Perkebunan Negara untuk masa Januari-
Juni 1969 dan target produksi 1969/1970 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.9
PRODUKSI PERKEBUNAN NEGARA, 1969 - 1970

Realisasi
No. Budidaya Satuan Target (1969/70)
(Januari-Juni 1969)

1. Gula (Hablur) Kw 6.251.023 2.360.383


2. Minyak Sawit Kg 127.254.268 50.798.532
3. Inti Sawit Kg 25.867.838 11.066.933
4. The Kg 63.241.000 31.932.985
5. Karet Kg 104.152.885 49.620.935
6. Serat Manilla Kg 265.690 43.004
7. Serat Agave Kg 8.700.146 3.711.100
8. Coklat Kg 886.937 360.802
9. Kina Kg 1.520.000 1.053.148
10. Kopi Robusta Kg 1.366.500 58.100
11. Kopi Arabica Kg 9.905.150 1.894.062
12. Kelapa Bh 945.000 486.459
13. Kopra Kg 1.505.000 195.636
14. Gutta Percha Kg 30.000 17.626

Sumber : Departemen Pertanian

Angka-angka dalam daftar di atas hanya memuat realisasi produksi


Perkebunan Negara sedang hasil produksi swasta belum terkumpulkan data-datanya
dan demikian pula halnya dengan realisasi produksi perkebunan rakyat yang
jumlahnya tidak dapat diabaikan. Dari angka-angka produksi Perkebunan Negara di
atas dapat diharapkan bahwa target nasioanl 1969-70 akan terpenuhi misalnya untuk
minyak sawit, inti sawit, teh, karet, coklat, kina dan gula khususnya karena
penggilingan besar akan terdapat pada semester II/1969 ini. Untuk kopi robusta dan
kopi arabica sangant kecil kemungkinannya untuk memenuhi target.

b. Perindustrian
Perkembangan di bidang perindustrian menunjukkan hasil-hasil yang lebih
memuaskan dengan adanya dorongan positif sebagai akibat terdapatnya

28
perkembangan harga-harga yang relatif stabil dan pula dengan adanya dorongan
perbaikan dalam sarana-sarana produksi maupun fasilitas-fasilitas dari Pemerintah
seperti di bidang perkreditan, perpajakan, anggaran pembangunan, penanaman modal
asing dan dalam negeri. Keadaan harga-harga yang stabil dan fasilitas-fasilitas
berproduksi yang mendorong kegairahan berproduksi menjadi landasan bagi
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah.
Dalam menilai perkembangan hasil-hasil produksi perindustrian sementara
baru dapat dikemukakan untuk bidang-bidang tertentu. Hal ini karena masih
terdapatnya kesulitan dan kelambatan dalam kompilasi statistiknya.
(i) Sandang
Produksi benang tenun dalam negeri dari permulaan tahun sampai dengan
bulan September 1969 diperkirakan mencapai jumlah 119.414 β @ 400 lbs dengan
perincian sebagai berikut (sumber : Sekretariat Sektor B, Departemen Perindustrian) :
Produksi triwulan I 1969 32.630,8 β
Produksi triwulan II 1969 41.058,2 β
Produksi bulan Juli 1969 15.725,-
Produksi bulan Agustus 1969 15.000,-
Produksi bulan September 1969 15.000,-
Produksi triwulan III 1969 _____________ 45.725,-- β
Jumlah produksi triwulan I + II + III : 119.414 β @ 400 lbs

Carry over stock dari tahun 1968 pada awal Januari 1969
21.902,8 β
adalah sebesar
Jumlah produksi Januari s.d. April 1969 sebesar 32.630,8 β
Jumlah produksi April – September 1969 sebesar 86.783,- β
Sehingga stock awal dengan jumlah produksi dalam negeri
Januari – September 1969 sebesar 141.316,6 β
yang mana sebagian telah diolah menjadi tekstil.
Benang tenun impor yang diolah berjumlah : 62.000,- β
Sehingga jumlah benang tenun produksi dalam negeri dan
benang tenun ex-impor yang diolah adalah sejumlah : 203.316,6 β
Khusus untuk periode April – September produksi benang tenun dalam negeri
yang dicapai adalah sejumlah 86.783 β sehingga diperkirakan mencapai hasil
produksi ± 108.478.750 m tekstil dan ini berarti sebesar 24,11% dari target produksi
dalam negeri 1969 – 70 yaitu sebesar 450 juta meter.

29
Penyediaan tekstil dari Januari s.d. September diperkirakan akan meliputi
(Sumber : Departemen Perindustrian) :
1. Carry over 1968 192.000.000 m
2. Produksi dalam negeri 239.000.000 m
3. Tekstil Impor (menurut taksasi berdasarkan
konversi US$ 1 = 5 meter) 112.500.000 m
4. Tekstil dalam rangka kiriman dagang
(diperkirakan 20% dari ad.3) 22.500.000 m
5. Tekstil impor lain-lain
(diperkirakan 25% dari ad.3) 28.000.000 m

Jumlah persediaan seluruhnya : Jan – Sept. 594.000.000 m

(ii) Industri Kimia


Angka-angka realisasi yang dapat dikemukakan berupa angka-angka produksi
sampai dengan semester I/1969 khususnya dari Perusahaan-perusahaan Negera dalam
lingkungan Departemen Perindustrian yang perkembangannya adalah seperti terlihat
dalam tabel berikut :
Tabel 1.10
PRODUKSI INDUSTRI KIMIA (PN2) 1968-1969/1970

Jenis Produksi Satuan Semester I/1968 Semester II/1968 Semester I/1969 Target 1969/1970

1. Semen Ton 187.758 222.207 243.700 515.000


2. Kertas Ton 5.096 6.061 6.754 10.000
3. Pupuk Urea Ton 46.985 48.543 36.570 46.500
4. Gelas Ton 2.640 3.144 3.928 -
5. Zat Asam M3 827.500 975.800 980.000 -

Sumber : Departemen Perindustrian

Tabel 1.11
SPESIFIKASI PRODUKSI DAN PENJUALAN SEMEN
JANUARI s.d. SEPTEMBER 1969
(Dalam Ton)

Semen Gresik Semen Padang Semen Tonasa


Produksi Penjualan Produksi Penjualan Produksi Penjualan
Januari 27.578 27.437 8.467 8.172 3.440 1.707
Februari 24.933 20.830 9.927 10.069 5.700 3.044
Maret 26.581 27.687 11.393 12.401 6.860 5.764
April 27.659 28.144 12.548 12.442 3.720 4.880
Mei 27.884 28.712 12.864 12.508 7.460 4.748
Juni 27.952 29.243 12.356 10.735 1.220 776
Juli 20.184 29.962 8.781 8.260 560 7.846
Agustus 31.292 27.620 10.000*) 10.000*) 5.000*) 5.000*)
September 25.000*) 25.000*) 10.000*) 10.000*) 5.000*) 5.000*)

Sumber : Departemen Perindustrian


*) Estimate dari Sekretariat Sektor B, Departemen Perindustrian
30
Produksi semen pada semester I tahun 1969 mengalami kenaikan dibandingkan
dengan Semester I dan Semester II tahun 1968. Hal ini disebabkan oleh tercapainya
rehabilitasi dan konsolidasi dari unit-unit produksi yang sudah ada yaitu Gresik dan
Padang. Produksi kertas secara menyeluruh juga mengalami kenaikan walaupun ada
kemacetan di pabrik Pematang Siantar. Produksi pupuk urea mengalami kemunduran
dalam semester I tahun 1969, karena adanya kerusakan pada Cooper Besamer
Compressor, yang menyebabkan turunnya produksi PUSRI; tetapi pada semester II –
1969 diharapkan akan normal kembali karena sudah diperbaiki. Dari angka-angka di
atas dapat diharapkan target 1969/1970 tercapai.

c. Pertambangan
Perkembangan produksi pertambangan sampai dengan semester I/1969 adalah
sebagai berikut :
Tabel 1.12
PRODUKSI PERTAMBANGAN, 1969/1970

Satuan/ Triwulan I/1969 Triwulan I/1969/70 Triwulan II/1969/70 Triw I + II 1969/1970


Jenis Produksi Target 1969/70
Berat (Januari-Maret) (April-Juni) Juli-Sept) (April-Sept)

1. Batu Bara Ton 44.493 63.325 48.208 111.533 140.000


2. Timah Kw 40.069 46.023 47.461 93.484 161.600
3. Bauksit Ton 185.104 132.315 145.761 278.076 1.000.000
4. Nikel Ton 65.316 56.410 62.390 118.800 -
5. Emas Kg 83.4016*) 70.4530*) 27.3264*) 27.3264*) 222,5
6. Perak Kg 3.156.602 2.443.337 914.011 914.011 9.715

Sumber : Departemen Keuangan


*) Inclusif Emas dari Logam

Khusus mengenai produksi tambang minyak adalah sebagai dimuat dalam


tabel berikut :

31
Tabel 1.13
PRODUKSI MINYAK MENTAH INDONESIA, 1967-1969/1970
1967 1968 1969 Target 1969/70
Bbls Bbls Bbls
Triwulan I
Januari 15.254.233 16.133.675 19.684.094
Februari 13.727.094 14.114.435 19.263.417
Maret 15.445.404 17.238.442 22.839.292
Total 44.426.731 47.486.552 61.786.803
Triwulan II
April 15.540.856 17.003.391 22.016.540
Mei 15.752.483 18.312.120 22.160.292
Juni 14.102.523 18.275.087 21.003.647
Total 45.395.862 53.590.598 65.180.479
Juli 23.328.503
Agustus -
Tahun Anggaran 1969/70 293.000.000

Sumber : Departemen Pertambangan


Produksi Minyak Mentak ini meliput hasil Pertamina unit I, II, III, IV dan V
serta Cilacap Cepu, Caltex, Stanvac.

Dari angka-angka ini dapat dilihat bahwa realisasi produksi hasil minyak
mengalami kenaikan. Target produksi minyak tahun 1969/1970 adalah sebesar 293
juta BBL yang besar kemungkinan akan dapat dipenuhi.

d. Angka-angka produksi sektor-sektor lainnya


Perkembangan produksi di sektor-sektor seperti perkebunan swasta,
kehutanan, perindustrian ringan dan kerajinan rakyat, prasarana-prasarana umum,
listrik dan pengairan belum dapat dikompilasikan pada saat ini untuk melengkapi
data-data sampai dengan tahun 1969.

1.7.2. Realisasi Penanaman Modal


Mengenai realisasi penanaman modal asing, maka dalam triwulan II tahun
anggaran 1969/1970 telah disetujui Pemerintah 23 proyek, terdiri dari 4 proyek
investasi langsung dan 19 proyek joint enterprise. Sehingga dengan demikian selama
9 bulan tahun 1969 telah disetujui 58 proyek penanaman modal asing, 15 proyek
investasi langsung dengan intended capital US$ 247.134 ribu dan 43 proyek joint
enterprise dengan modal akan ditanam masing-masing US$ 59.004 ribu modal asing
dan US$ 17.974 ribu modal nasional. Dari jumlah itu sebanyak 36 proyek dengan
modal US$ 54.582 ribu akan beroperasi di pulau Jawa dan 22 proyek lainnya dengan

32
modal US$ 269.530 ribu akan beroperasi di luar pulau Jawa. Proyek-proyek dalam
bidang perindustrian dan perhubungan/pariwisata hampir semua memusat di pulau
Jawa sedang di luar Djawa kebanyakan beroperasi di bidang pertambangan dan
kehutanan/perkebunan.
Dengan demikian semenjak tahun 1967 sampai dengan akhir triwulan II-
1969/1970 telah disetujui Pemerintah 148 proyek penanaman modal asing, meliputi
jumlah modal akan ditanam US$ 672.756 ribu, terdiri dari US$ 626.457 ribu modal
asing dan US$ 46.299 ribu modal dari peserta nasional.
Sejumlah 45 proyek berupa straight investment dengan modal akan ditanam
US$ 503.995 ribu dan 103 proyek joint enterprise dengan modal akan ditanam
US$ 168.761 ribu (terdiri dari US$ 122.462 ribu modal asing dan US$ 46.299 ribu
modal peserta nasional).
Menurut daerah usahanya, 94 proyek dengan modal akan ditanam sebesar
US$ 151.645 ribu (terdiri dari US$ 118.892 ribu modal asing dan US$ 32.753 ribu
modal peserta nasional) beroperasi di pulau Jawa, dan 54 proyek lainnya di luar Jawa
dengan modal akan ditanam sebesar US$ 521.111 ribu (terdiri dari US$ 507.565 ribu
modal asing dan US$ 13.546 ribu modal peserta Indonesia).Pada umumnya modal
yang ditanam berasal dari Amerika Serikat, Jepang dan Kanada.
Selama 9 bulan dalam tahun 1969 ini tercatat pemasukan modal asing
US$ 16.733.043,27 yang terdiri dari US$ 4.446.431,27 dalam triwulan peralihan
(Januari-Maret), US$ 3.441.645,76 dalam triwulan I tahun anggaran 1969/1970 dan
selebihnya US$ 8.844.966,24 dalam triwulan II-1969/1970. Sedangkan realisasi
pemasukan modal asing selama dua tahun (1967-1968) hanya berjumlah
US$ 11.205.097,40. Dengan demikian realisasi pemasukan modal asing berjumlah
US$ 27.938.504,67 (US$ 11.205.097,40 tahun 1967-1968 dan US$ 16.733.043,27
triwulan peralihan, triwulan I dan II tahun anggaran 1969/1970).
Apabila kita bandingkan dengan modal yang disanggupkan akan ditanam
memang jumlah realisasi ini masih terlalu kecil, tetapi perlu diingat bahwa modal-
modal yang telah direalisir itu kebanyakan barulah paid up capital, sedang
autrhorized capital dan intended capital masih beberapa tahun kemudian harus
disetor penuh. Lagi pula kebanyakan dari proyek-proyek itu masih pada tingkat
survey, belum sampai tingkat eksploitasi, sehingga modalnya belum diperlukan
seluruhnya.

33
Mengenai realisasi penanaman modal dalam negeri, maka selam triwulan II
tahun anggaran 1969/1970 telah masuk permohonan fasilitas penanaman modal
dalam negeri sebanyak 78 proyek yang meliputi modal akan ditanam Rp 18.840.491
ribu (termasuk nilai lawan valuta asing yang dipergunakan). Dari jumlah itu telah
dikeluarkan rekomendasi dari Sub-Panitia PMDN sebanyak 31 proyek diantaranya
telah dapat diselesaikan oleh Departemen Keuangan proyek-proyek yang meliputi
modal yang akan ditanam sebesar Rp 11.689.966 ribu.
Sampai dengan triwulan II 1969/1970 sejumlah 196 proyek telah mengajukan
fasilitas penanaman modal dalam negeri yang meliputi Rp 119.568.943 ribu.
Sebanyak 82 proyek telah memperoleh rekomendasi Sub-Panitia PMDN
dengan jumlah modal yang akan ditanam sebesar Rp 23.450.754 ribu. Sebagian
terbesar dari proyek-proyek itu bergerak di bidang perindustrian, kemudian diikuti
pertanian/perkebunan, perhubungan/pariwisata dan kehutanan.
Sejumlah 25 proyek telah mulai berproduksi meliputi modal yang ditanam
Rp 4.426.145 ribu, terdiri dari 16 buah proyek di bidang perindustrian, 5 buah di
bidang pertanian/perkebunan, 2 buah di bidang perhubungan/pariwisata dan masing-
masing sebuah untuk bidang peternakan, kehutanan dan parmasi.
Apabila dilihat dari angka-angka realisasi pemasukan modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri, tampaklah suatu kenaikan yang sangat besar pada
tahun 1969 ini.
a. PMA
Tahun 1967/1968 aplikasi sebesar : US$ 348.644 ribu
realisasi pemasukan : US$ 11.205 ribu
9 bulan tahun 1969 aplikasi sebesar : US$ 324.112 ribu
realisasi pemasukan : US$ 16.733 ribu
b. PMDN
9 bulan tahun 1969 aplikasi sebesar : Rp 119.569 juta
proyek telah jalan : Rp 4.426 juta

34
BAB II
PELAKSANAAN APBN 1969/1970

2.1. Pendahuluan

Seperti diketahui APBN 1969/1970 tetap dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan


anggaran berimbang (balanced budget policy). Pelaksanaan kebijaksanaan dimaksud adalah
untuk keseluruhan APBN 1969/1970, yaitu keseimbangan antara keseluruhan penerimaan
rutin dan penerimaan pembangunan di satu pihak dan keseluruhan pengeluaran rutin dan
penerimaan pembangunan di pihak lain. Kebijaksanaan anggaran berimbang tersebut juga
dimaksudkan berlaku untuk seluruh tahun anggaran. Dengan demikian pelaksanan secara
triwulanan tidak perlu selalu seimbang. Hal ini dapat terjadi karena pola penerimaan tidak
selalu bersamaan dengan pola pengeluaran yang disebabkan oleh berlainannya faktor-faktor
yang menguasai atau mempengaruhi penerimaan dengan yang menguasai atau
mempengaruhi pengeluaran.
APBN 1969/1970 memperkirakan penerimaan rutin sebesar Rp 228,0 milyar dan
penerimaan pembangunan (tidak termasuk bantuan proyek) sebesar Rp 63,2 milyar sehingga
jumlah seluruh penerimaan (tidak termasuk bantuan proyek) diperkirakan sebesar Rp 291,2
milyar. Di pihak lain pengeluaran rutin diperkirkan sejumlah Rp 204,0 milyar dan
pengeluaran pembangunan (tidak termasuk bantuan proyek) sejumlah Rp 87,2 milyar;
jumlah seluruh pengeluaran (tidak termasuk bantuan proyek) menjadi Rp 291,2 milyar.

2.2. Anggaran Rutin


2.2.1. Penerimaan Rutin
Pada Tabel 2.1 dapat diketahui perincian daripada seluruh penerimaan negara
baik rutin maupun pembangunan.
Dari jumlah seluruh penerimaan rutin sebesar Rp 228,0 milyar, maka pajak
langsung menghasilkan Rp 91,2 milyar, pajak tidak langsung Rp 134,3 milyar dan
penerimaan non-tax Rp 2,5 milyar.
Berbagai usaha, tindakan dan peraturan telah diambil dan ditempuh
Pemerintah yang kesemuanya bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi penerimaan
negara. Pada umumnya cara pendekatan (approach) yang ditempuh Pemerintah ialah
dengan jalan secara lebih aktif turut serta dan ikut mendorong majunya aktivitas
perekonomian itu sendiri. Diharapkan bila aktivitas perekonomian lebih meningkat,

35
maka pendapatan masyarakatpun akan lebih meningkat sehingga menyebabkan lebih
banyak pula pemasukan penerimaan negara.
Dalam rangka inilah dapat dilihat segala usaha-usaha ataupun peraturan-
peraturan yang telah diambil Pemerintah. Berbagai fasilitas dan kelonggaran-
kelonggaran telah diberikan di bidang pajak langsung baik dalam rangka penanaman
modal, pajak pendapatan dan pajak perseroan.
Di bidang pajak-pajak tidak langsung juga telah diambil beberapa tindakan
yang dimasudkan untuk memberikan lebih banyak pertolongan dan dorongan kepada
berbagai-bagai cabang usaha masyarakat. Tarif-tarif pajak penjualan atas bermacam-
macam barang dan jasa telah diturutkan sehingga diharapkan dapat memberikan
perangsang (incentive) yang lebih besar lagi pada berbagai cabang usaha yang
bersangkutan. Demikian pula terhadap tarif-tarif pajak penjualan impor atas beberapa
jenis barang telah dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
Di bidang cukai juga telah diberikan berbagai kelonggaran-kelonggaran dan
penyesuaian-penyesuaian. Atas hasil-hasil tembakau telah diberikan pembebasan
sebagian cukai tembakau di samping diadakannya tindakan-tindakan penertiban
lainnya yang juga dimasudkan untuk lebih meningkatkan lagi baik produksi maupun
mutu daripada hasil-hasil tembakau. Demikian pula atas perhitungan-perhitungan
cukai gula, cukai alkohol sulingan dan cukai bir telah dilakukan penyesuaian-
penyesuaian sehingga menjadi lebih wajar.
Dengan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1969 telha dilakukan penyesuaian-
penyesuaian dan penurunan-penurunan tarif bea masuk atas sejumlah besar barang-
barang impor. Kepada industri-industri dalam negeri dengan demikian telah
diberikan perangsang maupun proteksi yang lebih besar lagi. Sedangkan kepada
cabang-cabang usaha produktif lainnya yang baru mulai tumbuh telah pula diberikan
dorongan-dorongan yang lebih efektif legi karena bea masuk atas bahan-bahan baku,
bahan penolong, spareparts dan benda-benda modal pada umumnya telah diturunkan,
bahkan ada yang dibebaskan sama sekali dari bea masuk.
Sebagai follow up dari PP No.6/1969 ini dalam bulan September 1969 telah
dikeluarkan SK Menkeu No.KEP-600/MK/III/9/1969 sehingga diharapkan dapat
lebih positif lagi akibat-akibatnya atas kegiatan-kegiatan ekonomi di dalam negeri.
Selain penyesuaian-penyesuaian dan penurunan tarif-tarif bea masuk,
Pemerintah juga telah memberikan kelonggaran lainnya seperti : penghapusan
pembayaran muka pungutan-pungutan pabean untuk barang-barang golongan B dan

36
C (SK Menkeu No.KEP-287/MK/III/4/1969 yang merupakan SK Bersama dengan
Menteri Perdagangan) pemberian ijin vooruitslag berupa pnangguhan bea masuk dan
pungutan-pungutan lainnya atas 11 macam barang-barang impor (SK Menkeu
No.KEP-782/MK/III/11/1969 yang dikeluarkan dalam bulan November 1969 yang
sebenarnya merupakan lanjutan dari pemberian ijin vooruitslag yang telah
dikeluarkan dalam bulan Januari 1969 dengan SK Menkeu No.KEP-
18/MK/III/1/1969).
Dalam hubungan dengan penyesuaian-penyesuaian dan penurunan tarif-tarif
bea masuk serta pemberian kelonggaran-kelonggaran lainnya tersebut Pemerintah
memperhatikan pula kepentingan rakyat banyak sebagai konsumen. Hal ini dilakukan
dengan jalan memberikan pula keringanan-keringanan bahkan pembebasan-
pembebasan bea masuk atas beberapa barang impor yang merupakan kebutuhan
pokok rakyat banyak. Dengan demikian selalu dijaga keseimbangan yang wajar
antara kepentingan konsumen, kepentingan produsen dan kepentingan penerimaan
negara.
Mengenai jenis-jenis penerimaan pajak tidak langsung yang lainnya, seperti :
pajak devisa ekspor, penerimaan minyak lainnya dan lain-lain sebagainya Pemerintah
juga telah melakukan berbagai usaha sehingga memungkinkan hasil-hasil penerimaan
yang lebih baik.
Akhirnya mengenai penerimaan non-tax ternyata telah dapat dihasilkan
jumlah yang cukup berarti juga. Sebagai hasil penertuiban-penertiban yang telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam Keputusan
Presiden No.33 tahun 1969 tentang pedoman pelaksanaan APBN 1969/1970, maka
hasil-hasil yang diterima dari departemen-departemen (“administrative revenues”)
ataupun dari perusahaan-perusahaan negara dan bank-bank Pemerintah (bagian
Pemerintah dari laba) telah menunjukkan perkembangan yang positif.

2.2.2. Pengeluaran Rutin

Anggaran induk untuk belanja rutin tahun anggaran 1969/1970 ditetapkan


sebesar Rp 204,0 milyar.
Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera tahun
1969/1970 Pemerintah telah mengeluarkan pedoman pelaksanaan APBN tahun
1969/1970 dengan Keputusan Presiden No.33 tahun 1969, tanggal 31 Maret 1969.

37
Peraturan ini dipakai sebagai pegangan bagi seluruh aparatur Pemerintahan di bidang
keuangan negara dalam melaksanakan APBN 1969/1970.
Berdasarkan angka-angka sementara (lihat Tabel 2.2) pengeluaran rutin
sampai dengan Semester I tahun anggaran 1969/1970 berjumlah Rp 102,2 milyar
yang terdiri atas pengeluaran untuk belanja pegawai/pensiun sebesar Rp 38,4 milyar,
belanja makan (uang lauk pauk) ABRI dan Sipil sebesar Rp 5,2 milyar, belanja
barang, dan sebagainya sebesar Rp 19,9 milyar, subsidi/perimbangan keuangan
daerah otonom sebesar Rp 28,8 milyar, bunga/cicilan hutang sebesar Rp 8,6 milyar
dan lain-lain pengeluaran rutin serta pengeluaran yang berasal dari tahun anggaran
yang lalu sebesar Rp 1,3 milyar.
Pengeluaran rutin selama semester I tahun 1969/1970 tersebut diatas telah
mencapai ± 50% dari anggaran induk tahun 1969/1970. Mengingat bahwa sebagian
besar dari subsidi/perimbangan keuangan daerah otonom adalah untuk mencukupi
belanja pegawai daerah otonom, maka dapat dikatakan bahwa sebagian terbesar dari
belanja rutin tahun 1969/1970 adalah untuk belanja pegawai/pensiun. Mengenai
belanja barang dan sebagainya masih terus dilakukan penghematan-penghematan.
Pemerintah masih harus melakukan penghematan-penghematan di dalam
belanja rutin ini. Namun demikian, belanja rutin yang sifatnya urgen dan merupakan
kewajiban Pemerintah yang tidak dapat ditunda-tunda telah mendapatkan prioritas
dari Pemerintah.
Untuk memperbaiki tingkat hidup pegawai-pegawai negeri dan ABRI,
Pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbaiki kehidupan mereka dalam batas-
batas kemampuan keuangan negara. Dalam tahun anggaran 1969/1970 ini
Pemerintah telah memutuskan untuk memberikan tambahan gaji bulan ke 13 dan ke
14.

2.3. Anggaran Pembangunan


2.3.1. Penerimaan Pembangunan

Pada Tabel 2.1 dapat diketahui pula bahwa untuk seluruh tahun anggaran
1969/1970, Pemerintah memperkirakan jumlah penerimaan pembangunan (di luar
bantuan proyek) sebesar Rp 63,2 milyar.
Suatu ciri utama daripada penerimaan Pemerintah untuk APBN 1969/1970
termasuk penerimaan pembangunan adalah kenyataan stabilnya kurs BE pada tingkat
Rp 326,0/US$. Stabilnya kurs BE tersebut juga mempunyai arti bahwa untuk pertama

38
kalinya di dalam sejarah kebijaksanaan APBN, Pemerintah diharuskan untuk
mengubah cara bekerja dan usaha-usahanya kepada hal-hal yang sifatnya riil dan
produktif untuk dapat meningkatkan penerimaannya. Kenyataan ini pastilah
mengakibatkan tugas Pemerintah untuk dapat memperoleh penerimaan pembangunan
sebesar mungkin menjadi lebih berat daripada di masa-masa sebelumnya.
Mengenai bantuan proyek (project aid) seluruhnya diteruskan kepada
Departemen-departemen/Badan-badan pelaksanaan teknis yang menggunakannya.
Realisasi daripada bantuan proyek diperkirakan akan lebih kecil daripada yang
diperhitungakn semula mengingat pelaksanaannya memerlukan waktu yang jauh
lebih lama daripada yang diperkirakan.
Perlu dikemukakan di sini bahwa penerimaan pembangunan memerlukan
beberapa tahap yang agak panjang sebelum dapat direalisir sepenuhnya. Tahapan-
tahapan tersebut adalah : (1) aid requirement, (2) aid commitment, (3) aid realization,
dan (4) aid disbursement.

2.3.2. Pengeluaran Pembangunan


Prosedur Pembiayaan Pembangunan

Dalam tahun anggaran 1969/1970, prosedur pembiayaan pembangunan


mengalami perubahan jika dibandingkan dengan prosedur pembiayaan pembangunan
dalam tahun-tahun sebelumnya. Prosedur pembiayaan yang berlaku dalam tahun-
tahun anggaran 1969/1970 ini adalah sebagai berikut :
(1) Departemen-departemen mengajukan Daftar Isian Proyek (DIP) kepada
Departemen Keuangan dan Bappenas. Daftar Isian Proyek memuat program dan
rencana biayanya untuk satu proyek/sub-proyek guna keperluan satu tahun,
diperinci per triwulan. Untuk tiap proyek/su-proyek dibuat DIP tersendiri.
(2) Departemen Keuangan bersama-sama dengan Bappenas mengadakan penelaahan
mengenai DIP yang diajukan oleh Departemen-departemen.
(3) DIP yang telah disetujui disahkan oleh Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas
dan dikirimkan aslinya kepada Menteri yang bersangkutan, sedangkan copynya
dikirimkan kepada Kantor Bendahara Negara di daerah lokasi proyek.
(4) Setelah menerima DIP yang telah disahkan, Menteri yang bersangkutan
mengeluarkan SKO (Surat Keputusan Otorisasi) yang aslinya dikirimkan kepada
Kantor Bendahara Negara yang bersangkutan, sedangkan copynya dikirimkan
kepada pelaksana proyek.

39
(5) Pelaksana proyek mengajukan permintaan uang kepada Kantor Bendahara
Negara setempat.
(6) Setelah ditelaah, Kantor Bendahara Negara memberikan uang kepada pelaksana
proyek menurut kebutuhan.
(7) Untuk proyek-proyek yang dibiayai melalui Bank, pelaksana proyek mengajukan
permintaan kredit kepada Bank yang akan membiayai proyeknya. Setelah
ditelaah dan memenuhi ketentuan-ketentuan bank, maka bank yang bersangkutan
memberikan kreditnya.
Prosedur pembiayaan pembangunan yang baru ini berbeda dengan prosedur
yang terdahulu dalam hal-hal sebagai berikut :
(1) Untuk tiap-tiap proyek/sub-proyek, pembiayaannya harus didasarkan pada DIP.
Dengan DIP ini paling sedikit telah ada rencana proyek-proyek baik mengenai
fisik maupun keuangannya. Selanjutnya dengan DIP ini dapat disusun pula
perencanaan penyediaan biaya menurut daerah-daerah lokasi proyek. DIP
tersebut juga akan dapat dipergunakan sebagai alat pengawasan, baik secara
preventif oleh Kantor-kantor Bendahara Negara, yaitu sebelum mengeluarkan
uang, maupun secara represif oleh unit-unit pengawasan, yaitu untuk meneliti
apakah rencana telah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(2) Penerbitan SKO lebih disederhanakan. Kalau dalam tahun-tahun yang lalu untuk
menerbitkan otorisasi guna pembiayaan pembangunan harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Departemen Keuangan, cq. Direktorat Jenderal
Anggaran, maka dengan prosedure yang baru ini masing-masing Departemen
dapat menerbitkan SKO atas dasar DIP yang telah disahkan olehMenteri
Keuangan dan Ketua Bappenas, tanpa pengesahan lagi dari Direktorat Jenderal
Anggaran. Dengan begini diharapkan bahwa pelaksanaan pembiayaan dapat lebih
diperlancar karena satu mata rantai telah dikurangi.
(3) Dengan adanya DIP dan otorisasi yang diterbitkan sendiri oleh masing-masing
Departemen, maka pembiayaan pembangunan dapat disesuaikan menurut
kebutuhan pada tiap-tiap triwulan. Pelaksana-pelaksana proyek dapat menerima
pembiayaan pada Kantor-kantor Bendahara Negara di daerah lokasi proyeknya.

Realisasi Pembiayaan Pembangunan


Anggaran induk untuk belanja pembangunan tahun anggaran 1969/1970
berjumlah Rp 123,4 milyar, diantaranya Rp 36,2 milyar berupa bantuan

40
proyek/bantuan teknis dan Rp 87,2 milyar terdiri dari nilai lawan bantuan luar negeri
yang di BE-kan dan dari tabungan Pemerintah.
Penggunaan dari anggaran belanja pembangunan tahun 1969/1970 tersebut
diats direncanakan untuk proyek bidang ekonomi sebanyak Rp 94,4 milyar (76,5%),
bidang sosial sebanyak Rp 19,6 milyar (15,9%), dan bidang umum sebesar Rp 9,4
milyar (7,6%).
Dari jumlah biaya pembangunan Rp 87,2 milyar yang pembiayaannya
diperoleh dari bantuan luar negeri yang di BE-kan dan dari tabungan pemerintah
tersebut di ats, direncanakan Rp 73,3 milyar disalurkan melalui Kantor-kantor
Bendahara Negara, Rp 4,0 milyar untuk pembangunan bidang Hankam, Rp 7,3
milyar disalurkan melalui bank-bank Pemerintah dan Rp 2,6 milyar untuk subsidi
(bantuan) desa yang penyalurannya melalui Bank Rakyat Indonesia.
Berdasarkan angka-angka sementara, realisasi anggaran belanja
pembangunan selama semester I (April sampai dengan September 1969) tahun
anggaran 1969/1970 dapat disimpulkan sebagai berikut (dalam milyar Rp) :
(1) Pembiayaan melalui KBN-KBN 21,0
(2) Pembiayaan pembangunan Hankan 2,0
(3) Pembiayaan pembangunan yang
disalurkan melalui perbankan 3,0
(4) Subsidi desa 2,0
(5) Lain-lain pengeluaran dan pengeluaran
yang berasal dari tahun anggaran yang lalu 2,6

Jumlah 30,6
Angka-angka tersebut di atas adalah untuk anggaran pembangunan yang
dibiayai dari nilai lawan bantuan luar negeri yang di BE-kan dan dari tabungan
pemerintah.
Angka realisasi pembiayaan pembangunan melalui KBN-KBN tersebut di
atas adalah berdasarkan realisasi pengeluaran SPM (Surat Perintah Membayar) yang
dikeluarkan oleh KBN-KBN dan yang dilaporkan sampai dengan akhir September
1969.
SKO-SKO (Surat Keputusan Otorisasi) yang diterima oleh KBN-KBN selama
semester I tahun anggaran 1969/1970 ini telah mencapai jumlah kira-kira Rp 26,8
milyar.

41
Pelaksanaan anggaran pembangunan di dalam tahun anggaran yang lalu telah
mengalami beberapa kelambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor :
(1) Penyusunan daripada program yang harus dinyatakan di dalam DIP (Daftar Isian
Proyek) merupakan hal yang baru. Hal ini telah memerlukan waktu yang agak
lama sehingga baru dapat diselesaikan di dalam triwulan I daripada tahun
anggaran 1969/1970.
(2) Di dalam pelaksanaan daripada dropping uang yang telah dipergunakan prosedur
baru dengan tujuan untuk mempercepat pembiayaan dan pencapaian ketepatan
(doelmatigheid) yang sebesar-besarnya. Inipun memerlukan waktu untuk
penyesuaiannya.
(3) Pelaksanaan daripada proyek-proyek pada umumnya dilaksanakan dengan sistim
tender dan voorfinanciering, artinya pelaksanaan proyek-proyek terlebih dahulu
ditawarkan secara terbuka kepada kontraktor-kontraktor dan bila telah disetujui,
pembiayaannya dilakukan lebih dahulu oleh kontraktor. Pembayaran oleh
proyek-proyek baru dilakukan bila pekerjaan seluruhnya atau sebagian telah
selesai.
(4) Berhubung banyaknya proyek-proyek yang harus dilakukan di daerah-daerah di
mana ada kemungkinan tidak terdapatnya kontraktor-kontraktor yang memenuhi
syarat atau tidak terdapatnya bahan-bahan yang diperlukan menurut program
yang telah ditentukan, maka biasanya terpaksa dicarikan kontraktor-kontraktor
dari daerah lain yang kemungkinan besar jauh letaknya dari tempat/lokasi proyek.
Dengan sendirinya keadaan ini memerlukan waktu yang lebih lama di dalam
pelaksanaannya.
Kalau diperhatikan perkembangan pembiayaan pembangunan melalui KBN-
KBN dalam triwulan I dan triwulan II tahun anggaran 1969/1970, maka terlihat
bahwa pembiayaan pembangunan dalam triwulan II tahun 1969/1970 mencapai kira-
kira tiga kali lebih banyak daripada pembiayaan dalam triwulan I tahun 1969/1970.
Jadi telah menunjukkan perkembangan yang berarti.
Jika dilihat angka-angka mengenai pelaksanaan pembiayaan pembangunan
melalui KBN-KBN, maka dapat disimpulkan bahwa dari realisasi pembiayaan
pembangunan selama semester I tahun 1969/1970 sebesar Rp 21,0 milyar tersebut di
atas (tidak termasuk subsidi desa), Rp 16,6 milyar (79,2%) adalah untuk proyek-
proyek di bidang ekonomi, Rp 3,1 milyar (14,7%) adalah untuk proyek-proyek di
bidang sosial dan Rp 1,3 milyar (6,1%) adalah untuk proyek-proyek di bidang umum.

42
Kalau angka-angka realisasi pembiayaan pembangunan selama semester I
tahun anggaran 1969/1970 tersebut di atas dibandingkan dengan anggaran
pembangunan induk tahun 1969/1970 (di luar bantuan proyek dan bantuan teknis),
maka untuk masing-masing bidang dapat diperoleh gambaran sebagai berikut :
(1) Pembiayaan melalui KBN-KBN :
- Bidang Ekonomi, telah dikeluarkan 33% dari anggaran induk 1969/1970
- Bidang Sosial, telah dikeluarkan 17% dari anggaran induk 1969/1970
- Bidang Umum, telah dikeluarkan 25% dari anggaran induk 1969/1970
(2) Pembiayaan pembangunan Hankam, telah dikeluarkan 50% dari anggaran induk
1969/1970.
(3) Pembiayaan yang disalurkan melalui perbankan telah dikeluarkan 43% dari
anggaran induk 1969/1970.
(4) Subsidi Desa, telah dikeluarkan 77% dari anggaran induk 1969/1970.
Dari angka-angka tersebut di atas dapat dilihat bahwa realisasi pembiayaan
pembangunan selama semester I tahun anggaran 1969/1970 ini telah diarahkan
sebagian terbesar pada bidang ekonomi sesuai dengan prioritas yang telah digariskan
dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun dan dalam APBN 1969/1970.
Dengan berhasilnya PEPERA, maka khusus untuk daerah Irian Barat Pemerintah
telah menyediakan pembiayaan pembangunan sebesar Rp 3,1 milyar.
Tabel 2.1
REALISASI DAN PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA
APBN 1969/1970
(Milyar Rupiah)
Semester I APBN
Jenis Penerimaan
(Realisasi) 1969/1970
I. Penerimaan Rutin 113,0 228,0
A. Pajak Langsung 41,3 91,2
1. Pajak Pendapatan 5,7 15,5
2. Pajak Perseroan 8,1 15,0
3. Pajak Perseroan Minyak 20,1 48,7
4. MPO 1) 7,3 11,5
5. Lain-lain 0,1 0,5
B. Pajak Tidak Langsung 70,3 134,3
1. Pajak Penjualan 7,2 12,0
2. Pajak Penjualan Impor 7,5 10,0
3. Cukai 15,1 28,2
4. Bea Masuk 28,0 60,0
5. Pajak Devisa Ekspor 3,8 7,0
6. Penerimaan minyak lainnya 7,0 14,1
7. Lain-lain 1,7 3,0
C. Penerimaan non-tax 1,4 2,5
2)
II. Penerimaan Pembangunan 25,0 99,4
1. Kredit Luar Negeri 25,0 63,2
3)
2. Bantuan Proyek p.m 36,2

Jumlah Penerimaan 138,0 327,4


Sumber : Departemen Keuangan RI
1) Sudah termasuk hasil MPO yang dipungut oleh pabean
2) Tidak termasuk bantuan proyek 43
3) Lihat Tabel 5.1
Tabel 2.2
REALISASI DAN PERKIRAAN PENGELUARAN NEGARA
APBN 1969/1970
(Milyar Rupiah)
Semester I APBN
Jenis Pengeluaran
(Realisasi) 1969/1970
I. Rutin 102,2 204,0
1. Belanja Pegawai/Pensiun 38,4 93,4
Tunjangan beras in natura 6,1 26,5
Tunjangan beras dalam uang 5,5 12,0
Gaji/Upah/Pensiun 23,1 48,5
Pengeluaran dalam negeri lainnya 2,1 2,0
Pengeluaran luar negeri 1,6 4,4
2. Belanja Lauk Pauk 5,2 13,8
3. Belanja Barang 19,9 36,7
Pengeluaran Dalam Negeri 16,9 27,4
Pengeluaran Luar Negeri 3,0 9,3
4. Subsidi Daerah Otonom 28,8 41,4
Irian Barat 4,9 8,0
Daerah Otonom lainnya 23,9 33,4
5. Bunga/Cicilan Hutang-hutang 8,6 16,5
Hutang Dalam Negeri 0,4 1,0
Hutang Luar Negeri 8,2 15,5
6. Pengeluaran lainnya 1,3 2,2

II. Pembangunan 30,6 123,4


1. Proyek Pemerintah Pusat 23,0 77,3
2. Pembiayaan melalui perbankan 3,0 7,3
3. Subsidi Desa 2,0 2,6
4. Lain-lain pengeluaran 2,6 -
5. Bantuan Proyek p.m. 36,2

Jumlah Pengeluaran 132,8 327,4


Sumber : Departemen Keuangan RI
1) Tidak termasuk project aid
2) Lihat Tabel 5.1

44
BAB III
RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1970/1971

3.1. Pendahuluan

Seperti telah dikemukakan di atas, anggaran berimbang yang dinamis disamping


menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan, harus memperhatikan peningkatan tabungan
Pemerintah. Peningkatan tabungan tersebut, mengharuskan Pemerintah untuk menyisihkan
sebagian dari penerimaan dalam negeri utnuk pembiayaan pembangunan. Tugas Pemerintah
menjadi semakin berat karena di samping harus melaksanakan pembangunan juga harus
mempertahankan kestabilan ekonomi yang telah tercapai. Makin besar pembangunan yang
harus dilakukan makin besar pula keharusan untuk menciptakan public savings. Dengan
demikian maka tahun demi tahun harus diusahakan agar komponen pembiayaan yang berasal
dari sumber dalam negeri makin lama makin lebih besar daripada sumber pembiayaan luar
negeri. Disadari sepenuhnya bahwa didalam periode PELITA pertama hal tersebut tidak
mudah tercapai. Meskipun demikian akan tetap diusahakan untuk bekerja ke arah itu.
Makin bertambah besarnya anggaran pembangunan untuk tahun anggaran 1970/1971
disebabkan adanya keharusan untuk menyediakan pembiayaan pembangunan Irian Barat dan
subsidi kepada kabupaten-kabupaten di samping meningkatnya “local cost” untuk bantuan
proyek.
Di bidang anggaran rutin pun harus dilaksanakan pengeluaran-pengeluaran yang
sifatnya sukar untuk dielakkan. Pengeluaran-pengeluaran tersebut meliputi pengeluaran
untuk kenaikan belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom dan pembayaran
hutang-hutang. Khusus di dalam tahun anggaran 1970/1971 pengeluaran rutin menanggung
beban yang lebih berat lagi berhubung adanya keharusan untuk menyediakan pembiayaan
bagi Pemilihan Umum.
Faktor-faktor tersebut diataslah yang mempengengaruhi kebijaksanaan-
kebijaksanaan Pemerintah dalam tahun anggaran 1970/1971. Tabel 3.1. memuat angka-
angka perbandingan antara APBN 1969/1970 dengan APBN 1970/1971.
Faktor komposisi impor yang sesuai dengan pembangunan membawa pengaruh bagi
penerimaan baik yang berasal dari nilai lawan bantuan luar negeri maupun dari impor umum.
Seperti telah dikemukakan dalam Bab Umum, secara bertahap komposisi bantuan luar negeri
akan beralih pada bantuan proyek dan pengurangan dalam bantuan program. Dari bantuan
program yang diusahakan, maka sebagian besar diperuntukkan bagi pencukupan bahan-

45
bahan kebutuhan pokok yang menghasilkan nilai lawan yang tidak penuh berhubung
sebagian masih harus diberikan subsidi.
Anggaran pembangunan tahun 1970/1971 akan bertambah dengan 32% jika
dibandingkan dengan tahun 1969/1970. Hal ini dimungkinkan antara lain karena tabungan
pemerintah dapat ditingkatkan. Dari bantuan luar negeri yang diharapkan diperoleh sebesar
US$ 600 juta untuk 15 bulan, hanya US$ 200 juta yang dapat di BE-kan dan US$ 140 juta
berupa bantuan pangan. Kedua-duanya menghasilkan nilai lawan yang dapat dipergunakan
untuk pembiayaan pembangunan.

Tabel 3.1
PERBANDINGAN ANGGARAN RUTIN DARI APBN 1969/1970
DENGAN APBN 1970/1971
( Dalam Milyar Rupiah )
APBN 1969/70 APBN 1970/71 Kenaikan
Anggaran
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
I. Pengeluaran Rutin
1. Belanja Pegawai/Pensiun 93,4 45,8 119,4 42,2 + 26,0 32,8
2. Belanja Barang 50,5 24,7 69,4 24,5 + 18,9 22,0
3. Subsidi Daerah Otonom 41,4 20,3 53,2 18,8 + 11,8 14,9
4. Bunga/cicilan Hutang 16,5 8,1 31,4 11,0 + 14,9 18,9
5. Pemilihan Umum 1,0 0,5 10,0 3,5 + 9,0 11,4
6. Lain-lain 1,2 0,6
Jumlah 204,0 100,0 283,4 100,0 + 79,4 100,0
II. Tabungan Pemerintah 24,0 37,1 + 13,1
Jumlah I + II : 228,0 100,0 320,5 100,0 + 92,5 100,0
III. Penerimaan Rutin
1. Pajak Langsung 42,5 55,6 + 13,1
2. Pajak Tak Langsung 120,2 167,2 + 47,0
3. Minyak 62,8 95,1 + 32,3
4. Non-Tax 2,5 2,6 + 0,1
Jumlah III : 228,0 320,5 + 92,5

Sumber : Departemen Keuangan RI

46
Penyediaan “local cost” bagi bantuan proyek untuk tahun anggaran 1970/1971 akan
sangat meningkat dibandingkan dengan tahun anggaran 1969/1970. Hal ini disebabkan
karena perkiraan daripada disbursement dari bantuan proyek jauh lebih besar daripada tahun
anggaran yang lalu.
Tabel 3.2. di bawah ini memperlihatkan keseluruhan RAPBN 1970/1971 :

Tabel 3.2
RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1970/1971
(Dalam Milyar Rupiah)

Penerimaan Jumlah Pengeluaran Jumlah

I. Penerimaan Rutin 320,583 I. Pengeluaran Rutin 283,475

A. Pajak Langsung 117,120 1. Belanja Pegawai dan Pensiun 119,439


1. Pajak Pendapatan 13,250 a. Tunjangan Beras 30,734
2. Pajak Perseroan 21,250 b. Gaji/Upah/Pensiun 51,938
3. P. Ps. Minyak 61,470 c. Kenaikan Gaji 50% 21,584
4. MPO 20,900 d. Lain-lain Belanja Pegawai DN 10,992
5. Lain-lain 0,250 e. Belanja Pegawai LN 4,191
B. Pajak Tidak Langsung 200,810 2. Belanja Barang 69,443
1. Pajak Penjualan 19,000
2. P.Pn. Impor 19,500 3. Subsidi/Perimbangan Keuangan 53,219
3. Cukai 39,460
4. Bea Masuk 78,000 4. Bunga/Cicilan Hutang 31,374
5. Pajak Devisa Ekspor 7,000
6. Penerimaan Minyak lainnya 33,600 5. Pemilu 10,000
7. Lain-lain 4,250
C. Penerimaan Non-Tax 2,653

II. Penerimaan Pembangunan 124,316 II. Pengeluaran Pembangunan 161,424


1. Kredit Luar Negeri 78,676 A. Bidang Ekonomi 81,644
2. Bantuan Proyek 45,640 B. Bidang Sosial 21,612
C. Bidang Umum 12,528
115,784
D. Bantuan Proyek 45,640

Jumlah 444,899 Jumlah 444,899


Sumber : Departemen Keuangan RI

47
3.2. Anggaran Rutin
3.2.1. Penerimaan Rutin
Di dalam memperkirakan penerimaan rutin untuk tahun anggaran 1970/1971
ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh Pemerintah :
(1) Karena kebutuhan pembiayaan baik untuk pengeluaran rutin maupun untuk
pengeluaran pembangunan makin meningkat di dalam tahun kedua (1970/1971)
PELITA, maka penerimaan rutin harus lebih ditingkatkan lagi daripada apa yang
dapat dihasilkan di dalam tahun anggaran 1969/1970.
(2) Untuk lebih meningkatkan pemasukan daripada penerimaan rutin tersebut, maka
selain fasilitas-fasilitas dan perangsang-perangsang fiskal yang telah diberikan
kepada industri-industri baru dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal
dan kepada industri-industri yang sudah ada (existing industries), akan diberikan
pula perangsang-perangsang (incentives) yang cukup berarti yang mendorong
kegiatan produksi dalam negeri.
(3) Di dalam usaha untuk lebih meningkatkan lagi penerimaan rutin 1970/1971,
Pemerintah tetap menjaga agar kestabilan moneter yang telah dicapai di dalam
tahun 1969/1970 terus dipelihara dan lebih dimantapkan lagi. Hanya perlu
ditekankan di sini bahwa kestabilan yang dimaksud bukanlah kestabilan yang
statis, tetapi merupakan kestabilan yang dinamis. Artinya di dalam usahanya
untuk tetap memelihara kestabilan moneter tersebut, maka Pemerintah melalui
kebijaksanaan anggaran harus dapat melaksanakan kegiatan pembangunan yang
makin besar.
(4) Harus dapat dipertahankan peningkatan penerimaan yang berasal dari sektor
perdagangan internasional, meskipun pola daripada impor harus disesuaikan
dengan kegiatan pembangunan yang lebih terarah kepada barang-barang modal,
bahan-bahan baku dan bahan-bahan penolong yang sebenarnya tidak
menghasilkan bea masuk yang besar.
Berdasarkan faktor-faktor seperti disebutkan di atas, maka dalam tahun
anggaran 1970/1971 Pemerintah akan menjalankan beberapa tindakan pelaksanaan
sebagai berikut :
(1) Intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi pengenaan pajak akan terus
ditingkatkan, baik mengenai pajak-pajak langsung maupun mengenai pajak-
pajak tidak langsung.

48
(2) Dalam rangka memberikan fasilitas dan perangsang (incentives) kepada dunia
usaha maka Pemerintah merencanakan mengajukan beberapa RUU Perpajakan
tentang perubahan dan tambahan atas ordonansi-ordonansi pajak pendapatan,
pajak perseroan dan pajak dividen. Dengan adanya perubahan dan tambahan (tax
reform) tersebut, maka diharapkan dunia usaha akan memperoleh peluang dan
kesempatan yang lebih besar untuk memperkembangkan usaha-usahanya.
Berarti aktivitas perekonomian akan lebih hidup dan lebih maju lagi dari masa
sebelumnya, sehingga pada akhirnya penerimaan pajak-pajak pun diharapkan
dapat lebih ditingkatkan. “Tax Reform” tersebut mencakup penurunan dan
penyederhanaan tarif, peningkatan batas minimum kena pajak, penambahan dan
penyempurnaan lapisan-lapisan pendapatan (income brackets), penilaian
kembali (revaluasi) aktiva tetap badan usaha, penghapusan yang dipercepat
(accelerated depreciation), perangsang penanaman modal baru, kemungkinan
kompensasi kerugian inisial (carry forward of initial losses), perpanjangan
jangka waktu untuk kompensasi kerugian nominal, dan lain-lain lagi yang
semuanya diharapkan dapat mendorong kemajuan dan perluasan dunia industri
dan perusahaan.
(3) Juga terhadap Undang-undang No.1 tahun 1967 (Penanaman Modal Asing) dan
Undang-undang No.6 tahun 1968 (Penanaman Modal Dalam Negeri) akan
diadakan beberapa perubahan-perubahan dan tambahan. Hal ini dilakukan
sebagai akibat perubahan-prubahan dan tambahan-tambahan yang diadakan atas
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 itu sendiri. Dengan demikian diharapkan
prinsip keseragaman dapat dipegang teguh. Dari perubahan-perubahan dan
tambahan atas kedua Undang-undang tersebut di atas diharapkan penanaman
modal pada umumnya dapat lebih berkembang lagi.
(4) Di bidang impor, maka Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1969 yang mengatur
kembali pengenaan bea masuk akan terus disempurnakan sehingga pengarahan
impor menjadi lebih baik lagi, tetapi tetap memperhatikan keseimbangan yang
harus dicapai diantara kepentingan penerimaan Pemerintah, kepentingan
produsen (baik berupa perangsang maupun dalam bentuk proteksi) dan
kepentingan rakyat banyak (konsumen terbesar).
Dengan memperhitungkan faktor-faktor dan tindakan-tindakan pelaksanaan
seperti disebutkan di atas, maka Pemerintah memperkirakan bahwa penerimaan rutin
1970/1971 akan berjumlah Rp 320,5 milyar yang terdiri dari pajak langsung

49
Rp 117,1 milyar, pajak tidak langsung Rp 200,8 milyar dan penerimaan non tax
Rp 2,6 milyar. Perincian lebih lanjut dari penerimaan rutin 1970/1971 dapat dibaca
dalam Lampiran 1 dari Nota Keuangan ini.

3.2.2. Pengeluaran Rutin


Pengeluaran rutin 1970/1971 diperkirakan lebih besar daripada yang
dikeluarkan di dalam tahun anggaran 1969/1970 disebabkan oleh kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang hendak dijalankan Pemerintah seperti di bawah ini :
(1) Khusus dalam tahun anggarn 1970/1971 maka anggaran rutin harus menanggung
beban yang berat yang disebabkan keharusan penyediaan pembiayaan Pemilihan
Umum.
(2) Sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki taraf hidup pegawai negeri dan
ABRI, maka Pemerintah bermaksud menaikkan gaji pegawai.
(3) Pemeliharaan peralatan (maintenance) Pemerintah akan dipertinggi tarafnya. Juga
secara kuantitatif hal tersebut harus dilakukan karena makin meningkatnya
volume pembangunan sesuai penahapan di dalam PELITA. Termasuk pula di
dalam hubungan ini peningkatan aktivitas-aktivitas Pemerintah dalam bidang
pengawasan.
(4) Subsidi daerah otonom juga akan lebih meningkat antara lain sebagai akibat
kenaikan gaji pegawai.
(5) Guna mengembalikan kepercayaan dunia internasional akan kemampuan dan
kesungguhan Indonesia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya
sesuai dengan perjanjian-perjanjian antaranegara yang telah disetujuinya, maka di
dalam tahun anggaran 1970/1971 Pemerintah tetap akan memenuhi kewajiban
pembayaran hutang-hutangnya yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan sebagaimana disebutkan diatas,
maka pengeluaran rutin 1970/1971 diperkirakan akan berjumlah Rp 283,4 milyar
dengan pembagian sebagai berikut :

50
Rp miliar
1. Belanja Pegawai/Pensiun 119,4
2. Belanja Barang 69,4
3. Subsidi Daerah Otonom 53,2
4. Bunga/cicilan hutang 31,4
5. Pemilihan Umum 10,0
Jumlah : 283,4
Keterangan-keterangan selanjutnya adalah sebagai berikut :
ad. 1. Belanja Pegawai/Pensiun
Di samping kenaikan berkala (naruurlijk acc-res) sudah selayaknyalah
kepada pegawai negeri diberikan kenaikan gaji tambahan. Namun mengingat
kemampuan keuangan negara dan mengingat beban yang harus ditanggung oleh
Pemerintah dalam bidang lainnya maka diperkirakan bahwa gaji baru dapat
dinaikkan dengan 50%.
Tunjangan beras tetap diberikan dalam bentuk natura maupun dalam bentuk
uang menurut peraturan-peraturan yang berlaku.

Tabel 3.3.
PERINCIAN BELANJA PEGAWAI/PENSIUN 1970/1971
(Dalam Milyar Rupiah)

Perincian Jumlah

1. Tunjangan Beras 30,734


2. Gaji/Upah/Pensiun 51,938
3. Kenaikan Gaji 50% 21,584
4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 10,992
5. Belanja pegawai luar negeri 4,191

Jumlah 119,439
Sumber : Departemen Keuangan RI

ad. 2. Belanja Barang


Pada umumnya dalam tahun-tahun yang lalu perlengkapan Pemerintah kurang
dipelihara sebagaimana mestinya karena biaya yang tersedia untuk keperluan itu jauh
daripada mencukupi. Lain daripada itu pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan
aktivitas-aktivitas lainnya misalnya : biaya perjalanan yang perlu untuk aktivitas
pembinaan dan pengawasan daripada proyek-proyek belum seluruhnya mendapat

51
perhatian sebagaimana seharusnya. Dengan meningkatnya volume pembangunan,
maka kegiatan rutin pun akan meningkat. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran
untuk tugas-tugas pembinaan dan pengawasan perlu ditingkatkan baik untuk
kelancaran roda pemerintahan maupun kelancaran pembangunan.

ad. 3. Subsidi Daerah Otonom


Dengan adanya kenaikan gaji, maka subsidi daerah otonom mengalami
kenaikan pula oleh karena di dalam subsidi tersebut termasuk gaji dari pegawai
daerah otonom.

ad. 4. Bunga/Cicilan Hutang


Jumlah anggaran untuk keperluan ini tergantung daripada besarnya hutang-
hutang yang jatuh tempo untuk tiap tahunnya. Pengeluaran untuk hutang-hutang yang
sudah jatuh tempo ini tiap tahunnya makin besar dan pengeluaran untuk hutang-
hutang luar negeri untuk tahun anggaran 1970/1971 diperkirakan besarnya Rp 20,2
milyar. Dibandingkan dengan tahun anggaran 1969/1970 ini berarti kenaikan sebesar
kurang lebih Rp 5,0 milyar. Oleh karena itu Pemerintah senantiasa berusaha untuk
menunda secara menyeluruh pembayaran kembali hutang-hutang warisan orde lama.
Disamping itu pinjaman-pinjaman baru hanya diterima bilamana syarat-syaratnya
betul-betul lunak. Dengan demikian maka beban embayaran kembali hutang-hutang
untuk tahun-tahun yang akan datang akan menjadi lebih ringan.
Mengenai hutang-hutang dalam negeri, tunggakan-tunggakan daripada
hutang-hutang tahun-tahun yang lalu sudah sedemikian meningkatnya sehingga perlu
untuk mulai diangsur. Guna kelangsungan usaha daripada perusahaan-perusahaan
negara, maka hutang-hutang antar PN/Departemen perlu diselesaikan secara
menyeluruh. Pelaksanaan pembayarannya dilakukan secara bertahap.
Tabel 3.4. menunjukkan perincian pembayaran kembali hutang-hutang Luar
Negeri dalam tahun anggaran 1970/1971.

52
Tabel 3.4.
PEMBAYARAN KEMBALI HUTANG-HUTANG LUAR NEGERI, 1970/1971
(Dalam Milyar Rp dan Jutaan US$)
US$ 1 = Rp 326,-

Macam Hutang Dalam US$ juta Dalam Milyar Rp

I. Hutang-hutang Lama 26,0


(Sebelum Juni 1966)
II. Hutang-hutang Baru 28,0
(Sesudah Juni 1966)
a. Stop-gap Kredit 1966 15,0
1. Jepang ( 10,0 )
2. Jerman Barat ( 1,0 )
3. P.L. 480 (USA) ( 3,0 )
4. India ( 1,0 )
b. Bantuan Program IGGI 13,0
1. Bunga Pinjaman 1967 ( 3,0 )
2. Bunga Pinjaman 1968 ( 6,0 )
3. Bunga Pinjaman 1969 ( 4,0 )
III. Pembayaran pada IMF 8,0
(Repurchase + bunga)
Jumlah 62,0 20,212

Sumber : Departemen Keuangan

ad. 5. Pengeluaran untuk Pemilihan Umum


Mengingat bahwa pengeluaran untuk Pemilihan Umum merupakan suatu
keharusan, maka didalam tahun anggaran 1970/1971 oleh Pemerintah disediakan
Rp 10,- milyar. Keperluan untuk Pemilihan Umum sebenarnya lebih besar daripada
jumlah tersebut.
Perincian lebih lanjut dari pengeluaran rutin 1970/1971 dapat diketahui di
dalam Lampiran 2 dari Nota Keuangan ini.

3.3. Anggaran Pembangunan


3.3.1. Penerimaan Pembangunan

Untuk tahun anggaran 1970/1971 Pemerintah memperkirakan penerimaan


pembangunan sebesar Rp 124,3 milyar yang terdiri dari kredit luar negeri sebesar
Rp 78,7 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp 45,6 milyar.

53
Untuk tahun 1970/1971 diperkirakan bantuan “non-food” adalah US$ 200
juta yang terdiri dari BE, barang modal, pupuk, kapas kasar dan benang tenun. Untuk
“food aid” diperkirakan bantuan sebesar US$ 140 juta yang terdiri dari beras, tepung
terigu dan lain-lain bahan makanan.
Bantuan proyek diperkirakan sebesar US$ 260 juta atas dasar commitment,
sedangkan atas dasar disbursement diperkirakan US$ 140 juta.
Perlu dikemukakan bahwa kesediaan negara-negara yang membantu
Indonesia untuk memberikan “program aid” makin berkurang dan pada umumnya
ada usaha untuk menggeser pada “project aid”. Jika di dalam APBN 1969/1970
bantuan proyek yang diterima diperkirakan Rp 36,2 milyar, maka di dalam APBN
1970/1971 bantuan proyek tersebut diperkirakan meningkat menjadi Rp 45,6 milyar,
berarti suatu kenaikan sebesar kira-kira 26%.
Sebaliknya bantuan-bantuan luar negeri lainnya telah meningkat dari Rp 63,2
milyar di dalam APBN 1969/1970 mejadi Rp 78,7 milyar di dalam APBN
1970/1971, suatu kenaikan sebesar kira-kira 23%.
Dengan berkurangnya hasrat negara-negara kreditor untuk memberikan
“program aid” yang lebih besar membawa akibat bertambah pentingnya peranan
public savings sebagai sumber pembiayaan pembangunan untuk program-program
yang tidak dicakup di dalam bantuan-bantuan proyek. Dengan demikian sumber
pembiayaan dalam negeri untuk menghasilkan public savings akan sangat
dipengaruhi oleh performance APBN 1970/1971.
Perincian lebih lanjut dari penerimaan pembangunan dapat dilihat di dalam
Lampiran 1 dari Nota Keuangan ini.

3.3.2. Pengeluaran Pembangunan


Sesuai dengan REPELITA, maka pengeluaran pembangunan di dalam tahun
anggaran 1970/1971 diharapkan akan meningkat dibandingkan dengan tahun
anggaran 1969/1970.
Faktor-faktor yang harus diperhitungkan di dalam pelaksanaan anggaran
pembangunan 1970/1971 adalah :
(8) Meningkatnya keperluan “local cost” untuk bantuan-bantuan proyek yang jauh
lebih besar daripada tahun yang lalu.
(9) Keharusan untuk melaksanakan pembangunan di daerah Irian Barat sebagai
“follow up” daripada hasil PEPERA.

54
(10) Pemberian subsidi kepada kabupaten-kabupaten, di samping subsidi desa,
guna memanfaatkan kelebihan tenaga kerja sebagai akibat ertambahan penduduk
dan kurangnya kesempatan kerja serta mendorong pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan di daerah-daerah.

ad.(1). “Local cost” untuk bantuan-bantuan proyek diperhitungkan sebesar Rp 32,0


milyar. Pembagiannya adalah sebagai berikut (dalam Rp milyar) :
1. Bidang Ekonomi 31,5
- Pertanian 0,5
- Telekomunikasi 1,9
- Kereta Api 0,5
- Perhubungan Laut 2,3
- Perhubungan Udara 0,2
- Air minum 1,0
- Jalan Raya 7,5
- Irigasi 9,0
- Tenaga Listrik 8,5
2. Bidang Sosial 0,5
3. Bidang Umum -
Jumlah : 32,0

ad.(2). Pembangunan Irian Barat diperkirakan sebesar Rp 3,5 milyar.


ad.(3). Pemberian subsidi kepada kabupaten diperkirakan sebesar Rp 5,7 milyar,
sedang untuk subsidi desa diperlukan Rp 5,6 milyar.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka prioritas pembiayaan pembangunan


harus pula disesuaikan. Urutan prioritas tersebut adalah sebagai berikut :
a) Keperluan pembiayaan untuk pencapaian terget fisik 1969/1970 dari proyek-
proek yang direncanakan dan tersedia anggarannya dalam tahun anggaran
tersebut, yang karena berbagai sebab dalam pelaksanaannya tidak akan mencapai
target fisiknya pada akhir tahun anggaran 1969/1970 tersebut.
b) Keperluan pembiayaan dalam negeri (“local cost”) untuk pelaksanaan bantuan
proyek dan bantuan teknis yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran
1970/1971.
c) Keperluan pembiayaan untuk melanjutkan proyek-proyek dalam tahun anggaran
1969/1970, yang dalam perencanaannya semula memerlukan kelanjutan atau
penyelesaian dalam tahun anggaran 1970/1971.
55
d) Keperluan pembiayaan proyek-proyek baru yang akan dimulai dalam tahun
1970/1971.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut di atas, maka pengeluaran
pembangunan 1970/1971 (tanpa project aid) adalah sebagai terlihat di dalam
Tabel 3.5. Dari tabel tersebut diketahui bahwa seluruh anggaran pembangunan yang
berjumlah Rp 115,7 milyar tersebut dibagi di dalam bidang ekonomi sebesar Rp 81,6
milyar (70,5%), bidang sosial sebesar Rp 21,6 milyar (18,8%) dan bidang umum
sebesar Rp 12,5 milyar (10,7%). Angka-angka terperinci mengenai project aid dapat
dilihat dalam Lampiran 3a dan 3e.
Perincian lebih lanjut dari pengeluaran pembangunan 1970/1971 dapat
diketahui di dalam Lampiran 3 dari Nota Keuangan ini.

Tabel 3.5
RANCANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN 1970/1971
Daftar Rekapitulasi menurut Departemen/Lembaga dan Bidang
(tidak termasuk nilai lawan bantuan proyek/bantuan teknis)
(Dalam Ribuan Rupiah)
Ekonomi Sosial Umum Jumlah Biaya
No. Departemen/Lembaga
(A) (B) (C) (A + B + C)

I MPRS - - 133.000 133.000


II DPR - GR - - 667.000 667.000
III DPA - - 27.000 27.000
IV BPK - - 67.000 67.000
V Mahkamah Agung 55.000 55.000
VI Kejaksanaan Agung 266.000 266.000
VII Kepresidenan - 54.000 54.000
VIII Sekretariat Negara 415.000 306.500 721.500
IX Badan/Lembaga Non Departemen 536.484 207.516 744.000
X Departemen Dalam Negeri 100.000 551.000 843.000 1.494.000
XI Departemen Luar Negeri 2.900 311.100 314.000
XII Departemen Hankam 4.500.000 4.500.000
XIII Departemen Kehakiman 940.500 940.500
XIV Departemen Penerangan 800.000 206.000 1.006.000
XV Departemen Keuangan 107.200 1.492.800 1.600.000
XVI Bagian Pembiayaan dan Perhitungan 19.790.000 2.350.000 406.500 22.546.500
XVII Departemen Perdagangan 522.500 522.500
XVIII Departemen Pertanian 5.387.000 607.000 576.000 6.570.000
XIX Departemen Perindustrian 1.321.000 452.500 300.000 2.073.500
XX Departemen Pertambangan 836.700 4.400 160.900 1.002.000
XXI Departemen PUTL 42.590.000 2.731.000 679.000 46.000.000
XXII Departemen Perhubungan 10.673.000 140.000 230.000 11.043.000
XXIII Departemen P & K 5.650.000 200.000 5.850.000
XXIV Departemen Kesehatan 4.196.000 204.000 4.400.000
XXV Departemen Agama 930.600 169.400 1.100.000
XXVI Departemen Tenaga Kerja 135.635 200.665 71.500 407.800
XXVII Departemen Sosial 264.800 54.900 319.700
XXVIII Departemen Transkop 811.000 410.500 138.500 1.360.000
Jumlah 81.644.335 21.611.549 12.528.116 115.784.000
(Dalam persen) ( 70,5% ) ( 18,8% ) ( 10,7% ) (100,0% )
Sumber : Departemen Keuangan dan Bappenas
56
BAB IV
JUMLAH UANG BEREDAR DAN PERKREDITAN BANK

4.1. Perkembangan uang beredar dan tingkat inflasi 1966 - 1969

Kebijaksanaan stabilisasi ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah sejak bulan


Oktober 1966 telah menunjukkan hasil-hasilnya. Jika digunakan angka indeks biaya hidup di
Jakarta (Oktober 1966 = 100) sebagai pengukur laju inflasi, maka ternyata tingkat kenaikan
index harga tersebut selama :
Tahun 1966 636,8 %
Tahun 1967 112,1 %
Tahun 1968 85,1 %
Tahun 1969 4,6 %
(hingga September).

Dengan turunnya laju inflasi maka terlihat adanya kenyataan bahwa jumlah uang
beredar terus bertambah meskipun tingkat kenaikannya berkurang (lihat Grafik dalam bab I).
Jumlah uang beredar bertambah dalam tahun 1966 sebesar ± Rp 19.636 juta (763%), dalam
tahun 1967 sebesar ± Rp 29.263 juta (131,8%) dalam tahun 1968 sebesar ± Rp 62.423 juta
(121,3%). Sedangkan dalam tahun 1969 sampai dengan bulan September adalah sebesar
Rp 56.776 juta (49,8%) (lihat Tabel 4.1). Kenyataan bahwa tingkat pertambhan jumlah uang
beredar bertambah, sedangkan laju inflasi menurun, menunjukkan bahwa kecepatan uang
beredar (velocity) telah menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat
terhadap nilai uang rupiah telah bertambah.
Gambaran yang lebih jelas dapat diperoleh bila jumlah uang beredar diperluas
dengan berbagai jenis deposito. Berbagai jenis deposito tersebut dapat dianggap sebagai
mendekat uang (near money). Seperti diketahui maka sistim moneter dapat menciptakan
sejumlah uang kartal, uang giral dan pelbagai jenis deposito dalam arti nominal. Tetapi yang
menentukan nilai riil dari tagihan moneter tersebut adalah masyarakat dan bukan sistim
moneter. Yang dimaksudkan dengan nilai riil dari tagihan moneter tersebut adalah nilai
nominal dari tagihan moneter tersebut dibandingkan dengan indeks tingkat biaya hidup. Jika
sistim moneter menciptakan jumlah nominal uang (kartal dan giral) dan deposito lebih besar
daripada jumlah yang diperlukan oleh masyarakat pada tingkat harga-harga yang berlaku
maka masyarakat berusaha melemparkan kelebihan uang tersebut dengan jalan membeli
barang-barang. Ini mengakibatkan tingkat harga-harga akan naik. Sebaliknya bila sistim
moneter menciptakan jumlah nominal uang dan deposito lebih kecil daripada jumlah yang

57
diperlukan oleh masyarakat pada tingkat harga yang berlaku, maka mereka berusaha
menambah kekurangan itu dengan jalan menjual barang-barangnya atau mengurangi
pembelian barang-barang. Ini mengakibatkan tingkat harga-harga akan menurun.
Dari Tabel 4.1 ternyata bahwa pada bulan September 1966 sistim moneter telah
menciptakan uang dan deposito sebesar Rp 15,4 milyar dan pada bulan September 1969
telah meningkat menjadi Rp 214,7 milyar atau menjadi ± empat belas kali. Dalam arti riil
pertambhaan uang dan deposito itu hanya ± 2,5 kali. Hal ini berarti tingkat harga telah naik
kira-kira lebih dari lima kali selama periode tersebut.
Jika dilihat per tahun maka sejak September 1966 s.d September 1967 jumlah uang
dan deposito dalam arti riil bertambah sebesar ± 20%, dan dari bulan September 1967 s.d
September 1968 bertambah sebesar 12,5% sedangkan kenaikan terbesar terjadi selama
September 1968 s.d September 1969 yaitu suatu kenaikan sebesar 69%.

4.2. Sebab-sebab jumlah uang beredar

Dari Tabel 4.2 dapat diikuti sektor-sektor yang memegang peranan dalam
memperbesar jumlah uang beredar. Dalam tahun 1966 pertambahan jumlah uang beredar
sebesar ± Rp 19.636 juta terutama disebabkan karena bertambahnya tagihan bersih terhadap
pemerintah sebanyak ± 64,2%. Sedangkan peranan daeri sektor “kegiatan perusahaan-
perusahaan”, sektor “luar negeri” dan “sektor lain” adalah masing-masing 29,0%, -1,3%,
8,1% dari pertambahan jumlah uang beredar. Dalam tahun 1967 polanya sedikit berbeda di
mana sektor “resmi” dan sektor “kegiatan perusahaan” mengambil bagian yang hampir sama
besar dari pertambahan jumlah uang yang beredar yakni 55,8% dan 76,2%. Perubahan yang
drastis terjadi dalam tahun 1968 di mana sektor “kegiatan perusahaan” memegang peranan
utama yaitu 77,3%. Sedangkan sektor “resmi” hanya 4,6% dari pertambhaan jumlah uang
beredar. Pola yang hampir bersamaan dengan tahun 1968 telah terjadi dalam tahun 1969
(sampai dengan September 1969) di mana sektor-sektor resmi malah memberikan efek
penurunan uang beredar -36,9%, sedangkan sektor kegiatan perusahaan dan sektor luar
negeri menimbulkan efek penambahan uang beredar yaitu masing-masing dengan +87,3%
dan +59,4% dari pertambahan jumlah uang beredar. Suatu kesimpulan penting yang dapat
ditarik ialah :
1) Peranan dari anggaran belanja negara sebagai faktor penyebab utama kenaikan
harga makin lama makin berkurang. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan
anggaran berimbang yang dijalankan oleh pemerintah.

58
2) Peranan sektor “kegiatan perusahaan” makin lama makin menonjol dalam
memperbesar jumlah uang beredar. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah dewasa ini maupun di masa depan dalam rangka meningkatkan
kegiatan investasi dan produksi.

4.3. Perkembangan Dana Perkreditan

Perkembangan Dana Kredit Perbankan dapat di lihat dalam Tabel 4.3. Selama
periode bulan September 1966 s.d. bulan September 1967 dana kredit perbankan telah
bertambah sebesar + Rp 11.714,29 juta (263,7%). Pertambahan tersebut terutama disebabkan
oleh pertambahan giro bank-bank Pemerintah sebesar Rp 7.216,24 juta (61,6%) dari
pertambhaan dana seluruhnya, sedangkan giro Bank Swasta hanya bertambah sebesar
Rp 2.232,60 juta (19,1%).
Sedangkan dalam periode bulan September 1967 s.d 1968 dana kredit perbankan
telah bertambah sebesarp Rp 25.031,71 juta (154,9%) yang terutama disebabkan oleh :
Pertambahan deposito :
Bank-bank Pemerintah : + Rp 1.460,78 juta (5,8%)
Bank-bank Swasta : + Rp 4.158,48 juta (16,6%)
Pertambahan giro :
Bank-bank Pemerintah : + Rp 15.816,83 juta (63,2%)
Bank-bank Swasta : + Rp 2.941,76 juta (11,8%)
Pola yang sangat berbeda terjadi selama periode September 1968 s.d. 1969 di mana
dana kredit perbankan seluruhnya bertambah sebesar + Rp 69.224,57 juta (168%).
Pertambahan dana tersebut disebabkan :
Pertambahan deposito :
Bank-bank Pemerintah : + Rp 28.039,28 juta (40,5%)
Bank-bank Swasta : + Rp 8.591,92 juta (12,4%)
Pertambahan giro :
Bank-bank Pemerintah : + Rp 25.979,39 juta (37,5%)
Bank-bank Swasta : + Rp 4.010,73 juta (5,8%)
Dengan demikian dapat dilihat :
1) Deposito bertambah lebih besar daripada giro
2) Deposito dan giro bertambah lebih cepat dari pertambahan uang kartal

59
3) Deposito bank Pemerintah bertambah lebih besar daripada deposito bank-bank Swasta,
meskipun bunga deposito pada bank-bank Swasta lebih tinggi daripada Bank-bank
Pemerintah.
Kesimpulan tersebut di atas adalah sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang ini :
a) Dalam bulan Oktober 1968 dalam rangka kebijaksanaan deposito berjangka, tingkat
bunga deposito berjangka dari bank-bank Pemerintah telah dinaikkan menjadi 6% per
bulan, dan deposito itu dijamin oleh Pemerintah.
b) Dalam bulan Pebruari 1967 suatu program tabungan berhadiah telah dijalankan oleh
Bank-bank Pemerintah yang berkedudukan di Jakarta sebagai percobaan dengan bunga
yang cukup menarik.
Sejak bulan Maret 1969 tingkat bunga deposito berjangka bank-bank Pemerintah telah
diturunkan beberapa kali (lihat Tabel 4.4) untuk menyesuaikan dengan perkembangan harga.
Dari Tabel 4.4 dan 4.5 dapat dilihat, bahwa meskipun suku bunga deposito selalu
diturunkan namun hasrat masyarakat terhadap deposito berjangka bahkan semakin besar. Ini
menunjukkan bertambahnya kepercayaan kepada rupiah kita.
Adapun kenaikan (bukan posisi) deposito berjangka pada Bank-bank Pemerintah per
bulan sejak Desember 1968 dibandingkan dengna bulan-bulan sebelumnya adalah :
Januari : + Rp 2.138,0 juta ( + 47,3 %)
Februari : + Rp 3.705,2 juta ( + 55,7 %)
Maret : + Rp 6.028,4 juta ( + 58,2 %)
April : + Rp 5.178,4 juta ( + 32 %)
Mei : + Rp 2.208,0 juta ( + 10 %)
Juni : + Rp 772,0 juta (+ 3 %)
Juli : + Rp 1.302,9 juta (+ 5,3 %)
Agustus : + Rp 1.931,7 juta (+ 7,5 %)
September : + Rp 2.040,2 juta (+ 7,3 %)
Bila dibandingkan angka akhir triwulan III 1969 dengan angka akhir triwulan II 1969 maka
telah terjadi kenaikan sebesar Rp 5.274,8 juta (+ 21,5%).
Untuk meningkatkan usaha-usaha pengerahan dana dari masyarakat di samping
deposito berjangka adalah tabungan berhadiah yang diselenggarakan oleh bank-bank
pemerintah, yang mulai dilaksanakan sejak awal Februari 1969 dengan perincian suku bunga
sebagai berikut :

60
- 1 tahun atau lebih 3,5%
- 6 bulan atau lebih 3,0%
- 3 bulan atau lebih 2,5%
- kurang 3 bulan tidak diberikan bunga
Adapun perkembangan tabungan berhadiah 1969, setiap bulan mulai Februari 1969
dapat dilihat dalam Tabel 4.6.
Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa sejak bulan Februari sampai dengan akhir
September 1969 nilai nominal tabungan berhadian 1969 meningkat setiap bulan berturut-
turut dengan : Rp 15,15 juta (73,4%), Rp 16,46 juta (46%), Rp 11,22 juta (21,5%), Rp 13,26
juta (20,9%), Rp 19,70 juta (25,7%), Rp 23,12 juta (24,0%) dan Rp 39,91 juta (33,4%),
sedangkan perinciannya adalah ± 61,4% berasal dari Bank-bank Pemerintah dan sisanya
± 35,6% dari Bank-bank Swasta.

4.4. Perkembangan Pemberian Kredit Perbankan menurut Sektor

Perkembangan pemberian kredit perbankan secara keseluruhan dapat diikuti dari


Tabel 4.7. Perkembangan pemberian kredit perbankan sejak bulan September 1966 s.d
September 1967, demikian pula dari 1967-1968 dan 1968-1969 dalam jangka waktu yang
sama tersebut adalah masing-masing + Rp 14.311,90 juta (311,1%), + Rp 80.327,35 juta
(424,7%), dan + Rp 108.264,43 juta (109,6%). Secara absolut dapat dikatakan bahwa
pemberian kredit perbankan menunjukkan pertambahan yang cukup besar dari tahun ke
tahun sesuai dengan pola kebijaksanaan stabilisasi ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah
sejak Oktober 1966 yang mengarahkan kredit-kredit pada sektor yang diprioritaskan.
Perubahan yang terjadi hanya terletak pada pelaksanaannya yang lebih
mencerminkan kepada kondisi ekonomi yang sedang brjalan, sehinga dapat diciptakan suatu
iklim yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Dalam rangka mensukseskan
pembangunan, kebijaksanaan perkreditan merupakan suatu alat yang penting, sehingga dapat
diharapkan perkembangan pemberian kredit bank di masa-masa depan akan bertambah lebih
besar lagi.

4.4.1. Perkembangan pemberian kredit menurut sektor perbankan

Sesuai dengan Undang-undang tentang bank-bank pemerintah yang telah


disahkan pada akhir tahun 1968, maka dewasa ini terdapat 8 buah bank-bank
pemerintah :

61
1. Bank Indonesia, sebagai bank sentral (sebelumnya disebut BNI Unit I)
2. Bank Rakyat Indonesia (adalah bagian dari BNI Unit II sebelumnya)
3. Bank Ekspor Import (adalah bagian dari BNI Unit II sebelumnya)
4. BNI 1946 (sebelumnya disebut BNI Unit III)
5. Bank Bumi Daya (sebelumnya BNI Unit IV)
6. Bank Tabungan Negara (sebelumnya BNI Unit V)
7. Bank Dagang Negara (statusnya sama dengan sebelumnya)
8. Bank Pembangunan Indonesia.
Perkembangan pemberian kredit menurut sektor perbankan dapat dilihat
dalam Tabel 4.7. Pertambahan pemberian kredit bank sebesar Rp 14.311,90 juta
dalam periode bulan September 1966 – September 1967 adalah disebabkan :
- Bank Indonesia : + Rp 6.300,62 juta (44,3 %)
- Bank Pemerintah : + Rp 5.311,19 juta (37,2 %)
- Bank-bank Swasta : + Rp 2.700,09 juta (18,5 %)
Dalam periode September 1967 – September 1968 pertambahan pemberian
kredit bank adalah sebesar + Rp 80.327,35 juta yang dapat diperinci sebagai berikut :
- Bank Indonesia : + Rp 61.994,58 juta (77,1 %)
- Bank Pemerintah : + Rp 14.517,44 juta (18,3 %)
- Bank-bank Swasta : + Rp 3.815,33 juta ( 4,6 %)
Selanjutnya dalam periode September 1968 – September 1969 pertambahan
kredit bank adalah sebesar + Rp 108.264,43 juta yang dapat diperinci sebagai berikut
- Bank Indonesia : + Rp 62.312,93 juta (57,8 %)
- Bank Pemerintah : + Rp 37.347,84 juta (34,7 %)
- Bank-bank Swasta : + Rp 8.603,66 juta ( 7,5 %)

4.4.2. Perkembangan perkreditan menurut sektor kegiatan usaha Pemerintah dan


Swasta
Pemberian kredit perbankan menurut sektor Pemerintah dan Swasta
menunjukkan trend yang menaik terus. Kenaikan tersebut adalah cukup besar ini
dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Perkembangan kredit perbankan, yaitu Bank Sentral, Bank-bank Swasta
Nasional (tidak termasuk Bank-bank Asing) per akhir triwulan III 1966 sampai

62
dengan akhir triwulan III 1969 dapat diperinci menurut sektor Pemerintah dan
Swasta sebagai berikut :

Sektor Pemerintah : Posisi Jumlah Pertambahan


Triwulan III 1969 Rp 110.606,14 juta + Rp 46.495,86 juta
Triwulan III 1968 Rp 64.110,28 juta + Rp 54.805,01 juta
Triwulan III 1967 Rp 9.305,27 juta + Rp 6.660,44 juta
Triwulan III 1966 Rp 2.644,83 juta
Sektor Swasta :
Triwulan III 1969 Rp 96.897,34 juta + Rp 61.768,57 juta
Triwulan III 1968 Rp 35.128,77 juta + Rp 25.522,34 juta
Triwulan III 1967 Rp 9.608,43 juta + Rp 7.651,46 juta
Triwulan III 1966 Rp 1.954,97 juta
Dari perincian tersebut di atas jelas terlihat bahwa posisi kredit perbankan
pada akhir Triwulan III 1969 yang diberikan ke Sektor Pemerintah dan Swasta adalah
masing-masing sebesar Rp 110.606,14 juta dan Rp 96.897,34 juta. Ini berarti telah
terjadi kenaikan masing-masing sebesar Rp 46.495,86 juta dan Rp 61.768,57 juta jika
dibandingkan dengan posisi akhir triwulan III 1968.
Posisi akhir triwulan III 1969 yang sebesar Rp 110.606,14 juta untuk sektor
Pemerintah adalah hampir seluruhnya diberikan oleh Bank Sentral yaitu sebesar
Rp 104.652,31 juta atau ± 93%, baik berupa kredit langsung sebesar Rp 64.475,21
juta maupun berupa kredit likuiditas sebesar Rp 40.177,10 juta. Sedang selebihnya
yaitu Rp 5.953,83 juta adalah diberikan oleh Bank-bank Pemerintah lainnya. Sedang
untuk sektor Swasta yang pada akhir Triwulan III 1969 menunjukkan posisi
Rp 96.897,34 juta adalah sebagian besar disebabkan oleh pemberian kredit Bank-
bank Pemerintah yaitu sebesar Rp 52.410,37 juta dan oleh Bank Sentral sebesar
Rp 28.422,63 juta, sedangkan oleh Bank-bank Swasta Nasional adalah sebesar
Rp 16.064,34 juta.
Kenaikan kredit yang terjadi pada akhir triwulan III 1969 terhadap akhir
Triwulan III 1968 bagi sektor Pemerintah yaitu sebesar + Rp 46.495,86 juta adalah
sebagian besra disebabkan oleh kredit likuiditas Bank Sentral yaitu sebesar
Rp 29.665,36 juta dan kredit langsung bank Sentral Rp 13.606,36 juta, sedang dari
Bank-bank Pemerintah lainnya menunjukkan kenaikan sebesar Rp 3.224,14 juta.
Untuk sektor Swasta, sebagian besar kenaikannya adalah disebabkan
kenaikan pemberian kredit oleh Bank-bank Pemerintah yaitu sebesar Rp 34.123,70

63
juta dan juga oleh kenaikan kredit Bank Sentral sebesar Rp 2.767,99 juta kredit
langsung dan Rp 16.273,22 juta kredit likuiditas. Sedangkan kenaikan pemberian
kredit Bank Swasta adalah sebesar Rp 8.603,66 juta.
Begitu pula kalau diperhatikan dengan membandingkan posisi kredit pada
akhir triwulan III 1968 dan akhir triwulan III 1967, dan seterusnya yaitu akhir
triwulan III 1967 dengan akhir triwulan III 1966, baik untuk sektor Pemerintah
maupun untuk sektor swasta, dapat dikatakan menunjukkan pola yang hampir
bersamaan yaitu untuk sektor pemerintah adalah sebagian besar dibiayai dari kredit
Bank Sentral baik dengan kredit likuiditas maupun dengna kredit langsungnya.
Untuk sektor swasta pemberian kredit yang terbesar dilakukan oleh Bank-
bank Pemerintah di luar Bank Sentral.

