Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sebagai warga Negara dan masyarakat,setiap manusia mempunyai


kedudukan, hak dan kewajiban yang sama,yang pokok adalah bahwa setiap orang
haruslah terjamin haknya dan mendapat status menjadi warga Negara Indonesia,
sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi warga yang tidak memiliki hak
kewarnganegaraan,tetapi pada saat yang bersamaan, setiap Negara tidak boleh
membiarkan seseorang mendapatkan dua hak kewarganegaraan.

Belajar tentang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada dasarnya adalah


belajar tentang keindonesiaan, belajar untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Indonesia, membangun rasa kebangsaan, dan mencintai tanah air
Indonesia.

Oleh karena itu, seorang sarjana atau profesional sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia yang terdidik perlu memahami tentang Indonesia, memiliki
kepribadian Indonesia, memiliki rasa kebangsaan Indonesia, dan mencintai tanah
air Indonesia.

Pendidikan Kewarganegaraan atau dalam kurikulum 2013 disebut dengan


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan salah satu disiplin ilmu
sosial. Telah menjadi rahasia umum bahwa ilmu sosial sifatnya relatif dan tidak
seperti ilmu alam yang sifatnya mutlak.

Hal ini menjadikan pendidikan kewarganegaraan dapat saja digoyahkan


setiap saat karena tidak memiliki keajegan seperti halnya ilmu eksak.

Dan Pada kurikulum 2013 yang baru saja disahkan akhir tahun 2013 lalu,
nama pendidikan kewarganegaraan diganti lagi dengan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Dalam kurikulum tersebut penekan tentang sikap
(afeksi) begitu ditonjolkan. Persoalanya sekarang adalah bagaimana menemukan

1
pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep PKn agar siswa
dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana
membuka wawasan berfikir dan beragam dari seluruh siswa agar konsep yang
dipelajarinya dapat dikaitkan dengan kehidupan nyata. Inilah tantangan PKn
kedepannya.

Adapun pokok bahasan yang menjadi bahan bahasan yang kami bawakan
dalam makalah ini adalah Bagaimana Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Mengembangkan kemampuan utuh Sarjana atau Profesional.

Adapun yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah konsep dan
urgensi pendidikan kewarganegaraan, pentingnya pendidikan kewarganegaraan,
sumber pendidikan kewarganegaraan Negara Indonesia,dinamika dan tantangan
pendidikan kewarganegaraan, esensi pedidikan kewarganegaran untuk masa
depan,dan hakikat pendidikan kewarganegaran serta tantangan pedidikan KWN
untuk masa depan.

Kelompok kami mengambil pokok bahasan tersebut sebagai kepedulian


atas pentingnya pendidikan kewarganegaraan untuk diterapkan hingga jenjang
pendidikan perguruan tingggi sebagai pedoman utuh sarjana dan juga profesional.

Sehingga nantinya dapat diterapkan dengan baik oleh seorang sarjana dan
professional dan Seiring dengan perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan itu
sendiri diharapkan akan semakin meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
kewaganegaraan dan warga negara sehingga dapat semakin memperbaiki moral
bangsa ini.

1.2  Rumusan Makalah

1. Bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan menjadi kriteria bagi


pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.

2. Bagaimana mengetahui konsep Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan


Untuk Masa Depan.

2
1.3 Tujuan  Makalah

1. Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan menjadi


kriteria bagi pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.

2. Untuk mengetahui konsep Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan


Untuk Masa Depan.

1.4 Manfaat Makalah

Mahasiswa mengetahui bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan menjadi


kriteria bagi pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional. Dan
konsep Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Masa Depan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Kewarganegaraan Menjadi Kriteria Bagi Pengembangan


Kemampuan Utuh Sarjana Atau Profesional

2.1.1 Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam hakikatnya pendidikan kewarganrgaraan dapat mengembangkan


kemampuan utuh sarjana atau professional. Oleh karena itu sebelum kita
mempelajari konsep dan urgensi pendidikan kewarganearaan kita harus
mengetahui apa itu sarjana atau professional.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2012 tentang


Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan jenjang pendidikan akademik
bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Lulusan program
sarjana diharapkan akan menjadi intelektual dan ilmuwan yang berbudaya,
mampu memasuki dan menciptakan lapangan kerja, serta mampu
mengembangkan diri menjadi profesional.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang


Guru dan Dosen dikemukakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dapat menjadi sumber penghasilan, perlu keahlian, kemahiran, atau
kecakapan, memiliki standar mutu, ada norma dan diperoleh melalui pendidikan
profesi. Setelah kita menegetahui apa itu sarjana dan apa itu profesional kita harus
mengetahui profesi apa yang akan kita jalani kelak.

Dalam kedudukannya seorang sarjana atau profesional dalam konteks hidup


berbangsa dan bernegara bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundangan maka berstatus sebagai warga negara. Konsep warga
negara (citizen; citoyen) dalam arti negara modern atau negara kebangsaan
(nation-state) dikenal sejak adanya perjanjian Westphalia 1648 di Eropa sebagai
kesepakatan mengakhiri perang selama 30 tahun di Eropa. Berbicara warga negara

4
biasanya terkait dengan masalah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara
seperti lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan, Kepresidenan dan
sebagainya. Dalam pengertian negara modern, istilah “warga negara” dapat berarti
warga, anggota (member) dari sebuah negara. Warga negara adalah anggota dari
sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu yang
memiliki hak dan kewajiban.

Di Indonesia, istilah “warga negara” adalah terjemahan dari istilah bahasa


Belanda, staatsburger. Selain istilah staatsburger dalam bahasa Belanda dikenal
pula istilah onderdaan. Menurut Soetoprawiro (1996) istilah onderdaan tidak
sama dengan warga negara melainkan bersifat semi warga negara atau kawula
negara. Munculnya istiah tersebut karena Indonesia memiliki budaya kerajaan
yang bersifat feodal sehingga dikenal istilah kawula negara sebagai terjemahan
dari onderdaan.

Setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era modern, istilah


kawula negara telah mengalami pergeseran. Istilah kawula negara sudah tidak
digunakan lagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
saat ini. Istilah “warga negara” dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah
“civic”, “citizen”, atau “civicus”. Apabila ditulis dengan mencantumkan “s” di
bagian belakang kata civic mejadi “civics” berarti disiplin ilmu kewarganegaraan.

