Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 5 - ringkasan urgensi PKN

- Aulia Nurul Hapsari - Nafla Nabiha Ramannina Sirait


- Dinda Yusriyah Athallah - Raden Roro Qisthi Aliika Larasati
- Ghina Mardiah - Salsabila Triamanda
- Khansa Camilla Mafazani Belanly
Program Studi : S1 Teknologi Pendidikan/S1 PGSD 2023
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Dr. Rusilanti, M.Si

Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengembangkan kemampuan


utuh sarjana atau profesional

A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pencerdasan


Kehidupan Bangsa
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu materi yang penting dalam
pengembangan kemampuan seorang sarjana dan tenaga profesional. Namun sebelum itu,
alangkah baiknya bila kita memahami terlebih dahulu apa itu sarjana dan tenaga profesional.
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan
tinggi, sarjana merupakan program studi formal yang ditawarkan bagi mereka yang telah
menyelesaikan pendidikan menengah atas untuk dapat mengamalkan ilmu sesuai bidang
kompetensi yang ditempuhnya melalui penalaran ilmiah sehingga diharapkan dapat menjadi
tenaga profesional, ilmuwan, budayawan, dsb.
Kemudian dalam undang-undang dasar nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
disebutkan bahwa tenaga profesional merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian atau
kecakapan khusus dengan memperhatikan standar mutu dan norma yang diperoleh dengan
pendidikan profesi khusus.
Apabila mengikuti peraturan perundang-undangan, maka seorang sarjana dan tenaga
profesional memiliki kedudukan dan peran penting sebagai seorang warga negara Indonesia.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apa itu warga negara Indonesia dan siapa saja
yang termasuk warga negara Indonesia?
Dalam undang-undang nomor 12 tahun 2006, warga negara merupakan sekelompok
manusia yang hidup atau tinggal di dalam wilayah tertentu, dalam hal ini warga negara
Indonesia dapat dikatakan mereka yang hidup atau tinggal di sepanjang wilayah Indonesia
yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan.
Kemudian, untuk menjadi seorang warga negara yang baik, maka kita harus
memahami konsep kehidupan berwarganegara yang ada di Indonesia. Dalam pendidikan
formal, hal ini dapat kita temukan melalui pendidikan kewarganegaraan. Sehingga,
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah materi pelajaran yang sangat penting
dipelajari dari duduk di bangku sekolah dasar hingga mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi.
Ada dua hal utama yang perlu dipahami dari pendidikan kewarganegaraan ini, yakni
tentang konsepnya dan apa urgensinya. Mengenai konsep pendidikan kewarganegaraan ini,
ada tiga kajian utama, yakni teoritis, yuridis, dan etimologis.
Konsep pendidikan kewarganegaraan menurut kajian etimologis, dapat dianalisis
melalui definisi harfiahnya, pendidikan dan kewarganegaraan. Pendidikan, sebagaimana
dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang definisinya pada pasal 1 ayat 1, yakni
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi yang diperlukannya. Sementara itu menurut KBBI
kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan warga negara, keanggotaan
sebagai warga negara. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Menurut kajian etimologis
Pendidikan kewarganegaraan adalah segala usaha sadar dan terencana dalam menciptakan
suasana belajar untuk mengembangkan peserta didik dalam kedudukannya sebagai warga
negara.
Secara konseptual, kewarganegaraan tidak bisa dilepaskan dengan istilah warga
negara dan juga istilah pendidikan kewarganegaraan. Di Inggris dinyatakan dengan istilah
citizen, citizenship dan citizenship education yang memiliki hubungan seperti pada
pernyataan yang dikemukakan oleh John J. Cogan, & Ray Derricott dalam buku Citizenship
for the 21st Century: An International Perspective on Education (1998), "A citizen was
defined as a ‘constituent member of society’. Citizenship on the other hand, was said to be a
set of characteristics of being a citizen’. And finally, citizenship education the underlying
focal point of a study, was defined as ‘the contribution of education to the development of
those charateristics of a citizen". (Warga negara didefinisikan sebagai ‘anggota konstituen
masyarakat’. Sebaliknya, kewarganegaraan dikatakan sebagai seperangkat ciri-ciri menjadi
warga negara. Dan pendidikan kewarganegaraan yang menjadi titik fokus sebuah penelitian
didefinisikan sebagai ‘kontribusi pendidikan terhadap pengembangan karakteristik warga
negara).

Secara yuridis, istilah dari kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan


dijelaskan pada:
1. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
(Undang-Undang RI No.12 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2)
2. Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Undang-Undang RI No
20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37).

Secara teoritis, konsep PKN menurut M. Nu’man Somantri (2001) yaitu, "Pendidikan
Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang
diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari
pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih
para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam
mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan di mana pun umumnya membentuk warga
negara yang baik (good citizen). Tujuan PKN khususnya pada pendidikan tinggi di Indonesia
adalah membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air, karena PKn mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
PKN menjadi ajaran wajib pada tiap tingkatan pendidikan seperti yang dituangkan pada
hukum di Indonesia, yaitu:

1. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan


kewarganegaraan. (Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal
37 Ayat (1))
2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan kewarganegaraan. Undang-
Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 Ayat (2)
3. Pendidikan Tinggi lebih eksplisit dan tegas dengan menyatakan nama mata kuliah
kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib. (UU No. 12 Tahun 2012)

B. Menanya Alasan Diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan

Setelah menelusuri konsep PKn, tentu akan muncul persoalan dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab lebih lanjut. Pertanyaannya,yaitu:
● Mengapa negara, khususnya Indonesia perlu pendidikan kewarganegaraan?
● Apa dampaknya bagi warga negara yang telah belajar PKn?
● Sejak kapan Indonesia menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan? Apakah
sejak Indonesia merdeka ataukah sebelum proklamasi kemerdekaan?

Perlu dipertanyakan pula,


● Mengapa bangsa Indonesia dan negara umumnya perlu pendidikan kewarganegaraan
● Secara lebih spesifik, perlukah sarjana atau profesional belajar pendidikan
kewarganegaraan
● Untuk apakah sarjana atau profesional belajar pendidikan kewarganegaraan?
Melihat hasil penelusuran konsep dan urgensi pendidikan kewarganegaraan, terkesan PKn
Indonesia banyak dipengaruhi pendidikan kewarganegaraan dalam tradisi Barat.
● Apakah benar demikian?
● Apakah keberadaan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia karena mencontoh
negara lain yang sudah lebih dahulu menyelenggarakan?
● Adakah model pendidikan kewarganegaraan yang asli Indonesia?
● Bagaimana model yang dapat dikembangkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dirangkum dalam tiga pertanyaan, yaitu:
1) Apakah sumber historis PKn di Indonesia?;
2) Apakah sumber sosiologis PKn di Indonesia?; dan
3) Apakah sumber politis PKn di Indonesia?

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan


Kewarganegaraan di Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan diatas, marilah kita kaji satu-satu dimulai dari sumber
historis. Istilah PKN mengalami perubahan nama beberapa kali. Pada kurikulum 1975, PKN
dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi
generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Saat ini,
sesuai dengan Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan di tingkat dasar dan menengah
disebut PPKn, sedangkan di perguruan tinggi diselenggarakan sebagai mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Secara historis, pendidikan kewarganegaraan telah memiliki akar yang dalam dalam
perjalanan bangsa Indonesia, dimulai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Peristiwa
penting dalam sejarah kebangsaan, seperti berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada tahun
1908, diakui sebagai tonggak kebangkitan nasional, menandai awal munculnya kesadaran
kebangsaan di kalangan masyarakat Indonesia. Organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan
yang tumbuh setelahnya, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Party, PSII, PKI,
dan NU, berjuang untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Pada tahun 1928,
deklarasi pemuda dari berbagai wilayah Nusantara menegaskan identitas bangsa Indonesia
yang ingin merdeka, bertanah air, dan bersatu dalam bahasa Indonesia.
Di era 1930-an, organisasi-organisasi kebangsaan tumbuh dengan pesat, baik yang
beroperasi secara terang-terangan maupun diam-diam, dengan tujuan memperkuat rasa
kebangsaan dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Harapan akan sebuah Indonesia
merdeka yang mandiri dari penjajahan dan ketergantungan asing menjadi cita-cita utama,
yang diperjuangkan oleh para Pendiri Negara-Bangsa seperti Soekarno dan Hatta. Pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia akhirnya meraih kemerdekaan setelah melalui
perjuangan yang panjang dan pengorbanan besar. Namun, tantangan tidak berakhir di sana,
karena Indonesia masih harus melawan penolakan penjajah yang enggan mengakui
kemerdekaannya. Oleh karena itu, periode pasca-kemerdekaan Indonesia, mulai tahun 1945
hingga saat ini, diwarnai dengan upaya berkelanjutan untuk mempertahankan kemerdekaan
melalui berbagai cara, baik secara fisik maupun diplomatis.
Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk
menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai. "Dari penyataan
tersebut kita bisa lihat bahwa proses perjuangan untuk menjaga eksistensi negara-bangsa,
mencapai tujuan nasional sesuai cita-cita para pendiri negara-bangsa , belumlah selesai
bahkan masih panjang.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga
negara yang dapat memelihara semangat perjuangan kemerdekaan, rasa kebangsaan, dan
cinta tanah air. PKn pada saat permulaan atau di awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan
pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negara- bangsa.
Dalam pidato-pidatonya, Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat untuk
mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai dan menduduki Indonesia yang telah
dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para pejuang,
serta kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air
termasuk ke dalam pembelajaran PKn dalam dimensi sosial kultural. PKn dalam dimensi
sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa untuk menjaga,
memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa.
Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum
dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang
berjudul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia yang disusun bersama oleh Mr. Soepardo,
Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T.
Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Prijono , dalam sambutannya menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden
kembali kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan pendidikan nasional.
Lalu Tim Penulis diberi tugas untuk membuat buku pedoman mengenai kewajiban dan hak
warga negara Indonesia serta sejarah sebab dan tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Menurut Prijono, buku Manusia dan Masyarakat Indonesia Baru identik dengan
istilah “Staatsburgerkunde”(Jerman), “Civics”(inggris), atau “Kewarganegaraan”(Indonesia).
Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah
dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat di identifikasi kan
dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai dikenal istilah: Pada
masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara
pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak
membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan
yang terutama diarahkan untuk "nation and character building" bangsa Indonesia. "Kelompok
Pembinaan Jiwa Pancasila ialah Kelompok segi pendidikan yang terutama ditujukan kepada
pembentukan mental dan moral Pancasila serta pengembangan manusia yang sehat dan kuat
fisiknya dalam rangka pembinaan Bangsa. Olahraga yang berfungsi sebagai pembentuk
manusia Indonesia yang sehat rohani dan jasmaninya diberikan secara teratur semenjak anak-
anak menduduki bangku sekolah
Dalam kurikulum 1968 untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA), mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara adalah mata pelajaran wajib yang termasuk dalam kelompok
pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, Pendidikan Olahraga. Mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara di SMA memiliki tiga inti, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
ketetapan-ketetapan MPRS 1966, dan yang terakhir pengetahuan umum tentang PBB.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara adalah pendekatan korelasi, artinya mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah Indonesia, Ilmu
Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan juga Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara dapat lebih bermakna.
Kurikulum tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Tahun
1975. Nama mata pelajaran yang semula Pendidikan Kewargaan negara berubah menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dengan kajian materi secara khusus yakni menyangkut
Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan
ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi
dan Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk
manusia Pancasilais. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4
bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (Depdikbud) mengeluarkan Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral
Pancasila (Depdikbud, 1982).
Depdikbud menjelaskan bahwa P4 merupakan sumber dan tempat berpijak, baik isi
maupun cara evaluasi mata pelajaran PMP melalui pembaruan kurikulum 1975, selain itu
buku Pedoman Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan Masyarakat Baru
lndonesia (Civics) dinyatakan tidak berlaku lagi, dan yang terakhir P4 tidak hanya
diberlakukan untuk sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya melalui
berbagai penataran P4.
Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat,
kurikulum kembali mengalami perubahan, yang semula kurikulum 1975 menjadi Kurikulum
1994. Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang didasarkan pada ketentuan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada
ayat 2 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama. dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan kembali mengalami perubahan. Mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata
pelajaran PPKn (2013).

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pendidikan


Kewarganegaraan

Dinamika dan tantangan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Indonesia sangat


tinggi, terutama terkait dengan produk kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan
kurikulum. Hal ini disebabkan oleh ontologi PKn yang menekankan sikap dan perilaku warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Status beragam warga
negara, mulai dari pejabat negara hingga rakyat biasa, menimbulkan dinamika dalam sikap
dan perilaku mereka. Oleh karena itu, mata kuliah PKn harus selalu menyesuaikan diri
dengan dinamika tersebut.
Dari hubungan antara dinamika dan tantangan PKn dengan periodisasi pelaksanaan
Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi, Aristoteles menyatakan bahwa setiap
konstitusi memiliki persyaratan untuk warga negara yang baik, karena setiap konstitusi
menentukan profil warga negara yang berbeda. Oleh karena itu, model pendidikan
kewarganegaraan perlu disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku untuk memenuhi kriteria
warga negara yang diinginkan.
Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berdasarkan konstitusi negara, tetapi juga
harus memperhatikan tuntutan perkembangan zaman dan masa depan. Fokusnya termasuk
isu-isu seperti HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup. Terutama bagi mahasiswa sebagai
warga negara muda perlu memiliki pemahaman, kesadaran, dan partisipasi terhadap dinamika
perubahan dalam masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan juga perlu memperhatikan
kondisi masyarakat serta dinamika perubahan dalam perkembangan IPTEK yang
mempengaruhi bidang tersebut. Kini era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi
mempercepat perubahan dalam perilaku warga negara, baik positif maupun negatif. Oleh
karena itu, kurikulum pendidikan kewarganegaraan harus terus disesuaikan dengan
perkembangan IPTEK untuk mendorong pemanfaatan pengaruh positif dan intervensi
terhadap perilaku negatif warga negara.

E. Esensi dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan untuk Masa Depan

Pada tahun 2045, bangsa Indonesia akan memperingati 100 Tahun Indonesia
merdeka. Berdasarkan hasil analisis ahli ekonomi yang diterbitkan oleh Kemendikbud (2013)
bangsa Indonesia akan mendapat bonus demografi (demographic bonus) sebagai modal
Indonesia pada tahun 2045. Banus demografi adalah keadaan dimana negara Indonesia pada
tahun 2030- 2045 akan mempunyai usia produktif (15-64 tahun) yang berlimpah dan jauh
lebih banyak dari usia non produktif. Bonus demografi ini adalah peluang yang harus
ditangkap dan bangsa Indonesia perlu mempersiapkan untuk mewujudkannya. Usia produktif
akan mampu berproduksi secara optimal apabila dipersiapkan dengan baik dan benar,
tentunya cara yang paling strategis adalah melalui pendidikan, termasuk pendidikan
kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang sangat penting dalam
mendidik karakter bangsa Indonesia untuk menjadi warga Negara Indonesia yang kritis, aktif,
demokratis dan beradab dimana mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara serta kesiapan mereka menjadi bagian dari warga negara dunia
(global society) di era modern saat ini.
Di era ini, ilmu pengetahuan dan teknologi bersaing, pendidikan nilai melalui
pendidikan kewarganegaraan sangat diperlukan untuk menghindari kekacauan krisis
multifaset. Masyarakat khususnya generasi muda memiliki kematangan moral dan
intelektual, kecerdasan intelektual untuk mengkritisi berbagai wacana pemikiran yang terjadi
di ruang publik, dan kemampuan untuk hidup secara kooperatif dan kompetitif berdasarkan
struktur sosial yang harmonis. dan kedewasaan rohani sebagai perwujudan yang transenden.
Ikatannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kematangan ini harus dilatih, dididik dan dididik
melalui pendidikan kewarganegaraan dengan menggunakan pendekatan pendidikan berbasis
nilai (Ine Kusuma & Markum Susatim, 2010).
Sedangkan esensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah pembentuka watak
masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan sangat penting untuk mendekatkan individu pada
nilai, peran, institusi, aturan, dan segala sesuatu yang menyangkut masyarakat dan bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membantu generasi muda menjadi individu
yang berbudi luhur, bertanggung jawab dan bermoral serta warga negara yang baik.
Nasib sebuah bangsa tidak ditentukan oleh bangsa lain, melainkan sangat tergantung
pada kemampuan bangsa sendiri. Apakah Indonesia akan berjaya menjadi negara yang adil
dan makmur di masa depan? Indonesia akan menjadi bangsa yang bermartabat dan dihormati
oleh bangsa lain? Semuanya sangat tergantung kepada bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai