Anda di halaman 1dari 74

Draf Final

Hasil Studi Awal

PERTANIAN ALAMI DESA SALASSAE:


Potret Pembelajaran Gerakan Kedaulatan
Pangan

(Studi Pembelajaran Pertanian Alami di Desa Salassae


Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Sulawesi
Selatan)

Tim Peneliti:
Eko Cahyono (Peneliti SAINS),
Budiono Za (Peneliti SAINS),
Kristina Pakpahan (staf peneliti Bina Desa)

Penyunting Bahasa:
Budiono Za

BINA DESA SWABINA

2018

1
I. Konteks Sejarah di Belakang Pertanian Alami Salassae

Pertanian Alami menjadi mekanisme sosial baru bagi warga Salassae untuk keluar dari
kemiskinan, yang dalam situasi sosiologisnya lama mengalami marginalisasi dari zaman ke
zaman, hingga dari itu melahirkan ‘sejarah perlawanan’ dan pola gerakan melawan di setiap
rejim atau sistem yang menghadirkan ketimpangan sosial, atau ketidakadilan. Dalam
menghadapi persoalan-persoalan sosial perdesaan, utamanya kemiskinan, ketimpangan
struktur agraria, Pertanian Alami di sana merupakan sebuah barang baru untuk keluar dari
persoalan tersebut, meski secara praktik ia tak terlalu baru. Sebab sebelum tahun 1980,
tepatnya sebelum revolusi hijau, sistem “pertanian alami lama” kurang lebih memiliki
kesamaan praktik dengan yang saat ini dipraktikkan—meski tidak terlalu tersistematisir seperti
yang diajarkan dalam Pertanian Alami. Sebagai barang baru, Pertanian Alami menjadi alat
konsolidasi penyikapan atas perkara-perkara kampung yang menjadi persoalan sosial saat ini
(sejak tahun kemunculannya, tahun 2011, hingga kini). Persoalan sosial ini sejak dulu ialah
kemiskinan yang datang bersamaan dengan marginalisasi—atau tepatnya adalah eksklusi-sosial
akibat mekanisasi pertanian.

Dalam sejarahnya, di Salassae kondisi persoalan itu diperparah oleh kejadian-kejadian


konflik vertikal yang sebenarnya dialasi oleh persoalan ketimpangan struktur-agraria. Di masa
pemerintahan Kepala Desa Karaeng Heba (19631-1996), muncul gerakan “melawan kepala
desa” yang represif, mengambil alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan, 2 semena-mena
dengan cara halus maupun kasar merampas lahan-lahan subur—gerakan “melawan” itu
bernama “Gong-2000”. Gerakan ini dicanangkan sejak tahun 1988 hingga memuncak pada
tahun 1996 dengan pecahnya peristiwa kepala desa yang “super-power” itu dipermalukan
ditampar di depan publik oleh salah seorang anggota gerakan Gong-2000. 3 Sejak itu pengaruh
dan wibawa kepala desa melorot hingga dijatuhkan dari kursi kekuasaannya. Beberapa warga

1
Dari sesi wawancara dengan beberapa warga, ada yang menyebut ia memerintah dari tahun 1964. Tetapi yang
terkenal ialah pada tahun 1963 Karaeng Heba memegang tampuk pemerintahan dengan menjadi kepala desa
pertama di Desa Salassae. Memang pada tahun 1963 sistem tradisional “satu-kesatuan Adat” Gallarang mulai
dihapus digantikan satu-kesatuan sistem pemerintahan desa. Setidaknya, menurut Muh Nur alias Uro, Karaeng
Heba memerintah sebagai kepala desa di daerah yang kemudian diberi nama Salassae ini selama 32 tahun. Selama
memerintah dengan diktator ia dijuluki oleh warga Puang Allah Ta’ala Allino; “Tuhan yang berkuasa di atas Bumi”.
2
Wawancara dengan kepala desa Haji Jamaluddin Bsw, 8 Agustus 2018; konon saat itu mulai masuk alat-alat berat
penggusur tanah dan pengeruk “becho” masuk kampung.
3
Pelaku penamparan adalah pak Zainudding (alm), wawancara dengan Muh Nur 7 Agustus 2018; dengan Kepala
Desa Haji Jamaluddin, 8 Agustus 2018; menurut keterangan penamparan Kades Karaeng Heba bukan sebuah
insiden spontan tetapi sudah direncanakan secara rapi jauh hari—tujuannya ialah untuk merongrong wibawa dan
pengaruhnya ia harus dipermalukan di depan umum. Dengan cara apa? Ditempeleng. Lalu siapa yang akan
melakukan? Ditunjuklah Pak Zainuddin yang dianggap bisa menjalankan “misi penamparan” tersebut.

2
berseloroh akan hal ini, bahwa Gong-2000 itu mirip gerakan Reformasi menjatuhkan Presiden
Soeharto pada 1998, tetapi heroismenya itu di Salassae lebih cepat terjadi.

Pasca Reformasi 1998-1999, kembali lagi terulang konflik vertikal yang beralaskan
persoalan ketimpangan agraria; pada 2003 terjadi peristiwa gerakan penebangan pohon-pohon
karet di lahan-lahan perkebunan yang di bawah penguasaan PT Lonsum (London Sumatra) oleh
warga masyarakat,4 lalu memunculkan respon aparat kepolisian menerapkan operasi “pagar
betis” dengan mengerahkan seluruh kekuatan Brimob se-provinsi Sulawesi Selatan 5 untuk
menangkap dan memburu para pelaku.6 Lalu peristwa tersebut kini dikenal dengan Peristiwa
“pagar betis”.7 Peristiwa itu—maupun pasca kejadian yang melahirkan aksi perburuan polisi
kepada para pelaku dan dalang peristiwa, banyak menimbulkan permasalahan baru di Desa
Salassae; sejak itu banyak pemuda lari keluar dari kampung. 8 Selain hal itu dilakukan memang
untuk menghindari “penangkapan paksa” pasca kejadian, tentu nyatanya perbuatan itu
terkesan juga “lari dari persoalan sosial” perdesaan yakni kemiskinan yang menghimpit mereka.
Pilihan keluar desa menuju kota bekerja di sektor informal, seperti menjadi sopir angkot, atau
sopir, ada pula yang pergi ke Malaysia jadi TKI, atau ke Kalimantan, seolah satu-satunya cara
melepaskan diri dari himpitan itu. Pertanian yang lazim menjadi moda-produksi utama
perdesaan tak berkesan lagi di hati mereka—yang kemudian kelak di antara pemuda ini
menjadi motor penggerak dan penganjur Pertanian Alami. Dan tentu sesuatu yang menggelitik
jika ternyata para penggerak dan penganjur Pertanian Alami itu adalah para mantan TKI dan
tidak memiliki dasar pengalaman bertani sawah sebelumnya. 9

I. A. Sejarah Kampung dan Tenurial Lama


Alam dan suhu ruang di Salassae cenderung sejuk dan dingin, tidak terlalu panas seperti
di Makassar. Iklim di Salassae saat dilakukan kaji-tindak ini masih didapati hari yang hujan, 10
sementara di Makassar sudah terbilang kemarau, 11 suhu ruangnya begitu panas. Demikian juga
di beberapa kota kabupaten di sekitarnya seperti di Gowa, Takalar. Jeneponto sendiri yang
bertetangga dengan Bulukumba masih cenderung panas, tetapi memasuki Bulukumba dan
4
Wawancara dengan Armin, 10 Agustus 2018; dengan Uro aka Muh Nur, 8 Agustus 2018; dengan Abdul Wahid, 11
Agustus 2018; gerakan ini merupakan gerakan rakyat yang melakukan protes dengan cara menebangi pohon-
pohon karet yang berada di lahan-lahan HGU, perkebunan rakyat, atau hutan adat. Operasi pagar betis atas
Gerakan ini menimbulkan korban jiwa 2 orang dari pihak rakyat meninggal dunia di hari itu, selain itu juga jatuh
korban luka-luka dari pihak rakyat. Sementara dalam catatan Lily N. Batara, akibat bentrokan hari itu jatuh korban
3 orang tewas, beberapa lainnya luka-luka, dan sekitar 24 orang petani ditangkap dan dipenjara; baca Catatan Lily
N. Batara, Sejarah Pertanian Alami di Salassae, (tt). Potret Salassae: Kini dan Dulu; (tidak dipublikasikan).
5
Wawancara dengan Armin Salassa, 8 Agustus 2018.
6
Wawancara dengan Swandi, 9 Agustus 2018; ia bercerita ketika ia lari menembus sawah, kebun, hutan, sungai
bersama Abdul Wahid; Wawancara dengan Abdul Wahid, 11 Agustus 2018.
7
Wawancara Swandi, 8 Agustus 2018; dengan Wahid 10 Agustus 2018.
8
Wawancara dengan Pak Ali, ayahanda Abdul Wahid, 11 Agustus 2018.
9
Wawancara dengan Armin Salassa, 8 Agustus 2018.
10
Riset ini dilangsungkan pada pertengahan bulan Agustus 2018.
11
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.

3
tepatnya di Desa Salassae udara menjadi se juk. Menurut keterangan warga Desa Salassae
berada di dataran lebih tinggi dari pada kota kabupaten lain seperti Makassar, Gowa, Takalar,
Jeneponto. Ketinggian Salassae rata-rata 450-800 mdpl dengan suhu rata-rata harian 26 o C.
Musim tanam padi di Makassar agak cepat dari pada di Salassae atau Bulukumba pada
umumnya. Di Makassar musim hujan jatuh di bulan 11 (November) lebih cepat. Bulan 9 dan 10
justru terjadi kemarau di Salassae, berbeda satu bulan dengan Makassar. 12

Desa Salassae berbentuk memanjang mengikuti jalan poros Bonto Mangiring-Salassae-


Bulobulo yang membelah perkampungan dari Barat ke Timur; jika dihitung secara kasar
menggunakan ukuran meter panjang desa kurang lebih 8 Km, tetapi secara persegi luas desa
kurang lebih 10,8 Km2. Salassae di Utara berbatasan dengan Desa Jojjolo, di Timur berbatasan
dengan Desa Bontomangiring, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Palampang,
Botoharu, dan Ka’rama. Sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bulobulo.
Populasi penduduknya sekitar 4000-an jiwa, dengan 884 kepala keluarga. Ia memiliki batas
alam di Selatan dan Utaranya berupa dua bilah sungai yang memiliki arti penting dalam
“sejarah kampung” orang-orang Konjo: Sungai Saluju’e di Selatan dan Sungai Anyorang di
sebelah Utara. Konon warga zaman dulu banyak tinggal di pinggiran sungai-sungai ini, hingga
kemudian mereka diperintahkan untuk pindah membuat pemukiman menjauh dari sungai sejak
1967.13

“Dulu kita punya desa ini kampung di atas gunung, di jalanan, cuman kita tinggal di
bawah tidak ada (yang) suka. Tapi pada masa pemerintahan Orde Baru yang lalu
(tinggal) di bawah di (pinggir) sungai itu, biar punya pendapatan disuruh (pindah).
Alasan pemerintah pada waktu itu (biar) mudah, mudah artinya dalam segala
sesuatunya. Mudah dipanggil kerja apa segala macam. Itu satu juga kebaikan, ya. Iya
dulu itu memang diancam, dulu ndak ada orang (di kampung utama), (tapi) sudah ada
sawah, kebunnya, (irigasi) airnya sudah ini (dibangun), lengkap—tidak ada susahnya
hidup kekde. Artinya sudah berdaya masyarakat kampung sendiri, ya toh. Setelah
penggusuran, tidak ada (penduduk yang tertinggal lagi di pinggir-pinggir sungai).
Sappelah pengalaman ini jadi cerita buat anak cucu…,” Pak Ali, ayahanda Abdul Wahid,
seorang petani Alami.14

12
Wawancara dengan Arman Tanggung, 7 Agustus 2018.
13
Sampai tahun 1967 masih banyak warga tinggal di pinggir sungai; hal ini sejalan dengan adat tradisi orang Konjo
yang melestarikan budidaya ikan tawar menurut sistem adat Sengka. Namun kemudian warga dipaksa untuk
berpindah membentuk pemukiman menjauh dari sungai (resettlement). Upaya ini berlangsung saat periode awal
Karaeng Heba menjadi kepala desa. Wawancara FGD kecil di Balai, 7 Agustus 2018; wawancara dengan Kades Haji
Jamaludding, 8 Agustus 2018.
14
Wawancara FGD kecil di Balai, 7 Agustus 2018; dengan Muh Nur, Arman Tanggung, Pak Ali, Sri Suwandy al
Wangdi, dll.

4
Meski demikian, pada sungai masih terdapat pranata adat yang berlaku dalam budidaya
perikanan ala adat mengikuti topografi sungai sampai sekarang. Kearifan adat mereka tak
hanya memberi kesempatan pada warga untuk memanfaatkan air, sungai dan ikan liarnya
sebagai sumber protein, tetapi juga mengajarkan untuk memelihari ekologi sungai. Praktik ini
disebut Sengka, yakni rekayasa pengaturan arus dan aliran sungai dengan cara dibendung lalu
dibuat aliran kecil masuk ke kolam-kolam yang dibuat di pinggirnya. Ini mirip metode retarding
basin (metode pengendalian banjir dengan cara dibuat sodetan untuk mengisi kolam di pinggir
sungai) yakni cara mengatur volume arus air sungai untuk pengendalian banjir secara
tradisional. Namun tak sekedar pengaturan arus, kedalamnya dibuat rekayasa bagaimana agar
ikan-ikan liar di sungai masuk ke Sengka. Tenré ialah tata-cara mengatur dan memanfaatkan
arus aliran sungai untuk menciptakan “kolam-kolam” buatan tersebut dengan memanfaatkan
badan sungai, dengan arus aliran air yang dibelokkan ke dalamnya ikan-ikan pun turut masuk.

Aturan adat menjaga tata laku budidaya ikan tradisional ini tetap alami. Sengka ini
bahkan dikonsep oleh adat dan dilindungi oleh adat pula. Setiap sengka tidak bisa sembarangan
dimasuki oleh orang selain yang mengurusnya, apalagi diracun. Karena itu ikan-ikan di sungai
tidak boleh diracun, sehingga sungai juga bebas dari racun. 15 Biasanya ikan yang dipelihara di
dalam kolam-kolam buatan ini bukan ikan yang didatangkan dari luar (non-endemik) tetapi ikan
tempatan (indigenous) yang hidup di sepanjang aliran sungai, sehingga dari aspek ini pengurus
sengka tidak perlu modal untuk memelihara ikan, tinggal mengkondisikan badan sungai diatur
menjadi sengka dengan sedemikian rupa sekiranya ikan-ikan singgah dan tinggal di dalamnya. 16
Demikianlah gambaran pemanfaatan lahan-ruang ekologi-ekosistem sungai yang juga sampai
saat ini masih berjalan.

Nama Desa Salassae diambil dari kata ‘Salassa’ memiliki arti ‘Rumah besar’.17 Dalam
kronik sejarah tuturan warga (flokfore), nama “desa” mulanya adalah Bulukumpa Toa, yakni
suatu nama untuk gallarang.18 Gallarang merupakan nama satu-kesatuan adat yang mencakupi
suatu wilayah yang berafiliasi dengan satu konsep nilai adat atau pranata adat. Malah

15
Wawancara dengan Kades Haji Jamaluddin, 8 Agustus 2018;
16
Belakangan Dinas perikanan, menurut penjelasan Kades Haji Jamaluddin, sudah melirik hal ini sebagai potensi
pemberdayaan masyarakat berbasis perikanan tawar, artinya konsep sengka diadopsi untuk budidaya perikanan
air tawar. Di pinggir-pinggir sungai Salajue, katanya, sudah dipasang beberapa pompa menarik air untuk mengisi
“sengka” atau kolam yang diandaikan menurut pola adat untuk pemeliharaan ikan. Paduan pendekatan baru, cara
mutakhir dan cara lama yang datang dari kearifan lokal ini mendatangkan kelebihan atau pendekatan itu telah
berhasil menangkap potensi lokal yang ada untuk atau sebagai wahana pemberdayaan masyarakat di sekitar
sungai-sungai di Salassae. Wawancara 8 Agustus 2018.
17
Desa Salassae dulu merupakan wilayah kerajaan kecil dan pusat memakmurkan adat-istiadat sehingga
tersebutlah adanya Salassa, yakni rumah besar atau rumah adat yang dipakai sebagai pusat kegiatan adat di masa
lalu. Pusat ini bernama Bulukumpa Toa, atau Bulukumpa lama. Bulukumpa Toa ini merupakan salah satu gallarang,
wawancara dengan Swandi, 7 Agustus 2018.
18
Wilayah satuan adat, setingkat desa tetapi wilayah cakupannya lebih luas dibanding desa secara administratif
saat ini. Jika dilihat dari luasan cakupannya mirip dengan luasan administratif kecamatan untuk saat ini;
wawancara dengan Kepala Desa Salassae, Haji Jamaluddin, 8 Agustus 2018.

5
Bulukumpa Toa dulu diyakini sebagai kerjaan kecil. 19 Yang memerintah di sana adik dari Raja
Goa.20 Sebelum desa ditetapkan, dan diberinama Salassae sekira tahun 1963, 21 saat itu terdapat
3 galarang,22 salah satunya yaitu galarang Bulukumpa Toa itu. Secara menyeluruh semua
gallarang di wilayah yang saat ini sebagian mayoritas berada di daerah Kabupaten Bulukumba
sebenarnya berjumlah 7 gallarang.23 Desa Salassae sendiri konon merupakan Pusat kegiatan
atau keramaian pemakmuran adat di wilayah yang saat ini menjadi wilayah administrasi
Kabupaten Bulukumba. Lalu pada akhir tahun 1980-an Bulukumpa Toa dipecah lagi, hingga saat
ini, menjadi dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Alle’. 24
Suatu wilayah yang diyakini oleh orang Konjo sebagai wilayah kesatuan ‘Bulukumpa Toa’ saat
itu yang kini telah menjadi 3 (tiga) desa, yakni Desa Bulo-bulo, Desa Salassae, dan Desa
Bontomangiring.25

Salassae ditengarai sebagai pusat atau tempat situs utama di mana di masa lalu pernah
ada sistem tata-kelola gallarang.26 Sebab di sana terdapat satu dusun yang bernama Dusun
Batutujua, yang diambil dari satu situs artefak masalalu berupa batu tujuh—dimana di batu-
batu ini konon dulu para tetua adat dari 7 (tujuh) gallarang berkumpul membahas atau
memusyawarahkan perkara-perkara hajat hidup orang banyak atau hal-ihwal adat mereka.
Pemukiman adat di Gallarang Bulukumpa Toa, sesuai situs-situs tinggalannya, ada di dusun
yang saat ini diberinama ‘Dusun Batutujuah’. 27 Secara harfiah nama dusun ini memang berarti
“batu-tujuh”.28 Batu tujuh ini konon (Lihat gambar/foto situs Batutujuah) merupakan tempat
pertemuan para tetua adat 7 gallarang saat bermusyawarah di Galarang Bulukumpa Toa dalam
menentukan hal-hal penting yang berkaitan dengan hajat hidup warga, satu contoh antara lain
ialah penetapan musim tanam padi.29 Adapun situs batu-tujuh sampai saat ini masih ada,
letaknya di tengah kebun karet warga, disana terdapat batu buat duduk para tetua adat
sejumlah 7 buah. Tak jauh dari situs itu, juga terdapat situs sumur yang tidak pernah kehabisan
air meski musim kemarau seperti yang terjadi 2017 yang lalu, sumur ini menjadi jujugan warga
mengambil air. Sementara situs bekas ‘Rumah besar’ atau Salassa juga tak terlalu jauh dari
lokasi “batu-tujuh”. Malah situs “rumah besar” ini berada di pinggir jalan sebelum ke arah
Batutujua. Jadi, nama Salassae memiliki arti kurang-lebih “ini rumah besar”, huruf ‘e’ di situ
memiliki makna sebagai kata sandang yang memiliki arti menunjuk nomina kata benda yang

19
Wawancara dengan Swandi, 7 Agsutus 2018; dengan Pak Ali, 11 Agustus 2018.
20
Wawancara dengan Pak Ali, 12 Agustus 2018,
21
Kepala desa pertama yang menjabat saat penetapan bernama Karaeng Heba. Ia termasuk memimpin
pemerintahan desa terlama, yakni selam 32 tahun di Sulawesi Selatan. Namun untuk memerintah lama itu rupanya
Karaeng Heba memerintah dengan cara-cara represif, diktator atau menindas. Meski ia datang dari kelompok
minor, ia mendapat dukungan dari sebagain kelompok orang Konjo yang mayoritas. Wawancara dengan Muh Nur,
7 Agustus 2018; dengan Kepala Desa Haji Jamaluddin, 8 Agustus 2018; dengan Pak Ali, 11 Agustus 2018.
22
Wawancara dengan Pak Ali, 11 Agustus 2018.
23
Wawancara dengan Kepala Desa Salassae, Haji Jamaluddin, 8 Agustus 2018.
24
Wawancara dengan Swandi, 7 Agustus 2018.
25
Wawancara dengan Muh Nur, 8 Agustus 2018.
26
Wawancara dengan Pak Ali, Swandi, Muh Nur dalam FGD 7 Agustus 2018.
27
Wawancara dengan Swandi, 9 Agustus 2018; Abudl Wahid, 12 Agustus 2018; Muh Nur, 7 Agustus 2018.
28
Selain Dusun Batutujua, masih ada 4 dusun lagi di Desa Salassae; dusun-dusun tersebut antara lain Dusun
Ma’reme, Bontotangnga, Bolonge, dan Dusun Batuhula.
29
Wawancara dengan Abudl Wahid, 12 Agustus 2018.

6
sudah jelas baranganya, atau secara ungkapan bebas “…rumah besar itu, ini” ada disini di
kawasan yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Desa Salassae.

(Insert foto-1: beberapa gambar situs Batutujuah dan kompleks areal yang ditegaskan sebagai kawasan
situs Salassa (rumah besar) di tengah perkebunan karet)

Untuk menuju ke sana terdapat jalan yang dulu begitu ramai, kini jalan itu begitu
lengang dan tak terlihat lalu-lalang orang sejak jembatan penghubung yang melintasi sungai
Anyorang menuju Ka’rama terputus. Dulu jalan yang membelah kebun karet itu, di mana di
salah satu sudut pinggirnya terdapat situs bekas Salassa rumah besar adat Bulukumpa Toa,
sering dilalui warga ulang-alik dari Salassae ke Ka’rama, demikian sebaliknya. Kini lengang.

Warga Salassae mayoritas terdiri dari orang-orang Konjo, 30 kehidupan sosial mereka
kental dengan kekerabatan.31 Ikatan sosial terbentuk dan jalin-menjalin seiring perkembangan
sosial-kekerabatannya.32 Dalam menyikapi persoalan kampung, baik yang bersinggungan
langsung dengan hajat hidup bersama atau perorangan, aspek kekerabatan kerap memainkan
peran dalam pemecahan-pemecahan persoalan. Misalnya dalam membangun rumah bagi
keluarga baru yang memulai mendirikan rumah-tangga sendiri, para kerabat ikut turun tangan
membantu dan menyumbangkan keperluan material yang dibutuhkan. 33

I. B. Sejarah Gagasan Pertanian Alami

Di zaman dulu orang Salassae bertani menggunakan kalender musim yang sudah tetap.
Biasanya untuk memulai tanam, mereka melihat satu gugusan bintang yang dipersepsikan
berbentuk ayam dengan kepala mematuk/menunduk ke bawah. Namun jika gugusan bintang
ini tergambar ayam masih berbentuk “sedang mengepakkan sayap”, maka jangan coba-coba
memulai tanam padi—kata orang-orang tua hasilnya sudah dipastikan akan gagal oleh serangan
hama.34 Hal yang demikian ini sudah menjadi pengetahuan lokal yang mujarab, namun lambat
laun lamur ditelan waktu dan tradisi bertani baru yang dianggap lebih modern dan konon maju.
Hingga kemudian muncul sistem Pertanian Alami yang datang dari pengetahuan pertanian dari
luar Salassae, namun ketika dipraktikkan justru konsep-konsep Pertanian Alami mengingatkan
para petani alami di Salasaae kepada pengetahuan nenek-moyang mereka: sistem “pertanian
alami” lama yang pernah ada. Di sinilah kemudian ada beberapa orang dengan terus
menguatkan pola Pertanian Alami yang telah dipraktikan sambil menggali lagi pengetahuan
lama tersebut. Hasilnya, konsep Pertanian Alami di Salassae rupanya beririsan dengan khasanah
30
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.
31
Wawancara dengan Abdul Wahid, 11 Agustus 2018.
32
Wawancara dengan Abdul Wahid, 12 Agustus 2018.
33
Wawancara dengan Muh Nur dan Abdul Wahid, 12 Agustus 2018.
34
Wawancara dengan Pak Ali, 7 Agustus 2018.

7
pengetahuan tradisional keagamaan di kampung mereka, yakni Tarekat, 35 yang nahasnya juga
lamur akibat tersembunyinya pengetahuan ini di tangan orang tua-tua kampung. Tetapi di mata
para penggali “kekeuatan diri” dan potensi dapat dengan mudah mengenali dan memanfaatkan
khasanah ini; antara lain sebagai pemantik kesadaran baru bagi orang-orang tua di Salassae
untuk mengenal Pertanian Alami, sekira mereka menerimanya sebagia konsep baru dalam
pertanian.36
Para pelaku Pertanian Alami di Salassae seolah membangunkan kembali tradisi
pertanian (alami) lama yang pernah ada. 37 Hanya saja Pertanian Alami yang saat ini dipraktikkan
sudah mendapat pengayaan konsep-konsep baru, cara pandang baru, dan tentu saja berpijak
pada potensi lokal pertanian Salassae yang beririsan dengan situasi sosiologis masyarakat Desa
Salassae yang dalam kondisi bangkit dari keterbelakangan (marginalisasi) yang sengaja
diciptakan oleh politik desa di era tahun 1960-an, 1990-an dan hingga tahun 2000 belakangan
ini. Para pelaku Pertanian Alami terdiri dari mantan buruh migrant (TKI) Malaysia, sopir
angkutan, yang sebenarnya tengah lari dari realitsas hidup perdesaan yang kental dengan
pertanian tetapi miskin menderita tak mampu mengembangkan kehidupan lebih baik dengan
bertumpa pada pertanian itu. Sehingga kemudian ditemukalan salah satu cara melawan
keterbelakangan itu dengan mendirikan organisasi serta bercocok tanam selaras dengan alam
yang disebut sistem Pertanian Alami.
Sampai di sini, Pertanian Alami di Desa Salassae memperoleh tenaga-dalam untuk lebih
yakin mengerakkan dan menyebarkan konsep pertanian selaras alam ini. Tantangan politik desa
sudah berkurang dan berlalu sekira setahun yang lalu (2017), setelah Haji Jamaluddin dipilih
kembali menjabat kepala desa,38 dan terpenting ialah, Pertanian Alami pun kini mulai diadopsi
dalam rancangan Perdes kedepan. Beberapa program desa telah menyerap aspirasi dari
Pertanian Alami antara lain penyediaan mesin pemotong rumput, pendidikan pertanian alami,
dan ekowisata yang mengarah pada ekologi Pertanian Alami ini.
Pertanian Alami mulai diperkenalkan kepada sekelompok pemuda desa pada tahun
2011. Keberadaan Pertanian Alami saat ini identik dengan keberadaan KSPS (Komunitas
Swabina Perdesaan Salassae). Lalu seturut dengan pembentukan kelembagaan KSPS terbentuk
pula KPA, yakni komunitas petani alami. Karakteristik persebaran pengetahuan Pertanian Alami

35
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018; Pak Bate 13 Agustus 2018.
36
Wawancara dengan Pak Bate dan Muh Nur, 13 Agustus 2018.
37
Sebagaimana hal ini dilakukan antara lain oleh Muh Nur, Pak Bate’ dan lainnya, yang menyelaraskan ide dasar
Pertanian Alami dengan nilai-nilai tasawwuf kampung yang belakangan ini semakin tersembunyikan atau malah
lamur ditimpa perubahan zaman. Wawancara dengan Pak Bate dan Muh Nur, 13 Agustus 2018.
38
Haji Jamaluddin menurut Muh Nur, dalam wawancara 8 Agustus 2018, termasuk salah satu pelaku gerakan Gong
2000. Ia merupakan kepala desa pertama dari kalangan orang-orang Konjo. Dulu tahun 2001 ia pernah menjabat
kepala desa, ia terpilih memimpin desa selama 8 tahun. Lalu menjabat lagi selama 1 periode selama 6 tahun. Baru
belakangan ini, selama 2 tahun terakhir, ia kembali menjabat kepala desa setelah diminta untuk melanjutkan
periode pemerintaha Kepala Desa Cawir yang meninggal dunia sebelum tuntas masa tugasnya.

8
(natural farming) mengikuti pola persebaran ketertarikan dan minat orang terhadap model
pertanian ini. Tidak semua petani di mana ada kegiatan atau praktik Pertanian Alami serta-
merta tertarik dan berminat menerapkan Pertanian Alami di lahan mereka. Sudah ada cerita
orang-orang yang mencoba menerapkan sistem Pertanian Alami, lalu memilih kembali lagi ke
pola pertanian lama hanya gara-gara gagal, 39 merasa berat di pengelolaan, atau tergiur program
pemerintah. Rupanya pola persebaran pelaku Pertanian Alami, tentu minat dan ketertarikan di
dalamnya, merupakan pola yang tidak dapat diseragamkan, melainkan berpola acak, bahkan
melompat (jumping) dari satu titik ke titik lain yang kadang lebih jauh, apalagi jika diperhatikan
dari titik awal perkembangan teknik pertanian alami ini di Desa Salassae. Namun demikian,
meski Bulukumba sebagai kabupaten di mana Desa Salassae menjadi desa bawahan wilayah
administrasinya, tidak berarti desa-desa di kabupaten Bulukumba adalah desa-desa relatif
pertama yang tertular teknik pertanian ini. Justru beberapa desa yang berada di luar kabupaten
Bulukumba, lebih segera tertular teknik pengetahuan pertanian alami dari pada desa-desa di
kabupaten Bulukumba, bahkan desa tetangga sekalipun.
Berikut kawasan persebaran pertanian alami menurut satuan wilayah kabupaten
(dilaporkan menurut cerita tutur pada Agustus-2018); yaitu; (1) Bantaeng; (2) Enrekang; (3)
Goa; (4) Toraja; (5) Palopo, dan beberapa daearah lain di Provinsi Sulawesi Seatan.
Awalnya jumlah warga yang tertarik pertanian alami pada tahun 2011 ada sekitar 70-an
orang, dan hanya melingkupi 3 dusun saja di Desa Salassae. Dari 70an orang tersebut dalam
prosesnya yang benar-benar mempraktikkan tinggal 11 orang saja. 40 Namun meski demikian
peminat Pertanian Alami dan yang sampai mempraktikkannya makin berkembang.
Perkembangannya di kemudian hari menjalar ke desa-desa tetangga, mengikuti pola relasi
pertemanan, kerabat dan perkenalan. Kini hingga tahun 2017 dilaporkan sudah mencapai
hampir 3000-an orang41 di Desa Salassae dan ditambah dari beberapa desa sekitar tentu jumlah
hitungan itu telah melebihi. Cakupannya jika menurut hitungan jumlah desa kini mencapai 49
desa di Kabupaten Bulukumba.
Melihat Desa Salassae sebagai titik awal penyebaran gagasan Pertanian Alami, berikut
ini direka secara sederhana peta ideografi penyebaran PA seiring proses pembentukan

39
Kegagalan dalam Pertanian Alami, kata Armin Salassa, biasanya disebabkan ketidakpatuhan (uncomlienment)
pelakunya pada aturan-aturan, misalnya pada takaran dozis bahan nutrisi atau pupuk komposnya. Hal ini karena
Gambar 1. Peta Ideografi Penyebaran Pertanian Alami Desa Salassae
faktor penguasaan pengetahuan yang belum seutuhnya; seperti seorang petani alami menanam cabe di lahannya
yang sudah dirancang ala pertanian alami, tetapi yang terjadi pohon-pohon cabenya gagal berbuah, tetapi memiliki
daun-daun yang lebar dan besar-besar. Rupanya Desa ini faktor kelebihan unsur nitrogen dan kekurangan unsur kalium
Jojjolo
yang biasanya dibutuhkan tanaman saat reproduksi/berbuah. Di lain peristiwa, seorang petani alami melihat padi-
padinya setelah 25 hari biasanya berbunga lalu berbuah, tetapi kenyataannya padi menguning dan rusak. Rupanya
hanya karena pada fase awal ia kelebihan memberi pupuk kompos pada lahannya seluas 4 are yang seharusnya
cukup 5 karung saja, ia beri 20 sak. Ia gagal di situ, tetapi berani memulainya lagi hingga berhasil.
40
Wawancara dengan Muh Nur, 12 Agustus 2018.
41
Disampaikan oleh Armin Salassa di forum terbuka saat Studi Banding Mahasiswa STIP Makassar ke KSPS, 8
Agustus 2018. Desa
KSPS /KPA Desa
Bulobulo Bontomangir
ing
Desa Salassae 9
Komunitas Swabina Perdesaan Salassae (KSPS) dengan menggunakan pola relasi kekerabatan,
pertemanan, perkenalan hingga jalur kampanye (terprogram terarah);

Pola jejaring:
1. Relasi keluarga atau kekerabatan
2. Relasi pertemanan
3. Relasi perkenalan
4. Penyebaran tersistematisir dan terarah

Penyebaran Pertanian Alami dengan menggunakan pola jejaring relasi keluarga atau
kekerapabatan terbangun secara kentara di dalam Desa Salassae, lokus awal pengenalan
Pertanian Alami. Pertanian Alami dalam catatan Lily Batara salah seorang pegiat Bina Desa, di
Salassae mulanya dikenalkan oleh staf Bina Desa Armin Salassa dengan mendapat penguatan
dan pendekatan organisatoris42— yang memilih kembali pulang kampung ke Salassae,
Bulukumba. Rupanya dengan memanfaatkan relasi kekerabatan ini, Pertanian Alami yang
semula masih berbentuk gagasan diperkenalkan dari seorang ke seorang lainnya, hingga
mencakup 3 dusun di Desa Salassae; yakni dusun Batutujuah, Ma’reme, dan Bontotangnga.
Dusun Batutujua merupakan dusun uji-tangguh penyebaran Pertanian Alami yang diwarnai
dinamika konflik lebih intens.
Sementara pola penyebaran dengan menggunakan relasi pertemanan dan perkenalan
banyak terjadi di luar Desa Salassae. Seperti Pak Ombu seorang supir yang tertular lalu tertarik

42
Catatan Lily N. Batara.,(tt). Sejarah Pertanian Alami di Salassae, Potret Salassae: Kini dan Dulu; (tidak
dipublikasikan).

10
dengan Pertanian Alami, meski ia tidak memiliki lahan pertanian, tetapi ia mengenal betul
seluk-beluk pertanian alami. Sehingga berkatnya ada seorang anggota polisi di Desa Ka’rama
yang tertarik menerapkan Pertanian Alami dan langsung mempraktikkannya hingga berhasil.
Orang seperti Pak Ombu dalam penyebaran Pertanaian Alami mengandalkan kesempatan-
kesempatan di mana ada orang-orang berkumpul, seperti sekedar mengopi bareng, untuk
menyebarkan “faham” Pertanian Alami. Ia memiliki kisah unik saat menjumpai satu blok rumah
di dusun Ka’rama terganggu oleh bau aroma kotoran buangan dari rumah peternakan “Kandang
Ayam”, sehingga banyak warga merasa tak nyaman dan mengeluhkan dengan kondisi
lingkungan yang tercemar polusi bau “Kandang Ayam”. Berkat pengetahuan mengenai pupuk
dan nutrisi tanaman dalam Pertanian Alami, Pak Ombu menyemprotkan racikan nutrisi yang
biasanya diberikan ke sebidang tanah untuk ditanami tanaman dengan sistem Pertanian Alami.
Apa yang terjadi selanjutnya? Aroma busuk “Kandang Ayam” sirna tak tercium sama sekali. Dari
peristiwa itu, ia semakin memperoleh tempat untuk mengkampanyekan Pertanian Alami di
masyarakat di luar Desa Salassae utamanya.43

Relasi perkenalan juga menjadi salah satu pola penyebaran sistem Pertanian Alami di
Bulukumba, bahkan di Sulawesi Selatan. Hal ini seperti terjadi pada para pelaku Pertanian Alami
di Kabupaten Bantaeng. Mulanya mereka adalah para aktivis mahasiswa dan post-student yang
tidak sengaja berkenalan di tengah jalan dengan para “penganjur Pertanian Alami” dari KSPS
/Desa Salassae. Berkat perkenalan itu kini berbuah keseriusan mereka dalam menjalankan
sistem Pertanian Alami. Beberapakali rombongan dari Bantaeng datang ke KSPS, sekurangnya 3
kali mengadakan pelatihan dalam setahun kebelakang, mereka langsung mempraktikkan
Pertanian Alami.44

Pola penyebaran Pertanian Alami yang lebih tersistematisir dan terprogram kini mulai
terbangun dan tersebar ke beberapa wilayah. 45 Bahkan salah satu “kader” yang terbentuk
kemudian menyebarkannya ke Bima Nusa Tenggara Barat. Penyebaran Pertanian Alami
memiliki karakteristik khusus mengikuti “kultur-tanah” (Agrikultur), budaya, dan nilai-nilai lokal
namun di balik itu juga memberlakukan pola umum—yang tentu tetap berpijak pada
karakteristik lokal tempatan tersebut—yakni pada pola pembuatan pupuk alami yang
menyaratkan adanya integrasi moda-produksi lainnya yaitu Peternanakan, serta pembuatan
nutrisi tanah yang mengakomodasi sumber-sumber atau bahan mikroba lokal (IMO). Selain itu

43
Kisah keberhasilan Pak Ombu mengusir bau aroma tidak sedap dari peternakan ayam ini menjadi buah bibir di
kalangan masyarakat Desa Salassae dan di luar. Sehingga ia menjadi dikenal sebagai sorang penganjur Pertanian
Alami—meski profesinya masih sebagai supir dan tidak memiliki lahan pertanian.
44
Wawancara dengan Armin Salassa, 8 Agustus 2018; dengan Anto, 12 Agustus 2018. Melihat beberapa foto
kegiatan pengenalan Petanian Alami di KSP Salasaae, ini tampak beberapa pemuda dari organisasi kepemudaan GP
Anshor; dan untuk menyebutkan sebagian lainnya, ada aktiivis petani dari FPSS yang bertandang dan ikut menimba
ilmu Pertanian Alami untuk kemudian tentunya dipraktikkan di lahan-lahan persawahan mereka.
45
Antara lain salah satu pola penyebaran yang terorganisir dan terprogram terjadi di Luwu’ Utara yang dilakukan
oleh Abdul Wahid. Wawancara dengan Pak Bate dan Muh Nur, 13 Agustus 2018.

11
juga “ramuan-ramuan” dalam Pertanian Alami yang dapat direplikasi dan dimodifikasi dari
rumus baku “N-P-K-Ca” dengan menggunakan bahan-bahan lokal tempatan yang ada. Rumus
“N-P-K-Ca” ini mestinya mengandung sejenis zat kimia alami 46 yang terdapat di alam lingkungan
sekitar yang dapat dengan mudah dan murah serta secara langsung dimanfaatkan dan
digunakan untuk Pertanian Alami. N-P-K-Ca ini adalah Nitrogen, Phosphor, Kalium dan Calsium.
Unsur-unsur kimia ini dibutuhkan oleh tanaman sesuai dengan siklus pertumbuhannya
terhitung sejak bibit diturunkan ke sawah hingga masa bunting atau berbuah.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Tanaman

Kebutuhan Nutrisi
Fase
N P K Ca
Pra-pertumbuhan 0 1 1 1
Pertumbuhan 3 1 2 1
Berbunga 1 3 2 2
Reproduksi/Berbuah 0 2 2 3
Keterangan: N = Nitrogen, P= Fosfor, K=Kalium, Ca= Kalsium

Dengan demikian, jika diperingkas konteks sejarah PA di Sallasae, dari sisi geneologi pemikirannya
beririsan kuat dengan: (a) upaya menyambungkan pengetahuan arif warisan dari leluhur, (b) terkait erat
dengan sejarah perjuangan mayarakat lokal dari masa ke masa sejak Orde Lama, DI/TII, Orde Baru
(karena pernah menjadi wilayah basis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dianggap oposisi
pemeritah, lanjut ke perlawanan atas PT Lonsum, hingga berlanjut ke era Reformasi dengan gerakan
Gong 2000 yang di tahun 1997 mampu menumbangkan Kepala Desa yang dianggap representasi
“otoriter lokal”.

Sebagaimana diuraikan di atas momentum yang menjadi tonggak penting dari rintisan PA Sallasae
adalah sejak tahun 2000-an, saat gagasan PA mulai dikuatkan ulang. Khususnya ketika Bang Armin Salasa
pulang kampung. Selain gagasan PA kemudian hadir yang menjadi jawab dan alternatif atas beragam
masalah pertanian di kampung, masaih kuatnya hubungan dan pengaruh keluarga besar Bang Armin dan
para pelau awal PA, yang sebagian menjadi sesepuh desa, juga ikatan kekerabatan yang masih kuat,
kemudian kolaborasi dengan lembaga Bina Desa, akhirnya gagasan dan gerakan PA di Sallasae
berkembang cepat dan kuat.

Menariknya pilihan utama sebagai “generasi awal” atau kelompok inti awal dipilih orang-orang “Non
Petani” (exs Migran) yang mayoritas TKI Malaysia, dan orang-orang di desa yang menjadi
“keturunan dan exs kombatan perjuang lokal”, baik di era Orba maupun pasca Reformasi. Tak
heran kelompok ini memiliki militansi yang kokoh, sebagian lainnya mengakui menjadi
kelompok inti sebagai bagian “pertaubatan” dari perilaku lama. Semangat militansi perjuangan
umtuk perubahan dan pertaubatan inilah yang menjadi spirit awalnya. Saat itu, dan dipertahankan

46
Penjelasan Arman Salassa di Balai KSPS, 8 Agustus 2018.

12
hingga kii strategi “dakwah PA” lebih bersifat “kultural” (sejenis dengan “MLM”), orang per-orang.
Strategi ini cukup efektif. Namun, startegi ini memberi pengaruh pada generasi awal, mereka
umumnya sulit bicara di depan publik di kemudian hari. Meski kini, telah terjadi perubahan-perubahan
lain, sehingga memungkinkan mereka mampu menjadi pemimpin di tingkat komunitas dan desa. Diakui
atau tidak masih kuatnya sistem rumpun kekerabatan dan kekeluargaan banyak membantu percepatan
dakwah PA di Sallasae dan sekitarnya. Kini, hampir lebih 49 desa (Kab. Bukukumba) yang menuju desa
Swabina PA, meliputi puluhan Kabupaten.

I. C. Organisasi: Pelembagaan Nilai-nilai, Kemandirian dan Kepemimpinan


Dua hal penting dalam memahami penyebaran Pertanian Alami di Desa Salassae ini ialah
Pertanian Alami (yakni gagasan dan para pelakunya) dan organisasi para petani alami-nya yang
saling beririsan (menguatkan). Organisasi ini penting bagi penguatan nilai-nilai Pertanian Alami
secara kelembagaan, komunitas dan di dalam “mereproduksi” nilai-nilai (visi) sesuai dengan
kultur tempatan (local culture). Kultur tempatan atau budaya masyarakat Desa Salassae kental
dengan tradisi keagamaan, dalam hal ini Islam, yang mendapat warna budaya orang Konjo.
Ikatan sosial yang terbangun oleh kekerabatan, relijiusitas yang disumbang oleh tradisi
keislaman, dan semangat melawan keterbelakangan (kemiskinan struktural) yang terbentuk
dalam sejarah panjang perlawanan di desa, semua ini turut membentuk proses ideologisasi
dalam pelembagaan nilai-nilai Pertanian Alami di Salassae. Petani Alami sendiri secara
komunitas (community bases) makin memberi peluang kepada masyarakat Desa Salassae untuk
berkiprah di dalam; pertama, membenahi taraf hidup rumah tangga petani, memperbaiki
metabolisme tubuh dan metabolisme lingkungan; kedua, berorganisasi meningkatkan kapasitas
diri (leadership & management), sosial kemasyarakatan, dan pengetahuan pertanian yang sehat
dan menyelamatkan lingkungan; ketiga, turut berkontribusi dalam pembangunan politik desa,
yakni pendidikan politik bahwa orang desa pun memiliki hak yang sama untuk menentukan dan
memilih cara hidup yang lebih baik, sehat dan menyelamatkan lingkungan—sebagaimana
mereka kemudian mendapat “pengakuan” secara nasional dengan diganjar award Proklim dari
pemerintah. Dari sini-lah komunitas swabina perdesaan yang dibentuk itu memperoleh
penguatan untuk menebar nilai-nilai Pertanian Alami. Komunitas Swabina Perdesaan Salassae
(KSPS) untuk pengenalan dan pemraktikan Pertanian Alami membetuk komunitas petani alami
atau disingkat KPA. Dari komunitas swabina ini kelak terdorong untuk dibentuknya lembaga
keuangan mikro47 untuk menciptakan peluang akses keuangan secara swadaya; serikat
perempaun,48 untuk pemberdayaan perempuan dan ekonominya; wadah bagi para peternak
47
LKM atau Lembaga Keuangan Mikro tak lain adalah koperasi simpan-pinjam yang dibentuk untuk menalangi
kegiatan produksi Petani Alami, dan dalam hal ini ia bersinergi dengan Stasiun Agribisnis yang menjadi chamber
untuk kelak di masa yang akan datang dapat mengolah brand-image hasil-hasil Pertanian Alami untuk kemudian
dijual ke pasar luas.
48
Namanya SPS (Serikat Perempuan Salassae) dibentuk awal tahun 2018, tepatnya Februari yang lalu, sebagai
wadah pemberdayaan ekonomi perempuan dan mengarah kepada penguatan ekonomika rumah tangga.

13
dan pembudidaya ikan,49 juga sebuah divisi pemasaran 50 hasil produk pertanian. Mereka tak
sekedar bercocok tanam ala Pertanian Alami, tetapi juga menerima pembelajaran dalam
pembentukan organisasi massa, dan manajemen organisasi serta bagaimana mengelola isu-isu
perdesaan yang dianggap perlu—untuk mendukung dan menguatkan sistem Pertanian Alami di
perdesaan.
“Di Salassa’e ini, sejak awal pengenalan Pertanian Alami, kami tekankan, tidak boleh
dipisah praktik Pertanian Alami dengan berorganisasi. Itu satu syarat mutlak yang tak
bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, kalo ada yang mempraktikkan Pertanian Alami tapi hanya
untuk dirinya sendiri dan tidak mau berorganisasi, sebenarnya dia belum penuh menjadi
pelaku Pertanian Alami. Sebab, tujuan Pertanian Alami bukan hanya demi memperkaya
dirinya sendiri, tapi juga gerakan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan
bersama. Dengan begitu, menurut kami, semua pelaku Pertanian Alami, wajib
berorganisasi. Inilah yang menjadi dasar pendirian SPKS di Sallasae.” Armin Salassa51

Di dalam Pertanian Alami, perjuangan dan semangat melepaskan diri dari kemiskinan,
ketertinggalan atau keterbelakangan ditransformasi melalui mekanisme organisasi
kemasyarakatan perdesaan agar menjadi ethos kerja membangun jaringan pengetahuan,
keterampilan, dan lepas dari ketergantungan kepada ekternalitas. Tentu buahnya tak hanya
sekedar keberdayaan dalam ekonomi, tetapi juga kemandirian dan Percaya-diri dengan cara
hidupnya (berdaulat dalam bercocok tanam dan berproduksi). Sebelum KSPS dan Pertanian
Alami terbentuk, rupanya minat berorganisasi masyarakat terutama kaum mudanya relatif
tinggi. Sejak 2002 sudah ada jaringan organisasi kepemudaan masuk ke Salassae—yang kelak
pasca “operasi pagar betis” tahun 2003 (konflik agraria PT Lonsum vs masyarakat) disusul
berdiri organisasi kepemudaan bernama KPRS pada tahun 2006.52 KPRS ini didirikan oleh
beberapa pemuda Salassae yang memiliki mobilitas gerakan keluar, dan diantara mereka kini
ada yang menjadi pengurus KSPS. KSPS atau Komunitas Swabina Perdesaan Salassae
merupakan wadah untuk membina tak hanya untuk pemberdayaan warga Desa Salassae, tetapi
juga menegakkan cita-cita kedaulatan pangan di kampung mereka, serta berupaya memulihkan
kerusakan sosial-ekologis yang ditimbulkan dari kebijakan salah di sektor pertanian. Selain itu,
sebelum berdiri KSPS, pernah pula berdiri yayasan pendidikan rakyat (YPR) yang merupakan
mile-stone kesekian kalinya untuk menuju pematangan keorganisasi dan pedagodi pendidikan
massa. YPR ini digerakkan oleh Armin Salassa dan kawan-kawan. Rupanya lambat laun

49
KPPS merupakan organisasi sinergis lainnya dengan pola-pola dan sistem Pertanian Alami di Desa Salassae.
50
Divisi ini diberinama “Stasiun Agribisnis”. Ia tak ubahnya sebuah kamar dagang yang menyambungkan
“kebutuhan pasar” (demand) di luar desa (bahkan hingga ke Bali dalam melayani kebutuhan pupuk alami) ke
produsen atau para pelaku Pertanian Alami di Desa Salassae, juga sebaliknya. Melalui Stasiun Agribisnis ini
direncanakan produk-produk pertanian Petani Alami (KPA) akan dipasarkan keluar desa, dengan sentuhan brand-
image Pertanian Alami.
51
Wawancara dengan Armin Salassa, 09 Agustus 2018.
52
sebuah organisasi kepemudaan yang berafiliasi ke STN. Saat itu KPRS belum mengusung isu-isu pertanian apalagi
Pertanian Alami. Wawancara dengan Anto, 12 Agustus 2018.

14
berkembang ke arah pembentukan komunitas swabina perdesaan. Para pemuda yang saat ini
menjadi penggerak dan penganjur Pertanian Alami adalah merupakan anak-anak muda yang
gandrung berorganisasi. Spectrum kesadaran berorganisasi kaum muda ini rupanya turut
diwarnai oleh—sebaliknya juga mewarnai—dinamika sosial politik desa, dari masa ke masa, di
masa lalu dan masa kininya.

Tak hanya mereka, beberapa warga dengan usia remaja belia dan pemuda sudah gemar
berorganisasi. Mereka membentuk sebuah organisasi Kasim Pada,53 yang menaruh perhatian
pada pemberdayaan anak muda dan pelestarian lingkungan—kerja nyata yang dilakukan
mereka saat ini antara lain pendirian bank sampah. Tren di dunia anak muda ini merupakan
ethos yang turut membentuk pola pikir dan pola kerja kemasyarakatan atau keorganisasian
dalam pelembagaan nilai-nilai atau pengetahuan, 54 terutama dalam hal ini adalah nilai-nilai dan
pengetahuan tentang Pertanian Alami. Meski demikian, rerata warga yang berusia belia dan
pemuda yang beranjak paruh baya itu tidak semuanya pernah mengenyam pendidikan tingkat
perguruan tinggi, tetapi bagaimana menstarnformasikan nilai-nilai dan pengetahuan Pertanian
Alami mereka tergolong mampu dan mumpuni—malah sebagian di antara mereka memiliki
metode unik tersendiri untuk mengenalkan dan mempengaruhi orang lain untuk tertarik
Pertanian Alami. Karena itu, dengan sendirinya, metode-metode penyebaran Pertanian Alami—
tak dapat sepenuhnya disandarkan pada text-book—ditemukan secara kreatif menurut
pengalaman, praktik nyata, kesamaan minat dan kecenderungan serta kadar penguasaan
mereka atas pengetahuan dan keterampilan bertani alami. 55 Nilai-nilainya pun (visi dari
Pertanian Alami) terserap ikut serta manakala ada petani-petani baru mulai tertarik untuk
menerapkan pola Pertanian Alami.

Di sisi lain, terbatasnya akses terhadap sumber penghidupan dan penguasaan alat
produksi tanah/lahan pertanian (aspek ini akan dibahas di bagian selanjutnya) atau sumber
pangan menjadi variable lain dalam membentuk vitalitas dan militansi dalam Pertanian Alami.
53
Kasim Pada diambil dari bahasa lokal, artinya “kita semua sama”. Organisasi ini berisi anak-anak muda dan
remaja dari berbagai latar belakang golongan dan pendidikan, bahkan yang dianggap tak berpendidikan (tidak
tamat SD atau sekedar sampai di tingkat SD, SMP, dan SMA) pun bergabung dalam wadah ini, wawancara dengan
Armin, 8 Agustus 2018; Muh Nur, 8 Agustus 2018; Abdul Wahid, 12 Agustus 2018.
54
Dalam M. Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersbukyektif dengan
Pendekatan Sistem, (Mataram: IPGH. 2013), hlm. 151-163., nilai-nilai seperti keberanian, kejujuran, kebenaran,
dan ketulusan dan atau pengetahuan hanya dapat dipahami dan ditransformasi ulang, manakala ia menjadi
struktur, antara lain membentuk organisasi. Ketika ia hanya mengendap dalam diri pribadi, ia hanya akan menjadi
‘Struktur-dalam’ (Deep-structure) dari sistem prilaku individu manusianya, dan itu abstrak. Maka setelah
“dibadankan” atau setelah diekspresikan dalam struktur, nilai-nilai tersebut—juga dalam hal ini pengetahuan
Pertanian Alami, dapat diakses oleh orang lain. Barangkali ini sedikit dapat menjelaskan kenapa Sistem Pertanian
Alami perlu mengambil bentuk terorganisir—artinya pelakunya harus berorganisasi—agar dapat diambil, ditiru dan
diterapkan oleh orang lain. Akhirnya tak sekedar agar dapat diambil dan ditiru orang lain, tetapi juga bagaimana
mempertahankan gagasan-gagasan dan nilai-nilai baik di dalamnya.
55
Di antara mereka, para penganjur Pertania Alami, tersebutlah satu cara dalam berkampanye menyampaikan
argument-argumen Pertanian Alami yakni lellu’ jadi kulellu’, ra’ba jadi kura’ba, lalu patungkusi. Ketiga kosa-kata ini
memiliki makna metodis sekaligus menggambarkan salah satu cara kerja menyampaikan pola pertanian ala
Pertanian Alami yang menyehatkan diri menyelamatkan lingkungan dan ekosistem organisme beserta
organismenya.

15
Sehingga salah satu mode produksi yang menjadi utama di Salassae yakni pertanian padi, usaha
peternakan dan sebagian kecil kebun merica/lada, cengkih, dll, menjadi mekanisme untuk
menyatukan minat dan kepentingan-bersama dalam mewujudkan kemandirian dalam tata
kelola dan tata cara bertani. Semua unit-unit produksi tersebut yang terdiri dari pertanian
sawah, kebun dan peternakan kini berada dalam satu jahitan yakni Pertanian Alami.

Itulah gambaran belakangan ini bagaimana Pertanian Alami bisa dikatakan berhasil
mengubah cakrawala berpikir orang desa untuk mengentaskan diri dari keterbalakangan akibat
dari sistem politik-kebijakan yang tak kunjung berpihak kepada petani. Berkat mempraktikkan
Pertanian Alami banyak hal telah berhasil terpengaruh dan berubah, dan yang masih aktual
ialah pencapaian predikat Proklim (Program Kampung Iklim) mendapat penghargaan dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sehingga setahun ini, dan kedepan,
KSPS dan Komunitas Petani Alami (KPA) Desa Salassae mendapat sorotan dari publik dan
dianggap sebagai acuan menarik untuk pengembangan Pertanian Alami.

Gambar 2. Diagram Venn Keorganisasian dalam Pertanian Alami di Desa Salassae 56

1.

5.
2. 1.a.
1.b
1.c .
3. .

4. 8.

6.
7.

Keterangan: A. Desa Salassae; 1. KSPS; 1.a. KPA; 1.b. LKM; 1.c. Stasiun Agribisnis; 2. SPS; 3.
KPPS; 4. Kasim Pada; 5. YPR; 6. KPRS; 7. STN. 8. FPSS57

Tranformasi Nilai-nilai Pertanian Alami


56
Disarikan dari FGD di Balai KSPS, dan wawancara dengan aktivis pemuda KPRS di Bolonge, 11 Agustus 2018.
57
FPSS atau Federasi Petani Sul-sel dideklarasikan pada 19 September 2015, di kawasan Rumah Adat Benteng
Somba Opu, Gowa, pada hari selasa. Federasi ini konon memiliki perhatian pada Pertanian Alami sebagai pertanian
yang sehat, dan menyelamatkan—dan turut menyebarkan Pertanian Alami di Sulawesi Selatan.

16
Secara sederhana kecenderungan berorganisasi, atau mudahnya ialah pengorganisasian
kerja, cara berpikir taktis dan strategis para pelaku sekaligus penganjur Pertanian Alami, secara
tradisional dapat dipahami dari tradisi adat yang sudah mengakrabi kehidupan orang Salassae.
Di tengah tradisi adat masyarakatnya dikenal istilah Tenré—sedikit disinggung di muka—yakni
bagimana mengubah arus liar sungai menjadi terkelola dengan bagus, dan terarah untuk
kemudian dimanfaatkan potensi alaminya sebagai budidaya ikan secara alami. Tradisi ini seakan
mengajarkan kepemimpinan dan bagaimana menggerakkan potensi massa berdasarkan filosifi
“air – aliran sungai” yang nyatanya memiliki potensi dan sudah lama dapat dimanfaatkan secara
adat tradisi oleh orang-orang Konjo di Salassae. Seolah hal ini sama dengan proses ke-
organisasian dalam komunitas Pertanian Alami dan pengorganisiran potensi, daya, dan
kemampuan para petaninya—di dalamnya sebagai pelaku dekat/utama Pertanian Alami.
Sehingga Tenré yang secara meta-langue (istilah metafora) adalah mengatur arus air lalu
mamanfaatkan alirannya kedalam pola-topografi alami sungai untuk budidaya ikan maka
demikian pula dalam pengorganisasian Pertanian Alami “bagaimana” menempatkan orang
sesuai dengan potensinya, tak semata keahlian replikatif saja. Hal mana ia tak ubahnya
merupakan suatu pendidikan karakter untuk mengantarkan seseorang ke arah
“kemenjadian”nya (panggilan jiwa) sesuai dengan kapasitas dan potensi “kekuatan dalam” yang
datang dari diri sendiri. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam “personal and personnel
character” para penganjur Pertanian Alami; misalnya ada yang seolah menjadi pemahat—ia
membentuk dan mengantarkan orang lain menemukan karekater kepribadian dan potensinya;
ada yang seperti penganjur sekaligus petempur tangguh yang diplomatis siap menghadapi siapa
pun dan apapun yang menghalangi upaya-upaya pengembangan Pertanian Alami. Di sisi lain,
ada orang-orang yang pandai menyusun argument dan mematahkan setiap logika penentang
Pertanian Alami, hatta menggunakan itilah dari khazanah nilai-nilai lama seperti “tarekat
kampung” dan nilai-nilai tradisional. Ada pula yang pandai persuasi dalam menyampaikan
bukti-bukti nyata keberhasilan Pertanian Alami, dan keroposnya pola dan sistem pertanian
konvensional. Akhirnya, begitulah transfer pengetahuan sistem Pertanian Alami dari seseorang
ke seorang lainnya (kadang penyampaian materi PA terjadi secara personal, mirip MLM) di
Salassae dilakuakn dengan cara yang unik.

Malah setiap anggota komunitas Swabina ini, baik ibu-ibu maupun bapak-bapaknya, ikut
menjadi agen-agen penyebar penganjur sistem Pertanian Alami. Terutama ibu-ibu, atau
perempuan memiliki efektivitas sebagai penyebar informasi mengenai sistem Pertanian Alami.
Mereka menularkan informasinya sekecil apapun yang mereka tahu dari lingkungan ke sekitar
mereka dulu. Apalagi ibu-ibu yang sedari awal dekat dan akrab dengan sistem Pertanian Alami
dan dinamika persoalan di kampung-kampung Salassae.

Di kalangan mereka, potensi dan “kekuatan dalam” yang tumbuh dari diri sendiri ini
saling melengkapi dan jahit-menjahit kemampuan dan kecenderungan satu sama lain dalam

17
sebuah ikatan keorganisasian. Karena itu Pertanian Alami di Salassae tak cukup sekedar
memahami bagaimana pertanian selaras alam itu dipraktikkan tetapi bagaimana organisasi
keswadayaan masyarakat dibangun dari dalam berdasarkan kekuatan sendiri, melalui
pengayaan pengetahuan pertanaian alami, yang ditingkahi dengan peningkatan kapasitas
kepribadian organisatoris orang-orangnya—yang disuntikkan dari lembaga-lembaga pembinaan
masyarakat mandiri (CSO) seperti Bina Desa dan lainnya. Transformasi pengetahuan Pertanian
Alami tak semata menjadi wahana ajar belaka, tetapi juga menjadi ajang transformasi nilai
‘semangat perjuangan’ orang Salassae merebut dan mengembalikan potensinya—yang pernah
dulu terampas hilang— untuk keluar dari kesulitan hidup, dan semangat untuk membuktikan
bahwa “kerja menjadi petani itu tak selama susah dan memiskinkan”.

Keberadaan KSPS memberi dampak pada perekatan sendi-sendi kehidupan warga,


menghidupkan ruang sosial—secara community base, ia telah juga memberi peluang
kembalinya kiprah perempuan di pertanian (on farm), dan secara luas di dalam berorganisasi.
Warga Salassae kini kembali bergotong-royong, belajar bersama, berbagi pengetahuan tata
cara bertani sekaligus penemuan-penemuan mereka dalam mengendalikan hama dan memacu
produksi. Perubahan terbesar tentunya lingkungan mereka yang bebas bahan kimia dan racun,
yang layak dihuni anak-cucu di masa depan.

I. D. Sektsa Tantangan: Tujuh Tahun Melawan

“Temen-temen di KSPS ini memulainya hanya dengan beberapa orang (saja) lah.
Kurang lebih 9 orang sampai 11 orang, itu di tahun lalu. Ketika itu semua sudah (lupa
dengan pertanian)—karena sudah lama meniggalkan dunia pertanian. (Ada yang) kerja
di Malaysia, ada juga bekerja jadi sopir (angkutan), sopir truk, barangkali masih juga
jadi sopir truk sambil bertani. Kemudian semua serba sama-sama harus dipelajari;
belajar pertanian organik [PA], belajar berorganisasi, belajar membuka rapat, belajar
menutup rapat, dan lain sebagainya, semua bersamaan pada awalnya itu. Sampai
kemudian—kalau ditanya berapa jumlah Petani Alami di KSPS pada hari ini, kurang
lebih 3000 orang. Jadi perjalanan yang dari 11 orang sampai ke menjelang 3000 orang
itu, itu kalau mau diceritakan (bisa) 2 jam itu (isinya) sedih; bagaimana mengambil
kesimpulan perjalanan, merangkum 7 tahun itu,…” Armin Salassa.58

Di dalam Pertanian Alami, sekelompok warga Desa Salassae pada 2011 itu seolah
menemukan semangat bara baru, setelah “terusir dari kampung” secara dramatis pasca
kejadian “operasi pagar betis”,59 untuk mengembalikan kembali marwah hidup sebagai petani.
Warga desa yang tertarik dengan Pertanian Alami ini merasa sistem pertanian ini dapat

58
Disampaikan pada forum studi-banding mahasiswa PPL STIP yang melakukan kunjungan ke KSPS, 8 Agustus 2018.
59
Reaksi balik dari pihak aparat kepolisian atas “aksi massa” penebangan missal pohon karet PT Lonsum oleh
masyarakat pada tahun 2003.

18
dijadikan sebagai alat baru dalam menciptakan jalan alternatif nyata, sekurangnya untuk
membangun ekonomi rumah tangga petani (RTP) dan selebihnya membangun ekonomi desa.
Pertanian Alami ini, karena mudah dimengerti alur kerjanya dan berbiaya murah, kemudian
ditahbiskan sebagai wahana untuk berusaha keluar dari jebakan-jebakan kemiskinan yang ada
dalam dunia pertanian. Nyatanya sudah menjadi pengalaman umum di dunia pertanian padi
sawah jika petani di desa itu tak akan lepas dari rantai hutang; sejak dari suplay bibit, hingga
pupuk dan pengolahan pasca panen mereka terjebak rantai hutang dari agency yang ada.

Kini setelah 7 tahun, para pegiat Pertanian Alami relatif lega dan mulai menangguk
keuntungan dan manfaat dari pola dan sistem pertanian selaras alam yang mereka bangun
sejak 2011. Turunannya, belakangan ini, tak hanya bertani selaras alam saja tetapi Pertanian
Alami ini memiliki interseksi dengan pengembangan ekonomi pariwisata desa yang dikemas ala
ekowisata Pertanian Alami (2018). Selain itu, lembaga bantuan keuangan mikro perdesaan
(LKM/Lembaga Keuangan Mikro) juga sudah diinisiasi dan berjalan. 60 Pemberdayann ekonomi
rumah tangga petani (RTP) melalui pemberdayaan perempuannya juga sedang berjalan dengan
dibentuknya organisasi Serikat Perempuan Salassae (SPS). Beberapa keorganisasian lainnya
yang in-line (searah sejalan) dengan semangat kemandirian yang terbit dari komunitas swabina
perdesaan Pertanian Alami juga berdiri, seperti “Kasimpada” 61 untuk organisasi para pemuda
desa dan KPPS (Komunitas Peternakan Perikanan Salassae)—yang antara lain cakupan kerjanya
turut menjaga kelestarian lingkungan.

Sebelum tahun 2017, atau bisa dikatakan di dalam rentang waktu 5 tahun (2013-2017)
yang lalu, para penganjur Pertanian Alami—dan tentu saja juga para petani PA—banyak
mengalami tantangan dan tekanan dari pihak-pihak yang tidak bisa bersetuju dengan konsep
Pertanian Alami. Karuan saja ini sebagai implikasi dari penerapan Pertanian Alami yang
mengganggu pos-pos kebijakan di sektor pertanian serta turunannnya dan tata kelola pangan di
tingkat tapak. Kegiatan dan pekerjaan mereka itu rupanya dianggap mengganggu oleh sebagian
orang. Tentu saja sebagian orang ini adalah mereka para penganjur pertanian dengan pola lama
turunan dari Revolusi Hijau di tahun 1980an. Pertanian Alami tak ubahnya “barang mainan
baru” untuk melawan rezim dan sistem lama yang telah turut membentuk kehidupan
perdesaan—terutama yang bertumpu pada pertanian—menjadi marginal. Di sisi lain, Pertanian
Alami membuat terpikat orang lain agar mempraktikkan secara nyata apa yang sebenarnya
60
Anggota LKM saat ini ada 105 orang, atau setara dengan kepala keluarga petani alami. Anggotanya ada juga yang
dari luar, meski hanya beberapa saja. Dulu LKM memberi akses permodalan dengan pinjaman uang ke anggota.
Tetapi kini sudah diubah, mengingat proses kredit yang tidak lancar, menjadi permodalan ternak sapi. Setiap
debitur harus berternak sapi, dan modalnya berupa dana talangan pembelian sapi. Sistem bagi hasilnya 60:40,
yakni 60 untuk peternak/debitur dan 40 untuk LKM/kreditur. Dan sementara ini LKM memoratorium penerimaan
dana tabungan dari anggota yang jumlah nominal setorannya bertambah besar—seiring pula jumlah nasabah yang
makin banyak—mengingat kapasitas tata kelola keuangan yang perlu ditingkatkan. Dari pengalaman ini, pengurus
LKM jadi tahu besaran uang yang beredar di warga desa, khususnya di petani alami, yang demikian besar;
wawancara dengan Muh Nur dan Arman Tanggung, 8, 11, Agustus 2018; dengan Armin Salassa 10
Augustus 2018.
61
Kasimpada diambil dari bahasa lokal, artinya “kita semua sama”. Organisasi ini berisi anak-anak muda dan
remaja dari berbagai latar belakang golongan dan pendidikan, bahkan yang dianggap tak berpendidikan (tidak
tamat SD atau sekedar sampai di tingkat SD, SMP, dan SMA), wawancara dengan Armin, 8 Agustus 2018; Muh Nur,
8 Agustus 2018; Abdul Wahid, 12 Agustus 2018.

19
menjadi maksud dari muatan jargon-jargon ‘ketahanan pangan’, ‘kedaulatan pangan’ yang
selama ini digaungkan dalam program-program pertanian. Di dalam Pertanian Alami tersebut
justru terkandung pesan ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan’, yang menjadi program
pemerintah belakangan ini, yang begitu nyata dan dapat dengan mudah terlaksana. Buktinya?
Di Desa Salassae ini salah satunya.

Selama 7 tahun itu, politik kebijakan masih belum berpihak kepada para pelaku
Pertanian Alami, baik di tingkat tapak, yakni desa hingga sub-nasional (daerah kabupaten) dan
nasional (pemerintah pusat), terbukti sepanjang waktu selama kurang lebih 5 tahun masih ada
godaan subsidi pupuk, bantuan bibit, dll. menyasar para petani alami. Puncaknya tekanan
terhadap mereka terjadi di tahun 2015. Pada tahun 2015 itu, Pertanian Alami mendapat
tantangan dan tekanan dari atas, dengan munculnya satu program pemerintah untuk
menggalakkan penanaman cengkih. Selain itu, jika tak salah pemerintah pusat juga sedang
mengkampanyekan ketahanan pangan—kedaulatan pangan, yang barang tentu sudah
dibarengi dengan program ke daerah-daerah. Akibatnya beberapa program seperti mencetak
sawah, lahan pertanian baru, serta paket-paket program subsidi dan bantuan bibit serta
pendanaan masuk ke Desa Salassae. Tahun 2015 itu menurut Muh Nur merupakan puncaknya
tekanan—dan sebaliknya perlawanan—yang mewarnai pengembangan sistem Pertanian Alami
di Salassae.

“Paling puncak kita berjuang itu tahun 2015, ini perjuangan berat. Ada program
pemerintah, waktu itu petani dikasih uang 3,5 juta per hektarnya. (Untuk mengawal
program) itu sampai turun ABRI untuk mendampingi (petani) harus tanam pindah.”
~Arman Tanggung62

Berbeda ketika tahun 1980-an, saat petani peladang berpindah diajak untuk melakukan
sistem pertanian menetap, di Salassae kembali petani diminta untuk bercocok tanam
berpindah, rupanya petani didorong untuk membuka lahan-lahan untuk mencetak sawah baru
—apalagi terhadap lahan yang dianggap terlantar. Untuk menyukseskan program ini,
pemerintah memberikan paket-paket bantuan.

“Kayak uang tanam, pupuk gratis, semua komplit (dalam satu paket); ada pupuk, benih,
uang tanam, pokoknya satu komplit. Itu setiap petani syaratnya tidak menghambu,
harus tanam pindah. Itu ‘kan rata-rata petani daerah menghambu saja, dianjurkan itu
tanam pindah sampai ada uangnya itu (buat) ongkos tanam. Pertaniannya jelas
konvensional (non-pertanian alami),” Arman Tanggung. 63

(Insert foto-2: “Prasasti Pacul” [prasasti penandatanganan kampanye kebijakan program “Pertanian
Menetap” pada masa Orde Baru –Soeharto)

62
Wawancara dengan Arman Tanggung, 10 Agustus 2018.
63
Wawancara dengan Arman Tanggung, petani alami dengan lahan sawah + 3,5 hektar; 10 Agustus 2018.

20
Arman Tanggung merupakan salah satu potret petani alami di Salassae yang merasakan
langsung dampak perubahan dari sistem Pertanian Alami. Ia datang dari angkatan kedua dari
generasi awal para pelaku Pertanian Alami di Salassae. Luasan lahan pertaniannya relatif besar;
ia menggarap sawah padi seluas 3 hektar lebih, kebun berisi merica, karet, dan lainnya seluas
10 hektaran. Ia pernah ditawari dana bantuan sebesar 15 juta untuk bertani ala program
pemerintah tersebut.

“… banyak temen-temen petani (alami) beralih ke (program) itu, karena dapat uang itu,
sekitar tiga juta lebih per satu hektar. (Yang semula sudah bertani alami)—berubah
semua. Saya saja diiming-imingi itu lebih 10 juta; 15 juta. Tergantung dari luas lahan—
banyak juga yang sudah tahu itu. Pas waktu itu, tidak mau beralih (dari PA ke model
lama). Cuman gara-gara tergiur uang (ada juga yang beralih ke model pertanian lama),”
Arman Tanggung.

Saat itu, mengingat kebijakan ini dari pemerintah, program itu juga mendapat dukungan dari
desa.64

Setelah bergulat mempertahankan sistem Pertanian Alami tahun 2015, tahun


berikutnya datang tantangan baru. Yakni muncul program pertanian organik;

“Nah, baru tahun berikutnya itu muncul program (pertanian) organik di Salassae,
(dibawa) oleh PPHT, dari provinsi,” Arman Tanggung.

Fase ini juga menyebabkan para penganjur Pertanian Alami, seperti Muh Nur, bersusah payah
beradu argumen dengan penganjur pertanian organik untuk—selain mempertahankan prinsip
Pertanian Alami di dalam komunitas maupun di luar, juga—memperkokoh basis pemahaman
masyarakat tentang Pertanian Alami. Menurut Muh. Nur, petugas PPL pertanian organik saat
itu sudah masuk ke kampung-kampung menganjurkan untuk bertani ala pertanian organik.
Tentu pertanian organik tidak sama dengan Pertanian Alami yang setingkat di atasnya, dalam
memperlakukan tanaman atau tata cara bercocok tanam. Meski pertanian organik sudah tidak
menggunakan bahan dan input pertanian yang tidak mengandung kimia beracun, tetapi sistem
ini masih membolehkan mendatangkan mikroorganisme dari luar. Sementara Pertanian Alami
mensyaratkan untuk menggunakan mikroorganisme lokal (indigenous micro-organism /IMO).

Dengan kegusaran Muh Nur sudah menduga “kampanye” pertanian organik ini bukan
ada begitu saja, tapi ia tentu memanfaatkan keadaan yang ada yakni terbentuknya pemahaman
masyarakat petani Salassae tentang pertanian yang “berkelanjutan,” “menyelamatkan
lingkungan,” dan “menyehatkan”—yang telah ditanamkan oleh Pertanian Alami. Akhirnya baru
kemudian benar apa yang menjadi dugaan Muh Nur, “program pertanian organik” ini ujungnya
64
Wawancara dengan Arman Tanggung; “..(desa) mendukung, (karena) program pemerintah langsung,” kata
Arma; 10 Agustus 2018.

21
adalah upaya menciptakan pasar bagi pupuk organik buatan pabrikan, dan input bahan
pertanian lainnya. “Tahun berikutnya itu, saya baku hajar lagi,” kata Uro alias Muh Nur.

Tentu saja, andai program pertanian organik itu banyak diberi kesempatan dan diikuti
masyarakat, itu bukan bentuk kemajuan baru bagi petani Salassae yang secara Ekososiologis
(Sosial-ekologi) sudah lama berjuang dengan kuat agar keluar dari kemandegan (involusi) dalam
pertanian, kemiskinan dan ekslusi akibat perluasan perkebunan karet. Apatah artinya bagi
petani di saat mengganti tata cara sistem pertanian konvensionalnya yang memiskinkan, penuh
jebakan hutan, ke pola sistem pertanian organik jika mereka tetap menjadi rantai obyek dari
industrialisasi pertanian gaya baru; ibaratnya pindah dari kubangan lumpur persoalan yang
difabrikasi oleh kepentingan industri-kapitalis di era Revolusi Hijau ke kubangan lumpur
persoalan baru—yang jatuh-jatuhnya tetap pada penderitaan yang sama. Oleh karena itu, Muh
Nur atau yang dikenal Uro menghadirkan petugas penyuluh lapang sistem pertanian organik
tersebut dalam forum pengenalan Pertanian Alami—

“Jadi, kan (program pertanian organik) ini ada kantornya di Rilaualle’, (program) ini yang
provinsi punya, saya bikin pelatihan di samping kantornya itu, pelatihan Pertanian
Alami. Saya undang dulu bapak itu yang saya pernah baku bilang itu…,” Muh Nur.

Uro berharap, selain petugas tersebut dapat memahamkan sistem pertanian alami yang
mendorong petani untuk berdaulat di atas tanahnya sendiri, juga dapat memahamkan duduk
perkara yang dihadapi masyarakat petani saat ini kepada si petugas, sekaligus perbedaan
mendasar antara Pertanian Alami dan Pertanian Organik; yang jatuh-jatuhnya mengajak petani
“terjerat dalam rantai nilai” dari industri pasar pupuk organik dunia pertanian.

Tantangan yang tak kalah beratnya juga ialah datang dari aparatus desa—seperti kepala
dusun. Mula-mula pengembangan sistem Pertanian Alami berjalan di 3 (tiga) dusun, yakni;
Ma’reme, Batutujuah, dan Bontotangnga. Tiga dusun ini menjadi lokus utama pengembangan
Pertanian Alami di Salassae; diantara 3 dusun awal penggagasan sistem Pertanian Alami ini
memiliki arti penting bagi “perjuangan” Pertanian Alami. Intensitas “konflik-kepentingan”
antara penganjur Pertanian Alami dan apparatus desa terutama yang ada di Dusun Batutujuah
relatif tinggi. Kepala dusun Batutujuah tidak mau menaruh minat untuk mau tahu atau terlibat
aktif dengan gagasan-gagasan Pertanian Alami, malah dalam satu medio waktu sekira 2015
komunitas Petani Alami yang kebetulan ada di Batutujuah dan kepala dusun “baku-hantam”,
kedua belah pihak saling berseberangan tidak bisa bertemu. 65 Termasuk dalam penguasaan
data petani oleh perangkat dusun masih dinilai kurang informatif sehingga data dan info
mengenai pertanian menurut Ponnong—salah seorang penggerak Pertanian Alami—tidak
memadai.

65
Wawancara dengan Arman Tanggung, 7 Agustus 2018; dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.

22
Baru belakangan ini, setelah Pak Haji Jamaludding menjabat sebagai kepala desa ke-3
kalinya (sebelumnya pernah menjabat 2 periode, periode I 8 tahun; periode II 6 tahun)
Pertanian Alami setidanya mendapat perhatian dari pemerintah desa—meski pelum
terakomodasi sepenuhnya.

“ Memang kami belum 100 % memakai konsep Pertanian Alami disini. Ya masih
separoh-separoh-lah. Karena Pertanian Alami itu tidak mudah mas, belum semua
masyarakat bisa menerima. Masih banyak yang kuatir, nanti rugi, panennya turun,
hasilnya ndak mudah dijual, dst. Tapi kami sedang menyusun Perdes tentang Pertanian
Alami. Sebab hal ini penting ke depan. Tapi pelan-pelan. Masak orang lain datang ke
desa kami belajar Pertanian Alami, kami malah mengabaikannya dan tidak
menghargai?” H. Jamaluddin, Kades.66

Di pemerintahan desa, mula-mula Pertanian Alami saat ini didorong sebagai muatan
pendidikan dan kelak akan diadopsi kedalam peraturan desa manakala pengertian dan praktik
pertanian alami mulai menyeluruh dan dilalukan oleh semua warga. Beberapa penganjur
Pertanian Alami sudah mengetahui hal ini jika Pertanian Alami rupanya belum secara total
dapat di-Perdeskan (diregulasikan sebagai peraturan di tingkat desa). Alasan yang dikemukakan
kepala desa memang dapat masuk akal bahwa masih banyak warga yang belum bisa menerima
Pertanian Alami—dengan berbagai alasan. Namun alasan yang dikemukakan sendiri oleh kepala
desa merupakan dua perkara yang patut dipahami; pertama, sebagai alasan politik kebijakan
dimana seorang pemimpin dengan kebijakan atau keputusan yang dibuatnya sekurangnya bisa
mengayomi semua pihak semua golongan (meksi tak selalu menguntungkan semuanya). Inilah
politik kebijaksanaan. Tetapi kedua, ini tak ubahnya sebuah sikap politik kepemimpinan yang
menunggu peluang (politik opportunis) kapan “mencairnya relasi konflik” dua kelompok petani
konvensional dan petani alami sehingga bila kelak diambil langkah pemutusan Perdes Pertanian
Almai tidak ada salah satu pihak yang diangkat lalu pihak lain dijatuhkan. Langkah ini terkesan
bijaksana, apabila pertanian alami langsung diadopsi sebagai peraturan desa sementara
masyarakat belum banyak tahu (atau tepatnya tidak mengambil kesempat untuk tahu) dan
mengerti apalagi berminat penuh untuk mempraktikkan pertanian alami di lahan-lahan
sawahnya tentu akan menjadi boomerang: menyebabkan ketidak-efektifan gagasan Pertanian
Alami dan segala kampanye-kampanyenya. Padahal yang dikehendaki oleh komunitas petani
alami selain desa mereka menerapkan sistem Pertanian Alami, namun juga warga yang
mengadopsinya sebagai kultur pertanian dilakukan secara sukarela dan perasaan terpanggil
(tidak ada paksaan)—hal ini sebagaimana terjadi dalam proses penyebaran pola pikir sistem
Pertanian Alami ke berbagai tempat.

66
Wawancara dengan kepala desa H. Jamaludding, 8 Agustus 2018.

23
Begitulah alasan kenapa antara lain Pertanian Alami di Desa Salassae baru mengakupasi
40% lahan sawah dari total luasan 84 hektar yang ada di desa 67—selain memang terkendala
oleh “alasan” lain (akan disampaikan di bagian selanjutnya). Jika ditanya kepada apartus desa,
dan dalam hal ini ialah kepala desanya, sejauh mana Pertanian Alami berlaku di desa Salasssae,
mereka akan menjawah masih sejauh gagasan dan kini baru menjadi “semi peraturan desa”.
Ketika diminta untuk menjelaskan apa itu “semi peraturan desa”, ialah bahwa Pertanian Alami
saat ini baru menjadi bahan pendidikan atau bahan ajar bagi masyarkaat terutama kaum muda.
Sementara itu—sebagai bagian dari pendidikan dan pembelajaran—desa antara lain sudah
memberikan bantuan mesin pemotong rumput ke dusun-dusun sebagai antisipasi agar
masyarakat tak lagi menggunakan bahan kimia untuk mematikan rumput di halaman-halaman
rumah maupun di pinggir-pinggir jalan. Mesin pemotong rumput ini akhirnya menjadi salah
satu pengendali untuk agar warga tak menggunakan herbisida kimia yang bersifat racun
(karsinogenik) dan merusak lingkungan. Ini lah gambaran politik desa saat ini.

Sejak mendapat penghargaan sebagai kampung iklim dalam Proklim (Program kampung
iklim) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) awal Agustus 2017 lalu, kini per
2018 Pertanian Alami tak hanya dilirik tetapi sudah dipandang sebagai gagasan yang perlu
didukung untuk perbaikan dunia pertanian—sejak dari tata kelola dan tata cara pertanian
hingga pada tata guna tanah/lahan sawah (isu struktural) dan tata produksi pertanian (isu
fungsional).[]
Tentu saja, setelah pengargaan itu, tantangan perjungan untuk mewujudkan pertanian alami di Sallasae
bukan berarti sudah berakhir. Justru ketika keterbukaan politik dari desa mulai terasa, penghargaan dari
pihak luar mulai diraih, berduyun-duyun desa di sekitar Sallasae, sekitar kabupaten Bulukumba juga
mulai makin tertarik mempraktikkan Pertanian Alami di desa mereka, dst, tantangan baru muncul.
Bagaimana kekuatan perangkat sosial, kelembagaan dan organisasi KSPS merespon itu semua?
Termasuk memastikan Pertanian Alami di Sallasae tetap menajdi teladan dan contoh bagi tempat lain
yang ingin belajar?. Point-point pembelajaran itu akan diular di bab selanjutnya.

PA di Tengah Pusaran Politik Desa

Baru belakangan ini, sejak tahun 2017, setelah Pak Jamaluddin menjabat sebagai kepala desa
ke-3 kalinya (sebelumnya pernah menjabat 2 periode, periode I selama 8 tahun; periode II
selama 6 tahun) pertanian alami mendapat perhatian dari pemerintah desa. Mula-mula
pertanian alami didorong sebagai muatan pendidikan dan kelak akan diadopsi kedalam
peraturan desa manakala pengertian dan praktik pertanian alami mulai menyeluruh dan
dilalukan oleh semua warga. Langkah ini terkesan bijaksana, apabila pertanian alami langsung
diadopsi sebagai peraturan desa sementara masyarakat belum banyak tau dan mengerti apalagi
67
FGD, 10 Agustus 2018. Luasan lahan persawahan dari data desa berkisar 121 hektar. Namun data aktualnya
hanya 84 hektar. Pertanian Alami mengokupasi sebasar 40%-nya saja dari luasan data aktual tersebut. Di masa lalu
luasan lahan sawah diperkirakan lebih dari 200an hektar, namun menyusut seiring alih fungsi lahan akibat
masuknya perkebunan karet PT Lonsum, sebagian lagi karena faktor irigasi dan air yang tak bisa menjangkau lalu
berubah jadi kebun yang ditanami holtikultura seperti cengkih, karet, merica, dll. Kecilnya luasan sawah Pertanian
Alami di desa juga disinyalir terhalang oleh keberadaan tanah absente sebesar 30% dari total luasan.

24
berminat penuh untuk mempraktikkan pertanian alami di lahan-lahan sawahnya tentu akan
menjadi boomerang dan ketifak-efektifan gagasan pertanian alami dan kampanye-
kampanyenya.

Jika ditanya, kepada apartus desa dan dalam hal ini ialah kepala desanya, sejauh mana
pertanian alami berlaku di Desa Salassae, mereka akan menjawah masih sejauh gagasan dan
kini baru menjadi “semi peraturan desa”. Ketika diminta untuk menjelaskan apa itu “semi
peraturan desa” ialah bahwa pertanian alami saat ini baru menjadi bahan pendidikan
atau bahan ajar bagi masyarkaat terutama kaum muda, sementara itu desa antara lain
sudah memberikan bantuan mesin pemotong rumput ke dusun-dusun sebagai
antisipasi agar masyarakat tak lagi menggunakan bahan kimia untuk mematikan rumput di
halaman-halaman rumah maupun di pinggir-pinggir jalan. Mesin pemotong rumput ini akhirnya
menjadi salah satu pengendali untuk agar warga tak menggunakan herbisida kimia yang bersifat
racun dan merusak lingkungan. Ini lah gambaran politik desa saat ini.

Periode kekuasaan Pak H. Djamaluddin sebagai kepala desa ini adalah “masa cerah” dari
rangkaian sejarah “masa suram” perjalanan perjuangan PA di desa Sallasae. Sebagaimana
dijelaskan di bab sebelumnya, kekuasaan politik aparatus desa Sallasae di periode Orda Baru,
adalah pusat penentu semua dimensi kehidupan masyarakat desa. Demikian kuatnya kekuatan
posisi politik Kepala Desa, waktu itu, hingga sosoknya “mirip” dengan kekuatan politik Presiden
Soeharto saat ini. Bedanya ini di level desa. Kepala Desa DH, yang dimaksud, hingga memiliki
rentang waktu kekuasaan mirip dengan usia Orba, yakni sekitar: 1965- 1997, selama 32 tahun.
Karenanya, gerakan masyarakat yang menggunakan sebutan “Gong 2000” kemudian
melengserkan Kepala Desa DH, meng-qiaskan gerakan mereka seperti gerakan reformasi
namun satu tahun lebih dulu:

“ Jika gerakan Reformasi yang menggulingkan Pak Harto, baru bisa berhasil tahun 1998,
kami disini sudah lebih dulu melakukan reformasi. Menggulingkan DH dari kursi Kepala
Desa Sallasae. Ini tonggak penting dari kelanjutan kelompok gerakan masyarakat yang
dulu juga tergabung dalam gerakan tolak PT Lonsum (hingga sekarang). Bagi kami,
Kepala Desa DH banyak berlaku sewenang-wenang pada masyarakat, mirip Orde baru di
tingkat Desa”. (Arman dkk, 09/08/2018)

Banyak cerita berkembang di masyarakat tentang kekuasaan “otoriter” Kepala Desa DH,
khususnya penggunaan kekerasan dan ancaman yang sering dilakukan bersama para
pendukungnya, pada kelompok yang kritis atau berseberangan secara politik. Kebetulan para
pendukung PA sekarang ini dulunya adalah kelompok politik yang berbeda pandangan dengan
DH. Diantara praktik penyalahgunaan kewenangan kekuasaan politik desa itu adalah pengambil
alihan secara “sepihak” tanah-tanah yang diklaim sebagai wilayah “tak bertuan” atau “tanah
negara” untuk dijual belikan kepada kroninya. Baik dari kelompok TNI maupun Bupati dan Elit

25
Pemda saat itu. Namun di era itu, tak banyak yang berani untuk berbeda apalagi melawan
apapun atas nama negara dan pemerintah.

“ Zaman itu atas nama negara itu bisa berbuat apa saja. Makanya kami punya istilah
dulu; “Polo Pao Polo Panni” (pasrah pada penguasa, daripada mati), karena waktu itu
masyarakat desa takut melawan pemerintah, meski salah kebijakannya. Kata orang sini
dulu, pemerintah dan aparat pendukumgnya itu disebut “Pongala ta’alla allino” (Tuhan
Dunia, lebih berkusa daripada Tuhan). Itu menunjukkan begitu berkuasanya
pemerintah, dan bisa menentukan apa saja kepada rakyatnya, hampir seperti Tuhan”
(Uro, Whd, di FGD, 10/09/2018)

Tak heran hingga sekarang, masih banyak tanah absente minimum tak kurang 30 % dari seluruh
wilayah subur di Desa Sallasae. Dengan mudah penduduk desa menyebut tanah itu milik
Kolonel ini, tanah itu milik Jaksa ini, sawah itu milik keluarga Bupati ini, tanah itu milik Daeng
ini, dst. Meski hingga sekarang, secara lisan dan de jure, masih menunjukkan status
kepemilikan tanah absente itu, namun secara de facto, para “pemiik tanah” itu tidak bisa
dengan mudah mengambil kembali. Sebab sejak tahun 2017, pihak desa yang dipimpin Pak H.
Djamaluddin menujukkan bukti-bukti bahwa klaim sepihak itu sekarang sulit dibuktikan secara
empiris. Sebab dulu klaim kepemilikan itu pemetaan tanahnya dibuat di atas meja, tanpa
melakukan konfimasi empirik di desa secara detail clear and clean. Sementara perubahan sosial
dan geografis terjadi seiring dengan pemekaran desa-desa di era Orba dan Reformasi. Sehingga
batas-batas kepemilikan tanah juga berubah tak lagi terbatas dalam satu wilayah desa.

Pada tahun 1990-1997-an kelompok yang menamakan diri “Gong 2000” yang inisiator dan
penggerak utamanya adalah kelompok yang sama menjadi perintis dan pendorong PA di desa
Sallasae sekarang melakukan gerakan untuk melakukan “reformasi” di tingkat desa. Hingga
pada tahun 1997 kekuasaan Kepada Desa DH pun dapat dilengserkan paksa. Inilah tonggak
penting bagi masyarakat untuk kembali memikirkan upaya dan strategi mengembalikan tanah-
tanah yang pernah diklaim sepihak sebelumnya. Hingga pasca Reformasi, upaya untuk
“mengambil ulang” anah-tanah yang dirampas sepihak terus dilakukan, baik dengan cara
membeli kembali atau meluruskan kembali kepemilikan tanah pada pemiliknya melalui desa.

Dengan penjelasan historis politik di tingkat desa di atas hendak ditunjukkan bahwa segregasi
kelompok-kelompok sosial dan politik di tingkat Desa Sallasae sekarang ini juga tidak bisa
terlepas dari kontestasi politik sebelumnya. Ketika gerakan PA didorong oleh orang-orang yang
kemudian tergabung di SPKS, sulit tak melihat bagaimana kelompok ini adalah yang juga bagian
yang menjadi penggerak untuk menolak PT Lomsum, gerakan Gong 2000 yang melengserkan
Kepala Desa DH. Ada warisan politik yang terus berlanjut hingga sekarang. Jika diperiksa lebih
lanjut, kelompok yang enggan dan sebagian menolak terang-terangan atas gagasam PA di Desa
Sallasae, jika diperiksa lebih dalam bukan soal gagasan dan konsep PA, tapi lebih karena ada
warisan sejarah “kontestasi politik” di tingkat desa. Dengan latar historis politik di tingkat desa

26
inilah kemudian yang menjadi waja dan bisa difahami jika penyebaran dan dakwah PA jusru
lebuh mudah ke desa-desa sekitar Sallasae dan luar kabupaten Bulukumba. Tentu saja,
kontestasi politik di tingkat desa yang terjadi di Sallasae bukanlah hak unik. Sebab hal itu adalah
potret umum di banyak desa. Potret kontestasi politik tersebut diuraikan sebagai bingkai
konteks dari gerakan PA di Sallasae relasinya dengan kuasa politik di tingkat desa.

