Anda di halaman 1dari 19

PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

DOSEN PENGAMPU :
DJOKO WAHYUDI, SE, MM, AK, CA

NAMA KELOMPOK :

1. NADILA NIKMATUS SHAHARA ( 18.05.34.0028 )


2. NURMALASARI SUNHADI ( 18.05.34.0029 )
3. DYAH RAHAYU WAHYUNINGRUM ( 18.05.34.0031 )

UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG


2020
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri

Wajib pajak orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri menurut Undang-Undang
Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008 adalah:

 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau


 Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 

2. Wajib Pajak Orang Pribadi Sebagai Subjek Pajak Luar Negeri

Wajib pajak orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri menurut Undang-Undang
Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008 adalah:

 Orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang tidak
tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. 
 Orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang tidak
tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. .

Apa Kewajiban Wajib Pajak Orang Pribadi?

Wajib pajak orang pribadi melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan dengan
menggunakan sistem self-assessment. 

SPT Tahunan adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak dalam suatu tahun
pajak atau bagian tahun pajak. 

Sistem self-assessment adalah pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan,


tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarkan.
Tarif Penghasilan Kena Pajak (PKP) berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2008

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Penghasilan sampai dengan Rp. 50.000.000 5%
Rp. 50.000.000 sampai Rp. 250.000.0000 15%
Rp. 250.000.000 sampai Rp. 500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%
Keterangan: tarif ini adalah total penghasilan dalam 12 bulan.

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan


neto orang pribadi atau perseorangan.

Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2008
sebagai berikut:

a. Rp. 15.840.000 untuk diri wajib pajak (pembayar pajak)


b. Rp. 1.320.000 tambahan untuk wajib pajak yang sudah menikah
c. Rp. 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.
d. Rp. 1.320.000 tambahan untuk anggota keluarga sedarah (anak kandung), anak angkat
maksimal 3 orang.

Keterangan: PTKP ini akan mengurangi jumlah pajak yang akan dibayar.

Tarif Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan PMK Nomor 101/PMK.010/2016 :

1. PTKP Tunggal / Individu


Di dasarkan pada jumlah tanggungan dan status perkawinan. untuk PTKP status
lajang, PTKP sejumlah Rp. 54.000.000/tahun.
2. PTKP Tunggal dengan Tanggungan,
Apabila karyawan memiliki tanggungan ( anak dari hasil perkawinan atau objek
tanggungan lain ) makan setiap tanggungan akan menaikkan batas PTKP sebesar Rp.
4.500.000
3. PTKP Tunggal Untuk Satu Keluarga, Untuk karyawan yg sudah berkeluarga, istri
atau suami yang menjadi wajib pajak utama memiliki wajib angka PTKP Rp
58.500.000. Apabila memiliki anak maka akan menambah jumlah PTKP Rp
4.500.000 hingga maksimal tiga anak.
PROSEN NORMA PERHITUNGAN

Wajib Pajak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung


penghasilan neto dalam satu tahun untuk penghitungan PPh Pasal 25/29 adalah hanya Wajib
Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai peredaran bruto/omzet bruto tidak lebih
dari Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan PP Nomor 46 Tahun 2013 serta PP Nomor
23 Tahun 2018.
2. Khusus mulai bulan Juli 2013 penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013.
3. Khusus mulai bulan Juli 2018 penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018. 
4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang bermaksud menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto wajib memberitahuan kepada
Direktur Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak bersangkutan.

Jenis Pekerjaan Bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan dapat menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (apabila peredaran usaha tidak
melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak) adalah sebagai berikut :
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah:
6. agen iklan:
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi; dan
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :

1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,


Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
2. ibukota propinsi lainnya;
3. daerah lainnya.

Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan
pengelompokan wilayah.
Penghasilan neto dihitung dengan cara penghasilan bruto/omzet bruto dikalikan dengan
norma penghitungan penghasilan neto.

Daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagai berikut :

 Daftar Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Tahun Pajak 2019, 2018,
2017 dan 2016, terdiri dari :

1. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk


Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menghitung Penghasilan Netonya
Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Ternyata Tidak Atau Tidak
Sepenuhnya Menyelenggarakan Pembukuan Atau Tidak Bersedia
Memperlihatkan Pembukuan Atau Pencatatan Atau Bukti-Bukti
Pendukungnya 
3. Norma Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak Badan Pasal 14
Ayat (5) 

Contoh Perhitungan dengan Norma Penghasilan Neto  Untuk Tahun Pajak 2019 :

 Tuan Adit adalah seorang dokter di Purwokerto yang membuka usaha praktek
dokter (klinik kesehatan).
 Dari pekerjaan bebas sebagai dokter tersebut tuan Adit memperoleh penghasilan
kotor (bruto) dalam bulan Januari s/d Desember adalah sebesar Rp.600.000.000,00.
 Penghasilan Neto tuan Adit dalam setahun (Januari s/d Desember 2019) dihitung
sebagai berikut :

1. Penghasilan Bruto : 600.000.000


2. Tarif Norma Penghasilan Neto :  50 %
3. Penghasilan Neto : 300.000.000  (600.000.000 x 50 %)

Contoh perhitungan dengan norma Penghasilan Neto Untuk Tahun Pajak 2015 :

 Tuan Adit adalah seorang dokter di Purwokerto yang membuka usaha praktek
dokter (klinik kesehatan).
 Dari pekerjaan bebas sebagai dokter tersebut tuan Adit memperoleh penghasilan
kotor (bruto) dalam bulan Januari s/d Desember adalah sebesar Rp.600.000.000,00.
 Penghasilan Neto tuan Adit dalam setahun (Januari s/d Desember 2015) dihitung
sebagai berikut :

1. Penghasilan Bruto : 600.000.000


2. Tarif Norma Penghasilan Neto :  40 %
3. Penghasilan Neto : 240.000.000 (600.000.000 x 40 %). 
WAJIB PAJAK BADAN

Pengertian Wajib Pajak

adalah orang pribadi/badan yang ditetapkan peraturan perundang undangan. Wajib pajak juga
memiliki hak dan kewajiban perpajakan seperti membayar, memotong dan melaporkan pajak.

Bicara mengenai badan sebagai wajib pajak, tentu tidak dapat dilepaskan dari usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM). pelaku UMKM merupakan wajib pajak badan yang
jumlahnya sangat banyak. Menurut data Ditjen Pajak pada tahun 2017, jumlah UMKM
pembayar pajak mencapai 1,5 juta.

ATURAN PERPAJAKAN UMKM

Tarif untuk Wajib Pajak UMKM Turun

Sejak 1 Juli 2018, tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan dengan penghasilan bruto
di bawah Rp 4,8 miliar adalah 0,5%.

Kriteria wajib pajak ini berkewajiban membayar pajak penghasilan final. Syaratnya, wajib
pajak tersebut memiliki kategori sebagai Usaha Mikro, Kecil dan menengah yang modalnya
100% dimiliki WNI.

Bisa Pilih Jenis PPh

Wajib pajak badan yang baru membuka usahanya bisa memilih untuk ditetapkan sebagai
wajib pajak penghasilan skema normal atau pajak penghasilan final 0,5%. Jika dia memilih
kewajiban pajak penghasilan skema normal, maka tarif yang berlaku sesuai dengan PPh 17
ayat 1 huruf b dan ayat 2a.

Tarif yang berlaku berupa tarif tunggal yakni 25% dari total penghasilan kena pajak. Jika dia
berpindah dari tarif pajak penghasilan final 0,5% ke tarif pajak penghasilan skema normal,
maka dia tidak dimungkinkan untuk berpindah kembali ke tarif pph final 0.5%.

Perusahaan Terbuka Bisa Mendapatkan Diskon Pajak

Wajib pajak badan dapat memperoleh penurunan tarif 5%. Penurunan tarif ini berlaku jika
perusahaan tersebut terdaftar sebagai perusahaan terbuka dengan jumlah keseluruhan saham
yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia 40% atau lebih dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya sesuai Peraturan Pemerintah.

Tujuan diskon tarif pajak ini adalah untuk merangsang investasi modal asing maupun dalam
negeri khususnya bagi usaha yang memiliki titik tekan pada ekspor, percepatan pembangunan
di daerah-daerah terpencil khususnya di daerah timur Indonesia. Penurunan tarif 5% ini
berlaku hingga 6 tahun.
Dokumen Pajak Harus Disimpan Selama 10 Tahun

Wajib pajak harus menyimpan dokumen perpajakannya selama 10 tahun. Dokumen ini
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan pajak baik secara elektronik/aplikasi online
di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak.

Penyimpanan selama 10 tahun dimaksudkan untuk membantu pemeriksaan pajak atas pajak
badan yang telah dibayarkan di tahun-tahun sebelumnya ketika ada pelaporan tindak
kecurangan dalam pelaporan atau pembayaran pajak.

30 April Tenggat SPT Tahunan Badan

Tahun kalender pajak bagi wajib pajak badan berakhir pada 30 April setiap tahunnya. Jika
hari pertama tahun buku tidak sama dengan tahun kalender pajak, misalnya dimulai tanggal 1
Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 31
Oktober bagi wajib pajak badan.

Denda Rp 1 Juta Jika Terlambat Melaporkan Pajak

Jika wajib pajak badan terlambat menyampaikan SPT, maka akan dikenakan denda
keterlambatan senilai Rp 1 juta. Tindak kelalaian lain seperti penggelapan pajak atau
pelaporan dokumen palsu akan mendapat sanksi lebih berat seperti sanksi denda dan sanksi
pidana pajak.

Perusahaan dengan Banyak Cabang Wajib Dikukuhkan Sebagai PKP

Perusahaan yang memiliki beberapa kantor cabang wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Pelaporan tersebut dapat dilakukan di kantor
pusat Ditjen Pajak maupun di KPP yang menjadi wilayah cabangnya.

Tujuan pengukuhan ini adalah untuk mengetahui identitas pengusaha kena pajak yang
sebenarnya. Sebab, Ditjen Pajak tidak menghendaki adanya dua data yang berbeda untuk satu
pengusaha kena pajak yang sama.

Selain itu, pelaporan ini berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan
administrasi perpajakan lainnya.

Jenis-Jenis Wajib Pajak Badan

Seluruh badan usaha di Indonesia, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Firma (Fa),
maupun Persekutuan Komanditer (CV) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
berkewajiban untuk membayar pajak.

Saat ini, negara sudah memberikan kepercayaan kepada perusahaan dan masyarakat untuk
inisiatif menghitung, melapor dan menyetor pajak (self-assesment). Terdapat beberapa jenis
pajak bagi WP badan yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Jenis pajak tersebut
adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Jenis Pajak Wajib Pajak Badan

A. Pajak Penghasilan (PPh)

1. PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak atau
karyawan Anda dan harus dibayar setiap bulannya.

Perusahaan biasanya memotong langsung penghasilan para pegawai dan menyetorkannya ke


kas negara  melalui bank persepsi.

2. PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun
swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor. Besaran tarif
untuk PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung dari objek pajaknya.

3. PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari wajib pajak saat
transaksi yang meliputi transaksi dividen (pembagian keuntungan saham), royalti, bunga,
hadiah dan penghargaan, sewa dan penghasilan lain yang terkait dengan penggunaan aset
selain tanah atau transfer bangunan atau jasa.

4. PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak penghasilan terutang
menurut SPT Tahunan PPh dikurangi PPh yang dipotong atau dipungut serta PPh yang
dibayar atau terutang di Luar Negeri yang boleh dikreditkan.

5. PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia. Berdasarkan aturan, tarif umum PPh Pasal 26 adalah 20%. Namun,
besaran tarif tersebut dapat berubah mengikuti P3B.

6. PPh Pasal 29

PPh Pasal 29 dikenakan saat jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun pajak
lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan
yang telah disetor sendiri, maka nilai lebih pajak terutang tersebut ( pajak terutang dikurangi
kredit pajak ) menghasilkan PPh Pasal 29. PPh ini harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan
PPh Badan dilaporkan.
7. PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 Ayat (2) berhubungan dengan pajak  penghasilan yang dipotong dari bunga
deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang
dibayarkan koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi
lain sebagaimana diatur dalam peraturannya. PPh Pasal 4 Ayat (2) juga mengatur mengenai
PPh yang berhubungan dengan usaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun.

8. PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 merupakan pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus untuk
golongan wajib pajak tertentu, seperti wajib pajak badan yang bergerak dibidang pelayaran
atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, pengeboran minyak, gas dan
geothermal, perusahaan dagang asing, dan perusahaan yang melakukan investasi dalam
bentuk bangunan-guna-serah.

B. Pajak Pertambahan Nilai

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan pada transaksi atas barang dan jasa kena pajak di
Indonesia. Nilai PPN ditambahkan pada harga pokok barang atau jasa tersebut yang
diperjualbelikan. Tarif yang ditetapkan pemerintah untuk PPN adalah 10%.

2. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas barang atau produk yang dianggap bukan
sebagai barang kebutuhan pokok, dan dikonsumsi oleh masyarakat tertentu yang pada
umumnya merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi.

Pengertian lainnya, barang mewah adalah barang yang dibeli untuk menunjukkan status atau
jika dikonsumsi dinilai dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat Indonesia. Ini
kategori barang yang terkena PPnBM.

Sanksi Administrasi Wajib Pajak Badan

Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan oleh WP Badan dalam jangka waktu
atau batas waktu perpanjangan yang sudah diberikan, maka WP Badan akan dikenai sanksi
administrasi dengan denda sebesar:

 Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN.


 Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk Denda Lapor (PPh 21, PPh 23, Pasal 4 Ayat
2,dan PPh 25) atau SPT Masa lainnya.
 Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan.
Kesimpulan

 Begitu Anda memiliki badan usaha atau menjadi pengusaha, otomatis Anda telah
menjadi wajib pajak badan atau wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai
pengusaha. Konsekuensinya, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan.
 Jenis pajak yang harus dibayarkan biasanya tertera pada SKT (Surat Keterangan
Terdaftar) saat Anda membuat NPWP Badan. 
 Setelah menjadi wajib pajak badan, jangan lupa mendaftarkan diri sebagai pengguna
aplikasi OnlinePajak untuk mendapatkan kemudahan hitung pajak otomatis, buat ID
billing, setor pajak 1 klik dan lapor pajak online atau e-Filing secara gratis dan dalam
1 aplikasi terpadu.

PP 46-UMKM / PP No 23 Tahun 2018

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
pada tanggal 8 Juni 2018. PP ini mengganti peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2018.

Adapun poin penting dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini adalah:

1. Perubahan Tarif PPh Final dari 1% menjadi 0,5% Pasal 2 ayat (2)

Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5% atas


penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Sebelumnya tarifnya adalah sebesar 1% dari peredaran bruto
atau omset sesuai PP No. 46 Tahun 2013

2. PPh Final 0,5% Bersifat Pilihan Pasal 3 ayat (2)

Dalam PP Nomor 23 Tahun 2018, tariff PPh Final ditentukan


sebesar 0,5% dari peredaran bruto atau omset. Dalam peraturan
ini diberikan pilihan atau opsional yaitu Wajib Pajak dapat
memilih apakah ingin dikenakan PPh Final tariff 0,5% dari
Omset ataukah dikenakan PPh dengan tariff sesuai Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU No. 36
Tahun 2008.

Diberikannya opsi kepada Wajib Pajak untuk memilih tariff


yang akan dikenakan untuk memberikan rasa keadilan bagi
Wajib Pajak yaitu:

a.     Bagi wajib pajak pribadi dan badan yang belum dapat
menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, pengenaan tarif
PPh Final 0,5% memberikan kemudahan bagi mereka untuk
melaksanakan kewajiban perpajakan. Perhitungan pajak
menjadi sederhana yakni 0,5% dari peredaran bruto/omzet.
Namun, penerapan PPh Final memiliki konsekuensi yakni
Wajib Pajak tetap harus membayar pajak meski sedang dalam
perusahaannya mengalami kerugian.

b.     Sementara Wajib Pajak yang telah melakukan pembukuan


dengan baik dapat memilih untuk dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal
17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU No. 36 Tahun 2008
Konsekuensinya, pajak yang harus disetorkan lebih besar
dibandingkan penyetoran pajak menggunakan tariff 0,5%.
Keuntungannya adalah apabila Perusahaan mengalami
kerugian, maka wajib pajak tidak membayar pajak atau Nihil

Apabila Wajib Pajak memilih untuk dikenakan pajak


menggunakan tarif umum UU PPh, wajib menyampaikan
pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dan untuk
Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

3. Pengenaan Tarif PPh Final 0,5% Berbatas Waktu Pasal 5 ayat (1)

Bagi Wajib Pajak yang memilih dikenakan Pajak Final dengan


tariff 0,5% ini tetapkan batas waktu dalam pengenaan pajaknya.
Adapun jangka waktu yang diberikan yaitu:

a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi

b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk


koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan

c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk


perseroan terbatas.

Apabila batas waktu tersebut telah berakhir, maka Wajib Pajak


dalam menghitung pajaknya harus menggunakan tarif sesuai
dengan Pasal 17 dan/atau Pasal 31E UU No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan

 
4. Wajib Pajak yang Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5% Pasal 3 ayat (1)

Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan tariff pph final 0,5% ini
adalah wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yaitu:

a.     Wajib Pajak orang pribadi;

b.     Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan


komanditer, firma, atau perseroan terbatas

5. Wajib Pajak yang Tidak Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5% Pasal 2 ayat (3)

Adapun Wajib Pajak yang tidak dapat memenfaatkan PPh Final


0,5% ini adalah :

a.     Wajib Pajak yang penghasilan yang diterima atau


diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, baik Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Wajib Pajak Badan.

b.     Wajib Pajak yang penghasilan yang diterima atau


diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah
dibayar di luar negeri;

c.     Wajib Pajak yang penghasilan yang telah dikenai Pajak


Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri
d.     Wajib Pajak yang penghasilan yang dikecualikan sebagai
objek pajak.

Wajib Pajak Suami Istri yang Pelaporan SPTnya terpisah,


Omsetnya Wajib Digabung terlebih dahulu untuk mementukan
apakah dapat memanfaatkan PPh Final 0,5% ini atau tidak.
6. Apabila setelah digab Pasal 4 ayat (2)

Omset yang dilaporkan berdasarkan keseluruhan omset dari


7. USAHA termasuk omset dari cabang-cabang. Paal 4 ayat (1)

Dasar Pengenaan Pajak adalah dari Omset sebelum dikurangi


8. potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. Pasal 6 ayat (2)
BENTUK USAHA TETAP (BUT)

Apa itu Bentuk Usaha Tetap?

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri
(non-resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Merujuk Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.

Batasan waktu sebanyak 183 hari dalam satu tahun diterapkan apabila anatara Indonesia dan
negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax traety atau Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B).

Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat tax
treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT yang berlaku mengikuti perjanjian yang
disepakati kedua negara tersebut.

Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mengalami perubahan sebanyak empat
kali, yang mana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menjadi regulasi induk dari
perubahan yang telah dibuat. Sementara, UU 36/2008 merupakan perubahan keempat atau
terbaru bagi kiblat perpajakan penghasilan di negeri ini.

Jika Anda ingin mengetahui lebih jelasnya, lihat rangkuman Undang-Undang Pajak
Penghasilan Terbaru di sini.

BUT masuk dalam kategori subjek pajak luar negeri dan merupakan wajib pajak (WP) badan,
di samping subjek pajak lainnya yang juga dipungut pajak penghasilan, seperti orang pribadi,
perseroan terbatas (PT), yayasan, serta badan usaha milik negara (BUMN) dan BUMD.

Artikel ini akan memberikan pemahaman mendasar tentang BUT sebagaimana diatur
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty.

Mengapa Ketentuan Bentuk Usaha Tetap dibuat?

BUT dibuat untuk perusahaan penanaman modal asing yang menjadi wajib pajak dalam
negeri (resident taxpayer). Hal ini terjadi seiring bertambahnya investor asing di Indonesia
yang masuk menggunakan pola joint venture dengan bekerja sama dengan perusahaan asing
lainnya maupun perusahaan lokal.

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pemerintah melakukan pengujian
keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai
kriteria untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan
tersebut.

Sesuai pasal 2 ayat (6) UU 36/2008, tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

Bentuk Usaha Tetap yang Menjadi Subjek Pajak

Pada Pasal 2 Ayat (5) UU 36/2008, pemerintah menyebutkan bahwa bentuk usaha tetap yang
menjadi subjek pajak penghasilan terdiri saat ini dari 16 bentuk usaha, yakni:

1. Tempat kedudukan manajemen.


2. Cabang perusahaan.
3. Kantor perwakilan.
4. Gedung kantor.
5. Pabrik.
6. Bengkel.
7. Gudang.
8. Ruang untuk promosi dan penjualan.
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam.
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan.
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi eklektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalaui internet.
Revisi UU terbaru tentang PPh ini juga menegaskan bahwa BUT merupakan subjek pajak
yang perlakuan perpajakannnya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Hal ini tertuang
dalam Pasal 2 ayat (1a) yang baru saja ditambahakn dalam pasal 2 antara ayat 1 dan 2.

Perbedaan Perlakuan Perpajakan Dibandingkan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri


Lainnya

 BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya


karena ia bukan penduduk Indonesia.
 Laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch
profit tax.

Besaran Penghasilan Kena Pajak BUT

Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi WP dalam negeri dan BUT ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) UU 36/2008 pengurang biaya dari
penghasilan bruto termasuk:
 Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
seperti biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah, gaji, biaya perjalanan, hingga premi asuransi.
 Penyusunan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun.
 Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
 Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagihm dan memelihara
penghasilan.
 Kerugian selisih kurs mata uang asing.
 Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
 Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
 Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
 Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pamerintah
 Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak BUT

PKP bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan penghasilan dikurangi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan, laba,
serta penghasilan bruto yang dikurangi penghasilan tidak kena pajak.

Tarif Pajak BUT

Pemerintah menerapkan tarif pajak sebesar 25% untuk penghasilan kena pajak BUT yang
baru mulai berlaku pada tahun pajak 2010. Tidak hanya si wajib pajak luar negeri, tarif ini
juga berlaku untuk wajib pajak badan dalam negeri.

Hal itu ditegaskan pemerintah dalam perubahan UU PPh Nomor 36/2008 yang tertuang
dalam pasal 17 ayat (2a) UU tersebut.

Sebelumnya tarif pajak bagi BUT dan wajib pajak badan dalam negeri berlaku progresif
sesuai besaran penghasilan kena pajak perusahaan tersebut. Tarif pajak yang berlaku pada
UU PPh Nomor 17/2000 ditetapkan sebesar 10-30%, mulai dari penghasilan kena pajak
Rp50.000.000 hingga Rp100.000.000 ke atas.

Perlu diingat, penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%. Kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

CONTOH PERHITUNGAN

Contoh Perhitungan untuk Omzet Kurang dari Rp4,8 Miliar

Sebagai contoh, sebuah perusahaan bernama PT Berdiri Sendiri memperoleh penghasilan

kotor sebesar RP2.000.000.000 pada tahun 2015. Menurut peraturan yang berlaku, maka

pajak yang dikenakan untuk PT Berdiri Sendiri adalah sebesar 1%. Jadi jumlahnya adalah 1%

x Rp2.000.000.000 = Rp20.000.000.

Misalnya saja selama periode 2015 PT Berdiri Sendiri telah menyetor pajak penghasilan

karyawan sebesar Rp10.000.000 dan pajak penghasilan Pasal 23 sebesar Rp2.000.000.

Karena telah membayar pajak tersebut, maka pajak penghasilan terutang yang dimiliki adalah

RP20.000.000 – Rp10.000.000 – Rp2.000.000 = Rp8.000.000. Pajak ini kemudian harus

dibayarkan, baik dengan cara dicicil atau kontan.

Pada ilustrasi tabel, bisa disajikan seperti berikut ini.

No Jumlah Uang (dalam


Keterangan
. Rupiah)
1. Penghasilan kotor 2.000.000.000
2. Kredit PPh 21 10.000.000
3. Kredit PPh 23 2.000.000
4. Pajak penghasilan badan (1% x penghasilan kotor) 20.000.000
Pajak penghasilan terutang (pajak penghaslan badan –
8.000.000
kredit pajak PPh 21 – kredit pajak PPh 23)

Contoh Perhitungan untuk Omzet antara Rp4,8 M – Rp50 M

Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana menghitung besaran pajak penghasilan
perusahaan dengan omzet antara Rp4,8 M hingga Rp50 M. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, besaran pajak untuk range penghasilan ini memiliki perhitungan tersendiri.
Rumus yang digunakan adalah 0,25 – (0,6 M/pendapatan kotor) x penghasilan kena pajak.

Satu skenario, katakanlah PT Berdiri Sendiri telah berkembang dan omzet yang didapatkan
naik pada angka Rp10.000.000.000. Selama melakukan produksi, perusahaan ini
mengeluarkan biaya sebesar Rp7.000.000.000, maka PT Berdiri Sendiri akan memiliki
penghasilan kena pajak sebesar Rp3.000.000.000 dari pengurangan omzet dan biaya yang
dikeluarkan.

Perhitungan besaran pajak yang dikenakan pada PT Berdiri Sendiri adalah 0,25 – (0,6
M/10.000.000.000) x 3.000.000.000 = Rp570.000.000 atau sebesar 19%. Acuan omzet
digunakan agar besaran pajak bisa disesuaikan dengan kemampuan dan perolehan
perusahaan, sehingga tidak memberatkan dan memungkinkan perusahaan melakukan
perkembangan.

Pada periode ini, PT Berdiri Sendiri telah melakukan pembayaran PPh 21 penghasilan
karyawan sebesar Rp200.000.000, PPh 23 sebesar Rp100.000.000 maka besaran pajak
terutang yang dimiliki PT.Berdiri Sendiri adalah sebesar 570 juta – 200 juta – 100 juta =
Rp270.000.000. jumlah inilah yang harus dibayarkan kepada negara oleh PT Berdiri Sendiri.

Dalam tabel, bisa digambarkan sebagai berikut.

No Jumlah Uang (dalam


Keterangan
. Rupiah)
1. Penghasilan kotor 10.000.000.000
2. Pengeluaran (biaya) 7.000.000.000
3. Penghasilan kena pajak (penghasilan kotor – biaya) 3.000.000.000
4. Kredit PPh 21 200.000.000
5. Kredit PPh 23 100.000.000
Pajak penghasilan badan (0,25 – (600.000.000/10.000.000.000)
6. 570.000.000
x penghasilan kena pajak)
Pajak penghasilan terutang (pajak penghasilan badan –
270.000.000
kredit PPh 21 – kredit PPh 23)
Contoh Perhitungan untuk Omzet Lebih dari Rp50 Miliar

Pada bagian awal, disebutkan bahwa besaran pajak untuk omzet perusahaan yang lebih dari
Rp50.000.000.000 adalah 25%. Besaran ini akan diambil dari jumlah penghasilan kena pajak
yang didapatkan oleh perusahaan. Sekali lagi, mari gunakan pengandaian PT Berdiri Sendiri,
yang sudah lebih berkembang dan memiliki omzet lebih besar.

Pada tahun 2017, PT. Berdiri Sendiri mendapatkan penghasilan kotor sebesar
Rp70.000.000.000 dengan pengeluaran sebesar Rp42.000.000.000. Maka besaran
penghasilan kena pajak yang dimiliki adalah sebesar Rp28.000.000.000. Mengacu jumlah ini,
besaran pajak penghasilan perusahaan PT Berdiri Sendiri adalah 25% x Rp28.000.000.000 =
Rp7.000.000.000.

Pada tahun yang sama, perusahaan ini telah melakukan penyetoran PPh 21 penghasilan
karyawan sebesar Rp2.000.000.000 dan PPh 23 sebesar Rp1.000.000.000. Maka, perusahaan
ini memiliki pajak terutang sebesar Rp7 M – Rp2 M – Rp1 M = Rp4.000.000.000. Ini pajak
yang harus dibayarkan oleh PT. Berdiri Sendiri kepada negara.

Pada ilustrasi tabel, berikut penjelasannya.

No Jumlah Uang (dalam


Keterangan
. Rupiah)
1. Penghasilan kotor 70.000.000.000
2. Pengeluaran (biaya) 42.000.000.000
3. Penghasilan kena pajak (penghasilan kotor – biaya) 28.000.000.000
4. Kredit PPh 21 2.000.000.000
5. Kredit PPh 23 1.000.000.000
6. Pajak penghasilan badan (25% x 28.000.000.000) 7.000.000.000
Pajak penghasilan terutang (pajak penghasilan badan –
4.000.000.000
kredit PPh 21 – kredit PPh 23)
 

Anda mungkin juga menyukai