Konsep warga negara Indonesia adalah warga negara dalam arti modern,
bukan warga negara seperti pada zaman Yunani Kuno yang hanya meliputi
angkatan perang, artis, dan ilmuwan/filsuf. Menurut undang-undang yang berlaku
saat ini, warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Mereka dapat meliputi TNI, Polri, petani,
pedagang, dan profesi serta kelompok masyarakat lainnya yang telah memenuhi
syarat menurut undang-undang.

Konsep Kewaranegaraan dikaji menjadi tiga yaitu, secara etimologis,


yuridis, dan teoritis. Secara etimologis PKN dibentuk oleh dua kata, yaitu kata
“pendidikan” dan kata “kewarganegaraan”. Dimana menurut Kamus Besar Bhasa
Indonesia (KBBI) Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku

5
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan; proses; perbuatan; cara mendidik. Sedangkan
menurut UUD No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Secara konseptual, istilah kewarganegaraan tidak bisa dilepaskan dengan


istilah warga negara. Selanjutnya ia juga berkaitan dengan istilah pendidikan
kewarganegaraan. Dalam literatur Inggris ketiganya dinyatakan dengan istilah
citizen, citizenship dan citizenship education. Hubungan ketiga istilah tersebut
dapat kita lihat dari pernyataan yang dikemukakan oleh John J. Cogan, & Ray
Derricott dalam buku Citizenship for the 21st Century: An International
Perspective on Education (1998) berikut ini
A citizen was defined as a ‘constituent member of society’. Citizenship on
the other hand, was said to be a set of characteristics of being a citizen’. And
finally, citizenship education the underlying focal point of a study, was defined as
‘the contribution of education to the development of those charateristics of a
citizen’.

Artinya ”Warga negara didefinisikan sebagai 'anggota konstituen


masyarakat'. Kewarganegaraan di sisi lain, dikatakan sebagai serangkaian
karakteristik sebagai warga negara. Dan akhirnya, pendidikan kewarganegaraan
yang menjadi titik fokus utama dari sebuah penelitian, didefinisikan sebagai
'kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristik seseorang warga
negara”.

Selanjutnya secara yuridis, istilah kewarganegaraan dan pendidikan


kewarganegaraan di Indonesia dapat ditelusuri dalam peraturan Undang-undang
RI No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2 yaitu, Kewarganegaraan adalah segala hal
ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-undang RI No 20
Tahun 2003, Pasal 37 Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk

6
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air.

Dan konsep PKn secara teoritis dapat dikaji dari pedapat para ahli, salah
satunya menurut M. Nu’man Somantri (2001) Pendidikan Kewarganegaraan
adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas
dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari
pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses
guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak
demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.

Selanjutnya Pendidikan Kewarganegaraan memiliki urgensi di Indonesia.


Yaitu pada dasarnya tujuan pendidikan kewarganegaraan di mana pun umumnya
bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen). Kita dapat
mencermati Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 Ayat
(1) yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat ... pendidikan kewarganegaraan. Demikian pula pada ayat (2) dinyatakan
bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat ... pendidikan
kewarganegaraan.

Bahkan dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lebih


eksplisit dan tegas dengan menyatakan nama mata kuliah kewarganegaraan
sebagai mata kuliah wajib. Dikatakan bahwa mata kuliah kewarganegaraan adalah
pendidikan yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Berdasarkan hal tersebut dapat kita ketahui
bahwa PKn penting bagi negara Indonesia.

Karena PKn dianggap penting untuk sutu negara pendidikan


kewarganegaraan juga diajarkan ada negara lain dimana dengan sebutan yang
berbeda – beda. Contohnya di USA disebut dengan Civics, Civic Education , di
UK disebut Citizenship Education, di Timteng disebut Ta’limatul Muwwatanah,

7
Tarbiyatul Watoniyah, di Mexico disebut Educacion Civicas, di Jerman disebut
Sachunterricht , di Australia disebut Civics, Social Studies. Adanya sejumlah
istilah yang digunakan di sejumlah negara menunjukkan bahwa setiap negara
menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan meskipun dengan istilah yang
beragam.

2.1.2 Mengapa diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap negara memiliki pendidikan kewarganegaraan yang harus diajarkan


kepada peserta didik karena untuk mewujudkan warga negara yang sadar akan
bela negara yang berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan
mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa. Dengan
mempelajari pendidikan kewarganegaraan dapat menimbulkan dampak bagi suatu
negara khususnya Indonesia, diantaranya dapat menambah rasa cinta tanah air
terhadap bangsa, menghargai sesama individu dalam perbedaan yaitu beda ras,
agama, suku, bahasa daerah dan lain-lain.

Dengan adanya perbedaan yang ada dalam negara Indonesia membuat setiap
individu dalam masyarakat memiliki sifat toleransi misalnya toleransi antar umat
beragama yang berbeda. Bisa di lihat dalam masyarakat sekitar meski adanya
perbedaan agama, ras, suku yang berbeda dalam suatu masyarakat, mereka saling
menghargai satu sama yang lain asalkan tidak menyimpang dari landasan dasar
kita pancasila.

Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan resmi masuk dalam kurikulum


sekolah di Indonesia pada tahun 1968. Saat terjadi pergantian tahun ajaran yang
awalnya Januari – Desember dan diubah menjadi Juli – Juni pada tahun 1975,
nama pendidikan kewarganegaraan diubah oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Nama mata
pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn).

Pada masa Reformasi PPKn diubah menjadi PKn dengan menghilangkan


kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru. Untuk perguruan tinggi,
jurusan pendidikan kewarganegaraan pada awalnya menggunakan nama jurusan

8
Civic Hukum kemudian pada orde baru berubah menjadi Program Studi PMP-KN
dan saat ini banyak yang menggunakan Program Studi PPKn (PKn).

Saat ini terjadi perdebatan dan perbincangan di elit penentu kebijakan


pendidikan di Indonesia untuk menambahkan kembali kata Pancasila ke mata
pelajaran PKn menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
kembali. Salah satu alasan adalah nilai-nilai pancasila dalam diri peserta didik
sudah mulai luntur, maka perlu menghadirkan kembali nilai pancasila dari sila
pertama sampai dengan sila kelima kepada semua siswa. Rancangan ini masuk
kurikulum 2013 namun pelaksanaannya masih belum merata di Indonesia sampai
tahun 2016.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan erat dengan peran dan


kedudukan serta kepentingan warganegara sebagai individu, anggota keluarga,
anggota masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia yang terdidik, serta
bertekad dan bersedia untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. PPKn
dapat sebagai upaya mengembangkan potensi individu sehingga memiliki
wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan
memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam
berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan
Pancasila yang merupakan dasar negara dan sebagai filsafat bangsa dan negara
Indonesia yang mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan
kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ke-
Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Hal – hal penting yang dapat ditemui dalam materi pendidikan


kewarganegaraan adalah, Pendidikan kewarganegaraan mengajarkan siswa untuk
mampu memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara sopan santun,
jujur, dan demokratis serta ihklas sebagai warga negara terdidik dalam
kehidupannya selaku warganegara Republik Indonesia yang bertanggung jawab
bersama. Ini merupakan hal yang mendasar dalam pelajaran pendidikan
kewarganegaraan. Tanggung jawab sangat penting dalam proses ini.

9
Selain itu dalam pembelajaran ini dibahas lagi tentang bagaimana kita
warga negara untuk ikut dalam berpolitik. Karena akan kepedulian terhadap
politik kita bangsa Indonesia. Tanpa kekacauan merupakan hal terpenting dalam
menjaring hubungan yang baik antara warga dan pemerintah. PKn juga
memberikan pengajaran kepada siswa untuk saling memahami sesama warga
neraga. Saling tenggang rasa, toleransi dan saling menghormati satu sama lainnya.
Dan juga memberikan pengetahuan kepada para siswa dan pelajar mengenai
sistem pemerintahan dan tentang peraturan negara yang berlaku baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Juga untuk membuka kesadaran kita akan pentingnya
bela dan cinta tanah air. Karena kita hidup disini dan secara bersama.

2.1.3 Sumber Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Sumber pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu


berdasarkan sumber historis, sosiologis, dan juga politis. Sumber – sumber ini
tumbuh, berkembang, dan berkontribusi dalam pembangunan serta pencerdasan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga dapat disadari bahwa
bangsa Indonesia memerlukan pendidikan kewarganegaraan.

Kita mulai mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan sejak menduduki


bangku sekolah dasar. Pada generasi yang berbeda mungkin mereka tidak akan
mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan karena ada perbedaan kurikulum.
Pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dengan nama
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP.

Demikian pula bagi generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan


kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Adapun sekarang ini, berdasar Kurikulum
2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan menengah
menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi menyelenggarakan
mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Secara historis, pendidikan kewarganegaraan dalam arti substansi telah


dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Dalam
sejarah kebangsaan Indonesia, berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908

10
disepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada saat itulah dalam diri
bangsa Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa walaupun belum
menamakan Indonesia. Setelah berdiri Boedi Oetomo, berdiri pula organisasi-
organisasi pergerakan kebangsaan lain seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah,
Indische Party, PSII, PKI, NU, dan organisasi lainnya yang tujuan akhirnya ingin
melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada tahun 1928, para pemuda yang
berasal dari wilayah Nusantara berikrar menyatakan diri sebagai bangsa
Indonesia, bertanah air, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia.

Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara


terang-terangan maupun diam-diam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri
tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Secara umum, organisasi-organisasi
tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita-citakan
Indonesia merdeka. Indonesia sebagai negara merdeka yang dicita-citakan adalah
negara yang mandiri yang lepas dari penjajahan dan ketergantungan terhadap
kekuatan asing. Inilah cita-cita yang dapat dikaji dari karya para Pendiri Negara-
Bangsa (Soekarno dan Hatta).

Akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui perjuangan panjang,


pengorbanan jiwa dan raga, pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta,
atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, melepaskan diri dari


penjajahan, bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan
kemerdekaan karena ternyata penjajah belum mengakui kemerdekaan dan belum
ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Oleh karena itu, periode
pasca kemerdekaan Indonesia, tahun 1945 sampai saat ini, bangsa Indonesia telah
berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai
cara, baik perjuangan fisik maupun diplomatis. Perjuangan mencapai
kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk menjaga dan
mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.

Dari hal ini tampak bahwa proses perjuangan untuk menjaga eksistensi
negara-bangsa, mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri negara-

11
bangsa (the founding fathers), belumlah selesai bahkan masih panjang. Oleh
karena itu, diperlukan adanya proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga
negara yang dapat memelihara semangat perjuangan kemerdekaan, rasa
kebangsaan, dan cinta tanah air.

PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan
pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negara-bangsa.
Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai
tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat
rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki
Indonesia yang telah dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan ceramah-ceramah
yang dilakukan oleh para pejuang, serta kyai-kyai di pondok pesantren yang
mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air merupakan PKn dalam
dimensi sosial kultural. Inilah sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn dalam
dimensi sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa
untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa.

Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum


dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di
Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang
disusun bersama oleh Mr. Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid,
Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan
kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam
sambutannya menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali
kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan pendidikan
nasional.

Tim Penulis diberi tugas membuat buku pedoman mengenai kewajiban-


kewajiban dan hak-hak warga negara Indonesia dan sebab-sebab sejarah serta
tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Prijono, buku
Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan istilah
“Staatsburgerkunde” (Jerman), “Civics” (Inggris), atau “Kewarganegaraan”
(Indonesia).

12
Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam
pendidikan sekolah dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957
sebagaimana dapat diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada
masa Orde Lama mulai dikenal istilah: (1) Kewarganegaraan (1957); (2) Civics
(1962); dan (3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Pada masa awal Orde
Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan
kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak
membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik
kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and charater building” bangsa
Indonesia.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum sekolah yang berlaku


dinamakan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut di dalamnya tercantum
mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara. Dalam mata pelajaran tersebut
materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif dihilangkan dan diubah dengan
materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok
Pembinaan Jiwa Pancasila, sebagaimana tertera dalam Kurikulum Sekolah Dasar
(SD) 1968 sebagai berikut.

“Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila ialah Kelompok segi pendidikan


yang terutama ditujukan kepada pembentukan mental dan moral Pancasila serta
pengembangan manusia yang sehat dan kuat fisiknya dalam rangka pembinaan
Bangsa.

Sebagai alat formil dipergunakan segi pendidikan-pendidikan: Pendidikan


Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa
Daerah dan Olahraga. Pendidikan Agama diberikan secara intensif sejak dari kelas
I sampai kelas VI dan tidak dapat diganti pendidikan budi pekerti saja.

Begitu pula, Pendidikan Kewargaan Negara, yang mencakup sejarah


Indonesia, Ilmu Bumi, dan Pengetahuan Kewargaan Negara, selama masa
pendidikan yang enam tahun itu diberikan terus menerus. Sedangkan Bahasa
Indonesia dalam kelompok ini mendapat tempat yang penting sekali, sebagai alat
pembina cara berpikir dan kesadaran nasional.

13
Sedangkan Bahasa Daerah digunakan sebagai langkah per-tama bagi
sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar
sampai kelas III dalam membina jiwa dan moral Pancasila. Olahraga yang
berfungsi sebagai pembentuk manusia Indonesia yang sehat rohani dan
jasmaninya diberikan secara teratur semenjak anak-anak menduduki bangku
sekolah."

Dalam Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata pelajaran Pendidikan


Kewargaan Negara termasuk dalam kelompok pembina Jiwa Pancasila bersama
Pendidikan Agama, bahasa Indonesia dan Pendidikan Olah Raga. Mata pelajaran
Kewargaan Negara di SMA berintikan: (1) Pancasila dan UUD 1945; (2)
Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya; dan (3) Pengetahuan umum
tentang PBB.

Dalam Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran


wajib untuk SMA. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan
korelasi, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain,
seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan
Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih
hidup, menantang, dan bermakna.

Kurikulum Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi


Kurikulum Sekolah Tahun 1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi
Pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara khusus yakni
menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran
sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD
1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan
gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk
membentuk manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata
pelajaran PMP semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah
menyatakan bahwa P4 bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada

14
saat itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah
mengeluarkan Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila
(Depdikbud, 1982), dan mengemukakan beberapa hal penting sebagai berikut.

“Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional mulai dikenal


dengan adanya TAP MPR No. lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara dan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Paneasila (P4). Dengan adanya Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Paneasila (P4),
maka materi PMP didasarkan pada isi P4 tersebut. Oleh karena itu, TAP MPR No.
II/ MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah
laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara.

Selanjutnya TAP MPR No. II/MPR?1978 dijadikanlah sumber, tempat


berpijak, isi, dan evaluasi PMP. Dengan demikian, hakikat PMP tiada lain adalah
pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di
sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan
P4 lewat berbagai penataran. “... dalam rangka menyesuaikan Kurikulum 1975
dengan P4 dan GBHN 1978, ... mengusahakan adanya buku pegangan bagi murid
dan guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) ... usaha itu yang telah menghasilkan Buku Paket PMP...."

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (l) P4 merupakan


sumber dan tempat berpijak, baik isi maupun cara evaluasi mata pelajaran PMP
melalui pembakuan kurikulum 1975; (2) melalui Buku Paket PMP untuk semua
jenjang pendidikan di sekolah maka Buku Pedoman Pendidikan Kewargaan
Negara yang berjudul Manusia dan Masyarakat Baru lndonesia (Civics)
dinyatakan tidak berlaku lagi; dan (3) bahwa P4 tidak hanya diberlakukan untuk
sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya melalui berbagai
penataran P4.

Sesuai dengan perkembangan ipteks dan tuntutan serta kebutuhan


masyarakat, kurikulum sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994.
Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi

15
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan
pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat 2 undang-undang tersebut
dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
wajib memuat: (1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan agama; dan (3)
Pendidikan Kewarganegaraan.

Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat
diidentifikasi dari dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata pelajaran
PPKn (2013).

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa secara historis, PKn di


Indonesia senantiasa mengalami perubahan baik istilah maupun substansi sesuai
dengan perkembangan peraturan perundangan, iptek, perubahan masyarakat, dan
tantangan global. Secara sosiologis, PKn Indonesia sudah sewajarnya mengalami
perubahan mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara politis, PKn
Indonesia akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan, terutama perubahan konstitusi.

2.1.4 Dinamika dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan

Suatu kenyataan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) telah


mengalami beberapa kali perubahan, baik tujuan, orientasi, substansi materi,
metode pembelajaran bahkan sistem evaluasi. Semua perubahan tersebut dapat
teridentifikasi dari dokumen kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia sejak
proklamasi kemerdekaan hingga saat ini.

Dinamika dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan erat kaitannya


dengan perkembangan sejarah Indonesia. Diantaranya :

a. Pendidikan Kewarganegaraan pertama kali muncul pada tahun 1957 dengan


nama “Kewarganegaraan” yang hanya membahas hak dan kewajiban warga
negara serta cara memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Namun

16
sejak munculnya Orde Baru, isi mata pelajaran ini hampir seluruhnya dibuang
karena dianggap idak sesuai lagi dengan tuntutan yang sedang berkembang.

b. Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama “Kewargaan
negara”. sesuai dengan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, mata pelajaran ini
diberubah nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), materi yang
sangat dominan disini adalah mengenai materi P-4.

c. Pada kurikulum 1984 maupun Kurikulum 1994, Pendidikan Moral Pancasila


berganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dalam
era reformasi, tantangan PPKn semakin berat. P4 dipermasalahkan
substansinya, karena tidak memberikan gambaran yang tepat tentang nilai
Pancasila sebagai satu kesatuan. Dengan adanya perubahan UU No. 2 tahun
1989 yang diubah dengan UU No. 2 tahun 2003 tidak dieksplisitkan lagi nama
pendidikan Pancasila, sehingga tinggal Pendidikan Kewarganegaraan.

d. kurikulum 2004 memperkenalkan istilah Pengganti PPKn dengan


kewarganegaraan / pendidikan kewarganegaraan. Perubahan nama ini juga
diikuti dengan perubahan isi PKn yang lebih memperjelas akar keilmuan
yakni politik, hukum dan moral. Pada kurikulum 2013 yang baru saja
disahkan akhir tahun 2013 lalu, nama pendidikan kewarganegaraan diganti
lagi dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dalam
kurikulum tersebut penekan tentang sikap (afeksi) begitu ditonjolkan.

Persoalanya sekarang adalah bagaimana menemukan pendekatan yang


terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep PKn agar siswa dapat
menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana membuka
wawasan berfikir dan beragam dari seluruh siswa agar konsep yang dipelajarinya
dapat dikaitkan dengan kehidupan nyata. Inilah tantangan PKn kedepannya.

Seiring dengan perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri


diharapkan akan semakin meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
kewaganegaraan dan warga negara sehingga dapat semakin memperbaiki moral
bangsa ini.

17
Ontologi PKn adalah sikap dan perilaku warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Status warga negara dapat meliputi
penduduk yang berkedudukan sebagai pejabat negara sampai dengan rakyat biasa.
Tentu peran dan fungsi warga negara berbeda-beda, sehingga sikap dan perilaku
mereka sangat dinamis. Oleh karena itu, mata kuliah PKn harus selalu
menyesuaikan/sejalan dengan dinamika dan tantangan sikap serta perilaku warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Secara implisit, setiap konstitusi mensyaratkan kriteria warga negara yang


baik karena setiap konstitusi memiliki ketentuan tentang warga negara. Artinya,
konstitusi yang berbeda akan menentukan profil warga negara yang berbeda. Hal
ini akan berdampak pada model pendidikan kewarganegaraan yang tentunya perlu
disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku.

Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada konstitusi negara


yang bersangkutan, tetapi juga tergantung pada tuntutan perkembangan zaman
dan masa depan. Misalnya, kecenderungan masa depan bangsa meliputi isu
tentang HAM, pelaksanaan demokrasi, dan lingkungan hidup. Sebagai warga
negara muda, mahasiswa perlu memahami, memiliki kesadaran dan partisipatif
terhadap gejala demikian.

Pendidikan Kewarganegaraan yang berlaku di suatu negara perlu


memperhatikan kondisi masyarakat. Walaupun tuntutan dan kebutuhan
masyarakat telah diakomodasi melalui peraturan perundangan, namun
perkembangan masyarakat akan bergerak dan berubah lebih cepat.

Contohnya pada zaman ini moral pada generasi muda meluntur dengan
cepat karena adanya arus globalisasi, karena adanya moral yang merosot ini
menjadikan pendidikan kewarganegaraan sangat penting dalam membimbing
generasi muda agar tidak terseret arus globalisasi yang menjerumuskan ke arah
yang negatif.

Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan yang begitu cepat dalam
bidang teknologi informasi mengakibatkan perubahan dalam semua tatanan

18
kehidupan termasuk perilaku warga negara, utamanya peserta didik.
Kecenderungan perilaku warga negara ada dua, yakni perilaku positif dan negatif.
PKn perlu mendorong warga negara agar mampu memanfaatkan pengaruh positif
perkembangan iptek untuk membangun negara-bangsa.Sebaliknya PKn perlu
melakukan intervensi terhadap perilaku negatif warga negara yang cenderung
negatif. Oleh karena itu, kurikulum PKn termasuk materi, metode, dan sistem
evaluasinya harus selalu disesuaikan dengan perkembangan iptek.

2.1.5 Esensi dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan untuk Masa Depan

Perkiraan Indonesia pada tahun 2045 bangsa Indonesia akan memperingati


100thn kemerdekaan bangsa Indonesia, karena berdasarkan hasil analisis buku
ekonomi yang diterbitkan oleh Kemendikbud (2013) bangsa Indonesia akan
mendapatkan bonus demografi sebagai modal Indonesia pada tahun 2045. Tahun
2030-2045 indonesia akan mempunyai usia produktif (15-64thn) yang berlimpah
inilah maksut dari bonus denografi tersebut.

Bonus demografi ini merupakan peluang yang harus di tangkap dan harus
diwujudkan bangsa Indonesia. Usia produktif akan mampu berproduksi secara
optimal apabila dipersiapkan dengan baik dan benar, tentunya cara yang paling
strategis adalah melalui pendidikan, termasuk pendidikan kewarganegaraan.

Dimasa kontemporer memperhatikan perkembangan dalam kehidupan


menjadi sebuah pertanyaan radikal yang memunculkan begitu banyak pertanyaan
seperti “Benarkah bangsa Indonesia saat ini sudah merdeka, dalam makna yang
sesungguhnya?”, “Apakah bangsa Indonesia telah merdeka secara ekonomi?”
Pertanyaan seperti ini sering dilontarkan bagaikan bola panas yang berterbangan.
Anehnya, bukankah kita telah menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945,
namun tidak sedikit rakyat Indonesia yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia
belum merdeka.

Coba perhatikan perubahan Indonesia pada bidang ekonomi di bawah ini

19
Dapat di simpulkan dari data di atas bahwa ekonomi Indonesia sangat
menjanjikan walaupun kondisinya saat ini belum dipahami secara luas. Pada saat
ini ekonomi Indonesia berada pada urutan yang ke 16 besar dan pada tahun 2030
ekonomi Indonesia di perkirakan akan menduduki urutan yang ke7 besar, serta
saat ini, jumlah konsumen sebanyak 45 juta dan jumlah penduduk produktif
sebanyak 53%. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlah konsumen akan
meningkat menjadi 135 juta dan jumlah penduduk produktif akan meningkat
menjadi 71% penduduk.

Pernahkan kita berpikir radikal?. Nasib sebuah bangsa tidak di tentukan oleh
bangsa lain melaikan kitalah yang menetukan bansa kita kedepannya akan
menjadi seperti apa. Baik itu mau menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang terhoramat dan di hargai bangsa lain ataupun sebaliknya. Itusemua
tergantung pada kita sebagai bangsa Indonesia itu sendiri.

Demikian pula untuk masa depan PKn sangat ditentukan oleh eksistensi
konstitusi negara dan bangsa Indonesia. PKn akan sangat dipengaruhi oleh
konstitusi yang berlaku dan perkembang sesuai tuntutan kemajuan bangsa.
Bahkan yang lebih penting lagi, akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan
konstitusi yang berlaku nantinya.

2.1.6 Hakikat dan Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

Secara etimologis pendidikan kewarganegaraan berasal dari dua kata yang


pertama yaitu pendidikan yang berarti usaha, sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara aktif dan kata yang
ke dua yaitu kata kewarganegaraan berarti segala hal atau perihal yang
berhubungan dengan warga Negara.

Sedangkan Secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan


untuk membentuk pendidikan menjadi manusia yang memiliki kebangsaan dan
cinta tanah air. Dan secara terminologis, pendidikan kewarganegaraan adalah
program pendidikan yang berisikan demokrasi politik, diperluas dengan sumber-

20
sumber pengetahuan lainnya yaitu pengaruh positif dari pendidikan sekolah
masyarakat dan orang tua.

Pendidikan kewarganegaraan sangat perlu di jadikan peljaran sekolah


karena setiap generasi adalah orang baru yang harus mendapatkan pengetahuan
sikap atau nilai dan keterampilan agar mampu menjadi warga Negara yang
memiliki watak atau karakter yang baik dan cerdas.

Pkn di Indonesia secara historis awalnya diselenggarakan oleh organisasi


pergerakan yang bertujuan untuk membangun rasa kebangsaan dan cinta-cita
Indonesia merdeka. Secara politis Pkn diindonesia lahir karena tuntutan konstitusi
atau UUD 1945 dan sejumlah kebijakan pemerintah yang berkuasa sesuai dengan
masanya.

Pendidikan kewarganegaraan selalu menghadapi dinamika perubahan dalam


system ketatanegaraan dan pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk masa depan pkn Indonesia sangat di tentukan oleh pandangan
bangsa Indonesia sendiri. Eksistensi konstitusi Negara dan tuntutan dinamika
perkembangan bangsa.

2.2    Pendidikan Kewarganegaraan Masa Depan (Kemasyarakatan)

Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan ke depan diharapakan dapat


berorientasi atau terpusat pada terbentuknya masyarakat sipil (civil society),
dengan cara memperdayakan warga negara melalui proses pendidikan. Melalui
proses pendidikan setiap warga negara dapat diajarkan bagaimana cara berperan
secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis.

Print et al (Sunarsono, dkk 2012:108) mengemukakan, civic education is


necessary for the building and consolidation of a democratic society. Inilah visi
PKn yang perlu dipahami oleh guru, siswa, serta masyarakat pada umumnya.
Kedudukan warga negara yang ditempatkan pada posisi yang lemah dan pasif,
seperti pada masa-masa yang lalu, harus diubah pada posisi yang kuat dan
partisipatif. PKn ke depan harus berupaya memperdayakan warganegara agar
mampu berperan aktif dalam negara pemerintahan yang demokratis. Pendidikan

21
demokrasi menjadi strategis dan mutlak bagi perwujudan masyarakat dan negara
demokrasi. Hal ini sejalan dengan adagium yang menyatakan bahwa demokrasi
dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara
yang demokratis. Warga negara yang demokratis hanya bisa dibentuk melalui
pendidikan demokratis.

Patrick (Samsuri 2006:38) mengungkapkan secara skematis, keempat


komponen PKn untuk membentuk warga negara demokratis yang diuraikan
sebagai berikut :

1. KNOWLEDGE OF CITIZENSHIP AND GOVERNMENT IN


DEMOCRACY (CIVIC KNOWLEDGE)

a.       Concepts and principles on the substance of democracy (Konsep dan


Prinsip hakekat demokrasi)

b.      Perennial issues about the meaning and uses of core idea (Persoalan
pokok mengenai arti dan penggunaan gagasan inti)

c.       Continuing issues and landmark decisions about public policy and


constitutional interpretation (Melanjutkan masalah pokok dan keputusan
tentang kebijakan umum dan tafsiran berdasarkan Undang-undang dasar)

d.      Consititutions and insitutions of representative democratic government


(Undang-undang dasar dan lembaga pemerintahan untuk perwakilan
demokrasi)

e.       Practices of democratic citizenship and the roles citizens (Praktek


demokrasi kewarganegaraan dan peran warganegara)

f.       History of democracy in particular states and the throughout the world


(Sejarah demokrasi di negara-negara tertentu dan di seluruh dunia)

2. COGNITIVE SKILLS OF DEMOCRATIC CITIZENSHIP


(INTELECTUAL CIVIC SKILSS)

22
a.       Indentifying and describing information about political and civic life
(Mengidentifikasi dan menggambarkan informasi mengenai kehidupan
politik dan umum)

b.      Analyzing and explaining information about political and civic life


(Menganalisis dan menjelaskan informasi mengenai kehidupan politik dan
umum)

c.       Synthesizing and explaining information about political and civic life


(Mengumpulkan dan menjelaskan informasi mengenai kehidupan politik
dan umum)

d.      Evaluating, taking, and defending positions on public events and issues


(Mengevaluasi, menghasilkan, dan mempertahankan keadaan pada peristiwa
dan permasalahan umum)

e.       Thinking critically about conditions of political and civic life (Berpikir


kritis mengenai kondisi kehidupan politik dan umum)

f.       Thinking constructively about how to improve political and civic life


(Berpikir secara konstruktif tentang bagaimana meningkatkan kehidupan
politik dan umum)

3. PARTICIPATORY SKILLS OF DEMOCRATIC CITIZENSHIP


(PARTICIPATORY CIVIC SKILLS)

a.       Interacting with other citizens to promote personal and common


interest (Berinteraksi dengan warga negara lain untuk memajukan
kepentingan pribadi dan umum)

b.      Monitoring public events and issues (Memantau peristiwa dan


permasalahan umum)

23
c.       Deliberating and making decisions on public issue (Merundingkan dan
membuat keputusan mengenai masalah-masalah umum)

d.      Implementing policy decision on public issue (Melaksanakan keputusan


politik mengenai masalah-masalah umum)

e.       Taking action to improve political and civic life (Mengambil tindakan


untuk memperbaiki kehidupan politik dan umum)

4. VIRTUES AND DISPOSITIONS OF DEMOCRATIC CITIZENSHIP


(CIVIC DISPOSITIONS)

a.       Affirming the common and equal humanity and dignity of each person
(Menyatakan kesamaan derajat dan martabat umat manusia untuk setiap
orang)

b.      Respecting, proctecting, and exercising right possessed equally by each


person (Menghormati, melindungi, dan menggunakan hak yang dimiliki
untuk setiap orang)

c.       Participating responsibly in the political and civic life of the community


(Berpartisipasi dengan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan
masyarakat)

d.      Practicing self-government and supporting government by consent of


the governed (Menjalankan pemerintahan sendiri dan mendukung
pemerintah dengan persetujuan dari yang mengatur)

e.       Exemplifying the moral traits of democratic citizenship (Mencontohkan


ciri-ciri moral kewarganegaraan demokratis)

f.       Promoting the common good (Mempromosikan kepentingan umum)

 Dari paparan konseptual komponen kajian PKn menurut Patrick (Samsuri


2006:39) tersebut, secara ringkas warga negara yang demokratis memiliki ciri-ciri
penguasaan secara komprehensif dalam hal pengetahuan mengenai

24
kewarganegaraan dan pemerintahan demokratis, kecakapan intelektual (kognitif)
dan partisipasi dalam hal kewarganegaraan demokratis, dan karakter
kewarganegaraan demokratis.

Komponen tersebut tidak mungkin bisa muncul begitu saja pada diri
individu warga negara, sehingga perlu proses habitation, pembelajaran.

2.3 Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan di Masa Depan

Saat ini, negara sedang berkoar-koar tentang pembentukan karakter dan


penerapan rasa nasionalisme yang lebih nyata di setiap lini kehidupan masyarakat,
khususnya di bidang pendidikan. Lebih utama lagi dalam bidang Pendidikan
Kewarganegaraan. 

Tantangan mengajar Pendidikan Kewarganegaraan di era milenial saat ini


butuh usaha keras. Justru tantangan tersebut bukan datang dari materi atau
kurikulum pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Melainkan dari kualitas
sumber daya manusia yang kompeten, yaitu guru.

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk  peserta didik


menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta  tanah
air.  Selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan di lingkup sekolah  juga
mengembangkan misi sebagai pendidikan bela negara, pendidikan  multikultural,
pendidikan lingkungan hidup, pendidikan hukum, dan pendidikan anti korupsi.

Bila anda pengajar yang "konvensional", maka materi yang anda sampaikan
ke anak didik juga akan konvensional. Hasil yang  diperoleh adalah anak didik
dengan rasa nasionalisme yang konvensional  pula. Dalam artian, anak didik
hanya mampu mendengarkan ceramah dan akan  segera melupakannya saat
mereka sudah keluar kelas atau berganti mata  pelajaran.

Ibarat seperti angin lalu bagi mereka. Inilah sebabnya, banyak anak didik
yang menyepelekan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bila masih
mengajar dengan gaya ajar yang lama dan monoton.

25
Ingat, dunia selalu bergerak. Ojek yang dulu hanya bisa  mangkal, sekarang
serba online dan serba bisa. Dulu beli tiket kereta dan pesawat antri panjang (on
the spot), sekarang sudah praktis hanya  sekali sentuh dan bisa order jauh hari.
Semua serba digital, maju, online, update dan mengikuti kebutuhan masyarakat
milenial. Begitu pula  seharusnya gaya ajar Pendidikan Kewarganegaraan, lebih
modern, canggih,  update dan online.

Di zaman yang serba digital ini, akan lebih mudah mengajarkan ilmu dan
materi pendidikan kewarganegaraan dengan sarana internet. Segala sumber,
contoh-contoh kasus, infografis, link, kejadian  nyata, atau bahkan sekedar
tayangan mendidik dan menarik akan membuat  anak didik lebih menghayati.

Bagaimana mengajarkan anti korupsi bila anak didik kita  tidak tahu wujud
tentang KPK dan kasus-kasus korupsi yang ada? Bagaimana  anda mengajarkan
bela negara apabila anak didik tak memahami budaya, letak geografis dan
lembaga negara Indonesia secara nyata? Bagaimana anda  mengajarkan baik dan
buruknya media sosial, apabila anda tidak paham dan tidak memiliki akses media
sosial (facebook, line, twitter, dsb)?

Padahal ada tiga komponen utama Pendidikan Kewarganegaraan,  yaitu


pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan
(civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic  disposition).

Di era milenial ini, ketiga komponen tersebut akan lebih  mudah dicerna dan
diresapi anak didik dengan contoh nyata dan realis.  Tidak sekedar ceramah yang
membosankan dan bikin kantuk.

Logikanya, anak didik milenial yang memiliki lebih banyak  pengetahuan


dan sikap kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang  percaya diri (civic
competence). Kemudian warga negara yang memiliki  pengetahuan dan
keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial  yang mampu
(civic competence). Selanjutnya, warga negara milenial yang memiliki  sikap dan
keterampilan akan menjadi warga negara milenial yang komitmen
(civic  commitment).

26
Pada akhirnya, warga negara milenial yang memiliki pengetahuan, sikap
dan keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial
yang  cerdas dan baik ( smart and good citizenship). Itulah tujuan akhir
mengajar  Pendidikan Kewarganegaraan di era milenial, bila didukung juga
oleh  "smart and good teacher". Ubah gaya ajar konvensional anda, menjadi gaya
ajar "modern and milenial". Ingat,  Pancasila is a living ideology.

Padahal ada tiga komponen utama Pendidikan Kewarganegaraan,  yaitu


pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan
(civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic  disposition).

Di era milenial ini, ketiga komponen tersebut akan lebih  mudah dicerna dan
diresapi anak didik dengan contoh nyata dan realis.  Tidak sekedar ceramah yang
membosankan dan bikin kantuk.

Logikanya, anak didik milenial yang memiliki lebih banyak  pengetahuan


dan sikap kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang  percaya diri (civic
competence). Kemudian warga negara yang memiliki  pengetahuan dan
keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial  yang mampu
(civic competence). Selanjutnya, warga negara milenial yang memiliki  sikap dan
keterampilan akan menjadi warga negara milenial yang komitmen
(civic  commitment).

Dan  pada akhirnya, warga negara milenial yang memiliki pengetahuan,


sikap dan keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara milenial
yang  cerdas dan baik ( smart and good citizenship). Itulah tujuan akhir
mengajar  Pendidikan Kewarganegaraan di era milenial, bila didukung juga
oleh  "smart and good teacher". Ubah gaya ajar konvensional anda, menjadi gaya
ajar "modern and milenial". Ingat, Pancasila is a living ideology.

27
2.4 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Masa Depan

Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa
Indonesia pada 10, 30, atau 100 tahun yang akan datang? Apakah Anda berpikir
bahwa kondisi bangsa masa depan akan sama saja dengan kondisi bangsa saat ini?
Pertanyaan ini memerlukan jawaban analitis tentang kehidupan bangsa pada masa
lampau dan kondisi bangsa saat ini. Dapatkah Anda mengidentifikasi kondisi
bangsa Indonesia pada 10 tahun, 30 tahun, dan 100 tahun yang lalu? Coba Anda
bandingkan indikatorindikator berupa fakta, peristiwa yang pernah terjadi,
kemudian bandingkan dengan kondisi saat ini. Apa yang berubah dalam
pendidikan kewarganegaraan? Adakah hal-hal yang sama, identik, berupa fakta
dan peristiwa masa lalu dengan kehidupan yang terjadi saat ini? Anda masukkan
indikator-indikator berupa fakta dan peristiwa yang terjadi dalam pendidikan
kewarganegaraan. 

Apakah tuntutan, kebutuhan, dan tantangan yang akan dihadapi bangsa


Indonesia di masa depan? Bagaimana Anda dapat memprediksi kondisi Indonesia
di masa depan? Apa gagasan berupa pemikiran hasil analisis Anda untuk masa
depan? Anda masukkan indikator-indikator berupa fakta dan peristiwa yang
mungkin akan terjadi dalam pendidikan kewarganegaraan. Pernahkah Anda
memprediksi apa yang akan terjadi dengan negara-bangsa Indonesia pada tahun
2045 yakni Indonesia Generasi Emas?

Pada tahun 2045, bangsa Indonesia akan memperingati 100 Tahun


Indonesia merdeka. Bagaimana nasib bangsa Indonesia pada 100 Tahun Indonesia
merdeka? Berdasarkan hasil analisis ahli ekonomi yang diterbitkan oleh
Kemendikbud (2013) bangsa Indonesia akan mendapat bonus demografi
(demographic bonus) sebagai modal Indonesia pada tahun 2045 (Lihat gambar
tabel di bawah).

Indonesia pada tahun 20302045 akan mempunyai usia produktif (15-64


tahun) yang berlimpah. Inilah yang dimaksud bonus demografi. Bonus demografi
ini adalah peluang yang harus ditangkap dan bangsa Indonesia perlu

28
mempersiapkan untuk mewujudkannya. Usia produktif akan mampu berproduksi
secara optimal apabila dipersiapkan dengan baik dan benar, tentunya cara yang
paling strategis adalah melalui pendidikan, termasuk pendidikan
kewarganegaraan.

29
BAB III

PENUTUP

Secara etimologis, pendidikan kewarganegaraan berasal dari kata


“pendidikan” dan kata “kewarganegaraan”. Pendidikan berarti usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sedangkan
kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga
negara.

Secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk


membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air.

Secara terminologis, pendidikan kewarganegaraan adalah program


pendidikan yang berintikan demokrasi politik, diperluas dengan sumber-sumber
pengetahuan lainnya: pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah,
masyarakat, dan orang tua. Kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa
untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam
mempersiapkan hidup demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Negara perlu menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan karena setiap


generasi adalah orang baru yang harus mendapat pengetahuan, sikap/nilai dan
keterampilan agar mampu mengembangkan warga negara yang memiliki watak
atau karakter yang baik dan cerdas (smart and good citizen) untuk hidup dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan demokrasi
konstitusional.

Secara historis, PKn di Indonesia awalnya diselenggarakan oleh organisasi


pergerakan yang bertujuan untuk membangun rasa kebangsaaan dan cita-cita
Indonesia merdeka. Secara sosiologis, PKn Indonesia dilakukan pada tataran
sosial kultural oleh para pemimpin di masyarakat yang mengajak untuk mencintai
tanah air dan bangsa Indonesia. Secara politis, PKn Indonesia lahir karena

30
tuntutan konstitusi atau UUD 1945 dan sejumlah kebijakan Pemerintah yang
berkuasa sesuai dengan masanya.

Pendidikan Kewarganegaraan senantiasa menghadapi dinamika perubahan


dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan serta tantangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

PKn Indonesia untuk masa depan sangat ditentukan oleh pandangan bangsa
Indonesia, eksistensi konstitusi negara, dan tuntutan dinamika perkembangan
bangsa.

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk  peserta didik


menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta  tanah
air.  Selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan di lingkup sekolah  juga
mengembangkan misi sebagai pendidikan bela negara, pendidikan  multikultural,
pendidikan lingkungan hidup, pendidikan hukum, dan pendidikan anti korupsi.

Bila anda pengajar yang "konvensional", maka materi yang anda sampaikan
ke anak didik juga akan konvensional. Hasil yang  diperoleh adalah anak didik
dengan rasa nasionalisme yang konvensional  pula. Dalam artian, anak didik
hanya mampu mendengarkan ceramah dan akan  segera melupakannya saat
mereka sudah keluar kelas atau berganti mata  pelajaran.

Ibarat seperti angin lalu bagi mereka. Inilah sebabnya, banyak anak didik
yang menyepelekan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bila masih
mengajar dengan gaya ajar yang lama dan monoton

31
DAFTAR PUSTAKA

http://gatot_sby.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/
63989/1_Buku_PKWN_I.pdf

Paulus Wahana, 1993. Filsafat Pancasila. Yogyakarta : Kanisius Nana Syaodih. S,


2005. Landasan Psikologis Proses Pendidikan. Bandung: remaja
Rosdakarya

François Audigier. 2000. “Basic Concepts and Core Competencies for Education
For Democratic Citizenship”. Article Education for Democratic
Citizenship : University of Geneva, Switzerland

Kaelan,  Achamd. Z, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma :


Yogyakarta

Samsuri. 2006. “Pembentukan Warga Negara Demokratis Dalam Pembelajaran


Pendidikan Kewarganegaraan” Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Kewarganegraan: PKn Progresif, Vol. 1, No. 1: Jurusan PKn, FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Samsuri. 2013. “Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Kurikulum


2013” Makalah Kuliah Umum Program Studi PPKn, FKIP Universitas
Ahmad Dahlan. Yogyakarta.

Sunarsona, Sodiq, dan Gafur. 2012 “Dinamika Pendidikan Kewarganegaran di


Indonesia” Jurnal Ilmiah Pendidikan: Cakrawala Pendidikan, Th. XXXI,
Edisi Khusus Dies Natalis UNY: LPPMP UNY.

Wahab, A. A, Sapriya, 2007. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan.


Bandung : UPI Press

Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia


Nomor 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum  Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.

32

Anda mungkin juga menyukai