Anda di halaman 1dari 7

NAMA : MATTHEW SIAHAAN

REG E 2021
TUGAS LAPORAN BACAAN MATKUL SEJARAH KOLONIAL(KOLONIAL BELANDA DI
INDONESIA)
MASA KOLONIAL BELANDA

Sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk mengusai Indonesia, terutama bangsa-angsa
Barat. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang sangat strategis dan kekayaan alamnya
berlimpah-limpah. Dikatakan strategis karena Indonesia berada di persimpangan dua samudera dan
dua benua. Selain itu Indonesia juga terletak di jalur perdagangan dunia. Di samping tanahnya
sangat subur, Indonesia juga mempunyai kandungan alam yang banyak, seperti minyak. emas, dan
tembaga. Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia, Belandalah yang paling bernafsu
menguasai Indonesia. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1800 Indonesia dijajah langsung oleh
negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia disebut Hindia Belanda. Sejak itu di Indonesia berlangsung
masa kolonialisme Setelah Indonesia menjadi Hindia Belanda, ternyata nasibnya juga tidak lebih baik
dibanding masa VOC. Hal ini disebabkan karena karakter pimpinan kolonial di Indonesia yang kurang
bersahabat dengan rakyat dan tujuan Belanda menguasai Indonesia juga tidak berubah. Indonesia
yang sejak dahulu telah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, selalu menjadi incaran banyak
bangsa untuk menguasai Indonesia. Tidak heran banyak terjadi perang antarbangsa untuk
memperebutkan Indonesia. Seiring dengan uraian di atas, maka pada bagian berikut ini akan
diuraikan tentang masa politik kolonial liberal (1800-1811), masa penjajahan liberal di Indonesia
atau masa pemerintahan Raffles (1811-1816), masa Komisi Jenderal (1816-1819), sampai dengan
masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825).

MASA POLITIK KOLONIAL LIBERRAL (1800-1811)

Politik kolonial liberal digelar sejak 1 Januari 1800, dijalankan oleh gubernur Jenderal van Straten
dan Gubernur Jenderal Daendels. Pada tahun 1800, Negeri Belanda berada di bawah penjajahan
Perancis. Perancis di bawah Napoleon berhasil merebut Belanda, sehingga secara tidak langsung
Indonesia dijajah Perancis. Kerajaan Belanda dilebur menjadi Republik Bataaf yang dikuasai oleh
partai Patriot yang dipimpin Daendels. Oleh Napoleon, Daendels diangkat menjadi panglima perang.
Kemudian Negeri Belanda diubah menjadi kerajaan lagi. Rajanya adalah Louis Napoleon, adik
Napoleon Bonaparte, yang bercita-cita menguasai seluruh Eropa dengan pimpinan keluarganya
sendiri.Perang Perancis-Inggris membahayakan Indonesia, karena Inggris berusaha merebut daerah-
daerah VOC. Louis Napoleon mengirim Daendels sebagai Gubernur Jenderal ke Indonesia. Tugas
utama Daendels di Indonesia adalah mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Tugas
lainnya adalah memperbaiki nasib rakyat selaras dengan cita-cita Revolusi Perancis. Dalam
menjalankan tugasnya itu, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC.
Untuk mencegah penyalah-gunaan kekuasaan, serta hakhak bupati mulai dibatasi, terutama yang
menyangkut penggunaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam maupun wajib kerja
hendak dihapuskannya. Hal ini tidak hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa tetapi
juga lebih selaras dengan prinsip kekebasan berdagang.Kondisi pada waktu itu menjadi hambatan
pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut. Hal ini disebabkan karena pada saat itu keadaan
masih berlaku zaman VOC ialah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainnya masih memegang
peranan dalam perda-gangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan, antara lain
berupa prosenan kultur. Hadiah tersebut berupa presentasi dari harga tafsiran penyerahan wajib
dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak
berkembang dan tidak muncul suatu golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan
penting dalam proses liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup. Faktor penghambat kedua adalah
bahwa dalam struktur feodal itu kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan
tidak dapat berjalan tanpa kerjasama mereka. Kepemimpinannya berakar kuat dalam masyarakat
sehingga tidak mudah menggeser kedudukannya, apalagi mengurangi kekuasaan dan wewenangnya.
Adapun faktor ketiga terdapat dalam tugas pemerintahan Daendels sendiri yaitu untuk
mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris, Daendels memperkuat angkatan darat, angkatan laut dan melakukan perbaikan
keuangan pemerintah. Dalam rangka memperkuat angkatan darat, Daendels meningkatkan jumlah
tentaranya. Ia mengangkat orang-orang Indonesia terutama orang Minahasa dan Madura. Demikian
juga para budak dibebaskan untuk dijadikan prajurit. Dalam waktu singkat Daendels memiliki 20 ribu
prajurit Untuk kelengkapan prajurit tersebut, didirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
Demikian pula, agar pemindahan tentara di pantai utara Jawa bisa dilakukan dengan cepat, Daendels
membuat jalan raya dari Anyer sampai Penarukan sepanjang 1000 km dengan kerja rodi (paksa).
Jalan raya itu disebut Jalan Raya Pos (Grote-postweg). Untuk keperluan pembangunan raksasa itu
dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplicte diensten) dipertahankan. Di samping
itu wajib penyerahan juga masih berlaku yaitu pajak hasil bumi (kontingenten). Ia juga mengadakan
pinjaman paksa dan monopoli beras, serta menjual sebagian tanah gubernemen (pemerintah)
kepada kaum pengusaha (partikelir atau swasta). Dengan demikian pada masa pemerintahan
Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus. Sejalan dengan prinsip-prinsip
kebijaksanaannya Daendels membatasi kekuasaan para raja, antara lain hak mengangkat penguasa
daerah diatur kembali, termasuk larangan untuk menjual-belikan jabatan itu. Karena mengadakan
pemberontakan atau menentang kebijaksanaan Daendels maka kesultanan Banten dihapuskan.
Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos, ternyata bukan hanya kepentingan militer saja yang terlayani,
tetapi jalan tersebut juga sangat penting untuk pengembangan sosial, ekonomi dan politik. Ini
berarti bahwa jalan tersebut tidak hanya berperan dalam bidang transportasi, tetapi juga dalam
bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial. Daendels dikenal memiliki sifat gila hormat,
gila kuasa dan keras kemauannya. Karena sifat-sifatnya itu ia dijuluki Tuan Besar Bledeg (Tuan Besar
Guntur), sehingga mengundang kebencian rakyat dan para pegawainya. Louis Napoleon yang merasa
bertanggung jawab atas baik-buruknya pemerintahan di Indonesia, merasa tersinggung
kehormatannya atas sikap Daendels itu. Karena itu pada tahun 1811 ia dipanggil ke Eropa dan
diganti oleh Jansens. Setelah dicopot dari jabatannya, ia menjadi opsir tentara Perancis dan ikut
menyerang Rusia pada tahun 1812. Ketika Napoleon jatuh pada tahun 1814, Daendels kembali ke
Negeri Belanda dan diangkat menjadi Gubernur di Guinea Afrika (Afrika Barat) sampai meninggal
pada tahun 1818.

Masa Pemerintahan Liberal 1811-1816.

Tidak lama setelah Daendels diganti Jansens, tentara Inggris di bawah pimpinan Lord Minto
menyerang Jawa. Inggris mendapat simpati raja-raja di Jawa, sehingga akhirnya dengan mudah
dapat merebut Batavia. Pada tahun 1811 itu pula Jansens menyerah tanpa syarat kepada Inggris di
Tuntang, sehingga terjadi rekapitulasi Tuntang yang berisi (1) seluruh kekuatan militer Belanda di
Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris, (2) hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh
Inggris, dan (3) Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi milik
Inggris. Ini berarti bahwa Belanda menyerahkan semua daerah jajahannya di Asia Tenggara kepada
Inggris. Dalam perkembangannya semua bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara itu oleh Inggris
dibagi empat, yaitu Sumatera Barat, Malaka, Maluku, dan Jawa serta daerah sekitarnya. Seluruhnya
dikuasai oleh Gubernur Jenderal EIC (East Indian Company), Lord Minto yang berkedudukan di
Calcutta (India). Pulau Jawa diserahkan kepada Thomas Stamford Raffles selaku wakil Lord Minto di
Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur. Untuk melancarkan pemerintahannya, Raffles
membagi Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan (pada masa Daendels hanya dibagi menjadi 8
prefektur). Tiap-tiap keresidenan dibentuk badan pengadilan (landraad). Karena ancaman musuh
tidak ada, maka tugas utama Raffles adalah memperbaiki nasib rakyat. Dalam rangka memperbaiki
nasib rakyat, pajak hasil bumi (kontingen) dan leveransi paksa dihapus diganti pajak tanah
(landrente). Dengan pengertian bahwa semua tanah milik Gubernemen sehingga rakyat wajib
membayar rente atau sewa.

MASA Komisi Jenderal (1816-1819).

Setelah Traktat London I ditandatangani (1814), maka pemerintah Belanda membentuk suatu
komisi yang akan menerima kembali semua jajahannya di Asia Tenggara dari pemerintah Inggris di
Indonesia. Walaupun Raffles selalu menghalanghalangi pengembalian daerah jajahan Belanda itu,
namun usaha tersebut hanya bisa menunda waktu penyerahan, karena akhirnya dikembalikan juga.
Raffles yang tidak setuju pengembalian daerah jajahan tersebut, terutama Pulau Jawa, maka setelah
menyerahkan jabatannya kepada Jansens, ia lalu pergi ke Bangkahulu dan menjadi Gubernur di
daerah itu. Tetapi tindakan Raffles itu ditentang Muntinghe (penguasa Belanda di Palembang).
Akhirnya Raffles pergi ke Selat Malaka. Sewaktu melewati bukit Barisan ia menemukan bunga
Rafllesia, yaitu bunga yang terbesar di dunia. Dari situ akhirnya Raffles berhasil mendirikan kota
Singapura untuk menyaingi dan menutup pelabuhan Belanda di Batavia. Sementara itu komisi yang
dibentuk Belanda untuk menerima kembali Indonesia dari Inggris dinamakan Komisi Jenderal.
Adapun anggota komisi tersebut adalah Cornelius Theodore Elout, A. A. Buyskes dan Baron van der
Capellen. Dalam tahun 1816 komisi ini datang ke Indonesia. Dalam tahun itu juga Letnan Gubernur
Inggris, John Fendall menyerahkan Indonesia kepada Belanda.

Masa van der Capellen (1819-1825).

Pada tahun 1819 tugas Komisi Jenderal dinilai sudah selesai, sehingga Elout dan Buyskes kembali ke
Nederland sedangkan van der Capellen tinggal di Indonesia sebagai Gubernur Jenderal. Karena van
der Capellen ikut menyusun undang-undang yang akan diterapkan di Indonesia setelah wilayah itu
kembali kepada Belanda. Karena itu pengangkatannya sebagai gubernur jenderal karena dia
dianggap yang paling megetahui bagaimanaundang-undang itu dilaksanakan. Tetapi apa yang
dijalankan oleh van der Capellen ternyata tidak seperti yang direncanakan. Adapun alasan van der
Capellen melakukan penyimpangan tersebut adalah karena undang-undang itu ternyata tidak dapat
dilaksanakan dalam kondisi di Indonesia saat itu. Menurut van der Capellen, tugas yang paling
penting adalah mengumpulkan uang untuk menjalankan pemerintahan yang baru itu. Jika peraturan
yang liberal dalam regerings-reglement tahun 1819 itu diterapkan sepenuhnya, maka tidak akan
memperoleh dana. Dengan alasan tersebut, van der Capellen ingin mencari jalan pintas. Oleh karena
itu beberapa peraturan ditangguhkan, sedangkan aturan-aturan yang menguntungkan pemerintah
dilakukan. Karena tindakannya itu, Clive Day menyebut van der Capellen adalah Gubernur Jenderal
yang reaksioner. Pendapat tersebut juga sejalan kritik-kritik yang dilakukan berbagai pihak kepada
van der Capellen. Menurut Clive Day, van der Capellen selama tujuh tahun pemerintahannya,
mengabaikan undang-undang yang berlaku. Ia dengan perlahan-lahan kembali kepada sistem lama.
Dengan demikian peraturan pemerintah kolonial menjadi undang-undang yang beku. Meskipun
demikian, Cornelius Elout yang ikut membuat undang-undang itu ikut mempertahankan van der
Capellen tetapi betapa perlunya ia bersikap reaksioner dalam kondisi Indonesia saat itu. Walau
bagaimana pun, zaman pemerintahan van der Capellen itu mengakibatkan membengkaknya
anggaran belanja, sehingga ia dikecam keras oleh Raja dan orang-orang Belanda. Sementara di
Indonesia terus berlangsung peperangan. Semua ini semakin meyakinkan banyak orang bahwa
praktek pemerintahan liberal itu telah gagal. Di antara pembaruan-pembaruan yang dicoba oleh van
der Capellen adalah pembaruan sistem perdagangan yang akhirnya mengundang kemarahan orang-
orang Eropa (terutama orang Belanda) terhadapnya. Dalam tahun 1821 van der Capellen
mengeluarkan undang-undang yang melarang segala bentuk perdagangan Eropa di daerah kopi
(Priangan), kecuali dengan izin khusus. Ia melakukan hal tersebut dengan harapan untuk melindungi
orang-orang Indonesia agar tidak ditipu oleh para pedagang Eropa serta untuk memperbesar hasil
bagi pemerintah Belanda. Tindakan lain yang juga mengundang kemarahan orang Eropa adalah
peraturan yang dikeluarkan tahun 1823. Dalam pembaruan itu dia melarang orang-orang Eropa
menyewa tanah rakyat. Peraturan ini juga untuk melindungi orang pribumi. Orangorang Eropa
(terutama Belanda) yang merasa paling dirugikan adalah yang menyewa tanah di Surakarta dan
Yogyakarta. Mereka sudah membayar uang muka yang besar, sehingga sewaktu peraturan itu turun,
maka mereka menuntut pengembalian uang muka yang sudah habis dibelanjakan oleh orang-orang
pribumi. Akibatnya orangorang pribumi itu, terutama para pegawai dan peladang merasa kecewa
terhadap pemerintah Belanda. Anggaran belanja negara semasa pemerintahan van der Capellen
senantiasa menunjukkan defisit, sehingga Negeri Belanda harus menutupnya.

PERLAWANAN RAKYAT INDONESIA TERHADAP BELANDA

A. Perlawanan Saparua 1817

Berdasarkan Traktat London I tahun 1814 (antara Belanda dan Inggris), maka semua jajahan Belanda
(kecuali Kaapkoloni dan Sri Lanka) dikembalikan kepada Belanda. Ini berarti jajahan Inggris di
Indonesia, yang dulu direbut dari Belanda, harus dikembalikan kepada Belanda. Bertolak dari
keputusan tersebut, maka Indonesia akan dijajah kembali oleh Belanda. Dengan demikian
penindasan yang pernah dilakukan terhadap rakyat Indonesia juga akan dilakukan kembali, dan
memang demikian. Itulah sebabnya, rakyat Indonesia lalu melakukan perlawanan-perlawanan, yang
diawali dengan perlawanan rakyat Saparua dari Maluku. Maluku sangat penting bagi Belanda karena
daerah ini merupakan penghasil rempah-rempah. Hal itu sudah dilakukan ratusan tahun oleh
Belanda sampai jatuhnya VOC tahun 1799 yang kemudian dikuasai oleh Inggris yang liberal. Ketika
rakyat Maluku mendengar bahwa Belanda akan berkuasa kembali di Maluku, masyarakat Maluku
trauma akan kembalinya sistem monopoli VOC dan Pelayaran Hongi. Dengan adanya monopoli itu,
maka harga rempah-rempah ditentukan oleh Belanda, yang biasanya sangat murah. Belanda
melakukan pengawasan ketat terhadap penduduk dan tidak jarang menggunakan kekerasan.
Perdagangan yang dilakukan oleh penduduk Maluku dengan pedagang Jawa, Melayu dan lain-lain
dianggap perdagangan gelap. Karena itu kembalinya Belanda ke Maluku tahun 1816 dicurigai bahwa
mereka akan mengembalikan sistem monopoli yang menakutkan itu. Di samping monopoli rempah-
rempah, rakyat Maluku juga trauma akan kembalinya Pelayaran Hongi.

