Case : Tak Setor Pajak, Pengusaha Tanah Urug Blora Divonis 16 Bulan Penjara Tak Setor Pajak, Pengusaha Tanah Urug Blora Divonis 16 Bulan Penjara - Solopos.com | Panduan Informasi dan Inspirasi Hasil Analisis : Seorang individu yang dikenal dengan inisial AF dan berasal dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang merupakan seorang pengusaha yang terlibat dalam bongkar muat barang dan tanah urug, telah dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 4 bulan serta denda sebesar Rp565 juta oleh Pengadilan Negeri Blora. AF telah dinyatakan bersalah atas pelanggaran perpajakan karena ia tidak menyetorkan pajak yang berakibat pada kerugian negara. Informasi yang dikeluarkan oleh Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I menyatakan bahwa AF, yang merupakan direktur PT AIJ, telah melakukan tindakan pidana perpajakan pada periode Januari hingga Desember 2019, dengan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga merugikan negara. Atas perbuatannya tersebut, AF dinyatakan melanggar pasal 39 ayat 1 huruf i UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). AF diduga melakukan modus operasi dengan tidak menyetorkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang seharusnya dipungut dari rekan transaksinya ke kas negara. Hal ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp282.920.791. Hal ini merupakan tindakan yang merugikan pihak berwenang dan masyarakat pada umumnya dengan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Apabila terdakwa tidak membayar denda yang dijatuhkan dalam waktu satu bulan, pengadilan berhak menyita dan melelang harta kekayaannya. Namun, jika terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar denda tersebut, hukumannya dapat ditambahkan selama tiga bulan. Dengan kata lain, terpidana yang tidak mampu membayar denda akan dikenakan hukuman tambahan sebagai gantinya. Penyidikan pidana pajak merupakan salah satu bagian dari tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh DJP. Tindakan tersebut biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir atau ultimatum remedium. Sebelum melakukan penyidikan, DJP biasanya akan melakukan serangkaian tindakan pengawasan dan pemeriksaan bukti permulaan untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kesalahan dan memastikan bahwa tindakan hukum dilakukan dengan benar. Sebelum wajib pajak yang melakukan pelanggaran tidak menyetorkan pajak, ada beberapa tahapan dalam penagihan pajak. Pertama, WP akan menerima surat teguran yang menyatakan bahwa (STP, SKPKB, SKPKBT) tidak dilunasi dalam 7 hari dari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak ditrebitkannya). Kedua, adalah sutar paksa apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 hari dari tanggal surat teguran dengan biaya penagihan paksa sebesar 25.000 dan harus dilunasi 2x24 jam. Ketiga, surat sita apabila utang pajak tidak dilunasi 2x24 jam dapat dilakukan penyitaan asset WP dan biaya pelaksanaan sita 75.000. Kemudian yang terakhir, Lelang apabila setelah 14 hari Tindakan penyitaan utang pajak belum dilunasi maka dilanjutkan dengan pelelangan. Setelah melakukan penagihan pajak, sesuai pasal 22 juga berlaku daluarsa penagihan pajak. Hal ini merujuk pada DJP kehilangan haknya untuk menagih pajak yang belum dibayar oleh wajib pajak. Dalam hal ini, setelah jangka waktu yang ditetapkan, DJP tidak lagi dapat menuntut wajib pajak untuk membayar pajak yang belum dibayarnya. Dalam materi dijelaskan bahwa hak penagihan pajak daluarsa setelah melampaui 5 tahun sejak : saat terutang pajak, berakhirnya masa atau tahun pajak, tanggal pemberitahuan surat paksa, diterimanya perohonan angsuran atau penundaan pembayaran, penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidana, dan berakhir pada penerbitan SKPKB atau SKPKBT yang mengikuti vonis pidana.