Anda di halaman 1dari 7

Pemerintahan Kolonial Belanda

Latar Belakang Bubarnya VOC


VOC didirikan pada tahun 1602. dengan maksud menyatukan para pedagang
Belanda dalam sebuah perkumpulan untuk menghindari persaingan dan
pertentangan diantara mereka. Upaya ke arah itu, nampaknya tetap tidak
berhasil. Diantara pedagang Belanda tetap saja terjad persaingan. Bahkan,
pengurus VOC banyak yang melakukan korupsi. Disamping itu, perlawananperlawanan yang terjadi dari rakyat Indonesia, cukup menguras biaya, sehingga
kas VOC semakin menipis.
Faktor-faktor penyebab dibubarkannya VOC:

Adanya persaingan dagang yang hebat antara Perancis dan


Inggris,
Penduduk Indonesia terutama di Pulau Jawa, tidak mampu
membeli barang-barang yang dijual VOC,
Adanya perdagangan gelap dan menerobos monopoli
perdagangan VOC,
Banyaknya pegawai-pegawai VOC yang melakukan korupsi dan
kecurangan-kecurangan lainnya,
VOC harus mengeluarkan dana besar untuk membiayai tentara
dan pegawai yang jumlahnya banyak untuk menguasai daeahdaerah yang baru dikuasai, terutama di Jawa dan Madura.

Akibat faktor-faktor diatas, secara resmi VOC dibubarkan pada tanggal 31


Desember 1799. Selanjutnya, daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh
pemerintah Belanda.
Dalam rentang waktu 1799-1807, di Indonesia terjadi masa peralihan. Pada masa
ini Indonesia dikuasai olehRepublik Bataf (Bataafsche Republiek). Dalam waktu
yang bersamaan, Belanda terlibat perang melawan Perancis. Sejak Napoleon
Bonaparte menjalankan politik luar negerinya, yaitu ingin menyatukan Eropa
dengan Perancis sebagai pemimpinnya.
Belanda sebagai salah satu negara Eropa yang mempunyai daerah jajahan, tidak
luput dari sasaran Perancis. Dalam sebuah pertempuran hebat tahun 1807,
Belanda dikalahkan oleh Perancis. Sebagai akibatnya, Republik Baataf
dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte dan digantikan dengan bentuk
Kerajaan Belanda (Koninkrijk Holland) dengan rajanyaLodewijk Bonaparte atau
Louis Bonaparte (adik Napoleon Bonaparte). Begitu juga dengan daerah
jajahannya di Hindia Belanda (Indonesia) mengalami perubahan sistem
pemerintahan. Sebagai wakilnya di Indonesia, penguasa keajaan Belanda,
mengangkatHerman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral. Daendels
adalah seorang Belanda yang mendukung Perancis dalam Perang Koalisi di
Eropa.
Pemerintahan Daendels (1808-1811)
Sejak kekalahan Belanda pada perang koalisi di Eropa, sebenarnya wilayah