. Perlawanan Palembang 1811-1822

Pada tahun 1804 Sultan Mohamad Baha’udin meninggal dunia setelah memerintah selama kurang
lebih 27 tahun, lalu digantikan oleh putranya, Sultan Mahmud Badaruddin. Sultan baru memerintah
secara depotis, punya kepribadian yang kuat dan berbakat sekali. Dalam menghadapi lawannya, ia
sangat trampil berdiplomasi dan mahir dalam strategi perang, organisator yang ulung, lagi pula
mempunyai perhatian luas dalam pelbagai bidang, antara lain kepada sastra. Dia mengubah pantun
dan menulis Syair Sinyaor Kista dan Syair Singor Nuri. Ia memiliki banyak buku sastra dalam
perpustakaannya. Akibat jatuhnya VOC, monopoli Belanda di Palembang tidak dapat dipertahankan,
bahkan factorinya di tempat itu hampir lenyap. Krisis ekonomi yang dihadapi pemerintah Hindia
Belanda di Palembang, mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris. Sebelum Jawa jatuh ke
tangan Inggris sudah ada kontak antara mereka dengan Palembang. Raffles menulis surat kepada
Sultan Mahmud Badaruddin agar menyingkirkan Belanda dan untuk keperluan itu Inggris akan
memberi bantuan militernya. Tanpa memberikan tanggapan terhadap tawaran itu, loji Belanda
diserang oleh pasukan Sultan, dan orang-orang Belanda dibawa ke hilir untuk dibunuh (14
September 1811) . Kemudian loji diratakan dengan tanah untuk menghilangkan bekas-bekasnya.
Untuk menghadapi segala kemungkinan di tempat-tempat strategis didirikan bangunan pertahanan,
yang paling diperkuat adalah benteng Palembang yang dipasang ratusan meriam. Walaupun
pertahanan diperkuat sedemikian hebatnya, Palembang dengan tidak banyak perlawanan jatuh ke
tangan ekspedisi Inggris di bawah pimpinan Gillespie pada tanggal 24 April 1812. Sultan sempat
mengungsi ke pedalaman. Sedangkan pimpinan pertahanan kerajaan berada di tangan Pangeran
Adipati Ahmad Najamudin, seorang saudara Sultan yang ternyata tidak menunjukkan loyalitasnya
kepada kakaknya, bahkan kemudian bersedia berunding dengan Inggris. Pada tanggal 17 Mei 1812
Pangeran Najamudin mengadakan perjanjian dengan Inggris yang menentukan bahwa Pangeran
Adipati Ahmad Najamudin diangkat menjadi Sultan Palembang, sedang Inggris memperoleh Bangka
dan Belitung sebagai daerah kekuasaannya. Sementara itu Sultan Badaruddin membangun
pertahanan kuat di hulu Sungai Musi, yaitu mula-mula di Buaya Langu. Setelah serangan ekspedisi
Inggris terhadap kubu itu gagal, pertahanan dipindah lebih ke hulu lagi, yaitu di Muara Rawas. Oleh
karena aksi militer tidak berdaya untuk menundukkan Sultan Badaruddin, kemudian Inggris
menempuh jalan diplomasi dan mengirim Robinson untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812
ditandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa Sultan Badaruddin diakui sebagai Sultan
Palembang, sedang Pangeran Adipati Ahmad Najamudin diturunkan dari tahta. Di samping itu
diperkuat pengakuan kekuasaan Inggris atas Bangka dan Belitung; Sultan harus menanggung ongkos
ekspedisi sebesar empat ratus ribu real Spanyol; mengganti kerusakan benteng Belanda sebesar dua
puluh ribu real Spanyol, dan putra Sultan perlu diamankan di Jawa. Setelah perjanjian
ditandatangani, pada tanggal 13 Juli 1812 Sultan Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di
kraton besar, sedang Najamudin pindah ke kraton lama. Dengan campur tangan Inggris,
pertentangan menjadi-jadi dan situasi politik tetap tegang. Keunggulan masing-masing pihak
mengalami pasang-surut, pendudukan singgasana silih berganti. Yang jelas permainan politik Inggris
semakin mengurangi kekuasaan Sultan dan kondisi-kondisi kontrak semakin diperberat. Pada tanggal
4 Agustus 1813 Raffles mengeluarkan proklamasi yang berisi tentang restorasi kedudukan Ahmad
Najamudin sebagai Sultan. Meskipun Badaruddin tidak menduduki tahta lagi tetapi tetap berwibawa
serta besar pengaruhnya di kalangan rakyat. Kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia tahun
tahun 1816, politiknya langsung membalik situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris. Sultan Ahmad
Najamudin adalah penguasa yang lemah, sedangkan sultan Badaruddin menguasai keadaan politik.
Eksploitasi feodalistis di kalangan keluarga Sultan merajalela, banyak terjadi perampokan dalam
kekosongan kekuasaan di daerah, akhirnya situasi mirip dengan anarkhi. Pada saat itu tokoh yang
dipercaya Belanda untuk mengatur Palembang adalah Muntinghe. Ia bertekad menanamkan
kekuasaan yang kuat di Palembang.

Perang Padri 1821-1837

Meskipun masyarakat Minangkabau sudah lama memeluk agama Islam tetapi sebagian besar dari
mereka masih memegang teguh adat dan menjalankan kebiasaan lama. Kebiasaan seperti minum
minuman keras, berjudi dan menyabung ayam masih banyak yang melakukannya, sekalipun dalam
ajaran Islam termasuk perbuatan yang terlarang. Keadaan semacam itu terutama terjadi di
lingkungan golongan masyarakat yang memang kepercayaan Islamnya masih belum tebal. Sampai
beberapa lamanya tata hidup menurut Islam dan kebiasaan menurut adat masih dapat hidup
berdampingan dalam masyarakat Minangkabau. Pada permulaan abad ke-19 kembalilah tiga orang
haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang dan Haji Sumanik dari Mekah ke Minangkabau. Mereka
menganut aliran Wahabi, suatu aliran di dalam agama Islam yang menjalankan dengan keras ajaran-
ajaran agama. Mereka sangat kecewa melihat di Minangkabau merajalela perbuatan-perbuatan
yang terlarang oleh agama. Mereka kurang menaati ajaran agama dan lebih dipentingkannya adat
dari aturan-aturan agama, terutama di kalangan kaum bangsawan dan raja-raja (kaum adat) .
Bertolak dari kondisi tersebut, orang-orang yang baru pulang dari Mekah itu membulatkan tekad
membersihkan agama Islam dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan dari adat
yang masih dipegang teguh. Barang siapa melanggar ajaran agama dihukum dengan berat sekali.
Kewajiban agama harus ditepati betul-betul. Orang-orang yang ikut gerakan tiga orang ulama itu
juga berpakaian putih-putih sehingga disebut Orang Putih atau Orang Padri. Nama Padri mungkin
juga asalnya dari nama Pedir, suatu daerah di Aceh. Pada waktu itu Pedir menjadi pusat orang-orang
yang pergi naik haji. Namun ada juga yang mengatakan bahwa nama Padri berasal dari kata Portugis
padri yang berarti pastor (ulama) agama Katolik, karena kaum Padri memakai jubah seperti pastor.
Gerakan Padri makin besar pengaruhnya di Minangkabau. Mula mula dipimpin oleh Tuanku Nan
Renceh, kemudian oleh Datuk Bendaharo, Tuanku Pasaman dan Malim Basa. Di antara pemimpin itu
yang sangat terkenal adalah Malim Basa yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Kedudukan raja-raja dan kaum bangsawan menjadi genting. Di bawah pimpinan Suraaso, kaum adat
melakukan perlawanan. Namun mereka kehilangan kekuasaan dan pengaruh mereka, bahkan
perlawanan mereka dipatahkan oleh kaum Padri, dan banyak di antara mereka diusir dari
Minangkabau. Karena para raja dan bangsawan itu kedudukannya makin terdesak, maka mereka
minta bantuan kepada Raffles (1818) yang berkedudukan di Bangkahulu (Bengkulen) . Mula-mula ia
menyanggupi bantuan itu, tetapi atas protes pemerintah Belanda yang kembali lagi di Padang, ia
mendapat peringatan dari pemerintah pusat Inggris, sehingga ia mengurungkan pemberian bantuan
itu.

Perang Diponegoro 1825-1830

Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan
Surakarta, makin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada
Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah
pantai utara Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda.
Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743
daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-
daerah pesisir, kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan
memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian. Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan
yang bisa memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja
makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai pemerintahan kerajaan saja ia
semakin tergantung pada uang pengganti dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari
daerah yang masih dikuasainya. Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai
sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Pemborongan itu
misalnya terjadi pada cukai jalan, jembatan dan sarang burung. Akibat dari sistem pemborongan ini
beban rakyat makin berat. Pemborong banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga
pemungutan pajak sering dilakukan secara sewenang-wenang. Jembatan-jembatan, pasar dan
sebagainya terdapat gerbang cukai. Orang-orang yang melalui gerbang itu harus membayar cukai.
Hal ini sangat menyusahkan lalu lintas, meninggikan harga barang dan menyusahkan kehidupan
rakyat. Juga gerbang-gerbang ini disewakan kepada orang Cina dengan akibat-akibatnya yang tak
menyenangkan. Pemerintah Belanda tidak mau menghapuskan gerbang-gerbang itu, lantaran
gerbang-gerbang mendatangkan penghasilan yang bukan sedikit bagi pemerintah. Pada tahun 1823
Gubernur Jenderal van der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum
bangsawan dikembalikan lagi kepada yang empunya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya
lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga
sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan. Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di
Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin
menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di kraton akan mengundang campur
tangan pihak Belanda, yang pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan.

PENINGGALAN PENINGGALAN BELANDA DI Indonesia.

1. Perkebunan Teh Gunung Gambir,Jember

Perkebunan Teh Gunung Gambir berlokasi sekitar 48 km barat laut Kota Jember.
Perkebunan ini merupakan perkebunan peninggalan penjajah Belanda yang berada di
ketinggian 900 meter di atas permukaan laut.

2. Villa Isola, Bandung

Bangunan peninggalan Belanda ini Awalnya bernama Villa Isola yang merupakan sebuah
villa milik seorang jutawan yang bernama Dominique Willem Barrety yang dibangun pada
tahun 1933. Sepeninggal Barrety, rumah tersebut akhirnya dijual pada Hotel Savoy Homman
dan selanjutnya bangunnya yang bergaya art deco tersebut dimiliki oleh UPI Bandung.

3. Jalan raya Pos Anyer-Panarukan

Jalan Raya Pos merupakan jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km, dari Anyer sampai
Panarukan. Jalan raya ini dibangun pada masa penjajahan Belanda dibawah pimpinan
Gubernur Jendral Herman Willem Daendels.

4. Lawang Sewu, Semarang

Lawang Sewu dibangun pada tahun 1904 di bunderan Tugu Muda, Semarang. Fungsi
dibangunnya Lawang Sewu yakni dijadikan sebagai kantor dari Netherlands-Indische
Spoorweg Maatschappij atau NIS.

5. Istana Buitenzorg, Bogor

Istana Buitenzorg ini nama pertama dari Istana Kepresidenan RI di Bogor. Di tahun 1744
istana ini dibangun atas mandat dari Gubernur Jenderal van Imhoff yang takjub melihat
keindahan desa kecil di Bogor.

Anda mungkin juga menyukai