Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ZAKAT VERSUS PAJAK DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Zakat dan Wakaf

Dosen Pengampu: Achmad Badarus Muttaqin Choiri, S.Hi., M.HI.

Oleh Kelompok 3:

1. Lala Alvianah Dara (190711100107)


2. Nova Fitria (190711100057)
3. Lina Dwi Kartika (190711100121)
4. Moh. Anis (1907111000)

PRODI HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PEMBUKAAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketetapan Pajak Yang Ada di Indonesia dan Dalam Islam
a.) Sistim Perpajakan Di Indonesia
1. Ketentuan Umum Perpajakan di Indonesia
Karakteristik pokok daru pajak yang diterapkan di Indonesia adalah
pemungutannya harus berdasarkan Undang-undang yang tertulis, hal ini tercantum
pada UUD 1945 Pasal 23 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan “Undang-Undang”.
2. Tata Cara Pemungutan Pajak di Indonesia
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Jenis pajak ini dikenakan pada setiap jenis penghasilan yang didapat dari
setiap wajib pajak yang di atur dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Tarif pajak sesuai dengan pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008
menyebutkan:
1. Untuk wajib pajak orang pribadi:

a. Untuk lapisan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 50.000.000,00


dikenakan tarif sebesar 5%.

b. Untuk lapisan penghasilan kena pajak antara Rp. 50.000.000,00 sampai


dengan Rp. 250.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 15%.

c. Untuk lapisan penghasilan kena pajak antara Rp. 250.000.000,00 sampai


dengan Rp. 500.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 25%.
d. Untuk lapisan penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 500.000.000,00
dikenakan tarif sebesar 35%.

2. Untuk badan dikenakan tarif pajak sebesar 28% dari penghasilan kena pajaknya.

Tata cara pemungutan pajak untuk orang pribadi adalah:

1) Ketika seorang mempunyai usaha dimana dari usaha tersebut ia mendapatkan


penghasilan pertahunnya melebihi jumlah PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) yang
telah ditetapkan oleh UU PPh pasal 7 ayat 1, maka jumlah tersebut menjadi patokan
jumlah penghasilan kena pajak. Sesuai dengan UU PPh pasal 7 ayat 1 jumlah PTKP
yang dapat dikurangkan atas penghasilan dalam waktu setahun, yakni:

a) Rp. 15.840.000,00 untuk diri wajib pajak orang pribadi.

b) Rp. 1.320.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin.

c) Rp. 15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya


digabung dengan penghasilan suami.

d) Rp. 1.320.000,00 tambahan untuksetiap anggota keluarga yang sedarah dan


keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

2) Setelah jumlah penghasilan dikurangkan PTKP, sisanya dikalikan jumlah tarif


pajak. Selanjutnya jumlah tersebut menjadi penghasilan kena pajak.

3) Selanjutnya jumlah tersebut dituangkan dalam SSP (Surat Setor Pajak) yang terdiri
dari 5 lembar dan dibayarkan ke Bank.

4) Lembar pertama dan ketiga akan dikembalikan kepada WP kembali. Lembar


pertama sebagai arsip WP dan lembar ketiga untuk dilaporkan ke KPP (Kantor
Pelayanan Pajak).

5) Dari lembar SSP tersebut digunakan sebagai pedoman pengisian SPT (Surat
Pemberitahuan) tahunan yang kemudian harus dilaporkan ke KPP.

6) Pelaporan SPT Tahunan tidak boleh melebihi 20 April tahun pajak berikutnya,
karena jika melebihi tanggal tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp. 500.000,00.1

1
Fitri Kurniawati, Analisis Komparasi Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Sistem Perpajakan Menurut Islam,
Jurnal Infestasi Vol. 5, No. 1, Juni 2009 H. 24-27
Tata cara pemungutan pajak untuk badan adalah:

1) Ketika sebuah badan menyajikan laporan keuangan komersialnya dalam bentuk


neraca, laporan perubahan ekuitas, dan laporan laba rugi, perusahaan harus membuat
laporan keuangan fiskal. Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang
disusun berdasarkan laporan keuangan komersial yang telah dikoreksi berdasarkan
aturan perpajakan. Biasanya dalam laporan keuangan komersial setiap pengeluaran
dan pendapatan yang dilakukan badan tersebut dituangkan seluruhnya dalam laporan
tersebut apapun jenis pengeluaran dan pendapatan tersebut. Berbeda dengan laporan
keuangan fiskal, dalam laporan ini tidak diperbolehkan menjumlahkan pendapatan
atau mengurangkan pengeluaran yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan
badan tersebut, sebagai misal biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk biaya direksi
melakukan liburan.

2) Setelah didapat jumlah laba dalam laporan laba/rugi fiskal, jumlah tersebut
dikalikan dengan jumlah tarif pajak. Hasilnya merupakan jumlah pajak terutang yang
harus dibayarkan.

3) Selanjutnya jumlah tersebut dituangkan dalam SSP (Surat Setor Pajak) yang terdiri
dari 5 lembar dan dibayarkan ke Bank.

4) Lembar pertama dan ketiga akan dikembalikan kepada WP kembali. Lembar


pertama sebagai arsip WP dan lembar ketiga untuk dilaporkan ke KPP (Kantor
Pelayanan Pajak).

5) Dari lembar SSP tersebut digunakan sebagai pedoman pengisian SPT (Surat
Pemberitahuan) tahunan yang kemudian harus dilaporkan ke KPP.

6) Pelaporan SPT Tahunan Tidak boleh melebihi 20 April tahun pajak berikutnya,
karena jika melebihi tanggal tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp.1.000.000,00

b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan karena adanya konsumsi
yang dikenakan kepada konsumen akhir. Jenis pajak ini memberlakukan tarif tetap
sebesar 10% atas harga barang atau jasa yang diperjualbelikan. Subjek PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik orang pribadi maupun badan yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dikenakan pajak, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk
mengkukuhkan diri sebagai PKP.

Tata cara pemungutan PPN:

a) PKP harus menerbitkan faktur pajak. Dalam faktur tersebut harus dicantumkan
nama, jenis barang, jumlah barang, harga per satuan barang dan jumlah harga dalam
satuan rupiah.

b) Dalam pajak ini berlaku mekanisme pengkreditan jumlah pajak. Ketika PKP
menjual barang dan mengeluarkan faktur hal tersebut disebut pajak keluaran,
sedangkan ketika PKP membeli barang (untuk persediaan atau bahan baku dari PKP
lain) hal tersebut disebut pajak masukan. Dari jumlah pajak masukan dan pajak
keluaran tersebut harus dikurangkan dalam periode bulanan. Ketika pajak masukan
lebih besar dari pajak keluaran maka PKP dapat melakukan restitusi atau meminta
kembali kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan PKP ke KPP. Sedangkan jika
pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan maka PKP harus membayar pajak
kelalui bank dengan SPT PPN masa (SPT jangka Bulanan)

c) Ketika PKP tidak menyetorkan SPT melebihi waktu yang ditetukan dikenakan
denda sebesar Rp. 500.000,00 perbulan dan denda bunga 2% perbulan dari jumlah
pajak terutang yang dikenakan bertingkat maksimal 24 bulan. Terdapat dan jasa
yang dibebaskan dari PPN yang telah diatur dengan undang-undang, antara lain
barang kebutuhan pokok (Sembako), garam, peralatan untuk TNI, buku agama yang
memdapat rekomendasi, bibit tanaman, jasa pendidikan, dan lain-lain.

c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dipungut/dikenakan atas


kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan, peraturan tersebut berlaku
bagi setiap masyarakat (seluruh warga) yang mempunyai kepemilikan atas tanah dan
atau bangunan sebagai bukti akan kepemilikannya. Subjek PBB adalah orang atau
badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Pengenaan pajaknya ditentukan berdasarkan keadaan objek PBB, yaitu
bumi/tanah dan/atau bangunan sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Tarif
PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% dari Nilai Jual Objek
Pajak. Selain itu, terdapat pengecualian yang diatur undang-undang, yakni:

a. Terdapat beberapa objek PBB yang dibebaskan dari PBB, antara lain: sekolah,
masjid/mushollah wakaf, serta tanah dan bangunan yang digunakan untuk
kepentingan umum dan tujuan sosial.

b. Terdapat beberapa golongan yang mendapatkan keringanan atas pembayaran PBB,


antara lain: veteran atau pensiunan, orang yang memperoleh hasil dari tanah yang ada
disekelilingnya, badan yang mengalami kesulitan keuangan dengan syarat tertentu
yang diatur dalam undang-undang. Kesalahan yang dikenakan sanksi dalam sistem
perpajakan di Indonesia dibagi menjadi 2 katagori, yakni:

1. Kealpaan

2. Kesengajaan

b. Sistem Perpajakan Menurut Islam2

Sistem perpajakan menurut Islam adalah sistem perpajakan yang diterapkan


saat pemerintahan Rasulullah sampai dengan pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada
zaman tersebut, anggaran negara masih sangat sederhana dan tidak serumit sistem
anggaran modern. Negara memakai prinsip anggaran berimbang (balance budget).
Pendapatan negara yang didapat sangat berbeda setiap tahunnya, bahkan dari hari ke
hari. Berbagai bagian negara (provinsi) mengirimkan sejumlah tertentu dari kelebihan
penghasilannya sesudah mereka membayar berbagai pengeluaran administratif dan
pengeluaran mereka lainnya. Jadi baitul mal tidak menerima pendapatan kotor dan
pajak dari provinsi-provinsi tersebut, tetapi hanya surplus yang tersisa setelah semua
jasa setempat dan pembayaran kemiliteran dikurangi. Dasar prinsip anggaran
berimbang yang diterapkan pada masa awal periode Islam adalah berapa penghasilan
yang diterima untuk menentukan jumlah yang tersedia untuk dibelanjakan, kecuali
dalam keadaan darurat karena perang atau bencana alam lainnya, yang mengharuskan
pungutan khusus atau sumbangan.

Dalam pandangan Islam, fokus utama pembangunan adalah berorientasi


kepada manusianya, sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral. Karena
itu, indikator utama keberhasilan pembangunan adalah pada sejauh mana
2
Ibid, H.27-29.
tercukupinya segala kebutuhan manusianya dalam berbagai aspek, seperti kesehatan,
makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan lainnya. Islam sangat menekankan
pemerataan pendapatan dan keadilan ekonomi bagi masyarakat secara keseluruhan.

Ketentuan Umum Perpajakan Menurut Islam:

1. Pajak Dipungut Dari Orang Kaya

2. Pajak Hanya Diwajibkan Untuk Kaum Muslim

3. Pajak Dipungut Sesuai Kebutuhan Negara

Jenis Pajak Dalam Sistem Perpajakan Menurut Islam

1. Jizyah
Dalam terminologi keuangan Islam, istilah ini digunakan untuk beban
yang diambil dari penduduk non-muslim (ahl al-dzimmah) yang ada di negara
Islam sebagai biaya perlindungan yang diberikan kepada mereka atas kehidupan
dan kekayaan serta kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Jizyah
dikenakan atas diri mereka bukan atas harta mereka. Jizyah sebagai pajak individu
(kepala) diambil dari pria dan yang mampu membayarnya. Objek dari jizyah
adalah jiwa orang kafir karena kekafirannya.
2. Kharaj
Secara harfiah, kharaj berarti kontrak, sewa menyewa atau menyerahkan.
Dalam terminologi keuangan Islam, istilah ini berarti pajak atas tanah atau hasil
tanah, dimana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara
Islam.
3. ‘Ushr (Bea Cukai)
Dikalangan ahli fiqih, ‘ushr (sepersepuluh) memiliki dua arti. Pertama,
sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua,
sepersepuluh yang diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah
Islam dengan membawa barang dagangan. Jadi kebijakan ini lebih mirip dengan
kebijakan bea cukai pada saat ini. Sistem Perpajakan Indonesia Menurut Islam
Secara struktur pemerintahan Indonesia bukanlah yang seutuhnya negara Islam
tetapi Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, selain itu
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya menganut berbagai macam aliran
keagamaan, tidak hanya Islam semata. Keberagaman aliran agama tersebut
dihargai dan dijunjung tinggi oleh negara, sehingga setiap kebebasan beragama
masyarakatnya dilindungi dengan hukum. Berbeda dengan keadaan negara dimasa
pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, pada zaman tersebut
pemerintahan malah memerangi kaum yang tidak menganut ajaran Islam.
Keadaan lain yang perlu diperhatikan adalah pada kondisi sekarang ini negara
tidak bisa lagi menganut prinsip anggaran berimbang (balance budget) karena
tidak berorientasi kepada pertumbuhan.
Selain itu jumlah kebutuhan negara pada masa ini sangatlah beragam
dibandingkan dengan zaman pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin
dahulu, sehingga membutuhkan jumlah pendapatan yang lebih besar, maka
dengan itu negara harus mencari aliran dana untuk memenuhi kebutuhan negara
yang salah satunya dengan penetapan pajak dan pengambilan pinjaman atau utang
baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Bank Dunia, IMF, ADB, dan lainnya).
Faktor lain yang perlu disorot, sistem ekonomi yang dianut oleh negara kita
adalah sistem ekonomi Pancasila, yakni sistem ekonomi yang berlandaskan
Pancasila sebagai dasarnya.
Negara hanya bisa membuat regulasi untuk memperbolehkan dibangunnya
suatu perangkat ekonomi yang berdasarkan syariah untuk menunjang kebebasan
masyarakatnya dalam melakukan kegiatan ekonomi, antara lain dengan adanya
lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti bank syari’ah dan koperasi syari’ah
(Baitul Mal Wat Tamwil). Alternatif dari permasalahan tersebut adalah
merestrukturisasi sistem perpajakan yang ada saat ini. Jika kita kaji mengenai
struktur perpajakan yang ada di Indonesia dan struktur perpajakan menurut Islam
adalah sama. Di Indonesia, negara berusaha untuk memberi perlindungan untuk
orang-orang miskin dengan membuat pengecualian-pengecualian yang diatur
sesuai undang-undang misalnya dengan adanya aturan mengenai Pendapatan
Tidak Kena Pajak dan pembebasan pajak untuk beberapa golongan. Jadi yang
perlu direstrukturisasi dalam sistem perpajakan di Indonesia antara lain:
a) PPh; zakat seharusnya mengurangkan jumlah pajak terutang bukan jumlah
pendapatan kena pajak, karena zakat yang hanya mengurang pendapatan kena
pajak yang menyebabkan jumlah pendapatan setelah pajak lebih kecil dibanding
kaum non muslim yang mempunyai tingkat pendapatan awal sama.
b) PPN; jika dikaji ulang PPN sulit membedakan antara orang kaya dan miskin,
jadi jika dikenakan pada orang miskin hal itu akan menjadi haram. Jadi
seharusnya PPN hanya diperuntukkan untuk bahan yang merupakan kebutuhan
sekunder dan tersier, sedang untuk kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan
papan tidak boleh dikenakan PPN bagaimanapun jenisnya. Karena jika
masyarakat miskin membeli kebutuhan primer yang terkena pajak, pemerintah dan
pihak terkait telah menzhalimi mereka, apalagi ketika harga barang primer
tersebut semakin melambung karena pajak sehingga mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhannya.
c) PBB; tidak boleh dipungut dari masyarakat miskin. Karena pajak ini dipungut
dari objek bangunan dan tanah yang diambil manfaatnya. Pemerintah dan pihak
terkait harus membuat batasan bangunan dan tanah yang bagaimana yang tidak
boleh dikenakan pajak dan golongan masyarakat mana yang tidak boleh dipungut
PBB. Karena saat ini masyarakat miskin masih banyak yang dikenakan PBB
meskipun telah ada ketentuan bahwa mereka dapat bebas PBB jika pendapatan
mereka dibawah PTKP.
d) Berbagai pengeluaran negara yang sekiranya hanya membuat kesia-siaan harus
dihilangkan. Jadi sumber pendapatan tersebut hanya untuk hal-hal yang
merupakan kewajiban, tidak dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang subhat, apalagi
haram.3