4.4.3. Perkembangan pemberian kredit menurut sektor ekonomi

Kebijaksanaan kredit pemerintah sejak bulan Oktober 1986 terutama


diarahkan kepada sektor-sektor yang dapat membantu proses stabilisasi dan
rehabilitasi. Sejak mulai 1 April 1969 diarahkan juga ke sektor-sektor yang dapat
melancarkan pelaksanaan pembangunan. Salah satu alat kebijaksanaan untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan jalan mengenakan tingkat bunga yang berbeda-
beda untuk pelbagai golongan sektor kegiatan ekonomi sesuai dengan tujuan yang
diprioritaskan. Dalam pelaksanaannya sampai sekarang telah terjadi beberapa kali
perubahan tingkat bunga dan penggolongannya.
Jika tanggal 3 Oktober 1966 bunga pinjaman telah dinaikkan menjadi 6-9%
(6% yang terendah sedangkan 9% yang tertinggi), maka kemudian secara berturut-
turut perubahan tingkat bunga telah terjadi pada bulan-bulan April 1967, Juli 1967,
Oktober 1968, Mei 1969 dan September 1969 yang masing-masing adalah 4-7%,
3-5%, 3-7%, 1-6% dan ½-5%. Perubahan tingkat bunga tersebut menunjukkan
tendens yang makin lama makin menurun yang disesuaikan dengan makin rendahnya
perkembangan harga.
Perkembangan pemberian kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat
dilihat dalam Tabel 4.7. Pertambahan pemberian kredit selama periode September
1966-1967 sebesar Rp 14.311,90 juta (311,1%) dapat diperinci menurut sektor
ekonomi.

64
Produksi Rp 8.707,74 juta (60,8%)
Ekspor Rp 3.914,02 juta (27,3%)
Lain-lain Rp 1.690,14 juta (11,9%)
Pertambahan kredit yang terbesar adalah ke sektor produksi dalam periode tersebut
dan dibiayai terutama oleh kredit bank Sentral Rp 5.491,44 juta (63,1%) (kredit
langsung Rp 3.025,72 juta dan kredit likuiditas Rp 2.465,72 juta), sedangkan dari
Bank-bank Pemerintah dan Bank-bank Swasta adalah masing-masing sebesar
Rp 2.666,17 juta (30,6%) dan Rp 550,13 juta (6,3%). Sedangkan pertambahan kredit
ke sektor ekspor terutama dibiayai oleh Bank Pemerintah Rp 2.045,31 juta (52,3%),
sedang kredit Bank Swasta dan Bank Indonesia adalah masing-masing Rp 1.320,59
juta (33,7%) dan Rp 584,12 juta (14%). Pemberian kredit untuk sektor lain terutama
dibiayai oleh Bank-bank Swasta yaitu Rp 829,37 juta (49,1%), sedangkan Bank
Pemerintah dan Bank Sentral adalah masing-masing Rp 599,71 juta (35,5%) dan
Rp 261,06 juta (15,4%).
Pola yang agak berbeda terjadi dalam periode bulan September 1967 – 1968
di mana pertambahan pemberian kredit sebesar Rp 80.327,35 juta (424,7%) dapat
diperinci sebagai berikut :
Produksi + Rp 28.054,68 juta (34,9%)
Ekspor + Rp 5.121,03 juta ( 6,4%)
Lain-lain + Rp 47.151,64 juta (58,7%)
Pertambahan kredit yang terbesar adalah ke sektor lain-lain yang terutama
dibiayai oleh kredit langsung Bank Sentral Rp 37.088,62 juta (78,7%) yang
didalamnya termasuk kredit untuk pengadaan pangan sebesar Rp 28.183,0 juta, kredit
likuiditas bank Sentral Rp 3.317,94 juta (7,0%) sedangkan yang berasal dari Bank-
bank Pemerintah dan Swasta adalah masing-masing Rp 3.302,03 juta (7,0%) dan
Rp 3.443,05 juta (7,3%).
Selanjutnya pertambahan kredit ke sektor produksi terutama dibiayai oleh
kredit Bank Sentral Rp 19.338,02 juta (68,9%) sedangkan bank-bank pemerintah dan
swasta adalah masing-masing sebesar Rp 7.745,65 juta (27,6%) dan Rp 991,01 juta
(3,5%). Selanjutnya dalam periode bulan September 1968 – September 1969
pertambahan kredit perbankan sebear Rp 108.264,43 juta (109,1%) dapat diperinci
menurut sektor ekonomi .

65
Produksi + Rp 45.760,72 juta (42,3%)
Ekspor + Rp 7.156,20 juta ( 6,6%)
Lain-lain + Rp 55.347,51 juta (51,1%)
Ternyata dalam periode terakhir ini pemberian kredit juga sebagian besar
diarahkan ke sektor lain yang terutama dibiayai oelh kredit bank sentral Rp 41.275,58
juta (74,6%) yang didalamnya termasuk pertambahan kredit untuk pengadaan pangan
sebesar Rp 29.989,0 juta. Selanjutnya pertambahan kredit ke sektor produksi
terutama dibiayai oleh Bank Pemerintah sebesar Rp 21.639,57 juta (47,3%)
sedangkan dari Bank Sentral dan Bank Swasta adalah masing-masing sebesar
Rp 20.453,41 jtua (44,7%) dan Rp 3.687,74 juta (8,0%). Akhirnya pertambahan
kredit ke sektor ekspor terutama berasal dari Bank-bank Pemerintah yakni sebesar
Rp 6.011,87 juta (84,0%) sedangkan dari Bank Sentral dan Swasta adalah masing-
masing sebesar Rp 583,94 juta (8,2%) dan Rp 560,39 juta (7,8%).
Dari uraian di atas ternyata bahwa sejak tahun 1966, jika pemberian kredit
untuk pengadaan pangan tidak diperhitungkan, maka proporsi alokasi pemberian
kredit yang terbesar adalah ke sektor produksi dan kemudian ke sektor lain dan
sektor ekspor. Perlu dijelaskan bahwa pemberian kredit untuk sektor lain-lain pada
akhir bulan September 1969 antara lain terdiri dari kredit-kredit untuk keperluan
pengadaan pangan Rp 58.171,78 juta, pengadaan barang untuk Irian Barat
Rp 3.308,89 juta, impor terigu Rp 2.170,99 juta dan lain sebagainya.

4.5. Kredit Investasi (jangka menengah dan panjang)

Dalam rangka pelaksanaan PELITA, maka bank-bank Pemerintah ditugaskan untuk


memberikan kredit investasi jangka menengah/panjang. Ketentuan-ketentuan mengenai
kredit jangka menengah/panjang adalah antara lain sebagai berikut : kredit adalah untuk
pembiayaan impor barang modal (devisa) maupun untuk pembiayaan investasi dalam negeri
guna pembiayaan rehabilitasi/modernisasi maupun pembangunan proyek baru. Sekurang-
kurangnya 25% dari seluruh pembiayaan harus dipikul sendiri oleh perusahaan yang
bersangkutan. Jangka waktu kredit (termasuk grace period) adalah 3 sampai 5 tahun dengan
bunga 12% setahun dengan pengertian bahwa jangka waktu tersebut dapat pula
diperhitungkan jangka waktu yang diperlukan sampai proyek yang dibiayai mulai
berproduksi termasuk masa trial-run. Pemberian kredit investasi itu diberikan dengan syarat
nilai tetap dan diutamakan untuk proyek-proyek yang quick yielding dalam sektor-sektor

66
yang diprioritaskan oleh pemerintah. Untuk keperluan kredit investasi, Bank Sentral dapat
memberikan bantuan kredit likuiditas maksimum sebesar 75%.
Dari tabel di bawah ini akan terlihat jumlah pemberian kredit investasi jangka
menengah/panjang pada tanggal 30 September 1969 yang telah disetujui (dalam jutaan
rupiah).
Sektor Pertam- Perhubungan/
Pertanian Industri Lain-lain Jumlah
Bank-bank bangan Pariwisata
1. Bank Rakyat Indonesia 59,2 - - 24,4 - 83,6
2. Bank Ekspor Impor 66,5 - - 47,6 - 114,1
Indonesia
3. Bank Negara Indonesia 1.692,0 976,1 - 58,2 - 2.726,3
1946
4. Bank Bumi Daya 349,6 333,9 - - - 716,5
5. Bank Dagang Negara 150,8 57,6 700,0 - 33,0 908,4
6. Bank Pembangunan 1.457,6 2.187,9 - 615,4 - 4.260,9
Indonesia
7. Bank Indonesia 520,0 50,5 - 1.849,7 70,0 2.490,2

4.295,7 3.606,0 700,0 2.595,3 103,0 11.300,0

Sumber : Bank Indonesia

Pemberian kredit investasi yang telah disetujui per 30 September untuk sektor
pertanian telah mencapai jumlah Rp 4.295,7 juta, untuk sektor industri Rp 3.606,0 juta,
untuk sektor pertambangan Rp 700,0 juta, untuk sektor perhubungan/pariwisata Rp 2.595,3
juta dan sektor lain-lain sebesar Rp 103,0 juta.
Selanjutnya dapat pula diketahui dari tabel tersebut, pemberian kredit investasi yang
dilakukan oleh masing-masing bank-bank Pemerintah dalam jumlah total dan per sektor.

4.6. Perkembangan pemberian kredit Bank-bank Pemerintah menurut Daswati I

Pemberian kredit seluruh bank-bank Pemerintah (tidak termasuk Bank Indonesia)


menurut Daerah Swatantra Tingkat I dalam tahun 1969 menunjukkan posisi sebagai berikut :
Triwulan I 1969 : Rp 81,3 milyar
Triwulan II 1969 : Rp 95,6 milyar
Triwulan III 1969 *) : Rp --
Dari tabel pemberian kredit pada Daswati I tahun 1969 (Tabel 4.9 dan 4.10) dapat
dilihat bahwa alokasi kredit menurut sektor-sektor ekonomi adalah :

67
Dalam milyar Rp
Triwulan I Triwulan II
Produksi 59,0 (73%) 67,4 (70%)
Ekspor 9,6 (12%) 11,1 (12%)
Lain-lain 12,7 (15%) 17,1 (18%)

*) angka belum tersedia


Pemberian kredit tersebut terutama terjadi pada daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan
ekonomi, hal mana dapat dilihat pada uraian di bawah :
Dalam milyar Rp
Triwulan I Triwulan II
1. D.K.I Jaya 42,3 (52%) 43,1 (45%)
2. Jawa Timur 8,7 (17%) 11,2 (12%)
3. Jawa Tengah 6,1 ( 8%) 7,6 (8%)
4. Sumatera Utara 5,3 ( 6%) 6,2 (6%)
5. Jawa Barat 5,6 ( 7%) 5,8 (6%)
6. Daerah-daerah lainnya 13,3 (10%) 21,7 (23%)
Jumlah 81,3 (100%) 95,6 (100%)

Dari uraian tersebut ternyata bahwa jumlah kredit Bank-bank Pemerintah untuk
sebagian besar diberikan di Jakarta, hal aman bukanlah semata-mata berarti bahwa
penggunaannya untuk keperluan daerah Jakarta sendiri, tetapi sebagian daripadanya
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kredit daerah-daerah lainnya yang pemberiannya
dilakukan melalui kantor Pusat (Jakarta). Kredit termaksud misalnya adalah kredit-kredit
untuk pengadaan pangan, impor pupuk, industri (dalam rangka impor kapas dan benang
tenun PL-480), dan lain-lainnya.
Selanjutnya pemberian kredit di Daswati I Jawa Timur terutama diarahkan kepada
sektor produksi bahan pangan, demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan di
Daswati I Sumatera Utara, pemberian kreditnya sebagian besar untuk sektor produksi barang
ekspor dan ekspor.
Mengenai pemberian kredit Bank-bank Pemerintah di daerah-daerah lainnya
menunjukkan perimbangan yang agak merata bagi kegiatan sektor ekonominya.

68
4.7. Perkiraan perkembangan jumlah uang beredar dan perkreditan tahun 1970-1971

Untuk membuat perkiraan secara tepat mengenai perkembangan jumlah uang beredar
dan perkreditan untuk sesuatu periode adalah tidak mudah. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perkiraan tersebut antara lain adalah :
1. tingkat perkembangan harga-harga
2. hasil pelaksanaan anggaran triwulanan
3. keadaan perdagangan luar negeri
Selain dari faktor tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor lainnya misalnya besarnya
GNP yang biasanya ikut juga menentukan besar kecilnya jumlah uang beredar. Tetapi
dewasa ini faktor-faktor yuang lebih relevan adalah ketiga faktor yang disebut di atas.
Pada triwulan II 1969/1970 jumlah uang beredar adalah Rp 170,6 milyar. Dengan
demikian maka untuk semester I 1969/1970 telah terjadi pertambahan jumlah uang beredar
sebesar Rp 41,2 milyar. Dengan asumsi bahwa perkembangan harga dan keadaan lainnya
tidak mengalami perubahan, maka untuk semester II 1969/1970 jumlah uang beredar akan
mengalami perubahan yang sama besarnya dengan semester I 1969/1970. Ini berarti bahwa
untuk seluruh tahun 1969/1970 jumlah uang beredar akan mencapai posisi Rp 211,2 milyar.
Selanjutnya bila perkembangan harga dan faktor lainnya sama dengan keadaan dalam tahun
1969/1970, maka untuk tahun anggaran 1970/1971, jumlah uang beredar akan diperkirakan
mencapai jumlah Rp 352,0 milyar.
Mengenai masalah pemberian kredit oleh perbankan dapat dijelaskan bahwa dalam
semester I 1969/1970 telah terjadi pertambahan volume kredit sebesar Rp 73,0 milyar.
Dalam semester kedua pertambahan kredit ini diperkirakan tidak akan sebesar pertambahan
di dalam semester I, berhubung pemberian kredit untuk pupuk dan pangan akan tidak sebesar
semester I. Dengan demikian diperkirakan pada akhir tahun anggaran 1969/1970 posisi
kredit akan mencapai ± Rp 270,0 milyar. Berdasarkan pengalaman tersebut maka dapat
diperkirakan bahwa untuk tahun anggaran 1970/1971 posisi kredit perbankan akan mencapai
sekitar Rp 400,0 milyar. Perlu dicatat di sini bahwa meskipun posisi perkreditan
diperkirakan mencapai jumlah tersebut, namun dalam pelaksanaannya masih harus
diperhitungkan faktor-faktor tersebut di atas serta kegiatan pembangunan pada umumnya.

69
Tabel 4.1
PERKEMBANGAN UANG BEREDAR DAN DEPOSITO BERJANGKA DALAM ARTI RIIL

Uang dan Indeks harga Indeks harga Uang dan Deposito


Deposito Deposito dalam (62 macam barang) (62 macam barang) dalam arti riil
Akhir Triwulan Uang Kartal Uang Giral
Berjangka arti nominal Okt 1966=100 Juni 1969=100 (4) + (6)
(1)+(2)+(3)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1966 I 3,8 1,8 0,1 5,7 36,8 8,4 67,9


II 7,8 2,8 0,2 10,8 57,8 13,2 81,8
III 11,3 3,8 0,3 15,4 84,1 19,2 80,2
IV 14,4 7,8 0,4 22,6 112,0 25,5 88,6

1967 I 16,9 7,3 0,7 24,9 151,6 34,6 72,0


II 21,7 10,7 1,3 33,7 157,1 35,8 94,1
III 26,9 12,2 1,9 40,9 186,4 42,5 96,2
IV 34,1 17,3 2,7 54,1 237,6 54,2 29,8

1968 I 41,2 21,6 3,6 66,4 374,3 85,4 77,8


II 56,9 29,0 5,0 90,3 382,5 87,2 104,2
III 62,2 32,7 7,5 102,4 414,8 94,6 108,2
IV 74,7 32,2 10,7 124,6 439,9 100,3 124,2

1969 I 81,1 48,3 25,7 155,1 466,8 106,5 145,6


II 88,6 58,0 36,3 182,9 438,4 100,0 182,9
III 102,5 68,1 44,1 214,7 460,3 150,0 204,5

Sumber : Bank Indonesia

70
Tabel 4.2
JUMLAH UANG YANG BEREDAR DAN SEBAB-SEBAB PERUBAHANNYA MENURUT SEKTOR
(Dalam Jutaan Rp)

Resmi Kegiatan Perusahaan Luar Negeri Lainnya Mutasi Posisi Money Kartal Giral
Akhir Masa Supply
Jumlah %*) Jumlah %*) Jumlah %*) Jumlah %*) Jumlah %x) Jumlah %*) Jumlah %*)

1966 Maret + 875 + 28,7 + 1.263 + 41,4 - 478 - 15,7 + 1.392 + 45,6 + 3.052 118,7 5.624 3.828 68 1.796 32
Juni + 3.635 + 74,1 + 1.271 + 25,9 - 77 - 1,5 + 74 + 1,5 + 4.903 87,2 10.527 7.762 74 2.765 26
Sept + 2.054 + 45,4 + 1.426 + 31,5 + 613 + 13,5 + 434 + 9,6 + 4.527 43,0 15.054 11.293 75 3.761 25
Des + 6.044 + 84,5 + 1.728 + 24,2 - 314 - 4,4 - 304 - 4,3 + 7.154 47,5 22.208 14.360 65 7.848 35
Kumulatif 1966 + 12.608 + 64,2 + 5.688 + 29,0 - 256 - 1,3 + 1.596 + 8,1 + 19.636 -

1967 Maret + 6.820 + 349,4 + 1.174 + 60,1 - 5.364 - 274,8 - 678 - 134,7 + 1.952 8,8 24.160 16.874 70 7.286 30
Juni + 5.525 + 66,8 + 4.351 + 52,6 + 502 + 6,1 - 2.109 - 25,4 + 8.269 34,2 32.429 21.687 67 10.742 33
Sept - 2.939 - 44,9 + 5.706 + 87,2 + 1.402 + 21,4 + 2.374 + 36,3 + 6.543 20,2 38.972 26.882 69 12.090 31
Des + 6.926 + 55,4 + 11.078 + 88,6 - 1.431 - 11,4 - 4.074 - 13,26 + 12.499 32,1 51.471 34.098 66 17.373 34
Kumulatif 1967 + 16.332 + 55,8 + 22.309 + 76,2 - 4.891 - 16,7 - 4.487 - 15,3 + 29.263 -

1968 Maret - 2.392 - 21,1 + 4.052 + 35,7 + 1.531 + 13,5 + 8.170 + 71,9 + 11.361 22,1 62.832 41.172 66 21.660 34
Juni + 8.442 + 36,6 + 20.227 + 87,7 + 4.819 + 20,9 - 10.437 - 45,2 + 23.051 36,7 85.883 56.923 66 28.960 34
Sept - 3.875 - 43,3 + 11.107 + 124,2 + 4.624 + 51,7 - 2.914 - 32,6 + 8.942 10,4 94.825 62.169 66 32.656 34
Des + 706 + 3,7 + 12.880 + 67,5 - 37.780 - 198,1 + 43.263 + 226,9 + 19.069 20,1 113.894 74.684 66 39.210 34
Kumulatif 1968 + 2.881 + 4,6 + 48.266 + 77,3 - 26.806 - 42,9 + 38.082 + 60,1 + 62.423

1969 Jan 2.870 3.846 502 - 451 + 1.027 114.921 71.674 62 43.247 38
Feb 1.356 4.083 13.950 - 5.395 + 5.828 120.749 75.972 63 44.777 37
Maret 3.633 1.158 13.258 - 7.050 + 8.638 129.432 81.066 63 48.366 37
Kumulatif Triw. I 2.119 + 13,6 1.395 - 9,0 27.710 + 178,3 - 12.896 - 82,9 + 15.538 13,6

April 3.537 1.826 7.675 - 4.700 + 4.506 133.938 81.292 61 52.646 39


Mei 2.698 9.739 658 - 3.965 + 3.734 137.672 85.346 62 52.326 38
Jun 7.105 5.333 4.801 + 5.926 + 8.955 146.627 88.583 60 58.044 40
Kumulatif Triw. II 6.446 - 37,5 13.246 + 77,0 13.134 + 76,4 - 2.739 - 15,9 + 17.195 13,3

Juli 3.448 6.893 119 + 3.504 + 6.830 153.457 91.608 60 61.849 40


Agustus 3.088 16.087 1.637 - 1.282 + 13.354 166.811 99.184 59 67.627 41
Sept 10.074 14.719 8.629 + 7.843 + 3.859 170.670 102.522 60 68.148 40
Kumulatif Triw. III 16.610 - 69,1 37.699 + 156,8 7.111 29,6 + 10.065 + 41,9 + 24.043 16,4
Kumulatif 1969 20.937 - 36,9 49.550 + 87,3 33.733 - 59,4 - 5.570 - 9,8 + 56.776

Sumber Bank Indonesia


Diolah kembali oleh Departemen Keuangan RI *) Prosentasi dari Mutasi

71
1) angka-angka sementara x) Kenaikan dalam prosentasi per triwulan
Tabel 4.3
PERKEMBANGAN DANA KREDIT PERBANKAN
Dalam juta Rp.
Bank-bank Pemerintah Bank-bank Swasta
Akhir Triwulan Jumlah
Giro Deposito Lain-lain Giro Deposito Lain-lain

1966 I 1.361,08 46,73 62,67 298,80 42,01 12,80 1.824,09 )


II 2.235,64 67,17 155,94 655,10 137,00 32,00 3.282,85 )
*)
III 3.112,05 74,79 170,69 829,70 200,30 54,11 4.441,64 )
IV 4.830,83 83,34 137,49 1.307,23 310,94 66,04 6.735,87 )

1967 I 5.319,22 171,17 484,07 1.515,58 479,94 110,44 8.080,42


II 8.627,62 330,24 568,90 2.028,40 970,61 120,38 12.646,15
III 10.328,29 430,51 685,13 3.062,30 1.488,23 161,47 16.155,93
IV 13.973,21 371,57 520,27 4.106,14 2.315,50 257,69 21.544,38

1968 I 16.021,44 544,26 1.493,48 4.520,95 3.016,34 224,19 25.820,66


II 22.347,70 663,72 1.733,83 6.595,38 4.350,68 334,38 36.025,69
III 26.145,12 1.891,29 828,74 6.004,06 5.646,71 671,74 41.187,66
IV 29.070,10 4.729,34 930,18 7.765,63 5.978,39 447,62 48.921,26

1969 I 36.876,89 17.013,36 1.041,83 7.292,74 8.662,62 573,07 71.460,51


II 42.709,26 24.465,84 1.695,03 8.866,32 11.822,69 557,29 90.116,43
III 52.124,51 29.930,57 3.469,85 10.014,79 14.218,63 653,88 110.412,23

Sumber : Bank Indonesia


*) Tidak termasuk Bank Indonesia, Bank Tabungan Negara dan Bapindo

72
Tabel 4.4
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DARIPADA DEPOSITO BERJANGKA
PADA BANK-BANK PEMERINTAH

Deposito dengan
01-Okt-68 17-Mar-69 01-Mei-69 10-Jul-69 15-Sep-69
jangka waktu

1 bulan atau lebih 1,5 1,5 1,0 1,0 1,0

3 bulan atau lebih 4,0 3,0 2,0 1,5 1,5

6 bulan atau lebih 5,0 4,0 3,0 2,5 2,0

1 tahun atau lebih 6,0 5,0 4,0 3,0 2,5

Sumber : Bank Indonesia

Tabel 4.5
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA SELAMA OKTOBER 1968 - SEPTEMBER 1969
(Dalam Juta Rupiah)

Triwulan I - 1969 Triwulan II - 1969 Triwulan III - 1969


Bank-bank Okt-68 Des-68
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September

1. B E I I 66,4 127,3 127,5 487,6 1.367,9 1.594,9 1.655,1 1.857,0 2.148,2 2.288,8 2.398,1
2. B R I 144,7 691,4 897,3 1.362,4 1.734,3 2.126,0 2.734,3 2.644,8 2.654,7 2.946,9 3.345,4
3. B N I 1946 589,7 1.383,8 1.824,8 3.121,1 4.423,3 6.432,1 6.670,4 7.166,7 7.572,0 7.758,9 7.999,4
4. B B D 318,5 1.241,0 1.907,2 2.570,7 3.863,8 4.628,4 5.365,3 5.585,4 6.574,6 6.354,6 6.948,2
5. B D N 501,9 628,6 1.172,8 1.914,5 3.910,7 5.419,0 5.904,6 5.746,7 5.651,8 7.092,1 8.119,1
6. BAPINDO 145,3 446,0 726,7 905,0 1.087,7 1.427,7 1.546,4 1.547,5 1.249,7 1.341,4 1.414,7

1.766,5 4.518,1 6.656,1 10.361,3 16.389,7 21.568,1 23.776,1 24.548,1 25.851,0 27.788,7 29.822,9
Sumber : Bank Indonesia

Tabel 4.6.
NILAI NOMINAL TABUNGAN BERHADIAH 1969 *)
(Dalam Juta Rupiah)
1969
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September

I. Bank Pemerintah
1. B E I I - - - - 8,80 1,87 2,67 2,89
2. B R I 3,62 4,62 6,12 7,46 9,33 12,62 16,91 21,58
3. B N I 1946 1,41 5,79 10,44 13,75 16,31 19,66 23,12 24,78
4. B B D 5,50 7,77 10,48 13,77 16,55 23,59 30,38 44,92
5. B D N 0,24 0,39 0,71 0,90 1,05 1,22 2,99 5,52
6. B T N 1,89 2,96 3,50 4,62 5,40 7,02 8,85 15,54
Jumlah I : 12,66 21,73 31,25 40,56 49,44 65,98 84,92 115,23

II. Bank Swasta II 7,98 14,06 21,00 22,91 27,29 30,45 34,63 44,23

Jumlah I + 20,64 35,79 52,25 63,47 76,73 96,43 119,55 159,46


*) Nilai Nominal Terjual
Sumber : Bank Indonesia
73
Tabel 4.7
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR-SEKTOR EKONOMI
AKHIR BANK SENTRAL BANK PEMERINTAH BANK SWASTA
JUMLAH
TRIWULAN Kredit Langsung Kredit Likuiditas Likuiditas Sendiri Likuiditas Sendiri
1966
I. Produksi ) ) 275,03 ) 92,71 1.284,25
Ekspor ) 531,80 * ) 745,00 * 221,20 ) 14,44 496,44
Lain-lain ) ) 67,25 ) 94,64 261,38
)
II. Produksi 227,13 896,13 302,73 ) 260,41 1.686,40
Ekspor 334,03 - 304,27 ) 39,68 677,98
Lain-lain 142,19 258,22 152,29 ) 333,51 886,21
)
III. Produksi 304,09 1.346,95 557,58 ) 381,98 2.590,60
Ekspor 369,78 - 355,40 ) 60,86 785,72
Lain-lain 229,78 216,53 274,75 ) 502,42 1.223,48
)
IV. Produksi 679,39 1.478,63 1.295,52 ) 524,19 3.977,73
Ekspor 545,14 - 460,10 ) 109,68 1.114,92
Lain-lain 288,17 56,46 355,05 ) 549,89 1.249,57
1967
I. Produksi 587,95 2.373,87 1.116,21 485,18 4.563,21
Ekspor 575,61 - 672,36 585,94 1.833,91
Lain-lain 321,39 73,78 443,94 584,61 1.423,72
II. Produksi 1.660,81 3.232,23 2.122,29 640,58 7.655,91
Ekspor 595,71 - 1.128,70 1.099,41 2.823,82
Lain-lain 303,05 145,25 775,14 1.071,54 2.294,98
III. Produksi 3.329,81 3.812,67 3.223,75 932,11 11.298,34
Ekspor 553,70 363,88 2.400,71 1.381,45 4.699,74
Lain-lain 362,29 345,08 874,46 1.331,79 2.913,62
IV. Produksi 3.309,63 4.618,89 4.511,48 1.553,09 13.993,09
Ekspor 249,25 324,25 2.874,77 1.425,64 4.873,91
Lain-lain 8.528,16 141,56 1.956,71 1.702,06 12.328,49
1968
I. Produksi 4.516,51 5.736,38 6.205,55 1.637,74 18.096,18
Ekspor 270,74 1.399,01 4.250,47 1.081,52 7.001,74
Lain-lain 6.032,18 662,02 2.654,22 2.564,26 11.912,68
II. Produksi 6.275,91 8.936,74 8.052,95 1.362,62 24.628,22
Ekspor 318,14 2.148,65 5.644,63 430,45 8.541,87
Lain-lain 19.186,10 1.398,26 3.298,03 3.393,39 27.275,78
III. Produksi 15.752,18 10.728,32 10.969,40 1.923,12 39.353,02
Ekspor 345,02 2.842,56 5.870,47 762,72 9.820,77
Lain-lain 37.450,91 3.663,02 4.176,49 4.774,84 50.065,26
IV. Produksi 17.016,85 22.507,80 13.373,70 2.540,41 55.438,76
Ekspor 420,30 2.865,26 6.082,37 780,02 10.147,95
Lain-lain 44.410,60 4.775,46 6.754,86 4.155,89 60.096,81
1969
I. Produksi 3.666,39 39.897,56 19.085,78 3.315,82 65.965,55
Ekspor 420,96 2.771,13 6.848,42 1.033,21 11.073,72
Lain-lain 40.446,81 5.163,95 7.502,33 5.562,83 58.675,92
II. Produksi 4.427,91 42.393,10 25.040,15 4.680,48 76.541,64
Ekspor 417,12 2.293,82 8.747,35 1.229,51 12.687,80
Lain-lain 43.584,03 8.068,30 9.426,74 7.622,58 68.701,65
III. Produksi 3.484,46 43.429,45 32.608,97 5.590,86 85.113,74
Ekspor 417,48 3.354,04 11.882,34 1.323,11 16.976,97
Lain-lain 66.000,52 16.388,99 13.872,89 9.150,37 105.412,77
* Data-datanya tidak diperinci
** Tidak termasuk Bank Tabungan Negara dan Bapindo
Sumber : Bank Indonesia

74
Tabel 4.8
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAH DAN SWASTA
Dalam Juta Rupiah
BANK SENTRAL BANK PEMERINTAH BANK SWASTA
JUMLAH
Kredit Langsung Kredit Likuiditas Likuiditas Sendiri Likuiditas B.Sentral *) Likuiditas Sendiri Likuiditas B.Sentral

1966
Triwulan I
Sektor Swasta 531,80 +) 745,00 137,32 - - - 1.392,80
Sektor Swasta 426,16 - 201,79 - 649,27
Triwulan II
Sektor Pemerintah 667,86 1.153,27 142,15 1.153,27 - - 1.963,28
Sektor Swasta 35,49 1,07 617,14 1,07 633,60 - 1.287,30
Triwulan III
Sektor Pemerintah 821,16 1.561,96 261,71 1.561,96 -
Sektor Swasta 82,17 1,52 926,02 1,52 945,26
Triwulan IV
Sektor Pemerintah 1.406,53 1.533,61 905,25 1.533,61 - - 3.845,39
Sektor Swasta 106,17 1,48 1.205,42 1,48 1.183,76 - 2.496,83
1967
Triwulan I
Sektor Pemerintah 1.315,00 2.446,56 459,35 2.446,56 - - 4.220,91
Sektor Swasta 169,95 1,09 1.773,16 1,09 1.655,73 - 3.599,93
Triwulan II
Sektor Pemerintah 2.338,47 3.354,86 964,83 3.354,86 - - 6.658,16
Sektor Swasta 221,10 22,62 3.061,30 22,62 2.811,53 - 6.116,55
Triwulan III
Sektor Pemerintah 4.016,44 4.338,48 950,35 4.338,48 - - 9.305,27
Sektor Swasta 229,36 183,15 5.548,57 183,15 3.645,35 - 9.606,43
Triwulan IV
Sektor Pemerintah 11.636,54 4.456,03 1.243,45 4.456,03 - - 17.336,02
Sektor Swasta 450,50 628,67 8.099,51 497,79 4.680,79 130,88 13.859,47
1968
Triwulan I
Sektor Pemerintah 9.659,97 5.482,93 1.822,97 5.482,93 - - 16.965,87
Sektor Swasta 1.159,39 2.314,48 11.287,27 2.077,54 5.283,52 236,94 20.044,73
Triwulan II
Sektor Pemerintah 23.982,76 7.290,27 2.129,05 7.290,27 - - 33.402,08
Sektor Swasta 1.797,39 5.193,38 14.866,56 4.896,21 5.186,46 297,17 27.043,79
Triwulan III
Sektor Pemerintah 50.868,85 10.511,74 2.729,69 10.511,74 - - 64.110,28
Sektor Swasta 2.659,26 6.722,16 18.286,67 6.423,03 7.460,68 299,13 35.128,77
Triwulan IV
Sektor Pemerintah 58.806,57 20.191,85 2.694,99 20.191,85 - - 81.693,41
Sektor Swasta 3.041,18 9.956,67 23.515,94 9.817,33 7.476,32 139,34 43.990,11
1969
Triwulan I
Sektor Pemerintah 40.375,89 37.661,33 3.465,56 37.661,33 - - 81.502,78
Sektor Swasta 4.158,27 10.171,31 29.970,97 10.040,99 9.911,86 130,32 54.212,41
Triwulan II
Sektor Pemerintah 43.353,37 37.985,89 4.631,75 37.985,89 - - 85.971,01
Sektor Swasta 5.075,69 14.769,33 38.582,49 13.636,01 13.532,57 1.133,32 71.960,08
Triwulan III
Sektor Pemerintah 64.475,21 40.177,10 5.953,83 40.177,00 - - 110.606,14
Sektor Swasta 5.427,25 22.995,38 52.410,37 21.024,04 16.064,34 1.971,34 96.897,34
Sumber : Bank Indonesia
Catatan :
1) Tidak dihitung, karena sudah termasuk Kolom Bank Sentral
*) Data-data terperinci belum tersedia
Tidak termasuk Bank Tabungan Negara dan BAPPINDO

75
Tabel 4.9
PEMBERIAN KREDIT BANK-BANK PEMERINTAH MENURUT DASWATI I (EXCL.KREDIT LANGSUNG BANK SENTRAL)
UNTUK BULAN MARET 1969
Dalam Juta Rupiah
I. PRODUKSI II. EKSPOR III. LAIN-LAIN
Imp.dg BE -Kred JUMLAH
DASWATI I Bahan Barang Per- Per- Perdag.Dlm
Sandang Prasarana Jumlah I Jumlah II Lain-lain Jumlah III I+II+III
Pangan Ekspor industrian tambangan Negeri Non
Konsumsi
Konsumsi

1. Jakarta 14.649,88 1.494,74 13.102,05 3.633,76 - 339,85 33.220,28 801,40 1.245,00 2.307,66 7,70 4.742,48 8.305,94 42.327,62
2. Jawa Barat 3.597,64 108,04 684,35 297,09 - 3,57 4.690,69 79,61 651,68 - - 143,37 795,05 5.565,35
3. Jawa Tengah 3.493,66 315,65 433,32 686,27 0,15 27,44 4.956,49 538,37 495,25 - - 77,77 573,02 6.067,88
4. Yogyakarta 451,82 - 121,14 24,46 - 1,99 599,41 3,10 45,44 - - 9,74 58,28 660,79
5. Jawa Timur 5.588,04 826,66 138,29 381,52 0,34 34,69 6.969,54 1.056,25 548,63 - - 118,10 666,73 8.692,52
6. Aceh 125,83 82,25 2,24 33,95 - 2,52 246,79 164,47 97,40 - - 20,06 117,46 528,72
7. Sumatera Utara 568,02 2.743,60 15,29 548,84 - 12,53 3.888,28 1.050,06 312,84 - - 25,42 338,26 5.276,60
8. Sumatera Barat 231,03 403,63 23,19 58,71 - 9,62 726,18 311,94 175,52 - - 0,27 175,89 1.214,01
9. Riau 79,66 216,18 0,28 10,27 - 18,19 324,58 227,58 227,46 - - 14,16 163,26 715,30
10. Jambi 148,21 129,66 - - - 26,76 304,63 309,99 39,16 - - - 39,16 653,78
11. Sumatera Selatan 190,81 707,22 7,34 128,34 - 62,77 1.096,48 930,98 200,84 - - 16,79 2.171,63 2.245,09
12. Lampung 123,07 212,20 0,90 8,89 - 27,41 372,47 425,03 40,57 - - 3,40 43,97 841,47
13. Kalimantan Barat 89,24 161,05 0,35 17,05 - 9,85 277,54 672,89 117,28 - - 8,81 126,09 1.076,52
14. Kalimantan Tengah 3,31 6,96 0,18 - - - 10,45 75,24 21,48 - - 0,75 22,23 107,92
15. Kalimantan Selatan 65,62 116,74 0,76 19,03 0,80 - 202,95 455,65 83,87 - - 11,61 95,48 754,08
16. Kalimantan Timur 12,89 81,69 - 12,72 - 2,50 109,80 121,40 57,93 - - 5,21 63,14 294,34
17. Sulawesi Utara 110,91 14,02 - 19,56 - - 144,49 1.659,60 165,59 - - 112,13 277,72 2.081,81
18. Sulawesi Tengah 35,14 4,78 - - - - 39,92 139,17 59,14 - 0,88 5,23 65,25 244,34
19. Sulawesi Selatan 275,97 73,21 9,91 21,77 - 4,00 384,86 149,47 240,77 - - 9,94 250,71 785,04
20. Sulawesi Tenggara - - - - - - 0,84 19,19 - - 19,19 20,03
21. Maluku 18,63 0,24 - 8,09 - - 26,96 168,60 77,43 - - 41,06 118,49 314,05
22. Bali 131,90 8,34 0,84 47,18 - 80,61 268,87 91,82 63,95 - - 1,00 64,95 425,64
23. Nusa Tenggara Barat 76,02 5,23 0,56 5,85 - 2,48 90,14 49,34 45,32 - - 3,93 49,25 188,73
24. Nusa Tenggara Timur 31,37 - - 4,51 - 0,66 36,54 140,87 35,44 - - 3,63 39,07 216,48

Jumlah 30.098,67 7.712,09 14.540,99 5.967,86 1,29 667,44 58.988,34 9.623,67 5.067,18 2.307,66 8,58 5.374,86 14.640,22 81.295,01
Sumber : Bank Indonesia

76
Tabel 4.10
PEMBERIAN KREDIT BANK-BANK PEMERINTAH MENURUT DASWATI I
UNTUK BULAN JUNI 1969
Dalam Juta Rupiah
I. PRODUKSI II. EKSPOR III. LAIN-LAIN
Imp.dg BE -Kred JUMLAH
DASWATI I Bahan Barang Per- Per- Perdag.Dlm
Sandang Prasarana Jumlah I Jumlah II Lain-lain Jumlah III I+II+III
Pangan Ekspor industrian tambangan Negeri Non
Konsumsi
Konsumsi

1. Jakarta 16.795,53 1.043,71 13.604,62 4.998,64 - 218,36 36.560,86 1.375,36 2.248,06 1.550,42 - 1.337,11 5.175,59 43.111,81
2. Jawa Barat 2.330,97 363,20 952,97 503,06 - 6,68 4.156,88 111,26 661,17 - - 828,46 1.489,63 5.757,77
3. Jawa Tengah 3.493,37 828,30 584,49 680,17 - 32,87 5.619,20 486,35 718,93 - - 829,75 1.548,68 7.654,23
4. Yogyakarta 342,11 - 109,92 28,62 - 5,05 485,70 9,64 84,01 - - 243,31 327,32 822,66
5. Jawa Timur 5.766,12 1.512,50 136,78 626,87 - 10,19 8.052,46 1.340,93 817,40 - - 951,98 1.769,38 11.162,77
6. Aceh 147,59 79,79 2,12 80,18 - 4,98 314,66 187,62 129,12 - - 140,50 269,62 771,90
7. Sumatera Utara 470,47 3.234,98 23,83 530,50 - 54,98 4.314,76 1.006,62 417,88 - - 510,73 929,61 6.249,99
8. Sumatera Barat 201,86 599,20 39,78 190,77 - 14,60 1.046,21 350,22 128,34 - - 154,04 282,38 1.678,81
9. Riau 192,60 149,57 0,77 11,81 - 17,72 372,47 248,35 144,69 - - 162,75 307,44 928,26
10. Jambi 1.045,00 130,14 - - - 30,15 1.205,29 257,47 57,57 - - 57,57 115,14 1.577,90
11. Sumatera Selatan 315,58 742,06 10,57 159,76 0,06 14,69 1.242,72 897,31 287,13 - - 442,39 729,52 2.869,55
12. Lampung 150,14 548,28 1,00 74,61 0,46 1,70 776,19 388,42 44,69 - - 47,87 92,86 1.257,47
13. Kalimantan Barat 58,24 619,46 - 127,87 - - 805,57 632,07 178,00 - - 196,62 374,62 1.812,26
14. Kalimantan Tengah 16,52 29,42 0,12 - - - 46,06 86,01 20,96 - - 21,63 43,59 174,66
15. Kalimantan Selatan 77,70 145,66 1,24 32,85 0,80 - 258,25 580,41 117,51 - - 150,44 267,95 1.106,61
16. Kalimantan Timur 24,60 23,51 - 9,35 - 11,17 68,63 353,37 95,80 - - 102,47 198,27 620,27
17. Sulawesi Utara 141,37 220,96 - 50,18 - - 412,51 1.752,23 323,73 - - 595,59 919,32 3.084,06
18. Sulawesi Tengah 53,04 49,11 0,20 0,77 - - 103,12 138,58 138,55 - - 157,28 295,83 537,53
19. Sulawesi Selatan 182,84 646,18 3,63 164,24 - 4,33 1.001,22 260,82 615,92 - - 630,28 1.246,20 2.508,24
20. Sulawesi Tenggara - - - - - - - - 48,72 - - - 48,72 48,72
21. Maluku 37,95 3,14 - 35,24 - - 76,33 223,48 172,37 - - - 172,37 472,19
22. Bali 187,39 5,70 5,91 36,20 - - 235,20 131,34 83,65 - - 191,53 275,18 641,72
23. Nusa Tenggara Barat 85,07 - 6,54 15,85 - - 107,46 62,85 65,70 - - 66,18 131,88 302,19
24. Nusa Tenggara Timur 51,00 6,58 0,11 13,22 - - 70,91 174,64 54,03 - - 54,56 108,59 354,14

Jumlah 32.167,06 10.981,45 15.484,60 8.370,76 1,32 427,47 67.332,66 11.055,35 7.653,93 1.550,42 - 7.873,04 17.119,69 95.606,41
Sumber : Bank Indonesia

77
BAB V
HUBUNGAN EKONOMI LUAR NEGERI DAN
PERKEMBANGAN LALU LINTAS DEVISA

5.1. Pengaruh Kebijaksanaan Dalam Hubungan Ekonomi Luar Negeri Pada


Perkembangan Lalu Lintas Devisa 1969/1970

Landasan pokok dari kebijaksanaan pemerintah dalam hubungan ekonomi luar negeri
diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan kemantapan dalam
perekonomian melalui kebijaksanaan perdagangan luar negeri dan bantuan luar negeri.
Dengan demikian lalu lintas devisa dapat lancar serta membantu kepada berhasilnya
pembangunan.

5.1.1. Kebijaksanaan dalam Perdagangan Luar Negeri 1969

Landasan pokok dari kebijaksanaan dalam bidang ekspor adalah :


a. memberikan kepastian berusaha kepada para usahawan eksportir;
b. meningkatkan jumlah dan mutu dari produksi barang-barang untuk ekspor.

ad. a. Untuk memberikan kepastian berusaha bagi para usahawan eksportir, maka
sistim “overprice” dipertahankan. Penetapan “harga penjerahan” (HP) yang semula
berubah-ubah terlalu sering, ditentukan hanya sebulan sekali, agar menambah iklim
yang pasti bagi para eksportir. Penetapan kembali dari HP tersebut dilakukan
bersama-sama dengan gabungan eksportir dan instansi-instansi lain. Untuk tahun
1969 overprice yang telah diterima (untuk golongan A maupun golongan B) oleh
para eksportir diperkirakan berjumlah US$ 131 juta, sedangkan pada tahun 1968
berjumlah US$ 110 juta.

ad. b. Untuk meningkatkan jumlah barang-barang ekspor, maka barang-barang


ekspor golongan B telah mendapatkan perhatian yang besar dengan tidak
mengabaikan barang-barang ekspor golongan A, yang memang masih merupakan
90% dari hasil seluruh ekspor Indonesia. Dalam pada itu perlu dikemukakan bahwa
barang-barang ekspor Indonesia sudah cukup terkenal di pasar dunia, tetapi mutunya
masih perlu ditingkatkan agar dapat lebih bersaing serta dapat mencapai harga yang
lebih tinggi. Karena mutu tersebut belum memenuhi syarat-syarat internasional maka
barang-barang ekspor Indonesia terpaksa dioleh di luar negeri. Untuk menanggulangi

78
keadaan yang demikian itu maka pemerintah telah mengambil kebijaksanaan
“offensif operasionil”.
Untuk karet misalnya kebijaksanaan offensif operasionil tersebut meliputi
lima unsur :
(1) Penyediaan kredit pembelian jangka pendek yang dikaitkan dengan usaha-usaha
up grading dari mutu karet;
(2) Kredit investasi berjangka menengah untuk rehabilitasi dan modernisasi remilling
serta rumah-rumah asap yang ada;
(3) Kredit investasi berjangka menengah untuk mendirikan “Crum-Rubber Plant”
baru;
(4) Penambahan alat transpor dan sarana-sarana produksi bagi petani produsen;
(5) Pengolahan bahan-bahan remilling dari daerah-daerah yang kekurangan kapasitas
unit-unit remilling ke daerah-daerah lain yang masih kelebihan kapasitas dari
unit-unit remillinya.
Tujuan dari pengarangan jenis pengolahan karena menjadi Crum Rubber adalah
sebagai berikut :
i. Mengembangkan teknologi modern dalam pengolahan karet;
ii. Mengimbangi saingan dari karet synthetis, yang telah merebut 55% dari
pemakaian karet dunia;
iii. Meningkatkan mutu dan menjaga ketinggian mutu dari karet Indonesia, guna
menjamin pasaran untuk karet Indonesia, melalui penetapan suatu Standard
Indonesian Rubber (SIR)
Dalam hubungan penjagaan ketinggian mutu, maka Balai Penelitian
Perkebunan Bogor dan Medan telah ditugaskan sebagai National Testing Station,
yang berhak mengeluarkan “Sertifikat Kualitas”.
Di samping landasan pokok dari kebijaksanaan dalam bidang ekspor
sebagaimana diuraikan di atas, maka prosedur ekspor juga disederhanakan.
Perlu dikemukakan bahwa dalam tahun 1968 peningkatan ekspor adalah
dengan mengurangi pajak ekspor dari 15% menjadi 5%, di samping pemberian
“overprice”.
Di dalam tahun 1969 suku bunga yang berlaku untuk produksi ekspor dan
perdagangan ekspor diturunkan dari masing-masing 3-3½% dan 5% tiap bulan
menjadi masing-masing 2¼% dan 2¼ - 2½% sebulan dalam September 1969.

79
Dari ekspor Indonesia, hanya kopi dan timah yang telah ditentukan kuotanya
melalui International Commodity Agreement. Kuota ekspor secara triwulanan telah
ditentukan oleh International Tin Council dalam bulan September 1968. Bagian
Indonesia adalah 9,41% dari jumlah kuota yang ditentukan atau 4.040 ton, 3.575 ton,
3.645 ton, 3.716 ton dan 3.904 ton masing-masing untuk triwulan terakhir 1968
sampai triwulan terakhir 1969.
Mengenai kopi maka kuota ekspor Indonesia kepada negara-negara anggota
ICO (International Coffee Organization) di dalam tahun kopi 1968/1969 telah
dinaikkan dari 64.100 ton menjadi 66.100 ton. Kuota untuk 1969/1970 telah
ditentukan sebesar 67.980 ton. Ekspor kopi kepada negara-negara non kuota telah
naik dari 6.500 ton dalam tahun 1967/1968 menjadi kurang lebih 42.100 ton dalam
tahun 1968/1969.
Hasil dari kebijaksanaan tersebut diatas tercermin dalam nilai ekspor dalam
tahun 1969 yang lebih besar daripada nilai ekspor dalam tahun 1968. Berdasarkan
perkembangan triwulan-triwulan yang telah lalu, maka diperkirakan ekspor tanpa
minyak dalam tahun 1969 akan mencapai US$ 622 juta, di antaranya US$ 471 juta
adalah dari golongan A dan US$ 151 juta dari golongan B, sedangkan dalam tahun
1968, ekspor tanpa minyak telah mencapai US$ 569 juta, di antaranya US$ 422 juta
dari golongan A dan US$ 147 juta dari golongan B.
Landasan pokok dari kebijaksanaan dalam bidang impor adalah :
a. mengarahkan penggunaan devisa, melalui suatu sistim BE yang mencerminkan
prioritas kebutuhan produksi dan konsumsi dalam negeri.
b. Mengamankan setidak-tidaknya kebutuhan untuk produksi pangan, sandang dan
lain-lain barang kebutuhan yang strategis untuk pembangunan.
c. Mengimpor barang-barang kebutuhan yang belum dapat dipenuhi oleh aparat
produksi di dalam negeri, dalam bentuk yang dapat menciptakan multiplier-effect
kegiatan ekonomi di dalam negeri, misalnya dengan memasukkan barang-barang
berbentuk CKD atau “complete knocked down”, untuk kemudian diassembling
atau dikerjakan di dalam negeri.
Pengarahan impor dilakukan melalui :
i. Penyusunan suatu rencana/program operasional untuk :
(a) bahan-bahan pokok yang masih dianggap perlu untuk diimpor dari luar
negeri;
(b) tepung terigu, kapas kasar, benang tenun;

80
(c) pupuk dan insectisida;
(d) kertas koran
ii. Kebijaksanaan tarif dan sistim kurs devisa berganda (“multiple exchange rate”),
yang meliputi : penentuan daftar barang-barang yang boleh diimpor dengan BE
dan DP; barang-barang yang hanya dapat diimpor dengan devisa pelengkap (DP),
dan barang-barang yang dilarang diimpor, kesemuanya berdasarkan atas kriteria
seperti berikut :
(1) Sifat barangnya : barang-barang essensiil, kurang essensiil dan non-
essensiil.
(2) Memberikan dorongan yang aktif bagi perkembangan industri-industri
dalam negeri (termasuk proteksi yang wajar).
Pengaruh dari kebijaksanaan tersebut di atas tercermin dalam realisasi dari
impor dalam tahun 1969. Dalam masa Januari s.d September 1969, impor barang-
barang konsumsi mencapai US$ 148 juta, sedangkan dalam masa yang sama pada
tahun 1968 impor barang-barang konsumsi mencapai US$ 269 juta; sebaliknya impor
bahan baku dan barang modal dalam masa Januari s.d September 1969 mencapai
US$ 386 juta, sedangkan dalam masa yang sama pada tahun 1968 impor bahan baku
dan barang modal mencapai US$ 274 juta.
Seirama dengan makin meningkatnya kegiatan-kegiatan pembangunan maka
impor tanpa minyak untuk seluruh tahun 1969 diperkirakan akan meningkat dan
mencapai US$ 886 juta, sedangkan dalam tahun 1968 hanya berjumlah US$ 751 juta.
Dengan meningkatnya impor, maka pengeluaran jasa-jasa dalam tahun 1969
diperkirakan akan meningkat pula sampai mencapai US$ 183 juta (tanpa minyak),
sedangkan pada tahun 1968 pengeluaran jasa-jasa berjumlah US$ 160 juta.

5.1.2. Kebijaksanaan Jasa Berhubungan Dengan Bantuan Luar Negeri dalam Tahun
1969
Salah satu fungsi dari bantuan luar negeri adalah menutup balance of payment
gap dan memperbesar kapasitas impor dalam rangka kebutuhan untuk memasukkan
barang dan bahan baku guna investasi untuk pembangunan nasional. Bagi Indonesia,
maka fungsi dari bantuan luar negeri tidak saja untuk membantu neraca pembayaran
luar negeri, tetapi juga untuk membantu kebutuhan anggaran pembangunan
Pemerintah.

81
Di samping itu, sementara usaha produksi dan pengadaan bahan makanan
masih belum mencukupi, serta pula untuk menjaga stabilitas harga bahan makanan,
maka bantuan luar negeri untuk memasukkan bahan makanan merupakan unsur
pelengkap yang penting pula.
Pemerintah selalu berusaha memperoleh bantuan luar negeri dengan syarat-
syarat yang lunak (bunga yang rendah dan pembayaran kembali dalam jangka waktu
yang panjang), serta jenis bantuan yang dapat menghasilkan rupiah guna
meningkatkan penerimaan negara.
Jenis bantuan luar negeri dapat digolongkan sebagai berikut :
(1) Bantuan program, yang terdiri atas : kredit BE, grant BE, PL 480, Kennedy
Round dan bantuan pangan lainnya;
(2) Bantuan proyek ialah bantuan yang berbentuk proyek-proyek;
(3) Bantuan teknis, yang berbentuk pendidikan, survey, penelitian, penyuluhan, dan
sebagainya.
Jumlah dan perincian bantuan luar negeri dapat dilihat pada Tabel 5.1 yang
menggambarkan besarnya commitment, persetujuan yang telah ditandatangani dan
jumlah yang tersedia untuk dijual/dilaksanakan dalam masa Januari s.d. Oktober
1969.

5.1.3. Perkembangan Lalu Lintas Devisa 1969/1970

Pengaruh dari kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti tersebut di atas tercermin


pula dalam perkiraan lalu lintas devisa 1969/1970. Perkembangan ini perlu
dikemukakan dalam rangka penyusunan perkiraan perkembangan lalu lintas devisa
untuk 1970/1971, yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian 5.3.
Ekspor tanpa minyak diperkirakan mencapai US$ 632 juta dalam tahun
anggaran 1969/1970, yang merupakan kenaikan sebesar 11% di atas ekspor dalam
tahun anggaran 1968. Ekspor keseluruhan (termasuk minyak) dalam tahun anggaran
1969/1970 diperkirakan akan mencapai US$ 1.001 juta atau 15% di atas seluruh
ekspor dalam tahun anggaran 1968.
Impor tanpa minyak dalam tahun anggaran 1969/1970 diperkirakan akan
mencapai US$ 956 juta, yang berarti 27% di atas impor dalam tahun anggaran 1968.
Impor yang diperlukan untuk perusahaan minyak diperkirakan akan naik ± 5% di atas
tahun anggaran 1968.

82
Meskipun demikian neraca perdagangan dalam tahun anggaran 1969/1970
menunjukkan suatu defisit yang lebih kecil kalau dibandingkan dengan tahun
anggaran 1968. Defisit pada Neraca Perdagangan dalam tahun anggaran 1969/1970
adalah sebesar US$ 39 juta, sedangkan dalam tahun anggaran 1968 adalah sebesar
US$ 41 juta; dengan demikian ada penurunan defisit sebesar 5%.
Pengeluaran untuk jasa-jasa akan meningkat sesuai dengan kenaikan impor.
Dalam tahun anggaran 1969/1970 nerada jasa-jasa diperkirakan akan mengalami
defisit sebesar US$ 367 juta, sedangkan dalam tahun anggaran 1968 defisit itu adalah
sebesar US$ 305 juta, sehingga dengan demikian defisit neraca jasa-jasa diperkirakan
naik dengan 20%.
Kesemuanya itu menyebabkan bahwa transaksi berjalan dalam tahun
anggaran 1969/1970 akan mengalami kenaikan defisit. Kalau dibandingkan dengan
tahun anggaran 1968, maka defisit pada transaksi berjalan dalam tahun anggaran
1969/1970 diperkirakan akan meningkat dengan 54%.
Defisit pada transasksi berjalan dalam tahun anggaran 1969/1970
diperkirakan dapat diimbangi dengan pemasukan modal dari sektor pemerintah
maupun swasta. Pemasukan modal sektor pemerintah akan naik dengan 56% kalau
dibandingkan dengan tahun anggaran 1968. Pemasukan modal sektor Pemerintah ini
masih harus dikurangi dengan pembayaran/pencicilan hutang-hutang luar negeri.
Dengan memperhitungkan pemasukan modal dari sektor swasta dan pembayaran
kembali/pencicilan hutang-hutang luar negeri maka pemasukan modal netto dalam
tahun anggaran 1968. Dengan pemasukan modal netto tersebut, maka defisit pada
Neraca Pembayaran dapat ditekan sampai US$ 11 juta, yaitu US$ 3 juta defisit pada
Neraca Pembayaran dalam tahun anggaran 1968 (yang berjumlah US$ 8 juta).

5.2. Kebijaksanaan dalam Hubungan Ekonomi Luar Negeri tahun 1970/1971

Mobilisasi sumber-sumber pembiayaan di dalam negeri adalah terbatas, terutama di


dalam suatu jangka waktu yang pendek seperti dalam suatu tahun anggaran tertentu.
Disamping itu, sumber-sumber pembiayaan dalam negeri yang dapat digali oleh Pemerintah
dalam tahun anggaran 1970/1971 dapat dibuat perkiraannya relatif lebih mudah daripada
sektor swasta.
Terbatasnya sumber-sumber di dalam negeri di suatu pihak dan kebutuhan untuk
membangun secepat mungkin di lain pihak, mendorong pemerintah untuk mengusahakan
sumber-sumber pembiayaan tambahan yang berasal dari luar negeri. Oleh karena itu semua

83
kebijaksanaan dalam bidang hubungan ekonomi luar negeri berlandaskan tuuan-tujuan
demikian. Pula perkiraan perangkaan di dalam anggaran devisa yang disusun dalam
anggaran tahun 1970/1971 berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan di dalam bidang
hubungan ekonomi luar negeri dengan memperhatikan situasi moneter internasional yang
mempengaruhi pada saat tersebut.
Landasan pokok kebijaksanaan dalam hubungan ekonomi luar negeri ialah agar
dalam rangka keseimbangan Neraca Pembayaran mengusahakan secara kontinu alat
pembayaran luar negeri yang diperlukan sebagai tambahan untuk menutup kekurangan
sumber-sumber di dalam negeri untuk pembiayaan pembangunan. Demikian pula
kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk dapat mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah dan
menjamin komposisi impor yang penting melalui kebijaksanaan impor dan kebijaksanaan-
kebijaksanaan fiskal dan kredit lainnya akan tetap dilanjutkan.
Kebijaksanaan dalam bidang ekspor untuk tahun anggaran 1970/1971 akan
ditingkatkan lagi, sekurang-kurangnya akan mempertahankan hasl-hasil positif dari
kebijaksanaan dalam tahun 1979/1970.
Kebijaksanaan dalam bidang impor untuk tahun anggaran 1970/1971 akan pula
melanjutkan pengarahan yang telah dimulai dalam tahun anggaran yang lalu, yaitu
mendorong ke arah kegiatan-kegiatan yang produktif.

5.3. Perkiraan Perkembangan Lalu Lintas Devisa 1970/1971

Dalam memperkirakan neraca pembayaran tahun anggaran 1970/1971, gambaran


dari perkembangan neraca pembayaran tahun anggaran 1969/1970 merupakan bahan
perhitungan. Neraca Pembayaran 1970/1971 diperkirakan akan mengalami defisit dalam
transaksi berjalan sebesar US$ 459 juta, yang berarti 13% lebih besar dari defisit dalam
tahun anggaran 1969/1970. Defisit tersebut diperkirakan dapat ditutup dengan pemasukan
modal netto sebesar US$ 459 juta, yang merupakan kenaikan sebesar 16% di atas pemasukan
modal netto dalam tahun anggaran 1969/1970.
Ekspor dalam tahun anggaran 1970/1971 diperkirakan akan mencapai jumlah
US$ 1.113 juta, yang berarti kenaikan sebesar 11% di atas ekspor dalam tahun anggaran
1969/1970. Di antara jumlah ekspor ini, ekspor tanpa minyak berjumlah US$ 676 juta, atau
7% di atas ekspor dalam tahun anggaran 1970/1971.
Sebaliknya impor dalam tahun anggaran 1970/1971 diperkirakan akan mencapai
jumlah US$ 1.159 juta, yang merupakan kenaikan sebesar 11% di atas impor dalam tahun
anggaran 1969/1970. Di antara jumlah tersebut termasuk impor tanpa minyak sebesar

84
US$ 1.059 juta, yang berarti kenaikan sebesar 12% di atas impor dalam tahun anggaran
1969/1970.
Dengan demikian maka Neraca Perdagangan dalam tahun anggaran 1970/1971
diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US$ 46 juta atau 17% di atas defisit dalam
Neraca Perdagangan dalam tahun anggaran 1969/1970.
Dengan defisit pada neraca jasa-jasa sebesar US$ 413 juta, maka transaksi berjalan
diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US$ 459 juta, yang sebagaimana telah disebut
di atas akan diusahakan untuk menutupnya dengan pemasukan modal netto. Pemasukan
modal dari sektor pemerintah diperkirakan sebesar US$ 480 juta, yang terdiri atas progran
aid sebesar US$ 340 juta dan project aid sebesar US$ 140 juta.
Pemasukan modal dari sektor pemerintah tersebut masih harus dikurangi dengan
pembayaran kembali/pencicilan hutang-hutang luar negeri yang berjumlah US$ 84 juta.
Dengan memperhitungkan pemasukan modal dari sektor swasta sebesar US$ 63 juta,
pemasukan modal dari sektor pemerintah sebear US$ 480 juta serta dikurangi dengan
pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri, maka tercapailah angka US$ 459 juta seperti
tersebut di atas, yang dapat menutup defisit pada neraca pembayaran tahun anggaran
1970/1971.
Tabel 5.1.
BANTUAN LUAR NEGERI 1969
s.d 31 Oktober 1969
Dalam Ribuan US$
COMMITMENT PERSETUJUAN TELAH DITANDATANGANI TERSEDIA UNTUK DIJUAL/DILAKSANAKAN
NEGARA
Proyek B.E P.L 480 K. R Jumlah Proyek B.E P.L 480 K. R Jumlah Proyek B.E P.L 480 K. R Jumlah

1. Australia 3.249 7.042 - 5.686 15.977 3.249 7.042 - 5.686 15.977 3.249 2.464 - 878 6.591
2. Belgia 1.000 1.200 - 518 2.718 - 1.200 - 518 1.718 - 1.200 - 518 1.718
3. Perancis 6.302 6.302 - 1.088 13.692 6.302 6.302 - 1.088 13.692 - - - 1.088 1.088
4. Jerman Barat *) 13.661 13.661 - 1.261 28.583 13.661 13.661 - 1.261 28.583 - - - 1.261 1.261
5. Amerika Serikat 31.300 44.000 140.200 16.000 231.500 6.300 44.000 79.250 16.050 145.600 6.300 25.000 79.250 16.050 126.600
6. Canada 900 - - 900 1.800 - - - 1.850 1.850 - - - 1.850 1.850
7. Inggris 600 4.200 - - 4.800 - 4.200 - - 4.200 - 4.200 - - 4.200
8. Nederland 10.000 18.055 - 1.945 30.000 10.000 18.055 - 689 28.744 - 10.635 - 689 11.324
9. Jepang 55.000 55.000 - 10.000 120.000 55.000 55.000 - 10.000 120.000 - 55.000 - - 55.000
10. I D A 86.000 - - - 86.000 46.000 - - - 46.000 46.000 - - - 46.000
11. Denmark 4.000 - - - 4.000 4.000 - - - 4.000 4.000 - - - 4.000
12. Italia - - - 1.000 1.000 - - - 241 241 - - - - -
13. New Zealand - 560 - - 560 - - - - - - - - - -
14. A D B 13.432 - - - 13.432 3.432 - - - 3.432 3.432 - - - 3.432
225.444 150.020 140.200 38.398 554.062 147.944 149.460 79.250 37.383 414.829 62.981 98.499 79.250 22.334 263.064
Sumber : Departemen Keuangan
*) Berdasarkan Kurs US$ 1 = DM 3,66

85
Tabel 5.2
NERACA PEMBAYARAN INDONESIA TAHUN ANGGARAN 1969/1970
DAN PERKIRAAN TAHUN 1970/1971
(Dalam jutaan US$)

Transaksi 1968 1969/1970 1970/1971

A. Barang dan Jasa


1. Ekspor 872 1.001 1.113
(minyak) 303 369 437
(tanpa minyak) 569 632 676

2. Impor -831 -1.040 -1.159


(minyak) -80 -84 -100
(tanpa minyak) -751 -956 -1.059

Neraca Perdagangan -41 -39 -46

3. Jasa-jasa -305 -367 -413


(minyak) -145 -175 -198
(tanpa minyak) -160 -192 -215

Transaksi Berjalan -264 -406 -459

B. Lalu lintas Modal dan Transfer


1. Swasta 65 39 63
2. Pemerintah 266 414 480
3. Pembayaran kembali hutang-hutang -75 -58 -84

Pemasukan Modal (netto) 256 395 459


Jumlah A + B -8 -11 0

C. Selisih yang tak diperhitungkan -4 -7 0

D. Lalu lintas Moneter 12 ) 18


1. IMF Position 15 )
2. Kewajiban jangka pendek )
netto (kenaikan +) -3 ) 18
3. Cadangan Devisa (penurunan +) - ) -

Sumber : Bank Indonesia

86
BAB VI
PRODUKSI DALAM TAHUN 1970/1971

6.1. Pendapatan Nasional

Angka-angka resmi pendapatan nasional Indonesia untuk tahun akhir-akhir ini tidak
tersedia yang dapat menunjukkan gambaran yang jelas mengenai perkiraan pertumbuhan
ekonomi. Data statistik untuk produksi dan perdagangan dalam negeri yang menjadi
landasan untuk perhitungan pendapatan nasional (GNP) pada umumnya tidak lengkap dan
kurang up to date.
Meskipun demikian untuk tahun 1967 dan 1968 dapat diperkirakan pendapatan
nasional dalam arti riil telah menunjukkan kenaikan yang sedang sebagai akibat
pertambahan produksi bidang pertambangan dan kehutanan bersamaan dengan perbaikan di
bidang pertanian terutama beras. Begitu pula perkembangan di bidang ekspor menunjukkan
suatu kenaikan. Diharapkan perkembangan ini akan meningkat untuk tahun-tahun
selanjutnya.

6.2. Sektor Pertanian

a. Bahan Makan Utama


Produksi bahan makanan merupakan urang lebih 2/3 dari seluruh produksi
sektor pertanian di mana produksi beras merupakan hasil yang paling utama.
(i) Beras
Seperti telah dimuat di dalam Bab Umum, angka-angka realisasi produksi tahun
1969/1970 menurut perkiraan akan dapat dicapai bahkan ada kemungkinan akan
sedikit terlampaui. Berhasilnya usaha-usaha untuk mempertahankan target tersebut
adalah berkat usaha-usaha yang dilancarkan Pemerintah dalam mengefektifkan
usaha-usaha intensifikasi prodksi padi dengan memberi bimbingan dan
menganjurkan kepada petani-petani pemakaian bibit unggul, pupuk dan
pemberantasan hama. Sedangkan usaha-usaha perbaikan prasarana-prasarana tetap
pula ditingkatkan selain daripada proyek pengairan Jatiluhur yang kini telah mulai
didayagunakan. Dalam tahun 1969 tidak dapat dilupakan bahwa faktor iklim turut
pula membantu peningkatan produksi padi.
Oleh Pemerintah ditetapkan program peningkatan produksi padi musim tanam
Oktober 1969 – Maret 1970 untuk sejumlah areal 2.225.020 Ha sawah yang
tersebar di seluruh Nusantara. Peningkatan produksi diusahakan denan cara

87
intensifikasi melalui proyek-proyek yang diklassifisir dalam Bimas, Bimas Baru,
Bimas Baru yang disempurnakan, Bimas Gotong Royong, Bimas Baru Gotong
Royong, Inmas dan Inmas Baru.
Masing-masing proyek itu ditentukan dengan cara tersendiri mengenai penyediaan
pupuk dan alat-alat pertanian serta kredit-kredit untuk petani dan pemakaian benih-
benih tertentu dan sebagainya sesuai dengan keadaan pertanian setempat dan
tujuan-tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan pengalaman-pengalaman maka
dalam pelaksanaan program-program Bimas/Inmas yang akan datang Pemerintah
akan lebih memperhatikan faktor-faktor penyediaan pupuk, benih dan obat-obat
hama bagi petani tepat pada waktunya. Pemberian kredit bagi petani di atur
sedemikian rupa sehingga tidak menghambat usaha-usaha petani. Disamping itu
bimbingan bagi petani-petani akan lebih diintensifkan pula. Sasaran produksi beras
tahun 1970/1971 dalam rangka PELITA adalah sebesar 11.430.000 ton. Dengan
usaha-usaha intensifikasi seperti diuraikan di atas yang pelaksanaannya akan
dilanjutkan dalam tahun 1970/1971 dan disesuaikan dengan perkembangan-
perkembangan keadaan target tersebut diharapkan akan dapat dicapai.
Perkembangan realisasi produksi beras sampai dengan tahun 1969 dan target-target
REPELITA 1969/1970 s.d. 1973/1974 dapat terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 6.1
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN TARGET PRODUKSI BERAS
1961-1973/1974

Tahun Produksi (dlm juta ton) Persentase Pertambahan Produksi

Realisasi 1)
1960 -
1961 7,950
1962 8,536 + 7,62
1963 7,628 - 10,84
1964 8,420 + 10,38
1965 8,840 + 4,28
1966 9,137 + 3,35
1967 9,324 + 2,15
1968 10,683 + 14,57
I/1969 8,243

Target 2)
1969/70 10,52
1970/71 11,43 + 8,65
1971/72 12,52 + 9,50
1972/73 13,81 + 10,30
1973/74 15,42 + 11,60

Sumber : 1) 1961 s.d 1967 BPS


1968 )
I/1969 ) Departemen Pertanian
2) Buku Repelita
88
(ii) Palawija dan hortikultura
Perkembangan produksi palawija dan hortikultura adalah dapat terlihat seperti
dalam tabel berikut :

Tabel 6.2
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN TARGET PRODUKSI PALAWIJA DAN HORTIKULTURA
1961-1973/1974 (jutaan ton)
Ketela pohon + Hortikultura (sayur-
Jagung Kacang-kacangan
Tahun rambat sayuran + buah-buahan)
Produksi Produksi Produksi Produksi
Realisasi 1)
1961 2,283 0,678 13,654 -
1962 3,243 0,658 15,066 -
1963 2,359 0,584 14,590 -
1964 3,769 0,653 16,154 -
1965 2,361 0,640 15,655 -
1966 3,220 0,638 15,625 -
1967 2,960 0,605 15,080 -
1968 2,693 0,584 11,745 -
I/1969 1,252 0,285 4,563 -
Target 2)
1969/70 3,37 0,95 15,66 8,30
1970/71 3,51 0,99 16,00 8,70
1971/72 3,70 1,08 16,35 9,30
1972/73 3,94 1,21 16,71 10,20
1973/74 4,23 1,40 18,09 11,20
Sumber : 1) 1961 s.d 1967 BPS
1968 )
I/1969 ) Departemen Pertanian
2) Buku Repelita

b. Perkebunan
Perkembangan hasil-hasil dan target-target produksi utama perkebunan besar dan
rakyat selama beberapa tahun terakhir adalah sebagai terlihat dalam tabel-tabel
berikut :

89
Tabel 6.3
PRODUKSI HASIL-HASIL UTAMA PERKEBUNAN NEGARA
(dalam 1.000 metric ton)
Palm Oil +
Tahun Karet Tehe Kopi Gula
Palm Kernel

Realisasi 1)
1960 - - - - -
1961 229 146 43 19 651
34
1962 217 141 47 12 585
33
1963 216 148 39 18 650
33
1964 232 161 46 7 649
34
1965 228 157 47 20 776
32
1966 210 159 43 12 612
31
1967 215 171 32 18 663
35
3)
1968 102 122 30 7,2 525
24
3)
I/1969 49,6 50 31 2,3 236
11

Target 2)
1969/70 104 172 39,5 11,1 677
41
1970/71 107 199 40 8,0 761
50
1971/72 114 220 40,5 10,9 788
55
1972/73 121 246 42 7,5 862
61
1973/74 132 275 43 11,7 907
68
Sumber : 1) 1961 s.d 1967 BPS
1968
1969 Departemen Pertanian
2) Buku Repelita
3) Tidak termasuk perkebunan swasta besar

90
Tabel 6.4
PRODUKSI HASIL-HASIL UTAMA PERKEBUNAN RAKYAT, 1961 - 1968
(dalam 1.000 metric ton)

Tahun Karet Kopi Lada Tembakau The Kopra

1)
Realisasi
1961 476 89 24 - 37 1.361
1962 496 99 62 - 37 1.387
1963 490 127 66 - 39 1.379
1964 500 80 65 - 41 1.193
1965 510 92 60 - 42 1.249
1966 528 107 68 - 42 1.350
1967 530 117 74 - 46 1.320
1968 512 143 46 42 61 1.275
Sumber : 1) 1961 s.d 1967 BPS
1968 Departemen Pertanian

Sektor perkebunan memegang peranan penting, karena hasil-hasil perkebunan


merupakan hasil-hasil ekspor yang menjadi sumbe devisa bagi negara. Dalam
tahun-tahun yang lalu devisa yang berasal dari ekspor hasil-hasil perkebunan
hampir mencapai 70% dari seluruh penerimaan devisa. Dalam sektor perkebunan
baik perkebunan besar maupun rakyat kebijaksanaan Pemerintah terutama
diarahkan kepada usaha-usaha peremajaan tanaman-tanaman tua dan mengadakan
investasi-investasi baru untuk perluasan areal tanaman-tanaman baru dengan benih-
benih unggul dan cara-caran penanaman baru yang lebih efisien. Usaha-usaha
penyuluhan bagi petani-petani rakyat digiatkan baik untuk mempertinggi
produktivitas dan daya tanam rakyat maupun memperbaiki tata cara pemasaran
hasil-hasil.
Dalam rangka usaha-usaha peremajaan dan perluasan perkebunan-perkebunan
negara dalam REPELITA ditentukan target peremajaan tahun 1970/1971 untuk
beberapa jenis tanaman seperti tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6.5
RENCANA PEREMAJAAN, KONVERSI, PERLUASAN
PERKEBUNAN NEGARA TAHUN 1970/1971

Peremajaan Biaya (juta


Konversi Perluasan
(Ha) Rp)

Karet 8.700 1.480 2.220 1.360

1)
Kelapa Sawit 6.800 835

Sumber : Buku Repelita


1) Jumlah peremajaan, konversi dan perluasan
91
Sasaran produksi khusus dalam tahun 1970/1971 dari sektor perkebunan dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6.6
LUAS AREAL PRODUKTIF, PRODUKSI DAN PERTAMBAHAN PRODUKSI
PERKEBUNAN NEGARA 1970/1971 DARI BEBERAPA JENIS HASIL

Luas areal Pertambahan (%)


Produksi (ton)
produktif produksi

Karet 154.000 109.000 4,81


Kelapa sawit 59.474 148.686 21,86
Tehe ……… 87.000 1) 1,75
Gula 78.000 761.000 ………
Kopi 18.570 7.988 7,14
Tembakau 3.065 9,82 1,24
Kopra 1.100 0

Sumber : Buku REPELITA


1) Termasuk produksi perkebunan rakyat sebear 47.000 ton

b. Kehutanan
Di bidang kehutanan terlihat bahwa di dalam tahun 1967 dan 1968 terjadi kenaikan
hasil kayu yang sangat besar dari 1.983 ribu metric ton menjadi 3.828 ribu metric
ton. Diperkirakan bahwa di dalam tahun 1969 hasil tersebut akan lebih meningkat
lagi menjadi 5.200 metric ton.

Tabel 6.7
PRODUKSI BEBERAPA HASIL KAYU-KAYUAN HUTAN 1966- 1969
(dalam ribuan metric ton)

Kayu 1966 1967 1968 1969

1. Logs dan kayu grajen 1.983 2.853 3.828 5.200 *)


2. Kayu bakar 1.161 1.133 1.105 -
3. Arang 363 364 366 -

Sumber : Departemen Pertanian


*) Angka-angka taksiran

92
6.3. Sektor Perindustrian

Gambaran tentang perkembangan produksi dalam tahun 1970/1971 dari sektor


perindustrian dapat diberikan untuk beberapa hasil tertentu seperti sandang dan beberapa
industri kimia sebagai berikut :
a. Sandang
Di dalam Bab Umum telah dimuat angka-angka realisasi sementara pengadaan dan
produksi tekstil yang mana diperkirakan akan mencapai jumlah produksi
±108.478.750 m selama triwulan-triwulan I dan II tahun 1969/1970. Adapun target
produksi 1969/1970 adalah sebesar 450 juta meter. Menurut perkiraan Departemen
Perindustrian taksasi produksi tahun 1969 akan mencapai jumlah ±419.125.000 m
di mana pada bulan-bulan terakhir tahun 1969 diharapkan produksi akan meningkat
sesuai dengan keadaan permintaan. Kebijaksanaan dalam industri sandang telah
diarahkan pada persediaan yang cukup untuk kapas dan benang tenun baik berasal
dari produksi dalam negeri maupun dari impor.
Di dalam bidang produksi sandang ini oleh Pemerintah telah diberikan berbagai
macam fasilitas-fasilitas antara lain subsidi kepada kapas kasar dan benang tenun,
penerimaan MPO dan pemberian proteksi. Sasaran produksi tahun 1970/1971
untuk sandang adalah sejumlah 575 juta meter tekstil dengan kebutuhan kapas
sejumlah 260 bale (1bale kapas = 500 lbs) dan benang impor sejumlah 206 bales (1
bale benang = 400 lbs). Untuk mencapai kenaikan produksi tersebut, kebijaksanaan
diarahkan pula pada perluasan perusahaan pemintalan, pertenunan, dan perajutan di
dalam negeri di samping usaha-usaha pencukupan spareparts untuk rehabilitasi
unit-unit produksi yang ada.

b. Industri Kimia
Hasil-hasil produksi industri seperti semen, kertas dan pupuk urea, menurut angka-
angka realisasi 1969 yang disajikan dalam Bab Umum memberikan harapan bahwa
target 1969/1970 akan tercapai. Khusus mengenai semen, maka untuk menjaga
kestabilan harganya masih perlu dipertahankan kebijaksanaan impor untuk
mengatasi kekuarangan persediaan yang sewaktu-waktu dapat terjadi kekurangan.
Demikian pula halnya dengan kebijaksanaan pengadaan pupuk yang dalam masa
pembangunan dengan titik sentral bidang pertanian sekarang merupakan landasan
kebijaksanaan penting. Pupuk produksi dalam negeri belum mencukupi sehingga
masih diperlukan import pupuk. Dalam pada itu direncanakan untuk memperluas

93
pabrik pupuk PN Pusri di Palembang sehingga akan tercapai kapasitas yang dapat
memenuhi target-target produksi pembangunan. Unit-unit perluasan ini diharapkan
sudah akan memberi hasil pertambahan produksi dalam tahun 1972.

6.4. Sektor Pertambangan

Dalam tahap permulaan dari REPELITA kegiatan-kegiatan di sektor pertambangan


lebih banyak tertuju pada usaha-usaha penelitian, eksplorasi dan lebih lanjut pendekatan
pada pengadaan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha dan ahli-ahli luar negeri untuk
mencari landasan-landasan fisik maupun finansial dalam sektor ini. Usaha-usaha demikian
dilakukan dalam hal tambang minyak bumi maupun timah, bauksit, nikkel, mangan, emas
dan perak. Dari kegiatan-kegiatan yang ada sekarang terlihat banyaknya pengusaha-
pengusaha yang berminat akan berusaha di bidang pertambangan.
Khusus mengenai hasil minyak bumi, angka-angka produksi tahun-tahun terakhir
seperti dimuat dalam Bab Umum menunjukkan kenaikan-kenaikan yang melonjak bila
dibandingkan angka-angka realisasi semester I/1969 dengan semester I/1967 dan semester
I/1968.
Usaha dan kebijaksanaan Pemerintah di bidang perminyakan yang pokok adalah
untuk mendapatkan cadangan-cadangan dan lapangan-lapangan baru sebagai pengganti yang
kini dan tengah diambil hasilnya. Dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi ini, Pemerintah
membuka kesempatan kerja sama dengan perusahaan asing umumnya untuk daerah lepas
pantai (off shore). Di samping itu usaha dan kebijaksanaan diarahkan pula ketujuan
memperluas pasaran ekspor minyak di luar negeri.
Produksi hasil pertambangan dapat dilihat dari tabel di bawah ini :

Tabel 6.8
HASIL-HASIL PERTAMBANGAN 1966-1969
(dalam ribuan metric ton)
Tahun
Hasil-hasil Tambang
1966 1967 1968 1969 3)
1)
1. Minyak bumi 170,7 186,2 219,9 56,1
2)
2. Gas bumi 72,7 75,8 116,0 -
3. Timah 12,8 13,8 16,9 8,6
4. Bauxit 701 912 879 317
5. Batu bara 320 208 175 108
6. Nikkel 117 172 262 122
Sumber : Departemen Pertambangan
1) Dalam jutaan British Barrels
2) Dalam jutaan mega cubic feet
3) s.d. bulan Maret
94
Lampiran 1
RENCANA PENERIMAAN NEGARA
TAHUN ANGGARAN 1970/1971
( x Rp 1 juta )

JENIS PENERIMAAN JUMLAH PENERIMAAN

I. Penerimaan Rutin 320.583


A. Pajak Langsung 117.120
1. Pajak Pendapatan 13.250
1.1. Buruh 6.750
1.1.1. Dalam Rupiah 4.750
1.1.2. Dalam Valuta Asing 2.000
1.2. Usahawan 6.500
1.2.1. Kohir 1.400
1.2.2. MPS 5.100
2. Pajak Perseroan 21.250
2.1. Perusahaan Negara 11.750
2.1.1. Kohir 750
2.1.2. MPS 11.000
2.2. Perusahaan Swasta 9.500
2.2.1. Kohir 750
2.2.2. MPS 8.750
3. Pajak Perseroan Minyak 61.470
4. MPO 20.900
4.1. Ditjen Pajak 17.000
4.2. Ditjen Bea dan Cukai 3.900
5. Lain-lain 250

B. Pajak Tidak Langsung 200.810


1. Pajak Penjualan 19.000
2. Pajak Penjualan Impor 19.500
3. Cukai 39.460
3.1. Cukai Tembakau 36.720
3.2. Cukai Gula 2.400
3.3. Cukai Bir 180
3.4. Cukai Alkohol Sulingan 160
3.5. Cukai Minyak Tanah p.m
4. Bea Masuk 78.000
5. Pajak Devisa Ekspor 7.000
6. Penerimaan Minyak Lainnya 33.600
7. Lain-lain 4.250

C. Penerimaan Non-Tax 2.653

II. Penerimaan Pembangunan 124.316


1. Kredit Luar Negeri 78.676
2. Bantuan Proyek 45.640

JUMLAH 444.899

95
DASAR PERHITUNGAN PENERIMAAN NEGARA
DI DALAM RAPBN 1970/1971
(x Rp 1 juta)

I. PENERIMAAN RUTIN 320.583


A. PAJAK LANGSUNG 117.120
1. Pajak Pendapatan 13.250
1.1. Pajak Pendapatan Buruh 6.750
1.1.1. Dalam Rupiah 4.750
Asumsi-asumsi :
(1) Batas minimum kena pajak akan
dinaikkan menjadi dua kali, yang
mengakibatkan turunnya penerimaan
pajak dengan ± 40%
(2) Adanya kemungkinan kenaikan
gaji/upah
(3) Bertambahnya kesempatan bekerja
sebagai akibat penanaman modal
asing, modal dalam negeri dan
pelaksanaan PELITA
(4) Ditingkatkannya intensifikasi
pemungutan. Dengan asumsi-asumsi
tersebut diperkirakan bahwa untuk
tahun 1970/1971 akan diterima
sebagai berikut :
Realisasi penerimaan tahun 1969/70
diperkirakan sebear 5.665, dimana
untuk tahun pajak 1969 saja sebesar
5.500,-
Unsur-unsurnya :
a) Penyetoran bulanan tahun
1970/1971 sebagai akibat dari
dinaikkannya batas minimum kena
pajak maka realisasi bulanan yang
akan diterima hanya tinggal 60% x
5.665 = 3.399,-
b) Hasil verifikasi atas penyetoran
tahun 1969 diperkirakan 15% x 5.500
= 825,-
c) Sebagai akibat dari pada asumsi
(2), (3) dan (4) diatas, maka
diperkirakan tambahan penerimaan
sebesar 15% x 60% x 5.665 = 510,-.
Jadi jumlah semua = 3.399 + 825 +
510 = 4.734 atau dibulatkan 4.750,-

1.1.2. Dalam Valuta Asing 2.000


Asumsi-asumsi :
(1) Akan diturunkannya tarif
(2) Penambahan jumlah WP (wajib
pajak) sebagai akibat penanaman
modal asing.

96
(3) Ditingkatkannya intensifikasi
pemungutan
(4) Penertiban pembayaran
Penerimaan dalam tahun 1970/1971
diperkirakan sebagai berikut :
Penyetoran bulanan dalam tahun
1969/1970 rata-rata tiap bulan sebesar
US$ 350.000 akibat asumsi-asumsi
(1) s.d (4) di atas diharapkan
penerimaan tiap-tiap bulan menjadi
$ 450.000 atau dalam 1 th =
$ 5.400.000,-
Jadi penerimaan 1970/1971 menjadi
$ 5.400.000 @ 370 = 1.998 atau
dibulatkan = 2.000,-

1.2. Pajak Pendapatan Usahawan 6.500


1.2.1. Menurut cara lama (kohir) 1.400
Unsur-unsurnya :
a) Tunggakan-tunggakan lama
b) Verifikasi MPS 1968 dengan
penagihan cara lama (kohir)
c) Verifikasi MPS 1969 dengan
penagihan cara lama (kohir)
ad (a) :
- Tunggakan 1-4-69 = 4.231
Tambahan perampungan th pajak '67
ke bawah diperkirakan tidak ada lagi.
Jumlah tunggakan = 4.231
- Diterima dalam th 69/70
diperkirakan 1.181, Sisa tunggakan 1-
4-1970 …. 3.050.
Diperkirakan dalam tahun 1970/71
dapat ditagih 10% = 305,-
ad (b) :
Dalam APP (Anggaran Penerimaan
Pajak) 1969/70 hasil verifikasi MPS
1968 yang ditagih menurut cara lama,
akan ada tambahan yang dapat ditagih
dalam tahun 1969/70 sebesar 1.200,-
Kelihatannya jumlah yang dapat
ditagih dalam tahun tersebut baru
sebesar 400, sehingga sisanya 800,
akan dapat ditagih dalam tahun
1970/1971.
ad ( c) :
Realisasi MPS dalam tahun 1969
diperkirakan = 2.750,- Realisasi MPO
diperkirakan sebesar 12.700 dan 20%
adalah PPd. Usahawan = 2.540.
Jumlah pembayaran PPd Usahawan
…. 5.290,-

97
Akibat sudah ditingkatkannya
intensifikasi pemungutan dan
ditertibkannya pemasukan Spt akhir
1969, diperkirakan yang diterima th
1970/71 hanya 5% lagi, atau 5% x
5.290 = 265,-. Jadi jumlah seluruhnya
- 305 + 800 + 265 = 1.370 atau
dibulatkan menjadi 1.400,-

1.2.2. Menurut cara baru (MPS) 5.100


Asumsi-asumsi :
(1) Peningkatan intensifikasi pemungutan
(2) Peningkatan kegiatan produksi dan
ekonomi akibat penanaman modal
asing, modal dalam negeri dan
pelaksanaan PELITA.
Unsur-unsurnya :
(a ) Setoran tambahan Spt akhir th
1969 yang diterima dalam tahun
1970/1971.
(b) Setoran MPS Masa 70/71.
( c) Hasil intensifikasi
(d) Setoran tambahan Spt. Akhir
tahun 1970 yang diterima dalam
tahun 1970/1971.
ad (a) :
Penyetoran tambahan sukarela atas
Spt akhir 1969 diperkirakan sebesar
20% dari jumlah pajak yang sudah
dibayar dalam tahun tersebut yaitu
20% x 5.290 = 1.058, dan diharap
masih dapat diterima dalam tahun
1970/71 sebesar 60% atau sebesar
635,-
ad (b) :
Setoran MPS Masa dalam tahun
1970/71 diusahakan menjadi sebesar
penyetoran bulanan dalam tahun
1969/70 ditambah lagi dengan hasil
penyetoran tambahan Spt akhir tahun
1969, yaitu 2.750 + 1.058 = 3.808,-
ad ( c) :
Akibat ditingkatkannya internsifikasi
pemungutan maka diharapkan
penambahan penerimaan penyetoran
bulanan sebesar 5% dari MPS dalam
tahun 1969/70, yaitu 5% x 2.750 =
265,-
ad (d) :
Jumlah PPD Usahawan mengenai
tahun pajak 1970 yang akan diterima
ialah :

98
- Setoran masa = 3.808
- 20% dari MPO :
20% x 17.000 = 3.400
Jumlah : 7.208
Setoran tambahan Spt akhir 1970
sebagai akibat intensifikasi
pemungutan dan pengawasan yang
sudah lebih ditingkatkan dalam tahun
1970/71, diperkirakan hanya sebesar
12½ % saja lagi.
Dari jumlah tersebut 40%
diperkirakan diterima dalam tahun
1970/71 (Sisanya dalam tahun
1971/72) atau = 40% x 12½% x
7.208 = 360,-
Sehingga jumlah semua menjadi =
635 + 3.808 + 265 + 360 = 5.068,
atau dibulatkan = 5.100,-
2. Pajak Perseroan 21.250
2.1. Perusahaan Negara 11.750
2.1.1. Menurut cara lama (kohir) 750
Unsur-unsurnya :
(a) Tunggakan lama
(b) Verifikasi MPS 1968 dengan
penagihan menurut cara lama (kohir)
( c) Verifikasi MPS 1969, dengan
penagihan menurut cara lama (kohir)
ad (a) :
- Tunggakan 1-4-69 = 930
- Tambahan perampungan th pajak 67
ke bawah diperkirakan sebesar = 500
Jumlah : 1.430
- Diperkirakan dapat ditagih dalam
tahun 1969/70 dari jumlah tersebut
sebesar = 900. Sisa 1-4-1970 = 530.
Ditagih dalam tahun 1970/71
diperkirakan ± 25% atau sebesar
132,-
ad (b) :
Dalam APP 1969/70 telah
diperkirakan dari verifikasi MPS
1968 akan diterima sebesar 400,-
Kelihatannya jumlah yang mungkin
tertagih dalam tahun tersebut baru
300. Sisanya yang 100 diharapkan
dapat ditagih dalam tahun 1970/71.
ad (c ) :
Jumlah pajak th 1969 yang akan
diterima diperkirakan sebagai berikut:
- MPS Masa = 8.000
dari MPO 20% x 12.700 = 2.540
Jumlah : 10.540

99
Tambahan verifikasi yang ditagih
menurut cara lama diperkirakan dapat
diterima dalam th 1970/71 sebesar
5%, atau 5% x 10.540 = 527,-
Jumlah semua menjadi : 132 + 100 +
527 = 759 atau bulat 750.

2.1.2. Menurut cara baru (MPS) 11.000


Unsur-unsurnya :
(a) Penyetoran tambahan Spt akhir MPS
tahun 1969.
(b) MPS Masa 1970/71.
( c) Penyetoran tambahan Spt akhir MPS
tahun 1970.
ad (a) :
Penyetoran tambahan Spt akhir MPS
1969 yang diterima dalam tahun
70/71 diperkirakan 10% dari jumlah
yang sudah dibayar, yaitu 10% x
10.540 = 1.054,-
ad (b) :
Asumsi-asumsi :
(1) Reorganisasi PN-PN mengakibatkan
peningkatan aktivitasnya.
(2) Peningkatan disiplin membayar pajak
(3) Peningkatan kegiatan produksi dan
ekonomi lainnya sebagai akibat
pelaksanaan PELITA, penanaman
modal asing dan modal dalam negeri.
Realisasi MPS Masa 1970/71
diharapkan sama dengan realisasi
MPS Masa 1969/70 ditambah dengan
setoran tambahan Spt akhir MPS
1969, yaitu sebesar 8.000 + 1.054 =
9.054.
Akibat dari asumsi-asumsi (1) s.d (3)
di atas diharapkan adanya
penambahan realisasi MPS Masa
1970/71 sebesar 10% atau 10% x
9.054 = 905. Jadi MPS Masa 1970/71
= 9.054 + 905 = 9.959,-
ad (c ) :
Setoran tambahan Spt akhir MPS
1969 berjumlah nol (0), karena
diperkirakan baru akan diterima
dalam tahun 1971/1972.
Jumlah penerimaan MPS 1970/71
ialah sebesar 1.054 + 9.959 = 11.013
atau dibulatkan 11.000,-

100
2.2. Perusahaan Swasta 9.500
2.2.1. Menurut cara lama (kohir) 750
Unsur-unsurnya :
(a) Pencairan tunggakan th pajak 1967
dan sebelumnya
(b) Verifikasi MPS 1968 yang ditagih
menurut cara lama
(c ) Verifikasi MPS 1969 yang ditagih
menurut cara lama.
ad (a) :
- Tunggakan 1-4-69 = 1.316
- Tambahan perampungan th pajak
1967 dan sebelumnya diperkirakan =
700. Jumlah : 2.016
- Diperkirakan diterima dalam th
69/70 sebesar = 700. Sisa 1-4-1970 =
1.316
Dapat diterima dalam tahun 1970/71
± 25% = 329
ad (b) :
Dalam APP 1969/1970 tambahan
verifikasi yang dapat ditagih telah
diperkirakan sebesar 1.200.
Dari jumlah tersebut diperkirakan
hanya 2/3 saja yang dapat direalisir
yaitu = 800.
Dari jumlah ini diterima dalam th
1969/70 diharapkan sebesar 600, dan
sisanya 200 akan diterima dalam th
1970/71.
ad (c ) :
Pembayaran pajak th 1969
diperkirakan :
- MPS = 3.600
- 60% dari MPO,
60% x 12.700…. = 7.620
Jumlah = 11.220
Tambahan verifikasi yang ditagih
menurut cara lama, akibat penertiban
setoran tambahan Spt akhir MPS
1969, diperkirakan hanya 2% saja
lagi, yaitu 2% x 11.220 = 224.
Jumlah semua menjadi 329 + 200 +
224 = 753 atau bulat 750.
2.2.2. Menurut cara baru (MPS) 8.750
Asumsi-asumsi :
(1) Peningkatan intensifikasi
pemungutan dan pengawasan
(2) Peningkatan produksi dan kegiatan
ekonomi lainnya sebagai akibat
penanaman modal asing, modal
dalam negeri dan pelaksanan

101
Unsur-unsurnya :
(a) Setoran tambahan Spt akhir 1969
(b) MPS masa 1970/1971
(c ) Setoran tambahan Spt akhir 1970
ad.(a) :
Penyetoran tambahan Spt akhir 1969
diperkirakan 20% dari jumlah pajak
tahun 1969 yang akan diperkirakan
dibayar, yaitu 20% x 11.220 = 2.244,-
ad (b) :
MPS Masa 1970/71 diharapkan sama
dengan MPS Masa 69/70 + verifikasi
setoran akhir 1969, yaitu = 3.600 +
2.244 = 5.844,-
Sehubungan dengan asumsi-asumsi
(1) dan (2) di atas diharapkan MPS
Masa tersebut akan bertambah ±10%,
yaitu 10% x 5.844 = 584. Jadi jumlah
MPS Masa 1970/71 = 5.844 + 584 =
6.428,-
ad (c ) :
Setoran tambahan Spt akhir 1970
diharapkan baru diterima dalam th
1971/72. Jadi dalam th 1970/71
belum ada yang diterima. Jumlah
penerimaan yang diharapkan menjadi
: 2.244 + 6.428 = 8.672 atau
dibulatkan 8.750,-

3. Pajak Perseroan Minyak 61.470


Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan Negara dari perusahaan-
perusahaan minyak asing, yaitu merupakan
"60% operating income " menurut
Perjanjian Karya Minyak, untuk tahun
1970/1971 diperkirakan berjumlah US$
188,56 juta (US$ 95,50 juta untuk
dikonversi dan US$ 93,06 juta untuk
perbekalan dalam negeri).
(2) Kurs konversi : Rp 326,-/US$
(3) Kurs NLM (Nilai Lawan Minyak) :
Rp 326,-/US$
Penerimaan :
(95,50 x 93,06) x 326,- = 61.470,-

4. MPO (Memungut Pajak Orang) 20.900


4.1. Ditjen Pajak 17.000
Asumsi-asumsi :
(1) Perluasan wapu, sehingga yang dapat
dipungut semakin luas
(2) Peningkatan intensifikasi
pemungutan dan pengawasan

102
(3) Peningkatan produksi dan kegiatan
ekonomi lainnya akibat pelaksanaan
PELITA, penanaman modal asing dan
modal dalam negeri. Sehugungan
dengan itu penerimaan dalam tahun
1970/1971 diperkirakan sebagai
berikut :
Realisasi triw IV-69/70 diperkirakan
sebesar 3.750; setahun menjadi 4 x
3.750 = 15.000,-
65% dari jumlah tersebut adalah
MPO di luar yang dipungut bank. Ini
diharapkan dapat ditingkatkan
sehubungan dengan asumsi-asumsi
(1), (2) dan (3) sebesar 20%, atau
20% x 65% x 15.000 = 1.955. Jumlah
semua = 15.000 + 1.955 = 16.955
atau dibulatkan = 17.000,-

4.2. Ditjen Bea dan Cukai 3.900


Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan diperkirakan kira-kira
10½% daripada bea masuk yang
dikenakan atas barang-barang yang
diimpor dengan DP dan devisa bebas
lainnya.
(2) Bea masuk atas impor dengan DP dan
devisa bebas diperkirakan besarnya
Rp 37.375,- juta (lihat penerimaan
bea masuk).
Penerimaan :
10½% x 37.735,- = 3.962
dibulatkan : 3.900

5. Lain-lain 250
Unsur-unsurnya :
(a) Pajak kekayaan
(b) Pajak Dividen
(c ) Lain-lain yang tidak dapat dispesifikasikan

B. PAJAK TIDAK LANGSUNG 200.810


1. Pajak Penjualan 19.000
Asumsi-asumsi :
(1) Kenaikan produksi fisik dan kegiatan-
kegiatan ekonomi lainnya sebagai akibat
dari penanaman modal asing, modal dalam
negeri dan pelaksanaan PELITA.
(2) Peningkatan intensifikasi pemungutan dan
pengawasan. Penerimaan tahun 1970/71
diperkirakan sebagai berikut :
Realisasi triw.IV-69/70 diperkirakan
sebesar 4.500; untuk 1 tahun = 4 x 4.500 =
18.000,-

103
Akibat dari asumsi-asumsi (1) dan (2)
diharapkan pertambahan peneriman 5% x
18.000 = 900,- Jumlah semua + 18.000 +
900 = 18.900 atau dibulatkan = 19.000,-

2. Pajak Penjualan Impor 19.500


Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan diperkirakan 25% daripada
jumlah seluruh bea masuk 1970/1971.
(2) Jumlah seluruh bea masuk 1970/1971
diperkirakan sebesar Rp 78.000,- juta (lihat
penerimaan bea masuk).
Penerimaan :
25% x 78.000,- = 19.500,-

3. Cukai 39.460
3.1. Cukai Tembakau 36.720
Asumsi-asumsi :
(1) Kenaikan penerimaan cukai atas tembakau
di dalam tahun 1970/1971 diperkirakan
33½%, yaitu sebagai akibat dari kenaikan
produksi serta aktivitas perekonomian pada
umumnya, perbaikan mutu dari hasil-hasil
tembakau itu sendiri dan penertiban-
penertiban yang dilakukan di bidang
pemungutan dan pengenaan pita-pita cukai.
(2) Penerimaan cukai tembakau di dalam
tahun 1969/1970 diperkirakan akan
berjumlah Rp 27.500,- juta.
Penerimaan :
27.500,- + 33½% x 27.500,- =
27.500,- + 9.213,- = 36.713
Dibulatkan : 36.720,-

3.2. Cukai Gula 2.400


Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan rata-rata bulanan untuk tahun
1970/1971 diperkirakan : Rp 200,- juta.
(2) Tidak ada perubahan atas harga dasar
pengenaan cukai.
Penerimaan :
12 x 200,- = 2.400,-

3.3. Cukai Bir 180


Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan rata-rata bulanan untuk tahun
1970/1971 diperkirakan : Rp 15,- juta
(2) Tidak ada perubahan atas harga dasar
pengenaan cukai.
Penerimaan :
12 x 15,- = 180,-

104
3.4. Cukai Alkohol Sulingan 160
Asumsi-asumsi :
(1) Penerimaan rata-rata triwulan untuk tahun
1970/1971 diperkirakan : Rp 40,- juta
(2) Tidak ada perubahan atas harga dasar
pengenaan cukai.
Penerimaan :
4 x 40,- = 160,-

3.5. Cukai minyak tanah p.m


(Sudah termasuk di dalam "penerimaan
minyak lainnya").

4. Bea Masuk 78.000


Asumsi-asumsi :
(1) Dutiable imports diperkirakan : US$ 810
juta. Sejumlah US$ 695 juta merupakan
impor dengan BE, sedangkan sisanya
sebesar US$ 115 juta merupakan impor
dengan DP dan devisa bebas lainnya.
(2) NDPBM (Nilai Dasar Perhitungan Bea
Masuk) Rp 325,-/US$.
(3) Tarip rata-rata bea masuk untuk impor
dengan BE adalah : 18%.
(4) Tarip rata-rata bea masuk untuk impor
dengan DP dan devisa bebas adalah :
100%.
Penerimaan :
- Impor dengan BE :
18% x 695 juta x 325,- = 40.657,-
- Impor dengan DP dan devisa bebas
lainnya :
100% x 115 juta x 325,- = 37.375,-
Jumlah = 78.032,-
Dibulatkan : 78.000,-

5. Pajak Devisa Ekspor 7.000


Asumsi-asumsi :
(1) Jumlah ekspor 1970/1971 (di luar minyak)
diperkirakan : US$ 535 juta.
(2) Sejumlah US$ 432,- juta dari jumlah
tersebut merupakan ekspor barang-barang
golongan A.
(3) Bagian Pemerintah Pusat dari hasil ekspor
golongan A tersebut adalah 5%.
(4) Kurs BE : Rp 326,-/US$
Penerimaan :
5% x 432 juta x 326,- = 7.042,-
Dibulatkan : 7.000,-

105
6. Penerimaan Minyak Lainnya 33.600
Asumsi-asumsi :
Diperkirakan adanya kenaikan ongkos produksi
minyak sebesar 10%, kenaikan perbekalan
dalam negeri sebesar 27% dan perubahan-
perubahan lainnya.
Atas dasar itu diperhitungkan bahwa
penerimaan rata-rata per triwulan adalah Rp
Penerimaan :
4 x 8.400,- = 33.600,-

7. Lain-lain 4.250
Unsur-unsurnya :
(a) Bea Materai
(b) Bea Lelang
(c ) Lain-lain
ad (a) :
Asumsi-asumsi :
(1) Peningkatan produksi
(2) Peningkatan intensifikasi pemungutan dan
pengawasan
Realisasi triw.IV-69/70 diperkirakan sebesar
910,- Dalam 1 tahun = 4 x 910,- = 3.640,-.
Akibat asumsi-asumsi di atas, diharapkan
pertambahan penerimaan sebesar 10% x 3.640
= 364,-. Jumlah semua = 3.640 + 364 = 4.004
atau dibulatkan 4.000,-.
ad (b) :
Realisasi th. 1969/70 diperkirakan sebesar 125,-
Untuk tahun 1970/71 diperkirakan berjumlah
150.
ad (c ) :
Realisasi th 1969/70 diperkirakan sebesar 75,-
Untuk tahun 1970/71 diperkirakan diterima
sebesar 100,-. Jadi jumlah semua :
4.000 + 150 + 100 = 4.250,-

C. PENERIMAAN NON-TAX 2.653


Asumsi-asumsi :
(1) Baik terhadap penerimaan-penerimaan
yang berasal dari bagian Pemerintah dari
laba perusahaan-perusahaan Negara,
maupun terhadap penerimaan-penerimaan
departemen (administrative revenues)
diusahakan tindakan-tindakan penertiban
sehingga diharapkan pemasukan
penerimaan akan menjadi lebih lancar lagi.
(2) Penerimaan non-tax ini antara lain terdiri
dari denda overdraft, royalties, hasil-hasil
tagihan Pemerintah, denda-denda lainnya,
dsb., yang semuanya sulit diperkirakan
secara tepat. Perkiraan penerimaan ini
adalah 2.653,-.

106
II. PENERIMAAN PEMBANGUNAN 124.316
1. Kredit Luar Negeri 78.676
Asumsi-asumsi :
(1) Diperkirakan seluruh kredit luar negeri
yang akan diterima berjumlah US$ 340
(2) Dari jumlah tersebut diperkirakan sebesar
US$ 90 juta berupa barang-barang BE dan
US$ 30 juta berupa barang-barang modal
(capitalgoods). Seluruh nilai lawannya
merupakan penerimaan pembangunan.
(3) Sejumlah US$ 80 juta merupakan bantuan
berupa pupuk, kapas kasar dan benang
tenun. Pemerintah memberikan subsidi
untuk barang-barang tersebut sehingga
hanya nilai lawan netto saja yang
merupakan penerimaan pembangunan.
(4) Sisanya sejumlah US$ 140 juta merupakan
bantuan pangan (beras, terigu, dll). Untuk
jumlah ini Pemerintah juga memberikan
subsidi sehingga hanya nilai lawan bersih
saja yang merupakan penerimaan
pembangunan.
(5) Kurs BE : Rp 326,-/US$
Penerimaan nilai-lawan (counterpart) :
- Barang-barang BE dan barang-barang modal :
(90 + 30) juta x Rp 326,- = Rp 39.120 juta.
- Bantuan pupuk :
30 juta x Rp 326,- = Rp 9.780 juta
Subsidi = Rp 3.750 juta
Penerimaan = Rp 6.030 juta
- Bantuan kapas-kasar :
35 juta x Rp 326,- = Rp 11.410 juta
Subsidi = Rp 5.450 juta
Penerimaan = Rp 5.960 juta
- Bantuan benang tenun :
15 juta x Rp 326,- = Rp 4.890 juta
Subsidi = Rp 2.970 juta
Penerimaan = Rp 1.920 juta
- Bantuan beras dan pangan lainnya :
95 juta x Rp 326,- = Rp 30.970 juta
Subsidi = Rp 10.319 juta
Penerimaan = Rp 20.651 juta
- Bantuan terigu :
45 juta x Rp 326,- = Rp 14.670 juta
Subsidi = Rp 9.675 juta
Penerimaan = Rp 4.995 juta

107
- Jumlah seluruh penerimaan :
39.120
6.030
5.960
1.920
20.651
4.995
78.676

2. Bantuan Proyek 45.640


Asumsi-asumsi :
(1) Seluruh bantuan proyek yang dijanjikan
(commitment) berjumlah US$ 260 juta
(2) Dari jumlah tersebut diperkirakan akan
direalisasikan (disbursement) sejumlah
US$ 140 juta.
(3) Kurs penilaian : Rp 326,- /US$
Bantuan proyek dinilai dalam rupiah :
140 juta x Rp 326,- = Rp 45.640 juta

108
Lampiran 2

ANGGARAN RUTIN 1970/1971


(dalam ribuan rupiah)

Mahkamah Kejaksaan Sekretariat Sekretariat Lemb.Non Dep. Dalam Dep. Luar Dep. Dep. Dep. Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen
Jenis Pengeluaran MPRS DPR-GR DPA BPK Dep. Hankam Pemb.& Perhit. JUMLAH
Agung Agung Kepresidenan Negara Dept. Negeri Negeri Kehakiman Penerangan Keuangan Perdagangan Pertanian Perindustrian Pertambangan PU & TL Perhubungan P & K Kesehatan Agama Tenaga Kerja Sosial Transkop.

I. BELANJA PEGAWAI/PENSIUN 50.417,5 132.345,8 14.866,5 57.032,3 15.198,7 921.546,7 32.263,8 195.274,6 371.120,9 1.237.118,0 2.956.501,6 60.495.227,0 1.803.078,5 1.238.461,9 2.354.381,4 17.026.841,8 364.183,9 749.167,6 415.058,8 161.719,3 443.135,8 1.033.106,1 14.022.941,7 2.214.149,3 9.821.288,5 345.324,4 412.593,3 555.533,9 119.439.879,6
Pegawai Negeri
Tunjangan beras 3.127,3 9.419,8 1.461,6 9.817,9 3.238,2 219.572,6 15.732,4 49.324,0 126.239,4 260.646,1 23.426,0 16.479.318,0 457.095,3 264.078,4 596.688,3 - 63.271,0 208.341,0 76.459,2 37.966,3 130.417,6 326.007,4 2.590.368,5 803.428,9 3.034.422,7 88.860,2 86.420,9 150.129,0 26.115.278,0
Gaji/Upah 4.209,5 11.974,6 1.903,4 16.019,9 5.059,3 332.595,0 7.513,5 58.103,0 115.089,3 353.483,9 50.889,6 19.319.582,0 538.675,0 404.557,1 749.856,5 - 110.376,4 239.129,8 141.675,3 56.058,7 140.214,7 284.944,3 4.649.275,9 665.233,9 2.924.352,4 111.997,4 117.188,5 187.117,1 31.597.076,0
Tunjangan umum 1.514,3 4.610,7 732,9 6.168,3 1.927,7 129.518,4 2.893,0 22.372,1 44.314,2 136.106,5 19.594,6 7.269.039,0 204.696,5 163.559,9 288.712,1 - 42.499,3 92.322,8 52.208,8 21.584,9 53.988,5 109.715,4 1.791.549,4 254.542,8 1.125.997,3 43.143,2 45.270,8 72.047,8 12.000.631,2
Kenaikan gaji 50% 2.861,9 8.292,7 1.318,1 11.094,1 3.493,5 231.056,7 5.203,3 40.237,6 79.701,8 244.795,0 35.242,1 13.073.810,0 371.685,7 297.908,1 519.284,5 - 76.437,2 165.225,9 96.942,1 38.821,8 97.101,7 197.329,9 3.220.412,7 459.888,3 2.025.174,8 73.876,5 77.364,9 129.582,5 21.584.143,4
Pejabat Negara
Tunjangan beras penj. khusus 63,0 5.216,4 340,2 264,6 - - 113,4 289,8 - - - - - 12.474,0 - - - - - - - - - - 18.761,4
Tunjangan pokok penj. khusus 930,0 50.010,0 3.390,0 2.850,0 - - 450,0 4.692,0 - - - - - 27.700,0 - - - - - - - - - - 90.022,0
Tunjangan umum penj.khusus 37.411,5 27.505,1 1.864,5 1.567,5 - - - 2.392,9 - - - - 61.200,0 - - - - - - - - - 19.000,0 - 150.941,5
Pensiun
Pensiun pokok 7.269.857,6 - - - - - - - - 7.269.857,6
Tunjangan beras 4.600.000,0 - - - - - - - - 4.600.000,0
Tunjangan umum 829.984,2 - - - - - - - - 829.984,2
Lain-lain Belanja Pegawai
Honorarium dan vakasi - 14.621,3 3.780,0 5.250,0 - 1.359,0 - 15.100,0 256,0 2.291,0 300,0 100.000,0 12.391,2 5.000,0 20.500,0 2.466.000,0 3.000,0 12.200,0 7.083,8 2.802,9 4.697,6 28.494,4 1.300.000,0 10.500,0 517.090,1 3.032,0 3.000,0 3.000,0 4.541.749,3
Uang lembur 300,0 570,2 75,8 1.000,0 750,0 2.645,0 358,2 2.763,2 5.520,2 10.099,5 1.000,0 35.000,0 42.326,0 20.287,4 98.440,0 - 10.000,0 11.956,5 7.083,8 2.802,9 7.010,8 23.401,1 61.281,0 19.006,7 3.960,0 3.199,9 3.348,2 10.657,5 384.843,9
Belanja pegawai lain-lain DN - 125,0 - 3.000,0 730,0 4.800,0 - - - 229.696,0 - 3.308.962,0 53.430,8 - 8.400,0 1.840.000,0 1.000,0 1.027,6 4.250,3 1.681,8 9.704,9 15.329,1 287.054,2 1.548,7 190.291,2 21.215,2 80.000,0 3.000,0 6.065.246,8
Belanja pegawai Luar Negeri - - - - - - - - - - 2.826.049,3 909.516,0 61.578,0 42.897,0 72.500,0 21.000,0 57.600,0 18.964,0 29.355,5 - - 47.884,5 104.000,0 - 4.191.344,3

II. BELANJA BARANG 96.325,2 500.883,2 43.615,2 131.833,2 26.145,0 430.419,0 764.562,0 631.082,4 361.074,5 503.896,8 3.029.440,0 42.511.888,8 1.496.696,8 1.234.975,0 3.501.397,8 3.445.547,0 278.500,0 477.234,3 392.343,6 82.605,6 1.037.883,6 1.656.023,0 2.677.951,6 2.288.650,0 652.349,1 496.813,6 483.650,0 209.632,5 69.443.418,8
Uang makan/lauk-pauk - - - - - - - - - - - 10.791.756,0 662.094,0 - 24.574,7 - - 42.500,0 - - 7.776,0 181.768,0 - 978.200,0 179.380,0 12.868.048,7
Belanja Barang Dalam Negeri 93.125,2 465.883,2 43.615,2 130.233,2 26.145,0 394.119,0 623.877,2 561.461,6 289.300,7 - 337.430,0 26.458.676,8 817.112,8 978.100,0 3.421.213,1 3.445.547,0 241.000,0 411.200,0 360.663,6 79.441,3 960.847,6 1.440.430,0 2.331.951,6 1.290.650,0 619.349,1 439.469,5 299.020,0 209.632,5 46.769.495,2
Belanja Barang Luar Negeri 3.200,0 35.000,0 - 1.600,0 - 36.300,0 140.684,8 69.620,8 71.773,8 503.896,8 2.692.010,0 5.261.456,0 17.490,0 256.875,0 55.610,0 - 37.500,0 23.534,3 31.680,0 3.164,3 69.260,0 33.825,0 346.000,0 19.800,0 33.000,0 57.344,1 5.250,0 9.805.874,9

III. SUBSIDI/PERIMBANGAN KEUANGAN 53.218.666,7 53.218.666,7

IV. BUNGA/CICILAN HUTANG 31.373.581,9 31.373.581,9


Hutang Dalam Negeri 11.100.000,0 11.100.000,0
Hutang Luar Negeri 20.273.581,9 20.273.581,9

V. LAIN-LAIN PENGELUARAN RUTIN 10.000.000,0 10.000.000,0

146.742,7 633.229,0 58.481,7 188.865,5 41.343,7 1.351.965,7 796.825,8 826.357,0 732.195,4 1.741.014,8 5.985.941,6 103.007.115,8 3.299.775,3 2.473.436,9 5.855.779,2 115.064.637,4 642.683,9 1.226.401,9 807.402,4 244.324,9 1.481.019,4 2.689.129,1 16.700.893,3 4.502.799,3 10.473.637,6 842.138,0 896.243,3 765.166,4 283.475.547,0

109
Lampiran 3 a

ANGGARAN PEMBANGUNAN 1970/1971


(dalam ribuan rupiah)

Mahkamah Kejaksaan Sekretariat Sekretariat Lemb.Non Dep. Dalam Dep. Luar Dep. Dep. Dep. Dep. Bag. Pemb.& Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen
No. Kode Bidang / Sektor MPRS DPR-GR DPA BPK JUMLAH
Agung Agung Kepresidenan Negara Dept. Negeri Negeri Hankam Kehakiman Penerangan Keuangan Perhit. Perdagangan Pertanian Perindustrian Pertambangan PU & TL Perhubungan P & K Kesehatan Agama Tenaga Kerja Sosial Transkop.

1 BIDANG EKONOMI 100.000 19.790.000 5.387.000 1.321.000 836.700 42.590.000 10.673.000 135.635 811.000 81.644.335
1.1. Sektor Pertanian dan Irigasi 5.387.000 20.080.000 811.000 26.278.000
1.2. Sektor Industri dan Pertambangan 1.321.000 836.700 2.157.700
1.3. Sektor Tenaga Listrik 8.620.000 8.620.000
1.4. Sektor Perhubungan dan Pariwisata 13.890.000 10.673.000 24.563.000
1.5. Sektor Pembangunan Daerah dan Desa 100.000 14.790.000 135.635 15.025.635
1.6. Sektor Penyertaan Pemerintah 5.000.000 5.000.000

2 BIDANG SOSIAL 55.000 266.000 415.000 536.484 551.000 2.900 940.500 800.000 107.200 2.350.000 607.000 452.500 4.400 2.731.000 140.000 5.650.000 4.196.000 930.600 200.665 264.800 410.500 21.611.549
2.1. Sektor Agama 300.000 319.250 619.250
2.2. Sektor Pendidikan dan Kebudayaan 13.000 115.000 536.484 551.000 2.900 40.332 96.000 107.200 250.000 607.000 452.500 4.400 416.000 140.000 5.650.000 252.400 611.350 193.665 23.320 410.500 10.473.051
2.3. Sektor Tenaga Kerja dan Penduduk 1.600.000 7.000 1.607.000
2.4. Sektor Kesehatan dan Keluarga Berencana 500.000 3.925.600 4.425.600
2.5. Sektor Perumahan, Kesejahteraan Sosial dan 2.315.000 18.000 241.480 2.574.480
Penyediaan Air Minm
2.6. Sektor Penerangan 704.000 704.000
2.7. Sektor Tertib Hukum 55.000 253.000 900.168 1.208.168

3 BIDANG UMUM 133.000 667.000 27.000 67.000 54.000 306.500 207.516 843.000 311.100 4.500.000 206.000 1.492.800 406.500 522.500 576.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 169.400 71.500 54.900 138.500 12.528.116
3.1. Sektor Pemerintah Umum 133.000 27.000 66.062 54.000 306.500 207.516 843.000 311.100 206.000 27.500 522.500 576.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 169.400 71.500 54.900 138.500 5.488.378
3.2. Sektor Pertahanan dan Keamanan 4.500.000 4.500.000
3.3. Sektor Badan-badan Perwakilan 667.000 667.000
3.4. Sektor Pengurusan Keuangan Negara 938 1.492.800 379.000 1.872.738

Jumlah 133.000 667.000 27.000 67.000 55.000 266.000 54.000 721.500 744.000 1.494.000 314.000 4.500.000 940.500 1.006.000 1.600.000 22.546.500 522.500 6.570.000 2.073.500 1.002.000 46.000.000 11.043.000 5.850.000 4.400.000 1.100.000 407.800 319.700 1.360.000 115.784.000

110
Lampiran 3 b

RANCANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN 1970/1971


BIDANG EKONOMI
(dalam ribuan rupiah)

Mahkamah Kejaksaan Sekretariat Sekretariat Lemb.Non Dep. Dalam Dep. Luar Dep. Dep. Dep. Dep. Bag. Pemb.& Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen
No. Kode Bidang / Sektor MPRS DPR-GR DPA BPK JUMLAH
Agung Agung Kepresidenan Negara Dept. Negeri Negeri Hankam Kehakiman Penerangan Keuangan Perhit. Perdagangan Pertanian Perindustrian Pertambangan PU & TL Perhubungan P&K Kesehatan Agama Tenaga Kerja Sosial Transkop.

1.1 Sektor Pertanian dan Irigasi 5.387.000 20.080.000 811.000 26.278.000


1.1.1. Sub Sektor Pertanian 4.917.000 4.917.000
1.1.1.1 Program Peningkatan Produksi Bahan Makanan 2.958.000 2.958.000
1.1.1.2 Program Peningkatan Produksi Hasil Perkebunan 518.000 518.000
1.1.1.3 Program Peningkatan Produksi Hasil Perikanan 518.000 518.000
1.1.1.4 Program Peningkatan Produksi Hasil Kehutanan &
Pembinaan Hutan 484.000 484.000
1.1.1.5 Program Peningkatan Produksi Peternakan 439.000 439.000

1.1.2. Sub Sektor Irigasi 470.000 20.080.000 811.000 21.361.000


1.1.2.1 Program Penyelamatan Tanah dan Air 470.000 470.000
1.1.2.2 Program Perbaikan Irigasi 8.580.000 8.580.000
1.1.2.3 Program Perluasan Irigasi 3.966.500 3.966.500
1.1.2.4 Program Perbaikan dan Pengamanan Sungai 1.011.000 1.011.000
1.1.2.5 Program Pembangunan Irigasi lainnya 6.522.500 811.000 7.333.500

1.2. Sektor Industri dan Pertambangan 1.321.000 836.700 2.157.700


1.2.1. Sub Sektor Industri 1.321.000 1.321.000
1.2.1.1 Program Pembinaan Industri Ringan & Ker. Rakyat 1.000.000 1.000.000
1.2.1.2 Program Pemanfaatan Proyek-proyek tertunda 186.000 186.000
1.2.1.3 Program Pengembangan Industri 135.000 135.000

1.2.2. Sub Sektor Pertambangan 836.700 836.700


1.2.2.1. Program Penelitian Minyak dan Gas bumi 135.000 135.000
1.2.2.2. Program Perbaikan Pertambangan Timah 0
1.2.2.3. Program Perbaikan Pertambangan Batu Bara 0
1.2.2.4. Program Peningkatan Kegiatan Gesloge 408.200 408.200
1.2.2.5. Program Perbaikan Fasilitas Pembinaan Pertambangan 293.500 293.500

1.3. Sektor Tenaga Listrik 8.620.000 8.620.000


1.3.1. Sub Sektor Tenaga Listrik 8.620.000 8.620.000
1.3.1.1. Program Peningkatan Tenaga Listrik 8.620.000 8.620.000

1.4. Sektor Perhubungan dan Pariwisata 13.890.000 10.673.000 24.563.000


1.4.1. Sub Sektor Perhubungan 13.890.000 10.623.000 24.513.000
1.4.1.1. Program Perbaikan Prasarana Perhubungan Darat
(jalan dan jembatan) 13.890.000 13.890.000
1.4.1.2. Program Peningkatan Fasilitas Angkutan Jalan 90.000 90.000
1.4.1.3. Program Peningkatan dan Perbaikan Angkutan Kereta Api 2.685.000 2.685.000
1.4.1.4. Program Perbaikan Prasaan Perhubungan Laut 3.170.000 3.170.000
1.4.1.5. Program Perbaikan Armada Niaga
1.4.1.6. Program Peningkatan Fasilitas Sungai, Pembinaan
Sungai dan Anggutan Sungai 92.000 92.000
1.4.1.7. Program Perbaikan Prasarana Perhubungan Udara 2.000.000 2.000.000
1.4.1.8. Program Pembinaan Armada Udara Niaga
1.4.1.9. Program Peningkatan Jasa Pos dan Giro 121.000 121.000
1.4.1.10. Program Perbaikan dan Peningkatan Jasa Telekomunikasi 2.100.000 2.100.000
1.4.1.11. Program Peningkatan Sarana Pembangunan 365.000 365.000

1.4.2. Sub Sektor Pariwisata 50.000 50.000


1.4.2.1. Program Pengembangan Pariwisata 50.000 50.000

1.5. Sektor Pembangunan Daerah dan Desa 100.000 14.790.000 135.635 15.025.635
1.5.1. Subsektor Desa 100.000 5.590.000 135.635 5.825.635
1.5.1.1. Program pembangunan Desa 5.590.000 135.635 5.725.635
1.5.1.2. Program Tata Agraria 100.000 100.000

1.5.2. Sub Sektor Daerah 9.200.000 9.200.000


1.5.2.1. Program Pembangunan Daerah Tk. II 5.700.000 5.700.000
1.5.2.2. Program Pembangunan Daerah Irian Barat 3.500.000 3.500.000

1.6. Sektor Penyertaan Pemerintah 5.000.000 5.000.000


1.6.1. Sub Sektor Kredit Investasi 5.000.000 5.000.000
1.6.1.1. Program Kredit Investasi melalui Perbankan 5.000.000 5.000.000

Jumlah 100.000 0 0 0 0 0 19.790.000 0 5.387.000 1.321.000 836.700 42.590.000 10.673.000 0 0 0 135.635 0 811.000 81.644.335

111
Lampiran 3 c

RANCANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN 1970/1971


BIDANG SOSIAL
(dalam ribuan rupiah)

Mahkamah Kejaksaan Sekretariat Sekretariat Bdn/Lemb. Dep. Dalam Dep. Luar Dep. Dep. Dep. Dep. Bag. Pemb.& Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen
No. Kode Bidang / Sektor MPRS DPR-GR DPA BPK JUMLAH
Agung Agung Kepresidenan Negara Non Dept. Negeri Negeri Hankam Kehakiman Penerangan Keuangan Perhit. Perdagangan Pertanian Perindustrian Pertambangan PU & TL Perhubungan P&K Kesehatan Agama Tenaga Kerja Sosial Transkop.

2.1 Sektor Agama 300.000 319.250 619.250


2.1.1. Sub Sektor Agama 300.000 319.250 619.250
2.1.1.1 Program Penyediaan Sarana Kehidupan Beragama 207.750 207.750
2.1.1.2 Program Penerangan dan Bimbingan Agama 63.500 63.500
2.1.1.3 Program Peningkatan Kesejahteraan Perjalanan Haji/Ziarah 23.000 23.000
2.1.1.4 Program Pengawasan dan Bantuan kepada Lembaga-
lembaga Keagamaan Swasta 25.000 25.000
2.1.1.5 Program Pembangunan Masjid Istiqlal 300.000 300.000

2.2. Sektor Pendidikan dan Kebudayaan 13.000 115.000 536.484 551.000 2.900 40.332 96.000 107.200 250.000 607.000 452.500 4.400 416.000 140.000 5.650.000 252.400 611.350 193.665 23.320 410.500 10.473.051
2.2.1. Sub Sektor Pendidikan 5.320.000 5.320.000
2.2.1.1 Program Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar 360.000 360.000
2.2.1.2 Program Penambahan Pendidikan Kejuruan pada
Sekolah Lanjutan Umum 500.000 500.000
2.2.1.3. Program Peningkatan Pendidikan Teknik dan Kejuruan 2.161.000 2.161.000
2.2.1.4. Program Peningkatan Pendidikan Guru 239.000 239.000
2.2.1.5. Program Pembinaan Perguruan Tinggi 1.800.000 1.800.000
2.2.1.6. Program Peningkatan Pendidikan Masyarakat dan
Orang Dewasa 160.000 160.000
2.2.1.7. Program Pengembangan Pendidikan 100.000 100.000

2.2.2. Sub Sektor Kebudayaan 90.000 330.000 420.000


2.2.2.1. Program Pengembangan Kebudayaan Nasional 90.000 210.000 300.000
2.2.2.2. Program Peningkatan Kegiatan Olah Raga 120.000 120.000

2.2.3. Sub Sektor Pendidikan dan Penelitian Institutional 13.000 25.000 536.484 551.000 2.900 40.332 96.000 107.200 250.000 607.000 452.500 4.400 416.000 140.000 252.400 611.350 193.665 23.320 410.500 4.733.051
2.2.3.1 Program Pendidikan & Latihan Institutionil 13.000 278.834 551.000 2.900 40.332 61.500 107.200 449.000 182.500 4.400 166.000 140.000 197.400 586.350 171.665 19.800 290.000 3.261.881
2.2.3.2 Program Peningkatan Penelitian/Survey 25.000 257.650 34.500 250.000 158.000 270.000 250.000 55.000 25.000 22.000 3.520 120.500 1.471.170

2.3. Sektor Tenaga Kerja dan Penduduk 1.600.000 7.000 1.607.000


2.3.1. Sub Sektor Tenaga Kerja 100.000 7.000 107.000
2.3.1.1. Program Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja 100.000 100.000
2.3.1.2. Program Pembinaan Keahlian dan Kejuruan 5.000 5.000
2.3.1.3. Program Pembinaan Norma-norma Perlindungan Kerja 2.000 2.000

2.3.2. Sub Sektor Penduduk 1.500.000 1.500.000


2.3.2.1. Program Sensus Penduduk 1.500.000 1.500.000

2.4. Sektor Kesehatan dan Keluarga Berencana 500.000 3.925.600 4.425.600


2.4.1. Sub Sektor Kesehatan 3.925.600 3.925.600
2.4.1.1. Program Pendidikan Kesehatan Masyarakat 46.000 46.000
2.4.1.2. Program Pengembangan Infrastruktur Kesehatan 1.589.900 1.589.900
2.4.1.3. Program Pemberantasan Penyakit Menular 1.047.574 1.047.574
2.4.1.4. Program Pemulihan dan Peningkatan Kesehatan 72.100 72.100
2.4.1.5. Program Pengadaan Obat-obatan dan Alat-alat Kesehatan 1.170.026 1.170.026

2.4.2. Sub Sektor Keluarga Berencana 500.000


2.4.2.1. Program Pembinaan Keluarga Berencana 500.000 500.000

2.5. Sektor Perumahan Kesejahteraan Sosial dan


Penyediaan Air Minum 2.315.000 18.000 241.480 2.574.480
2.5.1. Sub Sektor Perumahan Rakyat,Tata Kota dan Tata Daerah 420.000 420.000
2.5.1.1. Program Penyuluhan Pembangunan Perumahan Kota
dan Perumahan Desa 300.000 300.000
2.5.1.2. Program Perencanaan Tata Kota dan Tata Daerah 120.000 120.000

2.5.2. Sub Sektor Kesejahteraan Sosial 241.480 241.480


2.5.2.1. Program Pembinaan Kesejahteraan dan Perubahan Sosial 101.480 101.480
2.5.2.2. Program Bantuan/Rehabilitasi Sosial 140.000 140.000

2.5.3. Sub Sektor Air Minum dan Assainering 1.895.000 18.000 1.913.000
2.5.3.1. Program Peningkatan Persediaan Air Minum 1.835.000 18.000 1.853.000
2.5.3.2. Program Peningkatan Assainering 60.000 60.000

2.6. Sektor Penerangan 704.000 704.000


2.6.1. Sub Sektor Penerangan 704.000 704.000
2.6.1.1. Program Peningkatan Penerangan Rakyat/Operasi
2.6.1.2. Penerangan 346.000 346.000
2.6.1.3. Program Pengembangan Alat-alat Mass Media 358.000 358.000

2.7. Sektor Tertib Hukum 55.000 253.000 900.168 1.208.168


2.7.1. Sub Sektor Tertib Hukum 55.000 253.000 900.168 1.208.168
2.7.1.1. Program Pembinaan Tertib Hukum 55.000 253.000 626.000 934.000
2.7.1.2. Program Pemasyarakatan/Reklasering 274.168 274.168

Jumlah 55.000 266.000 415.000 536.484 551.000 2.900 940.500 800.000 107.200 2.350.000 607.000 452.500 4.400 2.731.000 140.000 5.650.000 4.196.000 930.600 200.665 264.800 410.500 21.611.549

112
Lampiran 3 d

RANCANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN 1970/1971


BIDANG UMUM
(dalam ribuan rupiah)

Mahkamah Kejaksaan Sekretariat Sekretariat Bdn/Lemb. Dep. Dalam Dep. Luar Dep. Dep. Dep. Dep. Bag. Pemb.& Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen Departemen
No. Kode Bidang / Sektor MPRS DPR-GR DPA BPK JUMLAH
Agung Agung Kepresidenan Negara Non Dept. Negeri Negeri Hankam Kehakiman Penerangan Keuangan Perhit. Perdagangan Pertanian Perindustrian Pertambangan PU & TL Perhubungan P & K Kesehatan Agama Tenaga Kerja Sosial Transkop.

3.1 Sektor Pemerintahan Umum 133.000 27.000 66.062 54.000 306.500 207.516 843.000 311.100 206.000 27.500 522.500 576.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 169.400 71.500 54.900 138.500 5.488.378
3.1.1. Sub Sektor Pemerintahan Umum 133.000 27.000 66.062 54.000 306.500 207.516 843.000 311.100 206.000 27.500 522.500 576.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 169.400 71.500 54.900 138.500 5.488.378
3.1.1.1 Program Penyem. Efisiensi Aparatur Pemerintahan 8.500 43.500 26.000 27.500 378.500 576.000 6.500 7.500 2.500 1.076.500
3.1.1.2 Program Penyem. Prasarana Fisik Pemerintahan 133.000 27.000 66.062 54.000 298.000 207.516 799.500 311.100 180.000 144.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 162.900 64.000 52.400 138.500 4.411.878

3.2. Sektor Pertahanan dan Keamanan 4.500.000 4.500.000


3.2.1. Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan 4.500.000 4.500.000
3.2.1.1 Program Organisasi dan Pembinaan Tenaga Manusia 1.500.000 1.500.000
3.2.1.2 Program Organisasi dan Pembinaan Tenaga Tempur 1.000.000 1.000.000
3.2.1.3. Program Penelitian dan Pengembangan 500.000 500.000
3.2.1.4. Program Perluasan Potensi Pembangunan 1.500.000 1.500.000

3.3. Sektor Badan-badan Perwakilan 667.000 667.000


3.3.1. Sub Sektor Badan-badan Perwakilan 667.000 667.000
3.3.1.1. Program Peningkatan Produk Legislatif 667.000 667.000

3.4. Sektor Pengurusan Keuangan Negara 938 1.492.800 379.000 1.872.738


3.4.1. Sub Sektor Pengurusan Keuangan Negara 938 1.492.800 379.000 1.872.738
3.4.1.1. Program Peningkatan Penerimaan Negara 1.101.800 379.000 1.480.800
3.4.1.2. Program Peningkatan Efisiensi Pengeluaran Negara 259.000 259.000
3.4.1.3. Program Peningkatan Tata Usaha Keuangan Negara 32.400 32.400
3.4.1.4. Program Peningkatan Pengawasan Keuangan Negara 938 99.600 100.538

Jumlah 133.000 667.000 27.000 67.000 54.000 306.500 207.516 843.000 311.100 4.500.000 206.000 1.492.800 406.500 522.500 576.000 300.000 160.900 679.000 230.000 200.000 204.000 169.400 71.500 54.900 138.500 12.528.116

113
Lampiran 4.

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG NO. TAHUN 1970
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN 1970/1971
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun


anggaran 1970/1971 perlu ditetapkan dengan Undang-undang;
2. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1970/1971 sebagai
“performance budget” adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara kedua dalam masa Pembangunan Lima Tahun I 1969-1974, di
mana sasaran pembangunan mengikuti skala prioritas yang ditetapkan
oleh Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966, khususnya Pasal 25;
3. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1970/1971 sebagai
penuangan daripada pelaksanaan tugas-tugas pokok Kabinet
Pembangunan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, tetap
menempatkan bidang pertanian sebagai titik sentral pembagnunan;
4. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1970/1971 selain
mengutamakan perampungan usaha pembangunan yang telah
dilaksanakan dalam tahun anggaran 1969/1970, juga merupakan
landasan bagi usaha-usaha pembangunan selanjutnya dalam rangka
Pembangunan Lima Tahun.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) jo pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No.XXIII/MPRS/1966;
3. Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968;
4. Undang-undang No.9 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 7 Indische
Comptabiliteitwet (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968
No. 53).
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA TAHUN 1970/1971
Pasal 1
(1) Pendapatan Negara tahun anggaran 1970/1971 diperoleh dari :
a. Sumber-sumber Anggaran Rutin dan
b. Sumber-sumber Anggaran Pembangunan

114
(2) Pendapatan Rutin dimaksud pada ayat (1) sub a menurut perkiraan
berjumlah Rp 320.583.547.000,0
(3) Pendapatan Pembangunan dimaksud pada ayat (1) sub b menurut
perkiraan berjumlah Rp 124.316.000.000,0
(4) Jumlah seluruh pendapatan Negara 1970/1971 menurut perkiraan
berjumlah Rp 444.899.547.000,0
(5) Perincian pendapatan dimaksud pada ayat (2) dan (3) di atas
berturut-turut di muat dalam Lampiran I dan II Undang-undang ini.
Pasal 2
(1) Anggaran Belanja Negara tahun anggaran 1970/1971 terdiri atas :
a. Anggaran Belanja Rutin dan
b. Anggaran Belanja Pembangunan
(2) Anggaran Belanja Rutin dimaksud pada ayat (1) sub a menurut
perkiraan berjumlah Rp 283.475.000,0
(3) Anggaran Belanja Pembangunan dimaksud pada ayat (1) sub b
menurut perkiraan berjumlah Rp 161.424.000.000,0
(4) Jumlah seluruh Anggaran Belanja Negara tahun 1970/1971 menurut
perkiraan berjumlah Rp 444.899.547.000,0
(5) Perincian Pengeluaran dimaksud pada ayat (2) dan (3) di atas
berturut-turut dimuat dalam Lampiran III dan IV Undang-undang
ini.
Pasal 3
(1) Setiap triwulan dibuat laporan realisasi mengenai :
a. Anggaran Pendapatan Rutin,
b. Anggaran Pendapatan Pembangunan,
c. Anggaran Belanja Rutin,
d. Anggaran Belanja Pembangunan.
(2) Setiap triwulan dibuat laporan realisasi mengenai :
a. Kebijaksanaan Perkreditan,
b. Perkembangan lalu lintas pembayaran Luar Negeri
(3) Dalam laporan-laporan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini,
disusun pula prognosa untuk setiap triwulan mendatang.
(4) Badan Pemeriksa Keuangan memberitahukan hasil pemeriksaannya
atas laporan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
(5) Laporan-laporan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dalam pasal ini
dibahas bersama antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
(6) Penyesuaian anggaran dengan perkembangan/perubahan keadaan,
dibahas bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong.

115
Pasal 4
Selambat-lambatnya pada akhir tahun anggaran 1970/1971 oleh
Pemerintah harus diajukan Rancangan Undang-undang tentang
Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tahun 1970/1971 berdasarkan kepada Perubahan/tambahan sebagai hasil
penyesuaian dimaksud dalam pasal 3 ayat (6) untuk mendapatkan
pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Pasal 5
(1) Setelah tahun anggaran 1970/1971 berakhir, dibuat perhitungan
anggaran mengenai pelaksanaan anggaran.
(2) Perhitungan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini setelah diteliti oleh
Badan Pemeriksa Keuangan disampaikan oleh Pemerintah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk mendapatkan
penilaian seperlunya.
Pasal 6
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbendaharaan
(ICW) yang bertentangan dengan bentuk dan susunan Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal …………………...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya, dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta.
Pada tanggal …………………..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
JENDERAL TNI
Diundangkan di Jakarta.
Pada tanggal ………………………
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ALAMSJAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN………NOMOR…….

116
Penjelasan Atas
Undang-undang Nomor ….. Tahun 1970
Tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun 1970/1971

Umum : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1970/1971 adalah


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kedua setelah Tahun Anggaran
diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal
7 Indische Comptabiliteitswet (Lembaran Negara RI Tahun 1968 nomor
53).
Sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kedua yang anggaran
pembangunannya disusun berdasarkan program yang merupakan
manifestasi dari pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun pertama (1969 –
1974), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1970/1971 tetap
menempatkan bidang pertanian sebagai titik sentral pembangunan.
Sebagaimana lazimnya, sesuatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
adalah rencana kerja Pemerintah yang dituangkan dalam angka-angka; dan
untuk tahun anggaran 1970/1971, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara 1970/1971 adalah pengungkapan yang sedemikian itu daripada
tugas-tugas pokok Kabinet Pembangunan. Maka adalah suatu
kebijaksanaan yang wajar, jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dimaksud terutama mementingkan perampungan usaha pembangunan yang
telah dimulai dalam tahun anggaran 1969/1970, disamping menyediakan
dana untuk menampung bantuan proyek serta usaha pembangunan baru.
Dengan tetap dilandaskannya kebijaksanaan ekonomi Indonesia pada
ketetapan MPRS XXIII/MPRS/1966, serta dipertahankannya prinsip
anggaran berimbang yang luwes dan dinamis, maka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara 1970/1971 disusun berdasarkan asumsi-asumsi umum
sebagai berikut :
a. Harus dipertahankan kestabilan moneter yang telah tercapai dalam
tahun anggaran 1969/1970 serta terselenggaranya perkembangan harga
ke arah yang lebih mantap lagi.
b. Dapat ditingkatkannya penerimaan negara meskipun akan diberikan
fasilitas-fasilitas dan perangsang-perangsang fiskal kepada industri-
industri baik industri yang telah ada maupun industri baru dalam rangka
penanaman modal.
c. Target penerimaan negara yang ditetapkan dari sektor perdagangan
Internasional dapat dipertahankan, meskipun adanya penyesuaian dalam
kebijaksanaan ekonomi, antara lain penyesuaian pola impor yang
mendorong kegiatan pembangunan.
d. Tidak terjadi perubahan yang menyolok dalam situasi internasional
yang dapat membawa pengaruh negatif dalam hubungan ekonomi
internasional Republik Indonesia.

117
Adapun sistimatika daripada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
1970/1971 adalah sama dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
1969/1970, sedangkan prinsip, bahwa Anggaran Rutin disusun sedemikian
rupa agar mempunyai efek bagi peningkatan kemampuan pelaksanaan
pembangunan, tetap dipegang teguh. Sejalan dengan prinsip balanced
budget tersebut di atas dan dengan tidak meninggalkan dasar
pertanggungan jawab menurut ketentuan perbendaharaan yang ada dan
berlaku, maka pergeseran antara mata anggaran, pasal dan pos dari sesuatu
bagain anggaran, jika perlu dapat dilakukan. Adapun jika terdapat
kelebihan dalam target tabungan Pemerintah, maka kelebihan itu
hendaknya dipergunakan bagi keperluan anggaran rutin. Disamping itu
juga dibuka kemungkinan adanya penambahan pembiayaan bagi pos-pos
tertentu, jika terdapat surplus dalam penerimaan. Kemungkinan untuk
mengadakan pergeseran dan atau penambahan pembiayaan adalah
bertujuan untuk mempertahankan kemantapan ekonomi serta usaha-usaha
penyempurnaannya.

PASAL DEMI PASAL :


Pasal 1.
Cukup Jelas
Pasal 2.
Cukup Jelas
Pasal 3.
Ayat (1). Cukup Jelas
Ayat (2). Cukup Jelas
Ayat (3). Cukup Jelas
Ayat (4). Maksud daripada adanya ketentuan, bahwa Badan Pemeriksa
Keuangan mengadakan pemeriksaan atas tiap Laporan
Triwulan ini; yang hasil pemeriksaannya disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, ialah bahan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya panitia
Anggaran, bila diadakan pembahasan sesuatu laporan
Triwulan oleh panitia Anggaran.
Ayat (5). Pembahasan dimaksudkan untuk menemukan prinsip-prinsip
dalam menentukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun berikutnya sesuai dengan pasal 5 ayat
(1) jo Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Ayat (6). Cukup Jelas
Pasal 4.
Cukup Jelas

118
Pasal 5.
Prosedure pembahasan perhitungan anggaran menurut pasal 5 ayat (1)
Undang-undang ini dilakukan menurut ketentuan dalam Indische
Comptabiliteitswet sebelum ada Undang-undang perbendaharaan yang
baru.
Pasal 6.
Cukup Jelas
Pasal 7.
Cukup Jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ………….

119

Anda mungkin juga menyukai