Anda di halaman 1dari 4

A.

Kolonialisme Belanda di Indonesia


Indonesia Pasca-VOC Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799, terjadi kekosongan kekuasaan di
Nusantara. Sementara itu, Inggris mengincar Nusantara untuk dikuasai. Saat itu antara Belanda
dengan Prancis menjadi sekutu di Eropa untuk menghadapi Inggris. Jawa merupakan daerah
koloni Belanda-Perancis yang belum dikuasai Inggris. Untuk itu, Belanda-Prancis mengangkat
seorang gubernur jenderal agar Inggris tidak bisa masuk ke Jawa. Tugas berat gubernur jenderal
ini adalah menghadapi serangan Inggris secara tiba-tiba. Dengan demikian, dalam kurun waktu
1806-1811, Nusantara menjadi jajahan Prancis karena sekutu Belanda-Prancis dipimpin oleh
Prancis walaupun pejabat yang memerintah masih didominasi orang-orang Belanda. Adapun
pejabat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Herman Willem Daendels (1808-1811)
Daendels memegang dua tugas, yaitu mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan
Inggris dan memperbaiki tanah jajahan dari pengaruh korupsi. Untuk itulah kekuasaan
periode ini tidak semata-mata memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi mempertahankan
hegemoni selama mungkin. Daendels menyadari bahwa sekutu Prancis-Belanda tidak akan
mampu menandingi kekuatan armada Inggris. Untuk itu, Daendels menerapkan kebijakan
sebagai berikut.
a. Membangun jalan raya dari Anyer (ujung barat Jawa) sampai Panarukan (ujung timur
Jawa) agar tentaranya dapat bergerak dengan cepat. Selain itu juga untuk mengangkut
kopi dari pedalaman Priangan ke Pelabuhan Cirebon. Dalam pembangunan itu, Daendels
menerapkan kebijakan menghidupkan lagi kerja wajib (verplichte diensten) serta
kebijakan wajib penyerahan hasil bumi (verplichte leverantie).
b. Membangun benteng pertahanan, contohnya Benteng Lodewijk di Surabaya.
c. Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.
d. Mendirikan pabrik senjata di Surabaya.

Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti feodalis. Dia memang
pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan paham republikanisme, kebebasan,
kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal tampak pada sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja
Yogyakarta, yakni:

a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.


b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.
c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan sama seperti
seorang bupati dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat
kepada Raja
d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari kereta, tetapi cukup
membuka jendela.

Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II membangkang dan


akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu menurunkan Sultan Hamengkubuwono II dan
menggantikannya dengan Sultan Hamengkubuwono III yang masih kecil. Sikap yang kedua
ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan Raja Banten karena menentang
pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Karena otoriter, Daendels dipanggil ke Belanda. Ada
dua versi sebab Daendels dipanggil, yakni tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara
Prancis menghadapi Rusia atau hubungannya yang buruk dengan raja-raja Jawa
dikhawatirkan merugikan Belanda jika Inggris menyerbu Jawa.

2. Jan Willem Janssen (1811-1811)


Pada masa Janssen menjabat (20 Februari sampai 18 September 1811), Inggris menyerbu
Jawa melalui darat dan laut sehingga Janssen menyerah di Tuntang (Jawa Tengah) dengan
membuat perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut.
a. Pulau Jawa dan sekitarnya jatuh ke tangan Inggris.
b. Tentara yang dahulu anak buah Daendels menjadi tentara Inggris.
c. Orang-orang Belanda dapat dipekerjakan oleh Inggris. Dengan penjanjian Tuntang ini,
berarti Nusantara jatuh ke tangan pemerintahan Inggris.

B. Konflik Inggris Dengan Belanda Memperebutkan Pulau Jawa


Pada bulan Mei 1811 Daendels dipanggil Kaisar Napoleon untuk kembali ke Belanda.
Kedatangan gubernur jenderal yang baru pengganti Daendels membawa angin segar bagi raja-raja
Jawa. Karakter gubernur jenderal yang baru ini berbanding terbalik dengan Daendels sehingga
cepat mendapatkan simpati di lingkungan yang dipimpinnya. Jan Willem Janssens memang
mempunyai karakter yang jujur, kebapakan, dan sabar. Janssens memerintah sejak tanggal 6 Mei
1811 dan tidak lagi memusatkan perhatian kepada raja-raja Jawa tetapi pada mempersiapkan
strategi dan infrastruktur pertahanan Jawa dalam rangka menghadapi invansi pasukan Inggris
yang sudah semakin dekat. Karena hubungan yang baik dengan raja-raja Jawa Janssens meminta
bantuan militer kepada raja-raja Jawa, termasuk juga Kesultanan Yogyakarta. Selain bantuan
militer Janssens tidak meminta bantuan dalam bentuk apa pun. Sikap Janssens ini dipertahankan
sampai ia menandatangani Kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811 dan menyerahkan
wilayah koloni Jawa kepada Inggris. Untuk menghadapi Belanda di Jawa, Inggris sudah bersiap
di Malaka dengan kekuatan 12.000 serdadu terlatih yang didatangkan langsung dari resimen-
resimen garis depan, batalion-batalion Sepoy Benggala dan pasukan artileri berkuda dari Madras.
Inggris di bawah komando Raffles berkirim surat kepada raja-raja Jawa yang isinya Inggris siap
membantu mereka untuk mengakhiri segala sesuatu yang berkaitan antara raja-raja Jawa dengan
rezim Perancis-Belanda. Bukan itu saja, Raffles juga berkirim surat kepada Sultan Sepuh dan
berjanji akan memulihkan martabatnya dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja. Para raja
Jawa itu juga diminta membatalkan atau tidak membuat perjanjian apa pun dengan rezim Belanda
dan menunggu saja kedatangan Inggris. Dengan janji Raffles itu seakan-akan Inggris berbeda
dengan Belanda yang kejam dan serakah. Dengan adanya surat itu pupus sudah harapan Rezim
Belanda di bawah kekuasaan Janssens untuk meminta bantuan raja-raja Jawa, walaupun hanya
berupa tentara untuk melawan Inggris.
Untuk menghadapi tentara Inggris, rezim Belanda menyiapkan 17.774 tentara warisan Daendels.
Tentara sejumlah itu merupakan jerih payah Daendels untuk mengorganisasi pertahanan militer
yang semula hanya berjumlah 7.000 tentara. Pada 3 Agustus 1811 tentara Inggris yang dipimpin
oleh Kolonel (kelak Mayor Jenderal Sir) Samuel Gibbs melakukan pendaratan besar-besaran.
Sejumlah kapal dikerahkan untuk menggempur rezim Belanda di Jawa. Ada 81 kapal baik kapal
angkut maupun kapal perang mendarat di pantai Batavia, di Cilincing, dan pada 8 Agustus 1811
Kota Tua (Batavia) berhasil direbut Raffles. Janssens berusaha mempertahankan kekuasaannya
bersama dengan tentaranya di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), akan tetapi gelombang
tentara Inggris yang dahsyat tidak dapat dibendung Janssens. Dalam pertempuran itu, tentara
Belanda dibuat berantakan sehingga 50 persen serdadu Eropa dan Ambon tewas. Tentara bantuan
dari Jawa dan Madura juga 80 persen tewas. Pertempuran tidak seimbang itu kelak diabadikan di
daerah sekitar Jatinegara sebagai nama daerah Rawabangke atau Rawaangke tempat di mana para
korban pertempuran mati di rawa-rawa secara bertumpuk-tumpuk. Meester Cornelis (Jatinegara)
jatuh pada 26 Agustus 1811 dan mengakibatkan 500 serdadu korban tewas di pihak Inggris.
Janssens kemudian memindahkan pusat pertahanan dan pemerintahan ke Semarang. Di sana ia
menyusun lagi kekuatan militernya. Tetapi karena ia sudah banyak kehilangan tentara di Meester
Cornelis (Jatinegara), maka gempuran Inggris yang mendaratkan pasukannya pada 12 September
1811 sebanyak 1.600 yang dikomandani Kolonel Samuel Gibbs membuat Janssens tidak berdaya.
Akhirnya, empat hari setelah pendaratan tentara Inggris di Semarang, tepatnya di Jatingaleh dekat
Srondol di daratan tinggi Semarang, Janssens dan sekutu-sekutu Jawanya (prajurit Kesunanan
dan Mangkunegaran) dapat dikalahkan dengan telak, karena sebagian besar dari tentara campuran
itu melarikan diri. Tapi Janssens tidak begitu mudah menyerah. Ia mundur ke Salatiga untuk
kembali menyusun kekuatan kembali. Ketika tentara Inggris mendarat di Semarang Pangeran
Notokusumo dan putranya disuruh Raffles pergi ke Surabaya dan berada di sana. Tentara Inggris
yang beringas itu terus merangsek ke depan menghancurkan sisasisa tentara Belanda. Akhirnya
pada 18 September 1811 di atas Jembatan Kali Tuntang Janssens dengan terpaksa
menandatangani surat pernyataan menyerah. Isi perjanjian Tuntang yaitu:
1. Jawa dan semua pangkalannya (Madura, Palembang, Makassar, dan Sunda Kecil) diserahkan
kepada Inggris.
2. Militer-militer Belanda menjadi tawanan Inggris.
3. Pegawai-pegawai sipil yang ingin bekerja, dapat bekerja terus dalam pemerintahan Inggris.

Engelhard tetap menjadi minister walaupun dia orang Belanda. Setelah Janssens menyerah,
pemerintahan Raffles mengambil kebijakan bahwa semua pejabat sipil dalam pemerintahan
Prancis-Belanda diizinkan untuk terus bekerja demi melayani pemerintahan yang baru, yakni
Inggris. Dari orang-orang inilah agaknya Raffles mendapatkan informasi bahwa Sultan Sepuh
adalah raja Jawa yang suka membangkang terhadap kekuasaan asing di Jawa. Sementara itu para
pejabat militer yang menjadi tawanan perang dan dikirim ke Benggala. Sejak saat itu, rezim
Inggris menancapkan hegemoninya di tanah Jawa di bawah komando Raffles.

C. Penjajahan Inggris di Indonesia


Indonesia pernah berada dalam jajahan Inggris. Inggris secara resmi menjajah Indonesia lewat
perjanjian Tuntang (1811) dimana perjanjian Tuntang memuat tentang kekuasaan belanda atas
Indonesia diserahkan oleh Janssens (gubernur Jenderal Hindia Belanda) kepada Inggris.
Namun sebelum perjanjian Tuntang ini, sebenarnya Inggris telah datang ke Indonesia jauh
sebelumnya. Perhatian terhadap Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F. Drake singgah di
Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya ekspedisi lainnya dikirim pada akhir abad ke-16 melalui
kongsi dagang yang diberi nama East Indies Company (EIC). EIC mengemban misi untuk
hubungan dagang dengan Indonesia.
Dalam usaha perdagangan itu, Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak
segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir orang Inggris dari Indonesia. Setelah
terjadi tragedi Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari Indonesia dan mengarahkan
perhatiannya ke daerah lainnya di Asia tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei
Darussalam sampai memperoleh kesuksesan. Inggris kembali memperoleh kekuasaan di
Indonesia melalui keberhasilannya memenangkan perjanjian Tuntang pada tahun 1811. Selama
lima tahun (1811 – 1816), Inggris memegang kendali pemerintahan dan kekuasaanya di
Indonesia.
Raffles ialah seorang liberalis, ia juga seorang terpelajar yang berusaha memajukan ilmu
pengetahuan bagi masa depan. Dia tertarik pada sejarah, kebudayaan dan seni. Hasil
penyelidikannya dikumpulkan dalam buku History of Java pada tahun 1817. Ia juga
menghidupkan kembali perkumpulan para ahli ilmu pengetahuan, ( Bataviaasch Genootschap ).
Ia juga membangun penelitian kebun pertanian ( sekarang Kebun Raya di Bogor ). Ia juga
menemukaan bunga bangkai yang diberi nama Rafflesia arnoldii yang berada di Kebun Raya
Bogor tersebut.
Raffles berkuasa dalam waktu yang cukup singkat. Sebab sejak tahun 1816 kerajaan Belanda
kembali berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1813, terjadi prang Lipzig antar Inggris melawan
Prancis. Perang itu dimenangkan oleh Inggris dan kekaisaran Napoleon di Prancis jatuh pada
tahun 1814. Kekalahan Prancis itu membawa dampak pada pemerintahan di negeri Belanda yaitu
dengan berakhirnya pemerintahan Louis Napoleon di negeri Belanda. Pada tahun itu juga terjadi
perundingan perdamaian antara Inggris dan Belanda.
Perundingan itu menghasilkan Konvensi London atau Perjanjian London (1814), yang isinya
antara lain menyepakati bahwa semua daerah di Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus
dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda, kecuali daerah Bangka, Belitung dan Bengkulu
yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin. Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua
negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816. Dengan demikian mulai tahun 1816, Pemerintah
Hindia-Belanda dapat kembali berkuasa di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai