5.1. Latar Belakang Kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor
hukum adat, dan hukum kolonial.173 Pada fase awal kemerdekaan, hukum Barat
Hukum nasional Indonesia bersumber pada tiga hukum yang bersaing, sementara
lembaga negara).174
sosial dan politik dalam dimensi ruang dan waktu tertentu mengenai terbentuknya
172
Jaih Mubarak (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN
SGD Bandung), “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia”, Artikel,
www.badilag.net
173
Ismail Sunny, ”Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,”
dalam Tjun Sumardjan (ed.). 1994. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, cet. ke-2, hlm. 73-81.
174
Karel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta, Bulan Bintang, cet. ke-1, hlm. 211-233.
101
Islam itu sebenarnya bukan hanya sekedar sebuah sistem teologi tetapi lebih
merupakan sebuah sistim nilai yang holistik, integral dan universal dari sebuah
peradaban yang lengkap, dapat dipahami dari optik norma-norma hukum yang
dengan tuhannya atau hablum minallah, serta yang mengatur hubungan manusia
fungsi managerial di bumi atau khalifatullah fil ardl dalam hubungannya dengan
Ajaran Islam itu bertumpu pada pada sebuah pilar keyakinan akan keesaan
Allah atau tauhidullah,175 dan seluruh fenomena kehidupan ini dipandang sebagai
ekspresi dan refleksi dari keesaan Allah itu. Islam tidak memaksa manusia untuk
memeluk agama Islam, tetapi sekali seseorang menyatakan diri memeluk agama
Islam, maka dia dituntut untuk menundukkan diri secara totalitas pada sistem nilai-
nilai dalam Islam, termasuk pada sistem hukumnya. Karena Islam itu merupakan
sebuah total sistem, yang terdiri dari aqidah atau belief system, syari‟ah atau worship
system, muammalah atau social system, dan akhlaq atau personality system.176
Seperti yang diungkapkan oleh Akhmad Nor Zaroni, ketika membahas masalah
175
Tauhid bukan saja hanya meng-Esa-kan Allah s.w.t., seperti yang diyakini kaum
monoteis melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan atau unity of creation, kesatuan
kemanusiaan atau unity of mankind, kesatuan tuntunan hidup atau unity of guidance dan
kesatuan tujuan hidup atau unity of purpose of life, yang semuanya merupakan derivasi dari
kesatuan ke-Tuhanan atau unity of Godhead. Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid
merupakan sebuah pandangan umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa
dan sejarah manusia. Lihat Fathurrahman Djamil. 2006. “Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”,
dalam Kapita Selekta Perbanlan Syari‟ah Menyongsong Berlakunya Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (Perluasan
Wewenang Peradilan Agama), Pusdiklat Mahkamah Agung RI. hlm, 63-64.
176
Herman Soewardi, Op.Cit, hlm.237
102
mengapa harus ekonomi Islam jawabnya karena Islam sebagai sebuah sistem
Skema III
Islam Sebagai Sistem Kehidupan
Skema tersebut di atas, sejalan dengan pandangan Abdul Qadir Audah yang
ini. Karena syariat Islam menjadikan unsur spiritual (rohaniah) ini sebagai porsi
Itulah sebabnya, Islam mewajibkan kepada setiap muslim agar dapat menyesuaikan
177
Akhmad Nor Zaroni, 2006, “Sosialisasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama”,
Makalah, dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Bekerjasama Dengan Pengadilan Tinggi
Agama Samarinda, Tanggal,21-23 Desember 2006 di Hotel Grand Zamrud 2 Jl. Panglima
Batur 45 Samarinda-Kalimantan Timur
178
Abdul Qadir Audah,1985, Kritik Terhadap Undang-undang Ciptaan Manusia, Bina
Ilmu, 46
103
dirinya, pergaulan serta hubungannya dengan orang lain, dan setiap apa yang
Islam sendiri.
Di dalam agama Islam tidak ada garis pembeda secara tegas antara ibadah
segala sesuatu menurut tata cara yang telah ditentukan dalam agama Islam dalam
rangka mencari keridhaan Allah. Dari perspektif inilah harus dipahami, mengapa
umat Islam memerlukan adanya sebuah pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan
hukum yang sesuai dengan hukum-hukum Allah (hukum Islam). Jadi Islam itu pada
akhirnya menjadi sebuah identitas kepribadian yang menyatu di dalam diri setiap
Personalitas keislaman ini telah menjadi benang merah yang menelusuri sejarah
masuknya agama Islam179 di bumi nusantara ini, sekitar abad ke 7 M. Namun dalam
rangka tulisan ini, perhatian akan difokuskan pada asas personalitas ke-Islaman,
sebagai suatu asas hukum, diberikan iklim yang kondusif untuk berkembang menjadi
179
Ramly Hutabarat menegaskan akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara
menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad
ketujuh dan ke delapan masehi. Sementara Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai
diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Lihat
Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam Di Indonesia; Dulu Dan Sekarang”, Makalah, Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif, Universitas
Indonesia Program Pascasarjana Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam
Kekhususan Kajian Islam, Jakarta, 2006.
104
sebuah lembaga hukum khusus, untuk memenuhi kebutuhan layanan hukum umat
Islam dalam atmosfir kekuasaan negara. Hal tersebut terkait erat dengan corak
politik hukum Islam yang dianut oleh suatu kekuasaan, yang telah memberikan corak
Islaman, hukum Islam180 dan lembaga hukum Islam pada satu sisi, berhadapan
menetapkan pola hubungan antara keduanya dalam sebuah kondisi politik yang
180
Istilah hukum Islam sering dipahami oleh orang Barat sebagai terjemahan dari
“Islamic Law” yang menyamakannya dengan istilah syari‟at, tasyri‟ dan fiqh. Untuk itu
selanjutnya akan dijelaskan masing-masing dari istilah di atas. Kata syari‟at dalam bahasa
Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tempat, baik tujuan manusia maupun
binatang. Syari‟at dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam arti
sumber kehidupan yang dapat menjamin kebutuhan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Oleh karena itu syari‟at dalam arti hukum Islam berarti hukum-hukum dan tata
aturan yang disampaikan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Syari‟at berarti sumber
hukum Islam yang tidak berubah sepanjang masa. Lihat Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat
Hukum Islam, Bandung, Unisba, hlm.10. Dalam bahasa Arab dijumpai kata syara‟a yang
berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama. Dengan demikian
kata tasyri‟ berarti pembuatan jalan raya itu. Dari pengertian tasyri‟ seperti ini kemudian
digunakan di kalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan garis-garis besar hukum
Islam, pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu kata tasyri‟ berarti
pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan
hukum-hukum praktis. Tasyri‟ terbagi dua yaitu tasyri‟ samawy (buatan Allah) dan tasyri‟
wad‟id (buatan manusia). Ibid., hlm.11. Fiqh dalam bahasa Arab berarti pengertian atau
pengetahuan. Fiqh pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan,
namun bersaman dengan perkembangan Islam, kata inipun berkembang hingga digunakan
untuk nama-nama sekelompok hukum-hukum yang bersifat praktis. Dalam peraturan
perundang-undangan Islam dan sistem hukum Islam, fiqh didefinisikan sebagai berikut :
Hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari‟at yaitu hukum-hukum yang penggaliannya
memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan dan ijtihad.
Dengan demikian makna fiqh telah menjadi suatu nama ilmu yang mempunyai makna
tertentu atau istilah khusus dikalangan ahli-ahli hukum Islam. Lihat Fazlur Rahman, 1979,
Islam, ed.II, Chicago-London, Chicago University Press, hlm.100.
105
Dipandang dari kondisi politik yang pernah dilalui oleh sejarah Peradilan
Agama, yang berarti pula sejarah hukum Islam di Indonesia, ditemukan ada tiga pola
Kondisi politik yang melihat bahwa hukum Islam itu adalah layak dan adil jika
diberlakukan khusus bagi umat Islam. Negara hanya memberi kebebasan kepada
umat Islam untuk mengatur dirinya sendiri dalam dunia hukum, dan tidak akan turut
lembaga hukum Islam (pengadilan Islam) perlu diberikan dasar legalitas. Kondisi
Willem Christiaan van den Berg,181 menurut theorie receptio in complexu bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing.182 Menurut teori ini bagi orang
yang beragama Islam berlaku penuh hukum Islam sebab mereka telah memeluk
theorie receptio in complexu yang berarti bahwa orang Islam Indonesia telah
181
H. Ichtijanto S.A.(I), “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan, hlm. 117.
182
Suparman Usman, 2001, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam tata Hukum Indonesia). Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm. 111.
183
Ibid
184
A. Qodri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta, Gama Media
Offset, hlm.154.
106
hukum Islam dan adanya lembaga Peradilan Agama186 dengan berbagai nama
merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah artinya sebagai tugas kewajiban
tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku.
fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.189 Kondisi
Uraian tersebut sesuai dengan teori ajaran Islam tentang penataan hukum,
menurut A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad adalah suatu teori yang
penataan hukum tersebut dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah
185
Afdol, 2006, Op.Cit, hlm.44.
186
Ibid
187
H. Ichtijanto S.A. (I).Op.Cit, hlm. 118.
188
Afdol. Op.Cit.hlm.44.
189
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia
dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hlm.61-62.
190
Muhammad Ikhsan, Op.Cit..
107
teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di
masyarakat. Apabila ditinjau dari segi syari‟at Islam, maka hal tersebut tidak saja
disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Hal ini,
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan Barang
siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata”.
191
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad, 2006, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ciawi-Bogor, Ghlmia Indonesia, hlm.67-69.
108
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Islam mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada
dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan
hukum menurut perspektif Islam bersumber pada Allah swt disampaikan kepada
melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif yang
dikenal dengan istilah As-Sunnah.193 Kemudian ditopang pula oleh teori penerimaan
otoritas hukum merupakan suatu teori yang telah dianut oleh imam mazhab, yang
pada prinsipnya menegaskan bahwa hukum Islam menegaskan setiap seorang dan
192
H. Ichtijanto S.A.(I), Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Op.Cit., hlm. 102.
193
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad.Op.Cit, hlm.68.
109
mengucapkan dua kalimat syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum
dan ajaran Islam.194 Teori ini diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen H.A.R.
Gibb, dalam bukunya the modern trends of islam, yang mengatakan bahwa orang
Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum
Islam dan taat untuk menjalankannya.195 Berkaitan dengan penulisan ini, teori
tersebut di atas merupakan sebuah prinsip filsafati agama Islam yang dijadikan
sebagai tolak ukur pemberlakuan hukum Islam dalam sistem hukum nasional.
Dengan adanya kesatu paduan antara ajaran Islam dengan umat Islam yang
begitu solid, karena kondisi sosial politik ikut memberikan bentuk dan warna bagi
kelangsungan hidup suatu institute. Asumsi ini diperkuat oleh tesis N.J. Coulson
mengatakan bahwa hukum senantiasa hidup dan berkembang sejalan dengan laju
kedudukan lembaga Peradilan Agama Islam sebagai simbol kekuasaan hukum Islam
di Indonesia.197
terhadap agama Islam, berupa kebijakan untuk tidak mencampuri masalah agama.
194
Abdul Gafur Anshori. Op.Cit, hlm.16.
195
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad.Op.Cit, hlm.70.
196
Abdul Halim, 2000, Op.Cit.hlm.1.
197
Daniel S. Lev. 1986. Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih Bahasa Zaini Ahmad
Noeh dari Judul Asli, Islamic Courts in Indonesia a Study in The Political Bases of Legal
Institutions, Intermasa, Jakarta, hlm.18.
110
Pertentangan atau persentuhan ideologi dan politik antara umat Islam dengan
dengan simbol politik Islam Hindia Belanda, yang tidak mau bersikap netral terhadap
perkembangan agama Islam.198 Dapat dimakanai ketika kolonial Belanda telah mulai
dua kekuatan besar yang dilihatnya sebagai ancaman masa depan. Untuk itu,
diambilnya kebijakan politik yang dikenal dengan devide et ampera, yang berati
“pecah belahlah dan kuasai”. Salah satu sikap pemerintah Belanda dalam
antara hukum Islam dengan hukum adat.199 Pada masa-masa itu bukan saja gejolak
politik dalam rangka kemerdekaan, namun juga gejolak reaksi masyarakat dan tokoh
Islam terhadap politik hukum Belanda. Terjadi pula peperangan sistem hukum,
terutama sekali antara hukum Islam dan hukum Adat yang dijadikan kuda tunggang
oleh penjajah. Sistem hukum Belanda sendiri hanya menjadi bayang-bayang dan
Dalam kurun waktu tersebut kekuasaan kolonial mulai mencari sebuah upaya
Islam dan kelompok nasionalis, yang sebelumnya tidak pernah dikenal adanya
198
Aqib Suminto, Op.Cit, hlm.xii.
199
Dedy S. Truna dan Ismatu Ropi, Op.Cit. hlm.62.
200
A. Qodri Azizy, Op.Cit, hlm.186.
111
dengan memberikan peluang kepada umat Islam untuk menundukkan diri secara
suka rela pada hukum kolonial. Hal ini terjadi berkaitan dengan masuknya aliran
gelombang kolonialisme Eropa diabad ke-19, yang ditandai oleh pergeseran dan
Indonesia, timbul pemikiran penguasa Hindia Belanda pada saat itu untuk
ini ditentang keras oleh pendukung Mazhab Sejarah seperti Van den Berg dan Van
Vollenhoven. Reaksi keras dari dari para ahli hukum adat itu kemudian melahirkan
Pasal 132 Indische Staatsregeling (IS) Stb.1855-2, yang melahirkan struktur Sistem
Hukum Indonesia terdiri dari 3 sub-sistem hukum yang berlaku secara bersamaan,
yaitu: sub-sistem Hukum Adat, untuk kalangan Bumi Putera; sub-sistem Hukum
sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang dipersiapkan sebagai sarana politik
devide et ampera. Selanjutnya, untuk membelah dan memisahkan umat Islam dari
agama Islam (hukum Islam) secara gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah
201
Inggo J. Hueck, “The Dicipline of the History of Internasional Law-New Trends and
Methods on the History of Internasional Law,” (2001) 3 Journal of the History of Internasional
Law 194, hlm.203
112
otomatis berlaku bagi orang Islam. Jadi hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau
ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. Sehingga yang
berlaku bukan hukum Islam tetapi hukum adat.202 Selanjutnya Busthanul Arifin
hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang dipersiapkan sebagai
sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum
adat memang telah masuk sedikit-sedikit pengaruh agama Islam. Pengaruh agama
Islam itu baru mempunyai kekuatan apabila telah diterima oleh hukum adat, dan
ketika diberlakukan lahirlah hukum Islam itu keluar sebagai hukum Adat, bukan
sebagai hukum Islam. Jadi bagi umat Islam, yang diberlakukan bukan hukum Islam,
hukum Islam baru dapat berlaku bagi umat Islam, apabila hukum Islam itu telah
diserap ke dalam hukum adat. Tujuan yang tercermin adalah untuk memecah
membelah dan memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum Islam) secara
gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah pemerintah kolonial Belanda yang
menciptakan sebuah theorie receptie, sebagai hasil pemikiran dari Christin Snouck
202
Suparman Usman, Op.Cit, hlm.113.
203
Busthanul Arifin. 2001. Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional. Jakarta,
Yayasan Al-Hikmah, hlm.37.
204
Ibid.hlm.30.
113
Hurgronje seorang ahli hukum Islam, politikus pemerintah Hindia Belanda untuk
misi ganda yaitu ekonomi dan agama. Diperparah lagi dengan adanya pandangan
negatif terhadap kawasan dunia melayu pada umumnya dan Indonesia pada
reformasi saat ini. Peradilan Agama telah meniti rentang sejarah yang panjang,
bahkan lebih tua dari usia Republik ini. Sejak abad ke-16 Miladiyah berbagai nama
Islam, badan hukum syara‟, pengadilan penghulu, qadhi syara‟ dan kerapatan qadhi
dan lain-lain.
politis dan nuansa Islamo phobia207 dari pada nuansa yuridisnya. Kendatipun dalam
205
Suparman Usman. Op.Cit, hlm.112.
206
Abdul Manaf.Op.Cit.hlm.35.
207
Hubungan politik yang tidak harmonis dan yang lebih menyedihkan adalah Islam
Politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis (Islamo Phobia). Lihat Abdul Ghofur.
2002. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia (Studi Atas Pemikiran Gusdur).
Yogyakarta, Pustaka Palajar. hlm.152.
114
namun secara laten teori tersebut akan terus menerus secara sistematis berusaha
Agama atau priesterraad, sebagai serangan balik dari sikap pemerintahan Kolonial
Belanda yang pada mulanya tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama.
Tetapi pada tahun 1882 pemerintah Belanda mengeluarkan Stbl 1882:152 tentang
Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang
dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan itu D.W. Freijer diminta menyusun
208
Politik hukum mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum.Lihat Moh. Mahfud MD, Op.Cit, hlm.1-2. Juga mempertimbangkan etik
hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi
masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau
tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat. Lihat Zainal Abidin Abu Bakar, “Pengaruh
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Nomor 9 Thn. IV.
Jakarta, Al-Hikmah, 1993.hlm. 56.
209
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Lihat Ramly
Hutabarat, Op.Cit, hlm.68.
210
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer.Ibid.
211
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang,
Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama
Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum
pidana Islam. Ibid.
115
peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi
Selatan.212
shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.213
Sebagai usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Mr. Scholten van
Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi menulis nota kepada pemerintah Belanda
yang berbunyi antara lain bahwa,”untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap
dalam lingkungan (hukum) agama serta adat-istiadat mereka”. Dari nota Scholten ini
mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (1882). Di dalam Pasal 78 ayat 2
R.R ditegaskan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
212
Muhammad Daud Ali, Op.Cit.hlm.237.
213
Afdol. Op.Cit.hlm.95.
116
bumiputera atau dengan mereka yang disamakan dengan mereka, maka mereka itu
tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang
sadaqah, baitul mal dan wakaf.215 Hal ini berlangsung sejak zaman kerajaan-
dan beberapa kalangan ahli hukum Hindia Belanda mengatakan bahwa di Indonesia
berlaku hukum Islam. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823-
1868) yang dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927).
Menurut ahli hukum Belanda ini, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
Jika orang tersebut memeluk agama Islam, maka yang berlaku baginya adalah
hukum Islam.216
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. 1929:221 yang pada Pasal 134 (2)
menentukan bahwa: "Dalam hal itu terjadi perkara-perkara orang Islam, akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka yang
menghendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”. Pasal
214
Sayuti Thalib,1980, Receptio a Contrario, Jakarta, Academica, hlm. 25.
215
Notosoesanto, 1993, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia.
Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada, hlm. 10.
216
Mohammad Daud Ali, Op. Cit. hlm. 242.
117
tersebut dapat diartikan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali
Pengadilan Agama, maka putusan itu baru dapat dijalankan terlebih dulu diberi
peralihan wewenang mengadili perkara waris orang Islam, dari Peradilan Agama ke
Peradilan Umum. Melalui konstruksi politik dalam teori resepsi (receptie theorie)
Islam di Indonesia untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. Karena pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah pada
tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali
wewenang Priesterrad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang pada tahun
menurut ketentuan hukum Islam. Komisi yang dipimpin oleh P.A. Hoesein
Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima
sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui Pasal 2a ayat (1) S. 1937:116
dicabutlah wewenang Raad Agama atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
sendiri, tetapi harus dengan fia executie (setuju untuk dilaksanakan) Ketua
Pengadilan Negeri.217
Agama tidak cukup sampai disitu, pada tahun 1922 Belanda membentuk sebuah
komisi yang dikendalikan Betrand Ter Haar bertugas meninjau kembali kedudukan
Penghulu Gerecht (Pengadilan Penghulu) yang terdiri dari Penghulu sebagai hakim,
Agama disamping dibidang waris juga masalah wakaf, sehingga oleh para pemimpin
Islam saat itu kebijakan tersebut dianggap sebagai langkah mundur ke zaman
pengalihan kewenangan yang dilakukan oleh Ter Haar saat itu karena hukum
Tidak pula dapat dibuktikan bahwa landraad-landraad itu dalam kenyataannya lebih
mampu menerapkan hukum adat yang sesuai dengan rasa keadilan hukum
217
Ibid, hlm. 247.
218
Ibid, hlm.249.
219
Daniel S. Lev, 1972, Islamic Courts in Indonesia,London, University of California,
hlm.21.
220
Ibid.
119
Agama yang menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu khusus untuk
bahkan menerima perkara kewarisan lebih banyak dari Peradilan Umum. Penelitian
ini juga dikuatkan oleh penelitian Habibah Daud, bahwa di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya pada tahun 1976, dari 1081 orang yang mengajukan masalah
Agama.221
politik hukum kewenangan Peradilan Agama sangat dipengaruhi oleh intervensi dari
golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun
ekonomi. Ketika elit politik Islam memiliki bargaining position yang kuat dalam
memiliki peluang yang sangat besar, begitupula sebaliknya apabila posisi tawar elit
politik Islam lemah, maka pengembangan hukum Islam di Indonesia laksana “katak
dalam tempurung”.222
221
Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm.253.
222
Suhartono, Hakim PA Martapura Kalimantan Selatan, “Dinamika Politik Hukum
Kompetensi Peradilan Agama”, Makalah, tt.
120
stagnasi perkembangan hukum Islam sebelum dan pada masa penjajahan Barat itu
tersendiri telah diganti atau setidaknya dipinggirkan oleh hukum Barat dengan
berbagai cara, seperti: teori resepsi, pilihan (opsi) hukum, penundukan dengan suka
bertentangan dengan asas dan kaidah hukum Islam serta kesadaran hukum
masyarakat muslim. Hal ini menyebabkan hukum Islam sebagai suatu sistem hukum
di dunia ini menjadi banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga.223
betapa eratnya hubungan antara agama, hukum dan negara. Sejarah membuktikan,
masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Demikian pula ketika berbicara konfigurasi
politik hukum kompetensi Peradilan Agama saat ini, tentunya tidak dapat dilepaskan
dari rentetan perisitiwa sejarah masa lalu sehingga perlu dibedah agar kita dapat
223
M. Sularno, “Dinamika Hukum Islam Bidang Keluarga di Indonesia”, Dosen Tetap
Program Studi Hukum Islam (Syariah) Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta. Email:
sularno@fiai. uii. ac.id, Makalah, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.
224
Muhammad Tahir Azhary, 2007, Negara Hukum (Suatu Studi tentang
Prinsipprinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini). Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 67. Lihat Suhartono,
Op.Cit, hlm. 3
121
kebenaran dan kebajikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa, sehingga perlu
dijadikan sebagai bahan baku hukum resmi bagi pembentukan hukum negara, dan
berlaku sepenuhnya bagi umat Islam. Adapun hukum adat hanya diberlakukan bagi
umat Islam sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. 225
Politik kekuasaan yang memandang bahwa hukum Islam mengandung banyak nilai
segala sumber hukum, dan diakuinya melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang–
Kondisi politik tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin
menegaskan bahwa telah berkembang lebih jauh dari pandangan Hazairin. Karena
di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat ada kecenderungan
225
Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi dan
diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang
telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah, syari‟ah dan akhlak Islam.
Pergumulan kedua system nilai itu berlaku secara wajar, tanpa adanya konflik antara kedua
system nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda,
berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang
beragama Islam berlaku motto receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam di
Indonesia menerima dan memperlakukan syari‟at Islam secara keseluruhan. Pada masa itu
(sampai dengan 1 April 1937), Pengadilan Agama mempunyai kompetensi yang luas, yakni
seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus menurut hukum
Islam. Lihat M. Sularno, Op.Cit. hlm.254.
122
theorie receptie dari Christin Snouck Hurgronje itu di balik. Seperti di Aceh
pidana diatur menurut hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh
saja dipakai dengan suatu ukuran, yaitu tidak boleh bertentangan dengan hukum
Islam.226 Hal yang sama dikemukakan oleh Abdul Gafur Anshori yang mengatakan
yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum
agamanya. Dengan demikian hukum adat hanya akan berlaku jika tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan konsep urf yang dikenal
dalam Islam.227
contrario berisikan pandangan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Maka dalam jiwa masyarakat telah tertanam
keislaman itu tidak berhasil disingkirkan dalam peta politik kolonial dan dalam politik
hukum yang terjadi di Indonesia, karena hukum Islam sebagai faktor yang inheren
terdapat dalam jiwa dan kepribadian manusia yang memeluk agama Islam. Demikian
halnya dengan kebutuhan hukum dan pranata hukum, yang secara utuh dipandang
sebagai sarana ibadah dalam menegakkan hukum Allah bagi kalangan umat Islam
sendiri.
226
Suparman Usman. Op.Cit, hlm.118.
227
Abdul Gafur Anshori. Op.Cit, hlm.16..
228
Sayuti Thalib. 1981. “Receptio in Complexu, Theorie Receptie dan Receptio a
Contrario”, dalam Hazairin (in Memorandum), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta, UI Press, hlm. 52-53
123
Dimana unsur Islam mewajibkan kepada setiap muslim agar dapat menyesuaikan
dirinya, pergaulan serta hubungannya dengan orang lain, dan setiap apa yang
kepada Islam, diatas dasar ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh agama Islam
sendiri. 229
menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sebagai berkat rahmat Allah.
Bangsa indonesia dihadapkan kepada berbagai realitas transisi yang harus segera
disikapi secara arif dan akurat. Pertama, adanya keperluan mendesak untuk segera
menetapkan apa yang akan dijadikan sebagai dasar negara dan tujuan negara
bangsa, antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, sebagai warisan kolonial
akibat dari politik devide et ampera. Keempat, adanya realitas filosofis dan historis,
bahwa umat Islam tidak mungkin dapat dipisahkan dari asas personalitas keislaman.
Kelima, adanya realitas demografis, bahwa sebagian besar warga negara Indonesia
memeluk agama Islam. Berbagai realitas ini harus mampu diakomodasikan ke dalam
Bertolak dari realitas transisi tersebut di atas, yang menjadi fokus perhatian
dalam tulisan ini adalah : Pertama, para pemimpin bangsa, telah cukup arif
memadukan aspek nasionalis dan aspek relegius sebagai asas tertinggi dalam
229
Abdul Qadir Audah, Op.Cit , hlm.46
124
landasan filosofis bangsa, yang di dalam rumusan politis disebut Ketuhanan Yang
Maha Esa” sebagai titik kompromi terakhir antara kelompok Islamis dan kelompok
1945. Kedua, para pemimpin bangsa telah berhasil menyusun suatu hukum dasar
tertulis bagi negera Indonesia yang singkat dan supel. Ketiga, pemimpin bangsa
lembaga Tertinggi Negara yaitu MPR dan lima lembaga Tinggi Negara yaitu:
negara yang lebih kecil, yang diatur dalam suatu Undang-Undang organik.
Keempat, para pemimpin bangsa, telah dengan arif menghargai sejarah perjalanan
termasuk yang dinyatakan tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Bertolak dari sejarah politik hukum tersebut di atas, maka secara kronologis
dimensi, dapat digambarkan secara lebih konkrit pada skema berikut ini : 230
230
Cik Hasan Bisri. 1997.Model-model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia.
Dalam Bungai Rampai Peradilan Islam di Indonesia . Jilid I. Hukum dan Peradilan.
Bandung, Ulul Albab Press.hlm.162-163.
125
Skema VI
Pengorganisa
sian Negara
kronologis uraian sebagai berikut : Pertama, hukum Islam, dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah fiqh231 yang merupakan produk dari pemikiran para fuqaha
dalam memahami dan mensistematisasi kehendak Allah yang di deduksi dari Qur‟an
dan Sunnah. Kedua, salah satu produk pemikiran itu adalah pengaturan tentang
231
Dalam mazhab Hanafi, fikih (hukum) disederhanakan menjadi tiga: pertama, hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (disebut fikih ibadah); kedua, hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk (disebut fikih muamalah); dan ketiga,
hukum yang mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dan subjek
hukum lainnya terhadap fikih ibadah dan muamalah (disebut fikih jinayah). Lihat Umar
Sulaiman Al-Asyqar, 1991, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Amman,Dar al-Nafa‟is, hlm. 21.
126
Ketiga, institusi penyelesaian konflik itu adalah peradilan, yang diselenggarakan oleh
Proklamasi
banyak pengalaman baru kepada para pemuka agama Islam di Indonesia, namun
memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk
Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite
negara, seperti Dewan Penasehat (sanyo kaigi) dan BPUPKI (dokuritsu zyunbi
tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Sehingga pada bulan Mei
tahun 1945, komite yang terdiri dari 62 orang tersebut, hanya 11 diantaranya yang
232
Muhammad Ikhsan, Op.Cit. hlm.4-5.
127
mewakili kelompok Islam.233 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa
BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi
seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun
233
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hlm. 84. Mereka antara lain adalah Ki
Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan
K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin
dalam Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta, Yayasan
Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan
Hukum Islam, hlm. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan
pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di
Konstituante, jilid III. Bandung, Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hlm. 35.
234
Ramly Hutabarat, Op.Cit., hlm. 85.
235
Ibid, hlm. 89-90.
128
Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada
saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
Indonesia Timur lainnya telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang
BPUPKI.236
Pada akhirnya di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa
Ashary mengatakan: Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam
sebagai suatu „permainan sulap‟ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik
Indonesia, tepatnya pada kurun waktu persiapan proklamasi dan pasca proklamasi
pranata hidup keseharian dengan tuntunan sistem keimanan Islam yang memainkan
peranan sangat penting pada saat itu.238 Peranan tersebut terlihat melalui kinerja
236
Ibid, hlm.92-93.
237
Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa
tahun, hlm. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Op.Cit. hlm. 91.
238
Abdul Gafur. 2002. Op.Cit, hlm.126.
239
Ibid. hlm.136.
129
hukum Islam dalam tata hukum nasional di Indonesia, yang telah mendapat
dengan sistem hukum yang lain, seperti hukum Barat dan hukum Adat.241
Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya adalah I.S dan dengan tidak
berlakunya I.S maka teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.242 Berdasarkan pada
Pasal II Aturan Peralihan menetapkan: “Segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
240
Ismail Suny. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm.75.
241
Sirajuddin M. Op.Cit. hlm.v.
242
Ismail Sunny, 1994, Op.Cit, hlm. 196.
130
1948, keluar Undang-undang Nomor 190 Tahun 1948 yang masa berlakunya akan
Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan melalui Peraturan Pemerintah
Kalimantan Selatan itu meliputi perkara-perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah,
maskawin, tempat kediaman, mut‟ah, hadlanah, waris, wakaf, hibah, shadaqah dan
baitul mal. Mulai saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang
1. Stbl. 1882 Nomor 152 jo Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 yang mengatur
Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
2. Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di
Kalimantan Selatan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur Peradilan
Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.
Pada tahun 1961, dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961
Peradilan Agama. Tiga tahun kemudian keluarlah Undang undang Nomor 19 Tahun
243
Amrullah dkk., 1994, Bustanul Arifin Pemikiran dan Peranannya dalam Pelembagaan
Hukum Islam (Dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
di Indonesia). Jakarta, PP IKAHA, hlm.8
244
Ibid.
131
peradilan yang lain. Eksistensi Peradilan Agama semakin kokoh dengan lahirnya
kelahirannya sangat kental diwarnai nuansa politis. Peradilan Agama bukan lagi
sebagai peradilan semu (quasi peradilan) tetapi telah menjelma menjadi peradilan
sendiri.
tentang Perkawinan
kepercayaannya itu.
132
lembaga yang berwenang menegakkan hukum agama bagi pemeluknya. Hal itu,
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diantara Pasal 1 sampai dengan Pasal 62, yang
pengaturan lebih jauh lagi berkaitan dengan ruang lingkup pembagian kewenangan
antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Di atur dalam Pasal 63 Undang-
Pasal 63 ayat (1) secara tegas membagi kewenangan antara Peradilan Agama
dan Peradilan umum berdasarkan parameter agama. Untuk subjek hukum yang
sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam, menjadi kewenangan Peradilan
Umum. Hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945
dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
peradilan, ditemukan dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Umum, karena setiap putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan
Umum.
kewenangan lebih luas dari kewenangan yang diwariskan kolonial Belanda, dengan
dan shadaqah. Sejalan dengan itu disahkan pula Kompilasi Hukum Islam melalui
Keppres Nomor 1 Tahun 1990 sebagai hukum materiil atau hukum terapan
yang ada dalam kehidupan sehari-hari seperti logika rakyat, sejarah, adat kebiasaan,
pertimbangan kemanfaatan dan standar moralitas, yang memiliki fungsi secara riil
245
H. Muhammad Karsayuda, Hakim Tinggi pada PTA. Banjarmasin “Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai Kewenangan Baru Pengadilan Agama,” Makalah,
Materi penyuluhan Hukum yang diselenggarakan Pengadilan Agama Amuntai tanggal 9 Juli
2008 bertempat di Aula “Banua Kita” Pendopo Bupati Hulu Sungai Tengah.
