Anda di halaman 1dari 7

Nama : Umi Sholehatun Mubarokah

NIM : 121710045
Prodi : PPKn
Kelas : B pagi
Semester : VII
Makul : Hukum Islam
Dosen : Yuliananingsih M, SH, M.Pd

“TUGAS INDIVIDU MERESUME”


Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam

Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara
kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya
akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan
ungkapan di beberapa daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa Aceh yang
berbunyi: hukum ngon adat hantom ere, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum
Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai- pisahkan karena erat sekali
hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda.
Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah:
adat dan syara' sanda menyanda, syara' mengato adat memakai. Menurut Hamka
(Hamka, 1970:10) makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan
hukum Islam (syara') erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya
yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara' itu sendiri. Dalam
hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara
melaksanakan atau memakai syara' itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat
Muslim Sulawesi Selatan eratnya hubungan adat dengan hukum Islam dapat
dilihat dalam ungkapan yang berbunyi, "Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-
hulaa to adati". Artinya, kurang lebih, adat bersendi syara1 dan syara’ bersendi
adat (A. Gani Abdullah, 1987:89). Hubungan adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini
mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan (M. B. Hoeker,
1978: 97).

Berbeda dengan bunyi pepatah di atas, dalam buku-buku hukum yang ditulis
oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-
penulis Belanda itu, hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia,
terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang
bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konflik yang mereka pergunakan
untuk mendekati masalah hubungan kedua sistem hukum itu dengan sadar mereka
pergunakan untuk memecah-belah dan mengadu-dombarakyat Indonesia guna
mengukuhkan kekuasaan Belanda di tanah air kita. Karena itu pula sikap
penguasa jajahan terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti
sikap orang yang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan
menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam salah-satu
kalimat van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat yang terkenal, ketika ia
berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan
dilaksanakan di Hindia Belanda. Menurut van Vollenhoven, hukum adat harus
dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh
hukum Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam
yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul Arifin
dalam Muchtar Na'im, 1968:171). Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa
yang disebut sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada
hakikatnya adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang di
antaranya adalah B. ter Haar yang menjadi master architect pembatasan
wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut ter Haar, antara
hukum adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama,
karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik- tolak dari kenyataan hukum
dalam masyarakat, sedang hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum
(hasil penalaran manusia, MDA) saja. Karena perbedaan titik-tolak itu, timbullah
pertentangan yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi seringkali tidak. Karena
itu, secara teoretis hukum Islam tidak dapat diterima. Karena itu wewenang
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, "dibatasi sampai ke bidang yang sekecil-
kecilnya" (ter Haar, 1973: 29).

Dalam menggambarkan hubungan adat dengan Islam di Aceh, Minangkabau


dan Sulawesi Selatan di atas, umpamanya, para penulis Barat/Belanda selalu
menggambarkan kelanjutannya dalam pertentangan antara kalangan adat dan
kalangan agama (Islam). Keduanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang
terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam
kenyataannya tidaklah demikian, karena di kalangan adat terdapat orang-orang
alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat (Deliar Noer,
1979:19). Gambaran "pertentangan" antara kalangan adat dengan kalangan agama
mereka konstruksi- kan dalam "pertentangan" antara hukum perdata adat dengan
hukum perdata Islam dalam perkawinan dan kewarisan. Mereka gambarkan
seakan-akan "pertentangan" itu tidak mungkin diselesaikan. Menurut penglihatan
penulis-penulis Barat/Belanda, perkawinan yang dilangsungkan menurut
ketentuan hukum Islam hanyalah kontrak antara pribadi-pribadi yang
melangsung- kan pernikahan itu saja, sedang perkawinan yang dilakukan menurut
hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari
upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Karena penglihatan yang
demikian, mereka lebih menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan
menurut hukum adat saja daripada perkawinan yang dilang- sungkan menurut
hukum Islam. Mereka tidak mau melihat ke dalam tradisi Islam di mana keluarga
(terutama orang tua) ikut bertanggung jawab mengenai hubungan kedua mempelai
tidak hanya waktu mencari jodoh, tetapi juga waktu melang- sungkan perkawinan.
Bahkan keluarga akan turut berperan pula untuk menyelesaikan perselisihan kalau
kemudian hari terjadi kekusutan dalam kehidupan rumah tangga orang yang
menikah itu. Mereka tidak tahu, karena tidak mempe- lajarinya, bahwa pernikahan
menurut hukum Islam adalah sarana pembinaan rasa cinta dan kasih sayang dalam
dan antarkeluarga (Deliar Noer, 1979:20).

Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh


yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara hukum Islam dengan
hukum adat di Minangkabau. Seperti yang telah dikemukakan di atas, secara
teoretis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin diselesai- kan. Akan tetapi,
kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik
mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam Perang Paderi di abad ke-19
dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat
dengan hukum Islam. Rumusan itu antara lain berbunyi (dilndonesiakan): adat
bersendi syara', syara’ bersendi kitabullah (Alquran). Rumusan itu diperkuat oleh
Rapat (orang) Empatjenis (ninik mamak, imam-khotib, cerdik-pandai, manti-
dubalang) Alam Minangkabau yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952 dan
dipertegas lagi oleh Kesimpulan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang
diadakan di Padang bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan
bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (1) harta pusaka tinggi
yang diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis keibuan
dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah,
diwariskan menurut syara1 (hukum Islam). Dengan kata lain, sejak tahun 1952
kalau terjadi perselisihan mengenai harta pusaka tinggi maka penyelesaiannya
berpedoman pada garis kesepakatan hukum adat, sedang terhadap harta
pencaharian berlaku hukum fara'id (hukum kewarisan Islam). Oleh seminar
Hukum Adat Minangkabau tahun 1968 itu juga diserukan kepada seluruh hakim
di Sumatera Barat dan Riau agar memperhatikan kesepakatan tersebut (Muchtar
Na'im, 1968:241). Demikianlah, hubungan hukum adat dengan hukum Islam yang
dianggap oleh penulis-penulis Barat/Belanda sebagai pertentangan yang tidak
dapat terselesaikan, telah diselesai- kan oleh orang Minangkabau sendiri dengan
kesepakatan di Bukit Marapalam, Rapat (orang) Empat Jenis Alam Minangkabau
di Bukittinggi dan Seminar di Padang seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal
yang sama terjadi pula di Aceh dengan pembentukan provinsi (1959) mempunyai
status istimewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh sendiri, untuk
mengembangkan agama, termasuk hukumnya, adat-istiadat dan pendidikan.

Sementara itu perlu dicatat bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di


alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa
"hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat" (Nasrun, 1957:23-29). Karena
itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang
sempurna yakni hukum Islam. Dalam masyarakat Aceh pun terjadi perkembangan
yang sama yakni: soal-soal perkawinan, harta benda termasuk harta peninggalan
dikehendaki agar diatur menurut ketentuan hukum Islam. Bahkan dalam
masyarakat di daerah ini telah berkembang pula satu garis hukum yang
mengatakan bahwa adat atau hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan
dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ini merupakan
kebalikan dari teori resepsi yang mengatakan hukum Islam bukanlah hukum kalau
belum diterima oleh hukum adat, yang akan diuraikan lebih lanjut. Karena itu,
sekarang, demikian SajutiThalib (SajutiThalib, 1980:49) yang ada ialah receptio a
contrario. Artinya, hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Dalam hubungan ini perlu dicatat pula pendapat Mahadi yang
mengatakan bahwa dalam melaksanakan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan,
dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan
hukum adat sebagai dasar untuk mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang
dipergunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum
Islam (contra legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi dengan asas-
asas hukum Islam (Mahadi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran mengenai sumber
hukum Islam di atas yang mengatakan bahwa adat yang baik dapat dijadikan
sebagai salah-satu sarana atau cara pembentukan hukum Islam. Artinya, adat yang
baik dapat dipandang sebagai hukum Islam.

Selain dari apa yang telah diutarakan di atas dapat dikemukakan pula bahwa
merenggangnya ikatan-ikatan tradisi- onal, perubahan nilai-nilai dan pola
organisasi masyarakat di daerah-daerah pedesaan, terutama karena penggantian
keluarga besar dengan keluarga kecil, telah menguatkan kedudukan hukum Islam
dalam masyarakat di Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh kesadaran beragama
yang makin tumbuh melalui pendidikan yang berkembang setelah kemerdekaan.

Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin pula dapat
dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori kaidah hukum Islam
yang telah diuraikan di atas, yang mengatur semua tingkah-laku manusia Muslim
di segala lingkungan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah- kaidah haram
(larangan), fard (kewajiban), makruh (celaan) dan sunnat (anjuran) jauh lebih
sempit ruang-lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah ja'iz atau mubah. Ke
dalam kategori kaidah terakhir inilah (ja’iz atau mubah) agaknya adat dan bagian-
bagian hukum adat itu dapat dimasukkan baik yang telah ada sebelum Islam
datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tentunya tidak
bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.

Melihat hubungan hukum adat dengan hukum Islam dari sudut pandangan
ini, akan memudahkan kita mempertautkan adat dengan Islam, hukum adat
dengan hukum Islam. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, di dalam kitab-kitab
fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar 'urf atau adat
karena para ahli hukum telah menjadikan 'urf atau adat sebagai salah-satu alat atau
metode pembentukan hukum Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975: 479). Pernyataan
Hasbi ini adalah sejalan dengan salah- satu patokan pembentukan garis hukum
dalam Islam, seperti telah disebut di muka, yang berbunyi: al 'adatu muhakkamat.
Artinya, adat dapat dijadikan hukum Islam. Yang dimaksud dengan adat dalam
hubungan ini adalah kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup
dalam istilah muamalah (kemasyarakatan), bukan mengenai 'ibadah.' Sebab,
mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa yang telah
ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam Alquran dan yang telah diatur
oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut
Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:

1) Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh
pendapat umum;
2) Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat
yang bersangkutan;
3) Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan;
4) Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak;
5) Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam) Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad. Atau dengan kata lain, tidak bertentangan dengan
syariat Islam.

Perlu dicatat atau diingat bahwa syarat 1 dan 2 yang disebut oleh Sobhi
Mahmassani (Sobhi Mahmassani, 1977: 195-196) tersebut sesungguhnya tidak
perlu dinyatakan lagi karena telah termasuk ke dalam defmisi adat itu sendiri,
yakni sesuatu yang telah berulangkali terjadi, diterima baik oleh perasaan dan akal
sehat serta telah berlaku umum di dalam suatu masyarakat di suatu tempat pada
suatu ketika.

Anda mungkin juga menyukai