Anda di halaman 1dari 18

MINI RISET

SEJARAH INDONESIA MASA KOLONIAL

Topik:

“Perkembangan Layanan Kesehatan Pada Masa Kolonial di Rumah Sakit


Tarutung”

Disusun Oleh Kelompok 6:

Joly Yeremia Brutu 3213121053


Matthew Siahaan 3213321004
Winra Wahyudi Sianturi 3213121017
Dian Tesalonik Purba 3213321018
Cresensia Anggreni Simanjuntak 3213321022

Dosen Pengampuh : - Dr. Rosmaida Sinaga, M. Hum

- Ammar Zhafran, M. Pd

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana atas segala nikmat
dan rahmat nya kami dapat menyelesaikan Mini Riset kami yang berjudul “Layanan Kesehatan
Pada Masa Kolonial di Rumah Sakit Pearaja, Tarutung”. Untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Sejarah Indonesia Masa Kolonial.

Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas ini, serta kepada Bapak dan Ibu Dr. Rosmaida Sinaga, M. Hum dan
Ammar Zhafran, M. Pd, selaku dosen di Universitas Negeri Medan yang telah memberikan
arahan dan bimbingan kepada penyaji.

Kami sadar bahwa dalam Mini Riset ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penulisan Mini Riset ini.
Sehingga Mini Riset ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri khususnya.
Semoga Mini Riset ini dapat bermanfaat bagi semua orang.

Medan, November 2022

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
BAB II PERMASALAHAN ............................................................................................. 3
2.1. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
2.2. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 3
2.3. Manfaat Penulisan ................................................................................................... 3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 4
3.1. Heuristik .................................................................................................................. 4
3.2. Kritik/Verifikasi ...................................................................................................... 4
3.3. Interpretasi............................................................................................................... 4
3.4. Historiografi ............................................................................................................ 4
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................. 5
4.1. Hadirnya Zending dan Pembetulan Fasilitas Kesehatan di Tarutung Pada Masa
Kolonial................................................................................................................... 5
4.2. Perkembangan Fasilitas di Tarutung Pada Masa Kolonial ..................................... 8
4.3. Dampak Bagi Masyarakat Tarutung Terhadap Perkembangan Fasilitas Kesehatan
Pada Masa Kolonial ................................................................................................ 11
BAB V PENUTUP............................................................................................................. 13
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 13
5.2. Saran ....................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelayanan Kesehatan yang diberikan pemerintah Hindia Belanda sebelum abad ke-20
sangat baik tidak baik untuk penduduk setempat. Ini karena hanya sebagian kecil warga Hindia
Belanda yang dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tepat. Tapi ini mulai berubah
setelah munculnya politik etis di awal abad ke-20 (Muhsin Z., 2012). Munculnya politik etis
telah menjadi hal penting yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan
kelembagaan dan kualitas pelayanan kesehatan di Hindia Belanda (Uddin, 2006).
Perkembangan berbagai penyakit menular di Hindia Belanda seperti: pes, kolera, malaria dan
penyakit lain juga menyebabkan pemerintah mengubah model pemberian layanan kesehatan
komunitas (Bergen, Hesselink, & Verhave, 2019). mengambil tindakan modern memberikan
beberapa perubahan dalam kebijakan subsidi kesehatan yang diterapkan pada pertengahan
tahun 1906-1940-an bertujuan untuk memperluas perawatan medis yang tersebar luas dan
merata dengan membangun rumah sakit. Rumah sakit ini tidak hanya didirikan di Pulau Jawa,
Tapi juga di luar Jawa. Manajemen rumah sakit sebagai institusi kesehatan menjadi Otoritas
Hindia Belanda, meskipun beberapa rumah sakit juga dijalankan oleh lembaga tersebut swasta
(Cipta, 2020).
Pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan pada mulanya banyak dikembangkan oleh
organisasi keagamaan seperti misionaris dan zending. Organisasi keagamaan nonpemerintah
ini giat dalam mengembangkan pendidikan dan kesehatan dengan tujuan untuk memperbaiki
kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha ini dinilai sangat efektif untuk melakukan pendekatan
kepada masyarakat pribumi. Kedekatan dengan masyarakat pribumi ini diharapkan dapat
membuat aktivitas Perkabaran Injil menjadi lebih mudah dilakukan (Wulanadha, 2014).
Pada tahun 1861, organisasi Zending Rheinische Missionsgesellscaft (RMG) mulai
melakukan Penginjilan di Tarutung. Kedatangan RMG ini kemudian dikenal dengan istilah
Misi Batak (Battakmission) (Aritonang, 2014). Tokoh utama Perkabaran Injil di Tarutung ialah
I.L. Nommensen. Beliau diutus oleh RMG sejak tahun 1862 yang membawa pengaruh besar
bagi perkembangan agama, pendidikan, dan kesehatan di Tarutung (Siahaan, 2020). Pada masa
tersebut, para zending berhasil menjalankan misi Kristenisasi di Tarutung. Para zendeling yang
datang ke Tarutung tidak hanya melayani dalam bidang kerohanian saja, tetapi mereka juga
melayani dalam bidang pendidikan dan kesehatan (Boangmanalu, 2008). Berkembangnya
pendidikan di Tarutung memang tidak bisa dilepaskan dari peran sentral para zending.

