Anda di halaman 1dari 8

BAB II

DESKRIPSI UMUM CIREBON PADA PARUH PERTAMA ABAD 19

A. Deskripsi Umum Cirebon Tahun 1800-1810


Pada abad 19, tekanan kolonialis di Jawa semakin menguat terutama ketika
berkuasanya Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles yang
menerapkan berbagai kebijakan politik radikal.1 Tekanan tersebut pun tidak
terkecuali bagi Cirebon. Seluruh bidang kehidupan Cirebon terutama politik dan
ekonomi diatur oleh Pemerintah Kolonial. Akibatnya, kedudukan para sultan
Cirebon sebagai penguasa pun hilang dan rakyat Cirebon menderita karena
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Pemerintah Kolonial sangat
membebankan mereka.
Sejak masa kekuasaan Kompeni (VOC), praktek eksploitasi seperti
monopoli perdagangan, tanam wajib, kerja wajib serta persembahan wajib
(contingenten) telah dirasakan oleh rakyat Cirebon hingga berakhirnya eksistensi
Kompeni pada akhir abad 18. Namun ternyata, berakhirnya kekuasaan Kompeni
tersebut tidak diiringi dengan berakhirnya praktek eksploitasi atas Cirebon.
Kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang mulai menguasai
Cirebon sejak awal abad 19 tidak jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan
Kompeni. Bahkan pada abad ini, para sultan Cirebon berada pada suatu masa di
mana kedudukannya sebagai penguasa hilang sama sekali. Bagi rakyat Cirebon
yang memiliki hubungan kawula-gusti2 dengan penguasa tradisionalnya, hal
tersebut menimbulkan kekecewaan terutama jika itu terjadi pada penguasa yang
peduli akan nasib mereka. Rakyat menyadari bahwa penguasa sangat berperan
dalam “menentukan nasibnya” sehingga penguasa yang pro-rakyat adalah harapan

1
Nur Hata, Babad Dermayu: Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu terhadap
Kolonialisme pada Awal Abad ke-19, Jurnal Manassa Manuskripta, vol. 2, no. 1, 2012, hal. 147.
Diakses dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://download.portalgaruda.org/
article.php pada tanggal 23 Juni 2016 pukul 08.45 WIB
2

Hubungan Kawula-Gusti yang umumnya berkembang dalam kehidupan kerajaan


merupakan ikatan feodal-tradisional yang telah melembaga menjadi tradisi. Masyarakat tradisional
seperti ini umumnya memandang raja sebagai tokoh yang diidentikkan dengan dewa, raja
dipandang sebagai tokoh yang menguasai masyarakat serta dapat menghubungkan mereka dengan
alam gaib. Lihat A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman, Op. Cit., hal. 124
dan Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Op.Cit., hal. 44.
dan harus diperjuangkan. Maka, ketika penguasa harapan rakyat tidak
memperoleh haknya sebagai penguasa, rasa kecewa dan amarah rakyat terhadap
Pemerintah Kolonial semakin mendalam sehingga mudah digerakan untuk
melakukan suatu perlawanan. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi pada
Pangeran Raja Kanoman yang diusir dari keraton bahkan dibuang ke Ambon dan
jabatan sultan yang harus diperolehnya justru diberikan pada saudaranya yang
memihak Pemerintah Kolonial. Akhirnya, gerakan perlawanan rakyat Cirebon
terjadi di mana-mana. Pemerintah Kolonial kemudian mengembalikan tokoh-
tokoh yang diharapkan rakyat ke Cirebon dengan anggapan bahwa gerakan
perlawanan rakyat akan berhenti. Namun meski gerakan perlawanan sempat
berhenti, hal tersebut muncul kembali ketika kebijakan-kebijakan pemerintah
semakin memeras rakyat.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811), monopoli
perdagangan dan persembahan wajib masih diberlakukan sebagai sumber
penerimaan pemerintah. Selain itu, berbagai kebijakan yang membebankan pun
diberlakukan seperti pajak hasil panen padi dan tanam wajib misalnya.
Berdasarkan ketetapan tanggal 19 Juni 1808, untuk wilayah Cirebon diberlakukan
pajak sebesar satu per lima dari hasil panen padi yang sebelumnya hanya sebesar
satu per sepuluh berdasarkan ketetapan tanggal 7 Mei 1808. Pada masa Daendels
pun kebijakan tanam paksa tidak dihapus bahkan diperluas. Setiap keluarga wajib
menanam 500 pohon kopi dan menyetorkan buahnya pada pemerintah dengan
imbalan 4 ringgit untuk 225 pon buah kopi sementara bagi kelurga yang tidak
menanam kopi, harus menyetorkan 10 kati katun kering per tahunnya dengan
imbalan 3 dolar untuk 130 pon.3 Sementara untuk daerah yang tidak cocok untuk
menanam kopi seperti Indramayu, harus menanam kapas.4 Di masa ini, ketentuan
kerja wajib dengan upah yang tidak sepadan pun masih diberlakukan seperti kerja
wajib dalam pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Pada 29 Maret
1809 dikeluarkan ketentuan bahwa bagi para pekerja dari Kabupaten Cirebon
yang bekerja di Sumedang akan diberi upah dengan ketentuan: untuk mandor
3
Djoko Marihandono, Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di
Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte (Disertasi), Depok: Universitas
Indonesia, 2005, hal. 140-141.

4
H.A. Dasuki, Sejarah Indramayu, cet. ke-2, Indramayu: Percetakan & Toko Buku Sudiam,
1977, hal. 196.
diupah tiga ringgit perak per bulan, untuk kuli diupah dua ringgit perak per bulan,
ditambah tiga gantang beras. Sementara pada tanggal 10 Mei 1809 diputuskan
pula bahwa untuk 5000 pekerja dari Priangan dan Cirebon yang bekerja di
Megamendung dibayar dengan tembaga sebagai pengganti uang perak.5
Sebagaimana pemikiran Kompeni dulu, Daendels mengklaim bahwa tanah
jajahan adalah sebagai milik penguasa Kolonial sehingga dia pun mengeksploitasi
tanah jajahan termasuk Cirebon demi mengatasi berbagai kesulitan ekonomi yang
tengah dihadapi. Mengenai eksploitasi tanah jajahan, Daendels bertindak lebih
jauh dibanding Kompeni. Dulu Kompeni pada masanya menjual komplek-
komplek tanah kecil kepada orang Eropa untuk tempat tinggal atau menyewakan
desa-desa kepada pemborong hak-hak penghasilan pemerintah6, sementara
Daendels menjual desa-desa kepada pihak partikelir Eropa dan Cina atas dasar
penawaran harga paling tinggi dengan hak kepemilikan yang kemudian
dibentuklah lembaga “tanah partikelir” di Jawa. Desa beserta penduduknya
menjadi milik pribadi dari penguasa swasta yang nasibnya diserahkan kepada
penguasa tersebut.7 Penghasilan yang tidak seberapa dari kerja wajib dan berbagai
pajak hasil bumi yang harus diserahkan membuat perekonomian rakyat tetap tidak
berkembang dan nasib rakyat Jawa termasuk Cirebon tidak berubah jadi lebih baik
seperti pada masa Kompeni.
Namun tindakan eksploitasi dan menjual tanah-tanah partikelir itu tidak
mengantarkan Daendels keluar dari kesulitan ekonomi karena adanya blokade
Inggris yang menguasai lautan sehingga hubungan perdagangan dengan Eropa
dan Amerika terhambat dan terjadi penumpukan hasil bumi komoditi ekspor.8

5
H.A. Dasuki, Sejarah Indramayu, Op.Cit., hal.7-8.

6
Kompeni menyewakan desa pada pemborong pajak swasta yang umumnya orang Cina.
Dengan membayar uang sewa di muka, maka penyewa memperoleh hak-hak tertentu seperti hak
memungut penghasilan-penghasilan penguasa atas daerah tersebut dan hak atas tenaga kerja
penduduknya. Ketika rakyat tidak mampu membayar pajak yang telah ditentukan maka para
pemborong pajak akan menawarkan pinjaman yang boleh dibayar setelah panen. Namun jika hasil
panen tidak dapat memenuhi untuk pembayaran pinjaman dan pajak selanjutnya maka pembayaran
hutang dilunasi dengan tenaga kerja. Hingga akhirnya, rakyat dipekerjakan tanpa dibayar sebagai
cara pelunasan hutang-hutangnya. Lihat Ipik Ernaka, Perlawanan Bagus Rangin di Cirebon Tahun
1806-1812 (Tesis), Depok : Universitas Indonesia, 2007, hal. 69.

