Anda di halaman 1dari 340

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Latar Belakang Kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor

3 Tahun 2006 Yang Mengakibatkan Titik Taut (aanknopingspunten)

Kewenangan Antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum

5.1.1. Kilas Balik Dinamika Sejarah Kewenangan Peradilan Agama

Di Indonesia terdapat persaingan tiga sistem hukum172 yaitu hukum Islam,

hukum adat, dan hukum kolonial.173 Pada fase awal kemerdekaan, hukum Barat

”diakomodir” sesuai dengan kepentingan nasional yang didukung oleh nasionalis.

Hukum nasional Indonesia bersumber pada tiga hukum yang bersaing, sementara

hukum Islam dijalankan secara ”kultural” melalui lembaga-lembaga swasta (bukan

lembaga negara).174

Untuk memahami aspek filosofis sejarah berdirinya Peradilan Agama di

indonesia, perlu dilakukan pendekatan sosio-historis yaitu mendeskrifiskan kondisi

sosial dan politik dalam dimensi ruang dan waktu tertentu mengenai terbentuknya

Peradilan Agama di Indonesia dari lembaga agama Islam ke lembaga negara.

172
Jaih Mubarak (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN
SGD Bandung), “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia”, Artikel,
www.badilag.net
173
Ismail Sunny, ”Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,”
dalam Tjun Sumardjan (ed.). 1994. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, cet. ke-2, hlm. 73-81.
174
Karel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta, Bulan Bintang, cet. ke-1, hlm. 211-233.
101

Islam itu sebenarnya bukan hanya sekedar sebuah sistem teologi tetapi lebih

merupakan sebuah sistim nilai yang holistik, integral dan universal dari sebuah

peradaban yang lengkap, dapat dipahami dari optik norma-norma hukum yang

mengatur hubungan vertikal manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah,

dengan tuhannya atau hablum minallah, serta yang mengatur hubungan manusia

dalam kapasitasnya sebagai mandataris Allah yang dipercayakan sebagai pelaksana

fungsi managerial di bumi atau khalifatullah fil ardl dalam hubungannya dengan

sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya.

Ajaran Islam itu bertumpu pada pada sebuah pilar keyakinan akan keesaan

Allah atau tauhidullah,175 dan seluruh fenomena kehidupan ini dipandang sebagai

ekspresi dan refleksi dari keesaan Allah itu. Islam tidak memaksa manusia untuk

memeluk agama Islam, tetapi sekali seseorang menyatakan diri memeluk agama

Islam, maka dia dituntut untuk menundukkan diri secara totalitas pada sistem nilai-

nilai dalam Islam, termasuk pada sistem hukumnya. Karena Islam itu merupakan

sebuah total sistem, yang terdiri dari aqidah atau belief system, syari‟ah atau worship

system, muammalah atau social system, dan akhlaq atau personality system.176

Seperti yang diungkapkan oleh Akhmad Nor Zaroni, ketika membahas masalah

175
Tauhid bukan saja hanya meng-Esa-kan Allah s.w.t., seperti yang diyakini kaum
monoteis melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan atau unity of creation, kesatuan
kemanusiaan atau unity of mankind, kesatuan tuntunan hidup atau unity of guidance dan
kesatuan tujuan hidup atau unity of purpose of life, yang semuanya merupakan derivasi dari
kesatuan ke-Tuhanan atau unity of Godhead. Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid
merupakan sebuah pandangan umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa
dan sejarah manusia. Lihat Fathurrahman Djamil. 2006. “Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”,
dalam Kapita Selekta Perbanlan Syari‟ah Menyongsong Berlakunya Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (Perluasan
Wewenang Peradilan Agama), Pusdiklat Mahkamah Agung RI. hlm, 63-64.
176
Herman Soewardi, Op.Cit, hlm.237
102

mengapa harus ekonomi Islam jawabnya karena Islam sebagai sebuah sistem

kehidupan, yang ditampilkan dalam skema berikut ini:177

Skema III
Islam Sebagai Sistem Kehidupan

Islam Sebagai Sistem kehidupan

Sistem Ekonomi Sistem Politik Sistem Hukum Sistem Sosial Budaya

Aktifitas Ekonomi Aktifitas Politik Sistem Hukum Sistem Sosial Budaya

Islam Sebagai Sistem kehidupan

Sistem Islam Bersifat Integratif & Komprehensif

Skema tersebut di atas, sejalan dengan pandangan Abdul Qadir Audah yang

menyatakan bahwa:178 di dalam syariat Islam, unsur spiritual merupakan aspek

paling kuat dibandingkan dengan undang-undang maupun peraturan lainnya di dunia

ini. Karena syariat Islam menjadikan unsur spiritual (rohaniah) ini sebagai porsi

(bagian) tersendiri pada setiap nash-nash peraturannya dan setiap kaidah-kaidah

(rumusan-rumusan) pelaksanaannya, baik yang umum maupun cabang-cabangnya.

Itulah sebabnya, Islam mewajibkan kepada setiap muslim agar dapat menyesuaikan

177
Akhmad Nor Zaroni, 2006, “Sosialisasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama”,
Makalah, dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Bekerjasama Dengan Pengadilan Tinggi
Agama Samarinda, Tanggal,21-23 Desember 2006 di Hotel Grand Zamrud 2 Jl. Panglima
Batur 45 Samarinda-Kalimantan Timur
178
Abdul Qadir Audah,1985, Kritik Terhadap Undang-undang Ciptaan Manusia, Bina
Ilmu, 46
103

dirinya, pergaulan serta hubungannya dengan orang lain, dan setiap apa yang

bersumber dari dirinya sendiri berupa perkataan dan perbuatannya, semata-mata

kepada Islam, di atas dasar ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh agama

Islam sendiri.

Di dalam agama Islam tidak ada garis pembeda secara tegas antara ibadah

dan muammalah. Karena pengertian ibadah di dalam Islam adalah, melaksanakan

segala sesuatu menurut tata cara yang telah ditentukan dalam agama Islam dalam

rangka mencari keridhaan Allah. Dari perspektif inilah harus dipahami, mengapa

umat Islam memerlukan adanya sebuah pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan

hukum yang sesuai dengan hukum-hukum Allah (hukum Islam). Jadi Islam itu pada

akhirnya menjadi sebuah identitas kepribadian yang menyatu di dalam diri setiap

mulsim. Pengertian inilah yang kemudian disebut sebagai personalitas keislaman.

Personalitas keislaman ini telah menjadi benang merah yang menelusuri sejarah

pertumbuhan dan berkembangkan Peradilan Agama Islam di berbagai negara di

dunia ini, termasuk di indonesia.

Perjalan panjang sejarah Peradilan Agama Islam di Indonesia, dimulai sejak

masuknya agama Islam179 di bumi nusantara ini, sekitar abad ke 7 M. Namun dalam

rangka tulisan ini, perhatian akan difokuskan pada asas personalitas ke-Islaman,

sebagai suatu asas hukum, diberikan iklim yang kondusif untuk berkembang menjadi

179
Ramly Hutabarat menegaskan akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara
menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad
ketujuh dan ke delapan masehi. Sementara Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai
diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Lihat
Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam Di Indonesia; Dulu Dan Sekarang”, Makalah, Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif, Universitas
Indonesia Program Pascasarjana Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam
Kekhususan Kajian Islam, Jakarta, 2006.
104

sebuah lembaga hukum khusus, untuk memenuhi kebutuhan layanan hukum umat

Islam dalam atmosfir kekuasaan negara. Hal tersebut terkait erat dengan corak

politik hukum Islam yang dianut oleh suatu kekuasaan, yang telah memberikan corak

bagaimana cara pihak penguasa memahami hubungan antara asas personalitas ke

Islaman, hukum Islam180 dan lembaga hukum Islam pada satu sisi, berhadapan

dengan asas nasionalitas kebangsaan, hukum nasional, dan lembaga hukum

nasional pada sisi lain. Selanjutnya dapat dipahami bagaimana kekuasaan

menetapkan pola hubungan antara keduanya dalam sebuah kondisi politik yang

dikehendaki atas pertimbangan proteksi tehadap masa depan kekuasaan negara.

180
Istilah hukum Islam sering dipahami oleh orang Barat sebagai terjemahan dari
“Islamic Law” yang menyamakannya dengan istilah syari‟at, tasyri‟ dan fiqh. Untuk itu
selanjutnya akan dijelaskan masing-masing dari istilah di atas. Kata syari‟at dalam bahasa
Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tempat, baik tujuan manusia maupun
binatang. Syari‟at dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam arti
sumber kehidupan yang dapat menjamin kebutuhan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Oleh karena itu syari‟at dalam arti hukum Islam berarti hukum-hukum dan tata
aturan yang disampaikan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Syari‟at berarti sumber
hukum Islam yang tidak berubah sepanjang masa. Lihat Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat
Hukum Islam, Bandung, Unisba, hlm.10. Dalam bahasa Arab dijumpai kata syara‟a yang
berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama. Dengan demikian
kata tasyri‟ berarti pembuatan jalan raya itu. Dari pengertian tasyri‟ seperti ini kemudian
digunakan di kalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan garis-garis besar hukum
Islam, pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu kata tasyri‟ berarti
pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan
hukum-hukum praktis. Tasyri‟ terbagi dua yaitu tasyri‟ samawy (buatan Allah) dan tasyri‟
wad‟id (buatan manusia). Ibid., hlm.11. Fiqh dalam bahasa Arab berarti pengertian atau
pengetahuan. Fiqh pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan,
namun bersaman dengan perkembangan Islam, kata inipun berkembang hingga digunakan
untuk nama-nama sekelompok hukum-hukum yang bersifat praktis. Dalam peraturan
perundang-undangan Islam dan sistem hukum Islam, fiqh didefinisikan sebagai berikut :
Hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari‟at yaitu hukum-hukum yang penggaliannya
memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan dan ijtihad.
Dengan demikian makna fiqh telah menjadi suatu nama ilmu yang mempunyai makna
tertentu atau istilah khusus dikalangan ahli-ahli hukum Islam. Lihat Fazlur Rahman, 1979,
Islam, ed.II, Chicago-London, Chicago University Press, hlm.100.
105

Dipandang dari kondisi politik yang pernah dilalui oleh sejarah Peradilan

Agama, yang berarti pula sejarah hukum Islam di Indonesia, ditemukan ada tiga pola

hubungan, sebagai berikut:

5.1.1.1. Politik Kolonial Belanda Netral Terhadap Agama Islam

Kondisi politik yang melihat bahwa hukum Islam itu adalah layak dan adil jika

diberlakukan khusus bagi umat Islam. Negara hanya memberi kebebasan kepada

umat Islam untuk mengatur dirinya sendiri dalam dunia hukum, dan tidak akan turut

campur terlalu jauh dalam pembinaannya. Untuk kepentingan pengawasan terhadap

lembaga hukum Islam (pengadilan Islam) perlu diberikan dasar legalitas. Kondisi

politik ini, dinamakan theorie receptie in complexu dikemukakan oleh Lodewijk

Willem Christiaan van den Berg,181 menurut theorie receptio in complexu bagi setiap

penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing.182 Menurut teori ini bagi orang

yang beragama Islam berlaku penuh hukum Islam sebab mereka telah memeluk

agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-

penyimpangan.183 Kondisi tersebut ditegaskan oleh Muhammad Daud Ali bahwa:

theorie receptio in complexu yang berarti bahwa orang Islam Indonesia telah

melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai kesatuan hukum.184

Dalam perspektif sejarah dapat dipahami pertumbuhan teori tersebut

menunjukan bahwa sebelum VOC berkuasa banyak kerajaan-kerajaan Islam yang

181
H. Ichtijanto S.A.(I), “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan, hlm. 117.
182
Suparman Usman, 2001, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam tata Hukum Indonesia). Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm. 111.
183
Ibid
184
A. Qodri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta, Gama Media
Offset, hlm.154.
106

menerapkan hukum Islam.185 Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan hukum Islam

antara lain Kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,

Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai,

Pontianak, Surakarta dan Palembang. Di wilayah kerajaan tersebut diberlakukan

hukum Islam dan adanya lembaga Peradilan Agama186 dengan berbagai nama

(Kerapatan Kadhi, Hakim Syara, Pengadilan Surambi, dan sebagainya),187

merupakan tempat pengamalan hukum Islam dan adanya Peradilan Agama

merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah artinya sebagai tugas kewajiban

bersama.188 Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah,

tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku.

Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut

menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat

muslim masa itu. Fakta-fakta tersebut dibuktikan dengan adanya literatur-literatur

fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.189 Kondisi

terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.190

Uraian tersebut sesuai dengan teori ajaran Islam tentang penataan hukum,

menurut A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad adalah suatu teori yang

mendasarkan berlakunya hukum Islam berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah. Ajaran

penataan hukum tersebut dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah

185
Afdol, 2006, Op.Cit, hlm.44.
186
Ibid
187
H. Ichtijanto S.A. (I).Op.Cit, hlm. 118.
188
Afdol. Op.Cit.hlm.44.
189
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia
dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hlm.61-62.
190
Muhammad Ikhsan, Op.Cit..
107

teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di

masyarakat. Apabila ditinjau dari segi syari‟at Islam, maka hal tersebut tidak saja

disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Hal ini,

sesuai dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam, sebagai berikut: 191

Q.S.2 Al-Baqarah: 208, yang artinya sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,


dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.

Q.S. 33 Al-Ahzab:36, yang artinya sebagai berikut :

“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan Barang
siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata”.

Q.S. 5 Al-Amaidah: 44, 45, 47, yang artinya sebagai berikut :

44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)


petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan
mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu
menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.
45. dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang zalim.
47. dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah di dalamnya [419]. Barangsiapa tidak

191
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad, 2006, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ciawi-Bogor, Ghlmia Indonesia, hlm.67-69.
108

memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka


itu adalah orang-orang yang fasik[420].

Q.S.4 An-Nisa: 59, yang artinya sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Q.S. 24 An-Nur: 51 dan 52, yang artinya sebagai berikut :

51. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil


kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh".
dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
52. dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang-
orang yang mendapat kemenangan.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, Ichtijanto S.A. menegaskan bahwa

Islam mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada

hukum Islam,192 karena sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia

dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan

hukum menurut perspektif Islam bersumber pada Allah swt disampaikan kepada

Rasulullah Muhammad saw dalam bentuk wahyu Al-Qur‟an dan diimplementasikan

melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif yang

dikenal dengan istilah As-Sunnah.193 Kemudian ditopang pula oleh teori penerimaan

otoritas hukum merupakan suatu teori yang telah dianut oleh imam mazhab, yang

pada prinsipnya menegaskan bahwa hukum Islam menegaskan setiap seorang dan

siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, dengan

192
H. Ichtijanto S.A.(I), Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Op.Cit., hlm. 102.
193
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad.Op.Cit, hlm.68.
109

mengucapkan dua kalimat syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum

dan ajaran Islam.194 Teori ini diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen H.A.R.

Gibb, dalam bukunya the modern trends of islam, yang mengatakan bahwa orang

Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum

Islam dan taat untuk menjalankannya.195 Berkaitan dengan penulisan ini, teori

tersebut di atas merupakan sebuah prinsip filsafati agama Islam yang dijadikan

sebagai tolak ukur pemberlakuan hukum Islam dalam sistem hukum nasional.

Dengan adanya kesatu paduan antara ajaran Islam dengan umat Islam yang

begitu solid, karena kondisi sosial politik ikut memberikan bentuk dan warna bagi

kelangsungan hidup suatu institute. Asumsi ini diperkuat oleh tesis N.J. Coulson

mengatakan bahwa hukum senantiasa hidup dan berkembang sejalan dengan laju

perkembangan suatu masyarakat.196 Pendapat tersebut dapat dipahami melalui

kedudukan lembaga Peradilan Agama Islam sebagai simbol kekuasaan hukum Islam

di Indonesia.197

Theorie receptio in complexu dimaknai sebagai pengembangan politik netral

terhadap agama Islam, berupa kebijakan untuk tidak mencampuri masalah agama.

Hal ini merupakan pencerminan dari sikap kehati-hatian penguasa terhadap

masyarakat Islam. Mengingat Tingginya kualitas eksistensi Islam sebagai faktor

penghalang Belanda dalam memperluas kolonialisasinya, ternyata memancing

penguasa untuk mereformulasikan politiknya dalam menghadapi umat Islam,

194
Abdul Gafur Anshori. Op.Cit, hlm.16.
195
A. Rahmad Rosadi dan H.M. Rais Ahmad.Op.Cit, hlm.70.
196
Abdul Halim, 2000, Op.Cit.hlm.1.
197
Daniel S. Lev. 1986. Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih Bahasa Zaini Ahmad
Noeh dari Judul Asli, Islamic Courts in Indonesia a Study in The Political Bases of Legal
Institutions, Intermasa, Jakarta, hlm.18.
110

walaupun tidak mungkin menghapuskan pelaksanaan hukum Islam dan

menghilangkan keberadaan Peradilan Agama, tetapi telah berhasil mengerdilkan

kompetensi absolut Peradilan Agama.

5.1.1.2. Politik Kolonial Belanda Tidak Netral Terhadap Agama Islam

Pertentangan atau persentuhan ideologi dan politik antara umat Islam dengan

penjajah atau kolonialisme, digambarkan dalam sejarah sebelum kemerdekaan

dengan simbol politik Islam Hindia Belanda, yang tidak mau bersikap netral terhadap

perkembangan agama Islam.198 Dapat dimakanai ketika kolonial Belanda telah mulai

melihat bahwa untuk melestarikan kekuasaannya di Hindia Belanda, menghadapi

dua kekuatan besar yang dilihatnya sebagai ancaman masa depan. Untuk itu,

diambilnya kebijakan politik yang dikenal dengan devide et ampera, yang berati

“pecah belahlah dan kuasai”. Salah satu sikap pemerintah Belanda dalam

mematahkan perkembangan Islam mempergunakan metode “pendekatan konflik”

antara hukum Islam dengan hukum adat.199 Pada masa-masa itu bukan saja gejolak

politik dalam rangka kemerdekaan, namun juga gejolak reaksi masyarakat dan tokoh

Islam terhadap politik hukum Belanda. Terjadi pula peperangan sistem hukum,

terutama sekali antara hukum Islam dan hukum Adat yang dijadikan kuda tunggang

oleh penjajah. Sistem hukum Belanda sendiri hanya menjadi bayang-bayang dan

menjadi target terakhir.200

Dalam kurun waktu tersebut kekuasaan kolonial mulai mencari sebuah upaya

rekayasa ilmiah untuk membelah, mengadu, mengkonfrontasikan antara kelompok

Islam dan kelompok nasionalis, yang sebelumnya tidak pernah dikenal adanya

198
Aqib Suminto, Op.Cit, hlm.xii.
199
Dedy S. Truna dan Ismatu Ropi, Op.Cit. hlm.62.
200
A. Qodri Azizy, Op.Cit, hlm.186.
111

pemisahan sedemikian. Kemudian pemerintah kolonial Belanda mengambil

kebijakan mengkotak-kotakan penduduk Indonesia ke dalam empat kategori hukum,

dengan memberikan peluang kepada umat Islam untuk menundukkan diri secara

suka rela pada hukum kolonial. Hal ini terjadi berkaitan dengan masuknya aliran

pemikiran positivisme di Indonesia. Menurut Inggo J. Hueck terjadi seiring dengan

gelombang kolonialisme Eropa diabad ke-19, yang ditandai oleh pergeseran dan

perkembangan teori hukum yurisprudensial dan naturalisme ke positivisme.201

Sunaryati Hartono menyatakan bahwa ketika aliran positivisme masuk ke

Indonesia, timbul pemikiran penguasa Hindia Belanda pada saat itu untuk

memberlakukan hukum Belanda di Indonesia dengan asas konkordansi. Kebijakan

ini ditentang keras oleh pendukung Mazhab Sejarah seperti Van den Berg dan Van

Vollenhoven. Reaksi keras dari dari para ahli hukum adat itu kemudian melahirkan

Pasal 132 Indische Staatsregeling (IS) Stb.1855-2, yang melahirkan struktur Sistem

Hukum Indonesia terdiri dari 3 sub-sistem hukum yang berlaku secara bersamaan,

yaitu: sub-sistem Hukum Adat, untuk kalangan Bumi Putera; sub-sistem Hukum

Islam; dan sub-sistem Hukum Barat.

Langkah berikutnya, kolonialime Belanda melembagakan adanya hukum adat

sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang dipersiapkan sebagai sarana politik

devide et ampera. Selanjutnya, untuk membelah dan memisahkan umat Islam dari

agama Islam (hukum Islam) secara gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah

Pemerintah kolonial Belanda menciptakan sebuah asas hukum kemudiam dikenal

dengan theorie receptie.

201
Inggo J. Hueck, “The Dicipline of the History of Internasional Law-New Trends and
Methods on the History of Internasional Law,” (2001) 3 Journal of the History of Internasional
Law 194, hlm.203
112

Dalam membedah theorie receptie sebagai teori yang menentang theorie

receptio in complexu dapat diambil dari beberapa pandangan seperti yang

dikemukakan oleh Suparman Usman, menegaskan bahwa hukum Islam tidak

otomatis berlaku bagi orang Islam. Jadi hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau

ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. Sehingga yang

berlaku bukan hukum Islam tetapi hukum adat.202 Selanjutnya Busthanul Arifin

menyatakan pendapatnya bahwa : kolonialisme Belanda melembagakan adanya

hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang dipersiapkan sebagai

sarana politik devide et ampera.203 Sunaryati Hartono, menegaskan bahwa

sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum

adat memang telah masuk sedikit-sedikit pengaruh agama Islam. Pengaruh agama

Islam itu baru mempunyai kekuatan apabila telah diterima oleh hukum adat, dan

ketika diberlakukan lahirlah hukum Islam itu keluar sebagai hukum Adat, bukan

sebagai hukum Islam. Jadi bagi umat Islam, yang diberlakukan bukan hukum Islam,

tetapi hukum Adat.204

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

hukum Islam baru dapat berlaku bagi umat Islam, apabila hukum Islam itu telah

diserap ke dalam hukum adat. Tujuan yang tercermin adalah untuk memecah

membelah dan memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum Islam) secara

gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah pemerintah kolonial Belanda yang

menciptakan sebuah theorie receptie, sebagai hasil pemikiran dari Christin Snouck

202
Suparman Usman, Op.Cit, hlm.113.
203
Busthanul Arifin. 2001. Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional. Jakarta,
Yayasan Al-Hikmah, hlm.37.
204
Ibid.hlm.30.
113

Hurgronje seorang ahli hukum Islam, politikus pemerintah Hindia Belanda untuk

bahasa timur dan hukum Islam.205

Perkembangan hukum Islam (demikian pula dengan kewenangan Peradilan

Agama) menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat yang membawa

misi ganda yaitu ekonomi dan agama. Diperparah lagi dengan adanya pandangan

negatif terhadap kawasan dunia melayu pada umumnya dan Indonesia pada

khususnya, karena berkomunitas muslim yang cukup besar, sehingga dalam

persepsi teologis kaum penjajah dianggap menyimpang dan perlu diluruskan.206

Apabila kita merekonstruksi lembaran historis dinamika dan eksistensinya, baik

sejak zaman kesultanan, masa penjajahan, masa kemerdekaan sampai era

reformasi saat ini. Peradilan Agama telah meniti rentang sejarah yang panjang,

bahkan lebih tua dari usia Republik ini. Sejak abad ke-16 Miladiyah berbagai nama

telah melekat pada lembaga ini seperti: peradilan surambi, peradilan

surau,mahkamah syar‟iyah, mahkamah balai agama, majelis pengadilan agama

Islam, badan hukum syara‟, pengadilan penghulu, qadhi syara‟ dan kerapatan qadhi

dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, Peradilan Agama mengalami pasang surut baik

eksistensi maupun kompetensinya. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa

politis dan nuansa Islamo phobia207 dari pada nuansa yuridisnya. Kendatipun dalam

catatan sejarah, teori receptie gagal memberangus eksitensinya secara radikal,

205
Suparman Usman. Op.Cit, hlm.112.
206
Abdul Manaf.Op.Cit.hlm.35.
207
Hubungan politik yang tidak harmonis dan yang lebih menyedihkan adalah Islam
Politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis (Islamo Phobia). Lihat Abdul Ghofur.
2002. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia (Studi Atas Pemikiran Gusdur).
Yogyakarta, Pustaka Palajar. hlm.152.
114

namun secara laten teori tersebut akan terus menerus secara sistematis berusaha

membonsai dan memperkurus kompetensi Peradilan Agama.

Politik hukum208 kolonialisme memformulasi Peradilan Islam menjadi Peradilan

Agama atau priesterraad, sebagai serangan balik dari sikap pemerintahan Kolonial

Belanda yang pada mulanya tidak mau mencampuri organisasi Pengadilan Agama.

Tetapi pada tahun 1882 pemerintah Belanda mengeluarkan Stbl 1882:152 tentang

Pengadilan Agama dinamakan Priesterraad atau “Pengadilan Pendeta”, namun

sebelum adanya pengakuan tersebut, dalam Statuta Batavia209 tahun 1642

disebutkan bahwa sengketa kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama

Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang

dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan itu D.W. Freijer diminta menyusun

compendium210 (ikhtisar) hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Disamping

compendium Freijer, dipergunakan pula Muharrar211 dan Pepakem Cirebon serta

208
Politik hukum mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum.Lihat Moh. Mahfud MD, Op.Cit, hlm.1-2. Juga mempertimbangkan etik
hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi
masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau
tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat. Lihat Zainal Abidin Abu Bakar, “Pengaruh
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Nomor 9 Thn. IV.
Jakarta, Al-Hikmah, 1993.hlm. 56.
209
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Lihat Ramly
Hutabarat, Op.Cit, hlm.68.
210
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer.Ibid.
211
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang,
Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama
Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum
pidana Islam. Ibid.
115

peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi

Selatan.212

Dari ketetapan Stbl. 1882:152 tentang Pengadilan Agama tersebut terjadi

reorganisasi atas dasar pembentukan Pengadilan Agama yang baru disamping

landraad (Pengadilan Negeri) dengan wilayah hukum yang sama (kabupaten).

Pengadilan Agama memiliki kewenangan meliputi: pernikahan, segala jenis

perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian, kewarisan, hibah, wakaf,

shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.213

Sebagai usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Mr. Scholten van

Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi menulis nota kepada pemerintah Belanda

yang berbunyi antara lain bahwa,”untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak

menyenangkan jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumiputera dan agama

Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap

dalam lingkungan (hukum) agama serta adat-istiadat mereka”. Dari nota Scholten ini

yang menyebabkan Pasal 75 R.R. atau Regeering Reglement (Peraturan yang

menjadi dasar bagi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaannya di Indonesia,

Stbl. 1885:2) menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang-

undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan sejauh tidak bertentangan dengan

asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.

Dari rekomendasi Scholten juga mendorong pemerintah Hindia Belanda

mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (1882). Di dalam Pasal 78 ayat 2

R.R ditegaskan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang

212
Muhammad Daud Ali, Op.Cit.hlm.237.
213
Afdol. Op.Cit.hlm.95.
116

bumiputera atau dengan mereka yang disamakan dengan mereka, maka mereka itu

tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang

menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan-

ketentuan lama mereka.214

Kewenangan Peradilan Agama tidak ditentukan secara jelas dalam Staatsblad

1882 Nomor 152, sehingga Peradilan Agama menentukan sendiri wilayah

kekuasaannya, yakni perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan,

perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah,

sadaqah, baitul mal dan wakaf.215 Hal ini berlangsung sejak zaman kerajaan-

kerajaan Islam sebelumnya, bahkan sepanjang abad 19 Christian Snouck Hurgronje

dan beberapa kalangan ahli hukum Hindia Belanda mengatakan bahwa di Indonesia

berlaku hukum Islam. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823-

1868) yang dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927).

Menurut ahli hukum Belanda ini, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.

Jika orang tersebut memeluk agama Islam, maka yang berlaku baginya adalah

hukum Islam.216

Penyempitan kewenanangan Peradilan Agama terjadi pada Tahun 1929,

pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. 1929:221 yang pada Pasal 134 (2)

menentukan bahwa: "Dalam hal itu terjadi perkara-perkara orang Islam, akan

diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka yang

menghendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”. Pasal

214
Sayuti Thalib,1980, Receptio a Contrario, Jakarta, Academica, hlm. 25.
215
Notosoesanto, 1993, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia.
Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada, hlm. 10.
216
Mohammad Daud Ali, Op. Cit. hlm. 242.
117

tersebut dapat diartikan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali

untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum adat.

Peradilan Agama tidak memiliki daya paksa untuk melaksanakan putusan,

apabila salah satu pihak yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan

Pengadilan Agama, maka putusan itu baru dapat dijalankan terlebih dulu diberi

kekuatan oleh ketua landraad (Pengadilan Negeri).

Kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili perkara waris dicabut pada

pertengahan tahun 1937 pemerintah hindia Belanda mengumumkan adanya

peralihan wewenang mengadili perkara waris orang Islam, dari Peradilan Agama ke

Peradilan Umum. Melalui konstruksi politik dalam teori resepsi (receptie theorie)

diciptakan untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia, karena mengajak orang

Islam di Indonesia untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan

Sunnah Rasul-Nya. Karena pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah pada

tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali

wewenang Priesterrad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang pada tahun

1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam

menurut ketentuan hukum Islam. Komisi yang dipimpin oleh P.A. Hoesein

Djajadiningrat tetapi dibawah pengaruh Betrand Ter Haar memberi rekomendasi

kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang

Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima

sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui Pasal 2a ayat (1) S. 1937:116

dicabutlah wewenang Raad Agama atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura

untuk mengadili perkara warisan. Keputusannya juga tidak boleh dilaksanakan


118

sendiri, tetapi harus dengan fia executie (setuju untuk dilaksanakan) Ketua

Pengadilan Negeri.217

Kegigihan pemerintah Belanda untuk memberangus kewenangan Peradilan

Agama tidak cukup sampai disitu, pada tahun 1922 Belanda membentuk sebuah

komisi yang dikendalikan Betrand Ter Haar bertugas meninjau kembali kedudukan

dan wewenang Raad Agama. Nama Priesterraad direkomendasikan diganti dengan

Penghulu Gerecht (Pengadilan Penghulu) yang terdiri dari Penghulu sebagai hakim,

dibantu oleh sebanyak-banyaknya dua orang penasehat dan seorang panitera.

Disamping itu komisi ini juga merekomendasikan pencabutan wewenang Peradilan

Agama disamping dibidang waris juga masalah wakaf, sehingga oleh para pemimpin

Islam saat itu kebijakan tersebut dianggap sebagai langkah mundur ke zaman

jahiliyah dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam.218 Alasan

pengalihan kewenangan yang dilakukan oleh Ter Haar saat itu karena hukum

kewarisan Islam bersifat individual tidak bersifat komunal.219

Menurut penelitian Daniel S. Lev, setelah pengalihan wewenang itu

dilaksanakan, tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Landraad lebih

tepat mengadili perkara kewarisan di banding Raad Agama (Pengadilan Agama).

Tidak pula dapat dibuktikan bahwa landraad-landraad itu dalam kenyataannya lebih

mampu menerapkan hukum adat yang sesuai dengan rasa keadilan hukum

masyarakat setempat dari Peradilan Agama.220

217
Ibid, hlm. 247.
218
Ibid, hlm.249.
219
Daniel S. Lev, 1972, Islamic Courts in Indonesia,London, University of California,
hlm.21.
220
Ibid.
119

Menurut Daniel S. Lev, kendatipun secara resmi Pengadilan Agama telah

kehilangan kekuasaannya atas perkara kewarisan sejak tahun 1937, namun

Pengadilan Agama di Jawa masih tetap menyelesaikan perkara-perkara kewarisan

dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Dalam kenyataan, banyak Peradilan

Agama yang menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu khusus untuk

menerima masalah-masalah kewarisan. Dibeberapa daerah, Peradilan Agama

bahkan menerima perkara kewarisan lebih banyak dari Peradilan Umum. Penelitian

ini juga dikuatkan oleh penelitian Habibah Daud, bahwa di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Raya pada tahun 1976, dari 1081 orang yang mengajukan masalah

kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 47 orang (4,35%) mengajukan masalahnya

pada Pengadilan Negeri, 1034 orang (96.65%) mengajukan pada Pengadilan

Agama.221

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa konfigurasi sejarah

politik hukum kewenangan Peradilan Agama sangat dipengaruhi oleh intervensi dari

golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun

ekonomi. Ketika elit politik Islam memiliki bargaining position yang kuat dalam

interaksi politiknya, maka pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik

memiliki peluang yang sangat besar, begitupula sebaliknya apabila posisi tawar elit

politik Islam lemah, maka pengembangan hukum Islam di Indonesia laksana “katak

dalam tempurung”.222

Uraian tersebut di atas, terwakili secara konsep dalam ungkapan M. Sularno

yang menegaskan: sebagai akibat penjajahan Barat selama berabad-abad lamanya,

221
Mohammad Daud Ali, Op. Cit, hlm.253.
222
Suhartono, Hakim PA Martapura Kalimantan Selatan, “Dinamika Politik Hukum
Kompetensi Peradilan Agama”, Makalah, tt.
120

stagnasi perkembangan hukum Islam sebelum dan pada masa penjajahan Barat itu

mengakibatkan hukum Islam sebagai sistem hukum yang mempunyai corak

tersendiri telah diganti atau setidaknya dipinggirkan oleh hukum Barat dengan

berbagai cara, seperti: teori resepsi, pilihan (opsi) hukum, penundukan dengan suka

rela, pernyataan berlaku hukum Barat mengenai bidang-bidang tertentu, sampai

dengan pemberlakuan hukum pidana Barat kepada umat Islam, kendatipun

bertentangan dengan asas dan kaidah hukum Islam serta kesadaran hukum

masyarakat muslim. Hal ini menyebabkan hukum Islam sebagai suatu sistem hukum

di dunia ini menjadi banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga.223

Kilas balik dinamika sejarah kewenanangan Peradilan Agama dihubungkan

Politik hukum negara Republik Indonesia yang didasari Pancasila, menghendaki

berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan bangsa


224
dan negara Indonesia. Sebagaimana teori “lingkaran konsentris” menunjukkan

betapa eratnya hubungan antara agama, hukum dan negara. Sejarah membuktikan,

dalam tradisinya kendatipun dari pemerintah kolonial hingga periode kemerdekaan

pernah ada upaya memisahkan ketiganya, namun fakta menunjukkan bahwa

masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Demikian pula ketika berbicara konfigurasi

politik hukum kompetensi Peradilan Agama saat ini, tentunya tidak dapat dilepaskan

dari rentetan perisitiwa sejarah masa lalu sehingga perlu dibedah agar kita dapat

bersikap secara arif dalam mencandra eksistensi dan kompetensinya.

223
M. Sularno, “Dinamika Hukum Islam Bidang Keluarga di Indonesia”, Dosen Tetap
Program Studi Hukum Islam (Syariah) Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta. Email:
sularno@fiai. uii. ac.id, Makalah, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.
224
Muhammad Tahir Azhary, 2007, Negara Hukum (Suatu Studi tentang
Prinsipprinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini). Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 67. Lihat Suhartono,
Op.Cit, hlm. 3
121

5.1.1.3. Politik Kekuasaan Memandang Bahwa Hukum Islam Mengandung

Banyak Nilai Kebenaran dan Kebajikan

Politik kekuasaan memandang bahwa hukum Islam mengandung banyak nilai

kebenaran dan kebajikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa, sehingga perlu

dijadikan sebagai bahan baku hukum resmi bagi pembentukan hukum negara, dan

berlaku sepenuhnya bagi umat Islam. Adapun hukum adat hanya diberlakukan bagi

umat Islam sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. 225

Politik kekuasaan yang memandang bahwa hukum Islam mengandung banyak nilai

kebenaran dan kebajikan, terkondisikan pada Proklamasi Kemerdekaan yang

memberlakukan Pancasila dan Undang–undang Dasar 1945 sebagai sumber dari

segala sumber hukum, dan diakuinya melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang–

undang Dasar 1945 menyatakan berlakukan kelembagaan dan hukum masa

kolonial, dengan dilakukannya penyesuai secara bertahap sesuai dengan Undang–

undang Dasar 1945.

Kondisi politik tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin

dengan sebutan theorie receptio a contrario. Sayuti Thalib dalam pandangannya

menegaskan bahwa telah berkembang lebih jauh dari pandangan Hazairin. Karena

di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat ada kecenderungan

225
Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi dan
diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang
telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah, syari‟ah dan akhlak Islam.
Pergumulan kedua system nilai itu berlaku secara wajar, tanpa adanya konflik antara kedua
system nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda,
berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang
beragama Islam berlaku motto receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam di
Indonesia menerima dan memperlakukan syari‟at Islam secara keseluruhan. Pada masa itu
(sampai dengan 1 April 1937), Pengadilan Agama mempunyai kompetensi yang luas, yakni
seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus menurut hukum
Islam. Lihat M. Sularno, Op.Cit. hlm.254.
122

theorie receptie dari Christin Snouck Hurgronje itu di balik. Seperti di Aceh

masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan dan

pidana diatur menurut hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh

saja dipakai dengan suatu ukuran, yaitu tidak boleh bertentangan dengan hukum

Islam.226 Hal yang sama dikemukakan oleh Abdul Gafur Anshori yang mengatakan

bahwa theorie receptio a contrario merupakan pengembangan dari teori Hazairin

yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum

agamanya. Dengan demikian hukum adat hanya akan berlaku jika tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan konsep urf yang dikenal

dalam Islam.227

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa theorie receptio a

contrario berisikan pandangan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Maka dalam jiwa masyarakat telah tertanam

kemenangan jiwa pembukaan dan Pasal 29 Undan–undang Dasar 1945.228

Dari berbagai kondisi politik di atas, nampak bagaimana asas personalitas

keislaman itu tidak berhasil disingkirkan dalam peta politik kolonial dan dalam politik

hukum yang terjadi di Indonesia, karena hukum Islam sebagai faktor yang inheren

terdapat dalam jiwa dan kepribadian manusia yang memeluk agama Islam. Demikian

halnya dengan kebutuhan hukum dan pranata hukum, yang secara utuh dipandang

sebagai sarana ibadah dalam menegakkan hukum Allah bagi kalangan umat Islam

sendiri.

226
Suparman Usman. Op.Cit, hlm.118.
227
Abdul Gafur Anshori. Op.Cit, hlm.16..
228
Sayuti Thalib. 1981. “Receptio in Complexu, Theorie Receptie dan Receptio a
Contrario”, dalam Hazairin (in Memorandum), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta, UI Press, hlm. 52-53
123

Menurut Abdul Qadir Audah, pertumbuhan sebuah lembaga hukum menjadi

sebuah peradilan, menuntut konsistensi dan koherensi di dalam syariat Islam.

Dimana unsur Islam mewajibkan kepada setiap muslim agar dapat menyesuaikan

dirinya, pergaulan serta hubungannya dengan orang lain, dan setiap apa yang

bersumber dari dirinya sendiri berupa perkataan dan perbuatannya, semata-mata

kepada Islam, diatas dasar ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh agama Islam

sendiri. 229

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945

menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sebagai berkat rahmat Allah.

Bangsa indonesia dihadapkan kepada berbagai realitas transisi yang harus segera

disikapi secara arif dan akurat. Pertama, adanya keperluan mendesak untuk segera

menetapkan apa yang akan dijadikan sebagai dasar negara dan tujuan negara

Indonesia. Kedua, bagaimana bentuk pemerintahan, dan sistem pembagian

kekuasaan negara Indonesia. Ketiga, adanya polarisasi kekuatan dalam tubuh

bangsa, antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, sebagai warisan kolonial

akibat dari politik devide et ampera. Keempat, adanya realitas filosofis dan historis,

bahwa umat Islam tidak mungkin dapat dipisahkan dari asas personalitas keislaman.

Kelima, adanya realitas demografis, bahwa sebagian besar warga negara Indonesia

memeluk agama Islam. Berbagai realitas ini harus mampu diakomodasikan ke dalam

landasan filosofis dan landasan konstitusional negara.

Bertolak dari realitas transisi tersebut di atas, yang menjadi fokus perhatian

dalam tulisan ini adalah : Pertama, para pemimpin bangsa, telah cukup arif

memadukan aspek nasionalis dan aspek relegius sebagai asas tertinggi dalam
229
Abdul Qadir Audah, Op.Cit , hlm.46
124

landasan filosofis bangsa, yang di dalam rumusan politis disebut Ketuhanan Yang

Maha Esa” sebagai titik kompromi terakhir antara kelompok Islamis dan kelompok

nasionalis, serta meneguhkannya kembali dalam Pasal 29 Undang–undang Dasar

1945. Kedua, para pemimpin bangsa telah berhasil menyusun suatu hukum dasar

tertulis bagi negera Indonesia yang singkat dan supel. Ketiga, pemimpin bangsa

telah berhasil membagi habis kekuasaan negara kepada sebuah kekuasaan

lembaga Tertinggi Negara yaitu MPR dan lima lembaga Tinggi Negara yaitu:

Kekuasaan Legislatif (DPR), Kekuasaan Eksaminatif (DPA), Kekuasaan Eksekutif

(Presiden), Kekuasaan Konsultatif (DPA) dan Kekuasaan Yudikatif (Mahkamah

Agung), yang kemudian akan didelegasikan lebih lanjut ke dalam organ-organ

negara yang lebih kecil, yang diatur dalam suatu Undang-Undang organik.

Keempat, para pemimpin bangsa, telah dengan arif menghargai sejarah perjalanan

bangsa, sehingga melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang–undang Dasar 1945,

peraturan perundang-undangan yang mengatur badan Peradilan Agama Islam

termasuk yang dinyatakan tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut

Undang–undang Dasar 1945.

Bertolak dari sejarah politik hukum tersebut di atas, maka secara kronologis

pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama dalam beberapa

dimensi, dapat digambarkan secara lebih konkrit pada skema berikut ini : 230

230
Cik Hasan Bisri. 1997.Model-model Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia.
Dalam Bungai Rampai Peradilan Islam di Indonesia . Jilid I. Hukum dan Peradilan.
Bandung, Ulul Albab Press.hlm.162-163.
125

Skema VI

Sosio Historis Peradilan Agama/Peradilan Islam

Sistem Gagasan Gagasan


Pengkajian Peradilan Hukum Islam
“Lokal” Islam (Fiqh)

Masyarakat Tradisi Tradisi


Bangsa Peradilan Intelektual
Islam

Peradilan Peradilan Interaksi Antar


“Nasional” Islam di Elit Islam
Indonesia

Pengorganisa
sian Negara

Kerangka pikir yang digunakan dalam gambar tersebut di atas, mencakup

kronologis uraian sebagai berikut : Pertama, hukum Islam, dalam hal ini yang

dimaksudkan adalah fiqh231 yang merupakan produk dari pemikiran para fuqaha

dalam memahami dan mensistematisasi kehendak Allah yang di deduksi dari Qur‟an

dan Sunnah. Kedua, salah satu produk pemikiran itu adalah pengaturan tentang
231
Dalam mazhab Hanafi, fikih (hukum) disederhanakan menjadi tiga: pertama, hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (disebut fikih ibadah); kedua, hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk (disebut fikih muamalah); dan ketiga,
hukum yang mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dan subjek
hukum lainnya terhadap fikih ibadah dan muamalah (disebut fikih jinayah). Lihat Umar
Sulaiman Al-Asyqar, 1991, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Amman,Dar al-Nafa‟is, hlm. 21.
126

penyelesaian konflik antar manusia dengan melibatkan kekuasaan publik (negara).

Ketiga, institusi penyelesaian konflik itu adalah peradilan, yang diselenggarakan oleh

satuan pengadilan. Keempat, penyelenggara peradilan dilakukan secara

berkesinambungan di dalam berbagai satuan masyarakat Islam, setelah Islam

menjadi kekuatan politik. Kelima, corak penyelenggara peradilan bersifat majemuk

karena bersentuhan dengan struktur, pola budaya masyarakat, dan perkembangan

tradisi intelektual Islam. Keenam, kedudukan, susunan organisasi, alokasi

kekuasaan penyelenggaraan peradilan didasarkan pada sistem peradilan nasional.

5.1.2. Persentuhan Ideologi dan Politik Pada Kurun Waktu Persiapan

Proklamasi

Muhammad Ikhsan menjelaskan meskipun Pendudukan Jepang memberikan

banyak pengalaman baru kepada para pemuka agama Islam di Indonesia, namun

pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang

memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk

kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya dan mulai

“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.232

Tampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin

Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite

negara, seperti Dewan Penasehat (sanyo kaigi) dan BPUPKI (dokuritsu zyunbi

tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Sehingga pada bulan Mei

tahun 1945, komite yang terdiri dari 62 orang tersebut, hanya 11 diantaranya yang

232
Muhammad Ikhsan, Op.Cit. hlm.4-5.
127

mewakili kelompok Islam.233 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa

BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,

meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup

representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”.234

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir

dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling

penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan

sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.235

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang

mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan syari‟at

Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu

akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh

PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi

mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan

Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari

seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun

233
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hlm. 84. Mereka antara lain adalah Ki
Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan
K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin
dalam Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta, Yayasan
Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan
Hukum Islam, hlm. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan
pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di
Konstituante, jilid III. Bandung, Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hlm. 35.
234
Ramly Hutabarat, Op.Cit., hlm. 85.
235
Ibid, hlm. 89-90.
128

Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada

saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang

menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan

mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari

Indonesia Timur lainnya telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang

BPUPKI.236

Pada akhirnya di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa

Ashary mengatakan: Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam

sebagai suatu „permainan sulap‟ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik

pengepungan kepada cita-cita umat Islam.237

Persentuhan ideologi dan politik masih berlanjut dalam evolusi kekuasaan

Indonesia, tepatnya pada kurun waktu persiapan proklamasi dan pasca proklamasi

kemerdekaannya. Bentuk persentuhan tersebut adalah konflik antara kebutuhan

pranata hidup keseharian dengan tuntunan sistem keimanan Islam yang memainkan

peranan sangat penting pada saat itu.238 Peranan tersebut terlihat melalui kinerja

para pendiri negara atau founding father dalam menentukan konstruksi

ketatanegaraan yang diwarnai perbedaan pendapat antara kelompok yang

mengusung konsep negara bercorak Islami dengan kelompok yang mengusung

konsep negara nasionalis, yang menghendaki negara Indonesia didasarkan atas

Pancasila sebagai sebuah ideologi yang sudah dikonfensionalisasikan.239

236
Ibid, hlm.92-93.
237
Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa
tahun, hlm. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Op.Cit. hlm. 91.
238
Abdul Gafur. 2002. Op.Cit, hlm.126.
239
Ibid. hlm.136.
129

5.1.3. Persentuhan Ideologi dan Politik Pada Periode Kemerdekaan

Dari dasar negara dan landasan konstitusional yang telah disepakati,

kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia dibagi ke dalam dua

periode. Pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif,

dalam konstitusi dikenal persuasive sources, merupakan sumber yang harus

diyakinkan untuk menerimanya. Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai

sumber autoritatif atau authoritative sources, merupakan sumber yang mempunyai

kekuatan atau authority.240 Kedua periode tersebut dijadikan dasar keberlakuan

hukum Islam dalam tata hukum nasional di Indonesia, yang telah mendapat

pengakuan sebagai bahan baku bagi pembentukan hukum nasional bersama-sama

dengan sistem hukum yang lain, seperti hukum Barat dan hukum Adat.241

Dengan di Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan

berlakunya Undang-undang Dasar 1945, walaupun tanpa memuat 7 kata dari

Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya adalah I.S dan dengan tidak

berlakunya I.S maka teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.242 Berdasarkan pada

Pasal II Aturan Peralihan menetapkan: “Segala badan negara dan peraturan yang

ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-

undang Dasar ini”.

Setelah Indonesia merdeka, langkah yang diambil pemerintah adalah

menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Kementerian Kehakiman kepada

Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5/SD/1946. Pada tahun

240
Ismail Suny. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm.75.
241
Sirajuddin M. Op.Cit. hlm.v.
242
Ismail Sunny, 1994, Op.Cit, hlm. 196.
130

1948, keluar Undang-undang Nomor 190 Tahun 1948 yang masa berlakunya akan

ditentukan oleh Menteri Kehakiman. undang-undang itu memasukkan Peradilan

Agama ke Peradilan Umum. Penetapan Menteri Kehakiman dimaksud tidak pernah

keluar, dan Peradilan Agama berjalan sebagaimana biasa. Setelah pengakuan

kedaulatan, melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, pemerintah

menegaskan pendiriannya untuk mempertahankan Peradilan Agama. Sementara

Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat dinyatakan dihapus. Sebagai pelaksanaan

undang-undang darurat itu, pada tahun 1957 pemerintah mengatur pembentukan

Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan melalui Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 1957.243 Kewenangan Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan

Kalimantan Selatan itu meliputi perkara-perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah,

maskawin, tempat kediaman, mut‟ah, hadlanah, waris, wakaf, hibah, shadaqah dan

baitul mal. Mulai saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang

mengatur Peradilan Agama yakni:244

1. Stbl. 1882 Nomor 152 jo Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 yang mengatur
Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
2. Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di
Kalimantan Selatan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur Peradilan
Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.

Pada tahun 1961, dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961

dibentuklah suatu panitia untuk mempersiapkan rancangan undang-undang

Peradilan Agama. Tiga tahun kemudian keluarlah Undang undang Nomor 19 Tahun

1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian

243
Amrullah dkk., 1994, Bustanul Arifin Pemikiran dan Peranannya dalam Pelembagaan
Hukum Islam (Dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
di Indonesia). Jakarta, PP IKAHA, hlm.8
244
Ibid.
131

diamandemen dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan eksistensi

Peradilan Agama tetap dipertahankan serta disejajarkan dengan ketiga lingkungan

peradilan yang lain. Eksistensi Peradilan Agama semakin kokoh dengan lahirnya

Undang–undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, kendatipun proses

kelahirannya sangat kental diwarnai nuansa politis. Peradilan Agama bukan lagi

sebagai peradilan semu (quasi peradilan) tetapi telah menjelma menjadi peradilan

yang sesungguhnya, karena dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusannya

sendiri.

5.1.3.1. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Antara Peradilan Agama

dan Peradilan Umum Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, dasar kewenangan Peradilan Agama menegakan hukum agama ditemukan

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tercermin dalam :

Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan :

”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

hukum agama dan kepercayaannya itu”.

Keberlakuan hukum agama dalam menentukan sahnya suatu ikatan

perkawinan tersebut, selaras dengan jaminan konstitusional yang tercermin dalam:

Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945, yang menegaskan :

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.
132

Sumber hukum yang memberlakukan hukum agama diikuti dengan pengaturan

lembaga yang berwenang menegakkan hukum agama bagi pemeluknya. Hal itu,

tergambar melalui kata ”pengadilan” yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diantara Pasal 1 sampai dengan Pasal 62, yang

menyebutkan secara umum yaitu pengadilan dimaksudkan sebagai lembaga yang

berwenang menyelesaikan sengketa dalam ikatan perkawinan.

Bertolak dari kemajemukan agama yang ada di Indonesia dan banyaknya

lembaga pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka ada

pengaturan lebih jauh lagi berkaitan dengan ruang lingkup pembagian kewenangan

antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Di atur dalam Pasal 63 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan bahwa :

(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam undang-undang ini ialah:

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2). Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

Pasal 63 ayat (1) secara tegas membagi kewenangan antara Peradilan Agama

dan Peradilan umum berdasarkan parameter agama. Untuk subjek hukum yang

beragama Islam maka menjadi ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama,

sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam, menjadi kewenangan Peradilan

Umum. Hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945

dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Gangguan kewenangan Peradilan Agama dari perspektif asas kemandirian

peradilan, ditemukan dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, yang dengan terang-terangan mengatur titik taut


133

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan

Umum, karena setiap putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan

Umum.

5.1.3.2. Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama

Gerakan yang membangun semangat mengamalkan ajaran Islam melalui

kekuasaan mendapat momentumnya pada tahun 1989 dengan disahkannya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberi

kewenangan lebih luas dari kewenangan yang diwariskan kolonial Belanda, dengan

menambahkan kewenangan menangani sengketa kewarisan, wasiat, hibah, wakaf

dan shadaqah. Sejalan dengan itu disahkan pula Kompilasi Hukum Islam melalui

Keppres Nomor 1 Tahun 1990 sebagai hukum materiil atau hukum terapan

berkenaan kewenangan baru Pengadilan Agama tersebut.245

Gambaran sikap politik dalam wujud mendukung dan menolak terhadap

Rancangan Undang-undang Peradilan Agama. Benyamin Nathan Cardozo,

menegaskan kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial

yang ada dalam kehidupan sehari-hari seperti logika rakyat, sejarah, adat kebiasaan,

pertimbangan kemanfaatan dan standar moralitas, yang memiliki fungsi secara riil

sebagai faktor-faktor instrumental ke arah terciptanya hukum.246

245
H. Muhammad Karsayuda, Hakim Tinggi pada PTA. Banjarmasin “Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai Kewenangan Baru Pengadilan Agama,” Makalah,
Materi penyuluhan Hukum yang diselenggarakan Pengadilan Agama Amuntai tanggal 9 Juli
2008 bertempat di Aula “Banua Kita” Pendopo Bupati Hulu Sungai Tengah.
246
Hamdhany Tenggara. 2003. “Pencerahan Pemahaman dan Implementasi Hukum
Melalui Teori-teori Hukum yang Berparadigma Holistik”, Makalah, Disampaikan dalam
Mata Kuliah Sistem Hukum Perdata pada Program Pasca Sarjana Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin, hlm.13
134

Ridwan Saidi mengklasifikasikan pergolakan politik dalam sejarah

pembentukan peraturan perundang-undangan Peradilan Agama ke dalam tiga

kelompok yang menentang dibentuknya Peradilan Agama, sebagai berikut:247

Kelompok pertama, kelompok itu mengatakan bahwa untuk terwujudnya cita-

cita unifikasi hukum, maka Peradilan Agama tidak diperlukan. Kelompok ini lebih

cenderung meletakkan Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum,

untuk tidak terkesan adanya dualisme sistem peradilan.

Kelompok kedua, menolak secara tegas tentang Peradilan Agama, karena

kelompok ini berpendapat bahwa urusan antara negara dan agama terpisah, lebih

dikenal dengan kelompok sekuler. Terkesan dari kelompok ini tidak memahami

secara hirarki tentang ingin dibentuknya Peradilan Agama, mengingat amanat dan

aspek yuridis yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka

logikanya menghapus atau menolak persiapan perwujudan Peradilan Agama sama

halnya dengan melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

Kelompok ketiga, menolak secara tegas tentang rancangan undang–undang

Peradilan Agama dan eksistensi Peradilan Agama, salah satu pendapat

dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno yang berpendapat bahwa, dengan

dibentuknya Peradilan Agama hanya melahirkan diskriminasi bagi kelompok agama

lainnya. Lebih berbahaya lagi ketika adanya anggapan yang mengatakan bahwa

dibentuknya Peradilan Agama merupakan sebuah lokomotif untuk mewujudkan

kembali Piagam Jakarta.

Dari ke tiga kelompok yang sangat keras untuk menolak lahirnya sebuah

Peradilan Agama, maka dapat disimpulkan bahwa: Kelompok pertama, menghendaki


247
Abdul Halim.Op.Cit. hlm.127-129
135

adanya Peradilan Agama tanpa eksistensi yang jelas dengan hukum materiil atau

adanya penyimpangan dari norma agama. Dengan meletakkan Peradilan Agama

sebagai sub ordinat dari Peradilan Umum, maka hal ini merupakan kelanjutan dari

politik kolonialisme yang tidak mungkin menghapuskan pelaksanaan hukum Islam

dan menghilangkan keberadaan Peradilan Agama, tetapi berhasil mengkerdilkan

kompetensi absolut Peradilan Agama melalui politik unifikasi hukum. Kelompok

kedua dan ketiga memiliki pandangan adanya sifat eksklusivitas salah satu agama

dan menjadikan kesenjangan bagi umat beragama yang lainnya, dan lebih parah lagi

ketika dipandang sebuah usaha untuk mewujudkan Piagam Jakarta sebagai sumber

autoritatif atau authoritative sources. Kondisi tersebut menggambarkan hubungan

politik Islam dan negara di Indonesia merupakan cerita antagonistis dan

kecurigaan satu sama lain.248

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kelahiran dan perkembangan

institusi Peradilan Agama sulit untuk dipahami tanpa mengkaitkan dengan situasi

perkembangan sosial politik suatu masyarakat. Latar belakang sosial politik turut

memberikan bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institusi Peradilan

Agama yang merupakan simbol kekuasaan hukum Islam di Indonesia.

5.1.3.3. Politik Hukum Dalam Asas dan Norma Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

5.1.3.3.1. Inkonsistensi Penerapan Asas Personalitas Keislaman Dalam

Sengketa Kewarisan

Peradilan Agama sebagai salah satu dari institusi yudisial negara Republik

Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman, diatur dengan Undang-undang


248
Abdul Gafur. Op.Cit. hlm.136.
136

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dasar hukum tersebut masih

mengandung beberapa kelemahan, karena adanya titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan absolut antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, yang

tersurat dan tersirat dalam asas dan dalam beberapa norma hukum Peradilan

Agama, antara lain sebagai berikut:

Ditinjau dari aspek filosofis, maka asas personalitas keislaman dijadikan

sebagai tolak ukur nilai filsafat agama. Mengenai hal ini, Wildan Suyuthi berpendapat

bahwa yang dapat tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan

Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk Agama Islam. 249

Hal tersebut, sesuai dengan asas personalitas keislaman sebagaimana diatur dalam:

Pasal 2:

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman


bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Pasal 49 ayat (1):

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan


menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang : perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah”.

Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tersebut dijadikan sebagai prinsip yang menjamin pemberlakuan hukum Islam secara

imperatif bagi pemeluk agama Islam dalam upaya menyelesaikan sengketa. Hal ini

selaras dengan teori penataan hukum yang telah dianut oleh imam mazhab, bahwa

hukum Islam bagi setiap orang dan siapapun yang telah menyatakan dirinya

sebagai seorang Muslim, yang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia

249
Wildan Suyuthi (Penyusun), Op.Cit, hlm.xvi
137

terikat untuk patuh dan taat kepada hukum dan ajaran Islam. Ichtijanto menegaskan

bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima

otoritas hukum Islam terhadap dirinya.250

Penerapan asas personalitas keislaman dalam sengketa kewarisan, yang pada

hakikatnya mengandung prinsip pilihan hukum. Hal tersebut tercermin dalam

Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga, sebagai berikut:

“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam

pembagian waris”.

Dari Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam tersebut, menyebabkan

pendangkalan terhadap asas personalitas ke Islaman, dan berdampak terhadap

perubahan makna dari hukum agama yang bersifat imperatif menjadi bersifat

fakultatif. Prinsip dari peluang pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa waris

sesungguhnya bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 49 (1) Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 yang dijadikan sebagai parameter kompetensi absolut bagi

Peradilan Agama.

5.1.3.3.2. Norma yang Membuka Dualisme Kewenangan dan Menimbulkan

Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Antara Peradilan

Agama dan Peradilan Umum

Ditinjau dari aspek yuridis, maka titik taut (aanknopingspunten) kewenangan

absolut antara Peradilan Umum dengan Peradilan Agama dapat diketahui dari

250
A. Rahmad Rosadi, dan H.M. Rais Ahmad. 2006. Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia. Ciawi-Bogor, Ghlmia Indonesia, hlm.70.
138

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989,

sebagai berikut:

Pasal 50:

“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49,
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus
diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum”.

Memperhatikan ketentuan Pasal 50 yang membedakan kewenangan Peradilan

Agama berdasarkan parameter asas personalitas ke Islaman, selebihnya menjadi

kewenangan Peradilan Umum, menimbulkan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan dan beberapa masalah sebagai berikut: Pertama, sengketa mengenai

hak milik atau hak keperdataan lain tidak menjadi kewenangan dari Peradilan

Agama. Kedua, adanya kewenangan Peradilan Umum di dalam kewenangan

Peradilan Agama. Ketiga, Peradilan Agama tidak dapat memutuskan perkara

sebelum adanya keputusan Peradilan Umum tentang obyek sengketa. Dari

beberapa masalah tersebut kemandirian kewenangan Peradilan Agama menjadi

terabaikan, dan lebih cenderung menampilkan upaya perwujudan keadilan

prosedural.

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan absolut antara Peradilan Agama

dengan Peradilan Umum dapat dilihat pula dalam ketentuan Pasal 54 Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagai berikut:

Pasal 54 :

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan


Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini”.
139

Pasal 54 tersebut mengandung dualisme hukum acara dihubungkan dengan

Pasal 50 menjadi dualisme kewenangan lembaga yang mengadili dalam

memutuskan sengketa. Yang menjadi titik taut (aanknopingspunten) dari Pasal 54

sebagai dasar hukum acara, adalah terjadinya pembagian dua sistem hukum acara

yang berlaku di lembaga Peradilan Agama, yaitu hukum acara khusus yang

diselenggarakan oleh Peradilan Agama dan hukum acara Peradilan Umum yang

dijalankan oleh Peradilan Umum memeriksa dan mengadili sengketa hak milik atau

kebendaan lainnya.

Kerancuan kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum,

diperparah lagi melalui pengaturan mengenai cerai gugat dalam Pasal 86 (2)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, menegaskan:

“Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu

perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum tentang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu”.

Pasal ini masih merupakan bagian yang masih diperdebatkan sebagai

kelanjutan permasalahan dari Pasal 50 dan Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perdebatan yang cukup menarik yaitu

tentang pengertian “pihak ketiga”, menimbulkan beberapa penafsiran. Karena di

dalam pengaturan hukum acara mengenai cerai talak, sebagaimana yang

ditemukan dalam ketentuan Pasal 66 ayat (5), yang menegaskan:

“Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta

bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak

ataupun sesudah ikrar talak”.


140

Ketentuan Pasal 66 ayat (5) tersebut, tidak memuat prosedur sebagaimana

yang terdapat dalam Pasal 86 (2) yang memerintahkan untuk menunda terlebih

dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum tentang hak miliki atau kebendaannya.

Berdasarkan dua ketentuan pasal tersebut, menimbulkan dua penafsiran yang

cukup berbeda antara tata cara “cerai talak” dengan “cerai gugat” dalam pokok

masalah harta bersama. Pasal 86 (2), menyebutkan tentang harta bersama yang

masih ada hubungan masalah dengan pihak ketiga, bukan menjadi kewenangan

Peradilan Agama tetapi menjadi kewenangan Peradilan Umum, sebagaimana terkait

dengan Pasal 54 tentang Hukum Acara dan Pasal 50 tentang kewenangan

Peradilan Umum menyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.

Memperhatikan uraian di atas, maka ketentuan Pasal 66 (5) dan Pasal 86 (2)

tersebut melahirkan beberapa permasalahan sebagai berikut: Pertama, adanya

perbedaan tentang pengaturan harta berasama baik dari sudut cerai gugat dengan

cerai talak. Kedua, ketentuan Pasal 66 (5) dan Pasal 86 (2) menyebabkan

munculnya ketidakkonsistensian hukum acara baik dari sudut cerai gugat dengan

cerai talak. Ketiga, Pasal 86 (2) tentang cerai gugat yang mengatur masalah

tuntutan pihak ketiga atas harta bersama, yang dikembalikan pada kewenangan

Peradilan Umum untuk memeriksa dan mengadili sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 50. Keempat, ketentuan yang

tersurat dan tersirat dalam Pasal 86 (2) tersebut memiliki karakteristik keadilan

prosedural yang lebih dominan, serta mendangkalkan kewenangan dari Peradilan

Agama dalam sengketa cerai gugat. Kondisi ini bertolak belakang dengan konsep
141

kemandirian kewenangan Peradilan Agama dan prinsip peradilan sederhana, cepat

dan biaya ringan.

5.1.3.4. Cerminan Politik Hukum Dalam Menegakkan Undang-undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

5.1.3.4.1. Peradilan Agama Dalam Melaksanakan Kewenangan Tidak Mandiri

Dengan munculnya paradigma positivisme di dalam pelbagai epsitemologi ilmu

pengetahuan, tak lepas pula dalam bidang ilmu hukum, hal itu ditandai dengan

adanya saintifikasi hukum modern. Paradigma positivisme ini telah membedah

secara tegas tatanan-tatanan kuno terutama pengaruh-pengaruh aspek teologi,

dengan melahirkan pemikiran rasionalitas yang memiliki dampak pengaruh cukup

besar terhadap peraturan hukum yang prosedural. Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama telah menjadikan dasar legalitas dalam menegakkan

keadilan, hal ini ditandai dalam praktik Peradilan Agama, terasa pada perbincangan

tentang prosedur menjadi lebih penting dari pada membicarakan keadilan (justice),

yang merupakan tujuan para pihak yang berperkara.

S.Broju Sudjono mengatakan bahwa kebijakan kodifikasi dan unifikasi hukum

dalam masyarakat plural Indonesia, sekalipun telah lazim di dengar, bahkan telah

dianggap kebijakan yang mapan, tetapi bila kita lebih kritis melihatnya, akan nyata

bahwa sesungguhnya kebijakan itu membungkus masalah yang sangat pelik dan

mendasar.251 Lebih lanjut Soetandyo mengatakan bahwa kebijakan kodifikasi dan

251
S. Brodjo Sudjo “Problematika Politik Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Dalam
Masyarakat Plural Indonesia”. Artikel Dalam Jurnal Hukum dan Keadilan. Nomor 3.Vol
3.hlm.1.
142

unifikasi hukum, tidak lebih dari sebuah tawaran yang sulit dalam konteks Indonesia

karena bertentangtan dengan realitas sosial sepanjang abad.252

Pendapat di atas tersebut, terdapat pula dalam keadaan nyata yang terjadi di

Pengadilan Agama, sehingga dalam sistem hukum acara Peradilan Agama, keadilan

(justice) sudah dianggap ada dengan dibentuknya hukum positif, akan tetapi dalam

praktek penegakkan hukum Hukum Acara Peradilan Agama yang bersumber dari

Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ternyata

banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan hukum. Sehingga berakibat kepada para

pihak yang mencari keadilan dan kebenaran (searching for the truth and justice)

merasa tidak tercapai atau terhalang oleh tembok-tembok prosedural hukum.

Dihubungkan dengan pendapat Achmad Ali, mengatakan kondisi sedemikian lebih

banyak yang dicapai adalah keadilan prosedural, bukan keadilan substansi.253

Beberapa hal yang telah penulis jelaskan tersebut, juga terjadi dalam Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memperhatikan

disharmonisasi antara keadilan substansi dengan keadilan prosedural. Sehubungan

dengan konsekuwensi dari asas personalitas keislaman, sebagai dasar kewenangan

Pengadilan Agama.

Dalam menentukan kekuasaan absolut Pengadilan Agama pada dasarnya ada

dua, parameter yang digunakan, yaitu : Pertama, sengketa yang menyangkut

seorang muslim. Kedua, sengketa yang bermula dari suatu perbuatan peristiwa

hukum yang terjadi berdasarkan atau hukum Islam. Dihubungkan dengan peran

252
Soetandyo Wingjossoebroto.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosial Politik Dalam Pembangunan Hukum di indonesia. Jakarta, Raja Grafindo
Persada.hlm.37-60.
253
Hamdhany Tenggara.Op.Cit. hlm.3.
143

yuridis Pengadilan Agama adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan (sebagai tujuan filosofis). Sedangkan yang

menjadi peran sosiologis Pengadilan Agama ialah memulihkan kerusakan-kerusakan

sosial yang pernah terjadi dan menjadikan lagi satu kesatuan (sebagai tujuan

sosiologis).

Berdasarkan peran tersebut di atas, praktik penegakkan hukum menjadi

dipertanyakan fungsinya, apabila dikaitkan dengan ketentuan terhadap adanya

pilihan hukum, sebagaimana diatur dalam penjelasan umum butir 2 alinea 6

menegaskan :

“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berpekara dapat


mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan
dalam pembagian waris”. Karena penjelasan tersebut mengaburkan makna
obsulut hukum Islam bagi pemeluk agama Islam, atau adanya pendangkalan
terhadap makna substansi dari asas personalitas ke-Islam.

Beranjak dari penjelasan umum butir 2 alinea 6 dihubungkan dengan undang-

undang mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagai

diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,mengenai penetapan struktur

organisasi “lain-lain badan kehakiman” tersebut dalam Pasal 10 Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 menyatakan :254

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :

1). Peradilan Umum

2). Peradilan Agama

254
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 18 menegaskan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
144

3). Peradilan Militer

4). Peradilan Tata Usaha Negara.

Lebih lanjut pada Pasal ayat (2) dinyatakan bahwa : “Mahkamah Agung adalah

Pengadilan Negara Tertinggi”.

Mengenai status hukum dari pengadilan dalam empat lingkungan peradilan

tersebut, dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan,

bahwa:255

“Semua Peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan

Negara dan ditetapkan dengan undang-undang”.

Sedangkan mengenai apa dan bagaimana kekuasaan negara di bidang

kehakiman ini didistribusikan kepada Pengadilan dalam keempat lingkungan

Peradilan di atas, oleh Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa :

“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam Pasal 1 diserahkan

kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, ...”.

Kemudian undang-undang mengatur pendistribusian kekuasaan kehakiman

kepada masing-masing peradilan tersebut dan ruang lingkup kekuasaan, serta

parameter yang ditetapkan untuk menentukan batas-batas kekuasaan dan

kewenangan pengadilan dari masing-masing lingkungan Peradilan. Untuk

pengadilan di lingkungan badan Peradilan Umum, ditentukan lingkup kekuasaannya

secara umum dan struktur organisasinya dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun

255
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 2 ayat (3) menegaskan: “Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang”.
145

1986. Mengenai apa kekuasaan yang didistribusikan kepadanya, oleh Pasal 2

undang-undang tersebut dinyatakan bahwa :256

“Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan pada umumnya”.

Di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 dinyatakan

bahwa:

Disamping Peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya
mengenai perkara perdata dan pidana, ada pelaksana kekuasaan kehakiman
lain yang merupakan Peradilan Khusus bagi golongan rakyat tertentu atau
perkara tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.

Pemaknaan peradilan umum dan peradilan khusus memiliki ruang lingkup dan

parameter yang jelas. Untuk Peradilan Agama sebagai salah satu dari peradilan

khusus bagi masyarakat atau pencari keadilan yang beragama Islam, maka asas

personalitas keislaman keberadaanya sangat mutlak. Tetapi dalam penerapan asas

personalitas keislaman pada tingkat regulasi yuridis formal, tidak berjalan

sebagaimana mestinya, karena tidak bersifat imperatif bagi pencari keadilan. Tetapi

dapat dikesampingkan oleh asas pembidangan hukum (Pasal 50) dan asas pilihan

hukum.(Pasal 49 ayat (3) jo penjelasan umum angka 2 alenea kelima dan keenam).

Akibatnya ruang lingkup kewenangnan Absolut Peradilan Agama berdasarkan asas

jenis perkara tertentu dan asas personalitas keislaman bersifat reduktif dan relatif,

sehingga adanya distorsi antara keadilan substansi dan keadilan prosedural.

256
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 25 ayat (2) menegaskan : “Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
146

Selanjutnya isi ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan :257

“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain

dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49, maka

khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih

dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.

Berdasarkan penjelasan umum butir 2 alinea 6 dan Pasal 50 tersebut, terlihat

secara jelas telah membenarkan adanya reduksi kewenangan dari Peradilan Agama

dengan standar hukum prosedural yang harus dilalui oleh para pihak dan majelis

hakim Peradilan Agama, dalam memeriksa dan mengadili sengketa mengenai hak

milik atau keperdataan lain sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 49, sebagai

konsekuwensi dari Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang hukum

acara Peradilan Agama. Dihubungkan dengan Pasal 86 ayat (2) Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan :

“Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu

perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum tentang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu”.

Agar lebih mudah dalam memahami persoalan yang ada dalam ketentuan

Pasal yang telah penulis sebutkan diatas tersebut, penulis akan ragakan dalam

skema berikut ini tentang mekanisme prosedur bekerjanya pasal-pasal tersebut,

sebagai berikut :

257
Lihat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam Pasal 50 ayat (1) menegaskan:
“Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
147

Skema V

Prosedur Penegakkan Hukum


dari Ketentuan Pasal 50, 54 dan 86(2)

Pasal 54 Undang -
Undang Nomor7 /
1989

Hk. Acara
Hukum Acara
Khusus
Peradilan Umum

Para Pihak dan


Sengketa Waris, dan
Hak milik

Proses Mengadili Oleh Sengketa Para Pihak Ttg. Proses Mengadili Oleh
Peradilan Agama (PA) Hak milik/ Keperdataan Peradilan Umum (PU)
Pasal 50

Tahap Pendahulu
Tahap Penentu/ Menunggu
Proses PU

Input : Putusan Peradilan


Tahap Penentu
Umum

Tahap Terakhir

Pertautan antara pasal-pasal tersebut, merupakan sebuah ganjalan prosedural

bagi pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama dalam menyelesaikan suatu

sengketa, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970, serta adanya pembatasan kewenangan atas prosedur hukum acara,

yang pada akhirnya untuk meniadakan kemampuan menerapkan hukum acara

Peradilan Agama secara mandiri dalam menegakkan hukum materil yang bersumber
148

dari hukum Islam. Dapat diartikan bahwa ketentuan yang digaris bawahi oleh

penjelasan umum butir 2 alinea 6, Pasal 50, Pasal 86 ayat (2) merupakan jabaran

dari prosedur hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang hukum acara Peradilan Agama.

Pasal-pasal tersebut menimbulkan aspek prosedur hukum yang tidak

mengabdi kepada hukum substansi, serta bertolak belakang dengan asas sederhana

cepat dan biaya ringan, bagi para pihak yang mencari keadilan. Ketentuan hukum

tersebut juga mengaburkan tentang kewenangan dari Peradilan Agama dalam

menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang beradasarkan asas personalitas

keislaman, yang seharusnya mutlak menjadi kewenangan penuh dari Peradilan

Agama. Tetapi ketentuan Pasal 54 tersebut bersifat “membuka” untuk terjadinya

dualisme kewenangan dan mencampuradukkan dari lembaga peradilan dilingkungan

Peradilan Umum dengan Peradilan Agama, hanya dalam kewenangan untuk

menetapkan status mengenai hak milik atau keperdataan lain.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh akibat dari ketidak jelasan

pengaturan, sebagai berikut :

Contoh yurisprudensi sengketa hak milik, dalam Putusan Mahkamah Agung


Reg. Nomor162/ Pdt/1992 dalam menimbang terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Maluku di nilai keliru dalam menerapkan hukum atas sengketa hak milik
yang menimbang perkara tersebut merupakan wewenang Peradilan Agama,
selanjutnya Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Maluku tersebut. Dalam pertimbangan selanjutnya, menyatakan patut
mempertahankan Putusan pengadilan Negeri Ternate yang telah benar
menerima dan memeriksa serta mengadili perkara yang berada dalam
kewenangannya yaitu mengenai sengketa hak milik.258

258
Paulus Effendie Latulung (et.al).1995 Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI
Tentang Kewenangan Mengadili. Hasil Kerjasama Mahkamah Agung RI Dengan The Asia
Foundation.
149

Contoh yurisprudensi kewarisan berdasarkan pilihan hukum oleh para pihak.


Dalam putusan Mahkamah Agung Reg.Nomor1321 K/Pdt/1993, dalam perkara
mengenai warisan yang diajukan ke Pengadilan Umum, sekalipun pihak yang
berpekara tersebut beragama Islam, masih diterima dan ditangani perkara
tersebut oleh jajaran lingkungan Peradilan Umum. Seharusnya dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang lagi memeriksa atau
mengadili perkara yang menyangkut Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah,
Wakaf dan Sadaqoh sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 (1), dasar hukum
tersebut penulis sebut sebagai dasar keadilan substansial (substantive
justice). Namun jika pihak-pihak yang yang bersengketa tidak terbukti
menggunakan hukum waris Islam (faraidah), dan hukum yang
dipersengketakan adalah hak kebendaan menurut waris SUKU SUNDA (Jawa
Barat), disamping para pihak adalah warga negara RI yang berasal dari SUKU
SUNDA, maka Pengadilan Negeri berhak mempergunakan Hukum Adat Sunda
(Jawa Barat) sesuai Yurisprudensi, hal ini sebagai pangkal masalah karena
konsep pilihan hukum di dalam kewenangan antara lembaga peradilan,
sebagaimana diatur dalam penjelasan umum butir 2 alinea 6.259

Contoh yurisprudensi kewenangan untuk menetapkan penyelesaian terhadap


perselisihan harta bersama dalam kaitannya dengan perkawinan bagi mereka
yang beragama Islam. Dalam putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 1251
K/Pdt/1992 dalam memeriksa dan mengadili perkara, memberikan
pertimbangan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara
Nomor 66/Pdt.G/1991/PT/Sultra dan putusan Pengadilan Negeri Bau-Bau
Nomor 21/Pdt.G/1991/PN.BB yang dinilai telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara
telah melampaui batas wewenang yurisdiksi (kompetensi absolut), karena :
1. Landasan fakta surat bukti P.1 terbukti bahwa harta perkawinan yang
disengketakan adalah dalam perkawinan orang yang beragama Islam;
2. Gugatan yang diajukan Penggugat konvensi maupun Penggugat
rekonvensi adalah mengenai penyelesaian harta bersama ;
3. Gugatan ke Pengadilan Negeri Bau-Bau tanggal 20 Maret 1991, berarti
pengajuan perkara terjadi setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
berlaku secara efektif yakni berlaku efektif 29 Desember 1989 sebagai
undang-undang yang mengatur tentang kedudukan dan kewenangan
Lingkungan Peradilan Agama ;
4. Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 telah menentukan bidang
yurisdiksi Pengadilan Agama antara lain termasuk yang berkenaan
bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam (asas personalitas
keislaman). Lebih lanjut penjelasan Pasal 49 (2) telah merinci satu
persatu bidang hukum perkawinan apa saja yang termasuk yurisdiksi
Pengadilan Agama. Maka pada angka 10 penjelasan Pasal 49 (2), telah

259
Ibid.hlm.65.
150

menetapkan penyelesaian harta bersama bagi yang beragama Islam


termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama.260

Dari uraian dan contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Pasal 54

merupakan sebuah sumber keadilan prosedural atau prosedur justice yang diadakan

oleh kekuatan dan atau konfigurasi politik yang bersifat otoriter pada kurun waktu

pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Diasumsikan pula bahwa kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama belum

sempurna “masih digerogoti” oleh kewenangan Peradilan Umum. Hal ini menjadi

pertanyaan, mengenai aspek hukum kesejajaran dan kemandirian, kemerdekaan

Peradilan Agama dalam menegakkan hukum material, sesuai dengan kekhususnya,

sebagai Peradilan Agama yang diperuntukkan bagi “umat Islam” tentang pemaknaan

implementasi yuridis dan sosiologis dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Secara ekternal memiliki makna merdeka terhadap kekuasaan lembaga eksekutif

dan legislatif, tetapi secara aspek internal dalam lembaga yudikatif, juga perlu

adanya penegasan terhadap kekuasaan yang merdeka diantara lembaga peradilan.

Karakteristik yang diperoleh dari deskripsi yang dikemukakan sebelumnya,

bahwa di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

mengandung aspek keadilan substansi dan aspek keadilan prosedural, tetapi dalam

penegakkan hukum di bidang kewarisan atau sengketa kebendaan, aspek keadilan

prosedural sangat dominan dibandingkan dengan keadilan substansi. Hal ini

merupakan distorsi antara keadilan substansi dengan keadilan prosedural. Karena

seharusnya keadilan prosedural menunjang untuk tegaknya keadilan substansi.

260
Ibid.hlm.3.
151

5.1.3.4.2. Peradilan Agama Dalam Melaksanakan Kewenangan Bertolak

Belakang Dengan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Dalam upaya penyelesaian perkara kita mengenal beberapa asas yang

dijadikan sebagai sasaran yang harus terefleksi dalam sistem kerja badan peradilan.

Dalam konteks keberlakuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, diberlakukan

pula Pasal 14 (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa

“peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.261 Untuk itu

peradilan harus memenuhi harapan pencari keadilan yang selalu menghendaki

peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, bukan sebaliknya dengan acara

yang berbelit-belit yang mengakibatkan proses dalam waktu yang cukup lama, serta

diharapkan biaya yang relatif mampu dipikul oleh masyarakat sebagai pencari

keadilan.262

Terwujudnya sistem Peradilan Agama yang bernuansa asas sederhana, cepat

dan biaya ringan, sangat tergantung dari pada hukum acara (hukum formal) yang

mengitari sistem Peradilan Agama. Sudikno Mertokusumo berpendapat tentang asas

sederhana, cepat dan biaya ringan sebagai berikut : Pertama, sederhana

artinya acaranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak kaku dan tidak formalistik.

Karena jika terlalu banyak formalistis akan sukar difahami (bandingkan dengan

ketentuan Pasal 50 dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya), secara kenyataan asas

261
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan: “Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan”. Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 ayat (4) menegaskan : “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
262
Mukti Arto.2001. Mencari Keadilan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Anggota IKAPI.
hlm.63.
152

ini berhadapan dengan tembok-tembok prosedur yang terlegitimasi secara akurat,

dengan di dukung pemahaman yang positivistik serta berakibat hukum menjadi kaku

dan kehilangan daya flexibel. Kedua, cepat artinya penyelesaian perkara memakan

waktu yang tidak terlalu lama. Makamah Agung telah memberikan batasan

maksimum terhadap proses penyelesaian perkara sesuai dengan SEMA Nomor 1

Tahun 1992 yang membatasi waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak perkara

didaftarkan di kepanitraan. Semakin cepat proses penyelesaian perkara semakin

baik, akan tetapi cepat harus tetap berada dalam natur hukum yang benar, adil dan

teliti. Ketiga, biaya Ringan artinya tidak dibutuhkan biaya yang cukup besar dan

mahal, serta adanya kageorisasi nominal biaya perkara.263

Parameter di atas, jika dihubungkan dengan persoalan hukum acara yang

bermakna ganda kewenangan mengadili atau tidak diberinya kewenangan Peradilan

Agama dalam mengadili sengketa hak milik atau keperdataan lainnya,264 melahirkan

sistem Peradilan Agama yang berkarakteristik keadilan prosedural, serta

bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Dilain sisi, dapat

dikatakan bahwa dengan tidak terwujudnya sistem Peradilan Agama yang

berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan (khususnya dalam sengketa hak milik

263
Ibid.hlm.64-66.
264
Dengan adanya kalimat “sengketa milik atau keperdataan lainnya” dalam ketentuan
Pasal 50 tersebut, sangat memungkinkan ketidak lancaran dalam penyelesaian sengketa
yang menjadi ruang lingklup kewenangan Peradilan Agama. Sebab setiap penyelesaian akan
mengalami proses peradilan yang berulang-ulang ada tingkat pertama dalam dua lingkungan
peradilan, yakni Peradilan Agama dan Pengadilan Negeri, walaupun subjek, obyek dan
peristiwa pokok perkaranya sama, bila barang sengketa itu tersangkut persolan sengketa
milik atau keperdataan lainnya. Lihat Sumadi Matrais, (2007), “Kemandirian Peradilan Agama
Dalam Konteks Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama”. Disertasi menyelesaikan Program Doktor Ilmu di Universitas Islam Indonesia
153

atau keperdataan lainnya), berdampak langsung kepada birokrasi terhadap para

pihak yang pada konsep filosfisnya datang kepengadilan untuk mendapatkan

keadilan, tidak terwujud sebagaimana mestinya. Dikarenakan, ada dua sistem

peradilan yang mengitari sekitar penyelesaian perkara. Hal ini bertentangan dengan

sifat sederhana, dan penyelesaian perkara juga tidak cepat, karena Peradilan

Agama tidak dapat mengakhiri suatu sengketa, jika Peradilan Umum belum

menetapkan secara yuridis tentang hak milik dan atau keperdataan lainnya, yang

berhubungan dengan pokok kewenangan dari lembaga Peradilan Agama.

Konsekwensi ganda kewenangan mengadili, juga berakibat terhadap

pembiayaan terselenggaranya peradilan, hal ini bertentangan dengan asas biaya

ringan. Asas tersebut merupakan refleksi hak para pihak, yang beracara di Peradilan

Agama, dengan tidak dapat dilaksanakannya asas tesebut, maka hak para pihak

dalam sisitem penegakkan hukum di Peradilan Agama menjadi terabaikan.

Alternatif yang ditawarkan oleh penulis dalam menegakkan asas sederhana,

cepat dan biayaringan sebagai berikut : Pertama, untuk berperkara secara

sederhana dengan jalan memperbaharuai sistem hukum acara yang ada dengan

menyusun proses peradilan yang lebih sederhana dan flexibel, dalam hukum acara

Peradilan Agama dapat ditempuh dengan memulihkan kewenangan sebagai

penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam satu sistem Peradilan Agama.

Kemudian dapat dilakukan dengan cara membatasi upaya hukum atas putusan

pengadilan tingkat pertama dan memanfaatkan ilmu manajemen dalam proses

penyelesaian perkara di pengadilan. Kedua, untuk mewujudkan sistem peradilan

yang cepat dengan cara : mencabut dan mereformulasi ketentuan pemanggilan

lewat media massa yang memakan waktu 4 (empat) bulan, memanggil orang yang
154

berada di luar negeri memakan waktu 6 (enam) bulan, pemanggilan orang yang

diduga telah meninggal memakan waktu 10 (sepuluh) bulan, sikap hakim yang pasif.

Ketiga, untuk biaya ringan dapat dilakukan dengan cara memberikan batasan

penarikan dari para pihak yang wajar, serta mengembangkan fasiitas perlindungan

hukum bagi pencari keadilan secara cuma-cuma atau prodeo.

5.1.4. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum

Christian Boulanger265 menegaskan ada dua perkembangan penting yang

menandai perubahan politik dan ketatanegaraan di seluruh dunia pada abad ke-20,

sebagai berikut: Pertama, menurut tesis Francis Fukuyama266 tentang hegemoni

demokrasi liberal dan kapitalisme pasar, serta tesis Samuel P. Huntington267 tentang

gelombang demokratisasi ketiga. Perkembangan ini terkait erat dengan runtuhnya

rezim komunis di Eropah Timur yang menimbulkan gelombang demokratisasi baru.

Menurut studi Larry Diamond dan Freedom House sejak tahun 1990 hingga 1998

terjadi peningkatan lebih dari 60% negara yang mengalami proses demokratisasi

yang disebut Diamond sebagai electoral democracy.268 Kedua, perkembangan yang

disebut sebagai global expansion of judicial review.269 Di seluruh dunia, Mahkamah

Konstitusi atau lembaga sejenis telah dibentuk dengan kekuasaan untuk

265
Aidul Fitriciada Azhari, “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan”, Makalah, Fakultas Hukum dan
Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
266
Francis,Fukuyama, 1992, The Wend of History and the Last Man, New York: The
Free Press.
267
Samuel P.Huntington, 2000, “The Future of the Third Wave,” dalam Marc F.
Plattner dan Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore/London: The John
Hopkins University Press.
268
Larry Diamond, 2000, “The End of the Third Wave and the Start of the Fourth,”
dalam Plattner, Marc F., Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore: The John
Hopkins University Press.
269
Tate, C.N. & Torbjorn Vallinder (eds.), 1995, The Global Expansion of Judicial
Review, New York: New york University Press.
155

menyatakan konstitusionalitas suatu tindakan eksekutif atau aturan hukum yang

ditetapkan secara demokratis oleh lembaga legislatif.

Kedua perkembangan gelombang demokratisasi tersebut terjadi di Indonesia

sejak tahun 1990-an dan klimaksnya pada tahun 1998 dengan mundurnya Presiden

Soeharto dari jabatannya. Gelombang demokratisasi yang secara konseptual disebut

sebagai „transisi demokratik‟ dan secara politis disebut sebagai „reformasi‟ diikuti

pula dengan ekspansi judicial review berupa pembentukan Mahkamah Konstitusi

sebagai hasil dari Perubahan Ketiga Undang–undang Dasar 1945.

Perubahan ketiga Undang–undang Dasar 1945 tanggal 9 November 2001

antara lain telah melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan

Kehakiman dari semula hanya terdiri dari dua Pasal menjadi lima Pasal sebagai

berikut:

Pasal 24 berbunyi:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)

Pasal 24A berbunyi:

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji


peraturan perundang-undangan di bawah undang–undang terhadap
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang. ***)
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***)
156

(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan


Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung. ***)
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah
Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang. ***)

Pasal 24B berbunyi:

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan


pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. ***)
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela. ***)
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
Undang-Undang.***)

Pasal 24C berbunyi:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang–undang
terhadap Undang–undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang–undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. ***)
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang–undang Dasar. ***)
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. ***)
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang. ***)
157

Pasal 25 berbunyi:

„Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan

dengan Undang-Undang”.

Perubahan tersebut telah memasukan ketentuan tentang kemerdekaan

Kekuasaan Kehakiman dalam batang tubuh Undang–undang Dasar 1945. Untuk

menyesuaikan perubahan Undang–undang Dasar 1945, dikeluarkan beberapa

Undang-undang sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;270

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,271

sebagai tindak lanjut amanah Pasal 24C ayat (6) Undang–undang Dasar 1945;

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;272

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004273 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagai

pelaksanaan ketentuan Pasal 24A ayat (5);

270
Republik Indonesia Undang–undang Advokat, Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003, LN Nomor 49 Tahun 2003 TLN Nomor 4288
271
Republik Indonesia, Undang–undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003, LN Nomor 98 Tahun 2003, TLN Nomor 4316
272
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman. Lihat Pasal 10 ayat (1) Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kemudian dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 25
ayat (1) menegaskan: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara”.
273
Republik Indonesia, undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, LN
Nomor 9 Tahun 2004, TLN Nomor 4359. Kemudian dirubah menjadi Undang-undang Nomor
3 Tahun 2009..Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
158

5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004274 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilam Umum;275

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004276 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara;277

7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, sebagai

tindak lanjut Pasal 34B ayat (4) Undang–undang Dasar 1945;

8. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006278 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.279

Memperhatikan amanah Undang–undang Dasar 1945 pemerintah dilarang

untuk mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman

harus mempunyai kedudukan yang kokoh dan wibawa yang tinggi agar mampu

menyelesaikan semua perkara serta persengketaan dan pelanggaran hukum antara

sesama warga negara Indonesia, baik rakyat biasa atau penguasa yang secara

274
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, LN
Nomor 34 Tahun 2004, TLN Nomor 4379.
275
Kemduian dirubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
276
Republik Indonesia, undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, LN Nomor 35 Tahun 2004, TLN Nomor 4380
277
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
278
Republik Indonesia, undang–undang tentang perubahan atas Undang-undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, LN Nomor 3
Tahun 2006, TLN Nomor 4611
279
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
159

obyektif dan tidak memihak (impartial) kepada siapapun baik bersifat ekstra yudisiil

maupun intrayudisiil.280

Sebelum adanya perubahan Undang–undang Dasar , kekuasaan kehakiman

atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang

berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai

dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh

diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama

pemerintah.

Setelah perubahan ketiga Undang–undang Dasar 1945 disahkan, kekuasaan

kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada

di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang

setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah

Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang

membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court).

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dipandang sebagai suatu sistem

Peradilan di Indonesia. Peradilan tersebut memiliki sub sistem-sub sistem yang

menunjang bekerjanya sistem peradilan yang ada. Sistem Peradilan mempunyai

mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakekat keberadaan

peradilan, sebagai suatu lembaga operasionalisasi sistem peradilan menuntut

280
Paulus Efendie Lotulung, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Konteks
Pembagian Kekuasaan dalam Pertanggungan Jawab Politik”, Makalah dalam Seminar
Hukum Nasional RI ke VII “ Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani “. Jakarta, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI , hlm. 156
160

adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses

secara efektif dan efisien.281

Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan

Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara,

memiliki prosedur hukum acara dan yurisdiksinya masing-masing. Tiap-tiap peradilan

tersebut sebagai sub sistem-sub sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung, memiliki kompetensi sesuai dengan domain (ranah) kompetensi

keilmuan yang melekat pada predikat peradilan masing-masing.

Bekerjanya sistem peradilan Indomesia tersebut, ditegaskan dalam cetak biru

(blueprint) pembaharuan Mahkamah Agung RI bahwa VISI Mahkamah Agung

adalah: “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri,

efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi

pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi

masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”. Visi Mahkamah

Agung tersebut merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan

lembaga peradilan ke depan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dilakukan upaya pembaharuan untuk

mewujudkan kekuasaan kehakiman yang ideal, mendapat respon dengan

diamandemennya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman, menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, yang kemudian

diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.282 Perubahan undang-

281
Artidjo Alkostar, (Hakim Agung), “Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia”, Artikel, pada 27 Juni 2007.
282
Kemudian diganti menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
161

undang tersebut dilatarbelakangi oleh adanya perubahan konstitusi atau

amandemen Undang-undang Dasar 1945. Akibat perubahan pada undang-undang

kekuasaan kehakiman yang cukup signifikan tersebut, maka dilakukan penyesuaian

kembali terhadap undang-undang tentang Mahkamah Agung, undang-undang

tentang Peradilan Umum, undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan

undang-undang tentang Peradilan Agama.283

Langkah-langkah strategis dalam dimensi pembaharuan hukum Peradilan

Agama dapat dirinci ke dalam beberapa tahapan kegiatan, sebagai berikut:

Pertama, reformasi kelembagaan terhadap Peradilan Agama yang pada

mulanya kondisi dualisme kewenangan lembaga yang mengatur Peradilan Agama

tersebut diakhiri dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengintegrasikan secara penuh Peradilan

Agama dalam kekuasaan lembaga yudisial di bawah Mahkamah Agung atau

urgenisitas pembaharuan sistem peradilan satu atap.284

Kedua, reformasi Perundang-Undangan dengan disahkannya Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.

Dari agenda reformasi hukum nasional yang berupaya menguatkan eksistensi

dan peran keberadaan lembaga peradilan (Peradilan Agama khususnya) dalam

negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan, karena akan

283
Abdul Gafur Anshori. 2007. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan). UII Press, Yogyakarta, hlm
49-50.
284
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi. Loc.Cit.
162

mustahil kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika

tidak ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa

antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakat

lainnya. Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan

suatu negara. Dalam bukunya territory the claiming of space, David Storey

menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu:285

1. Mengatur perekonomian negara.


2. Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan
transportasi.
3. Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya.
4. Membela dan menjaga teritorial wilayahnya negara dan keamanan
rakyatnya dari ancaman pihal luar.

Bertolak dari fungsi kedaulatan suatu negara tersebut di atas, maka tidak ada

bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka dan mandiri. Salah

satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah adanya pengadilan yang

berdaulat. Entitas peradilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas

mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa. Khususnya terkait

dengan kegiatan penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara

sesama warga yang diproses melalui peradilan yang independen harus menjadi

puncak kearifan dan perekat sosial bagi para pihak yang bersengketa sebagai

bagian dari dinamika sosial dalam negara modern.

5.1.4.1. Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia

Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman sebagaimana amanat reformasi kini

tengah memasuki babak baru. Perubahan ini dimulai dengan direvisinya Undang-

285
Artidjo Alkostar, (Hakim Agung), Loc.Cit.
163

undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.286 Demikian pula halnya

dengan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2005. Seiring dengan

revisi undang–undang tersebut, maka amandemen terhadap Undang-undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan

hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju

peradilan modern. Oleh karenanya pemerintah dan DPR telah menyepakati

perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006.287

5.1.4.2. Politik Hukum Peradilan Satu Atap

Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan hukum positif

dari hukum yang akan dan harus ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan

dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan

kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas R. Dye yaitu : whatever the

government choose to do or not to do. Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris

policy atau dalam bahasa Belanda politiek yang secara umum dapat diartikan

sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam

286
Mutammimul Ula, “Wajah Baru Peradilan Agama”, Opini, Surabaya, Jawa Pos Edisi
Sabtu, 25 Februari 2006.
287
Ariyanto dkk., “Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum)”, Trust Majalah
Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, hlm. 70.
164

mengelolah, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah

masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan

pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah pada

upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.288

Cerminan politik hukum peradilan satu atap dapat ditelusuiri dari Pasal 10

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman ada empat lingkungan kekuasaan kehakiman yaitu : (1)

Peradilan Umum; (2) Peradilan Agama; (3) Peradilan militer; (4) Peradilan Tata

Usaha Negara.289 Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,

empat lingkungan kekuasaan kehakiman tersebut di atas secara administratif,

organisatoris,dan finansial berada dibawah lingkungan masing-masing. Dengan

demikian Departemen Kehakiman membawahi Peradilan Umum dan Peradilan Tata

Usaha Negara. Departemen Agama membawahi Peradilam Agama dan departemen

pertahanan dan keamanan(dahulu) membawahi Peradilan Militer.

Di era reformasi kesadaran dan semangat reformasi di dunia peradilan

menumbuhkan tekad agar semua lembaga peradilan berada dalam satu wadah

penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung (one roof sistem).

Konsekwensinya undang–undang mengenai lembaga peradilan harus direvisi sesuai

dengan semangat satu atap dunia peradilan di Indonesia tersebut. Ketika Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 direvisi, legislator memanfaatkan bukan hanya

288
Wisnusubroto.1999. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm.10.
289
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 25 ayat (1) menegaskan: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara”.
165

merubah status organisasi, administrasi dan finansial yang semula berada di bawah

Departemen Agama menjadi di bawah Mahkamah Agung, namun juga dilakukan

perluasan wewenang, sejalan dengan semangat untuk menerapkan lebih banyak

lagi ajaran Islam melalui hukum nasional. 290

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dalam Pasal 11

ayat (1) disebutkan bahwa:291

”Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)

secara organisatoris dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung”.

Amanah undang–undang tersebut, dalam jangka lima tahun dilangsungkan

penyatuan lingkungan peradilan baik secara administratif, organisatoris dan finansial

untuk berada dibawah mahkamah Agung. Latar belakang penyatuan dalam ”satu

atap” disebut antara lain menunjang kemandirian hakim.

Menurut H. M. Tahir Azhary, sesungguhnya kemandirian hakim tidak semata-

mata tergatung pada penyatuan Peradilan Agama ke dalam satu atap dibawah

Makamah Agung.292 Tetapi kekuasaan kehakiman banyak ditentukan

kemandiriannya dalam mengambil putusan, artinya suatu putusan hakim tidak boleh

dicampuri oleh apapun dan siapapun, hal ini sangat penting bagi prospek peradilan

dimasa datang. Selanjutnya khusus untuk Peradilan Agama tidak ada ketentuan

290
H. Muhammad Karsayuda, Op.Cit,hlm.3.
291
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 21 ayat (1) : “Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Ayat
(2): “Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur
dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.
292
H. M. Tahir Azary, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999: Perspektif Hukum Masa Datang, Dalam 10 Tahun undang-undang Peradilan Agama
Jakarta, Laporan Seminar 10 Tahun Peradilan Agama, hlm.123.
166

yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama

dengan Mahkamah Agung harus sudah dilaksanakan.

Selama belum ada pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke

Mahkamah Agung maka Peradilan Agama masih dibawah Departemen Agama, hal

ini berdasarkan penjelasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Pasal 1 angka 2

ayat (2) yang mengatur :

”Selama belum dilakukan pengalihan maka organisasi administrasi dan

finansial bagi Peradilan Agama tetap berada dibawah kekuasaan Departemen

Agama”293

Meskipun ada perubahan terhadap Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970, yang menyatakan bahwa secara organisatoris, administratif dan finansial

Peradilan Agama berada dibawah Mahkamah Agung, namun sebelum atau sesudah

lahirnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, Pengadilan Agama tidak

mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang

lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada dibawah

Mahkamah Agung.

Cerminan politik hukum tersebut dapat ditelusuri pada Pasal 11 Undang-

undang Nomor 35 Tahun 1999 adalah sebagai berikut. Ketentuan Pasal 11 diubah

sehingga berbunyi sebagai berikut :

(1). Badan-badan peradilan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (1),


secara organisatoris, administratif dan finansial berada dibawah
Mahkamah Agung
(2). Ketentuan mengenai organisasi, administratif dan finansial
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai
dengan kekuasaan lingkungan peradilan masing-masing.
293
Ibid.
167

Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan (satu) Pasal, yakni Pasal 11A yang

berbunyi sebagai berikut :

(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana


dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap,
paling lama lima tahun sejak undang–undang ini mulai berlaku.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan
Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan keputusan
presiden.

Menurut penjelasan Pasal demi Pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2) b, bagi

Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara

dibidang perkawinan, kewarisan wasiat dan dan hibah wakaf sedekah. Sedangkan

Menurut penjelasan Pasal demi Pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999, selama belum dilakukan pengalihan maka, organisasi,

administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada dibawah

kekuasaan Departemen Agama.

Sekarang ini Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru ini

terjadi perubahan antara lain dalam Pasal 10 dinyatakan bahwa:294

(1). Kekuasaan Kehakiman di lakukan oleh sebuah Makamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh Makamah
Konstitusi.
(2). Badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung meliputi badan
peradilan dalam Peradilam Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.

294
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 18 menegaskan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
168

Pasal 11 ayat (1) Mahkamah Agung merupakan Peradilan Negara tertinggi dari

keempat lingkungan peradilan tersebut di atas; ayat (2) Mahkamah Agung

mempunyai kewnangan: a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang

diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilam yang

berada dibawah Mahkamah Agung; b) Menguji peraturan undang–undang dibawah

undang–undang terhadap undang-undang; c) kewenangan lainnya yang diberikan

oleh undang-undang. Dalam Pasal 13 ayat (1) ditentukan bahwa Organisasi,

Administrasi dan Finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Khusus bagi Peradialn Agama, pelaksanaan pemindahan (pelepasan)

Lembaga Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004. Pasal 2 ayat (2) Keputusan

Presiden ini menentukan bahwa organisasi, administrasi dan finansial pada

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi

Agama atau Mahkamah Syar‟iyah Provinsi, dan Pengadilan Agama berada dibawah

Mahkamah Agung.

Saat ini peraturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial

lembaga Peradilan Agama ke ”satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah

semakin kokoh dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang

mengatur lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat

(1) Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi:

”Pembinaan teknis peradilan, organisasai, administrasi dan finansial

pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.”


169

Sedangkan pada Pasal I angka 6 juga terdapat penyesuaian terhadap bunyi

Pasal 12 Ayat (1) undang-undang Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi :295

”Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua

Mahkamah Agung.”

Dari konsep politik hukum peradilan satu atap tersebut di atas, telah membawa

perubahan performance dari lembaga Pengadilan Agama untuk memperoleh

perlakuan yang sama dengan peradilan lainnya sebagai buah reformasi hukum

secara nasional khususnya dalam reformasi kekuasaan kehakiman.

5.1.4.3. Pemikiran Pro dan Kontra Terhadap Politik Hukum Peradilan Satu

Atap Bagi Peradilan Agama

Sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia begitu panjang,

penuh liku, dan sarat akan muatan politis. Termasuk polemik dalam sejarah hukum

nasional, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Eksistensi dan

kewenangannya pun, dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada siapa yang

berkuasa dalam waktu tersebut. Jika penguasa menghendaki Peradilan Agama

menjadi kerdil atau hilang keberadaannya, walaupun umat Islam menghendaki

sebaliknya, tetap saja kehendak penguasa yang dominan, sebab ia pemegang

dominasi politik. Meskipun demikian, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia

sangat kuat mengingat memiliki akar historis yang kuat dalam perjalanan sejarah

masyarakat muslim Indonesia.

295
Selanjutnya dapat ditemukan pada Bab VI tentang Pengawasan Hakim dan Hakim
Konstitusi dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
pada Pasal 39 sampai dengan Pasal 44.
170

Memperhatikan proses pelaksanaan penyatuatapan di lingkungan Peradilan

Agama tidak semulus badan-badan peradilan lainnya. Meskipun pada akhirnya,

sejak tanggal 30 Juni 2004, Menteri Agama telah menyerahkan organisasi,

administrasi dan finansial lingkungan Peradilan Agama296 kepada ketua Mahkamah

Agung.297 Namun, sebelum di satu atapkan, yakni tepatnya sejak lahirnya Undang-

undang Nomor 35 Tahun 1999298 terjadi polemik pro dan kontra di kalangan

masyarakat muslim. Tidak hanya masyarakat di luar dan didalam struktur Peradilan

Agama, akan tetapi juga antar tokoh, ulama, dan intelektual muslim.

Pro dan kontra itu berawal, ketika Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999

dalam salah satu pasalnya, menyebutkan bahwa:

“pengalihan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha

Negara, dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun. Sedangkan untuk Peradilan Agama,

batas waktu peralihannya tidak ditentukan”.

Tidak ditentukan batas waktu pengalihan untuk pengadilan agama tersebut,

menimbulkan penafsiran yang berbeda, bisa diartikan pengalihan dilakukan

secepatnya, atau juga bisa selama-lamanya, dalam pengertian tidak jadi di

satuatapkan.

296
Sesuai dengan Keppres Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan ke Mahkamah Agung
(Vide Pasal 2 ayat (1)), maka pada tanggal 31 Maret 2004, Mentri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada Ketua Mahkamah agung. Untuk
lingkungan Peradilan Militer, baru pada tanggal 1 September 2004 Panglima ABRI
menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer
kepada kepada Ketua Mahkamah Agung.
297
Sesuai dengan Keppres Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan ke Mahkamah Agung
(Vide Pasal 2 ayat (2))
298
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 1999
Nomor 147, TLN-RI Nomor.3879.
171

Jaenal Aripin menggambarkan pro dan kontra terlihat dari data hasil penelitian
yang pada tahun 1999, dari 518 responden kategori A (berasal dari lingkungan
peradilan agama); 482 orang atau 93% menyatakan setuju dan 2,9%
menyatakan tidak setuju penyatuatapan Peradilan Agama. Sedangkan
responden dari kategori B (berasal dari luar Pengadilan Agama) yang berjumah
379 orang; 291 atau 76,8% menyatakan tidak setuju dan hanya 53 orang atau
14% yang menyatakan setuju. Akan tetapi yang menarik adalah, dari 93% yang
setuju penyatuatapan, ternyata alasannya adalah 63,3% karena material dan
22,2% karena alasan struktural.299

Kenyatan tersebut menunjukkan bahwa, setuju terhadap penyatuatapan lebih

beriorentasi pada hal-hal yang bersifat materi, terutama menyangkut tentang

perbaikan sarana dan prasarana, termasuk juga bentuk material lainnya, semisal gaji

atau tunjangan dan penghasilan lainya serta biaya operasional peradilan agama, dari

pada alasan struktural, yakni, untuk menyatukan badan-badan peradilan sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaksana

kekuaan kehakiman tertinggi, dengan istilah sistem satuatap (one roof system).300

Atau untuk melepaskan campur tangan eksekutif dalam mengurusi badan peradilan

sebagai pelaksana dari tugas yudikatif (separation of power), sebagaimana hakikat

dan tujuan utama lahirnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan adanya

reformasi di bidang hukum; khususnya menyangkut kekuasaan kehakiman.

Sedangkan responden yang menatakan tidak setuju disatuatapkan, umumnya

karena menyatakan bahwa ada ikatan historis (dinyatakan oleh 60 responden)

antara Peradilan Agama dan Departemen Agama. Sehingga, seandainya

disatuatapkan dikawatirkan akan kehilangaan sisi historis Pengadilan Agama dengan

Departemen Agama. Iinilah yang melandasi alasan ketika Ismail Sunny mengatakan

bahwa: ”...Peradilan Agama tidak boleh dialihkan ke Mahkamah Agung, melainkan

299
Jaenal Aripin, Op.Cit. hlm.303.
300
Ibid.
172

harus tetap berada di bawah Departemen Agama”, termasuk juga Busthanul Arifin

yang secara tegas menyatakan bahwa ”... Peradilan Agama tidak akan pernah

beralih hingga kiamat sekalipun.”301

Selain itu, kedudukan hakim agama di lingkungan Peradilan Agama, disamping

sebagai penegak hukum, ia juga mempunyai peran ganda sebagai ulama dan

menjadi panutan masyarakat sekitarnya. Mengingat pembinaan hakim sebagai

ulama pada masa tersebut di lakukan oleh Departemen Agama, maka akan menjadi

lepas begitu saja setelah pindah ke Mahkamah Agung. Bahkan, keterkaitan antara

perkembangan Peradilan Agama dan peran gigih yang dilakukan ulama adalah

mutlak tidak bisa dipisahkan, sehingga ketika terjadi pengalihan, akan

mengakibatkan terputusnya hubungan Peradilan Agama dengan ulama, dan

Departemen Agama.

Ketika proses awal penyatuatapan badan peradilan Jimly Asshiddiqie

mengatakan bahwa:

...dalam upanya mengembangkan sistem kekuasaan kehakiman yang utuh di


bawah Mahkamah Agung, kedududkan Pengadilan Agama untuk sementara
waktu tetap dibiarkan dibina di bawah organisasi pemerintah yaitu Departemen
Agama. Namun pada saatnya nanti administrasi pembinaan Paeradilan Agama
tidak mungkin terus menerus dipisahkan dari lingkungan kekuasaan kehakiman
pada umumnya”. Jika pembinaannya terus-menerus disendirikan, besar
kemungkinan perkembangannya akan mengalami hambatan. Karena itu,
memang diperlukan langkah-langkah konkrit, terencana dan sistematis
sehingga pada saatnya nanti administrasi pembinaan Peradilan Agama juga di
integrasikan ke dalam sistem pembinaan oleh Mahkamah Agung.302

Pemikiran yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie merupakan jembatan

untuk mendamaikan kubu pro dan kontra yang terjadi dalam masyarakat sesuai

301
Ibid.
302
Jimly Ashidiqqie, ”Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan”, Makalah, Seminar
Sehari yang Diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat,
Kamis 13 Juli 2000.
173

agenda penyatuanatap terhadap lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah

Agung serta lepas dari Departemen Agama. Ditengah gemelut antara kubu pro dan

kontra pada tahun 2003 dipersiapkan 5 (lima) rancangan undang-undang yang

merevisi undang-undang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang Mahkamah

Agung, undang-undang Peradilan Umum dan undang-undang Peradilan Tata Usaha

Negara dan undang-undang Kejaksaan yang dipersiapkan oleh Departemen Hukum

dan perundang-undangan sebagai wujud kesungguhan dari reformasi di bidang

hukum dan lembaga peradilan secara keseluruhan.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak termasuk

dalam paket pembaharuan, karena seyogyanya akan dipersiapkan oleh Departemen

Agama akan tetapi sesuai dengan sikap MUI yang belum siap menyerahkan

Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Sikap tersebut berbeda terbalik dengan

sikap struktur hukum Peradilan Agama yang berkeinginnan kuat untuk bergabung

dengan Mahkamah Agung. Karena posisi yang semakin pelik akhirnya H. Taufik dan

beberapa tokoh mengambil langkah untuk memprakarsai menjembatani kedua kubu

yang berbeda pandangan tersebut. Dengan difasilitasi oleh oleh Pusat Pengkajian

Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) dipertemukan antara Departemen Agama,

Ulama, Ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia dan sejumlah

anggota DPR.

Pada forum pertemuan tersebut Departemen Agama masih bersikukuh untuk

mempertahankan Peradilan Agama, sementara ketua-ketua Pengadilan Tinggi

Agama tatap membawa aspirasi segenap struktur Peradilan Agama untuk bergabung

dengan Mahkamah Agung. Walapun masih berbeda pendapat tetapi sudah saling

memahami alasan masing-masing, dan jalan menuju penyatuanatap mulai terbuka,


174

dan tidak kalah pentingnya dilakukan pula pendekatan pemahaman dengan para

ulama agar mereka dapat memahami alasan penyatuanatap Peradilan Agama ke

dalam Mahkamah Agung.

Pada tanggal 7 Desember 2003 lembaga politik yaitu DPR-RI melalui seluruh

fraksi dipanitia kerja rancangan undang-undang Kekuasaan Kehakiman sepakat

agar paling lambat 30 Juni 2003 Peradilan Agama termasuk Direktorat Pembinaan

Peradilan Agama Departemen Agama, harus sudah diaihkan ke Mahkamah agung.

Walaupun wakil dari Departemen Agama menolak, tetapi pembahasan terus

berjalan dan akhirnya Panitia Kerja memasukan menjadi salah satu pasal pada

Rancangan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.

Dari perkembangan politik hukum di DPR tersebut dilakukanlah pendekatan-

pendekatan pada ulama303 dan berkat pendekatan tersebut akhirnya Departemen

Agama beserta para ulama akhirnya menyetujui penyatuanatap Peradilan Agama ke

Mahkamah Agung.

Persetujuan tersebut masih diimbangi dengan konsesus agar dalam proses

pembinaan Peradilan Agama tetap melibatkan Departemen Agama dan Majelis

Ulama Indonesia. Diperkuat melalui Rakernas dan Ijtima Ulama Komisi Fatwa

Majelis Ulama Indonesia se-Indonesia pada tanggal 16 Desember 2003, MUI

dengan memutuskan sikap agar penambahan alinea pada penjelasan Rancanga

Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang lengkap bunyinya sebagai berikut:

303
H. Taufik kemudian menemui Menteri Agama Said Agil Husni Al-Munawar untuk
menyampaikan keinginan warga Peradilan Agama agar segera menyetujui penyatuanatap
Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Menag didampingi oleh Direktur Pembinaan
Peradilan Agama (H. Wahyu Widiana) kemudian menyetujui dengan syarat para ulama juga
harus turut menyetujui. Kemudian H. Taufik melakukan pendekatan dengan beberapa ulama
diantaranya K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Ali Yafie, dan K.H.Amidhan. Jaenal Aripin, Op.Cit.
hlm.307.
175

Dengan berlakunya undang-undang ini, pembinaan badan Peradilan Umum,


badan Peradilan Agama, badan Peradilan Militer dan Badan Peradilan Tata
Usaha Negara dibawah Mahkamah Agung. Mengingat sejarah badan Peradilan
Agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, maka pembinaan
terhadap badan Peradilan Agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan
pendapat dari Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.304

Hasil Rakernas dan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se-

Indonesia tersebut dalam Sidang Paripurna pada tanggal 18 Desember 2003 secara

bulat mengesahkan rancangan undang-undang Kekuasaan Kehakiman dengan

memasukan usulan Majelis Ulama Indonesia secara penuh dan lahirlah Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain

bersisi politik hukum penyatuanatap keempat lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung.

5.1.5. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama Menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya adalah

peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam

walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-qur‟an, as-sunnah dan

pendapat para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk

buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Oleh karena itu, hukum Islam di

Indonesia seperti halnya juga hukum adat,305 sering dipandang sebagai hukum tidak

tertulis dalam bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yang menghendaki

pemberlakuan fikih muamalah sebagai hukum positif juga harus mengupayakan

304
Ibid. hlm.307-308
305 ‟
Rifyal Ka bah, ” Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di
Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol.II Nomor5, Jakarta, September 2004, hlm. 50.
176

politik hukum melalui proses legislasi dengan menyusun draft rancangan undang-

undang yang diajukan kepada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan

persetujuan.306 Berkenaan dengan proses legislasi, dapat dikatakan mencakup

kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang.

pengajuan rancangan undang-undang bisa melalui Presiden atau melalui inisiatif

DPR.307

Mentransformasikan fikih muamalah dalam bentuk peraturan perundang-

undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni:

landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

5.1.5.1. Landasan Filosofis

Landasan filsafati, berisi nilai-nilai moral atau etika dari suatu bangsa. Moral

dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik, sedangkan

nilai yang baik merupakan pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi yang di

dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya

yang dianggap baik.

5.1.5.1.1. Tujuan Hukum Islam (syara’) atau Al-Maqashidu ‘l-khamsah

Tujuan hukum Islam dapat dipahami dari sudut asas dalam disiplin hukum

Islam. Asas memiliki pengertian sebagai kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir

atau berpendapat dapat pula diartikan alas atau landasan. Sehingga jika kata asas

dihubungkan dengan kata hukum menjadi asas hukum berarti kebenaran yang

dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan dalam mengemukakan

306
Sri Wahyuni, ”Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi
Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum Nomor 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003., hlm. 84.
307
Jimly Asshiddiqie,2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi
Press, Jakarta. hlm. 29.
177

argumentasi, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Hal ini berfungsi

sebagai rujukan dalam mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan

hukum.308

Asas umum hukum Islam adalah asas hukum yang meliputi semua bidang

hukum Islam, meliputi : Asas keadilan, asas yang penting dan mencakup semua

asas dalam bidang hukum Islam. Dalam hukum Islam dikenal pula adanya asas

hukum pidana yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam meliputi asas

legalitas, asas larangan memindahkan kepada orang lain, asas praduga tak

bersalah. Sedangkan asas hukum perdata Islam adalah asas-asas hukum yang

mendasi pelaksanaan hukum perdata Islam meliputi asas kekeluargaan, asas

kebolehan atau mubah, asas kebajikan dan asas kemaslahatan.309 Mengingat

pentingnya asas di maksud, sehingga Allah SWT mengungkapkan di dalam Alqur‟an

lebih dari seribu kali, terbanyak disebut setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan.

Asas kepastian hukum adalah asas yang menyetakan bahwa tidak ada satu

perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada

dan berlaku pada perbuatan itu. Oleh sebab itu tidak ada sesuatu pelanggaran

sebelum ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Asas kemanfaatan adalah asas

yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas

keadilan dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatannya,

baik kepada yang bersangkutan sendiri maupun kepada kepentingan masyarakat.310

Sedangkan Islam sendiri itu merupakan sebuah total sistem, yang terdiri dari

aqidah (belief system), syari‟ah (worship system), muammalah (social system), dan

308
Zainuddin Ali, Op.Cit. hlm.45.
309
Ibid, hlm.47-48.
310
Ibid, hlm. 45-46.
178

akhlaq (personality system).311 Jika diilustrasikan maka akan membentuk sebuah

bangun segitiga dengan sebuah titik poros, dimana pada sudut atas adalah aqidah,

pada sudut kanan bawah adalah syari‟ah, pada sudut kiri bawah adalah

Muammalah, dan di titik poros adalah akhlaq, dan syari‟ah itu mengandung hukum-

hukum normatif yang bersifat empiris.312 Menurut Herman, moral harus dijadikan

hukum dengan melalui proses pengundangan. Dalam Islam terjadi jalinan yang erat

sekali antara etika atau moral, agama dan hukum,313 karena kebenaran Islam itu

merupakan kebenaran mutlak yang transendental harus ditaati secara mutlak.

Menurut Herman, di dalam kehidupan ini sesungguhnya tidak ada objektivitas

itu, karena orang tidak mungkin mengetahui sesuatu itu sebagai the thing in its self,

yang diketahui orang hanyalah the thing as he perceives. Maka persepsi orang

terhadap segala sesuatu selalu dipandu oleh tata nilai yang dianutnya. Orang-orang

yang percaya kepada agama tertentu, akan dipandu oleh tata nilai agama itu dalam

melihat dan memahami setiap realitas, orang yang dipandu oleh tata nilai itu, disebut

oleh para sosiolog, dinamakan respons. 314

Tujuan hukum syara‟ secara global untuk kemaslahatan dunia dan akhirat

bagi seluruh umat manusia, sekaligus bukti Rahmat Allah bagi seluruh alam. Secara

rinci syara‟ memiliki 5 tujuan utama (al-maqashidu „l-khamsah), yaitu : memelihara

kemaslahatan agama; memelihara jiwa; memelihara akal; memelihara keturunan;

memelihara harta benda dan kehormatan diri.315 Sedangkan yang menjadi ciri-ciri

311
Herman Soewardi, Op.Cit, hlm.237
312
Ibid.hlm. 41
313
Ibid.hlm. 79
314
Ibid.hlm.90
315
Syah, Muhammad Ismail (et.al). Op.Cit. hlm. 65–102
179

Hukum Islam meliputi bersifat universal (daya jangkau keberlakuannya), untuk

kepentingan kemanusiaan; membangun moralitas akhlaq karimah.316

Upaya memahami teori hukum Islam sesuai dengan derap langkah maju umat

Islam dalam menjalan tugas selaku khalifah Allah SWT, dihadapkan pada dua sisi

yang harus seimbang dalam langkah maju memikul tanggung jawab selaku

pemegang amanat, yaitu mengabdikan diri kepada Allah secara vertikal (ibadah) dan

mengatur hubungan baik sesama manusia dalam konteks hubungan umat

(muamalat). Tata cara tersebut diatur dalam al-quran dan sunnah, yang muncul

setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Teori hukum Islam (islamic legal theory) sebagai teori yang mewadahi untuk

memahami berbagai sumber dan metode yang melahirkan hukum Islam. Sebagai

pangkal nilai atau sumber dari terbentuknya hukum Islam diambil dari kitab suci al-

qur‟an dan sunnah Nabi.317 Dari kedua sumber tersebut memberikan materi hukum

ataupun asas-asas hukum (abstarksi hukum Islam). Sedangkan sumber-sumber lain

melahirkan hukum dengan mempergunakan metode ijtihad dan interprestasi atau

dapat melalui sebuah konsensus yang disebut ijma. Dalam teori hukum Islam juga

memberikan pemahaman secara hirarkhi, dalam urutan sumber-sumber hukum

Islam tempat utama adalah al-qur‟an, kemudian diikuti sunnah yang banyak

memberikan materi hukum menduduki posisi kedua. Konsensus (ijma) yakni cara

untuk mencapai kesepakatan dimana para ahli hukum Islam yang kreatif mewakili

komunitas masyarakat.

316
Ibid.hlm.113–122
317
E. Kusumadiningrat dan Abdul Haris Bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam Islam
(terj), Jakarta, Grafindo Persada, hlm.4.
180

Bertolak dari pengertian asas, asas-asas umum Hukum Islam, pemahaman

Islam sebuah total sistem dan teori hukum Islam. Dapat dilihat dari sisi aplikasi

perkembangan legislasi hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia. Secara

umum penetrasi hukum Islam (al-qur‟an, as-sunnah, dan fiqih) ke dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia terjadi dengan dua cara, sebagai berikut:

Pertama, secara substantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai

hukum Islam. Menurut Cik Hasan Bisri, bahwa hukum Islam telah ditransformasikan

ke dalam:

a). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Agraria.318
b). Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
c). Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;319
d). Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;320
e). Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.321
f). Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.322

Kedua, transformasi hukum Islam yang secara eksplisit dinyatakan sebagai

hukum Islam, yaitu :

318
Juhana S. Praja, 1993, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, Bandung, Yayasan Piara, hlm.34.
319
Telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
320
Telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
321
Cik Hasan Bisri, “Perwujudan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia” dalam al-Tadbir : Transformasi al-Islam dalam Pranata dan Pembangunan,
Vol.1, Nomor3, Pebruari 2000, hlm.16
322
Sutan Remy Sjahdeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, hlm.248-274
181

a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 323


b) Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
c). Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji;324
d) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
Otonomi Khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Hukum Islam dalam pelaksanaannya bukan hanya merupakan persoalan

kemasyarakatan yang terlepas dari akar tauhid. Tetapi juga merupakan ibadah

dalam pengertian luas yaitu penyerahan diri seorang hamba Allah SWT sebagai

rabb-Nya, karena pelaksanaan hukum Islam itu sendiri harus sesuai dengan

ketentuan Allah.325 Berkenaan dengan hal ini Muslehuddin mengemukakan bahwa

hukum Islam itu adalah hukum wahyu (syari‟at), yang merupakan sistem ketuhanan

yang mendahului keberadaan negara, mengontrol masyarakat Islam, dan tidak

dikontrol olehnya. Satu-satunya dzat yang berwenang menentukan hukum atau yang

bertindak sebagai “hakim” hanyalah Allah, seluruh keputusan hukum milik-Nya

semata.326 Pada prinsipnya hukum Islam adalah hukum Tuhan yang tidak mungkin

dapat dirubah oleh manusia, baik hukum yang tersurat dalam al-qur‟an yang

kemudian diimplementasikan dalam al-hadits (ayat-ayat qur‟aniyah), ataupun hukum

Tuhan yang tersirat sebagai sunnatullah dalam ketertiban alam semesta (ayat-ayat

kauniyah), dalam konsep yang lebih radikal dikatakan seluruh makhluk ciptaan Allah

SWT.

323
Telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
324
Telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaran Ibadah Haji.
325
QS.Almaidah (5) : 44, 45, dan 47.
326
Muhammad Muslehuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis:
Studi Perbandingan Hukum Islam, Pen. Yudian W. Aswin, Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm.45
182

Manusia dari sudut biologisnya, yang tidak mungkin keluar dari keterikatan itu,

kecuali dua makhluk Allah yang berakal. Yang karena diberi kemampuan berpikir, dia

diberikan hak pilih oleh Allah untuk menjadi muslim atau tidak, dengan

konsekuensinya masing-masing, yaitu jin dan manusia. Berbeda dengan hukum

cultural yang diciptakan manusia, yang bersifat berubah dari waktu ke waktu sesuai

dengan perkembangan budaya, pemikiran serta kebutuhan hukum masyarakat.

Dalam Perspektif kebudayaan, hukum dalam pengertian ini adalah hasil karya cipta

manusia, yang sengaja diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia,

sebagai instrumen mewujudkan ketertiban, keadilan, ketenteraman dan keamanan

dalam kehidupan bersama.327 Pada tataran aplikasi, hukum Islam menemui banyak

kendala, yang antara lain disebabkan dari berbagai bentuk reduksi pemahaman

terhadap hukum Islam itu sendiri, yaitu dari pemahaman hukum Islam dari perspektif

teologis yang dipandang tidak humanis, pemahaman yang bersifat idealis, sehingga

dianggap tidak realistis; yang pada gilirannya memberikan citra bahwa hukum Islam

itu bersifat kaku, statis, dan tidak fleksibel.

Konflik antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lain bersifat bikinan

penjajah yang hingga kini berkembang sebagai bahan baku pembentukan hukum

nasional Indonesia , yaitu sistem hukum sipil (civil law), hukum adat, dan hukum

Islam, dalam pelaksanaannya telah terjadi perbenturan dan saling mendesak

pengaruhnya dalam pembentukan hukum nasional. Hal itu terjadi mulai masuknya

penjajahan kolonial Belanda ke Indonesia yang terus berlangsung hingga saat ini.

Sebenarnya konflik itu, jika diamati lebih dekat, bukanlah merupakan konflik yang

327
Anderson, JND. 1994. Hukum Islam di Dunia Modern, Pen. Mahnun Husein,
Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm.2-4; dan Lihat juga Sukin, (at.al), 2003, Pengantar Ilmu
Budaya, Cet.1. Surabaya, Percetakan Insan Cendekia, hlm.4-5
183

normal terjadi secara alami. Tetapi merupakan konflik artifisial yang sengaja

diciptakan dalam sistem pemerintahan kolonial saat itu dan terus dipelihara untuk

kepentingan pelestarian kekuasaan.

Konflik dalam sistem hukum tersebut mengandung pengertian konflik pada nilai

sosial dan budaya yang timbul wajar dan alami. Dalil axioma menunjukkan bahwa

jika terjadi pertemuan antara sistem atau tata nilai yang asing bagi suatu

masyarakat, maka akan selalu terselesaikan dengan sendirinya secara wajar, hal ini

disebabkan karena setiap masyarakat memiliki daya kontrol dalam bentuk daya

asimilasi dan adaptasi terhadap berbagai konflik sistem nilai tersebut. Namun

masalahnya menjadi lain, ketika konflik sistem nilai itu memang sejak semula

sengaja diciptakan dan terus dipelihara untuk tujuan politik penguasa, maka

penghapusan konflik demikian menjadi sangat tergantung pada political will

penguasa.

5.1.5.1.2. Doktrin Ajaran Teori Pemeliharaan Agama dan Kesejahteraan Rakyat

(juris sunni)

Teori pemeliharaan agama dan kesejahteraan rakyat ini dianut dan dijalankan

oleh para juris sunni dalam doktrin Islam. Instrumen utama dalam melihat dan

menerangkan tujuan negara adalah pemerintahan yang mengelola negara. Dalam

kerangka ini, diketahui bahwa pembentukan khalifah atau pemerintahan dalam suatu

negara bertujuan sebagai pengganti tugas kenabian yang mengatur kehidupan dan

urusan umat atau rakyat, baik keduniawian maupun keagamaan. Bertolak dari
184

kerangka demikian, para juris sunni lebih melihat bahwa tujuan negara adalah

memelihara agama dan umat atau rakyat.328

Berkaitan dengan konsep dasar pemikiran dari teori pemeliharaan agama dan

kesejahteraan rakyat tersebut, kemudian dikembangkan oleh para tokoh sebagai

berikut:

Al-Mawardi menyatakan bahwa negara melalui lembaga immamah-nya

mempunyai tujuan umum. Pertama, mempertahankan dan memelihara agama

menurut prinsip-prinsip yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma oleh kaum salaf

(generasi pertama umat manusia). Kedua, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-

hukum Tuhan. Ketiga, melaksanakan kepastian hukum di antara pihak-pihak yang

bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara

penganiaya dan yang dianiaya. Keempat, melindungi wilayah Islam dan memelihara

kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman, baik jiwa maupun harta. Kelima,

jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar

mengakui eksistensi Islam. Keenam, membentuk kekuatan untuk menghadapi

musuh. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut ketentuan syara‟, nash, dan

ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif.

Kesembilan, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya.

Kesepuluh, dalam memelihara agama dan rakyat, pemerintah dan kepala negara

harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.329

328
J. Suyuthi Pulungan. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta,
Rajawali Pres dan LSIK, hlm.259.
329
Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara Dalam Multi
Perspektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Bandung, Pustaka Setia. hlm.86
185

Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan suatu negara yang didalamnya terdapat

lembaga pemerintahan adalah melaksanakan syari‟at agama, mewujudkan

kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan duniawi dan urusan agama.330

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tujuan negara adalah: Pertama,

melaksanakan syari‟at Islam. Kedua, mewujudkan kesejahteraan rakyat, lahir dan

bathin. Ketiga, menegakkan keadilan dan amanah dalam pergaulan masyarakat.

Dimensi itulah yang ditekankan Ibnu Taimiyah tentang tujuan negara. Ia mengatakan

bahwa tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam

bahaya, dan tanpa adanya disiplin agama, negara pasti menjadi tiranik.331

Sehubungan dengan teori pemeliharaan agama dan kesejahteraan rakyat

tersebut di atas, yang memiliki cara pandang yang khas dalam memandang

kedudukan agama dalam kehidupan, yang berbeda dengan cara pandang

sekularistik yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam tidak mengenal

pemisahan agama dari kehidupan. Islam dipahami sebagai agama sempurna yang

tidak hanya mengatur urusan ibadah dan akhlak, tetapi mengatur segala aspek

kehidupan, seperti hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.

Berdasarkan doktrin dan cara pandang khas Islam tersebut, Muhammad

Ahmad Mufti dan Sami Shalih menegaskan bahwa formalisasi syariah adalah suatu

keniscayaan. Sebab hanya dengan formalisasi syariah-lah, syariah dapat berlaku

secara umum bagi publik. Tanpa formalisasi, syariah hanya mampu mengatur

perilaku individu dan tidak mempunyai otoritas mengatur urusan publik seperti

urusan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, tanpa formalisasi syariah, syariah tidak

330
Ibid
331
Ibid, hlm.86-87.
186

bisa menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan li al-„alamin), tapi

terpenjara dalam sistem sekularistik yang memasung dan memandulkan Islam.332

Oleh karena itu, dengan karakteristik universal ini, maka hukum Islam menempati

posisi penting dan strategis dalam perspektif umat Islam. Hal ini menunjukkan

bahwa sangat mustahil orang bisa memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.

Dalam kasus di Indonesia, sejak Islam masuk ke nusantara dan menjadi agama

rakyat Melayu, hukum Islam sudah memainkan peranan penting dalam kehidupan

rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam periode kerajaan Islam awal, bahkan

hukum Islam dijadikan sebagai hukum resmi kerajaan seiring dengan ditetapkannya

Islam sebagai agama resmi kerajaan.333

Berdasarkan uraian di atas, teori pemeliharaan agama dan kesejahteraan

rakyat yang menekankan pada pemerintahan dalam mengelola negara untuk

memelihara agama dan umat atau rakyat, dengan cara menegakkan syari‟at Islam

yang diyakini membawa rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan li al-„alamin).

Doktrin ajaran Islam dan kebenaran sejarah keberlakuan hukum Islam, menjadi

sumber meningkatnya kesadaran kaum muslimin dalam menjalankan agamanya

sebagai pemenuhan kebutuhan hidup di lain pihak, terutama dalam kegiatan usaha

di dibidang ekonomi. Diperlukan peran serta negara untuk melakukan proses

formalisasi syari‟at Islam ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar

memiliki kekuatan keberlakuan yuridis dalam sistem hukum nasional.

332
Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih. 2002. Formalisasi Syariah Dalam
Kehidupan Bernegara: Suatu Studi Analisis. Lebanon. Dar An Nahdhah Al Islamiyah.hlm.vii-
viii.
333
Akhmad Mujahidin. “Pelembagaan Hisbah di Indonesia” dalam Aktualisasi Hukum
Islam: Tekstual dan Kontekstual. 2008.Yogyakarta, LkiS Pelangi Aksara, hlm.188-189.
187

5.1.5.2. Landasan Yuridis

Landasan yuridis, merupakan landasan hukum (yurisdische gelding) yang

menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid competentie). Dasar hukum kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan, tanpa disebutkan

dalam peraturan perundang-undangan seorang pejabat atau suatu badan adalah

tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan.

Pemikiran dan kesadaran mengenai perlunya perubahan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan sebagai tindak lanjut

dari Perubahan Undang-undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 24,334 Pasal

24A,335 Pasal 24B,336 Pasal 24C337 dan Pasal 25338 yang telah dilakukan penggantian

334
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***);
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. ***);
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang. ****)
335
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***);
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***);
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden. ***) ;
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. ***);
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. ***)
336
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***);
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***);
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***);
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.***)
188

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Sebagimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun

1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini telah

diganti menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.339

Dalam Pasal 13 ayat (1) undang-undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan

bahwa: ”Organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam

undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan dilingkungan masing-

masing”.340 Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa: “Susunan,

kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

dibawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang

tersendiri”.

337
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. ***);
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. ***) ;
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***);
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
***) ;
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara. ***) ;
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang- undang. ***)
338
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
339
Kemudian dirubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
340
Lihat pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
189

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Bab IX tentang Ketentuan Peralihan dalam Pasal 42 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5)

ditentukan bahwa: (2) ”Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial

sebagaimana dimaksud ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan

Presiden, “ayat (5) menyebutkan: Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) ditetapkan paling lambat:

a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terakhir.

b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

Adapun jangka waktu yang disebutkan pada ayat (1) dan ayat (2) tersebut

adalah 31 Maret 2004 untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara, sedangkan jangka waktu untuk Peradilan Agama dan Peradilan Militer

tanggal 30 Juni 2004.

Ketentuan dalam Pasal 42 tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 44 yang

menegaskan bahwa: “Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)”, menyebutkan:

a. Semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen


Agama pada Mahkamah agung, serta pegawai Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama menjadi Pegawai Mahkamah Agung;
b. Semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan
pada Direktorat Jendral Badan Peradilan Agam pada Mahkamah Agung
sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan;
c. Semua aset milik/barang inventaris pada Peradilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama beralih menjadi aset milik/barang inventarisasi
Mahkamah Agung.
190

Seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di

atas yang berkaitan langsung dengan badan pemilihan di lingkungan Peradilan

Agama dengan sendirinya telah mengubah ketentuan yang terdapat dalam Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut ditegaskan bahwa pembinaan organisasi,

administrasi, finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama berada di

Departemen Agama, dengan adanya perubahan dalam undang-undang Kekuasaan

Kehakiman dimaksud, sudah seharusnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

segera menyesuaikan pula dengan cara merubah pasal-pasal terkait.341

Peran Departemen Agama terbatas seperti tercantum bunyi Penjelasan Umum

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara

lain menyatakan: Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang antara lain menyatakan: “Dengan berlakunya undang-

undang ini pembinaan Badan Peradilan umum, Badan Peradilan Agama, Badan

Peradilan Militer dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah

kekuasaan Mahkamah Agung‟.

Dari penjelasan umum tersebut Mahkamah Agung senantiasa memperhatikan

saran dan pendapat Mentri Agama dan Majleis Ulama Indonesia dalam pembinaan

Peradilan Agama di masa depan. Hal ini dapat dimengerti karena sifat khusus yang

di emban Peradilan Agama.

Reformasi di bidang kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud di atas

antara lain dengan penyatuan atap seluruh badan peradilan di bawah kekuasaan

341
Keterangan Pengusualan atas Rancangan Undang-undang tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hlm.15.
191

Mahkamah Agung, telah pula menyebabkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung mengalami perubahan melalui Undang-undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung. Untuk menyesuaikan dengan tuntutan penyatuan atap seluruh

badan peradilan tersebut, telah pula dilakukan perubahan dalam organisasi

Mahkamah Agung, antara lain ditingkat pimpinan terdapat 2 (dua) orang wakil ketua,

masing-masing Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Non Yudisial di

samping adanya Ketua Muda seperti halnya yang telah ada selama ini. Sekarang ini

masih dapat dilakukan pengkhususan yang dipimpin Ketua Muda.342

Dengan demikian perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, merupakan tuntutan sejarah dan tuntutan hukum yang sudah jelas

arah pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004343 dan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004344 yang telah merubah Undang-undang Nomor 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

5.1.5.3. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis dapat dimakanai dari sejarah hukum Islam datang di

nusantara sampai saat ini diakui sebagai hukum yang hidup (living law).345 Hal ini

dapat difahami karena sepanjang kesadaran teologis seorang muslim berjalan

sebagaimana mestinya, maka ketaatan pada ajaran Islam menjadi keniscayaan.

342
Misalnya Ketua Muda Pidana, Ketua Muda Perdata, Ketua Muda Tata Usaha
Negara, Ketua Muda Pidana Khusus, Ketua Muda Agama, Ketua Muda Pembinaan, Ketua
Muda Pengawasan. Ibid. hlm.16.
343
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
344
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009..Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
345
Ahmad Kamil,2004, “Asas-Asas Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989” dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan
Penerapannya, Mahkamah Agung RI, hlm.160.
192

Seorang muslim akan menundukkan dirinya dan seluruh aspek kehidupannya

kepada ajaran Islam,346 sebagai konsekwensi keberimanan seorang muslim. Sebagai

ciri seorang yang merdeka dari pengaruh dan cengkraman syaithan.

Atas dasar konsep tersebut, maka ketentuan-ketentuannya harus sesuai

dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar

perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat. Hukum yang dibentuk

harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun produk

perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname),

sebab jika masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan

masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-

undangan yang berorientasi masa depan.

5.1.5.4. Landasan Politik


Landasan Politis, merupakan garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar

selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan

pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan program legislasi nasional.347

Kecenderungan model pengembangan hukum Islam di Indonesia berlangsung

melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non

legislasi (yang berkembang di luar undang-undang). Diantara kedua jalur tersebut,

kecenderungan pada jalur kedua lebih banyak mewarnai praktek penerapan hukum

Islam di Peradilan Agama. Hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam di

Indonesia selalu menghadapi kendala struktural dan kultural, baik secara internal

346
Al Qur‟an S. al Baqarah ayat 208 berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-
langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
347
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Maju Mundur,
Jakarta, hlm. 43-44.
193

maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum tentu

beranggapan bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu

dikembangkan dalam konteks hukum nasional. Sedangkan kendala eksternal yakni

struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.

5.1.6. Perluasan Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Dalam Perspektif

Teori Teokrasi

Penjelasan sejarah lembaga keagamaan, khususnya Peradilan Agama Islam348

di Indonesia memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara terus menerus

ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusi hukum Islam yang terkadang

memihak dan menguntungkan kelangsungan institusi ini dan tidak jarang pula

merugikannya. Yang terjadi adalah gelombang pasang surut institusi peradilan Islam

(al-qadha fil islam) di Indonesia, seiring dengan pasang surut politik umat Islam.349

Terjadinya tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan

umat Islam disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di pihak umat Islam

mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga Peradilan adalah bagian dari

348
Peradilan Islam atau Peradilan Agama adalah dua nama yang pada hakikatnya
mempunyai keterkaitan bahwa segi kesinambungan sistem peradilan di Indonesia. Peradilan
Agama sebagai representasi dari Peradilan Islam dapat diidentifikasi melalui beberapa
perspektif. Pertama dari sudut landasan teologis-filosofis Peradilan Islam dibentuk dan
dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam
komunitas umat. Kedua, secara yuridis ini berkembang mengacu kepada konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Ketiga, secara historis
menurut para fukaha Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah saw. Keempat, secara sosiologis
menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan produk interaksi antara elit Islam dengan
elit Politik. Ia didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam Indonesia sejak lebih satu
abad silam. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam, mengenai perkara tertentu. Lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 1 ayat
(1) dan Pasal 2.
349
Deliar Noer, 1998, Islam dan Politik: Mayoritas dan Minoritas?, Jakarta, Prima, hlm.
3-21.
194

agama yang hukumnya wajib kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan.

Pengabaian terhadap hukum Islam dan lembaganya, sama saja mengabaikan dan

durhaka pada hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, hukum Allah dengan segala daya

dan upaya wajib dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi

pemenang dalam konteks pergumulan politik tersebut adalah pihak penguasa karena

didukung oleh kekuatan-kekuatan pemaksa.350

Kewenangan Peradilan Agama sebagai jaminan dari prinsip kemerdekaan

kekuasaan kehakiman memiliki atribusi cakupan dan batasan masing-masing badan

peradilan. Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan peradilan terdiri

atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak atau absolut

(absolute competentie). Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu

pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding.

Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah

hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.351

Peradilan Agama memiliki batasan-batasan kekuasaan relatif yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai

berikut .

Pasal 1 menyebutkan:352

“Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.

Pasal 2 menyebutkan:

350
Ibid
351
Cik Hasan Bisri, Op.Cit, hlm.204
352
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan:
“Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.
195

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pancari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara-perkara

tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Pasal 3 menyebutkan:353

(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :


a. Pengadilan Agama
b. Pengadilan Tinggi Agama
(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tinggi Agama.

Peradilan Agama, selain mempunyai kekuasaan relatif seperti disebutkan di

atas, juga mempunyai kekuasaan mutlak yang berkenaan dengan jenis perkara dan

jenjang pengadilan. Peradilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara perdata tertentu dikalangan golongan rakyat tertentu, yaitu

orang-orang yang beragama Islam berdasarkan hukum Islam.

Kewenangan kekuasaan mutlak ini diatur dalam Pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989, sebagai berikut :

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan


menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan
b. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
c. Wakaf dan sedekah
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang–undang
mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta

353
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan:
“Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan
agama”.
196

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan


melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Sedangkan, bidang perkawinan seperti disebutkan di atas diatur lebih lanjut

berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang

meliputi:

(1) izin beristeri lebih dari satu orang;


(2) izin melangsungkan perkawinan bagi seseorang yang belum berusia
21(dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
(3) dispensasi kawin;
(4) pencegahan perkawinan;
(5) penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
(6) pembatalan perkawinan;
(7) gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri;
(8) perceraian karena talak;
(9) gugatan perceraian;
(10) penyelesaian harta bersama;
(11) mengenai penguasaan anak-anak;
(12) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memikulnya;
(13) penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
(14) putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
(15) putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
(16) pencabutan kekuasaan wali;
(17) penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
(18) menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal
tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
(19) pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya;
(20) penetapan asal usul seorang anak;
(21) putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
(22) pernyataan tentang sah nya perkawinan yang terdapat sebelum Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.

Memperhatikan undang-undang di atas, begitu banyak bidang perkawinan

yang harus ditangani oleh Peradilan Agama. Apabila hal ini menjadi perselisihan
197

para pihak suami-isteri. Akan tetapi dari sekian banyak masalah itu, yang sering

menimbulkan sengketa berawal dari gugatan perceraian suami-isteri yang dilakukan

di Peradilan Agama. Masalah berikutnya baru berkaitan dengan hak pengasuhan

anak di bawah umur, hak nafkah isteri selama iddah, hak nafkah anak hingga

berkemampuan menafkahi sendiri, harta bawaan dan sebagainya.

Dalam hal pembagian harta warisan, apabila salah satu suami isteri itu

meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka masalah ini menjadi

kewenangan Peradilan Agama sampai dengan eksekusinya. Walaupun demikian,

kewenangan Peradilan Agama dalam masalah harta dibanding dengan Peradilan

Umum masih mempunyai keterbatasan. Seperti yang dinyatakan dalam Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 pada Pasal 50, sebagai berikut:354

“Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam

perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 49, maka khusus

mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.

Oleh karena itu, wewenang Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara hanya pada hubungan yang berkaitan dengan

agama Islam. Apabila perselisihan itu terjadi antara para pihak, maka menjadi

wewenang Peradilan Umum. Misalnya, dalam pembagian harta waris atau lainnya,

354
Bandingkan dengan norma hukum yang mengatur kewenangan terhadap sengketa
hak milik dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam Pasal 50 ayat (1) menegaskan:
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ayat (2) menegaskan : Apabila terjadi sengketa
hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang
yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
198

bila Peradilan Agama telah memutus pembagian harta warisan sebagaimana diatur

pada Pasal 49 ayat (3) di atas, kemudian terjadi silang pendapat atau saling

menggugat mengenai keberadaan hartanya, maka perkara harus diselesaikan di

Peradilan Negeri dan seterusnya dalam upaya hukum lainnya.

Berkaitan dengan kekuasaan Peradilan Agama dalam menangani masalah

perwakafan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Tentang Perwakafan355 Tanah Milik, dinyatakan pada Pasal 12 sebagai berikut:

“Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan

perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Penjelasan Pasal tersebut memberi gambaran bahwa penyelesaian

perselisihan yang menjadi gambaran yurisdiksi Peradilan Agama adalah masalah

keabsahan mewakafkan, seperti yang dimaksud dalam peraturan pemerintah dan

masalah lain yang berdasarkan syariat Islam. Sedangkan, masalah lain yang

berkaitan dengan perdata dan pidana diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

Hal in juga diperkuat dalam ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri Agama

Nomor 1 Tahun 1978, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama berkewajiban

menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat

Islam, antara lain meliputi : (a) wakap, wakip, nadzir, ikrar dan saksi; (b) bayyinah

(alat bukit administrasi tanah wakaf ) dan (c) pengelolaan dan pemanfaatan hasil

wakaf.

Penerimaan dan penyelesaian perkara tersebut berpedoman kepada tata cara

penyelesaian perkara yang berlaku di Pengadilan Agama. Hal ini menunjukan bahwa
355
Diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
199

kekuasaan dibidang wakaf, sebagaimana diatur pada Pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989,356 merupakan penegasan dan memperkuat wewenang

berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian,

proses perwakafan dari tanah dari wakil kepada nadzir, merupakan kewenangan

Peradilan Agama, kecuali apabila dikemudian hari terjadi persengketaan dari salah

satu pihak lain mengenai tanah yang diwakafkan, maka penyelesaiannya menjadi

wewenang Peradilan Umum.

Peradilan Agama sejauh ini dipahami sebagai kekuasaan dalam menerima,

memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu

antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa Peradilan Agama

termasuk pada kekuasaan kehakiman yang dilakukan negara.357 Perkara-perkara

tertentu yang menjadi absolut kompetensi Pengadilan Agama mencakup

Perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam.358

Kehadiran Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 merupakan produk hukum

nasional yang harus melalui proses panjang dan diwarnai dengan polemik serta

kontroversi. Namun demikian, menurut Ali Yafie, lahirnya undang-undang tentang

Peradilan Agama terjadi secara ilmiah karena faktor kebutuhan sesuai dengan

meningkatnya kebutuhan meningkatnya pemahaman masyarakat pada agama

356
Yang kemudian perubahan atau perluasan kewenangan terdapat dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.
357
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.
358
Cik Hasan Bisri.Op.Cit. hlm.36.
200

bukan pemaksaan.359 Namun demikian, tidak seluruh tokoh Islam yang menyambut

baik kehadiran undang-undang ini. Gus Dur, misalnya, menyatakan bahwa

seharusnya negara tidak terlalu jauh mencampuri urusan agama warga negaranya

dalam menjalankan ibadah meskipun itu merupakan perintah yang jelas.360

Proses penataan dan perombakan regulasi di Peradilan Agama, merupakan

sebuah keperluan yang cukup mendasar, sebelum terjadinya transformasi

kewenangan substansial dalam menjawab kompleksitasnya permasalahan sosial

yang berasaskan personalitas keislaman.361 Sejalan dengan kesadaran politik hukum

umat Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap lembaga Peradilan

Agama sebagai media untuk menyelesaikan perkara, serta perkembangan hukum

Islam di Indonesia begitu cepat dan tinggi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas

beragama Islam menjadi salah satu pendorong berkembangnya hukum Islam di

Indonesia. Khususnya yang berkaitan dengan muamalah, dirancang undang-undang

Peradilan Agama dengan gaya lain sebagai upaya untuk merevisi Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.362

Peradilan Agama yang merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sebagaimana

yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang

359
Ali Yafie, Getra, Nomor 3 Tahun III (14 Juni 1997), hlm. 97.
360
Abdurrahman Wahid, 1999, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosda
Karya, hlm. 80.
361
Mukti Arto. Op.Cit. hlm.6.
362
Mutmainnul‟ Ula, Wajah Baru Peradilan Agama, dalam www.jawapos.com/index.
201

diatur dalam undang–undang ini. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama

dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.

Setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 diperbaharui dengan Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini

karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama

bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam

Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah: “Pengadilan Agama adalah

salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang ini ”.

Muhammad Muslih, menegaskan dalam definisi Pengadilan Agama tersebut

kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:363

1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan


pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun.

Mengingat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-

undang Nomor 7 tahun 1989 memperluas kewenangan Peradilan Agama yang

meliputi sejumlah bidang pekerjaan, sebagai berikut: Pertama, Perluasan

kewenangan pada pemeriksaan, memutuskan dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b)

kewarisan, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) sadaqah, (h) infak, dan (i)

ekonomi syari‟ah. Kedua, penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
363
Muhammad Muslih, “Hukum Acara Peradilan Agama,” Makalah, disampaikan pada
tanggal 7 Agustus 2008 pada PKPA terselenggara atas kerjasama antara PBHI-PERADI.
202

Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi bahwa dalam hal terjadi

sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lainnya dalam perkara-perkara

sebagai mana dimaksud mengenai objek yang menjadi sengketa harus diputus lebih

dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Demi efektivitas dan

efisiensi, Pasal ini diubah menjadi dua ayat, yaitu ayat (1) dalam hal terjadi sengketa

hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

49, khususnya menjadi objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan ayat (2) apabila terjadi sengketa

hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subjek hukumnya antara

orang-orang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan

Agama bersama-sama perkara sebagai mana dimaksud dalam hal Pasal 49.

Perluasan tugas dan wewenang Peradilan Agama yang ketiga adalah

memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun

Hijriah. Selama ini, memberikan penetapan (isbat) terhadap orang-orang yang telah

melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki awal Ramadhan, awal

Syawal dan tahun baru Hijriah dalam rangka mendukung Menteri Agama

menetapkan penetapan secara nasional untuk rukyat hilal.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 7 Tahun1989 ini, semakin terlihat bahwa produk hukum

nasional saat ini sudah semakin memperkuat eksistensi hukum Islam sebagai bahan

baku hukum nasional. Di sinilah sesungguhnya peluang yang lebih besar untuk

melakukan legislasi hukum Islam ke dalam hukum Nasional.

Politik hukum perluasan kewenangan Pengadilan Agama dihubungkan dengan

teori teokrasi yang menegaskan bahwa manusia wajib taat, patuh, dan tunduk
203

kepada hukum karena hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan-

peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang datang dari Tuhan,

kemudian ditulis dalam kitab suci. Teori teokrasi memikirkan tentang hukum dalam

kaitannya dengan agama dan kepercayaan. Di samping itu, agama dan kepercayaan

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas fundamental bagi pengakuan

kekuasaan hukum.364

Agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum.

Oleh sebab itu, ketaatan setiap pemeluk agama kepada hukum merupakan hal yang

wajib, sebab hukum yang berlaku banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum agama.

Prinsip yang paling mendasar adalah kaidah-kaidah agama tersebut diyakini

datangnya dari Tuhan. Keadaan yang demikian mengandung arti bahwa kaidah-

kaidah agama adalah kehendak Tuhan. Teori-teori teokrasi (mazhab ketuhanan)

menilai bahwa berlakunya hukum berdasarkan kehendak Tuhan.

Pernyataan tersebut sesungguhnya menyatakan bahwa hukum Islam yang

diturunkan melalui wahyu merupakan kewenangan dari Allah SWT untuk mengikat

setiap muslim agar melakukan perintah-Nya. Seluruh perintah itu adalah mencakup

setiap sisi kehidupan umat, termasuk di dalamnya persoalan politik, hukum, ekonomi

dan lain sebagainya, begitu juga halnya dalam undang–undang suatu negara.

Pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum nasional dan dijadikan alasan

perluasan kewenangan Peradilan Agama merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-

nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum. Karena kesadaran

berhukum pada syari‟at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan

selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang
364
Sudarsono, 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.105.
204

maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini

menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping memiliki akar kuat untuk tampil

menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku

dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai

yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil „alamin).

Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini

masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap

aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat

kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan

sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.365

5.1.6.1. Penambahan Kewenangan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan

Sengketa Ekonomi Syariah

Upaya membangun hukum nasional Indonesia yang mampu memenuhi

kebutuhan hukum masyarakat, menuju tercapainya keadilan hukum dilandasi oleh

asas kegunaan (doelmatigheid) dan landasan hukum (rechmatigheid) yang jelas

diharapkan tercapai apa yang menjadi cita-cita hukum yakni keadilan

(gerechtigheid), kegunaan (zwechmassigheid) dan kepastian hukum

(rechsicherheid).

Seiring dengan tantangan perubahan sosial, politik, budaya, dan pengaruh

globalisasi pemikiran dan pemahaman hukum juga mengalami penyesuaian agar

365
Suhartono, ”Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional”,
Makalah, Penulis adalah wisudawan Terbaik Program S2 Magister Ilmu Hukum Konsentrasi
Hukum Ekonomi Universitas Jember (UNEJ) Th.2006 dan sekarang menjadi Panitera
Pengganti pada Pengadilan Agama Lamongan atau Calon Hakim PA.
205

tidak tertinggal dari ritme perubahan yang diungkapkan oleh Von Savigny maka

hukum akan berubah seiring dengan perubahan masyarakat.366

Realitas perubahan terhadap tuntutan terhadap pencari keadilan yang

bersumber pada ketentuan normative atau formalistic, seiring dengan kebutuhan

hukum yang hidup di tengah masyarakat yang plural di Indonesia harus kita terima

dan dicarikan jalan keluarnya untuk dapat terwujud keadilan tersebut.

Kompetensi absolut367 Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas perkembangan

hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama menyangkut ekonomi syariah

seiring kehadiran Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi

absolut yang urgen penulis kemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50.

Pasal 49 menyebutkan bahwa:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi Syariah

366
M. Ali Mansyur, “Kajian Filosofis Dan Yuridis Terhadap RUU Perbankan Syariah”,
Makalah, http://pa-demak.ptasemarang.net.
367
Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik
dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam dalam lingkungan peradilan yang lain.
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 78.
206

Penjelasan Pasal 49 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak dibatasi

di bidang perbankan syari‟ah368, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.

Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk

orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan

sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan

Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Kemudian terkait ekonomi

syariah, penjelasan Pasal 49 huruf i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan

menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro

syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah

dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan

syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis

syariah.

Pasal 50 menyebutkan bahwa:

1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.

368
Data terakhir per-Agustus 2007 menunjukkan, bahwa pertumbuhan dan
perkembangan Perbankan Syari‟ah di Indonesia cukup fenomenal. Dari hanya satu bank
umum syari‟ah dan 78 BPRS pada tahun 1998, menjadi 3 bank umum syari‟ah, 24 unit usaha
syari‟ah, 108 BPR Syari‟ah. Jumlah aset Rp 1,7 trilyun, dengan nasabah loyal 14,1%
sementara nasabah loyal pada Bank Konvensional 24,7%. Akhir 2008 ditarget oleh BI, total
aset Bank Syariah mencapai 5%. Reasoningnya, selain angka non-performing financings-
nya yang lebih rendah dibanding dengan bank konvensional, negative-spread-nya tidak
menghantui perbankan dengan sistem syari‟ah ini, dan lebih menunjukkan konsistensinya
dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Lihat Muqaddimah, “Aspek Sosiologis Sengketa
Ekonomi Syari‟ah Dan Pelaksanaan Ekonomi Syari‟ah Di Indonesia”, Makalah Disampaikan
Dalam Acara Seminar Nasional Hukum Ekonomi Syari‟ah, diselenggarakan atas Kerjasama
Magister (S2) Ilmu Hukum UNISSULA, Pengadilan Tinggi Agama Semarang, dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Kampus UNISSULA Semarang, Rabu, 19 Maret 2008.
Lihat di http://pademak.ptasemarang.net.
207

2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.369

Dari dasar hukum Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (2) tersebut di atas, dihubungkan

dengan pendapat Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut

Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang

muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang

dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum

sebagai muslim.370 Berdasarkan ketentuan Pasal 49 beserta penjelasannya maka

dapat dipahami bahwa subjek hukum dalam sengketa ekonomi syariah, yaitu:

a. Orang-orang yang beragama Islam;

b. Orang-orang yang beragama bukan Islam namun menundukkan diri terhadap

hukum Islam;

c. Badan hukum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam.

Sedangkan ketentuan Pasal 50 beserta penjelasannya menunjukkan bahwa

asas personalitas keislaman terkait agama yang dianut oleh pihak yang bersengketa

369
Penjelasan Pasal 50 Ayat 2 menegaskan : Ketentuan ini memberi wewenang
kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa
antar orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan. Sebaliknya
apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan
Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan
umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan
Negeri terhadap objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari
satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,
Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang
tidak terkait dimaksud.
370
A. Mukti Arto, Op.Cit, hlm. 6.
208

dalam sengketa keperdataan mengenai hak milik dikedepankan dalam menentukan

kewenangan absolut peradilan yang menangani sengketa tersebut. Jika para pihak

yang bersengketa beragama Islam maka Peradilan Agama mempunyai kewenangan

untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketentuan ini mempunyai relevansi yang

erat dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait jaminan kebendaan,

semisal mengenai hak tanggungan371 dan fiducia.372 Kehadiran orang yang

beragama selain Islam menjadi subjek hukum dalam perkara ekonomi syariah

menunjukkan suatu perkembangan hukum bahwa kegiatan usaha yang

mendasarkan pada prinsip syariah tidak hanya diminati oleh orang-orang Islam saja.

Dalam praktek, banyak ditemui para nasabah yang menikmati produk maupun jasa

perbankan syarian adalah orang-orang yang beragama bukan Islam. Dengan

demikian, konsep ekonomi Islam diharapkan mampu membumi dalam kehidupan

masyarakat atau dalam perkataan lain menjadi rahmatan lil alamin.

Adapun keberadaan badan hukum menjadi subjek hukum dalam perkara

ekonomi syariah adalah relevan seiring dengan pesatnya kegiatan usaha atau bisnis

yang melibatkan badan hukum373 baik berupa perseroan terbatas maupun koperasi.

Kegiatan ekonomi syariah tidak hanya melibatkan orang dalam arti manusia pribadi

371
Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
372
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999.
373
Pengertian badan hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal-hal berikut, yaitu:
perkumpulan orang (organisasi), dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam
hubungan- hubungan hukum (recgsbetrekking), mempunyai harta kekayaan tersendiri,
mempunyai pengurus, mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat digugat dan menggugat di
depan pengadilan. Chidir Ali, , 2005, Badan Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 21.
209

tetapi juga badan hukum. Sehingga tatkala kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip

syariah tersebut menimbulkan suatu persoalan atau sengketa maka baik manusia

pribadi maupun badan hukum dapat bertindak sendiri dalam menyelesaikan

sengketanya. Namun, tentunya untuk badan hukum diwakili oleh direksi374 dalam

perseroan terbatas dan pengurus untuk bentuk koperasi.

Penambahan atau perluasan kewenanngan Peradilan Agama dengan cara

pengembangan hukum Islam melalui jalur legislasi terutama yang mengatur bidang

ekonomi syari‟ah tetap diperlukan alasannya:

Pertama, pengaturan terhadap bidang ekonomi syari‟ah sifatnya sudah

mendesak terkait dengan kewenangan baru Peradilan Agama dalam menyelesaikan

sengketa dalam bidang tersebut, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006. Juga melihat kebutuhan hukum dewasa ini, legislasi

merupakan tuntutan obyektif dan urgen, karena akan mendukung implementasi

hukum Islam secara pasti dan mengikat secara yuridis formal.

Kedua, materi hukum ekonomi syari‟ah adalah merupakan hukum privat Islam

bukan hukum publik, sehingga jika bidang ini diangkat ke jalur legislasi tidak akan

memunculkan konflik serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya

yang universal dan netral.

Lahirnya undang–undang yang mengatur tentang ekonomi syari‟ah bagian dari

fikih muamalah mempunyai peluang yang cukup besar, bebarapa hal penting yang

berpotensi sebagai faktor pendukung yakni antara lain:

374
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan, baik dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
210

Pertama, subtansi hukum Islam established (sudah mapan), disamping

penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang sudah teruji pelaksanaannya

baik di lingkungan Peradilan Agama maupun dalam dalam masyarakat, juga

ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yang telah lama digagas oleh

para pakar hukum Islam di Indonesia.375

Kedua, produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil

memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapatkan dukungan suara

mayoritas di lembaga pembentuk hukum dan fakta politik menunjukkan bahwa

meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, namun memperhatikan

konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi

lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa Islami, seperti halnya:

1. Undang–undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas


Undang–undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Undang–undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari‟ah di
Indonesia.
3. Undang–undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;
4. Undang–undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
5. Undang–undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh
Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Istimewa
Aceh untuk menerapkan syari‟at Islam, hal ini menunjukkan bahwa
ajaran Islam telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Islam.
6. Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai hasil amandemen
terhadap Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang memberikan kewenangan baru berupa penyelesaian
sengketa ekonomi syari‟ah. Dalam perjalanannya amandemen undang–
undang ini tidak menemui hambatan yang berarti dibandingkan dengan
lahirnya undang–undang sebelumnya.

375
Antara lain: a) T.M. Hasbi Ash-Shiddieqyyaitu menggagas fikih ala Indonesia; b)
Hazairin yaitu menggagas fikih madzhab nasional; c) Munawir Sadzali yaitu pemikirannya
tentang reaktualisasi (Kontekstualisasi) Ajaran Islam; d) Sahal Mahfudh dan Ali Yafie yakni

pemikirannya tentang fikih sosial; e) Masdar F. Mas udi yakni pemikirannnya tentang agama
dan keadilan.
211

Ketiga, materi hukum yang hendak diusung ke jalur legislasi mencakup hukum

privat yang bersifat universal dan netral sehingga tidak memancing sentimen agama

lain. Kemungkinan besar tidak akan menimbulkan gejolak sosial yang cost-nya

sangat mahal.

Keempat, sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan

berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk untuk melegislasikan hukum Islam.

Kelima, pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan sila pertama Pancasila

dan Pasal 29 Undang–undang Dasar 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum

nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional, serta sejalan

dengan program legislasi nasional.

Dalam konteks negera orang bisa saja beranggapan pelaksanaan ekonomi

syari‟ah belum mendesak. Tapi dalam konteks Internasional khususnya dalam

rangka menggaet dana dari Timur Tengah yang selama ini dimanfaatkan dunia

Barat, karena investor tidak mau menerima bunga bank, mengalami kendala.

Investor baru mau menanamkan modalnya apabila penyelenggaraan kegiatan

ekonomi di Indonesia berbasis syari‟ah. Keunggulan lain seperti yang dimiliki

perbankan Barat sulit untuk kita gapai, lebih-lebih kita sebagai negeri dengan

penduduk muslim terbesar seharusnya berada paling depan dalam menegak

ekonomi syari‟ah sekaligus diselamatkan dari sistem ekonomi materialis yang ribawi.

Investor muslim menunggu undang–undang penanaman modal syar‟iy yang disebut


212

syukuk,376 ini merupakan bukti bahwa penerapan ekonomi syari‟ah sudah menjadi

kebutuhan bagi Indonesia.

Bagi kita orang Islam pertanyaan di atas secara teologis telah terjawab oleh

firman Allah dalam S. Al Baqarah ayat 208, namun secara praktis perlu dikemukakan

argumen tambahan. Formula ajaran Islam bernuansa ”keberkatan dan kemanfaatan

maksimal”. Keberkatan377 pada rezki nampaknya yang paling menonjol,

sebagaimana do‟a kita setiap mau makan yang diajarkan Rasulullah SAW, begitu

pula dalam do‟a selamat yang paling sering dibaca dikalangan kita.378 Pesan al

Qur‟an dalam surah al A‟raf ayat 96 mempertegas :

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,379 Pastilah

kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka

mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan

perbuatannya”.

Asas kemanfaatan dalam ekonomi syari‟ah terlihat dari prinsip ta‟awun yang

diembannya. Prinsip inilah yang menjadikan ekonomi syari‟ah bukan untuk

mendapatkan keuntungan materi belaka. Tetapi konsep bagi hasil yang berkeadilan

376
Undang–undang Syukuk Ijarah (obligasi syari‟ah) disahkan menjadi Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2008. Sementara Undang–undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankkan Syari‟ah telah disahkan tanggal 17 Juni 2008.
377
Menurut Ath-Thabathabai barakat : al-khairul-ilahiyyi la yuhtasabu. Menyangkut tiga
keberkatan yaitu keberkatan dalam keturunan, keberkatan dalam soal makanan dan
keberkatan dalam hal waktu. Ada pula keberkatan pada tempat yaitu Masjid Aqsa dan
Masjidil Haram, Ensiklopedia Al-Qur‟an : Kajian Kosakata Jilid I, Lentera Hati, Jakarta, 2007,
hlm 131–132.
378
Allahumma baariklana fi maa razaqtana wa qina ‟azaba al naar dan wabarakatan fi
rizqina .....
379
Taqwa : Menjaga diri dari azab Allah dengan menjauhi tindakan masiat dan
melaksanakan tata aturan yang telah digariskan Allah. Lihat, Ensiklopedi Islam Jilid V hlm.
48.
213

itu dikembangkan, begitu pula skim qard al hasan yang hampir tidak dikenal di luar

sistem ekonomi Islam.

5.1.6.2. Penambahan Asas Penundukan Diri Secara Sukarela (Vrijwillige

Onderwerping) Terhadap Hukum Islam

Setiap badan peradilan mempunyai asas-asas yang telah dirumuskan untuk

mengemban tugasnya, karena ia dapat dikatakan sebagai sifat dan karakter yang

terletak pada keseluruhan rumusan dalam pasal-pasal dan undang-undang. Dengan

begitu, setiap pasal dalam undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas-

asas yang menjadi karakternya. Menurut M. Yahya Harahap,380 di dalam Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama, terdapat beberapa asas

umum pada lingkungan Peradilan Agama. asas-asas itu merupakan fundamen dan

pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat

undang-undang. Ia dapat dikatakan sebagai karakter yang melekat pada seluruh

rumusan pasal-pasal di dalam undang-undang. Asas-asas umum Peradilan Agama

adalah sebagai berikut :

1). Asas Personalitas keIslaman

Maksudnya, yang tunduk dan dapat ditundukan pada kekuasaan pengadilan

dilingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk

agama Islam. Kemudian apa yang dimaksud dengan asas personalitas ke-Islamam

itu, menurut Wildan Suyuthi : “Bahwa yang dapat tunduk dan dapat ditundukkan

kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku

380
M. Yahya Harahap,1990, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Undang-undang Nomor 7 tahun 1989), Pustaka Kartini, hlm. 37
214

dirinya pemeluk Agama Islam,381 terdapat penegasan yang melekat didalam asas-

asas tersebut yaitu :

(a) pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama memeluk agama Islam;


(b) perkara perdata yang dipersengketakan yaitu dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah;
(c) hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu itu berdasarkan
hukum Islam.382

Asas Personalitas KeIslaman itu berasal dari agama Islam berisi ketentuan-

ketentuan dari Allah SWT, Tuhan bagi segala alam, mengenai seluruh masalah

kehidupan yang harus ditaati oleh para pemeluknya secara totalitas (kaffah).

2). Asas kebebasan

Asas kekebasan hakim atau asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman,

merupakan asas paling sentral dalam kehidupan peradilan. Dalam Undang–undang

Nomor 14 Tahun 1970 dicantumkan dalam Bab I, Ketentuan Umum sebagaimana

disrumuskan dalam Pasal 1 yang berbunyi:

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.383

Adapun penjabaran secara filosofis terhadap Pasal 1 Undang–undang Nomor

14 Tahun 1970, adalah:384

381
Wildan Suyuthi (Penyusun). Loc.Cit.
382
Sulaikan Lubis, (et.al). Ibid, hlm.62
383
Kemudian sesuai dengan upaya amandemen Undang–undang Nomor 14 Tahun
1970 menjadi Undang–undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dirubah menjadi Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas tersebut terdapat dalam
Pasal 1 Ketentuan Umum berbunyi: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
384
Sulaikan Lubis, (et.al). Ibid, hlm.63.
215

a. Kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah “alat


kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan yudikatif.
b. Tujuan memberi kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam
menyelenggarakan fungsi peradilan, yaitu:
1). Agar hukum dan keadilan bedasarkan Pancasila dapat ditegakkan.
2). Agar benar-benar dapat diselenggarakan kehidupan bernegara
berdasarkan hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, pada Pasal 3 menegaskan :

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) menegaskan: Yang dimaksud dengan

“kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari

segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.

Asas kebebasan melekat pada hakim dan badan peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman.385 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa

kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan negara yang bebas dari

campur tangan negara lain dan atau dari pihak luar. Asas ini menunjukan bahwa

hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan yang bebas dari campur

tangan kekuasaan negara dan tekanan pihak lain, dalam hal ini pemerintah dan

masyarakat. Hakim dalam menjalankan tugasnya, diharapkan memiliki integritas

385
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 1 angka 1 menegaskan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
216

kepribadian yang kuat untuk menggunakan kebebasannya sebagai pejabat

pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

Sulaikan Lubis, menegaskan pengertian kebebasan kekuasaan kehakiman

dalam melaksanakan kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah:386

a. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara yang lain. Bebas disini
berarti murni berdiri sendiri, tidak berada dibawah pengaruh dan kendali
badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuasaan lainnya.
b. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang datang dari pihak
extra yudicial, artinya hakim tidak boleh dipaksa diarahkan atau
direkomendasi dari luar lingkungan kekuasaan peradilan.
c. Kebebasan melaksanakan kewenangan peradilan. Dalam hal ini, sifat
kebebasan hukum tidak mutlak, tetapi terbatas pada:
1). Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang benar dan tepat dalam menyelesaikan perkara yang
sedang diperiksa.
2). Menafsirkan hukum yang tepat melalui metode penafsiran yang benar.
3). Bebas mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar dan asas-asas
hukum melalui doktrin ilmu hukum, hukum adat, yurisprudensi dan
melalui pendekatan realisme (yaitu mencari dan menemukan hukum
yang terdapat pada nilai ekonomi, kesusilaan, kepatuhan, agama, dan
kelaziman).

Konsep kebebasan tersebut di atas, erat kaitannya dengan kebebasan hakim

untuk mencari dan menemukan hukum, karena hakim terikat asas yang melarang

hakim menolak memeriksa perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada

atau kurang jelas.

3). Asas Wajib Mendamaikan

Merupakan asas umum dalam perkara perdata dan sejalan dengan tuntunan

agama Islam yang dikenal dengan konsep ishlah. Asas ini semakin penting

mengingat Peradilan Agama identik dengan peradilan keluarga. Peradilan Agama

sebagai peradilan keluarga memiliki dua fungsi, yaitu tidak hanya sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman atau lembaga hukum (court of law) yang menerapkan hukum
386
Ibid, hlm.64.
217

keluarga secara tegas kaku (impersonal), tetapi lebih diarah pada usaha

penyelesaian sengketa-sengketa keluarga, untuk memperkecil kerusakan rohani dan

keretakan sosial dikalangan pencari keadilan yang beragama Islam.387 Berdasarkan

konsep tersebut, maka peran hakim dalam perdamaian388 para pihak yang

berperkara terbatas pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam

perumusan sepanjang hal itu diminta oleh kedua belah pihak.

4). Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Sedehana, berhubungan dengan prosedur penerimaan sampai dengan

penyelesaian suatu perkara. Cepat, berhubungan dengan alokasi waktu yang

tersedia dalam proses peradilan. Biaya ringan, berhubung dengan keterjangkauan

biaya perkara oleh para pencari keadilan. Asas ini tercantum dalam ketentuan Pasal

4 ayat (2) Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok

kekuasaan kehakiman sebagai berikut : “Peradilan dilakukan dengan sederhana,

cepat, dan biaya ringan”.

Rumusan yang sama juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 ayat (4) menegaskan :

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Kemudian lebih

lanjut ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) yang menegaskan: “Pengadilan membantu

387
Sesuai dengan konsep Al-Qur‟an dalam surah Al-Hujuraat: 10. Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
388
Kata perdamaian berasal dari kata “damai” yang berarti : tidak ada perang; tidak
ada kerusuhan; aman. Ketika kata “damai” ditambah dengan awalan “per” dan akhiran “an”
menjadi kata “perdamaian” yang berarti penghentian permusuhan (perselisihan dsb); perihal
damai (berdamai). Lihat Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Op.Cit .hlm.233.
218

pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (4) menegaskan: Yang dimaksud dengan “sederhana”

adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan

efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat

dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya

ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak

mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan

keadilan.

5). Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung

dalam sidang pengadilan, memperkenankan kepada siapa saja yang berkeinginan

menghadiri, mendengarkan dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini

mencerminkan sifat dan suasana keterbukaan; memberikan kesempatan kepada

pengunjung untuk menghadiri persidangan sesuai dengan daya tampung yang

tersedia.

Di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, ditemukan asas persidangan terbuka untuk umum yang diatur dalam

Pasal 13 menegaskan :

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,


kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
219

6). Asas Legalitas

Maksudnya, semua tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hukum, ia

memiliki makna yang sama dengan bertindak menurut aturan-aturan hukum (rule of

law). Asas ini menunjukan pengakuan terhadap otoritas dan supermasi hukum,

karena negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat).

Segala suatu tindakan hakim dari mulai pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan,

persidangan dan penjatuhan hukuman harus berdasarkan hukum. Asas legalitas ini

tercantum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan

bahwa: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang”.

Di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, ditemukan asas legalitas dalam Pasal 4 ayat (1) yang menegaskan:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

7). Asas Aktif Memberikan Bantuan

Maksudnya, pengadilan dalam hal ini hakim yang memimpin persidangan

bersifat aktif dan bertindak sebagai fasilitator. Hakim harus aktif dalam memberikan

bantuan hukum kepada pihak yanh berselisih. Dalam Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menagur asas aktif memberi bantuan

diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang menegaskan: “Pengadilan membantu pencari

keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.


220

Asas aktif memberikan bantuan tersebut lebih lanjut dituangkan ke dalam

norma hukum yang tercantum dalam Pasal 58 ayat (2) Undang–undang Nomor 7

Tahun 1989 yang dinyatakan bahwa:

“Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya

mengatasi berbagai hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan”.

Kemudian diatur lebih lanjut dalam perubahan, pada Undang-undang Nomor

50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, dalam:

Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.

Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.

Rincian secara formal yang berkaitan hakim harus memberikan bantuan

kepada pihak yang berselisih di peradilan agana, yaitu :

a. membuat gugatan bagi yang buta huruf;


b. memberi arahan tata acara izin “prodeo”
c. menyarankan penyempurnaan surat kuasa;
d. menganjurkan perbaikan surat gugatan;
e. memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah;
f. memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban;
221

g. bantuan memanggil saksi secara resmi;


h. memberi bantuan upaya hukum;
i. memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi;
j. mengarahkan dan membantu rumusan dan perdamaian.

Asas-asas itu merupakan karakteristik Peradilan Agama, sebagai salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Implementasi dan penerapan asas-

asas itu, akan sangat bergantung kepada unsur manusianya, terutama hakim yang

menjadi ujung tombak penegakan hukum dan keadilan.

8). Asas Penundukkan Diri Secara Sukarela (Vrijwillige Onderwerping)

Terhadap Hukum Islam

Berkaitan dengan pembaharuan hukum Peradilan Agama tersebut membawa

perluasan kewenangan absolut Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006. Menurut Sulaikan Lubis, perluasan kewenangan tersebut berarti pula

adanya perluasan pengertian atas asas personalitas ke-Islaman.389 Dapat ditelusuri

dalam Penjelasan Pasal 1 angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa perluasan pengertian dan cakupan

asas personalitas keislaman tidak hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi

juga pada badan hukum. Penjelasan Pasal 1 angka 37 Undang–undang Nomor 7

Tahun 1989 menunjukkan adanya asas penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige

Onderwerping) terhadap hukum Islam, yang berarti perluasan asas mencakup

seluruh kewenangan absolut Peradilan Agama dan menghapus prinsip pilihan

hukum.

389
Sulaikan Lubis (et.al). Op.Cit. hlm.106.
222

Ahsan Dawi Mansur, menegaskan mengenai subjek hukum yang diperluas

menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk

orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela (Vrijwillige

Onderwerping) kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2

Penjelasan umum Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989) dihilangkan. Dengan

demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut

Pengadilan Agama.390

H. Muhammad Karsayuda, menegaskan perbuatan atau kegiatan usaha yang

menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah transaksi yang menggunakan akad

syari‟ah, walau pelakunya bukan muslim. Ukuran Personalitas ke Islaman dalam

sengketa ekonomi syari‟ah adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila

menggunakan akad syari‟ah, maka menjadi kewenangan Peradilan Agama. Dalam

konteks ini pelaku nonmuslim yang menggunakan akad syari‟ah berarti

menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh karenanya Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketanya harus diselesaikan di

Pangadilan Agama.

Sejalan dengan itu maka yang disebutkan pada penjelasan Pasal demi Pasal

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf i ”Yang dimaksud dengan

”ekonomi syari‟ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan

menurut prinsip syari‟ah”, harus dimaknai bahwa kewenangan Pengadilan Agama

menjangkau kalangan nonmuslim yang bertransaksi (menggunakan akad) syari‟ah.

Tindakan nonmuslim yang melibatkan dirinya dalam kegiatan ekonomi syari‟ah

390
Ahsan Dawi Mansur, “Paradigma Baru Peradilan Agama”, Sumber, Koran Merapi,
31 Agustus 2007
223

dipandang sebuah penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige Onderwerping)

terhadap hukum Islam. 391

5.1.7. Titik Taut (aanknopings punten) Kewenangan Antara Peradilan Agama

dan Peradilan Umum

Reformasi perundang-undangan atau instrumental reform, dengan

disahkannya Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.392 Perubahan

tersebut belum mampu sepenuhnya menyelesaikan titik taut (aanknopings punten)

kewenangan absolut yang terdapat dalam asas dan norma hukum, sehingga

Peradilan Agama masih mengalami gangguan atau disturbunce dalam

mengimplementasikan kewenangan absolutnya.

5.1.7.1. Politik Hukum Mengenai Pembentukan Pasal 50 ayat (1) dan (2) dari

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Rancangan perubahan undang-undang (rancangan undang-undang) tentang

Perubahan Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

dan Penjelasannya sebagai usulan insiatif anggota DPR-RI sebagaimana diatur

dalam Pasal 21 Undang–undang Dasar 1945 dan Pasal 13 jo Pasal 128 Peraturan

Tata Tertib DPR-RI.

391
H. Muhammad Karsayuda, Op.Cit, hlm.4
392
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui
penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama
secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kemudian
menjadi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
224

Adapun pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar pengajuan rancanagan

undang-undang tentang Perubahan Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama tersebut adalah sebagi berikut:393

1. Bahwa dalam rangka perubahan Undang–undang Dasar 1945 telah


dilakukan perubahan Undang–undang Dasar 1945 telah dilakukan
penggantian undang-undang tentan Kekuasaan Kehakiman menjadi
Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Perubahan tentang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985 diubah dengan Undang–undang Nomor 5
Tahun 2004. Bersamaan dengan penggantian dan perubahan kedua
undang-undang tersebut di atas telah disesuaikan pula undang-undang
yang mengatur badan peradilan di lingkungan Peradilan Umum mengubah
Undang–undang Nomor 2 Tahun 1986 dengan Undang–undang Nomor 8
Tahun 2004 dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
mengubah Undang–undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dengan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004.
2. Bahwa sebagai tindak lanjut dari penggantian dan perubahan dimaksud
perlu pula segera menyesuaikan ketentuan dalam Undang–undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disamping melakukan
sinkronisasi perlu pula dilakukan penyesuaian dengan tuntutan dalam
praktek di lingkungan Peradilan Agama dalam rangka memperlancar
pelaksanaan tugas dan wewenang dan pelayanan kebutuhan pencari
keadilan, serta perkembangan hukum dalam masyarakat, khususnya yang
beragama Islam di bidang hukum Islam.
3. Bahwa dengan demikian penyesuaian dan perubahan pasal-pasal
bersangkutan dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sudah sangat mendesak untuk segera diubah dan sesuai
dengan prioritas program legislasi nasional tahun 2005 yang telah
diputuskan DPR-RI.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran pertimbangan yang disampaikan oleh

anggota Komisi III DPR-RI masa bhakti 2004-2009 tersebut di atas, maka perubahan

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, merupakan

tuntutan sejarah dan tuntutan hukum yang sudah jelas arah pengaturannya dalam

Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang–undang Nomor 5 Tahun 2005

393
Surat Nomor : 02/DPR-RI/II/2005-2006 tanggal 14 November 2005 dengan Perihal
Penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai usulan Inisiatif Anggota DPR-RI kepada
Pimpinan DPR-RI.
225

yang telah merubah Undang–undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung.

Keterangan pengusulan atas rancangan undang-undang tentang Perubahan

Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, memberikan

penjelasan atas perubahan yang diusulkan sebagai berikut:

1. Konsideran “Menimbang” dalam Rancangan Undang-undang tentang


Perubahan Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama disesuaikan (sinkron) dengan kata-kata yang tercantum dalam
konsideran “Menimbang” Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang–undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang–undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang telah lebih dahulu Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004. Dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis dari 2 (dua) Undang-Undang yang telah lebih dahulu diubah tersebut
dengan Rancanga Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang–
undang Nomor 7 Tahun 1989.
2. Dasar hukum “Mengingat” juga disesuaikan (sinkron) dengan dasar hukum
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang–undang Nomor 9
Tahun 2004 serta disesuaikan dengan dasar hukum yang berkaitan dengan
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
dicantumkan pada angka 3 mengingat.
3. Pasal 2 yang bunyi aslinya sebagai berikut: “Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencarian keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu diatur dalam
undang-undang ini, diubah menjadi “Peradilan Agama adaah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, yaitu mengubah kata “pelaksana”
diubah menjadi “pelaku”. Kalimat diatas disesuaikan dengan perubahan
yang telah dilakukan dalam Undang–undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang–undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang–undang Nomor 2 Tahun 21985 tentang
Peradilan Umum telah diubah dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 serta Undang–undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang–undang Nomor 9
Tahun 2004. Penyesuaian ketiga undang-undang tersebut karena adanya
ketegasan rumusan dalam Undang–undang Dasar 1945 setelah diubah
Pasal 24 khususnya ayat (2) yang berbunyi: (2) Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang
berada dibawah dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
226

Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha


Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dari Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang–undang Dasar 1945
tersebut dapat ditarik pengertian bahwa Mahkamah agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya (juga Mahkamah Konstitusi) adalah
“perilaku” kekuasaan kehakiman. Sebelumnya dalam berbagai undang-
undang disebutkan sebagai “pelaksana” kekuasaan kehakiman. Antara kata
“pelaku” dan “pelaksana” terdapat perbedaan terhadap perbedaan subjek
kekuasaan Pengadilan Agama adalah khusus untuk rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut.
4. Pasal 3A merupakan substansi baru yang disisipkan dengan sistem
adendum berbunyi sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Agama dapat
diadakan pengkhususan yang diatur dengan unfdang-undang.
Ketentuan ini sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 15 Undang–undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang membuka
kemungkinan dibentuknya pengadilan khusus pada setiap lingkungan
peradilan. Pada Pasal 15 ayat (2) secara jelas disebutkan: “Peradilan
Syari‟ah Islam di Provinsi Nangroe aceh Darussalam merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang
kewenangannya menyangkut Peradilan Agama, dan kewenangan
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum
sepanjang kewenangannya mengangkut Peradilan Umum”.
5. Pasal 4 bukan perubahan substansi tetapi penyesuaian istilah yang
dipergunakan dalam Pasal 18 Undang–undang Dasar 1945 dan Undang–
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Kota
“Kotamadya” telah diubah menjadi “Kota”. Demikian pula penulisan kata
“Propinsi” menjadi “Provinsi” yaitu huruf “P” menjadi “V”. Sinkron pula
dengan Pasal 4 Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang–
undang Nomor 9 Tahun 2004.
6. Pasal 5 merupakan penyesuaian perubahan dalam Undang–undang Nomor
4 Tahun 2004 dan Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004 dalam rangka
penyatu atap semua urusan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan
finansial sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3) Undang–
undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menyebutkan:
(1). Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya berada dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
(2). Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial badan
peradilan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) untuk masing-
masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai
dengan kekuasaan lingkungan peradilan masing-masing.
Perubahan yang sama telah dilakukan pula dalam Undang–undang Nomor
11 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang–undang Nomor 2 Tahun
1986 mengenai Peradilan Umum, pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 7
Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 dalam pasal 12 dan Undang–
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
227

7. Pasal 11 mengikuti perubahan dalam Pasal 2, yaitu dari kata


“melaksanakan” menjadi “melakukan”. Perubahan yang sama telah
dilakukan melalui Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 dalam Pasal 12
dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 dalam Pasal 12.
8. Pasal 12 perubahan merupakan konsekuensi penyatu atapan ke
Mahkamah Agung beralih dari Menteri Agama sinkron dengan perubahan
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 Pasal 13 dalam Undang–undang
Nomor 9 Tahun 2004 dalam Pasal 13.
9. Pasal 13 mengikuti rumusan dalam Pasal 14 Undang–undang Nomor 8
Tahun 2004 dan Pasal 14 dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004.
Jika sebelumnya disebutkan “Untuk dapat diangkat hakim...dst”.
Seharusnya pengangkatan itu sebagai (calon hakim) sehingga disisipkan
kata “calon”. Persyaratan lain adalah untuk menjadi calon hakim harus
sebelumnya sudah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sehingga
seorang calon hakim yang tidak dapat diangkat sebagai hakim, akan tetap
berstatus sebagai Pegawai Negeri sipil di bidang administrasi atau pun
kepaniteraan.
10. Pasal 14 ayat (1) ditambahkan syarat lulus eksaminasi yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung (huruf d). Pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan
perubahan masa jabatan pimpinan di Pengadilan Agama. Hal ini sesuai
pula dengan perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004
Pasal 15 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 dalam Pasal
15.
11. Pasal 15 merupakan penyesuaian setelah penyatu atap ke Mahkamah
agung, pengangkatan dan pemberhentian hakim tidak lagi menjadi urusan
Departemen Agama, sehingga pengusulan kepada Presiden diajukan oleh
Mahkamah Agung, sedangkan penyangkalan dan pemberhetian Ketua dan
Wakil Ketua menjadi wewenang sepenuhnya dari Mahkamah Agung. Hal ini
sinkron pula dengan perubahan Pasal 16 Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 dan Pasal 16 Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004.
12. Pasal 16 merupakan sinkronisasi dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 17, dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada
Pasal 17, baik susunan ayat maupun lafal sumpahnya.
13. Pasal 17 merupakan sinkronisasi dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 18, dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada
Pasal 18.
14. Pasal 18 merupakan sinkronisasi dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 19, dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada
Pasal 19. Kata yang semula ditulis “Presiden selaku Kepala Negara” dalam
Pasal 18 ayat (2) dihapus kata “selaku Kepala Negara” karena Undang–
undang Dasar 1945 setelah amandemen perubahan tidak lagi
membedakan Presiden selaku Kepala Negara dan selaku Kepala
Pemerintahan seperti yang terdapat dala penjelasan Undang – Undang
Dasar 1945 sebelumnya. Juga penyesuaian usia pensiunan Hakim yang
sudah dilakukan pada Hakim Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara
seiring dengan pertambahan usia harapan hidup, sangat dibutuhkan pula
kematangan pengalaman.
228

15. Pasal 19 khususnya ayat (3) telah diubah rumusan dengan menghapus
keikutsertaan Menteri Agama dalam menyusun Peraturan Majelis
Kehormatan Hakim seperti sebelumnya dan kini hanya ditetapkan oleh
Mahkamah Agung. Hal ini sinkron pula dengan perubahan dalam Undang–
undang Nomor 6 Tahun 2004 pada Pasal 20 dan dalam Undang–undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 20.
16. Pasal 20 perubahan substansi, jika sebelumnya pemberhentian sebagai
hakim tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil,
kini kata “tidak” dihapus, sehingga dengan sendirinya pemberhentian
sebagai hakim juga langsung berhenti sebagai pegawai negeri. Hal ini
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 21 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 21.
17. Pasal 21 perubahan substansi dalam rangka penyatu atap sehingga
Menteri Agama tidak lagi mengusulkan ke Mahkamah agung tetapi sudah
menjadi kewenangan sepenuhnya dari Mahkamah Agung. Termasuk
dengan menghapus campur tangan Presiden dalam pemberhentian
sementara untuk sanksi pemberhentian sementara jika dijatuhkan, diberi
batas waktu 6 (enam) bulan untuk lamanya pemberhentian sementara
tersebut, agar alasan yang terdapat di dalam pemberhentian sementara
segera diproses apakah akan ditingkatkan menjadi pemberhentian atau
dicabut. Jika batas waktu tersebut di lampaui tanpa sesuatu tindakan akan
berakibat batalnya pemberhentian sementara. Hal ini sinkron dengan
perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 22
dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 22.
18. Pasal 25 perubahan dengan menghilangkan peran Menteri Agama
sehingga hanya semata-mata oleh Ketua Mahkamah Agung. Sinkron Pula
dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 26,
dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 26.
19. Pasal 27 merubah persyaratan menjadi Panitera Pengadilan Agama yang
semula antara lain diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat)
tahun sebagai Wakli Panitera dijadikan 3 (tiga) tahun, dan 8 (delapan)
tahun menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama menjadi 7 (tujuh) tahun
diubah menjadi 5 (lima) tahun.
20. Pasal 28 juga dengan merubah masa pengalaman kerja untuk diangkat
sebagai Panitera Pengadilan Tinggi Agama dari 4 (empat) tahun menjadi 3
(tiga) tahun sebagai Wakil Panitera, dari 8 (delapan) tahun menjadi 5 (lima)
tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat)
tahun menjadi 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama. Hal ini
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 29 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 29.
21. Pasal 29 mengenai jabatan Wakil Panitera Pengadilan Agama juga terjadi
penyesuaian masa pengajaman untuk diangkat sebagai Waklil Panitera
Pengadilan Tinggi Agama dari 4 (empat) tahun diturunkan 3 (tiga) tahun
sebagai Panitera Muda dan dari 6 (enam) tahun dijadikan 4 (empat) tahun
menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, sinkron pula dengan
perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 30 dan
dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 30.
229

22. Pasal 30 untuk menjabat Wakil Panitera juga disesuaikan masa jabatan
dari mereka yang dapat diangkat, serta sinkron dengan perubahan dalam
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 13 dan dalam Undang–
undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 31.
23. Pasal 31 untuk jabatan Panitera Muda Pengadilan Agama disesuaikan pula
dan sinkron dengan perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 32 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004
pada Pasal 32.
24. Pasal 32 perubahan persyaratan lamanya pengalaman menjadi Panitera
Muda Pengadilan Tinggi Agama sinkron dengan perubahan dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Pasal 33 dan Undang–
undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 33, yaitu dari 3 (tiga) tahun
sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama menjadi 2 (dua)
tahun sebagai Panitera Muda jadi 3 (tiga) tahun atau 8 (delapan) tahun
sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama jadi 5 (lima) tahun.
25. Pasal 33 perubahan persyaratan lamanya pengalaman untuk menjadi
Panitera Pengganti Pengadilan Agama sinkron dengan perubahan dalam
Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 34 dan Undang–undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 34, yaitu dari 5 (lima) tahun sebagai
Pegawai Negeri pada Pengadilan Agama jadi 3 (tiga) tahun.
26. Pasal 34 perubahan persyaratan Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama sinkron dengan perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 35 dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal
35, yaitu persyaratan pengalaman 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama jadi 3 (tiga) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Pegawai Negeri pada Pengadilan Tinggi Agama jadi 8 (dekapan)
tahun.
27. Pasal 35 perubahan merupakan penyesuaian dengan penyatu atap
sehingga pengaturan jabatan rangkap Panitera tidak lagi ditetapkan Menteri
Agama, tetapi diputuskan Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan
perubahan dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 36
dan Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 36.
28. Pasal 38 perubahan tentang pengangkatan dan pemberhentian Panitera,
Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang dilakukan
Menteri Agama menjadi Mahkamah Agung sebagai konsekuensi
penyaluran atap ke Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan
dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 37 dan dalam
Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 38.
29. Pasal 37 perubahan persyaratan ayat (1) dan ayat (2) antara pejabat
pengambil sumpah dan lafal sumpah. Hal ini sinkron dengan perubahan
dalam Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 38 dan dalam
Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 38.
30. Pasal 39 perubahan persyaratan pengalaman untuk menjadi Jurusita
Pengadilan Agama dari 5 (lima) tahun sebagai Jurusita Pengganti jadi 3
(tiga) tahun serta persyaratan menjadi Jurusita Pengganti dari 5 (lima)
tahun sebagai Pegawai Negeri Pengadilan Agama menjadi 3 (tiga) tahun.
230

Hal ini sinkron pula dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 40 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 40.
31. Pasal 40 perubahan merupakan konsekuensi pentauan atap sehingga
pengangkatan dan pemberhentian Jurusita tidak lagi oleh Menteri Agama,
tetapi oleh Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–
undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 41 dan dalam Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 41.
32. Pasal 41 perubahan pada struktur pembagian dengan memisahkan pejabat
pengambil sumpah Jurusita dan lafal sumpahnya menjadi ayat (1) dan ayat
(2). Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun
2004 pada Pasal 42 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004
pada Pasal 42.
33. Pasal 43 perubahan sebagai konsekuensi penyatuan atap ke Mahkamah
Agung sehingga menteri Agama tidak lagi mengatur jabatan yang tidak
dapat dirangkap Jurusita menjadi pemandu sumpah, tetapi menjadi
wewenang Mahkamah Agung. Hal ini sinkron dengan perubahan Undang–
undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 43.
34. Pasal 44 sebelumnya Panitera merangkap Sekretaris Pengadilan
sehubungan dengan penyatuan atap, Kanwil atau Departemen tidak lagi
mengurus hal-hal yang tadinya ditangani Departemen Agama sehingga
beban sekretaris serta tanggung jawab menjadi lebih berat. Agar tidak
mengganggu tugas Panitra dalam menangani teknis perkara perlu
pemisahan.
35. Pasal 45 sebelumnya tidak mengatur Sekretaris karena dirangkap Panitera
diubah dimasukkan pula jabatan Sekretaris yang persyaratannya minimal
sama dengan Wakil Sekretaris. Jabatan sekretaris Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama disamakan yaitu, sebelumnya untuk Pengadilan
Agama hanya Sarjana Muda tapi kini sumber daya manusia yang sarjana di
Pengadilan Agama sudah cukup, oleh karena itu Pasal 46 mengenai
Pengadilan Tinggi Agama tidak diperlukan lagi sehingga dihapus Pasal 46
tersebut.
36. Pasal 46 dihapus karena sudah disatukan ke Pasal 45.
37. Pasal 47 perubahan pejabat yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan Wakil Sekretaris Pengadilan daru Menteri Agama menjadi
Mahkamah Agung sebagai konsekuensi penyatuan atap. Hal ini menjadi
sinkron dengan perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada
Pasal 48 dan dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 48.
Serta ditambah jabatan Sekretaris yang sudah dipisahkan dari Panitera.
38. Pasal 48 perubahan dalam struktur susunan ayat antara pejabat pengambil
sumpah Wakil Sekretaris dan lafal sumpahnya. Hal ini sinkron dengan
perubahan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 pada Pasal 49 dan
dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 2004 pada Pasal 49. Serta
ditambahkan jabatan Sektretaris yang seluruhnya dirangkap Panitera
sehingga sumpahnya menyatu dengan Panitera.
39. Pasal 49 yang mengatur kekuasaan Pengadilan (Kompetensi Absolut)
hukumnya pada ayat (4) perlu diuraikan bentuknya apa kegiatan Bank
Syari‟ah yang dapat menjadi obyek perkara, karena Bank Syari‟ah berbeda
231

dengan perbankan umum. Dewasa ini perbankan umum, termasuk BUMN


telah memisahkan secara khusus modal dan kegiatannya dengan
menyebut sebagai Bank Syari‟ah dengan memberlakukan ketentuan
Syari‟ah dalam kegiatan bank tersebut terhadap pelayanan nasabahnya,
walaupun terhadap Bank Syari‟ah belum secara rinci diatur dalam undang-
undang perbankan ataupun undang-undang Khusus.
Perikatan perjanjian di Bank Syari‟ah didasarkan pada hukum Syari‟ah
sehingga perlu dimasukkan jadi kewenangan Peradilan Agama seperti yang
sudah ditambahkan pada Pasal 49 ayat (1) huruf B. Sumber Daya Manusia
Hakim di Pengadilan Agama cukup siap untuk menangani hubungan
keperdataan perbankan syari‟ah tersebut dalam mengantisipasi timbulnya
sengketa di bidang ini.
40. Pasal 50 perubahan disebabkan terdapat tambahan bersifat teknis dan
yuridis dalam proses pemeriksaan yang dilakukan Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Agama sesuai kekuasaan Pengdilan Agama yang
diatur dalam Pasal 49. Sedangkan Pasal 50 telah membatasi perluasan
kekuasaan dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau
keperdataan lain dalam perkara yang terkait dengan kekuasaan
Pengadilan Agama. Misalnya dalam sengketa harta bersama dalam
perkawinan, kewarisan, hibah, atau easiat. Yang termasuk kekuasaan
Pengadilan Agama antara orang-orang yang beragama Islam.
Dalam pemeriksaan sengketa tersebut salah satu pihak mendalilkan bahwa
barang yang disengketakan adalah barang miliknya yang tidak termasuk
harta warisan atau harta bersama dalam perkawinan, atau pun merupakan
barang yang disewa. Dapat pula terjadi dengan memasukkan pihak ketiga
baik orang beragama Islam maupun tidak beragama Islam maupun tidak
memakai dalil yang menjadikan sengketa yang diperiksa Pengadilan
Agama harus dihentikan dan menunggu putusan pengadilan lain, yaitu
Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Untuk sampai pada putusan
Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap membutuhkan
waktu yang cukup lama terhadap obyek yang disengketakan tersebut. Hal
tersebut menjadikan korban (kerugian) pihak lain banyak karena masalah
pembagian kompetensi pengadilan (Kompetensi Absolut) dimana
Pengadilan Agama tidak diberi wewenang mengadili perkara perdata
mengenai sengketa hak milik atau keperdataan lain, selain yang ditentukan
dalam Pasal 49. Dalam perkembangan Sumber Daya Manusia di
lingkungan peradilan sudah bukan merupakan masalah kemampuan para
hakimnya untuk memeriksa perkara perdata pada umumnya. Sehingga
sudah sepatutnya hambatan tersebut dapat dibuka walau tidak seluas-
luasnya. Yaitu terbatas yang bersengketa adalah orang-orang yang
beragama Islam dan obyek sengketa terkait dengan obyek sengketa yang
sedang diperiksa di Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan yang
ditentukan dalam Pasal 49. Pasal 50 ayat (2) rancangan undang- undang
ini memberi kekecualian terhadap Pasal 50 yang telah diubah menjadi
Pasal 50 ayat (1). Dengan cara tidak perlu menangguhkan pemeriksaan
sengketa di Pengadilan Agama apabila yang berperkara hak milik atau
keperdataan lain sepanjang dikaitkan dengan senhketa yang menjadi
232

kekuasaan Pengadilan Agama itu terjadi antara orang-orang yang


beragama Islam. Artinya, jika mengajukan dalil-dalil hak milik atau
keperdataan lainnya tersebut pihak yang sedang berperkara yang tentu
saja antara orang yang beragama Islam, atau pihak ketiga yang masuk
dalam perkara tersebut (ntervensi) adalah juga orang yang beragama
Islam. Dalam hal demikian Pengadilan Agama diberikan kekuasaan untuk
memeriksa dan memutuskan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya
tersebut bersama-sama dengan sengketa harta bersama atau kewarisan
yang sedang diperiksanya. Dengan demikian, diharapkan rasa keadilan
masyarakat pencari keadilan dapat terpenuhi yang selama ini terganjal
dengan ketentuan dalam Pasal 50 tersebut yang dalam rancangan undang-
undang ini dijadikan Pasal 50 ayat (1) sering disalah gunakan oleh pihak
lawan.
41. Pasal 52 A pasal sisipan yang merupakan tambahan pada peran yang
sesungguhnya selama ini telah dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam
penetapan awal Ramdhan atau akhir Ramadhan Idul Fitri dan Idul Adha
oleh pemerintah (Menteri Agama). Terhadap saksi yang menyatakan telah
melihat terbitnya awal bulan tahun hijriyah dimintakan Pengadilan Agama
untuk menetapkan kesaksian dari orang yang bersangkutan untuk menjadi
bahan pertimbangan Menteri Agama. Peran dalam membantu pemerintah
(Menteri Agama) dengan memberkan penetapan atau saksi yang melihat
bulan tersebut yang hendak diberi landasan hukum dalam penambahan
pasal ini.
42. Pasal 90 merupakan perubahan sebagai konsekunsi penyatuan atap
sehingga untuk menetapkan biaya perkara tidak lagi dilakukan oleh Menteri
Agama, tetapi dilakukan oleh Mahkamah Agung.
43. Pasal 105 merupakan perubahan sebagai konsekuensi penyatuan atap
sehingga untuk mengatur tugas dan tanggungjawab, susunan organisasi,
dan Tata Kerja Sekretaris tidak lagi diatur Menteri Agama, tetapi dilakukan
Mahkamah Agung.
44. Pasal 106 A merupakan tambahan pasal dalam Bab VI (Ketentuan
Peralihan) untuk mengantisipasi kekosongan hukum/peraturan perundang-
undangan dengan syarat “tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini‟, yaitu undang-undang yang
telah mengubah Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989. Hal ini mengingat
selama ini Pengadilan Agama diatur oleh Menteri Agama.

Berdasarkan landasan pemikiran tersebut di atas, yang berintikan sinkronisasi

dengan Undang-Undang lainnya yang mengatur kekuasaan kehakiman sesuai

dengan tuntutan reformasi hukum yang telah dimulai dengan perubahan pasal-pasal

dalam Undang–undang Dasar 1945 khususnya bab I Kekuasaan Kehakiman.

Disusul dengan penggantian Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang


233

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang–undang

Nomor 35 Tahun 1999, terakhir diganti oleh Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang–undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dari kedua undanh-undang tersebut semua pengadilan di lingkungan Peradilan

Umum dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara langsung dengan

menyesuaikan dengan lahirnya Undang–undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang–

undang Nomor 9 Tahun 2004. Sudah seharusnya apabila untuk lingkungan

Peradilan Agama segera pula melakukan penyesuaian di samping diperlukan juga

penyempurnaan yang timbul dari pengalaman praktek. Dengan demikian diharapkan

terwujudnya integreted idealis system semakin nyata.

Memperhatikan pokok pikiran yang mendasari perubahan Pasal 50 Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut diatas, mencerminkan politik hukum setengah

hati, sebab konsep kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya yang pada semula dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun

1989 menyebutkan:

Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan
terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Kemudian Pasal 50 tersebut diagendakan untuk mengalami perubahan

sebagaimana terdapat dalam Rancangan Perubahan Atas Undang–undang Nomor

7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama, berbunyi sebagai berikut :

(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
234

(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-
sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Adapun penjelasan Pasal 50 dalam Rancangan Perubahan Atas Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama, menegaskan :

Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus


memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek
sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-
orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik
atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya gugatan di Pengadilan Agama. Sebaliknya apabila
subjek yang mengajukan sengketa hak miliik atau keperdataan lain tersebut
bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di
Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke
Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya
telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap obyek sengketa yang
sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal obyek sengketa lebih
dari satu obyek dan yang tidak terkait dengan obyek sengketa yang diajukan
keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya
terhadap obyek sengketa yang tidak terkait dimaksud.

Politik hukum yang tersirat dan tersurat dalam proses perubahan Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diwarnai dengan politik

hukum “penyesuaian dengan perubahan peraturan perundang-undangan” dan

“perluasan kewenangan”. Cerminan politik hukum seputar rancangan undang-

undang perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama tersebut, dapat dilihat dalam pandangan fraksi yang ada di DPR RI, sebagai

berikut:394

1). Pandangan Fraksi : Partai Golongan Karya (Disampaikan oleh :


Soedarmani Wiryatmo)

394
Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI),.
Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
235

Sikap : Menyetujui agar Rancangan Undang-undang


tentang Perubahan atas Undang–undang Nomor 7
Tahun 1989 atas usulan anggota dewan menjadi
Rancangan Undang-undang Inisiatif DPR untuk
selanjutnya dibicarakan dan dibahas lebih lanjut di
Komisi III DPR RI.
Pendapat Fraksi : 1. Secara faktual, nilai-nilai yang berdasarkan
hukum Islam juga hidup dan terus berkembang
dalam kehidupan sosial cultural masyarakat,
sehingga sebagian besar masyarakat
memedomani nilai-nilai Islam tersebut dalam
mencari keadilan.
2. Kontekstual keberadaan Peradilan Agama,
secara teoritik, memiliki makna strategis dan
posisi yang urgen dalam pembangunan sistem
Peradilan Republik Indonesia, untuk dapat
menyatukan rasa keadilan masyarakat.
3. Sejarah ketatanegaraan dan politik hukum
Indonesia di era reformasi yang melahirkan
perubahan Undang–undang Dasar 1945
menempatkan yudikatif di bawah Mahkamah
Agung, sebagai salah satu pilar dalam struktur
ketatanegaraan sebagai pelaku kekauasaan
kehakiman yang independen
Arah Politik Hukum : Mewujudkan amanah reformasi hukum dan
eksistensi budaya Peradilan Agama

2). Pandangan Fraksi : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan


(Disampaikan oleh : Nadrah Izahari)
Sikap : Fraksi PDIP siap untuk membahas Rancangan
Undang-undang inisiatif, mengingat perubahan
terhadap undang-undang Peradilan Agama harus
segera dilakukan, guna mewujudkan integrated
judicary system
Pendapat Fraksi : 1. Perubahan harus diselaraskan dengan konstitusi,
dan undang-undang baru yang terkait, dengan
memperhatikan sifat kekhususan dari undang-
undang Peradilan Agama yang merupakan
peradilan bagi penganut Agama Islam
2. Hal-hal yang berkaitan dengan organisasi,
administrasi dan finansial peradilan harus
memperhatikan Ketentuan Peralihan Undang–
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang mengatur tentang proses
peralihan organisasi, administrasi dan finansial
peradilan
236

3. Perubahan harus pula terfokus pada upaya


pencarian keadilan yang tidak memberatkan para
pencari keadilan yang tidak memberatkan para
pencari keadilan, guna tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan
Arah Politik Hukum : Perubahan selaras dengan Perubahan Undang–
undang Dasar 1945 dan mewujudkan sistem
peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan
biaya ringan

3). Pandangan Fraksi : Partai Persatuan Pembangunan (Disampaikan oleh :


H. Djuhadmahja )
Sikap : Menyetujui rancangan undang-undang tentang
Perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama untuk ditetapkan
menjadi Rancangan Undang-undang DPR-RI.
Pendapat Fraksi : 1. Perubahan Undang–undang Dasar 1945 telah
membawa perubahan mendasar terhadap format
struktur kekuasaan pemerintahan negara dalam
rangka membangun checks and balance.
2. Dalam rangka mengimplementasikan Pasal 24
ayat (2) Undang–undang Dasar 1945 dibentuk
Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 untuk
penyatuatapan 4 (emapt) lingkungan peradilan
3. Perubahan undang-undang Peradilan Agama
merupakan suatu keniscayaan dalam rangka
penyesuai dengan perubahan konstitusi dan
undang-undang Kekuasaan Kehakiman
Arah Politik Hukum : Peradilan satu atap.

4). Pandangan Fraksi : Tanggapan Fraksi Partai Amanat Nasional


(Disampaikan oleh : Arbab Paproeka)
Sikap : Menyetujui disahkan menjadi Rancangan Undang–
undang Usul Inisiatif DPR-RI dan merekomendasikan
pembahasannnya dilakukan oleh Komisi III DPR-RI
Pendapat Fraksi : 1. Mahkamah syariah yang memberlakukan syariat
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
agama sejalan dengan status otonomi khusus
bagi daerah tersebut.
2. Hakim Peradilan Agama memiliki peran startegis
untuk menegakkan hukum dan keadilan.
3. Rancangan undang-undang tentang Perubahan
atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama harus juga memberikan
237

perhatian yang baik terhadap kualitas dan


kemampuan seorang panitera.
Arah Politik Hukum : Membangun struktur hukum Peradilan Agama

5). Pandangan Fraksi : Partai Demokrat (Disampaikan oleh : H. Dasrul


Djabar)
Sikap : Rancangan undang-undang mengenai perubahan
atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama untuk menjasi Rancangan Undang-
undang Usulan Inisiatif DPR sebagaimana diatur
dalam Pasal 128 ayat (6) jo ayat (5) Peraturan Tata
Tertib
Pendapat Fraksi : -
Arah Politik Hukum : Perubahan

6). Pandangan Fraksi : Partai Kebangkitan Bangsa (Disampaikan oleh : Hj.


Anisah Mahfudz)
Sikap : Menyatakan persetujuan dan siap untuk dilakukan
pembahasan terhadap rancangan undang-undang ini
di Komisi III DPR RI
Pendapat Fraksi : 1. Kesungguhan melaksanakan reformasi konstitusi
terhadap Undang–undang Dasar 1945.
2. Perubahan undang-undang Kekuasaan
Kehakiman dan undang-undang Mahkamah
Agung.
3. Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama secara khusus
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa membicarkan
Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989
yang sangat merugikan bagi pencari keadilan dan
bertentangan dengan asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan. Pada sisi praktek pasal
tersebut juga sering disalahgunakan oleh pihak
yang ingin menang sendiri dan tidak mau berbuat
adil.
4. Secara khusus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
memberi catatan khusus tehadap Pasal 50 ayat
(1) dan (2) dari rancangan undang-undang yang
mengatur penyelesaian obyek sengketa perdata
atau hak milik antara subjek hukum yang
beragama Islam dan non-Islam.
5. Oleh karena itu, perubahan terhadap Pasal 50
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut,
Peradilan Agama tetap dinyatakan berwenang
memeriksa perkara sengketa kepemilikan
sepanjang pihak-pihak yang mendalilkan adanya
hak kepemilikan atau perdata lainnya tersebut
238

merupakan subjek hukum yang ditentukan dalam


Pasal 49, yaitu orang-orang yang beragama
Islam.
Arah Politik Hukum : Mewujudkan kewenangan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya.

7). Pandangan Fraksi : Partai Keadilan Sejahtera (Dibacakan oleh:


Mutammimul Ula)
Sikap : Rancangan undang-undang ini segera dibahas
antara DPR RI bersama pemerintah, karena lahirnya
undang-undang ini sangat ditunggu oleh Peradlan
Agama.
Pendapat Fraksi : Jika dipelajari dan dicermat dan seksama terhadap
usulan insiatif anggota DPR-RI tentang rancangan
undang-undang perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
beserta keterangan pengusul atas rancangan
undang-undang tersebut, maka sampailah pada
kesimpulan segala alasan dan pertimbangan para
pengusul, secar yuridis, filosfis, sosiologis maupun
pasal-pasal mana perubahan yang diusulkan telah
cukup bagi kami untuk menyatakan persetujuan.
Arah Politik Hukum : Perubahan dan perluasan kewenangan.

8). Pandangan Fraksi : Partai Bintang Pelopor Demokrasi (Dibacakan oleh:


Mudaffar Syah)
Sikap : Kami mengusulkan agar rancangan undang-undang
usulan inisiatif anggota DPR RI Komisi III tentang
Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama ini segera dibahas melalui
Panja pada Badan Legislasi sebagai pengambil
inisiatif pengusul Rancangan Undang–undang
dimaksud.
Pendapat Fraksi : Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama merupakan upaya
penyesuaian terhadap perubahan yang telah
dilakukan tehadap peraturan perundang-undangan
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah
Agung.
Arah Politik Hukum : Perubahan dan Penyesuaian.

9). Pandangan Fraksi : Partai Bintang Reformasi (Dibacakan oleh: Hj.


Zulhizwar)
Sikap : Menyetujui usulan inisiatif anggota DPR-RI mengenai
rancangan undang-undang tentang perubahan atas
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
239

Peradilan Agama menjadi Rancangan Undang-


undang Usulan DPR-RI
Pendapat Fraksi : Agar pembahasan rancangan undang-undang ini,
dapat dilakukan seobyektif mungkin dengan
senantiasa mengedepankan rasa keadilan yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat
Arah Politik Hukum : Perluasan kewenangan.

10).Pandangan Fraksi : Partai Damai Sejahtera (Dibacakan oleh: Pastor Saut


M. Hasibuan)
Sikap : Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah kebutuhan konkrit
objektif adanya usulan perubahan undang-undang
peradilan agama adalah langkah bijak dan tepat
sebagai tindak lanjut dari perubahan Undang–
undang Dasar 1945 (Pasal 24, 24A, 24C dan Pasal
25), sehingga mengharuskan beberapa perubahan.
Pendapat Fraksi : 1. Wewenang dan tanggungjawab dalam beberapa
produk hukum yang berkaitan dengan Peradilan
Agama Islam yang bersifat sektoral, sehingga
wewenang dan tanggung jawab tidak tumpang
tindih.
2. Hak dan kewajiban dalam beberapa produk
hukum yang berkaitan dengan Peradilan Agama
Islam dimohon tidak mengundang kecemburuan
bagi rakyat yang mencari keadilan atau
setidaknya tidak diskriminasi hakim akan
putusannya.
3. Pengawasan dalam rangka menyelenggarakan
peradilan yang setara yang dilakukan oleh
Peradilan Umum dan Agama terhadap
masyarakat pencari keadilan maka perlu
dilakukan pengawasan oleh pemerintah,
masyarakat maupun lembaga independen. Untuk
itu pemerintah secara berkewajiban
melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan
Peradilan Agama.
4. Koordinasi dalam menyatukan program maupun
kegiatan dari berbagai Peradilan Agama untuk
memperoleh keselarasan dan keterpaduan serta
menghindari terjadinya tumpang tindih, maka
diperlukan koordinasi yang dimulai sejak
perencanaan dan pelaksanaan, baik ditingkat
pusat dan daerah, dari sabang samapai merauke.
Arah Politik Hukum : Pengawasan terhadap lembaga peradilan.
240

Memperhatikan pandangan fraksi yang ada di DPR RI tersebut di atas,

dihubungkan dengan problem teknis yuridis yang merupakan penjelmaan dari Pasal

50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989, masih ditemukan kembali dalam Pasal

50 ayat (1) tidak mendapat kritisasi yang cukup berarti dalam tahapan perencanaan

dan pembentukan. Karena pusat perhatian terpecah oleh politik hukum perubahan

karena adanya perubahan dalam Konstitusi, undang-undang Kekuasan Kehakiman

dan undang-undang Mahkamah Agung, serta politik hukum perluasan kewenangan

Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Sehingga politik

hukum perubahan tidak secara optimal menyelesaikan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang sebelumnya

terjelma dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989.

Pandangan fraksi yang menyentuh terhadap problem teknis yuridis tentang

kewenangan menyelesaikan sengketa milik atau keperdataan lainnya dapat dibagi

menjadi: pertama, pandangan secara implisit dikemukan oleh Fraksi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan yang secara tegas memainkan peran politik hukum

agar proses perubahan selaras dengan perubahan Undang–undang Dasar 1945 dan

mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan;

kedua, pandangan secara ekplisit disampikan oleh Fraksi Partai Kebangkitan

Bangsa yang menegaskan bahwa prinsip politik hukum untuk mewujudkan

kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya. Pandangan ini hanya ingin memunculkan adanya kewenangan

Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa milik atau keperdataan lainnya,

sebagai mana ditemukan dalam Pasal 50 ayat (2) Rancangan Undang–undang

tentang Perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


241

Agama, tanpa menolak Pasal 50 ayat (1) yang merupakan politik dualisme

kewenangan serta menyebabkan penyelesaian perkara bertolak belakang dengan

prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum

sepenuhnya didasari oleh prinsip reformasi hukum Peradilan Agama yang

mendasarkan pada tindakan sinkronisasi dengan pelbagai Undang-Undangan

dalam rangka untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang demi

pelayanan kebutuhan pencari keadilan, serta perkembangan hukum Islam dalam

masyarakat. Sebab, dalam Pasal 50 tidak melakukan perubahan peletakan tugas

dan wewenang secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan

ruang lingkup kewenangan yang bersifat dualisme dalam menyelesaikan sengketa

sengketa milik atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang

merasa dirugikan haknya. Sehingga hambatan yang ditemukan dalam Pasal 50

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut dibuka walau tidak seluas-luasnya,

maka belum sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan

biaya ringan dalam proses penyelesaian sengketa.

Terkait dengan problem teknis yuridis yang merupakan penjelmaan dari Pasal

50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989, masih ditemukan kembali dalam Pasal

50 ayat (1) tidak mendapat kritisasi yang cukup berarti dalam tahapan perencanaan

dan pembentukan. Karena pusat perhatian terpecah oleh politik hukum perubahan

karena adanya perubahan dalam Konstitusi, undang-undang Kekuasan Kehakiman

dan undang-undang Mahkamah Agung, serta politik hukum perluasan kewenangan

Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Sehingga politik


242

hukum perubahan tidak secara optimal menyelesaikan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang sebelumnya

terjelma dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989.

Pandangan fraksi yang menyentuh terhadap problem teknis yuridis tentang

kewenangan menyelesaikan sengketa milik atau keperdataan lainnya dapat dibagi

menjadi: pertama, pandangan secara implisit dikemukan oleh Fraksi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan yang secara tegas memainkan peran politik hukum

agar proses perubahan selaras dengan perubahan Undang–undang Dasar 1945 dan

mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan;

kedua, pandangan secara ekplisit disampikan oleh Fraksi Partai Kebangkitan

Bangsa yang menegaskan bahwa prinsip politik hukum untuk mewujudkan

kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya. Pandangan ini hanya ingin memunculkan adanya kewenangan

Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa milik atau keperdataan lainnya,

sebagai mana ditemukan dalam Pasal 50 ayat (2) Rancangan Undang-undang

tentang Perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, tanpa menolak Pasal 50 ayat (1) yang merupakan politik dualisme

kewenangan serta menyebabkan penyelsesaian perkara bertolak belakang dengan

prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum

sepenunnya didasari oleh prinsip reformasi hukum Peradilan Agama yang

mendasarkan pada tindakan sinkronisasi dengan pelbagai undang-undang dalam

rangka untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang demi pelayanan


243

kebutuhan pencari keadilan, serta perkembangan hukum Islam dalam masyarakat.

Sebab, dalam Pasal 50 tidak melakukan perubahan peletakan tugas dan wewenang

secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan ruang lingkup

kewenangan yang bersifat dualisme dalam menyelesaikan sengketa sengketa milik

atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang merasa dirugikan

haknya. Sehingga hambatan yang ditemukan dalam Pasal 50 Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tersebut dibuka walau tidak seluas-luasnya, maka belum

sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

dalam proses penyelesaian sengketa.

5.1.7.2. Politik Hukum Mengenai Norma dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) dari

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

Perubahan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum mampu

sepenuhnya menyelesaikan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan absolut

antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Peradilan Agama masih

mengalami gangguan (disturbunce) dalam mengimplementasikan kewenangan

absolutnya. Perubahan tersebut juga membawa perluasan kewenangan absolut

Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, sebagaimana

diatur dalam Pasal 49 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq;
shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Bentuk perluasan kewenangan Pengadilan
Agama yaitu dengan ditambahkannya bidang ekonomi syari‟ah.

Setelah pembaharuan dan perluasan kewenangan Peradilan Agama untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, masih ada titik taut (aanknopingspunten)


244

dan gangguan atau disturbunce bagi Peradilan Agama dalam melaksanakan

kewenangan absolutnya. Hal ini terlihat dalam penyelesaian sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut:

(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal tersebut secara tegas membagi dua kewenangan lembaga peradilan

dalam menyelesaikan sengketa dengan parameter status agama. Untuk pencari

keadilan yang berstatus agama Islam maka sengketa hak milik atau sengketa lain

dalam perdata, maka penyelesaiannya menjadi kompetensi Peradilan Agama sesuai

dengan Pasal 50 ayat (2). Bagi pencari keadilan yang beragama non Islam,

penyelesaian sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perdata menjadi

kewenangan Peradilan Umum.

5.1.8. Analisis Latar Belakang Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan

Antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum dan Kelahiran Pasal 50

ayat (1) dan (2) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama

5.1.8.1. Analisis Dinamika Sejarah Kewenangan Peradilan Agama

Di Indonesia, terjadi konflik antara hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan

hukum Adat. Konflik antara ketiga system hukum ini berawal sejak masuknya
245

penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga saat ini. Sebenarnya

setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa kita berupaya untuk

mengatasi konflik tersebut, namun hingga sekarang belum kunjung selesai. Itulah

sebabnya, setiap Garis-garis Besar Haluan Negara dan kebijakan Negara lainnya

senantiasa menggariskan upaya-upaya yang harus dikerjakan dalam pembinaan dan

pembangunan hukum nasional, di antaranya adalah mengatasi konflik seperti

tersebut di atas. Kita meyakini bahwa mengatasi masalah ini tidaklah mungkin

dikerjakan secara tambal sulam, melainkan harus dengan konsep-konsep dan aksi

yang menyeluruh serta integral berdasarkan Undang–undang Dasar 1945 dan

Pancasila sebagai landasan dasar dan falsafah negara Republik Indonesia.

Realita sejarah menunjukkan bahwa konflik antara ketiga system hukum itu

bukanlah terjadi secara alamiyah, melainkan ada unsur kesengajaan, yakni

ditimbulkan oleh sistem kolonialisme waktu itu dan rekayasa dari pihak-pihak yang

tidak menghendaki perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa lalu dan

saat ini. Konflik hukum mengandung arti konflik nilai–nilai sosial dan budaya yang

timbul secara wajar. Jika ada pertemuan antara dua atau lebih system nilai yang

asing bagi suatu masyarakat, biasanya akan selesai dengan sewajarnya, karena

setiap masyarakat memiliki daya serap dan daya adaptasi terhadap system nilai

asing, namun jika konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-

kadang secara artificial (buatan) sesuai dengan kebutuhan politk, maka sulitlah

menghapuskan konflik itu secara tuntas.

Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah

membawa sistem nilai baru berupa akidah, syari‟ah dan akhlak. Ketika itu kondisi
246

masyarakat Indonesia telah memiliki secara memadai system nilai yang berlaku lama

berupa peraturan-peraturan adat di setiap masyarakat yang beragam.

Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam itu diresapi

dan diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat

setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah,

syari‟ah dan akhlak Islam. Pergumulan kedua system nilai itu berlaku secara wajar,

tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena itu, L.W.C. Van den

Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa

penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama Islam berlaku motto

receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam di Indonesia menerima dan

memperlakukan syari‟at Islam secara keseluruhan. Pada masa itu, Peradilan Agama

mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-

perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.

Pada mulanya, penjajahan Belanda bermotifkan perdagangan, yakni karena

tertarik pada rempah-rempah dan hasil bumi lainnya yang amat laris di pasaran

Eropa waktu itu. Untuk mendapatkan monopoli perdagangan, Belanda memerlukan

kekuasaan atas Indonesia, maka direbutlah kedaulatan Indonesia dengan segala

cara, kepandaian diplomasi, politik adu domba, dan kekuatan senjata yang akhirnya

berhasil mejadikan Indonesia sebagai koloni Belanda selama lebih dari 300 tahun.

Politik hukum pun disesuaikan dengan kepentingan kolonialisme, yakni hukum

direncanakan untuk diunifikasi, disatukan, yang berarti, hukum yang berlaku di negeri

Belanda, diberlakukan pula di Indonesia. Pada waktu itulah timbul konflik-konflik

hukum, karena ada diantara para sarjana hukum Belanda tidak menyetujui unifikasi

sebagaimana tersebut di atas. Para sarjana hukum Belanda yang menolak unifikasi
247

itu dipelopori oleh C.Van Vollenhoven dengan bukunya De ontdekking van het

adatrecht (penemuan Hukum Adat). Menurutnya hukum yang berlaku pada

masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum Adat, yakni hukum

yang berakar pada kesadaran hukum masyarakat sejak dulu, dan hukum yang telah

berhasil membuat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib.

Dengan demikian teori receptio in complexu dari Van den Berg diganti dengan teori

receptie dari Van Vollenhoven.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, siklus politik kewenangan Peradilan

Agama mengalami pasang surut, ada kalanya wewenang dan kekuasaan yang

dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam

masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan

berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, studi

Peradilan Agama tidak hanya pada aspek institusional sekedar yang dimaksudkan

teori eksistensialisme.395 Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang fahamnya

berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang

bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi juga

meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

1. Filsofis ideologis yang menyikapi pendangan hidup dan kesadaran hukum;


2. Sistem hukum secara empirik mampu menunjuk keragaman hukum positif;
3. Aspek sosio-antropologis menggambarkan hakim agama yang berfungsi
sebagai penegak hukum dan keadilan, adalah hakim di mata hukum dan
ulama dimata masyarakat ;
4. Transformatif yang membentuk pandangan dan kesadaran hukum
masyarakat Islam baik melalui proses reintroduksi hukum Islam dengan
mempertimbangkan kompleksitas permasalahan masyarakat maupun pola
distribusi kitab fiqh ; dan

395
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, Edisi Ke-III, hlm.288.
248

5. Fenomenologis dimana lembaga Peradilan Agama dipandang sebagai


sebuah gejala yang mampu mengungkap seluruh aspek tersebut ke atas
permukaan, juga dapat mengungkap pertumbuhan Islam di nusantara.396

Sekalipun undang-undang Peradilan Agama lebih banyak bersentuhan dengan

aspek filosofis dan sistem hukum, tetapi masih adanya klaim bahwa regulasi dalam

bidang Peradilan Agama hampir atau mendekati suatu upaya pengungkapan

normatif dari peristiwa masa lalu sehingga eksistensi Peradilan Agama tidak lebih

merupakan reformulasi atau pengulangan tuntutan historis yang berada dalam satu

lingkaran sejarah.

Mencermati aspek historis, memiliki manfaat positif karena sejarah itu selalu

berhubungan dengan manusia, bukan dengan hewan, negatifnya mempelajari

sejarah bukan mitos tetapi fakta. Yang perlu diperhatikan dalam mempelajari sejarah

adanya empat siklus yaitu perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan

perubahan sebagai sentral informasi dalam mempelajari sejarah.397 Dengan

demikian apa yang dilahirkan oleh regulasi Peradilan Agama merupakan sebuah

refleksi sikap moral dan konsep pandangan hidup, tentunya tidak terlepas dari

substansi pengalaman normatif masyarakat yang beradab. Oleh sebab itu,

melahirkan pemahaman ganda terhadap lembaga Peradilan Agama, disatu sisi

disebutkan sebagai sebuah lembaga agama dan dilain sisi diberikan makna sebagai

lembaga hukum. Hal inilah yang melatar belakangi eksistensi Peradilan Agama

dalam sistem hukum di Indonesia sebagai suatu kebutuhan masyarakat Islam dalam

lingkaran pengamalan agama Islam.

396
Zuffran Sabrie, Op.Cit. hlm.XVII.
397
Hamdhany Tenggara, 2001, Bahan Kuliah Sejarah Hukum, Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
249

Sebagai wujud dari paham studi hukum kritis (critical legal studies) melihat

adanya suatu distorsi konsep dasar dari Peradilan Agama yang berpangkal dari

sejarah Peradilan Islam. Hal ini terlihat ketika terbentuknya sistem Peradilan Agama

yang diolah dan distrukturkan oleh penguasa tertinggi yaitu negara. Dengan

metode pendekatan politik hukum, terbentuknya Peradilan Agama dipandang

sebagai upaya penetapan hukum sistem norma-norma yang menjadi kerangka

pedoman hidup masyarakat merupakan wewenang negara. Oleh sebab itu

akomodasi dan refleksi dari nilai dasar hukum Islam dan Peradilan Islam menjadi

Peradilan Agama akan terjadi suatu anomali kepentingan. Dapat berupa kepentingan

hukum substansi atau justru kepentingan penguasa sebagai sarana pemuas

masyarakat Islam dalam rangka penegakan hukum Islam dan sebagai sarana

pengamalan dari ajaran agama Islam.

Sebuah kritikan tajam lahir dari pendapat Franz Magnis Suseno SJ

mengatakan bahwa dengan lahirnya badan Peradilan Agama dianggap akan

menggerogoti kedaulatan negara sebagaimana diungkapkan, “... Negara menjadi

taat kepada hukum bukan buatan sendiri, dinilai merupakan sebuah pengurangan

kedaulatan negara”.398 Tetapi karena kekuatan politik hukum penguasa secara

kenyataan sekarang berbeda, justru bukan negara dengan hukum prosedural yang

diadakannya terseret kedalam hukum substansi, tetapi hukum atau keadilan

substansi yang digerogoti oleh hukum atau keadilan prosedural. Hal ini terkristalisasi

melalui pembenaran dan kemapanan dalam historis dan struktur Peradilan Agama.

398
Zuffran Sabrie. Op.Cit, hlm.37.
250

5.1.8.2. Analisis Kewenangan Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi

Hukum

Setelah merekonstruksi perjalanan sejarah Peradilan Agama yang panjang,

dapat ditarik benang merah bahwa lembaga ini telah mengalami pahit getirnya

situasi politik yang mengiringi eksistensi dan kewenangannya dalam memberikan

pengabdian terbaik buat negeri ini. Perubahan politik hukum yang silih berganti sejak

masa kolonial Belanda hingga era reformasi sangat kental nuansa politis dan islamo

phobia, hal ini menggambarkan bahwa timbul tenggelamnya lembaga ini sangat

dipengaruhi oleh representasi politik hukum umat Islam di negeri ini.

Realitas sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia pada masa

orde baru menyadarkan dan menggugah semua elemen bangsa untuk kembali pada

hakikat sebenarnya dari bangsa atau negara Indonesia, sebagai negara yang

berdasarkan atas hukum,399 yakni dihormatinya supremasi hukum dalam kehidupan

masyarakat. Hal ini mengingat, pada masa tersebut keadilan dan supremasi hukum

dalam kenyataan faktualnya terkadang disisihkan dan dikalahkan oleh semangat

kepentingan individu, kelompok dan/ golongan yang tidak mengindahkan prinsip-

prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan tatanan dan aturan

hukum yang ada. Sehingga, keadilan hanya dimiliki dan dinikmati oleh pemimpin,

kepastian hukum menjadi sesuatu yang sulit diperoleh oleh rakyat biasa, serta

kesejahteraan hanya terbatas pada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.

Tidak berlebih jika pernyataan tersebut bisa dijadikan sebagai gambaran realitas

399
Menurut Bagir Manan, “… menuntut kehadiran kekuasaan lembaga peradilan yang
merdeka adalah ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechtstaat), pemisahan
kekuasaan (machtensheiding) atau pembagian kekuasaan (machteverdeling) di antara
badan-badan penyelenggaraan negara merupakan salah satu ciri umum negara berdasarkan
atas hukum”. Bagir Manan. 1995. Op.Cit, hlm. 5.
251

kehidupan rakyat Indonesia khususnya terkait hukum dan keadilan sejak masa awal

kemerdekaan sampai masa orde baru.

Bentuk kesadaran tersebut kemudian menimbulkan gerakan reformasi pada

tahun 1998,400 ditandai dengan runtuhnya rezim kekuasaan otoriter Orde Baru di

bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Tujuan utama dari reformasi

tersebut adalah terbentuknya pemerintahan demokrasi Indonesia baru yang civil

society,401 untuk membenahi kekeliruan selama 32 tahun kekuasaan pemerintah

hegemoni yang arogan di bawah militerisme.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka reformasi penegakan hukum harus

mutlak dilakukan, tetapi tentunya dilakukan secara bertahap menurut urutan

prioritasnya, sebab tidak mungkin untuk melakukannya semua secara simultan,

mengingat reformasi , pada hakikatnya bukan bersifat revolusi.402 Menurut Paulus E.

Lotulung langkah awal yang harus dilakukan adalah perbaikan sistem melalui

perubahan dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendasari penegakan

400
Menurut Muladi, pada saat awal bergulirnya reformasi awal tahun 1998, melahirkan
istilah “supremasi hukum” dan rule of law. Kedua istilah tersebut menjadi terkenal karena
selalu mewarnai berbagai polemik sekaligus perdebatan yang dimuat di media massa baik
cetak, elektronik, maupun cyber, dengan ekspektasi yang penuh optimisme. Dengan harapan
agar dapat mewarnai proses demokratisasi yang menjadi hakikat gerakan reformasi. Muladi,
Tripartite Missions Program Doctor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 29
Januari 2004, hlm. 1.
401
Istilah Civil Society, sering diterjemahkan dengan masyarakat kewarganegaraan
atau masyarakat madani. Lihat Muhammad AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan civil Society,
Jakarta, LP3ES, hlm. 3.
402
Tidak dikatakan sebagai revolusi, mengingat reformasi tidak mengubah atau
mengganti secara radikal berbagai macam tatanan lama yang ada dengan tatanan baru
sama sekali, melainkan hanya memperbaiki tatanan yang secara faktual tidak relevan lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat yang terus berkembang dalam
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, reformasi tidak dilaksanakan secara prontal, dan
total, melainkan sistematik dan gradual (bertahap). Surya Adi,2002, Apa dan Bagaimana
Reformasi, Jakarta, Pustaka Intan, hlm. 140.
252

hukum. Dari sinilah titik tolak kebijakan dan politik penegakan hukum harus

dilakukan.403

Salah satu reformasi hukum di bidang penegakan hukum yang signifikan

adalah mengacu kepada terbitnya Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang

pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka menyelamatkan dan normalisasi

kehidupan nasional sebagai haluan negara.404 Atas dasar haluan negara tersebut,

dilakukan pengkajian kembali mengenai fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif,

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Tahap awal yang dilakukan dalam pengkajian tersebut adalah dilakukannya

amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945 selanjutnya disebut Undang-

undang Dasar 1945 sebagai pedoman dan dasar utama bagi konstitusi negara

Republik Indonesia. Pada awalnya untuk melakukan perubahan tidaklah mudah

karena ada pihak yang tidak menyetujui dilakukannya perubahan dimaksud. 405

Secara prinsipil, perubahan (amendemen) Undang-undang Dasar 1945 merupakan

sebuah keniscayaan. Ini dapat dipahami bahwa tidak mungkin reformasi politik dan

403
Paulus E. Lotulung, “Reformasi Penegakan Hukum”, Dalam buku; 10 Undang-
undang Peradilan Agama. Makalah, Panitia Seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang
Peradilan Agama kerja sama Ditbinbapera Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat. Jakarta; t.tp. 1999, hlm. 140.
404
Hal yang sangat penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan
kehakiman dalam perspektif kelembagaan dan teknis administrasi peradilan. Baca kantor
Menteri Negara Koordinasi Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan
Aparatur Negara Republik Indonesia, Himpunan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Tap MPR-RI
Nomor X/MPR/1998 Berkaitan dengan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi Yudikatif
dan Eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
405
Mereka yang tidak setuju dilakukannya perubahan ketika itu sekurang-kurangnya
bertolak dari dua alasan; Pertama, otoriterisme yang muncul selama berlakunya Undang–
undang Dasar 1945 bukanlah disebabkan oleh isi Undang–undang Dasar 1945 tersebut
melainkan oleh pra pelaksanaannya. Kedua, ada kekhawatiran kuat seandainya perubahan
itu pada saatnya dijadikan batu loncatan untuk mengubah Pancasila sebagai dasar dari
ideologi negara. Lihat Moh. Mahfud M.D., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta, Pustak LP3ES, hlm. 37-38.
253

ekonomi tanpa melakukan reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin

dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap konstitusi (constutional reform).

Perubahan ini dilakukan terutama dalam rangka merevisi substansi permasalahan

yang menyangkut kepentingan sosio politik kehidupan masyarakat. Karena,

dinamisasi pemikiran untuk mengamandemenkan konstitusi bukanlah sesuatu yang

dilarang oleh hukum.

Selain itu, menurut Abraham Amos,406 proses amandemen konstitusi juga

bukanlah sesuatu yang bersifat keramat (tabu), melainkan lebih pada tujuan untuk

memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi. Jadi,

persoalan amandemen konstitusi negara bukan ritual terhadap sesuatu yang

dipandang sakral, tetapi lebih pada titik temu opini antara kepentingan pemerintah

dengan kehendak dan kebutuhan rakyat dalam menjalankan kontrak sosial

berdasarkan ideologi negara.

Alasan kuat untuk melakukan perubahan terhadap Undang–undang Dasar

1945 juga didasarkan pada kenyataan, sejak awal, para pendiri negara ini secara

eksplisit sudah menyatakan bahwa, Undang–undang Dasar 1945 adalah konstitusi

yang bersifat sementara.407 Bahkan Soekarno Presiden RI pertama menyebutkan

sebagai Undang–undang Dasar atau revolutiegrondwet.

406
H. F. Abraham Amos, 2007, Katastropi Hukum & QuoVadis Sistem Politik Peradilan
Indonesia: Analisa Sosiologis Kritis Terhadap Prosedur Penerapan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 48.
407
Disebut sementara mengingat situasi dan kondisi pada saat itu sedang dalam
keadaan genting pada akhir Perang Dunia Kedua dan memaksa para pendiri Republik
membuat Rancangan Undang-undang Dasar dengan sangat terburu-buru hanya dalam
waktu dua puluh hari kerja. Jelaslah bahwa prioritas para pendiri negara ini adalah
bagaimana memiliki sebuah konstitusi minimal, sekedar untuk memenuhi sarat dasar
kemerdekaan Indonesia. Jadi, memang memang tidak menjadi prioritas untuk membuat
254

“...Undang-undang Dasar yang buat sekarang ini adalah Undang-undang


Dasar sementara...ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat
Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”408

Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh the founding fathers dengan

menyediakan Pasal 37 Undang–undang Dasar 1945 sebagai sarana untuk

melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal

kemerdekaan sampai munculnya reformasi, proses penyelenggaraan negara

dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.

Terlepas tentang perbedaan pendapat tentang Undang–undang Dasar 1945

bersifat sementara atau tetap, Undang–undang Dasar 1945 memang harus

direnovasi, dalam arti bahwa, kalau dianggap masih bersifat sementara, harus

membuat konstitusi/ Undang–undang Dasar baru sama sekali, sedangkan kalau

sudah dianggap tetap, juga harus mengubah atau menggantinya. Fadjar

mengemukakan beberapa alasan mengapa Undang–undang Dasar 1945 perlu

disempurnakan dalam rangka reformasi pada masa pasca orde baru,409 yaitu;

Pertama, alasan historis, bahwa sejarah pembentukan Undang–undang Dasar 1945

konstitusi yang lengkap dan demokratis. Lihat Denny Indrawan, 2007, Amendemen Undang–
undang Dasar 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Mizan, 2007, hlm. 82.
408
Muhammad Yamin,1971, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta,
Siguntang, hlm. 410
409
Kelemahan-kelemahan lain yang terdapat dalam Undang–undang Dasar 1945
tersebut adalah; a) Undang–undang Dasar 1945 membangun sistem politik yang executive
heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya
mekanisme check and balancecs yang memadai, b) Undang–undang Dasar 1945 terlalu
banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal
penting dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah, c) Undang– undang
Dasar 1945 memuat pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan
bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh
Presiden, d) Undang – Undang Dasar 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan
negara dari pada sistemnya. Lihat Moch. Mahfud M. D., 2001, Dasar dan struktur
Ketatanegaraan Negara, Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 2001, hlm. 155-157
255

memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPKI, PPKI) sebagai Undang–

undang Dasar yang „bersifat sementara‟ karena dibuat dan ditetapkan dalam

suasana ketergesa-gesaan. Kedua, alasan filosofi, bahwa Undang–undang Dasar

1945 terdapat pencampur adukan beberapa gagasan yang paling bertentangan,

seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, antara paham

negara hukum dengan paham negara kekuasaan. Ketiga, alasan teoretis, dari sudut

pandang teori konstitusi keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah

untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi

justru Undang–undang Dasar 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan

tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian. Keempat, alasan yuridis

dimuatnya klausul perubahan pada Pasal Undang–undang Dasar 1945. kelima,

alasan politisi praktis di mana sudah sering terjadi penyelewengan terhadap

Undang–undang Dasar 1945 hanya untuk kepentingan politik sesaat.410

Setelah melewati perdebatan dan polemik yang cukup panjang, akhirnya

Undang–undang Dasar 1945 diamendemenkan. Hal penting yang dilakukan dalam

perubahan tersebut adalah menyangkut adanya pemisahan kekuasaan (separation

of power) di mana sebelumnya Undang–undang Dasar 1945 menganut sistem

pembagian kekuasaan (division of power).411 sebagaimana dinyatakan oleh

410
Abdul Mukhtie Fadjar. 2002. “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi
Paradigmatik” dalam Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan. hlm. xxxiii-xxxiv.
411
Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin meletakkan
konstitusionalisme sebagai prinsip dan dokrin bernegara, yang dijaga melalui dokrin checks
and balances dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar itulah maka,
konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat
vertikal hierarkis, dimana kedaulatan rakyat dipegang oleh sebuah badan bernama Majelis
Permusyaearatan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat indonesia, dengan kewenangan
untuk menetapkan Undang–undang Dasar, menetapkan Garis Besar Haluan Negara dan
256

Soepomo dalam sidang BPUPKI bahkan, “...prinsip yang dianut dalam Undang-

undang Dasar yang sedang disusun tidaklah didasarkan atas ajaran “trias politica”

Montesquieu yang memisahkan secara tegas antara cabang-cabang kekuasaan;

legislatif, eksekutif, dan yudikatif melainkan mengatur prinsip pembagian

kekuasaan.”412

Sementara itu, Pasal 24 Ayat (1) Undang–undang Dasar 1945 juga

menentukan bahwa: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Artinya,

cabang kekuasaan yudisial atau kehakiman ini secara prinsip memang merupakan

cabang kekuasaan tersendiri dan bebas dari campur tangan cabang-cabang

kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal lagi bahwa sekarang

Undang–undang Dasar 1945 menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of

power) yang tegas antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif,

sehingga antara satu dengan yang lainnya bersifat saling mengendalikan dan saling

mengimbangi (checks and balances).

Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman sebagai wujud

dari kemandirian lembaga yudikatif,413 maka sesuai dengan tuntunan reformasi di

mengangkat Kepala Negara, kemudian diubah posisi MPR sebagai lembaga negara yang
memegang kekusaan tertinggi negara menjadi sederajat dan setara dengan lembaga negara
pemegang kekusaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal. Lihat Marurar
Siahaan,2007, ”Konsilodasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Paksa Amandemen
Undang–undang Dasar 1945” dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontenporer,
Bekasi,The Biografhy Institute, hlm. 277.
412
Anwar Kariem, 2004, Undang-undang Dasar 1995: Dari Awal Dibentuk Sampai
Perubahan Era Reformasi, Jakarta, Pustaka Bintang, 2004, hlm. 18.
413
Kemandirian lembaga peradilan menurut Barda Nawawi, mengandung pengertian:
”kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara
hukum Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti ini maka kekuasaan kehakiman tidak
berarti hanya mengadili (kekuasaan menegakan hukum di badan-badan peradilan), tetapi
mencakup kekuasaan menegakan hukum seluruh proses penegakan hukum.” Barda Nawawi,
257

bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman dengan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.414

Konsekuensi dari diundangkannya Undang–undang Nomor 35 Tahun 1999

tersebut, diletakkan kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang

menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial

berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.415 Kebijakan ini dalam

istilah Populernya bisa disebut “ kebijakan satu atap (one roof system)”.416 Dengan

adanya kebijakan ini, maka lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia

Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan

Militer segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini juga dilakukan untuk

memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif dengan tujuan untuk

”Pokok-pokok Pikiran Kekuasan Kehakiman yang Merdeka” Makalah Sebagai Bahan


Masukan Untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode
1998-1999, hlm. 3
414
Pada permulaan Orde Baru, sebenarnya pemerintah pernah membuat suatu
keputusan yang menjanjikan, dengan mengeluarkan sebuah Undang-undang baru yang
mencabut Undang-undang Nomor 19 Tahun 1967 tentang kekuasaan kehakiman, yang telah
melanggar prinsip dasar independensi yudikatif dalam berbagai aturan di dalamnya. Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, memberi Mahkamah Agung
kewenangan mutlak untuk melakukan judicial review terhadap peraturan-peraturan di bawah
undang-undang. Lihat Pasal 26 (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
415
Selama periode 1970 sampai dengan 1998 pembinaan aparat lembaga peradilan
dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama menteri Kehakiman dan HAM.
416
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hlm. 513
258

memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-segi hukum formal dan teknis

peradilan.417

Namun, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di

negara Indonesia, Undang–undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut kemudian

diubah lagi menjadi Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan tercatat tonggak

baru bagi badan Peradilan Agama pasca perubahan Undang–undang Dasar 1945,

selain sudah berada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai perintah Undang–

undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004,418 juga di

berikannya kewenangan baru bagi Peradilan Agama setelah dilakukan amendemen

terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Yakni

dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasca amendemen Undang–undang Nomor

7 Tahun 1989 tidak semata-mata berorientasi pada penambahan kewenangan

terutama bidang ekonomi syariah,419 akan tetapi, secara makro lebih disebabkan

karena implikasi dari berubahnya struktur hukum yang terkait dengan kekuasaan

yudikatif atau lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama sebagai akibat adanya

program reformasi hukum di Indonesia. Karena itu, berubahnya Undang–undang

Dasar 1945 memberikan implikasi pada perubahan Undang–undang Nomor 14

Tahun 1970 menjadi Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004, maka secara otomatis

417
Yusril Ihza Mahendra, 1999, Memantapkan Posisi Lembaga Peradilan Pada Segi-
segi Hukum Formal dan Teknik Peradilan, Jakrta, t.p., hlm. 24.
418
Pasal-pasal yang mengatur tentang penyatuatapan Peradilan Agama ke Mahkamah
Agung sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Lembar Negara
Nomor 8, Tambahan Lembar Negara Nomor 4358.
419
Adapun penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah kewenangan yang benar-
benar baru di lingkungan Peradilan Agama dan mencakup hal-hal yang sangat luas. Lihat
penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf i.
259

meniscayakan adanya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama. Atas dasar inilah, kemudian lahir Undang–undang Nomor

3 Tahun 2006.

Sebagaimana disebutkan dalam salah satu pasal undang-undang tersebut,

yakni Pasal 2 disebutkan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu420 sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Ini berarti

bahwa, secara kelembagaan kedudukan Peradilan Agama sudah semakin kuat dan

sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya. Bahkan secara kelembagaan,

Peradilan Agama juga mengalami perluasan khususnya di provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

yang menyatakan bahwa: “Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan

pengkhususkan pengadilan yang diatur dengan undang-undang”. Maksud dari pasal

tersebut adalah adanya pengadilan syariat Islam yang diatur tersendiri dengan

Undang-undang Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang

terbentuk berdasarkan Undang-Undang otonomi khusus bagi Provinsi Istimewa Aceh

sebagai Nanggroe Aceh Darussalam421 yang oleh Undang–undang Nomor 4 Tahun

2004 Pasal 15 ayat (2) dinyatakan bahwa:

420
Dengan adanya kata ”Tertentu”, kewenangan tidak lagi dibatasi pada perkara
perdata, tetapi dimungkinkan juga mengenai perkara pidana. Pasal ini selain dapat
mengakomodasi kewenangan Mahkamah Syari‟iyah Nanggroe Aceh Darussalam,
memungkinkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut; a) Sanksi pidana
pelanggaran terhadap Peraturan perkawinan. b) Mahkamah Syar‟iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam yang mempunyai tugas dan wewenang bidang Jinnayah, memerlukan landasan
hukum yang diatur dalam Undang-undang
421
Muslim Thahiry dkk, 2006, Wacana Pemikiran Santri Dayah Aceh. Aceh, BRR NAD-
Nias, PKPM Aceh & Wacana Press, hlm.145.
260

“Peradilan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan


pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum”.

Peradilan Syariat Islam dengan sebutan Mahkamah Syar‟iyah, secara yuridis

memiliki status dan kedudukan yang kuat dengan adanya undang-undang tersendiri.

Namun, dari segi sosiologis dan praktis masih mengalami kendala terutama

menyangkut tentang hukum materiil yang sampai saat ini belum disusun secara

lengkap, terlebih-lebih lagi dengan adanya kewenangan baru yang diamanatkan oleh

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa status dan kedudukan Peradilan

Agama pada masa reformasi ini sudah semakin kuat. Begitu pula halnya dengan

kewenangan yang dimilikinya sudah semakin sudah semakin luas. Dari sisi status

dan kedudukan, ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain di Indonesia,

dan dalam hal-hal tertentu misalnya menyangkut sengketa keperdataan antar orang

Islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum,422 melainkan sudah

bisa memutuskan secara langsung. Selain itu, dari segi kewenangan yang dimiliki,

sudah semakin luas tidak lagi sebatas NTCR, tetapi sudah menyangkut persoalan

sengketa bidang ekonomi syariah, zakat, dan infak, serta memutuskan isbat rukyat

hilal. Bahkan Peradilan Agama di era reformasi juga dimungkinkan menyelesaikan

persoalan menyangkut bidang pidana.

422
Kalau sebelum lahir Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, para hakim Peradilan
Agama harus berhenti saat perkara yang ditanganinya terkait sangketa kepemilikan dan hak
keperdataan lainnya, maka sekarang harus menyelesaikan sendiri sangketa kepemilikan dan
hak keperdataan lainnya yang terkait dengan perkara yang menjadi wewenang, sepanjang
subjek hukum adalah orang-orang yang beragama Islam.
261

5.1.8.3. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Peradilan Agama dan

Peradilan Umum Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama

Reformasi hukum Peradilan Agama belum sepenuhnya mampu

menyelesaikan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama

dan Peradilan umum yang pada mulanya terlegitimasi dalam Pasal 50 dalam

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kinerja

pembaharuan hukum Perdailan Agama lebih terfokus pada upaya mewujudkan

status dan kedudukan Peradilan Agama untuk dilepaskan dari bayang-bayang

eksekutif yakni Departemen Agama, dan selanjutnya dimasukkan dalam satu atap

(one roof system) di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan

lainnya. Dari segi kewenangannya adanya upaya memperluas dari kewenangan

baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah,

serta ekonomi syariah.

Upaya melakukan sinkronisasi dilakukan sesuai dengan tuntutan dalam praktek

di lingkungan Peradilan Agama dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas dan

wewenang dan pelayanan kebutuhan pencari keadilan, sebagaimana ditemukan

dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentan Peradilan Agama,

berbunyi sebagai berikut :

(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
262

menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-


sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 50 ayat (2) merupakan sebuah kewenangan baru yang dimiliki oleh

Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa kebendaan atau keperdataan

lainnya sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 49

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, bagi orang-orang yang beragama Islam.

Sedangkan sebelumnya diatur dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama, bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya merupakan kewenangan mutlak dari Peradilan Umum. Hal

tersebut menjadikan korban (kerugian) pihak lain karena masalah pembagian

kompetensi pengadilan (kompetensi absolut), Pradilan Agama tidak diberi wewenang

mengadili sengketa hak milik atau keperdataan lain, selain yang ditentukan dalam

Pasal 49.

Dengan lahirnya gagasan pembaharuan hukum Peradilan Agama sebagai

tuntutan sejarah dan tuntutan hukum, sehingga sudah sepatutnya hambatan tersebut

dapat dibuka, tetapi secara faktual dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

khususnya Pasal 50 ayat (2) tidak seluas-luasnya dalam menyelesaikan sengketa

hak milik atau keperdataan lainnya menjadi kewenanga Peradilan Agama, yakni

hanya terbatas kepada yang bersengketa adalah orang-orang yang beragama Islam

dan obyek sengketa terkait dengan obyek sengketa yang sedang diperiksa di

Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 49.

Pasal 50 ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 telah memberi

kekecualian terhadap Pasal 50 yang telah diubah menjadi Pasal 50 ayat (1). Dengan

cara tidak perlu menangguhkan pemeriksaan sengketa di Pengadilan Agama apabila


263

yang berperkara hak milik atau keperdataan lain sepanjang dikaitkan dengan

sengketa yang menjadi kekuasaan Pengadilan Agama.

Jika dilakukan pendekatan kritis terhadap Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

tersebut dalam konteks cerminan pembatasan pelaksanaan fungsi peradilan, akan

terlihat pada pengaturan kompetensi peradilan (absolut competence), yang

dilakukan untuk kepentingan perlindungan hak-hak para pencari keadilan. Maka

Pasal 50 ayat (1) masih menyisakan persoalan yang sebelumnya masih dikandung

oleh Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

adanya titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan

Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.

Dengan kata lain, apabila Peradilan Agama melaksanakan kewenangannya ada

salah satu pihak mendalilkan bahwa hak milik atau keperdataan lainnya yang

disengketakan bukan miliki para pihak atau masuknya pihak ketiga orang yang

beragama non Islam memakai dalil yang menjadikan sengketa yang diperiksa

Pengadilan Agama harus dihentikan dan menunggu putusan pengadilan di

lingkungan Peradilan Umum, sampai memiliki kekuatan hukum tetap membutuhkan

waktu yang cukup lama terhadap obyek yang disengketakan tersebut.

Dari kondisi normatif yang dikandung dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

tersebut kemajuan kewenangan Peradilan Agama ada tetapi belum sepenuhnya

bebas dari bayang-bayang, karena diselipkan kewenangan Peradilan Umum dalam

kewenangan Peradilan Agama. Perubahan hukum Peradilan Agama belum selaras

dengan perubahan Undang–undang Dasar 1945 dan Undang–undang Nomor 4

Tahun 2004 jo Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai salah satu upaya

mewujudkan sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan biaya ringan.
264

Jika dipahami dari proses pembaharuan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

dari sudut peran politik hukum yang di perankan oleh anggota dan atau fraksi yang

ada di DPR-RI. Disimpulkan sangatlah kecil, karena perhatian terhadap persoalan

problem teknis yuridis yang telah terpatri dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai wujud titik taut (aanknopingspunten)

kewenanangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Hanya diusulkan

ditemukan prinsip mengarah dalam pandangan fraksi PDIP yang mengarahkan

pada upaya perwujudan “sistem peradilan yang sesuai prinsip sederhana cepat dan

biaya ringan”. Pandangan yang terfokus untuk memperdebatkan Pasal 50 dari

rancangan undang–undang atas Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

hanya dilakukan oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Yang disampaikan hanya

terkait erat dengan memunculkan kewenangan Peradilan Agama untuk

menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, tanpa

memperdebatkan adanya sublimasi kewenangan Peradilan Umum (Vide Pasal 50

ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006) dalam kewenangan Peradilan

Agama.

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa perubahan Undang–undang Nomor 7

Tahun 1989 menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 melahirkan kewenanga

baru bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya hanya bagi orang yang beragama Islam. Sedangkan untuk

pihak yang terkait dengan sengketa hak milik atau kebendaan lainnya menjadi

kewenangan Peradilan Umum. Secara prinsipal penambahan kewenangan tersebut,

tidak mengakhiri titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Umum


265

dengan Peradilan Agama sebagaimana sebelumnya terjelma dalam Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Memperhatikan dari sudut cita-cita reformasi sistem peradilan nasional yang

secara umum dapat dilakukan, tetapi secara khusus reformasi hukum Peradilan

Agama belum sepenuhnya mampu membangun kesejajaran, kemandirian dan

kemerdekaan Peradilan Agama seperti lingkungan peradilan lainnya.

5.1.8.4. Bias Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Peradilan Agama

dan Peradilan Umum Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah

Berdasarkan asas personalitas keislaman pembentuk undang-undang

memandang perlu dan tepat melimpahkan kekuasaan penyelesaian perkara

ekonomi syari‟ah kepada Peradilan Agama yang merupakan salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan

ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004, kekuasaan

peradilan diatur dengan undang-undang.423 Secara yuridis formal, selama ini belum

pernah ada suatu peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan

kekuasaan mengadili perkara ekonomi syariah ini kepada peradilan tertentu di

Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah salah, tetapi sudah tepat jika masalah ekonomi

423
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.
266

syariah diserahkan oleh Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 menjadi kewenangan

absolut Pengadilan Agama.424

Kompetensi absolut Peradilan Agama menangani perkara ekonomi syariah

sebagaimana tercantum dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 menunjukkan

bahwa tatkala perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan

prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi

adalah menjadi kompetensi Peradilan Agama. Adapun penyelesaian melalui non-

litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini Basyarnas425 (Badan

Arbitrase Syariah Nasional) dan alternatif penyelesaian sengketa dengan

memperhatikan ketentuan dalam Undang–undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan tetap berpegang

pada prinsip-prinsip syariah.

Meskipun telah ada lembaga peradilan, sering kali lembaga arbitrase menjadi

alternatif untuk menyelesaikan suatu sengketa. Terdapat alasan-alasan yang

dikemukakan oleh Wahyu Wiryono dan Mariam Darus Badrulzaman atas kelebihan

arbitrase adalah sebagai berikut: 426

424
A. Mukti Arto, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan
Agama”, Makalah, tidak dipublikasikan.
425
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999), sedangkan perjanjian Arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah terjadi sengketa. Lihat Rahmani Timorita Yulianti,
“Sengketa Ekonomi Syari‟ah (Antara Kompetensi Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase
Syari‟ah)” Makalah, Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, mahasiswa
Program S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
426
Abdul Rahman Saleh. (et.al). Arbitrase Islam Indonesia. Jakarta: BAMUI kerjasama
dengan Bank Muamalat Indonesia, hlm.58-60. Lihat juga Wahyu Wiryono, 2006,
Penyelesaian Sengketa Bank Syari‟ah, makalah diberikan pada Pelatihan Penyelesaian
267

1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dicapai dalam waktu relative singkat
2. Biaya lebih murah
3. Dapat dihindari ekspose dari keputusan di didepan umum
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih kekeluargaan
5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh
arbitrase
6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter
7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya
8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
9. Keputusan arbitrase umumnya final binding (tanpa harus naik banding atau
kasasi)
10. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh
pengadilan
11. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.

Adapun kekurangan arbitrase adalah sebagai berikut:

1. Kemungkinan hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-


perusahaan bonafide
2. Kurangnya unsur finality
3. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lainlain
4. Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan
5. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif
6. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama
lain karena tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya,
dan juga karena unsure fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan
arbitrase tidak predektif
7. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu
sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu
keputusan arbitrase.

Konsep penyelesaian sengketa dari perjanjian berdasarkan hukum positif

(hukum yang berlaku) di Indonesia menganut system “terbuka”.427

Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama, tanggal 8 Juli 2006, di Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta.
427
Artinya setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa dan bagaimanapun juga,
sepanjang pembuatannya dilakukan sesuai dengan undang-undang dan isinya tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan. Termasuk dalam pengertian
“bebas” disini tidak saja yang menyangkut “bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang
terjadi atau mungkin dapat terjadi”
268

5.1.8.4.1. Aspek Filosofis Rancangan Undang-undang Perbankan Syariah

Rancangan undang-undang Perbankan Syariah keberadaannya sesungguhnya

merupakan tuntutan untuk memenuhi ketentuan Pasal 49 Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, khususnya menyangkut kewenangan yang

diemban oleh Peradilan Agama dalam memenuhi amanat undang-undang. Apabila

dirunut dari aspek historis eksistensi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman

penjajah sampai kemerdekaan, hingga sekarang era reformasi tidak di persoalkan

lagi, hanya saja yang menjadi persoalan mengapa kewenangan Peradilan Agama

yang telah mempunyai status sama kedudukannya dengan peradilan lainya. Tetapi

kompetensi mengadili perkara bagi orang Islam belum semua dapat dilaksanakan

oleh Peradilan Agama, artinya masih terjadi tarik menarik dengan Peradilan Umum,

padahal masing-masing telah mempunyai kompetensi sendiri-sendiri.

Peradilan Agama dengan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 mempunyai

kewenangan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam (orang yang beragama

Islam) meliputi hukum keluarga (Nikah, Waris, Zakat) dan ekonomi syariah.

Memperhatikan kewenangan absolut dari Pengadilan Agama yang ada sekarang,

jika dilihat aspek filosofis menunjukkan bahwa perkembangan kebutuhan hukum

masyarakat (muslim khususnya) terhadap kesadaran menjalankan syariat islam

sebagai konsekuensi dari keyakinanya semakin tinggi, Ini berarti bahwa pluralisme

hukum (legal pluralism) harus diterima sebagai realitas (real of entity) yang majemuk

(legal flurality) dalam kehidupan bermasyarakat, harus memikirkan hukum sebagai

suatu fenomena yang pluralistik.

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat

selain terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan (order of law) juga


269

berwujud sebagai hukum agama (religious law) dan hukum kebiasaan (costumary

law) secara antropologis membentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri

(inner order mechanism atau self regulation) dalam komunitas-komunitas

masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana

untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial.428 Hukum adalah institusi yang

dinamis dan mengalir, hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,

antara hukum dan manusia direalisasikan dalam masyarakat yang menjadi tempat

berinteraksi. Ketiga ordinat (hukum, manusia dan masyarakat) yang menyebabkan

hukum menjadi institusi yang dinamis. Perubahan atau pergeseran hukum secara

pelan-pelan terjadi dari “the law ways” munuju “the sociological ways‟‟ kemudian

kepada “the sociological movement in law (Hunt), atau “the sosialogical era”.429

Eksistensi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang–undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang–undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan

sekarang rancangan undang-undang Perbankan Syari‟ah (telah diundangkan

menjadi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah), tidak

dapat dilepaskan dari historis (sejarah), artinya lahirnya institusi di atas bukan

institusi yang “a-historis” melainkan “historisch bepaald”. Artinya munculnya dinamika

hukum itu tidak dapat melepaskan atau menyembunyikan dinamika sosial di

belakangnya. Hukum tumbuh, berkembang dan ambruk disebabkan oleh dinamika

dalam masyarakat. Polarisasi kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili

428
I Nyoman Nurjaya, 2007, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara
dalam Masyarakat Multikurltural (Perspektif Hukum Progresif), Kerjasama FH UNDIP,
Program Doktor Hukum UNDIP dan FH Trisakti, Semarang.
429
Donald Black, 1989, Sociological Justice, Oxford University, New York.
270

perkara sengketa perbankan syari‟ah atau perbankan Islam, yang dalam draft

rancangan undang-undang Perbankan Syari‟ah terutama pada Pasal 52 yang

menyatakan:

“Penyelesian sengketa pada perbankan syari‟ah dilakukan oleh pengadilan

umum”.

Dalam penjelasan dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan

syariah dilakukan Peradilan Umum karena transaksi terkait dengan perbankan

syari‟ah bersifat komersial. Pemahaman hukum yang demikian jika dilihat dari aspek

filosofis yuridis pada dasarnya tidak menjawab kebutuhan rasa keadilan umat Islam

sebagai konsekuensi pluralisme hukum yang hidup dan tumbuh. Karenanya

penyerahan ke Peradilan Umum dirasa kurang memenuhi rasa keadilan

(contradictoris value) dan bertentangan dengan prinsip “historical bepaald” yang

telah terjadi selama ini. Karena itu penyelesaian sengketa perkara perbankan Islam

harus diserahan kepada Pengadilan Agama.

5.1.8.4.2. Aspek Yuridis Rancangan Undang-undang Perbankan Syari’ah

Mencermati keberadaan Peradilan Agama, secara yuridis normatif merupakan

amanat konstitusi Undang–undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

1945 Pasal 24, 25, yang konkritisasi formalitasnya Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006 dan dipayungi oleh Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 mengenai

Kekuasaan Kehakiman. Rancangan undang-undang Perbankan Syari‟ah yang telah

dibahas oleh DPR RI dari sekian pasal-pasalnya ada yang dianggap krusial (menjadi

pertentangan atau polemik) oleh para pakar dan praktisi hukum. Jika diteropong dari

aspek yuridis belum merupakan hukum yang baik, karena cacat sejak lahir. Karena

hukum yang baik adalah hukum yang mempunyai kekuatan yuridis yang memberikan
271

kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum unsur penegakan hukum dari

Friedman (substansi, struktur dan kultur) penekanan unsur manusia merupakan

pelaku utama dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan. “the legal system

is not a machine; it is run by human beings” .430

Karena itu untuk mewujudkan keadilan, pendekatan hukum yang bersifat

empirik-positivistik tidak cukup, tetapi proses interaksi antara manusia dengan

lingkungan yang dilandasi oleh budaya akan menjadi lebih bermakna. Dalam hal ini

maka pemahaman hukum melalui pengalaman internal para subjek pelaku dan

hukum merupakan makna simbolik yang termanifestasikan oleh para pelaku sosial

yang tampak dalam interaksi antar mereka. Berdasarkan pemahaman dan

interpretasi, dapat menangkap makna, nilai-nilai di balik perilaku mereka. Karenanya

kajian yang digunakan bukan lagi semata-mata yuridis dogmatik melainkan

pendekatan socio legal-antropologis.

Rancangan undang-undang Perbankan Syari‟ah, memunculkan problem yuridis

yang dianggap krusial, hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana, disamping

pendekatan yuridis formalistik yang dijadikan payung hukumnya (Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004) tentu pemahaman

hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berubah, lalu

lintas kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks merupakan realitas tuntutan

kebutuhan hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan pengkajian

secara logis rasional melainkan hukum dibuat untuk dijalankan. Perwujudan tujuan,

430
Esmi Warassih, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, hlm.3.
272

nilai-nilai atau pun ide-ide yang terkandung di dalam peraturan hukum merupakan

suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal

balik yang erat dengan masyarkat.431

Memperhatikan rancang bangun berfikir menyamaratakan penyelesaian

sengketa Perbankan Syari‟ah dengan non-syari‟ah dapat mengakibatkan hukum

menjadi “disorder of law”, karena kompetensi absolut ekonomi syariah berada di

Peradilan Agama beserta perangkat hukumnya, yang sarat dengan nilai, asas dan

ide serta tujuan yang sudah jelas. Jika kemudian penerapannya tidak pas, artinya

tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat akan merupakan

masalah, karena terjadi ketidakcocokan, antara nilai-nilai yang menjadi pendukung

sistem hukum yang bersangkutan dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota

masyarakat itu sendiri. Untuk itu penyelesesaian sengketa perbankan syari‟ah oleh

Peradilan Umum bertentangan dengan pemahaman hukum “yuridis sociologis

antropologis.”

5.1.8.4.3. Klausul Penarikan Kewenangan Peradilan Agama

Penambahan klausul tentang penarikan kewenangan Peradilan Agama dan

diserahkan kepada Peradilan Umum, dibreakdown yang berbunyi: “Penyelesaian

sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum”. Dalam

penjelasan disebutkan penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan

melalui Peradilan Umum, karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat

komersial. Sebelum penyelesaian sengketa diserhakan kepada Peradilan Umum

dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: a) Melalui musyawarah; b) Dalam hal

431
Ibid. hlm.10.
273

musyawarah sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mencapai kesepakatan,

maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi perbankan atau

mekanisme arbitrase syariah.

Persoalannya adalah penarikan kewenangan Pengadilan Agama tidak

sesederhana itu, karena dengan dimasukkannya pasal tentang penyelesaian

sengketa perbankan syariah, telah memunculkan kontroversi dari berbagai kalangan

dalam perspektif yuridis, filosofis, maupun metodologis. Hal tersebut menunjukkan

adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi

aturan main pembentukan perundang-undangan. Dikhawatirkan hal ini menjadi titik

balik dan kontraproduktif dari semangat ekonomi Islam yang sedang bergairah.432

Teridentifikasi bahwa masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat

kemajuan dan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan atau an

obstacle to economic growth, karena sampai saat ini masih saja ada anggapan

bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan eksklusif umat Islam, dan anggapan

eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter. Kesan inilah yang pada

gilirannya melahirkan nuansa Islamo phobia yang tidak semestinya hadir, karena

secara faktual saat ini konsep ekonomi syariah telah mendapat pengakuan dan

dipraktekkan dipelbagai penjuru dunia.

Meskipun pandangan bernuansa Islamo phobia terjadi, tidak sedikit intelektual

muslim yang juga meyakini, kesimpulan yang tergesa-gesa ini hampir dapat

dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam

merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai

suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk
432
Suhartono, Op.Cit, hlm.12
274

masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor

penggerak roda perekonomian.433

Penetapan hukum muamalat dalam Islam, termasuk ekonomi Islam tidak

bersifat lahiriah atau duniawi saja, kendatipun hukum muamalat mengatur hubungan

manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum

ini juga bersifat spiritual dan akhirat, karena bagi siapa yang menjalaninya termasuk

bagian dari menjalankan keyakinannya yang dinilai sebagai ibadah (ketundukkan

pada hukum Allah SWT). Hal ini sering menjadi kegagalan interpretasi para

pemegang kebijakan yang memunculkan sentimen politis yang beraroma syariah

phobia.

Tuduhan eksklusivitas Peradilan Agama juga tidaklah benar karena apabila

dicermati dalam penjelasan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi

orang Islam, tetapi juga bagi siapa saja yang menundukkan dirinya kepada hukum

Islam, tentu yang dimaksud adalah nonmuslim. Dalam konteks ini ada dua Asas

yang berlaku, yaitu asas personalitas dan asas penundukan diri. Asas personalitas

diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam,

Sedangkan asas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam

dengan non-Islam.

Penarikan kewenangan tersebut, bertentangan dengan bunyi Pasal 49

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–undang

433
Muhammad Syafi‟I Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta,
Gema Insani, hlm.3.
275

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selengkapnya bunyi pasal 49

adalah sebagai berikut:

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infak;
h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi syariah.

Selain itu, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 ayat (2) yang

berbunyi:

”Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa

tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana

dimaksud dalam pasal 49”.

Selain itu, alasan dalam penjelasan, bahwa penyelesaian sengketa pada

perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi yang terkait

dengan perbankan syariah bersifat komersial, adalah mengada-ada dan tidak

mengindahkan semangat Undang–undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah

mengatur perbankan berdasarkan prinsip syariah dan tidak mengatur tentang

sengketa perbankan.

Perubahan politik hukum yang silih berganti sejak masa kolonial Belanda

hingga era reformasi sangat kental nuansa politis dan Islamo Phobia, hal ini
276

menggambarkan bahwa timbul tenggelamnya lembaga ini sangat dipengaruhi oleh

representasi politik hukum umat Islam di negeri ini.

5.1.8.4.4. Penarikan Kewenangan Peradilan Agama : Perspektif Sosiologis

Dalam teori sosiologis, sebuah komunitas penganut agama, ketika merasa

telah diusik hal-hal yang menjadi wilayah kesadaran ”agamanya”, sama halnya

dengan mengusik ketenangannya. Penarikan kewenangan peradilan agama untuk

menangani sengketa perbankan atau ekonomi syariah, sama halnya ”kesengajaan”

menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Meminjam bahasa Hazairin, dalam

menyikapi langkah Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX ketika mengintrodusir

teori receptie,434 yang menegaskan bahwa hukum Islam dapat dilaksanakan jika

diterima atau diresepsi oleh hukum adat, langkah penarikan kembali kewenangan

Peradilan Agama dalam menangani sengketa perbankan atau ekonomi syariah

adalah ”teori iblis”.

5.1.8.4.5. Choice of Forum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Persoalan yang muncul kemudian adalah tatkala Undang–undang Nomor 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi atau kewenangan

kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menyelesaikan

sengketa perbankan syariah.

Pasal 55 menyebutkan:

(1) Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam


lingkungan Peradilan Agama.

434
Untuk memecah membelah dan memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum
Islam) secara gradual dan sistematis, melalui rekayasa ilmiah pemerintah kolonial Belanda
yang menciptakan sebuah theorie receptie, sebagai hasil pemikiran dari Christin Snouck
Hurgronje seorang ahli hukum Islam, politikus pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa
timur dan hukum Islam. Lihat Suparman Usman, Op.Cit, hal.112.
277

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai

berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah

Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbritase lain; dan/atau d. melalui pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan

adanya reduksi kompetensi absolut Peradilan Agama di bidang perbankan syariah.

Peradilan Agama yang berdasarkan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

mempunyai kompetensi menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya

termasuk perkara perbankan syariah ternyata dikurangi oleh perangkat hukum lain

yang notabene sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara

ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah. Adanya kompetensi

peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam bidang

perbankan syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada

dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi

yang diberikan kepada Peradilan Umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya

mengenai choice of forum atau choice of jurisdiction.

Dalam sejarah kompetensi Peradilan Agama, pernah berlangsung ketentuan

tentang pilihan hukum atau choice of law dalam perkara kewarisan. Dalam

Penjelasan Umum Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa bidang

kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,


278

penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan

pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut

berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan

dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini kemudian dihapus dengan

keberadaan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Ketentuan Pasal 55 ayat (2) jika

dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka ketentuan tersebut adalah

terkait adanya asas kebebasan berkontrak. Islam memberikan kebebasan kepada

para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan

oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para

pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.

Namun kebebasan ini tidak absolut, sepanjang tidak bertentangan dengan syariah

Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.435

Menurut Faturrahman Djamil, bahwa syariah Islam memberikan kebebasan

kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi

yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.436 Pasal 1338 KUH

Perdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” dipahami

mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian,

435
Gemala Dewi (et.al), 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana,
hlm.31.
436
Faturrahman Djamil, 2001, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum
Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 249.
279

b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.437

Munculnya isi perjanjian dimana para pihak menyepakati jika terjadi suatu

sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum

merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang

termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaikan sengketa.

Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan

berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de

compromittendo dan acta compromis. Factum de compromittendo merupakan

kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum

yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam

kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif.438 Sedangkan acta

compromis adalah suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya

sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa di sini lebih

mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan,

bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.

Menurut Munir Fuady, ada beberapa keuntungan dari choice of forum dalam

praktek penyusunan kontrak, yaitu:

437
Salim H.S, 2004, Hukum Kontrak: teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta,
Sinar Grafika, hlm.9.
438
Klausula antisipatif adalah klausula yang berisi tentang hal-hal yang menyangkut
kemungkin an-kemungkinan yang akan terjadi selama berlangsungnya atau selama masih
berlakunya suatu kontrak. Hasanuddin Rahman, 2003, Contract Drafting, Bandung, Citra
Aditya Bakti, hlm. 105.
280

a. Bahwa pengadilan tersebut lebih mengetahui hukum yang berlaku jika


dipilih pengadilan yang terletak di tempat/di negara yang juga dipilih
hukumnya.
b. Bahwa pengadilan tersebut lebih mengetahui kasus yang bersangkutan
jika yang dipilih adalah pengadilan tempat terjadinya kasus atau tempat
dilaksankannya kontrak tersebut.
c. Bahwa pengadilan tersebut dan para pihak lebih banyak akses ke alat
bukti, termasuk alat bukti saksi jika yang dipilih adalah pengadilan tempat
terjadinya kasus atau tempat dilaksanakannya kontrak tersebut.439

Adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah

berdasarkan Pasal 55 ayat (2) menunjukkan inkonsistensi pembentuk undang-

undang dalam merumuskan aturan hukum. Pasal 49 Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006 secara jelas memberikan kompetensi kepada Peradilan Agama untuk

mengadili sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai suatu

kompetensi absolut. Alasan bahwa pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama

belum familiar menyelesaikan sengketa perbankan bukan menjadi suatu alasan yang

logis untuk mereduksi kewenangan mengadili dalam sengketa perbankan syariah. Di

samping itu, keberadaan choice of forum akan sangat berpengaruh pada daya

kompetensi Peradilan Agama. Pelaksanaan kompetensi dalam perbankan syariah,

akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang

mengadakan akad atau kontrak menetapkan penyelesaian sengketa pada

pengadilan di lingkungan Peradilan Umum maka kompetensi yang dimiliki Peradilan

Agama hanya sebatas kompetensi secara teks diberikan oleh undang-undang tetapi

dalam praktek tidak secara optimal berfungsi karena harus berbagi dengan Peradilan

439
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung,
Citra Aditya Bakti, hlm. 147.
281

Umum khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan diselesaikan di pengadilan

tersebut.

Sebenarnya, pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah, merupakan suatu pilihan yang tepat. Kesesuaian

penerapan hukum materiil yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah dengan

lembaga Peradilan Agama sebagai representasi lembaga peradilan yang mewadahi

para pencari keadilan yang beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam

dapat tercapai. Di samping itu, aparat hukumnya adalah beragama Islam dan

memahami hukum Islam.440

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:441

Pertama, kompetensi absolut Peradilan Agama diperluas berdasarkan

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 yaitu berwenang memeriksa, mengadili, dan

menyelesaikan perkara ekonomi syariah meliputi: bank syariah, lembaga keuangan

mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi

syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah,

pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah,

dan bisnis syariah. Di samping itu, berdasarkan undang-undang tersebut dapat

dipahami bahwa subjek hukum dalam sengketa ekonomi syariah adalah orang-orang

yang beragama Islam, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya

menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam.

440
Abdul Manan, “Sistem Ekonomi Berdasarkan Syariah,” Artikel dalam Suara Udilag,
Vo.3, NomorIX, September 2006, Jakarta, MA-RI.
441
Alamsyah, Reduksi Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perbankan
Syariah, Calon Hakim, saat ini bertugas di Pengadilan Agama Lamongan, www.badilag.net .
282

Kedua, kehadiran undang-undang Perbankan Syariah yang memberikan

kompetensi atau kewenangan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum

dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah mereduksi kompetensi

absolut Peradilan Agama, dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sangat jelas

disebutkan bahwa Peradilan Agama mempunyai kompetensi absolut di bidang

ekonomi syariah, termasuk di dalamnya mengenai bank syariah. Di samping itu,

daya kerja kompetensi Peradilan Agama mengenai sengketa perbankan syariah

sangat bergantung pada penentuan choice of forum oleh para pihak yang dituangkan

dalam akad. Dengan tulisan ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam

pengkajian ulang terhadap undang-undang Perbankan Syariah terkait kompetensi

peradilan yang berwenang, serta diharapkan perundang-undangan yang akan

dibentuk selanjutnya yang terkait ekonomi syariah tetap memberikan penyelesaian

sengketa secara litigasi kepada Peradilan Agama secara penuh dan selaras dengan

kompetensi absolut Peradilan Agama yang telah dituangkan dalam Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006.

Hasil analisis dan pemahasan dari isu hukum latar belakang kelahiran Pasal 50

ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik taut

(aanknopings punten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan

Umum, ditampilkan dalam pola piker sebagai berikut:


283
284

5.2. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Antara Peradilan Agama

dan Peradilan Umum Semata-mata Untuk Mencapai Tujuan Hukum atau

Karena Faktor Kepentingan dan Politik Hukum

Dalam rangka memecahkan masalah titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum yang terpatri dalam

bungkusan yuridis normatif Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang kemudian di era reformasi sesuai dengan dilakukannya amandemen

terhadap Undang–undang Dasar 1945 kemudian diikuti oleh amandemen undang-

undang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang Mahkamah Agung, undang-undang

Peradilan Umum, undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan undang–

undang Peradilan Militer. Dilanjutkan pula dengan amandemen terhadap Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.442 Menarik untuk dianalisis bertolak dari pandangan Mac Iver, yang

menegaskan bahwa hukum yang berada di atas politik hanyalah konstitusi,

sedangkan hukum yang lainnya berada di bawah politik, dengan demikian

pandangan yang cukup realistis ini melahirkan adanya hubungan antara hukum dan

politik, dengan kata lain bahwa lahirnya undang-undang jelas merupakan hasil dari

para politisi.443

442
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak mengubah Pasal 50 ayat (1) dan ayat
(2) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
443
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum, Cet.2, PT. Toko Gunung Agung Tbk,
Jakarta, hlm.66.
285

Perubahan undang-undang Peradilan Agama yang sarat dengan asumsi politik,

belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan konflik norma yang berakibat

kepada tataran penerapan hukum atau law in cation yang bertujuan memberikan

layanan hukum bagi pencari keadilan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Disebabkan adanya titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan

Agama dengan Peradilan Umum, khusus yang terkait dengan Pasal 50 Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian diamandemen Undang–undang Nomor

3 Tahun 2006, persoalan tersebut masih terjelma dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat

(2). Berakibat kemandirian Peradilan Agama dalam menyelesaikan kewenangan

absolut (kompetensi absolut) tidak berjalan sesuai dengan prinsip peradilan yang

dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.

Berdasarkan uraian tersebut, sepatutnya untuk dilakukan analisis seputar titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan dengan mengungkap latar belakang sejarah

pembentukan undang-undang Peradilan Agama dari berbagai perspektif yang dapat

memberikan sebuah kesimpulan jawaban atas titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, semata-mata untuk

mencapai tujuan hukum atau karena faktor kepentingan dan politik hukum.

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan

Peradilan Umum, dapat digambarkan dalam skema berikut ini:


286

Skema VI
Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Absolut Antara
Peradilan Agama Dengan Peradilan Umum

MAHKAMAH Kekuasaan MAHKAMAH


KONSTITUSI Kehakiman AGUNG

Kompetensi Kompetensi Kompetensi Kompetensi


Militer P. Agama P . Umum PTUN

Titik Taut Kewenangan Absolut


Antara Peadilan Agama dengan
Asas Asas Asas Peradilan Umum:
Personali Legalitas Pilihan - Perkawinan = ALK/APK
Perencanaan Hukum, Pembentukan Hukum

tas Ke ke Hukum - Harta Bersama = ALK/APK


Islaman Islaman - Waris = APK
Layanan Hukum (legal service)

- Ekonomi Syariah = ALK/APK

Distribusi
Kekuasaan
Negara

Pelaksanaan Hukum Penegakkan


Peradilan
Agama

Feed Back
Hukum
Asas Peradilan
Sederhana, Cepan dan
Biaya Ringan

Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Welfarestate

Rakyat : Pemegang Kedaulatan dan Pencari Keadilan

Catatan:
1. APK = Parameter Keberlakuan Hukum Islam
2. ALK = Parameter Lembaga Persitiwa Hukum
3. APH = Parameter Hak Opsi Mengaburkan APK dan ALK Dalam Perspektif Hukum Sensitif
287

5.2.1. Analisis Teori Terhadap Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan

Antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum

Dalam kesempatan menganalisis titik taut (aanknoping punten) dari perspektif

teori, dapat digunakan pembenaran konsep melalui pendapat J. Gijssels dan Mark

van Hocke menggunakan dua sudut pandang untuk memebedakan ilmu hukum,

yaitu (1) sudut pandang ilmu, dan (2) sudut pandang lapisan ilmu hukum.444

Berdasarkan sudut pandang ilmu, ilmu hukum dibedakan ke dalam (1) ilmu hukum

dogmatik, dan (2) ilmu hukum empiris. Berdasarkan sudut pandang lapisan ilmu

hukum, ilmu hukum dibedakan ke dalam (1) dogmatik hukum, (2) teori hukum, dan

(3) filsafat hukum. Mempergunakan sudut pandang lapisan ilmu hukum, maka setiap

lapisan memiliki fokus analisis, yaitu: fokus kajian ilmu hukum dogmatik adalah

eksplanasi (penjelasan) teknis yuridis terhadap hukum positif, fokus kajian filsafat

hukum445 adalah asas hukum atau prinsip hukum. Sedangkan yang terkait dengan

tema ini adalah fokus kajian teori hukum yang berupaya melakukan eksplanasi

444
Philipus M. Hadjon. Op.Cit, hlm.2-3.
445
Paradigma hukum Indonesia dengan demikian berakar pada alam pikiran bangsa
Indonesia, dan segala sesuatu harus menyesuaikan diri dengan pandangan itu. Alam pikiran
bangsa Indonesia adalah Theo-Cosmosentris, sebuah pandangan bahwa diri seorang
manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia lainnya, dan manusia adalah
bagian yang tak terpisahkan dari benda-benda di alam semesta ini, dan alam semesta ini
adalah sebuah keluarga besar makhluk-makhluk Tuhan. Manusia dilahirkan tidak dalam
keadaan bebas, tetapi dalam keadaan tergantung kepada Tuhan (depensi) dan saling
tergantung antar sesama manusia, dan sesama mahluk Tuhan (interdependensi). Hal ini
sejalan dengan pandangan Sunaryati Hartono, ketika menyinggung kandungan nilai yang
terdapat dalam Pancasila, dia menyatakan bahwa. Pandangan terhadap posisi realitas diri
manusia itu direfleksikan pula sebagai posisi negara republik Indonesia, yang
dipersonifikasikan sebagai diri seorang manusia atau sebagai sebuah keluarga dalam skala
besar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Moch. Koesnoe “Ini merupakan yang
masih terbuka lebar bagi pemikiran filsafat hukum kita, yang dasarnya ialah filsafat kita
sendiri, yang lebih cenderung menekankan sendiri pada faham atau filsafat cosmocentrisme
dicampur dengan faham theocentrisme.”. Moch. Koesnoe Nilai-Nilai Dasar Tata Hukum
Nasional Kita, dalam Artidjo alkostar (Ed).1997. Identitas Hukum Nasional, Cet.1.
Yogyakarta, Fakultas Hukum UII. hlm. 41.
288

analitis terhadap bahan hukum yang meliputi konsep hukum, norma hukum

(didalamnya terkait prinsip hukum), sistem hukum, fungsi hukum, lembaga hukum

dan sumber hukum. Untuk memperoleh jawaban yang dapat dipetanggungjawabkan

dalam koridor etika akademik.

5.2.1.1. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan dalam Perspektif Teori

Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara

Konsekuensi Indonesia sebagai negara modern (welfarestaat)446 maka seluruh

kekuasaan negara harus difungsikan demi membangun kesejahteraan rakyat

sebagai mana dikehendaki dalam Pembukaan Undang–undang Dasar 1945, yang

menegaskan bahwa ...”Pemerintahan melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan

bangsa”.

Fungsi pembangunan kesejahteraan rakyat harus juga dilaksanakan oleh

kekuasaan Kehakiman sehingga sistem peradilan di Indonesia harus di desain

dalam format struktur yang memungkinkan negara menyelenggarakan pelayanan

terhadap berbagai golongan yang hidup di masyarakat sesuai dengan kebutuhan

hukumnya masing-masing.

446
Sejarah kelahiran teori negara kesejahteraan menjadi landasan dan kedudukan dan
fungsi pemerintahan dalam konsep negara modern. Negara kesejahteraan merupakan
antitesis dari negara hukum formal (klasik)., yang dilandasi pemikiran untuk melakukan
pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara. Sejak turut serta
secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama
makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum (bestuurszorg). Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa suatu konsekuensi yang
khusus bagi administrasi negara. Lihat E. Utrecht,1988. Pengantar Hukum administrasi
Negara Indonesia, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, hlm.28-29.
289

Mengingat realita bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang

majemuk dengan pluralitas suku, bahasa dan agama, maka sistem hukum di

Indonesia bercorak unifikasi terbatas, dalam arti harus mengakomodir diversitas

yang ada terutama di bidang agama. Persoalannya adalah bagaimana struktur

peradilan yang ada di Indonesia pada saat ini, apakah telah dibangun dalam

format yang ideal sesuai dengan keragaman kebutuhan hukum bangsa Indonesia.

Dari deskripsi di atas nampak bahwa pembagian Badan Kekuasaan Kehakiman ke

dalam empat Lingkungan Peradilan Negara di Indonesia, telah mengakomodasikan

realitas kemajemukan kebutuhan hukum yang ada yang berarti kebijakan itu telah

memenuhi kebenaran korespondesi447 sebagai landasan filosofisnya.

Bertolak cita negara atau state ide dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

rakyat, dihubungkan dengan paradigma pemisahan kekuasaan dari Jhon Locke

yang mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi-bagikan kepada

organ-organ negara yang berbeda ke dalam tiga macam kekuasaan, meliputi:

kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif

(melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (melakukan hubungan

diplomatik dengan negara-negara lain).448 Kemudian Montesqeuieu menawarkan

alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan Jhon Locke, menegaskan bahwa

untuk tegaknya suatu negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan

447
Menurut Teori Korespondensi, kebenaran itu adalah kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
Artinya sesuai dengan fakta, selaras dengan realitas, atau serasi dengan situasi aktual.
Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui
adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Lihat
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta.hlm.138-139.
448
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. Loc.Cit.
290

negara ke dalam tiga poros kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif (pembuat undang-

undang), kekuasaan yudikatif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan legislatif

(peradilan/kekuasaan kehakiman, untuk menegakkan perundang-undangan kalau

terjadi pelanggaran).449

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara

menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan

kekuasaan secara horizontal. Menurut Jimly Asshiddiqie, sesuai dengan hukum besi

kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang

menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to

corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus

dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang

bersifat „checks and balances‟ dalam kedudukan yang sederajat dan saling

mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga

dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang

tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan

terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya

kesewenang-wenangan.450

Doktrin trias politica (ada yang menyebut konsep dan teori) dalam arti politis,

tetapi dalam maknanya sebagai yurisprudence yang merupakan hasil kinerja

pemikiran para ilmuwan. Teori tersebut jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan

Republik Indonesia dalam perspektif trias politica diinterpretasikan secara berbeda

449
Ibid
450
Jimly Asshiddiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”, Ketua Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, Artikel, Simbur
Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614, hlm.169.
291

melalui Undang–undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional yang mengalami

proses amandemen empat kali. Bangsa Indonesia melalui Undang–undang Dasar

1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan atau separation of power, karena

ajaran itu dianggap sebagai bagian dari paham liberal. Tetapi Undang–undang

Dasar 1945 berdasarkan pembagian kekuasaan atau distribusion of power.

Terkait dengan kekuasaan kehakiman atau la puissance de juger, dapat

dimaknai dalam hubungan dengan penulisan ini, berhubungan dengan landasan

pemikiran dan landasan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan, yang

diturunkan ke dalam alokasi kekuasaan kehakiman menjadi empat pengadilan

sebagai peradilan negara, memiliki unsur-unsur perbedaan melalui kewenangan

mutlak atau absolut competentie dari masing-masing badan peradilan.

Unsur perbedaan tersebut ditegaskan dalam Undang–undang Dasar 1945 Bab

XI, Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 berbunyi:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

dalam Pasal 2 ayat (3) menegaskan : “Semua peradilan di seluruh wilayah negara

Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang”.

Dari dasar normatif tersebut mengandung prinsip pembagian kekuasaan

kehakiman kedalam 4 (empat) lingkungan badan peradilan yang ditetapkan

berdasarkan Undang-Undang secara tersendiri sebagai ruang lingkup kekuasaan


292

(kompetensi) masing.masing badan peradilan. Dapat penulis ragakan dalam skema

berikut ini:

Skema VII
Pembagian Kekuasaan NKRI ke dalam Kekuasaan Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif

Legislatif LE Eksekutif

LY EY

Yudikatif

Pasal 24 ayat (3) Undang–undang Dasar


Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman = MA dan MK

PM

Kewenangan PU Kewenangan PA
PU PA

PTUN

Undang-undang No. 2 Tahun 1986 dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 dirubah dengan
Undang-undang No. 8 Tahun 2004, dirubah lagi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, dirubah lagi
UU Nomor 49 Tahun 2009 PU PA dengan UU Nomor 50 Tahun 2009

Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan PA dan PU sebagai berikut :


1. Dalam kewenangan Peradilan Agama diselipkan kewenangan Peradilan Umum pada Pasal 50, kemudian terjelma lebih lanjut dalam
Pasal 54, Pasal 86 ayat (2) dari Undan-undang Nomor 7 Tahun 1989, menyebabkan kerancuan, inkonsistensi terhadap Asas
Personalitas Keislaman karena adanya asas pilihan hukum dalam sengketa kewarisan dihadapkan dengan Pasal 49 yang mengatur
kewenangan absolut Peradilan Agama, dan bertolak belakang dengan aas sederhana, cepat dan biaya ringan;
2. Setelah Undang-undang No. 7 Tahun 1989 dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan Peradilan Agama
mengalami penambahan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan dilakukan perluasan pengertian Asas Personalitas Keislaman
yang tidak hanya melekat pada subjek hukum orang termasuk pula badan hukum dengan prinsip penunudkan diri secara sukarela
terhadap hukum Islam, tidak diikuti secara konsisten dalam norma yang mengatur penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya. Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 secara tegas membagi dua kewenangan lembaga peradilan
dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan parameter status agama. Bagi pencari keadilan yang
berstatus agama Islam, maka penyelesaian sengketa menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 50 ayat (2).
Bagi pencari keadilan yang beragama non Islam, penyelesaian sengekta menjadi kewenangan absolut Peradilan Umum sesuai dengan
Pasal 50 ayat (1). Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya masih merupakan penjelmaan dari prinsip pilihan hukum, yang tidak selaras
dengan perubahan norma dan perluasan asas dan membuka kondisi dualisme lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hak
milik, tetapi masih diselipkannya kewenangan Peradilan Umum dalam kewenangan Peradilan Agama
293

Terkait dengan dasar hukum yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang–

undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (3) dari Undang–undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melakukan pembagian kekuasaan atau

distribusion of power berdasarkan undang-undang secara tersendiri yang di

dalamnya memiliki unsur-unsur perbedaan melalui kewenangan mutlak atau absolut

competentie dari masing-masing badan peradilan, diuraikan berikut ini:

Kewenangan mutlak atau absolut competentie dari lembaga Peradilan Umum

dalam Undang–undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dinyatakan

dalam Pasal 2, yang menentukan sebagai berikut: “Peradilan umum adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya”.

Pengadilan Umum bertugas untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan pada

tingkat pertama semua perkara pidana dan perdata.

Kewenangan mutlak atau absolut competentie dari Peradilan Tata Usaha

Negara diatur dalam Undang–undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, tepatnya pada Pasal 4 yang berbunyi: “Peradilan Tata Usaha Negara

adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan

terhadap sengketa Tata Usaha Negara”.

Kewenangan mutlak atau absolut competentie dari Peradilan Militer diatur

dengan Undang–undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer.

Kedudukannya sebagai salah satu badan Peradilan Negara, dalam hal tersebut

Peradilan Militer merupakan Peradilan Pidana yang khusus berlaku bagi anggota

TNI. Dalam keadaan tertentu (dalam perkara koneksitas) dimungkinkan, seorang


294

yang bukan anggota TNI, diperiksa dan diadili pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer.451

Sedangkan kewenangan mutlak atau absolut competentie dari Peradilan

Agama diatur dengan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989, kemudian diubah

dengan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 menegaskan dalam Pasal 2 bahwa:

”Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu452 sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini”.

Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

menegaskan : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama

Islam”.

Jika dicermati secara khusus dari Pasal 24 ayat (3) Undang–undang Dasar

1945 dan Pasal 2 ayat (3) dari Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman melakukan pembagian kekuasaan atau distribusion of power

berdasarkan undang-undang secara tersendiri, sudah dilaksanakan terhadap 4

(empat) lembaga lingkungan peradilan di Indonesia. Tetapi jika dipahami secara

detail masih ada permasalahan, khsusnya di dalam undang–undang Peradilan

Agama baik dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989, yang kemudian sesuai

451
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari menegaskan bahwa Peradilan Militer
memiliki kompetensi atau kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang berstatus sebagai anggota militer atau yang
dipersamakan dengan itu. Lihat Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. Op.Cit,
hlm.36.
452
Pasal 49 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi: “Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;
zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.
295

dengan amanah perubahan Undang–undang Dasar 1945 maka dilakukan perubahan

dengan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mengalami perubahan dan

penambahan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan

dilakukan pula perluasan pengertian asas personalitas keislaman yang tidak hanya

melekat pada subjek hukum orang termasuk pula badan hukum dengan prinsip

penunudkan diri secara sukarela terhadap hukum Islam. Tetapi perubahan dan

perluasan asas tersebut tidak diikuti secara konsisten dalam norma yang mengatur

penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Hal itu, tersurat dalam

Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 secara tegas

membagi dua kewenangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa hak

milik atau keperdataan lainnya dengan parameter status agama. Bagi pencari

keadilan yang berstatus agama Islam, maka penyelesaian sengketa menjadi

kompetensi absolut Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 50 ayat (2). Bagi pencari

keadilan yang beragama non Islam, penyelesaian sengketa menjadi kewenangan

absolut Peradilan Umum sesuai dengan Pasal 50 ayat (1).

Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya masih merupakan penjelmaan dari

prinsip pilihan hukum453, yang tidak selaras dengan perubahan norma dan perluasan

asas, sehingga masih membuka kondisi dualisme lembaga yang berwenang

menyelesaikan sengketa hak milik, dengan diselipkannya kewenangan Peradilan

Umum dalam kewenangan Peradilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 50

453
Peranan Peradilan Agama mulai dipertanyakan jika dihubungkan dengan ketentuan
yang berkaitan dengan pilihan hukum sebagaimana diatur dalam penjelasan umum butir 2
alinea 6; sengketa pasal 50 dan persoalan adanya tuntutan pihak ketiga yang diatur dalam
pasal 86 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, merupakan ganjalan pelaksanaan
kekuasaan peradilan Agama. Lihat Roihan A. Rasyid. Op.Cit. hlm.39-44
296

ayat (1) dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

5.2.1.2. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan dalam Perspektif Teori

Tujuan Hukum

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan

Peradilan umum menarik untuk dikaji dari perspektif teori tujuan hukum. Adapun

tujuan hukum dapat dimaknai dari beberapa teori sebagai berikut: pertama, teori etis

atau etische theorie yang mengajarkan bahwa hukum hanya semata-mata bertujuan

untuk mewujudkan keadilan, kedua, teori manfaat atau utiliteis theorie yang

menyatakan bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah

saja, dan ketiga, teori kombinasi atau teori campuran merupakan perpaduan antara

teori etis atau etische theorie dengan teori manfaat atau utiliteis theorie, yang

menghendaki isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan

faedah.

5.2.1.2.1. Mewujudkan Keadilan

Berkaitan dengan keadilan, Sunario Waluyo menegaskan bahwa idaman

masyarakat adil-makmur dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan masalah

pokok sepanjang sejarah. Adil makmur adalah merupakan dua pasangan yang tidak

dapat dipisahkan, yang merupakan falsafah hidup dan merupakan tujuan hidup. Adil

merupakan tekanan utama yang selalu disebutkan di depan kata makmur,

merupakan suatu penegasan dari prioritas yang harus kita dahulukan.454

454
Sunaryati Hartono.1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung, Alumni, Cet.I,hlm.2.
297

Salah satu aspek terpenting dalam mewujudkan rasa keadilan adalah

berhubungan dengan penyelenggaraan sistem peradilan di Indonesia, yang belum

menunjukkan kepada kaidah sistem peradilan yang sesungguhnya dapat

memberikan rasa keadilan. Hal itu disebabkan masih terjadinya distorsi dan

amputasi dalam penyelenggaraan sistem peradilan, karena norma hukum yang

mendasari kewenangan peradilan masih mengandung titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, seyogyanya dasar hukum peradilan

dituntut untuk memenuhi nilai-nilai yang oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai

dasar hukum. Nilai-nilai dasar tersebut adalah keadilan atau gerechtigkeit,

kemanfaatan atau zweckmaeszikeit dan kepastian hukum atau rechtssicherkeit.

Sekalipun ini merupakan nilai-nilai dasar hukum, namun di antara mereka

terdapat suatu ketegangan satu sama lain.455 Dari pendapat tersebut menegaskan

bahwa antara keadilan yang dikehendaki oleh suatu regulasi, apakah lebih

menekankan keadilan substansi atau justru lebih mengabdi kepada keadilan

prosedural. Seharusnya dalam tatanan konsep filosofis hukum, keadilan prosedural

mengabdi kepada keadilan substansi, dikarenakan keadilan prosedural merupakan

konseptual dari keadilan substansial. Selain itu keadilan prosedural sebagai ranah

pragmatis hukum secara operasional dalam menegakan hukum ditengah pencari

keadilan, agar lebih matang, flexibel untuk mewujudkan konsep hukum substansi

dalam memberikan keadilan.

455
Satjipto Raharjo, 1982, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Bandung, Alumni,
hlm. 20-21
298

Keragaman konsep tujuan hukum tersebut di atas, dapat dipersempit dengan

mempergunakan konsep yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,

menegaskan bahwa tujuan hukum apabila direduksi pada satu hal saja adalah

ketertiban (order). Ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok atau fundamnetal bagi

adanya suatu masyarakat manusia yang yang teratur. Untuk mencapai ketertiban

dalam masyarakat, diperlukan kepastian untuk menuju keteraturan.456

Ketertiban tersebut harus terwujud dalam format sistem peradilan negara yang

dibangun sesuai dengan kebenaran fungsi dan wewenang untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan layanan hukum masyarakat secara berkeadilan. Terkait dengan hal

tersebut, Bagir Manan menegaskan bahwa untuk mewujudkan keadilan hanya akan

dapat dicapai dengan cara-cara yang adil. Cara-cara tersebut dijadikan sebagai

parameter yang meliputi unsur-unsur kepastian aturan, kepastian kelembagaan,

kepastian mekanisme, bahkan kepastian waktu dan prediktif,457 sebagai berikut :

5.2.1.2.1.1. Kepastian Aturan

Kepastian memang tidak selalu identik dengan keadilan, bahkan mungkin saja

kepastian bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi tanpa kepastian, pasti tidak

akan ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat subjektif

karena sepenuhnya tergantung pada yang menentukan atau mengendalikan

kepastian. Keadilan semacam ini mempunyai potensi melahirkan ketidakadilan.458

Esensi pemikiran tentang hubungan antara keadilan dalam kepastian aturan

456
Mochtar Kusumaatmadja. Loc.Cit
457
Bagir Manan. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. FH UII,
Yogyakarta, Cet I, hlm.12.
458
Ibid.
299

merupakan suatu konsep yang integral dalam memahami batasan-batasan hukum.

Seperti yang diungkapkan oleh Antony Allaot tentang konsep batas-batas hukum

yang menggambarkan fungsi hukum itu sendiri dalam tiga strata, sebagai berikut: 459

Pertama, LAW, merupakan ketentuan hukum yang bersifat abstrak460 tapi amat

berpengaruh, hukum berfungsi sebagai filosofi. Kedua, Law, adalah tingkatan yang

lebih rendah dan lebih konkret berupa norma-norma hukum positip, yang menurut

penulis berfungsi sebagai the golden bridge between idea and reality; dan ketiga,

law, adalah tingkatan yang paling bawah dan bersifat konkret, sebagai proses atau

akibat bekerjanya hukum itu sendiri.461

Dari tiga strata hukum tersebut di atas, cukup jelas menggambarkan bahwa

konsep teori tujuan hukum dari paradigma teori etis atau etische theorie, yang

mengajarkan bahwa hukum hanya semata-mata bertujuan untuk mewujudkan

keadilan, yang lebih bersifat abstrak mengalami perkembangan paradigma462 bahwa

459
Antony Allot.1980. The Limit of Law, Butterworths Londen, hlm.1-9
460
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asas rasional
dari kenyataan, dengan berorientasi kepada tiga hal yang dapat dipelajari dalam hukum yaitu:
a) Nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dan lain-lain; b)
Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah hukum tertulis maupun kaidah hukum tidak tertulis,
kaidah hukum abstrak maupun kaidah hukum yang nyata ; c) Perilaku hukum atau dapat juga
disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa
filsafat hukum memiliki lahan pengkajian tentang nilai-nilai hukum, sosiologis hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum dan prilaku hukum. Sedangkan kaidah hukum disebut
dengan normwissenchaf atau ilmu tentang kaidah. Lihat Darji Darmodiharjo dan
Shidarta.2002.Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia).
Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama.hlm.9
461
Secara lebih jelas lagi, Hermien Hadiati Kuswadji menerangkan pendapat Antony
Allot ini sebagai berikut : Pertama, bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial dan hukum yang
dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau kewajiban, dan yang dalam hal
demikian itu sudah membentuk hukum. Kedua, adalah hukum itu sendiri, yaitu struktur dan
aturan-aturan hukum positif, dan Ketiga, adalah dampak hukum terhadap perilaku dalam
kenyataan atau alam nyata atau alam lahir. Lihat Hermien Hadiati Koeswadji. “Hukum dan
Kependudukan”, Artikel, dalam Yuridika Vol.15 No.4. Juli 2000.
462
Istilah paradigma (paradigm) pertama kali dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn
dalam bukunya “The Structure Scientific Revolution” pada tahun 1992. Kuhn memberikan
300

tujuan hukum hanya akan dapat dicapai jika dituangkan dalam bentuk konkritisasi

norma dalam tatanan hukum positif, inilah yang disebut dengan kepastian aturan

sebagai wujud pengaruh dari paradigma positivisme. Menurut Philipus M. Hadjon

dan Tatiek Sri Djatmiati yang menyatakan bahwa ciri khas ilmu hukum adalah

sifatnya yang normatif.463 Pendapat tersebut dilandasi oleh kelahiran paradigma

positivisme di dalam epistemologi ilmu pengetahuan modern yang terjadi pada abad

XVIII dan akhir abad ke XIX ditandai adanya saintifikasi hukum modern.464 Kuatnya

pengaruh paradigma positivisme, maka saintifikasi hukum modern ini juga mulai

membebaskan diri dari tatanan hukum kuno, terutama pengaruh teologi, sehingga

hukum sangat mengedepankan rasional. Sebagai bentuk pengaruh lain dari ajaran

positivisme dalam ilmu hukum kemudian melahirkan school of jurisprudence yang

disebut formalism atau conceptualism.

Bertolak dari paradigma positivisme hukum dikonsepkan atau dipahami

sebagai law as what it is written in the books atau ius constitum (hukum positif).

pengertian paradigma adalah konstelasi hasil-hasil kajian yang terdiri dari atas konsep-
konsep, nilai-nilai, teknik-teknik dan lain-lainnya, yang digunakan secara bersama-sama oleh
suatu komunitas ilmiah dan mereka gunakan untuk menentukan keabsahan problem-
problem dan solusi-solusinya.Lihat A. Mukti Fajar, “Pergeseran Paradigma Ilmu
Pengetahuan”, Makalah, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Malang, Tanggal 13 November 2006. Robert Friedrichs memberikan rumusan tentang
paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya. Dari pengertian
tersebut dapat ditarik beberapa unsur tentang paradigma yaitu: sebagai pandangan
mendasar sekelompok ilmuwan, tentang, objek ilmu pengetahuan yang seharusnya
dipelajari oleh suatu disiplin; dan tentang, metode kerja ilmiah yang digunakan untuk
mempelajari objek itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma adalah kesatuan
gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang
teguh sebagai komitmen oleh masyarakat. Lihat Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 1993,
Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Risdakarya. Cet.I.hlm. 66-72.
463
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum (Legal
Argumenta atau Legal Reasoning) Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan
Legal Opinion), Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm.1.
464
F.X. Adji Samekto, 2003, Studi Hukum Kritis, Badan Penerbit Universitas Diponegor,
Semarang, hlm.6.
301

Artinya hukum adalah apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan

yang sah secara formal dan menegaskan di luar itu bukan hukum. Maka sifat kajian

yang dikembangkan adalah normatif positif, positif yuridis yaitu law as rules atau

regulation dengan logika formal dan silogisme deduktif, kesemuanya itu berada

dalam logical process yang tekstual.

Kepastian aturan yang merupakan dasar keabsahan hukum moderen

dihubungkan dengan adanya titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum yang ditemuakan dalam Pasal 50 ayat (1)

dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyebabkan keadilan

tidak diperoleh dalam kepastian hukum, disebabkan oleh rasionalitas yang menjadi

karakter utama dari hukum modern yang berparadigma positivisme. Pengaruh

rasionalitas tersebut ditandai dengan adanya sifat peraturan hukum yang

prosedural, sehingga dalam konsep hukum modern aspek prosedural menjadi dasar

legalitas yang penting untuk menegakkan keadilan, bahkan tidak jarang

membicarakan keadilan prosedural465 atau procedural justice menjadi lebih penting

dari pada membicarakan keadilan substantif atau substantive justice itu sendiri.

Kondisional seperti ini dalam praktek ternyata banyak menimbulkan kekakuan-

465
Yahya Harahap mengeluarkan beberapa kritikan yang cukup tajam terhadap
fungsi atau peranan lembaga dan pranata hukum di peradilan, kritikan tersebut menunjukkan
kepada kenyataan lamban dan formalistiknya penyelesaian sengketa, lebih-lebih lagi
digambarkan oleh J.David Reitzet “there is long wait for litigants to get trail”, dengan maksud
jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memulai
pemeriksaan saja, harus menunggu waktu yang lama. Lihat Yahya Harahap. 1997, Beberapa
Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung, PT.Citra
Aditya,Cet.I, hlm.153-158.
302

kekakuan sehingga pencarian kebenaran dan keadilan atau searching for the truth

and justice tidak tercapai karena terhalang oleh tembok-tembok prosedural.

5.2.1.2.1.2. Kepastian Kelembagaan

Sarana mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara–cara yang adil.

Salah satu cara sebagai parameter keadilan adalah kepastian kelembagaan yang

menjalankan hukum demi keadilan. Bagir Manan menegaskan bahwa kelembagaan

peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan

horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan (Peradilan Umum,

Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer dan Peradilan

Pajak). Selain itu ada peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum, dan

Mahkamah Konstitusi.466 Susunan vertikal menyangkut mekanisme upaya hukum

bagi para pihak pencari keadilan sesuai dengan kewenangan dari masing-masing

lembaga peradilan.

Kepastian kelembagaan berhubungan erat dengan fungsi dan kewenangan

masing-masing dari lembaga peradilan, sebagaimana ditegasakan dalam Pasal 24

ayat (3) Undang–undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (3) Undang–undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang secara ekplisit menegaskan

bahwa masing-masing peradilan diatur berdasarkan undang-undang.

Kepastian kelembagaan dikaitkan dengan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang terdapat dalam

Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menimbulkan

dampak negatif bagi lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa


466
Bagir Manan, Op.Cit, hlm.15.
303

sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-

orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;

zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah”.

Dampak yang menyebabkan ketidakpastian bagi lembaga Peradilan Agama

dalam melaksanakan kewenangannya, jika ada pihak ketiga yang berstatus

nonmuslim mempermasalahkan hak milik atau keperdataan lainnya dari suatu

sengketa yang menjadi lingkup kewenangan absolut dari Peradilan Agama, maka

diselesaikan terlebih dahulu sengketa hak milik atau keperdataan lainnya oleh

lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (1) Undang–

undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menegaskan dalam rangka menyelesaikan

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama

non Islam, penyelesaian sengekta menjadi kewenangan absolut atau absolut

competentie Peradilan Umum, maka penyelesaian sengketa di lingkungan Peradilan

Agama ditunda terlebih dulu sampai ada kekuatan hukum tetap dari lingkungan

Peradilan Umum.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tentang kepastian kelembagaan

Peradilan Agama dalam memberikan layanan hukum atau legal service bagi pencari

keadilan tidak secara serta merta tertumpu pada kewenangan Peradilan Agama,

khususnya terkait dengan kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya, karena ada diselipkan kewenangan Peradilan Umum dalam

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai dasar hukum bagi Peradilan Agama

menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, seharusnya kelembagaan Peradilan


304

Agama secara susunan horizontal, setara kewenangannya dengan lingkungan

peradilan lainnya, untuk mencerminkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.467

5.2.1.2.1.3. Kepastian Mekanisme

Bagir Manan menegaskan keadilan dapat dicapai salah satunya melalui unsur

yaitu kepastian mekanisme468. Tata cara (mekanisme) melaksanakan peradilan

merupakan salah satu subsistem penting, kalau tidak dapat dikatakan yang

terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan.469

Kepastian mekanisme sistem Peradilan Agama dalam melaksanakan

kewenangan absolut atau absolut competentie sangat ditentukan oleh kinerja

perencanaan dan pembentukan undang-undang Peradilan Agama yang didalamnya

juga mengatur tentang kewenangan dalam menjalankan hukum prosedural.

Sehubungan dengan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan

ayat (2) dari Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, dikaitkan dengan kepastian

mekanisme yang dilandasi oleh prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan,

maka mekanisme penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tidak

mencerminkan nilai keadilan bagi pencari keadilan. Bagir Manan menegaskan ada 2

467
Berdasarkan asas-asas ketatanegaraan tersebut, dapat diketahui bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab adalah perwujudan dari asas kedaulatan
rakyat, negara hukum, dan pemisahan kekuasaan. Namun demikian, terdapat perbedaan
diametral antara konsep “merdeka” dan “bertanggung-jawab” dari kekuasaan kehakiman.
Makna “merdeka” menunjukkan tidak adanya ikatan dan tidak tunduk pada apapun,
sedangkan makna “bertanggung-jawab” justru menunjukkan sebaliknya. Dalam perkataan
lain, “kekuasaan kehakiman yang merdeka” bermakna kekuasaan yang tidak terikat, lepas,
dan tunduk pada kekuasaan yang lain, sedangkan “kekuasaan kehakiman yang
bertanggung-jawab” justru bermakna kekuasaan kehakiman berada dalam kaitan dengan dan
tunduk pada kekuasaan yang lain. Lihat Aidul Fitriciada Azhari, Loc.Cit.
468
Bagir Manan, Op.Cit, hlm.15.
469
Ibid, hlm.19.
305

(dua) sumber utama hambatan tata cara (mekanisme) penegakkan hukum yaitu

sumber normatif, dan sumber daya penegak hukum.470

Konsep sumber utama hambatan tersebut, jika dihubungkan dengan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan

Umum, dapat diuraikan hambatan terdapat pada sumber normatif yang merupakan

dasar kewenangan dan tata cara penyelenggaraan penyelesaian sengketa hak milik

atau keperdataan lainnya. Ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, karena tidak mencerminkan kepastian

mekanisme yang dilandasi oleh prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Disebabkan adanya kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa

hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama nonmuslim,

terhadap pokok sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Dapat

dikatakan bahwa dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, lebih fokus

membicarakan keadilan prosedural atau procedural justice menjadi lebih penting

dari pada membicarakan kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman

dalam kewenangan Peradilan Agama yang telah memperoleh pengakuan secaya

yuridis sejajar dengan peradilan lainnya.

5.2.1.2.1.4. Kepastian Waktu dan Prediksi

Sehubungan dengan upaya mewujudkan keadilan, unsur yang perlu

dipertimbangkan dalam mewujudkan keadilan yaitu unsur kepastian waktu dan

prediksi. Hal ini terkait erat dengan manajemen peradilan atau court management,

sebab manajemen dimanapun diperlukan sebagai sistem pengelolaan untuk

470
Ibid, hlm.20.
306

mencapai tujuan organisasi dengan cara-cara yang efisien dan efektif, dan

produktif.471

Kepastian waktu dan prediksi sebagai salah satu unsur mewujudkan keadilan,

jika dihubungkan dengan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, dalam menyelesaikan sengketa hak milik

atau keperdataan lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

dari Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Dapat disimpulkan bahwa manajemen

peradilan atau court management yang ada hingga saat ini belum mengalami

sentuhan dari agenda pembaharuan yang mendasar dari Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama. Hal ini disebabkan adanya upaya pelestarian masalah yang telah

dikandung dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 masih menjelma

di dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Sehingga alasan

dualisme kewenangan dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya merupakan beban berat bagi Peradilan Agama untuk mewujudkan kepastian

waktu dan prediksi dalam menyelesaikan pokok sengketa yang menjadi kewenangan

absolut atau absolut competentie dari Peradilan Agama. Kepastian waktu dan

prediksi bagi lembaga Peradilan Agama sangat tergantung pada manajemen

peradilan atau court management dari Peradilan Umum untuk menyelesaikan

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi pencari keadilan yang beragama

non Islam.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepastian waktu dan prediksi

belum mampu sepenuhnya dilakukan oleh lembaga Peradilan Agama selama


471
Ibid, hlm.22.
307

dualisme kewenangan atau titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak dihapus sebagaimana terdapat dalam

Pasal 50 ayat (1) dari Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006.

5.2.1.2.2. Mewujudkan Kemanfaatan

Dalam rangka menganalisis titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Umum dengan Peradilan Agama dari sudut salah satu konsep tujuan

hukum adalah mewujudkan kemanfaatan atau dikenal dengan Utilitarian

sebagaimana dikemukan oleh menurut Bentham adalah: ”everything should be

viewed with a view of utility which a thing offers. It means that rightness or

wrongness of an action depends only on the total goodness or badness of the

consequences of an act on the welfare of all human beings or all sentient beings.472”

Jika diterjemahkan secara bebas memiliki pengertian bahwa: segala sesuatu

harus dilihat dari pandangan kemanfaatan. Artinya baik atau buruk suatu tindakan

tergantung hanya kepada konsekuensi kebaikan atau keburukan pada kesejahteraan

sikap dan perasaan manusia.

Konsep tujuan hukum mewujudkan kemanfaatan473 tersebut di atas, jika

dihubungkan dengan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan atau wujud

dualisme kewenangan peradilan dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya yang tersurat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, sangat tidak memberikan manfaat bagi

472
Dalam Hari Chard, 2005, Modern Jurisprudence, International Law Book Service,
Selangor, Malaysia, hlm. 68.
473
Kritik terhadap teori manfaat atau utiliteis theorie dianggap bahwa teori tersebut
sangat berat sebelah terlalu menekankan pada hasil dan tidak jarang kurang memperhatikan
keadilan sebagai sumber prinsip umum dari nilai. Padahal kebahagiaan tidak mungkin tanpa
keadilan. Lihat Sudikno Mertokusumo. Loc.Cit,
308

pencari keadilan karena dominasi keadilan prosedural atau procedural justice

menjadi lebih penting dari pada membela kondisi pencari keadilan yang didasari oleh

prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

5.2.1.2.3. Mewujudkan Kepastian Hukum

Upaya mewujudkan kepastian hukum atau rechtszekerbeid atau legal ceratinty

yang mengandung nilai keadilan merupakan suatu persoalan yang masih belum

selesai diperdebatkan. Menurut Satjipto Raharjo, ikon untuk hukum modern adalah

kepastian hukum. Setiap orang akan melihat fungsi hukum modern sebagai

menghasilkan kepastian hukum. Masyarakat modern sangat membutuhkan adanya

kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan

di pundak hukum. Kepastian hukum semacam ideologi dalam kehidupan berhukum,

sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut. Dengan

menjadikan ideologi akan terjadi kecendrungan mencampuradukkan antara

pernyataan dan kebenaran.474

Munir Fuady memberikan ukuran hukum alam atau positivisme terhadap suatu

keadilan berlawanan dengan ukuran keadilan dalam paham positivisme. Paham

keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam ini mengajarkan bahwa suatu

keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih tinggi atau transendent dari pikiran

manusia, tetapi juga dengan masih memandang keadilan manusiawi berdasarkan

atas akal sehat atau reason. Sedangkan, keadilan menurut paham positivisme

adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan bernar.475

474
Satjipto Raharjo,2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Nuansa Cipta
Warna, hlm.133.
475
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ciawi-Bogor, Ghalia Indonesia,
hlm.109.
309

Paradigma tujuan hukum dalam wujud kepastian hukum sebagai wujud

paradigma hukum modern yang lebih menunjukan pada upaya konkritisasi konsep

keadilan476 dalam mazhab klasik, dihubungkan dengan titik taut (aanknopings

punten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum dalam konteks

menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya yang tersurat dalam

Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Kepastian hukum dapat

dibedakan menjadi dalam dua konsep pemahaman yang sifatnya diametral, sebagai

berikut :

Pertama, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

jika dilihat dari sudut pandang keadilan menurut paham positivisme, tidak

terbantahkan lagi keabsahannya dan harus menjalankan aturan yang berlaku

secara baik dan benar. kelompok ahli hukum yang memaham hukum sebagai asas-

asas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Pandangan ini sejalan dengan

pengertian hukum dalam perspektif Salmond yang berpendapat bahwa hukum

merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam

peradilan.477 Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan

dilaksanakan oleh peradilan. Hukum dalam strata ini adalah sejalan dengan yang

dimaksud oleh Anthony Allot sebagai hukum strata kedua, atau yang ditulisnya

sebagai „Law” (dengan diawali huruf kapital) yang dikonsepkan sebagai a coherent

476
Kelompok ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai nilai-nilai, misalnya Victor
Hugo mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan dengan pengertian
tersebut, Grotius menyatakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib,
yang merupakan sesuatu sesuatu yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai
merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum. Lihat Ahmad Ali. Op.Cit. hlm.27
477
L.B.Curzon, 1979. Jurisprudence. M&E Handbook. Hlm.24.
310

total particular legal system prevailing in a given community/country.478 Di sini hukum

diartikan sebagai suatu sistem undang-undang secara menyeluruh yaitu yang

berkaitan dengan hukum positif.

Kedua, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

jika dilihat dari sudut pandang keadilan menurut paham keadilan yang didasarkan

pada hukum alam bahwa suatu keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih

tinggi atau transendent dari pikiran manusia, maka Pasal 50 ayat (1) sebagai wujud

kepastian hukum dalam alam pikir hukum modern tersebut memiliki kejanggalan.

Sebab, berdasarkan atas akal sehat atau reason diselipkannya kewenangan

Peradilan Umum dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

merupakan bertolak belakang dengan konsep pemisahan dan pembagian

kekuasaan negara; bertolak belakang dengan prinsip “kemerdekaan” dan

“kemandirian” kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama; dan Pengadilan

Agama dalam mengimplementasikan kewenangannya mengalami gangguan atau

disturbance, karena dominasi keadilan prosedural atau procedural justice menjadi

lebih penting dari pada upaya mewujudkan prinsip peradilan sederhana, cepat dan

biaya ringan.

Dari kedua konsep pemahaman terhadap kepastian hukum yang sifatnya

diametral tersurat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dari Undang–undang Nomor

3 Tahun 2006. Selaras dengan pandanga Satjipto Raharjo yang menegaskan bahwa

tiga nilai dasar atau grundwerten, yaitu: keadilan atau gerechtigkeit, kemanfaatan

atau zweckmaeszikeit dan kepastian hukum atau rechtssicherkeit, tidak selalu dalam

hubungan serasi satu sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan


478
Anthony Allot, Loc.Cit.
311

atau spannungsverhaeltnis satu sama lain. Dalam kondisi bungkusan kepastian

hukum, keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum;

tuntutan kemanfaatan bisa bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum dan

seterusnya.479

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum

tidak secara utuh untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan atau gerechtigkeit,

kemanfaatan atau zweckmaeszikeit dan kepastian hukum atau rechtssicherkeit, yang

dikonsepkan dalam teori tujuan hukum lewat paradigma teori etis atau etische

theorie, teori manfaat atau utiliteis theorie dan teori kombinasi atau teori campuran.

5.2.1.3. Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan dalam Perspektif Teori

Perundang-undangan

Dalam sub bab ini, dianalisis titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum dari perspektif teori perundang-undangan,

yang memilik kecenderungan persoalan dalam konteks politik pembentukan

hukum.480 Didasarkan pada asumsi bahwa sistem politik berfungsi

menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Hukum positif

merupakan output dari suatu sistem politik yang berlaku, dicapai melalui

mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui pores politik. Input dapat

berupa aspirasi masyarakat yang sedang berkembang sebagai manifestasi

kehendak. Memahami sistem politik yang menjadi ranah studi dari ilmu politik dan

479
Satjipto Raharjo, Op.Cit, hlm.135.
480
Kecenderungan dan arah dari tiga lingkup utama politik hukum, yaitu: politik
pembentukan hukum, politik mengenai isi hukum (asas dan kaidah) hukum; dan politik
penegakan hukum. Lihat A. Latief Fariqun. Loc.Cit.
312

bukan hanya membahas lembaga-lembaga formal saja yang biasa disebut “sufra

struktur” tetapi juga lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sistem

pemerintahan lebih bersifat yuridis dan biasa dibahas dari sudut pandang hukum

(Tata Negara) dan lebih menitik beratkan kepada aspek lembaga-lembaga Negara

yang formal seperti lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.481

Peraturan perundang-undangan atau legislation merupakan bagian dari hukum

yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba. Namun,

dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Keanekaragamaan tujuan dan alasan

dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum482 atau

legal policy. Menurut Hikmahanto Juwana, pembuatan peraturan perundang-

undangan, politik hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama,

sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-

undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam

kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena

keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan

“jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum

tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Mengingat

481
David Easton, 1984, “Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik”, (terj. Sahat
Simamora), Bina Aksara, Jakarta,hlm.165. Dikutip oleh Bintang Ragen Saragih, 2006, Politik
Hukum, CV. Utomo, Bandung, hlm.28.
482
Definisi yang paling komprehensif diberikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara,
yang dirumuskan sebagai berikut: Politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan
sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara
nasional oleh suatu pemerintah negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi: (1)
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum
yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap
usang, dan menciptakan ketentuan hukum hukum yang baru yang diperlukan untuk tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak
hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kelompok elit. Lihat Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Op.Cit. hlm.26-
31.
313

harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum

dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan483.

Unsur-unsur dan penekanan sudut pandang dari pakar terhadap studi politik

hukum yang meliputi politik hukum sebagai pernyataan kehendak atau politic

approach, kebijaksanaan hukum yang diambil oleh penguasan Negara atau

penyelenggara Negara, penerapan hukum, penegakan hukum, fungsi lembaga

penegak hukum dan yang tidak kalah pentingnya adalah tentang kesadaran hukum.

Dengan ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :

a). Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam


masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan
politik hukum.
b). Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut
kedalam bentuk sebuah rancangan peraturan Perundang-Undangan oleh
penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
c). Peraturan Perundang-Undangan yang memuat politik hukum.
d). Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan
politik hukum.
e). Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum
baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan.
f). Pelaksanaan dari peraturan Perundang-Undangan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara484.

Dari konsep dasar tentang asas-asas dalam pembentukan hukum dan konsep

politik hukum dapat dilakukan analisis dari perspektif sebagai berikut :

5.2.1.3.1. Analisis Asas Material Dalam Pembentukan Hukum

Dalam proses pembentukan hukum, kinerja legislator dikontrol oleh prinsip

yang disebut dengan asas material, meliputi: Pertama, asas tentang terminologi dan

sistematika yang benar, artinya peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat.

483
Dahnil Azhar s, Meneropong Politik Hukum Ekonomi Indonesia : Untuk Rakyat atau
Untuk…?.
484
Winardi, 2009, Dinamika Politik Hukum: Pasca Perubahan Konstitusi dan
Implementasi Otonomi Daerah, Setara Press, Malang, hlm. 9.
314

Kedua, asas perlakuan yang sama dalam hukum dipakai untuk mencegah praktek

ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan hukum. Ketiga, asas kepastian hukum

artinya, peraturan yang dibuat mengandung konsistensi walaupun

diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda. Keempat, asas

pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual, asas tersebut bermaksud

memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu

yang menyangkut kepentingan individual.

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan

Peradilan Umum, dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006, jika dianalisis melalui perspektif asas material dalam

pembentukan hukum tersebut di atas, ada kejanggalan dari sudut asas kepastian

hukum yang mengandung nilai konsistensi.

Dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006

mengandung dualisme kepastian yaitu : pertama, bagi pencari keadilan yang

beragama Islam terkait dengan hak menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya menjad kewenangan Peradilan Agama (vide Pasal 50 ayat (2)

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006; kedua, bagi pencari keadilan yang

beragama non Islam, penyelesaian sengketa menjadi kewenangan absolut Peradilan

Umum (Vide Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006).


315

Sebelumnya dilakukan pembaharuan terhadap Pasal 50485 Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kewenangan menyelesaikan

sengketa mengenai hak milik, bukan merupakan bagian yang integral dari

kewenangan absolut Peradilan Agama. Sebaliknya Pasal 50 tersebut

melegalisasikan kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa

mengenai hak milik. Peradilan Agama yang tidak memiliki kewenangan

menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, menimbulkan

kekakuan-kekakuan hukum. Sehingga berakibat kepada para pihak yang mencari

keadilan dan kebenaran atau searching for the truth and justice merasa tidak

tercapai atau terhalang oleh tembok-tembok prosedural hukum. Achmad Ali

mengatakan kondisi sedemikian lebih banyak yang dicapai adalah keadilan

prosedural, bukan keadilan substansi.486

Setelah dilakukan pembaharuan terhadap Pasal 50 Undang–undang Nomor 7

Tahun 2006, menjadi Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006, tersebut berdimensi dualisme kepastian hukum dalam wujud dualisme

kewenangan peradilan dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya. Peradilan Agama memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik

atau keperdataan lainnya bagi subjek hukum yang beragam Islam. Sedangkan

Peradilan Umum memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya bagi orang yang beragama non Islam.

485
“Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 49, maka khusus mengenai
objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum”.
486
Hamdhany Tenggara, ” Pencerahan Pemahaman dan Implementasi Hukum
Melalui Teori-teori Hukum yang Berparadigma Holistik”, Makalah, Bahan Kuliah Pasca
Sarjana Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, 2003.
316

Parameter pembeda yang bertolak pangkal dari status agama bagi pencari

keadilan tersebut, tidak relevan dengan dengan sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya, yang seharusnya dapat ditiadakan kewenangan Peradilan Umum dalam

Pasal 50 ayat (1)487 dan diadakan perbaikan redaksi pada Pasal 50 ayat (2) dari

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, dengan adanya Pasal 50 ayat (2)488 Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006 yang menegaskan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya antara orang yang beragama Islam

merupakan kepastian hukum yang secara menyeluruh tidak meragukan kemampuan

Sumber Daya Manusia dan kesejajaran Peradilan Agama dengan peradilan negara

lainnya.

Kedua, dalam Pasal 50 ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

memiliki kesalahan perumusan bahasa489 dalam norma dengan kalimat “...subjek

hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam”. Redaksi ini merupakan

polarisasi makna dari asas personalitas keislaman yang salah penempatannya.

487
Pasal 50 ayat (1): “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi
sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum‟.
488
Pasal 50 ayat (2): “Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang menjadi
sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama Perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49”.
489
Apa hubungan antara bahasa dan hukum: Pertama, bahasa dalam arti semantik
adalah suatu studi tentang arti, yang merupakan titik pusat studi komunikasi, sedangkan
hukum atau tata hukum itu dipandang dari perspektif ini adalah suatu sistem komunikasi.
Kedua, bahasa itu adalah medium untuk mengemas dan menyampaikan buah pikiran
manusia, sedangkan hukum itu adalah produk pemikiran manusia yang dibangun, dikemas
dan dikomunikasikan dengan bahasa. Lihat Hendarmin Djarab (at.al). 1998, Beberapa
Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI, Cet.1 Bandung, Angkasa, hlm.164.
317

Seharusnya prinsip tersebut telah cukup mendasari Pasal 49490 Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 sebagai dasar kewenangan absolut atau absolut competentie

bagi Peradilan Agama.

Ketiga, perubahan beberapa norma dan perluasan kewenangan dari Undang–

undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006,

membawa konsekuensi yuridis terjadinya perluasan ruang lingkup subjek hukum,491

yang pada mulanya parameter primer tertumpu pada asas peronalitas ke Islaman

(untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam), diperluas menjadi

asas penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam492 (diperuntukkan bagi

akad antara orang Islam dengan non-Islam). Berdasarkan hal tersebut, tidak perlu

diadakan dualisme peradilan untuk mengadili sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya, agar asas kepastian hukum bagi pencari keadilan dan kewenangan

Peradilan Agama sebagaimana kewenangan peradilan lainnya bersifat sama dan

sejajar.

490
Pasal 49 berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan
ekonomi syari'ah”.
491
Subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian
teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara
sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan
umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara
kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Lihat
Ahsan Dawi Mansur, Loc.Cit.
492
Dapat ditelusuri dalam Penjelasan Pasal 1 angka 37 tentang Perubahan Pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa perluasan pengertian dan
cakupan asas personalitas keislaman tidak hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi
juga pada badan hukum. Penjelasan Pasal 1 angka 37 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
menunjukkan adanya asas penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam, yang
berarti perluasan asas mencakup seluruh kewenangan absolut Peradilan Agama dan
menghapus prinsip pilihan hukum.
318

Keempat, sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bukan merupakan

suatu sengketa yang berdiri sendiri, maka sebaiknya sengketa tersebut tetap

mengikuti parameter kewenangan absolut atau absolut competentie Peradilan

Agama. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006. Agar tidak terjadinya dualisme dan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan

antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang berdampak terhadap perwujudan

prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tidak bisa dilaksanakan secara

benar.

Beradasarkan uraian tersebut di atas kepastian hukum berwujud norma dalam

Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 yang

mengandung dualisme dan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan

menyebabkan dualisme kepastian. Masalah tersebut berhubungan erat dengan

pemaknaan asas personalitas keislaman yang dituangkan dalam hukum tertulis

berupa peraturan-perundang-undangan. Gagasan-gagasan tersebut dirumuskan dan

dinformasikan melalui bahasa, sebagai instrumen berpikir dan berkomunikasi, maka

perlu dilihat bagaimana karekter bahasa yang sesuai dengan tuntutan karakter

hukum, dan bagaimana bahasa hukum493 itu dikemas dalam hukum bahasa.494

Karena perlu diingat, bahwa “law is play or game of language”, yakni bahwa apa

493
Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang diterapkan sebagai sarana
komunikasi ilmiah di bidang hukum yang memiliki ciri-ciri yang khas sesuai dengan karakter
ilmu hukum itu sendiri yakni mengandung kejelasan makna, kepaduan pikiran, kelugasan
pemakaian bahasa dan keresmian penggunaannya. Lihat Bahder Johan Nasution dan Sri
Warjiyati, 1998, Bahasa Indonesia Hukum. Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.1-5
494
Q.S. Ar-Rum : 22 memiliki pengertian: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang mengetahui".
319

yang disebut dengan hukum itu, hakekatnya adalah sebuah permainan bahasa,495

permainan kata, permainan kalimat, dan permain ungkapan.

Menurut penulis apa yang dikemukaan di atas bersifat lebih signifikan bila

diterapkan dalam ilmu hukum, bukan saja karena faktor keilmuan hukumnya, tetapi

juga karena karakter substansi hukum itu sendiri menuntut tingkat kecermatan,

ketepatan, kejelasan, kepastian yang tinggi. Kualitas bahasa hukum dalam peraturan

perundang-undangan berkaitan erat dengan praktek hukum, baik pada tingkat

pembentukan hukum ataupun pada tingkat penerapan hukum.

5.2.1.3.2. Analisis Asas Formal Dalam Pembentukan Hukum

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan

Peradilan umum seperti yang ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, menarik untuk dikaji dari perspektif asas

formal pembentukan hukum, yang meliputi: Pertama, asas tujuan yang jelas yang

mencakup 3 (tiga) hal yakni mengenai ketepatan letak peraturan perundang-

undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan

yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut.

Kedua, asas organ atau lembaga yang tepat, bermaksud untuk menegaskan

kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan. Ketiga, asas

perlunya pengaturan, sebagai prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun

relevansi dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan problem. Keempat, asas

495
Adapun hubungan antara bahasa dan hukum adalah pertama, bahasa dalam arti
semantik adalah suatu studi tentang arti, yang merupakan titik pusat studi komunikasi,
sedangkan hukum atau tata hukum itu dipandang dari perspektif ini adalah suatu sistem
komunikasi; kedua, bahasa itu adalah medium untuk mengemas dan menyampaikan buah
pikiran manusia, sedangkan hukum itu adalah produk pemikiran manusia yang dibangun,
dikemas dan dikomunikasikan dengan bahasa. Lihat Hendarmin Djarab (at.al). Loc.Cit.
320

dapat dilaksanakan, prinsip tersebut menegaskan sebuah peraturan yang dibentuk

seharusnya dapat ditegakkan secara efisien dan efektif. Kelima, asas konsensus,

merupakan kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan

oleh suatu peraturan secara konsekuen.

Bertolak dari macam-macam asas formal dalam pembentukan hukum tersebut,

ditemukan kejanggalan pada Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang kewenangan Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa hak

milik atau keperdataan lainnya, jika dihubungkan dengan asas perlunya pengaturan,

maka sangat tepat jika ditiadakan kewenangan Peradilan Umum dalam Pasal 50

ayat (1),496 dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, pembedaan status agama pencari keadilan dalam sengketa hak milik

atau keperdataan lainnya tidak memiliki prinsip relevansi dibentuknya peraturan

tersebut. Mengingat peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur

tentang hak kebendaan telah banyak diatur dalam undang-undang dan peraturan

pelaksananya (organik).

Kedua, dengan lahirnya landasan hukum peradilan satu atap, maka pembinaan

terhadap sumber daya manusia yang bergerak dalam sistem Peradilan Agama sama

halnya dengan sumber daya manusia di peradilan lainnya.

Ketiga, pengaturan kewenangan Peradilan Umum dalam menyelesaikan

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dalam Pasal 50 ayat (1) Undang–

undang Nomor 3 Tahun 2006, justru menghambat proses kewenangan Peradilan

496
Pasal 50 ayat (1): “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi
sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum‟.
321

Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat;

hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.

Keempat, sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tidak tergolong ke

dalam hukum sensitif, tetapi masuk ke dalam wilayah hukum netral.497 Sehingga

parameter agama bukan menjadi dasar pembagian kewenangan diantara Peradilan

Umum dengan Peradilan Agama, dalam hal menyelesaiakan sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya.

5.2.2. Analisis Politik Hukum Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan

Antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum

Hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, namun berada

pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam

masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum

harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai

oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika, maka konsep

politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika

yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo atau ius

constitutum sebagai hukum yang seharusnya berlaku.498

Dalam politik hukum, ada dua dimensi yang terkait dan tak terpisahkan, yaitu

dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Politik hukum dalam

dimensi filosofis-teoritis merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan

497
Yang dimaksud dengan hukum sensitif adalah hukum yang menyangkut bidang-
bidang budaya dan keyakinan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud sebagai hukum yang
bersifat netral, yaitu semua hukum yang bukan bersifat sensitif. Lihat Mochtar
Kusumaatmadja, Op.Cit. hlm.viii.
498
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 352.
322

dan pembinaan hukum di lapangan. Dimensi normatif operasional merupakan

cerminan kehendak sosial penguasa terhadap konstruksi masyarakat yang

diinginkan.499

Keberadaan suatu politik hukum memiliki beberapa tujuan, di antaranya;

Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman

hidup dengan memelihara kepastian hukum. Ketiga, menangani kepentingan-

kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkrit.500

Dalam banyak hal, politik lebih sering mempengaruhi corak atau karakter

hukum. Sub-sistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih besar dari

hukum yang mengakibatkan bahwa apabila hukum harus berhadapan dengan politik

maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah.501 Hubungan itu disebut Satjipto

Rahardjo sebagai hubungan yang mengkondisikan. Politik merupakan kondisi bagi

dijalankannya hukum.502

Pernyataan Daniel S. Lev yang kutip Satjipto Rahardjo menenegaskan bahwa:

untuk memahami sistem-sistem hukum di tengah-tengah tranformasi politik, kita

harus mengamati mulai dari bawah untuk mengetahui macam peran sosial dan

politik apakah yang diberikan orang kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh

dilakukan, yang didorong untuk dilakukan, dan yang dilarang untuk dilakukan.503

Sebagai produk politik, hukum tidak dapat hanya dipahami dari pasal-pasal

atau norma-norma yang imperatif (juga fakultatif), namun perlu juga dijelaskan latar

499
Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta, LkiS, hlm.40
500
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum. Yogyakarta, Kanisius, hlm. 116-117.
501
Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung,CV. Sinar Baru, hlm. 71.
502
Ibid.
503
Ibid.
323

belakang politiknya. Seseorang akan menjadi tidak puas atau kecewa bila hanya

mengandalkan hukum sebagai keinginan (das sollen) ketika ingin memecahkan

persoalan-persoalan hukum. Bagaimanapun hukum harus dilihat juga sebagai

kenyataan atau das sein yang penjelasannya harus diberikan oleh perspektif lain,

yaitu perspektif politik.504

Proses pembuatan hukum cenderung non-partisipatif, artinya hanya mereka

yang terbatas dan terpilih yang mempunyai otoritas pembuatan hukum.505 Yang ideal

dari suatu politik hukum (selain tujuan politik hukum yang disebutkan di atas) adalah

keharusan penyesuaian antara produk hukum dengan gagasan struktur

masyarakatnya, ini disebabkan hukum harus berfungsi untuk melayani

masyarakatnya.506 Hal ini disebabkan “negara Indonesia berdasar atas hukum atau

rechtsstaat tidak berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat”. Penegasan

tersebut dapat dipandang sebagai perspektif resmi atau dasar utama dari politik

hukum nasional.507

Dengan memperhatikan konfigurasi politik yang ada, peran kekuasaan negara

di dalam mendorong terjadinya legislasi hukum Islam di Indonesia, telah melewati

masa yang sangat panjang dan melelahkan.508 Hal lain yang menarik dari kenyataan

tersebut adalah adanya determinasi faktor politik yang hampir selalu menjadi

penghambat bagi program legislasi hukum Islam.

504
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta,Gama Media, hlm. vi.
505
Ibid.
506
Ibid.hlm.31.
507
Ibid.hlm.30
508
Ibid
324

Peran politik hukum memainkan peranan yang begitu signifikan dalam legislasi

Hukum Islam dalam sejarah tata hukum di Indonesia. Tanpa adanya aturan-aturan

pelaksana dalam suatu sistem hukum nasional terhadap norma-norma hukum Islam

ini, maka ia tidak akan mendapat penerimaan yang layak dan efektif dalam

masyarakat.509 Banyak bagian dari materi hukum Islam yang membutuhkan

kekuasaan negara misalnya tentang perkawinan, waris, wakaf, perdata, pidana,

perekonomian, perdagangan, perbankan, hubungan antar negara, dan lain-lain.

Hingga kini beberapa materi hukum Islam tersebut telah mendapatkan legislasi,

misalnya diantaranya undang-undang Perkawinan, undang-undang Peradilan

Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan

undang-undang Perbankan Syraiah.

Rekatnya politik yang ingin menutup peluang pada tiap wadah sosial tidak

mampu menahan rembesan hukum Islam. Pertumbuhan hukum sepanjang berkait

dengan hukum Islam selalu berjumpa dengan aktivitas yudisial itu dalam bentuk

sesuai dengan tingkat permasalahan sosial. Tendensi historis yang demikian

memberi peluang terjadinya transformasi hukum Islam ke dalam tradisi normatif

masyarakat dan tata perundang-undangan negara.510 Lahirnya Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan yurisdiksi yang diperluas, merupakan

bukti keberhasilan transformasi hukum Islam tersebut. Jika selama ini kewenangan

Peradilan Agama sangat terbatas dan hanya menyangkut hukum keluarga dan

wakaf, maka sejak disahkannya perubahaan undang-undang tersebut kewenangan

509
Ibid, hlm.59.
510
Abdul Gani Abdullah. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta, Gema Insani Press, hlm. 24.
325

Peradilan Agama menjadi diperluas, sengketa ekonomi syari„ah telah menjadi bagian

dari kewenangan absolut Peradilan Agama. Demikian halnya dengan kewenangan

Peradilan Agama menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.

5.2.2.1. Cerminan Politik Islam Hindia Belanda

Wujud titik taut (aanknopings punten) kewenangan antara Peradilan Agama

dan Peradilan umum dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3

Tahun 2006, jika ditelaah dari perspektif sejarah merupakan sebuah nilai

pengulangan kondisi normatif masa lalu. Secara khusus berhubungan erat dengan

politik kolonialisme. Dalam kurun waktu tersebut, perkembangan hukum Islam di

indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama,

adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC atau Vereenigde Oots-Indische

Campagnie yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum

Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda tehadap hukum Islam dengan

menghadapkan pada hukum adat.511

Sikap intervensi itu terjadi setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan

oleh Belanda, maka sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati

perubahan itu terjadi perlahan-lahan. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat

dilihat dari tiga sisi: Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki

sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari

sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, keinginan

Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar

511
Ratno Lokito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
Jakarta, INIS, hlm. 28.
326

tehadap Indonesia.512 Maksudnya, Belanda Ingin menata dan mengubah kehidupan

hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

Dalam menelaah titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan

Agama dan Peradilan umum diasumsikan sebagai kelanjutan konflik kepentingan

masa lalu, yang bersumber dari kepentingan kolonialisme. Kepentingan tersebut

dibungkus dalam suatu politik hukum kolonial Belanda ketika mengendalikan

perkembangan kekuasaan di daerah jajahannya, dihadang kuat oleh kesadaran

umat Islam terhadap gerakan imperialisme yang tidak hanya ingin menguasai kondisi

fisik masyarakat tetapi pihak Belanda ingin menghilangkan pengaruh Islam dari

sebagin besar penduduk Indonesia yang meyakini serta berpegang teguh terhadap

nilai-nilai agama Islam. Hal itu, tergambar dalam sejarah sebelum kemerdekaan

dengan simbol politik Islam Hindia Belanda yang tidak mau bersikap netral terhadap

perkembangan agama Islam.

Cerminan politik kolonialisme digambarkan dalam sebuah skema siklus

sejarah penerapan politik hukum dan teori-teori yang melingkari, sebagai berikut:

512
H.Aqib Summinto, Op.Cit. hlm.9-62
327

Skema VIII

Cerminan Politik Islam Hindia Belanda

“teori ajaran Islam tentang penataan hukum”


“teori otoritas penerimaan hukum Islam”

Kondisi politik ini, dinamakan theorie


receptie in complexu dikemukakan oleh
Lodewijk Willem Christiaan van den Berg  Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan
hukum Islam antara lain Kerajaan Samudra
Politik Kolonial Belanda Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan
Netral Terhadap Agama Mataram, Cirebon, Banten, Ternate,
Islam Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan
Ditegaskan oleh Muhammad Daud Ali Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta dan
bahwa orang Islam Indonesia telah Palembang. Di wilayah kerajaan tersebut
melakukan resepsi hukum Islam dalam diberlakukan hukum Islam dan adanya
keseluruhannya sebagai kesatuan lembaga Peradilan Agama
hukum.

politik yang dikenal dengan devide et  Pemerintah kolonial Belanda


ampera, yang berati “pecah belahlah dan menciptakan sebuah asas hukum
kuasai” kemudiam dikenal dengan theorie
receptie.

kekuasaan kolonial mulai mencari


sebuah upaya rekayasa ilmiah untuk  Peradilan Agama mengalami pasang surut
Politik Kolonial Belanda baik eksistensi maupun kompetensinya.
membelah, mengadu,
Tidak Netral Terhadap Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa
mengkonfrontasikan antara kelompok
Agama Islam politis dan nuansa Islamo phobia dari pada
Islam dan kelompok nasionalis
nuansa yuridisnya. Kendatipun dalam catatan
sejarah, teori receptie gagal memberangus
masuknya aliran pemikiran positivisme di eksitensinya secara radikal, namun secara
Indonesia, yang ditandai oleh pergeseran laten teori tersebut akan terus menerus secara
dan perkembangan teori hukum sistematis berusaha membonsai dan
yurisprudensial dan naturalisme ke memperkurus kompetensi Peradilan Agama.
positivisme.

Pembentukan Pembatasan Pengkerdilan


Peradilan Agama Kewenangan Kewenangan
Peradilan Agama Peradilan Agama

theorie receptio a contrario merupakan


pengembangan dari teori Hazairin yang Menurut Abdul Qadir Audah, pertumbuhan
intinya menyatakan bahwa hukum yang sebuah lembaga hukum menjadi sebuah
Politik Kekuasaan berlaku bagi rakyat adalah hukum peradilan, menuntut konsistensi dan koherensi di
Memandang Bahwa agamanya. dalam syariat Islam. Dimana unsur Islam
Hukum Islam Mengandung mewajibkan kepada setiap muslim agar dapat
Banyak Nilai Kebenaran theorie receptio a contrario berisikan menyesuaikan dirinya, pergaulan serta
dan Kebajikan pandangan bahwa hukum adat baru hubungannya dengan orang lain, dan setiap apa
berlaku kalau tidak bertentangan dengan yang bersumber dari dirinya sendiri berupa
hukum Islam. Maka dalam jiwa perkataan dan perbuatannya, semata-mata
masyarakat telah tertanam kemenangan kepada Islam, diatas dasar ketentuan-ketentuan
jiwa pembukaan dan Pasal 29 Undang – yang dikehendaki oleh agama Islam sendiri.
Undang Dasar 1945.
328

Beranjak dari sejarah keberlakuan hukum Islam yang didalamnya terdapat

institusi Peradilan Agama, sangat memiliki pengaruh perkembangannya dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terutama dari tatanan politik Islam Hindia

Belanda, yang sangat berkonsentrasi penuh untuk meminimalisir hingga meniadakan

pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat dengan melakukan segala bentuk,

khususnya melalui kebijakan politik hukum. Cerminan politik Islam Hindia Belanda

tersebut masih ditemukan dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 yan

kemudian dirubah menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006.

Sejak diundangkannya Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

(LN NO.22/2006 dan TLN NO.4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006 ,

kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama semakin luas sesuai dengan

perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada

saat ini. Kewenangan Pengadilan Agama kini tidak hanya menyelesaikan sengketa

di bidang perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, hibah, serta bidang wakaf dan

shadaqah, melainkan juga menangani permohonan penetapan pengangkatan anak

dan menyelsaikan sengketa zakat, infaq serta sengketa hak milik dan keperdataan

lainnya antara sesama muslim dan ekonomi sayari‟ah (Pasal 49 jo Pasal 50 beserta

penjelasannya, Undang–undang Nomor.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

perubahan atas Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 ).

Dalam perubahan undang-undang Peradilan Agama tersebut, masih ditemukan

titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan

Peradilan Umum, sebagaimana ditemukan dalam :


329

Pasal 50 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi:

(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai
obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama
bersama-sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 50 ayat (2) merupakan sebuah kewenangan baru yang dimiliki oleh

Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa kebendaan atau keperdataan

lainnya sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 49

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, bagi orang-orang yang beragama Islam.

Sedangkan sebelumnya diatur dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama, bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau

keperdataan lainnya merupakan kewenangan mutlak dari Peradilan Umum.

Gagasan melegalitaskan kewenangan Peradilan Agama berkenaan dengan

penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, sebagai upaya

mewujudkan tuntutan sejarah dan tuntutan hukum, sehingga sudah sepatutnya

hambatan tersebut dapat dibuka. tetapi secara faktual dalam Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 50 ayat (2) tidak seluas-luasnya dalam

menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya menjadi kewenangan

Peradilan Agama, yakni hanya terbatas kepada yang bersengketa adalah orang-

orang yang beragama Islam dan obyek sengketa terkait dengan obyek sengketa

yang sedang diperiksa di Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan yang

ditentukan dalam Pasal 49. Sehingga para pihak yang beragam nonmuslim dalam
330

menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya menjadi kewenangan

Peradilan Umum.

Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006, disatu sisi membawa perluasan kewenangan bagi Peradilan

Agama, tetapi dalam konteks kewenangan menyelesaian sengketa hak milik atau

keperdataan hanya bagi mereka yang beraga Islam. Sehingga dalam mekanisme

penyelesaian sengketa di Peradilan Agama menjadi bertolak belakang dengan

prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan serta kemandirian Peradilan

Agama tidak sepenuhnya. Seharusnya eksistensi Pengadilan Agama sesuai dengan

ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang–undang Dasar 1945 dinyatakan, bahwa

Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung bersama peradilan lainnya seperti Pengadilan Umum,

Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.513 Memiliki kewenangan,

kemandirian serta bebas dari campur tangan dari lembaga yudisial lainnya.

Penjelmaan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan

Agama dan Peradilan umum dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 tersebut jika dihubungkan dengan pola pikir politik Islam Hindia

Belanda merupakan refleksi dari : Pertama, pola pikir dari politik “devide et impera”,

yang berati “pecah belahlah dan kuasai”. Dengan mempergunakan rekayasa ilmiah

untuk membelah, mengadu, mengkonfrontasikan antara kewenangan Peradilan

Agama dengan kewenangan Peradilan Umum. Kedua, masuknya aliran pemikiran

positivisme di Indonesia, khususnya dalam wahana pembentukan hukum Peradilan

513
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/1999, Undang–undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Jakarta, Penabur Ilmu, 2004,
hlm. 59.
331

Agama yang ditandai oleh pergeseran dan perkembangan teori hukum naturalisme

ke positivisme. Sehingga apa yang dirumuskan dalam norma peraturan perundang-

undangan Peradilan Agama merupakan sesuatu yang bersifat baku untuk diikuti.

Ketiga, eksistensi Peradilan Agama maupun kompetensinya, lebih kental diwarnai

nuansa politis514 dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa yuridisnya.

Dari beberapa asumsi terhadap politik hukum titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum tersebut, menyebabkan

Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak dapat

dikatakan bebas dari cerminan politik Islam Hindia Belanda pada masa lalu, karena

pada saat ini ditampilkan dalam tatanan yang berbeda namun memiliki karakteristik

pola pikir yang sama dengan politik Islam Hindia Belanda.

5.2.2.2. Cerminan Politik Hukum Penolakan Pada Saat Pembentukan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Menteri agama Munawir Sjadzali pada masa itu yang membawa rancangan

undang–undang Peradilan Agama ke sidang DPR. Hampir semua fraksi dapat

menerima rancangan undang–undang Peradilan Agama untuk selanjutnya

disyahkan menjadi undang - undang kecuali FPDI yang menunjukan keberatan. Pro

dan kontra tentang Rancangan Undang–undang Peradilan Agama itu malah hangat

514
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan.
Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai factor penghambat pembangunan (an obstacle
to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian,
tidak sedikit intelektual muslim yang juga meyakininya. Kesimpulan yang tergesa-gesa ini
hampir dapat dipastikan timbul karena kesalahpahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam
merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem
yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah
pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda
perekonomian. Lihat Muhammad Syafi‟I Antonio, Op.Cit. hlm. 3.
332

di luar gedung DPR. Akan tetapi pro dan kontra berakhir setelah Rancangan

Undang–undang Peradilan Agama tersebut disyahkan menjadi Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kerja keras, sekaligus sebagai bentuk

akomodasi pemerintah terhadap kepentingan umat Islam. Setidaknya dengan

disyahkannya undang-undang tersebut maka hukum Islam dari segi-segi perundang-

undangan adalah lompatan seratus tahun dari segi substasi .

Dengan disyahkannya undang-undang Peradilan Agama tersebut, perubahan

penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama, di

antaranya:

1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukan benar-benar

telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan

Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Nama, susunan dan wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah

sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara

Peradilan Agama itu itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan

kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan

agama.

3. Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara lain,

memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela

kepentingan dimuka Peradilan Agama.

4. Lebih memantapkan upaya penggalian dan asas dan kaidah hukum Islam

sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum

nasional melalui yurisprudensi.


333

5. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

6. Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara

yang sekaligus berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk undang-

undang Peradilan Agama.

Kelahiran Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

tidak semulus kelahiran undang-undang peradilan lainnya. Pemikiran seputar pro

dan kontra terhadap pelembagaan Peradilan Agama tidak dapat dihindari karena

masing-masing memiliki asumsi terhadap upaya tersebut. Berbeda dengan upaya

pembaharuan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 yang tidak banyak mengalami pemikiran pro dan kontra. Hal ini

disebabkan perubahan tersebut lebih banyak diperhatikan terhadap hal-hal yang

bersifat teknis jabatan hakim dan panitera. Sedangkan yang berhubungan dengan

kewenangan peradilan untuk menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya, khususnya Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Pasal

50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak mendapat

tanggapan secara tajam dari fraksi yang ada di DPR-RI pada saat pembahasan

terhdap Draf Rancangan Undang-undang Perubahan.

Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya

merupakan kewenangan mutlak dari Peradilan Umum, mendapat kritikan dari sudut

teknis penyelesaian sengketa dalam lingkup kewenangan Peradilan Agama karena

bertolak belakang dengan prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Demikian pula jika dipahami dari sudut “doktrin” dalam ilmu hukum melalui perspektif
334

teori tujuan hukum, teori perundang-undangan, teori politik hukum dan teori

pemisahan dan pembagian kekuasaan negara.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, diasumsikan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, masih memiliki kesamaan dengan

karakteristik pola pikir yang “kontra” pada saat pembentukan Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989, sebagai berikut:

Pertama, pola pikir dari kelompok yang mengatakan bahwa untuk terwujudnya

cita-cita unifikasi hukum, maka Peradilan Agama tidak diperlukan. Kelompok ini lebih

cenderung meletakkan Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum,

untuk tidak terkesan adanya dualisme sistem peradilan. Refleksi pola pikir yang

meletakkan Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum terwujud

dalam norma Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan

manajemen birokrasi penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya

menjadi kewenangan Peradilan Umum jika subjek hukumnya beragama nonmuslim.

Kedua, pola pikir dari kelompok yang menolak secara tegas tentang

Rancangan undang–undang Peradialn Agama dan eksistensi Peradilan Agama,

salah satu pendapat dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno yang berpendapat

bahwa : dengan dibentuknya Peradilan Agama hanya melahirkan diskriminasi bagi

kelompok agama lainnya. Lebih berbahaya lagi ketika adanya anggapan yang

mengatakan bahwa dibentuknya Peradilan Agama merupakan sebuah lokomotif

untuk mewujudkan kembali Piagam Jakarta.515 Kelompok ini meletakkan tuduhan

515
Menurut Soekarno Piagam Jakarta (Jakarta Charter) merupakan Rancangan
Pembukaan Undang-undang Dasar (konstitusi) negara Republik Indonesia sebagai
gentlement agreement, sebab merupakan hasil kompromi antara dua pihak yaitu antara pihak
Islam dan pihak kebangsaan. Endang Saefuddin Anshari menyebutkan kondisi perdebatan
335

eksklusivitas terhadap Peradilan Agama juga tidaklah benar karena apabila dicermati

dalam penjelasan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tegas dinyatakan bahwa

Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi orang Islam, tetapi juga bagi siapa

saja yang menundukkan dirinya kepada hukum Islam, tentu yang dimaksud adalah

nonmuslim.516 Dalam konteks ini ada dua asas yang berlaku, yaitu asas personalitas

dan asas penundukan diri secara sukarela. Asas personalitas diaplikasikan untuk

akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam, Sedangkan asas penundukan

diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dengan non-Islam.

5.2.2.3. Cerminan Politik Hukum dalam Wujud Asas Pilihan Hukum

Salah satu sumber masalah dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama adalah dibukanya prinsip “pilihan hukum” peradilan bagi

pihak yang merasa dirugikan dalam penyelesaian sengketa waris. Prinsip tersebut

merubah makna imperatif hukum agama menjadi fakultatif. Dalam agenda

perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kalimat

yang terdapat dalam penjelasan umum Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat

konsep Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar (konstitusi) negara Republik


Indonesia sebagai bentuk ketegangan antara dua aliran utama ideologi melalui perdebatan-
perdebatan panjang yang akhirnya membawa kepada suatu kesepakatan atau perjanjian
bersama. Lihat Endang Saefuddin Anshari. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah
Konsensus Nasional tentangDasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), Gema Insani
Press, Jakarta, hlm. 10.
516
Lihat penjelasan Angka 37 Pasal 49 yang menegaskan bahwa :Penyelesaian
sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi
syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan din dengan sukarela
kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini.
336

mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian

warisan", dinyatakan dihapus.

Upaya penghapusan prinsip pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa

dalam perkara waris tersebut merupakan suatu kemajuan dalam memulihkan

kewenangan Peradilan Agama. Tetapi, prinsip pilihan hukum masih menjelma dan

secara terang-terangan dilegalitaskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–

undang Nomor 3 Tahun 2006, berwujud dualisme kewenangan pengadilan yang

berwenang menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan

parameter agama para pihak pencari keadilan.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa memang benar prinsip pilihan hukum

yang telah dihapus dengan perubahan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, tetapi

kelahiran wujud norma yang membuka dualisme dan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan tersebut, merupakan kelanjutan yang bersifat lebih terbuka dari prinsip

pilihan hukum. Tidak selaras dengan perluasan asas penundukan diri dalam

perspektif hukum formal (parameter bagi orang tidak beragama Islam).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum yang tersurat dalam

Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) 517 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, merupakan

517
Penjelasan Pasal 50 Ayat 2 menegaskan : Ketentuan ini memberi wewenang
kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa
antar orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan. Sebaliknya
apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di pengadilan agama
ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan
337

cerminan politik hukum pada politik Islam Hinida Belanda, politik hukum pada saat

pembentukan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan

politik hukum dalam wujud prinsip-prinsip pilihan hukum yang semula menjadi

maskot dari politik Islam Hindia Belanda, tetapi tampil dalam sifat yang lebih pulgar

dalam wujud norma yang menimbulkan dualisme dan titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan pengadilan dalam mengadili sengketa hak milik atau keperdataan

lainnya.

Hasil analisis dan pemahasan isu hukum tentang titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum semata-mata untuk

mencapai tujuan hukum atau karena faktor kepentingan dan politik hukum,

ditampilkan dalam kesimpulan pola piker sebagai berikut:

bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap
objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan
yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan agama
tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
338
339

5.3. Konsep Penyelesaian Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan Untuk

Mewujudkan Kemandirian Peradilan Agama Yang Selaras Dengan Asas

Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Berdasar kan uraian pada sub bab terdahulu tentang titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum

yang telah ditelaah melalui perspektif teori tujuan hukum, teori perundang-undangan

dan teori politik hukum yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–

undang Nomor 3 Tahun 2006 mengandung masalah dari sudut “doktrin ilmu hukum”.

Sesuai dengan kaidah filsafat ilmu insan akademik bukan saja hanya bisa

melakukan kritik518 terhadap suatu paradigma.519 Sikap tersebut harus diimbangin

dengan upaya rekonstruksi atau penataan ulang terhadap paradigma hukum yang

berdimensi cita hukum Pancasila dalam seluruh elemen atau bagian dari pada

pembentukan hukum, yang merupakan tanggung jawab dalam perspektif etika

akademik. Dalam kesempatan ini akan ditawarkan sebuah konsep penyelesaian titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan,

dengan pertimbangan dari pelbagai perspektif.

518
Suatu teknik analisa yang dapat mengungkap “hidden political intentions”
dibelakang berbagai konsep hukum, doktrin dan proses-proses hukum. Kajian seperti ini
belum berkembang cukup baik pada lingkungan kita karena kecendrungan pada kajian-
kajian tekstual yang positivis (yang dikembangkan oleh kaum legis liberal). Lihat Ifdhal
Kasim.”Wacana Gerakan Studi Hukum Kritis, 2000, Artikel Dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif.Edisi.6. hlm.29-30.
519
Memahami istilah dan pengertian paradigma. Istilah paradigma (paradigm) pertama
kali dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya “The Structure Scientific Revolution”
pada tahun 1992. Kuhn memberikan pengertian paradigma adalah konstelasi hasil-hasil
kajian yang terdiri dari atas konsep-konsep, nilai-nilai, teknik-teknik dan lain-lainnya, yang
digunakan secara bersama-sama oleh suatu komunitas ilmiah dan mereka gunakan untuk
menentukan keabsahan problem-problem dan solusi-solusinya. Lihat A. Mukti Fajar,
”Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan”, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya Malang, Tanggal 13 November 2006.
340

5.3.1. Konsep Distribusi Kekuasaan Negara Dalam Rangka Menyelenggarakan

Layanan Hukum Bagi Pencari Keadilan

Konsep paradigma520 kekuasaan negara sebagai wahana wujud cita-cita

negara yang salah satunya dijalankan melalui fungsi yudikatif seperti yang

digambarkan dalam skema berikut ini.

Skema IX
Distribusi Kekuaasaan Negara

KEKUASAAN

Teori Pemisahan & Pembagian Kekuasaan Negara


NEGARA

EKSEKUTIF YUDIKATIF LEGISLATIF

Kekuasaan Pasal 24 ayat (3) Undang–Undang Dasar


MK
Kehakiman Pasal 2 ayat (3) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009

Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 2004, UU


Nomor 3 Tahun 2009 , Pasal 25 ayat (1), MA
(2), (3), (4), (5) Undang-undang 48 Tahun
2009
No. 48 Tahun 2009

Pasal 25 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-


PU undang PA PM PTUN
UU Nomor 8No.
Tahun
48 Tahun 2009 UU Nomor 3 Tahun Undang - Undang UU Nomor 9 Tahun
2004 , UU Nomor 49 2006, UU Nomor 50 Nomor 31 Tahun 1999 2004 , UU Nomor 51
Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2009

KEDAULATAN RAKYAT & SEBAGAI


PENCARI KEADILAN

520
Robert Friedrichs memberikan rumusan tentang paradigma adalah pandangan
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan atau subject
matter yang semestinya dipelajarinya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur
tentang paradigma yaitu sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang objek
ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu disiplin; dan tentang, metode kerja
ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu. Maka dapat ditarik kesimpulan tentang
paradigma adalah kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun
waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakat. Lihat Lili Rasjidi
dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya. Cet.I.hlm. 66-72.
341

Kekuasaan negara yang pada mulanya bersumber dari kekuasaan rakyat 521

diserahkan kepada negara untuk dikelola dalam pendistribusian kepada organ

negara, agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan sesuai dengan

karakteristik bangsa Indonesia sebagai negara hukum atau rechtstaats untuk

mewujudkan tujuan negara. Samsul Wahidin menegaskan di dalam hal legitimasi

suatu kekuasaan dalam negara pada umumnya dibedakan menjadi dua, sebagai

berikut: pertama, legitimasi kekuasaan yang bersifat atributif dan legitimasi

kekuasaan yang bersifat derivatif. Adapun legitimasi kekuasaan yang bersumber

pada sifat atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan karena berasal

dari keadaan yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada, kedua, pelimpahan

kekuasaan yang disebabkan kekuasaan yang telah dialihkan atau didistribusikan

kepada pihak lain.522

Legitimasi suatu kekuasaan dalam negara hubungannya dalam penulisan ini

dimaksudkan legitimasi kekuasaan yang bersifat derivatif, pengalihan atau

pendistribusian kekuasaan dalam negara tersebut, dilandasai oleh prinsip-prinsip

dalam penyelenggaraan negara, salah satunya upaya untuk mencapai efektivitas

dan efisiensi. Kegiatan Pengalihan atau pendistribusian tersebut dapat bersifat

521
Negara yang berkedaulatan rakyat mengandung arti bahwa rakyat memiliki
kekuasaan mutlak, tertinggi, tidak terbatas. Negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara
demokrasi. Negara dikatakan berkedaulatan rakyat apabila rakyat berperan serta langsung
maupun tidak langsung menentukan nasib dan masa depan negara. Untuk dapat dikatakan
sebagai pemerintahan demokratis, meminjam istilah Sutradara Ginting, perlu mencirikan
sedikitnya lima hal yakni, adanya legitimacy, public mission, public control, public
accountability, dan public service. Lihat Green Mind Community, 2009, Teori dan Politik
Hukum Tata Negara, Yogyakarta, Total Media, hlm.10.
522
Samsul Wahidin. Loc.Cit.
342

struktural dalam arti dari atas ke bawah dan bersifat fungsional dalam arti

didasarkan pada fungsi-fungsi organisatoris sebagai dasarnya.523

Pembagian dan pendistribusian kekuasaan negara bertujuan untuk

menghindari penyalahgunaan, maka kekuasaan tersebut dibagi menjadi tiga macam

kekuasaan, yang meliputi: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan

yudikatif dan masing-masing kekuasaan tersebut diserahkan kepada satu organ.524

Organ-organ negara tersebut, bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara yang

hendak dicapai oleh bangsa Indonesia. Salah satu yang mau dicapai dari tujuan

negara adalah melalui pembangunan dan pemaknaan terhadap struktur hukum,

dasar filsfati tersurat dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang–undang Dasar 1945,

yang menyatakan:

Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi


segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

Memperhatikan tujuan negara tersebut, maka sudah seharusnya negara

Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang–undang Dasar 1945

memfungsikan dan membagi habis seluruh kekuasaan negara untuk mewujudkan

tata kehidupan negara dan bangsa menuju negara yang sejahtera,525 aman,

tenteram, tertib, menjamin persamaan kehidupan warga masyarakat dalam hukum,

dan menjamin terpeliharanya hubungan hukum yang serasi, selaras dan seimbang

antara sesama warga negara dan antara warga negara dengan pemerintah.

523
Ibid
524
A.Mukthie Fadjar. Loc.Cit.
525
Negara kesejahteraan mengantarkan pada aksi perlindungan negara terhadap
masyarakat terutama kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran, dan
sebagainya. Ibid, hlm.307.
343

Muatan yang terkandung pada alinea ke-4 tersebut adalah menegaskan bahwa

tugas yang diemban oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum

menjadi sangat penting kedudukan dan fungsinya, khususnya apabila dihubungkan

dengan kegiatan perencanaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan,

untuk dijadikan sebagai suatu sarana mewujudkan kesejahteraan umum yang

dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman. Berdasarkan alasan tersebut, maka

sistem peradilan di Indonesia harus didesain dalam format struktur yang

memungkinkan negara menyelenggarakan pelayanan umum di bidang hukum dan

keadilan kepada berbagai golongan masyarakat.

Atas dasar komitmen tersebut di atas, maka negara tidak hanya menyediakan

fasilitas pelaksanaan kekuasaan kehakiman berupa badan-badan peradilan negara,

tetapi harus disusun dalam sebuah format organisasi yang kompak dan terpadu.

Perlu ditetapkan secara jelas menyangkut parameter lingkup bidang tugas dan

tanggung jawabnya masing-masing dari badan-badan peradilan negara, untuk

terwujudnya pelaksanaan prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Hal tersebut sesuai dengan komitmen pembangunan hukum yang tidak sekedar

melakukan pembaharuan aturan-aturan hukum saja, tetapi juga membentuk atau

mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat satu kesatuan sistem sebagai

satu sistem hukum nasional atau the Indonesian legal system.526

Untuk mengimplementasikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan melalui

badan-badan peradilan negara, maka dapat dibedakan adanya badan peradilan

yang disusun secara horizontal meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama,

526
Bagir Manan. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. FH UII,
Yogyakarta, Cet I, hlm.157.
344

Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Selain itu ada peradilan khusus

dalam peradilan umum, dan Mahkamah Konstitusi. Untuk susunan vertikal adalah

berupa susunan peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi.527

Badan-badan peradilan negara tersebut memiliki tujuan dan prinsip peradilan,

sebagai bagian dari prinsip kekuasaan negara secara keseluruhan. Setiap badan

peradilan tersebut diberikan wewenang secara hukum melakukan sebagian tugas

pemerintahan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan atau in concreto, yang

tidak hanya dalam wujud penegakan hukum atau law enforcement, tetapi yang

cukup penting adalah pemberian pelayanan hukum atau legal service.528

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, maka badan peradilan dapat dilihat

sebagai organ negara atau institusi pemerintahan, pengimplementasi sifat negara,

instrumen kekuasaan dalam penegakan hukum, serta instrumen pengontrol tindakan

pemerintah dalam menjalankan kekuasaan negara sebagai sebuah organisasi.

Dengan demikian badan-badan peradilan negara tersebut harus dibangun sesuai

dengan kebenaran fungsi dan wewenang untuk memenuhi tuntutan kebutuhan

layanan hukum masyarakat secara berkeadilan. Kerancuan dan ketidakpastian

dalam sistem peradilan di Indonesia yang ada saat ini, baik mengenai konsepsi

pengaturan sampai pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Kondisi

tersebut menjadi agenda besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perbaikan

pada struktur organisasi dan ruang lingkup kewenangan agar benar-benar

merepresentasikan secara ideal gagasan, tatanan dan penerapan kekuasaan

kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan extra

527
Ibid. hlm.15.
528
Ibid. hlm.13
345

yustisial untuk mencampuri urusan peradilan,529 baik secara eksternal yang memiliki

kemandirian dari campur tangan kekuasaan eksekutif, dan secara internal memiliki

kemandirian di antara badan-badan peradilan negara.

5.3.1.1. Konsep Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara dalam

Perspektif Organ Negara

Konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat dan negara hukum adalah adanya

pembagian kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudisial. Sesuai dengan paham kedaulatan rakyat dan sistem presidensial yang

berlaku pasca amandemen Undang–undang Dasar 1945, negara Indonesia

menganut pembagian kekuasaan berdasarkan ajaran trias politika yang menganut

pemisahan secara tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudisial yang bertujuan

untuk melindungi kebebasan. Trias politika yang berlaku dalam sistem presidensial

menghendaki pemisahan kekuasaan baik kelembagaan, fungsi, maupun personel,

sehingga terjadi mekanisme pengawasan dan keseimbangan atau checks and bal-

ances yang bersifat resiprokal di antara ketiga cabang pemerintahan tersebut.

Pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara

menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan

kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap

kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-

wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “power tends to corrupt, and absolute

power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara

memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat „checks and

529
Pontang Moerad B.M. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana. Bandung, Alumni, hlm.71.
346

balances‟ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan

mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan

membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal.

Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ

atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.530

Lebih jauh lagi Montesquieu mengutarakan kekhawatirannya terhadap adanya

penyimpangan kepentingan atas prinsip-prinsip pemerintah, kebenaran, dan hukum,

yang disebabkan oleh para pemimpin yang tidak dapat melaksanakan kebijakan

negara cendrung bersifat otoriter, semua kekuasaan di bawah kewenangannya.

Disinilah kerisauan Montesquieu sehingga dapat merumuskan the speration of power

dalam fungsi-fungsi legislatif (the legislative function), eksekutif (executive or

administrasi function) dan yudisial (the judicial function). Ketiga fungsi tersebut harus

terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat

perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. 531

Adapun pertimbangan pemisahan ketiga organ negara tersebut, mengingat jika

digabung, hanya akan memberikan penguasa negara dengan pengelolaan negara

sesuka hati. Demikian pula jika digabung antara kekuasaan mengadili dengan

pelaksanaan pemerintahan, maka yang terjadi adalah kekerasan dan penindasan.

Kondisi sedemikian dapat mengakhiri segala-galanya dan tidah sampai pada tujuan

atau cita-cita negara, bila yang mengelola arang yang sama atau badan yang sama.

530
Jimly Asshiddiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”, Ketua Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, Makalah, Simbur
Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614, hlm.169.
531
Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau legilature,
fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi yudisial dengan lembaga
peradilan yang berfungsi untuk mengadili atas pelanggaran terhadap Undang-Undang.
Jaenal Aripin, Ibid, hlm.69-70.
347

Kritik penulis terhadap studi teori pemisahan dan pembagian kekuasaan

negara hanya sampai pada konsep pembagian tiga organ negara yang besar yaitu

eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebaiknya dalam pemaknaan konsep doktrin

pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, diturunkan hingga pada level yang

terendah dari seluruh organ negara. Contoh dalam rangka menyusun kekuasaan

yudikatif yang secara prinsip terdapat keragaman sistem peradilan, sama-sama

melaksanakan sebagian tugas negara untuk memberikan perlindungan hukum dan

pelayanan hukum bagi masyarakat yang mencari keadilan dalam kemajemukan dan

keragaman tuntutan keadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas tentang perluasan dan penurunan makna

dari teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, maka perlu

diimplementasikan dalam rangka menyusun dalam sebuah format organisasi yang

kompak dan terpadu, ditetapkan secara jelas menyangkut parameter lingkup bidang

tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dari badan-badan peradilan negara,

agar terwujudnya pelaksanaan prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan, bukan sebaliknya terjadi titik taut (aanknopingspunten) kewenangan diantara

lembaga peradilan negara.

5.3.1.2. Konsep Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Dalam Perspektif

Kekuasaan Kehakiman

Dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk menawarkan konsep pemisahan

dan pembagian kekuasan diantara lembaga peradilan dari perspektif “kewenangan”

yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Tanpa bermaksud mengurangi

dasar hukum yang terdapat dalam konstitusi ditegaskan dalam Undang–undang

Dasar 1945 Bab XI tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24 berbunyi:


348

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-Undang. ****)

Pasal 24 ayat (2) tersebut diatas, menegaskan adanya ketertiban susunan

organisasi kekuasaan kehakiman yang bersifat horizontal dan vertikal. Khusus terkait

dengan kekuasaan Mahkamah Agung yang terbagi secara subordinat terpisah

menjadi 4 (empat) lingkungan badan peradilan negara yaitu lingkungan Peradilan

Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

Penafsiran untuk meletakan argumentasi terhadap upaya perluasan dan

penurunan makna dari teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara ke dalam

empat lingkungan peradilan yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, dasar

peluang politik hukum ditemukan dalam Pasal 24 ayat (3) Undang–undang Dasar

1945, yang sinergis dengan undang-undang organiknya pada Pasal 2 ayat (3)

Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menegaskan bahwa: “Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik

Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.”.

Mempertimbangkan peluang politik hukum untuk menyusun fungsi peradilan

yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dengan sebuah undang-undang.

Sebaiknya dipergunakan dengan tetap memperhatikan paradigma pemisahan dan

pembagian kewenangan yang jelas dan tegas bagi peradilan melalui sebuah

undang-undang, dan tetap mempertimbangkan alasan sejarah gagasan, alasan


349

filsafati, alasan yuridis dan alasan sosiologis dari tatanan dan penerapan sistem

peradilan sebelum menjadi salah satu peradilan negara.

Upaya mewujudkan sistem peradilan negara yang dapat menjalankan misi

pelayanan hukum, harus terbangun di atas landasan sejarah, landasan filsafati,

landasan yuridis dan landasan sosiologis dalam sebuah Undang-Undang, maka

target kinerja kekuasaan kehakiman sebagaimana terdapat dalam Pasal 24 ayat (1)

Undang–undang Dasar 1945 menegaskan : “Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan”, kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik

yaitu Pasal 1 angka 1 Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, yang menegaskan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Tujuan negara tersebut dapat dicapai melalui penguatan tugas dan fungsi secara

jelas dari lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.

Berpijak dari konsep teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara yang

dielaborasi ke dalam kekuasaan kehakiman, jika dihubungkan dengan titik taut

(aanknopings punten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum

yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006 tidak selaras dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan : Peradilan dilakukan dengan

sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena Peradilan Agama berdasarkan Pasal 50

ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 hanya berwenang menyelesaikan


350

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya bagi mereka yang beragama Islam,

sedangkan bagi pihak yang beragama nonmuslim menjadi kewenangan Peradilan

Umum.

Kondisi dualisme kewenangan peradilan dalam menyelesaikan sengketa hak

milik atau keperdataan lainnya tersebut, bertolak belakang dengan prinsip

kemandirian Peradilan Agama sebagaimana peradilan negara lainnya. Masalah

tersebut berkaitan erat dengan politik hukum yang mendasari proses pembentukan

undang-undang Peradilan Agama.

5.3.2. Konsep Independensi Lembaga Peradilan Dalam Perspektif

Kekuasaan Kehakiman

Menggali konsep independensi dan kebebasan lembaga peradilan,

mempertimbangkan pendapat Alexander Hamilton dalam The Federalist yang

menjelaskan independensi yudisial ini dengan mengilustrasikan perbandingan antara

kekuasaan yang dimiliki oleh tiga cabang kekuasaan sebagai berikut:532

in a government in which they are separated from each other, the judiciary,
from the nature of its functions, will always be the least dangerous to the
political rights of the Constitution; because it will be least in a capacity to annoy
or injure them. The Executive not only dispenses the honors, but holds the
sword of the community. The legislature not only commands the purse, but
prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are to be
regulated. The judiciary, on the contrary, has no influence over either the sword
or the purse; no direction either of the strength or of the wealth of the society;
and can take no active resolution whatever. It may truly be said to have neither
FORCE nor WILL, but merely judgment; and must ultimately depend upon the
aid of the executive arm even for the efficacy of its judgments.
(diterjemahkan secara bebas: dalam pemerintahan yang mana mereka
dipisahkan satu sama lain, fungsi peradilan akan menjadi hal yang berbahaya
bagi hak politik dalam konstitusi; karena fungsi inilah yang dianggap dapat
mengganggu atau melukai mereka. Kekuasaan eksekutif tidak hanya
memberikan kehormatan tetapi memegang pedang masyarakat. Kekuasaan
532
Alexander Hamilton, 2005, The Federalist No. 78, Tersedia: http:// www.
constitution.org/ fed/federal78.htm. Dikutip oleh Aidul Fitriciada Azhari, ibid, hlm.9.
351

legislatif tidak hanya mengeluarkan perintah, tetapi memutuskan aturan yang


mengatur mengenai kewajiban dan hak dari setiap warga negaranya yang
harus diatur. Kekuaaan yudisiil, sebaliknya, tidak mempunyai pengaruh
melampaui kekuasaan eksekutif dan legislatif; tidak langsung berhubungan
dengan kekuatan atau kemakmuran masyarakat; dan dapat tidak mengambil
tindakan resolusi apapun. Ia tidak memiliki kekuatan atau kehendak, tetapi
hanya penghakiman; dan harus sepenuhnya bergantung pada bantuan dari
eksekutif untuk keberhasilan pertimbangan tersebut)

Dari pendapat Hamilton tentang independensi yudisial diperlukan karena di

antara ketiga cabang kekuasaan, lembaga peradilan adalah “the least dangerous to

the political rights of the constitution” (lembaga peradilan adalah paling berbahaya

bagi hak politik dalam konstitusi). Lembaga peradilan tidak memiliki pengaruh baik

kekuasaan atau sword maupun keuangan atau purse bila dibandingkan dengan ke-

kuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman hanya memiliki kekuatan

dalam bentuk ”putusan” semata atau judgment.

Lubet menyebutkan, bahwa independensi yudisial mengandung nilai-nilai

dasar: fairness, impartiality, dan good faith (keadilan, tidak memihak, dan kehendak

baik). Jadi secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk

memfasilitasi tiga nilai tertentu. Pertama, kemerdekaan yudisial merupakan kondisi

yang diperlukan untuk memelihara negara hukum. Kedua, dalam suatu

pemerintahan konstitusional, hanya hukum yang secara konstitusional memiliki

legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk

melakukan tugas dalam memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat

kebutuhan agar pengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan aturan hukum

yang melanggar nilai-nilai tersebut. Ketiga, dalam negara demokrasi, pengadilan


352

harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan

penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.533

The Universal Declaration of Human Rights 1948 menyebutkan:

“Everyone is entitled in full equality to a fair, and public hearing by an


independent and impartial tribunal” (setiap orang berhak untuk mendapatkan
perlakuan yang adil, dan didengar pendapatnya oleh lembaga peradilan yang
merdeka dan tidak memihak). (Art. 10). Demikian pula dalam The International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966 disebutkan, bahwa:
“everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,
independent and impartial tribunal established by law” (setiap orang berhak
atas usatu keadilan dan didengar pendapatnya oleh suatu lembaga peradilan
yang berdasarkan hukum yang merdeka dan tidak memihak) (Art. 14 (1)).534

Sementara itu, dalam Basic Principle on the Independence of the Judiciary

yang dihasilkan dalam Seventh United Nations Congress on the Prevention and the

Treatment of Offenders 1985 disebutkan, bahwa :535

1) The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of
facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper
influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect,
from any quarter or for any reason; 2) The judiciary shall have jurisdiction over
all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide
whether an issue submitted for its decision is within its competence as defined
by law; 3) There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with
the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to
revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or
commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in
accordance with the law.536
Diterjemahkan secara bebas: 1) Pengadilan harus memutuskan dengan
seimbang di antara para pihak, yang didasarkan pada fakta dan sesuai dengan
hukum, tanpa batasan, pengaruh yang tidak pantas, bujukan, tekanan,
ancaman atau campur tangan, yang langsung ataupun tidak langsung, untuk
alasan apapun; 2). Pengadilan harus mempunyai jurisdiksi dan memiliki
kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah isu diterima sebagai
keputusan lembaga yang berkompeten untuk memutus sebagaimana

533
Aidul Fitriciada Azhari, Op.Cit, hlm.10.
534
Ibid
535
Ibid
536
Basic Principle on the Independence of the Judiciary, Seventh United Nations
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus s/d
6 September 1985,hlm.2-4.
353

ditentukan oleh hukum. 3). Tidak boleh ada campur tangan yang tidak layak
atau tidak beralasan atas suatu proses perailan, atau keputusan hakim oleh
pengadilan menjadi subjek untuk dilakukan revisi. Prinsip tersebut tanpa
prasangka untuk melakukan suatu judicial review atau untuk pengurangan
beban atau peringanan oleh pihak yang berkompeten untuk menjatuhkan
hukuman oleh pengadilan sesuai dengan hukum.

Ketentuan dalam Basic Principle tersebut menyebutkan beberapa wilayah

independensi yudisial, termasuk unsur-unsur utama pengambilan putusan hakim

atau pengadilan, imparsialitas, kebebasan dari pengaruh luar. Hanya dengan

keberadaan suatu kemerdekaan pengadilan, hakim dapat memutus perkara secara

imparsial dan berkeadilan, sebab “negara hukum” mensyaratkan adanya hakim yang

tidak takut atau khawatir atas akibat atau pembalasan dari pihak luar.537

Sementara itu di dalam The International Bar Association Code of Minimum

Standrads of Judicial Independence, 1987 menyebutkan batasan-batasan dari

kemerdekaan yudisial yang meliputi kemerdekaan personal, kemerdekaan substantif,

kemerdekaan internal, dan kemerdekaan kolektif. Kemerdekaan personal mensyarat-

kan bahwa pengisian jabatan hakim, termasuk pengangkatan, pemindahan,

pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan di bawah keputusan

eksekutif. Kemerdekaan substantif mensyaratkan seorang hakim harus memberi

putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas

dasar penalaran orang lain. Kemerdekaan internal berarti seorang hakim harus

mampu mengambil putusan tanpa campur tangan kolega atau atasannya.

Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta bahwa suatu pengadilan adalah suatu

537
Kelly, F.B. William, 2005, An Independent Judiciary: The Core of the Rule of Law,
Tersedia : www.icclr.law.ubc.ca/Publications/ Reports/An-Independant-Judiciary.pdf (Dikutip
5 Nopember 2005), hlm.4.
354

badan atau lembaga yang tidak bergantung pada kekuasaan pemerintahan yang

lain.538

Harold See menyebutkan adanya dua perspektif dalam memandang

independensi yudisial. Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk

kemerdekaan kelembagaan atau institutional independence kekuasaan kehakiman

dari cabang pemerintahan lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris, administrasi,

personalia, dan finansial. Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam

membuat putusan atau decisional independence.539 Hal ini berkaitan dengan

kewajiban khusus dari pengadilan terhadap negara hukum. Peradilan bukan hanya

salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan

fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya terdapat

perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutus dari pengaruh berbagai

kepentingan.

Hal yang sama dikemukakan oleh John Ferejohn yang menyebutkan bahwa:540

konsepsi tradisional menekankan kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari

campur tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas

yang memandang kemerdekaan yudisial dari kepentingan sosial dan ekonomi yang

sangat kuat. Namun demikian, kemerdekaan yudisial bukanlah tujuan itu sendiri,

melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari kemerdekaan yudisial

538
Todung Mulya Lubis & Mas Achmad Santosa, 2000, “Regulasi Ekonomi, Sistem
yang Berjalan Baik dan Lingkungan: Agenda Reformasi Hukum di Indonesia,” dalam Arief
Budiman et al. (ed.), Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia,
Yogyakarta: Bigraf Publishing,hlm.171.
539
Harold See. “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence,” Law and
Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998, hlm.141-142.
540
John Ferejohn,1998, Dynamic of Judicial Independence: Independence Judges,
Dependent Judiciary.
355

adalah terwujudnya negara hukum dan melindungi kebebasan dan hak asasi.

Manakala hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuan itu sendiri, maka

akan mengakibatkan publik dan cabang kekuasaan yang lain berpikir bahwa

peradilan sebagai superior terhadap cabang kekuasaan lainnya. Oleh karena itu,

kemerdekaan yudisial tidak berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebas dari

semua pengaruh, ia hanya bebas dari pengaruh yang tak semestinya. Misalnya,

kekuasaan kehakiman tidak bebas dari kritik, tetapi ia bebas dari kritik yang tidak

jujur, intimidasi, atau pembalasan.

Paradigma doktrin independensi dan kebebasan peradilan tersebut di atas,

dapat ditarik 2 (dua) konsep yang merupakan ruang lingkup independensi meliputi

kemerdekaan kelembagaan atau institutional independence dan kemerdekaan

dalam membuat putusan atau decisional independence. Konsep tersebut jika

dihubungkan dengan titik taut (aanknopings punten) kewenangan antara Peradilan

Agama dan Peradilan umum yang bersumber dari Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, maka Peradilan Agama dalam menjalankan

fungsi kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya mendapat kemerdekaan

kelembagaan atau institutional independence dan kemerdekaan dalam membuat

putusan atau decisional independence.

Tawaran sebuah konsep alternatif penyelesaian titik taut (aanknopingspunten)

antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum dari perspektif doktrin

independensi dan kebebebasan lembaga peradilan, dapat dilakukan dengan upaya

“elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” yang pada saat ini hanya

terkonsentrasi pada prinsip kemerdekaan kelembagaan atau institutional

independence dan kemerdekaan dalam membuat putusan atau decisional


356

independence yang berorientasi pada ranah pengaruh antara organ negara

eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebaiknya ke depan doktrin independensi dan

kebebasan lembaga peradilan dielaborasi ke dalam kepentingan menyusun dan

menata fungsi organ peradilan negara dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman,

dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, elaborasi dan penurunan prinsip kemerdekaan kelembagaan atau

institutional independence, yang dimaknai dalam ruang lingkup kekuasaan

kehakiman yaitu adanya adanya kemerdekaan diantara lembaga peradilan negara

(Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan

Militer) dalam melaksanakan tugas dan fungsi peradilan masing-masing sesuai

dengan distribusi kekuasaan negara yang diturunkan dan fungsi peradilan yang

dibebankan untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam wujud memberikan

layanan hukum atau legal service.

Kedua, elaborasi dan penurunan prinsip kemerdekaan dalam membuat

putusan atau decisional independence masing-masing peradilan memiliki sifat

independen dalam arti kekuasaan organ negara, extra legal factor dan bebas dari

campur tangan kewenangan lembaga peradilan lainnya yang sama-sama

menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman sesuai dengan ruang lingkup parameter

primer dan parameter sekunder dari lembaga peradilan menurut Undang-Undang

masing-masing yang mendasari eksistensi peradilan tersebut.

Upaya membangun konsep ke depan dengan melakukan “elaborasi doktrin”

dan “penurunan prinsip doktrin” akan menyelesaikan titik taut (aanknopings punten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, karena prinsip

independensi dan kemerdekaan lembaga peradilan merupakan suatu syarat untuk


357

terwujudnya sistem peradilan yang mandiri, profesional dalam melaksanakan fungsi

sebagai pelaksana tugas negara dalam rangka memberi layanan hukum atau legal

service terhadap pencari keadilan541 atau searching for truth dalam parameter

kompetensi absolut atau obsolut competentie.

5.3.3. Konsep Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Dalam Tradisi Islam (Al-

Qadha, Al-Hisbah, Al-Madzalim dan Al Mahkamah Al-Asyariyyah)

Setelah mendeskripiskan konsep kekuasaan kehakiman dalam doktrin ilmu

hukum yang disepakati para kolega dalam bidang ilmu hukum sebagai paradigma

kekuasaan kehakiman. Perlu kiranya tulisan ini diperkaya dengan khazanah

keilmuan tentang kekuasaan kehakiman dalam Islam, sebagai kekuasaan yudikatif

dilaksanakan oleh beberapa lembaga yang masing-masing berkuasa dalam

bidangnya, tetapi bersatu dalam sebuah kekuasaan umum. Dinasti Umayah

menyebutnya dengan nizham al-qadhai542 sebagai pelaksana hukum. Sedangkan

dalam Dinasti Abbasiyyah, lembaga ini disebut dengan al-nizham al-mazhalim,543

yakni lembaga yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum,

menegakkan ketertiban umum, baik dilingkungan pemerintah maupun dilingkungan

masyarakat, dan memutuskan perkara. Keragaman sebutan pelaksanaan kekuasaan

kehakiman Islam dalam masa kedua dinasti tersebut, akan tetapi masing-masing

badan yang berada dibawahnya sama-sama memiliki tiga badan peradilan sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni : qadhai, hisbah, dan madzalim. Bahkan

541
Lihat Penjelasan Pasal I Angka 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
menegaskan : Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah setiap orang baik
warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di
Indonesia.
542
Muhammad Jalal Syaraf, Fikr al-Siyasi fi al-Islam, hlm.155-157. Dikutip oleh Jaenal
Aripin, Op.Cit. hlm.162
543
Ibid
358

pada masa Dinasti Mamluk, terdapat pelaksana kekuasaan kehakiman lagi yaitu al-

mahkamah al-„asyhariyyah atau Mahkamah Militer. Kesemua kelembagaan tersebut

berada dibawah naungan al-qadhi al-qudhah atau Mahkamah Agung, yang preseden

keberadaannya sudah ada sejak masa Umar bin Khattab.544

Pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam545 yang meliputi qadhai, hisbah,

dan madzalim dan al-mahkamah al-„asyhariyyah memiliki tugas atau wewenang

sebagai berikut: Pertama, Qadha adalah lembaga yang bertugas memberi

penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan

dan masalah wakaf. Kedua, Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana

kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan

mencegah kezaliman. Ketiga, Al-Madzhalim adalah salah satu komponen peradilan

yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara

perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu, ia juga menangani
544
Ibid.
545
Iman Al Mawardi dalam buku Al-Ahkam As-Sulthaniyyah merinci sepuluh tugas
kekuasaan yudikatif, yaitu: 1) Memutus atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran, dan
konflik; dengan mendamaikan kedua belah pihak berperkara secara sukarela, atau memaksa
keduanya berdamai; 2) Membebaskan orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukum,
serta memberikan sanksi kepada yang salah; 3) Menetapkan penguasa harta benda orang
yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; 4) Mengelola
harta wakaf dengan menjaga, mengembangkan, menahannya, dan mengalokasikan ke
posnya; 5) Melaksanakan wasiat berdasarkan syarat pemberi dalam hal yang diperbolehkan
syariat dan tidak melanggarnya; 6) Menikahkan gadis-gadis dengan orang sekufu (selefel),
jika mereka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia nikah. 7) Melaksanakan hudud
kepada orang yang berhak merimanya. Jika menyangkut hak Allah SWT, ia
melaksanakannya tanpa penggugat; jika telah terbukti atas pengakuan dan barang bukti. Jika
menyangkut hak manusia, pelaksanaan hudud ditentukan oleh permintaan penggugat; 8)
memikirkan kemaslahatan umum, dengan melarang segala gangguan di jalan dan halaman
rumah serta meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; 9)mengawasi para saksi dan
pegawainya, serta memilih orang yang mewakilinya. Jika mereka jujur, kredibel, dan
istiqamah, ia mengangkatnya. Jika mereka berkhianat, ia mengganti dengan pejabat baru;
10) menegakkan persamaan di depan hukum antara orang yang kuat dan lemah, dan
menegakkan keadilan dalam peradilan baik bagi orang bangsawan maupun rakyat biasa.Ibid,
hlm.164.
359

kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan,

hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Keempat, masa pemerintahan

Bani Abbas juga dibentuk Mahkamah/Peradilan Militer atau al-mahkamah al-

„asyhariyyah tugasnya adalah menyidangkan perkara anggota militer atau tentara.546

Setelah memperhatikan uraian konsep pelaksanaan dan wewenang kekuasaan

kehakiman dalam tradisi Islam, dapat dimaknai bahwa sejak dahulu telah dikenal

adanya lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman meliputi al-qadha, al-hisbah, al-

madzalim dan al mahkamah al-asyariyyah, yang masing-masing berkuasa dalam

bidangnya, tetapi bersatu dalam sebuah naungan kekuasaan umum al-qadhi al-

qudhah atau Mahkamah Agung.

Konsep pelaksanaan dan wewenang kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam

selaras dengan upaya “elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” dari konsep

pemisahan dan pembagian kekuasaan negara dan konsep independensi lembaga

peradilan ke dalam 4 (empat) lingkungan peradilan negara sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman yang dilandasi oleh Undang–undang Dasar 1945 dan

peraturan organiknya Undang–undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

546
Ibid.hlm.166-169.
360

5.3.4. Konsep Kepastian Mekanisme Peradilan Agama dalam Perspektif

Asas

Untuk memenuhi ketentuan Pasal 49547 Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama, khususnya perubahan lembaga Peradilan Agama

menyangkut kompetensi yang harus diemban oleh Peradilan Agama dalam

memenuhi amanat undang-undang. Apabila dirunut dari aspek historis eksistensi

Pengadilan Agama sudah ada sejak zaman penjajah sampai kemerdekaan, hingga

sekarang era reformasi tidak di persoalkan lagi, hanya saja yang menjadi persoalan

mengapa kewenangan Pengadilan Agama yang telah mempunyai status sama

kedudukannya dengan peradilan yang lain, namun kompetensi mengadili perkara

bagi orang Islam belum semua dapat dilaksanakan oleh Peradilan Agama, artinya

masih terjadi tarik menarik dengan peradilan yang lain, padahal masing-masing telah

mempunyai kompetensi sendiri-sendiri.

Peradilan Agama dengan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 mempunyai

kewenangan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam (orang yang beragama

Islam). Memperhatikan kewenangan absolut dari Peradilan Agama yang ada

sekarang, Jika dilihat aspek filosofis menunjukkan bahwa perkembangan kebutuhan

hukum masyarakat (muslim khususnya) terhadap kesadaran menjalankan syariat

Islam sebagai konsekuensi dari keyakinanya semakin tinggi, ini berarti bahwa

pluralisme hukum harus diterima sebagai realitas atau real of entity yang majemuk

atau legal flurality dalam kehidupan bermasyarakat, maka harus memikirkan hukum

547
Pasal 49 menyebutkan bahwa: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan ; b. Waris; c. Wasiat ; d. Hibah; e. Wakaf ; f.
Zakat ; g. Infaq ; h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah
361

sebagai suatu fenomena yang pluralistik, dengan institusi utama hukum dari negara

yang tersentralisasi.

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat

selain terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau order of law juga

berwujud sebagai hukum agama atau religious law dan hukum kebiasaan atau

costumary law secara antropologis membentuk mekanisme-mekanisme pengaturan

sendiri atau Inner order mechanism atau self regulation dalam komunitas-komunitas

masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana

untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial.548

Terkait dengan hal tersebut, diperlukan upaya membangun konsep ideal

kewenangan Peradilan Agama dan harus mempertimbangkan asas-asas hukum

yang meliputi serta memiliki kedudukan sangat penting dalam rangka memahami

norma hukum. Menurut Paul Scholten, asas hukum atau rechtbeginsel tidak sama

dan bukan aturan hukum atau rechtsregel, walaupun demikian aturan hukum tidak

dapat dimengerti tanpa bantuan asas-asas hukum.549 Dalam kesempatan ini

ditawarkan bangun sebuah konsep ideal kewenangan Peradilan Agama dari sudut

asas dalam skema sebagai berikut:

548
I Nyoman Nurjaya, Loc.Cit..
549
Rusli Effendy (dkk). 1991. Teori Hukum, Ujung Pandang, Hasanudin University
Press, Cet I,hlm.28. dikutip oleh Lauddin Masruni, Loc.Cit.
362

Skema X

Konsep Ideal Kewenangan Absolut Dan Kemandirian


Peradilan Agama

Kompetensi
Kekuasaan Peradilan Agama
Kehakiman

Asas
Asas Asas
Personalitas
Penundukan Formalitas
Keislaman
Diri Secara Keislaman
Sukarela

Peradilan
Distribusi Kekuasaan
Perencanaan Hukum, Pembentukan Hukum

Agama
Negara
Layanan Hukum (legal service)

Pelaksanaan Hukum
Penegakkan Hukum
Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan
Biaya Ringan

Feed Back
Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Welfarestate

Rakyat : Pemegang Kedaulatan dan Pencari Keadilan

Pentingnya mengkaji asas hukum550 yang merupakan suatu kebenaran asasi,

akan menjadi dasar pertimbangan etis, sosial, dan keadilan dalam pembentukan,

550
Adapun asas yang berkaitan dengan pembentukan hukum nasional adalah: a) Asas
hukum yang menentukan politik hukum. b) Asas hukum yang menyangkut ciri dan jiwa tata
hukum nasional. c) Asas hukum yang menyangkut formal/struktural organisatoris sistem
hukum nasional. d) Asas hukum yang menentukan proses pembentukan peraturan
363

penerapan, dan penegakan hukum, bahkan dalam sistem pembentukan hukum,

yang akan diuraikan berikut ini.

5.3.4.1. Kepastian Mekanisme Sesuai Asas Personalitas Keislaman, Asas

Penundukan Diri Secara Sukarela (Vrijwillige Onderwerping) dan

Asas Formalitas Keilsman

Menentukan ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dapat dilakukan

dengan cara membaca norma hukum yang diatur dalam Pasal 49 Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. Perkawinan ;
b. Waris;
c. Wasiat ;
d. Hibah;
e. Wakaf ;
f. Zakat ;
g. Infaq ;
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi Syariah

Memahami bidang yang menjadi kewenangan Peradilan Agama tersebut masih

memerlukan bantuan asas-asas hukum yang mampu memberikan parameter apakah

dan sejauh mana alasan-alasan yang menyimpulkan bahwa bidang-bidang tersebut

menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Asas-asas hukum yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memahami

norma dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 meliputi: asas

personalitas keislamam, asas pilihan hukum dan asas formalitas keislaman. Jika

perundang-undangan dan e) Asas hukum yang menyangkut substansi peraturan perundang-


undangan. Lihat Roesminah. 1995. Pembinaan cita hukum dan Asas-asas hukum Nasional.
Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasioal, dalam Himpunan Makalah buku II B BPHN.
364

diimplementasikan asas tersebut ke dalam bidang-bidang yang menjadi kewenangan

Peradilan Agama, dapat menimbulkan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan

absolut antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, khususnya asas pilihan

hukum, yang ditampilkan dalam skema berikut ini :

Skema XI

Titik Taut (aanknopings punten) Kewenangan antara Peradilan Agama

dan Peradilan umum Karena Penerapan Asas Pilihan Hukum

Kompetensi
P. Agama Perkawinan
AFK/APK

Harta Bersama
Asas Asas Asas AFK/APK
Personalit Formalitas Pilihan
as Ke ke Islaman Hukum
Islaman
Waris
APK

Ekonomi Syariah
AFK/APK

Peradilan
Agama

Catatan:
1. APK : Parameter Keberlakuan Hukum Islam
2. AFK : Parameter Lembaga Persitiwa Hukum
3. APH : Parameter Hak Opsi Mengaburkan APK dan ALK Dalam Perspektif Hukum
Sensitif

Jika asas pilihan hukum diterapakan dalam mengukur kewenangan Peradilan

Agama dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menimbulkan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan dengan Peradilan Umum. Sebagai buah dari

reformasi hukum Peradilan Agama berupa Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006


365

yang mengatur kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49

tersebut di atas. Diperlukan konsep ideal kewenangan dan kemandirian Peradilan

Agama dengan cara menerapkan asas hukum sebagai berikut:

Skema XII

Konsep Ideal Kewenangan Peradilan Agama Dengan Asas Personalitas

Keislaman, Asas Penundukan Diri Secara Sukarela (Vrijwillige

Onderwerping) dan Asas Formalitas Keislaman

Kompetensi
P. Agama Perkawinan
AFK

Asas Asas Asas Harta Bersama


Waris Personali Penundu Forma AFK
APK tas Ke kan Diri litas ke
Islaman Secara Islaman
Sukarela

Ekonomi
Syariah
AFK

Peradilan
Agama

Catatan :
1. Perkawinan : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)
2. Harta Bersama : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)
3. Waris : APK (Asas Personalitas Ke Islaman)
4. Ekonomi Syariah : AFK (Asas Formalitas Ke Islaman)

Agenda perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, bukan hanya terjadi

perubahan norma dan penambahan kewenangan Peradilan Agama dalam


366

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Tetapi terjadi pula pergantian “Asas

Pilihan Hukum” dengan “Asas Penundukan Diri Secara Sukarela (Vrijwillige

Onderwerping)”.551 Pergantain asas tersebut memiliki dampak yang cukup besar

dalam memulihkan kewenangan dan kemandirian Peradilan Agama agar memiliki

kesamaan dengan peradilan negara lainnya.

Kewenangan Peradilan Agama dalam Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

yang di bangun berdasarkan pergantian dari “asas pilihan hukum” dan atau

perluasan dari “asas personalitas keislaman” menjadi “asas penundukan diri secara

sukarela”, bertolak belakang dengan norma hukum yang mengatur kewenangan

penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, seperti yang tercantum

dalam Pasal 50 sebagai berikut:

(1). Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai
obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputuskan terlebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2). Apabila terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subjek hukumnya antara orang-orang yang beragam Islam, obyek yang
menjadi sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama
bersama-sama Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, dikatakan tidak

dilandasi oleh asas hukum yang menentukan kewenangan Peradilan Agama

didasarkan kepada beberapa alasan, sebagai berikut:

551
Sulaikan Lubis, perluasan kewenangan tersebut berarti pula adanya perluasan
pengertian atas asas personalitas ke-Islaman. Dapat ditelusuri dalam Penjelasan Pasal 1
angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
menegaskan bahwa perluasan pengertian dan cakupan asas personalitas keislaman tidak
hanya melekat pada subjek hukum orang tetapi juga pada badan hukum. Penjelasan Pasal 1
angka 37 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menunjukkan adanya asas penundukan diri
secara sukarela terhadap hukum Islam, yang berarti perluasan asas mencakup seluruh
kewenangan absolut Peradilan Agama dan menghapus prinsip pilihan hukum. Lihat Sulaikan
Lubis (et.al). Loc.Cit.
367

Pertama, agenda perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, berkaitan dengan

“asas pilihan hukum” peradilan bagi pihak yang merasa dirugikan dalam

penyelesaian sengketa waris, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum

Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:

"Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum

apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.

Kedua, prinsip pilihan hukum yang telah dihapus, kemudian ditopang oleh

pergantian asas pilihan hukum dan perluasan asas personalitas keislaman menjadi

asas penundukan diri secara sukarela, yang tidak hanya melekat pada subjek hukum

orang tetapi juga pada badan hukum. Sebagaimana ditemukan dalam penjelasan

Pasal 1 angka 37 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 menunjukkan adanya asas

penundukan diri secara sukarela terhadap hukum Islam, yang berarti perluasan asas

mencakup seluruh kewenangan absolut Peradilan Agama dan menghapus prinsip

pilihan hukum.

Ketiga, Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak memiliki

landasan asas hukum yang menjadi dasar bagi setiap orang untuk memahami dan

menerapkan norma hukum tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Paul Scholten

yang mendefinisikan asas hukum atau rechtbeginsel tidak sama dan bukan aturan

hukum atau rechtsregel, walaupun demikian aturan hukum tidak dapat dimengerti

tanpa bantuan asas-asas hukum.552 Jadi dapat dikatakan asas hukum memiliki

552
Rusli Effendy (dkk). 1991. Teori Hukum, Ujung Pandang, Hasanudin University
Press, Cet I,hlm.28. dikutip oleh Lauddin Masruni, Loc.Cit.
368

kedudukan yang sangat penting dalam rangka memahami norma hukum.553 Maka

Pasal 50 ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahn 2006, tidak sesuai dengan

pergantian dan perluasan asas hukum dalam perubahan undang-undang Peradilan

Agama dan keberadaannya lemah dari sisi penalaran hukum atau legal reasoning

perspektif asas hukum, namun keberadaannya lebih kuat dalam aspek kepentingan

dan politik hukum.

5.3.4.2. Kepastian Mekanisme Sesuai Asas Sederhana, Cepat dan Biaya

Ringan

Pengadilan diharapkan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian

sengketa, ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan

kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan

bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif. Hal ini dipandang kurang

menguntungkan bagi pencari keadilan sehingga dibutuhkan perubahan norma

hukum yang lebih efisien dan efektif bagi peradilan dalam menjalankan

kewenangannya.554

553
Norma hukum merupakan aturan, pola, standar yang harus diikuti. Ditegaskan oleh
Hans Kelsen bahwa norma hukum menurut fungsinya adalah memerintah (gebieten);
melarang (verbieten); mengusahakan (ermachtigen); membolehkan (erlauben) dan
menyimpangkan dari ketentuan (derogieren). Hans Kelesen juga memberikan ketegasan
bahwa norma hukum memberikan arti yang sangat penting terhadap keberlakuan suatu
aturan hukum tertulis. Sahnya keberlakuan suatu undang-undang terjadi manakala sesuai
dengan norma hukum yang lebih tinggi yang dikenal dalam teori hukum murni. Ibid.
554
Dalam konsep teori pengakuan yang menjelaskan bahwa : berlaku atau tidaknya
suatu norma hukum di dalam suatu masyarakat, sangat ditentukan oleh adanya pengakuan
dan penerimaan dari masyarakat terhadap aturan hukum konkrit serta ditaati di dalam
prosedur penegakkan hukum. Persolan ada atau tidak adanya pengakuan dapat dilihat dari
kecendrungan prilaku user (pengguna) jasa pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Lihat
Bambang Sutiyoso, “Ruang Lingkup dan Aspek-aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum
Acara Perdata di Indonesia”. Dalam Jurnal Magister Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002.
Universitas Islam Indonesia, hlm.11.
369

Suatu peradilan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai wujud

kepastian mekanisme yang sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan

biaya ringan sangat ditentukan oleh konsistensi norma hukum yang diatur dalam

suatu undang-undang peradilan. Asas peradilan yang ditemukan dalam Pasal 2 ayat

(4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menegaskan : ”Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

Maksud kata “sederhana” adalah pemerikasaan dan penyelesaian perkara dilakukan

dengan cara yang efisien dan efektif”. Efisien berkaitan dengan “waktu” dan efektif

berkaitan dengan “cost” atau “biaya” Dengan demikian pengertian “cepat” menjadi

bagian dari pengertian ”sederhana”. Sedangkan yang dimaksud biaya ringan adalah

“biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat pada umumnya”.

Terwujudnya sistem Peradilan Agama yang sesuai dengan asas sederhana,

cepat dan biaya ringan, sangat tergantung pada hukum acara (hukum formal)555

yang dapat dijadikan parameter apakah telah sesuai dengan asas sederhana, cepat

dan biaya ringan. Sudikno Mertokusumo, memberikan ruang lingkup pengertian

sebagai berikut: Pertama, sederhana, artinya acaranya yang jelas, mudah dipahami

dan tidak kaku dan tidak formalistis, karena jika terlalu formalistis akan sukar

difahami. Kedua, cepat artinya penyelesaian perkara memakan waktu yang tidak

terlalu lama. Makamah Agung telah memberikan batasan maksimum terhadap

proses penyelesaian perkara sesuai dengan SEMA Nomor 1 Tahun 1992 yang

membatasi waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak perkara didaftarkan di


555
Kedudukan hukum acara (hukum formal) terhadap hukum materil sangatlah
signifikan, menurut Sjahran Basah hukum acara merupakan salah satu unsur dari peradilan,
demikian pula dengan hukum materilnya. Peradilan tanpa hukum materil akan lumpuh,
sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan
liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya. Ibid,hlm.1.
370

kepanitraan. Semakin cepat proses penyelesaian perkara semakin baik, akan tetapi

cepat harus tetap berada dalam natur hukum yang benar, adil dan teliti. Ketiga,

biaya ringan artinya tidak dibutuhkan biaya yang cukup besar dan mahal, serta

adanya kageorisasi nominal biaya perkara.556

Berdasarkan uraian tersebut, pengadilan harus memenuhi harapan pencari

keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya

ringan, bukan sebaliknya dengan acara yang berbelit-belit yang mengakibatkan

proses dalam waktu yang cukup lama, serta diharapkan biaya yang relatif mampu

dipikul oleh masyarakat sebagai pencari keadilan.557 Harapan tersebut dihubungkan

dengan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, yang

secara tegas membagi dua kewenangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan parameter status agama. Untuk

pencari keadilan yang berstatus agama Islam menjadi kompetensi Peradilan Agama,

bagi pencari keadilan yang beragama non Islam, menjadi kewenangan Peradilan

Umum.

Norma hukum tersebut merupakan penjelmaan dari politik pilihan hukum558

yang menyebabkan penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan bertolak

556
Mukti Arto, Op.Cit.hlm. 64-66.
557
Ibid.63.
558
Konsep “Pilihan Hukum” dalam prespektif hukum acara, lazim dipergunakan untuk
memilih dan menentukan domisili pengadilan , jika dikemudian hari terjadi sengketa diantara
558
pihak-pihak. (bandingkan kedua konsep ini dengan “Pilihan Hukum” yang ada dalam
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 7 Thaun 1989). Berpangkal dari penjelasan umum
butir 2 alinea 6 menyebutkan : “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan
dalam pembagian waris”. Lihat Abdul Jamil, “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama
(Telaah Eksistensi Pilihan Hukum, Pasal 50 dan Pasal 86 (2) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989)”. Jurnal Magister Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002. Universitas Islam
Indonesia,hlm.104.
371

belakang dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara

kenyataan norma hukum ini, berhadapan dengan tembok-tembok prosedur yang

terlegitimasi secara akurat, dengan di dukung pemahaman yang positivistik serta

berakibat hukum menjadi kaku dan kehilangan daya flexibel.

Alternatif konsep politik hukum membangun kewenangan Peradilan Agama

agar sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat

dilakukan dengan cara memperbaharui Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–

undang Nomor 3 Tahun 2006, agar proses peradilan lebih sederhana dan flexibel,

dapat ditempuh dengan memulihkan kewenangan Peradilan Agama sebagai

penyelenggara kekuasaan kehakiman, sama seperti kewenangan peradilan negara

lainnya, dengan cara menurunkan dua asas yang berlaku di Pengadilan Agama yaitu

asas personalitas dan asas penundukan diri secara sukarela.

Asas personalitas keislaman diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan

antara sesama orang Islam, asas ini menjadi parameter primer dalam menentukan

kewenangan absolut atau absolut competentie Peradilan Agama, selaras dengan

Pasal 50 ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan asas

penundukan diri secara sukarela dapat dijadikan alasan menghilangkan Pasal 50

ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006, sebab asas penundukan diri dalam

perspektif hukum formal dapat dijadikan sebagai parameter bagi orang tidak

beragama Islam, untuk tunduk dalam kewenangan Peradilan Agama.

Elaborasi asas personalitas keislaman dan asas penundukan diri dalam norma

hukum secara tepat dan benar berdasarkan metode penalaran hukum atau legal

reasoning, maka upaya menghilangkan kewenangan Peradilan Umum dan

memulihkan secara utuh kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan


372

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, dapat mewujudkan kepastian

mekanisme sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Upaya mewujudkan konsep politik hukum kewenangan Peradilan Agama yang

berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dimulai dari ketepatan dalam

perencanaan hukum dan pembentukan hukum. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa

Putra hakikatnya meliputi beberapa komponen, yaitu: personil pembentukannya,

institusi pembentukannya, proses pembentukannya, dan bentuk hukum hasil

pembentukannya.559 Selain itu, pembentukan hukum terkait erat dengan

pembangunan hukum, yang menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, pada intinya

merupakan pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang

dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk

memenuhi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat 560

Peluang pembangunan hukum yang didalamnya mencerminkan politik hukum

pembaharuan dan pembentukan hukum, perlu digunakan sebagai landasan yuridis

dan politis menuju terwujudnya lembaga Peradilan Agama dengan kewenangan

yang berdasarkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dapat diwujudkan

sebagai satu kesatuan dari sistem peradilan nasional.

5.3.4.3. Kepastian Mekanisme Sesuai Asas Pemerintahan Umum Yang Baik

Konsep ideal kewenangan absolut dan kemandirian Peradilan Agama perlu

dikonstruksi dari perspektif asas pemerintahan umum yang baik, mengingat

Peradilan Agama sebagai salah satu peradilan Negara yang menjalankan fungsi dan

559
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op.Cit.hlm.163
560
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional” Makalah disampaikan
pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang diselenggarakan oleh Yayasan
Lembaga Bantuan HUkum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Surabaya,
September, 1985.
373

tugas penyelenggaraan Negara561 dalam memberikan layanan hukum terhadap

pencari keadilan, sebagai salah satu elemen penting yang berupaya mencapai

tujuan Negara.

Secara konstitusional, Undang–undang Dasar 1945 dalam bagian

Mukaddimah-nya telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas utama

para the founding father ketika memproklamirkan negara Republik Indonesia antara

lain adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Petikan penggalan amanat konstitusi

tersebut secara implisit mengisyaratkan, adanya political wiil yang jelas oleh para

pengambil kebijakan atau the king maker terutama pemerintah untuk berupaya

semaksimal mungkin melayani segala kebutuhan masyarakat tanpa unsur

diskriminatif. Pada prinsipnya pemerintah beserta aparaturnya dalam menjalankan

roda pemerintahan, harus senantiasa mengedepankan kepentingan publik. Hal ini

secara legal formalistik melalui peraturan perundang-undangan Indonesia telah

memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan

atas asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pasal 3 Undang–undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan asas-asas

tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum.562

561
Pasal 1 angka 1 menjelaskan: Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
562
Pasal 3 Angka 1 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum”
adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
374

2. Asas tertib penyelenggaraan negara.563

3. Asas kepentingan umum.564

4. Asas keterbukaan.565

5. Asas proporsionalitas.566

6. Asas profesionalitas567 dan;

7. Asas akuntabilitas.568

Pada dasarnya, Asas-asas diatas merupakan prinsip utama atau primary

principle yang menjadi payung hukum atau act umbrella dalam penyelenggaraan

pelayanan publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81

Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum dan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur

Pemerintahan Kepada Masyarakat merupakan pedoman yang dapat dipergunakan

oleh aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Terdapat pula

563
Pasal 3 Angka 2 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
564
Pasal 3 Angka 3 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum”
adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
565
Pasal 3 Angka 4 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah
asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
566
Pasal 3 Angka 5 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara.
567
Pasal 3 Angka 6 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
568
Pasal 3 Angka 7 menjelaskan: Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
375

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintahan yang menginstruksikan kepada instansi Pemerintahan untuk

menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi kepada Presiden. Ketiga

instrumen tersebut merupakan pedoman Pemerintah untuk memperbaiki kinerja

lembaga terutama lembaga atau instansi pelayanan publik.

Bagi penyelenggara kekuasaan negara, termasuk yang masuk dalam jajaran

birokrasi, nampaknya harus ditekankan bahwa mereka adalah pelayan masyarakat

atau public servant yang bertugas untuk memberikan services yang terbaik untuk

rakyat, bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya. Apabila dapat diyakinkan bahwa

hukum yang dibentuk adalah berorientasi pada kepentingan rakyat dan berkeadilan

sosial, serta penyelenggara kekuasaan negara dalam menjalankan tugasnya bersifat

non-diskriminatif, transparan, obyektif dan tegas, mau tidak mau secara perlahan-

lahan masyarakat juga akan mengikuti pola ini. Hal yang disebut terakhir ini sedikit

banyak merupakan tanggung jawab pemerintah juga, khususnya dalam menciptakan

masyarakat yang terdidik.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut, dijadikan landasan dasar

untuk menyusun kewenangan lembaga-lembaga peradilan Negara sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman dari fungsi dan kewenangan secara tertib, agar

tujuan Negara dalam meberikan perlindungan untuk mewujudkan masyarakat yang

adil dan makmur sejahtera dapat terwujud dalam setiap mekanisme ketetanegaraan

Republik Indonesia.

5.3.5. Konsep Politik Hukum Kewenangan Peradilan Agama

Hukum dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu pertama hukum yang

tidak tertulis dan tidak dibuat secara sengaja oleh institusi Negara, yang lazim
376

disebut dengan hukum adat; kedua, hukum (utamanya tertulis) yang dibuat oleh

institusi non-negara, seperti perjanjian antar subjek hukum perdata; ketiga, peraturan

perundang-undangan atau legislation yang merupakan bagian dari hukum tertulis

yang dibuat secara sengaja oleh institusi Negara;569 dan keempat, putusan yudisial

yang dibuat dan ditetapkan oleh hakim atau judge made law. 570

Kewenangan Peradilan Agama dalam perspektif negara hukum571 dituangkan

dalam hukum tertulis yang dibuat secara sengaja oleh institusi Negara, wujudnya

sangat dipengaruhi oleh personil, institusi, proses, dan bentuk hukum hasil

pembentukannya. Baik dalam wujud pembaruan atau penciptaan ketentuan hukum

baru. Pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Attamimi sebagai

kegiatan pokok harus dilakukan secara sistematik agar dapat berlaku secara yuridis,

politis dan sosiologis. Dalam hal ini, Krems berpendapat bahwa proses pembentukan

hukum peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan kegiatan

interdispliner atau bersifat interdiszplinare wissenschaft von der staatliche

569
Hikmahanto Juwana 2004, Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, 2 (23), hlm.52
570
Brian Bix. 1996, Jurisprudence: Theory and Context, Westview Press, Colorado,
h.152
571
Negara Berdasarkan Hukum adalah sebuah konsep sosial dan bukan hanya
sebagai konsep yuridis. Karena, Negara Berdasarkan Hukum dipengaruhi oleh beberapa
faktor sebagai berikut : faktor rencana Undang–undang Dasar 1945, faktor perubahan sosial,
faktor (pengalaman) sejarah, faktor dasar kerohanian Pancasila, faktor konsep dan doktrin
yang berkembang, faktor internasional dan faktor geografi dan demografi. Menghubungkan
antara konsep Negara Berdasarkan Hukum dengan faktor-faktor yang mempengaruhi Negara
Berdasarkan Hukum, maka konsep Negara Berdasarkan Hukum merupakan desain yang
fungsional sebaliknya bukan desain yang bersifat kaku. Satjipto Raharjo, ”Pembangunan
Hukum Nasional Dan Perubahan Sosial” di kutif dalam Bahan Kuliah atau Hand Out Mata
Kuliah Politik Hukum dalam kegiatan Penataran Alih Tahun (PAT), Bagi Mahasiswa Baru
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya 2006.
377

rechtssetzung, artinya ilmu pengetahuan interdisipliner tentang pembentukan

peraturan negara.572

Perpaduan yang harmonis antra preferensi politik hukum atau rechtpolitiek dan

sosiologi hukum atau rechtsoziiologie, dapat dirumuskan ide -ide dasar, basis, sistem

dan tujuan hukum yang hendak dibangun dan berkorespondensi dengan kondisi-

kondisi obyektif (empirik) kebutuhan masyarakat yang dapat dipertajam dengan

pendekatan konsep-konsep sosiologi hukum. Ini dimaksudkan agar secara formal

maupun material isi peraturan perundang-undangan sungguh dapat berlaku, diterima

dan dipatuhi oleh warga ,masyarakat yang dikenai peraturan perundang-

undangan.573 Selain itu, secara vertical dan horizontal terdapat sinkronisasi hukum

yang bersesuaian, mengandung, nilai kepastian hukum dan tidak bertentangan satu

sama lain 574

572
A. Hamid S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisa mengenai Keputusan presiden
yang berfungsi pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm.311
573
Pandangan dari paradigma Inter-Komplementer ditinjau dari prespektif ilmu,
bangunan ilmu baik yang bersifat teoritik maupun yang bersifat empiris keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat. Suatu praktik ilmu dapat memperoleh pembobotan terhadap
kualitas teoritik, berujung kepada peningkatan validitas ilmiah. Sedangkan pada sisi lain
melalui penerapan ilmu dalam praktik (empiris) dapat ditemukan unsur-unsur baru yang
berguna bagi mengkritik terhadap teori ilmu. Jika dihubungkan dengan dengan wacana
agama, seperti terjadinya simbiotik mutualistik, ketika suatu ilmu (teoritik) diterapkan dalam
bentuk aksi (empiris) yang kemudian disebut dengan “ilmu amaliah”, kemudian jika dibarengi
dengan aktivitas yang bersifat praksis (empiris) berdasarkan kaidah ilmiah selanjutnya
disebut “amal ilmiah”. Dengan melalui dua pendekatan yang integral ini, empirisitas
sosiologis dari bekerjanya ilmu di dalam masyarakat, dapat berfungsi bagi munculnya kritik
terhadap validitas suatu ilmu menurut doktrin tertentu maupun Undang-Undang. Lihat Busyro
Muqaddas.” Mengkritisi Asas-asas Hukum Acara Perdata”.2002. Dalam Jurnal Magister
Hukum.Vol.9 No.20 Juni 2002. Universitas Islam Indonesia. hlm.26.
574
Ibid
378

Pentingnya perpaduan yang harmonis antara preferensi politik hukum dan

sosiologi hukum juga ditegaskan oleh Gunther Teubner yang mengangkatkan

bahwa:

“legal development is not identified exclusively with the unfolding of norms,


principles, and basic concept of law. Rather, it is determined by the dynamic
interplay of social forces, institutional constraints, organizational structures, and
last but not least conceptual potentials”575
Diterjemahkan secara bebas: pembangunan hukum tidak lagi diidentifikasikan

secara eksklusif dengan pembuatan norma-norma, prinsip-prinsip, dan konsep dasar

dari hukum. Lebih dari itu, ia ditentukan oleh peranan yang dinamis dari kekuatan-

kekuatan sosial, batasan-batasan institusional, struktur organisasi, dan potensi

konseptual

Pembentukan hukum tidak hanya sekedar membentuk substansi hukumnya

semata, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana substansi hukum tersebut selaras

dengan nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat. Pembentukan hukum

harus dimaknai sebagai upaya untuk mengangkat nilai-nilai hukum baru yang hidup

dalam masyarakat, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Nilai-nilai

hukum baru inilah yang merupakan landasan filosofis bagi substansi hukum yang

baru, serta memiliki relevansi dengan filosofi tujuan negara yaitu mewujudkan

kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Mengkonsepsi dan menkonstruksi

politik hukum kewenangan Peradilan Agama ke depan dapat dilakukan dengan

mendasarkan pertimbangan-pertimbangan dari beberapa aspek, sebagai berikut:

575
Gunthur Teubner, “Substantive and Reflexive Elements in Modern Law”, law and
Society Review. 1983. The Journal of The Law and Society Association, 17 (2), h.427
379

5.3.5.1. Politik Hukum Berbasis Alasan Filsafati

Membangun konsep politik hukum kewenangan Peradilan Agama ke depan,

salah satunya dapat dikonstruksi melalui pertimbangan alasan filsafati keberdaan

Peradilan Agama yang ada sampai sekarang ini dalam lingkaran sejarah

perkembangannya. Memahami Peradilan Agama dari sudut filsafati, berarti

melakukan eksplorasi terhadap nilai-nilai kebenaran tertinggi yang mampu dijangkau

oleh pemikiran manusia, mengenai apa yang menjadi landasan eksistensi sesuatu

itu. Landasan tersebut dapat dilihat dari sudut cita - cita hukum dan pola pikir

masyarakat Indonesia sejak Islam datang sampai sekarang masih diwarnai oleh

ajaran Islam. Hal itu berkaitan erat dengan falsafah hukum Islam yaitu setiap qaidah

atau aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik qaidah itu

merupakan ayat al-qur‟an, hadis, pendapat sahabat dan thabi‟in, maupun pendapat

yang berkembang pada suatu masa dalam kehidupan umat Islam atau pada suatu

bidang tertentu.576

Menggali politik hukum yang berbasis alasan filsafati keberadaan Peradilan

Agama dapat dibagi kedalam dua pendekatan sebagai berikut: Pertama, alasan

filsafati yang digali dari nilai tertinggi dalam ajaran agama Islam yaitu bersumber dari

al-qur‟an577 dan as-sunnah,578 yang didalamnya ditemukan ajaran tentang norma

576
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hlm.36.
577
Dari falsafah hukum Islam itulah kita dapat mengungkap ruh syariat yang dibawa Al-
Qur‟an atau diilhamkan ke dalam jiwa para ahli Al-Qur‟an, baik mereka hakim mauoun mufti.
Singkat kata, falsafah hukum Islam adalah sendi-sendi hukum, prinsip-prinsip hukum
(sumber-sumber hukum), kaidah-kaidah hukum, yang diatasnyalah dibina Undang-Undang
Islam. Ibid, hlm.37.
578
Rasulullah saw, di Madinah dalam usaha dakwahnya, selain bertugas menyeru dan
menyampaikan ajaran-ajaran Allaw Swt kepada umat manusia, beliau juga ditugaskan
memutuskan hukum dan menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi ditengah
380

mengenai sistem peradilan.579 Realisasi norma tersebut dikembangkan pranata

hukum dalam bentuk sangat sederhana, disebut dengan lembaga tahkim,580 tetapi

memiliki ruang lingkup kewenangan yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada

urusan al-ahwal al syakhsyiyah, tetapi mencakup pula hukum pidana atau al-jinayah,

yang pada saat itu disebut sebuah institusi peradilan umum bagi umat Islam.

Prinsip tertinggi dalam ajaran Islam bertumpu pada keyakinan akan keesaan

Allah atau tauhidullah,581 dan seluruh fenomena kehidupan ini dipandang sebagai

ekspresi dan refleksi dari keesaan Allah SWT. Dari perspektif tauhidullah582 tersebut,

Islam tidak memaksa manusia untuk memeluk agama Islam, tetapi sekali seseorang

menyatakan diri memeluk agama Islam, maka dia dituntut untuk menundukkan diri

secara totalitas pada sistem nilai-nilai dalam Islam, termasuk pada sistem hukumnya.

Karena Islam dan hukum Islam selalu beriringan dan tidak bisa dipisah-pisahkan,583

dan mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada hukum

Islam,584 karena sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia dengan

hukum-hukum yang telah ditetapkan. Hal ini diperkuat dengan paradigma theorie

anggota masyarakat. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1970, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, hlm.12
579
Abdul Manaf, Loc.Cit.
580
Abdul Rachmat Budiono. Loc.Cit.
581
Herman Soewardi, Ibid, hlm.217-228.
582
Tauhid bukan saja hanya meng-Esa-kan Allah S.W.T., seperti yang diyakini kaum
monoteis melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan atau unity of creation, kesatuan
kemanusiaan atau unity of mankind, kesatuan tuntunan hidup atau unity of guidance dan
kesatuan tujuan hidup atau unity of purpose of life, yang semuanya merupakan derivasi dari
kesatuan ke-Tuhanan atau unity of Godhead. Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid
merupakan sebuah pandangan umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa
dan sejarah manusia. Lihat Fathurrahman Djamil. Loc.Cit.
583
Daud Ali, “Undang-undang Peradilan Agama”, Panji Masyarakat, (ed), No. 463
Tanggal 1-10 Januari, 1990, Jakarta, hlm.71.
584
H.Ichtijanto S.A.(I). “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”.
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Loc.Cit.
381

receptio in complexu, teori ajaran Islam tentang penataan hukum585, dan teori

penerimaan otoritas hukum, menghasilkan pertumbuhan Islam selalu sekaligus

diikuti oleh pertumbuhan hukum Islamnya itu sendiri.586

Nilai tertinggi dalam ajaran agama Islam dan paradigma teori yang secara

tegas menyebutkan alasan filsafati, melahirkan asas hukum Peradilan Agama yang

lebih dikenal dengan sebutan “asas personalitas keislaman”, sebagai prinsip yang

sifatnya “wajib” serta menjadi identitas kepribadian yang menyatu di dalam diri setiap

mulsim. Sebagai tindak lanjut kewajiban mengamalkan ajaran agama, maka umat

Islam memerlukan adanya sebuah pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan

hukum yang sesuai dengan hukum-hukum Allah (hukum Islam). Demikian pula

alasan keberadaan Peradilan Agama yang merupakan kewajiban kolektif atau fardhu

kifayah, yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilaksanakan dalam keadaan

bagaimanapun.587 Konsep dan prinsip tersebut mewujudkan ruang lingkup

pengertian personalitas keislaman, yang ditegaskan oleh A.Mukti Arto sebagai

parameter primer yang bersifat absolut, maka tidak boleh dikesampingkan dengan

alasan apapun karena berakar pada hukum Agama Islam yang telah ditransformasi

menjadi asas hukum nasional. Substansi dari parameter primer adalah “beragama

Islam” atau yang lebih dikenal dengan asas personalitas ke-Islaman. Parameter ini

digunakan untuk menentukan kewenangan absolut Pengadilan Agama melalui dua

indikator yaitu: sengketa yang menyangkut seseorang muslim dan sengketa yang

585
Lihat Q.S.2 Al-Baqarah: 208, Q.S. 33 Al-Ahzab:36, Q.S. 5 Al-Amaidah: 44, 45, 47,
Q.S.4 An-Nisa: 59, Q.S. 24 An-Nur: 51 dan 52.
586
Victor Tanja, Forum Rancangan Undang–undang Peradilan Agama, Editor,
No.48/Th II, Jakarta, 5 Agustus 1989.
587
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, 1983, Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, hlm.29.
382

bermula dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum

Islam588.

Berdasarkan uraian tersebut, upaya membangun politik hukum kewenangan

Peradilan Agama harus mempersyaratkan untuk mendasari konsep politik hukum

harus sesuai dengan nilai ajaran agama Islam sebagai landasan filsafati dan

mempertimbangkan hasil konstruksi intelektual dalam menterjemah nilai ajaran

agama Islam, salah satunya norma mengenai sistem peradilan, sebagaimana

terdapat dalam theorie receptio in complexu, teori ajaran Islam tentang penataan

hukum, dan teori penerimaan otoritas hukum.

Kedua, alasan filsafati dapat diterjemahkan dari makna negara hukum

Pancasila. Menemukan makna tersebut, harus terlebih dulu memaknai ketentuan

dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang–undang Dasar 1945 yang dijadikan

landasan memberlakukan hukum Islam, dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal

27 ayat (1) Undang–undang Dasar 1945,589 sebagai pasal yang mengatur tentang

persamaan kedudukan di dalam hukum, mendasari pula terhadap jaminan hak-hak

setiap warga negara di bidang agama, sebagimana di atur dalam Pasal 29 ayat (2)

Undang–undang Dasar 1945.590 Pasal-pasal tersebut memliki hubungan lex

generalis dan lex specialis, yang menyebabkan adanya kekhususan hukum untuk

588
H.A.Mukti Arto. Loc.Cit.
589
Berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
590
Berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
383

pemeluk agama tertentu.591 Sebagai jaminan konstitusional yang dilandasi oleh

konsep negara hukum Indonesia, bercirikan: pertama, adanya hubungan erat

antara agama dan negara; kedua, bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;

ketiga, kebebasan beragama dari arti positif; keempat, atheisme tidak dibenarkan

dan komunisme dilarang; dan kelima, asas kekeluargaan dan kerukunan.592

Konsekuensi dari sikap yang memposisikan Pancasila sebagai sumber hukum,

maka sangat logis jika negara hukum Indonesia dinamakan negara hukum Pancasila

yang menjamin terhadap kebebasan beragama atau freedom of religion. Negara

harus melindungi agama dan penganutnya, dan berusaha memasukan ajaran

agama dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.593 Salah satu

adalah memasukan nilai-nilai filsafati agama Islam, berupa hukum Islam bidang

tertentu yang bersumber dari al-qur‟an, as-sunnah, dan fiqih yang ditransformasi ke

dalam hukum produk legislasi nasional melalui cara penetrasi substansi dan cara

penetrasi formal.

Berdasarkan uraian tersebut, maka upaya membangun politik hukum

kewenangan Peradilan Agama harus mempersyaratkan untuk mendasari konsep

politik hukum agar sesuai dengan nilai filsafati dan negara hukum Pancasila yang

menjamin kebebasan beragama baik dari sudut meyakini memeluk maupun

mengamalkan ajaran agama Islam.

591
Ismail Suny. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
dalam Eddi Rudiana Arief. 1991. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukan. Op.Cit. hlm.79.
592
Muhammad Tabir Azhary. 1992. Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 38-44.
593
Oemar Seno Adjie. Loc.Cit.
384

5.3.5.2. Politik Hukum Berbasis Alasan Sejarah

Perkembangan kewenangan kelembagaan Peradilan Agama yang seirama

dalam kurun waktu tumbuh suburnya agama Islam yang didalamnya terdapat ajaran

tentang norma mengenai sistem peradilan sebagai suatu prinsip yang utuh,

dijalankan secara ”kultural” melalui lembaga-lembaga swasta (bukan lembaga

negara).594 Validitas ilmiah tentang hal tersebut, terkonsepkan dalam cultural

exixtence theory yang menegaskan bahwa kokohnya keberadaan atau existence

Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya atau

cultural.595 Jaenal Aripin memberikan pengertian luas bahwa secara kultural,

Peradilan Agama merupakan sui generis bagi umat Islam Indonesia. Peradilan

Agama ada atau exist karena terkait dan/atau dipengaruhi oleh budaya masyarakat

muslim Indonesia. Sepanjang masyarakat muslim patuh dan taat, serta tunduk

menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang itu pula

Peradilan Agama akan tetap ada, meskipun seandainya pihak penguasa berusaha

menghapus Peradilan Agama baik secara politis maupun hukum melalui peraturan

perundang-undangan, namun Peradilan Agama akan tetap ada yakni dalam bentuk

quasi peradilan.596

Berdasarkan uraian penjelasan tentang politik hukum kewenangan Peradilan

Agama dalam persepktif alasan sejarah dapat disimpulkan bahwa keberadaan

Peradilan Agama, baik status, kedudukan dan kewenangannya mengalami naik

594
Karel A. Steenbrink. Loc.Cit.
595
Pada komponen kultural, harus adanya peran aktif masyarakat guna menghasilkan
sebuah budaya hukum yang baik berbasis kepada nilai dasar hukum yaitu keadilan dan
kepastian hukum. Lihat Adnan Buyung Nasution (“et.al”), 1999, Konsursium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Idependensi Pearadilan
(LeIP). Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman.Jakarta, ICEL, hlm.8-9.
596
Jaenal Aripin, Loc.Cit.
385

turun atau pasang surut597, akan tetapi karena keterkaitannya dengan budaya

masyarakat muslim yang tetap setia menjalankan ajaran agamanya.598 Keterkaitan

erat antara budaya masyarakat dengan Peradailan Agama menyebabkan eksistensi

Peradilan Agama selalu hidup sesuai dengan rasa keberagamaan masyarakat

penganut ajaran Islam khususnya.

Terkait dengan upaya membangun politik hukum kewenangan Peradilan

Agama harus memperhatikan konsep politik hukum berbasis alasan sejarah

Peradilan Agama, yang sekarang ini menjadi salah satu dari lembaga peradilan

negara, bertugas memberikan pelayanan hukum atau legal service terhadap

masyarakat sesuai dengan dinamika kesadaran umat Islam yang meyakini Islam

sebagai sistem kehidupan dengan nilai kebenaran yang telah ditentukan oleh Allah

SWT.

5.3.5.3. Politik Hukum Berbasis Alasan Yuridis

Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis bagi orang Islam di Indonesia

berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan Perundang-Undangan. berlakunya hukum

Islam demikian pada dasarnya dapat dipaksakan.599 Dapat ditelusuri dari perjalanan

sejarah penerimaan hukum Islam, yang ke dalam dua periode. Pertama, periode

penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif, dalam konstitusi dikenal

597
Seiring dengan perombakan peradilan kolonial, pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1948 mengeluarkan satu undang-undang tentang susunan dan kekuasaan
badan-badan kehakiman dan kejaksaaan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948.
Ternyata Undang-Undang ini jelas menghendaki dihapuskannya Peradilan Agama sebagai
lembaga yang berdiri sendiri. Taufiq Hamami, “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di
Indonesia”, (ed), Mimbar Hukum, No.59 Thn.XIV, 2003, hlm.21.
598
Relevan dengan perhatian primary rules adalah terhadap perbuatan-perbuatan yang
seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan individu. Itu berarti primary rules adalah norma-
norma yang dianut masyarakat. Abdul Manaf. Loc.Cit.
599
Abdul Rachmat Budiono. Loc.Cit.
386

persuasive sources sebagai sumber yang harus diyakinkan untuk menerimanya.

Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif atau

authoritative sources, sebagai sumber yang mempunyai kekuatan atau authority.600

Kedua periode tersebut dijadikan dasar keberlakuan hukum Islam dalam tata hukum

nasional di Indonesia, yang telah mendapat pengakuan sebagai bahan baku bagi

pembentukan hukum nasional bersama-sama dengan sistem hukum yang lain,

seperti hukum barat dan hukum adat.601

Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif atau authoritative

sources dimulai sejak Bangsa Indonesia lahir secara de yure, dalam kurun waktu

tersebut telah ada tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia tersebut,

tersurat dalam Pembukaan Undang–undang Dasar 1945 pada alinea ke-4:

Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi


segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

Atas dasar tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia tersebut, sudah

seharusnya negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang–undang

Dasar 1945, memfungsikan seluruh kekuasaan negara salah satu melalui sarana

mewujudkan kesejahteraan umum dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman.

Secara yuridis, politik hukum alasan mengapa Peradilan Agama dimasukkan

ke dalam lingkungan peradilan di Indonesia adalah bahwa Negara Republik

Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang–undang

600
Munawir Sjadzali, “Keberadaan Departemen Agama Merupakan Jaminan Bahwa
Republik Indonesia Bukan Negara Sekuler”, dalam Rachmat Djatnika. 1991. Hukum Islam di
Indonesia Perkembangan dan Pembentukan. Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm.75.
601
Sirajuddin M. 2008 . Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, hlm.v.
387

Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,

tentram, dan tertib.602 Pasal 27 ayat (1) Undang–undang Dasar 1945 menyatakan:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Sedangkan Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang–undang Dasar 1945 juga menyatakan:

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu

Untuk mewujudkan tata kehidupan seperti itu dan untuk menjamin

kesederajatan kedudukan warga negara di dalam hukum diperlukan upaya

menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu

memberikan pengayoman atas warga masyarakat. Salah satu upaya menegakkan

keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui

lembaga Peradilan Agama.

Dalam Undang–undang Dasar 1945, satu-satunya pasal yang jelas berbicara

tentang kekuasaan kehakiman adalah Pasal 24, sebagai berikut :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)

602
Baca Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
388

Dari landasan konstitusi tersebut, dapat dipahami bahwa Peradilan Agama

salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah

Agung bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan, yang dibekali dengan

Undang-Undang organik yaitu Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman jo Undang–undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah

Agung jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009..Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, sebagai norma

hukum antara603 yang memberi ruang lingkup tujuan kekuasaan kehakiman, serta

tertib kelembagaan peradilan negara yang berada dalam suatu kekuasaan

kehakiman. Sedangkan menyangkut ruang lingkup fungsi masing-masing peradilan

negara diatur dengan sebuah undang-undang secara lex specialis, meyangkut

fungsi, kewenangan memberikan layanan hukum, sesuai dengan kebutuhan hukum

dan kesadaran hukum masyarakat.604

Landasan konstitusi dan undang-undang organik yang mendasari

operasionalisasi kekuasaan kehakiman tersebut di atas, dikreativitas melalui jalur

politik hukum yang melahirkan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

603
Meminjam teori hukumnya Hans Kelsen atau Stufenbau des rechts. Lihat Lili Rasjidi,
1991, Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?), Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 45. Menurut
teori ini berlakunya suatu hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi
kedudukannya yakni: 1) ada cita-cita hukum atau rechtsidee yang merupakan norma
abstrak; 2) ada norma antara atau tussen norm, generelle norm, law in books yang dipakai
sebagai perantara untuk mencapai cita-cita; dan 3) ada norma konkrit atau concrete norm,
sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan. Lihat Taufiq,
”Transformasi Hukum Islam ke Dalam Legislasi Nasional”, Jurnal Mimbar Hukum No. 49
Tahun XI, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Juli-Agustus 2000, hlm. 8.
604
Bustanul Arifin, “Peradilan Agama di Indonesia”, Mimbar Hukum, No.10. Thn.IV,
1993, hlm.1.
389

Peradilan Agama605, kemudian dirubah menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Seharusnya

undang-undang Peradilan Agama tersebut berjalan diatas politik hukum yang

membentuk fungsi Peradilan Agama sesuai dengan landasan konstitusi dan undang-

undang organiknya. Serta diproyeksikan ke depan sesuai dengan politik hukum yang

tercermin dalam Program Pembangunan Nasional di bidang hukum, pada sub

program pembentukan peraturan perundang-undangan, yang menegaskan adanya

program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya.

Sasaran program tersebut adalah terciptanya lembaga peradilan dan lembaga

penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak

lain, dengan tetap mempertahankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.

5.3.6. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia

Isu hukum kewenangan Peradilan Agama yang timbul dari adanya suatu

fenomena, polemik atau delimatis dari aturan serta implikasi hukum Peradilan

Agama, mempunyai ekses yang sangat luas dalam masyarakat hukum sebagai

pencari keadilan, para praktisi hukum (pengemban praktik) dan para penstudi

(pengemban teoritik) hukum Peradilan Agama. Sehingga diperlukan suatu bentuk

penjabaran secara konkret, aktual, dan faktual untuk mengeliminasi topik persoalan

yang menjadi perguncingan tentang norma hukum yang mengakibatkan titik taut

605
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut
selain merupakan peristiwa hukum dan peristiwa politik, sangat erat kaitannya dengan
keyakinan umat. Muchtar Zarkasyi, “Kerangka Historis Pembentukan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989”, (ed), Mimbar Hukum, No. 1 Thn.I, 1990, hlm.1.
390

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum

sebagai berikut:

5.3.6.1. Isu Hukum : Latar Belakang Kelahiran Pasal 50 Ayat (1) dan (2)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Yang Mengakibatkan Titik Taut

(aanknopingspunten) Kewenangan Antara Peradilan Agama dan

Peradilan Umum

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan yang tersurat dalam norma hukum,

sangat ditentukan oleh latar belakang sejarah kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tidak tersentuh oleh Undang-

undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pasal tersebut memiliki hubungan yang sangat kuat dengan realita sejarah,

realita norma hukum dan realita politik hukum yang menunjukkan bahwa adanya

konflik kepentingan antara kekuatan atau kekuasaan yang berhadapan dengan

system hukum Islam. Sehingga diasumsikan norma hukum yang mengakibatkan titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan

umum bukanlah terjadi secara alamiyah, melainkan ada unsur kesengajaan, yakni

ditimbulkan oleh pola pikir sistem kolonialisme pada masa penjajahan, yang

kemudian pola pikir tersebut hidup dan berkembang serta melahirkan rekayasa dari

pihak-pihak yang tidak menghendaki perkembangan hukum Islam, khususnya

Peradilan Agama pada masa lalu dan hingga sampai saat ini.

Peneliti berpendapat, jika titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum murni disebabkan oleh karena konflik
391

kepentingan, yang mengandung arti konflik nilai–nilai sosial dan budaya secara

wajar. Maka akan selesai dengan sewajarnya, karena setiap masyarakat memiliki

daya serap dan daya adaptasi terhadap system nilai asing, namun jika konflik sistem

nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artificial (buatan)

sesuai dengan kebutuhan politik, maka sulit menghapus konflik itu secara tuntas.

Pandangan peneliti terhadap latar belakang kelahiran Pasal 50 Ayat (1) dan (2)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik taut (aanknopings

punten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, adalah hasil

dari politik artificial (buatan) bukan karena timbul secara wajar, dengan

pertimbangan-pertimbangan yang dilandasi dari hasil temuan dan pembahasan

dalam disertasi ini, sebagai berikut:

Pertama, pertimbangan politik hukum dalam perspektif sejarah, karena tidak

dapat dilepaskan dari sejarah, artinya lahirnya institusi Peradilan Agama bukan

institusi yang “a-historis” melainkan “historisch bepaald”. Di mulai sejak

ditemukannya dalam ajaran Islam ada norma yang mengatur tentang peradilan,

dipraktekkan dalam wujud yang sangat sederhana dengan sebutan lembaga

”tahkim”, tumbuh dan berkembang lembaga tersebut seiring dengan tingkat

kesadaran606 hukum607 masyarakat muslim dalam masa sistem pemerintahan

606
Menurut Bierstedt, keberlakuan sosiologis suatu kaidah hukum ditentukan oleh
kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma hukum, didasarkan kepada 4 (empat) hal
yaitu: 1) indoktrination, membicarakan tentang kenapa masyarakat mematuhi atau taat
kepada hukum, adalah karena masyarakat telah mengalami indoktrination untuk berbuat
sejak dari masa kecil manusia dididik untuk taat pada hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. 2) habituation, sejak kecil manusia atau masyarakat telah mengalami proses
sosialisasi, sehingga membentuk masyarakat yang taat kepada hukum. 3) utility,dikarenakan
sudah merupakan kodrat manusia yang hendak hidup dalam tatanan yang tertaur.akan tetapi
teratur menurut seseorang belum tentu teratur menurut orang lain; dan 4) group identification,
patuh kepada hukum merupakan salah satu untuk mengadakan identifikasi dengan
392

kesultanan atau kerajaan Islam sebagai satu-kesatuan, yang mengakui sebagai

hukum positif. Kondisi tersebut secara perlahan-lahan berubah, sesuai dengan

kebutuhan serta target politik dan ekonomi dari pemerintah kolonialisme Belanda.

Digerakan melalui politik hasil artificial intelektual kolonialisme yang mencoba

mengubah kesetiaan, kesadaran umat Islam dalam memahami dan menjalankan

ajaran agama Islam, karena dianggap sebagai tantangan untuk mewujudkan cita-cita

kolonialisme.

Pola pikir politik kolonialisme tersebut masih menjelma dalam politik hukum

pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang

terkemas dalam pertimbangan bahwa: Peradilan Agama sebaiknya sebagai sub

sistem Peradilan Umum, adanya anggapan bahwa tidak ada hubungan antara

negara dengan agama. Hal ini bertolak belakang dengan konsep negara hukum

Pancasila, seperti yang dikonstruksikan kebenarannya dalam teori lingkaran

konsentris, menunjukkan eratnya hubungan antara agama, hukum dan negara.

Kedua, pertimbangan hukum dari perspektif hirarki norma dan elaborasi norma.

Diasumsikan bahwa kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor

3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan

antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, tidak mencerminkan kinerja

prasyarat hirarki norma dan elaborasi norma dari yang lebih tinggi. Pangkal hirarki

norma diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :

kelompoknya. Lihat Bierstedt. 1985. The Social Order. Tokyo. Mc. Graw Hill Kogakusha.
hlm. 227-229.
607
Paul Scholten menegaskan bahwa kesadaran hukum itu adalah tidak lain dari
pada suatu kesadaran yang ada di dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan
taat kepada hukum. Lihat Abdurrahman.1979. Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan
di Indonesia. Alumni. Bandung.
393

“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur

dalam undang-undang”. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (3) dari Undang–

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa:

“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan

negara yang diatur dengan undang-undang”. Dari dasar normatif tersebut

mengandung prinsip pembagian kekuasaan kehakiman ke dalam 4 (empat)

lingkungan badan peradilan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang secara

tersendiri sebagai ruang lingkup kekuasaan (kompetensi) masing.masing badan

peradilan. Terkait dengan lahirnya norma hukum Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan, tidak mencerminkan maksud dan tujuan politik

hukum mengamanahkan agar dilakukan manajemen pendistribusian dan pembagian

kewenangan diantara lembaga peradilan negara untuk mewujudkan kekuasaan

kehakiman yang merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagai

tindak lanjut dari hirarki norma dan elaborasi norma.

Ketiga, pertimbangan kinerja partai politik dalam moment agenda reformasi

hukum sebagai sarana mewujudkan nilai dari tuntuan sejarah dan tuntutan hukum,

yang difokuskan pada masa amandemen undang-undang Peradilan Agama.

Mencermati peran legislatif dalam kurun waktu politik hukum pembentukan yang

tercermin dari peran partai politik yang berasaskan perjuangan nilai-nilai ajaran Islam

ternyata sangat kecil, untuk mengkritisi masalah teknis yuridis yang menyangkut

kewenangan Peradilan Agama. Upaya pembaharuan tersebut tidak membuahkan

hasil yang signifikan untuk mewujudkan “kemerdekaan” dan “kemandirian”

kewenangan Peradilan Agama. Terkait dengan latar belakang lahirnya Pasal 50


394

ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengakibatkan titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan, hanya ada 1 (satu) fraksi dari Partai

Kebangkitan Bangsa yang memperjuangkan kewenangan teknis yuridis Peradilan

Agama, yang terwujud dalam Pasal 50 ayat (2), tanpa menolak gangguan atau

disturbance yang menjelma dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006. Lebih parah lagi pola pikir politik hukum titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan Peradilan Agama dengan Peradilan Umum menjelma ataupun bias

titik taut (aanknopings punten) ditemukan dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah.

Pandangan peneliti seputar kelahiran Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006, yang bias ke dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah, dapat disimpulkan bahwa masih

di warnai oleh politik hukum artificial yang menyimpang dari prinsip hirarki norma dan

elaborasi norma. Diperparah dengan lemahnya peran dan posisi tawar elit politik

Islam dalam lembaga legilsatif terhadap masalah teknis yuridis yang terkait dengan

kewenangan Peradilan Agama mengalami reduksi kewenangan dalam konsep

kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan. Hal ini

sesuai dengan ungkapan Daniel S. Lev bahwa: keadaan politik dan sosial dalam

lembaga-lembaga Islam itu terbentuk tidaklah keseluruhannya menguntungkan. Para

penguasa politik, walaupun lahir memeluk agama Islam, tetapi sering bersikap

bermusuhan dan kadang-kadang malah mempunyai kekhawatiran terhadap tekanan-

tekanan dari golongan Islam.608

608
Daniel S. Lev. Op.Cit. hlm.23.
395

5.3.6.2. Isu Hukum : Titik Taut (aanknopingspunten) Kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum Semata Mata Untuk Mencapai

Tujuan Hukum Atau Karena Faktor Kepentingan dan Politik Hukum

Memahami norma hukum yang mengandung titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan dari perspektif tujuan hukum atau politik hukum, dapat dipahami

dengan mempergunakan pandangan menurut pendapat Idfhal Khasim, tentang

metode hukum kritis memungkinkan untuk mengungkapkan bagaimana doktrin

hukum diciptakan dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem

sosial tertentu. Dengan kata lain studi hukum kritis ingin menunjukkan signifikan

tentang adanya politik dibalik doktrin-doktrin hukum yang akan mengungkapkan

hidden political intentions di belakang doktrin hukum.609

Untuk mengungkap motif tujuan hukum atau faktor kepentingan dari Pasal 50

ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menimbulkan titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan

Umum, dapat dianalisis dari pandangan Roberto Mangabeira Ungger tentang critical

legal studi, yang merupakan sebuah metode pencarian (inquiry) adalah, dengan

maksud untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti (politik, ekonomi, sosial,

budaya, etnik, gender serta agama) tentang hakikat hukum yang sebenarnya. 610

Dengan menyandarkan kepada dua kajian pendekatan yaitu : formalism dan

objectivisme. Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

yang menimbulkan titik taut (aanknopingspunten) kewenangan. Jika dipahami dari

609
Ifdhal Kasim.Op.Cit hlm.28.
610
Hamdhany Tenggara.2002. “Critical Theory, Critical Legal Theory, Critical Legal
Studies”, Bahan Kuliah, Perbandingan Hukum Perdata. Program Pasca Sarjana Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin.
396

sudut formalism merupakan suatu komitmen yang terbentuk dengan adanya suatu

pemahaman kebenaran tentang tradisi kolektif, yang lebih cendrung berdaya tipu

muslihat dengan upaya penyelundupan hukum lewat beberapa tahapan

pembentukan hukum.

Jika ditelaah dari perspektif objectivisme terhadap Pasal 50 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menimbulkan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan, dapat dilakukan suatu uji kebenaran dengan

menghadapkan kepada rasionalitas dengan konsep ideologi, filosofis atau visioner

dan realita kehidupan sosial. Maka norma hukum yang menyebabkan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan tersebut sebagai materi hukum yang otoritatif,

bertolak belakang dengan rasionalitas kekuasaan kehakiman yang “merdeka” dari

perspektif teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara dan teori perundang-

undangan. Demikian pula dari tujuan hukum sebagai wujud “ketertiban”, maka tidak

memiliki nilai kepastian aturan, kepastian kelembagaan, kepastian mekanisme dan

kepastian waktu dan prediksi. Kerugian terbesar adalah tidak adanya kemanfaatan

(faedah) bagi pencari keadilan dalam kepastian hukum.

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan

Peradilan umum tersebut jika dipahami dari teori politik hukum merupakan sebuah

kelanjutan atau kelangsungan politik Islam Hindia Belanda yang masih hidup dan

berkembang dalam cerminan politik hukum pembentukan Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan cerminan politik hukum prinsip pilihan

hukum.

Disimpulkan bahwa titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak memiliki maksud untuk mencapai tujuan
397

hukum ketika dipahami dari perspektif objectivisme yang diuji kebenaran rasionalitas

dengan konsep ideologi, filosofis atau visioner dan kehidupan sosial dari lembaga

Peradilan Agama. Tetapi sebaliknya norma hukum titik taut (aanknopingspunten)

merupakan formalism yang harus diterima secara mapan kebenarannya, dengan

mengabaikan objectivisme norma hukum yang menyebabkan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan.

5.3.6.3. Isu Hukum : Konsep Penyelesaian Titik Taut (aanknopingspunten)

Kewenangan Untuk Mewujudkan Kemandirian Peradilan Agama Yang

Selaras Dengan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Berbasis

Reformasi Birokrasi

Pandangan peneliti terhadap konsep penyelesaian titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan

Umum, dapat disandarkan pada ungkapan Dimitri Mahayana yang mengutip

pendapat Stephen Covey, seorang pengarang buku best seller ternama “7 habits of

highly effective people”, mengatakan bahwa: segala sesuatu diciptakan dua kali yaitu

di alam pikiran alam mental, kemudian baru direalisasikan di alam nyata”.611 Konsep

konstruksi mental dan realisasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Pertama, perspektif teori harus dipahami dalam hubungan dengan tujuan

hukum, yaitu konsep teori pemisahan dan pembagian kekuasaan negara yang

selanjutnya diturunkan menjadi konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan

dalam perspektif kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat dilakukan dengan metode

“elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” sebuah ranah manajemen

611
Dimitri Mahayana.1999. Menjemput Masa Depan, Bandung. PT Remaja
Rosdakarya. Cet.1, hlm.v
398

pendistribusian dan pembagian kekuasaan Negara guna mewujudkan pelayanan

publik di bidang hukum khususnya. Untuk mewujudkan independensi lembaga

peradilan dalam perspektif kekuasaan kehakiman. Bisa dilakukan dengan cara

perbandingan untuk menarik konsep pelaksanaan dan wewenang kekuasaan

kehakiman dalam tradisi Islam. Yang selanjutnya di filterisasi melalui cita-cita hukum

atau rechtsidee yang merupakan norma abstrak, kemudian di harmonisasi dengan

norma antara atau tussen norm, generelle norm, law in books yang dipakai sebagai

perantara untuk mencapai cita-cita dalam konteks hukum positif Indonesia.

Kedua, mempertimbangkan makna dan penurunan asas-asas pemerintahan

umum yang baik sebagai asas mendasari norma hukum yang mengatur organ

lembaga Peradilan Agama. Dioperasionalkan secara khusus dengan cara

pemaknaan dan penurunan asas hukum kewenangan Peradilan Agama, yang

meliputi asas personalitas keislaman, asas formalitas keislaman, dan asas

penundukan diri ke dalam norma hukum. Khusus terkait dengan asas formalitas

keislaman, dijadikan sebagai parameter lembaga persitiwa hukum. Sedangkan asas

penundukan diri dibagi menjadi dua pengertian yaitu: asas penundukan diri dalam

hukum materil dijadikan sebagai parameter bagi orang yang beragama Islam.

Sedangkan penundukan diri dalam hukum-hukum formal, dijadikan sebagai

parameter bagi orang tidak beragama Islam.

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan sebuah asas yang dicita-

citakan sebagai asas yang mencerminkan tujuan ideal penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman, dalam perspektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencari

keadilan. Asas tersebut merupakan sebuah asas impian yang sulit untuk ditemukan

dalam kondisi birokrasi lembaga peradilan disebabkan norma hukum mencerminkan


399

keadilan procedural lebih dominan. Oleh sebab itu tata cara membangun lembaga

peradilan yang berbasis reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan cara

menerapkan asas kepastian hukum,612 asas tertib penyelenggaraan negara,613asas

proporsionalitas,614 asas profesionalitas615 dan; asas akuntabilitas,616 sebagai asas-

asas yang dapat mempercepat tercapainya asas sederhana, cepat dan biaya ringan

dalam rangka penyelenggaraan kewenangan Peradilan Agama berbasis reformasi

birokrasi.

Untuk terwujudnya konsep penyelesaian titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan untuk mewujudkan kemandirian Peradilan Agama agar selaras dengan

asas sederhana, cepat dan biaya ringan berbasis reformasi birokrasi. Dihubungkan

dengan pendapat Philipus M Hadjon, terdapat beberapa persyaratan untuk

mendukung reformasi birokrasi tersebut adalah: 617

1. Berbasis pada kedaulatan rakyat, dimana terdapat ruang bagi rakyat untuk

dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan politik yang

berorientasi pada konsensus rakyat.

612
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara.
613
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
614
Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban Penyelenggara Negara.
615
Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
616
Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
617
Philipus M Hadjon, 1993 (et.all). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Administrative Law), Gajah Mada University, Yogyakarta, hlm.28.
400

2. Pembentukan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, kondisi

obyektif, dan karakter sosial ekonomi dan budaya rakyat.

3. Perimbangan kekuasaan dalam hubungan antar lembaga yang dapat

melakukan chek dan balance.

4. Pembagian kewenangan yang jelas di antara bidang-bidang pemerintahan yang

sesuai dengan tugas dan fungsinyanya, namun memiliki sinergi satu dengan

lainnya.

5. Fungsi manajemen pemerintahan yang berdasarkan pada rasionalitas,

obyektifitas, efektifitas, efisiensi dan transparansi.

6. Lembaga legislatif yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam hal

melakukan fungsi kontrol, legislasi dan perumusan kebijakan pemerintah.

7. Kemampuan lembaga legislatif untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap

eksekutif, dan fungsi legislasi yang senantiasa didasarkan pada pemahaman

dan pengakuan terhadap heterogenitas dan aspirasi rakyat.

8. Visi, misi dan tujuan yang jelas dalam menetapkan strategi kebijkan pemerintah

yang responsive terhadap perubahan rakyat.

9. Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Beberapa prasyarat penting di atas, dapat dijadikan sebagai parameter politik

hukum dalam menata norma hukum kewenangan Peradilan Agama sebagai salah

satu penyelenggaraan pelayanan publik di bidang layanan hukum, harus ada

perubahan paradigma yang tercermin dalam norma hukum bahwa bukan orientasi

kerja birokrasi, tetapi kepada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat atau publik

sebagai pencari keadilan yang harus mendapat pelayanan secara berkeadilan dan

berkepastian hukum.
401

Ketiga, pemanfatan peluang politik hukum yang dijamin secara konstitusional

tercermin dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagai cita-cita hukum atau

rechtsidee, kemudian dielaborasi dalam Pasal 2 ayat (3) dari Undang–undang

Nomor 48 Tahun 2009, terkait dengan bangunan kekuasaan kehakiman. Sebagai

berikut:

Skema XIII

Konsep Ideal Pelaku Kekuasaan Kehakiman

Dari skema yang dibangun dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, format struktur, fungsi dan


402

kewenangan masing-masing lembaga peradilan negara memiliki kemandirian untuk

mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Konsep ideal pelaku kekuasaan kehakiman tersebut, akan dapat diwujudkan

dengan cara dikonstruksi melalui “elaborasi norma” dan “penurunan prinsip norma”

dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan

mempertimbangkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang tersurat dan

tersirat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian memfungsionalkan norma hukum

yang mengatur pembagian kewenangan pelaku kekuasaan kehakiman,

sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan bahwa :

(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan

Kehakiman harus teroperasionalkan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2008 yang menegaskan : “Semua peradilan di seluruh


403

wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan

undang-undang”.

Salah satu konsep yang dijadikan pijakan bagi pencari keadilan yang

berhadapan dengan masalah titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara

Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, dapat ditempuh dengan mempedomani

norma hukum yang mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan, diatur

dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2008

tentang Kekuasaan Kehakiman.

5.3.7. Pedoman Bagi Praktisi Hukum Untuk Menentukan Suatu Perkara yang

Menjadi Kewenangan Peradilan Agama

Bagi kalangan pengemban praktisi hukum, titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan umum tidak dapat dielakan

dalam perspektif Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian dirubah

menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.

Bentuk titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama

dan Peradilan umum tersebut, bersumber dari norma hukum yang terdapat dalam

Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka

diperlukan pedoman sebagai langkah praktis dalam memahami ruang lingkup

kewenangan, sebagai berikut:


404

Skema XIV

Pedoman Praktis Bagi Praktisi Hukum


Sesuai Standar Ketentuan Yuridis Formal

Agama Nonislam
Fakta
Agama Islam

Orang
Subjek Hukum Obyek Hukum
Badan Hukum
Hak Milik/
Persitiwa Hukum Keperdataan Lainnya

Pasal 49

Kewenangan Kewenangan
Asas Hukum Peradilan Agama Peradilan Umum

Asas Personalitas Keislaman

Asas Formalitas Keislaman Pasal 50 ayat (1)

Asas Penundukan Diri


SEcara Sukarela
Pasal 50 ayat (2) Norma Hukum

Berlakunya Hukum
(Toepasselijk Verklaring)

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan dalam Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena adanya pembidangan kewenangan

yang didasarkan pada ketentuan yuridis formal, sebagai berikut: pertama,

pembidangan status subjek hukum yang tunduk dan dapat ditundukan kepada

kewenangan Peradilan Agama; kedua, pembidangan kewenangan mengadili

sengketa hak milik atau keperdataan lainnya diatur secara berbeda bagi orang yang

beragama Islam dan beragama non muslim.


405

Dalam parktek pembuktian dan penentuan sengketa hak milik dalam perkara

waris dan harta bersama dalam perspektif kewenangan mengadili, maka ada

beberapa faktor untuk menentukan sengekta milik menjadi wewenang Peradilan

Agama atau wewenang Peradilan Umum yang berhak mengadili, sebagai berikut:618

1. Dilihat dari subjek hukumnya yaitu:

a. Jika subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam (asas

personalitas keislaman), maka obyek sengketa tersebut diputus oleh

Peradilan Agama, baik dalam masalah sengketa milik dibidang kewarisan

maupun di bidang harta bersama, hal ini sesuai dengan Pasal 50 ayat (2)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi: “Apabila terjadi sengketa

hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya

antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus

oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 49”.

b. Jika subjek hukumnya antara orang-orang beragama Islam misalkan dalam

sengketa waris antara A dan B menurut A obyek sengketa waris seluruh

nya dikuasai oleh B, sementara B menyatakan obyek sengketa sudah dijual

kepada orang lain (pihak ketiga) namun pihak lain itu semuanya

beragama Islam, maka hal yang demikian ini menurut Ibu Mariana Sutardi

(Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial) menjadi wewenang

Peradilan Agama. Namun jika obyek sengketa tersebut dikuasai oleh pihak

lain (pihak ketiga) beragama non Muslim, maka sengketa milik diajukan ke

618
Lihat Materi Pelatihan Hakim Se-Jabodecitabek di Gedung MARI ,Jakarta tanggal.
31- 01 April 2008.
406

Peradilan Umum terlebih dahulu, oleh karenanya gugatan penggugat harus

dinyatakan tidak diterima (NO), sambil menunggu putusan Peradilan Umum

yang sudah Inkracht, setelah itu baru dapat diajukan kembali ke Peradilan

Agama dalam bentuk gugatan baru. Hal ni sejalan juga dengan Pasal 50

aya (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi : “Dalam hal terjadi

sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus

diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.

c. Jika kasus pembagian harta bersama ataupun sengketa waris yang subjek

hukumnya seluruhnya beragama Islam, meskipun ada intervensi tentang

ada hak milik pihak lain, maka terhadap obyeknya tersebut tetap diputus

oleh Peradilan Agama.

2. Dilihat dari obyek hukumnya yaitu :

a. Jika obyek sengketanya berdasarkan Hukum Islam seperti sengketa di

bidang Ekonomi Syari‟ah, maka yang berhak mengadili adalah Peradilan

Agama, sebab Ekonomi Syari‟ah adalah lembaga yang bergerak

berdasarkan pada usaha yang dilaksanakan menurut ketentuan Syari‟at

Islam (sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006).

b. Jika obyek sengketanya telah diajukan oleh pihak yang berkeberatan

dengan mengajukan bukti ke Peradilan Agama, bahwa obyek sengketa

tersebut telah didaftarkan gugatannya di Peradilan Umum dengan obyek

sengketa yang sama dengan sengketa di Peradilan Agama, maka menurut

Mantan Wakil Ketua MARI Bidang NonYudisial, H,M.Syamsuhadi Irsyad


407

Perkara tersebut harus ditangguhkan. Namun bila bila obyek sengketanya

lebih dari satu obyek dan yang tidak terkait dengan obyek sengketa yang

diajukan keberatannya, Peradilan Agama tidak perlu menangguhkan

putusannya terhadap obyek sengketa yang tidak terkait dimaksud.

Kemudian permasalahan kedua untuk membuktikan bahwa sengketa milik di

bidang kewarisan dan harta bersama tersebut adalah wewenang Peradilan Agama

atau wewenang Peradilan Umum, maka ada beberapa bukti (asas formalitas) yang

dapat dijadikan dasar antara lain sebagai berikut :619

1. Buku Kutipan Akta Nikah (Merupakan alat bukti otentik) dengan melihat kepada

asas personaliatas keislaman sebagai contoh jika suami isteri melangsungkan

pernikahan secara Islam , kemudian keduanya bercerai di Pengadilan Agama

setelah bercerai salah satu dari mereka pindah ke Agama lain (Non

Muslim)dan mengajukan pembagian harta bersama yang diperoleh selama

perkawinan , maka hal yang demikian adalah wewenang Pengadilan Agama

untuk menyelesaikan sengketa harta bersama tersebut meskipun salah satu

dari mereka telah pindah agama.,dengan alasan karena harta perkawinannya

diperoleh dalam ikatan perkawinan yang dibangun secara Islam. Hal ini selaras

dengan pendapatnya M.Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung) yaitu: untuk

menentukan/patokan asas personalitas ke Islaman berdasar “saat terjadi”

hubungan hukum , ditentukan oleh dua syarat : 1) Pada saat terjadi hubungan

hukum kedua pihak sama-sama beragama Islam, 2) Hubungan ikatan hukum

yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam.

619
Ibid
408

2. Bukti kependudukan (KTP atau keterangan Domisili) yang sah . Meskipun alat

bukti tersebut hanya untuk menentukan yurisdiksi para pihak , namun

didalamnya mengandung unsur penting tentang Agama / keyakinan para pihak

sebab pengakuan saja tidak cukup dan alangkah lebih kuat sebuah pembuktian

disamping pengakuan kemudian dikuatkan dengan bukti otentik yang

menyatakan dirinya beragama Islam, otomatis jika terjadi sengketa milik

dengan melihat bukti KTP atau Domisli menjadi wewenang Pengadilan Agama

.Hal inipun sesuai dengan pendapatnya M.Yahya Harahap (Mantan Hakim

Agung) Yaitu: Patokan menetukan ke Islaman seseorang didasarkan pada

faktor “Formil” tanpa mempersoalkan kualitas ke Islaman yang bersangkutan.

Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas

personalitas keislaman . Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus

kependudukan, SIM dan surat keterangan lain.

3. Bukti pendaftaran perkara mengenai obyek yang sedang disengketakan telah

didaftarkan ke PN oleh pihak Non Muslim (sebagai bukti surat gugatan yang

sudah diberi nomor perkara disertai dengan kwitansi panjar biaya perkara dari

PN tersebut) dan terbukti Dia mengajukan eksepsi ke Pengadilan Agama ,

maka dalam hal ini obyek sengketa tersebut harus diperiksa dan diputus lebih

dahulu oleh Pengadilan Umum. Hal ini untuk menghormati hak dan rasa

keadilan non muslim.

4. Agama Pewaris (asas personalitas ke Islaman) dalam hal ini jika seorang anak

yang tidak beragama Islam (non muslim) bersengketa dengan saudara-

saudaranya yang beragama Islam tentang pembagian warisan almarhum

ayahnya yang selama hidupnya beragama Islam, maka dalam kasus ini
409

Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan perkara Warisan tersebut,

sebab harta tersebut, adalah peninggalan Almarhum ayahnya yang semasa

hidupnya beragama Islam 620.

Dari materi pelatihan hakim sebagai pedoman parktek pembuktian dan

penentuan sengketa hak milik dalam perkara waris dan harta bersama dalam

perspektif kewenangan mengadili terurai diatas, dijadikan sebagai titik taut penentu

(secundaire aanknopingspunten atau secondary points of contanct), yaitu fakta-fakta

yang menentukan hukum mana dan kewenangan peradilan mana yang harus

berlaku.

Peneliti menyetujui konsep pembuktian dan penentuan sengketa hak milik

dalam perkara waris dan harta bersama dalam perspektif kewenangan mengadili.

Tetapi peneliti menyarankan agar lebih konkrit terhadap konsep penentuan

kewenangan mengadili dilihat dari obyek hukumnya dan beberapa bukti (asas

formalitas), seperti bukti pendaftaran perkara mengenai obyek yang sedang

disengketakan, dijadikan dasar untuk dapat ditundukan ke salah satu kewenangan

peradilan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyandarkan kepada asas pilihan

hukum dan asas penundukan diri secara sukarela dengan alasan-alasan sebagai

berikut:

620
Lihat asas-asas dalam hukum antar golongan, salah satunya adalah asas warisan
seseorang diatur oleh hukum personil orang yang mewariskan. Asas ini berasal dari Hukum
Perdata Internasional dan diikuti oleh yurisprudensi Indonesia. Gouwgioksiong di dalam
bukunya Hukum Antar Golongan mengemukakan beberapa putusan pengadilan yang
semuanya mengandung asas ini, yaitu: Putusan Hooggerechshof (HgH) 28 Mei 1885 dalam
Tijdschrift van het Recht (T) Jilid 45/20; Putusan Landraad 26 April 1925 dikuatkan oleh
R.v>J. Makasar 6 Desember 1929 dan 20 Juni 1930 (T.1933/327); Putusan R.V.J. Jakarta 8
Desember 1933 (T.139/91). Lihat Sunarjati Hartono, 1989, Op.Cit, hlm.87.
410

Pertama, dalam sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dapat

diberlakukan asas pilihan hukum karena perbedaan status agama para pihak.

Sesuai dengan asas hukum antar golongan mengenai pilihan hukum menyangkut

persoalan penundukan diri secara sukarela pada seluruh atau sebagian hukum.

Kedua, dalam sengketa hak milik atau keperdataan lainnya, pilihan hukum

hanya dimungkinkan kedua arah yaitu, penundukan diri secara sukarela terhadap

kewenangan Peradilan Agama jika tidak ada bukti telah didaftarkan gugatan ke

Peradilan Umum atau penundukan diri terhadap kewenangan Peradilan Umum jika

ada bukti telah didaftarkan gugatan ke Peradilan Umum.

Ketiga, untuk pihak yang beragama nonislam dapat diberlakukan penundukan

diri secara sukarela pada seluruh kewenangan Peradilan Agama. Tetapi untuk pihak

yang beragama Islam hanya diberlakukan penundukan diri secara sukarela pada

sebagaian kewenangan Peradilan Umum. Karena sifat hukum (juridical nature) dari

istilah hukum yang digunakan yaitu asas personalitas keislaman, yang dipertegas

dalam norma hukum Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, berbunyi : Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang

yang beragama Islam”. Dihubungkan dengan kewenangan absolut Peradilan Agama

diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.

Keempat, penundukan diri salah satu pihak baik yang beragama Islam atau

nonislam dapat dilakukan kepada salah satu kewenangan Peradilan Umum atau

Peradilan Agama dengan alasan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya

merupakan wilayah hukum netral bukan hukum sensitif yang memiliki makna

imperatif.
411

Memperhatikan ketentuan yuridis formal yang terdapat dalam Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006. Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka standar pedomaan praktis

yang dapat dijadikan pedoman bagi praktisi hukum dalam menentukan ruang lingkup

kewenangan Peradilan Agama sebagai berikut:

Langkah pertama, mempertimbangkan fakta621 yang berhubungan dengan

status atau kedudukan subjek hukum, dianalisis dengan asas-asas yang

menegaskan ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama, meliputi: 1) asas

personalitas keislaman; 2) asas formalitas keislaman; dan 3) asas menundukan diri

secara sukarela (Vrijwillige Onderwerping) terhadap hukum Islam. Kedudukan atau

status subjek hukum sebagai titik taut primer (primary points of contact) atau titik taut

pembeda

Langkah kedua, mempertimbangkan fakta yang berhubungan dengan status

obyek hukum, kemudian dianalisis keterkaitannya dengan subjek hukum yang

mencari keadilan serta uraian duduk perkara (posita) yang mendalilkan perlunya

pemulihan dan pemenuhan hak pencari keadilan.

Langkah ketiga, mempertimbangkan fakta yang dituangkan dalam sebuah

duduk perkara (posita) berisi uraian subjek hukum dan obyek hukum, kemudian

disimpulkan tentang peristiwa hukum yang terjadi. Apakah dapat diajukan ke dalam

621
Cara berbuat menentukan apakah suatu persitiwa itu merupakan suatu peritiwa
hukum dinamakan kualifikasi fakta (qualification of fact). Tiap-tiap peristiwa terdiri dari
sekumpulan (serangkaian) fakta-fakta. Apabila kumpulan fakta-fakta atau peristiwa
merupakan peristiwa hukum dengan melihat kepada kaedah-kaedah hukum yang berlaku.
Ibid. hlm.90.
412

suatu persidangan dengan terlebih dahulu menentukan badan peradilan mana yang

memiliki kewenangan untuk menerima, memriksa dan mengadili perkara tersebut.

Langkah keempat, mempertimbang kesimpulan peristiwa hukum yang telah

disimpulkan, dilanjutkan dengan memperhatikan pedoman norma yang tertuang

sebagai pedoman yuridis formal diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006, berkenaan dengan ruang lingkup persitiwa hukum yang dapat

digolongkan menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Langkah kelima, setelah menyimpulan kategorisasi peristiwa hukum,

dilanjutkan dengan mempertimbangkan ketentuan yuridis formal yang telah

mengatur pembidangan kewenangan Peradilan Agama dan kewenangan Peradilan

Umum untuk menyelesauikan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya dengan

parameter status agama pencari keadilan. Seperti diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Disimpulkan pedoman praktis bagi para praktisi hukum dalam menentukan

ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dapat dilakukan dengan cara menelaah

secara sistemik tentang fakta, status subjek hukum sebagai titik taut primer (primary

points of contact) atau titik taut pembeda, status obyek hukum yang disengketakan,

menyimpulkan peristiwa hukum yang terjadi. Peristiwa hukum tersebut ditafsirkan

melalui ketentuan yuridis formal yang menegaskan ruang lingkup bidang-bidang

yang menjadi kewenangan Peradilan Agama yaitu Pasal 2, Pasal 49 dan Pasal 50

ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


413

Sebuah pandangan penulis, sekalipun objek penelitian ini hanya satu

“Kewenangan Peradilan Agama”, namun masalahnya merupakan proyeksi dari

berbagai masalah lain yang terkait, sehingga untuk memberikan pemahaman yang

holistik integral, ke depan norma hukum yang mendelegasikan kewenangan

Peradilan Agama perlu dilihat dari aspek dan dimensi, meliputi :

1). Teori perundang-undangan

2). Kedudukan cita hukum dalam sistem hukum di Indonesia.

3). Konsep hubungan agama dan negara di Indonesia.

4). Fries ermessen dan prinsip good governance dalam pemerintahan sejauh

mana kewenangan intervensi kekuasaan negara dalam masalah agama.

5). Pandangan hidup bangsa Indonesia tentang posisi keberadaan manusia.

6). Tujuan dan dasar negara Indonesia.

7). Hak Asasi Manusia di bidang kehidupan beragama.

8). Fungsi hukum bagi manusia.

9). Hubungan hukum dan kekuasaan.

10). Filsafat, logika dan bahasa.

11). Bahasa hukum dan bahasa kekuasaan.

12). Sejarah, kedudukan dan politik hukum Islam di Indonesia.

13). Filsafat dan paradigma hukum Indonesia.

14). Teori tentang nilai, kebenaran dan keadilan.

Keterkaitan berbagai aspek dan dimensi tersebut terhadap pokok masalah titik

taut (aanknopingspunten) kewenangan Peradilan Agama, sangat dirasakan pada

saat melihat hukum sebagai ketentuan-ketentuan formal tertulis yang dibuat dan
414

diberlakukan dengan dukungan kekuasaan negara yang dirumuskan dalam bahasa

atau “law as it is written in the books”.

Menurut peneliti, sebaiknya Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006 dihapus, dan diberikan kewenangan penuh bagi Peradilan Agama dalam

menyelesaiakan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Jika ada hubungan

langsung dengan pokok perkara atau peristiwa hukum yang berada dalam lingkup

kewenangan Peradilan Agama dan sedang diperiksa atau diadili oleh Peradilan

Agama. Dengan cara menerapkan asas menundukan diri secara sukarela, sehingga

titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan

umum tidak terjadi, khususnya dalam menyelesaikan sengketa hak milik atau

kepertdataan lainnya.

5.3.8. Prediksi tentang Arah dan Kecendrungan Kebutuhan Layanan Hukum

Bagi Pencari Keadilan Yang Beragama Islam dalam Perspektif

Kewenangan Peradilan Agama Mendatang

Bertolak dari pandangan bahwa hukum harus senantiasa melakukan

penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Karena

hukum memiliki sifat dinamis, maka konsep politik hukum merupakan salah satu

faktor penyebab ke arah iure constituendo atau ius constitutum sebagai hukum yang

seharusnya berlaku.622 Pandangan tersebut, dihubungkan dengan prediksi arah dan

kecendrungan kebutahan layanan hukum bagi pencari keadilan yang beragama

Islam dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama mendatang, sebagai salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal tersebut, dapat dilihat dari

aspek bangunan tatanan yuridis formal sebagai kebijakan hukum yang dibuat oleh
622
Satjipto Rahardjo. Loc.Cit. hlm. 352.
415

kekuasaan yang berwenang. Khususnya terkait dengan sejarah kekuasaan

kehakiman mulai dari awal kemerdekaan sampai masa reformasi, menunjukan

bahwa kekuasaan kehakiman itu dinamis selalu terkait dengan dinamika sosial dan

politik hukum bangsa.

5.3.8.1. Arah Kewenangan Peradilan Agama Mendatang dalam Peringkat

Norma Hukum

Menggali arah politik hukum kewenangan Peradilan Agama masa mendatang,

dapat disandarkan pada pandangan Padmo Wahyono yang menegaskan bahwa:

politik hukum itu sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari

hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegaskan, dan kebijakan yang

berkaitan dengan hukum yang diberlakukan masa mendatang. Hal tersebut dapat

dilihat dari peringkat norma hukum dari yang tertinggi hingga yang terendah.

5.3.8.1.1. Norma Dasar atau Staatsfundamentalnorm (Undang-undang Dasar

1945)

Menggali politik hukum atau arah tentang kewenangan dan kedudukan

Peradilan Agama dalam norma dasar, setelah dilakukan amandemen yang berkaitan

dengan dasar hukum pendistribusian kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam

Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, maka ketentuan tersebut menentukan

sebagai berikut :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. ***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. ****)
416

Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 sebagai produk amandemen ketiga dan

keempat memiliki cerminan politik hukum sebagai berikut:

Pertama, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (1)

Undang-undang Dasar 1945, bahwa Peradilan Agama yang merupakan salah satu

dari pelakasana kekuasaan kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan

mandiri sama seperti peradilan negara lainnya, dalam rangka menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal tersebut memiliki relevansi

yang sangat akurat ketika dihubungkan dengan teori tujuan hukum, teori

independensi623 lembaga peradilan.

Kedua, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (2) Undang-

undang Dasar 1945, bahwa adanya sistem peradilan di Indonesia yang disusun

dalam sebuah format yang kompak dan terpadu, bahwa kekuasaan kehakiman

dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada

di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi,624 maka kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan.625 Cerminan politik hukum tersebut, memiliki relevansi dengan

623
Independensi kekuasaan kehakiman dalam 3 (tiga) pengertian: 1) structural
independence yaitu independensi kelembagaan; 2) functional independence yaitu
independensi dilihat dari segi jaminan pelaksanaan kekuasaan kehakiman; 3) financial
independence yaitu independensi dilihat dari segi kemandiriannya dalam menentukan sendiri
anggaran yang dapat menjamin kemandirian dalam menjalankan fungsi. Lihat Muchsin. 2004.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi. Jakarta, STIH IBLAM.hlm.5.
624
Ahmad Mujahidin. 2007. Peradilan Satu Atap. Bandung, Refika Aditama, hlm.13.
625
Tinjauan sejarah, pada awal kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia
belum menunjukan suatu penataan yang bersifat independen dan mandiri. Terbukti dari
susunan lembaga peradilan yang masih diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 1942
417

“elaborasi doktrin” dan “penurunan prinsip doktrin” dari teori pemisahan dan

pembagian kekuasaan Negara dalam penataan kekuasaan kehakiman di Indonesia

dari sekarang hingga masa akan dating.

Ketiga, cerminan politik hukum dalam norma hukum Pasal 24 ayat (3) Undang-

undang Dasar 1945, bahwa adanya peluang politik hukum penataan fungsi dan

kewenangan masing-masing badan peradilan Negara melalui proses perencanaan

dan pembentukan norma antara atau tussen norm. Untuk terwujudnya pembagian

kewenangan ke dalam empat sistem peradilan, didasarkan pada parameter

kewenangan yang bersifat absolut, artinya tidak boleh dikesampingkan dengan

alasan apapun karena berakar pada norma hukum yang mengatur masing-masing

badan peradilan negara.

Kesimpulan arah dan kecendrungan yang dapat ditarik dari norma hukum

dasar atau staatsfundamentalnorm pada Pasal 24 ayat (1), (2) dan (3) Undang-

undang Dasar 1945 bahwa Peradilan Agama memiliki kesejajaran, kemandirian dan

kemerdekaan untuk melaksanakan fungsi dan wewenang yang telah ditetapkan

dalam dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Peradilan

Agama khsusnya. Adapun cerminan politik hukum sebagai arah dan kebutuhan

layanan hukum bagi pencari keadilan mendatang, masih memungkinkan

dikembangankan bagi Peradilan Agama untuk memiliki kewenangan baru sebagai

refleksi wujud hukum yang memiliki sifat dinamis .

tentang Susunan Peradilan Sipil dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan
dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Untuk lebih jelasnya mengenai
dinamika peradilan masa colonial dan pada awal kemerdekaan, bisa di baca dalam buku
Soetandyo Wingjosoebroto.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Suatu Kajian
Tentang Perkembangan Sosial Politik. Jakarta, GRasindo.
418

5.3.8.1.2. Norma Antara atau Tussen Norm (Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakimam)

Pada tahun 2009, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan

kehakiman dirubah menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman sebagai norma antara atau tussen norm bagi

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 25 Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai wujud konkrit dari

amanah Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa: “Badan-

badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang”. Arah politik hukum yang tersurat dan tersirat dalam pasal tersebut,

memberi peluang kepada kekuasaan Negara untuk menata fungsi dan membagi

kewenangan dari masing-masing lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman sesuai dengan tujuannya untuk memberikan layanan hukum bagi pencari

keadilan.

Peradilan negara yang disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang

Dasar 1945, telah dipertegas oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, menyangkut parameter kewenangan masing-masing badan

peradilan negara, sebagaimana ditemukan dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut:

(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
419

orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan


perundangundangan.
(4) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman tersebut, merupakan abstarksi ruang lingkup parameter primer

kewenangan dari masing-masing peradilan Negara yang telah diatur berdasarkan

undang-undang masing-masing badan peradilan negara. Hubungannya dengan

prediksi tentang arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum bagi pencari

keadilan yang beragama Islam dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama

mendatang, ditegaskan bahwa norma antara atau tussen norm membuka

kemungkinan untuk dilakukan perluasan kewenangan dari masing-masing badan

peradilan Negara, khususnya Peradilan Agama sesuai dengan kenyataan dan

kebutuhan masyarakat terhadap hukum dan lembaga penegak hukum.

Peluang politik hukum menuju arah perubahan dan perluasan kewenangan

Peradilan Agama khususnya untuk masa yang akan datang, dapat dilakukan dengan

melihat peluang dan celah yang ditemukan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan bahwa :

”Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan

negara yang diatur dengan undang-undang”.

Dari uraian tersebut di atas, disimpulkan bahwa norma antara atau tussen

norm yang berwujud Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman dihubungkan dengan dimensi politik hukum meliputi pemeliharaan


420

hukum, penciptaan hukum dan pembaharuan hukum. Maka arah pengembangan

kewenangan Peradilan Agama bisa dilakukan, sepanjang untuk memenuhi

kebutuhan layanan bagi pencari keadilan yang beragama Islam atau perbuatan

hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip keislaman. Dapat dilakukan dengan

cara merubah dan memasukan ke dalam norma hukum yang mengatur kewenangan

Peradilan Agama.

5.3.8.1.3. Norma Pelaksana (Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pertadilan

Agama)

Dalam perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pertadilan

Agama menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan, ditemukan politik hukum yang

menjangkau cukup luas bagi kewenangan Peradilan Agama. Hal tersebut dapat

dicermati bahwa Peradilan Agama yang merupakan salah satu kekuasaan

kehakiman bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang menegaskan bahwa: “salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang–undang ini”.

Setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dirubah menjadi Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini

karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama

bertambah. Perubahan tersebut tersurat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006 yang menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku
421

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.

Jika dicermati maka adanya penghapusan kata “perdata”, menurut

Muhammad Muslih, hal tersebut dimaksudkan untuk : 1) memberikan dasar hukum

kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang

perkawinan dan peraturan pelaksanaannya; 2) untuk memperkuat landasan hukum

Peradilan Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah

berdasarkan Qonun. 626

Memperhatikan cerminan politik hukum yang merupakan arah dan

kecendrungan perluasan bidang yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk

masa mendatang, maka peluang perluasan terhadap kewenangan Peradilan Agama

yang terdapat dan telah diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan

Agama, maka sangat memungkinkan untuk dilakukan perubahan, penambahan dan

penciptaaan kewenangan baru bagi Peradilan Agama, dengan tetap

mempertimbangkan kewenangan Peradilam Umum khususnya.

Pertimbangan lainnya terhadap kewenangan Peradilan Agama saat ini

eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama dalam menangani perkara masih

sangat terbatas. Kewenangannya hanya diwilayah hukum privat atau muamalat

(dalam arti sempit) yang berkaitan dengan masalah pernikahan, kewarisan, wasiat,

hibah, wakaf, sedekah dan ekonomi syari‟ah. Sedangkan yang berkenaan dengan

626
Muhammad Muslih, Loc.Cit.
422

masalah hukum publik bidang pidana Islam (jinayah atau uqubat)627 belum diberikan

kewenangan dalam arti yang luas. Kewenangan yang sangat terbatas ini tentu saja

berkaitan dengan politik hukum Peradilan Agama, khususnya kewenangan

menangani perkara pidana Islam.

5.3.8.2 Arah Formalisasi Syariat Islam Dalam Produk Hukum Daerah

Mengkaji eksistensi Peraturan Daerah bernuansa syariah melalui sebuah

pendekatan yuridis normatif, berkaitan erat dengan pengesahan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pergantian tersebut merupakan tanggapan dan

jawaban pemerintah terhadap desakan demokratisasi dan tuntutan pembaharuan

sistem hukum Indonesia sesaat setelah bola reformasi digulirkan pada tahun 1998.

Kebijakan desentralisasi tersebut selanjutnya berimbas pada beberapa

kabupaten, kota atau propinsi di Indonesia yang penduduknya dominan beragama

Islam, mulai menuntut pemberlakuan syariat Islam secara formal untuk

diimplementasikan pada masing-masing daerah itu. Maka, lahirlah beberapa

Peraturan Daerah yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam, sehingga

Peraturan Daerah tersebut sering diistilahkan dengan sebutan Peraturan Daerah

Bernuansa Syariah.

627
Hukum pidana atau jinayah uqubat yang diatur dalam syariat Islam berkaitan
dengan: 1) perzinahan; 2) qadzaf (menuduh palsu zina); 3) shrub al-khamr (minuman-
minuman yang memabukan); 4) as-sariqah (pencurian); 5) al-hirabah (perampokan/
pengacauan keamanan); 6) al-riddah (murtad/keluar dari Islam); 7) al-baqhy
(pemberontakan); 8) jarimah pembunuhan ; dan 9) jarimah penganiayaan.
423

Menurut Muhammad Fadhly Ase,628 terdapat sedikitnya 50 kabupaten, kota di

Indonesia telah memberlakukannya Peraturan Daerah Bernuansa Syariah, ditambah

dengan beberapa kabupaten/kota lainnya juga menghendaki penerapan Peraturan

Daerah serupa yang kini rancangannya sedang digodok oleh eksekutif dan legislatif.

Gagasan dan kelahiran Peraturan Daerah bernuansa syariah, didukung oleh alasan

dan argumentasi masing-masing dan telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-

tengah masyarakat, termasuk dalam kalangan umat Islam sendiri. Sehingga harus

benar-benar dicermati bagaimana menyikapi keinginan umat Islam terhadap tuntutan

pelaksanaan syariat Islam secara formal. Hal tersebut dapat dianalisis dengan

pendekatan yuridis normatif, sedangkan kerangka teoritis mengacu pada teori

receptio a contrario,629 teori desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah,630

serta teori hirarki631 norma hukum.632 Berikut ini ditampilkan bebapa produk hukum

daerah dalam bentuk Peraturan Daerah bernuansa syariah, sebagai berikut:

628
Muhammad Fadhly Ase, “Mengkaji Ulang Eksistensi Peraturan Daerah Bernuansa
Syari‟ah: Sebuah Pendekatan Yuridis Normatif” Makalah, Hakim Pengadilan Agama Kisaran.
629
Memahami theorie receptio a contrario dapat digunakan pandangan Sayuti Thalib
yang menegaskan bahwa telah berkembang lebih jauh dari pandangan Hazairin. Terlihat di
beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat ada kecenderungan theorie
receptie dari Christin Snouck Hurgronje itu di balik. Seperti di Aceh masyarakatnya
menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan dan pidana diatur menurut hukum
Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh saja dipakai dengan suatu ukuran, yaitu
tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
630
Otonomi Daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan
instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bagir Manan
pernah mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan
Republik Indonesia.
631
Hirarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, secara terperinci meliputi: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3)
Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah.
632
Dalam teori ini, yang dikaji adalah aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan
pemberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum
dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan hukum di Indonesia tetap harus
424

1. Peraturan Daerah Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi


2. Peraturan Daerah Kab. Hulu Sungai Utara Nomor 6 Tahun 1999
tentang Miras
3. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang nomor 39
Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota
Kupang
4. Peraturan Daerah/Qanun Provinsi DaerahIstimewa Aceh Nomor 5 Tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
5. Peraturan Daerah NAD Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat
6. Peraturan Daerah kota Bengkulu Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Larangan Pelacuran dalam kota Bengkulu.
7. Peraturan Daerah Kab. Tasikmalaya Nomor 28 Tahun 2000 tentang
perubahan pertama peraturan daerah Nomor 1 tahun 2000 tentang
Pemberantasan Pelacuran
8. Peraturan Daerah Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan
9. Peraturan Daerah kabupaten Cirebon Nomor 05 Tahun 2000 Tentang
Larangan Perjudian, Prostitusi dan Minuman Keras
10. Peraturan Daerah Kab. Hulu Sungai Utara Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Perjudian
11. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat.
12. Peraturan Daerah Kab. Solok Nomoir 10 Tahun 2001 tentang Wajib Baca
Al-Qur‟an untuk Siswa dan Pengantin
13. Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan Nomor 7 Tahun 2001 tentang
larangan perbuatan prostitusi dan Tuna Susila dalam daerah Kabupaten
Way Kanan
14. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Pelacuran.
15. Peraturan Daerah Kab. Tasikmalaya Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang Berdasarkan lepada Ajaran
Moral, Agama, Etika, dan nilai-nilai budaya daerah
16. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 14 Tahun 2001 tentang
penanganan Pelacuran dan Penyakit Masyarakat.
17. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Pelacuran
18. Peraturan Daerah Kab. Banjar Nomor 10 Tahun 2001 tentang Membuka
Restoran, Warung, Rombong dan yang sejenisnya serta Makan, Minum,
atau merokok di tempat umum pada Bulan Ramadhan

mengikuti hukum ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal pemberlakuan


hukum, hukum ketatanegaraan Indonesia menganut teori berjenjang (Stufen Theory) dari
Hans Kelsen. Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai berikut: 1) dasar berlakunya
dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang yang ada di atasnya (dari bawah ke
atas); atau 2) suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di
bawahnya (dari atas ke bawah); 3) secara acak, diambil dua norma saja, bisa dari bawah
bisa dari atas atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada huruf a dan b di atas.
425

19. Peraturan Daerah Kab. Maros Nomor 9 Tahun 2001 tentang Larangan
Pengedaran, Memproduksi, Mengkonsumsi Minuman Keras Beralkohol,
Narkotika, dan Obat Psikotropika
20. Peraturan Daerah kota Solok Nomor 6 Tahun 2002 Tentang ajib
berbusana Muslimah
21. Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor Tahun 2002 Tentang
Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tunasusila dalam Kabupaten Lahat
22. Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Larangan tempat maksiat
23. Peraturan Daerah Bulukumba Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pelarangan
Penjualan Minuman Keras
24. Peraturan Daerah Kab. Lombok Timur Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Minuman Keras
25. Peraturan Daerah Kab. Lombok Timar Nomor 9 Tahun 2002 tentang
zakat
26. Peraturan Daerah Kab. Bima Nomor 2 Tahun 2002 tentang Jum‟at
Khusyu‟
27. Peraturan Daerah NAD Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar
dan sejenisnya
28. Peraturan Daerah NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian)
29. Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Qanun) Istimewa Aceh No. 14 Tahun
2003 tentang Khalwat (Mesum)
30. Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Tulis Al-Qur‟an
31. Peraturan Daerah Padang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kewajiban
Membaca Al-quran di Padang.
32. Peraturan Daerah Kab. Solok Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
33. Peraturan Daerah Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2003 tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah
34. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 Tentang
Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi bagi para siswa, Mahasiswa dan
Karyawan
35. Peraturan Daerah Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2003 tentang Revisi
Renstra Kab. Tasikmalaya (memuat visi religius Islami).
36. Peraturan Daerah Kab. Indramayu Nomor 2 Tahun 2003 tentang Wajib
Relajar Madrasah diniyah Awaliyah
37. Peraturan Daerah kabupaten Ketapang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
pelarangan prostitusi
38. Peraturan Daerah Kab. Hulu Sungai Utara Nomor 23 Tahun 2003
tentang Ramadhan
39. Peraturan Daerah Kota Makassar no. 2/2003 tentang Zakat Profesi,
Infaq, dan Shadaqoh
40. Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 7 Tahun 2003 tentang
Memberantas buta aksara Al-Qur‟an pada tingkat dasar sebagai
persyaratan untuk tamat Sekolah Dasar dan diterima pada tingkat
pendidikan selanjutnya
426

41. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang


pencegahan Maksiat
42. Peraturan daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 02 Tahun 2004
Tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat
43. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Larangan Pebuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian sertra
pencegahan perbuatan masksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung
Selatan
44. Peraturan Daerah Kab. Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun
2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan
45. Peraturan Daerah Kab. Banjarbaru Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Larangan Minuman Beralkohol
46. Peraturan Daerah Kab. Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) Nomor
11 Tahun 2006 tentang Larangan Pengedaran Minuman Beralkohol

Fakta formalisasi syariat yang sedang marak di pelbagai daerah di tanah air

dalam bentuk Peraturan Daerah, dilakukan oleh legislatif dan eksekutif, merupakan

wujud responsib pemegang kekuasaan terhadap keinginan yang marak disuarakan

oleh para tokoh dan masyarakat beragam Islam khususnya. Adapun kondisi daerah

tersebut, secara sosiologis memang sudah sejak dulu mempunyai kultur ke Islaman

yang sangat kuat untuk memberlakukan syariat Islam.

Kajian terhadap fakta formalisasi syariat dan aplikasi syariat Islam dalam

konteks tulisan ini, tidak berkaitan dengan nuansa politik Islam dan umatnya pada

masa lalu, yang mengusung Islam sebagai perjuangan ideologis untuk mendirikan

Negara berdasarkan hukum Islam. Melainkan lebih menekankan ke arah dan

kecenderungan masalah yuridis sosiologis yang mengedepankan kehidupan

masyarakat Islami, berdasarkan syariat Islam melalui perundang-undangan dalam

tata hukum Indonesia.

Jika dipandang dari fakta historis, memang terdapat kesinambungan antara

masa lalu dengan masa kini yang sedang dan akan dilaksanakan oleh masyarakat

dan Pemerintah Daerah. Tetapi, tampilan masyarakat Islam saat ini dalam
427

memperjuangkan syariatnya lebih elegan, menampilkan Islam sebagai agama

“rahmatan lil‟alamin”.

Pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan hukum syariat Islam,

yang memerlukan format atau bentuk hukum tertentu untuk disepakati bersama,

maka format dan bentuknya adalah produk hukum daerah atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Peraturan Daerah. Produk hukum berupa Peraturan Daerah

merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan

menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip

“lex superiore derogat lex inferiore‟ maka secara hirarkis peraturan perundang-

undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

yang tingkatannya lebih tinggi tingkatannta.

Berikut ini diberikan contoh adanya kesesuaian antara Peraturan Daerah

bermuatan syariah dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya

sebagai berikut:

1. Peraturan Daerah anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya seperti yang

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 08 tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran. Peraturan Daerah ini merupakan dukungan dan

penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Pornografi.

2. Peraturan Daerah yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat

(zakat, infaq, wakaf dan shadaqah) seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah

Kota Bukit Tinggi nomor 29 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Peraturan

Daerah ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih lanjut dari Undang-
428

Undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang

nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Dari beberapa produk Peraturan Daerah bernuansa syariah, pada daerah

berstatus otonomi, biasa ditemukan adanya berbagai hal yang menjadi landasan

politik hukum, sebagai berikut:

!). Formalisasi pemberlakukan syariat Islam di Indonesia memiliki landasan

historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945;

2). Kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasca reformasi berimplikasi pada

adanya peluang bagi daerah-daerah untuk memberlakukan corak hukumnya

masing-masing, termasuk pemberlakuan syariat Islam;

3). Jenis-jenis Peraturan Daerah bermuatan syariah yang telah diproduk beberapa

pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi:

a). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan isu moralitas masyarakat

secara umum, anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya seperti yang

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 08 tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran.

b). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan fashion, keharusan memakai

jilbab dan jenis pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu, salah satunya

seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota

Nomor 05 tahun 2003 tentang Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah.

c). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan keterampilan beragama,

keharusan pandai baca-tulis Alquran, salah satunya seperti yang diatur

dalam 2 Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 07 tahun 2003 tentang


429

Bebas Buta Aksara Al-Qur,an pada Pendidikan Tingkat Dasar dalam

Wilayah Kabupaten Gowa; dan

4). Jenis Peraturan Daerah yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari

masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah) seperti yang diatur dalam

Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi Nomor 29 tahun 2004 tentang

Pengelolaan Zakat.

Memperhatikan uraian terdahlu tentang politik hukum sebagai arah kebijakan ke

depan dari sudut yuridis formal peringkat norma hukum dan arah serta

kecendrungan keinginan masyarakat melalui kinerja legislatif dan eksekutif dalam

memformulasi syariat Islam dalam wujud Peraturan Daerah, maka dapat diprediksi

tentang arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum bagi pencari keadilan

yang beragama Islam dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama mendatang

cukup berpeluang untuk diperluas kewenangannya,

5.3.8.3. Rekomendasi Penyelesaian Sengketa Penyelenggaraan Ibadah Haji

Menjadi Kewenangan Peraduilan Agama

Peradilan Agama akan mendapat peluang perluasan kewenangan baru dalam

bidang penegakkan hukum perdata Islam dalam skala yang lebih luas lagi dan

hukum pidana Islam yang secara khusus diberlakukan bagi umat Islam. Adapun

wacana yang dapat dijadikan kewenangan baru bagi Peradilan Agama cukup

mendesak untuk di akomodasi adalah kewenangan menyelesaikan sengketa

penyelenggaraan ibadah haji yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13

Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, alasan sosiologis perluasan atau penambahan kewenangan

Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa penyelenggaraan haji, karena


430

dalam setiap tahun calon jamaah haji meningkat dan memerlukan perlindungan

hukum untuk memperoleh perwujudan asas keadilan memperoleh kesempatan,

perlindungan, dan kepastian hukum.

Kedua, alasan yuridis, perluasan atau penambahan kewenangan Peradilan

Agama dalam menyelesaikan sengketa penyelenggaraan haji, karena norma hukum

yang ada dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Ibadah Haji, belum mengatur kewenangan penyelesaian sengketa.penyelenggaraan

ibadah haji Sehingga upaya mewujudkan keadilan dan kepastian hukum terhadap

pemerintah sebagai penanggung jawab dibawah koordinator Kementrian Agama dan

lembaga hukum penyelenggara haji yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan

oleh pemerintah, pihak perbankan yang menyelenggarakan tabungan ongkos naik

haji perlu diatur dalam norma hukum. Mempertimbangkan kemungkinan terjadinya

tindakan yang merugikan hak-hak calon jamaah haji, maka upaya memperoleh

perlindungan hukum tidak memiliki jalur penegakan hukum yang jelas dan tepat.

Sebagai hasil dari prediksi arah dan kecendrungan kebutuhan layanan hukum

bagi masyarakat yang beragama Islam, maka perbaikan cakupan materi undang-

undang penyelenggaraan ibadah haji, sangat berhubungan erat dengan penentuan

lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa penyelenggaraan haji. Karena

konsumen ibadah haji adalah orang yang beragama Islam, yang memerlukan

perlindungan hukum, maka sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor

50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang menegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah

peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Maka sengketa dalam

penyelenggaraan ibadah haji, sebaiknya menjadi kewenangan Peradilan Agama.


431

Warkum Sumitro menegaskan peluang-peluang yang dapat dipergunakan

sebagai wahana perkembangan hukum Islam di era reformasi meliputi: peluang

politik dan socio cultural, peluang yuridis dan politis, peluang yuridis sosial dan

peluang yuridis ekonomis.633 Dihubungakan dengan wacana perluasan kewenangan

Peradilan Agama menyelesaikan sengketa haji, ditelaah dari sudut peluang adalah

sebagai berikut :

Pertama, peluang politik dan socio cultural, maka hukum Islam dapat

berkembang melalui jalur partai politik yang beridentitas nama, asas, atau lambang

yang mengandung unsur Islam, untuk memperjuangan proses perubahan dan

memasukan kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa

penyelenggaraan haji. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perkembangan

hukum Islam melalui jalur cultural, sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum

muslimin (cultural) dengan semakin tingginya kesadaran menjalankan nilai-nilai

agama Islam khususnya menunaikan ibadah haji.

Kedua, peluang yuridis dan politis dengan lahirnya Undang-undang Nomor 13

Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, memberi kesempatan yang lebih

luas kepada umat Islam untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan ibadah haji,

bersama-sama pemerintah dalam satu payung hukum berbentuk undang-undang

yang memiliki nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan berujung pada

jaminana kepastian mekanisme penyelenggaraan ivadah haji.

Ketiga, peluang yuridis ekonomis melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun

1998 yang membuka peluang beroperasinya Perbankan Syari‟at dan Undang-

633
Warkum Sumitro. 2005. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial
Politik di Indonesia. Malang. Bayumedia, hlm.221-234.
432

undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka arah dan

kecendrungan yang tepat untuk membuka tabungan ongkos naik haji pada bank

syariah atau bank umum yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari‟at.

Maka sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

termasuk dalam bidang ekonomi syariah menjadi kewenangan absolute Peradilan

Agama.

Peluang-peluang tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan layanan

kebutuhan hukum bagi masyuarakat muslim dalam wacana kewenangan Peradilan

Agama untuk masa mendatang. Maka wacana perluasan kewenangan Peradilan

Agama menyelesaikan sengketa penyelenggaraan ibadah haji nampaknya tidak bisa

ditawar-tawar lagi karena secara sosiologis-yuridis hal ini merupakan kehendak dari

masyarakat dan umat Islam Indonesia untuk melaksanakan syariatnya sebagai

tututan akidah dan tingginya kesadaran sosial masyarakat muslim khususnya.

5.3.9. Temuan Konsep Teori Paradigma “Islah” Bagi Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Berdasarkan uraian penjelasan teori dan kerangka konseptual di atas, maka

perjalanan sejarah dari dahulu hingga sekarang kewenangan Peradilan Agama lebih

kental diwarnai nuansa politis dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa

yuridisnya. Meskipun status dan kedudukan sudah dilepas dari kekuasaan eksekutif

dan dimasukkan ke kuasaan yudikatif, sebagai tindakan nyata dari politik hukum

peradilan satu atap. Akan tetapi secara kemandirian dan idenpendensi Peradilan

Agama dalam menjalankan kewenangannya, tidak mengalami perbedaan,

mengingat kewenangan Peradilan Agama dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun


433

1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian dirubah menjadi Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 diwarnai dengan politik hukum perluasan kewenangan bagi

Peradilan Agama dalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syariah.

Terkait Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006

sebagai produk Perubahan dari Pasal 50 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, belum sepenuhnya didasari oleh prinsip reformasi hukum

Peradilan Agama yang mendasarkan pada tindakan sinkronisasi dengan pelbagai

undang-undangan dalam rangka untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan

wewenang demi pelayanan kebutuhan pencari keadilan, serta perkembangan hukum

Islam dalam masyarakat. Sebab, dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang–undang

Nomor 3 Tahun 2006 tidak melakukan perubahan peletakan tugas dan wewenang

secara penuh kepada Peradilan Agama, tetapi masih memberikan ruang lingkup

kewenangan yang bersifat dualisme dalam menyelesaikan sengketa-sengketa milik

atau keperdataan lainnya, dengan parameter agama pihak yang merasa dirugikan

haknya. Sehingga hambatan yang ditemukan dalam Pasal 50 Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tersebut dibuka walau tidak seluas-luasnya, sehingga belum

sepenuhnya dapat dilaksanaan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh temuan hasil penelitian Sumadi Matrais,

yang menunjukkan adanya masalah berhubungan dengan kemandirian Peradilan

Agama dalam melaksanakan tugas dan wewenang berdasarkan Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 dan Pasal 50 ayat (1)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang–undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Disimpulkan oleh peneliti,


434

Pengadilan Agama dalam mengimplementasikan kewenangannya mengalami

gangguan atau disturbance, antara lain berupa:

Pertama, pengaruh dari adanya sistem hukum di Indonesia yang bersifat


pluralisme dalam mengatur hukum waris. Berkenaan dengan pilihan hukum
(opsi) bagi pencari keadilan yang tidak beragama Islam, kondisi tersebut
menyebabkan kemandirian Peradilan Agama terganggu. Kedua, Pasal 50
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 50
ayat (1) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur
tentang sengketa hak milik, menyatakan: “Dalam hal terjadi sengketa hak milik
atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,
khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. Pasal 49 Undang–undang
Nomor 3 Tahun 2006 menegaskan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan; waris; wasiat; hibah;
wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.
Masih menimbulkan gangguan yang timbul dari pasal tersebut adalah: Pertama,
menjadi kendala bagi Peradilan Agama dalam melaksanakan kewenangan yang
dimiliki. Kedua, menimbulkan kerancuan acara dan proses penyelesaian
perkara. Ketiga, penyelesaian perkara menjadi berbelit-belit dengan waktu yang
lama. Keempat, menimbulkan biaya yang tinggi, menyengsarakan pencari
keadilan dan menghabiskan tenaga. Kelima, tidak sejalan dengan asas-asas
pokok peradilan yang sederhana, cepat dan biasa yang murah.

Kewenangan Peradilan Agama mengalami gangguan atau disturbance

merupakan sebuah “konflik kepentingan” yang dibuat, berjalan dari masa

penjajahan, masa kemerdekaan dan masih berlanjut di masa reformasi hukum

sebagai refleksi sensitivitas agama, dapat dipahami dari tiga lingkup utama politik

hukum yang meliputi: politik pembentukan hukum, politik mengenai isi hukum (asas

dan kaidah) hukum; dan politik penegakan hukum,634 menyisakan titik taut

(aanknopingspunten) kewenangan antara Peradila Agama dan Peradilan Umum,

menjelma dalam Pasal 50 Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, kemudian masih menjelma dalam produk hukum perubahan tepatnya dalam

634
A. Latief Fariqun, Loc.Cit.
435

Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Titik taut (aanknopingspunten) kewenangan antara Peradilan Agama dan

Peradilan umum merupakan cerminan dari: Pertama, politik Islam Hindia Belanda,

yang tidak mau bersikap netral (sentimen relegius) terhadap perkembangan agama

Islam,635 melalui pola pikir politik devide et impera, dengan metode “pendekatan

konflik”. Kedua, dengan politik hukum yang mengarahkan umat Islam untuk

menundukkan diri secara suka rela pada hukum kolonial seiring masuknya aliran

pemikiran positivisme di Indonesia. Ketiga, politik hukum yang berupaya

memisahkan umat Islam dari agama Islam (hukum Islam) secara gradual dan

sistematis, melalui rekayasa ilmiah Pemerintah kolonial Belanda menciptakan

sebuah asas hukum kemudiam dikenal dengan theorie receptie. Keempat, Politik

hukum636 kolonialisme memformulasi Peradilan Islam menjadi Peradilan Agama atau

priesterraad. Kelima, Kewenangan Peradilan Agama tidak ditentukan secara jelas

dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, sehingga Peradilan Agama menentukan sendiri

wilayah kekuasaannya, Keenam, penyempitan kewenanangan Peradilan Agama

terjadi pada Tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. 1929:221

yang pada Pasal 134 (2) menentukan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi di

Indonesia kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum adat. Ketujuh,

Peradilan Agama tidak memiliki daya paksa untuk melaksanakan putusan, maka

putusan itu baru dapat dijalankan terlebih dulu diberi kekuatan oleh ketua landraad

(Pengadilan Negeri). Kedelapan, kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili

635
Aqib Suminto, Loc.Cit.
636
Zainal Abidin Abu Bakar, Loc.Cit.
436

perkara waris dicabut pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda

mengumumkan adanya peralihan wewenang mengadili perkara waris orang Islam,

dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Kesembilan, pilihan (opsi) hukum dan

pemberlakuan hukum pidana Barat kepada umat Islam, kendatipun bertentangan

dengan asas dan kaidah hukum Islam serta kesadaran hukum masyarakat muslim.

Kesepuluh, politik hukum pembentukan Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.

Sikap politik tersebut di atas, walaupun berupaya keras untuk menghapuskan

pelaksanaan hukum Islam dan menghilangkan keberadaan Peradilan Agama tidak

berhasil, tetapi dapat mengerdilkan kompetensi absolut Peradilan Agama. Menjelma

dalam produk legislasi nasional yaitu Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dirubah menjadi Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 berupa titik

taut kewenangan anatara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, sebagai wujud

politik hukum dalam norma hukum, yang dimulai atau disebabkan dari politik hukum

dalam perencanaan dan pembentukan hukum,

Oleh karena itu, peneliti dapat menyatakan bahwa, temuan teori dari penelitian

ini adalah : “Konsep Teori Paradigma Ishlah637 Bagi Pembentuk Peraturan

Perundang-undangan”. Karena kewenangan Peradilan Agama dari dahulu hingga

sekarang selalu dalam konflik kepentingan lebih disebabkan karena kental diwarnai

nuansa politis dan nuansa Islamo phobia dari pada nuansa yuridisnya, sehingga ke

637
Konsep “Ishlah” dipergunakan dalam upaya mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan ajaran moral Islam. Islam selalu
menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan Ishlah
(fa aslikhu baina akhwaikum). Lihat Yahya Harahap, Loc.Cit. Menurut Islam, apabila ada
perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Ishlah” (QS. 49:10). Lihat
Sulaikan Lubis, Loc.Cit.
437

depan perlu dikembangkan politik hukum paradigma Ishlah bagi pembentuk

peraturan perundang-undangan. Agar dalam perencanaan dan pembentukan

peraturan perundang-undangan tidak terjadi titik taut (aanknopingspunten)

kewenangan atau dualisme kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan

umum, khususnya dalam Undang-undang Peadilan Agama, yang sifatnya bertolak

belakang dengan kemandirian, independensi Peradilan Agama dan asas peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan.


438
439

Anda mungkin juga menyukai