Reine Rechslehre
Hans Kelsen
Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan,
yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam
kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-
norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama.
2. Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup
bersama.
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh
warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud
berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat
mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh
pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang
ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat
berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku
pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan.
Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda
dengan manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu
diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut
dengan kaidah atau norma.
Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan
manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan
berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap
hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya.
Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu
muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi
pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan,
dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu
sanksi maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel,
suatu norma sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak
mengindahkannya secara teratur ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara
nyata, oleh seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak
secara sosial diakui. Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma
hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang
terorganisasi untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang
lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak
mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu
banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu
rumusan yang memuaskan. Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum
antaralain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana
pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adalah sebagai berikut:
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari
kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi
ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat
primitif atau yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia.
Tujuan dari adanya hukum itu sendiri, sebagaimana definisi dari hukum yang
beragam, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda pula. Menurut pendapat yang
mengacu pada teori etis (etische theorie), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan
keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya
Ethica Nicomachea dan Rhetorica, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang
suci, yaitu memberi kepada setiap orang sesuatu yang ia berhak menerimanya. Namun dalam
kenyataannya kebutuhan manusia akan hukum tidak hanya untuk mencapai keadilan tetapi
juga untuk mengatur dirinya.
Beberapa pendapat ahli hukum kemudian lebih melengkapi pendapat bahwa tujuan
dari hukum adalah keadilan semata, melainkan menempatkan hukum untuk mengatur
kehidupan manusia mewujudkan hal-hal yang bermanfaat. Salah satu contoh yaitu teori
hukum murni yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya Reine Rechslehre. Salah
satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum
harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan
identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan
sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa
didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat
yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan
dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan
induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu .
Sehingga tujuan hukum ialah untuk mencapai pergaulan hidup secara damai. Kedamaian
yang dimaksud disini meliputi dua hal yaitu ketertiban/keamanan dan
ketentraman/ketenangan.