Anda di halaman 1dari 18

DOMINASI PEMERINTAHAN

KOLONIAL BELANDA

Jalan Tengah Tanam paksa

Sistem usaha Perkembangan


swasta Agama kristen
Tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda
setelah sebelumnya dikuasai oleh Inggris. Tanah Hindia diperintah oleh
badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini
dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni:
Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota),
dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Dengan
tugas utama menormalisasikan keadaan di Hindia Belanda.

Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif


terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan
keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal
berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan
keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi
kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat
pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila
langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat
Jalan Tengah Bersama Komisaris
Jenderal
Pemerintahan kolonial belanda dimulai pada tahun 1816 yang dipimpin oleh raffles di hindia.
john fendall ditunjuk oleh pemerintahan inggris untuk menggantikan raffles, tetapi pada tahun
1814 diadakan konvensi london yang isinya inggris harus mengembalikan tanah jajahan di hindia
kepada belanda. maka dari itu kepulauan nusantara dikuasai oleh belanda. setelah kembali ke
tangan belanda, hindia diperintaholeh badan baru yang bernama komisaris jenderal yang dibentuk
olehpangeran williem VI yang terdiri dari tiga orang yakniCornelis Theodorus, Elout (ketua) , Arnold
Ardiaan Buyskes (anggota)dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota).
Pangeranwilliem VI mengeluarkan UUP untuk negeri jajahan (Regerings Reglement)
padatahun 1815.yang salah satu isinya menegaskan bahwa pelaksanaan pertaniandilakukan secara
bebas. berbekal UU ketiga orang itu berangkat ke hindia belanda.dan sepakat untuk mengadopsi
kebijakan yang diterapakan oleh raffles.27 april 1816 mereka tiba di batavia namun ketiga komisaris
jenderal bimbang untukmenerapkan prinsip liberalisme di nusantara. sebab hindia terus merosot
dan mengalamikerugian, kas negara menipis. perdebatan kaum liberal dan kaum konservatif
mendatangkankeuntungan besar apabila diserahkan kepada swasta dan rakyat diberi kebebasan
menanam. sedangkan kelompok konservatif dapat menghasilkan keuntungan besar apabila
ditanganipemerintah dengan pengawasan yang ketat. akhirnya komisaris jenderal sepakat untuk
menerapkan kebijakan jalan tengah.
Kebijakan jalan tengah adalah kebijakan yang merupakan jalan tengah yang diambil
diantara pertentangan kaum liberal dan kaum konservatif dalam mengelola tanah jajahan di
Indonesia. Ketiga Komisaris sepakat menerapkan kebijakan jalan tengah yaitu eksploitasi
kekayaan ditanah jajahan langsung ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda.
Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah
memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah
Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.

Tetapi pada tanggal 22 desember 1819 pemerintahan memberlakukan UU yang


menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah gubernur jenderal. strategi itu
dilanjutkan tetapi kebijakan Van der Capellen berkembang ke arah sewa tanah dengan
penghapusan peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). kemudian Van
der Capellen menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat yang kemudian timbul
terjadinya perlawanan. akhirnya ia digantikan oleh Du Bus Gisignies yang mempunyai strategi
membangun modal dan meningkatkan ekspor tetapi tidak berhasil karena rakyat miskin. tentu
ini merugikan pemerintahan belanda. kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas negara di
negeri induk pun kosong yang disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiyaan perang di
tanah jajahan.
Sistem Tanam Paksa

Latar Belakang

Pelaksanaan

Ketentuan
Latar Belakang
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem
ekonomi. Akhirnya pada tahun 1892 seorang tokoh bernama Van Den Bosh
mengajukan kepada raja Belanda. Ia berpendapat bahwa untuk memperbaiki
ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman dapat laku di pasaran.
Maka penanaman dilakukan dengan paksa. Mereka menggunakan konsep daerah
jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk. Seperti yang
dikatakan Baud, Jawa adalah "Gabus tempat Netherland mengapung" dengan kata lain
Jawa di pandang sebagai sapi perahan.

Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal Cultuurtelsel (Tanam Paksa). Dalam
salah satu tulisan Van Den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa demgan tanam
Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15-f.20 juta
setiap tahun. Van Den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti itu yang pernah
dilakukan VOC adalah cara terbaik untuk memperoleh tanamam ekspor untuk pasaran
Eropa yang akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
Ketentuan
Raja Willem setuju dengan usulan Van Den Bosch. Tahun 1830 Van Den Bosch diangkat
sebagai gubernur jendral baru di Jawa. Van Den Bosch segera mencanangkan sistem dan
program tanam paksa. Jenis tanaman itu adalah kopi, tembakau, tebu, dan nila. Rakyat
kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang sesuai dengan hasil tanaman
yang di tanam petani. Ketentuan Tanam Paksa tersebut termuat pada Lembara Negara
(Staatsbland). Tahun 1834 No. 22, antara lain sebagai berikut :
- Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
- Tanah pertanian uang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak
boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Tanah yanh disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
- Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman di taksir melebihi
pajal tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan
kepada rakyat.
Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh keslahan rakyat petani, menjadi
tanggungan dari pemerintah.
- Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa
berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-
pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-
pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.

Ketentuan Tanam Paksa itu masih mempertahankan martabat dan nilai-nilai


kemanusiaan.
Pelaksanaan
PELAKSANAAN TANAM PAKSA
Menurut Van Den Bosch sistem Tanam Paksa harus menggunakan
organisasi desa. Diperlukan faktor penggerak yaitu Lembaga
Organisasi dan Tradisi Desa yang dipimpin oleh kepala desa.Tanam
paksa telah membawa penderitaan rakyat karena peraturan yang
tidak sesuai. Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan timbul
bahaya kelaparan dan kematian seperti di Cirebon (1843-1844).
Sistem Tanam Paksa membuat Belanda mendapat keuntungan dan
kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831-1877
perbendaharaan Belanda mencapai 832 juta Gulden., utang lama
VOC dapat dilunasi, Kubu dan Benteng pertahanan di bangun.
Belanda menikmati keuntungan atas penderitaan rakyat.
3. Sistem Usaha Swasta

Sistem Politik Ekonomi Liberal Belanda di IndonesiaSetelah kaum liberal di Belanda mendapatkan
kemenangan politikdi Parlemen (Staten Generaal).Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam
urusan tanah jajahan.Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya
perubahan danpembaruan.Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi,
sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan
ekonomi.Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan
membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.Kaum liberal
menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh
terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker
dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula)
tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam
Paksa.Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum.Oleh karena itu, secara
berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkansistem politik ekonomi
liberal.Hal ini juga didorong olehisi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani
tahun 1871. Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan
untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta kepada
Belanda agar menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk Inggris dapat
menananamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.
Sistem Politik Ekonomi Liberal Belanda di IndonesiaSetelah kaum liberal di Belanda mendapatkan
kemenangan politikdi Parlemen (Staten Generaal).Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam
urusan tanah jajahan.Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya
perubahan danpembaruan.Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi,
sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan
ekonomi.Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan
membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.Kaum liberal
menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh
terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker
dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula)
tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam
Paksa.Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum.Oleh karena itu, secara
berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkansistem politik ekonomi
liberal.Hal ini juga didorong olehisi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani
tahun 1871. Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan
untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta kepada
Belanda agar menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk Inggris dapat
menananamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang.Beberapa jenis
tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi,
teh, kina, kelapa sawit, dan karet.Hasil barang tambang juga
meningkat.Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan
permintaan dari pasaran dunia yang semakin meningkat.Bagi rakyat
Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa
penderitaan.Pertanianrakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa
masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan
kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping
melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara
hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun.Kerajinan-kerajinan
rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang
lebihmaju.Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin
terpinggirkan.Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
4. Perkembangan Agama Kristen

Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dikelompokan


menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan.Penyebaran agama
Kristen melalui aktivitas pelayaran dan perdagangan.Kenyataannya agama
Kristen berkembang diberbagai daerah.Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur
seperti Papua, Minahasa, Timor, NTT, juga Tapanui di Sumatra, agama Kristen
menjadi mayoritas.
Proses masuknya agama Kristen di Indonesia terdapat dua gelombang. Pertama
bahwa agama Kristen masuk di Indonesiasudah sejak zaman kuno.Pada tahun
650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya)
dan sekitarnya.Pada abad ke-9 Kedah berkembang menjadi pelabuhan dagang
yang sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus-
Nias-melalui selat Sunda-Laut Jawa-dan ke Cina.Jalur inilah yang menjadi
penyebaran agama Kristen dari India ke Nuasantara. Pada periode ini agama
Kristen masuk dengan cara damai melalui kegiatan pelayaran dan pedagangan.
Kedua, penyebaran agama Kristen menjadi lebih intensif seiring dengan datangnya
bangsa-bangsa Barat ke Indonesia pada abad ke-16.Kedatangan mereka
mempercepat peyebaran agama Kristen di Indonesia.Bangsa Portugis menyebarkan
agama Kristen Katolik (Katolik), dan Belanda menyebarkan agama Kristen Protestan
(Kristen).Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan
eksploitasi ke Kepulauan Maluku untuk memburu rempah-rempah.Pada tahun
1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di pulau Ambon) Kepulauan
Maluku.Waktu itu perdagangan di Kepulauan Maluku ramai.Melalui kegiatan
perdagangan ini pula Islam berkembang di Maluku.Kemudian Portugis datang
menyebarkan agama Katolik.Para penyiar agama Katolik diawali oleh para
pastor.Partor yang terkenal waktu itu adalah Pastor Fransiscur Xaverius SJ dari ordo
Yesuit.Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang Pantai Leitimor, Kepulauan
Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan kepulauan Morotai. Kemudian
dilanjutkan pastor-pastor yang lain. Kemudian di NTT seperti Flores, Solor, dan
Timor agama Katolik berkembang tidak terputus sampai sekarang.
Berikutnya juga berkembang agama Kristen di Kepulauan Maluku
terutama setelah VOC menguasai Ambon.Pada waktu itu pada zendeling
aktif menyebarkan agama Kristen dengan semangat piesme, yaitu
menekankan pertobatan orang-orang Kristen.Penyebaran agama Kriten
semakin intensif saat Raffles berkuasa.Agama Katolik dan Kristen
berkembang pesat di Indonesia bagian timur.Agama Katolik juga
berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di tempat itu pada
abad ke-16. Penyebaran agama Katolik diMinahasa dipimpin oleh pastor
Diogo de Magelhaens dan Pedro de Mascarenhas pada tahun 1563.
Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah
Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah
Batak di Sumatra.Singkatnya agama Katolik dan Kristen dapat berkembang
di baerbagai tempat di Indonesia, termasuk Batavia dan Jawa.
Buku-buku Douwes dekker
1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))
1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)
1860 - Indrukken van den dag
1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
1860 - Max Havelaar aan Multatuli
1861 - Het gebed van den onwetende
1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
1861 - Minnebrieven
1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indi en de tegenwoordige koloniale agitatie (brochure)
1862 - Brief aan Quintillianus
1862 - Iden I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)
1862 - Japansche gesprekken
1863 - De school des levens
1864-1865 - Iden II
1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)
1865 - De zegen Gods door Waterloo
1865 - Franse rymen
1865 - Herdrukken
1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)
1866-1869 - Mainzer Beobachter
1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
1869-1870 - Causerien
1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
1870-1871 - Iden III
1870-1873 - Millioenen-studin
1870 - Divagatin over zeker soort van Liberalismus
1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indi
1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)
1872 - Brief aan den koning
1872 - Iden IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)
1873 - Iden V
1873 - Iden VI
1874-1877 - Iden VII
1887 - Onafgewerkte blaadjes
1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)
1897 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor Willem
Frederik Hermans)
Buku yang terkenal
Pada tahun 1859 Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia Belanda, menulis buku
dengan nama samaran "Multatuli". Buku ini berjudul "Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda". Isinya
adalah kritik tentang kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita. Mulainya adalah kisah tentang Batavus Droogstoppel,
seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang menjadi
simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya
(Sjaalman) menjenguk Droogstoppel dan memintanya menerbitkan sebuah buku.
Selanjutnya -disela oleh komentar Droogstoppel- adalah kisah tentang buku itu yang secara garis besar menceritakan
pengalaman nyata Multatuli (alias Max Havelaar) sebagai asisten residen di Hindia Belanda. (Sebagian besar adalah
pengalaman penulis Eduard Douwes Dekker sendiri sebagai pegawai pemerintah.) Asisten residen Havelaar membela
masyarakat lokal yang tertindas, orang-orang Jawa, namun para atasannya yang warganegara Belanda dan masyarakat
lokal yang mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya.
Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini, misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda. Di
antara kalimat-kalimat tentang kisah cinta yang mengharukan, tersirat tuduhan tentang eksploitasi dan kekejaman yang
menjadikan orang-orang Jawa sebagai korbannya. Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara
sungguh-sungguh langsung kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, adalah yang paling
bertanggung jawab untuk kesewenang-wenangan dan korupsi pemerintahan di Hindia Belanda.
Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik, tetapi kemudian segera menimbulkan perdebatan dan dicetak ulang
beberapa kali. Buku ini masih diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Pada
tahun 1999, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam the New York Times sebagai "Buku yang
Membunuh Kolonialisme".

Anda mungkin juga menyukai