Buku karya Sir Thomas S. Raffles, dibantu oleh juru bahasa Raden Ario Notodiningrat dan
Bupati Sumenep, Notokusumo II.
Oleh : SS-Hauptsturmfuhrer Ajisaka Lingga Bagaskara
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raja Muda (Viceroy) Lord Minto yang berkedudukan
di India, mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Wakil Gubernur (Liuetenant
Governor) di Jawa dan bawahannya (Bengkulu, Maluku, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan
Selatan). Hal itu berarti bahwa gubernur jenderal tetap berpusat di Calcutta, India. Akan
tetapi, dalam pelaksanaannya Raffles berkuasa penuh di Indonesia.
Pemerintahan Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan
rakyat Indonesia karena hal berikut ini.
a. Para raja dan rakyat Indonesia tidak menyukai pemerintahan Daendels yang sewenang-
wenang dan kejam.
b. Ketika masih berkedudukan di Penang, Malaysia, Raffles beberapa kali melakukan misi
rahasia ke kerajaan-kerajaan yang anti Belanda di Indonesia, seperti Palembang, Banten, dan
Yogyakarta dengan janji akan memberikan hak-hak lebih besar kepada kerajaan-kerajaan
tersebut.
c. Sebagai seorang liberalis, Raffles memiliki kepribadian yang simpatik. Beliau menjalankan
politik murah hati dan sabar walaupun dalam praktiknya terkadang agak berlainan.
a. Pulau Jawa dibagi menjadi 18 karesidenan, yang terdiri atas beberapa distrik. Setiap distrik
terdapat beberapa divisi (kecamatan) yang merupakan kumpulan dari desa-desa.
b. Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi
sistem pemerintahan kolonial yang bercorak barat.
c. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala
pribumi secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung
di bawah kekuasaan pemerintah pusat.
Selain itu, Raffles juga membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa
yang sekiranya membenci Belanda. Strategi itu digunakan untuk memperkuat kedudukan
dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, sekaligus sebagai upaya
mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Nusantara.
Namun, setelah berhasil mengusir Belanda dari Hindia, ia mulai menampakkan sikap tidak
tahu balas budi, dengan mulai tidak simpatik pada tokoh-tokoh yang membantunya.
Pada masa pemerintahannya, ia juga turut campur tangan dalam konflik di lingkungan
Kasultanan Yogyakarta. Ia membantu Sultan Raja untuk memaksa Sultan Sepuh (Sultan
Hamengkubuwana II) turun dari tahta. Setelah berhasil menurunkan Sultan
Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III,
dengan menandatangani kontrak dengan Inggris, yang isinya:
1. Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III dan
Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri
di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I.
2. Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya, Pangeran Mangkudiningrat
diasingkan ke Penang.
3. Semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas
menjadi milik pemerintah Inggris.
a. Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedangkan pemerintah hanya
berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang
paling menguntungkan.
b. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte
Leverantie) karena dianggap terlalu berat dan dapat mengurangi daya beli rakyat.
c. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent). Sistem ini didasarkan pada anggapan bahwa
pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa (tenant)
tanah pemerintah. Oleh karena itu, para petani diwajibkan membayar pajak atas penggunaan
tanah pemerintah.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi 3 kelas, yaitu sebagai berikut.
1. Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
2. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto.
3. Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua perlima dari hasil bruto.
d. Pemungutan pajak pada mulanya secara perorangan. Namun, karena petugas tidak cukup
akhirnya dipungut per desa. Pajak dibayarkan kepada kolektor yang dibantu kepala desa
tanpa melalui bupati.
Sistem peradilan yang diterapkan affles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels.
Apabila Daendels berorientasi kepada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi kepada
besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum yang ada pada masa Raffles adalah
sebagai berikut.
a. Court of Justice, terdapat pada setiap residen.
b. Court of Request, terdapat pada setiap divisi.
c. Police of Magistrace.
Menurut Raffles pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan.
IV) Bidang Sosial
Masa pemerintahan Raffles di Indonesia memberikan banyak peninggalan yang berguna bagi
ilmu pengetahuan, antara lain berikut ini.
a. Ditulisnya buku berjudul History of Java. Dalam menulis buku tersebut, Raffles dibantu
oleh juru bahasanya Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II.
b. Memberikan bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan
penelitian yang menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago,
diterbitkan dalam tida jilid di Edinburgh, Scotlandia pada tahun 1820.
c. Raffles juga aktif dalam mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
d. Ditemukannya bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi.
e. Dirintisnya Kebun Raya Bogor.
Selama lima tahun Raffles berkuasa di Indonesia terjadi beberapa kali persengketaan dengan
pribumi. Hal ini terjadi di Palembang (1811), Yogyakarta (1812), Banten (1813), dan
Surakarta (1815).
Raffles yang sudah terlanjur tertarik kepada Indonesia sangat menyesalkan lahirnya
Convention of London. Akan tetapi, Raffles cukup senang karena bukan ia yang harus
menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, melainkan penggantinya yaitu John Fendall, yang
berkuasa hanya lima hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu yang
meliputi wilayah Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua
masa penjajahan Belanda, pemerintahan Inggris itu disebut sebagai masa
interregnum (masa sisipan).
Kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda semakin lemah setelah negara-negara yang
melawan Napoleon membuat perjanjian untuk mendirikan kerajaan Belanda yang baru.
Akhirnya, pada tanggal 13 Agustus 1814 Inggris menyetujui bahwa semua harta dan
kekuasaannya di Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda. Keputusan ini diperkuat
dengan Kongres Wina pada tahun 1815 yang menyebutkan bahwa Inggris harus
mengembalikan Jawa dan kekuasaan Hindia Belanda lainnya kepada Belanda sebagai bagian
dari persetujuan yang mengakhiri Perang Napoleon. Serah terima kekuasaan dilaksanakan
antara Letnan Gubernur John Fendall (Inggris) kepada Tiga Komisaris Belanda (Cornelis
Elout, Buijskes, dan van der Capellen) pada bulan Agustus 1816.
Raffles kemudian menduduki pos di Bengkulu. Pada tahun 1819 Inggris berhasil
memperoleh Singapura dari Sultan Johor. Pada Tahun 1824 Inggris dan Belanda kembali
berunding melalui Treaty Of London tahun1824 yang isinya antara lain menegaskan :
1. Belanda memberikan Malaka kepada Inggris dan sebaliknya Inggris memberikan
Bengkulu kepada Belanda.
2. Belanda dapat berkuasa di sebelah selatan garis paralel Singapura sedangkan Inggis di
sebelah utara.