Anda di halaman 1dari 21

BAB I

URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


A. Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang penting bagi setiap
anak bangsa, karena pendidikan kewarganegaraan dapat menjadi panutan untuk
menghindari perilaku-perilaku yang menyimpang. Di jaman modern seperti sekarang ini,
setiap anak bangsa harus memiliki pendidikan kewarganegaraan yang baik untuk
menghindari perilaku-perilaku menyimpang. Selain itu, melalui pendidikan
kewarganegaraan kita dapat mengetahui sejarah perjuangan bangsa serta lebih
menghargai arti dari kemerdekaan Indonesia.
Sebagai warga negara, kita perlu memiliki wawasan dan kesadaran
bernegara,sikap dan perilaku, cinta tanah air serta mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam rangka bela negara demi keutuhan NKRI.
Mempelajari pendidikan kewarganegaraan juga terdapat di dalam pasal 39 ayat 2
yaitu bahwa di setiap Jenis,jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan
kewarganegaraan agar kita dapat memahami hak dan kewajiban seorang warga Negara.
Banyak manfaat yang bisa kita pelajari dari pendidikan kewarganegaraan,seperti
kita dapat belajar etika,moral,norma dan masih banyak lagi yang bisa dapat dari pelajaran
ini. Banyak masyarakat yang tidak memahami pentingnya mempelajari pendidikan
kewarganegaraan, contohnya yaitu demonstrasi yang melanggar hukum, mahasiswa yang
bentrok dan tawuran sesama mahasiswa maka dari kejadian itu sudah jelas bahwa mereka
menyalahgunakan dan tidak memahami dari pelajaran pendidikan kewarganegaraan ini.
Maka dari itu pendidikan kewarganegaraan harus di mulai dari usia dini, supaya kita
dapat memahami pentingnya keadaan lingkungan di sekitar kita.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan
selama penjajahan. Kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan
kemerdekaan sampai era pengisian kemerdekaan yang menimbulkan kondisi dan tuntutan
yang berbeda sesuai dengan zamannya.1
B. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk
mencerdaskan ehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan
moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi
kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.

1
https://nadineagnesiaa.wordpress.com/2017/03/26/latar-belakang-pendidikan-kewarganegaraan/
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela
negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati
diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Standar isi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan :
 nilai-nilai cinta tanah air
 kesadaran berbangsa dan bernegara
 keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara
 nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup
 kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta
 kemampuan awal bela negara
Pengembangan standar isi pendidikan kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dijabarkan dalam rambu-rambu materi pendidikan kewarganegaraan. Rambu-rambu materi
pendidikan kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi materi dan kegiatan
bersifat fisik dan nonfisik. Pengembangan rambu-rambu materi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri sesuai lingkup penyelenggara pendidikan
kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan Negara (PKN) merupakan mata pelajaran sosial
yang bertujuan untuk membentuk atau membina warga negara yang baik, yaitu warganegara
yang tahu , mau dan mampu berbuat baik2.
Sedangkan PKn adalah pendidikan kewarganegaraan, yaitu pendidikan yang menyangkut
status formal warga negara yang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 2 th. 1949.
Undang-Undang ini berisi tentang diri kewarganegaraan, dan peraturan tentang naturalisasi atau
pemerolehan status sebagai warga negara Indonesia.3
Civic education includes and involves those teaching, that type of teaching method, those
student activities, those administrative supervisory procedure which the school may utilize
purposively to make for better living together in the democratic way or (synonymously) to
develop better civic behaviors.4
C. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pencerdasan
Kehidupan Bangsa
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan jenjang pendidikan akademik bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Lulusan program sarjana
diharapkan akan menjadi intelektual
dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan
kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional.