B. Hubungan Zakat, Pajak dan Kebijakan Tentang Ketentuan Zakat Atas Pajak di
Indonesia

Para ulama sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan mengenai sumber


pendapatan pemerintah yang dapat digunakan untuk membiayai belanjanya, misalnya
Al-Mawardi (2006, 227) telah menjelaskan bahwa sumber pendapatan pemerintah
dapat berasal dari ghonimah (harta rampasan perang), fai (harta yang didapatkan oleh
pemerintah dari negara non-muslim tanpa perang), kharaj (pajak atas tanah), ushur
(bea masuk), dan zakat. Akan tetapi, saat ini jenis pendapatan ghonimah serta fai
sudah tidak mungkin lagi didapatkan oleh suatu negara, sehingga menurut Chapra
(2001, 335) pada zaman ini pemerintah dapat membuat jenis pajak baru yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Kemudian para ulama juga

3
Ibid
telah berselisih pendapat mengenai bolehnya pemerintah memungut pajak lain selain
zakat.4
Sebagian dari mereka membolehkan pemerintah memungut pajak, ini adalah
pendapat Al-Qardhawi (2011, 966), Chapra (2001, 335), Ibnu Taimiyah dalam Islahi
(1997, 254), Al-Ghazali dalam Al Qardhawi(2011,1077), An-Nawawi dalam Al-
Qardhawi (2011, 1076), dan ulama-ulama lainnya. Sedangkan ulama yang melarang
pemerintah memungut pajak kepada rakyatnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal
sebagaimana dikutip oleh Al-Hanbali (1993, 157), kemudian Al-Baghawi (1983, 61)
serta ng melarang pemerintah memungut pajak disebabkan karena pemerintah yang
ada pada zaman ulama tersebut sewenang-wenang dalam memungut pajak, sehingga
rakyat hidup dalam kemiskinan sedangkan pemerintah hidup dalam kekayaan yang
berlimpah. Adapun Al-Qardhawi (2011, 1079) menjelaskan bahwa pemerintah boleh
melakukan pemungutan zakat dengan syarat empat hal berikut terpenuhi:
1. Pemerintah benar-benar sedang membutuhkan uang dan sumber lain tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut,
2. Pembagian beban pajak yang adil diantara masyarakat,
3. Pajak hendaknya digunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk
maksiat dan hawa nafsu,
4. Pajak harus dipungut dengan kesepakatan para ahli ekonomi dan ulama.
Hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal
pengembangan islam.5 Itu terjadi takala pasukan muslimin baru saja berhasil
menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran-saran pembantunya memutuskan untuk
tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan.
Tanah-tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik
penduduk setempat. Konsekuensinya penduduk di wilayah Irak tersebut diwajibkan
membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam.
Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak di luar zakat selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang
berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik.
Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoini

4
Husnul Fatarib Dan Amalia Rizmaharani, PAJAK DALAM PERSEPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH (Konsep
Pajak Dan Sistem Perpajakan Dalam Keadilan Islam), Jurnal Hukum, VOL. 15 NO.2, November 2018.
5
Edi Haskar, "HUBUNGAN PAJAK DAN ZAKAT MENURUT PERSPEKTIF ISLAM", Vol. XIV No.02 April 2020, hlm.
34
peradaban Barat sehingga hokum-hukum syar’I semakin ditinggalkan, dan sebaliknya
hokum-hukum Barat buatan manusia diutamakan.Kewajiban zakat disubordinasikan
dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya muncul pertanyaan: wajibkah kaum
Muslimin membayar zakat sementara ia telah membayar pajak, padahal sebenarnya
pajak tidak mempunyai hubungan keterkaitan langsung dengan keyakinan agam?
Oleh sebab itu tidaklah bias dipersamakan antara zakat dan pajak, sehingga muncullah
perdebatan tentang kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.
Perbedaannya, zakat diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah kepada orang-
orang beriman untuk mengharapkan keridhoan-Nya, sedangkan pajak diwajibkan oleh
Negara kepada warga Negara yang didasarkan pada Undang-Undang yang
pemungutannya dapat dipaksakan.Tujuan pajak dan zakat sebenarnya tidak jauh
berbed yaitu sama-sama menginginkan terciptanya kesejahteraan umat. Zakat dan
pajak merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau
memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan agama dan sosial. Membahas
hubungan antara zakat dan pajak disebabkan dari beberapa hal diantaranya yaitu zakat
dan pajak merupakan hal yang signifikan di dalam upaya untuk mensejahterakan
rakyat.Zakat dan pajak memiliki kesamaan, memiliki unsur paksaan, keduanya harus
disetorkan kepada lembaga masyarakat (Negara), keduanya tidak menyediakan
imbalan tertentu, dan keduanya memiliki tujuan kemasyarakatan, ekonomi, politik di
samping tujuan keuangan. Zakat dan pajak memiliki perbedaan dalam beberpaa hal,
yakni dalam hal nama dan etika, hakikat dan tujuan, nishab dan ketentuan, kelestarian
dan kelangsungan, pengeluaran, dalam hal hubungan dengan penguasa, dan dalam hal
maksud dan tujuannya. Mengenai hukum pajak dalam Islam, ada dua pandangan yang
dapat muncul, seperti pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya
pajak, sedangkan pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak
merupakan suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram. Pajak ialah
suatu hal yang diperbolehkan, pendapat ini ini diambil dengan menganggap bahwa
pajak ialah sebagai ibadah tambahan setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi
menjadi wajib karena sebagai bentuk ketaatan kepada waliyyul amri, yang disebut
amri ini dapat disebutkan sebagai pemerintah.
Mengenai hubungan antara zakat dan pajak sebenarnya bukanlah masalah
yang baru dalam Islam. Berdasarkan jejak rekam sejarah, setidaknya masalah tersebut
telah terjadi semenjak pasukan muslimin yang baru saja berhasil menaklukkan Irak
(Ardun Sawad). Kemudian setelah terjadi perdebatan panjang, khalifah Umar Ibn
Khattab R.A berijtihad untuk tidak membagikan harta rampasan perang tersebut
(mejadikan Ardun Sawad sebagi Fa’i), dengan mempertimbangkan generasi
mendatang.Akan tetapi, tanah taklukan tersebut dikenakan Kharaj (pajak) kepada
penduduk sekalipun telah memeluk ajaran Islam.Semenjak itulah, tonggak awal
diberlakukannya kewajiban pajak disamping zakat (Kharaj dan Ushr) bagi kaum
muslimin berlandaskan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Dan ketentuan tersebut
berlanjut hingga masa dauliyyah (Daulah Umayyah, Abbasiyyah, dan terakhir daulah
Utsmaniyyah).
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat
penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Menurut Muhammad Abdul Mannan, salah
seorang pemikir ekonomi Islam di era kontemporer, memandang bahwa zakat sebagai
poros utama keuangan publik Islam. Zakat bukan pula pajak, namun justru dipandang
sebagai sumber utama pendapatan dan juga “a religious obligation”. Muhammad
Abdul Mannan menegaskan bahwa zakat memeang tidak memilki efek merugikan
dalam motivasi bekerja. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu yang
membangkitkan semangat untuk bekerja. Akan tetapi seriring dengan kemunduran
peradaban Islam disertai hegemoni peradaban barat, hukum syar’i semakin
ditinggalkan dan digantikan dengan hokum Wad’I (buatan manusia), implikasinya
berbagai penyimpangan tidak terelakkan bahkan penyalahgunaan fungsi dari pajak
tidak dapat dihindarkan, fungsi zakat sebagai pemasukan Negara dikebiri dan
menggantikannya dengan pajak. Lahirnya dokumen Magna Charta di inggris (1215),
Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1775-1781) dengan jargonya yang
terkenal “No Taxation without representation, Taxation without representation is
tyranny, Taxation without representatiton is robbery” merupakan bukti konkrit dari
adanya penyimpangan-penyimpangan dan ketidakpuasan rakyat terhadap ketentuan-
ketentuan perpajakan yang berlebihan dan semena-mena oleh para penguasa. Di masa
kini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar bagi Negara, mengingat semakin
bertambahnya pegawai Negara, dan juga bertambahnya kewajiban serta tanggung
jawab Negara dibidang ekonomi maupun social. Di tengah menguatnya peranan pajak
sebagai pemasukan Negara, secara bersamaan muncul pula kesadaran umat untuk
membayar zakat serta peran zakat sebagai sarana untuk menanggulangi permasalahan
ekonomi maupun social. Dua hal ini memantik beberapa permasalahan penting
mengingat adanya perbedaan antara keduanya (pajak dan zakat) yaitu timbulnya
dualism pemungutan (pajak dan zakat) atas objek yang sama. Dualisme pemungutan
ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik penghasilan.
Kontraksi dana dengan dualism system ini potensial menimbulkan efek yang
kontraproduktif dalam konteks mensejahterakan rakyat. Walaupun terdapat perbedaan
nilai di dalam pemungutan pajak dan zakat, namun zakat dapat dihubungkan dengan
empat norma perpajakan :
1. Norma Persamaan
Setiap warga dari suatu negara sedapat mungkin harus menyumbang untuk
menyokong pemerintah, sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. Hal ini
berlaku dalam sistem modern perpajakan yang menentukanpemungutan pajak
berdasarkan penghasilan seseorang. Sebaliknya zakat dipungut atas tabungan yang
terhimpun dengan tarif seragam, yang menjamin pengorbanan yang sama, di samping
itu zakat tidak dapat digunakan oleh negara sekehendak hatinya.”
2. Norma Kepastian
Pajak yang harus dibayar seseorang adalah pasti dan tidak dapat ditetapkan
cara sewenang-wenang. Waktu pembayaran, jumlah yang akan dibayar, harus jelas
dan nyata bagi si wajib pajak dan orang lainnya.”Pembayarpajak harus mengetahui
jumlah yang harus dibayarnya sehingga ia dapat menyesuaikan pengeluaran dengan
pendapatannya. Mengenai kepastian zakat, tidak ada perbandingannya karena
ketentuan-ketentuan pokoknya ditetapkan secara pasti dan tidak berubah-ubah
berdasarkan ketentuan Illahi.
3. Norma Kemudahan
Setiap pajak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga hanya mengambil
dan menyingkirkan dari kantor rakyat sesedikit mungkin, di samping yang
dimasukkannya ke dalam perbendaharaan negara. Ketentuan tentang pemungutan
zakat pun harus dibuat sesederhana mungkin sehingga tidak diperlukan pengetahuan
khusus untuk mengetahuinya, dan karena itu biayanya pasti menjadi ekonomis. Selain
norma-norma di atas, zakat juga memiliki norma produktivitas dan norma elastisitas,
tidak perlu dikatakan bahwa zakat sangat konsisten dengan norma produktivitas,
karena dikenakannya pajak pada uang yang menganggur dalam bentuk zakat yang
dengan sendirinya mengeluarkan hasil pajak itu ke bidang produksi sehingga pada
gilirannya dapat menambah kekayaan Nasional suatu negara, memang benar bahwa
tampaknya zakat tidak elastis dalam arti istilah negara tetapi masalah elastisitas
kehilangan kekuatannya, karena dalam rangka masyarakat Islami kepala negara
membuat dan menetapkan pajak baru menurut perubahan keadaan.
Baik dan buruknya sistem perpajakan tergantung akibatnya pada masyarakat.
Sistem perpajakan terbaik adalah sistem yang menjamin keuntungan sosial terbanyak
dimana sistem kesejahteraan ekonomi suatu masyarakat dapat ditingkatkan, yakni
dengan cara perbaikan dalam hal produksi serta distribusi yang dihasilkan”. Zakat
dapat memperbaiki pola konsumsi, produksi dan distribusi dalam masyarakat Islam,
karena zakat adalah musuh bagi penimbun dan penguasaan serta pemilikan sumber
daya produksi oleh orang-orang tertentu saja.
Kajian keuangan negara dan ekonomi pembangunan melihat zakat sebagai
sebuah sistem yang mirip dengan sistem perpajakan. Fatwa ulama mengenai hal ini
pun cukup beragam, walaupun pada akhirnya tertuju kepada satu pemahaman bahwa
sistem zakat berbeda dengan sistem pajak terutama pada keeratan aspek normatif
sistem zakat.
Perbedaan cara pandang antara seorang muslim dengan muslim lainnya dalam
mengamini pajak akan berimbas kepada cara menghitung keduanya. Artinya, bila
kesepakatan menyatakan bahwa zakat sama sama dengan pajak, maka implikasinya
adalah seorang muslim tidak perlu lagi membayar zakat setelah membayar pajak.
Sedangkan apabila kesepakatan mengarah kepada adanya perbedaan antara zakat dan
pajak, maka implikasinya adalah munculnya perdebatan tentang kewajiban membayar
zakat setelah pajak atau malah sebaliknya.
Diluar dari kerancuan di atas, pemerintah Republik Indonesia secara gemilang
telah mengeluarkan UU Nomor 38 Tahun 1999, tanggal 23 september 1999 tentang
pengelolaan zakat, yang menyebutkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada
Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa
kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Kemudian disusul ketetapan UU Nomor 17 perubahan
ketiga atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
Undang-undang tersebut bahwa zakat atas penghasilan yang nyata dibayarkan
kepada Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat yang dibentuk dan disahkan oleh
pemerintah dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Selain itu, Undang-
undang ini juga menetapkan bahwa bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak (mustahik), tidak termasuk sebagai objek pajak
penghasilan. Hal tersebut sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikaan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Zakat yang dibayarkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang mendapat sertifikasi dari pemerintah dapat digunakan sebagai
faktor pengurang penghasilan kena pajak dari pajak penghasilan wajib pajak yang
bersangkutan dengan menggunakan bukti setoran yang sah. Bukti setoran zakat yang
sah harus mencantumkan hal-hal sebagai berikut:

1. Nama, alamat, dan nomor lengkap pengesahan Badan Amil Zakat atau
nomor lengkap pengukuhan Lembaga Amil Zakat.
2. Nomor urut bukti setoran.
3. Nama, alamat muzakki dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) apabila zakat
penghasilan yang dibayarkan dikurangkan dari penghasilan kena pajak penghasilan.
4. Jumlah zakat atas penghasilan yang disetor dalam angka dan huruf serta
dicantumkn tahun haul.
5. Tanda tangan, nama, jabatan petugas Badan Amil Zakat tanggal
penerimaan dan stempel Badan Amil Zakat atas Lembaga Amil Zakat. Bukti setoran
tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan rincian sebagai berikut: lembar 1 (asli),
diberikan kepada muzakki yang dapat
digunakan sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak penghasilan.
Lembar 2 sebagai arsip. Lembar 3, digunakan sebagai arsip bank penerim,
apabila zakat disetot melalui bank.
Kebijakan tentang ketentuan zakat atas pajak di Indonesia
Berikut ini beberapa kebijakan terkait zakat dan pajak :6
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan
Termasuk Zakat Atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan.
6
https://pid.baznas.go.id/hubungan-zakat-pajak/ diakses pada 26 Maret 2021 pukul 14.07
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.
5. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 33 Tahun 2011 tentang Badan/Lembaga yang
Dibentuk atau Disahkan Oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebegai Penerima Zakat
Atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto.
6. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Dirjen
Pajak Nomor 33 Tahun 2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan
Oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.
Dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
dan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak
orang pribadi melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak dan sekaligus wajib
zakat. Kebijakan pengelolaan zakat bahwa zakat sebagai pengurang penghasilan kena
pajak dapat dipandang menjadi menjadi langkah maju menuju sinergi dalam
pengelolaan yang baik, baik dari sisi zakat maupun sisi pajak sehingga demi
tercapainya tujuan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas Undang-undang
Nomor 23 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang No. 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan serta diperkuat juga dengan adanya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2010 Tentang Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.7
C. Upaya dan Kajian Serta Upaya Kebijakan Singkronisasi Zakat atas Pajak
Upaya Kebijakan Sinkronisasi Zakat atas Pajak
Zakat merupakan kewajiban ummat islam yang pertanggung jawabannya
langsung kepada Allah SWT. Sebagai ummat Islam mereka harus membayar zakat
dan pajak, meskipun hal ini membebani ummat islam sebab adanya beban ganda.
Namun, apabila ada cara untuk meringankan beban masyarakat muslim dari zakat
serta pajak selain yang ada pada aturan undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak maka akan sangat efektif
7
Ma’zumi, dkk, "Kebijakan Pengelolaan Zakat dan Dampaknya Terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Serang), Jurnal Ekonomi Islam, Keuangan dan Perbankan",
Jurnal Ekonomi Islam, Keuangan dan Perbankan, Vol.2 No.2, November 2018, hlm 24
karena zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak masih dinilai memberatkan
wajib pajak muslim karena tetap memikul kewajiban ganda.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 yang dibuat oleh pemerintah belum
efektif dilihat dari tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap
kewajiban membayar zakat dan pajak, meskipun telah ada aturan yang mengenai
zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Pandangan wajib pajak muslim
terhadap aturan tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman dan kepercayaan
wajib pajak terhadap unit pengumpul zakat yang telah disahkan oleh pemerintah
seperti Basnaz dan LAZ. Dalam Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-
163/PJ/2003 membahas mengenai aturan tentang perlakuan zakat atas penghasilan
dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Keputusan tersebut merupakan zakat atas
penghasilan dimana hal ini sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 Pasal 14 ayat (3) tentang Pengelolaan Zakat. Zakat atas penghasilan yang
boleh dikurangkan yakni yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengolahan zakat serta Keputusan Direktur
Jendral Pajak dengan Nomor KEP-163/PJ/2003 mengenai perlakuan zakat
dikurangkan dari penghasilan dalam perhitungan penghasilan kena pajak atas pajak
penghasilan. Pelaksanaan pengolaan zakat tentunya tidak dapat dipisahkan dari
sebuah ukuran akan berhasil atau tidaknya pengolahan zakat tersebut, keberhasilan
dalam pengelolaan zakat di tentukan dari strategi dan manfaat zakat bagi mustahiq.
Pada Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan telah mengkomodir zakat bahwa:
“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan dari hatra yang dihibahkan, bantuan
atau sumbangan atau warisan, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal
6 ayat (1) huruf I sampai m serta zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau
Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan

8
Mawarni, Intan Oktavia Angga, 2016, Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, Jurnal Akuntasi, vol.
1 No. 1, hal. 1-25
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintahan.”
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
 Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama islam dan atau badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintahan;
 Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama selain agama islam dan atau oleh wajib pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.

Sedangkan, badan atau lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur
sengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011, yang diantaranya:

 Badan Amil Zakat Nasional;


 LAZ Dompet Dhuafa Republika;
 LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia;
 Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI);
 Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BBDN
YADP).9

Dalam pasal 14 ayat (3) UU No. 38 Tahun 1999 mengatur bahwa zakat yang
telah dibayarkan kepada badan amil zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena
pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003
menjadikan zakat sebagai pengurang atas penghasilan apabila dibayarkan oleh wajib
pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan Wajib Pajak Badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam. Selain itu dijelaskan juga tentang perlakuan zakat
9
Masnun Tahir, Zusiana Elly Triantini, “Integrasi Zakat Dan Pajak di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum
Positif Dan Hukum Islam”. AL-‘ADALAH. Vol. XII No. 3, Juni 2015, hal. 517-518.
atas penghasilan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Zakat yang boleh
dikurangkan dari penghasilan adalah zakat atas penghasilan saja yang nyata-nyata
dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga zakat yang
dibentuk dan disahkan oleh pemerintah berdasarkan bukti setoran zakat yang sah.
Dengan demikian zakat bukan sebagai pengurang Pajak Penghasilan secara langsung
akan tetapi sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak.10

Kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintahan tersebut tidak dapat


menghilangkan kewajiban ganda yang harus dipikul umat islam akan tetapi hanya
dapat mengurangi beban pajak yang terutang. Menurut pemerintahan adanya dua
kewajiban yang wajib dibayar oleh umat islam bukan merupakan kewajiban ganda,
sebab kepentingan pembayaran keduanya berbeda. Zakat yang dibayarkan merupakan
kewajiban rakyat kepada agamanya sebagai ibadah, sedangkan pajak yang dibayarkan
merupakan kewajiban rakyat kepada negara.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

10
Herman, H. Atang, 2016, Pembentukan Peraturan Pelaksana Zakat Mengurangi Penghasilan Kena Pajak
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Jurnal Wawasan Hukum. vol. 34 No. 1, hal. 1-20
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai