Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL BOOK REVIEW

TEORI SOSIAL

Dosen Pengampu: Dr. Hidayat, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 4:

Winra Wahyudi Sianturi 3213121017


Matthew Siahaan 3213321004
Joly Yeremia Brutu 3213121053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Critical Book Review mata kuliah “Teori Sosial”.
Saya juga berterima kasih kepada Bapak Dosen yang bersangkutan yang sudah memberikan
bimbingannya dalam penyelesaian tugas Critical Book Review ini.

Dalam tugas Critical Book Report ini bertujuan untuk memberitahukan kepada pembaca
bagaimana buku ini menjelaskan mengenai Teori Sosial Modern dan postmodern serta
kelebihan dan kekurangan buku ini.

Saya menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya, karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman saya. Oleh sebab itu, saya mohon maaf dan harap memaklumi
jika terdapat hal – hal yang masih belum jelas. Saya mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang dapat membangun untuk menyempurnakan tugas ini. Akhir kata saya ucapkan
terimakasih dan semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Medan, November 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Rasionalisasi Pentingnya CBR ............................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan CBR ............................................................................................ 1
1.3. Manfaat CBR .......................................................................................................... 1
1.4. Identitas Buku ......................................................................................................... 2
BAB II RINGKASAN ISI BUKU ................................................................................... 3
2.1. Ringkasan Isi Buku ................................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 16
3.1. Kelebihan dan Kelemahan Buku ............................................................................ 16
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 17
4.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 17
4.2. Saran ...................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Rasionalisasi Pentingnya CBR


Critical Book Review (CBR) adalah tugas mata kuliah yang berkompetensi KKNI
(Kurikulum Nasional Indonesia) dengan mengulas dan mengkritik isi buku dengan beberapa
aspek penilaian. Mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis. Pentingnya tugas CBR sebagai
bentuk tingkat kritis setiap mahasiswa. Dengan mengulas isi buku kita juga diberikan
pemahaman yang kuat dengan pemahaman kita yang serius. Artinya CBR tidak boleh
dilakukan dengan sembarangan, karena mahasiswa mengkritik sebuah tulisan seseorang. Maka
dari itulah sebelum melakukan kegiatan penugasan CBR alangkah baiknya harus membaca
dengan seksama dan teliti.

1.2. Tujuan Penulisan CBR


Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan CBR ini adalah:
• Penyelesaian tugas pada mata kuliah Teori Sosial,
• Menambah pengetahuan mahasiswa/i tentang hal-hal yang berkaitan dengan Teori
Sosial,
• Meningkatkan kemampuan mahasiswa/i dalam mereview buku,
• Menguatkan pemahaman mahasiswa/i dalam mengerti materi dari mata kuliah Teori
Sosial.

1.3. Manfaat CBR


Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan CBR ini adalah:
• Menambah wawasan tentang Teori Sosial,
• Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari buku yang dilengkapi dengan
ringkasan pembahasan dan kelebihan serta kekurangan dari buku,
• Melatih diri untuk merumuskan serta mengambil kesimpulan atas buku yang telah
di Analisis,
• Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari buku yang di review.

1
1.4. Identitas Buku
1. Judul : Teori Sosial Modern dan Posmodern
2. Penulis : Dr. Hidayat, M.Si
3. Penerbit : UNIMED PRESS
4. Kota Terbit : Medan
5. Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2016
6. Jumlah Hlm : 262 halaman
7. ISBN : 978-602-0888-85-9
8. Sampul Buku :

2
BAB II

RINGKASAN ISI BUKU

2.1. Ringkasan Isi Buku


➢ BAB I: Pendahuluan
Pada Bab I ini membahas tentang perbincangan tentang teori, kalangan ilmuwan hampir
sepekat bahwa teori berguna sebagai alat untuk menjelaskan keteraturan dunia, demikian
halnya dengan teori sosial untuk menjelaskan keteraturan dunia sosial (sosial order). Eksistensi
dunia sosial (social world) sangat unik dan kompleks berbeda dengan dunia fisik (natural
world). Dunia fisik dominan bersifat statis, sedangkan dunia sosial bersifat statis sekaligus
bersifat dinamis. Oleh karena itu, teori sosiologi yang berkembang untuk menjelaskan dunia
sosial adalah yang hanya berdasarkan pada statika atau dinamika, dominan statika atau
dominan dinamika.
Dunia sosial eksis dan berkembang dengan polanya sendiri yang secara alamiah bersifat
statis, dan oleh karena itu sosiologi menggunakan pendekatan sebagaimana yang digunakan
ilmu alam (obyektivis). Tetapi sebaliknya, dunia sosial eksis dengan para individu yang aktif,
kreatif dan inovatif dalam menciptakan dunianya berdasarkan alam pikiran, perasaan dan
kemauannya. Oleh karena itu, sifat dinamis dan subyektif merupakan bagian yang integral dari
eksistensinya, dan sekaligus pendekatan teoritis sosiologi yang digunakan untuk menjelaskan
dunia sosial harus sesuai dengan eksistensi individuindividu manusianya (subyektivis).
Statika dan dinamika dari eksistensi dunia sosial tersebut merupakan pembagian pada
dua titik yang berbeda secara ekstrim yang berkonsekuensi pada perbedaan cara pandang dalam
menjelaskan dunia sosial. Tentu saja, masing-masing sosiolog mempunyai dasar ontologi,
epistemologi, dan aksiologi tersendiri di dalam upaya menjelaskan dunia sosial sehingga
perkembangan eksistensi teori sosiologi yang dihasilkan masing-masing berbeda secara khas.
Namun demikian, perbedaan cara pandang di dalam menjelaskan dunia sosial tersebut
tidak bisa dipandang sebagai dikhotomis apalagi antagonis, melainkan bersifat komple-menter.
Hal ini dapat dipahami karena di dalamnya meng-andung dua hal: (a) keterbatasan kemampuan
manusia (nisbi) di dalam menjelaskan dunia sosial yang unik dan kompleks, (b) perlu adanya
ketegasan, kejelasan, keakuratan dan keberlakuan teori yang dihasilkan dalam menjelaskan
dunia sosial, dan oleh karena itu (c) perlu adanya keberpihakan di dalam menggunakannya agar
teori dapat berkembang lebih baik di dalam menjelaskan dunia sosial lebih akurat sesuai
dengan sifat kenisbian manusia tersebut.

3
1. Perkembangan Teori
Teori adalah fenomena mental, sehingga kehadirannya diaso-siasikan dengan
seseorang individu. Namun, teori juga dapat menjadi fenomena sosial, manakala
seperangkat gagasan atau teori telah dianut dan dirujuk secara meluas oleh sekelompok
masyarakat. Pada kondisi seperti ini, teori sudah menjadi bagi-an budaya sebuah
komunitas.Secara umum, sebuah teori dapat berubah mengikuti satu dari tiga cara yang
mungkin: (1) tumbuh dengan penambahan, (2) Teori tumbuh dengan intension, dan (3)
Tumbuh karena revolusi.
2. Level Generalisasi Dalam Teori
Debat ini mengacu pada seberapa “besar” keberlakuan sebuah teori. Misalnya saja,
meskipun kita dapat menolak teori Marx, khususnya tentang radikalisme buruh (yang
saat ini terbukti tidak benar) akan tetapi sebagian besar teori Marx masih berlaku. Oleh
karenanya, untuk mengatasi kesulitan seperti ini, perlu adanya kesepakatan tentang level
generalisasi sebuah teori. Untuk itu, tampaknya bermanfaat untuk mem-buat tujuh
kriteria level generalisasi, sebagai berikut:
a. Gagasan umum tentang kausalitas: tentang apa yang dapat diterima sebagai sebuah
fakta, tentang dalam bentuk apa inferensia logis valid, dan pertanyaan filosofis
lainnya yang sejenis.
b. Sebab umum imaginaries, tentang jenis sebab dan struktur kausal yang
menjelaskan fenomena dalam berbagai variasinya.
c. Pembedaan kasar atas berbagai fenomena berbeda yang dianggap memiliki
berbagai jenis penjelasan yang berbeda atau merupakan fenomena yang akan
dianggap merupakan penyebab dari fenomena lainnya.
d. Gagasan bahwa penyebab salah satu fenomena umum sebenarnya dapat ditemukan
diantara berbagai variabel dalam fenomena umum lainnya.
e. Teori bahwa satu diantara berbagai variabel dalam salah satu fenomena besar
lainnya sebenarnya merupakan penjelas pada variabel lainnya pada kelas besar
lainnya.
f. Konsekuensi empiris dari teori, menggambarkan observasi yang dapat dilakukan
jika memang teori yang diajukan memang benar.
g. Teori bahwa satu diantara berbagai variabel dalam salah
h. Penekanan bahwa pengamatan pada suatu kasus tertentu mendukung atau menolak
spesifikasi empiris.

4
3. Tipe-Tipe Aliran
Sekurangnya ada tiga aliran dalam menyusun teori sosial yakni:
1. scientific scholarship,
2. humanistic scholarship,
3. sosial science

➢ BAB II: Genre Teori Sosiologi


Pada bab II ini membahas tentang masalah pembedaan genre jenis teori sosiologi
tergantung pada penjelasan logis yang melatarbelakanginya. Teori sebagai suatu produk yang
eksis di dalam alam ide dalam kaitannya dengan dunia empiris, dapat menjadi obyek kapan
tersendiri, termasuk dengan tujuan untuk mengelompokkannya berdasarkan tipe-nya masing-
masing. Pada tataran ini maka eksistensi suatu teori yang masuk ke dalam kategori tipe tertentu
tidak terlepas dari keterkaitan antara faktor internal yang melekat pada teori tersebut dengan
seperangka karakteristik yang ada padanya, dan sekaligus pada faktor eksternainya yaitu oleh
para pembuat teori dan para pembuat klasifikasi ke dalam tipe-tipe teori tertentu tersebut.
Keduanya saling mempengaruhi sehingga tipe teori yang dibuatnya ada yang lebih dominan
memper-timbangkan faktor internal dan ada yang dominan mempertimbangkan faktor
eksternalnya.
Pembedaan tipe-tipe teori sosial pada dasarnya terletak pada “cara” pandang terhadap
“bentuk” dan “isi” dari suatu teori di dalam menjelaskan dunia sosial. Hal ini berkaitan dengan
eksistensi antara dua konsep dasar “masyarakat” dan “individu” manusia, antara “statika” dan
”dinamika”, antara ”obyektif” dan ”subyektif”, antara gejala yang ”tampak” dan gejala yang
"tidak tampak”, antara ”struktur” dan “proses”. Justru dengan adanya perdebatan yang
cenderung “membedakan” bahkan “mempertentangkan” antara kedua konsep tersebut itulah
yang menye-babkan masing-masing teori mengalami perkembangan dalam menjelaskan dunia
sosial sesuai dengan keunggulan dan kele-mahannya masing-masing.
Seperti Ian Craib (1986: 26-27) membedakan tiga dimensi teori sosial ke dalam dimensi
kognitif, afektif dan normatif ber-dasarkan faktor eksternal para pembuat teori. Dimensi
kognitif, sebagai salah satu cara untuk membangun ilmu pengetahuan mengenai dunia sosial,
dan dimensi ini yang paling banyak dipergunakan oleh para ilmuwan sosial. Dimensi afektif,
berupa pengalaman dan berbagai perasaan dari pembuatnya, dan setiap perdebatan teoritis
mengandung argumen-argumen yang lebih dari sekedar argumen yang rasional. Dimensi
normatif, lebih mengacu pada masalah keterpilahan (fragmentasi) teori. Setiap teori tentang
dunia haruslah secara eksplisit dan jmplisit mengandung asumsi-asumsi mengenai bagaimana
5
keadaan dunia sebenarnya, yang oleh Gouldner disebut sebagai “domain asumtions”.
Berdasarkan faktor internal dari pembentukannya teori William Skidmore (1979:51) membagi
teori menjadi tiga bentuk, yaitu teori deduktif, teori pola, dan perspektif.

➢ BAB III: Jejak Sejarah Teori Struktural Fungsional


Pada bab III ini membahas tentang jejak sejarah Teori Struktural Fungsional. Teori
struktural fungsional memandang, bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri
dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut
berfungsi dalam segala kegiatan untuk dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem.
Dalam pemahaman teori Struktural fungsional terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang
perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, Sistem
ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku. Dalam perspektif teori ini adanya
ketidakseimbangan akan berlangsung seperi sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan
baru.
Gagasan inti dari fungsionalisme adalah perspektifnya yang holistis (menyeluruh), yaitu
sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh bagian. bagian dimaksudkan untuk tercapainya
tujuan-tujuan dari keseluruhan, keterlanjutan dan keselarasan dan tata berlandaskan konsensus
mengena nilai. nilai funda-mental. Analisis teori fungsional bertujuan menemukan hukum.
hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan
demikian, teori fungsional berhadapan dengan ruang lingkup yang sangat luas, sehingga tidak
mungkin mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya,
untuk dapat mengkaji realitas universal diperlukan representasi dengan cara melakukan
penarikan sejumlah sampel yang mewakili.
Asumsi dasar dari teori fungsional struktural adalah masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai sosial budaya tertentu yang mempunyai
kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai
suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Asumsi dasar ini
dikonstruksi dari pemahaman tentang masyarakat sebagai model sistem organik dalam ilmu
biologi. Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri dari beberapa bagian yang saling
berhubungan satu dengan lainnya, bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.
Dalam perspektif fungsional struktural terdapat beberapa persyaratan atau kebutuhan
fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Keempat syarat
tersebut adalah (1) adaptation, ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung
hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. harus mampu
6
bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung. (2) goal, sebuah sistem harus
memiliki suatu arah yang jelas dapat berusaha mencapai tujuan utamanya. Sistem harus dapat
mengatur, menentukan dan memiliki sumberdaya untuk menetapkan dan mencapai tujuan yang
bersifat kolektif. (3) integration sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang
menjadi komponennya dan dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya. (4)
latency, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki polapola kultural yang men-
ciptakan dan menopang motivasi.

➢ BAB IV: Perspektif Teori Konflik


Pada bab IV ini bercerita tentang perspektif teori konflik. Sampai dengan tahun 1950-an
paradigma yang menonjol dalam ilmu sosiologi adalah adanya pandangan bahwa masyarakat
sebagai sistem, orde teratur dan mapan. Pandangan demikian berbalik, masyarakat tidak lagi
dianggap sebagai tatanan yang mapan, melainkan sebuah tatanan yang dinamis dan perubahan
merupakan yang abadi dan senantiasa menyertai denyut nadi masyarakat. Tatanan masyarakat
demikian diasum-sikan oleh teori konflik. Dalam perspektif konflik, konflik dan tegangan
dalam masyarakat hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Jarang ditemukan dalam masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik, konflik senantiasa
melutup, sebagai misal konflik antar anggota organi-sasi kepemudaan, antar kelompok, antar
suporter sepak bola dan antar pendukung partai politik.
Konflik antar anggota atau antar kelompok dilatarbelakangi adanya perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaanperbedaan yang menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain dapat menjadi pemicu terjadinya
konflik dalam masyarakat. Dari segi ini konflik dalam masyarakat merupakan hal yang wajar,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Karenaya dapat
dipahami bila teori konflik semakin menarik minat pemerhati dan pecinta ilmu-ilmu sosial.
Dewasa ini jumlah penganut teori konflik diperkiran mendekati angka 1,5 milyar, angka ini
lebih besar dari jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia. Tinggi-nya
perhatian terhadap teori konflik, tentu ada kaitannya dengan ketajamannya dalam membaca
fenomena masyarakat.
Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh merupakan respon
dari lahirnya dua revolusi, yaitu demokratisasi dan industrialisasi. Secara sosio psikilogis teori
konflik dipandang sebagai alternatif dari ketidakpuasaan ter-hadap analisis fungsionalisme
struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham
konsensus dan integralistiknya.
7
Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh utammanya seperti Karl
Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George
Simmel (1858-1918). Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap
perkembangan analisis konflik kontemporer. Dalam kajian tentang konflik, pemikiran Ibnu
Khaldun tak bisa diabaikan kontribusinyadalam meletakkan dasar teori konflik. Analisis
konflik Khaldun dipandang lebih komprehensif kareng bukannya menjelaskan konflik yang
bersifat horizontal tetapi juga konflik Vertikal konflik.
Dalam analiss teori konflik tentu saja kita sulit untuk mengesampingkan posisi Karl
Marx. Dapat dikatakan pemikir-annya merupakan pusat dari tradisi teori konflik. Pemikiran
Karl Marx tidak hanya bersifat scientific theoritical bahkan menjadi doktrin dan praksis untuk
suatu gerakan politik yang revolu. Stoner. Pemikiran Marx merangsang perubahan cara
berpikir dan memahami dunia serta menjangkau bagaimana mengubah dunia melalui revolusi,
ya revolusi kaum proletar dalam upaya terwujudnyamasyarakat sosialis bersama
Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar ata terjadinya konflik
pada kelas pekerja. Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara
kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yang lebih dikenal
dengan sebutan revolusi. Revolusi akan terjadi jika ketegangan hubungan produksi antarg kelas
borjuis dan proletar, dimana kelas proletar tumbuh kesadaran kelas bahwa mereka dieksploitasi
oleh kelas borjuis.
Pemikiran Karl Marx telah mewarnai sejarah perjalanan dunia. Ia bukan hanya sebagai
pemikir dan atau filosof, tetapi juga sekaligus ideaolog dan aktor perubahan “radikal”.
Pemikiran Marx merangsang perubahan cara berpikir dan sekaligus mendorong perubahan cara
bertindak berbagai gerakan politik. Dalam bahasa Marx, “filosof hanya menginterpretasikan
dunia dalam berbagai cara dan tidak banyak bicara tentang bagaimana mengubah wajah dunia,
Faunding father sosiologis seperti Auguste Comte, Martin Heidegger, David Hume
mengajarkan bagaimana cara mengubah cara manusia berfikir, tetapi peng-aruhnya tidak
sebesar Karl Marx. Ideologi, marxisme me nyemangati sebagian besar gerakan buruh dan
gerakan pembe-basan sosial sejak akhir abad ke19 hingga dewasa ini.
Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menying-kirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atv membuatnya tidak berdaya. Coser (1972, 232-236) mengarti-kan
konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan
status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, di mana
8
pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang
diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugi-kan, atau menghancurkan lawan mereka”.
Menurut Coser konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan
(collectivities), atau antara individu dengan kumpulan.
Dalam pemahaman Coser, konflik baik antar kelompok mau pun intra kelompok
berlangsung di tempat orang hidup bersama dan merupakan bagian dan bentuk interaksi sosial.
Karena itu konflik tidak selalu bersifat negatif, menimbulkan kerusakan harta benda, hilangnya
jiwa manusia dan dominasi kelompok tertentu. Konflik dan proses konflik juga dapat
menyumbang terhadap kelestarian kelompok, mempererat hubungan antara anggotanya,
menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, memperlemah konflik internal dan mendorong
perubahan kepribadian pada individu.
Pendekatan sosiologi dalam menganalisis konflik atau secara sosiologi konflik,
dibedakan antara perasaan subyektif seperti amarah, kebencian, antipati, keinginan akan balas
dendam dengan relasi sosial yang bersifat kontradiktif yang obyektif dan struktural.
Dahrendorf membedakan konflik atas 4 (empat) macam. (1) Konflik antara atau dalam peran
sosial (intrapribadi), misalnya, antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik
peran/role). (2) Konflik antara kelompok-kelompok sosial, misalnya antar keluarga, antar
gank, antar suporter dan lain-lain (3) Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir,
misalnya, keributan dalam demonstrasi antara polisi melawan massa. (4) Konflik antar satuan
nasional, misalnya konflik antar massa dalam kampanye atau perang saudara.
Secara historis khasanah teoritik konflik mencakup spektrum cukup luas, tradisi konflik
dibangun dan dikembangkan Karl Marx dan Max Weber. Pada perkembangannya kemudian
teori konflik menampkan kategori dan corak yang berbeda yang tercermin dari karakkteristik
aliran-aliran pemikiran yang di-kembangkannya. Kita mengenal perspektif Maxian, Neo-
Marxian, Weberian, Neo-Weberian, dan Simmelian yang ber-sifat interaksionis. Di sisi lain
terdapat pemikiran konflik yang dikemukakan oleh Dahrendorf, yang berusaha memadukan
pemikiran Karl Marx, Engels dan Max Weber, dan model interaksionis yang digagas Lewis
Coser yang mensintesakan pemikiran Max Weber dan Simmel.

➢ BAB V: Teori Pertukaran Sosial


Pada bagian ini membahas tentang Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi
dengan memperhatikan aspek cost and reward merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran
sosial, Teori pertukaran sosial memu-satkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, pada
relasi sosial antarpribadi (interpersonal). Teoritisi pertukaran sosial merujuk pada dua nama
9
besar yakni Homans dan Blau, karena itu bahasan mengenai teori pertukaran sosial dalam
bagian ini merujuk pada dua hama tokoh besar tersebut.
Perhatian Homans tentang untuk menjelaskan perilaku sosial pertukuran sosial
analisisnya menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu, sedangkan Blau beranjak dari
tingkat pertu-karan antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur
social, mengingkat prosesproses pertukaran dasar dalam kehidupan sosial terkait erat dengan
struktur sosial.
Dalam kaitan ini pusat perhatian teori pertukaran sosial ada kemiripan dengan analisis
teori simbolik, Bedanya dengan ana-lisis teori interaksi simbolik, teori pertukaran sosial
melihat pada perilaku nyata, sedangkan fokus dari teori simbolik pada proses-proses yang
bersifat subyektif semata. Itulah sebabnya dua teoritisi besar, Homans dan Blau yang tidak
memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal
balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang terjadi
pada inter-aksionisme simbolik. Bahkan Homans lebih jauh melang-kah pada penjelasan
ilmiah perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.
Secara historis, teori pertukaran sosial memiliki benang merah dengan teoritisi sosial
klasik, seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, seperti Adam
Smith, yang menganalisis pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari
sejumlah transaksi ekonomi individual. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi per-
tukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat mempe-roleh keuntungan dari pertukaran
tersebut, dan kesejah-teraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin
apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui
pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fokus analisis dari teori pertukuran
sosial terpilah pada dua narasi/arus utama, antara orientasi individualistis dan kolektisvistis.
Orien-tasi dan fokus pada analisis individual diwakili Homans, hal ini berbeda dengan
penjelasan Levi-Strauss yang - bersifat kolek-tivistis khususnya mengenai perkawinan dan
pola-pola kekerabatan. Karena itu uraian teori pertukaran sosial diawali dengan penjelasan
Levi-Strauss.

➢ BAB VI: Toeri Pilihan Rasional


Pada bab ini membahas tentang Teori Pilihan Nasional. Definisi dan tentunya konstruksi
teori pilihan rasional sangatlah beragam, Dari beberapa sumber acuan yang coba ditelaah pada
kesempatan ini tampak jelas, bahwa definisi. Beberapa ahli memberikan penekanan dan
10
menyetara, kannya dengan analisis yang memandang perilaku atau tindakan seseorang sebagai
sesuatu yang purposive (Huber, 1997, suatu hal yang menjadi penciri dari penelitian sosiologi.
Pakar lain memberikan arti dan membatasi bahwa para pelaku harus dipandang sebagai
seseorang yang termotivasi oleh kepentingan diri.
Karenanya tak berlebihan di dalam teori pilihan rasional terkandung keunikan. Hal yang
membuat pilihan rasional menjadi berbeda adalah karena konsepsi pilihan (sebagai sebuah
proses optimalisasi) dibuat eksplisit dan telah menghasilkan suatu struktur umum dalam model
pilihan rasional. Masing-masing harus menspesifikasikan serangkaian istilah teoretis,
termasuksejumlah pelaku yang berfungsi sebagai pemain dalam sistem: alternatif pilihan bagi
tiap pelaku: serangkaian hasil (outcome) dalam system dari setiap alternatif oleh pelaku:
preferensi dari tiap pelaku terhadap hasil yang mungkin diperoleh: dan harapan pelaku terhadap
parameter dari sistem tersebut. Model-model pilihan dapat beragam dalam berbagai dimensi.
Pelaku hanya dapat membuat satu pilihan atau model, dimana pilihan para pelaku
memengaruhi kondisi ketika ia dan orang lain akan membuat pilihan.
Model tersebut dapat pula diasumsikan secara material berdasarkan kecenderungan
instru-mental atau termasuk kecen-derungan bagi kesepakatan sosial, altruisme, dan keadilan.
Model-model tersebut meliputi pelaku individu, pelaku kelompok, atau gabungan dari kedua
tipe pelaku tersebut.Terlepas dari segala bentuk variasi, sesuai dengan struktur umum teori
pilihan rasional, masing-masing model memiliki kosakata teoretis yang umum. Kosakata
teoretis yang umum inilah yang memungkinkan pilihan rasional berfungsi sebagai
“interlingua” bagi ilmu sosial, dan meyakinkan bahwa per-kembangan teoretis pada satu area
substantif akan memiliki implikasi terhadap area-area substantif lainnya.
Berkenaan dengan struktur umum teori pilihan rasional, analisisnya akan berbeda di
sekitar rangkaian isu yang terbatas. Satu isu sentral berkenaan dengan hubungan
antarpreferensi. Jika preferensi individu adalah “konvergen", maka sistem akan dituntun kearah
optimalitas oleh “invisible hand”, sehingga tindakan rasional secara individu akan mengacu
kepada hasil kolektif rasional yang sama. Setiap orang yang berperilaku secara rasional dapat
mengarah pada hasil yang secara kolektif menjadi irasional. Situsi semacam ini, dimana situasi
konflik potensial terdapat antara individu dan rasionalitas kolektif, disebut dilemma sosial.
Dalam perspektif teon mi merupakan salah satu isu substantif untuk menjelaskan bagaimana
pelaku menye-lesaikan-atau gagal dalam menyelesaikan dilemma-dilema tersebut.

11
➢ BAB VII: Teori Kritis Dan Metodologinya
Pada bab VII ini membahas tentang Teori Kritis dan Metodologinya. Setelah 70 tahun
dikembangkan di Frankfurt Jerman, teori kritis menunjukkan kemampuannya untuk melawan
tantangan status-guo. Teori kritis adalah suatu istilah yang masih menimbulkan dan sering
disalahpahami, Istilah tersebut seringkali mengacu kepada tradisi teori yang dikembangkan
oleh sekolah Frankfurt, sekelompok penulis yang tergabung dalam Institut of Social Research
di Universitas Frankfurt. Namun demikian, tidak ada satupun ahli teori di sekolah Frankfurt
mengklaim telah mengembangkan satu pendekatan cultural critism. Teori kritis lahir didorong
oleh keprihatinan bahwa positivisme dalam ilmu sosial sungguh merupakan masalah, baik bagi
ilmu pengetahuan maupun kemanusiaan.
Pada awalnya, Mark Horkheimer, Theodor Adorno, dan Her-bert Marcuse berinisiatif
membicarakan tradisi German tentang philosofi dan pemikiran sosial, terutama Marx, Kant,
Hegel dan weber. Dari titik yang menguntungkan bagi teori kritis ini, dimana sensibilitas
politik dipengaruhi oleh penghancuran dari Perang dunia I, Pasca perang German dengan
defresi ekonomi yang ditandai oleh inflasi dan pengangguran, serta berbagai protes di German
dan Eropa Tengah, dunia sangat memerulakn interpretasi ulang, Melalui perspektif ini, mereka
menentang orthodoxy Marxis ketika kepercayaan mendalam mereka yang tidak adil dan
penaklukan menentukan kehidupan dunia. Dengan memfokuskan perhatian terhadap
perubahan ciri kapitalisme, teori kritis awal menganalisa perubahan bentuk dominasi yang
menyertai perubahan tersebut.
Satu dekade setelah sekolah Frakfurt dibangun, nazi meng-uasai German. Posisi yang
berbahaya menyebabkan mereka meninggalkan German dan tinggal di California. Oleh sebab
itu, selanjutnya teori kritis dipengaruhi oleh budaya Amerika. Karena kesal oleh kontradiksi
antara retorika Amerika yang progresif tentang egalitarisme dan realitas adanya diskriminasi
rasial dan kelas, teori-teori kritis memproduksi sebagian besar pekerjaannya di Amerika. Teori
kritis, khususnya liberalisasi kerja Marcus, menyediakan bahasa philosofis dari Kaum Kiri
Baru. Perhatian terhadap politik dari psikologi dan revolusi kebudayaan, Kaum Kiri Baru
meng-ajarkan nasehat Marcusian tentang emansipasi politik.
Kesan yang dimunculkan oleh dialektika teori kritis adalah perhatiannya terhadap
pengalaman konstruksi sosial. Mereka memandang disiplin ini sebagai manifestasi diskursus
relasi kekuasaan dari konteks sosial dan sejarah yang memproduk-sinya. Diskursus tentang
posibility tercakup didalam konstruksi sifat-sifat pengalaman sosial (social experience).
Rekonstruksi ilmu pengetahuan sosial membawa kepada tatanan masyarakat yang lebih
egalitarian dan demokrasi. Secara khusus, pegelo-laan sekolah bertujuan agar menjadi lembaga
12
yang bentuk ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan relasi sosialnya untuk tujuan pendidikan
generasi muda yang lebih berorientasi pada pem-berdayaan kritis (critical empowernment)
bukan pada penaklukan (subjugation).
Mempersoalkan realitas merupakan tahap awal yang harus dilakukan seorang peneliti
yang berkiblat pada teori kritis. Bila terhadap suatu “data” ia mencari penjelasan tentang
“kaitan” dan “sebab”, maka artinya ia sedang menembus “gejala” dan baru kemudian akan
menemukan “realitas”. Untuk itu, seorang peneliti kritis tidak cukup hanya “meneropong dari
luar” tetapi harus “memahami dari dalam”.
Dengan meneropong dari luar kita akan membandingkan, mencari kaitan, mencari sebab,
menelusuri sejarah, dan hal-hal lahiriah lainnya, dan kita meng-analisisnya dengan analisis
empiris. Misalnya kita menelusuri strukturstruktur yang mem-buat orang miskin. Sementara
itu, pemahaman kita dari dalam dilakukan untuk menemukan kompleks perasaan-perasaan, ke-
inginankeinginan, atau pikiran-pikiran. Kita perlu terus menyelam ke dalam realitas “batin”,
Labih lanjut, hal lain yang harus dipahami adalah bahwa peneropongan dari luar dan
pemahaman dari dalam dilakukan dalam rangka untuk memihak umat manusia yang
perealisasian dirinya dan kemerdekaannya terhambat oleh realitas konkret empiris. Terdapat
dua jenis realitas, yaitv relaitas alamiah (ter-jadi karena peristiwa atau proses-proses alam) dan
realitas sosial (terjadi karena proses-proses hubungan antar manusia). Sebenarnya, selain
realitas tersebut yang keduanya berada di luar diri manusia, masih ads yealitas lain yang
terdapat dalam diri manusia seperti kehendak dan kesadaran. Pengan kata lain, kita hidup dalam
realitas “majemuk”.

➢ BAB VIII: Teori Strukturasi


Pada bab terakhit ini membahas tentang Teori Strukturasi. Uraian teori strukturasi
melekat dan sulit dipisahkan dari Anthony Giddens. Teori strukturasi merupakan narasi utama
Giddens dan bahkan dapat dipersonafikasikan dengan Giden. Karena itu eksplorasi teori
strukturasj merupakan cara tepat untuk mengenali dan menjelaskan pemikiran-pemikiran
Anthony Giddens dalam berbagai aspek yang menjadi ruang lingkup ontologi sosiologi,
modernitas dan nation-state. Telaah kritis Anthony Giddens harus diakui telah memiliki
jangkauan yang lebih luas dan menunjukkan kemampuannya meng-kritisi materialisme
historis, fungsional, strukturalisme, fenomenologi dan sebagainya. Dari telaah kritis tersebut
setidaknya ada dua fenomena sentral yang hendak dijelaskan berdasarkan gagasan Giddens,
yaitu hubungan hubungan-ktruktur dan sentralitas ruang-waktu.

13
Giddens melihat bahwa ilmu sosial dikusai dan didominasi oleh dualism, narasi pelaku
dan struktur. Pelaku (aktor) dan struktur layaknya dua kesebelasan yang memiliki hubungan
layaknya pihak yang sedang bertanding, berlawanan satu sama lain. Dalam hal ini Giddens
mengkaliam aktor dan struktur, keduanya memiliki hubungan dualitas bukan dualisme.
Tindak-an (yang dilakukan pelaku) dan struktur saling mengandaikan.
Struktur tidaklah kode tersembunyi seperti dalam structural-isme, struktur adalah aturan
dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial
(Giddens,1993). Dualitas struktur pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial
merupakan hasil dan sekaligus sarana praktik sosial. Berdasarkan prinsip dualitasstruktur
pelaku ini, Giddens menawarkan teori baru, yaitu teori strukturasi (Giddens, 1998).
Dalam pemahaman Giddens perbedaan bentuk-bentuk masnyarakt bukan terletak pada
perbedaan cara produksi seperti dijelaskan dalam Marxisme, melainkan dalam cara masing-
masing masyarakat mengorganisasi hubungan antar ruang-waktu. Negara adalah pemuat
kekuasaan yang didasarkan pada kontrol atas pengaturan runag-waktu. Globalisasi sebagai
peren-tangan sekaligus pemadatan ruang dan waktu.
Manusia secara riil hidup dalam ruang dan waktu. Menurut Martin Heidegger, yang
mengilhami filsafat pemikiran sosial Giddens, manusia bukan sekadar ada dalam waktu
melainkan meng-ambil sikap terhadap waktu, yaitu konteks relasi manusia terhadap masa lalu,
sekarang dan masa depan. Bagi manusia yang penting bukanlah hanya bahwa dia hidup dalam
yuang dan waktu itudimaknai. Manusia menurut Giddens, jangan hanya ditentukan oleh ruang
dan waktu, tetapi juga harus mampu menentukan ruang dan waktu itu sendiri.
Pemikiran Giddens mengenai masyarakat modern, yang ter-kenal dengan “Jalan Ketiga”
merupakan jalan alternative yang mencoba melerai berbagai konflik, kontradiksi, eksremitas
dalam berbagai khazanah pemikiran ilmu sosial klasik maupun modern.Teori strukturasi
memfokuskan diri terutama pada keprihatinan-keprihatinan ontologism yang terlupaka, karena
orang terlalu member tekanan pada masalah-masalah epistemologis tersebut, terjadilah
polarisasi yang bersi-fat dualism, dan terus bergulir bagaikan bola salju jatuh dari lereng bukit,
bahkan sampai muncul terminologi objektif dan subjektif.
Melalui teori strukturasi, Giddens mengawinkan dualism antara objektivisme (yang
nampak jelas dalam pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme) dan subjektivisme (yang
diperjuangkan oleh hermeneutika dan fermenologi). Teori struk-turasi didasarkan pada premis
bahwa dualism wi harus dikonseptualisasikankembali sebagai suatu dualitas: yakni dualitas
struktur. Artinya, subjek dan objek tidak dipandang sebagai dua hal yang saling tergantung
serta saling meng-andaikan satu sama lainnya. Dasar teori strukturaasi adalah bahwa subjek
14
tidak ditempatkan pada titik pusat. Giddens melihat kegiatan sosial berkaitan erat dengan ruang
dan waktu, serta berada pada akar pembentukan, baik itu subjek maupun objek sosial. Teori
strukturasi Gidden oleh beberapa ahli dipandang sebagai model strukturalisme interpreatatif.
Dengan teori stuktural, Giddens mencoba mengkritisi pendekatan dan narasi besar yang
digunakan dalam ilmu sosial seperti hermeunetik, fungsionslisme dan strukturalisme yang
dianggap terjebak dalam dualism atau determinisme struktur dan agensi. Misalnya hermeneutic
dan fungsionalisme yang menempatkan individu sebagai elemen penting yang menen-tukan
perubahan masyarakat. Atau dualisim strukturalisme yang menisbikan agensi karena struktural
menentukan tindakan individu. Teori strukturasi mencoba mendamaikan ketegangan itu
dengan menempatkan konsep dualitas sebagai titik penting.
Dengan dualitas maka hubungan anatara struktural (totalitas) maupun pelaku, praktek-
praktek sosial, proses, ruang dan waktu bukan bersifat mensubordinatkan yang lain namun
bersifat dialektik. Dualitas tersebut terjadi melalui praktek sosial yang berulang dan terpola
dalam lintas ruang dan waktu dan inilah yang seharusnya menjadi objek ilmu-ilmu sosial.

15
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kelebihan dan Kelemahan Buku


➢ Kelebihan Buku:
▪ Pembahasan pada buku disusun secara terstruktur sehingga memudahkan para
pembaca dalam memahami isi buku.
▪ Dilihat dari aspek tampilan buku (face value), buku yang direview adalah dicetak
dengan ukuran standar buku pada umumnya.
▪ Dari segi Identitas buku, buku ini sudah memiliki ISBN jadi buku ini sudah
memiliki hak cipta dan terbukti kebenarannya.
▪ Buku ini juga sangat cocok untuk mahasiswa sejarah karena pembahasannya
menggunakan metode penulisan sejarah

➢ Kelemahan Buku:
▪ Ada beberapa kata asing yang tidak dimengerti sehingga membingungkan
pembaca.
▪ Kurangnya penggunaan gambar, tabel, grafik, atapun yang lainnya pada buku ini
membuat pembaca mudah merasa bosan.
▪ Daftar isi dalam buku ini kurang rapi membuat pembaca terkadang salah membuka
halaman yang ingin dicari, sebaiknya digunakan garis titik-titij untuk memudahkan
para pembaca mencari sub bab pada daftar isi.

16
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dengan demikian Critical Book Review pada buku ini, maka pembaca akan dengan lebih
mudah menentukan buku yang mana dan bagaimana kriteria yang layak digunakan sebagai
referensi dalam sebuah tulisan. Setelah penulis mengkritik buku berjudul “Teori Sosial modern
dan postmodern” ini, penulis berpendapat bahwa buku ini layak digunakan sebagi referensi
yang baik karena dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki pada buku ini, sudah dapat
dikatakan buku tersebut bagus dan memuat informasi lengkap. Buku ini juga layak dijadikan
referensi bagi calon guru dan dosen untuk mengetahui teori sosial, terkhususnya seperti saya
mahasiswa sejarah.

4.2. Saran
Setelah melihat isi buku ini, penulis ingin menyarankan pada pembaca selanjutnya untuk
menggunakan buku ini sebagai referensi jika dibutuhkan. Walaupun memang masih terdapat
kekurangan-kekurangan pada buku ini. Oleh karena itu, saya berharap kepada penulis buku ini
untuk lebih memperbaiki sesuatu yang kurang yang terdapat pada buku ini agar pembaca
selanjutnya tidak lagi menemukan kesalahan-kesalahan pada buku ini. Sekian dalam penulisan
CBR ini, penulis meminta maaf jika ada salah kata dalam penulisan CBR ini, penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan CBR ini agar menjadi lebih baik.
Terimakasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat. 2016. Teori Sosial Modern dan Posmodern. Medan: UNIMED PRESS.

18

Anda mungkin juga menyukai