7
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 78-79.
8
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 79.
Akhirnya berbagai kebijakan darurat ditetapkan, misalnya karena pemerintah
belum bisa melakukan ekspor lagi maka penjualan barang dagangan langsung
dilakukan kepada masyarakat Cina kaya di Jawa dan bahkan pemerintah
mewajibkan penduduk asal Eropa dan Cina di Jawa untuk membayar uang
sumbangan pada pemerintah.9
Dalam hal reorganisasi pemerintahan, kedudukan bupati diturunkan oleh
Daendels dari seorang penguasa tradisional menjadi aparat pemerintah Kolonial.
Pada masa itu, para bupati diberi surat pengangkatan sebagai pejabat bayaran dan
tidak lagi menandatangani perjanjian politik seperti pada masa Kompeni. 10
Berdasarkan Reglement op het Beheer van Cheribonsche Landen tanggal 2
Februari 1809 ditetapkan bahwa gelar sultan yang disandang para sultan Cirebon
masih diperbolehkan namun mereka tetap menjalankan tugas setingkat bupati
sebagai pegawai pemerintah Kolonial Belanda.11 Di Cirebon, residen memperoleh
gaji sebesar 20.000 ringgit dan sultan memperoleh gaji masing-masing sebesar
8000 ringgit.12 Kekuasaan para sultan berkurang dan rumah tangga para sultan
diatur oleh pemerintah termasuk mengenai tanah milik kaprabonan, jumlah
pegawai dan pengiring keluarga sultan.13
Dan berdasarkan Reglement yang dikeluarkan pada 2 Februari 1809 pula,
wilayah Cirebon ditetapkan sebagai prefectuur yang dibagi menjadi dua bagian
yaitu bagian utara yang meliputi wilayah Cirebon dan Kuningan yang dikepalai
oleh Sultan Sepuh, wilayah Majalengka yang dikepalai oleh Sultan Anom dan
wilayah Indramayu yang dikepalai oleh Sultan Cirebon 14 serta bagian selatan yang
9
Bernard Dorleans, Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI Sampai Dengan
Abad XX (Terj. Tim Penerjemah UI Parakitri T. Simbolon), Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia, 2006, hal. 315.

10
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 78.

11
Djoko Marihandono, Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di
Jawa 1808-1811, Op.Cit., hal. 137.

12
Ibid., hal. 138.

13
Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, Bandung : Alqaprint, 2000,
hal. 45.
14
Sultan Cirebon merupakan Pangeran Raja Kanoman yang sempat dibuang ke Ambon
oleh Pemerintah Kolonial. Kemudian karena tuntutan rakyat Cirebon, pada tahun 1808 dia
dikembalikan dan diangkat menjadi Sultan Cirebon. Lihat Edi S. Ekajati, Sejarah Perlawanan
Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990, hal. 107.
meliputi Galuh (Ciamis), Sukapura (Tasikmalaya) dan Limbangan (Bandung)
yang terletak di Priangan.15 Kehidupan para sultan diatur Pemerintah Kolonial dan
kekuasaannya terbatas. Penderitaan dan kebencian rakyat Cirebon terhadap
Pemerintah Kolonial semakin mendalam terutama ketika dipecatnya Sultan
Cirebon pada tanggal 2 Maret 1810 yang kemudian mengakibatkan gerakan
perlawanan rakyat timbul kembali.

