Anda di halaman 1dari 76

Modul 14

Mata Kuliah :

FILSAFAT HUKUM

“PRANATA HUKUM”

Edisi Revisi 2017

Oleh : Dr. Saharuddin Daming, SH, MH.

Disajikan untuk Mahasiswa Fakultas Hukum

Univ. Ibnu Khaldun Bogor

1
A. PENGERTIAN PRANATA DAN RUANG LINGKUPNYA

Hukum merupakan himpunan-himpunan petunjuk hidup manusia baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat. Hukum harus ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan dan pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan
tindakan dari pemerintah atau penguasa masyarakat untuk melakukan tugasnya memberikan
sanksi hukum terhadap pelanggarnya.

Tujuan hukum agar ditaati maka dibentuklah sebuah pranata hukum yang akan menjaga tujuan-
tujuan hukum tersebut. Ketika pranata hukum adalah suatu sistem norma hukum untuk
mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Ketika pranata
hukum merupakan suatu tatanan/pedoman perilaku kehidupan hukum untuk mewujudkan
kemananan dan ketertiban masyarakat (social order). Ketika pranata hukum ada untuk
melindungi berbagai kepentingan masyarakat serta menciptakan keteraturan masyarakat. Maka
hukum dan pranata hukum merupakan sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Pranata
hukum ada untuk memperkokoh pentingnya hukum dalam kehidupan manusia. Hukum menjadi
alasan dasar untuk hadirnya pranata hukum.

1. Apa yang dimaksud dengan Pranata Hukum?

Menurut Sumner, Pranata adalah konsep dan struktur (Young, Pauline P, 1982: 506). Pranata
atau lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan
yang oleh masyarakat dipandang penting, atau, secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata
kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia (Paul B. Horton & Chester L. Hunt,
1984: 224). Pranata merupakan seperangkat aturan yang berkisar kegiatan atau kebutuhan sosial
tertentu Pius A. partanto & M. Dahlan al Barry, 1994: 616). Pranata juga merupakan sistem
tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku
itu (EM Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja: 668). Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis
(Undang-undang Dasar/undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku)
dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral
(misalkan dikucilkan)). Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri
tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pranata adalah suatu sistem norma yang menata
serangkaian tindakan manusia untuk tujuan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Pranata terbentuk dari proses-proses terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai
kegiatan manusia. Pranata merupakan wujud interaksi sosial di dalam masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan kepada nilai (kesepakatan
tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan yang mesti dilakukan dan yang mesti
ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Pranata merupakan perwujudan interaksi yang sangat
penting dalam kehidupan manusia yang mewujudkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu
dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Nilai-nilai umum mengacu pada cita dan
tujuan bersama. Prosedur umum merupakan pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti.

Lalu apa yang dimaksud dengan pranata hukum?. Pranata hukum adalah suatu sistem norma
hukum untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting.
Paranata hukum merupakan suatu tatanan/pedoman perilaku kehidupan hukum untuk
mewujudkan keamananan dan ketertiban masyarakat (social order). Pranata hukum merupakan
wujud interaksi sosial untuk melindungi berbagai kepentingan masyarakat serta menciptakan
keteraturan masyarakat. Jadi, pranata hukum berkaitan dengan hukum. Hukum hadir untuk
menjaga kepentingan-kepentingan dari keseluruhan masyarakat, sehingga tidak terjadi benturan-
benturan antar kepentingan yang satu orang atau kelompok orang dengan kepentingan orang
atau kelompok lain yang pada akhirnya tercapai suatu keteraturan, keamanan dan tata tertib
kehidupan bermasyarakat.

2. Lantas bagaimana Hubungan Hukum dan Pranata Hukum?

Pembicaraan hubungan hukum dan pranata hukum harus memperjelas dulu konsep hukum.
Menurut Hart, ada 3 (tiga) masalah pokok yang berkaitan dengan hukum yaitu pertama,
bagaimana hubungan antara hukum dan usaha untuk menegakkan tata sosial?; kedua,
bagaimana hubungan kewajiban hukum dan kewajiban moral?; ketiga, apakah yang dimaksud
dengan aturan (rule) dan sampai berapa jauh hukum itu merupakan aturan?. Sedangkan Stone
menyebutkan beberapa atribut yang biasa ditemukan hukum antara lain yaitu pertama, hukum
adalah suatu keseluruhan yang rumit sifatnya mencakup norma sosial yang mengatur kelakuan
manusia; kedua, norma ini memiliki sifat sosial; ketiga, membentuk suatu aturan yang rumit

3
namun mempunyai aturan; keempat, aturan itu bersifat memaksa; kelima, dilembagakan;
keenam, hukum efektif dalam mempertahankan dirinya.

Dalam kehidupan masyarakat hukum mempunyai peran penting untuk menjaga tata tertib dan
keamanan kehidupan masyarakat. Hukum selalu membicarakan hubungan manusia, sedangkan
membicarakan hubungan manusia merupakan pembicaraan tentang keadilan. Oleh karena itu,
membicarakan hukum juga akan membicarakan tentang keadilan.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui di
semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang
namanya hukum, maka, institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan
itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat.

Hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan
dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraan yang demikian itu
berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya.Ketika
pranata hukum adalah suatu sistem norma hukum untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan
yang oleh masyarakat dianggap penting. Ketika paranata hukum merupakan suatu
tatanan/pedoman perilaku kehidupan hukum untuk mewujudkan kemananan dan ketertiban
masyarakat (social order). Ketika pranata hukum ada untuk melindungi berbagai kepentingan
masyarakat serta menciptakan keteraturan masyarakat. Maka hukum dan pranata hukum
merupakan sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Pranata hukum ada untuk
memperkokoh pentingnya hukum dalam kehidupan manusia. Hukum menjadi alasan dasar
untuk hadirnya pranata hukum. Pranata hukum dibentuk oleh masyarakat untuk melegalkan
peraturan hukum dan peraturan hukum ini digunakan untuk menjaga hak-hak dan menimbulkan
kewajiban dari subjek hukum.

Perlu dingat bahwa, menurut HLA Hart, suatu masyarakat akan menyelenggarakan hukum
dengan cara tertentu yang berbeda dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam
masyarakat untuk penyelenggarakan hukum. Hal Ini berarti ada hubungan erat antara institusi
hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya (Satjipto Rahardjo,
2000: 121). Jadi, pranata hukum, saling bergantung dengan pranata sosial lainnya. Hukum

4
tergantung kepada apa yang terjadi dengan kondisi-kondisi kekuasaan dan wewenang politik,
dan kondisi tersebut ditentukan oleh beragam kekuatan sosial, budaya dan ekonomi. Apabila
kondisi-kondisi itu berubah, maka hukum pun mengalami perubahan (Daniel S. Lev, 1972: 2).

Pelembagaan pranata hukum di Indonesia meliputi Legislatif (MPR-DPR-DPD) yang


merupakan pembuat produk hukum di tingkat nasional, DPRD Provinsi di tingkat Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota di tingkat Kabupaten/Kota, Eksekutif (Presiden-pemerintahan) yang
merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang dibantu oleh kepolisian selaku
institusi yang berwenang melakukan penyidikan; jaksa yang melakukan penuntutan dan
yudikatif (MA-MK) sebagai lembaga penegak keadilan. Semua pelembagaan pranata hukum
tersebut mempunyai peran yang penting dalam menjadikan hukum sebagai sarana perubahan
dalam kehidupan masyarakat. Fungsi hukum sebagai pengatur penjaga ketertiban dan keamanan
dalam masyarakat tergantung peran dari pranata-pranata tersebut.

Dengan demikian, ketika hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan
sosial masyarakat, maka bagaiamana pranata-pranata hukum menampung fungsi hukum untuk
melayani anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan
sumber daya, melindungi kepentingan dan kebutuhan anggota masyarakat, serta menjamin
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. selain itu, pranata-pranata hukum
juga menjaga peran hukum yang tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk pengendalian sosial
melainkan juga lebih dari itu sebagai sarana untuk melakukan peubahan-perubahan yang ada
dalam masyarakat.

3. Jenis Lembaga atau Pranata Pada Umumnya

Pranata atau institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang
khusus. Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang
yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat,
kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misalkan dikucilkan)). Pranata
bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan
main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

Institusi dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

5
 Institusi formal adalah suatu institusi yang dibentuk oleh pemerintah atau oleh swasta
yang mendapat pengukuhan secara resmi serta mempunyai aturan-aturan tertulis/ resmi.
Institusi formal dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Institusi pemerintah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan suatu
kebutuhan yang karena tugasnya berdasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan
melakukan kegiatan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan taraf
kehidupan kebahagiaan kesejahteraan masyarakat. Institusi Pemerintah atau Lembaga
Pemerintah dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

o Lembaga pemerintah yang dipimpin oleh seorang menteri.


o Lembaga pemerintah yang tidak dipimpin oleh seorang menteri, dan bertanggung
jawab langsung kepada presiden (disebut Lembaga Pemerintah Non-
Departemen). Contoh : Lembaga Administrasi Negara dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

2. Institusi swasta adalah institusi yang dibentuk oleh swasta (organisasi swasta) karena
adanya motivasi atau dorongan tertentu yang didasarkan atas suatu peraturan perundang-
undangan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Institusi atau lembaga ini secara
sadar dan ikhlas melakukan kegiatan untuk ikut serta memberikan pelayanan masyarakat
dalam bidang tertentu sebagai upaya meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Contoh : Yayasan Penderita Anak Cacat, Lembaga Konsumen, Lembaga
Bantuan Hukum, Partai Politik.

 Institusi non-formal adalah suatu institusi yang tumbuh dimasyarakat karena masyarakat
membutuhkannya sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka. Ciri-ciri institusi
non-formal antara lain:
1. Tumbuh di dalam masyarakat karena masyarakat membentuknya, sebagai wadah
untuk menampung aspirasi mereka.
2. Lingkup kerjanya, baik wilayah maupun kegiatannya sangat terbatas.
3. Lebih bersifat sosial karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan para anggota.

6
4. Pada umumnya tidak mempunyai aturan-aturan formal (Tanpa anggaran
dasar/Anggaran rumah tangga).

4. Lembaga atau pranata hukum

Apa yang menjadi pembeda antar aturan hukum dengan aturan-aturan lain? Untuk memahami
hal ini diperlukan pengertian akan konsep pranata atau lembaga. Malinowski mendefenisikan
pranata sebagai berikut:

“Sekelompok orang-orang yang bersatu dan terorganisir untuk tujuan tertentu yang
memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut atau paling tidak
melakukan usaha yang masuk akal yang diarahkan untuk mencapai tujuan tadi; yang
mendukung sistem nilai tertentu, etika dan kepercayaan-kepercayaan yang memberikan
pembenaran kepada tujuan tadi”

Berdasarkan hal ini kita dapat melihat apakah semua kegiatan manusia terpola atau bersifat
acak. Jadi lembaga atau pranata hukum dibetuk masyarakata tujuannya adalah untuk
melegalkan peraturan dan peraturan ini akan digunakan untuk menindak pelanggaran yang
terjadi. Lembaga hukum mempinyai kekuatan untuk campur tangan dalam penyelesaian
sengketa didalam lembga sosial lainnya.

5. Kaitan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial

Untuk mengerti realiats sosial didalam msyarakat yang tidak cuma berada di tataran teoritis ahli
hukum memerlukan analis dari berbagai disiplin ilmu sosial. Salah satu realitas yang terjadi di
masyarakat termasuk gejala hukum. Bagaimana hukum diterapkan dan berlaku dimasyarat akan
sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat setempat, bagaimana hukum negara diapresiasi
oleh suatu kelompok masyarakat tidak akan sama dengan cara kelompok lain mengapresiasi
karena yang merupkan elemen kehidupn msyarakat tidak dapat dipisahkan dalam menganalisa
dan mempelajarinya dari elem lain. Budaya yang ada pada suatu kelompok masyarakt tertentu
harus dilihat secara holistik dan keseluruhan karena unsur-unsur budaya ini akan berakaitan satu
sama lain, demikian juga dalam memahami hukum.

7
6. Peradilan sebagai Pranata Hukum

Peradilan merupakan sebagian dari pranata hukum (legal institution) untuk memenuhi
kebutuhan pengakan hukum dan keadilan. Sedangkan pengadilan merupakan organisasi yang
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut, sebagai pelaksana sebagian dari
kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman (yudikative). Oleh karena peradilan diidentifikasi
sebagai pranata hukum, maka di dalamnya terdapat jaringan hubungan antar manusia yang
meliputi kekuasaan negara yang merdeka, penyelenggara kekuasaan negara, yaitu pengadilan,
prosedur menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara, perkara-
perkara yang menjadi kewenangan pengadilan, orang-orang berperkara, yaitu pihak-pihak,
hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara dan penegakan hukum dan keadilan sebagai
tujuan.

Untuk mewujudkan dan mengorganisasikan jaringan hubungan tersebut dilaksanakan


oleh pengadilan. Oleh karena pengadilan itu organisasi, maka di dalamnya meliputi susunan
atau struktur organisasi, jenjang atau hierarki instansial, tempat kedudukan dan daerah hukum,
pimpinan, kepaniteraan/sekretariat, pejabat fungsional dan pejabat struktural dan tenaga
administrasi.

Berkenaan dengan hal itu, maka dalam tiap-tiap lingkungan peradilan terdiri atas
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Dalam lingkungan peradilan umum
terdiri dari Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT). Dalam lingkungan Peradilan
Agama terdiri dari Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Dalam
Peradilan Militer terdiri atas Mahkamah Militer, Mahkamah Tinggi Milter dan Mahkamah
Militer Agung. Dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan dalam empat
lingkungan peradilan itu adalah pengadilan negara, yang menyelenggarakan sebagian kekuasaan
negara. Sedangkan Mahkamah Agung (MA) adalah pengadilan negara tertinggi, yang secara
teknis yudisial membawahi dan menjadi pembina seluruh pengadilan dalam empat lingkungan
peradilan agama (Pasal 24 dan 24A UUD 1945).

8
Sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal
Konstitusi (The Guardian of Constitution). Dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar.

B. NILAI SEBAGAI PRANATA HUKUM

Hukum sebagai perangkat peradaban dan keadaban tidak lahir begitu saja tanpa
keterlibatan unsur lainnya tetapi pembentukan hukum sering merupakan hasil sosial budaya dan
politik dari asas yang diturunkan oleh etika. Etika sendiri banyak bersumber dari nilai. Sehingga
nilai merupakan hulu dari mata rantai pranata hukum.
Secara etimologi, nilai berasal dari rumpun Bahasa Melayu yang sepadan maknanya
dengan value (Inggris), valeur (Prancis), waarde (Belanda), Wert (Jerman), ‫ قيمة‬/ qayima
(Arab), berarti sesuatu yang mengandung, menampung, menunjukkan tentang baik atau buruk,
benar atau saling, pantas tidak patantas dan lain.lain.
Istilah nilai merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara
pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak (Ambroisje dalam
Kaswadi, 1993) . Menurut Rokeach dan Bank (Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan
yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini
berarti hubungannya denga pemaknaan atau pemberian arti suatu objek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang
danggap penting bagi seseorang dalam kehdiupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain itu,
kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait

9
dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak
disenangi oleh seseorang.
Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai
adalah: “a belief upon which a man acts by preference. It is this a cognitive, a motor, and above
all, a deeply propriate disposition”. Artinya nilai itu merupakan kepercayaan yang dijadikan
preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan
nilai yang dipercayainya. Ndraha (1997:27-28) menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak, karena
itu nilai pasti termuat dalam sesuatu. Sesuatu yang memuat nilai (value) ada empat macam,
yaitu: raga, perilaku, sikap dan pendirian dasar.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu
keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi
kehidupannya. Sedangkan sistem nilai adalah suatu peringkat yang didasarkan pada suatu
peringkat nilai-nilai seorang individu dalam hal intensitasnya. Dengan demikian untuk
mengetahui atau melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan-kenyataan
lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.

Pentingnya Nilai

Sebagimana ditegaskan oleh Robbins (1991:158) “Values are important to the study
organizational behavior because they lay the foundation for the understanding of attitudes and
motivation as well as influencing our perceptions. Indiviuals enter an organization with
preconceived nations of what ‘ougth’ and what ‘outght not’ to be. Of course, these nations are
not value free”. Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai
meletakkan pondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita.
Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya
mengenai apa yang “seharusnya” dan “tidak seharusnya”. Tentu saja gagasan-gagasan itu
sendiri tidak bebas nilai.
Lebih lanjut Robbins (1991) menegaskan bahwa gagasan-gagasan tersebut mengandung
penafsiran benar dan salah dan gagasan itu mengisyaratkan bahwa perilaku tertentu akan
memperkeruh obyektivitas dan rasionalitas. Di bagian lain Robbins (1991:159) menyatakan

10
“Values generally influence attitudes and behavior” (umumnya nilai mempengaruhi sikap dan
perilaku).

Tipe-tipe Nilai

Spranger (Alisyhbana, 1986) menggolongkan tipe nilai menjadi lima berdasarkan enam
lapangan kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Keenam lapangan itu ialah:
(1) lapangan pengetahuan; (2) lapangan ekonomi; (3) lapangan estetik; (4) lapangan politik; dan
(5) lapangan religi. Robbins (1991:159-160) merujuk pendapat Allport, dan kawan-kawannya
juga membagi tipe nilai menjadi enam, yaitu: (1) theoritical, (2) economic, (3) aesthetic, (4)
social, (5) political, dan (6) religious.
Dari keenam tipe nilai tersebut kemudian Spranger menggolongkan perilaku manusia ke
dalam enam golongan atau tipe, yaitu: (1) theoretical man (concerned with truth and
knowledge); (2) economic man (utilitarian); (3) esthetic man (art and harmony); (4) social man
(humansitarian); (5) political man (power and control); dan (6) religious man. Dapat diartikan
bahwa tipe nilai dapat digolongkan menjadi enam yaitu: (1) manusia teoritis (konsen terhadap
kebenaran dan pengetahuan), (2) manusia ekonomik (utilitarian), (3) manusia estetik (seni dan
harmoni), (4) manusia sosial (manusiawi), (5) manusia politik (kekuasaan dan pengawasan),
dan (6) manusia religius (agama) .
Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya.
Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dikelompokkan dalam 4
tingkatan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan
dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang lebih penting bagi
kehidupan, misalnya: kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum.
3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang sama sekali tidak
tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan,
kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

11
4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari suci dan tak suci.
Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan .

Demikianlah macam-macam nilai serta klasifikasinya menurut berbagai pakar dan


sumber. Penggunaan tiap-tiap kategorisasi di atas, tentu saja sesuai dengan konteks nilai yang
dibicarakan, dan hal ini lebih lanjut digunakan untuk membahas tentang sistem nilai yang
dikembangkan dalam berbaga situasi dan kebutuhan.

C. ASAS HUKUM
1. Pengertian Asas Hukum
Secara etimologi asas berasal dari Bahasa Arab Asasun yang sepadan artinya dengan
Principle (Inggris) yaitu dasar pendirian/dasar pemikiran dalam berpendapat atau bertindak.
Secara terminology, asas hukum mempunyai arti yang sangat beragam sebagaimana dirumuskan
oleh sejumlah pakar hukum antara lain :

Pengertian Asas Hukum Menurut Bellefroid adalah norma dasar yang di jabarkan dari
hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum
tersebut. Asas hukum umum itu lebih kepada pengendapan hukum positif dalam suatu
masyarakat.
Menutut P. Scholten, pengertian asas hukum ialah kecenderungan kecenderungan yang
diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum merupakan sifat-sifat umum dengan
segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum akan tetapi tidak boleh tidak harus ada.
Lebih lanjut Paul Scholten menguraikan definisi asas hukum sebagai berikut: ”Pikiran-pikiran
dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan- keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.” Dalam buku Grondbeginselen van het Recht, 1990: 63., Scholten menjelaskan
pengertian asas hukum sebagian besar ditentukan dengan meletakkannya dalam hubungan
dengan kaidah perilaku. Apa persisnya perbedaan antara asas hukum dan kaidah hukum, dengan
itu, masih tetap tidak jelas. Karena itu dalam paragraf 2 akan diberikan perhatian khusus.