II. Ragam Motivasi dan Alasan Penerapan Pertanian Alami

“Dunia pertanian atau peradaban pertanian ini dibangun sejak 10.000 tahun yang lalu.
Tetapi hancur dalam tempo 50 tahun terakhir, 68 ketika kita mengenal apa yang disebut
Revolusi Hijau. Tetapi kita tidak boleh berhenti bahwa dunia ini bisa dikembalikan…,” –
Armin Salassa.69

Revolusi Hijau merupakan nama bagi sebuah istilah yang digunakan untuk peningkatan
produktivitas pertanian yang awalnya memiliki misi mulia yakni memerangi kelaparan yang
banyak melanda dunia, ketika itu, baik akibat perang maupun terutama perubahan iklim
(musim kering berkepanjangan; Elnino), krisis pangan di Asia dan kejadian kelaparan di Afrika. 70
Tetapi pada perjalanannya misi mulian ini kemudian diboncengi kepentingan lain, yakni
“Kepentingan Industri”. Industri pupuk industri racun ikut menunggangi industri pertanian ini
hingga sampai hari ini. Sejak industri ini masuk ke dunia pertanian, nyaris tak dapat ditemukan
dimana ada petani yang sudah berpuluh-puluh tahun menggunakan racun kimia, pupuk kimia,
mereka hidup bahagia dengan dunia pertaniannya. Karena itu, di tengah keadaan sosial-
ekologis perdesaan di Bulukumba pada umumnya dan khususnya di Salassae dihantam
perkebunan karet,71 lalu tanah menyusut, lahan pertanian pangan berubah menyempit,
lapangan pekerjaan maupun moda produksi pertanian (on farm) hilang atau berkurang dari
kampung, akibatnya muncul arus mobilisasi warga perdesaan menuju perkotaan (urbanisasi)
untuk menyambung hidup, sisanya mempertahankan sisa-sisa hidup di desa yang nyaris sia-sia.
Dampak budayanya pun, sebagai dampak ikutan dari urbanisasi ini, makin jauhnya kultur tanah
(pola & sistem pertanian, pengetahuan bercocok tanam) dari penghidupan orang desa tegurus
oleh budaya perkotaan dan pilihan moda produksi-nya pun di kemudian hari cenderung

68
Revolusi Hijau dikenalkan di Indonesia pada medio paruh pertama tahun 1980.
69
Disampaikan dalam forum studi-banding STIP Makassar ke Komuintas Petani Alami, KSPS di Salassae, 8 Agustus
2018.
70
Baca kasus-kasus dampak Revolusi Hijau, dan bagaimana respon semula Revolusi Hijau untuk menjawab
tantangan di bidang pangan dan isu kelaparan; salah satunya dalam Goran Djurfeldt, et.al (Eds.), The African Food
Crisis - Lessons from The Asian Green Revolution (CABI Publishing: Wallingford, UK., 2005), sebuah bunga rampai
yang mengkaji bagaimana awalnya revolusi hijau diterapkan, antara lain, misalnya di India, Indonesia, dan Filipina,
hlm 43-63.
71
Kehadiran kebun karet di masa 1960-an, di periode kepala desa Karaeng Heba, telah mengubah sistem tenurial
lahan pertanian, juga mengubah struktur agrarianya. Yang secara umum hal ini turut telah menjadi mekanisme
sosial yang banyak menghadirkan perubahan sosial (social change), muncul elit baru, di dalam masyarakat
Salassae.

27
“kekota-kotaan” meski ekosistemnya perdesaan. Beruntunglah Pertanian Alami hadir seolah
menengahi situasi sosial-ekologis Desa Salassae untuk keluar dari pemburukan situasi dan
kondisi kampung.

Motivasi untuk hidup sehat bebas dari pangan berbahan kimia beracun menjadi bagian
utama dalam pengenalan Pertanian Alami. Ini merupakan alasan umum yang mudah ditemukan
di lapangan—bahkan barangkali menjadi alasan umum masyarakat yang mulai sadar akan
bahan-bahan kimia berbahaya dalam bahan baku dan olahan pangan mereka belakangan ini.
Juga barangkali jika ditanyakan ke warga Salassae yang tak menganut sistem Pertanian Alami
mengenai pilihan-pilihan hidup dan jalan keselamatan antara tata cara bercocok tanam yang
sehat, selamat (aman) dan menyelamatkan lingkungan dan tubuh manusia mereka akan
menjawab sistem Pertanian Alami-lah yang lebih baik dan benar untuk “jelan keselamatan” itu.
Namun perkara ini tidak mudah, hanya tersebab pilihan afiliasi politik di masa lalu, atau ikatan
patron-klien dalam sistem pertanian yang top-down, atau gengsi semata, orang yang telah tahu
“jalan keselamatan” itu menjadi tak mudah untuk menjatuhkan pilihannya pada sistem
Pertanian Alami. Selebihnya kesuliatan untuk memilih sistem Pertanian Alami sebagai “jalan
keselamatan” ini tak ubahnya orang yang tahu kebenaran tapi tak bisa atau tak mau menganuti
dan mempercayainya. Rupanya menerima sistem Pertanian Alami sebagai kultur pertanian di
Desa Salassae—atau di Bulukumba umumnya—merupakan ibarat orang memperoleh
“hidayah”: Petunjuk Kebenaran.

Orang tertarik pada Pertanian Alami dilatarbelakangi oleh motif dan berbagai hal alasan,
antara lain ialah; (1) Motivasi dan alasan ekonomi rumah-tangga; (2) Motivasi dan alasan
kesehatan; (3) Motivasi dan alasan ekologis; (4) Motivasi dan alasan efisiensi – efektivitas, dan;
(5) Motivasi dan alasan sosial-budaya.

Motivasi dan Alasan Ekonomi

Ketertarikan orang-orang di luar Salassae, tentu juga minat orang dalam sebagaimana
diceritakan, misalnya dari 5 kabupaten yang disebutkan di awal, diantara mereka menganggap
Pertanian Alami itu mula-mula seperti barang antik;

“Semangatnya itu, kalau dia benar-benar mengerti, tinggi. Satu diantara mereka bilang,
‘ini pertanian sudah tidak beli apa-apa. Selama ini kita selalu baku senggol dengan istri
kalau mau beli pupuk, (setelah bertani alami) tidak usah marah-marah lagi’ ya kayak
itulah,” Muh Nur72.

Berkat menerapkan sistem Pertanian Alami, para petani itu sekarang tidak ada lagi
mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk dan obat hama yang kerap mengganggu
ekonomika rumah tangga petani (RTP). Motivasi ekonomi untuk menerapkan sistem Pertanian
72
Wawancara dengan Muh Nur, alias bang Uro; 7 Agustus 2018.

28
Alami menjadi alasan yang mencolok para pelaku barunya—meski ada juga yang merasa was-
was khawatir gagal. Namun demikian, meski ada yang gagal lalu benar-benar mundur teratur
dari pola pertanian ini, tetapi ada juga yang gagal tetapi maju terus, tidak kapok, hingga
berhasil.73 Tentu dimana-mana petani memilih pertanian sebagai moda produksi menghendaki
keuntungan, ketika Pertanian Alami mejanjikan keuntungan ekonomi yang lebih dari pada
sistem konvensional, maka petani yang memiliki kalkulasi untung-rugi akan memilih sistem
Pertanian Alami. Terutama dalam alokasi keuangan rumah tangga petani, biaya input pertanian
konvensional sungguh begitu mahal (lih. Bagian dampak & Hasil). Sehingga tak jarang ketika
seorang petani selepas panen lama dan tak dapat banyak menyimpan hasil panen—malah yang
kerap terjadi dijual seluruhnya demi kebutuhan harian—hendak memulai masa tanam baru,
selalu terjadi cek-cok (perselisihan) antara suami dan istri.

“Ada yang lagi yang menyebut, kalau hari ini (sesudah beralih ke Pertanian Alami), dia
bilang ‘Saya tidak mau ketemu lagi—kan ada orang biasa jual pupuk namanya Haji
Tamsir—dia bilang, ‘Sekarang saya tidak pernah ketemu lagi sama Haji Tamsir. Saya lupa
namanya itu..,’” Muh Nur.

Tidak lagi berhubungan dengan penjual pupuk dan racun hama seolah menjadi
kebanggan tersendiri bagi warga yang baru menerapkan sistem Pertanian Alami. Mengapa
begitu? Karena selama ini pupuk dan segala input bahan pertanian itu mahal—hampir tak
dibayar, karena terbeli dengan hutang. Para penjual pupuk ini biasanya adalah juga tengkulak,
ia juga berperan sebagai pemberi modal dengan cara hutang-piutang dalam usaha pertanian
padi. Karena itu begitu kokoh rasanya bangunan patron-klien antara petani dan penjual pupuk.
Namun ketika sistem Pertanian Alami diterapkan, bangunan itu seketika seperti istana di atas
pasir: runtuh. Cerita perselisihan dalam rumah tangga petani antara suami dan istrinya,
sebelum PA, kerap menjadi cerita musiman berbarengan dengan manakal musim tanam mulai
masuk—karena di situlah seorang petani mulai menghitung modal “butuh berapa” dan
mengumpulkannya untu usahanya. Tergambarkan sekali tarik-menarik antara mau
dikemanakan alokasi dana antara ke uang dapur atau ke biaya untuk beli pupuk atau obat di
pertanian konvensional. Hal ini sudah menjadi dinamika ekonomika rumah tangga petani yang
begitu pelik—dan ujungnya mengundang persoalan baru, yakni hutang dan terjebak jeratan
hutang. Dengan kata lain, biaya pertanian non-alami itu menjadi beban berat bagi ekonomika
rumah tangga petani yang sebenarnya selalu berusaha dihindari. Sehingga ketika muncul sistem
Pertanian Alami yang mensyaratkan semua input pertanian harus tidak berunsur kimia, racun,
dan menggunakan mikroorganisme lokal, bahan-bahan diambil dari lingkungan sekitar dan
murah (bahkan tidak membeli), para petani di Salassae yang bebas merdeka pikirannya
73
Pernah seorang petani alami bertani sawah padi, namun setelah 25 hari biasanya berbunga lalu berbuah, tetapi
kenyataannya padi menguning dan rusak. Rupanya hanya karena pada fase awal ia kelebihan memberi pupuk
kompos sebanyak 20 sak pada lahannya seluas 4 are yang seharusnya cukup 5 karung saja. Ia gagal di situ, tetapi
memulainya lagi hingga berhasil.

29
merasakan menemukan alasan yang benar untuk menerapkan pola dan sistem Pertanian Alami.
Berkat Pertanian Alami dapur mereka tidak terganggu lagi oleh pupuk dan racun.

Motivasi dan Alasan Kesehatan

Kebanyakan para pelaku gerakan PA di Sallasae mendukung dan sepakat dengan PA karena
alasan kesehatan keluarga dan anak cucu. Semua faham bahwa pertanian konvensional penuh
dengan racun dan kimia dan PA menawarkan kebalikannya. Daya tarik PA lebih banyak pada
bukti nyata yang dilihat dan dirasakan langsung di keseharian warga masyarakat. Khususnya
soal hasil pertanian pangan. Baik beras, sayur mayur, jagung, kedelai, buah-buahan yang
dihasilkan dengan cara PA jauh lebih enak rasanya dan lebih sehat dibandingkan dengan hasil
dari pertanian konvensional. Masyarakat petani yang keseharian membudidaya dan merawat
tanaman mereka di kebun dan sawah, pada dasarnya ada rasa ketidakmauan dan kadang
bersalah menggunakan aneka racun dan kimia untuk tanaman mereka. Sebab mereka sebagai
petani sebenarnya faham pengaruh dan dampaknya. Baik untuk tanamannya maupun untuk
tanah, aliran/sumber air di bawah/sekitarnya. Terlebih, sekarang ini massif di media, baik cetak,
elektronik dan media sosial lainnya, kampanye untuk kembali hidup sehat dan alami, melalui
makanan-manakan yang tanpa kimia dan racun. Baik yang memakai istilah herbal, organik atau
alami. Informasi di media tetang pentingnya hidup lebih sehat yang sampai ke masyarakat
melalui TV, WA Groups, dan jaringan yang memakai internet lainnya, memberi pengaruh
tersendiri diterima dan cepatnya gerakan PA di desa Sallasae dan sekitarnya.

“Mana ada mas, orang tua yang mau anak dan keluarganya sakit-sakitan. Apalagi
sekarang biasa kesehatan makin mahal. Makanya kalo lagi kumpul dengan ibu-ibu
maupaun masyarakat saya sampaikan soal manfaat PA ini untuk kesehatan keluarga.
Tapi sebenarnya masyarakat udah pada tahu dan faham, karena dirasakan harian. Kita
tinggal menguatkan saja. Misalnya, ada yang masak nasi hasil PA, biar 1 minggu
ternyata nasinya tidak bau. Kalo padi biasa (hasil pertanian konvesional) paling 3-4 hari
udah bau. Masyarakat udah bisa bandingkan sendiri.” (Kak Sr, 10/08/2018)

Kesadaran hidup sehat kini tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat perkotaan tapi
sebagian telah berkembang pula di masyarakat perdesaan yang menganut sistem Pertanian
Alami. Memang setelah masyarakat perkotaan mulai sadar bahwa bahan olahan pangan
mereka cenderung tidak sehat, banyak mengandung bahan kimia beracun (karsinogenik)
sementara kandungan gizinya tidak seimbang, mereka mulai melirik gaya hidup sehat-hidup
alami—sejak dari barang-barang yang mereka makan. Sebaliknya orang perdesaan (rural) sudah
tertular secara latah mengikuti gaya hidup orang perkotaan di fase “belum sadar hidup sehat-
alami” dengan mengkonsumsi makanan instan (siap saji), berbahan kimia seperti penyedap

30
rasa, penguat warna dan tekstur, suplemen (tambahan makanan) yang kadar gizinya terkadang
tidak sesuai dengan takaran yang dibutuhkan. Di Desa Salassae, Pertanian Alami menjadi media
sekaligus subyek untuk menumbuhkan kesadaran hidup sehat sejak dari bahan olahan pangan
yang dikonsumsi. Meski mula-mula bahan baku yang diketahui dan dianggap sehat itu berasal
dari beras yang dimakan; untuk memperoleh beras yang sehat, maka ditanam sendiri dengan
cara sistem Pertanian Alami.

Ada tiga poin penting dalam Pertanian Alami untuk mendukung hidup sehat yang
dikembangkan komunitas petani alami, KSPS, di Desa Salassae, yakni; (1) Tanah yang sehat; (2)
tanaman yang sehat; dan (3) tanaman yang bebas dari hama dan kimia beracun. Tiga barang ini
secara aksiomatis akan menghasilkan (1) Petani yang sehat; (2) Konsumen yang sehat, dan; (3)
Lingkungan Lestari. Ketiga poin penting ini rupanya merupakan sebuah manfaat bergandaan
yang melahirkan dampak berganda pula (double effects), yang membentuk logika triangulasi uji-
klinis sistem Pertanian Alami terhadap lingkungan ekosistem dan tubuh manusia. Inilah
motivasi dasar yang menghadirkan cara hidup alami secara holisik di tingkat tapak (lahan
sawah) bagi kehidupan petani hingga ke konsumen (pasar). (lih. lampiran Diagram segitiga
imbal balik [doble triangle double effects] sistem Pertanian Alami).

Motivasi dan Alasan Ekologis

Masyarakat yang memilih PA di Desa Sallasae karena secara prinsip dasar dan filosofi nya
sangat selaras dengan tujuan ekologis. PA jelas musuh utama dari pertanian yang haus racun
dan kimia yang menjadi penyebab dasar kerusakan tanah, air dan lingkungan. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, secara historis, nenek moyang masyarakat di Desa Sallasae juga
memiliki pengetahuan lokal yang harmoni dalam pengelolaan sumberdaya alam. Baik untuk
tujuan pertanian, kebun, ternak dan budidaya pangan lainnya. Sehingga PA, sekali lagi seperti
membangunkan kembali ingatan masyarakat untuk melanjutkan warisan pengetuan lokal para
leluhur untuk menjaga hubungan baik dengan alam sebagai satu kesatuan ekosistem. Bedanya,
sekarang perlu dikonteksualisasikan dengan situasi sosial-ekonomi dan politik yang berbeda.

“Generasi kami tak mengenal istilah Pertanian Alami, hanya praktiknya sama. Karena
kami dulu wajib pnya ternak, maka kotoran ternak itulah yang jadi pupuk tanaman.
Kadang untuk tanaman padi, kami dulu sengaja tanam satu kali tapi tidak dicabut
padinya, tapi dirobohkan, agar jadi pupuk alami tanahnya. Moyang kita juga
membatasi untuk tanam. Ada waktu jeda, untuk istirahat tanah, katanya. Tapi kami
dulu lebih banyak padi ladang, lalu beberapa tahun kemudian jadi padi sawah. Mungkin
juga karena belum banyak pabrik pupuk ya waktu itu. Tapi memang orang tua kami

31
selalu mengajarkan untuk tidak boleh merusak tanah, mencemari air, merusakan hutan,
sebab itu sumber hidup keseharian kami. (Sejarawan Desa, Pak Tng, 09/08/2018)

Para petani alami yang mulanya tertarik Pertanian Alami karena ingin mengurangi
ketergantungan terhadap pupuk, bahkan memutus hubungan, terutama terhadap pupuk kimia
dan racun, rupanya mereka juga telah memutus beban ekonomi “jerat-hutang” dalam
ekonomika rumah tangga petani (RTP) dan—yang tak kalah penting—menyingkirkan beban-
ekologis yang ditanggung oleh alam lingkungan, yakni ekosistem tanaman dan segala unsur
hayati yang ada di dalamnya dari bahan-bahan kimia beracun yang menjadi input bahan
pertanian selama ini. Di sinilah motivasi ekonomi dan motivasi hidup sehat secara alami
menjadi motivasi petani alami untuk menerapkan kultur pertanian selaras alam (Pertanian
Alami).

Para petani alami di Salassae terdorong untuk mengadopsi sistem dan pola Pertanian
Alami karena melihat daya dukung lahan pertanian yang makin berkurang secara kuantitas
(luasan lahan) dan kualitas (unsur hara dan kesuburan akibat terpapar bahan kimia). Karena itu
penerapan Pertanian Alami mengandung motivasi ekologis untuk memulihkan ekosistem yang
rusak akibat ulah tangan si petani sendiri (natural hazard)—yakni saat di masa lalu (tahun
1980an) ketika melayani “ekonomi keruk”74 di dunian pertanian. Namun demikian, motivasi
ekologis ini meksi sudah dapat dianggap mampu memulihkan ekologi ekosistem pertanian
dalam sabuk pengaman sistem Pertanian Alami (agroekologi), ia akan tertantang untuk
memperluas pengertian Pertanian Alami ini secara agroekologis menjadi eco-agricultural
reform; yakni pembaharuan sistem pertanian selaras alam sejak dari gaya hidup si petaninya
(subyek manusianya), tata cara dan tata kelolanya hingga ke tata guna tanahnya. 75 Rasa-rasanya
akan terkoreksi secara mendasar (otocritically) apabila pola tanam dan sistem bercocok tanam
(tata cara & tata kelola) sudah menganut sistem Pertanian Alami, secara komunal, tetapi masih
tersisakan lahan untuk industri “ekonomi keruk” (industri perkebunan, seperti karet) di
lingkungan ekosistem “tata cara dan tata kelola” Pertanian Alami tersebut dan atau masih
terdapat pola produksi-konsumsi yang tidak selaras alam. Memang masih banyak tantangan

74
Adalah setiap Moda produksi ekonomi eksploitasi yang didasari oleh moral dan etika kapitalisme yang tak jarang
mengabaikan rambu-rambu keselamatan ekologis ekosistem.
75
Shohibuddin (2018) dalam “Perspektif Agraria Kritis” menyebut agro-ecological reform untuk memberi
penekanan program landreform pada pembaharuan tata produksi yang memedulikan keutuhan sistem agro-
ekologi. Lih., Shohibuddin, Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris (STPN Press: Yogyakarta,
2018), hal., 61. Tetapi di sini, di dalam Pertanian Alami, juga terdapat komitmen-komitmen dan nilai-nilai dasar
pemulihan ekologi ekosistem akibat dampak dari Revolusi Hijau maka apa yang dimaksudkan dengan
“pembaharuan” juga harus mendarat di dalam ethos hidup petaninya, di dalam cara pandang dunia
(weltanschoung) dan yang paling permukaan ada di cara/gaya hidupnya. Sehingga “pembaharuan” itu tak hanya
menyentuh prihal penguasaan lahan dengan tata kelola, tata guna dan—menurut Shohibuddin—tata pengurusan
(governance) tanahnya saja, tetapi juga cara pandang dunia (weltanschoung) petaninya sebagai subyek (Manusia
relasi alam) yang mandiri dalam mengatur sistem pertanian secara konsep PA.

32
untuk penerapan sistem Pertanian Alami secara holistik di dalam komintas di tengah
masyarakat—tak hanya di Desa Salassae.76

Motivasi dan Alasan Efisiensi-efektivitas

Hampir semua pelaku PA maupun yang masih mempraktikkan pertanian konvensional


mengakui bahwa dengan cara PA, efektifitas kerja di sawah dan kebun makin efektif. Jauh sekali
perbadingannya. Khususnya jika sudah tahap PA yang telah stabil. Di Desa Sallasae umumnya
yang disebut stabil antara 2,5-3 tahun PA. Umumnya untuk mengurus sawah (1 ha), ternak (2
ekor sapi) dan kebun (0,5 - 1 ha) membutuhkan waktu 9 - 10 jam/per hari, bahkan kadang lebih
tergantung kalender musimnya. Namun bagi pelaku PA (yang telah stabil) dengan pengurusan
3 ha (sawah), 10 ha (kebun), 2 ekor (sapi) dan 3 kolam ikan, hanya butuh waktu 4-6 sehari.
Itupun kadang tak perlu tiap hari dilakukan. Sebab, semuanya sudah bisa berjalan dengan
sendirinya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Sebab PA yang memulai tahapannya dengan
memulihkan ekosistem tanah, air dan rung hidup tanaman, memugkinkan semua mikro
organisme alam yang semula rusak dan hilang, kemudian hadir dan hidup kembali. Sehingga
ujung semua itu adalah adanya “keseimbangan alam”.

Petani PA di Desa Sallasae merasa mereka dalam praktiknya berperan seperti seorang
“Pelatih”. Setelah memastikan hasil didikannya (tanaman) siap bertarung melawan
“musuh-musuhnya” (hama dan penyakit) dengan baik, maka Sang Petani hanya tinggal
menyaksikan pertarungan saja.

“Petani PA disini seperti pelatih tinju atau pelatih olahraga lainnya. Menyiapkan,
menddidik, mengkuatkan dan membekali tanamannnya agak siap dan menang
melawan musuhnya (hama dan penyakit) yang akan hadir. Jika dirasa semua udah
dipenuhi, saat hama penyakit hendak masuk tanaman itu sudah bisa melawan sendiri
musuhnya. Kita hanya menyaksikan saja pertarungan itu. Hanya jika diperlukan saja, kia
pelatih membantu. Makanya, setelah 3 tahun saya praktik PA di sawah, kebun dan
kolam ikan, sehari hanya butuh waktu 5-6 jam/per hari untuk mengurusnya. Pagi jam 6
pagi cek air/irigasi sawah, kasih pakan ikan, cek kondisi kebun. Begitupun siang, lalu
sore. Itu jika diperlukan. Makanya, jam 9 pagi saya sudah bisa nongkrong ngobrol-
ngobrol dengan Mas seperti ini. Sehingga saya banyak waktu untuk urus yang lain,
untuk keluarga, juga silaturahmi, belajar dan berkegiatan di SPKS (Arm, 08/08/2018)

76
Di tempat lain, pada suatu kesempatan pasca riset lapang Pertanian Alami di Desa Salassae, peneliti Budiono
berjumpa dan bincang dengan salah seorang anggota serikat petani di Lampung yang menerapkan sistem
Pertanian Alami pula, dalam obrolan ini dijumpai beberapa tantangan yang hampir sama baik secara intrinsik
maupun ekstrinsik dalam penerapan PA; sehingga totalitas Pertanian Alami sepertinya selalu membentur
persoalan kultural lokalnya (tantangan) masing-masing. Obrolan dilakukan di Tanggamus, Lampung; 29 September
2018.

33
Bahkan, beberapa petani PA di Desa Sallasae sembari gurau mengatakan praktik PA membikin
“Petani Malas” dan jadi pengangguran. Sehingga banyak perempuan petani yang
memiliki waktu berkegiatan lain menambah ketrampilan dan kemampuan diri mereka,
atau membuka warung bagi yang bermodal cukup agar tidak mengangur.

Logika efisiensi sebenarnya datang dari logika hukum ekonomi untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Tentu saja ini adalah logika (dan
hasrat) yang tumbuh dari moral ekonomi kapitalistik, yang jika dibawa mendekat ke sumber-
sumber agraria (SDA) logikanya akan berkembang menjadi ekonomi keruk (exploitative
economic)—sebagaimana dunia pertanian mendapat sentuhan dan penetrasi logika ekonomi ini
di masa Revolusi Hijau. Namun, para petani—hampir mayoritas—nyatanya tidak dapat
melakukan efisiensi dengan moda produksi pertanian yang dikuasainya hatta sekarang pun.
Justru bertani (usaha pertanian) saat Revolusi Hijau itu hanya menguntungkan petani-petani
dengan modal besar dengan lahan di atas 2 hektar, sementara petani-petani dengan lahan di
bawah < 1 hektar, jatuh miskin. Kelompok petani yang menjadi miskin ini menjadi populasi
mayoritas di perdesaan, dan hal ini menimbulkan kemandegan pertanian dan kehidupan
perdesaan di masa itu. Setelah sistem Pertanian Alami diperkenalkan, mulailah terbongkar
logika efisiensi dalam dunia pertanian itu hanya efisiensi semu—jika pun dianggap efisien itu
terjadi di hulu tetapi tidak di hilir atau di tingkat tapak, yakni di dalam ekonomika rumah tangga
petani. Rupanya usaha pertanian bagi orang desa bukan usaha yang menguntungkan, yang
efisien bagi penggunaan modal, dan memiliki dampak efektif bagi kesejahteraan petani. Hal ini
akan demikian adanya selama petani terjerat dalam rantai nilai industri pupuk kimia, herbisida
dan pestisida kimia. Hingga kemudian seorang petani berani memutuskan untuk keluar dari
jerat tersebut—dengan beralih ke tata cara dan tata kelola pertanian ala sistem Pertanian
Alami.

Motivasi petani alami untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk, 77 terutama


pupuk kimia dan racun hama dan gulma, merupakan motivasi yang mengikuti logika efisiensi
dan efektivitas yang sebenarnya. Sebab dengan demikian dia telah memutuskan diri dari
perkara yang menyebabkan tidak efisiensi dan efektif moda produksinya. Petani alami tidak
perlu lagi menggunakan modal besar untuk usaha taninya, 78 sehingga tak perlu “balas-dendam”
mengeruk sumber-sumber agrarianya terlalu jauh dan berlebihan hingga menyebabkan
degradasi lingkungan dan menggangu keselamatan ekosistem hayati lainnya. Sebagaimana
logika efisiensi itu di era Revolusi Hijau ditahbiskan dalam program intensifikasi lahan—yang tak

77
Karena tak selamanya lahan sawah dipupuk terus menerus setiap musim tanam tiba, perlu dilihat dulu tanahnya
apakah memerlukan pemupukan itu, sebagaimana disampaikan oleh Muh Nur. Jika pun perlu pemupukan itu
hanya dilakukan di awal musim tanam—paling banyak 3 kali musim tanam atau lebih sedikit—dan selanjutnya
lahan sawah dengan sistem Pertanian Alami hanya perlu perawatan dan pengawasan ala kadarnya seperti
pengecekan irigasi pengairan, dan hal-hal ringan.
78
Contohnya, untuk lahan seluar 1 hektar hanya perlu modal Rp 80.000, lihat bagian …

34
jarang praktiknya di tingkat tapak menjadi eksploitatif. Sehingga motivasi petani mengubah
sistem pertaniannya menjadi Pertanian Alami menyebabkan efisiensi dan efektivitas pertanian
sebagi moda produksi perdesaan makin bertenaga. (lih., Perbedaan Pertanian Alami &
Konvensional)

Motivasi dan Alasan Sosial-budaya

Sejenis dengan alasan ekologis sebelumnya, sebenarnya persoalan pertanian yang


hormat pada ekosistem itu bukan hanya berdimensi ekologis, tapi juga sosial – budaya. Sebab,
pada praktiknya banyak nilai-nilai sosial dan budaya yang lahir akibat dari hubungan harmoni
dengan alam. Misalnya, tradisi patrino bine (menidurkan benih), songka bala (tolak hama,
sebelum dan sesudah panen) dts, yang hingga sekarang masih sering dipraktikkan dalam PA di
Desa Sallasae dan sekitarnya. Gerakan PA di Sallasae lang sung bisa diterima dan berkembang
cepat karena ada basis sejarah pengetahuan, tradisi, budaya lokal yang telah lama dipegang
masyarakat yang secara prinsip dan tujuannya memang selaras dengan tujuan-tujuan PA. selain
itu, kondisi empirik yang dihadapi masyarakat sebelum hadirnya PA, juga membutuhkan
terobosan dan alternative perbaikan ekonomi ditengah kepungan kemiskinan dan stagnasi
ekonomi, hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat di Sallasae yang menjadi TKI ke luar
negeri. Selain tak ada harapan lebih dalam pertanian, juga minimnya peluang kerja yang
tersedia di kampung. Itulah yang kemudian menjadikan gerakan PA menjadi wahana sosial-
budaya masyarakat desa untuk menggali dan mengembangkan kembali warisan para leluhur
tentang tata cara mengelola alam yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat desa dan
tidak memperburuk kerusakan alam di sekitarnya, sebagaimana diteladankan oleh para
sesepuh desa sebelumnya. Kini, PA juga menjadikan ragam kegiatan sosial-budaya menjadi
hidup kembali. Seperti musyawarah warga, sharing pengetahuan bertani, gotong royong,
menanam dan panen bersama, pendidikan dan pelatihan regular tentang PA di komunitas dan
desa, pameran hasil panen PA, dst.

“Sebenarnya bertani dan berkebun bagi orang sini dulu, itu bukan sekedar cari duit. Tapi
nenek moyang kita dulu juga punya pesan nilai-nilai budaya yang mau diajarkan.
Misalnya menjadi petani itu harus sabar, ulet, kerja keras, dan mau bersyukur. Selain
itu, dulu jarang bertani dan berkebun itu sendirian, pasti ada gotong royong, kerja
bareng, saling bantu, baik pas tanam, maupun panen. Itu kayak udah jadi budaya wajib.
Dan nanti ada juga syukuran bersama setelah panen raya. Ada banyak istilahnya itu
appatumbu (menumbuhkan; tat acara selaras bintang), appasusu (memberi susu pada
padi yang sudah berisi), appitumbu nyanggi(ritual sebelum panen) hingga syukuran
panen yang mengundang semua orang berkumpul dan berdoa untuk bersyukur. Anak
sekarang aja tak memahami lagi. Jadi, kalo sekarang anak-anak kami sekarang punya

35
gerakan PA, kami merasa itu melanjutkan apa yang kami lakukan dulu untuk menjaga
alam”. Tap dengan gaya yanh berbeda. (Sesepuh Desa, Ayah Pak Arm, 09/08/2018)

Banyak hal baru terkait tata cara bercocok tanam selaras alam dalam Pertanian Alami
dikenalkan namun begitu juga tata cara lama dalam bertani orang Salassae kemudian
mendapatkan tempat kembali. Tata cara bertani lama yang telah dibudayakan ini tersingkir
pelan sejak antara 1981-1982. Melihat ada pengembangan sistem Pertanian Alami yang
beririsan dengan tradisi lama, misalnya appaka sulapa dalam tradisi tasawwuf kampung, telah
mengingatkan beberapa orang tentang tradisi pertanian lama. Pertanian Alami melibatkan alam
untuk menyediakan “nutrisi” tanaman—baik nutrisi yang harus diolah-alih manusia, maupun
nutrisi yang memang tersedia di alam, di dalam jaringan ekosistem hayati.

Biasanya para penganjur Pertanian Alami yang sedikit banyak paham hal ini, seperti Pak Bate’,
dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang dibutuhkan tanaman, dari fase ke fase pertumbuhan
hingga ke reproduksi, dari sifat anasir-4 yang menjadi karakter dasar alam. Sifat anasir-4 ini
adalah “panas”, “dingin”, “basah” dan “kering”; panas untuk sifat api, tetapi tidak hanya api
yang dapat mengirimkan “panas,” salah satunya ada Matahari. 79 “Dingin” adalah sifat tanah
yang tenang, teguh, tak bergeming—sifat keadaanya dingin apalagi jika banyak mengandung
unsur hara (humus, nutrisi, mineral yang dibutuhkan tumbuhan). Tanah yang “panas” tak akan
cocok ditanami atau ditumbuhi tanaman yang bagus untuk dikonsumsi manusia atau binatang 80
—meski demikian tetap ada tanaman yang tumbuh di zona kawasan bersuhu ekstrim, walau itu
jenis dan species pengecualian di luar tanaman pangan tentunya. “Basah” merupakan sifat air,
sebagai mana air yang banyak peran dan manfaatnya bagi tanaman—juga segala hayati yang
ada di muka bumi—dalam Pertanian Alami air menjadi “media” menghantarkan nutrisi dan
mineral tanah yang dibutuhkan tanaman. Sementara “kering” merupakan sifat angina tau
udara. Meski sebenarnya jika ada udara yang dianggap lembab, berarti di zona tersebut
terkandung air juga sehingga menciptakan kelembaban suhu ruang tertentu. Semua ekosistem

79
Matahari merupakan barang yang dapat mengirimkan panas sekaligus sinar cahaya beragam. Di dalam sistem
Pertanian Alami, Matahari memiliki peran penting untuk menyempurnakan nutrisi yang diserap tanaman, melalui
fotosintesis tanaman saat memproduksi klorofil (zat hijau daun) yang banyak berguna dalam proses pertumbuhan
dan produksi, juga di mana terjadinya proses okesigen dikeluarkan dari stomata daun. Stomata ini merupakan
bukaan pada daun yang jika terbuka secara maksimal hanya selebar 0,0001 mm; yang “tugas”nya adalah membuka
dan menutup untuk mengatur gas dalam udara yang masuk (sirkulasi gas antara oksigen dan karbondiaoksida).
80
Di dalam tardisi lama, masyarakat Jawa (periode zaman Hindu-budha) tiap akan mendirikan candi harus dipilih
tanah atau lahan yang tanahnya dijuluki tanah “brahmana”, sifat dan karakternya ialah dingin jika digenggam,
berwarna hitam (lemah ireng) atau berwarna gelap (bukan kuning, merah apalagi putih berkapur)—dan dapat
dijadikan lahan pertanian pangan karena kesuburannya. Biasanya nanti ketika proses candi dibangun, ada di
dalamnya ruangan yang posisi di tengah dan dasar candi di situ disimpan abu bakaran jerami atau sekam padi.
Namun, hal ini tergantung sesuai tujuan dan “fungsi” candi, barang apa saja yang akan ditanam atau disimpan di
dalam ruang dasar candi; biasanya selain abu bakaran sekam padi ada juga logam emas mulia atau batu-batu
permata; juga mengikuti posisi letak bintang atas posisi tanah dan sifat tanah yang disesuaikan dengan tujuan
pembuatan candi. Dalam tradisi dan daur pengetahuan mendirikan candi, dengan segala pranata caranya, ini
terdapat pemahaman tentang sifat tanah dan nama tanah; (materi diskusi Grup Majapahit)

36
hayati pasti diliputi sifat anasir-4 ini, namun yang berbeda ialah kadar cakupan, potensi, dan
sifat-sifat hayatinya.

Mehamai sistem Pertanian Alami dari sudut pandang, misalnya “Sulapa Appa” ini,
membuat generasi tua yang pernah bersinggungan dengan pola dan tata cara bertani lama
sebelum Revolusi Hijau masuk desa, mudah mengerti pola dan sistem Pertanian Alami. Berkat
latar belakang pemahaman nilai-nilai tradisional dalam “tasawwuf kampung” mereka mudah
menemukan pijakan dasar untuk ikut menerapkan dan mengadopsi pola tanam padi sawah
dengan sistem Pertanian Alami.

Motivasi sosial-budaya ini muncul seiring dengan kecenderungan ruang hidup


perdesaan yang kuat mempertahankan cara-cara tradisionalnya yang ditimpali paham-paham
religi mengenai ruang hidup kosmologis manusia— yang religi ini memiliki struktur makna
psikologis dalam alam mental masyarakatnya—yang tertangkup ruang ekososiologisnya.
Sehingga wajar apabila dua “kutub” pengertian dan pemahaman ini—antara Pertanian Alami
dan religi lokal (tasawwuf kampung,81 misalnya)—sudah dapat “bertemu” maka akan
memudahkan orang mengerti seluk-beluk “tata nilai” di dalam kedua perkara ini sehingga
mudah pula menerima sistem Pertanian Alami sebagai tata cara bercocok tanam. Meski
“hidayah” tetap mempunyai peranan sangat kuat dalam hal ini. []

III. Tipologi dan Karakter Pertanian Alami Desa Salassae

Sistem Pertanian Alami mensyaratkan adanya usaha peternakan yang juga diusahakan
oleh petani dan biasanya diselaraskan dengan Pertanian Alami. Sebenarnya ini sama persis
dengan pola pertanian lama sebelum revolusi hijau masuk. 82 Lahan sawah yang diolah dengan
cara dibajak biasanya dulu kala hewan ternak seperti sapid an kerbau mejadi salah satu
komponen penting dalam proses tanam—hingga kelak ketika terjadi “mekanisasi” dunia
pertanian binatang ternak ini tereksklusi dari pertanian. Sekarang berbeda di dalam sistem
Pertanian Alami, peternakan sapi menjadi moda produksi “pendamping” sekaligus sebagai
rantai ekosistem bagi tanaman yang ditanam ala Pertanian Alami—meski tak selalu menjadi
komponen alat untuk mengolah. Sebelumnya peternakan yang diuji-cobakan di Salassae adalah
kambing, tetapi kambing-kambing yang dipelihara mati 83 dalam waktu kurang dari setahun.
Menurut beberapa pelaku kemungkinan ada faktor pengetahuan yang lebih rumit dari pada
81
Tasawwuf kampung adalah relijiusitas Islam yang menjadi prkatik (amaliyah) harian yang menekankan pada
aspek sepiritualitasnya yang sifatnya transenden: hubungan Abid-Ma’bud.
82
Lihat tuturan salah satu sesepuh desa, nenek Tanggung, wawancara 9 Agustus 2018.
83
Wawancara dengan Muh Nur; 7 Agustus 2018. “Jadi, ada temen itu—kambing itu ‘kan di sini [disebut] bembek
namanya, sampai ada temen yang mengurus itu dipanggil Tebambek..,” kata Muhammad Nur.

37
peternakan sapi yang belum terkuasai selain faktor perawatan yang menyesuaikan dengan iklim
suhu ruang di Desa Salassae.

Pertanian Alami merupakan tipologi sistem pertanian yang menolak menggunakan input
bahan pertanian dari barang yang bersifat non-alami, seperti bahan kimia dan beracun berupa
pupuk dan pestisida atau herbisida. Karena itu petani yang menerapkan sistem ini tidak akan
pernah bertemu baik dalam logika dan gagasan pengembangan pertanian maupun dalam tata
cara dan cara pandang dunia (weltanschoung) pertanian. Keduanya di lapangan ibarat minyak
dan air yang sulit bertemu. Kemudian karena Pertanian Alami ini relatif baru sebagai pola
tanam di Salassae (mesti ilmu pengetahuan di dalamnya dan tata cara itu sendiri tidak benar-
benar sesuatu yang baru, karena nenek moyang dulu sudah menerapkan itu meski dalam cara
dan level yang paling sederhana) berhadapan dengan sistem pertanian yang hulu-hilirnya sudah
lama terbangun dan terpasang secara sistemik pada pola-pola serta poros lokus dan siklus
pertanian “baru” (konvensional) ala Revolusi Hijau, maka Pertanian Alami itu tak ubahnya
ibarat David berhadapan dengan raksasa Goliath. Karena itu syarat mutlaknya yang lain adalah
berkumpul dan berserikat dalam sesama petani alami untuk kemudian menciptakan organisasi
—demi tersokongnya segala hajat dan kebutuhan dalam Pertanian Alami.

Karena itu, Pertanian Alami tidak sesuai (ecologically proper) apabila dijalankan sekedar
dan hanya sebagai pola pertanian individual—untuk mengejar keuntungan ekonomi semata.
Semungkin-mungkinnya seorang petani dapat menjalankan sistem Pertanian Alami secara
individual ia akan hancur “ditelan” sistem yang sudah lama dan mampan dalam “mengurus
dunia pertanian”. Maka yang ia harus lakukan adalah mengajak petani lain untuk berkumpul
dan berserikat dalam membangun sistem Pertanian Alami bersama; sebab secara
sederhananya seseorang yang hidup bersama tidak akan dapat secara individual melakukan
sendiri menciptakan dan membangun kerangka simbiosis kehidupan di dalam jaringan
ekosistem lain yang begitu majemuk. Dan lebih sederhana dan kongkrit lagi ialah membangun
organisiasi kemasyarakatan (community base) untuk penerapan sistem Pertanian Alami secara
menyeluruh.

Kemudian karakter lainnya dari Pertanian Alami adalah mengintegrasikan unit-unit


produksi yang ada di lingkungan pertanian—dalam hal ini adalah unit usaha peternakan. Di
Salassae, komunitas petani alami rata-rata memiliki 3 (tiga) unit produksi sekaligus berupa
Sawah, Kebun, dan Ternak; dan adakalanya hanya 2 (dua) saja misalnya sawah dan ternah, atau
kebun dan ternak, atau sawah dan kebun. Dan sebagian lainnya hanya satu, misalnya kebun
saja, atau ternak saja. Namun demikian persoalan pemilikan unit usaha yang hanya satu,
misalnya kebun saja, atau ternak saja, atau sawah saja, tidak menyulitkan dalam hal
membangun "kerangka simbiosis” kehidupan ala Pertanian Alami. Hal ini menjadi jelas,
sebagaiamana disinggu di muka, bahwa organisasi (komunitas) menjadi penting dan strategis

38
dalam mewujudkan pertanian yang selaras alam—sebagaimana hal ini sifat jaringan ekosistem
dalam kehidupan mahluk hidup lainnya yang berjejaring membangun “kerangka simbiosis”.
Jadi, dari aspek ini saja petani tidak bisa setengah-setengah menerapkan sistem Pertanian
Alami.

Arkian, tipologi dan karakter Pertanian Alami di Desa Salassae dikombinasikan secara
integratif dari alat produksi pertanian Sawah-Kebun-Ternak. Ketiga barang ini merupakan
sesuatu yang mencolok dalam kegiatan (on farm) Pertanian Alami di Desa Salassae. Orientasi
mayoritas petaninya masih berada di level pemenuhan subsistens, lalu sedikit eksposisi dan
minus akumulasi. Semua perkara yang disebutkan ini sudah dilakukan oleh komunitas petani
alami Salassae dan menjadi karakter sistem Pertanian Alami yang diterapkan di Desa Salassae,
kec. Bulukumpa kab. Bulukumba. Sebagaimana telah disinggung di awal, petani alami Salassae
merupakan petani yang cerdas, dapat melakukan penelitian sederhana atas kasus-kasus harian
yang mereka hadapi di dunia pertanian dan berani melakukan eksprimen-ekspirmen
(percobaan) kecil dan sepontan maupun besar yang dapat dituturkan ulang ke petani alami
lainnya, kelak pasca panen, sebagai bentuk penemuan baru dan pengembangan pengetahuan
Pertanian Alami di Salassae. Contoh kasusnya ialah dalam menghadapi hama baru, atau hama
yang terjadi secara massif dan sulit dikendalikan;

“Jadi setiap habis panen, kita berkumpul, siapa yang punya temuan baru, nanti saling
menceritakan. Berbagi cerita pengalaman ini dilakukan setiap habis panen. Kita kumpul.
Mulai dari masalah juga, masalah apa yang dihadap (petani)—cerita semua, apapun
pengalamannya. Misalnya, ini ada ulat begini, kalau ada hama menyerang, itu di
beberapa desa, kita lihat dulu, siapa yang bisa mengendalikan itu. Nah, Kalau ada ulat
yang besar baru-baru ini, itu yang berhasil (petani dari desa) Ka’rama. Setelah di
Ka’rama, itulah yang kita bagi pengetahuan itu. Ada (obat-nya) tumbuh liar. Kalau
orang sini mengenalinya pai’-pai’ (Brotowali). Dia melilit, batangnya agak bergerigi, dia
daunnya lebar-lebar,” Muh Nur.84

III. A. “Bukan” Pertanian Organik

Pertanian Alami sangat mendasar perbedaannya dengan pertanian organik;


sebagaimana disinggung di bagian awal, Pertanian Alami bukanlah pertanian organik. Bahkan
ketika ada petuga penyuluh lapang (PPL) memperkenalkan sistem pertanian organik, komunitas
pertanian alami merasa “terganggu”—karena bangunan pengetahuan tentang Pertanian Alami
serta sistem dan tata cara bercocok tanam yang selaras alam yang telah diajarkan ke para
petani Salassae akan rusak oleh jenis pertanian yang hampir sama. Hal ini tak ubahnya susu
yang rusak karena setetes nila—meski nila dan susu sama-sama berwarna putih, tetapi

84
Wawancara dengan petani alami Muh Nur, 7 Agustus 2018.

39
keduanya berbeda secara diametrikal. Pertanian Alami yang dibangun di Salassae merupakan
pertanian yang benar-benar bertumpu pada “kekuatan sendiri” dan potensi yang disediakan
oleh alamnya. Misalnya dalam pertanian alami seorang petani tidak diperkenankan membawa
atau mendatangkan mikroorganisme dari luar—ia harus membuat dan menciptakan sendiri dari
lingkungannya, karena itu disebut IMO : Indegenous Microorganism, atau lazim dikenal mikro-
organisme lokal. Dan barang ini tidak diproduksi dalam pabrikan, melainkan diciptakan dan
dibuat bersama-sama secara gotong royong. Hal ini dilakukan secara bergotong royong selain
mewujudkan transfer pengetahuan sistem Pertanian Alami kepada semua anggota, di situ juga
terdapat manfaat altruistik bahwa—seolah—masyarakat pertanian diingatkan kembali bahwa
dunia pertanian itu disusun oleh kerja-kerja gotong royong, dan ikatan sosial perdesaan itu
dibangun dari ruang sosial yang guyup (komunal), saling mengisi dan terintegrasi. Yang
demikian inilah dunia sosial ekonomi perdesaan.

Sementara pertanian organik, hanya menekankan penggunaan input bahan pertanian


yang tidak mengandung unsur kimia dan racun—selebihnya apakah bahan-bahan itu didapat
dengan cara bagaimana dan darimana tidak menjadi domain persoalan yang diberatkan.
Apalagi turut memikirkan bagaimana memulihkan “bangunan sosial” yang telah kropos yang
diakibatkan oleh sistem pertanian modern yang individualis dan bernuansa kompetisi “survival
of the fittest”. Tidak menjadi persoalan menurut sistem pertanian organik jika di kapan waktu
petani menggunakan “pupuk alami” pabrikan yang diproduksi secara massal oleh industri
pupuk organik dan diedarkan menurut ala “rantai suplay” lama yakni hutang dan kredit—
asalkan “alami” tidak mengandung kimia dan racun yang merusak ekologi ekosistem. Padahal
kedaulatan pangan dan kemandirian petani lah yang dicita-citakan oleh Pertanian Alami
Salassae terhadap petaninya, bukan seolah “keluar dari mulut harimau masuk ke liang buaya.”

Sehingga dalam hal ini untuk menegaskan perbedaan mengenai kedua model pertanian
ini dapat diungkapkan bahwa Pertanian Alami sudah barangtentu merupakan pertanian yang
menggunakan input bahan-bahan organik, tetapi Pertanian Organik belum tentu menerapkan
pola-pola sistem Pertanian Alami.

III. B. Ragam Moda Produksi: Sawah Padi – Kebun – Ternak

Pertanian Alami di Desa Salassae telah memungkinkan banyak hal terjadi dan dialami
oleh para petaninya. Satu hal yang mulai mencolok ialah munculnya ragam matapencaharian
atau sumber-sumber penghidupan yang timbul dari unit-unit produksi berbeda—tetapi saling
berangkai berkaitan dengan Pertanian Alami maupun komunitas. Misalnya, cocok tanam padi
sawah berkait kelindan dengan unit usaha peternakan, hal ini tersebab pola pertanian alami

40
telah mensyarakatkan ketersediaan kompos yang hal itu dapat disuplay oleh usaha
peternakan.85 Selain itu, keluangan waktu yang dimiliki oleh petani PA, berkat mudah dan
ringannya pengurusan lahan sawah mulai dari sejak tanam hingga panen, menyebabkan banyak
waktu tersisa buat kegiatan lain. Di sini petani PA dapat menekuni hobby lama atau kegemaran
baru-nya yang dapat diolah-alih menjadi “jalan lain” untuk menopang ekonomi rumah tangga—
yang mana saat menjalani usaha pertanian ala sistam konvensional kesempatan atau peluang
itu sama sekali tertutup. Bahkan mereka dapat mengolah unit produksi lainnya, seperti
membuat tepung ubi jalar seperti yang dilakukan perempuannya, dan membuat minyak VCO
yang belakangan mulai dicoba-coba untuk digalakkan demi memanfaatkan buah kelapa yang
turun drastis nilai ekonominya (tidak memperoleh tempat layak di pasaran).

Pertanian Alami mensyaratkan adanya usaha peternakan yang juga diusahakan dan
biasanya diselaraskan dengan pertanian alami. Sebenarnya ini sama persis dengan pola
pertanian lama sebelum revolusi hijau masuk, dimana untuk menyuburkan lahan petani
mengolah kotoran ternak untuk pupuk peningkat unsur hara tanah—yang dilakukan dengan
cara sederhana tak terlalu “rumit”. Sekarang peternakan sapi menjadi moda produksi
“pendamping” sekaligus sebagai rantai ekosistem bagi tanaman yang ditanam ala Pertanian
Alami. Sebelumnya peternakan yang diuji-cobakan ialah kambing, tetapi kambing-kambing yang
dipelihara mati dalam waktu kurang dari setahun. Menurut beberapa pelaku kemungkinan ada
faktor pengetahuan yang lebih rumit dari pada peternakan sapi yang belum terkuasai selain
faktor perawatan yang perlu menyesuaikan dengan iklim suhu ruang di Desa Salassae.

Ekonomi rumah tangga warga di Salassae rata-rata ditopang oleh 3 (tiga) moda
produksi, meski diantara mereka adakalanya hanya ditopang oleh 2 (dua) moda produksi, atau
hanya 1 unit produksi, antara lain ialah: Pertanian sawah, perkebunan dimana lahan-lahan
kebun ini ditanami dengan tanaman keras holtikultura seperti karet, coklat, juga tanaman buah
seperti durian, rambutan, dan komoditas seperti lada merica, cengkih, dan belakangan mulai
dikenalkan kembali vanili dan pala. Sementara kelapa sudah tidak masuk kedalam komoditas
pertanian, meski tanaman ini mudah sekali dijumpai di sekujur kampung atau seantero
Sulawesi Selatan, mengingat harga jualnya hampir tidak ada, tidak seperti tahun 1970an
semasa kopra menjadi komuditas utama tak hanya di Sulawesi saja tetapi pada umumnya di
Indonesia dan utamanya di Indonesia bagian timur. 86 Di luar barang-barang itu, ada usaha
peternakan menjadi moda produksi rumah tangga ketiga.

85
Bahkan dalam beberapa kesempatan KPA diminta mensuplay bahan baku kompos untuk pertanian alami di
tempat lain mengingat bahan baku ketersediaanya—dalam hal ini barang sampai dikirim ke Bali. Dalam
kesempatan ini pula Pertanian Alami memungkinkan untuk disebarkan ke berbagai daerah.
86
Produk kopra Indonesia jatuh di pasar dunia kena hempasan kampanye hitam Amerika bahwa minyak kelapa
dari Asia Tenggara mengandung lemak tak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan sementara di tengah stok kedelai
—yang juga tengah diproduksi sebagai minyak—melimpah ruah di Amerika.

41
Pada ketiga barang inilah (Sawah, Kebun, dan Ternak) warga Desa Salassae membentuk
unit-unit produksi ekonomi rumah tangganya. Kombinasi sawah-kebun-ternak tentu
menguntungkan bagi sistem Pertanian Alami untuk mengintegrasikannya tak hanya secara unit
produksi tetapi secara komunitas mengintegrasikan para petaninya bersam-sama dalam sistem
Pertanian Alami.87 Mengkombinasika atau mengintegrasikan ketiga alat produksi ini merupakan
cara (moda) produksi yang menciptakan “imbal-balik” keuntungan dalam mempraktikan
Pertanian Alami yang cukup relatif sempurna untuk menopang pertanian sebagai moda
produksi orang kampung. Meski di lapangan jarang—hanya beberapa gelintir orang saja—
petani alami memiliki ketiga unit produksi itu sekaligus, tetapi dengan cara berorganisasi
(komunitas pertanian swabina perdesaan), kebutuhan akan input bahan pertanian yang alami
(non-kimia dan beracun) menjadi mudah disediakan secara gotong royong untuk kebutuhan
Pertanian Alami bersama.

Alat produksi yang dimiliki seorang petani alami rupanya menentukan level dan
kapasitas “berkemampuan” dalam melaksanakan sistem Pertanian Alami secara penuh. Juga
penguasaan alat produksi ini rupanya mendeterminasi kelas sosial para petani di tengah
kelompok masyarakatnya di Salassae atau di tengah komunitasnya sendiri. Tanah merupakan
alat produksi, tetapi di lain waktu ia direduksi menjadi kapital. Saat menjadi kapital ini, seoalah
ia adalah barang yang dapat “digeser” dari tangan ke tangan kepemilikan. Walaupun nyatanya
tanah tidak pernah dapat dipindahkan secara fisik, tetapi tanah telah dapat begitu saja
“berpindah” ke dan di bawah penguasaan orang lain—yang barangkali tidak memiliki hubungan
ekososial-historis (sosial ekologis menyejarah). Tanah selain memiliki fungsi sosial, ia memiliki
arti atau mengandung makna psikologis bagi “pemilik”nya. Sebab di sana biasanya melekat
sejarah leluhur, jejak “epitema”88 tentang orang-orang yang pernah hidup dan tinggal di atasnya
87
Di tingkat lapang, terdapat organisasi para pelaku peternakan dan perikanan yang diberi nama KPPS, dimana
pelaku-pelaku ini adalah juga anggota KPA (komunitas petani alami) yang menerapkan konsep Pertanian Alami.
Dan di tingkat lapang pula, secara unit produksi, kadang posisi pertenakan tersubtitusi dengan usaha perikanan—
meski perikanan ini tidak berkontribusi secara lansung (dalam bentuk keluaran pupuk kompos) terhadap sistem
Partanian Alami.

88
“epitema” diserap dari kata dasar ‘epoch’ yang secara etimologi berarti “(n) a periode of time in history, a
person’s life, the history of earth, etc., especially one marked by important evenst or special characteristics”;
Oxford, Advanced Learner’s Dictionary (1995). Istilah ini memiliki kedekatan morfem dengan ‘Epitaph’ secara
etimologi berarti “kata-kata tertulis atau ungkapan yang ditulis di atas batu nisan”; dan berdekatan dengan
morfem ‘Epic’ yang mengacu ke sifat atributif cerita sejarah tokoh besar, atau “bangsa besar di masa lalu” seperti
‘Ila Galigo’, ‘Mahabharata’, atau ‘Bharatyudha’, dll. Epitema diserap untuk menunjukkan (referring) secara
sederhana pada peristiwa-peristiwa dan kejadian, jejak laku (tilas) dan atau nama-nama yang melegenda yang
menyisakan tilas, hikayat dan makna arkhais masa lalu pada sebuah tempat (ranah). Baik “epitema” maupun
epitaph, epic, epigraph, dan epoch memiliki kedekatan morfem satu sama lainnya. Yang secara semantik memuat
cerita hikayat atau sejarah peristiwa dan orang atau bangsa di masa lalu, tetapi berbeda pengekspresian dan
artikulasinya. Sementara Epitema ialah bahwa sebentang alam (tanah) pasti (pernah) menyimpan jejak dan nama-
nama peristiwa dan orang secara diakronis dan sekaligus singkronis pada suatu ranah, yang kemudian
mempengaruhi penamaan tempat (toponim), termasuk dalam hal ini munculnya legenda, mitologi, atau

42
di masa lalu dan telah menciptakan peristiwa/sejarahnya. Sebagaimana kaitannya dengan
sejarah Gallarang Bulukumpa Toa, Abdul Wahid seorang petani alami, menunjukkan situs-situs
dan menuturkan “epitema” gallarang yang melekat pada situs Salassa dan Batutujua yang
memiliki rangkain dengan legenda-legenda sejarah di tempat lain di seantero wilayah yang saat
ini mejadi kawasan Kabupaten Bulukumba (Lihat: foto Wahid menunjukkan pecahan keramik
kuno di lokasi dan bagaimana ia berdiri di antara batutujua seraya menceritakan rangkaian
epitema tanah Salassae). Namun karena tanah saat itu “diringkus” sekedar sebagai kapital
maka fungsi tanah tereduksi hanya semata “alat produksi” yang mengundang kapital lainya—
sebagaimana perkebunan karet kemudian tercetak berhektar-hektar yang sadapannya dipasok
ke PT Lonsum membentang di sekujur tubuh kampung hingga menyilang-nyeling situs Salassa
dan Batutujuah. Dan betullah kemudian, beberapa petani alami yang tidak bertanah, atau
hanya punya kebun, bukan sawah, adalah mereka yang padahal di masa-lalu nenek moyang
mereka punya tanah pertanian padi—tetapi tanah itu terlepas dari penguasaannya akibat
politik desa dan kebijakan penataan agraria (RTGT; rencana tata guna tanah) yang menyerobot
lahan mereka untuk diubah jadi perkebunan. (lih., tabel kepemilikan properti orang Desa
Salassae—sumber: diolah dari FGD PPA (partisipatory poverty assessment))

Tabel 2. Stratifikasi Sosial dan Kepemilikan lahan

Kelas Sosial
Indikator
Sugi Sitengah-tengah Kasiasi
Penguasaan tanah Sawah: > 2 ha Sawah: 0,5 - 1 ha Sawah : 0
Kebun: > 10 ha Kebun: 1 – 2 ha Kebun: 0 – > 3 are
Rumah dan properti LB: 10 x 20 m LB: 7 x 9 m LB: 5 x 7 m
Permanen, kramik, Semi atau tidak Tidak permanen,
Bertingkat dua, permanen, dapur lantai tanah, atap
Perabot lengkap menggunakan kayu rumbia, dapur kayu,
bakar, perabot belum Tidak ada WC
lengkap
Kendaraan Mobil senilai 300-an Mobil senilai 130-an Sepeda motor
juta juta 1 unit
Jumlah: s/d 3 unit Jumlah: 1 unit
Ternak Sapi: 15 -20 ekor Sapi: 5 – 10 ekor Sapi: 0-3 ekor
Pakai buruh ternak Diurus sendiri Diurus sendiri,
Jadi buruh ternak

bagaimana segugus makna yang melekat pada suatu tempat atau kawasan menjadi istilah (secara meta langua)
sebagai penanda peristiwa atau kejadian bersejarah—sebagaimana hal ini terdapat di Desa Salassae. Pembahasan
mengenai “Epitema” antara lain terdapat dalam catatan riset “Moti, Moloku Kiel Raha” (Maluku Utara) yang
dilakukan oleh Budiono, November 2016 dan Februari-Maret 2017 di Pulau Moti.(tt) (sedang dalam tahap
penyusunan kembali untuk menjadi pustaka terpublikasi).

43
Atribut sosial Anak kuliah S1 – S3 Anak kuliah D1- S1  SMP – SMA
Semua anak kuliah Semua anak kuliah
PNS Kepala sekolah Guru dengan gaji 3-5 Tidak ada gaji tetap
gaji > 9 juta juta;
TNI/Polri
Naik haji 2 kali Naik haji 1 kali Belum naik haji,
Umrah berkali-kali Umrah 1 kali maupun umrah
Sumber: Diskusi kelompok terfokus (FGD) tentang Partisipatory Property Assessment di Salassae

Kecilnya penguasaan total jumlah lahan pertanian sawah oleh para pelaku Pertanian
Alami ini menjadi bagian dari tantangan aktual yang dihadapi sistem Pertanian Alami di Salassae
saat ini. Dari total luasan lahan sawah 84 hektar yang ada di desa, 89 hanya 40% dapat
diterapkan sistem Pertanian Alami. Dan sisanya sekira 30% terbentur oleh pola pemilikan lahan
yang dikuasai oleh orang luar (absente)—sebagaimana proses perpindahan hak di masa lalunya
pernah disinggung sebelumnya. Pertanian Alami mengokupasi sebasar 40%-nya saja dari luasan
data aktual tersebut. Di masa lalu luasan lahan sawah diperkirakan lebih dari 200an hektar,
namun menyusut seiring alih fungsi lahan akibat masuknya perkebunan karet PT Lonsum,
sebagian lagi karena faktor irigasi dan air yang tak bisa menjangkau lahan lalu mengubah sawah
jadi kebun yang ditanami tanaman holtikultura seperti coklat, cengkih, karet, merica, dll.
Namun berhadapan dengan kenyataan di tingkat tapak ini, Pertanian Alami tidak dapat
diterapkan sepenuhnya, tetapi tetap bisa dijalankan di media lahan yang ada—entah itu berupa
kebun atau pun sawah. Yang menjadi acuan dasar dan terpentinga ialah sistem dan tata
caranya yang selaras alam, sehingga tanah sehat, tanaman sehat, tanaman bebas hama dan
bahan kimia dan racun; serta memberi dampak pada lingkungan yang lestari, petani yang sehat,
dan konsumen pasar yang sehat pula.

(Insert Foto-3: Abdul Wahid menunjukkan pecahan keramik kuno di lokasi situs Batutujuah dan
bagaimana ia berdiri di antara batutujua seraya menceritakan rangkaian epitema tanah Salassae)

III. C. Petani Cerdas-Inovatif, Peneliti nan Kreatif

Petani di Salassae kini menemukan ruang baru untuk mengekplorasi, menjelajah,


pengetahuan baru dari tata cara dan pola sistem Pertanian Alami. Kareakteristik Pertanian
89
Luasan tanah persawahan dari data potensi desa dilaporkan berkisar 121 hektar. Namun kenyataannya di tingkat
tapak data aktualnya hanya 84 hektar; FGD, 10 Agustus 2018.

44
Alami yang memberikan kesempatan tumbuh-kembangnya petani secara mandiri juga telah
memberi peluang bagi petani tersebut untuk berinovasi dan melakukan eksprimentasi dari
ekosistem pertaniannya secara langsung. Sebagaimana sifat dan tipologi pertanian yang
mengharuskan penggunanaan input bahan-bahan lokal, unsur-unsur alami tempatan, seperti
pembuatan nutrisi, IMO, kompos, dll., sistem Pertanian Alami telah mendorong para petaninya
untuk menjadi “peneliti mandiri”, yakni menjalankan sebuah riset yang beralur induktif dari
praktik di lapang menjumpai kasus-kasus dan persoalan ke pemahaman pengetahuan (teorisasi
metode dan cara) lalu kembali lagi ke praktik (lapang). Meski sifat persoalan dan kasus di
pertanian alami berkarakter khas ekosistem tempatannya (indigenous culuture), tetapi prinsip-
prinsipnya yang bersifat umum tetap bisa diterapan di tempat lain, di ekosistem yang berbeda.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muh Nur, berikut ini;

“Misalnya, kan kalau dari bu Wiwid itu, ada pelajaran tuntunan teknik bertani alami,
bikin pupuk dan lain-lain. Nah sekarang tidak ada lagi yang kemudian pakai itu, sekarang
kita lebih kembangkan lagi, (kami bereksprimen) tidak pakai itu lagi, seperti pakai nasi,
sekarang tidak lagi. Di mana ada yang pakai daun saja, kita cari, itu kita bisa pakai. Jadi
justru di pertanian alami ini pengetahuan lama itu kembali lagi.” Muh Nur.

Berkat prinsip-prinsip umum dalam Pertanian Alami ini yang mengembalikan semua proses
produksi pertanian kepada alam telah membuat orang-orang di Desa Salassae dalam komunitas
petani alami ini berpikir kreatif dan inovatif. Pertanian Alami di Salassae rupanya dapat
mengembalikan kembali pengetahuan lokal yang dulu pernah ada dalam sistem pertanian lama
(sebelum dihantam modernisasi pertanian tahun 1980-an), yang hampir dikatakan punah.
Sebagaimana diungkapkan oleh petani alami Pak Bate, di rumahnya;

“Berkat Pertanian Alami kini (pengetahuan lama itu) kembali lagi. Jadi Pertanian Alami
di desa ini tidak hanya sekedar bicara hasil (produk akhir), tetapi menunjukkan bahwa
“kita punya kekuatan kita sendiri”,” kata Pak Bate. 90

Karena itu, berdasar prinsip umum Pertanian Alami yakni selama tidak menggunakan input
berbahan kimia dan zat karsinogenik (beracun), petani alami mulai melakukan eksprimen dan
inovasi.

“..Jadi kita berani berinovasi sendirilah, kayak ada temuan yang berhasil (dari anggota
KPA) terus dia pakai, kita pakai (juga). Misalnya penggunaan air laut. Eksprimen ini
terjadi setelah berjalan 3 tahun, setelah itu petani berani coba-coba. Sekarang tidak
pakai [buku pedoman dari] ibu Lilik itu lagi,” Ujar Muh Nur. 91

90
Wawancara dengan Pak Bate dan Muh Nur, 13 Agustus 2018.
91
Wawancara dengan Pak Bate dan Muh Nur, 13 Agustus 2018.

45
Mengenai berbagai hal pengalaman bertani alami di Salassae yang kemudian dianggap sebagai
temua dari “eksprimen” seperti penggunaan air laut untuk menyegarkan tanaman dalam fase
pertumbuhan itu ditemukan setelah petani alami memahami karakter tanaman, siklus
pertumbuhannya, dan periodisasi perubahan iklim atau suhu ruang dalam musim atau daur
perubahan alam dan ekosistemnya.

Kendala, Hambatan dan Tantangan


Dengan mengajarkan kesadaran petani untuk dekat dengan alam, intim dengan
tanaman yang dikelolanya di lahan pertanian, dan bertumpa pada “kekuatan diri sendiri”,
sistem Pertanian Alami nyaris tidak memberikan kendala yang berarti kepada petani dalam
mempraktikkan pola dan tata cara pertanian ini. Hanya saja bagi petani yang baru memulai dari
dari awal, dari pola dan sistem pertanian konvensional ke alami, si petani seolah membangun
suatu kontruksi dari nol (zero ground)—dia perlu usaha keras untuk mengembalikan eksostem
dan jaringannya yang selama ini telah rusak, sebagian seperti mikro-organisme, cacing, dan
mahluk hidup lainnya terusir dari lahannya akibat penggunaan pupuk kimia dan racun hama
dan gulma. Hambatannya barangkali datang dari seberapa rusak ekologi ekosistem
pertaniannya selama penerapan sistem pertanian konvensional untuk dipulihkan. Dan
pembiasaan pola pengelolaan dengan cara-cara alami—sebagaimana memulai sesuatu yang
baru, dimana-mana, itu pasti menyusahkan dan memberatkan. Jika sebelumnya dengan
pertanian konvensional seorang petani mengalami ketergantungan pada iput bahan-bahan
pertanian dari bahan-bahan kimia dan obat beracun, setelah menjadi petani alami ia harus
membuat sendiri pupuk kompos, nutrisi dan bahan-bahan pendukung lainnya secara mandiri.
Di dalam cara bertani konvensional sebelumnya ia tak perlu usaha-keras membuat barang-
barang yang jadi input bahan pertaniannya itu—sekedar menyediakan modal uang atau
berhutang, ia akan mendapatkan semua. Tetapi sepanjang proses bercocok tanam tidak pernah
merasa tenang dengan bayang-bayang kegagalan dan hutang. Berhasil atau gagal pun dalam
pertanian konvensional hutang tetap harus dibayarkan.

Namun demikian, ketika lahan telah dikaryakan dan mengahasilkan (panen) dengan
sistem Pertanian Alami tak kurang dari 3 kali musim (atau 3 tahun dengan andaian 1 kali tanam
dalam setahun), atau paling tidak telah 10 kali panen (dengan andaian 2 kali tanam dalam
setahun), hambatan (atau lebih tepatnya beban berat bertani alami) itu akan hilang dengan
sendirinya—sebab manakala ekosistemnya pulih dan jaringannya juga terbentuk, si petani
hanya seperti seorang pelatih gulat atua tinju 92 yang perlu “memupuk” vitalitas lahan

92
“Petani alami itu mirip pelatih tinju, biar kasih latih saja tanaman itu sampai kuat. Nanti biar dia
bertemu dengan lawan tandingnya,” kata Armin Salassa; dalam wawancara 7 Agustus 2018.

46
pertaniannya (tanamannya) biar lahan padinya menjadi jago petarung dan bisa mengalahkan
sendiri hama-hama pengganggunya. Pada dasarnya tanaman di lahan pertanian itu tidak berdiri
sendiri, ia sebangun dalam jaringan ekosistem dan simbiosis yang ada, sehingga ia seberapa
mampu memadu jaringan ekosistem itu dengan tetap tumbuh berkembang hingga berproduksi
dan menghasilkan.

“ Kadang-kadang rumput ini jadi teman juga. Jadi rumput ini hanya cara pandang saja
yang berbeda, misalnya di musim baru tanam kita biarkan rumput tumbuh, agar hama-
hama itu nempelnya ke situ. Jadi hama tidak terkonsentrasi ke padi, (tapi) ke rumput
juga. Berbeda dengan petani konven, setiap ada rumput dicabut, bahkan ada beberapa
kali menyiangi,” Arman Tanggung.

“Padahal di dalam pertanian alami, tidak semua rumput itu gulma.” Muh Nur.

Selain itu;

“Padahal ada rumput yang kalau tumbuh itu berbunga, seperti di pematang, kita lihat
oh, ini berbunga nanti, ya sudah kasih tumbuh saja. Nanti dia bunganya jadi pemikat
hama. Jadi di situlah barangkali lawan alaminya hama dalam pertanian alami,” Arman
Tanggung.

Lalu apa peran tugas petaninya? “Perawatan hanya air saja,” kata Muh Nur. Artinya saat
lahan Pertanian Alami sudah berbiaya nol, hanya irigasi pengairan yang perlu mendapat
perhatian. Tak akan ada lagi kegusaran akan ancam hama seperti rasa kekhawatiran ketika
masih bertani ala pertanian konvensional.

Sejak lewat 7 tahun ini, dan pada 2017 mendapat penghargaan sebagai motor
penggerak lahirnya “kampung iklim utama”—sebuah predikat relatif tinggi—Desa Salassae,
pengembangan Pertanian Alami di Desa Salassae relatif tidak lagi menemukan hambatan dan
rintangan—secara gagasan dan perjualan nilai-nilainya, sudah terbukti membawa hasil, dan
yang begitu monumental ialah awarding dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tersebut. Namun demikian, level tantangannya naik seiring dengan level kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai. Jika dipetakan level tantangan itu ada di aspek fungsional dan struktural.
Dua perkara yang sifatnya fungsional ialah; (1). Moda produksi pertanian alami dengan
sendirinya akan terhubung ke pasarnya (Tata kelola pasca produksi dan pemasaran produk);
dan (2). Peningkatan kesejahteraan anggota komunitas yang perlu disikapi secara ‘community
base’ yakni solidaritas sosial mengingat ada beberapa kecil anggota yang belum bisa menikmati
hasil Pertanian Alami maupun menerapkan secara intens sistem pertanian alami (Tata
pengurusan Pertanian Alami dalam cumminity base secara komunal) .
Sementara masalah lainnya berupa persoalan struktural ialah (1). Penguasaan lahan
petani alami yang rata-rata kurang lebih 1 hektar atau di bawahnya (meski kadang ia punya
kebun relatif luas sehingga tersubtitusi oleh kebun), bahkan ada yang tidak punya lahan sawah
sama sekali. Dimana persoalan struktur agraria ini jamak dialami oleh warga Desa Salassae

47
umumnya—tak hanya terbatas pada petani alami; sehingga (2). Penguasaan lahan pada
kepemilikan orang luar (absente) yang besarannya sekira 30% dari total luas lahan sawah yang
ada, menjadi kendala dan tantangan penerapan Pertanian Alami secara menyeluruh di desa.
Selama persoalan struktural agararia ini tak terpecahkan, Pertanian Alami di Desa Salassae
hanya akan sebatas pada capaian pemenuhan subsistensi petaninya. Pemungkinan untuk
berkembang hingga terciptakan pasar produk alami dan pembesaran ruang aktivitas Pertanian
Alami secara community base (komunitas petani alami) akan terkendala lahan-lahan yang
sempit dan terbatas.
Nemun demikian, seperti disinggung di awal, bahwa para petani alami di Salassae
terdorong karena melihat daya dukung lahan pertanian yang makin berkurang secara kuantitas
(luasan lahan) dan kualitas tanah—karena unsur hara dan kesuburannya terdegradasi akibat
perlakuan sistem pertanian konvensional. Maka sejak penerapan Pertanian Alami juga
bermuatan motivasi ekologis untuk memulihkan ekosistem pertanian yang rusak (natural
hazard), Pertanian Alami (Agroekologi) perlu memperluas pengertian dan visinya kedepan
menjadi Reforma Ekoagrikultur (Ecoagricultural reform); yakni pembaharuan sistem pertanian
selaras alam yang dimulai dari gaya hidup si petaninya (sebagai subyek), tata cara dan tata
kelolanya hingga ke tata guna tanahnya. Dalam hal ini, peran struktural kebijakan desa perlu
memperhatikan recana tata guna tanah kedepan demi pembesaran ruang praktik Pertanian
Alami di desa, yang berakibat pada pemulihan ekosistem pertanian lama yang rusak
(degradatif) dan pembalikan krisis sosial-ekologis perdesaan.
Berdampingan dengan persoalan struktural agraria itu, Pertanian Alami saat ini masih
terkendala dengan persoalan messo kulturnya yakni sistem irigasi, dimana alur aliran
pengairannya masih menyatu dengan sistem pertanian konvensional. Apalagi posisi sawah-
sawah konvensional berdekat-dekat dengan petakan sawah alami. Persoalan ini dengan sendiri
akan terpecahkan jika persoalan makro kulturnya, yakni keterbatasan lahan dan cakupan
Pertanian Alami dapata diperluas ke lahan-lahan yang saat ini masih konvensional. 93 []

IV. Pengaruh Perubahan Akibat Pertanian Alami

Perkembangan Pertanian Alami pesat hingga keluar Desa Salassae (merambah ke


seluruh Kabupaten Bulukumba dan bahkan menyebar ke sudut-sudut pertanian Provinsi
Sulawesi Selatan) tidak terlepas dari kerja-kerja organisasi KSPS dengan komunitas petani

93
Ini menjadi alasan kenapa PA Salassae baru mengakupasi lahan sawah sekira 40% dari total luasan 84
hektar yang ada di desa. Sementara sekira 30% dari total luasan itu tanah absente yang saat ini masih
menerapkan sistem konvensional. Padahal dulu konon luasan lahan sawah di desa diperkirakan lebih dari 200an
hektar, namun menyusut karena alih fungsi lahan akibat masuknya perkebunan karet PT Lonsum dan faktor irigasi
dan air yang tak bisa menjangkau lahan sawah dengan baik.

48
alaminya. Dalam praktik ini KSPS berperan memberikan pendidikan bahwa Pertanian Alami
bukan hanya sekedar menata ulang input pertanian yang sehat dan benar (ecologically proper),
tetapi juga mengusung gagasan-gagasan di dalamnya untuk tujuan kedaulatan pangan dan
kemandirian (ketidaktergantungan) petani. Orientasi mengurangi ketergantungan terhadap
pupuk (apalagi dalam praktik PA setelah sekurangnya 3 kali musim atau maksimal 10 kali
tanam, tanah tidak memerlukan lagi pemupukan), terutama pupuk kimian, telah menjadi alasan
tegas untuk mewujudkan kemandirian petani dan kedaulatan pangan—mengingat hasil
produksi dari sistem Pertanian Alami dan pertanian konvensional jauh lebih baik (akan dibahas
di bagian selanjutanya). Selain itu, Pertanian Alami telah banyak membawa pengaruh
perubahan secara ekososiologis di perdesaan dan di dalam keluarga petani (rumah tangga)
sendiri secara ekonomi—serta tentu juga dalam kesatuan ruang relasi sosial (rukun
tetangga/RT-RW)-nya. Dua hal pengaruh dari perubahan yang disebabkan sistem Pertanian
Alami ini dapat dikenali sebagai karakteristik Pertanian Alami yang memiliki dua aspek “daya-
keluar” dan “daya-kedalam”. Dua aspek “daya” (power) ini sementara dapat dinamai Aspek
tolak (constrain) dan dorong (enabling);94 keduanya (daya tolak-dorong) ini dapat tergambarkan
sebagai berikut;

Aspek tolak (constrain)

a. Pertanian Alami mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk, terutama


memutus rantai pupuk kimia dan racun pestisida dan herbisida dari dunia pertanian.
b. Pertanian Alami mengurangi konflik rumah tangga antara sumai dan istri terkait
pengaturan alokasi biaya usaha pertanian dan dapur (ekonomika rumah tangga)

Aspek dorong (enabling)

a. Pertanian Alami mengembalikan pengetahuan tentang tata cara bertani bercocok


tanam cara lama/tradisional yang hilang.

94
Istilah ini dipakai untuk maksud memberi perkuatan makna penanda PA dalam menangkap peluang,
kesempatan, atau “hal yang boleh” dilakukan dalam Pertanian Alami sehingga vitalitas sistem pertanian ini di masa
yang akan datang makin kuat dan makin memungkinkan untuk diterapkan secara sadar, sukarela, dan penuh jiwa
keterpanggilan oleh para petani dan pembuat kebijakan di sektor pertanian. Dua aspek ini (tolak dan dorong) tak
ubahnya sebuah mekanisme “Gas & Rem” di dalam mobil mengantarkan penumpang sampai ke tujuannya.

49
b. Pertanian Alami mendorong timbulnya pengetahuan baru dalam pertanian dengan
coba-mencoba melakukan eksprimen

Aspek tolak atau constrain dari praktik Pertanian Alami—sekurangnya sudah diulas
dengan sendirinya ketika membahas motivasi dan alasan petani menerapkan sistem ini, di
muka—merupakan “perkara” yang memperkokoh kemandirian petani dan kedaulatan pangan
di masa depan. Sementara sebagai aktivitas yang direalisasikan kedalam bentuk community
base (komunitas swabina perdesaan, kelembagaan organisasi, pelembagaan nilai-nilai), aspek
ini dapat mendesak petani (dimana pun tak hanya di Salassae) untuk mereorganisasi dirinya,
setalah nasibnya berada dalam “kurun suram” dalam perlintasan peradaban pertanian yang
berdaulat. Karena itu, organisasi tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik penerapan sistem
Pertanian Alami.

Di dalam aspek constrain ini, Pertanian Alami memiliki fungsi “memaksa dan mendesak”
sesiapaun yang—mendeklarasikan diri—menganut sistem Pertanian Alami untuk taat azas
menerapkan prinsip-prinsip ekoagrikultura, misalnya tidak boleh setengah-setengah
menerapkan sistem Pertian Alami, baik prosedur tata caranya 95 maupun pengaturan pemberian
dozis pupuk dan nutrisi pada tanaman yang sesuai siklus pertumbuhan. Juga “memaksa dan
mendesak” bagi sesiapaun yang meletakkan dasar-dasar kehidupan sosialnya beralaskan pada
kultur Pertanian Alami (ekoagrikultura/ecoagriculture) 96 untuk melestarikan lingkungan dan
menghargai keragaman hayati dan ekosistemnya.

Sementara aspek dorong (enabling) merupakan “daya” yang ada dalam praktik sistem
Pertanian Alami yang menghadirkan faktor “pemungkinan” atas pengembangan-
pengembangan baru praktik Pertanian Alami berdasarkan kondisi dan situasi indigenous
ekologisnya,97 atau pemulihan daur pengetahuan kampung tentang bercocok tanam selaras
alam, menemukan kembali cara-cara bercocok tanam yang dulu pernah diprkatikkan secara
alami dan tentu membawa dampak keselamatan lingkungan dan manusianya, yang dulu pernah
ada, namun lamur bahkan hancur oleh Revolusi Hijau. Sesiapa yang menekuni pola Pertanian
Alami sebagai cara bercocok tanam ia akan terdorong untuk menggali pengetahuan lebih jauh

95
Di lapang masih terdengar samar-samar ada petani yang mempraktikkan sistem Pertanian Alami tetapi masih
tercampuri atau mengadopsi cara-cara lama, yakni menggunakan input bahan kimia dan beracun. Sehingga ia tidak
bisa berdaulat dan mandiri sepenuhnya, dan tidak bisa ber-social community bersama petani alami lainnya.
96
Perbedaan istilah antara “Ecoagriculture” dan “Agroecology” ada pada penekanannya di dalam kultur pertanian
yang menghormati alam (ekologi ekosistem) yang berorientasi pada satu sisi pertumbuhan pendapatan dan di sisi
lain keselamatan lingkungan dan kelestarian (sustainability); untuk sementara dapat dipahami dari 2 buku bacaan
berikut; Sarah J. Scherr & Jeffrey A. McNeely, Farming With Nature, The Science and Practice of Ecoagriculture
(London: Island press, 2007); dan, Ivette Perfecto (et.al), Nature’s Matrix, Linking Agriculture, Conservation and
Food Soveriegnty (London: Earthscan,2009).
97
Beberapa materi dalam pengajaran/pembelajaran “Natural Farming” yang 3 jilid dari Bina Desa kini telah
mengalami pengembangan dialektis dengan situasi lapang di Salassae sehingga muncul “pemungkinan” penemuan
baru pengetahuan bercocok tanam ala PA atau pemulihan daur pengetahuan lama tentang pertanian di masa lalu
yang pernah hidup berkembang di kampung. Sebagaimana gambaran pemungkinan ini pernah dituturkan oleh
Muh Nur, 9 Agustu 2018; oleh Armin Salassa di Balai, 10 Agustus 2018; dan dilakukan sendiri oleh—untuk
menyebutkan saja salah seorang dari beberapa petani alami yang telah melakukan hal serupa—Bapak Bate’.

50
dari alam pertanian langsung—di sini ia akan bereksprimen, seperti dilakukan oleh para petani
alami di Salassae.98

Aspek Tolak-Dorong (enabling-contrain) dalam Praktik Sistem Pertanian Alami Menuju


Kemandirian Petani dan Kedaulatan Pangan
Tabel 3. Faktor Pengaruh Perubahan Akibat Praktik Pertanian Alami di Pertanian

Aspek Tolak (constrain) Aspek Dorong (enabling)

 Mengurangi ketergantungan terhadap pupuk, c. Mengembalikan pengetahuan tentang


terutama memutus rantai pupuk kimia dan bertani cara lama/tradisional yang hilang
racun pestisida dan herbisida d. Mendorong timbulnya pengetahuan baru
 Mengurangi konflik rumah tangga antara dalam pertanian dengan coba-mencoba
sumai dan istri terkait pengaturan alokasi melakukan eksprimen.
biaya usaha pertanian dan dapur
Tindakan Tindakan
Membuat pupuk dan nutrisi, “racun” Menengok ulang sistem pertanian
pengendali hama alami – input bahan lama/tradisional pra-Revolusi Hijau; dan
pertanian alami; melepaskan diri dari jebakan memuat eksprimen (percobaan) tata cara
hutang dalam rantai suplay industri pupuk dan bercocok tanam, mengendalikan hama,
racun (pestisida herbisida); memacu produksi pertumbuhan dan buah
Dampak Dampak

98
Dalam hal ini sebut saja pak Bate yang dikenal sebagai petani alami yang telah paham sifat ekologi ekosistem
sawahnya dimana ia menanam padi di sana sembari memahami pula karakter-karakter perubahan alam dan anasir
apa yang dominan (membuatnya demikian) disana, sehingga saat menjumpai sawah padinya diserang wereng
merah ia ambil bulir padi dan segenggam tanahnya—lalu ia katakan penuh keyakinan “hai walang, kau makan di
dauh saja jangan di buah!”. Esoknya atau di kemudian hari, wereng ini hanya hinggap di daun tidak lagi berayunan
di buah bulir-bulir padi; ia makan lagi dari daunnya. Rupanya rasionalisasi dari perlakuannya atas hama yang
menyerang sawahnya mudah dipahami secara jelas bahwa Pak Bate telah mendorong siklus evolusi binatang yang
tadinya dianggap hama untuk menjadi jenis lainnya yang justru menduduki rantai ekosistem baru yang bukan
hama. Jika proses evolusi ini mandek, binatang ini akan mati dalam perjalanan proses tersebut. Ketika binantang
ini dalam tahap evolusinya sampai pada kedudukan rantai ekosistem barunya rupanya ia langsung berada di rantai
makanan terbawah dari spesies lain yang ikut hidup di sawahnya. Sehingga ia dimangsa oleh laba-laba
(sebelumnya laba-laba tidak berminat memangsanya jika dalam rupa pertama), selanjutnya laba-laba ikut
mengurai siklus baru ekosistem lain di bawahnya (bagian akar padi) dengan cara membuat kotorannya begitu saja
ke tanah. Bisa dibayangkan ada berapa laba-laba yang ikut menyuburkan tanahnya selain cacing-cacing dan mikro-
organisme lainnya di bawah. Dari bangunan rantai ekosistem dan rantai makanan ini saja, dapat dipahami
bagaimana alam (juga demikian dengan pertanian) sebenarnya berada dalam satu rangkaian yang jalin-menjali nan
rumit, tak bisa dilepaskan satu sama lain dalam kerangka bangun simbiosis kehidupan, yang ikut menciptakan dan
menopang kehidupan ekosistem lainnya. Karena itulah pertanian konvesional yang menggunakan pupuk kimia
beracun, merupakan tindakan bodoh dalam ungkapan lainnya, yang selama ini disebut dan dianggap satu cara
pertanian modern nan pintar—dalam memperlakukan alam dan pertanian sebagai moda produksi (sumber pangan
dan keuntungan ekonomi). Walaupun kenyataannya cara itu menghancurkan bangunan simbiosis rantai ekosistem
mahluk hidup. Wajar kemudian bila sepetak sawah atau tanaman pertanian ketika diserang hama lantas mendapat
perlakuan ala “pertanian modern nan pintar” tersebut, bukannya mengusir hama dan mematikan yang terjadi
malah mengundang hama baru atau membuat hama lama mendapatkan vitalitas lagi untuk datang kembali
merusak tanaman.

51
 Ekonomika RTP lebih sejahtera dari pada  Pelebaran ruang sosial (social economic)
sebelumnya. Tidak ada lagi “baku-senggol” perdesaan, dan masyarakat umum Salassae
antara suami dan istri dalam rumah tangga ikut merasakan dampak positif secara
petani; ekologi, sosial, ekonomi dari pertanian alami;
 Makin banyak waktu luang untuk menekuni  Ekologi ekosistem pertanian desa yang
hobi, kegemaran baru, atau unit usaha semula terdegradasi oleh ulah pertanian
lainnya di luar pertanian (off farm). konvensional mulai mengalami pemulihan
dari krisis.

Indikasi Indikasi
Terciptan nya ruang sosial yang sehat Petani alami cerdas, melakukan penelitian untuk
membangun; warga petani alami mau dan menggali pengetahuan dan meningkatkan
berminat berorganisasi; gotong-royong muncul kapasitas dengan menciptakan eksprimen-
kembali dalam menghadapi persoalan pertanian eksprimen kecil; petani sekaligus “ilmuwan
dan non-pertanian. pertanian alami” dapat menjelaskan dengan
baik seluk-beluk tanah dan kebutuhan
nutrisinya, tanaman dengan karakteristik dan
siklus pertumbuhannya

Lalu dampak Pertanian Alami terhadap dunia pertanian secara umum adalah bahwa
dunia pertanian dan petani sendiri masih memiliki kesempatan lain (the last chance?) dan
alternatif untuk keluar dari kemandegan pertanian dimana petani untuk mewujudkan
kesejahteraannya seolah tidak ada lagi pilihan lain kecuali mengikuti irama industri pasar yang
memiliki logika (keruk) tersendiri yang berbeda dengan alam (memiliki deret ukur yang
terbatas). Yang karena menghadapi sifat alam yang demikian itu (terbatas), eksploitasi ekonomi
di bidang pertanian yang dilakukan industri diubah cara kerjanya—namun demikian, masih
dalam logika yang sama—yakni intensifikasi; yang di “tempat lain” itu adalah bahasa lain dari
efisiensi! Sebab perlu diketahui pertanian merupakan moda produksi tertua dalam lintasan
peradaban manusia hingga menemukan industri dan manufaktur, 99 dan dalam sejarah naluri
purba manusia untuk berkuasa: yakni menguasai tanah dan sumber pangan. Di sinilah
Pertanian Alami memiliki takaran efektivitas dan efisiensi dalam fase produksi untuk
menyediakan pangan yang sehat dari tanaman yang sehat, berkat tanah yang sehat pula—
tanpa menggunakan logika keruk “intensifikasi”. Dulu di era Revolusi Hijau ketika kebijakan
intensifikasi dirasa belum cukup, dalam kerangka industrialisasi perdesaan yang berbasis
pangan, maka ditelurkan pula gagasan kebijakan ekstensifikasi.

Tetapi bagi Pertanian Alami, tanpa ekstensifikasi lahan, sudah dapat memberi
keuntungan di akhir produksi—dan di awal berupa keluangan waktu saat mengelola tanaman.

99
Yuval Noah Harari, (2011). Sapiens – A Brief Historiy of Humankind; diterjemahkan kedalam bahasa menjadi “
Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraan Kepunahannya”, Alfabet: Jakarta, 2017.

52
Sebab pengurusan tanaman dalam sistem Pertanian Alami tidak begitu berat dan rumit (butuh
pengawasan) seperti pertanian konvensional. Dalam hal ini petani yang menjalankan sistem
Pertanian Alami sebagai tata cara dan pola bercocok tanam diibaratkan seorang pelatih tinju
atau gulat, dimana yang perlu dilakukan hanyalah membuat tanaman memperoleh vitalitasnya
di dalam rantai ekosistemnya untuk bertahan dan mampu melawan hama. Dan rupanya dalam
hal ini tanaman “dapat bekerjasama” atau “menggunakan kekuatan” tanaman lainnya untuk
menghalau hama. Karena itu, input bahan pertaniannya tidak semahal pertanian sistem
konvensional;

“Biasanya juga, sekarang ini, di kampung-kampung satu sak [pupuk] yaitu satu karung,
itu dari tengkulak ini ceritanya, misalkan kita belikan pupuk 1 sak, itu (dibayar dengan)
lima karung (gabah). Lima di atas mau nambah 1 kg, itu 120 kilo per karung. Diambil
120 kg per karung. 1 sak satu juta kalau dia beli (pakai uang). Ya begitulah yang
berlaku. Kalau kita sudah panen, tidak lagi maksudnya— ya harus bayar hutang, dulu
memang (dengan pertanian konvensional) kelihatan banyak yang berhasil, tetapi
setelah dibawa ke rumah, eh tinggal beberapa karung saja.” Arman Tanggung.100

Rupanya pupuk diperoleh dengan cara berhutang, lalu setelah panen dibayar dengan sistem
“membarter” hasil panen satu sak pupuk dengan 5 (lima) karung gabah. “Itu buat bayar hutang
ke tengkulak [agen] pupuk,” kata Muh Nur.

“Rata-rata pembeli gabah ya yang kayak itu tadi [menggunakan sistem utang-piutang
pupuk]; misalnya panen, dia jual gabahnya, 10-20 karung, kalau 5 sak utangnya, maka
buat bayar utang dulu. Belum lagi yang diambil buat bayar racun itu. Maksudnya kita
(petani konven) kan dalam gabah itu mau ambil racun itu pasti ngutang, (bayarnya
nanti pakai) gabah itu.” Arman Tanggung.

Demikianlah gambaran bagaiamana “barang” yang bernama pupuk kimia di dalam


pertanian konvensional menjadi mekanisme relasional yang timpang antara petani dan penjual
pupuk, yang sekaligus memerankan sebagai tengkulak hasil panen. Di sinilah letak sisi
menariknya Pertanian Alami yakni dapat memutus ketergantungan petaninya pada pupuk kimia
dan racun, dan lebih tepatnya rantai jebakan-utang pada tengkulak.

Pengaruh perubahan secara sosial-ekologi dari praktik Pertanian Alami di Salassae ini
setidaknya memberikan dampak di 4 (empat) hal, yakni; (1). Pembalikan krisis sosial-ekologi
yang lazim telah menjangkiti perdesaan sejak moda pertanian tersentuh oleh Revolusi Hijau; (2)
Orientasi kesehatan dan waktu luang yang makin memperbesar ruang sosial (terutama
solidaritas dan rasa kekeluargaan di intern PA) di Desa Salassae; (3) Petani belajar mandiri dan
berdaulat bersama dengan sistem Pertanian Alami; (4) Pemungkinan pengembalian (restorasi)

100
Wawancara dengan Arman Tanggung; 8 Agustus 2018.

53
pengetahuan kampung dan daur pengetahuan pertanian lama (pra-revolusi hijau) dan baru (PA)
di perdesaan.

IV. A. Pembalikan Krisis Sosial-ekologis

Pertanian Alami di Desa Salassae terbukti turut berkontribusi pada pengurangan karbon
atau gas rumah-kaca (global warming/pemanasan global), pada 4 Agustus tahun 2017 KSPS dan
KPA diganjar penghargaan Tropi Proklim (Program Kampung Iklim) 101 oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam penetapan kampung iklim dalam Proklim oleh
KLHK terdapat 4 (empat) tingkatan predikasi, yaitu Pratama, Madya, Utama, dan Lestari. Berkat
Pertanian Alami yang sudah dipraktikkan sejak lama setelah 5 tahun lebih, saat itu, Desa
Salassae mendapat predikat Proklim Utama pada Agustus 2017, dengan daya pengurangan
terhadap karbon sebesar 82%. Dampak yang diberikan oleh praktik Pertanian Alami yang
dijalankan komunitas petani alami KSPS terasa bekerja ketika Desa Salassae mendapat predikat
kampung iklim ini.

Dua hal penting dalam praktik Pertanian Alami, yang mendasar tetapi, memiliki dampak
pengaruh terhadap pemulihan krisis ekologi ekosistem pertanian adalah pemutusan
penggunaan pupuk kimia dan racun hama atau gulma serta penggunaan input bahan pertanian
yang menggunakan sumber-sumber lokal yang ada di lingkungan sekitar pertanian (IMO
maupun nutrisi). Dengan demikian selama kurang lebih efektif 5 tahun ini Pertanian Alami
memberi dampak (1). Pemulihan krisis ekologi ekosistem di desa. Selain itu pelebaran ruang
sosial dengan berkembangnya kegiatan-kegiatan di luar pertanian (off farm) tetapi masih
memiliki korelasi dengan pemulihan krisis ekologi ekosistem—seperti, aktivitas pemeliharaan
lingkungan dari sampah anorganik, yang dikelola Kasimpada, juga telah memberi dampak (2).
Pemulihan krisis sosial; belum lagi kegiatan ibu-ibu atau kaum perempuan dalam mendorong
inovasi dan alternatif (strategi nafkah rumah tangga) dalam mengembangkan sumber-sumber
ekonomi baru dengan berkreasi mengolah tepung ubi jalar dan minyak VCO (virgin coconut oil)
dan minyak kelapa. Berkatnya, desa menjadi ramai dengan kegiatan-kegiatan positif yang
memberdayakan. Sehingga secara tak langsung dampak yang diberikan Pertanian Alami selama
ini tidak hanya terlingkup di isu pertaniannya saja (tanah yang sehat, tanaman yang sehat, dan
tanaman yang bebas hama dan kimia/racun; petani yang sehat, konsumen yang sehat,
lingkungan yang lestari) tetapi juga telah mempengaruhi ruang hidup perdesaanya secara luas.

IV. B. Orientasi Kesehatan dan Waktu Luang

Ada tiga point atau hal penting dalam Pertanian Alami yang tak bisa dipisah-pisahkan,
dan diantaranya terhubung pola aksioma dan pembukian terbalik (check and balance) satu
sama lain—jika di titik satu sudah memenuhi tata cara yang betul secara Pertanian Alami, maka
101
Proklim atau program kampung iklim merupakan program pemerintah di bawah KLHK yang dicanangkan untuk
merespon perubahan iklim global. Setidaknya secara priodik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menetapkan beberapa titik kawasan di daerah dan desa sebagai “Kampung iklim” yakni kampung atau desa yang
memiliki densitas atau kepadatan biodiversitas dan pola hidup hijau (pertanian, peternakan, dan pengelolaan
sampah atau pola produksi-konsumsi) yang berkontribusi pada pencegahan pemanasan global.

54
dampak yang dikelaurkan pun betul atau benar. Demikian dengan dampak ikutan selanjutnya.
Ketiga point penting ini membentuk segi tiga imbal balik yang berganda (double triangle double
effect) sampai dampaknya tersebut memberi pengaruh pada lingkungannya dan konsumen
produk pertanian.

Ketiga hal tersebut adalah; (1) Tanah yang sehat; (2) tanaman yang sehat; (3) tanaman
yang bebas dari hama—tentu juga bebas dari penetrasi benda-benda zat berbahan kimia dan
racun, akan menghasilkan: (a) Petani yang sehat; (b) Konsumen yang sehat; serta (c) Lingkungan
Lestari). Ketiga kondisi dan situasi ini memperoleh penekanan dalam pengembangan Pertanian
Alami di KSPS—sebagaiman dapat dijumpai dalam setiap materi pelatihan bertani ala Pertanian
Alami.

Dengan demikian petani yang menerapkan sistem Pertanian Alami di lahannya memilik
orientasi kesehatan dan—sebagaimana telah diulas di beberapa tempat di muka—memiliki
waktu luang yang dapat bermanfaat baik bagi kesehatannya sendiri, secara mental dan jasmani,
maupun bagi pengembangan ragam matapencaharian (sumber ekonomi rumah tangga) di desa.
Orientasi kesehatan itu rupanya juga berdampak pada kesehatan orang lain yang
mengkonsumsi produk pertanian dari hasil panen sawah dan kebunnya (Konsumen yang sehat).
Ketiga poin penting ini rupanya merupakan manfaat bergandaan yang melahirkan dampak
berganda pula (double effects), yang menjadi triangulasi uji-klinis sistem Pertanian Alami
terhadap lingkungan ekosistem dan tubuh manusia. Jika tanah yang diolah petani sehat, tentu
akan menghasilkan produk yang sehat, konsumennya pun ikut sehat dan dampaknya petani
dan keluarganya sehat lingkungannya lestari.

Gambar 3. Diagram Segitiga Imbal Balik Berdampak Ganda

55
Tanah yg Petani yg
Sehat Sehat

Tanaman Lingkungan
bebas lestari
Hama

P
A

Tanaman Konsumen
yg Sehat yg Sehat

Sumber: diolah dari materi pelatihan Pertanian Alami Komunitas Petani Alami KSP-Salassae

IV. C. Belajar Mandiri – Berdaulat Bersama

Banyak hal yang telah dilakukan dan diciptakan oleh petani alami di Salassae, antara
lain; Komunitas swabina perdesaan, komunitas petani alami, akses permodalan dan koperasi
simpan-pinjam, membuat pasar Pertanian Alami bersama dengan membentuk ‘stasiun
agribisnis’, sehingga usaha untuk membuat petani alami mandiri makin jelas di komunitas
petani alami Desa Salassae ini. Tata cara dan pola pertanianya pun tak terlalu rumit seperti
pertanian konvensional. Nemun begitu, meski sudah terbukti hasilnya lebih baik, lebih banyak
dan tentu sehat dari pada hasil pertanian konvensional masih saja tak banyak warga Desa
Salassae segera tertarik dan berminat mengubah tata cara dan pola bertaninya. Benar
kemudian bila dikatakan jika ada petani sudah beralih dan mau mengadopsi tata cara dan
sistem Pertanian Alami dalam becocok tanam maka ia telah memperoleh ‘hidayah’. Sebab tak
jarang orang yang tahu kelebihan dan manfaat belipat dampaknya Pertanian Alami terhadap
ekonomi rumah tangga petani, kelestarian lingkungan, tubuh yang sehat tapi tertutup hatinya
untuk menganut Pertanian Alami.

“Padahal sudah di depan matanya, jika dia gagal, ini (PA) berhasil, masih juga (memilih
yang gagal). Ini egonya minta ampun.” Muh Nur.

56
Bahkan ada yang sudah menerapkan Pertanian Alami dan mengadopsi tata cara nya
dalam bercocok tanam, tiba-tiba mundur berbalik punggung kembali ke pertanian konvensional
yang melelahkan pikiran, tenaga dan hati tersebut. Betapa tidak—semula Pertanian Alami yang
dikira cukup menyedot banyak tenaga sehingga amat melelahkan, risiko kegagalan besar,
ternyata salah, justru pertanian konvensiona itu selain berbiaya mahal dan risiko kegagalannya
karena serangan hama cukup tinggi—sehingga kerena itu melelahkan pikiran dan hati si petani.
Karena sibuk dan gusar dengan kegagalan dan hutang. Sementara jika pun panen berhasil,
apalagi jika gagal, ia sudah dibebani hutang yang harus dibayarkan. Karena itu Pertanian Alami
di Salassae mengajari petani keluar dari situasi jebakan hutang ini, dan bercocok tanam secara
mandiri serta berdaulatn bersama merencanakan pangan yang sehat dalam komunitas petani
alami. Berikut “Keuntungan Bertani” ala Pertanian Alami yang menjadi materi kampanye KSPS
ke beberapa tempat. Secara singkat, dapat ditegaskan bahwa keuntungan Bertani ala PA
adalah:

a. Aman, murah, mudah diterapkan dan sangat efektif


b. Memelihara dan Memperkuat tanaman secara alami
c. Semua limbah didaur ulang dan bermanfaat
d. Mempergunakan kekuatan nutrisi yang tidak berwujud yakni udara dan matahari
sehingga tanaman sehat
e. Menarik serangga menjauh dari buah, ini lebih murah dan mengelolah keseimbangan
ekosistem

Bisa dikatakan hampir tidak ada kegagalan dalam bertani ala Pertanian Alami, seperti
diungkapkan oleh Muh Nur;

“Selama ini, di PA ini, kalau gagal petani yang di alami ini, otomatis petani yang kimia
(non-alami) ini sudah hancur dia. Sudah habis itu. Artinya memang musim yang sudah
bikin gagal.” Muh Nur102

Kegagalan yang diderita petani di Desa Salassae pernah dialami karena musim yang tak
bersahabat, tanpa tebang pilih semua lahan pertanian sebenarnya gagal panen. Tetapi satu-
satunya yang masih bisa memanen padinya hanya petani alami;

“Itu pernah terjadi. Di sini pernah satu hamparan, yang bisa panen itu hanya pertanian
alami. Sudah hitam daunnya, ancur, tapi masih ada buah. Yang lain ini endak panen
semua.” Muh Nur. Yang (pertanian) kimia habis (gagal panen).” Arman Tanggung 103

Satu cerita yang menandakan pertanian alami lebih mampu bertahan terhadap musim.
Semetara petani non-alami yang menggunakan cara-cara konvensional yang biasa
menggunakan pupuk kimia dan racun hama mengalami gagal panen, dan petani alami masih
bisa panen. Meski ada cuaca yang tidak bersahabat itu petani alami masih bisa panen. Cuaca

102
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.
103
Wawancara dengan Muh Nur, Arman Tanggung, 7 Agustus 2018.

57
dan musim yang tidak bersahabat ini, di Desa Salassae dan sekitarnya, terjadi dalam siklus
tertentu tetapi bagi Pertanian Alami hal itu berdampak buruk;

“Itu biasa memang ada cuaca yang tidak bagus. Tapi itu setelah 3 tahun, karena sudah
tidak perlu nutrisi. Sudah nol. Sudah tidak menggunakan apa-apa. Biaya juga sudah nol.
Bibit sudah bisa bikin sendiri. itu kayak pak Arman sudah berapa tahun, sudah nol.”
Muh Nur.

Petani alami yang biasanya sudah mampu mengandalkan sawahnya “berjibaku” sendiri
melawan musim dan cuaca kurang baik—dan tentu juga hama—untuk tetap bertahan hingga
sampai pada garis finis: masa panen, adalah mereka yang seperti Arman Tanggung. Dia sudah
tidak lagi menggunakan apa-apa, dan bibit sudah bisa dibikin dibudidaya sendiri, artiny urusan
bibit sudah nol biaya juga. Petani seperti Arman tinggal mempelajari sifat dan karakter
tanaman, perubahan siklus iklim dan tanaman, dia tinggal memahami kapan istilahnya “musim
urea” alami datang, musim banyak nitrogen alami. Jika musim nitrogen alami datang itu petani
senang sekali. Petani seperti dia sudah masuk ke fase belajar kalender musim. Misalnya kalau
musim hujan tinggi, petani alami akan merasa senang sekali.

Namun demikian fase “nitrogen alami” ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus
menerus. Tetapi karena ini datang dari alam, manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa dia
lakukan hanya mengubah dan menggeser potensi yang diberikan alam sekiranya memberikan
manfaat tentu dengan cara-cara alami juga. Jika tanaman dan tanah terlalu banyak
mengandung nitrogen, tanaman akan terpicu tumbuh cepat dan subur—misalnya daunnya
lebar-lebar dan lebat seperti pernah dialami oleh salah seorang petani pemula, saat itu, yang
memulai menanam cabe dengan cara Pertania Alami. 104 Tanaman cabenya lebat dengan daun
besar-besar tetapi tidak berbuah sama sekali, meski demikian pengalaman pertama ini sudah
membanggakan si petani. Dan memotivasi untuk memulai lagi bertani dengan cara Pertanian
Alami.

Tanah yang terlalu banyak mengandung nitrogen, ia akan terlalu subur, dan mudah
ditumbuhi tanaman berbagai macam—dan udaranya jika musim hujan gampang memicu
memunculkan kilatan listrik alami, yakni petir. Nemun demikian, tanaman di atasnya tak mudah
memberikan buah dan menghasilkan. Karena itu, tanahnya perlu “intervensi tangan” tapi
secara alami pula—bukan dengan input bahan kimia;

“Kalau tanah terlalu subur, pakai cuka. Air terlalu subur (banyak kandungan nitrogen)
menyuburkan tanaman, tapi tidak berbuah, nah itu diseprot cuka.” Muh Nur.105

104
Cerita pengalaman ini merupakan kejadian pembelajaran saat Pertanian Alami diperkenalkan pertama kalinya,
kisah cabe alami “berbuah daun besar-besar” begitu popular di kalangan petani alami Salassae.
105
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.

58
Para petani alami Desa Salassae seolah begitu lihainya menjelaskan, tak ubahnya mereka
seperti mahasiswa yang telah memperoleh pengetahuan dari bangku perguruan tinggi, kuliah
ilmu kimia tanah—menerangkan bahwa, “tanah yang terlalu subur itu unsur nitrogen banyak,
tapi buah akan kurang. Sebab nutrisi yang dibawa dari tanah banyak lari ke batang dan
daun.”106

IV. D. Restorasi Pengetahuan Kampung

Pertanian Alami di Desa Salassae rupanya dapat mengembalikan kembali pengetahuan


lokal yang dulu pernah ada dalam sistem pertanian lama, yang hampir dikatakan punah. Berkat
Pertanian Alami kini daur pengetahuan lama itu kembali lagi. Para petani alami menggalinya
dan kemudian membuat eksprimen berdasarkan “yang lama” dan “yang baru”: Jadi, petani
alami di Salassae ini ada perawat sekaligus penyambung pengetahun lama pertanian di desa.
Jika daur pengetahuan lokal itu kini bergerak dan bergulir, mereka bisa dipastikan duduk
ditengah-tengahnya bertutur menyampaikan kembali apa yang pernah dilakukan oleh nene-
moyang petani mereka dulu kala. Mereka melestarikan tradisi lama yang patut
(menyelamatkan ekologi ekosistem) sembari sekaligus mengambil tradisi baru yang tak kalah
patutnya.

Dengan Pertanian Alami, mereka berani mengungkapkan “kami ini tidak hanya sekedar
bicara hasil, tetapi menunjukkan bahwa “kita punya kekuatan kita sendiri”. Jadi kita berani
berinovasi sendirilah, kayak ada temuan yang berhasil terus dia pakai, kita pakai (juga).” Contoh
keberanian mereka berinovasi dan berperan menjaga daur pengetahuan pertanian, misalnya,
penggunaan air laut. Eksprimen ini terjadi setelah Pertanian Alami berjalan 3 tahun lamanya,
menciptakan daur pengetahuan pertanian baru, dan memancing munculnya pengetahuan lama
dari para orang-orang tua mereka.

“Kemudian di pemahaman diri kita, terkait PA, ini bukan soal pemahaman tentang
pertaniannya ya, banyak hal yang bisa kita tahu. Artinya pemikiran kita-kita yang
kemarin-kemarin tertutup, jadi terbuka, dan berani coba-coba [bereksprimen]” Muh
Nur.

Batukar Cerita & Pengalaman

Cara merawat pengetahuan pertanian lama dan baru, kemudian, agar tetap beredar
dalam daur pengetahuan kampung hingga generasi ke genarasi menariknya dilakukan dengan
cara-cara Gotong royong dan kekeluargaan. Setiap usai pasca panen, para petani alami Salassae
rutin membuat forum untuk berbagi cerita pengalaman tentang pertanian. Semua petani dari
106
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018.

59
beberapa dusun bahkan desa-desa sekitar Salassae (kadang) ikut bergabung, seperti dari
Ka’rama. Dan lokasi untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan ini dipergilirkan dari tempat
ke tempat lainnya, sesuai siapa yang telah menemukan apa. Mereka, misalnya, bercerita dan
bertukar pengetahuan tentang temuan-temuan baru dalam pengendalian hama, atau
menanam jenis varietas baru.

“Jadi setiap habis panen, kita kumpul, siapa yang punya temuan baru, nanti saling
menceritakan.” Muh Nur

Forum berbagi cerita dan pengalaman pasca panen ini rupanya juga menjadi ruang
refleksi para petani alami atau setiap proses demi proses tata cara bercocok tanamnya ala
Pertanian Alami. Di lingkungan berbagi pengetahuan yang akrab bernuansa kekeluargaan ini
seorang petani alami baru bisa belajar dan bercermin ke petani lainnya dalam menekuni sistem
Pertanian Alami. Permasalah atau persoalan kerumitan dalam bertani ala Pertanian Alami bisa
dipecahkan bersama dengan keterbukaan, tidak ada pengetahuan yang disimpan sendiri atau
ditutup-tutupi;

“Berbagi cerita pengalaman ini dilakukan setiap habis panen. Kita kumpul. Mulai dari
masalah juga, masalah apa yang dihadapi—cerita semua, apapun pengalamannya.
Misalnya, ini ada ulat begini, kalau ada hama menyerang, itu di beberapa desa, kita
lihat dulu, siapa yang bisa mengendalikan itu. Nah, Kalau ada ulat yang besar baru-baru
ini itu yang berhasil [petani] Ka’rama. Setelah di Ka’rama, itu lah yang kita bagi
pengetahuan itu. Ada (obat-nya) tumbuh liar. Kalau orang sini mengenalinya pai’-pai’.
Dia melilit. Batangnya agak bergerigi dia daunnya lebar-lebar --(Brotowali) ,“ Muh Nur.

Begitulah bagaimana satu resep baru pengendalian hama di dalam Pertanian Alami ditemukan
kemudian disebarkan di kalangan (insider) para pelaku pertanian alami di KSP-Salassae.

“Jadi pengetahuan ini enggak ada yang sembunyi, keluar semua. Dimana petani itu
punya pengetahuan baru, ah itu hebat sekali dia bercerita itu.” Muh Nur107

Yang Hilang Kembali Lagi

Dimana ada pertanian (agrikultur) disitu akan terdapat pengetahuan dan kultur
mengolah tanah—demikian pula dengan pertanian ala Pertanian Alami ini. Dalam mengolah
tanah biasanya hal tersebut dilakukan secara berkelompok—dan di komunitas Pertanian Alami
Desa Salassae, hal itu dimulai dari sejak membuat kompos, nutrisi tanaman, dan fase-fase awal
tanam. Artinya kultur tanah pertanian, apalagi sawah basah, seperti yang ada di Desa Salassae,
akan turut membentuk struktur organisasi sosial masyarakatnya. Tingkat kerumitan dan
kompleksitas proses-proses mengolah tanah dan menanam akan melahirkan pengetahuan

107
Wawancara dengan Muh Nur, 7 Agustus 2018

60
budidaya tanaman, alat-alat pertanian yang khas, sekaligus pengorganisasian kelompok kerja.
Secara tradisional, dimana terdapat kultur tanah (agrikultur) yang rumit di situ muncul rasa
kebersamaan (solidaritas sosial) dalam memecahkan persoalan-persoalan pertanian termasuk
dalam memperingan dan mempermuda pekerjaan mengolah tanah. Komunitas petani alami
(KPA) di Salassae ini merasakan betul apa yang menjadi deskripsi dunia pertanain, tradisi
agraris, perdesaan.

Selain itu, rasa-ikatan dengan tanah akan ada pula, sehingga sebuah tanah (lahan,
bentang alam, situs, dan barang-barannya) tak hanya memiliki makna sosial tetapi juga makna-
makna psikolgis tertentu bagi pengolahnya. Apalagi di Desa Salassae yang zaman dulu menjadi
inti dari satu kesatuan ruang adat Gallarang Bulukumpa Toa, sampai sekarang masih
menyimpan epitema di situs-situsnya serta tuturan-tuturan orang kampung mengenai situasi
zaman dulu—dan, bagaimana Salassa, rumah besar, menjadi wahan pertemuan membahas dan
memusyawarahkan persoalan adat. Dalam hal ini tertinggal persoalan pertanian dan penentuan
kalender musim tanam secara periodik. Pengetahuan lama tentang kalender musim tanam ini,
belakangan di kalangan petani Salassae, masih digunakan untuk memahami ‘titi-mangsa’ atau
tanda-tanda alam yang berkaitan dengan musim secara keseluruhan dan yang terkait dengan
perencanaan menanam padi.

Satu lagi tradisi pertanian yang tak lamur dirundung zaman meski mekanisasi dunia
pertanian di beberapa daerah lain telah mengubah wajah kampung dan ‘organisasi kerja’, pola
hubungan kerja dalam pertanian (on farm), di Salassae berkat sistem Pertanian Alami makin
memperoleh tempat. Apa itu? Yakni tradisi gotong royong, guyub-komunal, yang banyak
dicerminkan dalam kebersamaan seperti batukar pengalaman dan pengetahuan pasca panen.
Di tempat lain tempat di masa sebelum Revolusi Hijau kerja-kerja dan kultur tanah wajar bila
ditemukan “kerja bersama secara sukarela” atau Gotong Royong saat bercocok-tanam di lahan-
lahan pertanian; di beberapa tempat misalnya di daerah Jawa dikenal parikan, di beberapa
lokasi di Maluku dengan kultur tanah yang tak begitu rumit serumit pertanian sawah basah di
kenal “ambil tangan”, “Oracalea”, dll. Lalu di dalam masyarakat Konjo di Salassae dikenal
Paleppang.

Paleppang ini merupakan tradisi gotong royong yang ada di sistem pertanian lama
orang-orang Konjo yang saat ini menghuni desa Salassae. Di lain tempat hal ini sudah lazim
disebut dengan Gotong Royong, karena prinsip dan nilai dasarnya ialah kesukarelaan bekerja
bersama, terutama di Jawa dengan kultur tanah pertanian sawah, demikian halnya di Salassae.
Paleppang tak lain adalah urun kerja bersama-sama secara sukarela di sawah, mulai ambil
benih, tanam hingga panen. Selain Paleppang ada lagi kegiatan pattinrobineh, yakni prosesi
menidurkan beji benih dalam persemaian.

61
Sebelum benih “ditidurkan” di dalam sebidang tanah, dalam kegiatan pattinrobineh, ada
proses pemilahan dan pemilihan bakal benih yang dianggap bermutu bagus. Dalam proses
pemilahan dan pemilihan benih ini hanya perempuan yang boleh melakukannya, di sini kaum
perempuan memiliki pernanan utama, bahkan satu-satunya. Lelaki tidak boleh melakukan
pekerjaan memilah dan memilih benih ini. Sehingga beberapa perempuan di kampung saat itu
dianggap memiliki keahlian dalam melakukan pekerjaan ini. 108 Berkat kebiasaan dan daya-
jelajah pengetahuannya dalam memilih benih, seorang perempuan bisa memiliki peran sentral
dan menentukan dalam tradisi pertanian. Kenapa lelaki tidak memiliki peran atau kesempatan
dalam hal ini? Ada alasan adat tradisi yang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh dalam
masyarakat petani di Salassae yang tidak membolehkan, atau melarang, lelaki melakukan
perbuatan pemilahan benih.

Namun sejak ada revolusi hijau banyak hal yang telah bergeser bahkan hilang dari dunia
pertanian warga Salassae, termasuk peran dan pengetahuan perempuan dalam tradisi
memilah-milih benih ini. Berkat program bantuan benih, subsidi benih—artinya benih tak lagi
dibuat sendiri yang dengan kata lain harus dibeli—perempuan tidak lagi sibuk memilah padi
bakal benih, yang tentu saja pengetahuan dalam memilih dan memilah benih itu turut hilang
perlahan. Perempuan di masa lalu memiliki peran yang tak kalah penting dengan lelaki dalam
dunia pertanian, saat revolusi hijau masuk kampung di Salassae, mereka tereksklusi dari sawah,
dari tanah dan secara menyeluruh dari dunia pertanian. Termasuk tradisi Paleppang lamur
ditelan teknokrasi dan mekanisasi teknik pertanian yang dianggap lebih maju (Lih., foto alat
mesin mobil pemanen yg ditemukan saat datang ke Ka’rama) berkat itu pekerjaan di lahan
pertanian ditukar dengan upah uang. Jika tidak, ada ikatan kerja antar “para petani modern” itu
yang lebih ekslusif—mereka dibuatkan kelompok tani, organisasi kerja yang terprogram rapih—
yang ikatan kerjanya tertutup bukan lagi didasari rasa gotong royong. Di dalam “kemajuan”
organisasi kerja para petani ini, inisiatif-inisiatif yang tumbuh dari pengetahuan dan kreativitas
petani mulai tumpul; aspirasinya kurang tumbuh dari bawah melainkan datang dari kebijakan-
kebijakan atas (top-down policy) dalam berupa program-program pertanian.

(Insert foto-4: mesin mobil alat pemanen padi yg ditemukan saat datang ke Ka’rama)

Sistem pertanian yang dibangun oleh korporasi ataupun pemerintah jadi penyebab
utama hilangnya Paleppang. Satu-satunya kebijakan dan program yang paling berpengaruh dan
berbekas lama di dunia pertanian ialah Revolusi Hijau. Menurut penuturan orang tua Arman,
bapak Tanggung, masuknya Revolusi Hijau tidak hanya mengubah cara bertani tetapi juga
menghilangkan tanda-tanda alam. Contohnya, dahulu jika bintang terlihat seperti ayam
mematuk itu pertanda bahwa sudah bisa mulai menanam padi. Ini-lah ‘titi mangsa’ yang
menjadi daur pengetahuan kampung dalam masyarakat agraris. Dan, dengan teknologi yang

108
Cerita Pak Ali, dalam FGD kecil bersama para petani alami, 7 Agustu 2018.

62
serba ada, para petani sudah tidak lagi membutuhkan bantuan petani lainnya. Mereka akhirnya
bekerja sendiri-sendiri dan kalaupun meminta tenaga manusia sistemnya sudah berubah. Tidak
lagi sistem gotong royong melainkan tukar-tenaga atau pengupahan, keduanya tidak bisa
disebut gotong royong karena bukan berlandaskan kesukarelaan.

Sejak sistem Pertanian Alami diadopsi oleh sekelompok masyarakat Desa Salassae,
tradisi lama yang baik dalam pertanian orang Konjo di Salassae memiliki peluang untuk
dikembalikan. Pertanian alami sekurangnya telah memperkuat kembali tradisi dan tata-cara
pertanian lama yang sudah lamur, misalnya Paleppang—tradisi gotong royong ini makin
memperoleh tenaga untuk penyegaran ulang dan penguatan di tingkat praktiknya. Pertanian
padi sawah basah, yang dimana-mana bersifat komunal, memerlukan pengorganisasian-kerja
seurut tahapan pertumbuhan dan siklus tanam berdasarkan gotong royong (tradisi sukarela
kerja-sama), kebersamaan (solidaritas sosial). Maka Pertanian Alami hanya akan berlanjut
dengan cara gotong-royong, kebersamaan, karena itulah palleppang akan makin kuat tumbuh
dan menumbuhkan solidaritas sosial para petaninya. Dan paleppang itu sendiri akan makin
subur dipraktikkan.

“Tidak mungkin satu orang petani bisa membuat pupuk alami berkarung-karung, harus
dikerjakan beberapa orang”, kata Muh Nur alias Uro.

Pengalaman petani alami di Salassae menunjukkan bahwa hal tersulit dalam


mempraktikkan pertanian alami adalah pembuatan pupuk alami, terutama diawal praktik.
Sehingga butuh banyak tangan yang dengan sukarela, sabar dan tulus untuk menghasilkan
pupuk alami. Menariknya, hasil dari proses pembuatan pupuk alami ini dapat dinikmati tak
hanya oleh segelintir orang saja, tetapi bisa dimanfaatkan oleh beberapa petani sekaligus—dan
dalam musim tanam berkali-kali. Artinya, dari praktik ini, Pertanian Alami juga memberi
kesempatan bagi kemunculan “ekonomi-berbagi” ala desa, berbagi manfaat yang tak ternilai
antar sesama petani, dimana hal ini dulu pernah menjadi marwah kehidupan sosial-ekonomi
perdesaan—hingga kemudian pupus perlahan akibat mekanisasi pertanian di era 1980-an.[]

Selain paleppang, pattinro bineh, ada lagi pengetahuan lama dalam tradisi sawah yang
sampai kini menjadi daur pengetahuan kampung yang masih bertahan yakni mappasusu pare.
(Insert foto-5: Gambar padi yang ditandai simpul terikat sebagai tanda sedang berlangsung mappasusu
pare)

Mappasusu pare ini adalan tindakan untuk mempercepat proses pembuahan, yakni
dilakukan saat fase padi melakukan reproduksi, dengan cara menandai titik atau pojok-pojok
petak sawah dengan tanda sedemikian rupa—daun padi dibikin simpul ikat; yang artinya tak
sekedar simpul ikat. Pekerjaan ini hanya bisa dikerjakan oleh kaum perempuan—tidak boleh
oleh lelaki—dan diusahakan dilakukan pada hari Jumat, dengan berbaju merah. 109 Tentu akan
sulit dijelaskan kepada kaum petani yang sudah terjangkit modernisasi pertanian, yang
cenderung terpola positivistik. Tetapi mappasusu pare ini sebenarnya adalah tindakan archaic
yang mengandung makna relasi-struktural dan menjadi penanda bahwa si petani, dalam hal ini
109
Wawancara dengan Pak Brohing (Ibrahim) petani alami desa Ka’rama, 13 Agustus 2018.

63
istrinya turut, berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk melimpahkan rejeki berupa hasil
pertanian padi yang melimpak pada sawahnya. Ini juga semacam semiotika relasional antara
Perempuan dengan lahan “Sawah, Suami, dan Tuhan” yang mengandung pesan simbolik.
Sementara maksudnya adalah jelas memiliki arti pentingnya petani merawat hubungan “relasi
Manusia-Alam”—dalam hal ini dengan jaringan ekosistem yang lebih luas tak sekedar sawah,
dan “relasi Manusia-Tuhan” dengan melibatkan kaum perempuan di sawah (on farm).

Pembagian Kerja Pertanian (On Farm) dan Alokasi Waktu


Sistem dan pembagian Kerja antara petani lelaki dan perempuan dalam tradisi pertanian
lama, antara lain misalnya dapat dilihat sejak pra tanam hingga pasca panen. Seperti disebutkan
di awal, kegiatan pemilihan benih, salah satunya merupakan pekerjaan pertanian (on farm) pra
tanam yang dikerjakan oleh perempuan. Namun demikian sejak revolusi hijau dan munculnya
kebijakan di sektor pertanian masuk ke desa, seperti penanaman varietas baru, kegiatan
pemilahan benih tak lagi dilakukan perempaun. Ini contoh kasus petani perempuan secara
pelan tereksklusi dari pertanian (on farm). Meski dalam beberapa hal, sepanjang proses
produksi, peran perempuan tak lah benar-benar dapat dipinggirkan dari pertanian (on farm)—
walaupun peran-peran itu tak lagi strategis seperti membuat dan memilih benih padi tadi.
Pekerjaan yang masih dilakukan perempuan di sawah, salah satunya adalah pekerjaan simbolik
saja seperti mappasusu pare. Sementara pekerjaan lain, merawat mengelola, merupakan kerja-
kerja untuk mendukung pekerjaan suami di sawah.
Tetapi dalam Pertanian Alami perempuan memiliki peran strategis yakni seperti
membuat dan menyiapkan nutrisi bagi tanaman. Melalui tangan-tangan perempuan yang
terampil itu berbagai nutrisi yang bersumber dari bahan-bahan lokal,dan mudah didapatkan
misalnya sejak dari dapur (domain domestik yang selama ini melekat dengan dunia perempuan)
atau pekarangan rumah, ia dibuat dan dipersiapkan. Secara umum, gambaran pembagian kerja
antara perempuan dan lelaki di sistem Pertanian Alami kurang lebih tidak jauh berbeda dengan
pertanian konvensional. Bahkan di beberap kasus pertanian konvensional, perempuan dominan
ikut mengatur pembiayaan fase produksi dalam pertanian konvensional. 110 Hal ini dilakukan
mengingat biaya pertanian konvensional relatif mahal dan besar—dibandingkan PA—sehingga
perempuan ikut mengatur alokasi keuangannya. Tak jarang, kemudian, perempuan petani
konvensional “baku-senggol” dengan suaminya. Namun di sistem Pertanian Alami—hal ini
terkesan setara—antara relasi perempuan dan lelaki dalam memulai proses kerja-kerja
Pertanian Alami. Bisa saja hal itu dalam rencana membuat nutrisi, berdiskusi soal benih, dll.

110
Kasus seperti ini seperti diutara di awal, di bagian gagasan PA. Namun ada kisah menarik dari pengalaman
petani alami, bapak Zainuddin alias Zainuding, di masa awal bertani ala Pertania Alami. Ketika fase tanam
Pertanian Alami dimulai, sang istri tetap membelikan pupuk kimia, seperti NPK, Urea, dll untuk menyuburkan
tanaman dan lahannya. Dan pupuk itu, secara logika pertanian konvensional, adalah satu-satunya alat bantu
penyubur tanaman dan menunjang kesuksesan hasil panen kelak. Karena itu ketika Pak Zainuddin sudah
mengubah tata cara bertaninya ke PA, sungguh ini sangat menyulitkan—sehingga ia pada tahap awal PA-nya
terpaksa ia perpura-pura telah membawa pupuk-pupuk kimia tersebut ke lahan sawahnya. Padahal kenyataannya
ia buang di sepanjang jalan menuju sawah, kadang pupuk itu ia buang di sungai.

64
Berikut ini secara umum gambaran pembagian kerja di Desa Salassae, di komunitas petani
alami, dalam sehari-harinya;
a. Di Kebun : perempuan dan laki-laki sama-sama ke kebun. Perempuan ke kebun pada
saat panen, seperti panen merica, cengkeh, dll. Sedangkan laki-laki ke kebun mulai dari
menanam, merawat, hingga memanen.
b. Di Sawah : pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di sawah berbeda-beda di
setiap rumah tangga.
- Perempuan: menyiapkan benih (termasuk menjemur), menanam benih, mencabut
benih, potong padi.
- Laki-laki: membajak sawah, memupuk hingga panen.
C. Pekerjaan domestik: memasak, mencuci dan sebagainya masih dikerjakan oleh
perempuan

Tuturan Perempuan PA

Dalam pembagian peran dan tugas antara perempuan dan laki-laki, sangat ditentukan oleh
budaya, kebiasaan dan tipe keluarga di masing-masing rumah tangga petani. Masih ada suami
yang tidak mengijinkan istrinya ikut ke sawah (dengan beragam argument), namun di keluarga
lain membolehkan. Ibu Hawani: “Di bidang pertanian, perempuan hanya sebagai pembantu.
Ke kebun dan sawah tergantung izin dari suami atau tergantung apakah suami membutuhkan
bantuan istri.” Ibu Hawani sendiri tidak ikut bekerja di kebun dan sawah, mengingat sawah dan
kebunnya masih merupakan “milik bersama” dengan kaka-adiknya, belum dipecah-
wariskan. Sehingga peran dia banyak di wilayah off farm, dan sekali-kali saja ia turun ke sawah
dan kebun ketika misalnya musim panen, atau petik lada. Artinya dapat ditegaskan, bahwa
persoalan tingkat/kelas sosial dalam masyarakat juga menentukan pembagian peran laki-laki
dan perempuan dalam aktifitas pertanian di Desa Sallasae.

Namun, secara umum, PA menajdi jembatan bagi keterlibatan perempuan lebih banyak dalam
aktifitas pertanian di Desa Sallasae.

“Yang paling disenangi dari praktik pertanian alami karena petani alami juga ikut terlibat
dalam organisasi sehingga memberikan kesempatan untuk ketemu dengan orang dari luar
Salassae.” (Bu Hartati)
Selain itu, keterlibatan perempuan di dalam keseluruhan PA, juga mengurangi ancaman
“beban” pengeluaran keuangan untuk produksi pertanian. Dari praktik PA, menurut beberapa
perempuan pegiat PA di Sallasae, Kak Yuli, Kak Sri, Bu Hartati, dll mereka merasa tidak
terbebani dengan biaya pertanian lagi. Karena biaya dalam PA sangat sedikit, berbeda
sebelumnya saat bertani konvensional. Selain itu, petani alami juga sangat santai karena tidak
perlu memikirkan uang untuk membeli pupuk kimia.

65
Praktik pertanian alami di Salassae tidak memperlihatkan pembagian keuntungan antara laki-
laki dan perempuan secara tegas. Kepemilikan sumber-sumber agraria seperti tanah masih
didominasi oleh laki-laki. Dalam pembagian keuntungan laki-laki dan perempuan, sementara
ini, sebatas pembagian nafkah kehidupan keluarga dan nafkah bersama (anak, suami-istri).
Tetapi jika pendapatan suami sudah masuk ke kas nafkah bersama, suami tidak boleh
mengambil uang yang masuk tersebut 111 untuk kepentingan kebutuhan pribadi, contoh nyata,
rokok atau pun kebutuhan mendadak lainnya di bidang pertanian (on farm). 112
Yang paling menonjol dituturkan para perempuan pegiat RA di Desa Sallasae adalah,
ketersediaan waktu yang lebih longgar, sejak praktik PA dilakukan secara penuh di sawah dan
kebun mereka. Sehingga, waktu yang tersedia bisa digunakan untuk kegiatan lain. Baik untuk
berorganisasi, menambah kegiatan ketrampilan dan pengetahuan, maupun untuk anak dan
keluarga. Sehingga kelonggaran waktu ini juga mengurangi beban kerja perempuan di keluarga.
“Sejak keluarga menerapkan PA, banyak waktu luang saya. Makanya oleh suami
dibuatkan warung. Saya banyak jaga waung aja sekarang. Dulu saya hampir seharian,
pagi sampai sore di sawah bantu suami dan adik. Samapi ndak sempat ngurus rumah
dan anak-anak. Soalnya kami punya warisan sawah, kebun keluarga. Juga ada kolam
ikan.” (Bu Hawani)
Hal lainnya yang kerap muncul dalam tuturan perempuan pegiat PA adalah dampak kesehatan
bagi keluarga. Perempuan lebih punya perhatian lebih dibandingkan laki-laki dalam soal
kepekaan kesehatan bagi keluarga. Karenanya ketika PA mulai dipraktikkan di Desa Sallasae,
dengan tujuan dan hasil yang jelas-jelas mengubah segala pangan yang penuh racun denagn
sesuatu yang lebih alami dan menyehatkan.
“Banyak perempuan disini yang berubah ke PA gara-gara ngihat hasil panen padi dan
sayuran kami yang tanpa racun. Makanya kami sering kalo pertemuan dengan ibu-ibu
disini masuknya lewat ajakan hidup lebih sehat. Soalnya ndak ada ibu-ibu dan
perempuan yang ingin anak-anaknay sakit…itu naluri keibuan mungkin..” (Kak Yuli)

di kasus lain,
“Sama-sama masalh nasi dengan Rice Scucer, tapi nasi kami tahan lama, bahkan hingga
seminggu, ndak bau. Sedangkan nasi hasil padi konvensional, mungkin hanya 3 hari.
Dan ibu-ibu disini banyak yang tahu soal itu. Kalo makanan ada racunnya kan pasti
buruk buat kesehatan…apa aja, sayur, padi, ikan, dll..makanya PA jadi daya Tarik
disini...” (Bu Juwani)

111
Wawancara dengan Ato dan istrinya, Sri Koko, 12 Agustus 2018; dengan Muh Nur dan Jusmiani, istirinya, 10
Agustus 2018.
112
Di dalam kasus pengaturan nafkah rumah tangga petani alami ini, kemudian, Karena itulah, ditemukan alasan
dan latar belakang awalnya berdiri LKM (lembaga keuanan mikro) yang awalnya didorong untuk menyediakan
kebutuhan pribadi kaum adam yang gemar menghisap rokok. Mula-mula ia adalah “warung berjalan” yang
menyediakan rokok dalam pertemuan-pertemuan petani alami, lalu ditransformasikan menjadi lemabaga
keuangan mikro yang menyediakan permodalan usaha bagi anggota KPA-KSPS.

66
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh PA bagi pegiat perempuan di Sallasae
cukup besar, meliputi soal perbaikan kesehatan, peningkatan pengetahuan, kelonggaran waktu,
berkuranganya beban pengeluaran dan kerja, serta penghidupan lainnya dalam keseharian di
pertanian yang lebih baik dibandingkan ketika pertanian konvensional masih dominan.
Namun, harus diakui, bahwa studi awal ini belum menelisik lebih mendalam terkait dengan
hubungan perempuan dengan tanah dan sumber agrarian lainnya di Sallasae. Sehingga belum
bisa bisa menjelaskan lebih lanjut bagaimana dampak-dampak lain yang lebih struktural,
kaitannya dengan perubahan tata kuasa dan tata produksi yang lebih berkeadian atas sumber-
sumber agararia di Desa Sallasae. []

V. Hasil Lebih Produktif dan Tahan Hama

Petani alami setelah proses mengolah lahan selama 3 tahun (3 musim tanam, dengan
andaian dalam 1 tahun menanam sekali) atau paling tidak telah 10 kali panen, biasanya sudah
tidak terlalu berat, biaya produksinya pun sudah nol rupiah. Pekerjaan yang relatif menyita
waktu dan tenaga hanya berlaku di awal pertama memulai menerapkan sistem Pertanian Alami
yakni persisnya di awal memulai fase tanam, yakni pembenihan, menanam hingga masa
reproduksi (pembuahan) hingga panen. Selebihnya jika sudah lebih dari 3 tahun atau 10 kali
panen, pengurusan sawah tidak terlalu berat, tanaman dibiarkan tumbuh sendiri. Pada fase dan
tahap memulihkan ekosistem tanah dan sawah sudah dilalui, dengan mentaati dan menepati
tata cara dan prosedur (treatment) ala Pertanian Alami, si petani akan banyak memiliki waktu
luang. Tenaga untuk pertaniannya benar-benar menganggur, sekurangnya ia hanya bertugas
mengecek irigasi pengairan—itupun di masa pertumbuhan saja. Karena itu lalu muncul julukan
petani alami itu “petani pengangguran,” dan “petani pemalas”. Karuan saja memang hampir
tidak ada lagi yang dikerjakan petani alami di sawahnya (on farm) setelah fase menanam.
Tanaman bisa ditinggal pergi, atau menyibukkan dengan moda produksi lainnya yang
berkarakter off-farm (di luar sawah/lahan) seperti mengurusi peternakana, membuat minyak
kelapa, membuat tepung ubi, dll. Ketika sawah sudah tidak memerlukan perlakuan intensif,
tenaga penuh tercurah, maka hanya perawatan airnya saja, yakni irigasi yang perlu dikontrol.
Hal ini seperti dilakukan oleh salah seorang petani alami, yakni Arman Tanggung, dan beberapa
petani alami lainnya.

Dalam memandang serangga atau binantang tertentu sebagai hama dalam pertanian—
tentu pandangan ini semua akibat konstruksi pemahaman dari sistem pertanian konvensional--
hampir tidak ada ditemukan penamaan hama dalam sistem Pertanian Alami. Bahkan petani
alami terdorong untuk hormat pada mahluk hidup lain, ekosistem hayatinya, dan alam itu
sendiri dengan segala isinya. Seperti perlakuan terhadap rerumputan yang dikategorikan gulma
“perampas” nutrisi tanah. Sebagaimana diungkapkan Arman, bahwa “Kadang-kadang rumput
ini jadi teman juga. Jadi rumput ini hanya cara pandang saja yang berbeda, misalnya di musim
baru tanam kita biarkan rumput tumbuh, agar hama-hama itu nempelnya ke situ.” Sehingga
pada fase awal dan pertumbuhan tanaman padi tidak perlu disiangi.

67
(Insert Foto-6: Suli-suli jenis tanaman ekosistem tanah basah atau sawah yang dalam umur 80an hari ia
mati sendiri lantas setelah mati ia menjadi pupuk penyubur tanah<—caption)

“Padahal di dalam pertanian alami, tidak semua rumput itu gulma.” Muh Nur.

Produktivitas Pertanian Alami lebih bagus dari pada pertanian konvensional, dan tidak berbiaya
mahal sebagaiamana tuturan berikut ini;

“Ya berbeda mi, kan biasanya ini (untuk 25 are lahan sawah habis) 4 karung pupuk urea.
Yang (lahan PA) ini tidak ada mi, biayanya lebih murah. Ini tidak sampai seratus ribu,
ndak sampai.” Pak Ibrahim.113

Perbedaan penampakan antara padi alami dengan petani konvensional, padi alami terlihat lebih
segar, sementara sawah dengan padi konvensional terlihat kusam, kurang segar warnanya.

VI. Temuan dan Kesimpulan

Di Desa Salassae sistem Pertanian Alami telah terbukti turut berkontribusi perbaikan
ruang sosial masyarakat perdesaan, pemulihan ekologi ekosistem persawahan yang kemudian
berkat gaya hidup petani alami, hal itu juga merambah pada lingkungan perdesaan—merubah
habbit (kebiasaan prilaku) orang kampung dalam memperlakukan lingkungan hidupnya.
Sehinga dampak dan pengaruh pertanain alami ini tutur berkontribusi pada pengurangan gas
karbon atau gas rumah-kaca yang turut memicu global warming(pemanasan global). Karena itu,
Desa Salassae mendapat predikat Kampung Iklim Utama, dalam program Proklim, dengan daya
pengurangan gas rumah kaca hingga 82%. Dalam penetapan kampung iklim ada 4 (empat)
tingkatan predikasi, yaitu Pratama, Madya, Utama, dan Lestari. Status desa saat ini, berkat
Pertanian Alami, telah sampai pada kampung iklim utama.

Saat ini Pertanian Alami di mulai dari Desa Salassae telah merambah 49 desa. Dan
secara umum PA ini telah memberi dampak dan pengaruh dalam kehidupan pertaian
perdesaan yang cukup signifikan; sebagaimana hal ini diuraikan seperti di bawah ini;

Dampak positif: (a) Dampak positif sosial: semakin kuatnya solidaritas dan kekeluargaan di
antara petani alami. Hal ini karena dalam pertanian alami lebih mengutamakan gotong royong
daripada kerja secara individu. Mulai dari pembuatan kompos hingga panen dilakukan secara
113
Pak Brohing atau Ibrahim adalah petani alami di Ka’rama, ia memiliki lahan sawah seluas total 75 are, 40 are
lokasi pinggir jalan kampung Dusun Lemponge, Desa Ka’rama, sudah dua kali ditanami padi dengan cara alami, dan
25 are baru dimulai, dan ada sepetak yang karena kekurangan bibit padi alami, akhirnya tercampuri bibit padi non-
alami yang diberi orang tetangga lahannya. Beberapa sawah tetangga sawah Pak Brohing di Dusun Lemponge,
menggunakan kawat beraliran listrik untuk mengusir hama babi. Listrik baru dialiri ketika malam hari.

68
kolektif. (b) Dampak positif ekonomi: pertanian alami di Salassae telah berhasil mengurangi
kemiskinan khsususnya pada keluarga-keluarga petani alami. Salah satu buktinya, terputus
hubungan dengan tengkulak padi dan sekaligus pupuk yang menciptakan jebakan hutang yang
menjadi proses pemiskinan petani. Biaya produksi rendah: pertanian konvensional untuk
sawah seluas 1 ha biasanya mereka menghabiskan biaya sebesar 3 juta rupiah (umumnya
diperolah dari hutang) akan dibayarkan pada saat panen. Sedangkan dalam PA, biaya yang
dibutuhkan cukup 60 ribu rupiah untuk lahan 1 ha sawah, yang bahkan dapat digunakan untuk
3 kali masa tanam.
Dampak positif ekologi: pertanian alami memperbaiki ekosistem kultur tanah yang sudah rusak
akibat tata cara pertanian konvensional; bahkan memulihkan jaringan ekosistem yang lebih luas
lagi.
Pengaruh positif: Dua pengaruh utama yang dapat dirasakan sejak Pertanian Alami diterapkan
sebagai tata cara pertanian dan tata kelola pangan di Desa Salassae. Kedua pengaruh tesebut
mendarat di dalam; (1). Ruang hidup perdesaan (rural livelihood), dan (2). Ruang sosial budaya.

(1). Ruang hidup perdesaan, mencakupi:

 Ruang sosial,
 Ikatan sosial,
 Sosial ekonomi perdesaan,
 Perbaikan ekonomi rumah tangga petani,
 Pemulihan ekologi ekosistem,
 Pengembangan usaha pertanian sebagai moda produksi perdesaan,
 Pembangunan ekonomi desa,
 Kesadaran politik kebijakan di sektor pertanian di tingkat tapak sejak di desa seperti
peraturan desa hingga tingkat nasional, di pemerintahan pusat.

(2). Ruang sosial budaya, mencakupi:


 Petani bereksprimen, meneliti, menjadi pakar di bidang pertanian alami,
 Petani menemukan pengetahuan baru, ikut mencipta daur pengetahuan kampung
dari cara-cara baru dan cara-cara lama dalam tradisi pertanian;
 Petani berperana aktif penyebaran pengetahuan baru dalam dunia pertanian ala PA;
 Tradisi gotong royong kembali marak dalam dunia pertanian terutama pertanian
yang mengikuti tata cara selaras alam.

KESIMPULAN

Dengan uraian di atas beberapa hal yang dapat menjadi kesimpulan dari hasil studi awal PA di
Desa Sallasae, yaitu:

69
A. Pertanian Alami secara umum sekarang dan kedepan dapat diandalkan dalam menentukan
jalan bagi program kedaulatan pangan dan kemandirian petani, sebagaimana hal ini terlihat
indikasinya di Pertanian Alami Desa Salassae.
B. Alokasi waktu dan pembagian kerja (Kesetaraan gender) antara perempuan dan lelaki
dalam tradisi pertanian (On Farm) di Desa Salassae berubah seiring masuknya mekanisasi
dunia pertanian dan Revolusi Hijau--sistem pertanian tetiba mulai meminggirkan peran
perempuan, terutama ketika perempuan memiliki peran strategis yang tak tergantikan
seperti dalam pemuliaan benih atau paleppang--- sejak intensifikasi pertanian dengan
benih-benih unggul yang didatangkan dari luar peran itu memudar hilang sama sekali. Kini
setelah hadir sistem Pertanian Alami, yang sebenarnya memiliki irisan kesamaan dengan
pola-pola pertanian lama Orang Konjo, memungkinkan perempuan kembali terlibat di
domain on farm sebagai misalnya pemilah benih, pembuat nutrisis tanaman, ikut
menentukan perencanaan tanam, dll.
C. Di dalam komunitas yang kental dengan nuansa kultur pertanian, para perempuan terus
terdorong untuk ikut berdaya seiring dampak kemandirian yang ditimbulkan oleh Pertanian
Alami. Misalnya, para perempuan sudah mulai beruji-coba mengolah alih pruduk pangan
(bahan baku pangan) dari hasil bumi, dalam hal ini tepung ubi jalar yang sebenarnya di
kampung tidak ada harganya bila dijual, kini mulai dioleh jadi tepung sehingga bernilai
ekonomis. Contoh lainnya ialah pengolahan kelapa yang dijadikan Virgin Coconut Oil (VCO);
buah kelapa ini di Salassae dan desa-desa sekitarnya hampir tidak ada harganya, buah-
buahnya dibiarkan berjatuhan kering dari pohonnya. Sebagian dikumpulkan di pojok-pojok
pekarangan, sebagian malah tak sempat dikumpulkan berkerakan begitu saja. Harga kelapa
per butir memang murah, barangkali ini bagian dari rangkaian pukulan kampanye hitam
Amerika atas minya kelapa/kopra Indonesia di penghujung tahun 1970-an. Karuan petani
kelapa kini tak memperoleh panggung di pasar. Setelah ketemu teknik pembuatan minyak
kelapa murni (VCO) masyarakat Salassae—terutama di tangan para perempuan KSPS—
kelapa di desa kini mulai memperoleh nilai tambah (Reproduksi) pertanian.
D. Motivasi berorganisasi (sadar politik) dan berjejaring (berkomunitas) di Desa Salassae tak
hanya makin menguat tetapi juga menular ke desa-desa atau kawasan dimana disebarkan
pula pengetahuan tentang Pertanian Alami. Hal ini wajar mengingat sistem Pertanian Alami
selaian mengembalikan pengetahuan lama yang hilang—sebagaimana dunia pertanian dan
tradisinya yang komunal—ia seolah mengembalikan “tulang-berserak” tradisi pertanian
padi sawah yang tidak bisa-tidak harus berserikat berkelompok dan berorganisasi
(komunalsime)—berorganisasi itu tak hanya saat di sawah, saat bekerja, atau dalam dunia
pertanian itu sendiri (on farm) tetapi juga di luar dunia pertanian (off fram). Hal ini
ditemukan dalam kecenderungan berkumpul, guyub, lalu meningkat menjadi organisasi dan
pola pengembangan dan pemberdayaan keuangan /ekonomi rumah tangga dengan
mendirikan lembaga keuangan mikro. Cirinya adalah “usaha bersama” yang kuat dilandasi

70
azas kekeluargaan. Yang demikian ini dapat beranjak menjadi koperasi di masa depan,
dimana produk-produk pertanian dapat dihasilkan dengan baik hingga memerlukan
pengaturan rantai suplay & distribusinya ke luar desa.
E. Menjadi petani alami seolah menjadi “orang dewasa”, petani cerdas dan semi peneliti.
Sebab diharuskan untuk belajar ulang atas sejarah masa lalu, warisan kearifan lokal, nilai
budaya, traidis baik dan sekaligus memahami bahayanya degradasi ekologi dan ekosistem.
Salahsatu sebab utamanya adalah akibat dari kultur pertanian dengan dominasi input
bahan kimia yang diperkenalakn oleh sistem Pertanian Konvensional. Sehingga butuh
kecerdasan dan keberanian agar dapat memahami jalan keluar untuk membalik situasi krisis
sosial-ekologi di perdesaan yang terus mewaris itu.
F. Pertanian Alami terbukti efektif mengeluarkan petani dari jebakan ragam masalah
pedesaan, seperti: ketergantungan hutang, membebaskan petani dari akar kemiskinan
struktural lainnya yang jamak di dunia pertanian;
G. Persoalan isu kesehatan yang beririsan dengan jaminan keselamatan lingkungan menjadi isu
utama dalam Pertanian Alami. Sehingga praktik PA di Desa Sallasae membuktikan bahwa
“Segi tiga imbal-balik Pertanian Alami Berdampak Ganda” [Double triangle double effect]
yang menjadi triangulasi uji-klinis efektivitas penerapan sistem Pertanian Alami di
Pedesaan.

Rekomendasi

Dengan uraian dan penjelasan hasil studi awal di atas, maka ada beberapa rekomendasi untuk
pengembangan dan kelanjutan gerakan PA di Sallasae, beberp ahal tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Perwujudan Daulat Agraria dan Pangan Internal. Pentingnya mengembalikan tujuan


PA untuk memenuhi kedaulatan agraria dan pangan di internal komunitas dan anggota,
seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan meningkatnya “undangan” untuk
pengembangan PA di Desa lainnya. Upaya memastikan agar semua anggota daulat atas
tanah dan sumber pangan dengan pola PA adalah pondasi dan pilar utama dalam
keseluruhan tujuan gerakan PA dalam makna luasnya.

2. Pengembangan Pengetahuan/Ketrampilan Produksi dan Distribusi Hasil Kelompok


Perempuan PA. Ketersediaan waktu yang lebih longgar bagi perempuan sejak PA secara
konsisten dipraktikkan, memberi tantangan untuk memperluas inovasi program dan
kegiatan khususnya perempuan pegiat PA. Ketersediaan “bahan baku” yang belum
terolah menjadi bahan olahan lanjutan (seperti kelapa, aneka ragam buah-buahan, dll)
juga butuh tantangan sendiri, terutama inovasi program untuk off dan non-farm activity.

71
Inisistaif dan rintisan yang telah dilakukan oleh kelompok perempuan menajdi potensi
dasar bagi pengembangan lanjutan di tahap peningkatan keragaman produksi dan
strategi distribusi.

3. Pelanjutan generasi pendakwah dengan generasi pengelola/perawat. Dominasi


kelompok lapis pertama dan kedua di gerakan PA Sallasae dengan watak pendakwah
membutuhkan lapis generasi yang memiliki fungsi perawat dan pengelola jariangan dan
kelola pengetahuan. Sebab jaringan dan pengaruh PA telah mulai meluas di beragam
desa, kecamatan dan kabupaten. jika seluruh pegiat PA hanya tipologi pendakwah
dikuatirkan dalam jangka panjang, akan terabaikan upaya untuk kelola dan merawat
proses dan hasil yang telah ditapaki. Generasi dengan fungsi pengelola/perawat ini akan
melapisi kelompok para pendakwah agar keberlanjutan perjuangan PA dapat semakin
kokoh dan dapat menjadi inspirasi/rujukan bagi pembelajar PA lainnya, terlebih jika
telah memiliki kelola pengetahuan yang terdokumentasikan dengan rapi.

4. Jembatan regenerasi dan transformasi pengetahuan ke generasi millennial. Lahirnya


geraka PA Sallase diikat oleh batas ruang dan waktu zamannya. Kini, generasi mellenial
memiliki konteks, masalah, tantangan dan peluanganya sendiri. Tak mudah untuk
mengundang generasi Millenial untuk “mencintai” dan peduli dunia pertanian. Sebab
pola hidup, imajinasi, cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai juga berbeda. Sehingga
diperlukan strategi khusus untuk pelibatan kelompok generasi Millenial (perempuan dan
laki-laki) dalam ragam kegiatan dan program PA.

5. Pengembangan dan inovasi temuan-temuan kunci (pengelolaan pengetahuan). Bagi


para pegiat PA di Sallasae, temuan-temuan dalam praktik PA dianggap biasa dan
alamiah, karena begitulah seharusnya. Namun, jika diceritakan untuk orang lain
dianggap hal baru, inspiratif bahkan inovatif. Baik sejak mengolah tanah, hingga pasca
panen. Karenanya, kedepan diperlukan satu upaya yang lebih strategis bagaimana
temuan-temuan PA dapat dikembangkan, dikemas dan disebarluaskan ke kahlaya
umum. Sebab praktik PA bukan hanya untuk fungsi ekonomi, tapi juga penyadaran
politik dan ekologis bagi publik luas.

6. Pengembangan kelembagaan distribusi. Capaian PA di Sallasae telah masuk pada


keseimbangan produksi, selain penyebarluasan gagasan yang makin meningkat. Tahap
lanjuta yang mesti dikokohkan adalah penguatan kelembagaan dan startegi distribusi
hasil. Rintisan upaya distribusi yang berjalan memerlukan evaluasi dan terobosan baru,
agar mampu menjadi satu kesatuan paket program dari tujuan PA. Kedaulatan dari hulu
dan hilir. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan menembus pasar lokal, wilayah
dan nasional, termasuk bentuk-bentuk pemasaran online perlu menjadi prioritas.

72
7. Penguatan intervensi politik kebijakan. Salah satu tujuan perjuangan gerakan PA
adalah memastikan keadilan sosial-ekonomi dan ekologis yang berkelanjutan. Salah satu
syarat kunci untuk tujuan tersebut adalah bagaimana memastikan bahwa PA bukan
hanya milik kelompok komunitas dan golongannya sendiri, tapi bagaimana dapat meluas
dan menjadi basis dan terintegrasi dalam ragam kebijakan yang lebih luas, terutama
kebijakan pertanian dan agraria di beragam level politik (Desa, Kabupaten, Provinsi,
Nasional bahkan Global). Selain itu, jika PA telah menjadi “agenda legal” negara, maka
diharapkan dapat menjadi titik awal bagi pemenuhan syarat dan ketersambungan untuk
tujuan-tujuan kebijakan lain seperti Reforma Agraria, Pembangunan Pedesaan,
Pertanian dan sumberdaya alam lainnya yang lebih adil secara sosial-ekologis.

Daftar Pustaka

BUKU
Batara, Lily N. & Krishnayanti, Ika N. (eds.).2011. Natural Farming, Rahasis Sukses Bertani di
Masa Krisis, Jakarta: Bina Desa.
Djurfeldt, Goran. et.al (Eds.). 2005. The African Food Crisis - Lessons from The Asian Green
Revolution, Wallingford, UK: CABI Publishing
Muadz, M. Husni. 2013. Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersbukyektif
dengan Pendekatan Sistem, Mataram: IPGH

73
Perfecto, Ivette (et.al), 2009. Nature’s Matrix, Linking Agriculture, Conservation and Food
Soveriegnty, London: Earthscan.
Sajogyo, 2006. Ekososiologi, Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan
sebagai Kasus Uji), Yogyakarta: Cindelaras Pustak Rakyat Cerdas.
Scherr, Sarah J. & McNeely, Jeffrey A. 2007. Farming With Nature, The Science and Practice of
Ecoagriculture, London: Island press.
Shohibuddin. 2018. Perspektif Agraria Kritis, Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris; Yogyakarta:
STPN Press.
Tjondronegoro, Sediono M.P., 2008. Negara Agraris Ingkari Agraria – Pembangunan Desa dan
Kemiskinan di Indonesia, Bandung: AKATIGA.
Yuval Noah Harari, 2017. Sapiens –Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga
Perkiraan Kepunahannya, Jakarta: Alfabet.

Catatan Riset Lain

Batara, Lily N. Sejarah Pertanian Alami di Salassae, (tt). Potret Salassae: Kini dan Dulu; (tidak
dipublikasikan).
Budiono, Moti, Moloku Kiel Raha-“Pulau Yang Hilang”, (2017) Catatan Lapang, Kaji-tindak “Daur
Pengetahuan Kampung: Air, Pangan, Energi; Bogor: Sajogyo Institute, 2016/2017.
(tidak dipublikasikan)

Pranala Maya
Link Diskusi Grup Majapahit tentang Pendirian Candi: …link belum ketemu.

74

Anda mungkin juga menyukai