Indonesia dikuasai oleh Perancis, walaupun secara pemerintahan berada


dibawah pemerintah Kerajaan Belanda. Daendels, sebagai Gubernur Jendral di
Indonesia atas nama Perancis, mempunyai tugas utama, yakni mempertahankan
Indonesia agar tidak dikuasai oleh Inggris, yang sewaktu-waktu dapat
menyerang dari India. Pada masa itu di Eropa, Inggris merupakan negara
tandingan Perancis dalam memperluas wilayah jajahan.
Selama mengemban tugas tersebut, Daendels mengeluarkan beberapa
kebijakan yang berlaku bagi rakyat Indonesia terutama di Jawa. Semua kebijakan
itu dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas utama diatas.
Kebijakan tersebut diantaranya :
membuat angkatan perang yang orang-orangnya terdiri dari
orang Indonesia. Berhubungan dengan masalah pertahanan
didirikan tangsi-tangsi dan benteng-benteng, pabrik mesiu,
dan rumah sakit tentara. Kemudian pada pertahanan laut
dibuat kapal -kapal perang kecil sebanyak 40 buah.
mengerahkan massa secara paksa untuk membuat jalan
antara Anyer sampai Panarukan. Pembangunan jalan tersebut
dibuat untuk melancarkan transportasi ekonomi dari daerahdaerah sebagai penunjang kepentingan menghadapi
kemungkinan serangan Inggris.
mengeluarkan aturan Preager Stelsel, yaitu suatu sistem yang
mengharuskan menanam kopi bagi rakyat yang berada di
daerah Priangan.
dikeluarkan aturan pajak dalam bentuk barang.
Daendels memerintah dengan keras dan kejam, sehingga menimbulkan reaksi
dari rakyat. Salah satunya, perlawanan dari rakyat Sumedang dibawah
pimpinan Pangeran Kornel atau Pangeran Surianegara Kusumaddinata (17911828), seorang bupati Sumedang. Perlawanan karena rakyat dipaksa bekerja
dengan perlengkapan sederhana untuk membuat jalan melalui bukit yang penuh
batu cadas. Daerah tersebut sekarang dikenal dengan namaCadas Pangeran.
Dalam hubungan dengan kalangan istana, pemerintahan Daendels mengalami
pertentangan dengan Raja Banten yang tidak mendukung Daendels ditangkap
dan dibuang ke Ambon. Mangkubumi yang juga dianggap menghalangi rencana
Daendels dibunuh dan mayatnya dibuang ke laut.
Pertentangan pun terjadi dengan Kerajaan Mataram Ngayogyakarta. Dengan
menggunakan politik Devide et Impera seperti yang dilakukan VOC Sultan
Hamengkubuwono di pecat kemudian digantikan oleh Sultan Sepuh. Kemudian
daerah Ngayogyakarta diperkecil. Upaya untuk mengumpulkan uang, Daendels
menjual tanah-tanah partikelir kepada orang Belanda, Tionghoa dan Arab.
Akibatnya para pemilik tanah tersebut dapat menghisap tenaga rakyat karena
memiliki hak-hak istimewa.
Setelah Perancis menyadari bahwa Inggris tidak mampu dikalahkan, bahkan
berhasil menembus taktik Kontonental Stelsel (pertahanan darat) Perancis, maka
Napoleon Bonaparte memanggil Daendels untuk diikutsertakan dalam
penyerbuan ke Rusia padaPerang Koalisi VI. Disamping itu Nampoleon
Bonaparte menganggap Daendels terlalu bersifat otokrasi. Hal itu dikhawatirkan,
Inggris akan mudah menguasai Indonesia. Penggantinya adalah Janssens.
Sementara itu, Indonesia jatuh ke tangan Inggris, yang menyerang dari
India.Pemerintah Inggris di Eropa kemudian menugaskan Thomas Stamford

Rafflesuntuk mengendalikan Indonesia yang sebelumnya Raffles bertugas di


India.
Pemerintahan Raffles (1811-1816)
Ketika Indonesia masih dalam kekuasaan pemerintahan Belanda, seorang
sarjana Inggis bernama Raffles telah banyak berhubungan dengan raja-raja di
Jawa melalui surat yang bersifat rahasia. Dalam surat-suratnya Raffles banyak
menganjurkan agar Indonesia bekerja sama dengan Inggris untuk melawan
pemerintah Belanda. Rupanya, ada keinginan lain dari Raffles untuk menguasai
Indonesia. Oleh karena itu Raffles banyak menghubungi raja-raja Indonesia juga
mempelajari bahasa Melayu dengan bantuan R. Saleh atau R. Ario Notodiningrat
dan Pangeran Natakusuma II dari Sumenep, yang kemudian kerja sama itu
menghasilkan sebuah buku yang berjudul The History of Java.
Sejak tahun 1811, Belanda menyerah kepada Inggris, maka Gubernur Jendral
Inggris yang menduduki India bernama Minto mengangkat Sir Thomas
Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur di Jawa.
Setelah Raffles berkuasa, sikapnya terhadap raja-raja Indonesia berubah. Ia tidak
lagi menunjukkan sikap untuk bersekutu dan bekerjasama, tetapi bersikap
seperti penjajah pada umumnya. Tawaran bantuan yang disodorkan kepada
bangsa Indonesia hanya sebagai kedok untuk menjajah bangsa Indonesia.
Raffles menjalankan pemerintahannya berdasarkan teori leberalisme seperti
yang diterapkan Inggris di India, dengan rencana sebagai berikut:

Kerja paksa akan dihapus kecuali daerah Priangan dan Jawa


Tengah
Contingenten (penyerahan hasilbumi dari daerah jajahan)
diganti dengan Landrente Stelsel (sistem pajak bumi).
Sedangkan penyerahan wajib dihapuskan.
Monopoli, pelayaran Hongi, dan segala pemaksaan di Maluku
dihapuskan
Perbudakan dilarang

Dalam bidang pemerintahan, Raffles berusaha menata dengan menerapkan


sistem baru, yaitu:
Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan,
Kekuasaan para bupati dikurangi,
Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan.
Sistem Landrente Stelsel atau sistem pajak bumi yang diterapkan Raffles adalah
sebagai berikut:
petani membayar sewa tanah dengan jumlah bergantung
kepada baik buruknya keadaan tanah
pajak bumi harus dibayar dengan uang atu beras,
orang-orang yang bukan petani dikenakan uang kepala, yaitu
pembayaran pajak.
Dalam prakteknya, rancana-rancana Raffles itu banyak dilanggarnya sendiri.
Larangan perbudakan dilanggarnya sendiri, terbukti dengan
diizinkannyaAlexander Hare, seorang Residen Banjarmasi yang
mempekerjakan 3000 orang Jawa untuk mendirikan perkebunan di dekat
Banjarmasin. Para pekerja itu umumya menderita, banyak yang tidak bisa pulang
ke rumah atau kampung halamannya. Mereka bekerja sebagai budak belian,

sehingga banyak sekali dari mereka yang meninggal dunia. Peristiwa ini dikenal
dengan Banjarmasi Enormity .
Namun demikian, masih ada kebaikan yang ditanamkan oleh Raffles dalam
bidang kemanusiaan, seperti mengadakan suntukan cacar dan menghapuskan
papan penyiksa di pengadilan serta menggantinya dengan sistem juri seperti
yang berlaku di pengadilan Inggris.
Setelah Inggris mengalami kekalahan dalam perang melawan Rusia pada tahu
1815, kekuasaan Inggris di Indonesia pun berakhr. Kemudian, Belanda dan
Inggris mengadakan perundingan yang menghasilkanKonvensi London (1814).
Konvensi tersebut menetapkan bahwa semua bekas jajahan Belanda harus
diserahkan kembali ke tangan Inggris dariSultan Najamudin (Palembang).
Sebenarnya, Raffles tidak setuju dengan penyerahan kembali daerah-daerah tiu.
Akan tetapi, karena tidak ada yang mendukung keinginannya, Raffles tidak dapat
berbuat apa-apa dan terpaksa kembali ke Inggris dan digantikan oleh John
Fendall pada tahun 1816.
Pada tanggal 19 Agustus 1816, John Fendall melakukan serah terima dengan
Belanda. Pihak Belanda menugaskan dua orang Komisarais Jendral, yaitu Elout
Buykeys, dan Van der Capellen untuk menerima penyerahan itu dan
menjalankan pemeritahn Belanda di Indonesia sampai pada tahun 1819. Pada
tahun 1817, Raffles ditugaskan kembali ke Bengkulu, tetapi akhirnya Bengkulu
dan Sumatra Barat diserahkan kepada Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda
1. Sistem Tanam Paksa
Latar Belakang Tanam Paksa
Sejak tahun 1816, Belanda berusaha memeras kekayaan Indonesia dengan
segala macam cara. Hingga tahun 1870. Belanda berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Pemerintah
Belanda mengubah politik ekonominya, yaitu melepaskan peolitik monopoli
diganti dengan politik bebas. Sejak pemerintahan dipegang oleh Van der
Cappelen sampai diganti oleh Du Bus se Gisignies, pemerintah Hindia Belanda
sedang berusaha memperbaiki keadaan perekonomian negerinya dengan
memeras negara-negara jajahannya.
Peperangan yang berlangsung di Indonesia, seperti Perang Paderi dan Perang
Diponegro telah menggerogoti buruknya keuangan Belanda. Selama Perang
Diponegoro yang berkecemuk pada tahun 1825-1830, pemerintah Belanda terus
berusaha memperbaiki keadaan ekonominya, namun tidak berhasil. Akhirnya
pemerintah Hindia Belanda mengirim seorang ahli keuangan bernama Johannes
Van den Bosch ke Indonesia. Setelah mengadakan penelitian di Hindia Belanda,
ia mulai menerapkan rencananya yang dinamakan Sistem Tanam
Paksaatau Cultuur Stelsel.
Peraturan-peraturan pokok Tanam Paksa adalah sebagai berikut.

rakyat harus menanami 1/5 dari tanah yang dimilikinya dengan


tanaman ekspor seperti kopi, tebu, teh dan tembakau,
hasil tanaman harus dijual kepada pemerintah dengan harga
yang ditetapkan pemerintah,
tanah yang ditanami tanaman ekspor tersebut bebas dari
pajak tanah,

kaum petani tidak boleh disuruh bekerja lebih keras daripada


bekerja untuk penanaman padinya,
rakyat yang tidak memiliki tanah dikenalkan kerja rodi selama
65 hari setiap tahun di tanah milik pemerintah,
kerusakan tanaman menjadi tanggungan pemerintah, apabila
itu bukan karena kesalahan rakyat.

