Indonesia sebagai negara hukum mengenal 3 sistem hukum yaitu Hukum Adat, Hukum
Barat dan Hukum Islam. Hukum Islam sebagai bagian dalam sistem hukum di
Indonesia menjadi kompetensi dari Pengadilan Agama. Di Indonesia, hukum Islam
kebanyakan digunakan dalam lingkup hukum perdata, dan masyarakat Indonesia
mengenal hukum Islam sebagai bagian dari hukum di Indonesia hanyalah dalam batas
lingkup hukum yang mengatur soal-soal kekeluargaan dan ekonomi seperti perkawinan,
kewarisan, ekonomi syaria’ah, dll.
Padahal hukum Islam yang digunakan sebagai acuan dalam sistem hukum, baik dalam
sistem hukum di Indonesia maupun hukum internasional, lebih luas dalam penggunaan
pokok-pokok, kaidah maupun asas-asasnya. Dalam tulisan ini membahas beberapa
asas-asas dan kaidah dalam Hukum Islam yang juga digunakan dalam Hukum Acara
Perdata di Indonesia. Dalam tulisan ini tidak dibahas secara mendalam mengenai
masing-masing hukum Islam maupun hukum perdata, karena tulisan ini dimaksudkan
sebagai wawasan umum hukum saja. Adapun mengenai hukum perdata dan hukum
Islam secara mendalam dapat diketahui dari para fuqaha atau ahli fikih, para sarjana
hukum-hukum Islam dan guru-guru besar dalam hukum perdata.
Di Indonesia, untuk provinsi Nangroe Aceh Darussalaam ada peradilan Syari’ah Islam
yang merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang wewenangnya
menyangkut kewenangan peradilan (Pasal 15(2) UU No.4/2004). Peradilan Syari’ah
Islam merupakan bagian dari sistem peradilan nasional, dilakukan oleh syari’ah yang
bebas dari pengaruh pihak manapun. Kewenangan Mahkamah Syari’ah diberlakukan
bagi pemeluk beragama Islam didasarkan atas syari’ah Islam dalam sistem hukum
nasional yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalaam.
Mahkamah Syari’ah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan di Mahkamah Agung.
Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat oleh Presiden (Pasal 26 No.18/2001).
Sedangkan Pengadilan Agama adalah bagian dari sistem peradilan Indonesia yang
teradapat di hampir semua provinsi di Indonesia, yang kewenangannya menyangkut
masalah-masalah keperdataan dalam hukum Islam dan pemeluk agama Islam di
Indonesia. Kompetensi Pengadilan Agama diantaranya adalah mengenai hukum
keluarga (perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak), wakaf, ekonomi syariah, dll.
Akan tetapi dalam tulisan ini tidak dibahas mengenai kompetensi dan peradilan tersebut
secara khusus. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas mengenai hukum acara
perdata, sebagai suatu wawasan umum, yaitu komparasi antara asas dan kaidah yang
berlaku dalam hukum acara perdata dalam sistem hukum nasional dan di dalam Islam.
Dalam sistem hukum di Indonesia, untuk melaksanakan hukum materiil perdata, atau
biasa disebut hukum perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau
mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak,
diperlukan rangkaian peraturan-peratutan hukum lain disamping hukum materiil perdata
itu sendiri. Peraturan inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.
Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil
perdata. Hukum acara perdata secara singkat adalah peraturan hukum yang mengatur
atau menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Hukum acara perdata di Indonesia digunakan juga di Pengadilan Agama, yang mana
hukum acara perdata di Indonesia bersumber dari peninggalan hukum-hukum Barat
atau Hukum pemerintah Belanda yaitu HIR dan Rbg yang masih digunakan sampai
sekarang. Berikut beberapa asas hukum perdata dalam sistem hukum acara perdata,
terutama dalam hal pembuktian dan persamaannya dalam hukum Islam yang
bersumber dari hadits Nabi Shallallahu’alaihiwassalam.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…" (QS.Al-Baqarah: 282)
Dalam pengadilan dalam Islam, bukti tertulis yang dapat diajukan oleh para pihak yang
berperkara adalah bukti tertulis berupa akta dan surat keterangan lain yang sah yang
dapat meyakinkan hakim atas peristiwa atau dalil gugatan dan sanggahan dari para
pihak.
Keterangan mereka ini hanyalah boleh dianggap sebagai penjelasan belaka. Untuk
memberi keterangan tersebut mereka tidak perlu disumpah (Ps. 145 ayat 4 HIR, Ps.
173 RBg).
Dalam Islam, syarat sah saksi adalah: muslim; sehat akal; baligh; dan, tidak fasik.
Sedangkan mereka yang ditolak sebagai saksi adalah
1. Yang bermusuhan dengan pihak yang berperkara.
2. Mahram,
3. Yang berkepentingan atas perkara itu,
4. Sakit jiwa,
5. Fasik; yaitu orang yang suka menyembunyikan yang benar dan menampakkan yang
salah,
6. Safih; yang lemah akal atau dibawah pengampuan.
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dalam hukum acara perdata
dengan hukum Islam mengenai syarat-syarat saksi dan saksi-saksi yang ditolak
kesaksiannya, yaitu bahwa keluarga sedarah dan semenda, suami, atau istri (dapat
dikategorikan diantaranya ada yang merupakan mahram), anak-anak yang dibawah 15
tahun ditolak secara nisbi/ relatif. Artinya, jika dalam Islam, seseroang sudah baligh
sebelum umur 15 tahun maka ia dapat dijadikan saksi, tapi pada umumnya orang
mencapai usia baligh antara umur 12- 15 tahun, hingga hal ini menjadi suatu yang
relative, sama dengan yang ada di dalam hukum perdata, anak dibawah umur 15 tahun
juga dapat didengar keterangannya tapi tidak sebagai saksi. Di dalam hukum perdata,
orang yang gila dapat didengar keterangannya apabila ingatannya terang,tapi tidak
sebagai saksi. Sedangkan di dalam hukum Islam, orang yang gila/sakit jiwa, sama
sekali tidak bisa dijadikan saksi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada sedikit
persamaannya bahwa dalam kedua sistem hukum acara perdata dan dalam hukum
Islam, pada dasarnya orang gila tidak dapat dijadikan saksi. Begitupula dengan orang
yang dibawah pengampuan, maka didalam hukum Islam ditolak kesaksiannya. Dalam
hukum acara perdata, orang tersebut boleh didengar keterangannya tapi tidak boleh
dijadikan saksi.
Adapun mengenai saksi yang fasiq, sabda Rasulullah Shallallahualaihiwassalaam:
Lebih lanjut lagi, yang tidak boleh dijadikan saksi adalah sebagai berikut:
Unus testis nullus testis
Dalam peradilan perdata dikenal istilah Unus testis nullus testis , yaitu keterangan dari
seorang saksi saja, tanpa ada alat bukti yang lain tidak dianggap pembuktian yang
cukup (Ps 1905 BW, Ps 169 HIR), dalam ranah hukum, orang biasa menyebutnya: satu
saksi bukan saksi. Maka, disamping saksi tersebut harus ada alat pembuktian lain yang
diajukan kepada hakim.
Dalam Islam, asas unus testis nullus testis atau satu saksi bukan saksi (jika tidak ada
alat pembuktian lain) juga dikenal bahkan menjadi praktik peradilan sejak zaman
Rasulullah Shallallahualaihiwassalaam:
Sumpah dan Pengakuan
Dalam hukum acara perdata, sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang
khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberi janji atau keterangan yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi pada
hakikatnya,sumpah adalah tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam
pengadilan.
Sumpah dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu disebut sebagai
sumpah promissoir. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi atau
sumpah saksi ahli. Karena sebelum memberikan pendapatnya atau keterangannya,
harus diucapkan janji akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain dari
yang sebenarnya.
2. Sumpah untuk memberikan keterangan guna meneguhkan sesuatu itu benar
demikian atau tidak benar demikian, disebut sebagai sumpah assertoir atau
sumpah confirmatoir. Yang termasuk sumpah confirmatoir adalah sumpah sebagai
alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.
Dalam hukum acara perdata, para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar
sebagai saksi. Walaupun demikian, dibuka kemungkinan untuk memperoleh
keterangan dari para pihak yang diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan
dalam golongan alat bukti.
Dalam Islam juga dikenal sumpah sebagaimana sumpah promissoir dan sumpah
confirmatoir.
1. Mengenai seseorang yang harus bersumpah dengan sumpah promissoir yaitu
bersumpah akan memberikan keterangan yang benar dan tidak lain dari
sebenarnya, adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahualaihiwassalaam:
2. Sedangkan mengenai sumpah confirmatoir, yaitu sumpah para pihak sebagai alat
bukti adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahualaihiwassalaam diatas
pada bagian mengenai kesaksian. Selain itu, dalam riwayat lain:
PENUTUP
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata dan memiliki persamaan
dengan hukum Islam dalam kaidah dan asas-asasnya. Hal ini karena hukum perdata
materiil dan formil di Indonesia berasal dari Codex Napoleon yang dibawa oleh
Pemerintah Belanda ke Indonesia dalam bentuk hukum-hukum pemerintah Hindia
Belanda. Codex Napoleon adalah seperangkat aturan hukum pada masa pemerintahan
Napoleon Bonaparte di Perancis yang kemudian digunakan oleh pemerintah negeri
Belanda dan dibawa ke Hindia Belanda sebagai suatu perangkat hukum yang mengatur
masyarakat di negara jajahannya, yakni Hindia Belanda, dan masih digunakan setelah
Indonesia merdeka hingga sekarang.
Oleh karena itu, jelas bahwa baik dalam Islam maupun dalam lingkup internasional,
hukum dipergunakan sebagai perangkat bagi masyarakat. khususnya bagi pencari
keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa atau yang berkepentingan. Oleh karena itu
hakim haruslah adil dan tidak membeda-bedakan orang, karena semua orang sama di
dalam hukum.
Referensi:
Al-Qur’anul Kariim
Terjemah Nailul Authar- Himpunan Hadits-Hadits Hukum- Jilid 6, Karya Asy-Syekh
Faisal bin Abdul Aziz al-Mubarak, diterjemhkan oleh Mu’ammal Hamidy, dkk, PT. Bina
Ilmu, 2010, Surabaya
Prof. Dr.Sudikno Mertokusumo, SH., Hukum Acara Perdata, Cahaya Atma Pustaka,
2010, Yogyakarta
http://digilib.uinsby.ac.id/