SEJARAH
PEMERINTAHAN REPUBLIK BATAAF DI
NUSANTARA
OLEH:
SAEEDA HAYATUNNUFUS FADHILA
XI MIPA OLIMPIADE 1
SMA NEGERI 4 KENDARI
2020
A. PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN REPUBLIK BATAAF
DI NUSANTARA
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan
dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte
(kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).
Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot
menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795
pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai
Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik
Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari
Napoleon Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh pemerintah Inggris ditempatkan di
Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat
Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan
wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis.
Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa
daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun
1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk
segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena
Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf
untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Perancis.
Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu,
untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang
kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman
Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
Daendels adalah kaum patriot dan liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran
Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan
di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik
feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan
negeri induk (Republik Bataaf).
Pada Bulan Mei tahun 1811, Daendels dipanggil oleh Louis Napoleon untuk kembali ke
negara Belanda. Sepeninggal Daendels sebagai Gubernur Jendral, ia digantikan oleh Jan Willem
Janssens yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Jendral di Tanjung Harapan (Afrika
Selatan) pada tahun 1802 - 1806. Pada tahun 1806, Janssens terusir dari Tanjung Harapan karena
Tanjung Harapan jatuh ke tangan Inggris.
Padatahun 1810, Janssens ditunjuk menggantikan Daendels untuk memimpin Jawa dan resmi
menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda pada tahun 1811. Janssens berusaha memperbaiki
keadaan di Hindia Belanda, namun Inggris sebagai musuh dari Belanda pada saat itu telah
menguasai beberapa wilayah di Nusantara. Disisi lain, Lord Minto memerintahkan Thomas
Stamford Raffles (pemimpin serangan Inggris) untuk menguasai pulau Jawa. Raffles pun
menyiapkan serangan dan pergi ke Jawa. Pengalaman pahitpun dirasakan Janssens untuk kedua
kalinya karena dalam perkembangannya ia terusir dari tanah jajahannya.
Pada tanggal 4 Agustus 1811, sebanyak 60 kapal Inggris sudah berada di Batavia. Kemudian
pada 26 Agustus 1811, Batavia mampu dikuasai Inggris dibawah kepemimpinan Raffles.
Janssens kemudian lari ke Semarang dan bergabung dengan Legiun Mangkunegara serta prajurit
Yogyakarta dan Surakarta. Pasukan Inggris masih mengejarnya hingga berhasil dipukul mundur.
Janssens kemudian lari ke daerah Salatiga tepatnya di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi
ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811.
Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris serta
memperkuat pertahanan dan juga memperbaiki administrasi pemerintahan juga kehidupan sosial
ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
5) Bidang Sosial :
Rakyat dipaksa untuk melakukan kerja rodi untuk membangun jalan Anyer - Panarukan.
Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan atau sultan.
Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.
Daendels terlalu bersifat diktator, bahkan keadaan darurat militer tidak mengizinkan campur
tangan sewenang-wenang dalam urusan peradilan seperti yang dilakukan Daendels. Dia
seenaknya mengabaikan perjanjian dagang yang disepakati wakil Hindia Timur di Amerika
Serikat.
Dia sangat mencela koloni-koloni di Belanda dan melakukan hal-hal yang dia larang terhadap
bawahannya. Walaupun dia menikmati gaji 130.000 gulden, belum ditambah tunjangan lain, dia
berkeluh kesah bahwa dia dibayar sangat kecil. Sikapnya ini yang membuat jengkel orang
Belanda maupun Jawa. Sebagaimana dia tidak menghargai perasaan para raja Jawa, Daendels
juga tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang ada dengan mereka.
Tapi tujuan utama misi Daendels sebetulnya berbeda. Dalam instruksi Raja Louis 9 Februari
1807 bahwa reorganisasi tentara adalah kewajibannya yang pertama. Hal-hal lain yang khusus
diperintahkan kepadanya adalah penyelidikan kemungkinan penghapusan tanam paksa dan
penyerahan paksa kopi, perbaikan kondisi kehidupan penduduk asli terutama budak-budak, dan
perbaikan kondisi saniter di Batavia, atau pemindahan ibukota yang lebih sehat di Jawa.
Daendels, peniru setia Revolusi Prancis dan Napoleon, mengabaikan itu. Dia menghapuskan
pembatasan antara hak pemilik tanah dengan hamba sahaya. Gubernur Jenderal yang diktator
demikian berusaha menjungkirkan seluruh ekonomi Jawa, tidak lupa bahwa alasan utama
kehadiranya di Jawa adalah keadaan parah pertahanan koloni itu.
Daendels dengan sangat giat berusaha menyediakan segala sesuatu, membangun pabrik mesiu
dan senapan dan benteng dan meriam pantai, satu jalan raya dibangun dari barat Banten sampai
Pasuruan timur dalam waktu satu tahun dengan mengorbankan nyawa dalam jumlah besar.
Daendels tahu bahwa Batavia tidak akan pernah bisa dipakai sebagai pusat utama pertahanan
Jawa dengan tembok tuanya yang dapat dihancurkan dari laut, iklimnya bisa membunuh serdadu
garnisun bahkan sebelum musuh menyentuh pantai. Dia sendiri berpikir akan memindahkan
ibukota ke Surabaya.
Akhirnya dia mundur karena berbagai kesulitan di Batavia dan memutuskan memindahkan
perumahan kota beberapap kilometer ke pedalaman. Invasi Britania akan segera datang, karena
langkah-langlkah Daendels membangun pertahanan justru memaksa Britania menghancurkan
benteng Belanda-Prancis itu sebelum tersusun rapi. Tapi Daendels tidak diizinkan melaksanakan
pertahanan itu. Pada 1810, Napoleon Bonaparte menurunkan saudaranya, Louis Bonaparte, dan
memasukkan Belanda ke dalam Imperium Prancis. Daendels menyebarkan bendera Prancis di
Batavia.