Anda di halaman 1dari 8

Nama : Andi Widya Astuti

Nim : 041890011

Tutor : Muh. Ilyas S.H.,M.H

Bidang Studi : Pengantar Ilmu Hukum/PTHI

MODUL I

Kaidah Sosial

A. Masyarakat dan kaidah sosial


1. Manusia dan masyarakat
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia sebagai makhluk individu
sekaligus sebagai sosial. Dalam kedudukannya selaku individu, manusia tidak mungkin dapat
memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara penuh, oleh sebap itu, manusia terpaksa harus hidup
bermasyarakat atau terpaksa hidup bersama-sama dengan manusia yang lain dalam masyarakat.
Adapun ciri-ciri interaksi sosial :
 Minimal ada dua orang yang mengadakan interaksi
 Dalam mengadakan interaksi menggunakan bahasa yang asing dimengerti ndiantara ego
dan alter.
 Dalam kurun waktu yang cukup lama, artinya tidak hanya sesaat.\
 Adanya tujuan-tujuan tertentu yang mempersatukan.
Seorang filsofi yunani yang bernama Aristotoles ( 384-322 SM ) mengatakan bahwa manusia
pada hakekatnya adalah zoom plication, artinya manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk
sosial tidak mungkin dapat hidup tanpa bermasyarakat.
Tentang pembedaan bentuk-bentuk masyarakat, sebenarnya ada beberapa kriteria yang menjadi
dasar pembedaanya, yaitu :
 Dilihat dari besar-kecilnya dan dasar hubungan kekeluargaan
 Dilihat dari dasar sifathubungannya erat ataub tidak
 Dilihat dari dasar perikehidupannya atau kebudayaannya
2. Kaidah sosial sebagai perlindungan kepentingan manusia
Kaidah sosial atau norma sosial adalah peraturan hidup yang menetapkan bagaimana manusia
harus bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat. Atau dapat juga dikatakan kaidah sosial pada
adalah pedoman tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat, yang fungsinya melindungi
kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai maupun makhluk sosial dengan jalan
mentertibkan.
3. Jenis- jenis kaidah sosial
Adapun yang mempengaruhi perbedaan dari kesusilaan, kesopanan dan hukum adalah karena
adanya norma-norma yang tidak sama yang mendukung masing-masing kaidah yaitu :
 Kaidah agama adalah sebagai peraturan hidup yang oleh para pemeluknya dianggap
sebagai perintah dari tuhan, atau dapat dikatakan bahwa kaidah agama berpangkal pada
kepercayaan kepada tuhan
 Kaidah kesusilaan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada rasa kesusilaan
dalam kesusilaan dalam masyarakat dan sebagai pendukungnya adalah hati nurani
manusia sendiri.
 Kaidah kesopanan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada kepatutan,
kebiasaan atau kesopanan dalam masyarakat.
 Kaidah hukum adalah sebagai peraturan hidup yaang sengaja dibuat atau yang tumbuh
dari pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat
atau penguasa negara.
B. Kaidah hukum dan kaidah sosial yang lain
1. Kaidah hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia
Dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia harus selalu berusaha agar ketertiban masyarakat
tetap terpelihara. Sotjipto Rahardjo mengatakan bahwa memasukkan kebutuhan manusia untuk
melakukan hubungan-hubungan sosial merupakan kategori tersendiri, di samping kebutuhan-
kebutuhan lain yang kurang fundamental. Dimensi ini adalah sosial dalamkehidupan manusia
yang memiliki unsur-unsur : ketertiban, sistem sosial, lembaga-lembaga sosial dan pengendalian
sosial ( Rahardjo, 1982 : 26-27 )
 Ketertiban atau lengkapnya ketertiban dan keteraturan adalah unsur yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat
 Sistem sosial merupakan cara mengorganisasi suatu kehidupan bersama
 Lembaga sosial merupakan hubungan sosial atau hubungan masyarakat berjalan secara
tertib dan teraur diperlukan adanya wadah
 Pengendalian sosial merupakan usaha acara untuk mempertahankan sistem sosial
2. Dasar psikologis kaidah hukum
Sudikno mertokokusuma mengaskan seperti apa yang dikemukakan oleh Zevenbergen bahwa
dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau nafsu, yaitu : hasrat yang individualistis ( egoistis
atau atomistis ), hasrat yang kolektivistis ( transpersonal atau organis ) dan hasrat yang bersifat
mengatur atau menjaga keseimbangan yang berfungsi mengarahkan kedua hasrat yang lain
( mertokusuma, 1986 : 27 ).
3. Rasio adanya hukum
Akibat dari kontak dalam usaha manusia memnuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, ada 2
( dua ) kemungkinan : (1) kontak yang terjadi ternyata sejalan dan menguntungkan kedua belah
pihak, disebut sebagai kontak yang positif, (2) kontak yang terjadi ternyata tidak sejalan dan
mengakibatkan ada pihak yang dirugikan atau kontaknya tidak menyenangkan, disebut sebagai
kontak negatif.
4. Hubungan kaidah hukum dengan ketiga kaidah sosial yang lain
 Kaidah hukum dan kaidah agama : Tidak selamanya kaidah hukum memperhatikan
kaidah agama, artinya ada kaidah yang peraturan berbeda dengan kaidah hukum
 Kaidah hukum dan kaidah kesusilaan : Kaidah hukum memperhatikan apa yang
dikehendaki oleh kaidah kesusilaan
 Kaidah hukum dan kaidah kesopanan : kaidah yang sangat dekat dengan realita yang ada
dalam masyarakat, sedangkan kaidah hukum sudah mulai mengambil jarak dengan
memperhatikan juga apa yang ideal, sehingga dalam perkembangan diantara kedua
kaidah tersebut sering ada tarik menarik.
5. Persamaan dan perbedaan diantara kaidah-kaidah sosial
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukan bahwa ada dua aspek hidup manusia,
yaitu hidup pribadi dan hidup antar pribadi. Setiap aspek hidup tersebut mempunyai kaidah-
kaidahnya dan dalam masing-masing golongan dapat diadakan perbedaan antara dua macam tata
kaidah yaitu ( Purnadi, 1979 : 15-35 ).
 Tata kaidah dengan aspek hidup pribadi, yang tujuannya adalah untuk kesayogyaan orang
seorang ( diri pribadi ) : kaidah agama untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau
kehidupan beriman : dan kaidah kesusilaan yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau
kebersihan hati nurani dan akhlak.
 Tata kaidah dengan aspek hidup antar-pribadi, yang tujuannya untk kesayogyaan hidup
diri pribadi lainnya, jadi untuk kepentingan diri sendiri dan kepentingan bersama yang
mencangkup : kaidah kesopanan yang dimaksud untuk kesedapan hidup bersama ; dan
kaidah hukum yang tertuju kedamaian hidup bersama.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang persamaaan dan perbedaanya
diantara keempat kaidah sosial, dapat diikuti uraian berikut ini. Dalam garis besarnya
persamaannya adalah terletak pada fungsinya, yaitu sebagai perlindungan terhadap kepentingan
manusia baik sebagai indivudu maupun sebagai makhluk sosial. Adapun perbedaanya dapat
dilihat dari segi : tujuannya, isisnya, asal-usulnya, sangksinya, dan daya kerjanya.
Dilihat dari isinya, tata kaidah sosial dapat dikelompokkan menjadi dua :
 Pertama, kelompok kaidah dengan aspek hidup pribadi, yaitu kaidah agama dan kaidah
kesusilaan. Isinya ditujukan kepada sikap batin manusia, dengan merang melakukan
kejahatan.
 Kedua, kelompok kaidah dengan aspek hidup antar-pribadi, yaitu kaidah kesopanan dan
kaidah hukum.isinya ditujukan kepada sikap lahir manusia atau perbuatan konkrit.

MODUL II

Mengenal kaidah hukum

1. Mengenal kaidah hukum


A. Definisi hukum
L.J van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum banyak seginya dan demikan luasnya, sehingga
tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Kesulitan membuat definisi
hukum juga dikemukakan oleh G.E. Paton, yang antara lain mengatakan bahwa persoalan
mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Secara logis
haruslah lenih dahulu ditemukan genus-nya yaitu pada genus mana res termasuk, kemudian sifat-
sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada genus yang sama. Demikian juga
dengan hukum dengan hukum, kita cari dulu genus-nya, yaitu termasuk kaidah sosial yang
merupakan peraturan hidup, setelah dibandingkan untuk dicari persamaan dan perbedaanya
dengan kaidah sosial yang merupakan peraturan hidup, setelah dibandingkan untuk dicari
persamaan dan perbedaannya dengan kaidah-kaidah sosial yang lain, kita dapat mendapatkan ciri-
ciri hukum, yaitu :
 Adanya perintah dan/atau larangan
 Perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang
 Adanya sangksi hukum yang tegas dan dapat dipisahkan oleh instansi yang berwenang.
Dalam bukunya pengantar ilmu hukum dan tata hukum indonesia, C.S.T kansil menyebutkan
beberapa rumusan definisi hukum dari para ahli hukum atau sarjana hukum, selanjtnya atas dasar
definisi-definisi tersebut ditarik kesimpulan, bahwwa hukum meliputi beberapa unsur, yaitu
(kansil 1980-37) :
 Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
 Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib
 Peraturan itu bersifat memaksa
 Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas
Adanya definisi-definisi hukum yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam, disebabkan
berbedanya titik berat metode pendekatan yang digunakan untuk menetukan lahirnya hukum. Ada
dua cara pendekatan yang kontrovensial, yaitu :
 Yang dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rules), meskipun mareka
mengetahui bahwa hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat, tetap yang
dipentingkan adalah normanya. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum,
yang harus diselidiki lebih dahulu adalah aturan-aturannya. Selanjutnya, kalau kita
hendak membendak membentuk hukum, maka aturan-aturannya harus dipelajari dan
diselidiki secara mendalam. Ini termasuk pendapat normatif
 Yang dipentingkan masyarakatnya, sebap hukum itu selalu berhubungan dengan
masyarakat sebagai wadahnya. Kalu kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum maka
yang perlu diselidiki lebih dahulu adalah masyarakatnya, karena ini menyangkut masalah
sosial. Ini termasuk pendapat sosialogis atau realistis.

Pemberi Arti Hukum


Purnadi Prbacaraka dan Soerjo Soekarto menyebutkan ada 9 yaitu : hukum sebagai disiplin,
hukum sebagai kaidah, hukum sebagai tata hukum, hukum sebagai petugas hukum, hukum
sebagai keputusan penguasa, hukum sebagai proses pemerintahan, hukum sebagai perilaku
yang ajeg atau sikap tindak yang teratur, hukum sebagai jalinan nila-nilai (purbacaraka,
1979*** : 12) :
 Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan
 Hukum dalam arti sebagai disiplin
 Hukum dalam arti sebagai kaidah
 Hukum dalam arti sebagai tata hukum
 Hukum dalam arti sebagi petugas hukum
 Hukum dalam arti proses pemerintahan
 Hukum dalam arti sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur
B. Isi, sifat dan perumusan kaidah hukum
Dilihat dari segi sisinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenan dan larangan. Dalam
bidang hukum tata negara banyak kita jumpai ketentuan-ketentuan hukum yang berisikan perintah
atau suruhan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Sajipto Rahardjo
berpendapat bahwa tidak setiap peraturan hukum merupakan kaidah hukum. Dengan mengikuti
pendapat Zevenbergen, dikatakan bahwa untuk memastikan, apakah di situ kita menjumpai suatu
norma hukum atau tidak, keduannya bisa dipakai sebagai ukuran. Dengan patokan ini, ternyata
tidak semua peraturan hukum itu mengandung norma hukum di dalamnya.
Soekanto mengemukakan bahwa pada umumnya bentuk perumusan kaidah hukum ada tiga,
yaitu (Soekanto, 1978 : 6) :
 Larangan : “ Dilarang menjualn minuman keras tanpa izin pemerintah “
 Instruksi atau perintah : “ menugaskan kepada presiden republik indonesia/mandarataris
MPR untuk mengemban dan melaksanakan ketetapan ini dengan bagian ketetapan yang
berupa GBHN sesuai dengan bunyi dan makna sumpah jabatannya “ (TAP MPRRI No.
VI/MPR/1998).
 Pernyataan hipotesis : “ anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal
warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak laki adalah
sama dengan anak perempuan” (putusan makamah agung tanggal 1 november 1961
No.179/sip/1961)
C. Fungsi, tugas dan tujuan hukum
Hukum mempunyai fungsi umum seperti ketiga kaidah sosia lain, yaitu melindungi kepentingan
manusia. Dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain, hukum mempunyai fungsi
khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus juga tidak untuk melengkapi dalam memberikan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia.
Tujuan hukum untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama, berarti juga bahwa
hukum bukan semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga sebagai sarana
terciptanya kesejahteraan masyarakat. Menurut purnadi purbacaraka, ketertiban ekstern antar
pribadi dan ketentraman intern pribadi mempunyai hubungan dengan tugas hukum yang bersifat “
dwi-tunggal “ yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu (purbacaraka,
1979 : 67-28 ) :
 Memberikan kepastian dalam hukum (certainty ; zekerheid )
 Memberikan kesebandingan dalam hukum ( equaity ; bilijkheid ; evenredigheid )

Tujuan Hukum Menurut teori utilitis adalah menjamin tercapainya kebahagian sebesar-besarnya
untuk jumlah orang yang sebanyak-banyaknya. Penganut teori utilitis antara lain adalah jeremy
bentham.
2. Hubungan hukum dengan keadilan dan kekuasaan
A. Hubungan hukum dengan keadilan
Hukum adalah apa yang benar-benar berlaku atau apa yang seharusnya berlaku atau apa
yang seharusnya berlaku sesuai dengan isi kaidah hukum, dan tidak dipersonalkan apakah
baik atau buruk, sedangkan keadilan adalah suatu cita-cita yang didasarkan pada sifat moral
manusia. Walaupun antar hukum dan keadilan dapat dibedakan, tetapi salahlah untuk
beranggapan bahwa hukum dan keadilan sama sekali tidak berhubungan. Dengan demikian
keadilan yang tidak memihak dan persamaan perlakuan. Konsep bahwa hukum mengarah
kepada keadilan, dapat kita lihat pada dua hal, yaitu :
 Undang-undang selalu memberikan ketentuan yang bersifat umum, artinya berlaku
sama setiap orang (equality before the law)
 Di dalam suatu proses peradilan berlaku asas bahwa para pihak didengar dan
diperilaku sama dihadapan hakim (audi et alteram parten).
B. Hubungan hukum dengan kekuasaan
Kekuasaan pada hakekatnya merupakan kemampuan untuk kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain guna menuruti kehendak dari pemegang kekuasaan. Dengan
perkataan lain tidak dapat juga dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu kemapuan untuk
memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
C. Hubungan hukum dengan sanksi
Kekuasaan untuk memaksakan berlakunya hukum dalam masyarakat dapat juga diujudkan
dalam bentuk sanksi. Dalam hal tersebut, sangsi bukan merupakan unsur pokok atau essensiil
dari hukum, tetapi hanyalah sebagai unsur tambahan atau perlengkapan. Sebagai unsur
tambahan, sanksi baru diperlukan apabila hukum dilanggar dan oleh karenanya maka harus
ditegakan.
D. Penyimpangan kaidah hukum
Fungsi khusus kaidah hukum dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain dan
sekaligus juga merupakan keistemewaan kaidah hukum yaitu terletak pada sanksinya yang
tegas dan dapat dipaksakan oleh intansi yang berwenang. Sedangkan penyimpangan terhadap
kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua : (1) yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran
hukum, dan (2) yang dikualifikasikan sebagai pengecualian atau dispensasi (uitzonderings
geallen).
Pengecualian atau dispensasi pada hakekatnya juga termasuk pelanggaran hukum, tetapi si
pelaku tidak dihukum sebab perbuatannya dibenarkan atau ada dasar pembenaran
(rechtvaardiginsrond) , atau si pelaku dibebaskan dari kesalahan (schuldopheffingsgrond).
Berarti perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi undang-undang
membenarkan atau memaafkan. Sebagai contoh-contohnya dapat dilihat dalam beberapa pasal
kitab undang-undang hukum pidana (KHUP) buku pertama Bab III tentang “hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. (untuk alasan pemaaf
diatur dalam pasal 44 s/d pasal 48, sedangkan untuknalasan pembenar diatur dalam pasal 48
s/d pasal 51 (soesilo, 1976 : 51-57).
 Alasan pemaaf
Pasal 45 KUHP mengatur perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak yang belum
dewasa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan pada saat si pelaku belum berumur 16
tahun. Dalam hal ini, hakim dapat menetapkan :
 Yang bersalah dikembalikan pada orangtuanya, walinya atau pemeliharannya
tanpa hukuman.
 Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah untuk dimasukkan ke lembaga
pendidikan khusus dan tanpa dikenai hukuman
 Yang bersalah dihukum, tetapi maksimun hukuman pokok yang akan
dijatuhkan dikurangi dengan sepertinganya, atau pidana penjara maksimun
15 tahun apabila ancaman pidana atas perbuatan yang dituduhkan adalah
pidana mati atau pidana seumur hidu[.
 Alasan pemaaf
Termasuk perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi dikecualikan
dan si pelaku tidak dihukum karena ada dasar pembenar, adalah :
 Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat (noodtoestand)
 Pembelaan terpaksa (nooddweer)
 Melaksanakan ketentuan undang-undang
 Melaksanakan perintah jabatan
MODUL III
Sumber hukum

1. Pengertian Sumber Hukum, 2 (Dua) Arti Sumber Hukum Dan Undang-Undang Sebagai Bentuk
Sumber Hukum Formal
A. Pengertian sumber hukum
Sumber hukum diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal (webron).
Sumber pengenal adalah bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk meneukan hukum atau
merupakan tempat di mana suatu perundangan-undamgan diundangkan.
Senada dengan pendapat L.J van Apeldoorn adalah G.W.Paton, yang menyatakan bahwa istilah
sumber-sumber hukum (the source of low) mempunyai banyak arti dan seringkali menyebapkan
kesalahan, kecuali jika kita menyelidiki dengan hati-hati arti khusus yang diberikan dalam suatu
buku pelajaran tertentu. Dalam uraian selanjutnya G.W.Paton mengemukakan pendapat salmond
yang membagi sumber hukum menjadi dua, yaitu (paton, 1953 : 140) :
 Sumber hukum nmaterial (a material source of law), adalah sumber diperolehnya bahan
atau materi hukum, dan berkaitan dengan kekuatan berlakunya.
 Sumber hukum formal (a formal souurce of law), adalah sebagai sumber dari sumber
mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya.
B. Sumber hukum material dan formal
Sumber hukum material, karena dilihat dari segi isinya, sumber hukum adalah merupakan
tempat diambilnya bahan atau materi hukum. Menurut L.J. van apeldoorn sumber hukum
material dapat dilihat dalam arti sejarah, dalam kemasyarakatan atau sosiologis, dan dalam arti
filsafat (apeldoorn, 1971 : 87-89). Atas dasar uraian ersebut, sumber hukum material dapat dilihat
dari 4 sudut pandangan. Alasan pembagian menjadi 4 sudut pandang adalah karena sumber
hukum dalam arti ekonomis dan dalam arti sosiologis, sehingga pembagiannya menjadi : dari
sudut sejarah (historis) atau sudut pandangan seorang ahli sejarah dari, dari sudut sosiologi
(kemasyarakatan) atau sudut pandangan seorang sosiologi, dari sudut ekonomi atau sudut
pandangan seorang ekonomi dan dari sudut filsafat atau sudut pandangan.
C. Bentuk-bentuk sumber hukum formal
L.J. van apeldoorn membagi sumber hukum formal menjadi : (1) undang-undang, (2) kebiasaan,
(3) traktat. Ketiga bentuk tersebut sebagai sumber hukum formal, karena hanya dalam bentuk-
bentuk tersebut terjadi peraturan hukum yang mengikat secara umum. Undang-undang dan
kebiasaan sebagai sumber hukum berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menetukan
bahwa kita harus tunduk kepada pembentuk undang-undang dan kebiasaan harus ditaati. Traktat
sebagai sumber hukum berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menetukan bahwa
perjanjian harus dihormati atau dipenuhi berlaku asas pacta servanda sunt (apeldoorn, 1971 : 90-
91).
D. Undang-undang
T.J Buys berpendapat bahwa undang-undang sebagai sumber hukum formal mempunyai dua
arti, yaitu : undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material (utrecht,
1971 : 91).
 Undang-undang dalam arti formal, adalah setiap keputusan atau ketetapan dari
pemerintah dari pemerintahan yang disebut sebagai undang-undang karena dilihat dari
bentuk dan cara terjadinya atau dilihat dari cara pembentukkannya.
 Undang-undang dalam arti material, atau istilah yang tepat peraturan perundang-
undangan, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
Sedangkan, tata urutan peraturan perundangan-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat
(1) UU No. 10 tahun 2004 secara berturut-turut adalah :
 UUD Negara RI Tahun 1945 (atau baiasa disebut UUD 1945)
 Undang-undang/peraturan pemerintahan pengganti undang-undang
 Peraturan pemerintahan
 Peraturan presiden
 Peraturan daerah
E. Pengundangan
Pengundangan undang-undang pada masa berlakunya UUD 1945 (periode 1945-1950) adalah
berdasarkan peraturan presiden No.1 tahun 1945 (berita republik indonesia tahun 1 No. 1,
halaman 1 kolom 1) tentang “cara mengundangkan dan berlakunya undang-undang dan peraturan-
peraturan”.
F. Asas-asas peraturan perundang-undangan
Dalam pembahasan atau uraian tentang asas-asas peraturan perundang-undangan (atau dapat
disingkat per-uu-an), banyak digunakan istilah undang-undang. Penggunaan istilah undang-
undang tidak hanya dimaksud untuk menyebutkan bentuk peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh DPR bersama-sama presiden (undang-undang dalam arti sempit), tetapi juga yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lain (khususnya lembaga-lembaga yang lebih rendah). Dengan
perkataan lain, kata “undang-undang” digunakan dalam arti luas.
 Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surat
 Sistem peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau
kewerdaan atau tata urutan (hierarchie).
 Undang-undang yang bersifat khusus mengesampinkan undang-undang yang bersifat
umum.
 Peraturan perundangan-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-
undangan yang lama.
 Undang-undang dapat diuji oleh mahkamah konstitusi.
2. Kebiasaan, treaty, yurisprudensi, doktrin, dan perjanjian.
A. Kebiasaan
Dilihat dari sejarah perkembangan hukum, diperoleh gambaran bahwa kebiasaan
merupakan sumber hukum yang paling tua. Kebiasaan sebagai perilaku yang secara ulang
dilakukan dalam garis yang sama telah lahir sejak manusia hidup bermasyarakat. Kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat menjadi hukum kebiasaan, apabila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu :
 Syarat material, yaitu adanya perilaku yang secara terus menerus dilakukan dalam hal
yang sama atau menerut garis tingkah laku yang tetap.
 Syarat psikologis atau intelektual, kebiasaan tersebut menimubulkan kesadaran atau
keyakinan umum bahwa seharusnya memang demikian (opinio necessitatis) dan
diterima sebagai suatu kewajiban hukum.
 Adanya akibat hukum, artinya ada sanksinya kalau kebiasaan dilanggar.
Antara undang-undang dan hukum kebiasaan, itu ada persamaanya yaitu : sama-sama sebagai
penegasan dari gambaran hukum, pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat, dan
juga sama-sama sebagai sumber hukum formal. Adapun perbedaannya dapat dilihat dari 3
(tiga) segi, yaitu :
 Undang-undang bentuknya tertulis, sedangkan hukum kebiasaan bentuknya tidak
tertulis.
 Undang-undang merupakan peraturan yang sengaja dibuat dari masyarakat oleh
pemerintah.
 Undang-undang memberikan kepastian hukum yang lebih besar, sebab bentuknya
tertulis dan perumusannya jelas, berbeda halnya dengan kebiasaan.
B. Treaty
Dasar hukum mengikatnya treaty adalah berlakunya asas “PACTA SUNT SERVANDA”
yang artinya bahwa perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian, setiap
perjanjian harus ditaati dan dilaksanakan.
Berdasarkan banyaknya negara yang mengadakan perjanjian antar negara, tractaat dapat
dibedakan menjadi :
 Tractaat Bilateraal, yaitu yang diadakan hanya oleh dua negara. Kedua negara satu
dengan yang lain saking terikat melaksanakan kewajiban secara resiprositas (bound to
fulfill obligations reciprocally)
 Tract Multilateraal, yaitu yang diadakan lebih dari dua negara.
C. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau putusan hakim, atau ada yang menyebut pula dengan istilah peradilan.
Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntan hak, fungsi mana
dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara, serta bebas dari
pengaruh apa/siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa serta bertujuan mencegah eigenricthing (mertofokusuma, 1990 : 89-90).
Kata “yurisprudensi” dalam ilmu pengetahuan hukum mengandung 3 (tiga) pengertian,
yaitu sebagai :
 Putusan hakim
 Kumpulan putusan-putusan hakim yang disusun secara sistematis dan diberi anotasi
(catatan)
 Ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan dengan putusan
hakim.

Anda mungkin juga menyukai