Anda di halaman 1dari 2

Nama : Shafira Widya Ardhea

NIM : 042111233131
Kelas : Perpajakan – I

Tugas Analisis Perpajakan TM 1


Case : Tak Setor Pajak, Pengusaha Tanah Urug Blora Divonis 16 Bulan Penjara
Tak Setor Pajak, Pengusaha Tanah Urug Blora Divonis 16 Bulan Penjara - Solopos.com |
Panduan Informasi dan Inspirasi
Hasil Analisis :
Seorang individu yang dikenal dengan inisial AF dan berasal dari Kabupaten Blora,
Jawa Tengah, yang merupakan seorang pengusaha yang terlibat dalam bongkar muat barang
dan tanah urug, telah dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 4 bulan serta denda sebesar
Rp565 juta oleh Pengadilan Negeri Blora. AF telah dinyatakan bersalah atas pelanggaran
perpajakan karena ia tidak menyetorkan pajak yang berakibat pada kerugian negara. Informasi
yang dikeluarkan oleh Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I menyatakan
bahwa AF, yang merupakan direktur PT AIJ, telah melakukan tindakan pidana perpajakan pada
periode Januari hingga Desember 2019, dengan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut sehingga merugikan negara. Atas perbuatannya tersebut, AF dinyatakan
melanggar pasal 39 ayat 1 huruf i UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP). AF diduga melakukan modus operasi dengan tidak menyetorkan
pajak pertambahan nilai (PPN) yang seharusnya dipungut dari rekan transaksinya ke kas
negara. Hal ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp282.920.791. Hal ini merupakan
tindakan yang merugikan pihak berwenang dan masyarakat pada umumnya dengan tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya. Apabila terdakwa tidak membayar denda yang
dijatuhkan dalam waktu satu bulan, pengadilan berhak menyita dan melelang harta
kekayaannya. Namun, jika terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar denda
tersebut, hukumannya dapat ditambahkan selama tiga bulan. Dengan kata lain, terpidana yang
tidak mampu membayar denda akan dikenakan hukuman tambahan sebagai gantinya.
Penyidikan pidana pajak merupakan salah satu bagian dari tindakan penegakan hukum
yang dilakukan oleh DJP. Tindakan tersebut biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir atau
ultimatum remedium. Sebelum melakukan penyidikan, DJP biasanya akan melakukan
serangkaian tindakan pengawasan dan pemeriksaan bukti permulaan untuk memastikan bahwa
wajib pajak telah memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan kesalahan dan memastikan bahwa tindakan hukum dilakukan dengan benar.
Sebelum wajib pajak yang melakukan pelanggaran tidak menyetorkan pajak, ada beberapa
tahapan dalam penagihan pajak. Pertama, WP akan menerima surat teguran yang menyatakan
bahwa (STP, SKPKB, SKPKBT) tidak dilunasi dalam 7 hari dari batas waktu jatuh tempo (satu
bulan sejak ditrebitkannya). Kedua, adalah sutar paksa apabila utang pajak tidak dilunasi
setelah 21 hari dari tanggal surat teguran dengan biaya penagihan paksa sebesar 25.000 dan
harus dilunasi 2x24 jam. Ketiga, surat sita apabila utang pajak tidak dilunasi 2x24 jam dapat
dilakukan penyitaan asset WP dan biaya pelaksanaan sita 75.000. Kemudian yang terakhir,
Lelang apabila setelah 14 hari Tindakan penyitaan utang pajak belum dilunasi maka
dilanjutkan dengan pelelangan.
Setelah melakukan penagihan pajak, sesuai pasal 22 juga berlaku daluarsa penagihan
pajak. Hal ini merujuk pada DJP kehilangan haknya untuk menagih pajak yang belum dibayar
oleh wajib pajak. Dalam hal ini, setelah jangka waktu yang ditetapkan, DJP tidak lagi dapat
menuntut wajib pajak untuk membayar pajak yang belum dibayarnya. Dalam materi dijelaskan
bahwa hak penagihan pajak daluarsa setelah melampaui 5 tahun sejak : saat terutang pajak,
berakhirnya masa atau tahun pajak, tanggal pemberitahuan surat paksa, diterimanya perohonan
angsuran atau penundaan pembayaran, penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidana, dan
berakhir pada penerbitan SKPKB atau SKPKBT yang mengikuti vonis pidana.

Anda mungkin juga menyukai