2
Arif ,Sadiman ,Media PembelajaranPengertianPengembangan ,Pemanfaatan(Jakarta .Erlangga
2006
3
(Winataputra 1995) Danim Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Bumi
Aksara,Jakarta,2005.
4
(John Mahoney, 1976: 35)Arif ,Sadiman ,Media PembelajaranPengertianPengembangan
,Pemanfaatan(Jakarta .Erlangga 2006.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dikemukakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dapat
menjadi sumber penghasilan, perlu keahlian, kemahiran, atau kecakapan, memiliki
standar mutu, ada norma dan diperoleh melalui pendidikan profesi. sarjana atau
profesional, dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, bila memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, maka Anda berstatus negara. Konsep
warga negara (citizen; citoyen) dalam arti negara modern atau negara kebangsaan
(nation-state) dikenal sejak adanya perjanjian Westphalia 1648 di Eropa sebagai
kesepakatan mengakhiri perang selama 30 tahun di Eropa. Berbicara warga negara
biasanya terkait dengan masalah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara seperti
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan, Kepresidenan dan sebagainya. Dalam
pengertian negara modern, istilah “warga negara” dapat berarti warga, anggota (member)
dari sebuah negara. Warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup
atau tinggal di wilayah hukum tertentu yang memiliki hak dan kewajiban.
Di Indonesia, istilah “warga negara” adalah terjemahan dari istilah bahasa
Belanda, staatsburger. Selain istilah staatsburger dalam bahasa Belanda dikenal pula
istilah onderdaan. Menurut Soetoprawiro (1996), istilah onderdaan tidak sama dengan
warga negara melainkan bersifat semi warga negara atau kawula negara. Munculnya
istiah tersebut karena Indonesia memiliki budaya kerajaan yang bersifat feodal sehingga
dikenal istilah kawula negara sebagai terjemahan dari onderdaan.
Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah kawula
negara telah mengalami pergeseran. Istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Istilah “warga
negara” dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah “civic”, “citizen”, atau
“civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di bagian belakang kata civic
mejadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.
Menurut undang-undang yang berlaku saat ini, warga negara adalah warga suatu
negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mereka dapat
meliputi TNI, Polri, petani, pedagang, dan profesi serta kelompok masyarakat lainnya
yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang.5
D. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Tujuannya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti-korupsi.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-
bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau
tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
5
https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/9-PendidikanKewarganegaraan.pdf
Ahmad Sanusi (dalam Cholisin: 2004:15) menyebutkan bahwa konsepkonsep
pokok yang lazimnya merupakan tujuan Civic Education pada umumnya adalah
sebagai berikut:
a. Kehidupan kita di dalam jaminan-jaminan konstitusi.
b. Pembinaan bangsa menurut syarat-syarat konstitusi.
c. Kesadaran warga negara melalui pendidikan dan komunikasi politik.
d. Pendidikan untuk (ke arah) warga negara yang bertanggung jawab.
e. Latihan-latihan berdemokrasi.
f. Turut serta secara aktif dalam urusan-urusan publik.
g. Sekolah sebagai laboratoriun demokrasi.
h. Prosedur dalam pengambilan keputusan.
i. Latihan-latihan kepemimpinan.
j. Pengawasan demokrasi terhadap lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif.
k. Menumbuhkan pengertian dan kerjasama Internasional.
Dari tujuan yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, diketahui bahwa
tujuan Pendidikan Kewarganegaraan memuat beberapa hal yang memuat nilai-
nilai karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki komponen-komponen yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skill), dan karakter
kewarganegaraan (civic disposition) yang masing-masing memiliki unsur.
Unsurunsur dari ketiga komponen tersebut dapat dilihat dalam lampiran 1.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan tujuan Pendidikan
Kewaranegaran dapat diartikan sebagai mata pelajaran yang fokus pada
pembentukan warga negara yang memiliki keterampilan intelektual, ketrampilan
berpartisipasi dalam setiap kegiatan kewarganegaraan dan memiliki karakter
kewarganegaraan yang kuat sehingga menjadikan warga negara yang cerdas dan
berkarakter.6
E. Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pembukaan UUD 1945, alinea kedua dan keempat (cita-cita, tujuan dan aspirasi
Bangsa Indonesia tentang kemerdekaanya).
2. Pasal 27 (1), kesamaan kedudukan Warganegara di dalam hukum dan pemerintahan.
3. Pasal 27 (3), hak dan kewajiban Warganegara dalam upaya bela negara.
4. Pasal 30 (1), hak dan kewajiban Warganegara dalam usaha pertahanan dan
keamanannegara.
5. Pasal 31 (1), hak Warganegara mendapatkan pendidikan.
6. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

BAB II

6
https://eprints.uny.ac.id/8665/3/BAB%202%20-%2005401241022.pdf
MASYARAKAT MADANI
A. Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman
konsep“civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini
adalah AnwarIbrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid.
Pemaknaan civilsociety sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan
bentuk masyarakatMadinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat
Madinah dianggap sebagailegitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil
society dalam masyarakatmuslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil
society.Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat.
Ciceroadalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafatpolitiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).
Secarahistoris, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John
Locke,dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat
sipil yangmampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi
gereja (LarryDiamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakandi atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsepdi luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society
lalu membandingkannyadengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civilsociety di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan diantara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil
societymerupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans;gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga
civil societymempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan
Tuhan. Sedangkanmasyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk
Tuhan. Dari alasan iniMaarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah
masyarakat yang terbuka,egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumberdari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak
artiatau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada
BahasaInggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi
darimasyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani
seringdigunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place
outsideof government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).7

B. Pengertian Masyarakat Madani

7
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:Jakarta.
Sejarah masyarakat madani atau masyarakat sipil lahir pertama kalinya dalam
perjalanan politik masyarakat sipil di barat. Istilah masyarakat sipil luas dengan istiliah
Civil Society. Yang didefenisikan oleh para ahli bahwasanya karagter dari masyarakat
sipil sebagai komonitas sosial dan politik pada umumnya memiliki peran dan fungsi yang
berbeda dengan lembaga negara.
Istilah "Masyarakat Madanii" dimunculkan pertama kalinya di kawasan asia
tenggara oleh Cendikiawan Malaysia yang bernama Anwar Ibrahim. Masyarakat madani
berbeda dengan masyarakat civil barat yang beriorientasi penuh pada kebebasan individu,
menurut mantan perdana mentri malaysia itu Masyarakat Madani adalah sistem sosial
yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
individu dan mayarakat yang berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan yang
berdasarkan undang undang dan bukan nafsu keinginan individu. Ia juga mngatakan
masyarakat madani memiliki ciri-ciri yang khas yaitu kemajemukan kebudayaan
(Multicultural), Hubungan timbal balik (Reprocity) dan sikap yang saling memahami dan
menghargai. Anwar Menjelaskan watak masyarakat madani yang ia maksud adalah
guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaanya yaitu prinsip
moral, keahlian, kesamaan, musyawarah dan demokratis.
Dawam Rahardjo juga mengemukakan defenisi masyaraakat madani adalah
proses penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama.
Menurutnya masyarakat madani adalah warga negara bekerja samaa membangun ikatan
sosial, jaringan produktif, solidaritas kemanusiaan yang bersifat non negara. Ia juga
mengemukakan dasar utama masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi nasional
yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik permusuhan
yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan dengan itu, Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa masyarakat
madani lebih dari sekedar gerakan prodemokrasi yang mengacu pada pembentukan
masyarakat bekwalitas dan ber-tamaddun (Civility). Menurut tokoh cendikiawan muslim
indonesia Norcholish Madjid istilah masyarakat madani mengandung makna toleransi
kesediaan priadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku
sosial.8
C. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Sejarah Civil Society Tidak terlepas dari filsuf yunani Aris Toteles (384-322 SM)
yang mengandung konsep Civil Society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan
negara itu sendiri. Pada masa sekarang konsep Civil Society dikenal dengan Istilah
Koinonia Politeke yaitu sebuah koonitas politik tempat warga negara dapat terlibat
lansung dalam peraturan ekonomi-politik dalam mengambil keputusan. Istilah Koinonia
Politeke dikeukakan Aris Toteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan
etis dimana warga negara didalamnya berkedudukan sama didepan hukum. Yang
kemudian mengalami perubahan dengan pengertain Civil Society yaitu masyarakat sipil
diluar dan penyeimbang warga negara.
Seorang negarawan Romawi bernama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
memiliki pandangan yang berbeda dengan Aris Toteles. Ia mengistilahkan Masyarakat
8
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Sipil dengan societies cvilies yaitu sebuah komonitas yang mendominasi komonitas yang
lain dengan radisi politik kota sebagai komponen utamanya. Istilah ini lebih menekankan
pada konsep negara kota (City-state) yaitu menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk
korporasi lainya yang menjelma menjadi entitas dan teorganisir.
Kemudian Rumusan Civil Society dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-
1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704) yang memandang perkembangan civil society
sebagai lanjutan dari evaluasi masyarakat yang berlansung secara alamiah. Menurut
Hobbes entitas negara civil society mempunyai peranan untuk meredam konflik dalam
masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak untuk mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pla interaksi setiap warga negara.
Namun Menurut Jhon Locke, Kehadiran civil society untuk melindungi
kebebasan dan hak milik warga negara. Mengingat sifatnya seperti itu civil society tidak
absolut dan tidak membatasi perananya pada wilayah yang tidak dapat dikelola warga
negara untuk memperoleh haknya secara adil dan profesional.
Pada tahun 1767 Adam ferguson mengkontektualisasikan civil society dengan
konteks sosial dan politik di skotlandia dengan perkembangan kapitalisme yang
berdampak pada krisis sosial. Berbeda dengan pndangan sebelumnya ia lebih
menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Menurutnya
ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. la yakin bahwa publik secara
alamiah memiliki spirit Kekhawatiran ia semakin menguatnya sistem individualistis
dan berkurangnya tanggung jawab sosial mayarakat mewarnai paandangan tenag civil
society waktu itu.
Pada 29 januari 1737-8 juni 1809 aktivis politik Asal Inggris-Amerika yang
bernama Thomas Paine civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga
negara bahkan ia dianggap sebagai antitetis negara. Berdasarkan paradigma ini peran
negara sudah saatnya untuk dibatasi, menurut paradigma ini negara tidak lain hanyalah
keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah menurut pemikiran ini adalah
perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya
kesejahteraan bersama Dengan demikian menurutnya civil society adalah ruang dimana
warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentinganya secara bebas dan tanpa paksaan.
Kemudian pada tahun 1770-1831 G.W.F. Hegel, Karl Max (1818-1883), dan
Antonio Gramsci (1891-1837) mengembangkan Istilah civil society ialah elemen
ideologis keelas dominan. Pemahaman ini merupakan reaksi atas pandangan paine yang
memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan paine, Hegel
Memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Menurut Ryaas
Rasyid seorang pakar politik indonesia, menurutnya pandangan ini erat kaitanya dengan
perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang ditandai dengan pelepasan diri dari
cengkraman dominasi negara.
Selanjutnya hegel menjelaskan bahwa struktur sosial civil society terdaat tiga
entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang
sosialisasi pribadi anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Sedangkan
masyarakat sipil merupakan tempat berlansungya percaturan sebagai kepentingan pribadi
dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Menurutnya negara merupaka ide universa
yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh
untuk intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan hegel, karl max memandang civil society sebagai masyarakat
borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis. Keberadaan civil society merupakan
kendala besar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemiik modal. Oleh
karena itu civil society harus dilenyapkan. demi terwujudnya tatanan masyarakat tanpa
kelas.
Berbeda dengan max. Antonio Gramsci tidak memandang masyarakat sipil dalam
konteks relasi produksi tetapi lebih pada sisi idiologis. Gramsci meletakan masyaraakat
madani pada struktur berdampingan degan negara yang disebut sebagai Political society.
Menurutnya civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni untuk
membentuk konsensus dalam masyarakat. la memberiakan pandangan penting kepada
kaum cendikiawan sebagai aktor dalam proses utama perubahan sosial dan politik.
Selanjutnya wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab hegelian
dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M) yang bersumber dari
pengalamanya mengamati budaya demokrasi america. Menurutnya Tocqueville kekuatan
politik dalam masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi
amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Berkaca pada budaya amerika yang berciri
Plural, Mandiri, dan kedewasaan berpolitik warga negara manapun mampu mengimbangi
dan mengontrol kekuatan negara.
Berbeda dengan hegelian, pemikiran Tocqueville lebih menempatkan masyarakat
sipil sebagai suatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi lembaga negara. Sebaliknya
civil society bersifat otnom dan memiliki kepastian politik cukip tinggi sehingga mampu
menjadikan kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga
negara.
Dari sekian banyak pandangan mengenai civil society, Mazhab Gramscian dan
Tocquevillian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di eropa timur dan eropa
tengah pada dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup dibawah dominasi negara
terbukti telah melumpuhkan kehidupan masyarakat sipil.
Tidak hanya di eropa timur dan eropa tengah, muzhab pemikiran civil society
tocquelville juga dikembangkan oleh cendikiawan muslim indonesia Dawam Rahardjo
dengan konsep masyarakat madaninya, rahardjo mengilustrasikan bahwa peranan pasar
sangat menenukan unsur-unsur dalam masyarakat madani sedangkan menurut Wutnow
dalam hubungan anrata unsur unsur pokok masyarakat madani faktor Valuntary sangat
menentukan pola interaksi antara negara dan pasar.
Didalam tatanan pemerintahan yang demokratis komponen rakyat disebut
masyarakat madani (Civil Society) yang harus memperoleh peranan utama. Dalam sistem
demokrasi kekuasaan tidak hanya ditangan penguasa melainkan ditangan rakyat. Jadi
peran sektor swasta sangat mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan
dalam koridor pemerintahan yang baik, seketika peran swasta bisa berada diatas ini
terjadi jika pembuatan kebijakan publik berkolusi dan tergoda untuk memberikan akses
yang longgar pada konglomerat ataupun usahawan.9
D. Karakteristik Masyarakat Madani
Munculnya masyarakat madani disebabkan unsur-unsur sosial dalam tatanan
masyarakat. Unsur tersebut merupakan kesatuan yang saling mengikat dan menjadikan
karagter khas masyarkat madani. Unsur pokok yang harus dimiliki masyarakat madani
yaitu : republik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan, dan keadilan sosial.
1. Wilayah Publik Yang Bebas
Merupakan sarana untuk mengemukakan pendapat warga negara, yang mana
didalamnya semua warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk
melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasatakut dan terancam oleh kekuatan-
kekuatan civil society.
2. Demokrasi
Demokrasi adalah persyaratan mutlak lainya bagi keberadaan civil society yang
murni. Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak akan terwujud yang mana demokrasi
adalah suatu tatanan politik sosial yang bersumber dan dilakukan, oleh, dari, dan
untuk warga negara.
3. Toleransi
Merupakan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Menurut
Nurcholish Madjid toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan
ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan tata cara pergaulan yang menyenangkan antara
kelompok yang berbeda-beda maka hasil itu dipahami sebagai hikmah atau manfaat
dari ajaran yang benar. Toleransi bukan hanya tuntutan sosial masyarakat majemuk
saja, tapi juga menjadi bagian terpenting pelaksanaan ajaran moral.
4. Kemajemukan
Disebut juga pluralisme yang tidak hanya dipahami seagai sebatas sikap harus
mengakui dan memahami kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai
dengan sikap ttulus untuk menerima kenyataan pandangan sebagai suatu yang
alamiah dan rahmat tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang propersional atas
hak dan kewajiban warga negara yang mencakup segala aspek kehidupan ekonomi,
politik, pengetahuan, dan pelengkapan. Dengan pengertian lain keadilan sosial adalah
hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh
kelompok atau golongan tertentu.10

9
Budiman, Arief.1990. State And Civil Society. Clayton : Monash Paper Southeast Asi No.22
10
Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani Pemikiran : Teori dan Relevasinya Dengan Cita-cita Reformasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
E. Masyarakat Madani di Indonesia
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society, jauh sebelum bangsa indonesia
berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam
organisasi sosial keagamaan dan penggerakan nasional dalam merebut kemerdekaan.
Selain berperan sebagai organisasi peejuang penegak HAM dan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial. Organisasi berbasis islam seperti syariakat islam (SI), Nahdatul
Ulama (NU), dan muhammdadiyah telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil
society yang penting dalam perkembangan masyarakata sipil indonesia.
Terdapat strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya
bangunan masyarakat madani yang bisa terwujud di indonessia:
1. Pandangan integrasi nasional dan politik. Menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak
mungkin berlansung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat sebelum
memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi pengikut pandangan ini
praktik demokrasi ala barat hanya akan berakibat konflik antara sesama warga bangsa.
2. Pandangan Reformasi Sistem Politik Demokrasi merupakan pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
kepentingan ekonomi. Pembangunan institusi demokratis lebih diutamakan oleh warga
negara dibanding pembangunan ekonomi.
3. Paradigma pembangunan masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan
demokrasi. Ini merupakan alternatif diantara dua pandangan yang pertama yang dianggap
gagal dalam pembangunan demokrasi. Pandangan ini lebih menekankan proses
pendidikan dan penyadaran poitik warga negara, khusus kalangan kelas menengah. Hal
itu mengingatkan demokrasi membutuhkan topangan kultural sselain mendukung
struktural.
Bersandar dari tiga paradigma diatas pengembangan demokrasi masyarakat
madani selayaknya tidak hanya tergantung pada salah satu pandangan tersebut.
Sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan
negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma. Tiga paradigma diatas dapat
dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi dimasa transisi .sekarang melalui :
1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menegah
untuk berkembang menjadi kelompok masyaraat madani yang mandiri secara politik
dan ekonomi.
2. Mereformasikan sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga lembaga
demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara
keseluruhan.
Menurut Rahardjo masyarakat madani indonesia masih merupakan sisitem-siste
yang dihasilkan oleh sister politik represif. Ciri kritisnya lebih menonjol
dibandingkan ciri struktifnya. Menurutnya lebih banyak melakukan protes daripada
mengajukan solus, lebih banyak menuntut daripada memberi sumbangan terhadap
pemecahan masalah.
Mahasiswa merupakan salah satu komponen strategis bangsa indonesia dalam
pembangunan demokrasi dan masyarakat madani. Peran startegis mahasiswa dalam
proses perjuangan demokrasi menumbangkan rezim otorier seharusnya ditindak
lanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokrasi bangsa dan
pembangunan masyarakat demokrasi madani indonesia. Karenaa mahasiswa
merupakan bagian dari kelas menengah, ia memiliki tanggung jawab terhadap nasib
masa depan demokrasi dan masyarakat madani indonesia.
Sikap demokratis diekspressikan melalui peran aktif mahasiswa dalam proses
pendemokrasian masyarakat melalui cara analogis, santun, dan bermartabat. Adapun
sikap kritis mahasiswa dapat dilakukan dengan mengaamati, mengkritik, mengontrol
pelaksanaan kebijakan pemerintah atau lembaga publik terkait, khususnya pada
kebijakan yang menyangkut dengan masa depan bangsa.11

11
Deden, M. Ridwan, dan Nurjulianti, Dewi (penyuting). 1999 Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan
Demokratisasi di Indonesia. Cetakan Ke-1, Jakarta: LP3ES
BAB III
OTONOMI DAERAH
A. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang
dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu
mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal
18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18
untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah
menjalankan
otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.12
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam UndangUndang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004,
Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.13
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor

12
Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 18.
13
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No.
125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1.
25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33
Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”14 direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).
B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah
membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya
peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya
sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah,
peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.15
Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati.
Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga
memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di
samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali
karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya
itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan
menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.16
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya
dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah
mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan.
Pengambilan keputusa belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal
provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu
tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda.
Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda
tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian
dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah
dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab
Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan
pelayanan publik yang mereka berikan.17

14
Indonesia (a), loc. Cit
.
15
Agustono, op. cit., hlm. 164.

16
Ibid

17
Ibid., hlm. 169.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan
pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang
desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain
telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya
partisipasi warga.18
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu
banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik,
perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah
lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi
kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an,
Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat
(BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa
(BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas.
Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun
program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.19
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal
yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat
mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang
berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan
pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi
kebudayaan dan juga pariwisata. 20
C. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan Otonomi Daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan Otonomi Daerah ialah menjalankan
otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah, dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Berikut penjelasannya.21
1. Meningkatkan pelayanan umum
Dengan adanya Otonomi Daerah diharapkan adanya peningkatan pelayanan umum
secara maksimal dari lembaga pemerintah masingmasing daerah. Dengan pelayanan
yang maksimal tersebut, diharapkan masyarakat dapat merasakan secara langsung
manfaat dari otonomi daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Setelah pelayanan maksimal dan memadai, diharapkan kesejahteraan masyarakat
Pendapatan Asli Daeraha suatu Daerah Otonom bisa lebih baik dan meningkat.
Tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut menunjukkan bagaimana Daerah Otonom
18
Ibid., hlm 170.
19
Kendra Clegg, “Dari Nasionalisasi ke Lokalisasi: Otonomi Daerah di Lombok” dalam Desentralisasi Globalisasi
dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 193.
20
Ibid., hlm. 194.
21
Ibid
bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara tepat, bijak dan sesuai dengan yang
diharapkan.
3. Meningkatkan daya saing daerah
Dengan menerapkan Otonomi Daerah diharapkan dapat meningkatkan daya saing
daerah dan harus memperhatikan bentuk keaneka ragaman suatu daerah serta
kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu serta tetap mengacu Pendapatan Asli
Daerah semboyan Negara kita” Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tapi
tetap satu jua.
D. Indikator Otonomi Daerah
Indikator yang dapat menentukan keberhasilan Otonomi Daerah meliputi empat
faktor, antara lain:
a. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia adalah pengukuran perbandingan, nilai Indeks
Pembanguunan Manusia diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu
tingkat harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua
negara seluruh dunia.22 Sumber daya manusia adalah seseorang yang siap, mau dan
mampu member sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi.23
b. Keuangan
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat
dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek analisis yang
saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1) Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya
dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2) Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya
dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
3) Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
c. Peralatan
Undang-undang nomor 38 tahun 2004 pasal 1 ayat 4 di katakan bahwa jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang di peruntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air

22
Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi 5, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2015, hlm. 46

23
Veithzal rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2011, hlm.6
di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan
keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi, dan
akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan serta kebersamaan dan
kemitraan.
d. Organisasi dan Manajerial
Organisasi dan Manajerial adalah suatu alat atau wadah bagi pemerintah untuk
mengambil keputusan dan membuat kebijakan atas tugas yang dilaksanakan.24

24
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,Op. Cit, hlm. 24
BAB IV
HAK ASASI MANUSIA
A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Istilah “hak asasi manusia” merupakan terjemahan dari droits de l’homme
(bahasa Perancis) yang memiliki arti sama. Etimologi kata “hak asasi manusia”
dapat dipecah menjadi tiga kata yaitu “hak”, “asasi”, dan “manusia”.
1. Etimologi “hak” berasal dari bahasa Arab haqq yang merupakan bentuk
tunggal dari kata huquq. Istilah haqq diambil dari akar kata haqqa, yahiqqu,
haqqaan yang berarti “benar”, “nyata”, “pasti”, “tetap”, dan “wajib”.
2. Etimologi “asasi” berasal dari bahasa Arab asasy yang merupakan bentuk
tunggal dari usus yang berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan yang
berarti “membangun”, “mendirikan”, dan “meletakkan”.
3. Etimologi “manusia” berasal dari bahasa Sansekerta manu yang berarti
“manusia” dan bahasa Latin sens yang berarti “berpikir” atau “berakal
budi”25.
Di Indonesia umumnya dipergunakan dengan istilah “ Hak-Hak Asasi”,
yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa inggrs, ground
rechten dalam bahasa Belanda, sebagian orang menyebutkannya dengan
istilah hak-hak fundamental fundamentele richten sebagai terjemahan dari
fundamental rights (inggris) dan fundamentele richten (belanda) . diamerika
Serikat di samping menggunakan istilah human rights, dipakai juga dengan
istilah civil rights serta termaktub juga dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM . pasal 1 Butir 1 UU No. 39 TAHUN 1999 HAM
adalah: “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupukan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”26.
Pengertian hak-hak manusia yang merupakan alih bahasa dari istilah droits
de i’ homme yang rangkaian lengkapnya berbunyi Declaration des droits de i’
homme et du Citoyen atau pernyataan hakhak manusia warga negara Prancis
yang diproklamirkan pada tahun 1789, sebagai pencerminan keberhasilan
revolusi warga negaranya yang bebas dari kekangan kekuasaan tunggal
negara tersebut. Menurut prof. A. Mansyur Effendy sebagaimana dikutip oleh
Dr. Nurul qamar, S.H.,M.H. menyatakan bahwa selama ini, Hak asasi
manusia serng juga disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau
dalam bahasa inggris disebut natural rights, human rights, dan fundamental

25
‘’Pengertian Hak Asasi Manusia’’http://hedisasrawan.blogspot.com, diakses pada 23 Sep 2018, pukul 21.00 wib
26
Qamar Nurul , ‘’Hak Asasi Manausi dalam Negara Hukum Demokrasi’’,( Jakarta timur : sinar garfika, 2013) h. 17
rights. Dalam bahasa belanda dikenal dengan ground rechten, mense
rechten,dan rechten van mens27.

Hak-hak diatas merupakan hak yang melekat pada martabat manusia


sebagai insan ciptaan Tuhan yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang
prinsipil sebagai anugerah Ilahi. hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak
yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak bisa dipisahkan dari
hakekatnya. Karena itu hak asasi manusia bersifat luwes dan suci28.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak asasi adalah kewenangan
atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan kata asasi adalah bersifat
pokok. Dengan demikian, hak asasi manusia adalah hak dasar pokok yang
dimiliki oleh setiap manusia. Hak ini sangat mendasar sifatnya bagi
kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa dipisahkan
dari diri dan kehidupan manusia.
Dengan demikian, bahwa sebenarnya Hak Asasi Manusia itu hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawahnya bersamaan dengan
kelahiran dan kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa
beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama dan
kelamin. Dari karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari hak asasi
ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesui
dengan bakat dan cita-citanya.
Nurul Qamar mengutip pandangan para ilmuan hak asasi manusia menurut
Marthen Kriale mengemukakan bahwa HAM adalah hak yang bersumber dari
Allah. Jack Donnaly, mengatakan HAM adalah hak yang bersumber dari
hukum alam, tetapi sumber utamanya dari Allah, dan menurut DF. Scheltens
HAM adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia
dilahirkan menjadi manusia. Karennnya HAM harus dibedakan dengan hak
dasar, dimana HAM berasal dari kata “Mensen Rechten”, sedangkan hak
dasar berasal dari kata “Gound Rechten”29
Manusia dianugrahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani
yang memberikan kapadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan
yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku
dalam menjalani kehidupanya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka
manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya.Disamping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut
manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan
yang dilakukannya30.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia
yang melekat pada manusia secara kodrat sebagai anugerah Tuhan Yang
27
Qamar Nurul, ‘’Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi’’…, h. 15
28
Hasan Basri, Hak Asasi Manusia dan Kedudukannya di Muka Hukum Menurut KUHP, , Tinjauan hukum Islam
Terhadap Pasal 50 s.d 68 KUHP, Tahun 2000), h. 11
29
Qamar Nurul, Hak Asasi Manausia dalam Negara Hukum Demokrasi,... h.16
30
Qamar Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi,… h. 18
Maha Esa.Hak-hak ini tidak dapat diingkari.Pengingkaran terhadap hak
tersebut berarti mengingkarai martabat kemanusiaan.Oleh karena itu, negara
pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui
dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali.Ini
berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara31.
Dalam pandangan Islam Tuhan memberikan kepada manusia hak
persamaan ini sebagai hak asasi.Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat
dikenai diskriminasi atas dasrar warna kulit, tempat, ras, bahasa, atau
kebangsaan. Baik ia warga negara atau yang lain, baik ia penganut atau bukan
penganut, tinggal di hutan atau di padang pasir, semuanya mempunyai hak-
hak asasi pokok semata-mata karena dirinya manusia. Dan telah menjadi
kewajiban setiap muslim untuk mengakui adanya hak-hak ini, yaitu : Hak
untuk hidup, hak atas keselamatan hidup, penghormatan terhadap kesucian
kaum wanita, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup pokok, hak individu
atas kebebasan, hak atas kedilan, kesamaan drajat umat manusia, hak untuk
bekerja sama dan tidak bekerja sama32.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memuat Jenis dan Macam Hak
Asasi Manusia Dunia :
1) Personal right / Hak Asasi Pribadi
2) Political Right / Hak Asasi Politik
3) Legal Equality Right / Hak Asasi Hukum
4) Property Rigths / Hak Asasi Ekonomi
5) Procedural Rights / Hak Asasi Peradilan
6) Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right/ Hak Asasi sosial
budaya33
Selain itu muatan Materi Hak Asasi Manusia diatur dalam
International Convenan on Sipil and Political Right ( Konvenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ) bertujuan untuk
mengukuhkan pokok-pokok HAM dibidang Sipil dan Politik yang
tercantum didalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
diantaranya :
1. Hak Hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
31
Undang-Undang HAM 1999, “UU RI NO.39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia”, (Jakarta: Sinar Grafika
2001), h. 38
32
Maulana Abdul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara Tahun 2008), h.
12
33
Dikutip dari https://isansiabil.wordpress.com/2011/02/15/ham-danuniversal-declaration-of-human-rights/ Pada
tanggal 16 okt 2018, Pukul 16.00 WIB
4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
7. Hak untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama
8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspres
9. Hak untuk berkumpul dan berserikat
10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan34
Pengertian dan pandangan tentang hak asasi manusia yang telah
dikemukakan diatas, memberikan gambaran tentang pentingnya
penghargaan atas hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, karena
hak itu melekat dalam dirinya secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa.
B. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia secara kodrati.
Pengakuan hak asasi manusia lahir dari keyakinan bahwa semua umat manusia
dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama. Umat manusia
pun dikaruniai akal dan hati nurani, sehingga harus memperlakukan satu sama
lain secara baik dan beradab dalam suasana persaudaraan.
Hak asasi manusia yang melekat secara kodrati ialah hak yang diakui
secara universal, hak tersebut diantaranya hak atas hidup, kebebasan dan
keamanan.Hak-hak tersebut dimiliki oleh setiap orang.Tanpa memandang
perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, pendapat politik, atau
latar belakang lainnya.
Sejarah perjuangan penghargaan dan perlindungan Hak asasi manusia
telah tercatat pada awal abad ke 7 M, sekitar 624 M, yaitu Piagam Madinah
( Sahifah Madinah ). Piagam madinah adalah bentuk kesepakatan yang dibuat
oleh Nabi Muhammad SAW ( Islam ) bersama komunitas Nasrani dan Yahudi di
Madinah (Yastrib). Piagam ini dibangun untuk kehidupan dalam komunitas
( masyarakat, negara) yang pluralistis. Di dalamnya mengandung jaminan hak
asasi manusia, seperti kebebasan beragama, keadilan, kebebasan mengeluarkan
pendapat dan lain-lain35.
Abad ke- 13 menjadi fase digulirkannya kembali perjuangan untuk
mengukuhkan jaminan perlindungan hak asasi manusia.Selanjutnya kemajuan
dalam usaha perlindungan hak asasi manusia pada abad ke-20 diilhami oleh
pecahnya dua kali perang dunia yang ditandai dengan penistaan terhadap
sejumlah hak dasar manusia, termasuk hak hidup.Usaha dalam mengukuhkan
34
Dikutip darihttp://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-danpolitik/ pada tanggal 16 okt 2018 Pukul
16.00 WIB
35
Usman Suparman, ‘’Pokok-Pokok Filsafat Hukum’’ ,… h. 141
perjuangan persoalan hak asasi manusia menjadi gerakan global ditandai dengan
mencuatnya isu-isu hak asasi manusia dalam setiap diplomasi suatu negara dalam
pergaulan internasional36.

36
Suryadi karim dan affandi idrus ‘’ Hak Asasi Manusia (HAM)’’ Edisi 1, ( Jakarta : Universitas Terbuka, 2007 ),
h.1.3

Anda mungkin juga menyukai