Pelaksanaan Tanam Paksa


Melalui sistem itu, Belanda memperoleh hasil yang besar dengan modal yang
kecil. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada kepala-kepala daerah yang
mendapat Cultuur Procenten atau hadiah menurut banyaknya hasil. Oleh
karena itu, rakyat diperas oleh kepala-kepala daerah bangsa sendiri dengan
harapan akan mendapatkan Cultuur Procenten dari Belanda.
Sepintas peraturan tanam paksa ini tidak begitu berat dirasakan oleh rakyat
kalau dibandingkan dengan peraturan kerja rodi pada zaman Daendels, dan
peraturan pajak pada zaman Raffles. Bahkan hal ini dirasakan oleh para petani
merupakan suatu keuntungan karena akan mendapat keringanan dan akan
menerima uang tunai meskipun dengan harga murah. Akan tetapi dalam
prakteknya semua peraturan tersebut dilanggar. Pertama, bukan 1/5 dari tanah
petani yang ditanami, tetapi 1/4, 1.3, bahkan setengah dari tanah milik petani
digunakan untuk tanaman ekspor. Bahkan penanaman tersebut memilih tanahtanah yang dubur. Kedua, tanah yang dipakai untuk keperluan penanaman
tanaman ekspor tersebut tetap dikenakan pajak. Ketiga, para petani harus
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan tanaman
pemerintah, sehingga tidak ada waktu untuk menggarap sawahnya sendiri.
Keempat, para kepala daerah merasa tergiur dengan cultuur procenten,
akibatnya mereka mulai berlomba-lomba mengusahakan daerahnya agar
memberikan hasil sebanyak mungkin. Ulah mereka itu mengakibatkan rakyat
semakin menderita. Kelima, kegagalan panen akibat hama atau banjir pada
kenyataannya menjadi beban petani. Keenam, bukan 65 hari lamanya rakyat
harus bekerja rodi, melainkan menurut keperluan pemerintah.

Dampak Sistem Tanam Paksa


Rakyat sangat menderita, kelaparan terjadi dimana-mana akibatnya jumlah
kematian meningkat. Orang yang menentang kerja paksa disiksa. Demikianlah
penderiataan rakyat pulau Jawa akibat tanam paksa yang diciptakan oleh Van
den Bosch. Belanda memperoleh keuntungan besar, sedangkan keuangannya
menjadi normal kembali. Pembangunan di negeri Belanda dibiayai dari hasil
tanam paksa.
Tanam paksa terutama dilakukan di pulau Jawa sebab daerahnya subur untuk
ditanami tanaman ekspor yang dikehendaki pemerintah, di samping itu
penduduknya padat.
Tanam paksa dengan cara sewenang-wenang itu berjalan hampir setengah abad
dari tahun 1830 sampai 1870. Dapat kita bayangkan betapa besar kesengsaraan
yang diderita rakyat, tertama di Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Meskipun tanam paksa sudah menyimpang dari teori yang diciptakan Van den
Bosch, pemerintah Belanda tidak mau peduli sebab tanam paksa telah
memberikan keuntungan yang sangat besar.
Reaksi Terhadap Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan tanam paksa itu ternyata banyak mengandung reaksi dari kalangan
bangsa Belanda sendiri, antara lain:

Baron van Hoevel, secara terang-terangan mengutuk


peraturan tanam paksa. Sebagai bekas pendeta, ia berani
menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia setelah ia
kembali ke Netherland.
Douwes Dekker, bekas Asisten Residen di Lebak, Banten.
Sejak berada di Indonesia, Douwes Dekker menaruh simpati
atas penderitaan rakyat Indonesia. Ia dituduh sebagai
penentang pemerintah Belanda karena terbukti berusaha
melindungi rakyat Lebak. Dengan jiwa besar, ia menerima
pengusiran dari negera kelahirannya sendiri. Dan akhirnya, ia
meningga dunia dalam kemiskinan di Nieder Ingelheim, Jerman
pada tanggal 19 Februari 1887.

2. Sistem Usaha Swasta Asing


Latar Belakang Sistem Usaha Asing
Pada tahun 1850, golongan liberal mendapatkan kemenangan di parlemen
Belanda. Secara resmi, paham liberal tersebut dianut oleh pemerintah Belanda
pada tahun 1870. Praktek tanam paksa yang dijalankan Belanda di Indonesia
khususnya di pulau Jawa banyak ditentang oleh pengusaha-pengusaha Belanda,
karena tidak sesuai denga paham liberal.Para pengusaha Belanda berkeinginan
untuk membuka perusahaan perkebunan di Indonesia.
Karana desakan-desakan itulah, akhirnya peraturan tanam paksa dihapus,
kemudian digantikan dengan kerja bebas yang berdasarkan paham liberalisme
yang menuntut kebebasan untuk dapat bersaing. Para pengusaha Belanda
mengajukan gugatan berdasarkan guagatan Baron van Hoevel dan Douwes
Dekker yang mencela tanam paksa sebagai perbudakan. Akhirnya gugatan
mereka dikabulkan.
Setelah tanam paksa diganti dengan sistem politik liberal oleh pemerintah
Belanda, golongan pengusaha swasta Belanda, yang merupakan kaum liberal
berduyun-duyun datang ke Indonesia terutama ke Pulau Jawa dan Sumatra untuk
menanamkan modal mereka melalui usaha perkebunan kopi, teh dan kina. Tidak
hanya dari Belanda saja, para penanam modal dari negara-negara Eropa pun ikut
pula berdatangan ke Indonesia. Sistem politik ekonomi baru ini dikenal dengan
sebutan Politik Pintu Terbuka. Dengan dijalankanya Sistem politik pintu
terbuka pada tahun 1870, segera pemerintah Belanda membuat UndangUndang Gula dan Undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun itu
juga.

Undang-Undang Agraria 1870


Secara garis besarnya, Undang-Undang Gula 1870 menghapus tanam paksa bagi
tebu, dengan pengurangan yang berangsur-angsur sebesar 1/13 bagian tiap
tahunnya. Sedangkan Undang-Undang Agraria bertujuan melindungi hak milik
petani atas tanah agar tidak dikuasai bangsa asing. Namun pengusaha swasta
dapat menyewanya langsung dari petani.
Setelang mengeluarkan Undang-Undang Agraria, usaha-usaha yang
bermodalkan swasta mulai berkembang di Indonesia. Meskipun telah diatur
dalam Undang-Undang Agraria dalam perjanjian sewa menyewa masih terdapat
ketentuan-ketentuan lain yang harus ditaati, seperti untuk tanah milik negra
yang tidak menjadi hak milik pribumi (tanah Domein) dapat disewa oleh kaum
pengusawa swasta selama 75 tahun. Demikian juga tanah milik penduduk
pribumi dapat disewa untuk jangka waktu 3 sampai 30 tahun dengan tarif yang
rendah.
Berbagai bidang usaha segera berkembang pesat. Perkebunan-pekebunan
diperluas. Perhubuangan laut dikuasai oleh KPM (Koninklijke Paketvaart
Maathappij), yaitu suatu perusahaan pengangkutan Belanda. Setelah Terusan
Suez dibuka, peluang utuk merai keuntungan bagi Belanda terbuka lebar, karena
Indonesia kini terbuka bagi siapa saja, tidak hanya bagi Belanda tetapi bangsabangsa lain pun diperkenankan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dampak Sistem Usaha Swasta Asing
Semua keuntungan yang didapat ternyata hanya dapat dirasakan oleh
pemerintah Belanda dan pengusaha swasta asing saja. Bagi bangsa Indonesia ,
sistem politik Liberal ini tidak membawa perubahan dalam hal kesejahteraan
rakyat malah sebaliknya. Praktek perbudakan tetap dilakukan terutama saat
membuka daerah baru di luar pulau Jawa untuk memperluas perkebunan. Hal
tersebut lebih diperburuk setelah keluarnya Undang-Undang yang mengatur kulikuli (Koeli Ordonantie). Para kuli yang mencoba melarikan diri akan dikenakan
sanksi, yang dikenal denganPoenale Santie (sangsi para kuli). Akan tetapi, para
mandor banyak menyalahgunakan peraturan ini. Mereka bersekongkol dengan
para pengusaha untuk menekan para kuli kontrak.

Anda mungkin juga menyukai