B. Deskripsi Umum Cirebon Tahun 1811-1818


Gerakan perlawanan masih terus dilancarkan termasuk ketika Cirebon
berada dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Inggris yang diwakili oleh Thomas
Stamford Raffles (1811-1816). Pada masanya, Raffles mencoba menerapkan
kebijakan-kebijakan Kolonial yang baru harapan mampu meningkatkan kehidupan
ekonomi rakyat pribumi. Politik pembaharuan Raffles tersebut dilatarbelakangi
juga oleh keadaan Inggris yang pada masa itu merupakan negeri industri yang
membutuhkan daerah koloni sebagai pasar yang potensial, sehingga perlu
diupayakan agar rakyat di daerah koloni mempunyai daya beli. 16 Beberapa
kebijakan yang dikeluarkan Raffles di antaranya ialah :
a. Penyerahan wajib in natura (verplichte leverantien dan contingenten) dan
beban kewajiban feodal kepada pemerintah dihapuskan yang kemudian
diganti dengan sistem kebebasan berusaha bertani dan berdagang bagi rakyat.
b. Pemerintah sebagai penguasa tertinggi atas tanah, berhak memungut sewa
tanpa perantara para bupati. Para bupati bukan lagi menjadi penguasa feodal
penarik pajak dari rakyatnya.
c. Tanah pertanian disewakan kepada yang berhak dalam kapling besar dan
kecil dalam jangka waktu yang terbatas.17
Dengan beberapa kebijakan yang memberikan kebebasan berusaha kepada
rakyat maka diharapkan semangat rakyat untuk berupaya meningkatkan

15
A. Sobana Hadrjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman, Op.Cit., hal. 135-136.

16
A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Keresidan Kedu
1800-1890, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hal. 7.
17
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 91.
kemakmurannya akan muncul kembali.18 Akan tetapi tidak semua kebijakan yang
dikeluarkan berhasil mencapai tujuannya karena kondisi rakyat dan
perekonomiannya yang belum stabil. Menurut Raffles hal tersebut merupakan
akibat dari politik Kompeni selama 200 tahun yang semata-mata digerakkan oleh
semangat untuk memperoleh keuntungan dan “working it with all the practiced
ingenuity of politicians and the monopolising selfishness of trades”. Raffles
menuduh Belanda Kolonial dan para bupatinya menjalankan “feudal barbarism”19
Mengenai hal ini, Dirk van Hogendorp,20 yang merupakan salah satu pejabat
Kompeni sendiri, mengecam keras praktek-praktek politik dan ekonomi Kompeni
serta penyelewengan-penyelewengan yang dilakuan para pejabatnya. Pada tahun
1799 dia menerbitkan sebuah buku pamflet yang mempublikasikan secara rinci
potensi ekonomi pulau Jawa yang tidak dikelola sebagaimana mestinya dan
mengajukan beberapa saran untuk memperbaikinya. Beberapa isi buku itu
menyebutkan bahwa:
“ Jawa adalah pulau yang ekonomis amat potensial. Tanahnya subur, jumlah
penduduknya besar dan letaknyapun tepat, tapi karena salah urus, maka
tanah jajahan itu menjadi kurang manfaatnya, rakyatnya melarat dan patah
semangat.
Sistem feodal di mana Raja adalah pemilik mutlak atas tanah beserta
penduduknya, dengan sistem apanase (tanah lungguh) menjadikan rakyat
petani sebagai penggarap yang tidak bebas dan dibebani sebagai kewajiban
feodal yang berat dan tidak menentu. Sistem paksa dan tiadanya kepastian
hukum, mematikan segala inisiatif rakyat untuk maju mengembangkan
kemampuannya. Rakyat menjadi kehilangan gairah untuk berusaha
meningkatkan kemakmurannya.
Kompeni selama ini menerapkan pemerintahan tidak langsung,
membiarkan pemerintahan di daerah yang dikuasainya seperti apa adanya,
tradisional feodal di bawah para bupati selaku “leenman” (raja takluk) dari
Kompeni, yang diikat dengan perjanjian untuk menyerahkan sejumlah hasil
buminya.
Jawa apabila diatur dengan baik akan menjadi daerah yang makmur, bagi
keuntungan Negeri Belanda dan kebahagiaan rakyatnya. Dengan
mempertanyakan, dengan hak apakah sesungguhnya Kompeni menguasai
daerah-daerah jajahan di Jawa, maka dijawabnya sendiri oleh van
Hogendorp, bahwa daerah yang berada dalam kekuasaan VOC menjadi hak

18
Ibid., Op.Cit., hal. 91.

19
Ibid., Op.Cit. hal. 86.

20
Dirk van Hogendorp merupakan pejabat tinggi Kompeni yang beraliran liberal. Ketika
bertugas di Patna-India, dia berkesempatan mempelajari sistem pemerintahan Kolonial Inggris di
India dan pengenaan pungutan (revenue) atas tanah yang berhasil di wilayah Benggala dan
membandingkan antara politik Kolonial Inggris di India dan Belanda di Jawa. Lihat R. Sa`ban,
Pajak Bumi Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, hal. 71-76.
milik Negeri Belanda” 21
Namun kemudian, meski sebenarnya Raffles tidak menyukai sistem kolonial
VOC, karena kesuliatan ekonomi yang dihadapi Raffles dalam pemerintahannya
maka beberapa unsur sistem VOC yang lama terpaksa masih diterapkan seperti
rakyat Cirebon yang masih diharuskan mengerjakan tanam wajib kopi. Raffles
juga memberlakukan Pajak Bumi (Landrente) yang mengharuskan petani
membayar pajak atas tanah yang dikelolanya22 dengan anggapan bahwa
pemerintah adalah pemilik semua tanah dan petani adalah penyewa. 23 Dan untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek, Raffles terpaksa menjual wilayah
berpenduduk dengan tanahnya kepada swasta sebagaimana yang dilakukan
Daendels dulu.24 Pada masa Raffles juga, para sultan kehilangan kekuasaannya
sebagai penguasa feodal berdasarkan Proclamation 19 Juli 1813 dan
Memorandum 20 Juli 1813.25 Bahkan pada tahun 1815 para sultan dipensiunkan
dengan imbalan uang pensiun setiap tahun masing-masing 8000 ringgit untuk
Sultan Sepuh dan Sultan Anom serta Panembahan Cirebon sebesar 600 ringgit.26
Sementara mengenai struktur pemerintahan kesultanan dan kabupaten tidak
berubah karena memang tujuan utama pemerintah kolonial adalah membatasi
kekuasaan sultan dan bupati.27 Secara umum, hal-hal tersebut menegaskan bahwa
kekuasaan sultan sudah hilang kecuali hanya pemegang kekuasaan pusat adat dan
budaya sementara sumber legitimasi kekuasaan berada di tangan pemerintah
Kolonial Inggris.
Sampai pada tahun 1816 kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda berakhir
dan kembali diambil alih oleh Belanda. Di masa peralihan (tahun 1816-1819), tiga
Komisaris Jendral, yakni Ph. van der Capellen, C.F. Elout dan L.P.J. du Bus
21
R. Sa`ban, Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa, Op.Cit., hal. 72.

22
Tim Penulis, Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon, Cirebon: Badan Komunikasi
Kebudayaan & Pariwisata Kab. Cirebon, 2005, hal. 35.

23
Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880,
Penerjemah Monique Sosman, dkk., Jakarta: Djambatan, 2004, hal. 58.
24

Ibid., hal. 87.

25
Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Op.Cit., hal. 40.

26
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman, Op.Cit., hal. 141.

27
Ibid., hal. 140.
Gisignies, ditugaskan untuk memerintah Hindia Belanda secara kolektif yang
pada pelaksanaan pemerintahannya relatif mempertahankan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan Raffles terutama dalam hal struktur pemerintahan lokal dan
sistem pajak bumi.28 Beberapa hal yang dilakukan Komisaris Jendral tersebut di
antaranya ialah:
a. Sistem residen dan kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal tetap
dipertahankan.
b. Desa sebagai kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya
dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi.
c. Dalam bidang ekonomi, pengusaha-pengusaha asing diberi kesempatan untuk
menanamkan modal di Nusantara.29
Pola pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, di samping
penderitaan rakyat yang tidak kunjung membaik, membuat pemerintah di masa
peralihan ini pun harus mengatasi berbagai perlawanan rakyat yang terjadi di
banyak wilayah Cirebon sebagaimana perlawanan-perlawanan yang terjadi pada
masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

28
Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Op.Cit., hal. 40.

29
Ajisaka Lingga Bagaskara, Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942). Diakses
dari http://indonesian-person.blogspot.co.id/2013/07/masa-pemerintahan-hindia-belanda-
1816.html?m=1 pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 08.05 WIB.

Anda mungkin juga menyukai