246
Hamdhany Tenggara. 2003. “Pencerahan Pemahaman dan Implementasi Hukum
Melalui Teori-teori Hukum yang Berparadigma Holistik”, Makalah, Disampaikan dalam
Mata Kuliah Sistem Hukum Perdata pada Program Pasca Sarjana Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin, hlm.13
134
cita unifikasi hukum, maka Peradilan Agama tidak diperlukan. Kelompok ini lebih
kelompok ini berpendapat bahwa urusan antara negara dan agama terpisah, lebih
dikenal dengan kelompok sekuler. Terkesan dari kelompok ini tidak memahami
secara hirarki tentang ingin dibentuknya Peradilan Agama, mengingat amanat dan
aspek yuridis yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka
lainnya. Lebih berbahaya lagi ketika adanya anggapan yang mengatakan bahwa
Dari ke tiga kelompok yang sangat keras untuk menolak lahirnya sebuah
adanya Peradilan Agama tanpa eksistensi yang jelas dengan hukum materiil atau
sebagai sub ordinat dari Peradilan Umum, maka hal ini merupakan kelanjutan dari
kedua dan ketiga memiliki pandangan adanya sifat eksklusivitas salah satu agama
dan menjadikan kesenjangan bagi umat beragama yang lainnya, dan lebih parah lagi
ketika dipandang sebuah usaha untuk mewujudkan Piagam Jakarta sebagai sumber
institusi Peradilan Agama sulit untuk dipahami tanpa mengkaitkan dengan situasi
perkembangan sosial politik suatu masyarakat. Latar belakang sosial politik turut
memberikan bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institusi Peradilan
Sengketa Kewarisan
Peradilan Agama sebagai salah satu dari institusi yudisial negara Republik
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dasar hukum tersebut masih
tersurat dan tersirat dalam asas dan dalam beberapa norma hukum Peradilan
sebagai tolak ukur nilai filsafat agama. Mengenai hal ini, Wildan Suyuthi berpendapat
bahwa yang dapat tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan
Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk Agama Islam. 249
Hal tersebut, sesuai dengan asas personalitas keislaman sebagaimana diatur dalam:
Pasal 2:
Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tersebut dijadikan sebagai prinsip yang menjamin pemberlakuan hukum Islam secara
imperatif bagi pemeluk agama Islam dalam upaya menyelesaikan sengketa. Hal ini
selaras dengan teori penataan hukum yang telah dianut oleh imam mazhab, bahwa
hukum Islam bagi setiap orang dan siapapun yang telah menyatakan dirinya
249
Wildan Suyuthi (Penyusun), Op.Cit, hlm.xvi
137
terikat untuk patuh dan taat kepada hukum dan ajaran Islam. Ichtijanto menegaskan
bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima
pembagian waris”.
perubahan makna dari hukum agama yang bersifat imperatif menjadi bersifat
fakultatif. Prinsip dari peluang pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa waris
Nomor 7 Tahun 1989 yang dijadikan sebagai parameter kompetensi absolut bagi
Peradilan Agama.
absolut antara Peradilan Umum dengan Peradilan Agama dapat diketahui dari
250
A. Rahmad Rosadi, dan H.M. Rais Ahmad. 2006. Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia. Ciawi-Bogor, Ghlmia Indonesia, hlm.70.
138
sebagai berikut:
Pasal 50:
“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49,
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus
diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum”.
hak milik atau hak keperdataan lain tidak menjadi kewenangan dari Peradilan
prosedural.
dengan Peradilan Umum dapat dilihat pula dalam ketentuan Pasal 54 Undang-
Pasal 54 :
sebagai dasar hukum acara, adalah terjadinya pembagian dua sistem hukum acara
yang berlaku di lembaga Peradilan Agama, yaitu hukum acara khusus yang
diselenggarakan oleh Peradilan Agama dan hukum acara Peradilan Umum yang
dijalankan oleh Peradilan Umum memeriksa dan mengadili sengketa hak milik atau
kebendaan lainnya.
diperparah lagi melalui pengaturan mengenai cerai gugat dalam Pasal 86 (2)
“Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum tentang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu”.
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perdebatan yang cukup menarik yaitu
“Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
yang terdapat dalam Pasal 86 (2) yang memerintahkan untuk menunda terlebih
dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam
cukup berbeda antara tata cara “cerai talak” dengan “cerai gugat” dalam pokok
masalah harta bersama. Pasal 86 (2), menyebutkan tentang harta bersama yang
masih ada hubungan masalah dengan pihak ketiga, bukan menjadi kewenangan
Memperhatikan uraian di atas, maka ketentuan Pasal 66 (5) dan Pasal 86 (2)
perbedaan tentang pengaturan harta berasama baik dari sudut cerai gugat dengan
cerai talak. Kedua, ketentuan Pasal 66 (5) dan Pasal 86 (2) menyebabkan
munculnya ketidakkonsistensian hukum acara baik dari sudut cerai gugat dengan
cerai talak. Ketiga, Pasal 86 (2) tentang cerai gugat yang mengatur masalah
tuntutan pihak ketiga atas harta bersama, yang dikembalikan pada kewenangan
Peradilan Umum untuk memeriksa dan mengadili sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 50. Keempat, ketentuan yang
tersurat dan tersirat dalam Pasal 86 (2) tersebut memiliki karakteristik keadilan
Agama dalam sengketa cerai gugat. Kondisi ini bertolak belakang dengan konsep
141
pengetahuan, tak lepas pula dalam bidang ilmu hukum, hal itu ditandai dengan
1989 tentang Peradilan Agama telah menjadikan dasar legalitas dalam menegakkan
keadilan, hal ini ditandai dalam praktik Peradilan Agama, terasa pada perbincangan
tentang prosedur menjadi lebih penting dari pada membicarakan keadilan (justice),
dalam masyarakat plural Indonesia, sekalipun telah lazim di dengar, bahkan telah
dianggap kebijakan yang mapan, tetapi bila kita lebih kritis melihatnya, akan nyata
bahwa sesungguhnya kebijakan itu membungkus masalah yang sangat pelik dan
251
S. Brodjo Sudjo “Problematika Politik Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Dalam
Masyarakat Plural Indonesia”. Artikel Dalam Jurnal Hukum dan Keadilan. Nomor 3.Vol
3.hlm.1.
142
unifikasi hukum, tidak lebih dari sebuah tawaran yang sulit dalam konteks Indonesia
Pendapat di atas tersebut, terdapat pula dalam keadaan nyata yang terjadi di
Pengadilan Agama, sehingga dalam sistem hukum acara Peradilan Agama, keadilan
(justice) sudah dianggap ada dengan dibentuknya hukum positif, akan tetapi dalam
praktek penegakkan hukum Hukum Acara Peradilan Agama yang bersumber dari
pihak yang mencari keadilan dan kebenaran (searching for the truth and justice)
Beberapa hal yang telah penulis jelaskan tersebut, juga terjadi dalam Undang-
Pengadilan Agama.
seorang muslim. Kedua, sengketa yang bermula dari suatu perbuatan peristiwa
hukum yang terjadi berdasarkan atau hukum Islam. Dihubungkan dengan peran
252
Soetandyo Wingjossoebroto.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosial Politik Dalam Pembangunan Hukum di indonesia. Jakarta, Raja Grafindo
Persada.hlm.37-60.
253
Hamdhany Tenggara.Op.Cit. hlm.3.
143
sosial yang pernah terjadi dan menjadikan lagi satu kesatuan (sebagai tujuan
sosiologis).
menegaskan :
254
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 18 menegaskan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
144
Lebih lanjut pada Pasal ayat (2) dinyatakan bahwa : “Mahkamah Agung adalah
tersebut, dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan,
bahwa:255
255
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 2 ayat (3) menegaskan: “Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang”.
145
bahwa:
Disamping Peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya
mengenai perkara perdata dan pidana, ada pelaksana kekuasaan kehakiman
lain yang merupakan Peradilan Khusus bagi golongan rakyat tertentu atau
perkara tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.
Pemaknaan peradilan umum dan peradilan khusus memiliki ruang lingkup dan
parameter yang jelas. Untuk Peradilan Agama sebagai salah satu dari peradilan
khusus bagi masyarakat atau pencari keadilan yang beragama Islam, maka asas
sebagaimana mestinya, karena tidak bersifat imperatif bagi pencari keadilan. Tetapi
dapat dikesampingkan oleh asas pembidangan hukum (Pasal 50) dan asas pilihan
hukum.(Pasal 49 ayat (3) jo penjelasan umum angka 2 alenea kelima dan keenam).
jenis perkara tertentu dan asas personalitas keislaman bersifat reduktif dan relatif,
256
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 25 ayat (2) menegaskan : “Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
146
“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih
secara jelas telah membenarkan adanya reduksi kewenangan dari Peradilan Agama
dengan standar hukum prosedural yang harus dilalui oleh para pihak dan majelis
hakim Peradilan Agama, dalam memeriksa dan mengadili sengketa mengenai hak
milik atau keperdataan lain sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 49, sebagai
“Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum tentang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu”.
Agar lebih mudah dalam memahami persoalan yang ada dalam ketentuan
Pasal yang telah penulis sebutkan diatas tersebut, penulis akan ragakan dalam
sebagai berikut :
257
Lihat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam Pasal 50 ayat (1) menegaskan:
“Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
147
Skema V
Pasal 54 Undang -
Undang Nomor7 /
1989
Hk. Acara
Hukum Acara
Khusus
Peradilan Umum
Proses Mengadili Oleh Sengketa Para Pihak Ttg. Proses Mengadili Oleh
Peradilan Agama (PA) Hak milik/ Keperdataan Peradilan Umum (PU)
Pasal 50
Tahap Pendahulu
Tahap Penentu/ Menunggu
Proses PU
Tahap Terakhir
Tahun 1970, serta adanya pembatasan kewenangan atas prosedur hukum acara,
Peradilan Agama secara mandiri dalam menegakkan hukum materil yang bersumber
148
dari hukum Islam. Dapat diartikan bahwa ketentuan yang digaris bawahi oleh
penjelasan umum butir 2 alinea 6, Pasal 50, Pasal 86 ayat (2) merupakan jabaran
mengabdi kepada hukum substansi, serta bertolak belakang dengan asas sederhana
cepat dan biaya ringan, bagi para pihak yang mencari keadilan. Ketentuan hukum
258
Paulus Effendie Latulung (et.al).1995 Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI
Tentang Kewenangan Mengadili. Hasil Kerjasama Mahkamah Agung RI Dengan The Asia
Foundation.
149
259
Ibid.hlm.65.
150
Dari uraian dan contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Pasal 54
merupakan sebuah sumber keadilan prosedural atau prosedur justice yang diadakan
oleh kekuatan dan atau konfigurasi politik yang bersifat otoriter pada kurun waktu
sempurna “masih digerogoti” oleh kewenangan Peradilan Umum. Hal ini menjadi
sebagai Peradilan Agama yang diperuntukkan bagi “umat Islam” tentang pemaknaan
dan legislatif, tetapi secara aspek internal dalam lembaga yudikatif, juga perlu
mengandung aspek keadilan substansi dan aspek keadilan prosedural, tetapi dalam
260
Ibid.hlm.3.
151
dijadikan sebagai sasaran yang harus terefleksi dalam sistem kerja badan peradilan.
“peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.261 Untuk itu
peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, bukan sebaliknya dengan acara
yang berbelit-belit yang mengakibatkan proses dalam waktu yang cukup lama, serta
diharapkan biaya yang relatif mampu dipikul oleh masyarakat sebagai pencari
keadilan.262
dan biaya ringan, sangat tergantung dari pada hukum acara (hukum formal) yang
artinya acaranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak kaku dan tidak formalistik.
Karena jika terlalu banyak formalistis akan sukar difahami (bandingkan dengan
penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya), secara kenyataan asas
261
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan: “Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan”. Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 ayat (4) menegaskan : “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
262
Mukti Arto.2001. Mencari Keadilan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Anggota IKAPI.
hlm.63.
152
dengan di dukung pemahaman yang positivistik serta berakibat hukum menjadi kaku
dan kehilangan daya flexibel. Kedua, cepat artinya penyelesaian perkara memakan
waktu yang tidak terlalu lama. Makamah Agung telah memberikan batasan
Tahun 1992 yang membatasi waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak perkara
baik, akan tetapi cepat harus tetap berada dalam natur hukum yang benar, adil dan
teliti. Ketiga, biaya Ringan artinya tidak dibutuhkan biaya yang cukup besar dan
Agama dalam mengadili sengketa hak milik atau keperdataan lainnya,264 melahirkan
bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Dilain sisi, dapat
berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan (khususnya dalam sengketa hak milik
263
Ibid.hlm.64-66.
264
Dengan adanya kalimat “sengketa milik atau keperdataan lainnya” dalam ketentuan
Pasal 50 tersebut, sangat memungkinkan ketidak lancaran dalam penyelesaian sengketa
yang menjadi ruang lingklup kewenangan Peradilan Agama. Sebab setiap penyelesaian akan
mengalami proses peradilan yang berulang-ulang ada tingkat pertama dalam dua lingkungan
peradilan, yakni Peradilan Agama dan Pengadilan Negeri, walaupun subjek, obyek dan
peristiwa pokok perkaranya sama, bila barang sengketa itu tersangkut persolan sengketa
milik atau keperdataan lainnya. Lihat Sumadi Matrais, (2007), “Kemandirian Peradilan Agama
Dalam Konteks Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama”. Disertasi menyelesaikan Program Doktor Ilmu di Universitas Islam Indonesia
153
peradilan yang mengitari sekitar penyelesaian perkara. Hal ini bertentangan dengan
sifat sederhana, dan penyelesaian perkara juga tidak cepat, karena Peradilan
Agama tidak dapat mengakhiri suatu sengketa, jika Peradilan Umum belum
menetapkan secara yuridis tentang hak milik dan atau keperdataan lainnya, yang
ringan. Asas tersebut merupakan refleksi hak para pihak, yang beracara di Peradilan
Agama, dengan tidak dapat dilaksanakannya asas tesebut, maka hak para pihak
sederhana dengan jalan memperbaharuai sistem hukum acara yang ada dengan
menyusun proses peradilan yang lebih sederhana dan flexibel, dalam hukum acara
Kemudian dapat dilakukan dengan cara membatasi upaya hukum atas putusan
lewat media massa yang memakan waktu 4 (empat) bulan, memanggil orang yang
154
berada di luar negeri memakan waktu 6 (enam) bulan, pemanggilan orang yang
diduga telah meninggal memakan waktu 10 (sepuluh) bulan, sikap hakim yang pasif.
Ketiga, untuk biaya ringan dapat dilakukan dengan cara memberikan batasan
penarikan dari para pihak yang wajar, serta mengembangkan fasiitas perlindungan
menandai perubahan politik dan ketatanegaraan di seluruh dunia pada abad ke-20,
demokrasi liberal dan kapitalisme pasar, serta tesis Samuel P. Huntington267 tentang
Menurut studi Larry Diamond dan Freedom House sejak tahun 1990 hingga 1998
terjadi peningkatan lebih dari 60% negara yang mengalami proses demokratisasi
265
Aidul Fitriciada Azhari, “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan”, Makalah, Fakultas Hukum dan
Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
266
Francis,Fukuyama, 1992, The Wend of History and the Last Man, New York: The
Free Press.
267
Samuel P.Huntington, 2000, “The Future of the Third Wave,” dalam Marc F.
Plattner dan Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore/London: The John
Hopkins University Press.
268
Larry Diamond, 2000, “The End of the Third Wave and the Start of the Fourth,”
dalam Plattner, Marc F., Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore: The John
Hopkins University Press.
269
Tate, C.N. & Torbjorn Vallinder (eds.), 1995, The Global Expansion of Judicial
Review, New York: New york University Press.
155
sejak tahun 1990-an dan klimaksnya pada tahun 1998 dengan mundurnya Presiden
sebagai „transisi demokratik‟ dan secara politis disebut sebagai „reformasi‟ diikuti
Kehakiman dari semula hanya terdiri dari dua Pasal menjadi lima Pasal sebagai
berikut:
Pasal 24 berbunyi:
Pasal 25 berbunyi:
dengan Undang-Undang”.
sebagai tindak lanjut amanah Pasal 24C ayat (6) Undang–undang Dasar 1945;
270
Republik Indonesia Undang–undang Advokat, Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003, LN Nomor 49 Tahun 2003 TLN Nomor 4288
271
Republik Indonesia, Undang–undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003, LN Nomor 98 Tahun 2003, TLN Nomor 4316
272
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman. Lihat Pasal 10 ayat (1) Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kemudian dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 25
ayat (1) menegaskan: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara”.
273
Republik Indonesia, undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, LN
Nomor 9 Tahun 2004, TLN Nomor 4359. Kemudian dirubah menjadi Undang-undang Nomor
3 Tahun 2009..Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
158
harus mempunyai kedudukan yang kokoh dan wibawa yang tinggi agar mampu
sesama warga negara Indonesia, baik rakyat biasa atau penguasa yang secara
274
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, LN
Nomor 34 Tahun 2004, TLN Nomor 4379.
275
Kemduian dirubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
276
Republik Indonesia, undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, LN Nomor 35 Tahun 2004, TLN Nomor 4380
277
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
278
Republik Indonesia, undang–undang tentang perubahan atas Undang-undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, LN Nomor 3
Tahun 2006, TLN Nomor 4611
279
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
159
obyektif dan tidak memihak (impartial) kepada siapapun baik bersifat ekstra yudisiil
maupun intrayudisiil.280
atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang
dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh
pemerintah.
kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada
Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dipandang sebagai suatu sistem
mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakekat keberadaan
280
Paulus Efendie Lotulung, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Konteks
Pembagian Kekuasaan dalam Pertanggungan Jawab Politik”, Makalah dalam Seminar
Hukum Nasional RI ke VII “ Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani “. Jakarta, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI , hlm. 156
160
adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara,
tersebut sebagai sub sistem-sub sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah
pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi
Agung tersebut merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan
281
Artidjo Alkostar, (Hakim Agung), “Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia”, Artikel, pada 27 Juni 2007.
282
Kemudian diganti menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
161
tentang Peradilan Umum, undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
283
Abdul Gafur Anshori. 2007. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan). UII Press, Yogyakarta, hlm
49-50.
284
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi. Loc.Cit.
162
mustahil kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika
tidak ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa
antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakat
lainnya. Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan
suatu negara. Dalam bukunya territory the claiming of space, David Storey
Bertolak dari fungsi kedaulatan suatu negara tersebut di atas, maka tidak ada
bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka dan mandiri. Salah
satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah adanya pengadilan yang
dengan kegiatan penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara
sesama warga yang diproses melalui peradilan yang independen harus menjadi
puncak kearifan dan perekat sosial bagi para pihak yang bersengketa sebagai
tengah memasuki babak baru. Perubahan ini dimulai dengan direvisinya Undang-
285
Artidjo Alkostar, (Hakim Agung), Loc.Cit.
163
undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi undang-undang
hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju
dari hukum yang akan dan harus ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan
kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas R. Dye yaitu : whatever the
government choose to do or not to do. Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris
policy atau dalam bahasa Belanda politiek yang secara umum dapat diartikan
286
Mutammimul Ula, “Wajah Baru Peradilan Agama”, Opini, Surabaya, Jawa Pos Edisi
Sabtu, 25 Februari 2006.
287
Ariyanto dkk., “Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum)”, Trust Majalah
Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, hlm. 70.
164
pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah pada
Cerminan politik hukum peradilan satu atap dapat ditelusuiri dari Pasal 10
Peradilan Umum; (2) Peradilan Agama; (3) Peradilan militer; (4) Peradilan Tata
menumbuhkan tekad agar semua lembaga peradilan berada dalam satu wadah
dengan semangat satu atap dunia peradilan di Indonesia tersebut. Ketika Undang-
288
Wisnusubroto.1999. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm.10.
289
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 25 ayat (1) menegaskan: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara”.
165
merubah status organisasi, administrasi dan finansial yang semula berada di bawah
untuk berada dibawah mahkamah Agung. Latar belakang penyatuan dalam ”satu
mata tergatung pada penyatuan Peradilan Agama ke dalam satu atap dibawah
kemandiriannya dalam mengambil putusan, artinya suatu putusan hakim tidak boleh
dicampuri oleh apapun dan siapapun, hal ini sangat penting bagi prospek peradilan
dimasa datang. Selanjutnya khusus untuk Peradilan Agama tidak ada ketentuan
290
H. Muhammad Karsayuda, Op.Cit,hlm.3.
291
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 21 ayat (1) : “Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Ayat
(2): “Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur
dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.
292
H. M. Tahir Azary, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999: Perspektif Hukum Masa Datang, Dalam 10 Tahun undang-undang Peradilan Agama
Jakarta, Laporan Seminar 10 Tahun Peradilan Agama, hlm.123.
166
yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama
Mahkamah Agung maka Peradilan Agama masih dibawah Departemen Agama, hal
Agama”293
Peradilan Agama berada dibawah Mahkamah Agung, namun sebelum atau sesudah
lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada dibawah
Mahkamah Agung.
undang Nomor 35 Tahun 1999 adalah sebagai berikut. Ketentuan Pasal 11 diubah
Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan (satu) Pasal, yakni Pasal 11A yang
Menurut penjelasan Pasal demi Pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2) b, bagi
dibidang perkawinan, kewarisan wasiat dan dan hibah wakaf sedekah. Sedangkan
Menurut penjelasan Pasal demi Pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) Undang-undang
administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada dibawah
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru ini
294
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 18 menegaskan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
168
Pasal 11 ayat (1) Mahkamah Agung merupakan Peradilan Negara tertinggi dari
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilam yang
Administrasi dan Finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
Presiden Nomor 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004. Pasal 2 ayat (2) Keputusan
Agama atau Mahkamah Syar‟iyah Provinsi, dan Pengadilan Agama berada dibawah
Mahkamah Agung.
lembaga Peradilan Agama ke ”satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah
mengatur lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat
Pasal 12 Ayat (1) undang-undang Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi :295
Mahkamah Agung.”
Dari konsep politik hukum peradilan satu atap tersebut di atas, telah membawa
perlakuan yang sama dengan peradilan lainnya sebagai buah reformasi hukum
5.1.4.3. Pemikiran Pro dan Kontra Terhadap Politik Hukum Peradilan Satu
penuh liku, dan sarat akan muatan politis. Termasuk polemik dalam sejarah hukum
nasional, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Eksistensi dan
kewenangannya pun, dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada siapa yang
sangat kuat mengingat memiliki akar historis yang kuat dalam perjalanan sejarah
295
Selanjutnya dapat ditemukan pada Bab VI tentang Pengawasan Hakim dan Hakim
Konstitusi dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
pada Pasal 39 sampai dengan Pasal 44.
170
Agung.297 Namun, sebelum di satu atapkan, yakni tepatnya sejak lahirnya Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999298 terjadi polemik pro dan kontra di kalangan
masyarakat muslim. Tidak hanya masyarakat di luar dan didalam struktur Peradilan
Agama, akan tetapi juga antar tokoh, ulama, dan intelektual muslim.
Pro dan kontra itu berawal, ketika Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
Negara, dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun. Sedangkan untuk Peradilan Agama,
satuatapkan.
296
Sesuai dengan Keppres Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan ke Mahkamah Agung
(Vide Pasal 2 ayat (1)), maka pada tanggal 31 Maret 2004, Mentri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada Ketua Mahkamah agung. Untuk
lingkungan Peradilan Militer, baru pada tanggal 1 September 2004 Panglima ABRI
menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer
kepada kepada Ketua Mahkamah Agung.
297
Sesuai dengan Keppres Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan ke Mahkamah Agung
(Vide Pasal 2 ayat (2))
298
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 1999
Nomor 147, TLN-RI Nomor.3879.
171
Jaenal Aripin menggambarkan pro dan kontra terlihat dari data hasil penelitian
yang pada tahun 1999, dari 518 responden kategori A (berasal dari lingkungan
peradilan agama); 482 orang atau 93% menyatakan setuju dan 2,9%
menyatakan tidak setuju penyatuatapan Peradilan Agama. Sedangkan
responden dari kategori B (berasal dari luar Pengadilan Agama) yang berjumah
379 orang; 291 atau 76,8% menyatakan tidak setuju dan hanya 53 orang atau
14% yang menyatakan setuju. Akan tetapi yang menarik adalah, dari 93% yang
setuju penyatuatapan, ternyata alasannya adalah 63,3% karena material dan
22,2% karena alasan struktural.299
perbaikan sarana dan prasarana, termasuk juga bentuk material lainnya, semisal gaji
atau tunjangan dan penghasilan lainya serta biaya operasional peradilan agama, dari
kekuaan kehakiman tertinggi, dengan istilah sistem satuatap (one roof system).300
Atau untuk melepaskan campur tangan eksekutif dalam mengurusi badan peradilan
dan tujuan utama lahirnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan adanya
Departemen Agama. Iinilah yang melandasi alasan ketika Ismail Sunny mengatakan
299
Jaenal Aripin, Op.Cit. hlm.303.
300
Ibid.
172
harus tetap berada di bawah Departemen Agama”, termasuk juga Busthanul Arifin
yang secara tegas menyatakan bahwa ”... Peradilan Agama tidak akan pernah
sebagai penegak hukum, ia juga mempunyai peran ganda sebagai ulama dan
ulama pada masa tersebut di lakukan oleh Departemen Agama, maka akan menjadi
lepas begitu saja setelah pindah ke Mahkamah Agung. Bahkan, keterkaitan antara
perkembangan Peradilan Agama dan peran gigih yang dilakukan ulama adalah
Departemen Agama.
mengatakan bahwa:
untuk mendamaikan kubu pro dan kontra yang terjadi dalam masyarakat sesuai
301
Ibid.
302
Jimly Ashidiqqie, ”Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan”, Makalah, Seminar
Sehari yang Diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat,
Kamis 13 Juli 2000.
173
Agung serta lepas dari Departemen Agama. Ditengah gemelut antara kubu pro dan
Agama akan tetapi sesuai dengan sikap MUI yang belum siap menyerahkan
sikap struktur hukum Peradilan Agama yang berkeinginnan kuat untuk bergabung
dengan Mahkamah Agung. Karena posisi yang semakin pelik akhirnya H. Taufik dan
yang berbeda pandangan tersebut. Dengan difasilitasi oleh oleh Pusat Pengkajian
anggota DPR.
Agama tatap membawa aspirasi segenap struktur Peradilan Agama untuk bergabung
dengan Mahkamah Agung. Walapun masih berbeda pendapat tetapi sudah saling
dan tidak kalah pentingnya dilakukan pula pendekatan pemahaman dengan para
Pada tanggal 7 Desember 2003 lembaga politik yaitu DPR-RI melalui seluruh
agar paling lambat 30 Juni 2003 Peradilan Agama termasuk Direktorat Pembinaan
berjalan dan akhirnya Panitia Kerja memasukan menjadi salah satu pasal pada
Mahkamah Agung.
Ulama Indonesia. Diperkuat melalui Rakernas dan Ijtima Ulama Komisi Fatwa
303
H. Taufik kemudian menemui Menteri Agama Said Agil Husni Al-Munawar untuk
menyampaikan keinginan warga Peradilan Agama agar segera menyetujui penyatuanatap
Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Menag didampingi oleh Direktur Pembinaan
Peradilan Agama (H. Wahyu Widiana) kemudian menyetujui dengan syarat para ulama juga
harus turut menyetujui. Kemudian H. Taufik melakukan pendekatan dengan beberapa ulama
diantaranya K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Ali Yafie, dan K.H.Amidhan. Jaenal Aripin, Op.Cit.
hlm.307.
175
Hasil Rakernas dan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se-
Indonesia tersebut dalam Sidang Paripurna pada tanggal 18 Desember 2003 secara
memasukan usulan Majelis Ulama Indonesia secara penuh dan lahirlah Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain
Mahkamah Agung.
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya adalah
pendapat para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk
buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Oleh karena itu, hukum Islam di
Indonesia seperti halnya juga hukum adat,305 sering dipandang sebagai hukum tidak
304
Ibid. hlm.307-308
305 ‟
Rifyal Ka bah, ” Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di
Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol.II Nomor5, Jakarta, September 2004, hlm. 50.
176
politik hukum melalui proses legislasi dengan menyusun draft rancangan undang-
DPR.307
Landasan filsafati, berisi nilai-nilai moral atau etika dari suatu bangsa. Moral
dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik, sedangkan
nilai yang baik merupakan pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi yang di
dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya
Tujuan hukum Islam dapat dipahami dari sudut asas dalam disiplin hukum
Islam. Asas memiliki pengertian sebagai kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat dapat pula diartikan alas atau landasan. Sehingga jika kata asas
dihubungkan dengan kata hukum menjadi asas hukum berarti kebenaran yang
306
Sri Wahyuni, ”Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi
Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum Nomor 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003., hlm. 84.
307
Jimly Asshiddiqie,2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi
Press, Jakarta. hlm. 29.
177
argumentasi, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Hal ini berfungsi
hukum.308
Asas umum hukum Islam adalah asas hukum yang meliputi semua bidang
hukum Islam, meliputi : Asas keadilan, asas yang penting dan mencakup semua
asas dalam bidang hukum Islam. Dalam hukum Islam dikenal pula adanya asas
hukum pidana yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam meliputi asas
legalitas, asas larangan memindahkan kepada orang lain, asas praduga tak
bersalah. Sedangkan asas hukum perdata Islam adalah asas-asas hukum yang
lebih dari seribu kali, terbanyak disebut setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan.
Asas kepastian hukum adalah asas yang menyetakan bahwa tidak ada satu
perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada
dan berlaku pada perbuatan itu. Oleh sebab itu tidak ada sesuatu pelanggaran
sebelum ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Asas kemanfaatan adalah asas
yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas
Sedangkan Islam sendiri itu merupakan sebuah total sistem, yang terdiri dari
aqidah (belief system), syari‟ah (worship system), muammalah (social system), dan
308
Zainuddin Ali, Op.Cit. hlm.45.
309
Ibid, hlm.47-48.
310
Ibid, hlm. 45-46.
178
bangun segitiga dengan sebuah titik poros, dimana pada sudut atas adalah aqidah,
pada sudut kanan bawah adalah syari‟ah, pada sudut kiri bawah adalah
Muammalah, dan di titik poros adalah akhlaq, dan syari‟ah itu mengandung hukum-
hukum normatif yang bersifat empiris.312 Menurut Herman, moral harus dijadikan
hukum dengan melalui proses pengundangan. Dalam Islam terjadi jalinan yang erat
sekali antara etika atau moral, agama dan hukum,313 karena kebenaran Islam itu
itu, karena orang tidak mungkin mengetahui sesuatu itu sebagai the thing in its self,
yang diketahui orang hanyalah the thing as he perceives. Maka persepsi orang
terhadap segala sesuatu selalu dipandu oleh tata nilai yang dianutnya. Orang-orang
yang percaya kepada agama tertentu, akan dipandu oleh tata nilai agama itu dalam
melihat dan memahami setiap realitas, orang yang dipandu oleh tata nilai itu, disebut
Tujuan hukum syara‟ secara global untuk kemaslahatan dunia dan akhirat
bagi seluruh umat manusia, sekaligus bukti Rahmat Allah bagi seluruh alam. Secara
memelihara harta benda dan kehormatan diri.315 Sedangkan yang menjadi ciri-ciri
311
Herman Soewardi, Op.Cit, hlm.237
312
Ibid.hlm. 41
313
Ibid.hlm. 79
314
Ibid.hlm.90
315
Syah, Muhammad Ismail (et.al). Op.Cit. hlm. 65–102
179
Upaya memahami teori hukum Islam sesuai dengan derap langkah maju umat
Islam dalam menjalan tugas selaku khalifah Allah SWT, dihadapkan pada dua sisi
yang harus seimbang dalam langkah maju memikul tanggung jawab selaku
pemegang amanat, yaitu mengabdikan diri kepada Allah secara vertikal (ibadah) dan
(muamalat). Tata cara tersebut diatur dalam al-quran dan sunnah, yang muncul
Teori hukum Islam (islamic legal theory) sebagai teori yang mewadahi untuk
memahami berbagai sumber dan metode yang melahirkan hukum Islam. Sebagai
pangkal nilai atau sumber dari terbentuknya hukum Islam diambil dari kitab suci al-
qur‟an dan sunnah Nabi.317 Dari kedua sumber tersebut memberikan materi hukum
dapat melalui sebuah konsensus yang disebut ijma. Dalam teori hukum Islam juga
Islam tempat utama adalah al-qur‟an, kemudian diikuti sunnah yang banyak
memberikan materi hukum menduduki posisi kedua. Konsensus (ijma) yakni cara
untuk mencapai kesepakatan dimana para ahli hukum Islam yang kreatif mewakili
komunitas masyarakat.
316
Ibid.hlm.113–122
317
E. Kusumadiningrat dan Abdul Haris Bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam Islam
(terj), Jakarta, Grafindo Persada, hlm.4.
180
Islam sebuah total sistem dan teori hukum Islam. Dapat dilihat dari sisi aplikasi
umum penetrasi hukum Islam (al-qur‟an, as-sunnah, dan fiqih) ke dalam peraturan
hukum Islam. Menurut Cik Hasan Bisri, bahwa hukum Islam telah ditransformasikan
ke dalam:
318
Juhana S. Praja, 1993, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, Bandung, Yayasan Piara, hlm.34.
319
Telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
320
Telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
321
Cik Hasan Bisri, “Perwujudan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia” dalam al-Tadbir : Transformasi al-Islam dalam Pranata dan Pembangunan,
Vol.1, Nomor3, Pebruari 2000, hlm.16
322
Sutan Remy Sjahdeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, hlm.248-274
181
kemasyarakatan yang terlepas dari akar tauhid. Tetapi juga merupakan ibadah
dalam pengertian luas yaitu penyerahan diri seorang hamba Allah SWT sebagai
rabb-Nya, karena pelaksanaan hukum Islam itu sendiri harus sesuai dengan
hukum Islam itu adalah hukum wahyu (syari‟at), yang merupakan sistem ketuhanan
dikontrol olehnya. Satu-satunya dzat yang berwenang menentukan hukum atau yang
semata.326 Pada prinsipnya hukum Islam adalah hukum Tuhan yang tidak mungkin
dapat dirubah oleh manusia, baik hukum yang tersurat dalam al-qur‟an yang
Tuhan yang tersirat sebagai sunnatullah dalam ketertiban alam semesta (ayat-ayat
kauniyah), dalam konsep yang lebih radikal dikatakan seluruh makhluk ciptaan Allah
SWT.
