PAKSA
B.
D. T C.
T U T
U J U
J U J
U A U
A N A
N P N
P E P
M
KELOMPOK 3:
- DAFFA YUTICIA ISLAM
- DEAL LARISKI MARDILLA XI MIA 5
- HILDA ADJI RAMADHANI
- MARIA PERMATASARI SINAGA
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Yang menjadi latar belakang munculnya sistem tanam paksa adalah System pajak tanah yang
dilakukan oleh Raffles yang kemudian diteruskan oleh Komisaris Jendral van der Capellen dan
Du Bus de Gisignies telah mengalami kegagalan, kegagalan yang dimaksud dalam hal ini adalah
kegagalan dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman perdagangan
untuk ekspor. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat jendral baru untuk Indonesia dengan
alasan untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor pada tahun 1830, peningkatan tanaman
ekspor dirasa sangat perlu oleh pemerintah Belanda karena untuk menopang keadaan ekonomi
Karena Belanda merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali mencari pemecahan masalah di
wilayah-wilayah koloni, akhirnya menghasilkan gagasan system Tanam Paksa yang diintroduksi
oleh gubernur van den Bosch.sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh van den Bosch disebut
juga Cultuurstelsel.
Tujuan Sistem Tanam Paksa
untuk mengisi khas pemerintah Belanda yang sedang mengalami defisit / atau bisa
disebut kurang / kosong. Penyebabnya adalah karena rugi besar dalam peperangan yakni
perang Padri dan Perang Diponegoro. Sistem tanam paksa adalah sebuah kebijakan
yang dipelopori langsung oleh pemerintah Belanda, artinya pemerintah ikut campur
Mengeksploitasi rakyat pribumi baik dari segi tenaga, pikiran, dan waktu, serta
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur
Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan
menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa. Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in
natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam
1.Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami
tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu
2.Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3.Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari
5.Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya
tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam
6.Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
7.Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai
rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan
sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Salah satu tanaman yang di
tanam pada saat tanam paksa adalah kopi. Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—
perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau
Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah
kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda
menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang.
Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan
Flores.
- Penanaman kopi
Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir
memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis Kopi yang lebih kuat terhadap
serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada
saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis
Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut.
Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat
ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi
Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya, perkebunan
kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi
menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada
umumnya.
Penanaman kopi yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahyangan sistem
tanam paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke 18, dan yang ditanam disana bukanlah tebu,
nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi perimadona dunia
Sistem tanam paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang
ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah kolonial ke
Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya sistem
mempergunakan pekerja-pekerja wajib namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya
ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi
ingin menambah hasil produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun
diwajibkan untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk
yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam
pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar
Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para Menak dan Sentana, yaitu
Akibat dikerahkannya bangsawan lokal tersebut beban petani sunda pun semakin berat,
dikarenakan selain harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani
pun harus menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan
semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi ini
penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan lahan penanaman kopi
bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi
masa tanam padi namun melibihi sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang
seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian
Di tambah pula pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau
kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat
hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk semakin terjepit
Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahyangan
dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para
petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari
para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang
dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacan
perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu
Dalam bukunya Profesor Jan Breman tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para
petani Sunda, dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan bukan
Parahyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak petani yang
yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana kelaparan akibat berkurangnya
lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan tanaman kopi, timbulnya harga-harga
yang melambung, lalu timbulnya bencana kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit
serta kematian yang timbul akibat kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya
perlawan dari para petani Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan
perlawanan-perlawan serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun
1850 budi daya kopi dari Parahyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia.
Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung
mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam
Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan
1. Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara
2. Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan
3. Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen,
membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
berkepanjangan.
5. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian
meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon
(1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan
jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa
turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa.
Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem)
sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga
banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun
Banyak sekali Penyimpangan yang ditimbulkan dalam tanam paksa yang memberatkan rakyat.
Contoh penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa ini yaitu sebagai
berikut:
1. Tanah yang digunakan untuk tanam paksa dalam praktiknya melebihi dari seperlima,
sampai ada yang setengahnya.
2. Tanah yang ditanami ditentukan oleh pemerintah ternyata masih dikenai pajak.
3. Tanah yang dipilih umumnya tanah yang subur, sedangkan yang tidak subur untuk
digunakan rakyat.
4. Lamanya bekerja melebihi waktu yang targetkan, sehingga waktu kerja yang diperlukan
rakyat untuk nafkahi keluarga semakin berkurang
5. Panen yang gagal, walaupun bukan karena kesalahan rakyat, pada praktik yang
sebenarnya mejadi tanggungan rakyat.
6. Adanya sebuah sistem cultuurprocenten(hadiah) kepada pemerintah setempat
pengawas bupati dan kepala desa yang berhasil atau melampaui target produksi yang
dibebankan kepada tiap desa. Hal ini sangat
a. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa
c. Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada
tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta
gulden.
f. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang
Indonesia.
Dampak tanam paksa bagi bangsa Indonesia sendiri sangat merugikan bangsa ,antara lain :
· Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
· Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
a. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya
homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
penduduknya.
c. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam
2. Bidang Ekonomi
a. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan
b. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah
perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa
bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi
4. Penyakit
Penyakit tampaknya juga berhubungan dengan tempat tinggal dan makanan serta
minuman atau kebiasan-kebiasaan lain dalam kehidupan sosial budaya orang-orang desa. Di
kabupaten Demak, Grobogan, dan Semarang kelaparan menyebabkan banyak kematian.
Selama panen gagal dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah ini yang menikmati
makan hanya sekali sehari ditambah dengan makanan tambahan kecl seperti jagung, singkong,
ubi. Oleh karena itu kegagalan panen dan kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit.
Pengabaian terhadap masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang
penyakit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan juga mempengaruhi
penyakit, khususnya perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi, pembukaan sawah-sawah baru, dan
perbaikan komunikasi dan transportasi.
Menghadapi situasi yang demikian, tidak ada pemecahan atas permasalahan yang timbul ini,
selain dengan cara-cara tradisional dan keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini
dua penyebab utama timbulnya penyakit yakni fisikal dan spiritual. Yang pertama menyangkut
penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata seperti sakit perut, luka dsb. Penyakit ini biasanya
diobati dengan ramuan obat lokal yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman rumah
orang desa. Sedang yang kedua, disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti ilmu hitam.
Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan.
Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya berorientasi kepada
orang Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan kesehatan lebih ditujukan untuk
melindungi kesehatan orang-orang Eropa, baik sipil maupun militer daripada untuk penduduk
pribumi. Fasilitas-fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat
administratif Belanda seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Penduduk di luar kota berada di
luar kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan untuk pribumi pun sangat terbatas, karena
halangan warna kulit dan biaya.
Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga kerja rakyat secara
besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, pengangkutan dan
pengolahan di pusat-pusat pengelolaan atau pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan
itu dilakukan dengan menggunakan ikatan organisasi desa. Oleh karena itu, sistem tanam paksa
menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris pedesaan Jawa. Dalam
prakteknya, semua kerja yang dibutuhkan dilakukan dengan sistem kerja paksa (Sartono K dan
Djoko Suryo, 1991: 67).
Yang menarik, selain dari Indonesia, datang pula Protes dari Belanda. terhadap pelaksanaan
Tanam Paksa di Indonesia bersifat sporadis. Pada tahun 1833, terjadi huru-hara di perkebunan
tebu di daerah Pasuruan. Reaksi semacam ini kerap timbul juga di daerah perkebunan lainnya.
Misalnya, pada tahun 1846, terjadi pembakaran kebun tembakau seluas 7 hektar di Jawa
Tengah.
Reaksi yang muncul di Negeri Belanda datang dari kaum humanis dan kaum kapitalis. Kaum
humanis adalah orang-orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan. Dua
orang tokoh dari kaum humanis adalah Douwes Dekker dan Baron Van Hoevel. Protes keras
Douwes Dekker diungkapkan melalui buku karangannya, Max Havelaar. Sebagai pengarang, ia
menggunakan nama samaran Multatuli. Tulisannya itu lahir dari pengalamannya sebagai
pengawas perkebunan lalu sebagai Asisten Residen Lebak. Salah satu drama dalam bukunya itu,
yakni Saijah dan Adinda, secara terang-terangan mengulas penyimpangan Tanam Paksa dan
penindasan rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat.
Van Hoevel pernah mengabdikan diri sebagai pendeta di Indonesia. Sekembalinya ke Negeri
Belanda, ia menjadi anggota Staten Generaal (Parlemen Belanda).Dalam dewan perwakilan itu,
ia menggalang kelompok yang memperjuangkan nasib rakyat di tanah jajahan. Bagi kelompok
ini, Tanam Paksa tidak layak diberlakukan, karena jelas-jelas menguras sumber daya di tanah
jajahan secara tidak adil. Mereka lalu menuntut pemerintah pusat dan gubernur jenderal untuk
Kaum kapitalis adalah orang orang yang mementingkan lalu lintas modal dan kebebasan pribadi
Kaum ini menyuarakan pendapatnya di Parlemen Belanda. Menurut kaum ini, Sistem Tanam
Paksa tidak menyehatkan kehidupan ekonomi karena menutup kemungkinan bagi penanaman
modal asing. Adanya investasi akan merangsang persaingan, sehingga pertumbuhan ekonomi
pun dapat terus meningkat. Maka dari itu, kaum kapitalis menuntut parlemen untuk
Gelombang reaksi dari kaum humanis dan kapitalis memang menggemparkan. Apalagi ketika
itu, liberalisme sedang melanda Eropa. Di kemudian hari, perjuangan kedua kelompok ini
merintis lahirnya Politik Etis dan Undang-undang Agraria, yang berpengaruh besar bagi
merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka
menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari
mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari
pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai
oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang
Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat
sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max
Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut,
ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain
itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard
Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan.
Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem
tanam paksa.Merupakan seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam
perjalanannya di Bali, Madura dan Jawa, ia banyak melihat kesengsaraan rakyat akibat adanya
Cultuurstelsel. Setelah pulang ke Belanda dan terpilih menjadi anggota parlemen Ia sering
melakukan protes terhadap pelaksanaan tanam paksa, ia gigih dalam berjuang menuntut
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam
paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang
didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.
Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh,
kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari
perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai
tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa.
· Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
· Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan
Akibat adanya protes tersebut, pemerintah Belanda secara bertahap menghapuskan Tanam
Paksa. Pada tahun 1865 Kayu Manis, Teh dan Nila dihapuskan, Pada tahun 1866 tembakau,
kemudian tebu pada tahun 1884. Sedangkan Kopi merupakan Tanaman yang paling akhir
dihapus, yaitu pada tahun 1917 karena Kopi paling banyak memberi keuntungan.
Aturan dan ISi Tanam Paksa – Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dilaksanakan oleh
Gubernur Jenderal Van den Bosch pada dasarnya adalah gabungan dari sistem pajak tanah
(Raffles) dan sistem tanam wajib (VOC). berikut Isi Tanam Paksa :
Dan setiap rakyat Indonesia yang punya tanah diminta menyediakan tanah pertanian
yang digunakan untuk cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang luasnya tidak lebi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis-jenis tanaman yang laku di pasar
ekspor.
Durasi atau waktu untuk menanam Sistem Tanam Paksa tidak boleh lebih dari waktu
tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
Semua tanah yang disediakan terhindar (bebas) dari pajak, karena hasil tanamannya
dianggap sebagai pembayaran pajak.
Rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian bisa menggantinya dengan
bekerja di perkebunan, pengangkutan atau di pabrik-pabrik milik pemerintah kolonial
selama seperlima tahun atau 66 hari.
Hasil tanaman harus diberikan kepada pemerintah Koloni. Dan apabila harganya
melebihi kewajiban pembayaran pajak maka kelebihannya harga akan dikembalikan
kepada petani.
Suatu penyerahan teknik pelaksanaan aturan Sistem Tanam Paksa kepada kepala desa
Suatu kegagalan atau Kerusakan sebagai akibat gagal panen yang bukan karena
kesalahan dari petani seperti karena terserang hama atau bencana alam, akan di
tanggung pemerintah Kolonial.
Sistem cultuurstelsel yang dicetuskan oleh Van Den Bosch diciptakan untuk berusaha menutupi
kekosongan kas negeri Belanda dari utang-utang pasca perang dengan mewajibkan kepada
pribumi jajahannya menanam tanaman-tanaman dagangan ekspor yang laris ke pasar dunia.
Hal ini ia dapatkan dari pengalaman VOC terhadap penarapan Preangerstelsel di Pasundan abad
ke-17 dan kebijakan sewa tanah atau land-rent oleh Raffles tahun 1814. Penerapan ini
dilakukan secara bertahap. Awalnya, ia mewajibkan penyerahan 1/5 hasil dari luas tanahnya
dengan jenis tanaman komoditas ekspor -khusunya kopi, tebu, dan nila- dengan harga yang
ditentukan, dan kemudian pribumi juga mewajibkan bayar sewa tanah hasil dari hasil jual.
Gagal panen akan ditanggung oleh pemerintah, dan wajib tanam paksa ini dapat diganti oleh
pencurhan tenaga untuk tenaga dan pekerjaan di pabrik-pabrik. Terkecuali untuk Karesidenan
Pasundan yang hanya mewajibkan komoditas kopi dan dibebaskan dari sewa tanah, karena
hasil keuntungan dari hasil ini bisa terlihat sejak VOC menerapkan sistem ini yang kemudian
menjadi komoditas khas Priangan untuk pasar dunia.2) Di tahun 1831, Van Den Bosch
mewajibkan tiga komoditas utama yaitu kopi, gula, dan nila. Pelaksanaan ini baru diresmikan
secara khusus dalam Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa dalam Stadsblad
sebagian tanah mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat di jual di pasar Eropa.
Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi 1/5
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan
Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
disediakan wajib diserahkan kepada pemerintahan Hindia Belanda jika hasil-hasil tanaman
dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya
harus diserahkan kepada rakyat.
Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya
jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak
tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada
waktunya.