Anda di halaman 1dari 9

Nama : Winda

STB : 222 20 006

TOLAK BAYAR PAJAK, PIDANA BERTINDAK


 
Oleh : Rizka Noor Hashela, SH
Tempat Terbit : Pelaihari, 2020

 
            Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan
meningkat sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan nasional.
Dalam pemungutan pajak, negara harus mendapat izin terlebih dahulu dari rakyat. Hal tersebut
dimaksudkan agar negara tidak akan bertindak sewenang-wenang ketika memungut sebagian
kekayaan rakyat, walaupun itu dipergunakan kembali untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu,
Pasal 23A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur bahwa
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.
            Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 dengan tegas disebutkan pula bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Karena pajak bersifat wajib dan memaksa, maka negara menetapkan sanksi bagi wajib
pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak dan/atau dengan sengaja menolak membayar
pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 telah dijelaskan wajib pajak yang menolak
untuk bayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat
dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana.
Sanksi administrasi perpajakan terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan.
Sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban
pelaporan. Sanksi berupa pengenaan bunga ditujukan bagi wajib pajak yang membayar pajaknya
setelah jatuh tempo dan akan dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) per bulan terhitung dari
tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Dan yang terakhir, sanksi kenaikan ditujukan
kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran tertentu, seperti tindak pemalsuan data dengan
mengecilkan jumlah pendapatan pada SPT setelah lewat 2 (dua) tahun sebelum terbit SKP.
Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyebutkan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara di pidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pemberian sanksi terkait perpajakan ini bisa dalam bentuk tindakan tegas berupa
penyanderaan atau gijzeling. Tindakan gijzeling merupakan langkah terakhir dari tindakan
hukum yang dapat dilakukan pemerintah kepada wajib pajak nakal. Gijzeling dilaksanakan
apabila wajib pajak benar-benar sudah membandel. Tindakan gijzeling bukan satu-satunya cara
untuk membuat wajib pajak jera dan merupakan langkah antisipasi terakhir yang merupakan
upaya mencari efek jera (deterrence effect) agar para penunggak pajak takut dan segera melunasi
kewajiban pajaknya.
Berdasarkan aturan yang ada, negara berhak melakukan gijzeling atau penyanderaan
berupa penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Selain itu, bisa juga melakukan suatu
penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung, yaitu diri
orang yang berutang pajak. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang mengatur penagihan utang pajak kepada wajib pajak
melalui upaya penegakan hukum.
Tujuan dilakukannya gijzeling adalah mendorong kesadaran, pemahaman dan
penghayatan masyarakat bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan
pembangunan nasional serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan, sehingga dengan
penagihan pajak melalui surat paksa tersebut setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif
dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya. 

Penyanderaan ini dapat dilakukan selama 6 (enam) bulan dan diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan. Berdasarkan data statistik Sekertariat Pengadilan Pajak Kemenkeu per 2020, total
sengketa pajak tahun lalu ada sebanyak 10.166 kasus. Dengan total sengketa pajak yang
dikabulkan seluruhnya sejumlah 4.937 kasus. Sementara jumlah sengketa pajak yang sebagian
dikabulkan mencapai 1.903 kasus. Kebanyakan merupakan wajib pajak yang memiliki utang
pajak sedikitnya Rp 100 juta. Angka di atas membuktikan bahwa pemerintah tidak main-main
dalam menegakkan peraturan perpajakan.
Sampai sekarang kesadaran masyarakat membayar pajak masih belum mencapai tingkat
sebagaimana yang diharapkan. Umumnya masyarakat masih sinis dan kurang percaya terhadap
keberadaan pajak karena masih merasa sama dengan upeti, memberatkan, pembayarannya sering
mengalami kesulitan, ketidakmengertian masyarakat apa dan bagaimana pajak dan ribet
menghitung dan melaporkannya. Namun masih ada upaya yang dapat dilakukan sehingga
masyarakat sadar sepenuhnya untuk membayar pajak dan ini bukan sesuatu yang mustahil
terjadi. Ketika masyarakat memiliki kesadaran maka membayar pajak akan dilakukan secara
sukarela bukan keterpaksaan.  
Pajak, disukai atau tidak merupakan elemen penting untuk jalannya suatu negara dan
pemerintahan. Terlepas dari berbagai pendapat yang menolak pajak, kewajiban warga negara
adalah membayar pajak, bila tidak membayarnya atau bahkan berusaha menghindari pajak
dengan cara yang tidak benar, maka terkena sanksi dan hukuman baik denda maupun pidana.
Peran serta dari masyarakat dalam membayar pajak, mengawasi proses penerimaan pajak
dan pengalokasian anggaran yang sebagai besar diterima dari pajak sangat diperlukan untuk
mewujudkan pemerintahan yang efektif dan transparan. Sadar pajak tidak hanya diartikan taat
membayar pajak, namun diharapkan bisa paham dan mengerti terkait pajak, sehingga dapat
memberikan kontribusi baik kritik, saran ataupun masukan untuk perbaikan penerimaan dan
pengelolaan pajak demi kemajuan negara ini.
Masyarakat juga harus sadar berapa pajak yang telah dipungut di daerahnya dan berapa
yang dialokasikan kembali ke daerahnya untuk pembangunan dan operasional pemerintah
daerahnya. Orang bijak taat bayar pajak, lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya.
Sumber : https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/

Prosedur Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor 5 Tahunan


11 Juli 2017/dalam Artikel
Bagi pemilik kendaraan bermotor baik itu roda dua maupun roda empat atau lebih wajib untuk
meregistrasikan kendaraan yang dimilikinya sebelum dapat mengoperasikannya di jalan. Namun,
bagi yang belum diregistrasi juga dapat dioperasikan di jalan dengan catatan bahwa kendaraan
tersebut dilengkapi dengan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCK) dan Tanda Coba
nomor Kendaraan Bermotor (TCNKB). Registrasi kendaraan bermotor ini memiliki tujuan untuk
:

1. Tertib administrasi
2. Pengendalian dan pengawasan kendaraan bermotor yang dioperasikan di Indonesia
3. Mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan
4. Perencanaan, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas dan angkutan jalan
5. Perencanaan pembangunan nasional

Registrasi kendaraan bermotor merupakan salah satu wewenang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan sebagai bukti bahwa kendaraan bermotor tersebut telah diregistrasi maka pemilik
kendaraan akan diberikan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNK), dan juga diberikan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB).
STNK dan TNKB berlaku selama lima tahun dan harus dimintakan pengesahannya setiap tahun.
Pengesahan setiap tahun ini dapat kita lihat pada lembar STNK bagian kanan bawah dimana
terdapat empat kotak yang akan dibubuhi cap / stiker setiap pengesahan tahunan telah
dilaksanakan. Bila masing-masing kotak tersebut telah penuh oleh cap / stiker artinya sudah
saatnya lembaran STNK dan TNKB Anda diganti (proses pengesahan lima tahunan).

Persyaratan yang harus dipersiapkan bila Anda akan melakukan proses pengesahan lima tahunan
di kantor samsat induk, adalah :

1. STNK
2. KTP
3. BPKB asli dan Fotokopi
4. Kendaraan dihadirkan
5. Hasil Cek fisik kendaraan

KTP yang disyaratkan diatas adalah KTP pemilik kendaraan sesuai dengan data yang ada di
kantor samsat. Bila Anda baru membeli kendaraan bekas maka pemilik kendaraan di kantor
samsat masih atas nama pemilik lama. Oleh karena itu Anda tidak dapat melakukan proses
pengesahan STNK lima tahunan. Semua berkas persyaratan tersebut dijadikan satu ke dalam
map dan disusun rapih. Setelah persyaratan dibawa, berikut ini adalah mekanisme proses
pengesahan lima tahunan secara garis besar yang perlu Anda ketahui

1. Mendatangi loket cek fisik untuk mendaftarkan kendaraan


2. Melakukan proses cek fisik kendaraan
3. Mendaftarkan dan validasi hasil cek fisik ke loket cek fisik kendaraan
4. Pengambilan arsip kendaraan di gudang arsip
5. Mengisi formulir
6. Mengambil nomor antrian
7. Melakukan Proses progresif
8. Pendaftaran di loket I Ulang 5 Tahun
9. Penetapan dan cetak NPS
10. Pembayaran di loket bank bjb
11. Cetak STNK
12. Penyerahan STNK dan TNKB

SELAMAT, Anda telah berhasil melakukan pengesahan lima tahunan kendaraan Anda. Hal ini
dapat dilihat dari masa berlaku STNK pada lembar STNK telah bertambah satu tahun ke depan,
masa berlaku yang terdapat pada TNKB bertambah lima tahun ke depan, dan juga empat kotak
yang terdapat pada lembaran STNK menjadi kosong kembali.

SIAP-SIAP DITJEN PAJAK AKAN BURU WAJIB PAJAK BADAN DENGAN


KRITERIA INI MULAI 2021

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah


mengatur strategi untuk penerimaan pajak tahun 2021 dengan estimasi dampak ekonomi karena
pandemi virus corona atau Covid-19 sudah selesai.
Ditjen Pajak berencana membidik wajib pajak (WP) Badan yang aliran kasnya cepat pulih. Ini
sebagai siasat otoritas pajak sebab tax ratio tahun depan diprediksi berada di level rendah.

Sehingga, penerimaan pajak sebagai basis terbesar tax ratio diprediksi belum bisa optimal
dibandingkan periode sebelum Covid-19.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dengan adanya tax rasio tahun
2021 diprakirakan dalam kisaran 8,25% sampai 8,63% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Ini sejalan dengan konsistensi dalam melakukan reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi,
sehingga penerimaan pajak banyak yang direlakan.

Prediksi tax ratio tahun 2021 akan menjadi posisi terendah sejak 2012 di mana tercatat tercatat
11,9%. Selanjutnya, pada tahun 2013 (11,9%), tahun 2014 (11,4%), tahun 2015 (11,6%), tahun
2016 (10,8%), 2017 (10,9%), tahun 2018 (11,6%), dan tahun 2019 (10,6%). Sementara tahun
2020 prediksinya 9,14

Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu
Yoga Saksama mengatakan, untuk menjaga penerimaan pajak tahun 2021, otoritas pajak akan
semakin jeli dalam memetakan sektor-sektor yang cepat melakukan pemulihan.

“Atau malah tumbuh di atas normal karena kondisi pandemi dan setelahnya, sebagai tumpuan
penerimaan pajak. Tapi memang, situasi ekonomi tahun depan menjadi cukup berat pasca
pandemi,” kata Yoga kepada Kontan.co.id,Kamis (14/5).

Setali tiga uang, Yoga bilang pemulihan aktivitas usaha ke depan akan berjalan gradual. Apalagi
masing-masing sektor akan memiliki kecepatan yang berbeda.

Dalam hal ini, Kemenkeu menyebutkan aktivitas ekonomi sektor pariwisata, perdagangan,
manufaktur setidaknya akan pulih di tahun depan. Bahkan ketiga sektor itu diprediksi bisa mulai
bangkit pada kuartal IV-2020.

Selain membidik WP Badan, Ditjen Pajak juga bakal mengatur strategi atas penerimaan pajak
WP orang pribadi (OP). Yoga bilang utamanya berasal dari WP OP kalangan menengah ke atas
mesti ditingkatkan.

“Karena memang sampai saat ini belum cukup optimal dalam pembayaran pajak. Pengawasan
berbasis data, termasuk data keuangan akan sangat menentukan efektifitas penggalian potensi
pajak dari WP OP ini,” ujar Yoga.

Di sisi lain, Ditjen Pajak berencana menerapkan pajak atas Perdangan Melalui Sistemn
Elektronik (PMSE) dengan skema physical presence. Artinya bagi perusahaan digital dalam
maupun luar negeri, selama memiliki manfaat ekonomi dari Indonesia maka harus bayar pajak.
Beleid ini mengatur pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) dalam
perdagangan menggunakan sistem elektronik (PMSE) alias e-commerce.

Kendati begitu, Yoga bilang terlebih dahulu bakal menarik PPN dengan payung hukum
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang sedang disusun. Barulah, nantinya menyiapkan
peraturan pemerintah (PP) sebagai landasan pemungutan PPh dan atau pajak transaksi elektronik
(PTE) dalam PMSE.

PP itu sembari menunggu konsensus The Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) tentang ekonomi digital.

Sebab, otoritas pajak menilai pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan digital ekonomi
bisa menimbulkan pengenaan pajak berganda. Makanya pemerintah menunggu konsensus
global.

Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Kemenkeu Ihsan Priyawibawa
mengatakan sehubungan dengan merebaknya pandemi Covid-19  sepanjang tahun ini, otoritas
pajak menyesuaikan kembali rumusan optimalisasi penerimaan perpajakan tahun ini dan tahun
depan.

Setidaknya insentif yang bakal digelontorkan yakni berlanjutnya penurunan PPh Badan dari 25%
menjadi 22% yang akan berlangsung sejak 2020 ini. Hal tersebut berlangsung ketika kondisi
ekonomi dunia usaha belum sepenuhnya membaik di tahun depan.

Dus, Ihsan bilang tahun depan, pihaknya harus menerima konsekuensi atas insentif pajak yang
diberikan. “Tantangannya tak hanya tax expenditure, stimulus, tapi juga  kondisi ekonomi,
perubahan cara kita bekerja,” ujar Ihsan kepada Kontan.co.id, Kamis (14/5).

Adapun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan penerimaan pajak
ditargetkan turun dari Rp 1.642,6 triliun menjadi sebesar Rp 1.234,1 triliun pada tahun 2020.
Sementara untuk tahun depan, akan diumumkan dalam Rancangan APBN 2021 di sekitar
pertengahan tahun ini.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menambahkan, tahun 2021
masih jadi tantangan bagi otoritas pajak. Situasi ekonomi tahun depan diprediksi masih rapuh
dan masih perlu diakselerasi. Sehingga tahun depan belum tentu pajak bisa digunakan kembali
difokuskan pada penerimaan.

Namun demikian, setidaknya Ditjen Pajak bisa mengoptimalisasi penerimaan dengan pengenaan
pajak yang berbasis kekayaan baik dari kekayaan bersih maupun warisan. Dengan langkah ini,
penerapannya juga bisa berlandsan belum optimalnya penerimaan PPh orang pribadi. Sebab,
untuk wajib pajak badan akan berat.

“Pada tahun 2021, besar kemungkinannya pertumbuhan penerimaan pajak akan kebali positif
jika dibandingkan dengan realisasi tahun ini,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Kamis
(14/5).

DDTC  memprediksi penerimaan pajak di tahun ini akan berkisar Rp 1.218,3 triliun-Rp 1.223,2
triliun atau 97,2% hingga 97,6% dari outlook pemerintah. Dengan kata lain, kinerja penerimaan
pajak tahun ini diestimasi tumbuh minus 8,2% sampai minus 8,5%.

Sumber : www.nasional.kontan.co.id
Realisasi Kepatuhan Pajak 2021 84% tapi Target 2022 Hanya 80%

Jakarta - Tahun lalu rasio kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan menyentuh angka 84%. Data milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
mengatakan, per 31 Desember 2021, SPT Tahunan 2020 tercatat mencapai 15,97 juta dari
19 juta wajib pajak yang wajib melaporkan SPT.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa
jumlah tersebut sudah mencapai target pelaporan SPT tahunan yang ditetapkan sebelumnya.
Rinciannya sebagai berikut:
Banyaknya SPT Tahunan wajib pajak badan yang dilaporkan sebanyak 1.01 juta SPT.
Sedangkan untuk SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi yang dilaporkan sebanyak 14,77
juta.
Untuk SPT Tahunan 2021 yang akan disampaikan tahun 2022, DJP menargetkan rasio
kepatuhan wajib pajak yang melaporkan SPT nantinya sebesar 80%. Walaupun sama
dengan target tahun-tahun sebelumnya, tapi lebih rendah dari realisasi tahun 2021.
Sedikit ulasan, beberapa tahun terakhir, rasio kepatuhan formal wajib pajak mengalami
kenaikan. Berdasarkan Laporan milik DJP, kinerja rasio kepatuhan formal trennya
mengalami kenaikan semenjak tahun 2016. Hanya sekali, yaitu pada tahun 2018, rasio
kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan mengalami penurunan
Tahun fiskal 2016, SPT Tahunan yang dilaporkan oleh wajib pajak ada sebanyak 12,2 juta
laporan atau rasio kepatuhannya sebesar 60,75% dari 20,1 juta wajib pajak yang wajib
untuk melaporkan SPT serta membayar pajak.
Nah pada tahun fiskal 2018 mengalami penurunan. Pada tahun fiskal tersebut, SPT
Tahunan yang dilaporkan oleh wajib pajak wajib lapor SPT sebanyak 12,5 juta. Rasio
kepatuhannya menyentuh 71,10% dari 17,6 juta wajib pajak yang diwajibkan untuk
melaporkan SPT serta membayarnya.
Tahun fiskal 2019 kembali naik. SPT Tahunan yang dilaporkan oleh wajib pajak ada
sebanyak 13,3 juta. Rasio kepatuhannya menyentuh 71,10% dari 16,6 juta wajib pajak yang
wajib melaporkan SPT serta membayar pajak.
Tahun fiskal 2020 tren kenaikan terus berlanjut. SPT Tahunan yang dilaporkan oleh wajib
pajak menyentuh 77,63% dari 19 juta wajib pajak yang wajib melaporkan SPT serta
membayar pajak.
Pemerintah pun terus berupaya untuk meningkatkan rasio kewajiban pajak untuk tahun
2022. Berbagai upaya telah diambil, yaitu:

 Memperluas basis pemajakan dengan meningkatkan wajib pajak patuh secara sukarela dengan
mengadakan kegiatan edukasi dan peningkatan pelayanan
 Meningkatkan ekstensifikasi serta pengawasan guna memperluas wajib pajak yang bisa
dijangkau
 Perluasan kanal pembayaran wajib pajak oleh DJP agar wajib pajak lebih mudah dalam
mengakses aplikasi dan membayar pajak
 Optimalisasi pengumpulan dan pemanfaatan data internal dan juga eksternal
 Penegakkan hukum oleh DJP untuk mendorong kepatuhan wajib pajak

5 Masalah Penghambat Tercapainya Target Pajak 2020

Kamis, 22 Agustus 2019 | 20:15 WIB


Oleh : Herman / MPA

Jakarta, Beritasatu.com – Nota Keuangan RAPBN 2020 telah disampaikan Pemerintah kepada
DPR pada 16 Agustus 2019 lalu. Pendapatan negara dalam RAPBN 2020 direncanakan sebesar
Rp 2.221,5 triliun, atau naik sebesar 9,40% dibandingkan outlook 2019. Kenaikan ini dilakukan
salah satunya melalui kenaikan penerimaan perpajakan sebesar 13,31%.

Peneliti Indef yang juga aktif di Center Innovation and Digital Economy, Nailul Huda
menyampaikan, target pertumbuhan pajak sebesar 13,31% ini cukup berat untuk diwujudkan,
apalagi jika melihat outlook 2019, di mana target pertumbuhan penerimaan perpajakan hanya
8,18% atau sesuai dengan pertumbuhan natural perpajakan.

Menurut Huda, ada lima permasalahan yang harus dihadapi Pemerintah untuk dapat mewujudkan
target naikkan penerimaan perpajakan 13,31% sesuai dalam RAPBN 2020. Permasalahan
pertama adalah program perpajakan tahunan yang dinilainya semakin tidak efektif. Pertumbuhan
penerimaan hingga masa pelaporan SPT (bulan April) melambat. Di tahun 2019 dari program
SPT tahunan, pertumbuhan penerimaan perpajakan hanya 1,02%. Padahal di 2017, pertumbuhan
penerimaan perpajakan pada masa penerimaan SPT mencapai 19,22%.
“SPT tahunan kali ini juga hanya menghasilkan 24,53% dari target tahun 2019, menurun dari
tahun lalu yang mencapai 26,91%. Ini menandakan pesta pelaporan pajak tahunan di tahun ini
kurang berhasil,” kata Nailul Huda dalam diskusi online Indef, Kamis (22/8/2019).

Permasalahan kedua adalah rasio SDM perpajakan terhadap jumlah penduduk yang masih sangat
rendah di Indonesia, di mana rasionya 1:5.293 penduduk. Jika dihitung berdasarkan jumlah
Wajib Pajak (WP), rasionya juga masih 1:936 WP. Artinya beban SDM perpajakan masih sangat
tinggi. Permasalahan ketiga adalah tingkat kepatuhan perpajakan yang menurun drastis. Hingga
Juni 2019, tingkat kepatuhan hanya 67,4%, turun dari angka 72,6% pada 2017.

“Permasalahan keempat adalah kebijakan yang pro pebisnis. Tax Amnesty jilid I terbukti tidak
terlalu efektif hasilnya. Karena itu, Tax Amnesty jilid II perlu dipertanyaka, terlebih usulan ini
datang dari pengusaha yang memang mengincar pengampunan pajak lagi. Selain itu, penurunan
tarif juga tidak serta merta efektif meningkatkan penerimaan perpajakan,” papar Huda.

Permasalahan kelima adalah inefisiensi dan tidak efektifnya relaksasi fiskal. Huda
mengungkapkan, belanja pajak dari tahun 2016 ke 2018 selalu meningkat. Terakhir pada tahun
2018, belanja pajak sebesar Rp 221,3 triliun. Namun yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi
stagnan di angka 5% dan pertumbuhan sektor industri manufaktur terus melambat. “Artinya
insentif fiskal yang sebegitu besar tidak efektif dan cenderung dinikmati golongan tertentu,”
ungkap Huda.

Sumber: BeritaSatu.com

Anda mungkin juga menyukai