323
Telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
324
Telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaran Ibadah Haji.
325
QS.Almaidah (5) : 44, 45, dan 47.
326
Muhammad Muslehuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis:
Studi Perbandingan Hukum Islam, Pen. Yudian W. Aswin, Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm.45
182
Manusia dari sudut biologisnya, yang tidak mungkin keluar dari keterikatan itu,
kecuali dua makhluk Allah yang berakal. Yang karena diberi kemampuan berpikir, dia
diberikan hak pilih oleh Allah untuk menjadi muslim atau tidak, dengan
cultural yang diciptakan manusia, yang bersifat berubah dari waktu ke waktu sesuai
Dalam Perspektif kebudayaan, hukum dalam pengertian ini adalah hasil karya cipta
dalam kehidupan bersama.327 Pada tataran aplikasi, hukum Islam menemui banyak
kendala, yang antara lain disebabkan dari berbagai bentuk reduksi pemahaman
terhadap hukum Islam itu sendiri, yaitu dari pemahaman hukum Islam dari perspektif
teologis yang dipandang tidak humanis, pemahaman yang bersifat idealis, sehingga
dianggap tidak realistis; yang pada gilirannya memberikan citra bahwa hukum Islam
Konflik antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lain bersifat bikinan
penjajah yang hingga kini berkembang sebagai bahan baku pembentukan hukum
nasional Indonesia , yaitu sistem hukum sipil (civil law), hukum adat, dan hukum
pengaruhnya dalam pembentukan hukum nasional. Hal itu terjadi mulai masuknya
penjajahan kolonial Belanda ke Indonesia yang terus berlangsung hingga saat ini.
Sebenarnya konflik itu, jika diamati lebih dekat, bukanlah merupakan konflik yang
327
Anderson, JND. 1994. Hukum Islam di Dunia Modern, Pen. Mahnun Husein,
Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm.2-4; dan Lihat juga Sukin, (at.al), 2003, Pengantar Ilmu
Budaya, Cet.1. Surabaya, Percetakan Insan Cendekia, hlm.4-5
183
normal terjadi secara alami. Tetapi merupakan konflik artifisial yang sengaja
diciptakan dalam sistem pemerintahan kolonial saat itu dan terus dipelihara untuk
Konflik dalam sistem hukum tersebut mengandung pengertian konflik pada nilai
sosial dan budaya yang timbul wajar dan alami. Dalil axioma menunjukkan bahwa
jika terjadi pertemuan antara sistem atau tata nilai yang asing bagi suatu
masyarakat, maka akan selalu terselesaikan dengan sendirinya secara wajar, hal ini
disebabkan karena setiap masyarakat memiliki daya kontrol dalam bentuk daya
asimilasi dan adaptasi terhadap berbagai konflik sistem nilai tersebut. Namun
masalahnya menjadi lain, ketika konflik sistem nilai itu memang sejak semula
sengaja diciptakan dan terus dipelihara untuk tujuan politik penguasa, maka
penguasa.
(juris sunni)
Teori pemeliharaan agama dan kesejahteraan rakyat ini dianut dan dijalankan
oleh para juris sunni dalam doktrin Islam. Instrumen utama dalam melihat dan
kerangka ini, diketahui bahwa pembentukan khalifah atau pemerintahan dalam suatu
negara bertujuan sebagai pengganti tugas kenabian yang mengatur kehidupan dan
urusan umat atau rakyat, baik keduniawian maupun keagamaan. Bertolak dari
184
kerangka demikian, para juris sunni lebih melihat bahwa tujuan negara adalah
Berkaitan dengan konsep dasar pemikiran dari teori pemeliharaan agama dan
berikut:
menurut prinsip-prinsip yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma oleh kaum salaf
(generasi pertama umat manusia). Kedua, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-
penganiaya dan yang dianiaya. Keempat, melindungi wilayah Islam dan memelihara
kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman, baik jiwa maupun harta. Kelima,
jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar
musuh. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut ketentuan syara‟, nash, dan
Kesepuluh, dalam memelihara agama dan rakyat, pemerintah dan kepala negara
328
J. Suyuthi Pulungan. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta,
Rajawali Pres dan LSIK, hlm.259.
329
Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara Dalam Multi
Perspektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Bandung, Pustaka Setia. hlm.86
185
Dimensi itulah yang ditekankan Ibnu Taimiyah tentang tujuan negara. Ia mengatakan
bahwa tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam
bahaya, dan tanpa adanya disiplin agama, negara pasti menjadi tiranik.331
tersebut di atas, yang memiliki cara pandang yang khas dalam memandang
pemisahan agama dari kehidupan. Islam dipahami sebagai agama sempurna yang
tidak hanya mengatur urusan ibadah dan akhlak, tetapi mengatur segala aspek
Ahmad Mufti dan Sami Shalih menegaskan bahwa formalisasi syariah adalah suatu
secara umum bagi publik. Tanpa formalisasi, syariah hanya mampu mengatur
perilaku individu dan tidak mempunyai otoritas mengatur urusan publik seperti
urusan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, tanpa formalisasi syariah, syariah tidak
330
Ibid
331
Ibid, hlm.86-87.
186
bisa menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan li al-„alamin), tapi
Oleh karena itu, dengan karakteristik universal ini, maka hukum Islam menempati
posisi penting dan strategis dalam perspektif umat Islam. Hal ini menunjukkan
bahwa sangat mustahil orang bisa memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.
Dalam kasus di Indonesia, sejak Islam masuk ke nusantara dan menjadi agama
rakyat Melayu, hukum Islam sudah memainkan peranan penting dalam kehidupan
rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam periode kerajaan Islam awal, bahkan
hukum Islam dijadikan sebagai hukum resmi kerajaan seiring dengan ditetapkannya
memelihara agama dan umat atau rakyat, dengan cara menegakkan syari‟at Islam
yang diyakini membawa rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan li al-„alamin).
Doktrin ajaran Islam dan kebenaran sejarah keberlakuan hukum Islam, menjadi
sebagai pemenuhan kebutuhan hidup di lain pihak, terutama dalam kegiatan usaha
332
Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih. 2002. Formalisasi Syariah Dalam
Kehidupan Bernegara: Suatu Studi Analisis. Lebanon. Dar An Nahdhah Al Islamiyah.hlm.vii-
viii.
333
Akhmad Mujahidin. “Pelembagaan Hisbah di Indonesia” dalam Aktualisasi Hukum
Islam: Tekstual dan Kontekstual. 2008.Yogyakarta, LkiS Pelangi Aksara, hlm.188-189.
187
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan sebagai tindak lanjut
dari Perubahan Undang-undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 24,334 Pasal
24A,335 Pasal 24B,336 Pasal 24C337 dan Pasal 25338 yang telah dilakukan penggantian
334
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***);
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. ***);
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang. ****)
335
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***);
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***);
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden. ***) ;
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. ***);
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. ***)
336
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***);
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***);
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***);
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.***)
188
1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini telah
Kehakiman.339
kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
tersendiri”.
337
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. ***);
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. ***) ;
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***);
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
***) ;
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara. ***) ;
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang- undang. ***)
338
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
339
Kemudian dirubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
340
Lihat pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
189
Bab IX tentang Ketentuan Peralihan dalam Pasal 42 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5)
sebagaimana dimaksud ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan
Adapun jangka waktu yang disebutkan pada ayat (1) dan ayat (2) tersebut
adalah 31 Maret 2004 untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara, sedangkan jangka waktu untuk Peradilan Agama dan Peradilan Militer
Agama dengan sendirinya telah mengubah ketentuan yang terdapat dalam Undang-
undang ini pembinaan Badan Peradilan umum, Badan Peradilan Agama, Badan
Peradilan Militer dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah
saran dan pendapat Mentri Agama dan Majleis Ulama Indonesia dalam pembinaan
Peradilan Agama di masa depan. Hal ini dapat dimengerti karena sifat khusus yang
antara lain dengan penyatuan atap seluruh badan peradilan di bawah kekuasaan
341
Keterangan Pengusualan atas Rancangan Undang-undang tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hlm.15.
191
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, antara lain ditingkat pimpinan terdapat 2 (dua) orang wakil ketua,
masing-masing Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Non Yudisial di
samping adanya Ketua Muda seperti halnya yang telah ada selama ini. Sekarang ini
Peradilan Agama, merupakan tuntutan sejarah dan tuntutan hukum yang sudah jelas
nusantara sampai saat ini diakui sebagai hukum yang hidup (living law).345 Hal ini
342
Misalnya Ketua Muda Pidana, Ketua Muda Perdata, Ketua Muda Tata Usaha
Negara, Ketua Muda Pidana Khusus, Ketua Muda Agama, Ketua Muda Pembinaan, Ketua
Muda Pengawasan. Ibid. hlm.16.
343
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
344
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009..Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
345
Ahmad Kamil,2004, “Asas-Asas Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989” dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan
Penerapannya, Mahkamah Agung RI, hlm.160.
192
dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar
harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun produk
melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non
kecenderungan pada jalur kedua lebih banyak mewarnai praktek penerapan hukum
Islam di Peradilan Agama. Hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam di
Indonesia selalu menghadapi kendala struktural dan kultural, baik secara internal
346
Al Qur‟an S. al Baqarah ayat 208 berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-
langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
347
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Maju Mundur,
Jakarta, hlm. 43-44.
193
maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum tentu
beranggapan bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu
struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.
Teori Teokrasi
ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusi hukum Islam yang terkadang
memihak dan menguntungkan kelangsungan institusi ini dan tidak jarang pula
merugikannya. Yang terjadi adalah gelombang pasang surut institusi peradilan Islam
(al-qadha fil islam) di Indonesia, seiring dengan pasang surut politik umat Islam.349
umat Islam disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di pihak umat Islam
mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga Peradilan adalah bagian dari
348
Peradilan Islam atau Peradilan Agama adalah dua nama yang pada hakikatnya
mempunyai keterkaitan bahwa segi kesinambungan sistem peradilan di Indonesia. Peradilan
Agama sebagai representasi dari Peradilan Islam dapat diidentifikasi melalui beberapa
perspektif. Pertama dari sudut landasan teologis-filosofis Peradilan Islam dibentuk dan
dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam
komunitas umat. Kedua, secara yuridis ini berkembang mengacu kepada konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Ketiga, secara historis
menurut para fukaha Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah saw. Keempat, secara sosiologis
menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan produk interaksi antara elit Islam dengan
elit Politik. Ia didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam Indonesia sejak lebih satu
abad silam. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam, mengenai perkara tertentu. Lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 1 ayat
(1) dan Pasal 2.
349
Deliar Noer, 1998, Islam dan Politik: Mayoritas dan Minoritas?, Jakarta, Prima, hlm.
3-21.
194
Pengabaian terhadap hukum Islam dan lembaganya, sama saja mengabaikan dan
durhaka pada hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, hukum Allah dengan segala daya
dan upaya wajib dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi
pemenang dalam konteks pergumulan politik tersebut adalah pihak penguasa karena
atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak atau absolut
Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah
berikut .
Pasal 1 menyebutkan:352
Pasal 2 menyebutkan:
350
Ibid
351
Cik Hasan Bisri, Op.Cit, hlm.204
352
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan:
“Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.
195
Pasal 3 menyebutkan:353
atas, juga mempunyai kekuasaan mutlak yang berkenaan dengan jenis perkara dan
353
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan:
“Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan
agama”.
196
meliputi:
yang harus ditangani oleh Peradilan Agama. Apabila hal ini menjadi perselisihan
197
para pihak suami-isteri. Akan tetapi dari sekian banyak masalah itu, yang sering
anak di bawah umur, hak nafkah isteri selama iddah, hak nafkah anak hingga
Dalam hal pembagian harta warisan, apabila salah satu suami isteri itu
meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka masalah ini menjadi
“Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
Oleh karena itu, wewenang Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus dan
agama Islam. Apabila perselisihan itu terjadi antara para pihak, maka menjadi
wewenang Peradilan Umum. Misalnya, dalam pembagian harta waris atau lainnya,
354
Bandingkan dengan norma hukum yang mengatur kewenangan terhadap sengketa
hak milik dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam Pasal 50 ayat (1) menegaskan:
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ayat (2) menegaskan : Apabila terjadi sengketa
hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang
yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
198
bila Peradilan Agama telah memutus pembagian harta warisan sebagaimana diatur
pada Pasal 49 ayat (3) di atas, kemudian terjadi silang pendapat atau saling
masalah lain yang berdasarkan syariat Islam. Sedangkan, masalah lain yang
Islam, antara lain meliputi : (a) wakap, wakip, nadzir, ikrar dan saksi; (b) bayyinah
(alat bukit administrasi tanah wakaf ) dan (c) pengelolaan dan pemanfaatan hasil
wakaf.
penyelesaian perkara yang berlaku di Pengadilan Agama. Hal ini menunjukan bahwa
355
Diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
199
proses perwakafan dari tanah dari wakil kepada nadzir, merupakan kewenangan
Peradilan Agama, kecuali apabila dikemudian hari terjadi persengketaan dari salah
satu pihak lain mengenai tanah yang diwakafkan, maka penyelesaiannya menjadi
antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
nasional yang harus melalui proses panjang dan diwarnai dengan polemik serta
Peradilan Agama terjadi secara ilmiah karena faktor kebutuhan sesuai dengan
356
Yang kemudian perubahan atau perluasan kewenangan terdapat dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.
357
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.
358
Cik Hasan Bisri.Op.Cit. hlm.36.
200
bukan pemaksaan.359 Namun demikian, tidak seluruh tokoh Islam yang menyambut
seharusnya negara tidak terlalu jauh mencampuri urusan agama warga negaranya
umat Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap lembaga Peradilan
Islam di Indonesia begitu cepat dan tinggi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas
Peradilan Agama dengan gaya lain sebagai upaya untuk merevisi Undang-undang
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
359
Ali Yafie, Getra, Nomor 3 Tahun III (14 Juni 1997), hlm. 97.
360
Abdurrahman Wahid, 1999, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosda
Karya, hlm. 80.
361
Mukti Arto. Op.Cit. hlm.6.
362
Mutmainnul‟ Ula, Wajah Baru Peradilan Agama, dalam www.jawapos.com/index.
201
undang Nomor 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini
karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama
bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
undang ini ”.
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b)
kewarisan, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) sadaqah, (h) infak, dan (i)
ekonomi syari‟ah. Kedua, penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
363
Muhammad Muslih, “Hukum Acara Peradilan Agama,” Makalah, disampaikan pada
tanggal 7 Agustus 2008 pada PKPA terselenggara atas kerjasama antara PBHI-PERADI.
202
Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi bahwa dalam hal terjadi
sebagai mana dimaksud mengenai objek yang menjadi sengketa harus diputus lebih
dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Demi efektivitas dan
efisiensi, Pasal ini diubah menjadi dua ayat, yaitu ayat (1) dalam hal terjadi sengketa
hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49, khususnya menjadi objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan ayat (2) apabila terjadi sengketa
hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subjek hukumnya antara
Agama bersama-sama perkara sebagai mana dimaksud dalam hal Pasal 49.
memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriah. Selama ini, memberikan penetapan (isbat) terhadap orang-orang yang telah
melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki awal Ramadhan, awal
Syawal dan tahun baru Hijriah dalam rangka mendukung Menteri Agama
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun1989 ini, semakin terlihat bahwa produk hukum
nasional saat ini sudah semakin memperkuat eksistensi hukum Islam sebagai bahan
baku hukum nasional. Di sinilah sesungguhnya peluang yang lebih besar untuk
teori teokrasi yang menegaskan bahwa manusia wajib taat, patuh, dan tunduk
203
kepada hukum karena hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan-
peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang datang dari Tuhan,
kemudian ditulis dalam kitab suci. Teori teokrasi memikirkan tentang hukum dalam
kaitannya dengan agama dan kepercayaan. Di samping itu, agama dan kepercayaan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas fundamental bagi pengakuan
kekuasaan hukum.364
Oleh sebab itu, ketaatan setiap pemeluk agama kepada hukum merupakan hal yang
wajib, sebab hukum yang berlaku banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum agama.
datangnya dari Tuhan. Keadaan yang demikian mengandung arti bahwa kaidah-
diturunkan melalui wahyu merupakan kewenangan dari Allah SWT untuk mengikat
setiap muslim agar melakukan perintah-Nya. Seluruh perintah itu adalah mencakup
setiap sisi kehidupan umat, termasuk di dalamnya persoalan politik, hukum, ekonomi
dan lain sebagainya, begitu juga halnya dalam undang–undang suatu negara.
nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum. Karena kesadaran
berhukum pada syari‟at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan
selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang
364
Sudarsono, 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.105.
204
maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini
menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping memiliki akar kuat untuk tampil
menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku
dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai
yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil „alamin).
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini
bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap
aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat
(rechsicherheid).
365
Suhartono, ”Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional”,
Makalah, Penulis adalah wisudawan Terbaik Program S2 Magister Ilmu Hukum Konsentrasi
Hukum Ekonomi Universitas Jember (UNEJ) Th.2006 dan sekarang menjadi Panitera
Pengganti pada Pengadilan Agama Lamongan atau Calon Hakim PA.
205
tidak tertinggal dari ritme perubahan yang diungkapkan oleh Von Savigny maka
hukum yang hidup di tengah masyarakat yang plural di Indonesia harus kita terima
absolut yang urgen penulis kemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50.
366
M. Ali Mansyur, “Kajian Filosofis Dan Yuridis Terhadap RUU Perbankan Syariah”,
Makalah, http://pa-demak.ptasemarang.net.
367
Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik
dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam dalam lingkungan peradilan yang lain.
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 78.
206
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk
orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Kemudian terkait ekonomi
menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis
syariah.
1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
368
Data terakhir per-Agustus 2007 menunjukkan, bahwa pertumbuhan dan
perkembangan Perbankan Syari‟ah di Indonesia cukup fenomenal. Dari hanya satu bank
umum syari‟ah dan 78 BPRS pada tahun 1998, menjadi 3 bank umum syari‟ah, 24 unit usaha
syari‟ah, 108 BPR Syari‟ah. Jumlah aset Rp 1,7 trilyun, dengan nasabah loyal 14,1%
sementara nasabah loyal pada Bank Konvensional 24,7%. Akhir 2008 ditarget oleh BI, total
aset Bank Syariah mencapai 5%. Reasoningnya, selain angka non-performing financings-
nya yang lebih rendah dibanding dengan bank konvensional, negative-spread-nya tidak
menghantui perbankan dengan sistem syari‟ah ini, dan lebih menunjukkan konsistensinya
dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Lihat Muqaddimah, “Aspek Sosiologis Sengketa
Ekonomi Syari‟ah Dan Pelaksanaan Ekonomi Syari‟ah Di Indonesia”, Makalah Disampaikan
Dalam Acara Seminar Nasional Hukum Ekonomi Syari‟ah, diselenggarakan atas Kerjasama
Magister (S2) Ilmu Hukum UNISSULA, Pengadilan Tinggi Agama Semarang, dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Kampus UNISSULA Semarang, Rabu, 19 Maret 2008.
Lihat di http://pademak.ptasemarang.net.
207
2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.369
Dari dasar hukum Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (2) tersebut di atas, dihubungkan
dengan pendapat Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut
Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang
muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang
dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum
dapat dipahami bahwa subjek hukum dalam sengketa ekonomi syariah, yaitu:
hukum Islam;
asas personalitas keislaman terkait agama yang dianut oleh pihak yang bersengketa
369
Penjelasan Pasal 50 Ayat 2 menegaskan : Ketentuan ini memberi wewenang
kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa
antar orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan. Sebaliknya
apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan
Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan
umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan
Negeri terhadap objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari
satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,
Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang
tidak terkait dimaksud.
370
A. Mukti Arto, Op.Cit, hlm. 6.
208
kewenangan absolut peradilan yang menangani sengketa tersebut. Jika para pihak
beragama selain Islam menjadi subjek hukum dalam perkara ekonomi syariah
mendasarkan pada prinsip syariah tidak hanya diminati oleh orang-orang Islam saja.
Dalam praktek, banyak ditemui para nasabah yang menikmati produk maupun jasa
ekonomi syariah adalah relevan seiring dengan pesatnya kegiatan usaha atau bisnis
yang melibatkan badan hukum373 baik berupa perseroan terbatas maupun koperasi.
Kegiatan ekonomi syariah tidak hanya melibatkan orang dalam arti manusia pribadi
371
Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
372
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999.
373
Pengertian badan hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal-hal berikut, yaitu:
perkumpulan orang (organisasi), dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam
hubungan- hubungan hukum (recgsbetrekking), mempunyai harta kekayaan tersendiri,
mempunyai pengurus, mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat digugat dan menggugat di
depan pengadilan. Chidir Ali, , 2005, Badan Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 21.
209
tetapi juga badan hukum. Sehingga tatkala kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip
syariah tersebut menimbulkan suatu persoalan atau sengketa maka baik manusia
sengketanya. Namun, tentunya untuk badan hukum diwakili oleh direksi374 dalam
pengembangan hukum Islam melalui jalur legislasi terutama yang mengatur bidang
Nomor 3 Tahun 2006. Juga melihat kebutuhan hukum dewasa ini, legislasi
Kedua, materi hukum ekonomi syari‟ah adalah merupakan hukum privat Islam
bukan hukum publik, sehingga jika bidang ini diangkat ke jalur legislasi tidak akan
memunculkan konflik serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya
fikih muamalah mempunyai peluang yang cukup besar, bebarapa hal penting yang
374
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan, baik dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
210
ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yang telah lama digagas oleh
konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi
375
Antara lain: a) T.M. Hasbi Ash-Shiddieqyyaitu menggagas fikih ala Indonesia; b)
Hazairin yaitu menggagas fikih madzhab nasional; c) Munawir Sadzali yaitu pemikirannya
tentang reaktualisasi (Kontekstualisasi) Ajaran Islam; d) Sahal Mahfudh dan Ali Yafie yakni
‟
pemikirannya tentang fikih sosial; e) Masdar F. Mas udi yakni pemikirannnya tentang agama
dan keadilan.
211
Ketiga, materi hukum yang hendak diusung ke jalur legislasi mencakup hukum
privat yang bersifat universal dan netral sehingga tidak memancing sentimen agama
lain. Kemungkinan besar tidak akan menimbulkan gejolak sosial yang cost-nya
sangat mahal.
dan Pasal 29 Undang–undang Dasar 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum
nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional, serta sejalan
rangka menggaet dana dari Timur Tengah yang selama ini dimanfaatkan dunia
Barat, karena investor tidak mau menerima bunga bank, mengalami kendala.
perbankan Barat sulit untuk kita gapai, lebih-lebih kita sebagai negeri dengan
ekonomi syari‟ah sekaligus diselamatkan dari sistem ekonomi materialis yang ribawi.
syukuk,376 ini merupakan bukti bahwa penerapan ekonomi syari‟ah sudah menjadi
Bagi kita orang Islam pertanyaan di atas secara teologis telah terjawab oleh
firman Allah dalam S. Al Baqarah ayat 208, namun secara praktis perlu dikemukakan
sebagaimana do‟a kita setiap mau makan yang diajarkan Rasulullah SAW, begitu
pula dalam do‟a selamat yang paling sering dibaca dikalangan kita.378 Pesan al
kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
perbuatannya”.
Asas kemanfaatan dalam ekonomi syari‟ah terlihat dari prinsip ta‟awun yang
mendapatkan keuntungan materi belaka. Tetapi konsep bagi hasil yang berkeadilan
376
Undang–undang Syukuk Ijarah (obligasi syari‟ah) disahkan menjadi Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2008. Sementara Undang–undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankkan Syari‟ah telah disahkan tanggal 17 Juni 2008.
377
Menurut Ath-Thabathabai barakat : al-khairul-ilahiyyi la yuhtasabu. Menyangkut tiga
keberkatan yaitu keberkatan dalam keturunan, keberkatan dalam soal makanan dan
keberkatan dalam hal waktu. Ada pula keberkatan pada tempat yaitu Masjid Aqsa dan
Masjidil Haram, Ensiklopedia Al-Qur‟an : Kajian Kosakata Jilid I, Lentera Hati, Jakarta, 2007,
hlm 131–132.
378
Allahumma baariklana fi maa razaqtana wa qina ‟azaba al naar dan wabarakatan fi
rizqina .....
379
Taqwa : Menjaga diri dari azab Allah dengan menjauhi tindakan masiat dan
melaksanakan tata aturan yang telah digariskan Allah. Lihat, Ensiklopedi Islam Jilid V hlm.
48.
213
itu dikembangkan, begitu pula skim qard al hasan yang hampir tidak dikenal di luar
mengemban tugasnya, karena ia dapat dikatakan sebagai sifat dan karakter yang
begitu, setiap pasal dalam undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas-
undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama, terdapat beberapa asas
umum pada lingkungan Peradilan Agama. asas-asas itu merupakan fundamen dan
agama Islam. Kemudian apa yang dimaksud dengan asas personalitas ke-Islamam
itu, menurut Wildan Suyuthi : “Bahwa yang dapat tunduk dan dapat ditundukkan
380
M. Yahya Harahap,1990, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Undang-undang Nomor 7 tahun 1989), Pustaka Kartini, hlm. 37
214
dirinya pemeluk Agama Islam,381 terdapat penegasan yang melekat didalam asas-
Asas Personalitas KeIslaman itu berasal dari agama Islam berisi ketentuan-
ketentuan dari Allah SWT, Tuhan bagi segala alam, mengenai seluruh masalah
kehidupan yang harus ditaati oleh para pemeluknya secara totalitas (kaffah).
381
Wildan Suyuthi (Penyusun). Loc.Cit.
382
Sulaikan Lubis, (et.al). Ibid, hlm.62
383
Kemudian sesuai dengan upaya amandemen Undang–undang Nomor 14 Tahun
1970 menjadi Undang–undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah menjadi Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas tersebut terdapat dalam
Pasal 1 Ketentuan Umum berbunyi: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
384
Sulaikan Lubis, (et.al). Ibid, hlm.63.
215
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
“kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
Asas kebebasan melekat pada hakim dan badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan negara yang bebas dari
campur tangan negara lain dan atau dari pihak luar. Asas ini menunjukan bahwa
hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan yang bebas dari campur
tangan kekuasaan negara dan tekanan pihak lain, dalam hal ini pemerintah dan
385
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 1 angka 1 menegaskan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
216
a. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara yang lain. Bebas disini
berarti murni berdiri sendiri, tidak berada dibawah pengaruh dan kendali
badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuasaan lainnya.
b. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang datang dari pihak
extra yudicial, artinya hakim tidak boleh dipaksa diarahkan atau
direkomendasi dari luar lingkungan kekuasaan peradilan.
c. Kebebasan melaksanakan kewenangan peradilan. Dalam hal ini, sifat
kebebasan hukum tidak mutlak, tetapi terbatas pada:
1). Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang benar dan tepat dalam menyelesaikan perkara yang
sedang diperiksa.
2). Menafsirkan hukum yang tepat melalui metode penafsiran yang benar.
3). Bebas mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar dan asas-asas
hukum melalui doktrin ilmu hukum, hukum adat, yurisprudensi dan
melalui pendekatan realisme (yaitu mencari dan menemukan hukum
yang terdapat pada nilai ekonomi, kesusilaan, kepatuhan, agama, dan
kelaziman).
untuk mencari dan menemukan hukum, karena hakim terikat asas yang melarang
hakim menolak memeriksa perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada
Merupakan asas umum dalam perkara perdata dan sejalan dengan tuntunan
agama Islam yang dikenal dengan konsep ishlah. Asas ini semakin penting
sebagai peradilan keluarga memiliki dua fungsi, yaitu tidak hanya sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman atau lembaga hukum (court of law) yang menerapkan hukum
386
Ibid, hlm.64.
217
keluarga secara tegas kaku (impersonal), tetapi lebih diarah pada usaha
konsep tersebut, maka peran hakim dalam perdamaian388 para pihak yang
berperkara terbatas pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam
biaya perkara oleh para pencari keadilan. Asas ini tercantum dalam ketentuan Pasal
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Kemudian lebih
lanjut ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) yang menegaskan: “Pengadilan membantu
387
Sesuai dengan konsep Al-Qur‟an dalam surah Al-Hujuraat: 10. Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
388
Kata perdamaian berasal dari kata “damai” yang berarti : tidak ada perang; tidak
ada kerusuhan; aman. Ketika kata “damai” ditambah dengan awalan “per” dan akhiran “an”
menjadi kata “perdamaian” yang berarti penghentian permusuhan (perselisihan dsb); perihal
damai (berdamai). Lihat Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Op.Cit .hlm.233.
218
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan
efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya
keadilan.
tersedia.
Kehakiman, ditemukan asas persidangan terbuka untuk umum yang diatur dalam
Pasal 13 menegaskan :
memiliki makna yang sama dengan bertindak menurut aturan-aturan hukum (rule of
law). Asas ini menunjukan pengakuan terhadap otoritas dan supermasi hukum,
persidangan dan penjatuhan hukuman harus berdasarkan hukum. Asas legalitas ini
tercantum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970
orang”.
Kehakiman, ditemukan asas legalitas dalam Pasal 4 ayat (1) yang menegaskan:
bersifat aktif dan bertindak sebagai fasilitator. Hakim harus aktif dalam memberikan
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menagur asas aktif memberi bantuan
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang menegaskan: “Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
norma hukum yang tercantum dalam Pasal 58 ayat (2) Undang–undang Nomor 7
Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.
Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
asas itu, akan sangat bergantung kepada unsur manusianya, terutama hakim yang
Tahun 2006. Menurut Sulaikan Lubis, perluasan kewenangan tersebut berarti pula
Nomor 7 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa perluasan pengertian dan cakupan
asas personalitas keislaman tidak hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi
Tahun 1989 menunjukkan adanya asas penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige
hukum.
389
Sulaikan Lubis (et.al). Op.Cit. hlm.106.
222
menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk
orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela (Vrijwillige
Onderwerping) kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2
demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut
Pengadilan Agama.390
sengketa ekonomi syari‟ah adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila
Pangadilan Agama.
Sejalan dengan itu maka yang disebutkan pada penjelasan Pasal demi Pasal
390
Ahsan Dawi Mansur, “Paradigma Baru Peradilan Agama”, Sumber, Koran Merapi,
31 Agustus 2007
223
kewenangan absolut yang terdapat dalam asas dan norma hukum, sehingga
5.1.7.1. Politik Hukum Mengenai Pembentukan Pasal 50 ayat (1) dan (2) dari
dalam Pasal 21 Undang–undang Dasar 1945 dan Pasal 13 jo Pasal 128 Peraturan
391
H. Muhammad Karsayuda, Op.Cit, hlm.4
392
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui
penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama
secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kemudian
menjadi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
224
anggota Komisi III DPR-RI masa bhakti 2004-2009 tersebut di atas, maka perubahan
tuntutan sejarah dan tuntutan hukum yang sudah jelas arah pengaturannya dalam
393
Surat Nomor : 02/DPR-RI/II/2005-2006 tanggal 14 November 2005 dengan Perihal
Penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai usulan Inisiatif Anggota DPR-RI kepada
Pimpinan DPR-RI.
225
Agung.
15. Pasal 19 khususnya ayat (3) telah diubah rumusan dengan menghapus
keikutsertaan Menteri Agama dalam menyusun Peraturan Majelis
Kehormatan Hakim seperti sebelumnya dan kini hanya ditetapkan oleh
Mahkamah Agung. Hal ini sinkron pula dengan perubahan dalam Undang–
undang Nomor 6 Tahun 2004 pada Pasal 20 dan dalam Undang–undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 20.
16. Pasal 20 perubahan substansi, jika sebelumnya pemberhentian sebagai
hakim tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil,
kini kata “tidak” dihapus, sehingga dengan sendirinya pemberhentian
sebagai hakim juga langsung berhenti sebagai pegawai negeri. Hal ini
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 21 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 21.
17. Pasal 21 perubahan substansi dalam rangka penyatu atap sehingga
Menteri Agama tidak lagi mengusulkan ke Mahkamah agung tetapi sudah
menjadi kewenangan sepenuhnya dari Mahkamah Agung. Termasuk
dengan menghapus campur tangan Presiden dalam pemberhentian
sementara untuk sanksi pemberhentian sementara jika dijatuhkan, diberi
batas waktu 6 (enam) bulan untuk lamanya pemberhentian sementara
tersebut, agar alasan yang terdapat di dalam pemberhentian sementara
segera diproses apakah akan ditingkatkan menjadi pemberhentian atau
dicabut. Jika batas waktu tersebut di lampaui tanpa sesuatu tindakan akan
berakibat batalnya pemberhentian sementara. Hal ini sinkron dengan
perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 22
dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 22.
18. Pasal 25 perubahan dengan menghilangkan peran Menteri Agama
sehingga hanya semata-mata oleh Ketua Mahkamah Agung. Sinkron Pula
dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 26,
dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 26.