1
Perbaikan pendidikan dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat Tarutung dalam
mempelajari agama Kristen Protestan (Sinaga & Simarmata, 2013).
Selain itu, perkembangan fasilitas kesehatan di Tarutung juga tidak terlepas dari peran
para zending. Pembangunan layanan kesehatan tersebut merupakan suatu cara zending untuk
melayani masyarakat dalam bidang kesehatan. Salah satunya ialah membangun rumah sakit di
wilayah Pearaja. Rumah sakit ini dibangun untuk menjadi pusat pelayanan kesehatan secara
menyeluruh bagi masyarakat Tarutung dan sekitarnya yang selama ini belum tersentuh oleh
fasilitas kesehatan modern (Situmorang, 2012).
Pendirian rumah sakit di kawasan Pearaja ini juga merupakan wujud kepedulian para
zending terhadap merebaknya penyakit menular di masyarakat setempat. Sejak munculnya
pelayanan medis modern yang diprakarsai para zending di Tarutung, menjadikan masyarakat
mulai meninggalkan ketergantungannya pada Datu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kepercayaan Batak, Datu adalah sebutan untuk peramal, yaitu seseorang yang bisa melihat
roh yang tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa. kadang-kadang gambaran besar juga
berfungsi sebagai media, tetapi hanya dari ayah atau gurunya. Dadu dipercaya itu bisa
mengatur cuaca, membawa hujan, menciptakan hari yang baik, dan membawa ketenangan
pikiran badai dan topan, ahli ilmu hitam dan putih.

2
BAB II

PERMASALAHAN

2.1. Rumusan Masalah


Dalam laporan ini, rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Bagaimana hadirnya Zending dan pembetulan fasilitas kesehatan di Tarutung pada
masa kolonial?
2. Bagaimana perkembangan fasilitas kesehatan di Tarutung pada masa kolonial?
3. Bagaimana dampak bagi masyarakat Tarutung terhadap perkembangan fasilitas
kesehatan pada masa kolonial?

2.2. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui hadirnya Zending dan pembetulan fasilitas kesehatan di Tarutung
pada masa kolonial?
2. Untuk mengetahui perkembangan fasilitas kesehatan di Tarutung pada masa
kolonial?
3. Untuk mengetahui dampak bagi masyarakat Tarutung terhadap perkembangan
fasilitas kesehatan pada masa kolonial.

2.3. Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan tentang perkembangan fasilitas kesehatan di Tarutung pada
masa kolonial.
2. Melatih diri dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.
3. Penyelesaian tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Kolonial.

3
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Heuristik
Heuristik adalah suatu metode pertama yang dilakukan dalam penelitian sejarah. Pada
tahap heuristik, peneliti sejarah mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang
dibutuhkan. Dalam metode heuristik terdapat dua jenis sumber yaitu sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber yang diperoleh langsung dari pelaku sejarah.
Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang berasal dari bukan pelaku sejarah seperti
buku, jurnal, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, kami menggunakan sumber sekunder
dimana kami mencari data-data atau informasi yang membahas tentang perkembangan
kesehatan di rumah sakit tarutung. Adapun bentuk sumber kami seperti seperti buku, jurnal,
dan informasi dari Internet.

3.2. Kritik Sumber/Verifikasi


Setelah melakukan heuristik, metode selanjutnya adalah metode verifikasi. Dimana pada
tahap ini peneliti membuktikan sumber sejarah yang bersangkutan dengan yang asli. Dalam
tahapan ini terdapat dua jenis kritik yakni kritik internal yaitu kritik terhadap isi sumber
tersebut dan kritik eksternal yaitu kritik terhadap sumber tersebut apakah asli atau palsu.
Langkah ketiga adalah interpretasi, hal ini dilakukan setelah fakta untuk mengungkap dan
membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu
penafsiran makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain.

3.3. Interpretasi
Tahap ketiga adalah interpretasi. Dimana melakukan penafsiran akan makna atas fakta-
fakta dari sumber. Pada tahap ini kami melakukan penafsiran terhadap beberapa jurnal dan
buku yang kami jadikan sebagai sumber. Analisis dilakukan terhadap hadirnya zeding dan
pembetulan fasilitas kesehatan di Tarutung sampai dampak bagi masyarakat tarutung. Setelah
dilakukan analisis. Kemudian diambillah sebuah kesimpulan dari data yang sedang di analisis.

3.4. Historiografi
Tahap akhir adalah historiografi, historiogtafi merupakan upaya penelitian sejarah dalam
melakukan rekonstruksi sumber-sumber yang telah ditemukan, diseleksi, dan dikritisi.

4
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Hadirnya Zending dan Pembetulan Fasilitas Kesehatan di Tarutung Pada Masa
Kolonial
Perjumpaan orang Batak dengan para misionaris bukanlah sebuah perjumpaan antara dua
pihak yang sederajat. Betapa pun rendah status sosial para penginjil di tanah airnya, mereka
tetap merasakan dirinya berada jauh di atas orang Batak, baik dari segi sosial, budaya, agama,
maupun ras (Aritonang, 1988). Misionaris RMG mendirikan sebuah desa untuk orang Kristen.
Hal ini disebabkan karena masyarakat yang masuk Kristen rupanya dikucilkan dari masyarakat
yang pada masa itu masih menyembah dewa-dewa nenek moyang mereka. Kemudian para
zending merubah tumpuan misi yang sebelumnya disebut menjadi sebuah kampung kecil
dilengkapi saluran kecil dan pembatas tanah dan sebuah pintu masuk. Perkampungan ini
dilengkapi oleh beberapa fasilitas seperti, gereja, sekolah, dan beberapa rumah kecil.
Perkampungan baru ini kemudian diberi nama Huta Dame (Kampung Perdamaian), yang pada
saat ini masuk ke dalam wilayah administratif Desa Saitnihuta, Kecamatan Tarutung.
Keunggulan misionaris utama RMG, yaitu Nommensen dalam merangkul orang Batak karena
beliau mencoba menggabungkan adat budaya Batak ke dalam laku hidup masyarakat Kristen
yang ada di Huta Dame.
Kehadiran para zending di Tarutung lambat laun membawa perubahan yang berarti bagi
masyarakat Batak. Secara perlahan, orang-orang Batak diberi kesadaran tentang kemanusian,
pendidikan, kebersihan, kesehatan, pertanian, pertukangan, dan perdamaian. Para zending
mulai mengajari penduduk tentang kesehatan, seperti merebus air, mencuci pakaian, membuat
WC, dengan tujuan agar penduduk kampung menjaga kebersihan dan terhindar dari penyakit
kolera (Hasanah, 2020). Menyembuhkan orang sakit, membantu keterampilan di bidang
pertanian dan pertukangan, menghormati sistem kepercayaan tradisional merupakan langkah-
langkah yang pada akhirnya disambut baik oleh masyarakat Batak. Membantu rakyat secara
langsung semakin dapat menempatkan agama Kristen sebagai bagian dari mereka dan orang
Barat tidak lagi dianggap sebagai orang asing yang perlu dimusuhi. Dengan metode adaptif
itulah menjadi kunci keberhasilan Nommensen dan para zending lainnya dalam
mengkristenkan orang Batak, khususnya Batak Toba (Sugiyarto, 2017).
Pada tahun 1875, beberapa penyakit menular seperti: pes, tifus, kolera, dan cacar air,
mulai merebak di Tarutung dan sekitarnya. Masyarakat setempat mengenal penyakit kolera
dengan istilah beguattuk. Pada saat keadaan itu terjadi, masyarakat Batak belum mengenal jenis