12
Pendapat The Liang Gie mengenali pengertian asas hukum merupakan suatu dalil umum
yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai
pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang
tepat bagi perbuatan itu.
Berbicara mengenai pengertian asas hukun Van Eikema Hommes mengatakan bahwa
asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit tetapi perlu
dianggap sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku tersebut.
Pembentukan hukum praktis itu perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan
kata lain , pengertian asas hukum ialah dasar dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan
hukum positif.
Menurut penulis sendiri, asas hukum atau legal principle adalah tatanan yang memuat
dasar pendirian dari suatu entitas umum yang diabstraksikan melalui hasil pemikiran logis
sebagai kristalisasi dari sistem nilai dan etika moral yang dianut oleh masyarakat hukum
tertentu, kemudian menjadi patokan dan inspirasi yang sangat valid dan legitimeit dalam
membentuk norma atau kaidah baru.
Berdasarkan rangkaian pengertian asas hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian asas hukum adalah bukan merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan
yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Jadi asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit (nyata), melainkan merupakan
latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Asas Hukum umumnya
tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal seperti misalnya asas
reo, asas res judicata pro veritate habetur : asas lex posteriori derogate legi priori dan lain
sebagainya. Akan tetapi tidak jarang juga asas hukum dituangkan dalam bentuk peraturan yang
konkrit seperti : asas pressumption of innocence yang terdapat dalam pasal 8 UU No 48/2009
dan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali seperti yang tercantum dalam
pasal 1 ayat 1 KUHPid.
Kalau peristiwa hukum yang konkrit dapat diterapkan secara langsung pada
peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas

13
hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti bahwa
asas hukum menunjukkan pada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan –ketentuan
konkrit tersebut.
Asas hukum merupakan sebagian dari hidup kejiwaan kita (manusia). Dalam setiap asas
hukum manusia melihat suatu cita-cita yang hendak diraihnya, karena bukankah tujuan hukum
itu adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang merupakan bagian dari asas hukum
dalam menyempurnakan peradaban sebagai suatu cita-cita. Sebaliknya kaidah hukum itu
sifatnya historis, filosofis, walau berbasis pada nilai-nilai sosiologis dan psikologis yuridis.
Dalam hubungan asas hukum dan kaidah hukum yang konkrit disitulah terdapat sifat hukum.
Pada umumnya asas hukum berubah mengikuti kaidah hukum tersebut, sedangkan
kaidah hukum dengan sendirinya akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat dan
terpengaruh pada waktu dan tempat tertentu. Akan tetapi ada kaidah yang berkembang
sedangkan peraturan hukum konkritnya tidak mengetahui perubahan itu. Sebagai contoh dapat
dikemukakan pasal 1365 BW. Bunyi Pasal 1365 BW dibuat sampai sekarang tidak berubah ,
tetapi kaidah atau nilai yang terdapat dalam Pasal 1365 BW , isi (penafsiran) pengertian
perbuatan melawan hukum itu mengalami perubahan.
.
  Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan
hukum itu berakar pada suatu asas hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan
penataan masyarakat secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas
hukum adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum,
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual tersebut
dapat dipandang sebagai penjabarannya’.

Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah yang
berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman
berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.

Asas-asas hukum berfungsi, antara lain:

14
a. Untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau penemuan
hukum,
b. Sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum,
c. Kaidah penilai dalam menetapkan legitimitasi aturan hukum,
d. Kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum,
e. Menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.

Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan


dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah
kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat ditemukan dari putusan hakim
atau pun hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum,
baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.

Perlu ditegaskan lagi bahwa Gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian
fundamental dalam suatu sistem hukum kita temukan kembali pada karya-karya dari
banyak teoretisi hukum. Paul Scholten misalnya menguraikan (memberikan definisi)
asas hukum sebagai berikut: ”Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan- putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-
ketentuan dan keputusan- keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.”

(Rechtsbeginselen, 1935, dalam Verzamelde Geschriften, jilid 1, 1949: 402).

Dari definisi itu tampak dengan jelas peranan dari asas hukum sebagai meta-
kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum itu harus dipandang sebagai bentuk
yang kuat atau yang lemah dari metakaidah.

Dalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum itu dapat dipandang sebagai
suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan demikian secara
prinsipiil dapat dibedakan dari jenis kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan
ini, misalnya menunjuk asas hukum sebagai kaidah argumentasi berkenaan dengan
penerapan kaidah perilaku. Asasasas hukum hanya akan memberikan argumen-
argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak

15
memberikan pedoman (bagi perilaku).

Dalam hal kedua (bentuk yang lemah), asas-asas hukum itu tampaknya dapat
dianggap termasuk dalam tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku,
namun memiliki juga fungsi sejenis seperti kaidah perilaku. Jadi hanya terdapat suatu
perbedaan gradual saja antara asas hukum dan kaidah perilaku. Dalam pandangan ini
maka asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena
asas hukum ini memainkan peranan pada interpretasi terhadap aturan hukum dan
dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum. Berdasarkan itu maka asas
hukum dapat dinyatakan termasuk tipe meta-kaidah. Asas hukum itu juga sekaligus
merupakan perpanjangan dari kaidah perilaku, karena asas hukum juga memberikan
arah pada perilaku yang dikehendaki. Dalam buku ini dianut pandangan yang
termasuk tipe kedua, sebagaimana yang akan kami perlihatkan dalam paragraf 2,
bahwa antara asas hukum dan kaidah perilaku terdapat perbedaan gradual.

Pembedaan antara asas hukum dan kaidah perilaku juga muncul dalam penentuan arti dari
asas hukum oleh penulis-penulis lain. Karl Larenz (RICHTIGES RECHT. Grundzuge einer
Rechtsethik, 1979: 208) misalnya menjelaskan asas hukum sebagai berikut:
”Rechtsprinzipien sind leitende Gedanken einer (moglichen oder bestehenden) rechtlichen
Regelung, die selbst noch keine der ’Anwendung’ faehige Regain sind, aber in soiche
umgesetzt werden konnen’. [Asas-asas hukum adalah gagasan yang membimbing dalam
pengaturan hukum (yang mungkin ada atau yang sudah ada), yang dirinya sendiri bukan
merupakan aturan yang dapat diterapkan, tetapi yang dapat diubah menjadi demikian.]
Robert Alexy mengadakan pembedaan sejenis antara asas hukum dan aturan hukum.
Menurut pendapatnya, asas hukum adalah ”Optimierungsgebote” yang berarti aturan yang
mengharuskan bahwa sesuatu berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yuridis dan faktual
seoptimal mungkin direalisasikan. Sebaliknya, aturan hukum adalah aturan yang selalu
dapat atau tidak dapat dipatuhi. (RECHTSREGELN UND RECHTSPRINZIPIEN, 1985:
19-21) Ron Jue membatasi pengertian asas hukum sebagai berikut: ”Nilai-nilai yang
melandasi kaidah-kaidah hukum disebut asas-asas hukum. Asas itu menjelaskan dan
melegitimasi kaidah hukum; di atasnya bertumpu muatan ideologis dari tatanan hukum.
Karena itu, kaidah-kaidah hukum dapat dipandang sebagai operasionalisasi atau pengolahan
lebih jauh dari asas-asas hukum.”

R.J. Jue, Grondbeginselen van het Recht, 1990: 63. Dad uraian terdahulu akan
jelas bahwa oleh kami asas hukum dipandang juga sebagai kaidah hukum dan
dengan demikian kami menggunakan pengertian kaidah hukum yang lebih
luas ketimbang Jue.

Dengan demikian, pengertian asas hukum sebagian besar ditentukan dengan meletakkannya
dalam hubungan dengan kaidah perilaku. Apa persisnya perbedaan antara asas hukum dan
kaidah hukum, dengan itu, masih tetap tidak jelas. Karena itu dalam paragraf 2 akan
diberikan perhatian khusus.

16
Dari definisi Scholten di atas disimpulkan lebih lanjut bahwa asas-asas hukum
mewujudkan sejenis sistem sendiri, yang sebagian termasuk ke dalam sistem hukum,
tetapi sebagian lainnya tetap berada di luarnya. Menurut Scholten, asas-asas hukum
itu berada baik di dalam sistem hukum maupun di belakangnya. Dalam hal ini pikiran
Scholten terarah pada sistem hukum positif. Peranan ganda dari asas hukum
berkenaan dengan sistem hukum positif itu berkaitan dengan sifat (karakter) khas
asas hukum sebagai kaidah penilaian (waarderingsnormen). Asas hukum
mengungkapkan nilai, yang harus kita perjuangkan untuk mewujudkannya, tetapi
yang hanya sebagian saja dapat direalisasikan dalam hukum positif. Sejauh nilai suatu
asas hukum itu diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka
asas hukum itu berada di dalam sistem tersebut. Sejauh tidak demikian halnya, maka
asas hukum berada di belakangnya. Dalam paragraf 3 kita akan mendalami lebih jauh
tentang peranan asas hukum dalam suatu sistem hukum positif.

Demikianlah, kita dapat mengakhiri paragraf ini dengan kesimpulan bahwa kita
memandang asas hukum sebagai sejenis meta-kaidah berkenaan dengan kaidah
perilaku, sementara itu asas hukum juga dapat memenuhi fungsi yang sama seperti
kaidah perilaku. Sebab, meta-kaidah ini memuat ukuran/kriteria nilai
(waardemaatstaven). Fungsi asas hukum itu adalah merealisasikan ukuran nilai itu
.sebanyak mungkin dalam kaidah-kaidah dari hukum positif dan penerapannya.
Namun, mewujudkan ukuran-nilai itu secara sepenuhnya sempurna dalam suatu
sistem hukum positif adalah tidak mungkin.

Dalam paragraf yang lalu telah diajukan pertanyaan, apakah perbedaan antara asas
hukum dan kaidah perilaku dalam hukum bersifat prinsipiil atau gradual. Jawaban
atas pertanyaan itu tentu saja bergantung pada apa yang diartikan dengan kaidah
perilaku dan asas hukum. Dalam uraian terdahulu sudah dikemukakan apa yang saya
maksud dengan kedua istilah itu. Kaidah perilaku adalah kaidah yang ditujukan pada
perbuatan warga suatu masyarakat hukum tertentu. Sering kali kaidah perilaku itu
dipositifkan, artinya ditetapkan sebagai demikian oleh yang berwenang (autoriteit)
dalam masyarakat hukum yang bersangkutan. Asas hukum adalah kaidah yang
memuat ukuran (kriteria) nilai. Asas hukum itu berfungsi sebagai meta-kaidah
terhadap kaidah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan hukum
dan dengan itu wilayah penerapan aturan tersebut, tetapi asas hukum juga pedoman
bagi perilaku, walaupun dengan cara yang kurang langsung jika dibandingkan dengan
kaidah perilaku. Dengan demikian, menurut saya, perbedaan antara kaidah perilaku
dan asas hukum adalah juga bersifat gradual. Kita akan menunjukkan hal itu
berdasarkan lima perbedaan antara kaidah perilaku dan asas hukum yang dibuat di
dalam teori hukum.

Dalam teori hukum memang diajukan lebih banyak perbedaan antara asas hukum dan
kaidah perilaku ketimbang lima perbedaan yang dibahas di sini. Demikianlah, P Cliteur
menunjukkan suatu perbedaan dalam pembentukannya antara keduanya (Conservatisme en

17
cultuurrecht, 1989). Asas hukum tumbuh perlahan-lahan di dalam masyarakat hukum,
sedangkan kaidah perilaku ditetapkan pada suatu momen tertentu. Secara umum saya tidak
mengadakan pembedaan yang demikian ini (J.J.H. Bruggink, OP ZOEK NAAR HET
RECHT Rechtsvinding in rechtstheoretisch perspectief., 1992: 140).

Perbedaan pertama yang dibuat antara asas hukum dan kaidah perilaku adalah
sebagai berikut. Asas hukum bersifat umum; kaidah perilaku bersifat khusus. Dengan
”umum” dimaksudkan bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang lebih
luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar wilayahnya, makin lebih umum kaidah
hukumnya, makin lebih abstrak aturan hukum yang dirumuskannya. Dalam suatu
sistem hukum, maka asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental adalah kaidah
hukum yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah ”umum”, berarti
bahwa ia dalam penerapannya harus dikhususkan dengan mengarahkannya pada
situasi faktual. lni sesungguhnya berarti bahwa kaidah hukum itu tidak cukup jelas
mengharuskan (mempreskripsi), bagaimana orang seharusnya berperilaku dalam
situasi faktual itu. Dalam hal kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya.
Kaidah hukum yang khusus ini, yang timbul dari aturan hukum yang dirurnuskan
lebih konkret, memberikan pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum
sebagai kaidah hukum yang umum hanya memberikan suatu ukuran-nilai. Ukuran
nilai itu baru di dalam kaidah perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus
memperoleh bentuk yang sedemikian rupa, sehingga memunculkan pedoman yang
jelas bagi perbuatan, misalnya dengan jalan memberikan suatu hak atau meletakkan
(membebankan) suatu kewajiban.

Perbedaan antara asas hukum dan kaidah perilaku yang disebutkan di atas
dikemukakan oleh banyak teoretikus hukum. Dari perbedaan ini tidak dapat
diturunkan (disimpulkan) bahwa asas hukum berbeda secara prinsipiil dari kaidah
perilaku. Juga asas hukum, walaupun sering dirumuskan lebih abstrak dalam aturan
hukum, pada akhirnya memberikan arah pada perilaku manusia, sekalipun kurang
langsung.

Perbedaan kedua antara asas hukum dan kaidah perilaku antara lain diajukan oleh
Paul Scholten dan berada dalam garis pikiran dari perbedaan pertama. Scholten
membuat (menarik) perbedaan prinsipiil antara ”asas hukum” dan ”aturan hukum”
(jadi, Scholten berbicara tentang aturan hukum, sedangkan kami berbicara tentang
kaidah perilaku) berkaitan dengan cara yang berdasarkannya mereka diterapkan.
Menurut Scholten, perbedaan ini berada dalam garis (alur) pikiran dari perbedaan
yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya, aturan hukum (rechtsregel) memiliki
isi yang jauh lebih konkret, yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan hukum
dapat diterapkan secara langsung. Berlawanan dengan itu, asas hukum dalam
penemuan hukum memiliki daya kerja secara tidak langsung (indirect werking), yakni
menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap aturan hukum. Aturan-aturan
hukum terbentuk karena pembentuk undang-undang dalam pembentukan aturannya
atau hakim dalam pengambilan putusan hukumnya menimbang-nimbang berbagai

18
asas hukum yang satu terhadap yang lain.

Di sini Scholten mengaitkan suatu perbedaan ketiga. Sebuah aturan hukum


sehubungan dengan apa yang dikemukakan di atas bertumpu pada kewibawaan dari
pembentuk undang-undang atau dari hakim, sedangkan pada asas hukum halnya
tidak langsung demikian. Karena aturan hukum bertumpu pada kewibawaan para
pengemban kewenangan hukum (rechtsautoriteiten), maka aturan tersebut dapat
kehilangan keberlakuannya, sedangkan asas hukum tidak dapat kehilangan
keberlakuannya.

Jadi, cara dapat diterapkannya (toepasbaarheid) mewujudkan perbedaan kedua


antara asas hukum dan kaidah perilaku. Tetapi juga di sini tidak berkaitan dengan
suatu perbedaan prinsipiil, melainkan berkaitan dengan suatu perbedaan gradual.
Asas hukum tidak memiliki cara penerapan yang sama sekali berbeda dari kaidah
perilaku, tetapi hanya lebih tidak langsung. Karena itu juga terbuka kemungkinan bagi
pengambilan putusan hakim berdasarkan asas hukum yang umum, yang dengan
demikian berarti bahwa suatu kaidah perilaku khusus yang tidak tertulis telah

dikonstruksi. Kapan hal itu perlu atau tidak perlu dilakukan tidaklah dapat ditentukan
secara tajam. Perbedaan dalam hal dapat diterapkannya antara asas hukum dan
kaidah perilaku hanya bersifat gradual.

Perbedaan ketiga menurut saya tidak dapat dipertahankan. Pandangan Scholten


bahwa asas hukum tidak pernah dapat kehilangan keberlakuannya adalah tidak benar.
Sama seperti setiap aturan hukum positif lainnya, juga asas hukum dapat kehilangan
keberlakuannya, sebab juga ukuran nilai yang terkandung dalam asas hukum
menjalani perubahanperubahan.

Sebuah contoh tentang hal ini adalah asas hukum yang ditiadakan pada tahun 1956, yakni
asas bahwa wanita yang menikah wajib patuh kepada suaminya, yang sebelum tahun itu
tercantum dalam Pasal 161 BW.

Karena asas hukum berisi ukuran nilai dan hanya secara tidak langsung
memberikan pedoman, asas hukum itu tidak selalu dipositifkan dalam aturan hukum,
maka menjadi sulit untuk mengkonstatasi, kapan asas hukum telah kehilangan
keberlakuannya, misalnya karena para pengemban kewenangan tidak lagi
menegakkan asas hukum tertentu atau para justisiabel tidak lagi menerima ukuran
nilai itu dan tidak lagi menjadi acuan bagi perilaku. Namun hal itu tidak
mempengaruhi fakta, yang keberadaannya dapat ditetapkan kemudian, bahwa suatu
asas hukum tertentu nyata- nyata tidak berlaku lagi. Jadi, berkenaan dengan hal dapat
kehilangan keberlakuan, antara asas hukum dan kaidah perilaku tidak terdapat
perbedaan.

19
Perbedaan keempat dan kelima yang dibuat antara asas hukum dan kaidah
perilaku, menarik lebih jauh garis pikiran yang pada dua perbedaan pertama sudah
disebut- sebut. Mereka adalah perbedaan-perbedaan antara ”asas hukum” dan ”aturan
hukum” yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin.

R. Dworkin, 1977: 4-28. Seperti Scholten, juga Dworkin di sini berbicara tentang aturan
hukum untuk pengertian yang kami sebut dengan istilah ”kaidah perilaku”.

Menurut Dworkin, aturan hukum memiliki tidak hanya isi yang lebih konkret dan
dapat diterapkan secara langsung, tetapi lebih dari itu aturan hukum itu memiliki sifat
”semua atau tidak sama sekali” (alles of niets karakter). Dengan itu ia memaksudkan
yang berikut ini.

Jika orang untuk suatu kejadian tertentu telah menemukan aturan hukum yang
dapat diterapkan terhadapnya, maka aturan hukum itu memaksakan suatu keputusan
tertentu. Aturan hukum tersebut tidak membuka kemungkinan bahwa pada waktu
yang bersamaan terdapat suatu aturan hukum lain yang dapat diterapkan terhadap
kejadian itu. Untuk setiap kejadian hanya terdapat satu aturan hukum yang dapat
diterapkan, yang menutup pintu bagi aturan hukum lainnya.

Berlawanan dengan itu, menurut Dworkin, asas hukum tidak memiliki sifat ”semua
atau tidak” (alles of niets karakter) yang demikian itu. Sering kali terhadap kejadian
yang sama dapat diterapkan berbagai asas hukum, yang semuanya memainkan
peranan pada interpretasi aturan-aturan yang dapat diterapkan. Dalam hal itu maka
harus ditimbang-timbang asas hukum yang mana yang memiliki bobot paling besar
(relevan). Demikianlah, sejumlah asas hukum pada waktu yang bersamaan masing-
masing dengan bobot yang berbeda-beda memberikan sumbangan pada penetapan
keputusan dalam suatu kejadian tertentu, tetapi hanya terdapat satu aturan hukum
yang dapat diterapkan pada kejadian itu.

P W. Brouwer menyebut perbedaan antara asas hukum dan aturan hukum ini perbedaan
dalam kekuatan inferensial. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak dapat
dijabarkan (diderivasi) dari perumusan dari ukuran, melainkan dari cara bagaimana orang
menggunakan ukuran tersebut. Sebagai contoh ia mengajukan ukuran ”tiada hukuman
tanpa kesalahan”. Kita
menggunakan ukuran ini sebagai aturan, jika kita menerima bahwa ketidak beradaan
kesalahan secara logis niscaya (dengan sendirinya) membawa pada kesimpulan bahwa tiada
hukuman boleh dijatuhkan. Kita menggunakan ukuran ini sebagai asas, jika kita
menganggap ketidak beradaan kesalahan sebagai alasan untuk eventual (dalam hal tertentu)
tidak menjatuhkan hukuman, tetapi alasan ini tidak perlu selalu harus diikuti. Kita dapat
menerima uraian Brouwer. Dalam $ 5.4 terdahulu kami telah menguraikan bahwa arti
(makna) dari sebuah aturan hukum (rechtsregel), yang kita sebut kaidah hukum
(rechtsnorm), tidak bergantung pada perumusan aturan hukum itu tetapi pada konteks

20
pragmatisnya, jadi pada cara bagaimana aturan hukum itu digunakan.

Juga di sini terdapat pertanyaan apakah kita dalam hal ini dapat berbicara tentang
suatu perbedaan prinsipiil. Berlawanan dengan Dworkin, saya berpendapat bahwa
tidak demikian halnya. Sebelum ditetapkannya suatu keputusan dalam suatu kejadian
konkret, mungkin saja terdapat banyak aturan hukum yang dapat diterapkan pada
suatu kejadian tertentu, sebagaimana juga banyak asas hukum yang menjalankan
pengaruh terhadapnya.

Contoh tentang hal ini adalah Arrest Listrik yang terkena! (Hoge Raad, 23 Mei 1921). Pada
kasus ini, terhadap sejumlah fakta dapat diterppkan aturan-aturan hukum dari Wetboek van
Strafrecht berikut ini: Pasal 350 (perusakan barang, demikian B. Taverne dalam anotasi
pada arrest ini), Pasal 326 (penipuan, demikian advocaat generaal L. Besier dalam
konklusinya), Pasal 321 (penggelapan, demikian dikemukakan para pembela dalam pleidooi)
dan Pasal 310 (pencurian, menurut para hakim pada tiga instansi).

Tentu saja pada pengambilan keputusan dipilih satu aturan hukum konkret dengan
melakukan seleksi dan interpretasi, yang berdasarkannya terhadap kejadian itu
diberikan putusan, tetapi hal yang sama juga terjadi pada asas-asas hukum. Salah satu
asas hukum dalam suatu perkara tertentu memperoleh bobot lebih banyak ketimbang
yang lain-lainnya dan dalam arti itu maka asas-asas hukum lainnya itu dikecualikan
(disisihkan), walaupun tidak seradikal seperti pada aturan-aturan hukum. Selanjutnya
kita juga dapat mengatakan bahwa juga asas hukum memiliki suatu sifat ”alles of
niets”, yakni sejauh asas-asas hukum juga menjalankan pengaruh atau tidak secara
tidak langsung terhadap suatu kejadian konkret. Bukankah tidak semua asas hukum
yang ada digunakan pada interpretasi aturan hukum yang dapat diterapkan.

Di muka telah diuraikan bahwa asas hukum juga sedikit atau banyak memiliki
suatu sifat ”alles of niets”. Robert Alexy telah mengemukakan suatu argumen teoretis
yang berdasarkannya justru sifat ”alles of niets” dari aturan hukum diragukan. la
menjelaskan bahwa secara apriori tidaklah pasti apa persisnya wilayah penerapan
(toepassingsgebied) suatu aturan hukum. Bukankah terhadap setiap aturan hukum
dapat diberlakukan pengecualian-pengecualian yang membatasi wilayah penerapan
aturan hukum itu. Tidaklah mungkin untuk terlebih dahulu menetapkan semua
pengecualian terhadap suatu aturan hukum tertentu. Bukankah pengecualian-
pengecualian itu ditetapkan berdasarkan situasi-situasi faktual yang terhadapnya
aturan hukum itu diterapkan, dan semua situasi faktual yang mungkin terjadi di
kemudian hari adalah tidak mungkin dipaparkan mendahului kejadiannya. Lagi pula
pada penentuan pengecualianpengecualian terhadap suatu aturan hukum maka
berbagai asas hukum secara tidak langsung ikut bermain-serta, dengan menimbang-
nimbang yang satu terhadap yang lainnya. Justru sehubungan dengan sifat penilaian
(waarderingskarakter) dari asas-asas hukum maka hal menimbang-nimbang itu juga
tidak dapat ditentukan terlebih dahulu. Jadi, karena wilayah penerapan suatu aturan
hukum tidak ajeg (niet vaststaat), maka juga tidak jelas di mana daya kerja (daya

21
jangkau, de werking) suatu aturan hukum berhenti untuk memberi tempat bagi daya
kerja kaidah perilaku yang lain. Jadi juga kaidah-kaidah perilaku harus ditimbang-
timbang (afgewogen moeten worden) yang satu terhadap yang lain.

P W. Brouwer memihak Dworkin dalam perlawanan terhadap argumen dari Alexy ini.
Brouwer memberikan uraian berikut. Jika terhadap suatu aturan hukum tertentu dilakukan
suatu pengecualian, maka secara salah Alexy bertitik tolak dari pendapat ,bahwa aturan
hukum itu masih tetap yang sama. Atas dasar titik tolak itu ia dapat mengatakan bahwa
berkenaan dengan suatu aturan hukum tertentu tidak pernah semua kemungkinan
pengecualian dapat ditentukan. Namun titik tolak tersebut tidak tepat. Jika orang
mengadakan suatu pengecualian terhadap suatu aturan hukum, maka hal itu terjadi dalam
penerapan aturan tersebut. Dengan penerapan demikian itu maka aturan hukum itu
berubah isinya. Jadi, aturan tersebut bukan lagi aturan hukum yang sama seperti sebelum
penerapannya, sedangkan Alexy memandangnya masih tetap sama Dengan demikian,
argumen dari Alexy ini di hadapan pandangan Dworkin runtuh, demikianlah Brouwer.

P.W. Brouwer, RECHTSBEGINSELEN EN RECHTSPOSITIVISME, dalam


Rechtsbeginselen, ARS AEQUI 40, 1991: 760761. Menurut saya, argumen Brouwer
ini tidak menyentuh penolakan saya terhadap pembedaan prinsipiil antara asas
hukum dan aturan hukum, sebab saya seperti Brouwer membahas masalah itu
dari sudut penerapan berturut-turut asas hukum dan aturan hukum.

Dengan ini tampil ke permukaan mengapa, berlawanan dengan Scholten, Dworkin dan
Ataxy, kami menggunakan istilah kaidah perilaku ketimbang istilah aturan hukum.
Bukankah rumusan aturan hukumnya masih tetap sama, tetapi isi dari aturan hukum, yakni
kaidah perilakunya, telah berubah. Jika yang diartikan oleh Brouwer dengan aturan hukum
adalah apa yang kami artikan dengan kaidah hukum, maka yang benar adalah pendapat
Brouwer. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa kami tidak men
gidentifikasikan sifat ”semua atau sama sekali tidak” dari kaidah hukum dengan wilayah
penerapan yang statis. Suatu kaidah hukum memiliki sifat ”semua atau sama sekali tidak”
jika kaidah itu, walaupun wilayah penerapannya berubahubah, menghalangi penerapan
kaidah-kaidah hukum lain pada suatu kejadian tertentu. Itulah yang terjadi pada kaidah
perilaku, tetapi dengan bobot yang kurang juga pada asas hukum.

Perbedaan keempat, yang juga dikemukakan oleh Dworkin, berkaitan dengan yang
ketiga. Jika terhadap suatu kejadian tertentu hanya satu aturan hukum yang dapat
diterapkan, maka menurut pendapatnya hal itu memunculkan kesimpulan bahwa
aturan-aturan hukum saling menutup pintu (sating mengenyampingkan, elkaar
uitsluiten). Jadi, aturan-aturan hukum itu tidak dapat secara tetap saling berkonflik,
`sebab salah satu aturan hukum atau yang lainnya, yang dapat diterapkan (artinya :
jika sudah ditetapkan bahwa satu aturan hukum tertentu yang dapat diterapkan,
maka yang lainnya tersisihkan dari kemungkinan dapat diterapkan). Namun, asas-
asas hukum pada penerapan terhadap suatu kejadian tertentu tetap ada yang satu di
samping yang lainnya. Jadi, di antara asas-asas hukum memang terdapat konflik.

22
Dengan demikian, berlawanan halnya dengan aturan-aturan hukum maka asas-asas
hukum dapat sating berkonflik, dan dengan demikian persoalannya menjadi suatu
persoalan menimbang-nimbang asas hukum yang mana yang menang dalam suatu
kejadian tertentu, namun itu tetap tidak berarti bahwa asas-asas hukum yang lainnya
tersisihkan.

Menurut pandangan saya, juga Dworkin terlalu menitik beratkan perbedaan antara
asas hukum dan aturan hukum ini. Pada suatu putusan hakim, berdasarkan fakta-
fakta dari kejadian yang bersangkutan, berbagai kaidah perilaku secara langsung
memainkan peranan dan pada akhirnya satu kaidah perilaku khusus
memenangkannya. Jadi, sebelum pengambilan keputusan aturan-aturan hukum dapat
berkonflik, tetapi sesudah keputusan itu konflik ini terselesaikan. Tetapi sebelum
suatu keputusan, berdasarkan wilayah penerapan faktual yang seyogianya diperoleh
aturan hukum yang bersangkutan, juga berbagai asas hukum memainkan peranan dan
pada pengambilan keputusan pada akhirnya satu asas hukum akan ditimbang lebih
berat ketimbang yang lainnya pada interpretasi terhadap aturan hukum tersebut.
Sesudah keputusan juga konflik ini terselesaikan, walaupun kurang radikal jika
dibandingkan dengan apa yang terjadi di antara aturan-aturan hukum, karena juga
asas-asas hukum yang lainnya, meskipun dengan derajat yang kurang, menjalankan
pengaruh pada pengambilan keputusan. Jadi juga di sini terdapat perbedaan gradual
ketimbang prinsipiil.

Uraian di muka membawa pada kesimpulan berikut ini. Asas hukum adalah sejenis
meta-kaidah berkenaan dengan kaidah-kaidah perilaku. Asas hukum itu di satu pihak
memiliki suatu sifat yang berbeda dari kaidah perilaku, karena sebagai kaidah
penilaian berada pada landasan dari kaidah-kaidah perilaku dan dalam interpretasi
aturan-aturan hukum turut menentukan wilayah penerapan aturan-aturan. Itu
sebabnya asas hukum itu disebut meta-kaidah. Di lain pihak asas hukum itu sama
seperti kaidah perilaku karena secara tidak langsung juga memberikan arah pada
perilaku yang diinginkan. Jadi, asas hukum dan kaidah perilaku adalah berbeda, tetapi
perbedaan itu hanya gradual saja.

Dalam uraian terdahulu dikemukakan bahwa asas hukum berfungsi baik di dalam
maupun di belakang sistem hukum positif. Asas hukum itu dapat berfungsi demikian
karena berisi ukuran nilai. Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu mewujudkan
kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. itu sebabnya asas-asas
hukum itu adalah fondasi dari sistem tersebut. Asas hukum itu terlalu umum untuk
dapat berperan sebagai pedoman bagi perbuatan. Karena itu, asas hukum harus
dikonkretisasikan. Pembentuk undang-undang membentuk aturan hukum, yang di
dalamnya ia merumuskan kaidah perilaku. Selanjutnya konkretisasi dalam kaidah
perilaku ini terjadi melalui generalisasi putusan-putusan hakim. Jika
pengkonkretisasian telah terjadi dan sudah ditetapkan (terbentuk) aturan-aturan
hukum positif dan putusan-putusan, maka asas hukum tetap memiliki sifat sebagai
kaidah penilaian. Dengan itu maka fungsi kedua asas hukum tampil ke permukaan.

23
Ukuran nilai yang diberikan asas hukum itu sulit untuk diwujudkan secara
sepenuhnya. Dengan itu, asas hukum dapat tetap berada berhadapan dengan sistem
hukum positif dan berfungsi sebagai batu-uji kritis (kritische toetssteen).

Penentuan Robert Alexy tentang asas hukum sebagai ”Optimierungsgebote” juga


menunjuk ke hal itu. J. Gijssels (1989) dalam artikelnya juga mengakui kedua fungsi
tersebut, tetapi berpendapat bahwa hanya asas yang menjalankan fungsi yang pertama
adalah asas hukum, karena hanya asas ini yang termasuk dalam hukum positif. Asas-asas
yang menjalankan fungsi yang kedua menurut pendapatnya berkenaan dengan kaidah-
kaidah etis dan idea-idea filsafat negara, bukan tentang asas-asas hukum.

Demikianlah asas hukum mengemban fungsi-ganda: sebagai fondasi dari sistem


hukum positif dan sebagai batu-uji kritis terhadap sistem hukum positif.

Apa yang dikemukakan tadi dapat menimbulkan kesalah pahaman berkenaan


dengan sifat sistem hukum positif kita. Dari apa yang dikemukakan tadi orang
mungkin saja dapat berpikir bahwa di dalam sistem hukum positif kita terdapat suatu
tatanan hierarkhis (rangorde) dalam kaidahkaidah hukum dari yang paling umum,
yakni asas hukum, sampai ke yang khusus, yakni kaidah perilaku. Dengan demikian
maka seolah-olah sistem hukum itu suatu sistem tertutup kaidah-kaidah hukum yang
dibangun secara hierarkhis. Namun sesungguhnya mustahil untuk memaparkan
sistem hukum positif kita sebagai suatu tatanan hierarkhis yang ajeg (vaste rangorde)
yang terdiri atas asas-asas hukum yang paling umum sampai ke kaidah-kaidah
perilaku yang paling khusus.

Sebenarnya tatanan hierarkhis tersebut dapat dikonstruksi hanya dari kaidah yang
lebih rendah ke yang lebih tinggi pada suatu keputusan hakim, sebab ia dengan
demikian ditetapkan berdasarkan satu situasi faktual tertentu. Sebelum terjadinya
keputusan hakim tersebut, yang selalu diambil dalam konteks fakta-fakta dari kejadian
yang bersangkutan, berlangsung suatu seleksi aturan-aturan hukum, dan pada
kegiatan itu asas-asas hukum secara tidak langsung memainkan peranan penting.
Pada kegiatan itu berbagai asas hukum ditimbang-timbang yang satu terhadap yang
lainnya. Selanjutnya pada waktu yang bersamaan terjadi pengkualifikasian
(menerjemahkan fakta-fakta dan/atau kejadian ke dalam bahasa yuridis) dan
interpretasi, dan juga di sini asas-asas hukum dilibatkan. Jika keputusan hakim sudah
diambil, maka sesudahnya dapat ditetapkan suatu tatanan hierarkhis di antara aturan-
aturan hukum dan asas-asas hukum yang terlibat. Orang dapat mengatakan aturan
hukum yang mana yang dapat diterapkan dan yang mana yang tidak, dan selanjutnya
mengemukakan asas hukum yang mana yang dalam timbangan telah diberikan bobot
banyak atau sedikit. Itu bukanlah suatu tatanan hierarkhis yang ajeg, sebab dalam
situasi faktual berikutnya akan diambil suatu keputusan hakim yang lain, dan pada
pengambilan keputusan ini suatu tatanan hierarkhis aturan-aturan hukum dan asas-
asas hukum yang lain yang memainkan peranan. Karena tatanan hierarkhis yang ajeg
tidak ada, maka kita juga memandang tatanan hukum positif kita sebagai suatu sistem

24
terbuka (open systeem).

Kenyataan bahwa sistem hukum positif kita adalah suatu sistem terbuka, tidak
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan tataran di antara kaidah-kaidah hukum.
Sekelompok kaidah hukum tertentu memang memiliki sifat lebih umum ketimbang
suatu kelompok lainnya. Dalam kerangka itu kita sudah menetapkan asas hukum
sebagai suatu jenis khusus kaidah hukum, yakni kaidah penilaian yang memiliki ciri
suatu derajat keumuman yang lebih tinggi. Dari karya Paul Scholten, yang definisi
luasnya tentang asas hukum sudah dikemukakan dalam paragraf 1, dapat
disimpulkan bahwa di antara asas-asas hukum dapat dikemukakan terdapatnya
perbedaan tataran, berdasarkan derajat keumuman. Asas-asas hukum yang paling
fundamental adalah kaidah-kaidah penilaian yang mewujudkan landasan (basis) dari
setiap sistem hukum.

Paul Scholten (1935: 405-408) menyebut lima asas hukum yang termasuk dalam kategori
ini; dua pasang yang masing-masing terdiri atas dua asas, yang didukung oleh asas yang
kelima: kepribadian berhadapan dengan masyarakat, persamaan berhadapan dengan
kewibawaan (gezag), yang dipelihara keseimbangannya oleh pemisahan baik dan buruk. Bagi
sistem hukum kita, demikian kata Scholten, asas-asas universal itu diisi sebagai berikut:
kebebasan (kepribadian) berhadapan dengan cinta-kasih (masyarakat), keadilan (persamaan)
berhadapan dengan kepatuhan (kewibawaan), yang oleh pemisahan baik dan buruk
dipertahankan keseimbangannya.

Di atasnya terdapat tataran asas-asas hukum yang memberikan ciri khas pada suatu
sistem hukum tertentu. Di atasnya lagi terdapat asas-asas hukum yang terletak pada
landasan (basis) dari bidang hukum tertentu, misalnya untuk bidang hukum pidana:
”tiada hukuman tanpa kesalahan”, atau untuk bidang hukum perdata: ”pacta sunt
servanda”. Tataran terdepan diwujudkan oleh asas-asas hukum yang terletak pada
landasan berbagai kaidah perilaku, misalnya perlindungan pihak ketiga
(derdenbescherming) dalam hukum perdata. Akhirnya terdapat tataran pernyataan
asas (beginsel uitspraken): asas-asas hukum yang memiliki sifat lebih umum
ketimbang rata-rata kaidah perilaku, misalnya Pasal 14 AB. Stromholm juga
mengemukakan sejenis pembagian asas-asas hukum berdasarkan tatarannya.

Berlawanan dengan Scholten, penulis-penulis laih berpendapat bahwa orang sebaiknya


jangan terlalu banyak menggolong-golongkan asas-asas hukum. Begitulah D. Meuwissen
(”Rechtsbeginselen en natuurrecht, Ars Aequi 40, 1991) misalnya memberikan suatu
penggolongan yang sederhana. la mengadakan pembedaan antara asas hukum materiil dan
asas hukum formal. Asas materiil adalah yang berikut ini:

1. asas respek terhadap keperibadian manusia sebagai demikian, yang dikonkretisasikan lebih
lanjut dalam:

2. asas respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan kejasma nian dari keberadaan sebagai
pribadi, yang dipikirkan dalam hubungannya dengan pribadi-pribadi lain memunculkan:

25
3. asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yang menuntut timbal batik dan memunculkan:

4. asas pertanggungjawaban. Dua asas terakhir menentukan struktur masyarakat dan


memunculkan:

5. asas keadilan.

Di sampingnya terdapat tri-asas hukum formal:

1. asas konsistensi logikal,


2. kepastian,
3. asas persamaan

J. Gijssels (”Algemene Rechtsbeginselen” zijn nog geen recht) memilih pendekatan lain. la
mengemukakan sebuah daftar yang memuat 83 asas hukum, tanpa menatanya ke dalam
perbedaan tataran atau memberikan penataan tertentu.

Dalam paragraf yang lalu dibahas peranan yang dimainkan asas-asas hukum dalam
suatu sistem hukum. Dengan ini sudah dikemukakan banyak hal tentang pengertian
suatu sistem hukum. Sesungguhnya dalam bab-bab terdahulu juga terjadi hal yang
sama. Dalam paragraf ini kita akan menata kembali segala sesuatunya. Untuk itu kita
akan kembali ke paragraf pertama buku ini, yang di dalamnya ”hukum” didefinisikan
sebagai suatu ”sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum”. Definisi ini
telah kami jabarkan lebih jauh sebagai ”suatu produk kesadaran hukum, yang terdiri
atas suatu keseluruhan aturan hukum dan putusan hukum yang saling berkaitan”.
Dengan itu sudah dikemukakan bahwa hukum adalah suatu ,gejala yang dari dirinya
sendiri menghendaki sistematisasi. Jika orang meletakkan berat pada aspek hukum ini,
maka kita sudah berbicara tentang suatu sistem hukum.

Sekarang apa ciri-ciri dari suatu sistem hukum? Pertama-tama harus dikatakan
bahwa, seperti setiap hukum, sistem hukum adalah suatu produk kesadaran hukum,
yang berarti bahwa sistem hukum juga mengandung aspek-aspek irrasional. Namun
yang menjadi titik berat sekarang tidak pada segi itu. Karena suatu sistem hukum
terjadi dengan membentuk suatu keseluruhan yang saling berkaitan, maka aspek
rasionalnya yang lebih menonjol. Adalah tugas dari Ilmu Hukum untuk menata
aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum sedemikian rupa sehingga
sebanyak mungkin menampilkan gambaran keseluruhan yang tertata dalam suatu
ikhtisar (overzichtelijke gehelen), dan dalam hal ini maka pembentukan suatu sistem
total (totaalsysteem) hanyalah suatu ideal saja.

Membangun suatu sistem hukum yang secara logikal tertutup, sebagaimana sudah
dikemukakan dalam paragraf yang lalu, adalah suatu kemustahilan.

Dalam arti lain orang menyebut bahwa suatu tatanan hukum adalah suatu sistem tertutup.
Tatanan hukum disebut tertutup karena memiliki ciri bahwa dari tatanan tersebut selalu

26
dapat ditemukan suatu penyelesaian bagi setiap masalah hukum yang timbul. Menurut arti
ini, maka suatu tatanan hukum adalah suatu sistem terbuka jika kadang-kadang tidak
mampu memberikan (menawarkan) penyelesaian. Akan menjadi jelas bahwa ciri untuk
selalu dapat menemukan suatu penyelesaian justru dimungkinkan karena sistem hukum;
menurut terminologi kita, adalah suatu sistem terbuka.

Bervariasinya aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum sudah


menghalangi bahwa mereka akan dapat dikumpulkan menjadi satu keseluruhan,
tanpa menimbulkan kerugian pada isinya. Berbagai asas hukum yang ada pada
landasan (basis) suatu sistem hukum menghalangi tersusunnya suatu keseluruhan
yang tertutup. Nilai-nilai, yang memperoleh bentuk dalam asas-asas hukum,
mengajukan (menuntut) berbagai syarat pada sistem itu, yang tidak dapat semuanya
pada waktu yang bersamaan diwujudkan. Pada akhirnya berbagai kepentingan
kemasyarakatan dan tujuan politik memainkan peranan di dalam hukum, yang
seringkali saling bertentangan. Semuanya itu dengan derajat yang berubah-ubah dan
dengan cara yang berbeda-beda berpengaruh dalam praktek hukum, yang
mengakibatkan bahwa bertolak dari praktek, orang tidak mungkin akan sampai pada
suatu sistem hukum terunifikasi secara penuh (volledig uniform rechtssysteem).
Karena itu, sistem hukum memiliki ciri sebagai suatu sistem terbuka, yang di
dalamnya orang hanya dapat menunjukkan di sana sini ada perkaitan. Hal itu juga
diperlukan. Hal mengungkapkan keseluruhan yang saling berkaitan dalam hukum
meningkatkan nilai dari hukum, karena hukum adalah suatu sistem konseptual.

Di muka sudah dikatakan bahwa adalah terutama tugas dari Ilmu Hukum untuk
mensistematisasi aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. ltu tidak berarti
bahwa hal ini tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang dan Para hakim, sebab bagi
mereka berlaku: semakin banyak kesatuan dalam hukum, semakin baik. Para hakim
melegitimasi putusan-putusan mereka dengan mengemukakan perkaitan putusan-putusan
mereka pada aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum yang ada. Contoh yang
paling terkenal dari sistematisasi oleh pembentuk undang-undang adalah Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (Nieuwe Burgerlijk Wetboek, disingkat NBW) baru di Belanda
yang baru saja diberlakukan. Susunan dari bagian-bagian umum berkenaan dengan
bagianbagian khusus dalam hukum kekayaan sudah memperlihatkan hal itu. Buku 3 (hukum
benda umum) berhadapan dengan buku 5 (hakhak kebendaan) dan buku 6-8 (hukum
perikatan). Begitu juga buku 6 (hukum perikatan umum) terhadap buku 7 (perjanjian-
perjanjian khusus) dan buku 8 (sarana lalu-lintas dan pengangkutan). Tentu saja
pemahaman ilmiah memainkan peranan pada sistematisasi mereka. Begitulah, sistematisasi
tersebut tadi dibangun berdasarkan penentuan arti benda yang baru yang dikembangkan
dalam Ilmu Hukum (Pasal 3 : 1 NBW : benda adalah semua urusan dan hak atas kekayaan).

Uraian di muka membawa pada kesimpulan berikut. Jika kita mendengar orang
menyebut istilah ”sistem hukum”, maka yang sedang berbicara sering adalah seorang
pembicara yang berkerangka acuan Ilmu Hukum, yang mendekati hukum dari aspek
sistematisnya. la dengan itu bermaksud hendak memperlihatkan aturan-aturan hukum

27
dan putusanputusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dalam
suatu hubungan sating berkaitan. Istilah ”sistem hukum” yang dimaksudnya itu
berkenaan dengan suatu keseluruhan yang terbatas, misalnya sistem dari hukum
perdata Belanda, karena membentuk suatu keseluruhan yang saling berkaitan dari
semua kaidah hukum yang mungkin ada atau diadakan adalah mustahil. Hanya para
filsuf hukum yang pernah mempertimbangkan untuk mencobanya misalnya dalam
berbagai sistem hukum kodratiah, tetapi dalam teori-teori itu istilah ”sistem hukum”
lebih banyak berkenaan dengan sistem ideal dari kaidah-kaidah hukum yang
mungkin direka, yang dari dalamnya orang dapat memperoleh pemahaman tentang
tuntutan (syarat-syarat) dari hukum, ketimbang untuk mensistematisasi tatanan-
tatanan hukum positif yang ada.

Di atas kita telah memperlihatkan apa yang pada umumnya oleh para yuris diartikan
dengan sistem hukum. Disiplin lain akan menetapkan arti suatu sistem hukum dengan cara
berbeda. Seorang sosiolog hukum, dengan bertolak dari kenyataan kemasyarakatan, akan
menganalisis (menguraikan unsur-unsur) apa saja yang termasuk dalam suatu sistem
hukum. Salah satu contohnya adalah teori dari Kees Schuit (Recht en Samenleving, 1983:
11-18). Menurut pendapatnya, sebuah sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki
kemandirian tertentu (memiliki identitas dengan batas-batas yang relatif jelas) yang sating
berkaitan, dan masingmasing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur-unsur yang
mewujudkan sistem hukum itu adalah:

1. unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum,yang terdiri atas
aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut
”sistem hukum”. Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya:

2. unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan


lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke
dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam
kerangka suatu organisasi atau lembaga.
3. unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan
konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban
jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum
itu.

2. Ragam Klasifikasi Asas Hukum

Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi
demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia.
Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke dalam
klasifikasi berikut:

28
a. asas-asas hukum materiil:
1. respek terhadap kepribadian manusia
2. respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari
keberadaan manusia sebagai pribadi
3. asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
4. asas pertanggungjawaban
5. asas keadilan
b. asas-asas hukum formal:

1. asas konsistensi
2. asas kepastian
3. asas persamaan.

  Selain asas-asas hukum yang bersifat umum di atas, pada setiap bidang hukum terdapat
berbagai asas hukum yang bersifat khusus. Dalam bidang hukum perdata misalnya, dikenal asas
kebebasan berkontrak (fredoom of contract), atau dalam bidang hukum tata negara dikenal
adanya asas pembagian atau pemisahan kekuasaan (distribution of power separation), dalam
bidang hukum administrasi dikenal asas good governance yaitu asas-asas umum pemerintahan
yang baik, dan sebagainya.
Bila Hukum Positif Bertentangan dengan Asas Hukum
Fungsi asas sebagai yang melatar belakangi hukum positif dapat dijelmakan dalam uu dan
putusan hakim. Timbul pertanyaan: bolehkah hukum positif di suatu negara dengan tidak
mengindahkan asas-asas hukum itu sendiri? Apakah ada sanksi jika suatu hukum positif tidak
mengindahkan asas-asas hukum itu?
Jika suatu asas hukum telah menjadi bagian dari hukum positif, maka pelanggaran
terhadap asas hukum seperti itu berakibat fatal secara teknis yuridis. Misalnya hakim dalam
mengadili suatu perkara mendukung salah satu pihak. Selain melanggar kode etik, putusannya
juga dapat menjadi batal karena bertentangan dengan asas audio et alterm partem. Demikian
pula asas ius curia novit menjadi dasar bagi setiap badan peradilan untuk tidak menolak perkara
apapun hanya karena hakim dianggap belum tahu hukumnya.
Namun asas hukum yang belum menjadi bagian hukium positif , pada umumnya, tidak
ada sanksi khusus yang diberlakukan. Namun demikian, ada kalanya suatu asas hukum

29
dijadikan pertimbangan oleh badan yudisial dalam mengadili perkara tertentu. Sebagai contoh,
dalam pengujian Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasan
mengenai jangka waktu pencegahan, Mahkamah Konstitusi menggunakan asas
proporsionalitas sebagai salah satu pertimbangan memutus perkara tersebut (vide Putusan
Nomor 64/PUU-IX/2011, hlm. 66).
  Secara khusus, dalam hal perkara pengujian Keputusan Tata Usaha Negara, asas hukum
terkait, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijadikan batu uji oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam mengadili perkara tersebut (vide Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
  Dalam hal suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memberikan sanksi berupa
kewajiban mencabut dan/ atau menerbitkan keputusan tata usaha yang baru, dengan atau tidak
disertai ganti rugi dan/ atau rehabilitasi (vide Pasal 97 ayat (9), (10) dan (11) UU Peradilan Tata
Usaha Negara). Namun demikian, penggunaan asas-asas tersebut sebagai batu uji, lebih
disebabkan karena asas-asas tersebut telah bertransformasi menjadi norma hukum/normatifisasi
(diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya), tidak murni sebagai
asas hukum.
  Walaupun pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak mengindahkan
asas hukum, namun jika hal itu tersebut terjadi, maka sangat mungkin hukum positif tersebut
tidak atau kurang memenuhi dasar-dasar keberlakuan hukum yang baik. Dasar–dasar
keberlakuan hukum yang dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis (Bagir
Manan: 1992).
  Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas bahwa anak yang
lahir di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu kandung (dan
keluarga ibunya). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah asas yang mendasari
Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut secara fundamental. Putusan tersebut menegaskan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, namun juga dengan  laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu  pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

30
hukum mempunyai  hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
(vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).
  Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa:
  “hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah
antara anak denganlaki-laki tersebut sebagai bapak” ( vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010,
hlm. 35).
  Artinya, putusan tersebut juga melegitimasi hubungan keperdataan antara anak - bapak,
tanpa didasarkan adanya ikatan “perkawinan” (bukan sekedar tidak dicatatkan). Walaupun
Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan tersebut atas dasar perlindungan hukum terhadap
anak, namun sangat mungkin substansi putusan tersebut, tidak dapat diterima oleh mayoritas
masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan, hubungan seksual tanpa didahului perkawinan,
apalagi yang berakibat pada kehamilan dan kelahiran anak, dianggap sebagai tindakan yang
melanggar kesusilaan. Putusan tersebut menunjukkan adanya hukum positif yang tidak
mengindahkan, atau bahkan mengubah asas hukum secara fundamental, yang jika dilihat dari
segi dasar keberlakuan hukum, kurang memenuhi dasar berlaku dari aspek sosiologis
(penerimaan oleh masyarakat) dan aspek filosofis (pandangan dan nilai-nilai dalam
masyarakat). Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat efektifitas dan keampuhan
(efficacy) putusan tersebut dalam praktik.

3. Contoh Asas Hukum

Dalam dunia akademik maupun praktik hukum, adagium dan asas hukum senantiasa
menghiasi pengayaan dan pengembangan hukum. Adapun contoh asas hukum antara lain
sebagai berikut :

1. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars : Bahwa para pihak harus di dengar.
Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua
belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja.
2. Bis de eadem re ne sit acto atau Ne bis in idem : Mengenai perkara yang sama dan sejenis
tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya, Contohnya pasal 76 KUH Pidana.

31
3. Clausula rebus sic stantibus : Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu
perjanjian antar Negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama.
4. Cogitationis poenam nemo patitur : Tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang
dipikirkannya.
5. Concubitus facit nuptias : Perkawinan terjadi karena hubungan kelamin .
6. De gustibus non est disputandum : Mengenai selera tidak dapat disengketakan.
7. Erare humanum est, turpe in errore perseverare : Membuat kekeliruan itu manusiawi,
namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan.
8. Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus : Sekalipun esok langit akan runtuh
atau dunia akan musnah keadilan harus tetap ditegakkan.
9. Geen straf zonder schuld : Tiada hukuman tanpa kesalahan .
10. Hodi mihi cras tibi : Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap
tersimpan dalam hati nurani rakyat.
11. Indubio pro reo : Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi si terdakwa.
12. Juro suo uti nemo cogitur : Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya.
Contohnya orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus .
13. Koop breekt geen huur : Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. Perjanjian sewa
menyewa tidak berubah walaupun barang yang disewanya beralih tangannya. Contoh :
Pasal 1576.
14. Lex dura sed ita scripta atau lex dura sed tamente scripta : Undang-undang adalah keras
tetapi ia telah ditulis demikian. Contoh pasal 11 KUH Pidana.
15. Lex niminem cogit ad impossibilia : Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contoh pasal 44 KUH Pidana.
16. Lex posterior derogat legi priori atau lex posterior derogat legi anteriori : Undang-undang
yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Contohnya UU no 22/2009
tentang UU Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Mengenyampingkan Undang-Undang no
14/1992.
17. Lex specialis derogat legi generali : Undang-udang yang khusus didahulukan berlakunya
dari pada undang-undang yang umum. Contohnya: pemberlakuan KUH Dagang terhadap
KUH Perdata dalam hal perdagangan .

32
18. Lex superior derogat legi inferiori Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan
undang-undang yang lebih rendah tingkatannya.
19. Matrimonium ratum et non consummatum : Perkawinan yang dilakukan secara formal,
namun belum dianggap jadi, mengingat belum terjadi hubungan kelamin, Contoh yang
identik yaitu dalam perkawinan suku sunda yang disebut randa bengsrat.
20. Melius est acciepere quam facere injuriam : Lebih baik mengalami ketidak adilan dari pada
melakukan ketidak adilan.
21. Modus vivendi : Cara hidup bersama .
22. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet : Tak seorang pun dapat mengalihkan
lebih banyak haknya dari pada yang ia miliki.
23. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali : Tiada suatu perbuatan dapat
dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada
lebih dahulu dari pada perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh Anslm von Feuerbach.
Lebih jelas pasal 1 ayat (1) KUH Pidana.
24. Opinio necessitates : Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat
untuk timbulnya hukum kebiasaan.
25. Pacta sunt servanda Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan
itikad baik , Contoh : Pasal 1338 KUH Perdata.
26. Potior est qui prior est : Siapa yang pertama dialah yang beruntung.
27. Presumption of innocence Asas praduga tak bersalah Bahwa seseorang dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (penjelasan UU No 8/1981 tentang
KUHAP butir 3 c).
28. Primus inter pares Yang pertama (utama) diantara sesame.
29. Princeps legibus solutus est : Kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin
sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya.
30. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio : Asas dalam hukum internasional yang
menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada
hukum negara itu.
31. Qui tacet consentire videtur : Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui.

33
32. Res nullius credit occupanti : Benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk
dimiliki.
33. Summum ius summa injuria,: Keadilan tertinggi dapat berarti ketidak adilan tertinggi.
34. Similia similibus : Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal sama pula, tidak
pilih kasih.
35. Testimonium de auditu: Kesaksian dapat di dengar dari orang lain.
36. Unus testis nullus testis : Satu saksi bukanlah saksi.
37. Ut sementem feceris ita metes : Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik
hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai.
38. Vox populi vox dei: Suara rakyat adalah suara tuhan.
39. Verba volant scripta manent : Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis
tetap ada .
40. Asas Nemo plus Yuris : bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada
padanya. asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali
haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
4. Adagium / Pameo Hukum
Dalam dunia hukum, selain asas hukum, juga terdapat pranata hukum yang dikenal
dengan istirah adagium atau pameo hukum. Apa perbedaan adagium/pameo hukum dengan
asas? Adagium adalah ungkapan hukum, yang berbeda dengan asas hukum. Asas hukum
merupakan tatanan suatu entitas hukum yang diabstraksikan melalui hasil pemikiran logis dan
mendasar sebagai kristalisasi dari sistem nilai dan etika moral yang dianut masyarakat hukum
tertentu kemudian menjadi inspirasi dalam mempengaruhi terbentuknya kaidah/norma baru
meski tidak mempunyai validitas maupun dasar legitimasi hukum sebagaimana yang dimiliki
asas hukum. Contoh adagium hukum:

UBI SOCIETAS, IBI JUS (di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya).

IUS CURIA NOVIT (seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya).

LEX SEMPER DABIT REMEDIUM – The law always give a remedy (hukum selalu memberi
obat)

EQUUM ET BONUM EST LEX LEGUM - (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum).

34
LEX NEMINI OPERATUR INIQUUM, NEMININI FACIT INJURIAM – The law works an
injustice to no one and does wrong to no one (hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada
siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun)

DROIL NE DONE, PLUIS QUE SOIT DEMAUNDE –The law give no more than is demanded
(hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan).

LEX REJICIT SUPERFLUA, PUGNANTIA, INCONGRUA – The law rejects superfluous,


contradictory, and incongruous things (hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak)

DORMIUNT ALIQUANDO LEGES, NUNQUAM MORIUNTUR – Laws sometimes sleep but


never die (hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati).

INDE DATAE LEGES BE FORTIOR OMNIA POSSET – Law were made lest the stronger
should have unlimited power(hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai
kekuasaan tidak terbatas).

FIAT JUSTITIA RUAT COELUM ATAU FIAT JUSTITIA PEREAT MUNDUS – Let justice
be done though the heaven should fall (sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan
musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harustetap ditegakkan)

JUSTITIAE NON EST NEGANDA, NON DIFFERENDA – Justice is not to be denied or


delayed (keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda).

LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA - (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi
memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan).

LEX DURA SED ITA SCRIPTA ATAU LEX DURA SED TAMENTE SCRIPTA -(undang-
undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian – pasal 11 KUHP).

LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT – Spreekhuis van de wet (apa kata


Undang-undang itulah hukumnya).

INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS - (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang
dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata
yang jelas sekali berarti penghancuran –interpretation est perversio)

ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No


Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).

35
EQUALITY BEFORE THE LAW - (setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum)

AUDI ET ALTERAM PARTEMATAU AUDIATUR ET ALTERA PARS - (para pihak harus


didengar. Apabila persidangan dimulai, hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang
bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja).

UNUS TESTIS NULLUS TESTIS - (satu orang saksi bukanlah saksi – pasal 185 ayat 2
KUHP).

TESTIMONIUM DE AUDITU- (kesaksian yang didengar dari orang lain).

SIMILIA SIMILIBUS - (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula,
tidak pilih kasih)

BIS DE EDEM RE NE SIT ACTIO ATAU NE BIS IN IDEM - (untuk perkara sama dan sejenis
tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya – pasal 76 KUHP).

SUMMUM JUS SUMMA INJURIA; SUMMA LEX SUMMA CRUX - (keadilan yang
setinggi-tingginya dapat berarti ketidakadilan tertinggi).

ACCIPERE QUID UT JUSTITIAM FOCIAS NON EST TEAM ACCIPERE QUAM


EXIORQUERE – To accept anything as a reward for doing justice is rather estorting than
accepting (menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan lebih condong ke
tindakan pemerasan, bukan hadiah).

VAN RECHTSWEGE NIETING; NULL AND VOID - (suatu proses peradilan yang dilakukan
tidak menurut hukum adalah batal demi hukum)

UBI JUS IBI REMEDIUM- (dimana ada hak, disana ada kemungkinan menuntut,
memperolehnya atau memperbaikinya bilamana hak tersebut dilanggar).

LEX NEMINEM CIGIT AD IMPOSSIBILIA - (undang-undang tidak memaksakan seseorang


untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin – pasal 44 KUHP)

MONEAT LEX, PRIUSQUAM FERIAT - (UU harus memberikan peringatan terlebih dahulu
sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya).

GEEN STRAF ZONDER SCHULD - (tiada hukum tanpa kesalahan)

CULPUE POENA PAR ESTO – Let the punishment be equal the crime (jatuhkanlah hukuman
yang setimpal dengan perbuatan).

36
NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI - suatu aturan
hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang
mengatur tentang peristiwa itu dibuat dan diberlakukan/ tiada suatu perbuatan dapat dihukum,
kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu
daripada perbuatan itu.

PRESUMPTION OF INNOCENCE - (asas praduga tidak bersalah: seseorang dianggap tidak


bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut
telah mempunyai kekuatan tetap)

IN DUBIO PRO REO - (dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling


menguntungkan bagi si terdakwa).

COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR - (tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab
apa yang dipikirkannya)

DE GUSTIBUS NON EST DISPUTANDUM - (mengenai selera tidak dapat disengketakan).

VOLENTI NON FIT INIURA; NULLA INIURA EST, QUAE IN VOLENTEM FIAT -
(terhadap tindakan yang didasari persetujuan maka sifat melawan hukum yang terdapat dalam
perbuatan tersebut dihilangkan).

HET VERMOEDEN VAN RECHMATIGHEID (kebijakan pemerintah harus dianggap benar


dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya)

INTERSET REIPUBLICAE RES JUDICATOAS NON RESCINDI – It is in the interest of the


state that judgments already given not be rescinded (adalah kepentingan negara bahwa suatu
keputusan tidak dapat diganggu gugat).

GOUVERNEUR C'EST PREVOIR (menjalankan pemerintahan itu, berarti melihat ke depan


dan merencanakan apa saja yang akan atau harus dilakukan)

LEX PROSPICIT, NON RESPICIT – The law looks forward, not backward (hukum melihat
kedepan bukan ke belakang).

POLITIAE LEGIUS NON LEGES POLITII ADOPTANDAE (politik harus tunduk pada
hukum, bukan sebaliknya).

VOX POPULI VOX DEI (suara rakyat adalah suara Tuhan)

SALUS POPULI SUPREMA LEX (kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang

37
tertinggi pada suatu negara).

UT SEMENTEM FACERIS ITA METES (siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan
memetik hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai).

OPINIO NECESSITATIS (keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat
untuk timbulnya hukum kebiasaan).

ADAEQUATIO INTELLECTUS ET REI (adanya kesesuaian pikiran dengan obyek. prinsip ini
pada dasarnya merupakan rambu-rambu dalam merumuskan materi hukum yang telah diterima
secara universal).

LEX POSTERIORI DEROGAT LEGI PRIORI ATAU LEX POSTERIORI DEROGAT LEGI
ANTERIORI – A later statute repeals an earlier one (undang-undang yang lebih baru
mengenyampingkan undang-undang yang lama)

JUDICIA POXTERIORA SUNT IN LEGE FORTIORA – The later decisions is stronger in law
(keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum).

LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALI (undang-undang yang khusus didahulukan


berlakunya daripada undang-undang yang umum)

LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI (undang-undang yang lebih tinggi


mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya).

NEMO PLUS JURIS TRANSFERRE POTEST QUAM IPSE HABET (tak seorangpun dapat
mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki).

PACTA SUNT SERVANDA (setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati
dengan itikad baik).

RES NULLIUS CREDIT OCCUPANTI (benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa
diambil untuk dimiliki)

DA TUA SUNT, POST MORTEM TUNE TUA SUNT – Give the things which are yours while
they are yours; after death they are not yours (berikanlah benda-benda kepunyaanmu saat kau
masih memilikinya; setelah meninggal benda-benda tersebut bukan kepunyaanmu lagi).

HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE – The heir is the sinter person as
the ancestor (ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya).

CUJUS EST DOMINIUM, EJUS EST PERICULUM – The risk lies upon the owner (risiko atas
suatu kepemilikkan ditanggung oleh pemilik).

CUM ALIQUIS RENUNCIAVERIT SOCIATATI, SOLVITUR SOCIETAS – When any


partner has renounced the partnership, the partnership is dissolved (saat rekan telah

38
meninggalkan persekutuannya, maka persekutuan tersebut dinyatakan bubar).

CLAUSAL REBUS SIC STANTIBUS (perjanjian antar-negara masih tetap berlaku, apabila
situasi dan kondisinya tetap sama).

QUIQUID EST IN TERRITORIO, ETIAM EST DE TERRITORIO(asas dalam hukum


internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara
tunduk kepada hukum negara itu).

IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI – Ignorance of fact is excused but not
ignorance of law. Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya
ketidaktahuan akan hukum

IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT – Ignorance of the law does not excuse (ketidaktahuan
akan hukum tidak dimaafkan).

JURIS QUIDEM IGNORANTIUM CUIQUE NOCERE, FACTI VERUM IGNORANTIAM


NON NOCERE – Ignorance of law is prejudicial to everyone, but ignorance of fact is
not(pengabaian terhadap hukum akan merugikan semua orang; tetapi pengabaian terhadap fakta
tidak).

IGNORANTIA JUDICIS EST CALANAITAX INNOCENTIS – The ignorance of the judge is


the misfortune of the innocent (ketidaktahuan hakim ialah suatu kerugian bagi pihak yang tidak
bersalah).

JUDEX SET LEX LAGUENS – The judge is the speaking law (sang hakim ialah hukum yang
berbicara)

JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA – The judge ought to


give judgment according to the allegations and the proofs (seorang hakim harus memberikan
penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan).

IUDEX NON ULTRA PETITA ATAU ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR (hakim hanya
menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya)

IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO (hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya).

JUDEX HERBERE DEBET DUOS SALES, SALEM SAPIENTIAE, NE SIT INSIPIDUS, ET


SALEM CONSCIENTIAE, NE SIT DIABOLUS – A judge should have two silts; the salt of
wisdom, lest he be foolish; and the salt of conscience, lest he be devilish (seorang hakim harus
mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani,
kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).

JUDEX NON REDDIT PLUS WUAM QUOD PETENS IPSSE REQUIRIT – A judge does not
give more than the plaintiff himself demands (seorang hakim tidak memberikan permintaan

39
lebih banyak dari si penuntut).

JUDEX NON PUTEST ESSE TESTIS IN PROPRIA CAUSE. A judge cannot be a witness in
his own cause (seorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri)

INIQUUM EST ALIQUEM REI SUI ESSE JUDICEM – It is unjust for anyone to be judge in
his own (adalah tidak adil bagi seseorang untuk diadili pada perkaranya sendiri)

NEMO JUDEX IN CAUSA SUA – No man can be a judge in his own cause (hakim tidak boleh
mengatur/mengadili dirinya sendiri).

JUDICANDUM EST LEGIBUS NON EXEMPLIS – Judgment must be given by the laws, not
by examples (putusan hakim harus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh. seorang
hakim tidak dibatasi untuk menjelaskan penilaian/putusannya sendiri).

JURAMENTUM EST INDIVISINLE, ET NON EST ADMITTENDUM IN PARTLY TRUE


AND PARTLY FALSUM – An oath is indivisible; it is not to be accepted as partly true and
partly false (sebuah sumpah tidak dapat dibagi; sumpah tersebut tidak dapat diterima jika
sebagiannya benar dan sebagian lagi salah).

JURARE EAT DEUM IN TESTEM VOCARE ET EST ACTUS DIVINI CULTUS – To swear
is to call God to witness, and is an act of religion (memberikan sumpah ialah sama halnya
dengan memanggil Tuhan sebagai saksi hal itu adalah hal keagamaan).

CUM ADSUNT TESTIMONIA RERUM, QUID OPUS EST VERBIST – When the proofs of
facts are present, what need is there of words? (saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya
kata-kata?)

FACTA SUNT POTENTIORA VERBIS –Deeds or facts are more powerful than words
(perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata).

EI INCUMBIT PROBATIO QUIDICIT, NONQUI NEGAT – The burden of the proof rest
upon the person who affirms, not the one who denies (beban dari bukti disandarkan pada orang
yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal).

DEBET QUIS JURI SUBJACERE RRBI DELINQUIT – Any offender should be subject to the
law of the place where he offends (seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang
berlaku di tempat dia mengajukan gugatan).

D. KAIDAH atau NORMA


1. Ruang Lingkup Norma atau Kaidah

40
Secara historis filosofis, kaidah merupakan tatanan yang terbentuk dari asas berdasarkan
prinsip nilai. Kaidah merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku manusia dan
prilaku kehidupan bermasyarakat. Secara umum kaidah dibedakan atau dua hal yaitu kaidah
etika atau kaidah hukum. Kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma
agama dan norma kesopanan. Pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu
sendiri contohnya menghormati orangnya yang lebih tua, berbuat baik pada orang tua, saling
menghargai, atau malu jika berbuat salah.

Namun tidak jarang kaidah etika merupakan kaidah yang datang dari diri manusia
misalnya dari ajaran agama contohnya tidak boleh berprilaku jahat pada orang lain. Kaidah
hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas. Kaidah hukum ialah kaidah yang
mengatur hubungan atau intwraksi antar pribadi, baik secara langsung atau tidak langsung oleh
karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup
bersama. Kaidah hukum biasanya ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya.

Jenis atau ragam kaidah/norma pada umumnya, terdiri dari :

1. Kaidah/norma agama
2. Kaidah/norma kesopanan
3. Kaidah/norma hukum

 Menerapkan norma agama dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa,


bernegara.

Norma agama adalah aturan atau paraturan hidup yang bersumber dari wahyu tuhan
Yang Maha Kuasa yang di sampaikan kepada manusia lewat utusan-Nya,yaitu para nabi dan
rasul, manusia apabila melanggar akan mendapatkan siksa di akherat kelak.

Iman dan takwa adalah wujud dari pelaksanaan kaidah/norma agama. Cara-cara untuk
menerapkan kaidah/norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, antara
lain:

41
1. Rajin beribadah
2. Menolong sesama, terutama yang kekurangan
3. Bertutur kata yang sopan dan santun
4. Menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak berguna
5. Memberikan sumbangan kepada yang memerlukan
6. Menghargai tetangga dan tamu
7. Mencintai orang lain seperti diri sendiri
8. Menepati janji
9. Sabar dalam menghadapi kesusahan, penderitaan dan cobaan
10. Menahan amarah, tidak emosi

 Melaksanakan norma kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,


dan bernegara.

Kaidah/norma kesusilaan adalah aturan hidup yang berasal dari suara hati nurani
manusia yang menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik.
Kaidah/norma kesusilaan ditujukan kepada sikap  batin manusia itu sendiri berupa rasa
penyesalan.

Untuk menerapkan kaidah/norma kesusilaan dalam bermasyarakat,berbangsa dan


bernegara, antara lain dengan cara :

1. Melakukan tugas dan kewajiban dengan jujur


2. Membiasakan diri menghormati orang lain
3. Mengendalikan diri dari ucapan dan perbuatan tercela
4. Menghindari sifat malas
5. Menghindari sifat masa bodoh
6. Tidak angkuh
7. Bersikap dan bertindak dengan budi bahasa yang baik
8. Menghindari sikap kasar
9. Menghindari sifat dendam

42
 Menerapkan norma kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan
bernegara.

Kaidah/norma kesopanan adalah aturan hidup yang timbul dari pergaulan hidup
masyarakat tertentu. Landasan kaidah/norma kesopanan adalah kepatutan, kepantasan, dan
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Penerapan norma kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara


antara lain dengan cara:

1. Bergaul dan memperlakukan orang lain dengan baik


2. Tidak egois dan tidak munafik dalam kehidupan sosial
3. Bertutur kata yang sopan dan jujur dalam kehidupan sehari hari
4. Memperlakukan orang lain sesuai dengan harkat, derajat, martabatnya
5. Menghindari sikap sombong, benci, sewenang-wenang terhadap orang lain

 Menerapkan norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa,dan


bernegara

Kaidah/norma hukum adalalah aturan yang di buat secara resmi oleh lembaga/penguasa
negara, mengikat setiap orang, dan pemberlakuannya dapat di paksakan oleh aparat negara yang
berwenang. sehingga hukum itu dapat di pertahankan. Sifat hukum adalah memaksa. Sanksi
norma hukum adalah tegas yang di berikan badan badan resmi negara yang berwenang.

Penerapan norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara


antara lain dengan cara:

1. Tidak menerobos lampu merah di perempatan jalan


2. Pengendara sepeda motor harus punya SIM
3. Tidak minum-minuman keras
4. Tidak mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya

43
Penerapan norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum di
samping dapat kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga
dapat kita lakukan di lingkungan keluarga, dan dalam kehidupan bermasyarakat.

Berikut contoh-contoh penerapan kaidah/norma

 Contoh penerapan kaidah/norma agama

Di lingkungan keluarga

–         Menjalankan sholat tepat waktu

–         Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhon

–         Patuh dan taat pada orang tua

 Contoh penerapan norma kesusilaan

Di lingkungan keluarga

–         Jangan bicara pada saat makan

–         Jangan menyiksa anak kecil

Di lingkungan masyarakat

–         Berbuat baik pada tetangga

–         Tidak mengingkari janji

 Contoh penerapan norma kesopanan

Di lingkungan keluarga

– Menghormati orang tua

– Minta ijin pada waktu keluar rumah

44
Di lingkungan masyarakat

– Masuk ke rumah mengucap salam/ketuk pintu/permisi

– Hormat pada orang yang lebih tua

 . Contoh penerapan norma hukum

Di lingkungan keluarga

– Belajar sesuai jadwal yang telah di tentukan

– Jangan pulang terlalu larut malam

Di lingkungan masyarakat

-Mendukung pelaksanaan siskamling

– Tidak membuat onar di lingkungannya

-Tidak minum-minuman keras

2. Kaidah Hukum

Dalam berbagai literatur, kita sudah melihat bahwa hukum itu terdiri atas berbagai kaidah
yang berbeda-beda. Kaidah-kaidah itu mencakup kaidah kesopanan, kaidah kesusilaan, kaidah
agama dan kaidah hukum. Istilah kaidah sepadan maknanya denan norma. Jika kaidah berasal
dari baha arab, maka norma berasal dari bahasa ingris yaitu norm. kaidah hukum sendiri
mewujudkan isi aturan-aturan hukum. Banyak dari kaidah-kaidah hukum itu yang oleh
pembentuk undang-undang dirumuskan dalam aturan-aturan perundangundangan. Juga kita
lihat bahwa aturan-aturan hukum itu di dalam peradilan diinterpretasi oleh hakim. Interpretasi
itu menghasilkan keputusankeputusan, yang melalui generalisasi menimbulkan kaidah-kaidah
hukum yang baru. Kadang-kadang kaidah-kaidah hukum ini oleh hakim sendiri dalam
putusannya diletakkan ke dalam aturan-aturan hukum. Proses pemositivan kaidah hukum itu ke
dalam aturan hukum terus menerus terjadi berulang-ulang. Demikianlah, hukum itu selalu

45
dalam keadaan bergerak. Perubahan yang berlangsung terus menerus itu memunculkan
pertanyaan apakah tidak dapat ditentukan lebih jauh, pada kaidah hukum yang mana kita pada
suatu saat tertentu harus berpegangan. ltu adalah pertanyaan tentang keberlakuan hukum.
Problematika tentang keberlakuan hukum sering dibahas dalam teori-teori tentang kaidah
hukum. Dalam teori-teori itu dibedakan berbagai sifat kaidah hukum. Dua dari yang paling
penting adalah positivitas dan keberlakuan. Dalam par. 2 akan dibahas pengertian ”positivitas”
hukum. Pengertian ”keberlakuan” (berlaku) akan dibicarakan dalam par. 3. Pada pembahasan
pengertian yang disebut terakhir tampak bahwa kita dapat membahas berlakunya hukum dengan
cara yang berbeda-beda. Hal itu berkaitan dengan cara pandang tentang hukum yang berbeda-
beda yang dianut dalam teori hukum. Berbagai jenis teori hukum akan menjadi pokok bahasan
bab berikuinya.

Yang dimaksud di sini adalah teori hukum dalam arti luas.

Positivitas Hukum

Kita akan terlebih dahulu berhenti pada masalah positivitas kaidah hukum. Tentang hal ini
sudah disinggung dalam par. 1.1 dan par. 5.1. Yang dimaksud dengan ”positivitas” kaidah
hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban
kewenangan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan itu, maka aturan
hukum itu disebut aturan hukum positif. ”Hukum positif” adalah terjemahan dari ”ius positum”
dalam bahasa Latin, yang secara harafiah berarti ”hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi,
hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno
disebut ”stellig recht”.

Beberapa penulis mengidentikkan, jika mereka sedang mempersoalkan kaidah hukum, sifat
”positivitas” dengan sifat ”berlaku” (gelding). Mereka berkeyakinan bahwa hukum positif per
definisi adalah hukum yang berlaku, sebab hukum positif itu dibuat oleh orang-orang yang
berwenang untuk itu. Orang-orang itu adalah para pengemban kewenangan hukum yang di
dalam masyarakat yang bersangkutan memiliki kewenangan pembentukan hukum. Termasuk ke
dalamnya adalah badan pembentuk undang-undang (legislatif), badan kehakiman (yudikatif)
dan badan pemerintahan (eksekutif). Kepada para pengemban kewenangan hukum ini diberikan

46
kewenangan (tugas) untuk berdasarkan kesadaran hukum mereka memberikan suatu bentuk
yang positif berkepastian pada hukum, dan menurut para penulis ini hal itu sudah cukup untuk
berlakunya aturan-aturan hukum itu.

Lihat misalnya N. Algra dan K. van Duyvendak yang mengatakan: ”Istilah lain untuk
hukum yang berlaku (geldend recht) adalah hukum positif.” (RECHTSAANVANG, 1989:
12).

Terhadap pengidentikan dua sifat kaidah hukum ini terdapat tiga keberatan, yang akan
dibicarakan di bawah ini.

1. Keberatan pertama bersifat teori hukum. Jika orang mengidentikkan positivitas dan
keberlakuan kaidah hukum, maka orang mendasarkan keberlakuan pada sesuatu yang
bersifat faktual, yakni pada fakta ditetapkannya kaidah hukum dalam aturan hukum dengan
tindakan faktual para pengemban kewenangan hukum. Ternyata penulis-penulis yang sama
sering dengan ”keberlakuan” juga mengartikan sesuatu yang normatif.

Algra/Duyvendak (1989: 12) misalnya mengatakan: ”Putusan apakah suatu cara berbuat
sesuai dengan hukum (rechtmatig) atau melawan hukum (onrechtmatig), didasarkan pada
aturan yang dalam tatanan hukum diakui sebagai kaidah hukum yang berlaku.”

Dail situ dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan tentang positivitas kaidah hukum ini,
sesuatu yang normatif dilandaskan pada sesuatu yang faktual. Bukankah dengan demikian
kaidah, yang termasuk ke dalam dunia keharusan (das Sollen, de orde van het behoran),
dilegitimasi dengan menunjuk pada fakta, yang termasuk ke dalam dunia pengada (das Sein,
de orde van het zijn). Peralihan yang demikian itu oleh banyak teoretikus hukum dipandang
salah.

Dua tatanan (dunia) tersebut, meskipun dalam kenyataan terjalin secara erat, menurut mereka
dalam teori harus dipisahkan secara tajam. Jika orang menalar dalam suatu teori yang
melegitimasi dari suatu dunia ke dunia yang lain, maka terjadi suatu kesalahan (kerancuan)

47
berpikir.

Orang dapat membantah pernyataan melakukan kesalahan berpikir yang disebut tadi dengan
menunjukkan bahwa positivitas dalam arti keberlakuan kaidah hukum hanya ada jika kaidah
hukum oleh ”para pejabat yang berwenang” ditetapkan dalam aturan hukum. Kapan seorang
pejabat itu berwenang, ditentukan oleh kaidah hukum. Dengan demikian, kaidah-kaidah
hukum yang memberikan kewenangan ini merupakan unsur-unsur normatif yang
menentukan bagi kaidah-kaidah yang lainnya dalam tatanan hukum positif dan tidak
terutama tindakan-tindakan faktual yang dengannya aturan-aturan hukum ditetapkan. Jika
dengan demikian orang memandang tatanan hukum positif sebagai suatu sistem hierarkhis
aturan kewenangan (hierarchisch systeem van bevoegdheidsregels), maka kesalahan berpikir
itu tadi tidak ada, karena orang mendasarkan keberlakuan hukum pada kaidah-kaidah dan
dengan demikian menalar dalam dunia keharusan. Namun tetap saja bahwa sifat
”positivitas” kaidah hukum tidak mempunyai arti sendiri, sebab sifat itu berimpitan dengan
sifat ”keberlakuan”, dan tentang hal itu yang ada dalam pikiran orang adalah pengertian
keberlakuan normatif. Tentang isi pengertian keberlakuan normatif akan dibahas dalam
paragraf berikut.

2. Keberatan kedua adalah bahwa orang pada pengidentikan tersebut bertolak dari suatu
pengertian keberlakuan yang terlalu sempit. Hukum positif berada dalam keadaan bergerak
dan lebih menghendaki untuk tetap berlaku ketimbang pada suatu momen tertentu
merumuskan aturan-aturan dan putusan-putusan oleh pejabat- pejabat hukum yang
berwenang, yang untuk itu suatu pengertian keberlakuan normatif akan sudah mencukupi.
Pada akhirnya masalahnya berkenaan dengan hal bahwa para warga suatu masyarakat
tertentu juga berperilaku sesuai dengan aturan-aturan hukum itu. Namun itu mengandaikan
suatu pengertian keberlakuan yang juga diarahkan pada perilaku faktual para warga
masyarakat. Jika aturan hukum positif dan putusan sekali sudah ditetapkan, maka para
pejabat hukum harus mengupayakan bahwa aturan dan putusan itu ditegakkan dalam arti
bahwa para warga masyarakat secara faktual berperilaku dengan mengacu pada aturan atau
putusan itu. Lazimnya mereka akan menjatuhkan (menetapkan) suatu sanksi terhadap
tindakan yang tidak memenuhi aturan-aturan itu. Sanksi ini dapat positif dalam bentuk

48
hukuman tertentu, atau negatif dalam bentuk tidak mernenuhi tuntutan yuridis, seperti
menyatakan batalnya suatu testamen atau perjanjian.

Di sini masalahnya berkenaan dengan hal mempertahankan atau menegakkan hukum


positif. Jika suatu situasi tertentu, yang untuknya telah ditetapkan suatu aturan hukum
positif, tidak terjadi, maka juga tidak dapat dikonstatasi apakah aturan itu masih
dipertahankan oleh para pejabat hukum. Demikianlah, dari fakta bahwa sudah lama kita
tidak mengalami turun hujan, orang tidak dapat menarik kesimpulan bahwa Pasal 37
Grondwet adalah suatu aturan hukum positif yang sudah tidak dipertahankan lagi. Baru
jika situasi-situasi yang untuknya aturan itu ditulis terjadi, maka orang dapat menarik
kesimpulan bahwa para pejabat hukum tidak lagi menegakkan aturan tersebut.

Contoh lain adalah Pasal 140 Wetboek van Strafrecht tentang larangan untuk melibatkan
diri pada organisasi kejahatan. Untuk jangka waktu lama hampir tidak pernah terjadi
penuntutan berdasarkan pasal itu. Tahun-tahun terakhir ini terjadi perubahan, karena
kejaksaan kini mengkhawatirkan perkembangan kejahatan terorganisasi. Kita juga melihat
bahwa jika orang dalam kerja sama yang erat misalnya melakukan pemalsuan surat, dahulu
hanya dituntut berdasarkan Pasal 225 Wetboek van Strafrecht, maka kini juga di
sampingnya digunakan Pasal 140 Wetboek van Strafrecht. Baru sekarang kita dapat
menyatakan apakah Pasal 140 Wetboek van Strafrecht itu dipertahankan (ditegakkan).

Hal menegakkan hukum dengan bersaranakan sanksi juga tidak bertumpu pada dirinya
sendiri. Para pejabat hukum akan tidak mungkin berhasil mengefektifkan aturan hukum, jika
para warga masyarakat hanya menerima htikum positif karena mau menghindari sanksi.
Hukum positif yang hanya bertumpu pada sanksi adalah identik dengan kekuasaan. Terlepas
dari persoalan apakah kita masih dapat berbicara tentang hukum, namun dapat diterima
bahwa motif-motif untuk menerima hukum positif mungkin juga akan bersifat lain
ketimbang hanya ketakutan pada sanksi. Namun hal itu mengandaikan suatu pengertian
keberlakuan yang dilandaskan pada penerimaan hukum positif atas dasar isinya.

3. Keberatan ketiga adalah bahwa orang juga dapat berbicara tentang keberlakuan kaidah

49
hukum yang tidak termasuk dalam hukum positif, sebab tidak semua hukum ditetapkan oleh
pejabat hukum yang berwenang. Orang juga dapat berbicara tentang keberlakuan hukum
secara umum, di antaranya termasuk juga tuntutan-tuntutan hukum yang langsung timbul
dari kesadaran hukum seseorang, tetapi yang tidak ditetapkan oleh para pejabat hukum dalam
aturan-aturan hukum positif. Ihwalnya berkenaan dengan suatu pandangan tentang hukum
yang lebih luas, lebih berorientasi kefilsafatan. Pandangan yang demikian menggunakan uatu
pengertian keberlakuan yang mengacu pada isi hukum. Suatu pengertian keberlakuan yang
normatif yang berimpitan dengan pengertian positivitas, dalam pendekatan ini adalah tidak
relevan.

Keberlakuan Kaidah Hukum

Dalam par. 2.5 kita sudah melihat bahwa dipandang dari sudut semantik terbuka
kemungkinan bagi berbagai pendapat tentang hukum. Orang dapat menyatakan pendapat
tentang hukum dalam arti empiris, normatif dan evaluatif. Peristilahan yang sama juga
digunakan pada pembedaan berbagai jenis keberlakuan hukum.

Banyak penulis menggunakan istilah ”keabsahan” (geldigheid, validitas) dan


”keberlakuan” (gelding) sebagai sinonim. Dalam studi (tulisan) ini hanya dibahas
tentang”keberlakuan” hukum. lstilah ”keabsahan” (validitas) digunakan untuk Logika. Kita
berbicara tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarat-syarat
yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.

Terminologi yang sama tidak mengimplikasikan bahwa pada ”keberlakuan normatif” hanya
termasuk proposisi normatif dan pada ”keberlakuan evaluatif” hanya proposisi evaluatif.
Pada pengertian-pengertian keberlakuan ini juga proposisi-proposisi lain, misalnya
proposisi informatif atau empiris, dapat memainkan peranan. Jadi hanya ada pembedaan
yang sama, tidak tentang suatu hubungan antara berbagai pengertian keberlakuan dan
berbagai jenis proposisi dipandang dari segi semantik.

50
Jika perkataan ”keberlakuan” digunakan, maka perkataan itu, mengingat konteks yang di
dalamnya perkataan itu digunakan, dapat mempunyai berbagai arti. Di dalam arti-arti itu maka
arti empiris atau normatif atau evaluatif menempati kedudukan sentral. Dalam paragraf ini kita
akan membahas tiga pengertian keberlakuan ini. Kita akan membahasnya dalam urutan seperti
tersebut tadi, dan sesudahnya kita akan memberikan perhatian pada perkaitan antara tiga
pengertian itu.

Dalam Teori Hukum, pembagian-tiga dalam keberlakuan empiris, normatif dan evaluatif
yang disebut di atas sering dilakukan.

Pembagian-tiga pengertian keberlakuan itu dapat ditemukan juga pada Aulis Aarnio
dalam artikelnya ”ON THE VALIDITY, EFFICACY AND ACCEPTABILITY”, 1984.
Judul artikel itu menunjuk pada tiga pengertian keberlakuan, yang diambil Aarnio dari J.
Wroblewski. Yang disebut terakhir membuat pembagian berikut: ”systematic validity”,
”Factual validity” dan ”axiological validity”. Uraian panjang tentang tiga pengertian
keberlakuan ini dapat ditemukan pada Henkel, DAS PROBLEM DER
RECHTSGELTUNG, 1974: 63-87.

Namun hal itu tidak berarti bahwa tidak ada pembagian yang lath. Ulrich Klug
(RECHTSLUCKE UND RECHTSGELTUNG, 1965) membuat suatu pembagian yang terinci
dalam sembilan pengertian keberlakuan. la membedakan jenis-jenis keberlakuan berikut:

1. Keberlakuan yuridis. Tentang ini Klug memaksudkan apa yang di atas kita sebut
sebagai ”positivitas” suatu kaidah hukum.

2. Keberlakuan etis. Hal ini akan ada jika sebuah kaidah hukum mempunyai sifat
mewajibkan. Keberlakuan ini adalah apa yang akan kita sebut suatu bentuk
keberlakuan evaluatif.

3. Keberlakuan ideal. Suatu kaidah memiliki keberlakuan ini jika ia bertumpu pada kaidah
moral yang lebih tinggi.

4. Keberlakuan rill. Keberlakuan ini ada jika para teralamat kaidah berperilaku dengan
mengacu pada kaidah hukum itu. Kita akan menyebut (mentipikasi) keberlakuan ini
sebagai suatu bentuk keberlakuan empiris.

5. Keberlakuan ontologis. Suatu kaidah akan tidak memiliki keberlakuan ini jika ia

51
dipositifkan oleh pembentuk undang-undang yang tidak berpegangan pada tuntutan-
tuntutan fundamental dalam pembentukan aturan. Tentang keberlakuan ini hanya
ditemukan dalam beberapa teori tertentu.

6. Keberlakuan sosio-relatif Suatu kaidah hukum yang tidak memiliki keberlakuan yuridis,
etis dan riil, namun masih menawarkan sesuatu kepada para teralamat-kaidah, menurut
Klug hanya memiliki keberlakuan ini.

7. Keberlakuan dekoratif. Keberlakuan ini dimiliki kaidah hukum yang hanya memiliki
fungsi lambang.

8. Keberlakuan estetis. Hal ini ada jika suatu kaidah hukum memiliki elegansi tertentu.

9. Keberlakuan logikal. Suatu kaidah hukum yang secara internal tidak bertentangan,
memiliki bentuk keberlakuan ini.

Ad. 1 Keberlakuan Faktual Atau Empiris Kaidah Hukum

Orang mengatakan bahwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga
masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan
demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersaranakan penelitian empiris tentang
perilaku para warga masyarakat. Jika dari penelitian yang demikian itu tampak bahwa para
warga, dipandang secara umum, berperilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum,
maka terdapat keberlakuan faktual kaidah itu. Orang juga dapat mengatakan bahwa kaidah
hukum itu efektif. Bukankah kaidah hukum itu berhasil mengarahkan perilaku para warga
masyarakat, dan itu adalah salah satu sasaran utama kaidah hukum. ltu sebabnya orang
menyebut keberlakuan faktual hukum adalah juga efektivitas hukum.

Orang juga berbicara tentang keberlakuan faktual hukum dalam suatu arti lain. Orang juga
secara empiris dapat meneliti apakah keseluruhan perangkat kaidah hukum secara umum oleh
para pejabat hukum yang berwenang diterapkan dan ditegakkan. Sesungguhnya di sini terdapat
pemiskinan (verschraling) pengertian keberlakuan, sebab orang mengabstraksikannya dari
perilaku para warga masyarakat. Meskipun demikian, jika penelitian empiris ini memberikan
hasil positif, orang juga berbicara tentang keberlakuan faktual kaidah hukum yang
bersangkutan. lstilah efektivitas adalah kurang pada tempatnya, walaupun penerapan dan
penegakan kaidah hukum oleh para pejabat hukum di dalam praktek memang akan

52
menyebabkan bahwa para warga masyarakat akan berperilaku sesuai dengan (mengacu pada)
kaidah-kaidah hukum itu.

Ad. 2 Keberlakuan Normatif Atau Formal Kaidah Hukum

Orang berbicara tentang keberlakuan normatif suatu kaidah hukum, jika kaidah itu
merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah
hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian
itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-
kaidah hukum umum. Di dalamnya, kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari
kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Karena pada keberlakuan ini diabstraksi dari isi kaidah
hukum, tetapi perhatian hanya diberikan pada tempat kaidah hukum itu di dalam sistem hukum,
maka keberlakuan ini disebut juga keberlakuan formal. Dalam pendekatan keberlakuan kaidah
hukum ini, maka dengan demikian tiap kaidah hukum harus diderivasi dari sistem hukum itu,
tanpa memperhatikan isi kaidah hukum itu.

Keberlakuan normatif atau formal inilah yang ada dalam pikiran kita pada penolakan
keberatan pertama terhadap pengidentikan positivitas dan keberlakuan hukum dalam paragraf
yang lalu. Jika orang menekankan bahwa hukum terdiri atas suatu sistem hierarkhi aturan
kewenangan, maka orang akan dapat memandang positivitas hukum sebagai suatu jenis
keberlakuan hukum, tanpa orang melakukan kesalahan berpikir menalar dari dunia pengada ke
dunia keharusan. Dengan itu maka masalah-masalah lain dimunculkan, misalnya pada apa
aturan kewenangan tertinggi dilandaskan. Juga dua keberatan lain terhadap peniadaan arti
sendiri dari istilah ”positivitas” tetap ada (berlaku).

Sebuah contoh suatu teori yang mencoba menjelaskan hukum dengan bantuan pengertian
keberlakuan normatif atau formal adalah ”Reine Rechtslehre” Hans Kelsen. Teori ini berkaitan
dengan cara positivistik yang berdasarkannya Kelsen ingin menjalankan teori hukum. Menurut
pendapatnya, suatu penjelasan ilmiah yang murni tentang hukum hanya mungkin, jika orang
mengabstraksi dari titik berdiri (standpunt, keyakinan) moral dan politik. Dalam kenyataan,

53
hukum, moral dan politik saling terjalin secara erat. Karena itu, menurut Kelsen, orang harus
mendekati hukum pada struktur formalnya. Padanya pengertian keberlakuan normatif cocok.
Menurut Kelsen, suatu kaidah hukum baru memiliki keberlakuannya jika kaidah itu
berlandaskan pada suatu kaidah hukum yang lebih tinggi. Dengan demikian muncul gambaran
suatu sistem hukum sebagai suatu penataan hierarkhis kaidah-kaidah hukum (Kelseri, 1967:
228). Penataan itu menurut Kelsen menemukan titik akhirnya dalam apa yang dinamakan
”Grundnorm”, kaidah basis yang tidak dilandaskan pada kaidah yang lebih tinggi. ”Grundnorm”
ini menurut Kelsen berada di luar sistem hukum, sehingga keberlakuannya harus diandaikan.
Tentang problematika ”Grundnorm” itu kita tidak dapat memasuki lebih jauh (Kelsen, 1967:
197).

Dalam teori Kelsen, positivitas dan keberlakuan kaidah hukum tidak diidentikkan. Positivitas,
di samping efektivitas, adalah syarat mutlak (noodzakelijke voorwaarde) untuk keberlakuan
normatif suatu tatanan hukum (Kelsen, 1967: 10- 11 dan 215-221).

Ad. 3 Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum

Kita berbicara tentang keberlakuan evaluatif suatu kaidah hukum, jika kaidah hukum itu
berdasarkan isinya dipandang bernilai. Pertanyaannya adalah bagaimana dapat ditentukan kapan
hal itu keadaannya demikian. Langsung tampil ke permukaan masalah apakah hal itu
merupakan persoalan penilaian oleh manusia individual atau konsensus di dalam masyarakat.
Selain itu muncul pula masalah apakah hal demikian itu dapat ditetapkan secara empiris atau
tidak. Juga terdapat berbagai pendapat berkenaan dengan cara yang berdasarkannya orang dapat
menentukan adanya keberlakuan evaluatif.

Pertama-tama orang dapat mencoba secara empiris menentukan nilai evaluatif suatu kaidah
hukum dalam suatu masyarakat. Mula-mula orang mengamati apakah terdapat keberlakuan
faktual kaidah hukum dalam suatu masyarakat. Jika halnya demikian, maka kita teliti masih
secara empiris reaksi para warga masyarakat itu terhadap kepatuhan atau ketidakpatuhan pada
kaidah hukum. Dari reaksi menyetujui (approval) atau mencela (disapproval) berturut-turut
kepatuhan pada atau penyimpangan dari kaidah-kaidah hukum itu orang dapat menyimpulkan

54
bahwa kaidah-kaidah hukum dalam suatu masyarakat jelas-jelas diterima atau jelas-jelas tidak
diterima. Berdasarkan kesimpulan itu orang mengatakan bahwa kaidah hukum secara evaluatif
berlaku jika kaidah itu oleh seseorang atau suatu masyarakat diterima.

Kita dapat juga berbicara tentang keberlakuan evaluatif tanpa secara empiris melakukan
penelitian terhadapnya. Kita mendekati masalah itu dengan cara kefilsafatan. Dalam kerangka
itu dikatakan bahwa suatu kaidah hukum memiliki keberlakuan jika kaidah itu oleh seseorang
atau suatu masyarakat berdasarkan isinya dipandang bernilai atau penting. Jika hal itu demikian,
maka kaidah hukum itu perdefinisi memiliki kekuatan mengikat (verbindende kracht) atau suatu
sifat mewajibkan (verplichtend karakter). Tiap orang akan merasa dirinya berkewajiban untuk
mematuhi suatu kaidah hukum, yang is pandang bernilai atau sangat penting untuk perilaku
sosialnya. Dalam arti yang kedua ini, keberlakuan evaluatif suatu kaidah hukum dengan
demikian adalah sama dengan sifat mewajibkannya, atau kekuatan mengikatnya atau juga
obligatoritasnya. Obligatoritas adalah istilah teknik untuk ”sifat mewajibkan”. Sebuah kaidah
hukum memiliki sifat ini berdasarkan isinya. Itu sebabnya keberlakuan ini disebut juga
keberlakuan materiil.

Sebaliknya banyak filsuf hukum berpendapat bahwa keberlakuan materiil (arti keberlakuan
evaluatif yang kedua) sesungguhnya diandaikan pada dapat diterimanya kaidah hukum (arti
pertama keberlakuan evaluatif). Jadi, menurut mereka keberlakuan materiil adalah landasan
keberlakuan evaluatif pada umumnya, sebab pada akhirnya penerimaan kaidah hukum itu
terjadi karena isi kaidah hukum itu dipandang benar. Orang dapat saja mengajukan bahwa orang
mematuhi kaidah hukum berdasarkan kebiasaan, perulangan perilaku atau nafsu pada
kemudahan (gemakzucht), tetapi pertanyaannya adalah mengapa orang melakukan itu. Jawaban
yang sudah lebih tersedia adalah bahwa orang menerima suatu kaidah hukum karena takut pada
sanksi atau di bawah paksaan. Namun jika orang menyetujui posisi (pandangan) ini,
pertanyaannya adalah apakah dalam jangka panjang kita masih dapat berbicara tentang kaidah
hukum. Jika demikian, maka hukum hampir tidak dapat dibedakan lagi dari kekuasaan. Jika
masih ingin berbicara tentang hukum, maka kaidah hukum itu pada akhirnya akan (harus) dapat
diterima, demikian dikemukakan oleh para filsuf hukum, atas dasar isinya. Karena alasan itu,
maka kaidah hukum memiliki sifat mewajibkan dan karenanya kaidah itu dipatuhi. Apakah ada

55
sanksi pada kaidah hukum adalah persoalan kedua.

Ad. 4 Hubungan Antara Berbagai Pengertian Keberlakuan

Di atas telah dipaparkan arti-arti terpenting ”keberlakuan” kaidah hukum. Sesungguhnya


arti-arti ini semuanya memainkan peranan jika kita berbicara tentang keberlakuan hukum. Arti-
arti itu juga bukan merupakan kategori-kategori yang saling mengecualikan yang satu di
samping yang lain, melainkan mengungkapkan berbagai aspek,keberlakuan hukum, yang
bertumpu pada berbagai pendekatan terhadap hukum. Orang juga dapat mempertahankan
pandangan bahwa berbagai pengertian keberlakuan itu saling menunjuk yang satu pada yang
lainnya.

Dari sudut suatu pendekatan kefilsafatan, orang misalnya dapat mengatakan bahwa hukum
memiliki keberlakuan karena isinya bermakna (keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau materiil).
Itu adalah alasan paling penting mengapa para warga masyarakat akan menerima hukum
(keberlakuan evaluatif empiris). Jika para warga masyarakat menerima hukum, maka mereka
juga akan berperilaku dengan mengacu padanya dan mematuhi hukum (keberlakuan faktual atau
empiris). Hal itu sekaligus akan membawa akibat bahwa bagi para pejabat hukum
dimungkinkan untuk menerapkan dan menegakkannya (keberlakuan faktual atau empiris).
Akhirnya, kita sudah melihat bahwa hukum itu sendiri sudah membawa dalam dirinya aspek
sistematika. Bukankah pada dasarnya hukum itu adalah suatu sistem konseptual aturan hukum
dan putusan hukum. Jadi, pada hukum cocok sekali bahwa berbagai kaidah memperlihatkan
hubungan saling bertautan. Semakin hal itu demikian, maka semakin kuat hukum memiliki
keberlakuan normatif atau formal. Walaupun sering terjadi kombinasi berbagai arti keberlakuan
kaidah hukum digunakan dalam teori- teori, namun kadang-kadang dalam teori tentang hukum
tertentu satu arti tertentu menempati posisi sentral. Untuk ini ilustrasinya adalah teori hukum
Hans Kelsen. Berdasarkan perbedaan dalam pendekatan para teoretikus, orang dapat
mengklasifikasi dua kelompok teori.

Kelompok pertama adalah teori-teori yang dibangun atas dasar bahan-bahan empirik. Dalam

56
teori-teori ini keberlakuan faktual dan keberlakuan evaluatif empiris menempati posisi sentral.
Namun masalahnya adalah apakah dengan cara empiris kaidah-kaidah hukum cukup memadai
untuk dipelajari. Cara kerja empiris mengandaikan bahwa peneliti menempatkan diri pada titik
berdiri seorang pengamat atau titik berdiri eksternal. Namun banyak teoretikus hukum
berpendapat bahwa kaidah hukum adalah gejala yang harus didekati juga dari sudut atau hanya
dapat dari sudut titik berdiri seorang partisipan atau titik berdiri internal. Hal itu akan
menyebabkan suatu teori empiris murni tentang kaidah hukum menjadi tidak mungkin. Kita
akan kembali lagi pada problematika ini dalam bab 9.

Tentang hal ini, A.Soeteman (MACHTIG RECHT, 1990:78-82) mengambil posisi titik
berdiri di tengah (tussenstandpunt). Meskipun ia menganut positivisme, namun ia menolak
titik berdiri eksternal yang ekstrim, karena berdasarkannya orang hanya dapat
mengkonstatasi keajegan-keajegan (perulangan pola, regelmatig heden) dalam perilaku
manusia, tetapi tidak dimensi normatif dari aturan. Juga titik berdiri internal memiliki
kekurangan, karena pendirian normatif dari teoretikus sendiri terlalu banyak mewarnai
teori tentang kaidah hukum. Itu sebabnya ia memilih suatu titik berdiri eksternal yang tidak
ekstrim (gematigd extern standpunt). Artinya, orang mengambil bagian pada suatu
penelitian tentang kaidah hukum dari sudut titik berdiri internal, tetapi ia menahan diri
untuk tidak melibatkan pendirian normatifnya dalam penelitian itu.

Menurut saya sebenarnya lebih tepat jika kita berbicara tentang suatu titik berdiri internal
tidak ekstrim (gematigd intern standpunt). Dalam suatu penelitian tentang kaidah hukum,
orang tidak dapat Apakah orang mau atau tidak mau mengambil bagian pada diskusi
tentang tatanan kaidah, yang menjadi objek penelitian, menurut saya tidak relevan bagi titik
berdiri yang terpaksa harus diambil orang. Orang selalu memiliki suatu titik berdiri
internal, namun orang dapat membatasi (melembutkan) hal ini dengan sebanyak mungkin
menyisihkan diskusi tentang tatanan kaidah itu sendiri.

Kelompok teori kedua menolak cara kerja empiris. Dalam teori-teori ini, sebagai akibatnya,
arti keberlakuan yang lain seperti keberlakuan normatif atau materiil menempati posisi yang
penting. Bukankah orang masih dapat secara empiris menentukan apakah suatu kaidah hukum

57
tertentu dipatuhi oleh para warga masyarakat, tetapi sudah lebih sulit untuk mengkonstatasi
apakah hal itu terjadi karena mereka menerima kaidah hukum itu dan apakah penerimaan itu
didasarkan pada nilai-nilai yang diwujudkan dalam kaidah hukum itu. Jika orang membela
keberlakuan suatu kaidah hukum hanya semata-mata karena nilai-nilai yang diwujudkan di
dalamnya, maka ia menganut suatu teori yang tidak bertumpu pada bahan-bahan empiris. Hal
itu berlaku juga untuk teoretikus yang hanya meneliti keberlakuan formal kaidah hukum.

Pada akhir bab ini kita akan menata berbagai pengertian keberlakuan dalam sebuah skema.

Skema 15

Kaidah dipatuhi oleh para


Warga masyarakat
Atau efektif
Factual
atau
empiris
Kaidah diterapkan dan
Ditegakan oleh penjabat
hukum

normatif kaidah cocok didalam


keberlakuan atau sistam hukum
formal hierarkhis

Empiris : kaidah
Tampak : diterima

evaluatif

Filosofis : kaidah memiliki sifat


mewajibkan karena isinya

material

3. HUKUM SEBAGAI NORMA / KAIDAH

Menurut Lon L. Fuller  untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati
apakah ia memenuhi delapan (8) azas atau principles of legality sebagai berikut :

58
1.     Sistem hukum harus menandung peraturan-peraturan artinnya ia tidak boleh mengandung
sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2.     Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3.     Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4.     Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5.     Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.     Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.     Peraturan tidak boleh sering dirubah-ubah.
8.     Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Untuk Tingkat Keguanan (Efficacy) suatu norma dapat terwujud apabila :


(1) ketaatan warga dipandang seagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma, dan
(2) perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

FUNGSI CITA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM YANG DEMOKRATIS

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis harus


mempresentasikan peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Fungsi cita
hukum dalam negara yang sedang dalam perubahan dapat mengakomodasikan semua dinamika
masyarakat yang kompleks seperti Indonesia. Makna yang terkandung di dalam  cita hukum
harus dapat terwujud dalam tatatnan hukum yang demokrasi.
Menurut Kerms pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan
kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner. Artinya, seetiap
aktivitas pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan dari sosiologi
hukum, ilmu-ilmu sosial lainnya dan ilmu tentang perencanaan, agar produk hukum yang
dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari masyarakat.
Institusi hukum merupakan suatu kebutuhan fungsional bagi masyarakat. Hukum
merupakan elemen penting bagi perkembangan politik, dan dengan demikian menjadikan
hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah semakin jelas. Hukum adalah dasar dan
pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, baik
dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan maupun dalam

59
kehidupan hukum (dalam arti sempit) harus selalu berpedoman oleh institusi yang namanya
hukum.
Untuk melakukan proses perancangan perundangan secara lebih baik, maka pembentuk
peraturan perundang-undangan hendaknya menyadari dan memahami secara sungguh-sungguh
dua hal pokok yaitu konsep dan bahasa, terutama bagaimana mencari kata-kata dan konsep yang
tepat, baik dalam hal pengemabangan substantive policy maupun dalam
mengkomunikasikannya.
Ketika hukum melakukan pendekatan dengan sistem maka muncullah defenisi sistem
tersebut yang menekankan beberapa hal, yaitu :
1.     Sistem itu harus beorientasi kepada tujuan.
2.     Keseluruhan adalah lebih baik dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya.
3.     Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungan.
4.     Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga.
5.     Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain.
6.     Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu.

Menurut stufenbau theory  dari Kelsen, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan norm hukum yang lebih tinggi, dalam pembentukan dan peegakan hukum
sebagai suatu sistem yang idak boleh saling bertentangan satu sama lain.
Istilah cita hukum (Rechtsidee) perlu dibedakan dari konsep hukum (Rechtsbegriff),
karena cita hukum ada di dalam cita bangsa Indonesia yaitu pada pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasil, baik berupa gagasan,
rasa, cipta, dan pikiran. Sedangkan hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang
berkaitan dengan nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada nilai-nilai tersebut.
Menurut Gustav Radbruch beraliran Neo-Kantian berpendapat bahwa cita hukum
berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif dan konstitutif. Tanpa cita hukum, maka
produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknanya.
Dengan memasuki tahap sosiologis dan poliitis sebagai bagian dari kegiatan penyusunan
produk hukum yang demokratis, sesungguhnya dapat memberikan pelajaran kepada kita bahwa
ternyata penyusunan produk hukum bukan sekedar suatu proses yuridis. Proses tersebut banyak
melibatkan berbagai komponen sistem yang cukup rumit dan beragam apakah suatu produk

60
hukum yang dihasilkan itu berkualitas atau tidak, apakah didukung oleh sikap dan nilai yang
dianut masyarakat atau ditentang.
Tahap pembentukan hukum yang demokratis yang sesuai dengan nilai-nilai  Pancasila
diantaranya :
1.     Tahapan Sosiologis, artinya sistem hukum merupakan suatu mekanisme dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan. Proses ini terkait dengan tata laku masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan sesuai dengan hukum yang beralku.
2.     Tahapan Politis, artinya sistem hukum memiliki aspek penguasaan terhadap masyarakat
melalui pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat itu sendiri.
3.     Tahapan Yuridis, artinya suatu rumusan produk hukum telah memiliki aspek konsistesi,
penetapan keputusan (Inkraht). Karena peraturan hukum itu merupakan salah satu alat yang
penting untuk menyalurkan dan mewujudkan tujun kebijaksanaan pemerintah. Dalam proses
inipun, tidaklah bebas nilai, selalu dalam lingkaran tekanan dari subsistem non yuridis seperti
masyarakat sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Didalam proses mengidentifikasi dan merumuskan problem kebijaksanaan sangat


ditentukan oleh para pelaku yang terlibat, baik secara individu maupun kelompok di dalam
masyarakat, semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah input
menjadi output yang prosesnya oleh Easton disebut whithinputs, conversion process dan the
black box. Proses transformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan perundang-undangan
baik dalam konteks politisi dan sosiologis tidak hanya terjadi pada saat pembentukan suatu
peraturan dalam tahap bekerjanyapun proses tersebut berlangsung terus dan mengoreksi secara
terus-menerus produk hukum yang dihasilkan tersebut.

PERGESERAN PARADIGMA HUKUM : DARI PARADIGMA KEKUASAAN MENUJU


PARADIGMA MORAL

Dalam perjalanan sejarah, terjadi beberapa hal mendasar dalam pembangunan. Pertama,
strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan ternyata membawa
implikasi yang terlalu jauh, yakni tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang
pemisah antara strata sosial dan antardaerah, serta kehancuran sektor-sektor usaha kecil
termasuk sektor industri rumah tangga dan sektor informal.

61
Kedua, tumbuh dan berkembangnya rezim-rezim yang represif, yang menurut Herbert Feith
disebut sebagai repressive developmentalist regimes yang cenderung korupsi, kolusi, dan
nepotisme; terhapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya
peranserta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, pelanggaran hak asasi
manusia (HAM), dan perampasan hak-hak rakyat.
Potret hukum yang diwarnai oleh sistem politik menyebabkan hukum hanyalah sebagai
alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Tatanan hukum yang dikembangkan menjadi
sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak
partisipatif. Otonomi politik tampak lebih mendominasi.
Kekuasaan pemerintah Orde Baru yang besar dan bahkan sudah di luar proporsi terus
berusaha menumbuhkan hegemoni kekuasaan yang luar biasa dengan berbagai cara,
diantaranya:
1.     Membangun sistem kepartaian yang hegemonik.
2.     Tumpuan kekuatan Orde Baru ditopang oleh menyatunya Presiden Soeharto, ABRI,Golkar, dan
Birokrasi.
3.     Membangun konfigurasi otoriter melalui penciptaan justifikasi konstitusional
sehinggaotoriterisme diciptakan berdasarkan peraturan yang secara formal ada atau dibuat.

Keadaan yang demikian itu menyebabkan hukum kehilangan otonomi, otentisitas, dan
profesionalisme dalam bekerjanya. Hukum menjadi terkooptasi oleh kekuasaan dan tidak
mampu bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya dengan benar.
Paradigma dan cara-cara lama tetap melekat hampir diseluruh kelembagaan yang ada,
karna pada kenyataanya aspirasi rakyat untuk menulis suatu perubahan secara total sulit
diwujudkan. Penanganan secara represif terus berlanjut seperti menangani demonstrasi,
masyarakat yang tergusur dan masih banyak lagi. Pembentukan perundang-undangan tidak
dapat dilakukan secara cepat, lebih disebabkan pola pikir pada aktor yang sulit untuk melakukan
perubahan terhadap cara lama yang mereka pakai selama ini. Akibatnya tingkat kepercayaan
terhadap pemerintah semakin lemah dan luntur.
Hukum yang dilandasi paradigma kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak
demokratis, yakni suatu sistem hukum yang totaliter. Sistem hukum seperti itu memiliki cirri-
ciri antara lain:

62
1.     Sistem hukumnya terdiri dari peraturan mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung putusan
penguasa yang dibuat secara arbitrer.
2.     Dengan teknik tertentu, hukum dipakai sebagai “kedok” untuk menutupi penggunaankekuasaan
secara arbitrer. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan menurunkanderajat manusia.
3.     Penerimaan sosial terhadap hukum didasarkan pada kesadaran palsu dan merendahkanderajat
manusia.
4.     Sanksi-sanksi hukum mengandung perusakan terhadap ikatan-ikatan sosial sertamenciptakan
suatu suasana nihilisme sosial yang menyebar.
5.     Tujuan akhirnya, suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar diterima oleh
masyarakat.

Tanpa disadari atau tanpa melalui jalur formal, negara kita telah berubah dari “negara
hukum” menjadi “negara kekuasaan”. Kualitas hukum kita menjadi hukum otoriter dengan
memperlihatkan ciri-ciri otoritarian antara lain:
1.     Kaidah dasar totaliter yaitu suatu konsep dengan menggunakan pemikiran kelompok intelektual
yang diselundupkan di dalam kaidah dasar yang pada gilirannya menjadi landasan bagi
kaidah/peraturan baru ataukah penafsiran guna memperthankan orde totaliter tersebut.
2.     Kaidah dasar di atas konstitusi yaitu dalam orde totaliter, eksistensi konstitusi hanya ingin
membuktikan bahwa warga negara sudah menikmati hak-haknya dan perlindungan-
perlindungan hukum, padahal sesungguhnya hanya bersifat kosmetis (pemanis bibir) belaka.
3.     Hukum yang membudak yaitu hukum dikuasai oleh penguasa, bahwa hukum hanya sah apabila
telah mendaptkan pengesahan dari kaidah yang lebih tinggi yang tidak bersifat hukum
melainkan politik, maka dalam hal ini hukum hanya bisa diatur oleh penguasa politik saja yang
tentunya tidak memiliki kepastian hukum tetap.
4.     Birokrasi totalitarian yaitu adanya pembatasan-pembatasan terhadap yang memberi alasan
rasional untuk menolak pendekatan yang tak memihak (impersonal), yang dalam hal ini hukum
totalitarian membudak kepada dan bekerja untuk elit yang berkuasa.
5.     Trias politika pro-forma yaitu peneknn terhadap dan oleh sistem peradilan, dimana pengadilan
tidak memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya menjadi
sarana yang dipakai untuk menekan warga negara.

63
6.     Kepatuhan terpaksa yaitu disini warga negara mengalami ketakutan, sehingga kepatuhan
terhadap keputusan hukum merupakan semu atau palsu diakibatkan mereka tidak ada melihat
pilihan lain. Hukum diterim berdasarkan hakekatnya bukan karena kekuatan dibelakangnya.
7.     Tipe rekayasa merusak yaitu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan hukum membuat
tatanan hukum dalam masyarakat tidak teratur, yang menimbulkan kerugian sosial yang luas di
dalam masyarakat.

Di dalam perjalanan sejarah kegagalan pemerintahan oerde baru, maka lahirlah era
reformasi. Reformasi hukum merupakan ON GOING PROCESS dan bukan sekedar perubahan
hukum biasa. Reformasi sesungguhnya merupakan suatu perubahan seperangkat tata nilai untuk
dijadikan dasar bagi suatu sistem hukum. Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan
berlanjut sampai pada tataran subtansi, struktur dan kultur hukumnya. Sehinga muncullah
filsafat pencerahan guna memperbaiki kondisi hukum yang sedemikian rusak itu, diantaranya :
1.     Hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, tetapi hukum itu
sendiri harus rasional.
2.     Untuk menjamin hukum yang rasional guna terwujudnya tujuan hukum, maka pelaksanaan
hukum harus bersifat efisien.
3.     Hukum harus mewujudkan tujuan-tujuannya dengan memasukkan substansi struktur sosial
masyarakat.

Globalisasi telah merambah hampir semua ranah kehidupan masyarakat, sehingga


diperkirakan bakal muncul suatu global society  dengan klasifikasi global seperti : Global
economi, global education, global human condition, global humanity, global order, and global
global village.
Dalam penataan hukum, indonesia tidak hanya memperhatikan cita hukum dan politik
hukum nasional serta karakteristik lokal. Akan tetapi, hendaknya juga memperhatikan
kecenderungan yang telah diakui oleh negara yang telah mengikuti global trend, yang tampak
dalam instrumen-instrumen internasional, seperti deklarasi, konvensi, code of condact, dan
sebagainya. Koentjaraningrat  mengemukakan bahwa mentalitas masyarakat adalah sebagai
berikut :
1.    Mentalitas yang meremehkan mutu.
2.    Mentalitas yang menerabas.

64
3.    Sikap tidak percaya pada diri sendiri.
4.    Sikap yang tidak disiplin
5.    Sikap yang tidak bertanggung jawab.

Globalisasi juga menghasilkan restrukturisasi ekonomi dengan membawa dampak-


dampak yang diantaranya adalah :
1.    Perubahan dalam pola-pola produksi;
2.    Keterkaitan antara pasar-pasar keuangan;
3.    Makin pentingnya MNC;
4.    Perdagangan dan pertumbuhan dari blok-blok perdagangan regional;
5.    Penyesuaian struktural dan privatisasi;
6.  Hegemoni dari konsep neo liberal melahirkan hubungan ekonomi yang menekankan pasar-pasar
privat, deregulasi, pengurangan peranan pemerintah dan perdagangan bebas;
7.  Tren dunia dalam demokratisasi, perlindungan HAM, dan revitalisasi rule of the law memperkuat
keadilan;
8.  Munculnya pelaku-pelaku supranasional dan transnasional yang mempromosikan HAM dan
demokrasi.

Ada dua hal yang harus mendapatkan perhatian secara seksama dalam menghadapi
globalisasi, yaitu :
1.   Masalah hubungan antara warga negara dan hukum.
2.  Masalah kemampuan hukum dan sistem politik kita di dalam memenuhi tuntutan rakyat akan
keadilan.

BUDAYA HUKUM

PERANAN KULTUR HUKUM DALAM PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan
selalu berada di antara berbagai faktor (interchange). Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu
gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat antara lain meliputi tingkah laku warga

65
masyarakat. Artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan
faktor-faktor non hukum lainnya, terutama nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang
selanjutnya disebut dengan kultur hukum.
Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara lebih baik, maka
hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem, bahwa persoalan hukum yang kita hadapi sangat
kompleks. Dasar yang terkandung dalam sistem hukum tersebut meliputi :
1.     Sistem itu selalu berorientasi pada suatu tujuan;
2.     Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dan bagian-bagiannya;
3.     Sistem itu selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya; dan
4.     Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga.

Di satu sisi, hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara kesuluruhan
dipayungi oleh sebuah norma dasar yang disebut grundnorm atau basic norm. Dari perspektif
yang lain, hukum merupakan bagian dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum
merupakan salah satu subsistem diantara subsistem-subsistem sosial lain, seperti sosial, budaya,
politik dan ekonomi.
Lawrence M. Friedman, mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung
dalam hukum, yaitu :
1.  Komponen Struktur, merupakan satu kelembagaan yang diciptakan oleh satu sistem.
2.   Komponen Substansi, merupakan satu rangkaian norma berupa aturan perundang-undangan.
3.   Komponen Kultural, harus dimilikinya ide-ide, gagasan, sikap, harapan dan pendapat hukum.
Komponen ini menyebutkan bahwa peran lawyer dan hakim merupakan integral legal culture.
Hukum senantias dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada, sehingga tidak
heran kalau terjadi ketidak cocokan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang
senyatanya (das sein), Selanjutnya, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu
proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses tersebut selalu
melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta masyarakatnya.
Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya, karena hukum itu sendiri
merupakan sarana pengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya,
hukum tidak terlepapas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup di kalangan
anggota masyarkat.

66
Hubungan antara perkembangan hukum dengan perkembangan masyarakat ini juga
diuraikan oleh H.L.A. Hart. Didalam masyarakat tipe yang pertama, kita tidak menemukan
peraturan yang terperinci  dan resmi. Sedangakan di dalam tipe masyarakat yang kedua, sudah
ditemui adanya difrensiasi dan isntitusionalisasi di bidang hukum seperti rules of recognition
yang menentukan apa yang merupakan hukum rules of change yaitu bagaimana melakukan
perubahan, dan rules of adjudication yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Dengan
mengajukan beberapa model tersebut dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan masyarakat
menentukan tipe hukum mana yang berlaku.
Hukum yang dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Kalau demikian halnya, maka hukum bolehlah disebut sebagai sistem nilai. Apabila
institusi hukum dikaitkan dengan latar belakang susunan masyarakat dan nilai-nilai yang
dianutnya, maka kita mulai berhadapan dengan pilihan mengenai nilai-nilai apa yang harus
diwujudkan oleh hukum.
Peranan nilai dan sikap merupakan gejala universal, sehingga di negara-negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia, mudah terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang
telah dipilih untuk diwujudkan dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang sudah mapan dan
telah dihayati oleh anggota masyarakat.

PENGARUH BUDAYA HUKUM TERHADAP FUNGSI HUKUM

Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun hukum selalu dikaitkan dengan usaha-
usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Fungsi hukum
tidak cukup hanya sebagai kontrol sosial, melainkan lebih dari itu. Keadaan demikian itu
seolah-olah enggambarkkan bahwa sesungguhnya fungsi hukum sekarang ini sudah mengalami
pergeseran, yakni secara lebih aktif melakukan perubahan-perubahan yang di inginkan.
Segala kebijaksanaan pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan terbuka melalui
institusi yang namanya hukum itu. Dengan demikian, para pengambil kebijaksanaan dapat
dengan leluasa berbuat apa saja, termasuuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang
modern rasional sebagai saluran legitimasi.
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai keadaan masyarakat sebagaimana dicita-
citakan itu adalah suatu konsepsi yang modern. Menurut Marc Galanter, sistem hukum yang

67
modern mempunyai ciri-ciri tertentu. Beberapa dianataranya adalah bersifat territorial, tidak
bersifat personal, universitas, rasional, hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebaai sarana
untuk menggarap masyarakat.
Lon Fuller,  menunjukkan delapan prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat
hukum, yaitu :
1.     Harus ada peraturannya terlebih dahulu.
2.     Peraturan itu harus diumumkan.
3.     Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4.     Perumusan peraturan-peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5.     Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6.     Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7.     Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
8.     Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-
peraturan yang telah dibuat.

James C.N Paul maupun Clarence J. Dias berpendapat, bahwa perdebatan nilai-nilai
yang terkandung di dalam hukum nasional dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat desa
seringkali menyulitkan mereka untuk dapat mengerti ketentuan-ketentuan hukum nasional yang
berlaku.
Kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Artinya,
kebudayaan merupakan suatu blue of behavior yang memberikan pedoman tentang apa yang
harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Nilai sosial dan budaya tersebut
berperan sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku manusia di dalam proses interaksi
sosial.
Daniel S.Lev di dalam karangannya Judicial Institutions and Legal Culture in
Indonesia menguraikan tentang sistem hukum dan budaya hukum. Menurut Lev sistem hukum
menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya orang-
orang itu menyelesaikan maslahnya di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan komponen
substantive dari budaya hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi
maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, terutama mengenai apa yang adil
dan tidak menurut masyarakat, dan sebagainya. Budaya hukum merupakan unsur yang penting

68
untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan
yang lainnya.
Menurut Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya hukum sebagai bagian
integral dari suatu sistem hukum. Yang membedakan unsur sitem itu ke dalam 3 (tiga) macam
yaitu :
1.     Struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem huku dengan berbagai macam
fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum.
2.     Subtansi yaitu luaran dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-norma yang antara lain
berwujud peraturan perundang-undangan.
3.     Kultur (budaya) yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu, serta
menentukan tempat sistem itu ditengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.

Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan
yang ingin dicapai itu. Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan sistem hukum, yaitu :
1.     Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami;
2.     Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang
bersangkutan;
3.     Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
4.     Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki
oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa, dan;
5.     Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-
aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

Ucapan Max Weber “Orang tak akan mungkin berhasil mencapai sesuatu yang mungkin
dicapai, kecuali apabila dia tanpa putus-putusnya berani mencoba menjangkau hal-hal yang
tampaknya tak mungkin dicapai”.

PEMBINAAN KESADARAN HUKUM

69
Membina kesadaraan hukum adalah suatu tuntutan pembaharuan sosial yang dewasa ini
menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha pembangunan. Tertib
hukum dan penegakan hukum, penegasan ini dirumuskan sebagai berikut :
1)     Pembngunan dibidang hukum didasarkan atas landasa sumber tertib hukum seperti terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945;
2)     Guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam mengayomi masyarakat, yang
merupakan syarat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka aparatur pemerintah
pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya perlu terus menerus dibina dan
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan serta kewibawaannya;
3)     Pembangunan dan pembinaan dibidang hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi
kebutuhan sesuai dengan tngkat kemajuan pembangunan, sehingga dapat diciptakan ketertiban
dan kepastian umum;
4)     Usaha-usaha penertiban badan-badan penegak hukum perlu dilanjutkan;
5)     Usaha meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum perlu dilnjutkan;
6)     Meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati hak dan kewajibannya;
7)     Meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum,
keadilan dan pembinaan perlindungan harkat dan martabt manusia, ketertiban serta kepastian
hukum sesuai dengan UUD 1945.

Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan
ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang
menghubungkan antara peratran-peraturan hukum dengan tingakah laku hukum anggota
masyarakatnya. Lawrence M. Friedman lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari
“kultur hukum” yaitu nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam
masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup di
dalam masyarkat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang
menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum.
Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang sebagai adressat
hukum. Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh hukum memenuhi harapan-harapan tertentu

70
sebagaimana dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Chambiliss dan Sediman
menyebutkan adressat Hukum itu sebagai “Pemegang Peran” (role occupant).
Para sosiolog modern yang berorientasi empiris cenderung berpendapat bahwa kekuatan
pokok kontrol sosial itu terletak pada adanya kaidah-kaidah kelompok yang telah diresapi
masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa masalah kesadaran hukum ini timbul apabila nilai-nilai yang
akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan nilai-nilai yang baru.
Menghadapi produk hukum yang cenderung memasukan unsur-unsur baru itu, apakah
seorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum seperti itu atau tidak,
sangat tergantung pada tiga variable utama, antara lain :
1)     apakah normanya telah disampaikan;
2)     apakah normanya serasi dengan tujuan-tujuan yang diterapkan bagi posisi itu;
3)     apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.

Ciri yang demikian ini mengandung arti bahwa fungsi hukum tidak hanya sebagai kontrol
sosial melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu masyarakat baru yang dicita-citakan.
Proses bekerjanya hukum itu sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu :
1.     Peraturan-peraturan hukumnya;
2.     Badan pembuat undang-undang;
3.     Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies);
4.     Masyarakat sebagai sarana pengaturan;
5.     Proses penerapan hukumnya;
6.     Komunikasi hukumnya;
7.     Kompleks kekuatan sosial-politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undang-undang,
birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peraan;
8.     Proses umpan balik antara semua komponen tersebut.

Faktor-faktor yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam


peraturan hukum tersebut perlu dipersiapkan dengan baik. Artinya apa yang disebut sebagai
undang-undang itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu
masih harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan
dengan semestinya.

71
Menurut A. Podgorecki ada empat asas pokok yang perlu diperhatikan dalam
mewujudkan tujuan sosial yang dikehendaki, yakni :
1.     Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2.     Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam
suatu urutan hirarki. Analisis disini meliputi pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang
kan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik mala memperburuk keadaan.
3.     Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk
dilakukan itu pada akhirnya membawa kita kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4.     Pengukuran terhadap efek perturan-peraturan yang ada.

Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk mencapai
tujuan-tujuan yang kita kehendaki dinyatakan pula dalam salah satu keputusan seminar hukum
nasional ke III pada Tahun 1974 di Surabaya. Yang dirumuskan sebagai berikut : “Perundang-
undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana
untuk merealisis kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial,
budaya, politik, pertahanan dan keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dan pertahanan
pembangunan nasional”.

E. TEORI LEGITIMASI DAN VALIDITAS HUKUM

Teori validitas hukum merupakan salah satu teori yang penting dalam ilmu hukum.
Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan
bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah
(valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan upaya
paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk aturan format,
seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar, undang-undang dan
berbagai bentuk peraturan lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk
traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan.
2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-
undang harus dibuat oleh parlemen (bersama dengan pemerintah).
3. Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan.

72
4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya. Misalnya tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap hukum, seperti
pengadilan, kepolisian dan kejaksaan.
6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, suatu kaidah hukum tidaklah valid jika kaidah hukum tersebut
misalnya tidak dapat diterima oleh masyarakat atau jika kaidah hukum tersebut ternyata dalam
praktik tidak dapat dilaksanakan, meskipun aturan-aturan hukum tersebut telah dibuat melalui
proses yang benar dan dibuat oleh yang berwenang secara hukum. Karena itu, dapatlah
dikatakan bahwa suatu hukum yang tidak dibuat secara benar, atau hukum yang tidak dibuat
oleh pihak yang benar, atau hukum yang tidak diterima oleh masyarakat, ataupun hukum yang
tidak adil, hukumnya bukanlah hukum.
Sebaliknya, menurut teori validitas hukum maka suatu kaidah hukum tidak dapat ditakar
dengan kaidah moral atau kaidah politik. Dalam hal ini berarti bahwa validitas suatu aturan
hukum tidak goyah hanya karena tidak bersesuaian dengan kaidah moral, kaidah politik, atau
kaidah ekonomi karena masing-masing bidang tersebut mengatur hal yang berbeda-beda
meskipun dalam hal tertentu terjadi overlapping. Suatu kaidah hukum dapat saja mengikuti
kaidah moral, politik atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum tersebut tidak mengorbankan
norma dasar dalam hukum. Misalnya, suatu kaidah moral, politik, ekonomi, atau agama, tidak
dapat diberlakukan dalam hukum jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan asas-asas
keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, ketertiban umum, perlindungan hak dasar, asas
manfaat, dan lain-lain.
Pendapat dari ahli tentang hal validitas dari suatu aturan hukum adalah bervariasi
tergantung kepada penekanan dari masing-masing ahli tersebut, Ada yang berpendapat bahwa
valid tidaknya suatu aturan hukum diukur dari terpenuhi tidaknya suatu elemen-elemen sebagai
berikut:
1. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengan aturan tertentu yang
tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan “di luar jalur”
(ultra vires).

73
2. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten (subsistem) dengan
bidang pengaturan yang sudah ada saat ini.
3. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat
(aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat.
4. Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal untuk dihormati
(atas dasar norma dan politik).
5. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan normatif yang
transedental (aspek ontologis) (J.W.Haris, 1979:107).
Selanjutnya, tentang persyaratan kesesuaiannya dengan norma dasar dan persyaratan
diterimanya oleh masyarakat agar suatu aturan hukum menjadi aturan hukum yang valid, maka
Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu aturan hukum telah valid sejak diundangkannya secara
benar, meskipun saat-saat awal dibuatnya aturan hukum, aturan hukum tersebut mungkin saja
masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat. Akan tetapi menurut Hans Kelsen, jika
aturan tersebut terus menerus tidak diterima oleh masyarakat, maka aturan hukum yang
demikian hilang validitasnya sehingga berubah menjadi aturan hukum yang tidak valid
(J.W.Haris,1979:123).
Berbeda dengan ajaran dari para penganut teori hukum alam, maka para penganut teori
hukum positivisme seperti John Austin, Hans Kelsen, HI.A Hart tersebut tidak pernah
mengaitkan valid tidaknya suatu aturan hukum dengan faktor moral. Akan tetapi dikarenakan
persyaratan ”efektivitas” (penerimaan oleh masyarakat) atau suatu aturan hukum merupakan
suatu unsur bagi hukum yang valid, dan ada kemungkinan bahwa suatu aturan hukum yang
tidak sesuai dengan unsur moral tidak akan diterima oleh masyarakat dalam jangka waktu yang
panjang, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa bahkan oleh para penganut teori positivisme
sekalipun harus mengakui juga pengaruh unsur moral ke dalam validitas suatu aturan hukum,
meskipun pengaruh unsur moral tersebut terjadi tidak langsung, tetapi melalui penerimaan
suatu aturan hukum oleh masyarakat.
Setiap kaidah hukum haruslah memenuhi unsur legitimasi, karena memang asal usul
pengertian legitimasi adalah setiap hal yang bersesuaian dengan hukum yang berlaku.
Selanjutnya, berkembang pengertian legitimasi bagi suatu kaidah hukum sebagai kaidah
yangdibuat secara sah (oleh instansi yang sah) yang bersifat impersonal, yang berbeda dengan
pengertian legitimasi sebelumnya yang mengharuskan aturan hukum dengan tradisi atau sesuai

74
dengan pendapat/titah dari orang-orang karismatik. Dalam pengertian hukum yang dibuat oleh
instansi yang sah yang bersifat impersonal, maka ukurannya tidaklah lagi bersifat percaya pada
seseorang karena karismanya, tetapi ukurannya adalah bahwa hukum tersebut haruslah bersifat
rasional.
Menurut sosiolog hukum Max Weber, suatu hukum dikatakan rasional jika memenuhi
syarat rasional yang formal dan rasional yang substantif. Yang dimaksud dengan hukum yang
rasional formal dalam hal ini adalah bahwa hukum terseut secara intelektual haruslah konsisten,
yaitu konsisten antara faktor-faktor seperti aturan hukum (legal rules), prinsip hukum (legal
principles), standar hukum (legal standards), dan konsep hukum (legal concepts). Adapun
yang dimaksud dengan hukum yang rasional secara substantif adalah aturan hukum yang
bersesuaian dengan ideologi dan nilai-nilai yang berubah-ubah dalam masyarakat. Kalaupun ada
ketidaksesuaian antara faktor-faktor tersebut maka ketidaksesuaian atau penyimpangan tersebut
haruslah mempunyai alasan dan basis yang rasional pula (John H. Farrar, 1977:10).
Teori-teori tentang validitas hukum seyogianya juga harus dapat menjawa beragai
persoalan di sekitar persoalan valid atau tidaknya suatu lembaga hukum. Misalnya terhadap
valid atau tidaknya suatu pemerintahan dalam suatu Negara atau bahkan terhadap valid atau
tidaknya suatu Negara, yang dalam ilmu hukum dikenal dengan “Teori Identitas Negara”.
Teori identitas Negara adalah teori dalam ilmu hukum yang mengajarkan bahwa syarat-
syarat dan unsur-unsur agar suatu kumpulan manusia dapat dikatakan sebagai Negara haruslah
memiliki identitas tertentu, identitas mana ditetapkan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu-ilmu
lainnya.
Dalam hal ini, memang banyak ahli berteori bahwa identitas suatu Negara ditentukan
oleh ilmu hukum, ukan oleh ilmu lain seperti ilmu sosiologi, psikologi, atau ilmu politik. Ilmu-
ilmu lain selain ilmu hukum terseut memang dapat juga menentukan identitas Negara, tetapi
teorinya tetap tergantung pada ilmu hukum. Dalam hal ini, ilmu hukumlah yang memberikan
identitas yang bersifat final dan bersifat “taken for granted”.
Adapun unsur-unsur Negara yang telah ditetapkan oleh ilmu hukum tersebut sebagai
berikut:
a. Adanya rakyat
b. Adanya wilayah Negara
c. Adanya pemerintahan yang sah

75
d. Adanya pengakuan terhadap Negara tersebut (unsur fakultatif).
Terhadap teori identitas Negara ini, jika kita bericara dari sudut pandang ilmu sosiologi,
maka paling jauh ilmu sosiologi membenarkan adanya Negara setelah ditetakan oleh ilmu
hukum bahwa kumpulan manusia/masyarakat tersebut dapat disebut sebagai Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu sosiologi menganalisis masyarakat secara faktual, kausal,
dan empiris. Akan tetapi, ketika ilmu sosiologi menentukan eksistensi suatu Negara, tidak
penah dianalisis dan ditentukan dalam hubungan kausal, dan tidak pula karena hasil penelitian
empiris. Melainkan semata-mata karena kumpulan manusia/ masyarakat tersebut oleh hukum
telah dipandang memenuhi unsur dan syarat sebagai sebuah Negara. Karena itu, tidak pernah
ada premis misalnya seseorang merupakan warga Negara secara sosiologi tetapi bukan warga
Negara secara yuridis, dan demikian juga sebaliknya. Atau orang tersebut warga Negara secara
politik tetapi bukan merupakan warga Negara secara hukum.
Fenomena yang sama juga terjadi dalam ilmu psikologi. Misalnya, ada seseorang yang
gila, terbelakang mental, pemarah, penyabar, genius, autis yang oleh ilmu psikologi jelas sangat
dibeda-bedakan sesuai tinjauan ilmu psikologi, tetapi dalam ilmu hukum tetap dianggap sebagai
warga Negara, sehingga selaku warga Negara mereka tetap mendapat hak yang sama dengan
warga Negara lain, dan putusan dari ilmu hukum inilah yang harus berlaku secara final. Bahwa
kenapa finalnya harus ditentukan oleh ilmu hukum, bukan oleh ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu
sosiologi, ilmu politik dan sebagainya adalah karena memang sifat dan hakikat dari ilmu hukum
sebagai ilmu yang final. Meskipun untuk sampai kepada kesimpulan yang final tersebut,
mungkin saja ilmu hukum memerlukan bantuan atau putusan dari ilmu-ilmu lainnya, bahkan
mungkin saja ilmu lainnya menarik lebih kuat dan mengupas persoalan secara lebih menohok
(seperti yang diajarkan oleh teori sibernetika dalam ilmu-ilmu sosial), akan tetapi putusan final
tetap dimonopoli oleh ilmu hukum.

76

Anda mungkin juga menyukai