1
Nur Hata, Babad Dermayu: Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu terhadap
Kolonialisme pada Awal Abad ke-19, Jurnal Manassa Manuskripta, vol. 2, no. 1, 2012, hal. 147.
Diakses dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://download.portalgaruda.org/
article.php pada tanggal 23 Juni 2016 pukul 08.45 WIB
2
4
H.A. Dasuki, Sejarah Indramayu, cet. ke-2, Indramayu: Percetakan & Toko Buku Sudiam,
1977, hal. 196.
diupah tiga ringgit perak per bulan, untuk kuli diupah dua ringgit perak per bulan,
ditambah tiga gantang beras. Sementara pada tanggal 10 Mei 1809 diputuskan
pula bahwa untuk 5000 pekerja dari Priangan dan Cirebon yang bekerja di
Megamendung dibayar dengan tembaga sebagai pengganti uang perak.5
Sebagaimana pemikiran Kompeni dulu, Daendels mengklaim bahwa tanah
jajahan adalah sebagai milik penguasa Kolonial sehingga dia pun mengeksploitasi
tanah jajahan termasuk Cirebon demi mengatasi berbagai kesulitan ekonomi yang
tengah dihadapi. Mengenai eksploitasi tanah jajahan, Daendels bertindak lebih
jauh dibanding Kompeni. Dulu Kompeni pada masanya menjual komplek-
komplek tanah kecil kepada orang Eropa untuk tempat tinggal atau menyewakan
desa-desa kepada pemborong hak-hak penghasilan pemerintah6, sementara
Daendels menjual desa-desa kepada pihak partikelir Eropa dan Cina atas dasar
penawaran harga paling tinggi dengan hak kepemilikan yang kemudian
dibentuklah lembaga “tanah partikelir” di Jawa. Desa beserta penduduknya
menjadi milik pribadi dari penguasa swasta yang nasibnya diserahkan kepada
penguasa tersebut.7 Penghasilan yang tidak seberapa dari kerja wajib dan berbagai
pajak hasil bumi yang harus diserahkan membuat perekonomian rakyat tetap tidak
berkembang dan nasib rakyat Jawa termasuk Cirebon tidak berubah jadi lebih baik
seperti pada masa Kompeni.
Namun tindakan eksploitasi dan menjual tanah-tanah partikelir itu tidak
mengantarkan Daendels keluar dari kesulitan ekonomi karena adanya blokade
Inggris yang menguasai lautan sehingga hubungan perdagangan dengan Eropa
dan Amerika terhambat dan terjadi penumpukan hasil bumi komoditi ekspor.8
5
H.A. Dasuki, Sejarah Indramayu, Op.Cit., hal.7-8.
6
Kompeni menyewakan desa pada pemborong pajak swasta yang umumnya orang Cina.
Dengan membayar uang sewa di muka, maka penyewa memperoleh hak-hak tertentu seperti hak
memungut penghasilan-penghasilan penguasa atas daerah tersebut dan hak atas tenaga kerja
penduduknya. Ketika rakyat tidak mampu membayar pajak yang telah ditentukan maka para
pemborong pajak akan menawarkan pinjaman yang boleh dibayar setelah panen. Namun jika hasil
panen tidak dapat memenuhi untuk pembayaran pinjaman dan pajak selanjutnya maka pembayaran
hutang dilunasi dengan tenaga kerja. Hingga akhirnya, rakyat dipekerjakan tanpa dibayar sebagai
cara pelunasan hutang-hutangnya. Lihat Ipik Ernaka, Perlawanan Bagus Rangin di Cirebon Tahun
1806-1812 (Tesis), Depok : Universitas Indonesia, 2007, hal. 69.
7
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 78-79.
8
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 79.
Akhirnya berbagai kebijakan darurat ditetapkan, misalnya karena pemerintah
belum bisa melakukan ekspor lagi maka penjualan barang dagangan langsung
dilakukan kepada masyarakat Cina kaya di Jawa dan bahkan pemerintah
mewajibkan penduduk asal Eropa dan Cina di Jawa untuk membayar uang
sumbangan pada pemerintah.9
Dalam hal reorganisasi pemerintahan, kedudukan bupati diturunkan oleh
Daendels dari seorang penguasa tradisional menjadi aparat pemerintah Kolonial.
Pada masa itu, para bupati diberi surat pengangkatan sebagai pejabat bayaran dan
tidak lagi menandatangani perjanjian politik seperti pada masa Kompeni. 10
Berdasarkan Reglement op het Beheer van Cheribonsche Landen tanggal 2
Februari 1809 ditetapkan bahwa gelar sultan yang disandang para sultan Cirebon
masih diperbolehkan namun mereka tetap menjalankan tugas setingkat bupati
sebagai pegawai pemerintah Kolonial Belanda.11 Di Cirebon, residen memperoleh
gaji sebesar 20.000 ringgit dan sultan memperoleh gaji masing-masing sebesar
8000 ringgit.12 Kekuasaan para sultan berkurang dan rumah tangga para sultan
diatur oleh pemerintah termasuk mengenai tanah milik kaprabonan, jumlah
pegawai dan pengiring keluarga sultan.13
Dan berdasarkan Reglement yang dikeluarkan pada 2 Februari 1809 pula,
wilayah Cirebon ditetapkan sebagai prefectuur yang dibagi menjadi dua bagian
yaitu bagian utara yang meliputi wilayah Cirebon dan Kuningan yang dikepalai
oleh Sultan Sepuh, wilayah Majalengka yang dikepalai oleh Sultan Anom dan
wilayah Indramayu yang dikepalai oleh Sultan Cirebon 14 serta bagian selatan yang
9
Bernard Dorleans, Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI Sampai Dengan
Abad XX (Terj. Tim Penerjemah UI Parakitri T. Simbolon), Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia, 2006, hal. 315.
10
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 78.
11
Djoko Marihandono, Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di
Jawa 1808-1811, Op.Cit., hal. 137.
12
Ibid., hal. 138.
13
Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, Bandung : Alqaprint, 2000,
hal. 45.
14
Sultan Cirebon merupakan Pangeran Raja Kanoman yang sempat dibuang ke Ambon
oleh Pemerintah Kolonial. Kemudian karena tuntutan rakyat Cirebon, pada tahun 1808 dia
dikembalikan dan diangkat menjadi Sultan Cirebon. Lihat Edi S. Ekajati, Sejarah Perlawanan
Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990, hal. 107.
meliputi Galuh (Ciamis), Sukapura (Tasikmalaya) dan Limbangan (Bandung)
yang terletak di Priangan.15 Kehidupan para sultan diatur Pemerintah Kolonial dan
kekuasaannya terbatas. Penderitaan dan kebencian rakyat Cirebon terhadap
Pemerintah Kolonial semakin mendalam terutama ketika dipecatnya Sultan
Cirebon pada tanggal 2 Maret 1810 yang kemudian mengakibatkan gerakan
perlawanan rakyat timbul kembali.
15
A. Sobana Hadrjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman, Op.Cit., hal. 135-136.
16
A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Keresidan Kedu
1800-1890, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hal. 7.
17
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 91.
kemakmurannya akan muncul kembali.18 Akan tetapi tidak semua kebijakan yang
dikeluarkan berhasil mencapai tujuannya karena kondisi rakyat dan
perekonomiannya yang belum stabil. Menurut Raffles hal tersebut merupakan
akibat dari politik Kompeni selama 200 tahun yang semata-mata digerakkan oleh
semangat untuk memperoleh keuntungan dan “working it with all the practiced
ingenuity of politicians and the monopolising selfishness of trades”. Raffles
menuduh Belanda Kolonial dan para bupatinya menjalankan “feudal barbarism”19
Mengenai hal ini, Dirk van Hogendorp,20 yang merupakan salah satu pejabat
Kompeni sendiri, mengecam keras praktek-praktek politik dan ekonomi Kompeni
serta penyelewengan-penyelewengan yang dilakuan para pejabatnya. Pada tahun
1799 dia menerbitkan sebuah buku pamflet yang mempublikasikan secara rinci
potensi ekonomi pulau Jawa yang tidak dikelola sebagaimana mestinya dan
mengajukan beberapa saran untuk memperbaikinya. Beberapa isi buku itu
menyebutkan bahwa:
“ Jawa adalah pulau yang ekonomis amat potensial. Tanahnya subur, jumlah
penduduknya besar dan letaknyapun tepat, tapi karena salah urus, maka
tanah jajahan itu menjadi kurang manfaatnya, rakyatnya melarat dan patah
semangat.
Sistem feodal di mana Raja adalah pemilik mutlak atas tanah beserta
penduduknya, dengan sistem apanase (tanah lungguh) menjadikan rakyat
petani sebagai penggarap yang tidak bebas dan dibebani sebagai kewajiban
feodal yang berat dan tidak menentu. Sistem paksa dan tiadanya kepastian
hukum, mematikan segala inisiatif rakyat untuk maju mengembangkan
kemampuannya. Rakyat menjadi kehilangan gairah untuk berusaha
meningkatkan kemakmurannya.
Kompeni selama ini menerapkan pemerintahan tidak langsung,
membiarkan pemerintahan di daerah yang dikuasainya seperti apa adanya,
tradisional feodal di bawah para bupati selaku “leenman” (raja takluk) dari
Kompeni, yang diikat dengan perjanjian untuk menyerahkan sejumlah hasil
buminya.
Jawa apabila diatur dengan baik akan menjadi daerah yang makmur, bagi
keuntungan Negeri Belanda dan kebahagiaan rakyatnya. Dengan
mempertanyakan, dengan hak apakah sesungguhnya Kompeni menguasai
daerah-daerah jajahan di Jawa, maka dijawabnya sendiri oleh van
Hogendorp, bahwa daerah yang berada dalam kekuasaan VOC menjadi hak
18
Ibid., Op.Cit., hal. 91.
19
Ibid., Op.Cit. hal. 86.
20
Dirk van Hogendorp merupakan pejabat tinggi Kompeni yang beraliran liberal. Ketika
bertugas di Patna-India, dia berkesempatan mempelajari sistem pemerintahan Kolonial Inggris di
India dan pengenaan pungutan (revenue) atas tanah yang berhasil di wilayah Benggala dan
membandingkan antara politik Kolonial Inggris di India dan Belanda di Jawa. Lihat R. Sa`ban,
Pajak Bumi Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, hal. 71-76.
milik Negeri Belanda” 21
Namun kemudian, meski sebenarnya Raffles tidak menyukai sistem kolonial
VOC, karena kesuliatan ekonomi yang dihadapi Raffles dalam pemerintahannya
maka beberapa unsur sistem VOC yang lama terpaksa masih diterapkan seperti
rakyat Cirebon yang masih diharuskan mengerjakan tanam wajib kopi. Raffles
juga memberlakukan Pajak Bumi (Landrente) yang mengharuskan petani
membayar pajak atas tanah yang dikelolanya22 dengan anggapan bahwa
pemerintah adalah pemilik semua tanah dan petani adalah penyewa. 23 Dan untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek, Raffles terpaksa menjual wilayah
berpenduduk dengan tanahnya kepada swasta sebagaimana yang dilakukan
Daendels dulu.24 Pada masa Raffles juga, para sultan kehilangan kekuasaannya
sebagai penguasa feodal berdasarkan Proclamation 19 Juli 1813 dan
Memorandum 20 Juli 1813.25 Bahkan pada tahun 1815 para sultan dipensiunkan
dengan imbalan uang pensiun setiap tahun masing-masing 8000 ringgit untuk
Sultan Sepuh dan Sultan Anom serta Panembahan Cirebon sebesar 600 ringgit.26
Sementara mengenai struktur pemerintahan kesultanan dan kabupaten tidak
berubah karena memang tujuan utama pemerintah kolonial adalah membatasi
kekuasaan sultan dan bupati.27 Secara umum, hal-hal tersebut menegaskan bahwa
kekuasaan sultan sudah hilang kecuali hanya pemegang kekuasaan pusat adat dan
budaya sementara sumber legitimasi kekuasaan berada di tangan pemerintah
Kolonial Inggris.
Sampai pada tahun 1816 kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda berakhir
dan kembali diambil alih oleh Belanda. Di masa peralihan (tahun 1816-1819), tiga
Komisaris Jendral, yakni Ph. van der Capellen, C.F. Elout dan L.P.J. du Bus
21
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 72.
22
Tim Penulis, Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon, Cirebon: Badan Komunikasi
Kebudayaan & Pariwisata Kab. Cirebon, 2005, hal. 35.
23
Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880,
Penerjemah Monique Sosman, dkk., Jakarta: Djambatan, 2004, hal. 58.
24
25
Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Op.Cit., hal. 40.
26
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman, Op.Cit., hal. 141.
27
Ibid., hal. 140.
Gisignies, ditugaskan untuk memerintah Hindia Belanda secara kolektif yang
pada pelaksanaan pemerintahannya relatif mempertahankan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan Raffles terutama dalam hal struktur pemerintahan lokal dan
sistem pajak bumi.28 Beberapa hal yang dilakukan Komisaris Jendral tersebut di
antaranya ialah:
a. Sistem residen dan kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal tetap
dipertahankan.
b. Desa sebagai kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya
dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi.
c. Dalam bidang ekonomi, pengusaha-pengusaha asing diberi kesempatan untuk
menanamkan modal di Nusantara.29
Pola pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, di samping
penderitaan rakyat yang tidak kunjung membaik, membuat pemerintah di masa
peralihan ini pun harus mengatasi berbagai perlawanan rakyat yang terjadi di
banyak wilayah Cirebon sebagaimana perlawanan-perlawanan yang terjadi pada
masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
28
Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Op.Cit., hal. 40.
29
Ajisaka Lingga Bagaskara, Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942). Diakses
dari http://indonesian-person.blogspot.co.id/2013/07/masa-pemerintahan-hindia-belanda-
1816.html?m=1 pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 08.05 WIB.