5
dan cara penanganan penyakit tersebut. Pada tahun yang sama, penyakit tersebut mengganas
dan menyebabkan banyak korban jiwa. Keadaan ini menyebabkan suasana di Tarutung menjadi
mencekam akibat masyarakat takut tertular penyakit tersebut. Ketika awal Nommensen berada
di Tanah Batak epidemi ini tengah melanda. Selain Nommensen, koleganya Peter Henrich
Johansen juga melihat keadaan yang sama. Johansen melaporkan sekitar 20 orang dan bahkan
lebih, meninggal dunia di Tarutung dan sekitarnya. Epidemi ini juga membuat banyak orang
tua yang kehilangan anaknya sehingga menjadi depresi (Marsden, 2008).
Berbagai macam penyakit menular yang mengrusuhkan kehidupan masyarakat di
Tarutung belum banyak dipahami secara intim. Mereka belum mengetahui unsurnya dan
bagaimana menangkalnya agar tidak menular. Pemahaman tentang keadaan lingkungan yang
bersih yang diperkenalkan oleh para zending kerap bertabrakan dengan cara pandang
masyarakat setempat (orang Batak). Sehingga ketika ada masyarakat yang tertimpa penyakit,
orang Batak cenderung mengetahui subang ni sahit. Dalam pengertian mereka, agar orang yang
tertimpa penyakit tersebut dapat segera pulih, ia harus menghindarkan subang agar terlepas
dari roh-roh yang mengganggunya. Hal ini memberitahukan bahwa saat seseorang tertimpa
penyakit maka ia sedang ditegur oleh beguattuk.
Para zending menatap betapa kacaunya kondisi kesehatan masyarakat Batak pada tahun
1866, di daerah Tarutung banyak anak-anak yang kritis disebabkan terkena cacar air. Banyak
dari masyarakat meminta bantuan untuk kesembuhan di Huta Dame, pedesaan Kristen yang
didiran oleh Nommensen. Para zending menyadari Batakmission perlu berpartisipasi atas
keadaan tersebut. Sehingga untuk sementara sekolah Batakmission beralih fungsi sementara
menjadi balai pengobatan (Memorie van Overgave, van den Controleur J.C Ligtrvoet en G.Ch.
Rapp, 1928-1931, n.d.). Para zending merawat orang-orang yang sakit agar kembali pulih.
Mereka sangat berperan penting dalam menghadapi krisis tersebut. Nommensen menggunakan
teknik Hemeopati dalam pelayanan dalam pelayanan kesehatan. Metode tersebut merupakan
pengobatan alternatif yang menggunakan larutan dari akar, baik dari tumbuhan maupun hewan.
Hal ini dimaksud untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien yang sedang menderita sakit
(Hutauruk, 2009).
Sebelum kedatangan tenaga medis yang ahli, pengobatan terhadap orang-orang yang
sakit termasuk tugas pelayanan dari setiap zending, pendeta Batak, Evangelis, guru sending
(guru sekolah sekaligus pengkhotbah). Setiap kali para zending dan tenaga pribumi
mengadakan kunjungan ke perkampungan, mereka selalu membawa obat-obatan seperti tablet
kina untuk penyakit malaria, salep untuk penyakit kulit dan obat-obatan lainnya. Para zending
memang sudah dibekali pengetahuan praktis tentang berbagai penyakit tropis di Asia dan juga
6
cara menolong kaum ibu yang melahirkan (Bergen et al., 2019). Semakin lama penyebaran
berbagai penyakit menular ini semakin mengkhawatirkan. Pasien-pasien yang terus bertambah
setiap harinya membuat balai pengobatan yang berada di Huta Dame tidak dapat lagi
menampung jumlah pasien. Melihat keadaan tersebut, para zending mulai memperhatikan
kondisi kesehatan masyarakat Batak. Mereka pun mulai menyediakan balai-balai pengobatan
yang lebih besar. Hal ini kemudian diwujudkan dengan pendirian rumah sakit pertama yang
ada di Tarutung, yang terletak di Pearaja pada tahun 1900. Dr. Med Julius Schreiber adalah
dokter pertama yang bertugas menangani berbagai penyakit di rumah sakit ini (“De Sumatera
Post van Maandag,” 1935). Pada Januari 1902, Dr. Winkler, ditugaskan juga ke rumah sakit
Pearaja, Tarutung. Kedua dokter inilah yang merintis pembangunan rumah sakit serta
meningkatkan pelayanan medis dengan menggunakan metode pengobatan baru yang
berdasarkan diagnosa penyakit (Situmorang, 2012).

Gambar 1. Salah satu poliklinik rumah sakit di Pearaja, Tarutung.


Sumber: https://wordpress.com

Para zending yang berjuang di Tarutung mengambil banyak langkah dalam penanganan
terkait penyakit yang menyerang masyarakat Batak di Tarutung. Apalagi era hadirnya rumah
sakit Tarutung, pelayanan kesehatan ini terus mengalami peningkatan. Fasilitas rumah sakit
yang ada serta prasarana pengobatan yang tersedia, para ahli kesehatan zending berusaha
mencegah wabah dan mengobati pasien yang telah terjangkit. Pos-pos zending di seluruh
wilayah kerjanya, para pendeta dan dokter zending juga ikut membagikan informasi tentang
gejala-gejala penyakit dan pertolongan pertamanya (Algemeene Secretarie Grote Bundel TZg
Agenda tahun 1891-1942, No. 6921, n.d.).

7
Melalui pelayanan pemulian berbagai penyakit dengan metode kesehatan dari Eropa,
masyarakat Tarutung telah menangkap metode pendekatan baru yang berbeda dengan cara para
datu. Mereka sedikit demi sedikit mandalami soal kebersihan, obat-obatan dan perawatan
orang sakit. Berbeda dengan datu, bukan mememulihkan penyakit tetapi malah menganjurkan
agar menghindari dari subang yang berhubungan dengan roh-roh jahat. Hal ini menunjukkan
bahwa proses penyadaran dalam bidang kesehatan harus dilakukan secara bahu-membahu
antara pelayan medis dengan para zending. Dengan persesuaian ini akan terbentuk suatu
pemahaman yang terintegrasi baik dari segi kesehatan maupun sosialnya.

4.2. Perkembangan Fasilitas Kesehatan di Tarutung Pada Masa Kolonial


Selepas pembangunan Rumah Sakit di Tarutung pada 2 Juni 1900 yang diinisiasi oleh
Dr. Med. J. Schreiber dan para zending dari organisasi Rheinische Missionsgesellscaft (RMG),
kehidupan dan kesehatan masyarakat Tarutung sedikit demi sedikit memperoleh suatu hasil
yang baik. Hal ini merupakan sebuah kiprah nyata dari keseriusan para zending dalam
membantu meningkatkan dan memperbaiki kondisi kesehatan pada masyarakat Tarutung. Dr.
Med. Johannes Winkler kemudian dihadirkan juga ke Tarutung membantu mengelola rumah
sakit yang baru dibangun. Ke-2 dokter dan dibantu oleh para zending lainnya berusaha merintis
dan meningkatkan pelayanan kesehatan melalui penerapan metode pengobatan baru. Tidak
hanya itu, para tenaga medis di Rumah Sakit Tarutung juga berusaha untuk memberikan
kesadaran kepada masyarakat Tarutung melalui penyuluhan tentang kebersihan & hidup sehat.
Dalam pelayarannya, tidak semua masyarakat Tarutung dapat mencapai akses kesehatan
yang ada di rumah sakit tersebut. Sejalan dengan kebutuhan tersebut, dibangun pula beberapa
Rumah Sakit Pembantu yang khusus dalam menangani penyakit disentri (baro buni). Penyakit
ini sering terjadi di beberapa dataran tinggi di sekitar Tarutung, karena itu dibangun juga
Rumah Sakit Pembantu di daerah Butar dan Pangaribuan yang di bawah tanggung jawab para
zending lokal. Beberapa perawat pribumi juga ditugaskan untuk membantu menangani
pelayanan kesehatan.
Rumah Sakit Pembantu di Butar dan Pangaribuan ini dibuka pada tahun 1910, tepatnya
10 tahun pasca dibukanya Rumah Sakit Tarutung yang berada di Pearaja. Rumah Sakit
Pembantu yang berada di Pangaribuan dipimpin oleh zendeling Meisel, sedangkan Rumah
Sakit Pembantu yang berada di Butar dipimpin oleh zendeling Wagner. Ke-2 Rumah Sakit
Pembantu ini sangat memudahkan dan membantu pengobatan masyarakat setempat. Dalam
catatan sejarah, disebutkan bahwa pada tahun 1911 sebanyak 10.000 orang pasien telah dirawat
di Rumah Sakit Pembantu yang berada Pangaribuan (Hutauruk, 2009).
8
Sementara itu pada tahun 1911, dibuka Rumah Sakit Pembantu ke-3 yang berada di
Bonandolok oleh zendeling W. Mueller untuk melayani masyarakat yang bertempat tinggal di
bagian barat dataran tinggi Humbang. Selanjutnya Rumah Sakit Pembantu ke 4 dibuka di
Dolok Sanggul. Di daerah Toba dibuka di Sitorang dan di Balige. Di Samosir dibangun Rumah
Sakit Pembantu di Nainggolan, Pangururan dan Ambarita. Semua Rumah Sakit Pembantu
tersebut adalah cabang dari Rumah Sakit induk yang berada di wilayah Pearaja, Tarutung
(Tampubolon, 2017).
Selain Rumah Sakit Pembantu, dibuka pula Poliklinik atau semacam Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dalam masa sekarang. Di wilayah Lembah Silindung masih ada 3
poliklinik. Pada tahun 1911 poliklinik dibuka pada desa Hutabarat oleh dr. med. Julius
Schreiber. Poliklinik didirikan melihat jumlah pasien berdasarkan wilayah Pearaja hanya 270
orang setiap tahun, padahal jaraknya berdasarkan Pearaja berkisar 4 km. Pembukaan poliklinik
berdasarkan tahun ke tahun bertambah buat mempermudah akses penanganan kesehatan pada
lingkungan masyarakat. Di Silindung sendiri, masih didirikan poliklinik baru diantaranya pada
Simanungkalit dekat Seminarium Sipoholon. Pembangunan fasilitas kesehatan yg bertambah
terus menerus mempermudah & meningkatkan kecepatan penanganan kesehatan. Setiap
Rumah Sakit Pembantu & poliklinik ini selalu diturunkan obat-obatan & pengisian alat medis
agar mendukung kinerja yg baik.