19. Pasal 27 merubah persyaratan menjadi Panitera Pengadilan Agama yang
semula antara lain diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat)
tahun sebagai Wakli Panitera dijadikan 3 (tiga) tahun, dan 8 (delapan)
tahun menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama menjadi 7 (tujuh) tahun
diubah menjadi 5 (lima) tahun.
20. Pasal 28 juga dengan merubah masa pengalaman kerja untuk diangkat
sebagai Panitera Pengadilan Tinggi Agama dari 4 (empat) tahun menjadi 3
(tiga) tahun sebagai Wakil Panitera, dari 8 (delapan) tahun menjadi 5 (lima)
tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat)
tahun menjadi 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama. Hal ini
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 29 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 29.
21. Pasal 29 mengenai jabatan Wakil Panitera Pengadilan Agama juga terjadi
penyesuaian masa pengajaman untuk diangkat sebagai Waklil Panitera
Pengadilan Tinggi Agama dari 4 (empat) tahun diturunkan 3 (tiga) tahun
sebagai Panitera Muda dan dari 6 (enam) tahun dijadikan 4 (empat) tahun
menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, sinkron pula dengan
perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 30 dan
dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 30.
229
22. Pasal 30 untuk menjabat Wakil Panitera juga disesuaikan masa jabatan
dari mereka yang dapat diangkat, serta sinkron dengan perubahan dalam
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 13 dan dalam Undang–
undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 31.
23. Pasal 31 untuk jabatan Panitera Muda Pengadilan Agama disesuaikan pula
dan sinkron dengan perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 32 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004
pada Pasal 32.
24. Pasal 32 perubahan persyaratan lamanya pengalaman menjadi Panitera
Muda Pengadilan Tinggi Agama sinkron dengan perubahan dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Pasal 33 dan Undang–
undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 33, yaitu dari 3 (tiga) tahun
sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama menjadi 2 (dua)
tahun sebagai Panitera Muda jadi 3 (tiga) tahun atau 8 (delapan) tahun
sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama jadi 5 (lima) tahun.
25. Pasal 33 perubahan persyaratan lamanya pengalaman untuk menjadi
Panitera Pengganti Pengadilan Agama sinkron dengan perubahan dalam
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 34 dan Undang–undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 34, yaitu dari 5 (lima) tahun sebagai
Pegawai Negeri pada Pengadilan Agama jadi 3 (tiga) tahun.
26. Pasal 34 perubahan persyaratan Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama sinkron dengan perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 35 dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal
35, yaitu persyaratan pengalaman 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama jadi 3 (tiga) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Pegawai Negeri pada Pengadilan Tinggi Agama jadi 8 (dekapan)
tahun.
27. Pasal 35 perubahan merupakan penyesuaian dengan penyatu atap
sehingga pengaturan jabatan rangkap Panitera tidak lagi ditetapkan Menteri
Agama, tetapi diputuskan Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan
perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 36
dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 36.
28. Pasal 38 perubahan tentang pengangkatan dan pemberhentian Panitera,
Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang dilakukan
Menteri Agama menjadi Mahkamah Agung sebagai konsekuensi
penyaluran atap ke Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan
dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 37 dan dalam
Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 38.
29. Pasal 37 perubahan persyaratan ayat (1) dan ayat (2) antara pejabat
pengambil sumpah dan lafal sumpah. Hal ini sinkron dengan perubahan
dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 38 dan dalam
Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 38.
30. Pasal 39 perubahan persyaratan pengalaman untuk menjadi Jurusita
Pengadilan Agama dari 5 (lima) tahun sebagai Jurusita Pengganti jadi 3
(tiga) tahun serta persyaratan menjadi Jurusita Pengganti dari 5 (lima)
tahun sebagai Pegawai Negeri Pengadilan Agama menjadi 3 (tiga) tahun.
230
Hal ini sinkron pula dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 40 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 40.
31. Pasal 40 perubahan merupakan konsekuensi pentauan atap sehingga
pengangkatan dan pemberhentian Jurusita tidak lagi oleh Menteri Agama,
tetapi oleh Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–
undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 41 dan dalam Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 41.
32. Pasal 41 perubahan pada struktur pembagian dengan memisahkan pejabat
pengambil sumpah Jurusita dan lafal sumpahnya menjadi ayat (1) dan ayat
(2). Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 42 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004
pada Pasal 42.
33. Pasal 43 perubahan sebagai konsekuensi penyatuan atap ke Mahkamah
Agung sehingga menteri Agama tidak lagi mengatur jabatan yang tidak
dapat dirangkap Jurusita menjadi pemandu sumpah, tetapi menjadi
wewenang Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–
undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 43.
34. Pasal 44 sebelumnya Panitera merangkap Sekretaris Pengadilan
sehubungan dengan penyatuan atap, Kanwil atau Departemen tidak lagi
mengurus hal-hal yang tadinya ditangani Departemen Agama sehingga
beban sekretaris serta tanggung jawab menjadi lebih berat. Agar tidak
mengganggu tugas Panitra dalam menangani teknis perkara perlu
pemisahan.
35. Pasal 45 sebelumnya tidak mengatur Sekretaris karena dirangkap Panitera
diubah dimasukkan pula jabatan Sekretaris yang persyaratannya minimal
sama dengan Wakil Sekretaris. Jabatan sekretaris Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama disamakan yaitu, sebelumnya untuk Pengadilan
Agama hanya Sarjana Muda tapi kini sumber daya manusia yang sarjana di
Pengadilan Agama sudah cukup, oleh karena itu Pasal 46 mengenai
Pengadilan Tinggi Agama tidak diperlukan lagi sehingga dihapus Pasal 46
tersebut.
36. Pasal 46 dihapus karena sudah disatukan ke Pasal 45.
37. Pasal 47 perubahan pejabat yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan Wakil Sekretaris Pengadilan daru Menteri Agama menjadi
Mahkamah Agung sebagai konsekuensi penyatuan atap. Hal ini menjadi
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 48 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 48.
Serta ditambah jabatan Sekretaris yang sudah dipisahkan dari Panitera.
38. Pasal 48 perubahan dalam struktur susunan ayat antara pejabat pengambil
sumpah Wakil Sekretaris dan lafal sumpahnya. Hal ini sinkron dengan
perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 49 dan
dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 49. Serta
ditambahkan jabatan Sektretaris yang seluruhnya dirangkap Panitera
sehingga sumpahnya menyatu dengan Panitera.
39. Pasal 49 yang mengatur kekuasaan Pengadilan (Kompetensi Absolut)
hukumnya pada ayat (4) perlu diuraikan bentuknya apa kegiatan Bank
Syari‟ah yang dapat menjadi obyek perkara, karena Bank Syari‟ah berbeda
231
dengan tuntutan reformasi hukum yang telah dimulai dengan perubahan pasal-pasal
Nomor 35 Tahun 1999, terakhir diganti oleh Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004
undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut diatas, mencerminkan politik hukum setengah
1989 menyebutkan:
Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan
terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
234
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-
sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Politik hukum yang tersirat dan tersurat dalam proses perubahan Undang–
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diwarnai dengan politik
Agama tersebut, dapat dilihat dalam pandangan fraksi yang ada di DPR RI, sebagai
berikut:394
394
Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI),.
Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
235
dihubungkan dengan problem teknis yuridis yang merupakan penjelmaan dari Pasal
50 ayat (1) tidak mendapat kritisasi yang cukup berarti dalam tahapan perencanaan
dan pembentukan. Karena pusat perhatian terpecah oleh politik hukum perubahan
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang secara tegas memainkan peran politik hukum
agar proses perubahan selaras dengan perubahan Undang–undang Dasar 1945 dan
mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan;
Agama, tanpa menolak Pasal 50 ayat (1) yang merupakan politik dualisme
Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
dan wewenang secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan
sengketa milik atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang
maka belum sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan
Terkait dengan problem teknis yuridis yang merupakan penjelmaan dari Pasal
50 ayat (1) tidak mendapat kritisasi yang cukup berarti dalam tahapan perencanaan
dan pembentukan. Karena pusat perhatian terpecah oleh politik hukum perubahan
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang secara tegas memainkan peran politik hukum
agar proses perubahan selaras dengan perubahan Undang–undang Dasar 1945 dan
mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan;
Agama, tanpa menolak Pasal 50 ayat (1) yang merupakan politik dualisme
Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Sebab, dalam Pasal 50 tidak melakukan perubahan peletakan tugas dan wewenang
secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan ruang lingkup
atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang merasa dirugikan
Nomor 7 Tahun 1989 tersebut dibuka walau tidak seluas-luasnya, maka belum
sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
5.1.7.2. Politik Hukum Mengenai Norma dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) dari
kewenangan absolutnya. Hal ini terlihat dalam penyelesaian sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari
(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
keadilan yang berstatus agama Islam maka sengketa hak milik atau sengketa lain
dengan Pasal 50 ayat (2). Bagi pencari keadilan yang beragama non Islam,
penyelesaian sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perdata menjadi
ayat (1) dan (2) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Agama
Di Indonesia, terjadi konflik antara hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan
hukum Adat. Konflik antara ketiga system hukum ini berawal sejak masuknya
245
penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga saat ini. Sebenarnya
setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa kita berupaya untuk
mengatasi konflik tersebut, namun hingga sekarang belum kunjung selesai. Itulah
sebabnya, setiap Garis-garis Besar Haluan Negara dan kebijakan Negara lainnya
tersebut di atas. Kita meyakini bahwa mengatasi masalah ini tidaklah mungkin
dikerjakan secara tambal sulam, melainkan harus dengan konsep-konsep dan aksi
Realita sejarah menunjukkan bahwa konflik antara ketiga system hukum itu
ditimbulkan oleh sistem kolonialisme waktu itu dan rekayasa dari pihak-pihak yang
tidak menghendaki perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa lalu dan
saat ini. Konflik hukum mengandung arti konflik nilai–nilai sosial dan budaya yang
timbul secara wajar. Jika ada pertemuan antara dua atau lebih system nilai yang
asing bagi suatu masyarakat, biasanya akan selesai dengan sewajarnya, karena
setiap masyarakat memiliki daya serap dan daya adaptasi terhadap system nilai
asing, namun jika konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-
kadang secara artificial (buatan) sesuai dengan kebutuhan politk, maka sulitlah
membawa sistem nilai baru berupa akidah, syari‟ah dan akhlak. Ketika itu kondisi
246
masyarakat Indonesia telah memiliki secara memadai system nilai yang berlaku lama
Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi
setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah,
syari‟ah dan akhlak Islam. Pergumulan kedua system nilai itu berlaku secara wajar,
tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den
penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama Islam berlaku motto
memperlakukan syari‟at Islam secara keseluruhan. Pada masa itu, Peradilan Agama
mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-
tertarik pada rempah-rempah dan hasil bumi lainnya yang amat laris di pasaran
cara, kepandaian diplomasi, politik adu domba, dan kekuatan senjata yang akhirnya
berhasil mejadikan Indonesia sebagai koloni Belanda selama lebih dari 300 tahun.
direncanakan untuk diunifikasi, disatukan, yang berarti, hukum yang berlaku di negeri
hukum, karena ada diantara para sarjana hukum Belanda tidak menyetujui unifikasi
sebagaimana tersebut di atas. Para sarjana hukum Belanda yang menolak unifikasi
247
itu dipelopori oleh C.Van Vollenhoven dengan bukunya De ontdekking van het
masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum Adat, yakni hukum
yang berakar pada kesadaran hukum masyarakat sejak dulu, dan hukum yang telah
berhasil membuat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib.
Dengan demikian teori receptio in complexu dari Van den Berg diganti dengan teori
Agama mengalami pasang surut, ada kalanya wewenang dan kekuasaan yang
dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam
Peradilan Agama tidak hanya pada aspek institusional sekedar yang dimaksudkan
berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi juga
395
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, Edisi Ke-III, hlm.288.
248
aspek filosofis dan sistem hukum, tetapi masih adanya klaim bahwa regulasi dalam
normatif dari peristiwa masa lalu sehingga eksistensi Peradilan Agama tidak lebih
merupakan reformulasi atau pengulangan tuntutan historis yang berada dalam satu
lingkaran sejarah.
Mencermati aspek historis, memiliki manfaat positif karena sejarah itu selalu
sejarah bukan mitos tetapi fakta. Yang perlu diperhatikan dalam mempelajari sejarah
demikian apa yang dilahirkan oleh regulasi Peradilan Agama merupakan sebuah
refleksi sikap moral dan konsep pandangan hidup, tentunya tidak terlepas dari
disebutkan sebagai sebuah lembaga agama dan dilain sisi diberikan makna sebagai
lembaga hukum. Hal inilah yang melatar belakangi eksistensi Peradilan Agama
dalam sistem hukum di Indonesia sebagai suatu kebutuhan masyarakat Islam dalam
396
Zuffran Sabrie, Op.Cit. hlm.XVII.
397
Hamdhany Tenggara, 2001, Bahan Kuliah Sejarah Hukum, Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
249
Sebagai wujud dari paham studi hukum kritis (critical legal studies) melihat
adanya suatu distorsi konsep dasar dari Peradilan Agama yang berpangkal dari
sejarah Peradilan Islam. Hal ini terlihat ketika terbentuknya sistem Peradilan Agama
yang diolah dan distrukturkan oleh penguasa tertinggi yaitu negara. Dengan
akomodasi dan refleksi dari nilai dasar hukum Islam dan Peradilan Islam menjadi
Peradilan Agama akan terjadi suatu anomali kepentingan. Dapat berupa kepentingan
masyarakat Islam dalam rangka penegakan hukum Islam dan sebagai sarana
taat kepada hukum bukan buatan sendiri, dinilai merupakan sebuah pengurangan
kenyataan sekarang berbeda, justru bukan negara dengan hukum prosedural yang
substansi yang digerogoti oleh hukum atau keadilan prosedural. Hal ini terkristalisasi
melalui pembenaran dan kemapanan dalam historis dan struktur Peradilan Agama.
398
Zuffran Sabrie. Op.Cit, hlm.37.
250
Hukum
dapat ditarik benang merah bahwa lembaga ini telah mengalami pahit getirnya
pengabdian terbaik buat negeri ini. Perubahan politik hukum yang silih berganti sejak
masa kolonial Belanda hingga era reformasi sangat kental nuansa politis dan islamo
phobia, hal ini menggambarkan bahwa timbul tenggelamnya lembaga ini sangat
orde baru menyadarkan dan menggugah semua elemen bangsa untuk kembali pada
hakikat sebenarnya dari bangsa atau negara Indonesia, sebagai negara yang
masyarakat. Hal ini mengingat, pada masa tersebut keadilan dan supremasi hukum
prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan tatanan dan aturan
hukum yang ada. Sehingga, keadilan hanya dimiliki dan dinikmati oleh pemimpin,
kepastian hukum menjadi sesuatu yang sulit diperoleh oleh rakyat biasa, serta
Tidak berlebih jika pernyataan tersebut bisa dijadikan sebagai gambaran realitas
399
Menurut Bagir Manan, “… menuntut kehadiran kekuasaan lembaga peradilan yang
merdeka adalah ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechtstaat), pemisahan
kekuasaan (machtensheiding) atau pembagian kekuasaan (machteverdeling) di antara
badan-badan penyelenggaraan negara merupakan salah satu ciri umum negara berdasarkan
atas hukum”. Bagir Manan. 1995. Op.Cit, hlm. 5.
251
kehidupan rakyat Indonesia khususnya terkait hukum dan keadilan sejak masa awal
tahun 1998,400 ditandai dengan runtuhnya rezim kekuasaan otoriter Orde Baru di
Lotulung langkah awal yang harus dilakukan adalah perbaikan sistem melalui
400
Menurut Muladi, pada saat awal bergulirnya reformasi awal tahun 1998, melahirkan
istilah “supremasi hukum” dan rule of law. Kedua istilah tersebut menjadi terkenal karena
selalu mewarnai berbagai polemik sekaligus perdebatan yang dimuat di media massa baik
cetak, elektronik, maupun cyber, dengan ekspektasi yang penuh optimisme. Dengan harapan
agar dapat mewarnai proses demokratisasi yang menjadi hakikat gerakan reformasi. Muladi,
Tripartite Missions Program Doctor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 29
Januari 2004, hlm. 1.
401
Istilah Civil Society, sering diterjemahkan dengan masyarakat kewarganegaraan
atau masyarakat madani. Lihat Muhammad AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan civil Society,
Jakarta, LP3ES, hlm. 3.
402
Tidak dikatakan sebagai revolusi, mengingat reformasi tidak mengubah atau
mengganti secara radikal berbagai macam tatanan lama yang ada dengan tatanan baru
sama sekali, melainkan hanya memperbaiki tatanan yang secara faktual tidak relevan lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat yang terus berkembang dalam
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, reformasi tidak dilaksanakan secara prontal, dan
total, melainkan sistematik dan gradual (bertahap). Surya Adi,2002, Apa dan Bagaimana
Reformasi, Jakarta, Pustaka Intan, hlm. 140.
252
hukum. Dari sinilah titik tolak kebijakan dan politik penegakan hukum harus
dilakukan.403
kehidupan nasional sebagai haluan negara.404 Atas dasar haluan negara tersebut,
undang Dasar 1945 sebagai pedoman dan dasar utama bagi konstitusi negara
karena ada pihak yang tidak menyetujui dilakukannya perubahan dimaksud. 405
sebuah keniscayaan. Ini dapat dipahami bahwa tidak mungkin reformasi politik dan
403
Paulus E. Lotulung, “Reformasi Penegakan Hukum”, Dalam buku; 10 Undang-
undang Peradilan Agama. Makalah, Panitia Seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang
Peradilan Agama kerja sama Ditbinbapera Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat. Jakarta; t.tp. 1999, hlm. 140.
404
Hal yang sangat penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan
kehakiman dalam perspektif kelembagaan dan teknis administrasi peradilan. Baca kantor
Menteri Negara Koordinasi Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan
Aparatur Negara Republik Indonesia, Himpunan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Tap MPR-RI
Nomor X/MPR/1998 Berkaitan dengan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi Yudikatif
dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
405
Mereka yang tidak setuju dilakukannya perubahan ketika itu sekurang-kurangnya
bertolak dari dua alasan; Pertama, otoriterisme yang muncul selama berlakunya Undang–
undang Dasar 1945 bukanlah disebabkan oleh isi Undang–undang Dasar 1945 tersebut
melainkan oleh pra pelaksanaannya. Kedua, ada kekhawatiran kuat seandainya perubahan
itu pada saatnya dijadikan batu loncatan untuk mengubah Pancasila sebagai dasar dari
ideologi negara. Lihat Moh. Mahfud M.D., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta, Pustak LP3ES, hlm. 37-38.
253
ekonomi tanpa melakukan reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin
bukanlah sesuatu yang bersifat keramat (tabu), melainkan lebih pada tujuan untuk
dipandang sakral, tetapi lebih pada titik temu opini antara kepentingan pemerintah
1945 juga didasarkan pada kenyataan, sejak awal, para pendiri negara ini secara
406
H. F. Abraham Amos, 2007, Katastropi Hukum & QuoVadis Sistem Politik Peradilan
Indonesia: Analisa Sosiologis Kritis Terhadap Prosedur Penerapan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 48.
407
Disebut sementara mengingat situasi dan kondisi pada saat itu sedang dalam
keadaan genting pada akhir Perang Dunia Kedua dan memaksa para pendiri Republik
membuat Rancangan Undang-undang Dasar dengan sangat terburu-buru hanya dalam
waktu dua puluh hari kerja. Jelaslah bahwa prioritas para pendiri negara ini adalah
bagaimana memiliki sebuah konstitusi minimal, sekedar untuk memenuhi sarat dasar
kemerdekaan Indonesia. Jadi, memang memang tidak menjadi prioritas untuk membuat
254
Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh the founding fathers dengan
direnovasi, dalam arti bahwa, kalau dianggap masih bersifat sementara, harus
disempurnakan dalam rangka reformasi pada masa pasca orde baru,409 yaitu;
konstitusi yang lengkap dan demokratis. Lihat Denny Indrawan, 2007, Amendemen Undang–
undang Dasar 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Mizan, 2007, hlm. 82.
408
Muhammad Yamin,1971, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta,
Siguntang, hlm. 410
409
Kelemahan-kelemahan lain yang terdapat dalam Undang–undang Dasar 1945
tersebut adalah; a) Undang–undang Dasar 1945 membangun sistem politik yang executive
heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya
mekanisme check and balancecs yang memadai, b) Undang–undang Dasar 1945 terlalu
banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal
penting dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah, c) Undang– undang
Dasar 1945 memuat pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan
bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh
Presiden, d) Undang – Undang Dasar 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan
negara dari pada sistemnya. Lihat Moch. Mahfud M. D., 2001, Dasar dan struktur
Ketatanegaraan Negara, Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 2001, hlm. 155-157
255
memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPKI, PPKI) sebagai Undang–
undang Dasar yang „bersifat sementara‟ karena dibuat dan ditetapkan dalam
seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, antara paham
negara hukum dengan paham negara kekuasaan. Ketiga, alasan teoretis, dari sudut
pandang teori konstitusi keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah
410
Abdul Mukhtie Fadjar. 2002. “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi
Paradigmatik” dalam Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan. hlm. xxxiii-xxxiv.
411
Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin meletakkan
konstitusionalisme sebagai prinsip dan dokrin bernegara, yang dijaga melalui dokrin checks
and balances dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar itulah maka,
konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat
vertikal hierarkis, dimana kedaulatan rakyat dipegang oleh sebuah badan bernama Majelis
Permusyaearatan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat indonesia, dengan kewenangan
untuk menetapkan Undang–undang Dasar, menetapkan Garis Besar Haluan Negara dan
256
Soepomo dalam sidang BPUPKI bahkan, “...prinsip yang dianut dalam Undang-
undang Dasar yang sedang disusun tidaklah didasarkan atas ajaran “trias politica”
kekuasaan.”412
cabang kekuasaan yudisial atau kehakiman ini secara prinsip memang merupakan
kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal lagi bahwa sekarang
power) yang tegas antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
sehingga antara satu dengan yang lainnya bersifat saling mengendalikan dan saling
mengangkat Kepala Negara, kemudian diubah posisi MPR sebagai lembaga negara yang
memegang kekusaan tertinggi negara menjadi sederajat dan setara dengan lembaga negara
pemegang kekusaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal. Lihat Marurar
Siahaan,2007, ”Konsilodasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Paksa Amandemen
Undang–undang Dasar 1945” dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontenporer,
Bekasi,The Biografhy Institute, hlm. 277.
412
Anwar Kariem, 2004, Undang-undang Dasar 1995: Dari Awal Dibentuk Sampai
Perubahan Era Reformasi, Jakarta, Pustaka Bintang, 2004, hlm. 18.
413
Kemandirian lembaga peradilan menurut Barda Nawawi, mengandung pengertian:
”kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara
hukum Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti ini maka kekuasaan kehakiman tidak
berarti hanya mengadili (kekuasaan menegakan hukum di badan-badan peradilan), tetapi
mencakup kekuasaan menegakan hukum seluruh proses penegakan hukum.” Barda Nawawi,
257
Kehakiman.414
tersebut, diletakkan kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang
berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.415 Kebijakan ini dalam
istilah Populernya bisa disebut “ kebijakan satu atap (one roof system)”.416 Dengan
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan
Militer segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini juga dilakukan untuk
memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-segi hukum formal dan teknis
peradilan.417
diubah lagi menjadi Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan tercatat tonggak
baru bagi badan Peradilan Agama pasca perubahan Undang–undang Dasar 1945,
selain sudah berada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai perintah Undang–
terutama bidang ekonomi syariah,419 akan tetapi, secara makro lebih disebabkan
karena implikasi dari berubahnya struktur hukum yang terkait dengan kekuasaan
yudikatif atau lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama sebagai akibat adanya
Tahun 1970 menjadi Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004, maka secara otomatis
417
Yusril Ihza Mahendra, 1999, Memantapkan Posisi Lembaga Peradilan Pada Segi-
segi Hukum Formal dan Teknik Peradilan, Jakrta, t.p., hlm. 24.
418
Pasal-pasal yang mengatur tentang penyatuatapan Peradilan Agama ke Mahkamah
Agung sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Lembar Negara
Nomor 8, Tambahan Lembar Negara Nomor 4358.
419
Adapun penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah kewenangan yang benar-
benar baru di lingkungan Peradilan Agama dan mencakup hal-hal yang sangat luas. Lihat
penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf i.
259
tentang Peradilan Agama. Atas dasar inilah, kemudian lahir Undang–undang Nomor
3 Tahun 2006.
yakni Pasal 2 disebutkan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
bahwa, secara kelembagaan kedudukan Peradilan Agama sudah semakin kuat dan
Darussalam. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
tersebut adalah adanya pengadilan syariat Islam yang diatur tersendiri dengan
420
Dengan adanya kata ”Tertentu”, kewenangan tidak lagi dibatasi pada perkara
perdata, tetapi dimungkinkan juga mengenai perkara pidana. Pasal ini selain dapat
mengakomodasi kewenangan Mahkamah Syari‟iyah Nanggroe Aceh Darussalam,
memungkinkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut; a) Sanksi pidana
pelanggaran terhadap Peraturan perkawinan. b) Mahkamah Syar‟iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam yang mempunyai tugas dan wewenang bidang Jinnayah, memerlukan landasan
hukum yang diatur dalam Undang-undang
421
Muslim Thahiry dkk, 2006, Wacana Pemikiran Santri Dayah Aceh. Aceh, BRR NAD-
Nias, PKPM Aceh & Wacana Press, hlm.145.
260
memiliki status dan kedudukan yang kuat dengan adanya undang-undang tersendiri.
Namun, dari segi sosiologis dan praktis masih mengalami kendala terutama
menyangkut tentang hukum materiil yang sampai saat ini belum disusun secara
lengkap, terlebih-lebih lagi dengan adanya kewenangan baru yang diamanatkan oleh
Agama pada masa reformasi ini sudah semakin kuat. Begitu pula halnya dengan
kewenangan yang dimilikinya sudah semakin sudah semakin luas. Dari sisi status
dan kedudukan, ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain di Indonesia,
dan dalam hal-hal tertentu misalnya menyangkut sengketa keperdataan antar orang
Islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum,422 melainkan sudah
bisa memutuskan secara langsung. Selain itu, dari segi kewenangan yang dimiliki,
sudah semakin luas tidak lagi sebatas NTCR, tetapi sudah menyangkut persoalan
sengketa bidang ekonomi syariah, zakat, dan infak, serta memutuskan isbat rukyat
422
Kalau sebelum lahir Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, para hakim Peradilan
Agama harus berhenti saat perkara yang ditanganinya terkait sangketa kepemilikan dan hak
keperdataan lainnya, maka sekarang harus menyelesaikan sendiri sangketa kepemilikan dan
hak keperdataan lainnya yang terkait dengan perkara yang menjadi wewenang, sepanjang
subjek hukum adalah orang-orang yang beragama Islam.
261
Agama
dan Peradilan umum yang pada mulanya terlegitimasi dalam Pasal 50 dalam
eksekutif yakni Departemen Agama, dan selanjutnya dimasukkan dalam satu atap
(one roof system) di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan
baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah,
(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
262
Pasal 50 ayat (2) merupakan sebuah kewenangan baru yang dimiliki oleh
lainnya sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 49
1989 tentang Peradilan Agama, bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau
mengadili sengketa hak milik atau keperdataan lain, selain yang ditentukan dalam
Pasal 49.
tuntutan sejarah dan tuntutan hukum, sehingga sudah sepatutnya hambatan tersebut
dapat dibuka, tetapi secara faktual dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
hak milik atau keperdataan lainnya menjadi kewenanga Peradilan Agama, yakni
hanya terbatas kepada yang bersengketa adalah orang-orang yang beragama Islam
dan obyek sengketa terkait dengan obyek sengketa yang sedang diperiksa di
Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 49.
kekecualian terhadap Pasal 50 yang telah diubah menjadi Pasal 50 ayat (1). Dengan
yang berperkara hak milik atau keperdataan lain sepanjang dikaitkan dengan
Jika dilakukan pendekatan kritis terhadap Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 50 ayat (1) masih menyisakan persoalan yang sebelumnya masih dikandung
Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
salah satu pihak mendalilkan bahwa hak milik atau keperdataan lainnya yang
disengketakan bukan miliki para pihak atau masuknya pihak ketiga orang yang
beragama non Islam memakai dalil yang menjadikan sengketa yang diperiksa
Dari kondisi normatif yang dikandung dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
Tahun 2004 jo Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai salah satu upaya
mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan.
264
dari sudut peran politik hukum yang di perankan oleh anggota dan atau fraksi yang
problem teknis yuridis yang telah terpatri dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai wujud titik taut (aanknopingspunten)
pada upaya perwujudan “sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan
hanya dilakukan oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Yang disampaikan hanya
Agama.
baru bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya hanya bagi orang yang beragama Islam. Sedangkan untuk
pihak yang terkait dengan sengketa hak milik atau kebendaan lainnya menjadi
secara umum dapat dilakukan, tetapi secara khusus reformasi hukum Peradilan
ekonomi syari‟ah kepada Peradilan Agama yang merupakan salah satu pelaku
peradilan diatur dengan undang-undang.423 Secara yuridis formal, selama ini belum
Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah salah, tetapi sudah tepat jika masalah ekonomi
423
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.
266
prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi
litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini Basyarnas425 (Badan
Meskipun telah ada lembaga peradilan, sering kali lembaga arbitrase menjadi
dikemukakan oleh Wahyu Wiryono dan Mariam Darus Badrulzaman atas kelebihan
424
A. Mukti Arto, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan
Agama”, Makalah, tidak dipublikasikan.
425
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999), sedangkan perjanjian Arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah terjadi sengketa. Lihat Rahmani Timorita Yulianti,
“Sengketa Ekonomi Syari‟ah (Antara Kompetensi Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase
Syari‟ah)” Makalah, Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, mahasiswa
Program S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
426
Abdul Rahman Saleh. (et.al). Arbitrase Islam Indonesia. Jakarta: BAMUI kerjasama
dengan Bank Muamalat Indonesia, hlm.58-60. Lihat juga Wahyu Wiryono, 2006,
Penyelesaian Sengketa Bank Syari‟ah, makalah diberikan pada Pelatihan Penyelesaian
267
1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dicapai dalam waktu relative singkat
2. Biaya lebih murah
3. Dapat dihindari ekspose dari keputusan di didepan umum
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih kekeluargaan
5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh
arbitrase
6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter
7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya
8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
9. Keputusan arbitrase umumnya final binding (tanpa harus naik banding atau
kasasi)
10. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh
pengadilan
11. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama, tanggal 8 Juli 2006, di Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta.
427
Artinya setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa dan bagaimanapun juga,
sepanjang pembuatannya dilakukan sesuai dengan undang-undang dan isinya tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan. Termasuk dalam pengertian
“bebas” disini tidak saja yang menyangkut “bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang
terjadi atau mungkin dapat terjadi”
268
dirunut dari aspek historis eksistensi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman
lagi, hanya saja yang menjadi persoalan mengapa kewenangan Peradilan Agama
yang telah mempunyai status sama kedudukannya dengan peradilan lainya. Tetapi
kompetensi mengadili perkara bagi orang Islam belum semua dapat dilaksanakan
oleh Peradilan Agama, artinya masih terjadi tarik menarik dengan Peradilan Umum,
kewenangan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam (orang yang beragama
Islam) meliputi hukum keluarga (Nikah, Waris, Zakat) dan ekonomi syariah.
sebagai konsekuensi dari keyakinanya semakin tinggi, Ini berarti bahwa pluralisme
hukum (legal pluralism) harus diterima sebagai realitas (real of entity) yang majemuk
berwujud sebagai hukum agama (religious law) dan hukum kebiasaan (costumary
masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana
untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial.428 Hukum adalah institusi yang
dinamis dan mengalir, hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,
antara hukum dan manusia direalisasikan dalam masyarakat yang menjadi tempat
hukum menjadi institusi yang dinamis. Perubahan atau pergeseran hukum secara
pelan-pelan terjadi dari “the law ways” munuju “the sociological ways‟‟ kemudian
kepada “the sociological movement in law (Hunt), atau “the sosialogical era”.429
Pengelolaan Zakat, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan
dapat dilepaskan dari historis (sejarah), artinya lahirnya institusi di atas bukan
428
I Nyoman Nurjaya, 2007, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara
dalam Masyarakat Multikurltural (Perspektif Hukum Progresif), Kerjasama FH UNDIP,
Program Doktor Hukum UNDIP dan FH Trisakti, Semarang.
429
Donald Black, 1989, Sociological Justice, Oxford University, New York.
270
perkara sengketa perbankan syari‟ah atau perbankan Islam, yang dalam draft
menyatakan:
umum”.
syari‟ah bersifat komersial. Pemahaman hukum yang demikian jika dilihat dari aspek
filosofis yuridis pada dasarnya tidak menjawab kebutuhan rasa keadilan umat Islam
telah terjadi selama ini. Karena itu penyelesaian sengketa perkara perbankan Islam
1945 Pasal 24, 25, yang konkritisasi formalitasnya Undang–undang Nomor 3 Tahun
dibahas oleh DPR RI dari sekian pasal-pasalnya ada yang dianggap krusial (menjadi
pertentangan atau polemik) oleh para pakar dan praktisi hukum. Jika diteropong dari
aspek yuridis belum merupakan hukum yang baik, karena cacat sejak lahir. Karena
hukum yang baik adalah hukum yang mempunyai kekuatan yuridis yang memberikan
271
kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum unsur penegakan hukum dari
pelaku utama dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan. “the legal system
lingkungan yang dilandasi oleh budaya akan menjadi lebih bermakna. Dalam hal ini
maka pemahaman hukum melalui pengalaman internal para subjek pelaku dan
hukum merupakan makna simbolik yang termanifestasikan oleh para pelaku sosial
yang dianggap krusial, hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana, disamping
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004) tentu pemahaman
hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berubah, lalu
lintas kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks merupakan realitas tuntutan
kebutuhan hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan pengkajian
secara logis rasional melainkan hukum dibuat untuk dijalankan. Perwujudan tujuan,
430
Esmi Warassih, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, hlm.3.
272
nilai-nilai atau pun ide-ide yang terkandung di dalam peraturan hukum merupakan
suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal
Peradilan Agama beserta perangkat hukumnya, yang sarat dengan nilai, asas dan
ide serta tujuan yang sudah jelas. Jika kemudian penerapannya tidak pas, artinya
sistem hukum yang bersangkutan dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat itu sendiri. Untuk itu penyelesesaian sengketa perbankan syari‟ah oleh
antropologis.”
melalui Peradilan Umum, karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat
431
Ibid. hlm.10.
273
adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi
balik dan kontraproduktif dari semangat ekonomi Islam yang sedang bergairah.432
obstacle to economic growth, karena sampai saat ini masih saja ada anggapan
bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan eksklusif umat Islam, dan anggapan
eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter. Kesan inilah yang pada
gilirannya melahirkan nuansa Islamo phobia yang tidak semestinya hadir, karena
secara faktual saat ini konsep ekonomi syariah telah mendapat pengakuan dan
muslim yang juga meyakini, kesimpulan yang tergesa-gesa ini hampir dapat
merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai
suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk
432
Suhartono, Op.Cit, hlm.12
274
masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor
bersifat lahiriah atau duniawi saja, kendatipun hukum muamalat mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum
ini juga bersifat spiritual dan akhirat, karena bagi siapa yang menjalaninya termasuk
pada hukum Allah SWT). Hal ini sering menjadi kegagalan interpretasi para
phobia.
Agama tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi
orang Islam, tetapi juga bagi siapa saja yang menundukkan dirinya kepada hukum
Islam, tentu yang dimaksud adalah nonmuslim. Dalam konteks ini ada dua Asas
yang berlaku, yaitu asas personalitas dan asas penundukan diri. Asas personalitas
Sedangkan asas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam
dengan non-Islam.
433
Muhammad Syafi‟I Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta,
Gema Insani, hlm.3.
275
Selain itu, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 ayat (2) yang
berbunyi:
”Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi yang terkait
sengketa perbankan.
Perubahan politik hukum yang silih berganti sejak masa kolonial Belanda
hingga era reformasi sangat kental nuansa politis dan Islamo Phobia, hal ini
276
telah diusik hal-hal yang menjadi wilayah kesadaran ”agamanya”, sama halnya
menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Meminjam bahasa Hazairin, dalam
menyikapi langkah Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX ketika mengintrodusir
teori receptie,434 yang menegaskan bahwa hukum Islam dapat dilaksanakan jika
diterima atau diresepsi oleh hukum adat, langkah penarikan kembali kewenangan
Pasal 55 menyebutkan:
434
Untuk memecah membelah dan memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum
Islam) secara gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah pemerintah kolonial Belanda
yang menciptakan sebuah theorie receptie, sebagai hasil pemikiran dari Christin Snouck
Hurgronje seorang ahli hukum Islam, politikus pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa
timur dan hukum Islam. Lihat Suparman Usman, Op.Cit, hal.112.
277
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai
termasuk perkara perbankan syariah ternyata dikurangi oleh perangkat hukum lain
peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam bidang
yang diberikan kepada Peradilan Umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya
tentang pilihan hukum atau choice of law dalam perkara kewarisan. Dalam
berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum
keberadaan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Ketentuan Pasal 55 ayat (2) jika
para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan
oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para
pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.
Namun kebebasan ini tidak absolut, sepanjang tidak bertentangan dengan syariah
kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi
yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.436 Pasal 1338 KUH
Perdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
435
Gemala Dewi (et.al), 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana,
hlm.31.
436
Faturrahman Djamil, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum
Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 249.
279
Munculnya isi perjanjian dimana para pihak menyepakati jika terjadi suatu
merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang
Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan
yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam
Menurut Munir Fuady, ada beberapa keuntungan dari choice of forum dalam
437
Salim H.S, 2004, Hukum Kontrak: teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta,
Sinar Grafika, hlm.9.
438
Klausula antisipatif adalah klausula yang berisi tentang hal-hal yang menyangkut
kemungkin an-kemungkinan yang akan terjadi selama berlangsungnya atau selama masih
berlakunya suatu kontrak. Hasanuddin Rahman, 2003, Contract Drafting, Bandung, Citra
Aditya Bakti, hlm. 105.
280
Tahun 2006 secara jelas memberikan kompetensi kepada Peradilan Agama untuk
belum familiar menyelesaikan sengketa perbankan bukan menjadi suatu alasan yang
samping itu, keberadaan choice of forum akan sangat berpengaruh pada daya
akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang
Agama hanya sebatas kompetensi secara teks diberikan oleh undang-undang tetapi
dalam praktek tidak secara optimal berfungsi karena harus berbagi dengan Peradilan
439
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung,
Citra Aditya Bakti, hlm. 147.
281
Umum khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan diselesaikan di pengadilan
tersebut.
para pencari keadilan yang beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam
dapat tercapai. Di samping itu, aparat hukumnya adalah beragama Islam dan
dipahami bahwa subjek hukum dalam sengketa ekonomi syariah adalah orang-orang
yang beragama Islam, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
440
Abdul Manan, “Sistem Ekonomi Berdasarkan Syariah,” Artikel dalam Suara Udilag,
Vo.3, NomorIX, September 2006, Jakarta, MA-RI.
441
Alamsyah, Reduksi Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perbankan
Syariah, Calon Hakim, saat ini bertugas di Pengadilan Agama Lamongan, www.badilag.net .
282
absolut Peradilan Agama, dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sangat jelas
sangat bergantung pada penentuan choice of forum oleh para pihak yang dituangkan
dalam akad. Dengan tulisan ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
sengketa secara litigasi kepada Peradilan Agama secara penuh dan selaras dengan
Hasil analisis dan pemahasan dari isu hukum latar belakang kelahiran Pasal 50
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik taut
kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum yang terpatri dalam
Agama.442 Menarik untuk dianalisis bertolak dari pandangan Mac Iver, yang
pandangan yang cukup realistis ini melahirkan adanya hubungan antara hukum dan
politik, dengan kata lain bahwa lahirnya undang-undang jelas merupakan hasil dari
para politisi.443
442
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak mengubah Pasal 50 ayat (1) dan ayat
(2) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
443
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum, Cet.2, PT. Toko Gunung Agung Tbk,
Jakarta, hlm.66.
285
kepada tataran penerapan hukum atau law in cation yang bertujuan memberikan
Agama dengan Peradilan Umum, khusus yang terkait dengan Pasal 50 Undang–
3 Tahun 2006, persoalan tersebut masih terjelma dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat
absolut (kompetensi absolut) tidak berjalan sesuai dengan prinsip peradilan yang
mencapai tujuan hukum atau karena faktor kepentingan dan politik hukum.
Skema VI
Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Absolut Antara
Peradilan Agama Dengan Peradilan Umum
Distribusi
Kekuasaan
Negara
Feed Back
Hukum
Asas Peradilan
Sederhana, Cepan dan
Biaya Ringan
Welfarestate
Catatan:
1. APK = Parameter Keberlakuan Hukum Islam
2. ALK = Parameter Lembaga Persitiwa Hukum
3. APH = Parameter Hak Opsi Mengaburkan APK dan ALK Dalam Perspektif Hukum Sensitif
287
teori, dapat digunakan pembenaran konsep melalui pendapat J. Gijssels dan Mark
van Hocke menggunakan dua sudut pandang untuk memebedakan ilmu hukum,
yaitu (1) sudut pandang ilmu, dan (2) sudut pandang lapisan ilmu hukum.444
Berdasarkan sudut pandang ilmu, ilmu hukum dibedakan ke dalam (1) ilmu hukum
dogmatik, dan (2) ilmu hukum empiris. Berdasarkan sudut pandang lapisan ilmu
hukum, ilmu hukum dibedakan ke dalam (1) dogmatik hukum, (2) teori hukum, dan
(3) filsafat hukum. Mempergunakan sudut pandang lapisan ilmu hukum, maka setiap
lapisan memiliki fokus analisis, yaitu: fokus kajian ilmu hukum dogmatik adalah
eksplanasi (penjelasan) teknis yuridis terhadap hukum positif, fokus kajian filsafat
hukum445 adalah asas hukum atau prinsip hukum. Sedangkan yang terkait dengan
tema ini adalah fokus kajian teori hukum yang berupaya melakukan eksplanasi
444
Philipus M. Hadjon. Op.Cit, hlm.2-3.
445
Paradigma hukum Indonesia dengan demikian berakar pada alam pikiran bangsa
Indonesia, dan segala sesuatu harus menyesuaikan diri dengan pandangan itu. Alam pikiran
bangsa Indonesia adalah Theo-Cosmosentris, sebuah pandangan bahwa diri seorang
manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia lainnya, dan manusia adalah
bagian yang tak terpisahkan dari benda-benda di alam semesta ini, dan alam semesta ini
adalah sebuah keluarga besar makhluk-makhluk Tuhan. Manusia dilahirkan tidak dalam
keadaan bebas, tetapi dalam keadaan tergantung kepada Tuhan (depensi) dan saling
tergantung antar sesama manusia, dan sesama mahluk Tuhan (interdependensi). Hal ini
sejalan dengan pandangan Sunaryati Hartono, ketika menyinggung kandungan nilai yang
terdapat dalam Pancasila, dia menyatakan bahwa. Pandangan terhadap posisi realitas diri
manusia itu direfleksikan pula sebagai posisi negara republik Indonesia, yang
dipersonifikasikan sebagai diri seorang manusia atau sebagai sebuah keluarga dalam skala
besar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Moch. Koesnoe “Ini merupakan yang
masih terbuka lebar bagi pemikiran filsafat hukum kita, yang dasarnya ialah filsafat kita
sendiri, yang lebih cenderung menekankan sendiri pada faham atau filsafat cosmocentrisme
dicampur dengan faham theocentrisme.”. Moch. Koesnoe Nilai-Nilai Dasar Tata Hukum
Nasional Kita, dalam Artidjo alkostar (Ed).1997. Identitas Hukum Nasional, Cet.1.
Yogyakarta, Fakultas Hukum UII. hlm. 41.
288
analitis terhadap bahan hukum yang meliputi konsep hukum, norma hukum
(didalamnya terkait prinsip hukum), sistem hukum, fungsi hukum, lembaga hukum
bangsa”.
hukumnya masing-masing.
446
Sejarah kelahiran teori negara kesejahteraan menjadi landasan dan kedudukan dan
fungsi pemerintahan dalam konsep negara modern. Negara kesejahteraan merupakan
antitesis dari negara hukum formal (klasik)., yang dilandasi pemikiran untuk melakukan
pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara. Sejak turut serta
secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama
makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum (bestuurszorg). Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa suatu konsekuensi yang
khusus bagi administrasi negara. Lihat E. Utrecht,1988. Pengantar Hukum administrasi
Negara Indonesia, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, hlm.28-29.
289
majemuk dengan pluralitas suku, bahasa dan agama, maka sistem hukum di
peradilan yang ada di Indonesia pada saat ini, apakah telah dibangun dalam
format yang ideal sesuai dengan keragaman kebutuhan hukum bangsa Indonesia.
realitas kemajemukan kebutuhan hukum yang ada yang berarti kebijakan itu telah
Bertolak cita negara atau state ide dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan Jhon Locke, menegaskan bahwa
447
Menurut Teori Korespondensi, kebenaran itu adalah kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
Artinya sesuai dengan fakta, selaras dengan realitas, atau serasi dengan situasi aktual.
Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui
adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Lihat
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta.hlm.138-139.
448
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. Loc.Cit.
290
negara ke dalam tiga poros kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif (pembuat undang-
terjadi pelanggaran).449
kekuasaan secara horizontal. Menurut Jimly Asshiddiqie, sesuai dengan hukum besi
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
bersifat „checks and balances‟ dalam kedudukan yang sederajat dan saling
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenang-wenangan.450
Doktrin trias politica (ada yang menyebut konsep dan teori) dalam arti politis,
pemikiran para ilmuwan. Teori tersebut jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan
449
Ibid
450
Jimly Asshiddiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”, Ketua Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, Artikel, Simbur
Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614, hlm.169.
291
1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan atau separation of power, karena
ajaran itu dianggap sebagai bagian dari paham liberal. Tetapi Undang–undang
dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : “Semua peradilan di seluruh wilayah negara
berikut ini:
Skema VII
Pembagian Kekuasaan NKRI ke dalam Kekuasaan Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif
Legislatif LE Eksekutif
LY EY
Yudikatif
PM
Kewenangan PU Kewenangan PA
PU PA
PTUN
Undang-undang No. 2 Tahun 1986 dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 dirubah dengan
Undang-undang No. 8 Tahun 2004, dirubah lagi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, dirubah lagi
UU Nomor 49 Tahun 2009 PU PA dengan UU Nomor 50 Tahun 2009
Terkait dengan dasar hukum yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang–
undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (3) dari Undang–undang Nomor 48 Tahun
dalam Pasal 2, yang menentukan sebagai berikut: “Peradilan umum adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”.
Negara diatur dalam Undang–undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, tepatnya pada Pasal 4 yang berbunyi: “Peradilan Tata Usaha Negara
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
Kedudukannya sebagai salah satu badan Peradilan Negara, dalam hal tersebut
Peradilan Militer merupakan Peradilan Pidana yang khusus berlaku bagi anggota
yang bukan anggota TNI, diperiksa dan diadili pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.451
”Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
Islam”.
Jika dicermati secara khusus dari Pasal 24 ayat (3) Undang–undang Dasar
1945 dan Pasal 2 ayat (3) dari Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Agama baik dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989, yang kemudian sesuai
451
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari menegaskan bahwa Peradilan Militer
memiliki kompetensi atau kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang berstatus sebagai anggota militer atau yang
dipersamakan dengan itu. Lihat Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. Op.Cit,
hlm.36.
452
Pasal 49 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi: “Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;
zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.
295
dilakukan pula perluasan pengertian asas personalitas keislaman yang tidak hanya
melekat pada subjek hukum orang termasuk pula badan hukum dengan prinsip
penunudkan diri secara sukarela terhadap hukum Islam. Tetapi perubahan dan
perluasan asas tersebut tidak diikuti secara konsisten dalam norma yang mengatur
penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Hal itu, tersurat dalam
Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 secara tegas
milik atau keperdataan lainnya dengan parameter status agama. Bagi pencari
kompetensi absolut Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 50 ayat (2). Bagi pencari
prinsip pilihan hukum453, yang tidak selaras dengan perubahan norma dan perluasan
453
Peranan Peradilan Agama mulai dipertanyakan jika dihubungkan dengan ketentuan
yang berkaitan dengan pilihan hukum sebagaimana diatur dalam penjelasan umum butir 2
alinea 6; sengketa pasal 50 dan persoalan adanya tuntutan pihak ketiga yang diatur dalam
pasal 86 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, merupakan ganjalan pelaksanaan
kekuasaan peradilan Agama. Lihat Roihan A. Rasyid. Op.Cit. hlm.39-44
296
ayat (1) dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Tujuan Hukum
Peradilan umum menarik untuk dikaji dari perspektif teori tujuan hukum. Adapun
tujuan hukum dapat dimaknai dari beberapa teori sebagai berikut: pertama, teori etis
atau etische theorie yang mengajarkan bahwa hukum hanya semata-mata bertujuan
untuk mewujudkan keadilan, kedua, teori manfaat atau utiliteis theorie yang
saja, dan ketiga, teori kombinasi atau teori campuran merupakan perpaduan antara
teori etis atau etische theorie dengan teori manfaat atau utiliteis theorie, yang
menghendaki isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan
faedah.
pokok sepanjang sejarah. Adil makmur adalah merupakan dua pasangan yang tidak
dapat dipisahkan, yang merupakan falsafah hidup dan merupakan tujuan hidup. Adil
454
Sunaryati Hartono.1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung, Alumni, Cet.I,hlm.2.
297
memberikan rasa keadilan. Hal itu disebabkan masih terjadinya distorsi dan
dituntut untuk memenuhi nilai-nilai yang oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai
terdapat suatu ketegangan satu sama lain.455 Dari pendapat tersebut menegaskan
bahwa antara keadilan yang dikehendaki oleh suatu regulasi, apakah lebih
konseptual dari keadilan substansial. Selain itu keadilan prosedural sebagai ranah
keadilan, agar lebih matang, flexibel untuk mewujudkan konsep hukum substansi
455
Satjipto Raharjo, 1982, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Bandung, Alumni,
hlm. 20-21
298
menegaskan bahwa tujuan hukum apabila direduksi pada satu hal saja adalah
ketertiban (order). Ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok atau fundamnetal bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang yang teratur. Untuk mencapai ketertiban
Ketertiban tersebut harus terwujud dalam format sistem peradilan negara yang
dibangun sesuai dengan kebenaran fungsi dan wewenang untuk memenuhi tuntutan
tersebut, Bagir Manan menegaskan bahwa untuk mewujudkan keadilan hanya akan
dapat dicapai dengan cara-cara yang adil. Cara-cara tersebut dijadikan sebagai
Kepastian memang tidak selalu identik dengan keadilan, bahkan mungkin saja
kepastian bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi tanpa kepastian, pasti tidak
akan ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat subjektif
456
Mochtar Kusumaatmadja. Loc.Cit
457
Bagir Manan. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. FH UII,
Yogyakarta, Cet I, hlm.12.
458
Ibid.
299
Seperti yang diungkapkan oleh Antony Allaot tentang konsep batas-batas hukum
yang menggambarkan fungsi hukum itu sendiri dalam tiga strata, sebagai berikut: 459
Pertama, LAW, merupakan ketentuan hukum yang bersifat abstrak460 tapi amat
berpengaruh, hukum berfungsi sebagai filosofi. Kedua, Law, adalah tingkatan yang
lebih rendah dan lebih konkret berupa norma-norma hukum positip, yang menurut
penulis berfungsi sebagai the golden bridge between idea and reality; dan ketiga,
law, adalah tingkatan yang paling bawah dan bersifat konkret, sebagai proses atau
Dari tiga strata hukum tersebut di atas, cukup jelas menggambarkan bahwa
konsep teori tujuan hukum dari paradigma teori etis atau etische theorie, yang
459
Antony Allot.1980. The Limit of Law, Butterworths Londen, hlm.1-9
460
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asas rasional
dari kenyataan, dengan berorientasi kepada tiga hal yang dapat dipelajari dalam hukum yaitu:
a) Nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dan lain-lain; b)
Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah hukum tertulis maupun kaidah hukum tidak tertulis,
kaidah hukum abstrak maupun kaidah hukum yang nyata ; c) Perilaku hukum atau dapat juga
disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa
filsafat hukum memiliki lahan pengkajian tentang nilai-nilai hukum, sosiologis hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum dan prilaku hukum. Sedangkan kaidah hukum disebut
dengan normwissenchaf atau ilmu tentang kaidah. Lihat Darji Darmodiharjo dan
Shidarta.2002.Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia).
Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama.hlm.9
461
Secara lebih jelas lagi, Hermien Hadiati Kuswadji menerangkan pendapat Antony
Allot ini sebagai berikut : Pertama, bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial dan hukum yang
dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau kewajiban, dan yang dalam hal
demikian itu sudah membentuk hukum. Kedua, adalah hukum itu sendiri, yaitu struktur dan
aturan-aturan hukum positif, dan Ketiga, adalah dampak hukum terhadap perilaku dalam
kenyataan atau alam nyata atau alam lahir. Lihat Hermien Hadiati Koeswadji. “Hukum dan
Kependudukan”, Artikel, dalam Yuridika Vol.15 No.4. Juli 2000.
462
Istilah paradigma (paradigm) pertama kali dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn
dalam bukunya “The Structure Scientific Revolution” pada tahun 1992. Kuhn memberikan
300
tujuan hukum hanya akan dapat dicapai jika dituangkan dalam bentuk konkritisasi
norma dalam tatanan hukum positif, inilah yang disebut dengan kepastian aturan
dan Tatiek Sri Djatmiati yang menyatakan bahwa ciri khas ilmu hukum adalah
positivisme di dalam epistemologi ilmu pengetahuan modern yang terjadi pada abad
XVIII dan akhir abad ke XIX ditandai adanya saintifikasi hukum modern.464 Kuatnya
pengaruh paradigma positivisme, maka saintifikasi hukum modern ini juga mulai
membebaskan diri dari tatanan hukum kuno, terutama pengaruh teologi, sehingga
hukum sangat mengedepankan rasional. Sebagai bentuk pengaruh lain dari ajaran
sebagai law as what it is written in the books atau ius constitum (hukum positif).
pengertian paradigma adalah konstelasi hasil-hasil kajian yang terdiri dari atas konsep-
konsep, nilai-nilai, teknik-teknik dan lain-lainnya, yang digunakan secara bersama-sama oleh
suatu komunitas ilmiah dan mereka gunakan untuk menentukan keabsahan problem-
problem dan solusi-solusinya.Lihat A. Mukti Fajar, “Pergeseran Paradigma Ilmu
Pengetahuan”, Makalah, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Malang, Tanggal 13 November 2006. Robert Friedrichs memberikan rumusan tentang
paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya. Dari pengertian
tersebut dapat ditarik beberapa unsur tentang paradigma yaitu: sebagai pandangan
mendasar sekelompok ilmuwan, tentang, objek ilmu pengetahuan yang seharusnya
dipelajari oleh suatu disiplin; dan tentang, metode kerja ilmiah yang digunakan untuk
mempelajari objek itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma adalah kesatuan
gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang
teguh sebagai komitmen oleh masyarakat. Lihat Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 1993,
Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Risdakarya. Cet.I.hlm. 66-72.
463
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum (Legal
Argumenta atau Legal Reasoning) Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan
Legal Opinion), Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm.1.
464
F.X. Adji Samekto, 2003, Studi Hukum Kritis, Badan Penerbit Universitas Diponegor,
Semarang, hlm.6.
301
yang sah secara formal dan menegaskan di luar itu bukan hukum. Maka sifat kajian
yang dikembangkan adalah normatif positif, positif yuridis yaitu law as rules atau
regulation dengan logika formal dan silogisme deduktif, kesemuanya itu berada
Peradilan Agama dan Peradilan umum yang ditemuakan dalam Pasal 50 ayat (1)
dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–
tidak diperoleh dalam kepastian hukum, disebabkan oleh rasionalitas yang menjadi
prosedural, sehingga dalam konsep hukum modern aspek prosedural menjadi dasar
dari pada membicarakan keadilan substantif atau substantive justice itu sendiri.
465
Yahya Harahap mengeluarkan beberapa kritikan yang cukup tajam terhadap
fungsi atau peranan lembaga dan pranata hukum di peradilan, kritikan tersebut menunjukkan
kepada kenyataan lamban dan formalistiknya penyelesaian sengketa, lebih-lebih lagi
digambarkan oleh J.David Reitzet “there is long wait for litigants to get trail”, dengan maksud
jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memulai
pemeriksaan saja, harus menunggu waktu yang lama. Lihat Yahya Harahap. 1997, Beberapa
Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung, PT.Citra
Aditya,Cet.I, hlm.153-158.
302
kekakuan sehingga pencarian kebenaran dan keadilan atau searching for the truth
Sarana mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara–cara yang adil.
Salah satu cara sebagai parameter keadilan adalah kepastian kelembagaan yang
peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer dan Peradilan
Pajak). Selain itu ada peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum, dan
bagi para pihak pencari keadilan sesuai dengan kewenangan dari masing-masing
lembaga peradilan.
ayat (3) Undang–undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (3) Undang–undang Nomor
kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang terdapat dalam
Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;
sengketa yang menjadi lingkup kewenangan absolut dari Peradilan Agama, maka
diselesaikan terlebih dahulu sengketa hak milik atau keperdataan lainnya oleh
lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (1) Undang–
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama
Agama ditunda terlebih dulu sampai ada kekuatan hukum tetap dari lingkungan
Peradilan Umum.
Peradilan Agama dalam memberikan layanan hukum atau legal service bagi pencari
keadilan tidak secara serta merta tertumpu pada kewenangan Peradilan Agama,
Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai dasar hukum bagi Peradilan Agama
Bagir Manan menegaskan keadilan dapat dicapai salah satunya melalui unsur
merupakan salah satu subsistem penting, kalau tidak dapat dikatakan yang
Peradilan Agama dan Peradilan umum yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan
ayat (2) dari Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, dikaitkan dengan kepastian
mekanisme yang dilandasi oleh prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan,
maka mekanisme penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tidak
mencerminkan nilai keadilan bagi pencari keadilan. Bagir Manan menegaskan ada 2
467
Berdasarkan asas-asas ketatanegaraan tersebut, dapat diketahui bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab adalah perwujudan dari asas kedaulatan
rakyat, negara hukum, dan pemisahan kekuasaan. Namun demikian, terdapat perbedaan
diametral antara konsep “merdeka” dan “bertanggung-jawab” dari kekuasaan kehakiman.
Makna “merdeka” menunjukkan tidak adanya ikatan dan tidak tunduk pada apapun,
sedangkan makna “bertanggung-jawab” justru menunjukkan sebaliknya. Dalam perkataan
lain, “kekuasaan kehakiman yang merdeka” bermakna kekuasaan yang tidak terikat, lepas,
dan tunduk pada kekuasaan yang lain, sedangkan “kekuasaan kehakiman yang
bertanggung-jawab” justru bermakna kekuasaan kehakiman berada dalam kaitan dengan dan
tunduk pada kekuasaan yang lain. Lihat Aidul Fitriciada Azhari, Loc.Cit.
468
Bagir Manan, Op.Cit, hlm.15.
469
Ibid, hlm.19.
305
(dua) sumber utama hambatan tata cara (mekanisme) penegakkan hukum yaitu
Konsep sumber utama hambatan tersebut, jika dihubungkan dengan titik taut
Umum, dapat diuraikan hambatan terdapat pada sumber normatif yang merupakan
dasar kewenangan dan tata cara penyelenggaraan penyelesaian sengketa hak milik
atau keperdataan lainnya. Ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari
mekanisme yang dilandasi oleh prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama nonmuslim,
dikatakan bahwa dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, lebih fokus
prediksi. Hal ini terkait erat dengan manajemen peradilan atau court management,
470
Ibid, hlm.20.
306
mencapai tujuan organisasi dengan cara-cara yang efisien dan efektif, dan
produktif.471
Kepastian waktu dan prediksi sebagai salah satu unsur mewujudkan keadilan,
Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, dalam menyelesaikan sengketa hak milik
atau keperdataan lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
peradilan atau court management yang ada hingga saat ini belum mengalami
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Hal ini disebabkan adanya upaya pelestarian masalah yang telah
di dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Sehingga alasan
lainnya merupakan beban berat bagi Peradilan Agama untuk mewujudkan kepastian
waktu dan prediksi dalam menyelesaikan pokok sengketa yang menjadi kewenangan
absolut atau absolut competentie dari Peradilan Agama. Kepastian waktu dan
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama
non Islam.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepastian waktu dan prediksi
Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak dihapus sebagaimana terdapat dalam
Peradilan Umum dengan Peradilan Agama dari sudut salah satu konsep tujuan
viewed with a view of utility which a thing offers. It means that rightness or
consequences of an act on the welfare of all human beings or all sentient beings.472”
harus dilihat dari pandangan kemanfaatan. Artinya baik atau buruk suatu tindakan
keperdataan lainnya yang tersurat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari
472
Dalam Hari Chard, 2005, Modern Jurisprudence, International Law Book Service,
Selangor, Malaysia, hlm. 68.
473
Kritik terhadap teori manfaat atau utiliteis theorie dianggap bahwa teori tersebut
sangat berat sebelah terlalu menekankan pada hasil dan tidak jarang kurang memperhatikan
keadilan sebagai sumber prinsip umum dari nilai. Padahal kebahagiaan tidak mungkin tanpa
keadilan. Lihat Sudikno Mertokusumo. Loc.Cit,
308
menjadi lebih penting dari pada membela kondisi pencari keadilan yang didasari oleh
yang mengandung nilai keadilan merupakan suatu persoalan yang masih belum
selesai diperdebatkan. Menurut Satjipto Raharjo, ikon untuk hukum modern adalah
kepastian hukum. Setiap orang akan melihat fungsi hukum modern sebagai
kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan
sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut. Dengan
Munir Fuady memberikan ukuran hukum alam atau positivisme terhadap suatu
keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam ini mengajarkan bahwa suatu
keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih tinggi atau transendent dari pikiran
atas akal sehat atau reason. Sedangkan, keadilan menurut paham positivisme
474
Satjipto Raharjo,2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Nuansa Cipta
Warna, hlm.133.
475
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ciawi-Bogor, Ghalia Indonesia,
hlm.109.
309
paradigma hukum modern yang lebih menunjukan pada upaya konkritisasi konsep
punten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum dalam konteks
menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya yang tersurat dalam
Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Kepastian hukum dapat
dibedakan menjadi dalam dua konsep pemahaman yang sifatnya diametral, sebagai
berikut :
Pertama, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
jika dilihat dari sudut pandang keadilan menurut paham positivisme, tidak
secara baik dan benar. kelompok ahli hukum yang memaham hukum sebagai asas-
merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam
peradilan.477 Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan
dilaksanakan oleh peradilan. Hukum dalam strata ini adalah sejalan dengan yang
dimaksud oleh Anthony Allot sebagai hukum strata kedua, atau yang ditulisnya
sebagai „Law” (dengan diawali huruf kapital) yang dikonsepkan sebagai a coherent
476
Kelompok ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai nilai-nilai, misalnya Victor
Hugo mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan dengan pengertian
tersebut, Grotius menyatakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib,
yang merupakan sesuatu sesuatu yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai
merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum. Lihat Ahmad Ali. Op.Cit. hlm.27
477
L.B.Curzon, 1979. Jurisprudence. M&E Handbook. Hlm.24.
310
Kedua, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
jika dilihat dari sudut pandang keadilan menurut paham keadilan yang didasarkan
pada hukum alam bahwa suatu keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih
tinggi atau transendent dari pikiran manusia, maka Pasal 50 ayat (1) sebagai wujud
kepastian hukum dalam alam pikir hukum modern tersebut memiliki kejanggalan.
Peradilan Umum dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
lebih penting dari pada upaya mewujudkan prinsip peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan.
diametral tersurat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari Undang–undang Nomor
3 Tahun 2006. Selaras dengan pandanga Satjipto Raharjo yang menegaskan bahwa
tiga nilai dasar atau grundwerten, yaitu: keadilan atau gerechtigkeit, kemanfaatan
atau zweckmaeszikeit dan kepastian hukum atau rechtssicherkeit, tidak selalu dalam
tuntutan kemanfaatan bisa bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum dan
seterusnya.479
tidak secara utuh untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan atau gerechtigkeit,
dikonsepkan dalam teori tujuan hukum lewat paradigma teori etis atau etische
theorie, teori manfaat atau utiliteis theorie dan teori kombinasi atau teori campuran.
Perundang-undangan
Dalam sub bab ini, dianalisis titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara
merupakan output dari suatu sistem politik yang berlaku, dicapai melalui
mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui pores politik. Input dapat
kehendak. Memahami sistem politik yang menjadi ranah studi dari ilmu politik dan
479
Satjipto Raharjo, Op.Cit, hlm.135.
480
Kecenderungan dan arah dari tiga lingkup utama politik hukum, yaitu: politik
pembentukan hukum, politik mengenai isi hukum (asas dan kaidah) hukum; dan politik
penegakan hukum. Lihat A. Latief Fariqun. Loc.Cit.
312
bukan hanya membahas lembaga-lembaga formal saja yang biasa disebut “sufra
pemerintahan lebih bersifat yuridis dan biasa dibahas dari sudut pandang hukum
(Tata Negara) dan lebih menitik beratkan kepada aspek lembaga-lembaga Negara
yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba. Namun,
dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Keanekaragamaan tujuan dan alasan
undangan, politik hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama,
kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena
“jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum
481
David Easton, 1984, “Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik”, (terj. Sahat
Simamora), Bina Aksara, Jakarta,hlm.165. Dikutip oleh Bintang Ragen Saragih, 2006, Politik
Hukum, CV. Utomo, Bandung, hlm.28.
482
Definisi yang paling komprehensif diberikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara,
yang dirumuskan sebagai berikut: Politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan
sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara
nasional oleh suatu pemerintah negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi: (1)
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum
yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap
usang, dan menciptakan ketentuan hukum hukum yang baru yang diperlukan untuk tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak
hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kelompok elit. Lihat Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Op.Cit. hlm.26-
31.
313
harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum
Unsur-unsur dan penekanan sudut pandang dari pakar terhadap studi politik
hukum yang meliputi politik hukum sebagai pernyataan kehendak atau politic
penegak hukum dan yang tidak kalah pentingnya adalah tentang kesadaran hukum.
Dengan ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :
Dari konsep dasar tentang asas-asas dalam pembentukan hukum dan konsep
yang disebut dengan asas material, meliputi: Pertama, asas tentang terminologi dan
sistematika yang benar, artinya peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat.
483
Dahnil Azhar s, Meneropong Politik Hukum Ekonomi Indonesia : Untuk Rakyat atau
Untuk…?.
484
Winardi, 2009, Dinamika Politik Hukum: Pasca Perubahan Konstitusi dan
Implementasi Otonomi Daerah, Setara Press, Malang, hlm. 9.
314
Kedua, asas perlakuan yang sama dalam hukum dipakai untuk mencegah praktek
lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang
Nomor 3 Tahun 2006, jika dianalisis melalui perspektif asas material dalam
pembentukan hukum tersebut di atas, ada kejanggalan dari sudut asas kepastian
Dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006
beragama Islam terkait dengan hak menyelesaikan sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya menjad kewenangan Peradilan Agama (vide Pasal 50 ayat (2)
sengketa mengenai hak milik, bukan merupakan bagian yang integral dari
keadilan dan kebenaran atau searching for the truth and justice merasa tidak
Tahun 2006, menjadi Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3
Tahun 2006, tersebut berdimensi dualisme kepastian hukum dalam wujud dualisme
atau keperdataan lainnya bagi subjek hukum yang beragam Islam. Sedangkan
485
“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49, maka khusus mengenai
objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum”.
486
Hamdhany Tenggara, ” Pencerahan Pemahaman dan Implementasi Hukum
Melalui Teori-teori Hukum yang Berparadigma Holistik”, Makalah, Bahan Kuliah Pasca
Sarjana Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, 2003.
316
Parameter pembeda yang bertolak pangkal dari status agama bagi pencari
keadilan tersebut, tidak relevan dengan dengan sengketa hak milik atau keperdataan
Pasal 50 ayat (1)487 dan diadakan perbaikan redaksi pada Pasal 50 ayat (2) dari
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya antara orang yang beragama Islam
Sumber Daya Manusia dan kesejajaran Peradilan Agama dengan peradilan negara
lainnya.
487
Pasal 50 ayat (1): “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi
sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum‟.
488
Pasal 50 ayat (2): “Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang menjadi
sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama Perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49”.
489
Apa hubungan antara bahasa dan hukum: Pertama, bahasa dalam arti semantik
adalah suatu studi tentang arti, yang merupakan titik pusat studi komunikasi, sedangkan
hukum atau tata hukum itu dipandang dari perspektif ini adalah suatu sistem komunikasi.
Kedua, bahasa itu adalah medium untuk mengemas dan menyampaikan buah pikiran
manusia, sedangkan hukum itu adalah produk pemikiran manusia yang dibangun, dikemas
dan dikomunikasikan dengan bahasa. Lihat Hendarmin Djarab (at.al). 1998, Beberapa
Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI, Cet.1 Bandung, Angkasa, hlm.164.
317
Nomor 3 Tahun 2006 sebagai dasar kewenangan absolut atau absolut competentie
yang pada mulanya parameter primer tertumpu pada asas peronalitas ke Islaman
(untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam), diperluas menjadi
asas penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam492 (diperuntukkan bagi
akad antara orang Islam dengan non-Islam). Berdasarkan hal tersebut, tidak perlu
diadakan dualisme peradilan untuk mengadili sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya, agar asas kepastian hukum bagi pencari keadilan dan kewenangan
sejajar.
490
Pasal 49 berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan
ekonomi syari'ah”.
491
Subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian
teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara
sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan
umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara
kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Lihat
Ahsan Dawi Mansur, Loc.Cit.
492
Dapat ditelusuri dalam Penjelasan Pasal 1 angka 37 tentang Perubahan Pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa perluasan pengertian dan
cakupan asas personalitas keislaman tidak hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi
juga pada badan hukum. Penjelasan Pasal 1 angka 37 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
menunjukkan adanya asas penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam, yang
berarti perluasan asas mencakup seluruh kewenangan absolut Peradilan Agama dan
menghapus prinsip pilihan hukum.
318
suatu sengketa yang berdiri sendiri, maka sebaiknya sengketa tersebut tetap
2006. Agar tidak terjadinya dualisme dan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan
antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang berdampak terhadap perwujudan
prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tidak bisa dilaksanakan secara
benar.
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
perlu dilihat bagaimana karekter bahasa yang sesuai dengan tuntutan karakter
hukum, dan bagaimana bahasa hukum493 itu dikemas dalam hukum bahasa.494
Karena perlu diingat, bahwa “law is play or game of language”, yakni bahwa apa
493
Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang diterapkan sebagai sarana
komunikasi ilmiah di bidang hukum yang memiliki ciri-ciri yang khas sesuai dengan karakter
ilmu hukum itu sendiri yakni mengandung kejelasan makna, kepaduan pikiran, kelugasan
pemakaian bahasa dan keresmian penggunaannya. Lihat Bahder Johan Nasution dan Sri
Warjiyati, 1998, Bahasa Indonesia Hukum. Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.1-5
494
Q.S. Ar-Rum : 22 memiliki pengertian: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang mengetahui".
319
yang disebut dengan hukum itu, hakekatnya adalah sebuah permainan bahasa,495
Menurut penulis apa yang dikemukaan di atas bersifat lebih signifikan bila
diterapkan dalam ilmu hukum, bukan saja karena faktor keilmuan hukumnya, tetapi
juga karena karakter substansi hukum itu sendiri menuntut tingkat kecermatan,
ketepatan, kejelasan, kepastian yang tinggi. Kualitas bahasa hukum dalam peraturan
Peradilan umum seperti yang ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, menarik untuk dikaji dari perspektif asas
formal pembentukan hukum, yang meliputi: Pertama, asas tujuan yang jelas yang
yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut.
Kedua, asas organ atau lembaga yang tepat, bermaksud untuk menegaskan
495
Adapun hubungan antara bahasa dan hukum adalah pertama, bahasa dalam arti
semantik adalah suatu studi tentang arti, yang merupakan titik pusat studi komunikasi,
sedangkan hukum atau tata hukum itu dipandang dari perspektif ini adalah suatu sistem
komunikasi; kedua, bahasa itu adalah medium untuk mengemas dan menyampaikan buah
pikiran manusia, sedangkan hukum itu adalah produk pemikiran manusia yang dibangun,
dikemas dan dikomunikasikan dengan bahasa. Lihat Hendarmin Djarab (at.al). Loc.Cit.
320
seharusnya dapat ditegakkan secara efisien dan efektif. Kelima, asas konsensus,
milik atau keperdataan lainnya, jika dihubungkan dengan asas perlunya pengaturan,
maka sangat tepat jika ditiadakan kewenangan Peradilan Umum dalam Pasal 50
Pertama, pembedaan status agama pencari keadilan dalam sengketa hak milik
tentang hak kebendaan telah banyak diatur dalam undang-undang dan peraturan
pelaksananya (organik).
Kedua, dengan lahirnya landasan hukum peradilan satu atap, maka pembinaan
terhadap sumber daya manusia yang bergerak dalam sistem Peradilan Agama sama
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–
496
Pasal 50 ayat (1): “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi
sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum‟.
321
dalam hukum sensitif, tetapi masuk ke dalam wilayah hukum netral.497 Sehingga
Umum dengan Peradilan Agama, dalam hal menyelesaiakan sengketa hak milik atau
keperdataan lainnya.
Hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, namun berada
pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam
masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum
oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika, maka konsep
politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika
yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo atau ius
Dalam politik hukum, ada dua dimensi yang terkait dan tak terpisahkan, yaitu
497
Yang dimaksud dengan hukum sensitif adalah hukum yang menyangkut bidang-
bidang budaya dan keyakinan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud sebagai hukum yang
bersifat netral, yaitu semua hukum yang bukan bersifat sensitif. Lihat Mochtar
Kusumaatmadja, Op.Cit. hlm.viii.
498
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 352.
322
diinginkan.499
Dalam banyak hal, politik lebih sering mempengaruhi corak atau karakter
hukum. Sub-sistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih besar dari
hukum yang mengakibatkan bahwa apabila hukum harus berhadapan dengan politik
maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah.501 Hubungan itu disebut Satjipto
dijalankannya hukum.502
harus mengamati mulai dari bawah untuk mengetahui macam peran sosial dan
politik apakah yang diberikan orang kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh
dilakukan, yang didorong untuk dilakukan, dan yang dilarang untuk dilakukan.503
Sebagai produk politik, hukum tidak dapat hanya dipahami dari pasal-pasal
atau norma-norma yang imperatif (juga fakultatif), namun perlu juga dijelaskan latar
499
Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta, LkiS, hlm.40
500
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum. Yogyakarta, Kanisius, hlm. 116-117.
501
Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung,CV. Sinar Baru, hlm. 71.
502
Ibid.
503
Ibid.
323
belakang politiknya. Seseorang akan menjadi tidak puas atau kecewa bila hanya
kenyataan atau das sein yang penjelasannya harus diberikan oleh perspektif lain,
yang terbatas dan terpilih yang mempunyai otoritas pembuatan hukum.505 Yang ideal
dari suatu politik hukum (selain tujuan politik hukum yang disebutkan di atas) adalah
masyarakatnya.506 Hal ini disebabkan “negara Indonesia berdasar atas hukum atau
tersebut dapat dipandang sebagai perspektif resmi atau dasar utama dari politik
hukum nasional.507
masa yang sangat panjang dan melelahkan.508 Hal lain yang menarik dari kenyataan
tersebut adalah adanya determinasi faktor politik yang hampir selalu menjadi
504
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta,Gama Media, hlm. vi.
505
Ibid.
506
Ibid.hlm.31.
507
Ibid.hlm.30
508
Ibid
324
Peran politik hukum memainkan peranan yang begitu signifikan dalam legislasi
Hukum Islam dalam sejarah tata hukum di Indonesia. Tanpa adanya aturan-aturan
pelaksana dalam suatu sistem hukum nasional terhadap norma-norma hukum Islam
ini, maka ia tidak akan mendapat penerimaan yang layak dan efektif dalam
Hingga kini beberapa materi hukum Islam tersebut telah mendapatkan legislasi,
Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan
Rekatnya politik yang ingin menutup peluang pada tiap wadah sosial tidak
dengan hukum Islam selalu berjumpa dengan aktivitas yudisial itu dalam bentuk
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan yurisdiksi yang diperluas, merupakan
bukti keberhasilan transformasi hukum Islam tersebut. Jika selama ini kewenangan
Peradilan Agama sangat terbatas dan hanya menyangkut hukum keluarga dan
509
Ibid, hlm.59.
510
Abdul Gani Abdullah. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta, Gema Insani Press, hlm. 24.
325
Peradilan Agama menjadi diperluas, sengketa ekonomi syari„ah telah menjadi bagian
dan Peradilan umum dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3
Tahun 2006, jika ditelaah dari perspektif sejarah merupakan sebuah nilai
pengulangan kondisi normatif masa lalu. Secara khusus berhubungan erat dengan
indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama,
Campagnie yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum
Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda tehadap hukum Islam dengan
Sikap intervensi itu terjadi setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan
oleh Belanda, maka sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati
perubahan itu terjadi perlahan-lahan. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat
dilihat dari tiga sisi: Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki
sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari
Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar
511
Ratno Lokito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
Jakarta, INIS, hlm. 28.
326
umat Islam terhadap gerakan imperialisme yang tidak hanya ingin menguasai kondisi
fisik masyarakat tetapi pihak Belanda ingin menghilangkan pengaruh Islam dari
sebagin besar penduduk Indonesia yang meyakini serta berpegang teguh terhadap
nilai-nilai agama Islam. Hal itu, tergambar dalam sejarah sebelum kemerdekaan
dengan simbol politik Islam Hindia Belanda yang tidak mau bersikap netral terhadap
sejarah penerapan politik hukum dan teori-teori yang melingkari, sebagai berikut:
512
H.Aqib Summinto, Op.Cit. hlm.9-62
327
Skema VIII
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terutama dari tatanan politik Islam Hindia
khususnya melalui kebijakan politik hukum. Cerminan politik Islam Hindia Belanda
(LN NO.22/2006 dan TLN NO.4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006 ,
saat ini. Kewenangan Pengadilan Agama kini tidak hanya menyelesaikan sengketa
di bidang perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, hibah, serta bidang wakaf dan
dan menyelsaikan sengketa zakat, infaq serta sengketa hak milik dan keperdataan
lainnya antara sesama muslim dan ekonomi sayari‟ah (Pasal 49 jo Pasal 50 beserta
(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai
obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama
bersama-sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 50 ayat (2) merupakan sebuah kewenangan baru yang dimiliki oleh
lainnya sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 49
1989 tentang Peradilan Agama, bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau
Nomor 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 50 ayat (2) tidak seluas-luasnya dalam
Peradilan Agama, yakni hanya terbatas kepada yang bersengketa adalah orang-
orang yang beragama Islam dan obyek sengketa terkait dengan obyek sengketa
ditentukan dalam Pasal 49. Sehingga para pihak yang beragam nonmuslim dalam
330
Peradilan Umum.
Nomor 3 Tahun 2006, disatu sisi membawa perluasan kewenangan bagi Peradilan
Agama, tetapi dalam konteks kewenangan menyelesaian sengketa hak milik atau
keperdataan hanya bagi mereka yang beraga Islam. Sehingga dalam mekanisme
prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan serta kemandirian Peradilan
kemandirian serta bebas dari campur tangan dari lembaga yudisial lainnya.
Agama dan Peradilan umum dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang
Nomor 3 Tahun 2006 tersebut jika dihubungkan dengan pola pikir politik Islam Hindia
Belanda merupakan refleksi dari : Pertama, pola pikir dari politik “devide et impera”,
yang berati “pecah belahlah dan kuasai”. Dengan mempergunakan rekayasa ilmiah
513
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/1999, Undang–undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Jakarta, Penabur Ilmu, 2004,
hlm. 59.
331
Agama yang ditandai oleh pergeseran dan perkembangan teori hukum naturalisme
undangan Peradilan Agama merupakan sesuatu yang bersifat baku untuk diikuti.
nuansa politis514 dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa yuridisnya.
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak dapat
dikatakan bebas dari cerminan politik Islam Hindia Belanda pada masa lalu, karena
pada saat ini ditampilkan dalam tatanan yang berbeda namun memiliki karakteristik
Menteri agama Munawir Sjadzali pada masa itu yang membawa rancangan
disyahkan menjadi undang - undang kecuali FPDI yang menunjukan keberatan. Pro
dan kontra tentang Rancangan Undang–undang Peradilan Agama itu malah hangat
514
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan.
Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai factor penghambat pembangunan (an obstacle
to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian,
tidak sedikit intelektual muslim yang juga meyakininya. Kesimpulan yang tergesa-gesa ini
hampir dapat dipastikan timbul karena kesalahpahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam
merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem
yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah
pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda
perekonomian. Lihat Muhammad Syafi‟I Antonio, Op.Cit. hlm. 3.
332
di luar gedung DPR. Akan tetapi pro dan kontra berakhir setelah Rancangan
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kerja keras, sekaligus sebagai bentuk
antaranya:
telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
agama.
memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela
4. Lebih memantapkan upaya penggalian dan asas dan kaidah hukum Islam
sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum
Kekuasaan Kehakiman.
dan kontra terhadap pelembagaan Peradilan Agama tidak dapat dihindari karena
Nomor 3 Tahun 2006 yang tidak banyak mengalami pemikiran pro dan kontra. Hal ini
bersifat teknis jabatan hakim dan panitera. Sedangkan yang berhubungan dengan
50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak mendapat
tanggapan secara tajam dari fraksi yang ada di DPR-RI pada saat pembahasan
yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya
merupakan kewenangan mutlak dari Peradilan Umum, mendapat kritikan dari sudut
bertolak belakang dengan prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Demikian pula jika dipahami dari sudut “doktrin” dalam ilmu hukum melalui perspektif
334
teori tujuan hukum, teori perundang-undangan, teori politik hukum dan teori
Berdasarkan uraian tersebut diatas, diasumsikan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
Pertama, pola pikir dari kelompok yang mengatakan bahwa untuk terwujudnya
cita-cita unifikasi hukum, maka Peradilan Agama tidak diperlukan. Kelompok ini lebih
untuk tidak terkesan adanya dualisme sistem peradilan. Refleksi pola pikir yang
dalam norma Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan
Kedua, pola pikir dari kelompok yang menolak secara tegas tentang
salah satu pendapat dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno yang berpendapat
kelompok agama lainnya. Lebih berbahaya lagi ketika adanya anggapan yang
515
Menurut Soekarno Piagam Jakarta (Jakarta Charter) merupakan Rancangan
Pembukaan Undang-undang Dasar (konstitusi) negara Republik Indonesia sebagai
gentlement agreement, sebab merupakan hasil kompromi antara dua pihak yaitu antara pihak
Islam dan pihak kebangsaan. Endang Saefuddin Anshari menyebutkan kondisi perdebatan
335
eksklusivitas terhadap Peradilan Agama juga tidaklah benar karena apabila dicermati
Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi orang Islam, tetapi juga bagi siapa
saja yang menundukkan dirinya kepada hukum Islam, tentu yang dimaksud adalah
nonmuslim.516 Dalam konteks ini ada dua asas yang berlaku, yaitu asas personalitas
dan asas penundukan diri secara sukarela. Asas personalitas diaplikasikan untuk
akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam, Sedangkan asas penundukan
tentang Peradilan Agama adalah dibukanya prinsip “pilihan hukum” peradilan bagi
pihak yang merasa dirugikan dalam penyelesaian sengketa waris. Prinsip tersebut
tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat
Upaya penghapusan prinsip pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa
kewenangan Peradilan Agama. Tetapi, prinsip pilihan hukum masih menjelma dan
secara terang-terangan dilegalitaskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–
yang telah dihapus dengan perubahan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, tetapi
kelahiran wujud norma yang membuka dualisme dan titik taut (aanknopingspunten)
kewenangan tersebut, merupakan kelanjutan yang bersifat lebih terbuka dari prinsip
pilihan hukum. Tidak selaras dengan perluasan asas penundukan diri dalam
kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang tersurat dalam
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) 517 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, merupakan
517
Penjelasan Pasal 50 Ayat 2 menegaskan : Ketentuan ini memberi wewenang
kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa
antar orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan. Sebaliknya
apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di pengadilan agama
ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan
337
cerminan politik hukum pada politik Islam Hinida Belanda, politik hukum pada saat
politik hukum dalam wujud prinsip-prinsip pilihan hukum yang semula menjadi
maskot dari politik Islam Hindia Belanda, tetapi tampil dalam sifat yang lebih pulgar
dalam wujud norma yang menimbulkan dualisme dan titik taut (aanknopingspunten)
lainnya.
Hasil analisis dan pemahasan isu hukum tentang titik taut (aanknopingspunten)
mencapai tujuan hukum atau karena faktor kepentingan dan politik hukum,
bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap
objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan
yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan agama
tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
338
339
Berdasar kan uraian pada sub bab terdahulu tentang titik taut
yang telah ditelaah melalui perspektif teori tujuan hukum, teori perundang-undangan
dan teori politik hukum yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–
undang Nomor 3 Tahun 2006 mengandung masalah dari sudut “doktrin ilmu hukum”.
Sesuai dengan kaidah filsafat ilmu insan akademik bukan saja hanya bisa
dengan upaya rekonstruksi atau penataan ulang terhadap paradigma hukum yang
berdimensi cita hukum Pancasila dalam seluruh elemen atau bagian dari pada
akademik. Dalam kesempatan ini akan ditawarkan sebuah konsep penyelesaian titik
518
Suatu teknik analisa yang dapat mengungkap “hidden political intentions”
dibelakang berbagai konsep hukum, doktrin dan proses-proses hukum. Kajian seperti ini
belum berkembang cukup baik pada lingkungan kita karena kecendrungan pada kajian-
kajian tekstual yang positivis (yang dikembangkan oleh kaum legis liberal). Lihat Ifdhal
Kasim.”Wacana Gerakan Studi Hukum Kritis, 2000, Artikel Dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif.Edisi.6. hlm.29-30.
519
Memahami istilah dan pengertian paradigma. Istilah paradigma (paradigm) pertama
kali dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya “The Structure Scientific Revolution”
pada tahun 1992. Kuhn memberikan pengertian paradigma adalah konstelasi hasil-hasil
kajian yang terdiri dari atas konsep-konsep, nilai-nilai, teknik-teknik dan lain-lainnya, yang
digunakan secara bersama-sama oleh suatu komunitas ilmiah dan mereka gunakan untuk
menentukan keabsahan problem-problem dan solusi-solusinya. Lihat A. Mukti Fajar,
”Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan”, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya Malang, Tanggal 13 November 2006.
340
negara yang salah satunya dijalankan melalui fungsi yudikatif seperti yang
Skema IX
Distribusi Kekuaasaan Negara
KEKUASAAN
520
Robert Friedrichs memberikan rumusan tentang paradigma adalah pandangan
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan atau subject
matter yang semestinya dipelajarinya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur
tentang paradigma yaitu sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang objek
ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu disiplin; dan tentang, metode kerja
ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu. Maka dapat ditarik kesimpulan tentang
paradigma adalah kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun
waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakat. Lihat Lili Rasjidi
dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya. Cet.I.hlm. 66-72.
341
Kekuasaan negara yang pada mulanya bersumber dari kekuasaan rakyat 521
suatu kekuasaan dalam negara pada umumnya dibedakan menjadi dua, sebagai
dari keadaan yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada, kedua, pelimpahan
521
Negara yang berkedaulatan rakyat mengandung arti bahwa rakyat memiliki
kekuasaan mutlak, tertinggi, tidak terbatas. Negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara
demokrasi. Negara dikatakan berkedaulatan rakyat apabila rakyat berperan serta langsung
maupun tidak langsung menentukan nasib dan masa depan negara. Untuk dapat dikatakan
sebagai pemerintahan demokratis, meminjam istilah Sutradara Ginting, perlu mencirikan
sedikitnya lima hal yakni, adanya legitimacy, public mission, public control, public
accountability, dan public service. Lihat Green Mind Community, 2009, Teori dan Politik
Hukum Tata Negara, Yogyakarta, Total Media, hlm.10.
522
Samsul Wahidin. Loc.Cit.
342
struktural dalam arti dari atas ke bawah dan bersifat fungsional dalam arti
hendak dicapai oleh bangsa Indonesia. Salah satu yang mau dicapai dari tujuan
dasar filsfati tersurat dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang–undang Dasar 1945,
yang menyatakan:
tata kehidupan negara dan bangsa menuju negara yang sejahtera,525 aman,
dan menjamin terpeliharanya hubungan hukum yang serasi, selaras dan seimbang
antara sesama warga negara dan antara warga negara dengan pemerintah.
523
Ibid
524
A.Mukthie Fadjar. Loc.Cit.
525
Negara kesejahteraan mengantarkan pada aksi perlindungan negara terhadap
masyarakat terutama kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran, dan
sebagainya. Ibid, hlm.307.
343
Muatan yang terkandung pada alinea ke-4 tersebut adalah menegaskan bahwa
Atas dasar komitmen tersebut di atas, maka negara tidak hanya menyediakan
tetapi harus disusun dalam sebuah format organisasi yang kompak dan terpadu.
Perlu ditetapkan secara jelas menyangkut parameter lingkup bidang tugas dan
terwujudnya pelaksanaan prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hal tersebut sesuai dengan komitmen pembangunan hukum yang tidak sekedar
mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat satu kesatuan sistem sebagai
526
Bagir Manan. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. FH UII,
Yogyakarta, Cet I, hlm.157.
344
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Selain itu ada peradilan khusus
dalam peradilan umum, dan Mahkamah Konstitusi. Untuk susunan vertikal adalah
sebagai bagian dari prinsip kekuasaan negara secara keseluruhan. Setiap badan
tidak hanya dalam wujud penegakan hukum atau law enforcement, tetapi yang
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, maka badan peradilan dapat dilihat
dalam sistem peradilan di Indonesia yang ada saat ini, baik mengenai konsepsi
tersebut menjadi agenda besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perbaikan
527
Ibid. hlm.15.
528
Ibid. hlm.13
345
yustisial untuk mencampuri urusan peradilan,529 baik secara eksternal yang memiliki
kemandirian dari campur tangan kekuasaan eksekutif, dan secara internal memiliki
Konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat dan negara hukum adalah adanya
yudisial. Sesuai dengan paham kedaulatan rakyat dan sistem presidensial yang
pemisahan secara tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudisial yang bertujuan
untuk melindungi kebebasan. Trias politika yang berlaku dalam sistem presidensial
sehingga terjadi mekanisme pengawasan dan keseimbangan atau checks and bal-
wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “power tends to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
529
Pontang Moerad B.M. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana. Bandung, Alumni, hlm.71.
346
Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
yang disebabkan oleh para pemimpin yang tidak dapat melaksanakan kebijakan
administrasi function) dan yudisial (the judicial function). Ketiga fungsi tersebut harus
terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat
sesuka hati. Demikian pula jika digabung antara kekuasaan mengadili dengan
Kondisi sedemikian dapat mengakhiri segala-galanya dan tidah sampai pada tujuan
atau cita-cita negara, bila yang mengelola arang yang sama atau badan yang sama.
530
Jimly Asshiddiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”, Ketua Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, Makalah, Simbur
Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614, hlm.169.
531
Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau legilature,
fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi yudisial dengan lembaga
peradilan yang berfungsi untuk mengadili atas pelanggaran terhadap Undang-Undang.
Jaenal Aripin, Ibid, hlm.69-70.
347
negara hanya sampai pada konsep pembagian tiga organ negara yang besar yaitu
pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, diturunkan hingga pada level yang
terendah dari seluruh organ negara. Contoh dalam rangka menyusun kekuasaan
pelayanan hukum bagi masyarakat yang mencari keadilan dalam kemajemukan dan
kompak dan terpadu, ditetapkan secara jelas menyangkut parameter lingkup bidang
agar terwujudnya pelaksanaan prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
Kekuasaan Kehakiman
organisasi kekuasaan kehakiman yang bersifat horizontal dan vertikal. Khusus terkait
penurunan makna dari teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara ke dalam
peluang politik hukum ditemukan dalam Pasal 24 ayat (3) Undang–undang Dasar
1945, yang sinergis dengan undang-undang organiknya pada Pasal 2 ayat (3)
pembagian kewenangan yang jelas dan tegas bagi peradilan melalui sebuah
filsafati, alasan yuridis dan alasan sosiologis dari tatanan dan penerapan sistem
target kinerja kekuasaan kehakiman sebagaimana terdapat dalam Pasal 24 ayat (1)
hukum dan keadilan”, kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik
Tujuan negara tersebut dapat dicapai melalui penguatan tugas dan fungsi secara
Berpijak dari konsep teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara yang
yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun
2006 tidak selaras dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena Peradilan Agama berdasarkan Pasal 50
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi mereka yang beragama Islam,
Umum.
tersebut berkaitan erat dengan politik hukum yang mendasari proses pembentukan
Kekuasaan Kehakiman
in a government in which they are separated from each other, the judiciary,
from the nature of its functions, will always be the least dangerous to the
political rights of the Constitution; because it will be least in a capacity to annoy
or injure them. The Executive not only dispenses the honors, but holds the
sword of the community. The legislature not only commands the purse, but
prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are to be
regulated. The judiciary, on the contrary, has no influence over either the sword
or the purse; no direction either of the strength or of the wealth of the society;
and can take no active resolution whatever. It may truly be said to have neither
FORCE nor WILL, but merely judgment; and must ultimately depend upon the
aid of the executive arm even for the efficacy of its judgments.
(diterjemahkan secara bebas: dalam pemerintahan yang mana mereka
dipisahkan satu sama lain, fungsi peradilan akan menjadi hal yang berbahaya
bagi hak politik dalam konstitusi; karena fungsi inilah yang dianggap dapat
mengganggu atau melukai mereka. Kekuasaan eksekutif tidak hanya
memberikan kehormatan tetapi memegang pedang masyarakat. Kekuasaan
532
Alexander Hamilton, 2005, The Federalist No. 78, Tersedia: http:// www.
constitution.org/ fed/federal78.htm. Dikutip oleh Aidul Fitriciada Azhari, ibid, hlm.9.
351
antara ketiga cabang kekuasaan, lembaga peradilan adalah “the least dangerous to
the political rights of the constitution” (lembaga peradilan adalah paling berbahaya
bagi hak politik dalam konstitusi). Lembaga peradilan tidak memiliki pengaruh baik
kekuasaan atau sword maupun keuangan atau purse bila dibandingkan dengan ke-
dasar: fairness, impartiality, dan good faith (keadilan, tidak memihak, dan kehendak
baik). Jadi secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk
legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk
harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan
yang dihasilkan dalam Seventh United Nations Congress on the Prevention and the
1) The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of
facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper
influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect,
from any quarter or for any reason; 2) The judiciary shall have jurisdiction over
all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide
whether an issue submitted for its decision is within its competence as defined
by law; 3) There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with
the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to
revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or
commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in
accordance with the law.536
Diterjemahkan secara bebas: 1) Pengadilan harus memutuskan dengan
seimbang di antara para pihak, yang didasarkan pada fakta dan sesuai dengan
hukum, tanpa batasan, pengaruh yang tidak pantas, bujukan, tekanan,
ancaman atau campur tangan, yang langsung ataupun tidak langsung, untuk
alasan apapun; 2). Pengadilan harus mempunyai jurisdiksi dan memiliki
kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah isu diterima sebagai
keputusan lembaga yang berkompeten untuk memutus sebagaimana
533
Aidul Fitriciada Azhari, Op.Cit, hlm.10.
534
Ibid
535
Ibid
536
Basic Principle on the Independence of the Judiciary, Seventh United Nations
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus s/d
6 September 1985,hlm.2-4.
353
ditentukan oleh hukum. 3). Tidak boleh ada campur tangan yang tidak layak
atau tidak beralasan atas suatu proses perailan, atau keputusan hakim oleh
pengadilan menjadi subjek untuk dilakukan revisi. Prinsip tersebut tanpa
prasangka untuk melakukan suatu judicial review atau untuk pengurangan
beban atau peringanan oleh pihak yang berkompeten untuk menjatuhkan
hukuman oleh pengadilan sesuai dengan hukum.
imparsial dan berkeadilan, sebab “negara hukum” mensyaratkan adanya hakim yang
tidak takut atau khawatir atas akibat atau pembalasan dari pihak luar.537
putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas
dasar penalaran orang lain. Kemerdekaan internal berarti seorang hakim harus
Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta bahwa suatu pengadilan adalah suatu
537
Kelly, F.B. William, 2005, An Independent Judiciary: The Core of the Rule of Law,
Tersedia : www.icclr.law.ubc.ca/Publications/ Reports/An-Independant-Judiciary.pdf (Dikutip
5 Nopember 2005), hlm.4.
354
badan atau lembaga yang tidak bergantung pada kekuasaan pemerintahan yang
lain.538
kewajiban khusus dari pengadilan terhadap negara hukum. Peradilan bukan hanya
kepentingan.
Hal yang sama dikemukakan oleh John Ferejohn yang menyebutkan bahwa:540
campur tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas
yang memandang kemerdekaan yudisial dari kepentingan sosial dan ekonomi yang
sangat kuat. Namun demikian, kemerdekaan yudisial bukanlah tujuan itu sendiri,
melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari kemerdekaan yudisial
538
Todung Mulya Lubis & Mas Achmad Santosa, 2000, “Regulasi Ekonomi, Sistem
yang Berjalan Baik dan Lingkungan: Agenda Reformasi Hukum di Indonesia,” dalam Arief
Budiman et al. (ed.), Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia,
Yogyakarta: Bigraf Publishing,hlm.171.
539
Harold See. “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence,” Law and
Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998, hlm.141-142.
540
John Ferejohn,1998, Dynamic of Judicial Independence: Independence Judges,
Dependent Judiciary.
355
adalah terwujudnya negara hukum dan melindungi kebebasan dan hak asasi.
Manakala hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuan itu sendiri, maka
akan mengakibatkan publik dan cabang kekuasaan yang lain berpikir bahwa
peradilan sebagai superior terhadap cabang kekuasaan lainnya. Oleh karena itu,
kemerdekaan yudisial tidak berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebas dari
semua pengaruh, ia hanya bebas dari pengaruh yang tak semestinya. Misalnya,
kekuasaan kehakiman tidak bebas dari kritik, tetapi ia bebas dari kritik yang tidak
dapat ditarik 2 (dua) konsep yang merupakan ruang lingkup independensi meliputi
Agama dan Peradilan umum yang bersumber dari Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
“elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” yang pada saat ini hanya
menata fungsi organ peradilan negara dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman,
(Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
dengan distribusi kekuasaan negara yang diturunkan dan fungsi peradilan yang
independen dalam arti kekuasaan organ negara, extra legal factor dan bebas dari
dan “penurunan prinsip doktrin” akan menyelesaikan titik taut (aanknopings punten)
sebagai pelaksana tugas negara dalam rangka memberi layanan hukum atau legal
service terhadap pencari keadilan541 atau searching for truth dalam parameter
hukum yang disepakati para kolega dalam bidang ilmu hukum sebagai paradigma
kehakiman Islam dalam masa kedua dinasti tersebut, akan tetapi masing-masing
badan yang berada dibawahnya sama-sama memiliki tiga badan peradilan sebagai
541
Lihat Penjelasan Pasal I Angka 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
menegaskan : Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah setiap orang baik
warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di
Indonesia.
542
Muhammad Jalal Syaraf, Fikr al-Siyasi fi al-Islam, hlm.155-157. Dikutip oleh Jaenal
Aripin, Op.Cit. hlm.162
543
Ibid
358
pada masa Dinasti Mamluk, terdapat pelaksana kekuasaan kehakiman lagi yaitu al-
berada dibawah naungan al-qadhi al-qudhah atau Mahkamah Agung, yang preseden
dan masalah wakaf. Kedua, Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana
kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan
yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara
perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu, ia juga menangani
544
Ibid.
545
Iman Al Mawardi dalam buku Al-Ahkam As-Sulthaniyyah merinci sepuluh tugas
kekuasaan yudikatif, yaitu: 1) Memutus atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran, dan
konflik; dengan mendamaikan kedua belah pihak berperkara secara sukarela, atau memaksa
keduanya berdamai; 2) Membebaskan orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukum,
serta memberikan sanksi kepada yang salah; 3) Menetapkan penguasa harta benda orang
yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; 4) Mengelola
harta wakaf dengan menjaga, mengembangkan, menahannya, dan mengalokasikan ke
posnya; 5) Melaksanakan wasiat berdasarkan syarat pemberi dalam hal yang diperbolehkan
syariat dan tidak melanggarnya; 6) Menikahkan gadis-gadis dengan orang sekufu (selefel),
jika mereka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia nikah. 7) Melaksanakan hudud
kepada orang yang berhak merimanya. Jika menyangkut hak Allah SWT, ia
melaksanakannya tanpa penggugat; jika telah terbukti atas pengakuan dan barang bukti. Jika
menyangkut hak manusia, pelaksanaan hudud ditentukan oleh permintaan penggugat; 8)
memikirkan kemaslahatan umum, dengan melarang segala gangguan di jalan dan halaman
rumah serta meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; 9)mengawasi para saksi dan
pegawainya, serta memilih orang yang mewakilinya. Jika mereka jujur, kredibel, dan
istiqamah, ia mengangkatnya. Jika mereka berkhianat, ia mengganti dengan pejabat baru;
10) menegakkan persamaan di depan hukum antara orang yang kuat dan lemah, dan
menegakkan keadilan dalam peradilan baik bagi orang bangsawan maupun rakyat biasa.Ibid,
hlm.164.
359
hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Keempat, masa pemerintahan
kehakiman dalam tradisi Islam, dapat dimaknai bahwa sejak dahulu telah dikenal
bidangnya, tetapi bersatu dalam sebuah naungan kekuasaan umum al-qadhi al-
selaras dengan upaya “elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” dari konsep
Kehakiman.
546
Ibid.hlm.166-169.
360
Asas
Pengadilan Agama sudah ada sejak zaman penjajah sampai kemerdekaan, hingga
sekarang era reformasi tidak di persoalkan lagi, hanya saja yang menjadi persoalan
bagi orang Islam belum semua dapat dilaksanakan oleh Peradilan Agama, artinya
masih terjadi tarik menarik dengan peradilan yang lain, padahal masing-masing telah
kewenangan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam (orang yang beragama
Islam sebagai konsekuensi dari keyakinanya semakin tinggi, ini berarti bahwa
pluralisme hukum harus diterima sebagai realitas atau real of entity yang majemuk
atau legal flurality dalam kehidupan bermasyarakat, maka harus memikirkan hukum
547
Pasal 49 menyebutkan bahwa: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan ; b. Waris; c. Wasiat ; d. Hibah; e. Wakaf ; f.
Zakat ; g. Infaq ; h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah
361
sebagai suatu fenomena yang pluralistik, dengan institusi utama hukum dari negara
yang tersentralisasi.
selain terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau order of law juga
berwujud sebagai hukum agama atau religious law dan hukum kebiasaan atau
sendiri atau Inner order mechanism atau self regulation dalam komunitas-komunitas
masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana
yang meliputi serta memiliki kedudukan sangat penting dalam rangka memahami
norma hukum. Menurut Paul Scholten, asas hukum atau rechtbeginsel tidak sama
dan bukan aturan hukum atau rechtsregel, walaupun demikian aturan hukum tidak
ditawarkan bangun sebuah konsep ideal kewenangan Peradilan Agama dari sudut
548
I Nyoman Nurjaya, Loc.Cit..
549
Rusli Effendy (dkk). 1991. Teori Hukum, Ujung Pandang, Hasanudin University
Press, Cet I,hlm.28. dikutip oleh Lauddin Masruni, Loc.Cit.
362
Skema X
Kompetensi
Kekuasaan Peradilan Agama
Kehakiman
Asas
Asas Asas
Personalitas
Penundukan Formalitas
Keislaman
Diri Secara Keislaman
Sukarela
Peradilan
Distribusi Kekuasaan
Perencanaan Hukum, Pembentukan Hukum
Agama
Negara
Layanan Hukum (legal service)
Pelaksanaan Hukum
Penegakkan Hukum
Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan
Biaya Ringan
Feed Back
Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Welfarestate
akan menjadi dasar pertimbangan etis, sosial, dan keadilan dalam pembentukan,
550
Adapun asas yang berkaitan dengan pembentukan hukum nasional adalah: a) Asas
hukum yang menentukan politik hukum. b) Asas hukum yang menyangkut ciri dan jiwa tata
hukum nasional. c) Asas hukum yang menyangkut formal/struktural organisatoris sistem
hukum nasional. d) Asas hukum yang menentukan proses pembentukan peraturan
363
dengan cara membaca norma hukum yang diatur dalam Pasal 49 Undang–undang
personalitas keislamam, asas pilihan hukum dan asas formalitas keislaman. Jika
absolut antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, khususnya asas pilihan
Skema XI
Kompetensi
P. Agama Perkawinan
AFK/APK
Harta Bersama
Asas Asas Asas AFK/APK
Personalit Formalitas Pilihan
as Ke ke Islaman Hukum
Islaman
Waris
APK
Ekonomi Syariah
AFK/APK
Peradilan
Agama
Catatan:
1. APK : Parameter Keberlakuan Hukum Islam
2. AFK : Parameter Lembaga Persitiwa Hukum
3. APH : Parameter Hak Opsi Mengaburkan APK dan ALK Dalam Perspektif Hukum
Sensitif
Agama dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menimbulkan titik taut
Skema XII
Kompetensi
P. Agama Perkawinan
AFK
Ekonomi
Syariah
AFK
Peradilan
Agama
Catatan :
1. Perkawinan : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)
2. Harta Bersama : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)
3. Waris : APK (Asas Personalitas Ke Islaman)
4. Ekonomi Syariah : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)
yang di bangun berdasarkan pergantian dari “asas pilihan hukum” dan atau
perluasan dari “asas personalitas keislaman” menjadi “asas penundukan diri secara
penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, seperti yang tercantum
(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai
obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama
bersama-sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
551
Sulaikan Lubis, perluasan kewenangan tersebut berarti pula adanya perluasan
pengertian atas asas personalitas ke-Islaman. Dapat ditelusuri dalam Penjelasan Pasal 1
angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
menegaskan bahwa perluasan pengertian dan cakupan asas personalitas keislaman tidak
hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi juga pada badan hukum. Penjelasan Pasal 1
angka 37 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menunjukkan adanya asas penundukan diri
secara sukarela terhadap hukum Islam, yang berarti perluasan asas mencakup seluruh
kewenangan absolut Peradilan Agama dan menghapus prinsip pilihan hukum. Lihat Sulaikan
Lubis (et.al). Loc.Cit.
367
“asas pilihan hukum” peradilan bagi pihak yang merasa dirugikan dalam
Kedua, prinsip pilihan hukum yang telah dihapus, kemudian ditopang oleh
pergantian asas pilihan hukum dan perluasan asas personalitas keislaman menjadi
asas penundukan diri secara sukarela, yang tidak hanya melekat pada subjek hukum
orang tetapi juga pada badan hukum. Sebagaimana ditemukan dalam penjelasan
penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam, yang berarti perluasan asas
pilihan hukum.
Ketiga, Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak memiliki
landasan asas hukum yang menjadi dasar bagi setiap orang untuk memahami dan
menerapkan norma hukum tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Paul Scholten
yang mendefinisikan asas hukum atau rechtbeginsel tidak sama dan bukan aturan
hukum atau rechtsregel, walaupun demikian aturan hukum tidak dapat dimengerti
tanpa bantuan asas-asas hukum.552 Jadi dapat dikatakan asas hukum memiliki
552
Rusli Effendy (dkk). 1991. Teori Hukum, Ujung Pandang, Hasanudin University
Press, Cet I,hlm.28. dikutip oleh Lauddin Masruni, Loc.Cit.
368
kedudukan yang sangat penting dalam rangka memahami norma hukum.553 Maka
Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahn 2006, tidak sesuai dengan
Agama dan keberadaannya lemah dari sisi penalaran hukum atau legal reasoning
perspektif asas hukum, namun keberadaannya lebih kuat dalam aspek kepentingan
Ringan
Pengadilan diharapkan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif. Hal ini dipandang kurang
hukum yang lebih efisien dan efektif bagi peradilan dalam menjalankan
kewenangannya.554
553
Norma hukum merupakan aturan, pola, standar yang harus diikuti. Ditegaskan oleh
Hans Kelsen bahwa norma hukum menurut fungsinya adalah memerintah (gebieten);
melarang (verbieten); mengusahakan (ermachtigen); membolehkan (erlauben) dan
menyimpangkan dari ketentuan (derogieren). Hans Kelesen juga memberikan ketegasan
bahwa norma hukum memberikan arti yang sangat penting terhadap keberlakuan suatu
aturan hukum tertulis. Sahnya keberlakuan suatu undang-undang terjadi manakala sesuai
dengan norma hukum yang lebih tinggi yang dikenal dalam teori hukum murni. Ibid.
554
Dalam konsep teori pengakuan yang menjelaskan bahwa : berlaku atau tidaknya
suatu norma hukum di dalam suatu masyarakat, sangat ditentukan oleh adanya pengakuan
dan penerimaan dari masyarakat terhadap aturan hukum konkrit serta ditaati di dalam
prosedur penegakkan hukum. Persolan ada atau tidak adanya pengakuan dapat dilihat dari
kecendrungan prilaku user (pengguna) jasa pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Lihat
Bambang Sutiyoso, “Ruang Lingkup dan Aspek-aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum
Acara Perdata di Indonesia”. Dalam Jurnal Magister Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002.
Universitas Islam Indonesia, hlm.11.
369
kepastian mekanisme yang sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan sangat ditentukan oleh konsistensi norma hukum yang diatur dalam
suatu undang-undang peradilan. Asas peradilan yang ditemukan dalam Pasal 2 ayat
dengan cara yang efisien dan efektif”. Efisien berkaitan dengan “waktu” dan efektif
berkaitan dengan “cost” atau “biaya” Dengan demikian pengertian “cepat” menjadi
bagian dari pengertian ”sederhana”. Sedangkan yang dimaksud biaya ringan adalah
cepat dan biaya ringan, sangat tergantung pada hukum acara (hukum formal)555
yang dapat dijadikan parameter apakah telah sesuai dengan asas sederhana, cepat
sebagai berikut: Pertama, sederhana, artinya acaranya yang jelas, mudah dipahami
dan tidak kaku dan tidak formalistis, karena jika terlalu formalistis akan sukar
difahami. Kedua, cepat artinya penyelesaian perkara memakan waktu yang tidak
proses penyelesaian perkara sesuai dengan SEMA Nomor 1 Tahun 1992 yang
kepanitraan. Semakin cepat proses penyelesaian perkara semakin baik, akan tetapi
cepat harus tetap berada dalam natur hukum yang benar, adil dan teliti. Ketiga,
biaya ringan artinya tidak dibutuhkan biaya yang cukup besar dan mahal, serta
keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya
proses dalam waktu yang cukup lama, serta diharapkan biaya yang relatif mampu
dengan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, yang
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan parameter status agama. Untuk
pencari keadilan yang berstatus agama Islam menjadi kompetensi Peradilan Agama,
bagi pencari keadilan yang beragama non Islam, menjadi kewenangan Peradilan
Umum.
556
Mukti Arto, Op.Cit.hlm. 64-66.
557
Ibid.63.
558
Konsep “Pilihan Hukum” dalam prespektif hukum acara, lazim dipergunakan untuk
memilih dan menentukan domisili pengadilan , jika dikemudian hari terjadi sengketa diantara
558
pihak-pihak. (bandingkan kedua konsep ini dengan “Pilihan Hukum” yang ada dalam
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 7 Thaun 1989). Berpangkal dari penjelasan umum
butir 2 alinea 6 menyebutkan : “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan
dalam pembagian waris”. Lihat Abdul Jamil, “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama
(Telaah Eksistensi Pilihan Hukum, Pasal 50 dan Pasal 86 (2) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989)”. Jurnal Magister Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002. Universitas Islam
Indonesia,hlm.104.
371
belakang dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara
agar sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat
dilakukan dengan cara memperbaharui Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–
undang Nomor 3 Tahun 2006, agar proses peradilan lebih sederhana dan flexibel,
lainnya, dengan cara menurunkan dua asas yang berlaku di Pengadilan Agama yaitu
antara sesama orang Islam, asas ini menjadi parameter primer dalam menentukan
ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, sebab asas penundukan diri dalam
perspektif hukum formal dapat dijadikan sebagai parameter bagi orang tidak
Elaborasi asas personalitas keislaman dan asas penundukan diri dalam norma
hukum secara tepat dan benar berdasarkan metode penalaran hukum atau legal
berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dimulai dari ketepatan dalam
perencanaan hukum dan pembentukan hukum. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa
pembangunan hukum, yang menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, pada intinya
merupakan pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang
dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk
yang berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dapat diwujudkan
Peradilan Agama sebagai salah satu peradilan Negara yang menjalankan fungsi dan
559
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op.Cit.hlm.163
560
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional” Makalah disampaikan
pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang diselenggarakan oleh Yayasan
Lembaga Bantuan HUkum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Surabaya,
September, 1985.
373
pencari keadilan, sebagai salah satu elemen penting yang berupaya mencapai
tujuan Negara.
Mukaddimah-nya telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas utama
para the founding father ketika memproklamirkan negara Republik Indonesia antara
tersebut secara implisit mengisyaratkan, adanya political wiil yang jelas oleh para
pengambil kebijakan atau the king maker terutama pemerintah untuk berupaya
Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan asas-asas
561
Pasal 1 angka 1 menjelaskan: Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
562
Pasal 3 Angka 1 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum”
adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
374
4. Asas keterbukaan.565
5. Asas proporsionalitas.566
7. Asas akuntabilitas.568
principle yang menjadi payung hukum atau act umbrella dalam penyelenggaraan
Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum dan Instruksi
563
Pasal 3 Angka 2 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
564
Pasal 3 Angka 3 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum”
adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
565
Pasal 3 Angka 4 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah
asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
566
Pasal 3 Angka 5 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara.
567
Pasal 3 Angka 6 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
568
Pasal 3 Angka 7 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
375
atau public servant yang bertugas untuk memberikan services yang terbaik untuk
rakyat, bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya. Apabila dapat diyakinkan bahwa
hukum yang dibentuk adalah berorientasi pada kepentingan rakyat dan berkeadilan
non-diskriminatif, transparan, obyektif dan tegas, mau tidak mau secara perlahan-
lahan masyarakat juga akan mengikuti pola ini. Hal yang disebut terakhir ini sedikit
pelaksana kekuasaan kehakiman dari fungsi dan kewenangan secara tertib, agar
adil dan makmur sejahtera dapat terwujud dalam setiap mekanisme ketetanegaraan
Republik Indonesia.
Hukum dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu pertama hukum yang
tidak tertulis dan tidak dibuat secara sengaja oleh institusi Negara, yang lazim
376
disebut dengan hukum adat; kedua, hukum (utamanya tertulis) yang dibuat oleh
institusi non-negara, seperti perjanjian antar subjek hukum perdata; ketiga, peraturan
yang dibuat secara sengaja oleh institusi Negara;569 dan keempat, putusan yudisial
yang dibuat dan ditetapkan oleh hakim atau judge made law. 570
dalam hukum tertulis yang dibuat secara sengaja oleh institusi Negara, wujudnya
sangat dipengaruhi oleh personil, institusi, proses, dan bentuk hukum hasil
kegiatan pokok harus dilakukan secara sistematik agar dapat berlaku secara yuridis,
politis dan sosiologis. Dalam hal ini, Krems berpendapat bahwa proses pembentukan
569
Hikmahanto Juwana 2004, Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, 2 (23), hlm.52
570
Brian Bix. 1996, Jurisprudence: Theory and Context, Westview Press, Colorado,
h.152
571
Negara Berdasarkan Hukum adalah sebuah konsep sosial dan bukan hanya
sebagai konsep yuridis. Karena, Negara Berdasarkan Hukum dipengaruhi oleh beberapa
faktor sebagai berikut : faktor rencana Undang–undang Dasar 1945, faktor perubahan sosial,
faktor (pengalaman) sejarah, faktor dasar kerohanian Pancasila, faktor konsep dan doktrin
yang berkembang, faktor internasional dan faktor geografi dan demografi. Menghubungkan
antara konsep Negara Berdasarkan Hukum dengan faktor-faktor yang mempengaruhi Negara
Berdasarkan Hukum, maka konsep Negara Berdasarkan Hukum merupakan desain yang
fungsional sebaliknya bukan desain yang bersifat kaku. Satjipto Raharjo, ”Pembangunan
Hukum Nasional Dan Perubahan Sosial” di kutif dalam Bahan Kuliah atau Hand Out Mata
Kuliah Politik Hukum dalam kegiatan Penataran Alih Tahun (PAT), Bagi Mahasiswa Baru
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya 2006.
377
peraturan negara.572
Perpaduan yang harmonis antra preferensi politik hukum atau rechtpolitiek dan
sosiologi hukum atau rechtsoziiologie, dapat dirumuskan ide -ide dasar, basis, sistem
dan tujuan hukum yang hendak dibangun dan berkorespondensi dengan kondisi-
undangan.573 Selain itu, secara vertical dan horizontal terdapat sinkronisasi hukum
yang bersesuaian, mengandung, nilai kepastian hukum dan tidak bertentangan satu
572
A. Hamid S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisa mengenai Keputusan presiden
yang berfungsi pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm.311
573
Pandangan dari paradigma Inter-Komplementer ditinjau dari prespektif ilmu,
bangunan ilmu baik yang bersifat teoritik maupun yang bersifat empiris keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat. Suatu praktik ilmu dapat memperoleh pembobotan terhadap
kualitas teoritik, berujung kepada peningkatan validitas ilmiah. Sedangkan pada sisi lain
melalui penerapan ilmu dalam praktik (empiris) dapat ditemukan unsur-unsur baru yang
berguna bagi mengkritik terhadap teori ilmu. Jika dihubungkan dengan dengan wacana
agama, seperti terjadinya simbiotik mutualistik, ketika suatu ilmu (teoritik) diterapkan dalam
bentuk aksi (empiris) yang kemudian disebut dengan “ilmu amaliah”, kemudian jika dibarengi
dengan aktivitas yang bersifat praksis (empiris) berdasarkan kaidah ilmiah selanjutnya
disebut “amal ilmiah”. Dengan melalui dua pendekatan yang integral ini, empirisitas
sosiologis dari bekerjanya ilmu di dalam masyarakat, dapat berfungsi bagi munculnya kritik
terhadap validitas suatu ilmu menurut doktrin tertentu maupun Undang-Undang. Lihat Busyro
Muqaddas.” Mengkritisi Asas-asas Hukum Acara Perdata”.2002. Dalam Jurnal Magister
Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002. Universitas Islam Indonesia. hlm.26.
574
Ibid
378
bahwa:
dari hukum. Lebih dari itu, ia ditentukan oleh peranan yang dinamis dari kekuatan-
konseptual
semata, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana substansi hukum tersebut selaras
harus dimaknai sebagai upaya untuk mengangkat nilai-nilai hukum baru yang hidup
hukum baru inilah yang merupakan landasan filosofis bagi substansi hukum yang
baru, serta memiliki relevansi dengan filosofi tujuan negara yaitu mewujudkan
575
Gunthur Teubner, “Substantive and Reflexive Elements in Modern Law”, law and
Society Review. 1983. The Journal of The Law and Society Association, 17 (2), h.427
379
Peradilan Agama yang ada sampai sekarang ini dalam lingkaran sejarah
oleh pemikiran manusia, mengenai apa yang menjadi landasan eksistensi sesuatu
itu. Landasan tersebut dapat dilihat dari sudut cita - cita hukum dan pola pikir
masyarakat Indonesia sejak Islam datang sampai sekarang masih diwarnai oleh
ajaran Islam. Hal itu berkaitan erat dengan falsafah hukum Islam yaitu setiap qaidah
atau aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik qaidah itu
merupakan ayat al-qur‟an, hadis, pendapat sahabat dan thabi‟in, maupun pendapat
yang berkembang pada suatu masa dalam kehidupan umat Islam atau pada suatu
bidang tertentu.576
Agama dapat dibagi kedalam dua pendekatan sebagai berikut: Pertama, alasan
filsafati yang digali dari nilai tertinggi dalam ajaran agama Islam yaitu bersumber dari
576
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hlm.36.
577
Dari falsafah hukum Islam itulah kita dapat mengungkap ruh syariat yang dibawa Al-
Qur‟an atau diilhamkan ke dalam jiwa para ahli Al-Qur‟an, baik mereka hakim mauoun mufti.
Singkat kata, falsafah hukum Islam adalah sendi-sendi hukum, prinsip-prinsip hukum
(sumber-sumber hukum), kaidah-kaidah hukum, yang diatasnyalah dibina Undang-Undang
Islam. Ibid, hlm.37.
578
Rasulullah saw, di Madinah dalam usaha dakwahnya, selain bertugas menyeru dan
menyampaikan ajaran-ajaran Allaw Swt kepada umat manusia, beliau juga ditugaskan
memutuskan hukum dan menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi ditengah
380
hukum dalam bentuk sangat sederhana, disebut dengan lembaga tahkim,580 tetapi
memiliki ruang lingkup kewenangan yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada
urusan al-ahwal al syakhsyiyah, tetapi mencakup pula hukum pidana atau al-jinayah,
yang pada saat itu disebut sebuah institusi peradilan umum bagi umat Islam.
Prinsip tertinggi dalam ajaran Islam bertumpu pada keyakinan akan keesaan
Allah atau tauhidullah,581 dan seluruh fenomena kehidupan ini dipandang sebagai
ekspresi dan refleksi dari keesaan Allah SWT. Dari perspektif tauhidullah582 tersebut,
Islam tidak memaksa manusia untuk memeluk agama Islam, tetapi sekali seseorang
menyatakan diri memeluk agama Islam, maka dia dituntut untuk menundukkan diri
secara totalitas pada sistem nilai-nilai dalam Islam, termasuk pada sistem hukumnya.
Karena Islam dan hukum Islam selalu beriringan dan tidak bisa dipisah-pisahkan,583
dan mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada hukum
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Hal ini diperkuat dengan paradigma theorie
anggota masyarakat. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1970, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, hlm.12
579
Abdul Manaf, Loc.Cit.
580
Abdul Rachmat Budiono. Loc.Cit.
581
Herman Soewardi, Ibid, hlm.217-228.
582
Tauhid bukan saja hanya meng-Esa-kan Allah S.W.T., seperti yang diyakini kaum
monoteis melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan atau unity of creation, kesatuan
kemanusiaan atau unity of mankind, kesatuan tuntunan hidup atau unity of guidance dan
kesatuan tujuan hidup atau unity of purpose of life, yang semuanya merupakan derivasi dari
kesatuan ke-Tuhanan atau unity of Godhead. Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid
merupakan sebuah pandangan umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa
dan sejarah manusia. Lihat Fathurrahman Djamil. Loc.Cit.
583
Daud Ali, “Undang-undang Peradilan Agama”, Panji Masyarakat, (ed), No. 463
Tanggal 1-10 Januari, 1990, Jakarta, hlm.71.
584
H.Ichtijanto S.A.(I). “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”.
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Loc.Cit.
381
receptio in complexu, teori ajaran Islam tentang penataan hukum585, dan teori
Nilai tertinggi dalam ajaran agama Islam dan paradigma teori yang secara
tegas menyebutkan alasan filsafati, melahirkan asas hukum Peradilan Agama yang
lebih dikenal dengan sebutan “asas personalitas keislaman”, sebagai prinsip yang
sifatnya “wajib” serta menjadi identitas kepribadian yang menyatu di dalam diri setiap
mulsim. Sebagai tindak lanjut kewajiban mengamalkan ajaran agama, maka umat
hukum yang sesuai dengan hukum-hukum Allah (hukum Islam). Demikian pula
alasan keberadaan Peradilan Agama yang merupakan kewajiban kolektif atau fardhu
kifayah, yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilaksanakan dalam keadaan
parameter primer yang bersifat absolut, maka tidak boleh dikesampingkan dengan
alasan apapun karena berakar pada hukum Agama Islam yang telah ditransformasi
menjadi asas hukum nasional. Substansi dari parameter primer adalah “beragama
Islam” atau yang lebih dikenal dengan asas personalitas ke-Islaman. Parameter ini
indikator yaitu: sengketa yang menyangkut seseorang muslim dan sengketa yang
585
Lihat Q.S.2 Al-Baqarah: 208, Q.S. 33 Al-Ahzab:36, Q.S. 5 Al-Amaidah: 44, 45, 47,
Q.S.4 An-Nisa: 59, Q.S. 24 An-Nur: 51 dan 52.
586
Victor Tanja, Forum Rancangan Undang–undang Peradilan Agama, Editor,
No.48/Th II, Jakarta, 5 Agustus 1989.
587
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, 1983, Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, hlm.29.
382
bermula dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum
Islam588.
harus sesuai dengan nilai ajaran agama Islam sebagai landasan filsafati dan
terdapat dalam theorie receptio in complexu, teori ajaran Islam tentang penataan
27 ayat (1) Undang–undang Dasar 1945,589 sebagai pasal yang mengatur tentang
setiap warga negara di bidang agama, sebagimana di atur dalam Pasal 29 ayat (2)
generalis dan lex specialis, yang menyebabkan adanya kekhususan hukum untuk
588
H.A.Mukti Arto. Loc.Cit.
589
Berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
590
Berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
383
antara agama dan negara; kedua, bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
ketiga, kebebasan beragama dari arti positif; keempat, atheisme tidak dibenarkan
maka sangat logis jika negara hukum Indonesia dinamakan negara hukum Pancasila
agama dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.593 Salah satu
adalah memasukan nilai-nilai filsafati agama Islam, berupa hukum Islam bidang
tertentu yang bersumber dari al-qur‟an, as-sunnah, dan fiqih yang ditransformasi ke
dalam hukum produk legislasi nasional melalui cara penetrasi substansi dan cara
penetrasi formal.
politik hukum agar sesuai dengan nilai filsafati dan negara hukum Pancasila yang
591
Ismail Suny. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Op.Cit. hlm.79.
592
Muhammad Tabir Azhary. 1992. Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 38-44.
593
Oemar Seno Adjie. Loc.Cit.
384
dalam kurun waktu tumbuh suburnya agama Islam yang didalamnya terdapat ajaran
tentang norma mengenai sistem peradilan sebagai suatu prinsip yang utuh,
Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya atau
Peradilan Agama merupakan sui generis bagi umat Islam Indonesia. Peradilan
Agama ada atau exist karena terkait dan/atau dipengaruhi oleh budaya masyarakat
muslim Indonesia. Sepanjang masyarakat muslim patuh dan taat, serta tunduk
Peradilan Agama akan tetap ada, meskipun seandainya pihak penguasa berusaha
menghapus Peradilan Agama baik secara politis maupun hukum melalui peraturan
perundang-undangan, namun Peradilan Agama akan tetap ada yakni dalam bentuk
quasi peradilan.596
594
Karel A. Steenbrink. Loc.Cit.
595
Pada komponen kultural, harus adanya peran aktif masyarakat guna menghasilkan
sebuah budaya hukum yang baik berbasis kepada nilai dasar hukum yaitu keadilan dan
kepastian hukum. Lihat Adnan Buyung Nasution (“et.al”), 1999, Konsursium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Idependensi Pearadilan
(LeIP). Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman.Jakarta, ICEL, hlm.8-9.
596
Jaenal Aripin, Loc.Cit.
385
turun atau pasang surut597, akan tetapi karena keterkaitannya dengan budaya
Peradilan Agama, yang sekarang ini menjadi salah satu dari lembaga peradilan
masyarakat sesuai dengan dinamika kesadaran umat Islam yang meyakini Islam
sebagai sistem kehidupan dengan nilai kebenaran yang telah ditentukan oleh Allah
SWT.
Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis bagi orang Islam di Indonesia
Islam demikian pada dasarnya dapat dipaksakan.599 Dapat ditelusuri dari perjalanan
sejarah penerimaan hukum Islam, yang ke dalam dua periode. Pertama, periode
597
Seiring dengan perombakan peradilan kolonial, pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1948 mengeluarkan satu undang-undang tentang susunan dan kekuasaan
badan-badan kehakiman dan kejaksaaan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948.
Ternyata Undang-Undang ini jelas menghendaki dihapuskannya Peradilan Agama sebagai
lembaga yang berdiri sendiri. Taufiq Hamami, “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di
Indonesia”, (ed), Mimbar Hukum, No.59 Thn.XIV, 2003, hlm.21.
598
Relevan dengan perhatian primary rules adalah terhadap perbuatan-perbuatan yang
seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan individu. Itu berarti primary rules adalah norma-
norma yang dianut masyarakat. Abdul Manaf. Loc.Cit.
599
Abdul Rachmat Budiono. Loc.Cit.
386
Kedua periode tersebut dijadikan dasar keberlakuan hukum Islam dalam tata hukum
nasional di Indonesia, yang telah mendapat pengakuan sebagai bahan baku bagi
sources dimulai sejak Bangsa Indonesia lahir secara de yure, dalam kurun waktu
tersebut telah ada tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia tersebut,
Atas dasar tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia tersebut, sudah
Dasar 1945, memfungsikan seluruh kekuasaan negara salah satu melalui sarana
600
Munawir Sjadzali, “Keberadaan Departemen Agama Merupakan Jaminan Bahwa
Republik Indonesia Bukan Negara Sekuler”, dalam Rachmat Djatnika. 1991. Hukum Islam di
Indonesia Perkembangan dan Pembentukan. Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm.75.
601
Sirajuddin M. 2008 . Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, hlm.v.
387
Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tentram, dan tertib.602 Pasal 27 ayat (1) Undang–undang Dasar 1945 menyatakan:
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Sedangkan Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang–undang Dasar 1945 juga menyatakan:
kepercayaannya itu
602
Baca Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
388
Agung bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan, yang dibekali dengan
hukum antara603 yang memberi ruang lingkup tujuan kekuasaan kehakiman, serta
603
Meminjam teori hukumnya Hans Kelsen atau Stufenbau des rechts. Lihat Lili Rasjidi,
1991, Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?), Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 45. Menurut
teori ini berlakunya suatu hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi
kedudukannya yakni: 1) ada cita-cita hukum atau rechtsidee yang merupakan norma
abstrak; 2) ada norma antara atau tussen norm, generelle norm, law in books yang dipakai
sebagai perantara untuk mencapai cita-cita; dan 3) ada norma konkrit atau concrete norm,
sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan. Lihat Taufiq,
”Transformasi Hukum Islam ke Dalam Legislasi Nasional”, Jurnal Mimbar Hukum No. 49
Tahun XI, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Juli-Agustus 2000, hlm. 8.
604
Bustanul Arifin, “Peradilan Agama di Indonesia”, Mimbar Hukum, No.10. Thn.IV,
1993, hlm.1.
389
membentuk fungsi Peradilan Agama sesuai dengan landasan konstitusi dan undang-
undang organiknya. Serta diproyeksikan ke depan sesuai dengan politik hukum yang
penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak
lain, dengan tetap mempertahankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Isu hukum kewenangan Peradilan Agama yang timbul dari adanya suatu
fenomena, polemik atau delimatis dari aturan serta implikasi hukum Peradilan
Agama, mempunyai ekses yang sangat luas dalam masyarakat hukum sebagai
pencari keadilan, para praktisi hukum (pengemban praktik) dan para penstudi
penjabaran secara konkret, aktual, dan faktual untuk mengeliminasi topik persoalan
yang menjadi perguncingan tentang norma hukum yang mengakibatkan titik taut
605
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut
selain merupakan peristiwa hukum dan peristiwa politik, sangat erat kaitannya dengan
keyakinan umat. Muchtar Zarkasyi, “Kerangka Historis Pembentukan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989”, (ed), Mimbar Hukum, No. 1 Thn.I, 1990, hlm.1.
390
sebagai berikut:
5.3.6.1. Isu Hukum : Latar Belakang Kelahiran Pasal 50 Ayat (1) dan (2)
Peradilan Umum
sangat ditentukan oleh latar belakang sejarah kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tidak tersentuh oleh Undang-
Pasal tersebut memiliki hubungan yang sangat kuat dengan realita sejarah,
realita norma hukum dan realita politik hukum yang menunjukkan bahwa adanya
system hukum Islam. Sehingga diasumsikan norma hukum yang mengakibatkan titik
umum bukanlah terjadi secara alamiyah, melainkan ada unsur kesengajaan, yakni
ditimbulkan oleh pola pikir sistem kolonialisme pada masa penjajahan, yang
kemudian pola pikir tersebut hidup dan berkembang serta melahirkan rekayasa dari
Peradilan Agama pada masa lalu dan hingga sampai saat ini.
Peradilan Agama dan Peradilan umum murni disebabkan oleh karena konflik
391
kepentingan, yang mengandung arti konflik nilai–nilai sosial dan budaya secara
wajar. Maka akan selesai dengan sewajarnya, karena setiap masyarakat memiliki
daya serap dan daya adaptasi terhadap system nilai asing, namun jika konflik sistem
nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artificial (buatan)
sesuai dengan kebutuhan politik, maka sulit menghapus konflik itu secara tuntas.
Pandangan peneliti terhadap latar belakang kelahiran Pasal 50 Ayat (1) dan (2)
punten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, adalah hasil
dari politik artificial (buatan) bukan karena timbul secara wajar, dengan
dapat dilepaskan dari sejarah, artinya lahirnya institusi Peradilan Agama bukan
ditemukannya dalam ajaran Islam ada norma yang mengatur tentang peradilan,
606
Menurut Bierstedt, keberlakuan sosiologis suatu kaidah hukum ditentukan oleh
kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma hukum, didasarkan kepada 4 (empat) hal
yaitu: 1) indoktrination, membicarakan tentang kenapa masyarakat mematuhi atau taat
kepada hukum, adalah karena masyarakat telah mengalami indoktrination untuk berbuat
sejak dari masa kecil manusia dididik untuk taat pada hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. 2) habituation, sejak kecil manusia atau masyarakat telah mengalami proses
sosialisasi, sehingga membentuk masyarakat yang taat kepada hukum. 3) utility,dikarenakan
sudah merupakan kodrat manusia yang hendak hidup dalam tatanan yang tertaur.akan tetapi
teratur menurut seseorang belum tentu teratur menurut orang lain; dan 4) group identification,
patuh kepada hukum merupakan salah satu untuk mengadakan identifikasi dengan
392
kebutuhan serta target politik dan ekonomi dari pemerintah kolonialisme Belanda.
ajaran agama Islam, karena dianggap sebagai tantangan untuk mewujudkan cita-cita
kolonialisme.
Pola pikir politik kolonialisme tersebut masih menjelma dalam politik hukum
sistem Peradilan Umum, adanya anggapan bahwa tidak ada hubungan antara
negara dengan agama. Hal ini bertolak belakang dengan konsep negara hukum
Kedua, pertimbangan hukum dari perspektif hirarki norma dan elaborasi norma.
Diasumsikan bahwa kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor
prasyarat hirarki norma dan elaborasi norma dari yang lebih tinggi. Pangkal hirarki
norma diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
kelompoknya. Lihat Bierstedt. 1985. The Social Order. Tokyo. Mc. Graw Hill Kogakusha.
hlm. 227-229.
607
Paul Scholten menegaskan bahwa kesadaran hukum itu adalah tidak lain dari
pada suatu kesadaran yang ada di dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan
taat kepada hukum. Lihat Abdurrahman.1979. Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan
di Indonesia. Alumni. Bandung.
393
dalam undang-undang”. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (3) dari Undang–
peradilan. Terkait dengan lahirnya norma hukum Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
kehakiman yang merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagai
hukum sebagai sarana mewujudkan nilai dari tuntuan sejarah dan tuntutan hukum,
Mencermati peran legislatif dalam kurun waktu politik hukum pembentukan yang
tercermin dari peran partai politik yang berasaskan perjuangan nilai-nilai ajaran Islam
ternyata sangat kecil, untuk mengkritisi masalah teknis yuridis yang menyangkut
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik
Agama, yang terwujud dalam Pasal 50 ayat (2), tanpa menolak gangguan atau
disturbance yang menjelma dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006. Lebih parah lagi pola pikir politik hukum titik taut (aanknopingspunten)
titik taut (aanknopings punten) ditemukan dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang
Pandangan peneliti seputar kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006, yang bias ke dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah, dapat disimpulkan bahwa masih
di warnai oleh politik hukum artificial yang menyimpang dari prinsip hirarki norma dan
elaborasi norma. Diperparah dengan lemahnya peran dan posisi tawar elit politik
Islam dalam lembaga legilsatif terhadap masalah teknis yuridis yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan. Hal ini
sesuai dengan ungkapan Daniel S. Lev bahwa: keadaan politik dan sosial dalam
penguasa politik, walaupun lahir memeluk agama Islam, tetapi sering bersikap
608
Daniel S. Lev. Op.Cit. hlm.23.
395
kewenangan dari perspektif tujuan hukum atau politik hukum, dapat dipahami
sosial tertentu. Dengan kata lain studi hukum kritis ingin menunjukkan signifikan
Untuk mengungkap motif tujuan hukum atau faktor kepentingan dari Pasal 50
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menimbulkan titik
Umum, dapat dianalisis dari pandangan Roberto Mangabeira Ungger tentang critical
legal studi, yang merupakan sebuah metode pencarian (inquiry) adalah, dengan
budaya, etnik, gender serta agama) tentang hakikat hukum yang sebenarnya. 610
objectivisme. Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
609
Ifdhal Kasim.Op.Cit hlm.28.
610
Hamdhany Tenggara.2002. “Critical Theory, Critical Legal Theory, Critical Legal
Studies”, Bahan Kuliah, Perbandingan Hukum Perdata. Program Pasca Sarjana Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin.
396
sudut formalism merupakan suatu komitmen yang terbentuk dengan adanya suatu
pemahaman kebenaran tentang tradisi kolektif, yang lebih cendrung berdaya tipu
pembentukan hukum.
Jika ditelaah dari perspektif objectivisme terhadap Pasal 50 ayat (1) dan ayat
dan realita kehidupan sosial. Maka norma hukum yang menyebabkan titik taut
perspektif teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara dan teori perundang-
undangan. Demikian pula dari tujuan hukum sebagai wujud “ketertiban”, maka tidak
kepastian waktu dan prediksi. Kerugian terbesar adalah tidak adanya kemanfaatan
Peradilan umum tersebut jika dipahami dari teori politik hukum merupakan sebuah
kelanjutan atau kelangsungan politik Islam Hindia Belanda yang masih hidup dan
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan cerminan politik hukum prinsip pilihan
hukum.
Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak memiliki maksud untuk mencapai tujuan
397
hukum ketika dipahami dari perspektif objectivisme yang diuji kebenaran rasionalitas
dengan konsep ideologi, filosofis atau visioner dan kehidupan sosial dari lembaga
(aanknopingspunten) kewenangan.
Reformasi Birokrasi
pendapat Stephen Covey, seorang pengarang buku best seller ternama “7 habits of
highly effective people”, mengatakan bahwa: segala sesuatu diciptakan dua kali yaitu
di alam pikiran alam mental, kemudian baru direalisasikan di alam nyata”.611 Konsep
konstruksi mental dan realisasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
hukum, yaitu konsep teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara yang
dalam perspektif kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat dilakukan dengan metode
611
Dimitri Mahayana.1999. Menjemput Masa Depan, Bandung. PT Remaja
Rosdakarya. Cet.1, hlm.v
398
kehakiman dalam tradisi Islam. Yang selanjutnya di filterisasi melalui cita-cita hukum
norma antara atau tussen norm, generelle norm, law in books yang dipakai sebagai
umum yang baik sebagai asas mendasari norma hukum yang mengatur organ
penundukan diri ke dalam norma hukum. Khusus terkait dengan asas formalitas
penundukan diri dibagi menjadi dua pengertian yaitu: asas penundukan diri dalam
hukum materil dijadikan sebagai parameter bagi orang yang beragama Islam.
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan sebuah asas yang dicita-
keadilan. Asas tersebut merupakan sebuah asas impian yang sulit untuk ditemukan
keadilan procedural lebih dominan. Oleh sebab itu tata cara membangun lembaga
asas yang dapat mempercepat tercapainya asas sederhana, cepat dan biaya ringan
birokrasi.
asas sederhana, cepat dan biaya ringan berbasis reformasi birokrasi. Dihubungkan
1. Berbasis pada kedaulatan rakyat, dimana terdapat ruang bagi rakyat untuk
612
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara.
613
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
614
Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban Penyelenggara Negara.
615
Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
616
Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
617
Philipus M Hadjon, 1993 (et.all). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Administrative Law), Gajah Mada University, Yogyakarta, hlm.28.
400
sesuai dengan tugas dan fungsinyanya, namun memiliki sinergi satu dengan
lainnya.
8. Visi, misi dan tujuan yang jelas dalam menetapkan strategi kebijkan pemerintah
hukum dalam menata norma hukum kewenangan Peradilan Agama sebagai salah
perubahan paradigma yang tercermin dalam norma hukum bahwa bukan orientasi
kerja birokrasi, tetapi kepada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat atau publik
sebagai pencari keadilan yang harus mendapat pelayanan secara berkeadilan dan
berkepastian hukum.
401
tercermin dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagai cita-cita hukum atau
berikut:
Skema XIII
dengan cara dikonstruksi melalui “elaborasi norma” dan “penurunan prinsip norma”
(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang”.
Salah satu konsep yang dijadikan pijakan bagi pencari keadilan yang
5.3.7. Pedoman Bagi Praktisi Hukum Untuk Menentukan Suatu Perkara yang
kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak dapat dielakan
dan Peradilan umum tersebut, bersumber dari norma hukum yang terdapat dalam
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka
Skema XIV
Agama Nonislam
Fakta
Agama Islam
Orang
Subjek Hukum Obyek Hukum
Badan Hukum
Hak Milik/
Persitiwa Hukum Keperdataan Lainnya
Pasal 49
Kewenangan Kewenangan
Asas Hukum Peradilan Agama Peradilan Umum
Berlakunya Hukum
(Toepasselijk Verklaring)
pembidangan status subjek hukum yang tunduk dan dapat ditundukan kepada
sengketa hak milik atau keperdataan lainnya diatur secara berbeda bagi orang yang
Dalam parktek pembuktian dan penentuan sengketa hak milik dalam perkara
waris dan harta bersama dalam perspektif kewenangan mengadili, maka ada
Agama atau wewenang Peradilan Umum yang berhak mengadili, sebagai berikut:618
maupun di bidang harta bersama, hal ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (2)
hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya
kepada orang lain (pihak ketiga) namun pihak lain itu semuanya
beragama Islam, maka hal yang demikian ini menurut Ibu Mariana Sutardi
Peradilan Agama. Namun jika obyek sengketa tersebut dikuasai oleh pihak
lain (pihak ketiga) beragama non Muslim, maka sengketa milik diajukan ke
618
Lihat Materi Pelatihan Hakim Se-Jabodecitabek di Gedung MARI ,Jakarta tanggal.
31- 01 April 2008.
406
yang sudah Inkracht, setelah itu baru dapat diajukan kembali ke Peradilan
Agama dalam bentuk gugatan baru. Hal ni sejalan juga dengan Pasal 50
aya (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi : “Dalam hal terjadi
dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus
c. Jika kasus pembagian harta bersama ataupun sengketa waris yang subjek
ada hak milik pihak lain, maka terhadap obyeknya tersebut tetap diputus
2006).
lebih dari satu obyek dan yang tidak terkait dengan obyek sengketa yang
bidang kewarisan dan harta bersama tersebut adalah wewenang Peradilan Agama
atau wewenang Peradilan Umum, maka ada beberapa bukti (asas formalitas) yang
1. Buku Kutipan Akta Nikah (Merupakan alat bukti otentik) dengan melihat kepada
setelah bercerai salah satu dari mereka pindah ke Agama lain (Non
diperoleh dalam ikatan perkawinan yang dibangun secara Islam. Hal ini selaras
hubungan hukum , ditentukan oleh dua syarat : 1) Pada saat terjadi hubungan
619
Ibid
408
2. Bukti kependudukan (KTP atau keterangan Domisili) yang sah . Meskipun alat
sebab pengakuan saja tidak cukup dan alangkah lebih kuat sebuah pembuktian
dengan melihat bukti KTP atau Domisli menjadi wewenang Pengadilan Agama
Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas
didaftarkan ke PN oleh pihak Non Muslim (sebagai bukti surat gugatan yang
sudah diberi nomor perkara disertai dengan kwitansi panjar biaya perkara dari
maka dalam hal ini obyek sengketa tersebut harus diperiksa dan diputus lebih
dahulu oleh Pengadilan Umum. Hal ini untuk menghormati hak dan rasa
4. Agama Pewaris (asas personalitas ke Islaman) dalam hal ini jika seorang anak
ayahnya yang selama hidupnya beragama Islam, maka dalam kasus ini
409
penentuan sengketa hak milik dalam perkara waris dan harta bersama dalam
perspektif kewenangan mengadili terurai diatas, dijadikan sebagai titik taut penentu
yang menentukan hukum mana dan kewenangan peradilan mana yang harus
berlaku.
dalam perkara waris dan harta bersama dalam perspektif kewenangan mengadili.
kewenangan mengadili dilihat dari obyek hukumnya dan beberapa bukti (asas
peradilan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyandarkan kepada asas pilihan
hukum dan asas penundukan diri secara sukarela dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
620
Lihat asas-asas dalam hukum antar golongan, salah satunya adalah asas warisan
seseorang diatur oleh hukum personil orang yang mewariskan. Asas ini berasal dari Hukum
Perdata Internasional dan diikuti oleh yurisprudensi Indonesia. Gouwgioksiong di dalam
bukunya Hukum Antar Golongan mengemukakan beberapa putusan pengadilan yang
semuanya mengandung asas ini, yaitu: Putusan Hooggerechshof (HgH) 28 Mei 1885 dalam
Tijdschrift van het Recht (T) Jilid 45/20; Putusan Landraad 26 April 1925 dikuatkan oleh
R.v>J. Makasar 6 Desember 1929 dan 20 Juni 1930 (T.1933/327); Putusan R.V.J. Jakarta 8
Desember 1933 (T.139/91). Lihat Sunarjati Hartono, 1989, Op.Cit, hlm.87.
410
diberlakukan asas pilihan hukum karena perbedaan status agama para pihak.
Sesuai dengan asas hukum antar golongan mengenai pilihan hukum menyangkut
persoalan penundukan diri secara sukarela pada seluruh atau sebagian hukum.
Kedua, dalam sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, pilihan hukum
hanya dimungkinkan kedua arah yaitu, penundukan diri secara sukarela terhadap
kewenangan Peradilan Agama jika tidak ada bukti telah didaftarkan gugatan ke
Peradilan Umum atau penundukan diri terhadap kewenangan Peradilan Umum jika
diri secara sukarela pada seluruh kewenangan Peradilan Agama. Tetapi untuk pihak
yang beragama Islam hanya diberlakukan penundukan diri secara sukarela pada
sebagaian kewenangan Peradilan Umum. Karena sifat hukum (juridical nature) dari
istilah hukum yang digunakan yaitu asas personalitas keislaman, yang dipertegas
Keempat, penundukan diri salah satu pihak baik yang beragama Islam atau
nonislam dapat dilakukan kepada salah satu kewenangan Peradilan Umum atau
Peradilan Agama dengan alasan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya
merupakan wilayah hukum netral bukan hukum sensitif yang memiliki makna
imperatif.
411
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka standar pedomaan praktis
yang dapat dijadikan pedoman bagi praktisi hukum dalam menentukan ruang lingkup
status subjek hukum sebagai titik taut primer (primary points of contact) atau titik taut
pembeda
mencari keadilan serta uraian duduk perkara (posita) yang mendalilkan perlunya
duduk perkara (posita) berisi uraian subjek hukum dan obyek hukum, kemudian
disimpulkan tentang peristiwa hukum yang terjadi. Apakah dapat diajukan ke dalam
621
Cara berbuat menentukan apakah suatu persitiwa itu merupakan suatu peritiwa
hukum dinamakan kualifikasi fakta (qualification of fact). Tiap-tiap peristiwa terdiri dari
sekumpulan (serangkaian) fakta-fakta. Apabila kumpulan fakta-fakta atau peristiwa
merupakan peristiwa hukum dengan melihat kepada kaedah-kaedah hukum yang berlaku.
Ibid. hlm.90.
412
suatu persidangan dengan terlebih dahulu menentukan badan peradilan mana yang
Tahun 2006, berkenaan dengan ruang lingkup persitiwa hukum yang dapat
Umum untuk menyelesauikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan
parameter status agama pencari keadilan. Seperti diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan
ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dapat dilakukan dengan cara menelaah
secara sistemik tentang fakta, status subjek hukum sebagai titik taut primer (primary
points of contact) atau titik taut pembeda, status obyek hukum yang disengketakan,
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama yaitu Pasal 2, Pasal 49 dan Pasal 50
berbagai masalah lain yang terkait, sehingga untuk memberikan pemahaman yang
4). Fries ermessen dan prinsip good governance dalam pemerintahan sejauh
Keterkaitan berbagai aspek dan dimensi tersebut terhadap pokok masalah titik
saat melihat hukum sebagai ketentuan-ketentuan formal tertulis yang dibuat dan
414
2006 dihapus, dan diberikan kewenangan penuh bagi Peradilan Agama dalam
menyelesaiakan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Jika ada hubungan
langsung dengan pokok perkara atau peristiwa hukum yang berada dalam lingkup
kewenangan Peradilan Agama dan sedang diperiksa atau diadili oleh Peradilan
Agama. Dengan cara menerapkan asas menundukan diri secara sukarela, sehingga
umum tidak terjadi, khususnya dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau
kepertdataan lainnya.
hukum memiliki sifat dinamis, maka konsep politik hukum merupakan salah satu
faktor penyebab ke arah iure constituendo atau ius constitutum sebagai hukum yang
satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal tersebut, dapat dilihat dari
aspek bangunan tatanan yuridis formal sebagai kebijakan hukum yang dibuat oleh
622
Satjipto Rahardjo. Loc.Cit. hlm. 352.
415
bahwa kekuasaan kehakiman itu dinamis selalu terkait dengan dinamika sosial dan
Norma Hukum
politik hukum itu sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari
hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegaskan, dan kebijakan yang
berkaitan dengan hukum yang diberlakukan masa mendatang. Hal tersebut dapat
dilihat dari peringkat norma hukum dari yang tertinggi hingga yang terendah.
1945)
Peradilan Agama dalam norma dasar, setelah dilakukan amandemen yang berkaitan
sebagai berikut :
Pertama, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945, bahwa Peradilan Agama yang merupakan salah satu
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal tersebut memiliki relevansi
yang sangat akurat ketika dihubungkan dengan teori tujuan hukum, teori
Kedua, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (2) Undang-
undang Dasar 1945, bahwa adanya sistem peradilan di Indonesia yang disusun
dalam sebuah format yang kompak dan terpadu, bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
hukum dan keadilan.625 Cerminan politik hukum tersebut, memiliki relevansi dengan
623
Independensi kekuasaan kehakiman dalam 3 (tiga) pengertian: 1) structural
independence yaitu independensi kelembagaan; 2) functional independence yaitu
independensi dilihat dari segi jaminan pelaksanaan kekuasaan kehakiman; 3) financial
independence yaitu independensi dilihat dari segi kemandiriannya dalam menentukan sendiri
anggaran yang dapat menjamin kemandirian dalam menjalankan fungsi. Lihat Muchsin. 2004.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi. Jakarta, STIH IBLAM.hlm.5.
624
Ahmad Mujahidin. 2007. Peradilan Satu Atap. Bandung, Refika Aditama, hlm.13.
625
Tinjauan sejarah, pada awal kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia
belum menunjukan suatu penataan yang bersifat independen dan mandiri. Terbukti dari
susunan lembaga peradilan yang masih diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 1942
417
“elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” dari teori pemisahan dan
Ketiga, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945, bahwa adanya peluang politik hukum penataan fungsi dan
dan pembentukan norma antara atau tussen norm. Untuk terwujudnya pembagian
alasan apapun karena berakar pada norma hukum yang mengatur masing-masing
Kesimpulan arah dan kecendrungan yang dapat ditarik dari norma hukum
dasar atau staatsfundamentalnorm pada Pasal 24 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
undang Dasar 1945 bahwa Peradilan Agama memiliki kesejajaran, kemandirian dan
Agama khsusnya. Adapun cerminan politik hukum sebagai arah dan kebutuhan
tentang Susunan Peradilan Sipil dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan
dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Untuk lebih jelasnya mengenai
dinamika peradilan masa colonial dan pada awal kemerdekaan, bisa di baca dalam buku
Soetandyo Wingjosoebroto.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Suatu Kajian
Tentang Perkembangan Sosial Politik. Jakarta, GRasindo.
418
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai wujud konkrit dari
amanah Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa: “Badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”. Arah politik hukum yang tersurat dan tersirat dalam pasal tersebut,
memberi peluang kepada kekuasaan Negara untuk menata fungsi dan membagi
kehakiman sesuai dengan tujuannya untuk memberikan layanan hukum bagi pencari
keadilan.
Dasar 1945, telah dipertegas oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
419
prediksi tentang arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum bagi pencari
Peradilan Agama khususnya untuk masa yang akan datang, dapat dilakukan dengan
melihat peluang dan celah yang ditemukan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang
Dari uraian tersebut di atas, disimpulkan bahwa norma antara atau tussen
kebutuhan layanan bagi pencari keadilan yang beragama Islam atau perbuatan
cara merubah dan memasukan ke dalam norma hukum yang mengatur kewenangan
Peradilan Agama.
Agama)
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan, ditemukan politik hukum yang
menjangkau cukup luas bagi kewenangan Peradilan Agama. Hal tersebut dapat
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang menegaskan bahwa: “salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
undang Nomor 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini
karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama
Tahun 2006 yang menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku
421
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
yang terdapat dan telah diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
(dalam arti sempit) yang berkaitan dengan masalah pernikahan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, sedekah dan ekonomi syari‟ah. Sedangkan yang berkenaan dengan
626
Muhammad Muslih, Loc.Cit.
422
masalah hukum publik bidang pidana Islam (jinayah atau uqubat)627 belum diberikan
kewenangan dalam arti yang luas. Kewenangan yang sangat terbatas ini tentu saja
sistem hukum Indonesia sesaat setelah bola reformasi digulirkan pada tahun 1998.
Peraturan Daerah yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam, sehingga
Bernuansa Syariah.
627
Hukum pidana atau jinayah uqubat yang diatur dalam syariat Islam berkaitan
dengan: 1) perzinahan; 2) qadzaf (menuduh palsu zina); 3) shrub al-khamr (minuman-
minuman yang memabukan); 4) as-sariqah (pencurian); 5) al-hirabah (perampokan/
pengacauan keamanan); 6) al-riddah (murtad/keluar dari Islam); 7) al-baqhy
(pemberontakan); 8) jarimah pembunuhan ; dan 9) jarimah penganiayaan.
423
Daerah serupa yang kini rancangannya sedang digodok oleh eksekutif dan legislatif.
Gagasan dan kelahiran Peraturan Daerah bernuansa syariah, didukung oleh alasan
dan argumentasi masing-masing dan telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-
tengah masyarakat, termasuk dalam kalangan umat Islam sendiri. Sehingga harus
pelaksanaan syariat Islam secara formal. Hal tersebut dapat dianalisis dengan
serta teori hirarki631 norma hukum.632 Berikut ini ditampilkan bebapa produk hukum
628
Muhammad Fadhly Ase, “Mengkaji Ulang Eksistensi Peraturan Daerah Bernuansa
Syari‟ah: Sebuah Pendekatan Yuridis Normatif” Makalah, Hakim Pengadilan Agama Kisaran.
629
Memahami theorie receptio a contrario dapat digunakan pandangan Sayuti Thalib
yang menegaskan bahwa telah berkembang lebih jauh dari pandangan Hazairin. Terlihat di
beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat ada kecenderungan theorie
receptie dari Christin Snouck Hurgronje itu di balik. Seperti di Aceh masyarakatnya
menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan dan pidana diatur menurut hukum
Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh saja dipakai dengan suatu ukuran, yaitu
tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
630
Otonomi Daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan
instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bagir Manan
pernah mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan
Republik Indonesia.
631
Hirarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, secara terperinci meliputi: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3)
Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah.
632
Dalam teori ini, yang dikaji adalah aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan
pemberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum
dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan hukum di Indonesia tetap harus
424
19. Peraturan Daerah Kab. Maros Nomor 9 Tahun 2001 tentang Larangan
Pengedaran, Memproduksi, Mengkonsumsi Minuman Keras Beralkohol,
Narkotika, dan Obat Psikotropika
20. Peraturan Daerah kota Solok Nomor 6 Tahun 2002 Tentang ajib
berbusana Muslimah
21. Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor Tahun 2002 Tentang
Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tunasusila dalam Kabupaten Lahat
22. Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Larangan tempat maksiat
23. Peraturan Daerah Bulukumba Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pelarangan
Penjualan Minuman Keras
24. Peraturan Daerah Kab. Lombok Timur Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Minuman Keras
25. Peraturan Daerah Kab. Lombok Timar Nomor 9 Tahun 2002 tentang
zakat
26. Peraturan Daerah Kab. Bima Nomor 2 Tahun 2002 tentang Jum‟at
Khusyu‟
27. Peraturan Daerah NAD Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar
dan sejenisnya
28. Peraturan Daerah NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian)
29. Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Qanun) Istimewa Aceh No. 14 Tahun
2003 tentang Khalwat (Mesum)
30. Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Tulis Al-Qur‟an
31. Peraturan Daerah Padang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kewajiban
Membaca Al-quran di Padang.
32. Peraturan Daerah Kab. Solok Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
33. Peraturan Daerah Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2003 tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah
34. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 Tentang
Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi bagi para siswa, Mahasiswa dan
Karyawan
35. Peraturan Daerah Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2003 tentang Revisi
Renstra Kab. Tasikmalaya (memuat visi religius Islami).
36. Peraturan Daerah Kab. Indramayu Nomor 2 Tahun 2003 tentang Wajib
Relajar Madrasah diniyah Awaliyah
37. Peraturan Daerah kabupaten Ketapang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
pelarangan prostitusi
38. Peraturan Daerah Kab. Hulu Sungai Utara Nomor 23 Tahun 2003
tentang Ramadhan
39. Peraturan Daerah Kota Makassar no. 2/2003 tentang Zakat Profesi,
Infaq, dan Shadaqoh
40. Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 7 Tahun 2003 tentang
Memberantas buta aksara Al-Qur‟an pada tingkat dasar sebagai
persyaratan untuk tamat Sekolah Dasar dan diterima pada tingkat
pendidikan selanjutnya
426
Fakta formalisasi syariat yang sedang marak di pelbagai daerah di tanah air
dalam bentuk Peraturan Daerah, dilakukan oleh legislatif dan eksekutif, merupakan
oleh para tokoh dan masyarakat beragam Islam khususnya. Adapun kondisi daerah
tersebut, secara sosiologis memang sudah sejak dulu mempunyai kultur ke Islaman
Kajian terhadap fakta formalisasi syariat dan aplikasi syariat Islam dalam
konteks tulisan ini, tidak berkaitan dengan nuansa politik Islam dan umatnya pada
masa lalu, yang mengusung Islam sebagai perjuangan ideologis untuk mendirikan
masa lalu dengan masa kini yang sedang dan akan dilaksanakan oleh masyarakat
dan Pemerintah Daerah. Tetapi, tampilan masyarakat Islam saat ini dalam
427
“rahmatan lil‟alamin”.
yang memerlukan format atau bentuk hukum tertentu untuk disepakati bersama,
maka format dan bentuknya adalah produk hukum daerah atau yang lebih dikenal
“lex superiore derogat lex inferiore‟ maka secara hirarkis peraturan perundang-
sebagai berikut:
1. Peraturan Daerah anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya seperti yang
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 08 tahun 2005 tentang
2. Peraturan Daerah yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat
(zakat, infaq, wakaf dan shadaqah) seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah
Kota Bukit Tinggi nomor 29 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Peraturan
Daerah ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih lanjut dari Undang-
428
berstatus otonomi, biasa ditemukan adanya berbagai hal yang menjadi landasan
historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) Undang-
3). Jenis-jenis Peraturan Daerah bermuatan syariah yang telah diproduk beberapa
a). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan isu moralitas masyarakat
secara umum, anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya seperti yang
b). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan fashion, keharusan memakai
seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
4). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari
Pengelolaan Zakat.
depan dari sudut yuridis formal peringkat norma hukum dan arah serta
memformulasi syariat Islam dalam wujud Peraturan Daerah, maka dapat diprediksi
tentang arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum bagi pencari keadilan
bidang penegakkan hukum perdata Islam dalam skala yang lebih luas lagi dan
hukum pidana Islam yang secara khusus diberlakukan bagi umat Islam. Adapun
wacana yang dapat dijadikan kewenangan baru bagi Peradilan Agama cukup
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dengan alasan sebagai berikut:
dalam setiap tahun calon jamaah haji meningkat dan memerlukan perlindungan
ibadah haji Sehingga upaya mewujudkan keadilan dan kepastian hukum terhadap
lembaga hukum penyelenggara haji yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan
tindakan yang merugikan hak-hak calon jamaah haji, maka upaya memperoleh
perlindungan hukum tidak memiliki jalur penegakan hukum yang jelas dan tepat.
Sebagai hasil dari prediksi arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum
bagi masyarakat yang beragama Islam, maka perbaikan cakupan materi undang-
konsumen ibadah haji adalah orang yang beragama Islam, yang memerlukan
politik dan socio cultural, peluang yuridis dan politis, peluang yuridis sosial dan
Peradilan Agama menyelesaikan sengketa haji, ditelaah dari sudut peluang adalah
sebagai berikut :
Pertama, peluang politik dan socio cultural, maka hukum Islam dapat
berkembang melalui jalur partai politik yang beridentitas nama, asas, atau lambang
penyelenggaraan haji. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perkembangan
hukum Islam melalui jalur cultural, sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, memberi kesempatan yang lebih
luas kepada umat Islam untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan ibadah haji,
yang memiliki nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan berujung pada
633
Warkum Sumitro. 2005. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial
Politik di Indonesia. Malang. Bayumedia, hlm.221-234.
432
undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka arah dan
kecendrungan yang tepat untuk membuka tabungan ongkos naik haji pada bank
syariah atau bank umum yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari‟at.
Agama.
ditawar-tawar lagi karena secara sosiologis-yuridis hal ini merupakan kehendak dari
Perundang-undangan
perjalanan sejarah dari dahulu hingga sekarang kewenangan Peradilan Agama lebih
kental diwarnai nuansa politis dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa
yuridisnya. Meskipun status dan kedudukan sudah dilepas dari kekuasaan eksekutif
dan dimasukkan ke kuasaan yudikatif, sebagai tindakan nyata dari politik hukum
peradilan satu atap. Akan tetapi secara kemandirian dan idenpendensi Peradilan
Nomor 3 Tahun 2006 diwarnai dengan politik hukum perluasan kewenangan bagi
Terkait Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006
sebagai produk Perubahan dari Pasal 50 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, belum sepenuhnya didasari oleh prinsip reformasi hukum
Islam dalam masyarakat. Sebab, dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang
Nomor 3 Tahun 2006 tidak melakukan perubahan peletakan tugas dan wewenang
secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan ruang lingkup
atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang merasa dirugikan
Nomor 7 Tahun 1989 tersebut dibuka walau tidak seluas-luasnya, sehingga belum
sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (1)
sebagai refleksi sensitivitas agama, dapat dipahami dari tiga lingkup utama politik
hukum yang meliputi: politik pembentukan hukum, politik mengenai isi hukum (asas
dan kaidah) hukum; dan politik penegakan hukum,634 menyisakan titik taut
Agama, kemudian masih menjelma dalam produk hukum perubahan tepatnya dalam
634
A. Latief Fariqun, Loc.Cit.
435
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan umum merupakan cerminan dari: Pertama, politik Islam Hindia Belanda,
yang tidak mau bersikap netral (sentimen relegius) terhadap perkembangan agama
Islam,635 melalui pola pikir politik devide et impera, dengan metode “pendekatan
konflik”. Kedua, dengan politik hukum yang mengarahkan umat Islam untuk
menundukkan diri secara suka rela pada hukum kolonial seiring masuknya aliran
memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum Islam) secara gradual dan
sebuah asas hukum kemudiam dikenal dengan theorie receptie. Keempat, Politik
dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, sehingga Peradilan Agama menentukan sendiri
terjadi pada Tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. 1929:221
yang pada Pasal 134 (2) menentukan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi di
Indonesia kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum adat. Ketujuh,
Peradilan Agama tidak memiliki daya paksa untuk melaksanakan putusan, maka
putusan itu baru dapat dijalankan terlebih dulu diberi kekuatan oleh ketua landraad
635
Aqib Suminto, Loc.Cit.
636
Zainal Abidin Abu Bakar, Loc.Cit.
436
perkara waris dicabut pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda
dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Kesembilan, pilihan (opsi) hukum dan
dengan asas dan kaidah hukum Islam serta kesadaran hukum masyarakat muslim.
dalam produk legislasi nasional yaitu Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dirubah menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 berupa titik
taut kewenangan anatara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, sebagai wujud
politik hukum dalam norma hukum, yang dimulai atau disebabkan dari politik hukum
Oleh karena itu, peneliti dapat menyatakan bahwa, temuan teori dari penelitian
sekarang selalu dalam konflik kepentingan lebih disebabkan karena kental diwarnai
nuansa politis dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa yuridisnya, sehingga ke
637
Konsep “Ishlah” dipergunakan dalam upaya mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan ajaran moral Islam. Islam selalu
menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan Ishlah
(fa aslikhu baina akhwaikum). Lihat Yahya Harahap, Loc.Cit. Menurut Islam, apabila ada
perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Ishlah” (QS. 49:10). Lihat
Sulaikan Lubis, Loc.Cit.
437