Gambar 2. Suasana pengobatan di Rumah Sakit Pearaja, Tarutung.


Sumber: kitlv.nl

Pembukaan rumah sakit pembantu dan poliklinik membutuhkan jumlah tenaga medis
yang semakin banyak. Para zending berpikir untuk menyelenggarakan pendidikan keperawatan
9
untuk masyarakat Batak. Dengan begitu terbukalah lapangan kerja baru untuk masyarakat
orang Batak yang telah melek huruf dan memiliki pengetahuan umum yang memadai. Para
calon perawat dari golongan pemuda Batak direkrut untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
di Rumah Sakit Induk Pearaja. Buktinya bidang kesehatan saat itu cukup diminati oleh kaum
muda Batak yang telah memeluk kepercayaan Kristen. Mereka diuji untuk membentengi dan
meningkatkan pola hidup bersih & higienis. Pada tahun 1901-1902 tenaga pribumi yang
bekerja di rumah sakit Pearaja berjumlah 7 orang, dibagi menjadi: 1 apoteker, 2 perawat laki-
laki, 1 penjaga keamanan, 2 tukang, & 1 pelayan. Pada 1902 bertambah dua orang siswi calon
perawat, tahun 1904 (14) orang tenaga pelayan pribumi, tahun 1905 (21) orang, sehingga tahun
1905 jumlah tenaga kesehatan sudah mencapai 30 orang (Situmorang, 2012).

Pertambahan jumlah tenaga kesehatan pribumi itu mengindikasikan bahwa minat agar
menjadi tenaga dalam bidang kesehatan telah menuai hasilnya. Pada tahun 104 dibuka
Pendidikan kebidanan agar menyediakan tenaga untuk membantu persalinan kaum ibu. Siswa
kebidanan pula diuji dengan menggunakaan berbagai macam kerajinan tangan. Mereka juga
aktif melakukan kunjungan ke desa-desa terutama saat membantu kaum ibu yang ingin
melahirkan. Para siswa dibekali pengetahuan mengenai kondisi kebersihan & kesehatan
masyarakat. Dengan begitu mereka telah meringankan para tenaga medis yg bekerja di rumah
sakit pearaja.
Kepercayaan pemerintah terhadap kualitas & jaringan pelayanan kesehatan yang
dikendalikan rumah sakit zending Pearaja semakin jelas. Pada masa tersebut bidang pelayanan
kesehatan sudah memiliki puluhan rumah sakit pembantu, poliklinik, pusat perawatan
penderita lepra di Situmba & Hutasalem, pusat perkampungan para tunanetra & tunarungu di
Hepata. Pada tahun 1914, pihak pemerintah mempercayakan rumah sakit zending Pearaja agar
mendistribusikan berbagai macam obat-obatan untuk masyarakat Batak. Tugas pendistribusian
obat harus dikendalikan dengan administrasi yang tertib & transparan karena pemerintah
membutuhkan laporan rinci tentang penggunaan obat-obatan & bahan-bahan lainnya. Bantuan
yang berlanjut tersebut sangat berguna terutama ketika mendadak muncul wabah penyakit
kolera, penyakit disentri, malaria, flu & juga berjangkitnya penyakit cacar di berbagai daerah
tanah Batak. Perawatan untuk orang yang menderita gangguan jiwa dimulai pada 1911, berkat
bantuan pemerintah yang mendirikan sebuah barak khusus yang ditangani oleh seorang pelayan
pribumi (Winkler, 1928).
Peningkatan pelayanan kesehatan ditempuh menggunakan mengintensifkan palayanan di
tempat rumah sakit pembantu & poliklinik. Pihak Zending Rheinische Missionsgesellscaft
10
(RMG) yang juga telah merencanakan peningkatan tempat rumah sakit pembantu di Balige
menajdi rumah sakit zeding ke-2. Persiapan yg dilakukan menggunakan menempatkan
seseorang tenaga baru yaitu Suster Ida Graeber di rumah sakit pembantu Balige pada tahun
1921. Suster Graeber aktif melaksanakan pelayanan kesehatan untuk orang yg tiba ke rumah
sakit & mengunjungi desa-desa pada wilayah tersebut. Lalu Dr. Med. Wagner dipindah
tugaskan ke perkampungan penderita lepra di Hutasalem, Labuboti menggantikan Diakon
Rittich. Kehadirannya sekaligus membantu menambah jumlah tenaga mutu kesehatan pada
wilayah Toba yg memiliki penduduk yang padat.

4.3. Dampak Bagi Masyarakat Tarutung Terhadap Perkembangan Fasilitas Kesehatan


Pada Masa Kolonial
Dampak berdasarkan perkembangan fasilitas perkembangan fasilitas kesehatan ini
sangat terasa, baik untuk masyarakat maupun para zending. Selain berhasil membasmi penyakit
di tengah masyarakat, zending pula berhasil mejalankan misinya untuk menyebarkan agama
Kristen di masyarakat Batak. Metode yang dipakai oleh zending pada usahanya itu bisa
dikatakan metode tumpeng sari. Zending bukan hanya melakukan satu usaha pada 1 periode,
namun usaha mereka kemudian dikembangkan pada bidang lain setelah mereka bisa
berinteraksi lebih baik bagi masyarakat. Bidang-bidang yg didirikan ini kemudian mengalami
hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain sehingga semunya dapat saling
mendukung agar berkembang lebih baik. Pelayanan kesehatan sebagai faktor pendorong untuk
cara kerja zending saat melakukan Perkabaran Injil. Metode ini pula ikut berdampak bagi
masyarakat Tarutung masuk ke agama Kristen.
Adanya aktivitas pelayanan kesehatan pula berdampak baik untuk masyarakat.
Menempuh pelayanan kesehatan ini, tingkat hidup masyarakat menjadi lebih baik. Wilayah yg
diterjang pandemic penyakit seperti pandemic kolera, cacar, tifus, & disentri menjadi lebih
terawatt sebagai akibatnya angka kematian dampak dari penyakit ini dapat ditekan. Penyediaan
& peningkatan fasilitas kesehatan pula mempermudah masyarakat untuk menjangkau tempat
pengaduan mereka pada waktu sakit. Hingga akhirnya fasilitas kesehatan ini menjadi sebagai
salah satu fasilitas yg sangat krusial & dibutuhkan oleh masyarakat demi memudahkan
pemulihan penyakit yg mereka alami.
Pelayanan para zending pada bidang kesehatan berdampak bagi masyatakat Batak
akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka pada datu dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui pelayanan pemulihan bermacam penyakit menggunakan metode kesehatan dari Eropa,

11
masyarakat Batak sudah mengetahui metode pendekatan baru yg berbeda dengan cara para
datu Batak. Mereka perlahan mengetahui soal kebersihan, obat-obatan, & perawatan orang
sakit. Berbeda pada datu Batak bukan menyembuhkan penyakit. Akan tetapi, menganjurkan
agar mencegah dari subang yg berkaitan roh-roh jahat. Hal ini memperlihatkan bahwa proses
kesadaran pada bidang kesehatan harus dilaksanakan secara bahu-membahu antara pelayan
tenaga medis dengan pelayan Injil. Dengan perpaduan ini sehingga dapat tercipta suatu
pemahaman yg terpadu baik dari segi medis.

12
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Perkembangan fasilitas & pelayanan kesehatan yang dilakukan para zending dapat
memberikan dampak bagi perubahan pola kehidupan masyarakat orang Batak yg jauh lebih
sehat & bersih. Pelayanan kesehatan ini juga sebagai sebuah metode akurat yg dilakukan para
zendong pada saat melakukan perkabaran Injil di Tarutung. Bukti konkret perkembangan ini
masih bisa jumpai pada daerah Tarutung & sekitarnya hingga hari ini. Tanpa pendekatan secara
persuatif lewat perbaikan pelayanan kesehatan misalnya, proses kristenisasi pada daerah
Tarutung & sekitarnya tidak akan membawa keberhasilan yg relatif besar misalnya yang kita
saksikan pada saat ini.

5.2. Saran
Demikian laporan Mini Riset ini kami lakukan, kami menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kata sempurna. Saya selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk menyempurnakan laporan ini. Penulis juga meminta maaf jika ada salah kata atau
penggunaan kata yang kurang baik. Semoga mini riset ini dapat bermanfaat bagi semua orang.
Terima Kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA
Algemeene Secretarie Grote Bundel TZg Agenda tahun 1891-1942, No. 6921. (n.d.). Jakarta.

Aritonang, J. S. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak: suatu telaah historis-
teologis atas perjumpaan orang Batak dengan Zending di bidang pendidikan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.

Aritonang, J. S. (2014). Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Bergen, L. van, Hesselink, L., & Verhave, J. P. (2019). Gelanggang di Bumi Indonesia: Riset
Kedokteran Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda, 1852-1942. Jakarta: Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Boangmanalu, J. (2008). Praeses Pdt. Cyrellus Simanjuntak: Pendidik, Misionaris, dan


Motivator. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Cipta, S. E. (2020). Upaya Penanganan Pemerintah Hindia Belanda Dalam Menghadapi


Berbagai Wabah Penyakit dI Jawa 1911-1943. Equilibrium: Jurnal Pendidikan, 8(2),
162–169.

De Sumatera Post van Maandag. (1935). De Sumatra Post.

Hasanah, S. (2020). Kebangkitan Dokter Pribumi dalam Lapangan Kesehatan : Melawan


Wabah Pes, Lepra Cici Christina Manurung 304 MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan,
Sejarah, dan Ilmu-ilmu Sosial, 6(2), 2022 dan Influenza di Hindia Belanda Awal Abad
20. Masyarakat Indonesia, 46(2).

Hutauruk, J. R. (2009). Sejarah Pelayanan Diakonal di Tanah Batak (1857-2011). Pematang


Siantar: Unit usaha Percetakan HKBP.

Marsden, W. (2008). Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.

Memorie van Overgave, van den Controleur J.C Ligtrvoet en G.Ch. Rapp 1928-1931. (n.d.).
Jakarta.

Muhsin Z., M. (2012). Bibliografi Sejarah Kesehatan Pada Masa Pemerintahan Hindia
Belanda. Paramita: Historical Studies Journal, 22(2).

Siahaan, P. (2020). Perkembangan Kota Tarutung 1864-1942. Universitas Sumatera Utara.

14
Sinaga, K. M., & Simarmata, T. (2013). Sejarah Pendidikan Perempuan Di Tapanuli Utara
(1868-1945). JUPIIS: JURNAL PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL, 5(1).

Situmorang, D. M. (2012). Perkembangan Rumah Sakit Umum Tarutung (1952-2000) Di


Kabupaten Tapanuli Utara. Universitas Negeri Medan.

Sugiyarto. (2017). Menyimak (Kembali) Integrasi Budaya di Tanah Batak Toba. Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 1(1).

Tampubolon, R. (2017). Perkembangan Rumah Sakit Umum (RSUD) Doloksanggul, 1960-


1999. Universitas Sumatera Utara.

Uddin, B. (2006). Politik Etis Dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di Jawa Pada Awal Abad
Xx: Studi Kebijakan Kesehatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Konferensi
Nasional Sejarah VIII. Jakarta.

Winkler, J. (1928). Im Dienst der Liebe: Das Missionshospital in Pearadja 1900-1928.


Missionshaus: Barmen.

Wulanadha, A. (2014). Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending Di Yogyakarta 1901-


1942. Universitas Negeri Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai