Anda di halaman 1dari 40

TINJAUAN YURIDIS PERMOHONAN PENGHAPUSAN EXECUTIVE

REVIEW OLEH GUBERNUR TERHADAP PERATURAN DAERAH


BERDASARKAN PASAL 24 AYAT 1 UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 137/PUU/XIII/2015)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

RAJIB
NIM: 181010200971

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat tuhan yang maha esa disertai berkat
karunianya allhamdulilah penulis dapat menyelesaikan sebuah proposal skripsi
yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERMOHONAN PENGHAPUSAN
EXECUTIVE REVIEW OLEH GUBERNUR TERHADAP PERATURAN
DAERAH BERDASARKAN PASAL 24 AYAT 1 UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 137/PUU/XII/2015).” Adapun proposal skripsi
ini dibuat untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Pamulang Tangerang Selatan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum baik dan
jauh dari kata sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan akan pengetahua n
yang penulis miliki. meskipun demikian penulis berusaha sebaik mungkin agar
dalam penulisan ini berhasil dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadika n
acuan dalam proses guna mencapai gelar Sarjana Hukum Universitas Pamulang
Tangerang Selatan.

Dan pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakas ih
atas dukungan support arahan serta masukan kepada :
1. Bapak Dr. (HC) H. Darsono selaku Ketua Yayasan Sasmita Jaya.
2. Bapak Dr. E. Nurzaman AM, M.M., M.Si. Selaku Rektor Universita s
Pamulang Tangerang Selatan-Banten.
3. Bapak Dr. Oksidelfa Yanto, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pamulang.
4. Bapak Dr. Taufik Kurrohman, S.H.I., M.H. selaku Ketua Program Studi
Fakultas Hukum Universitas Pamulang.
5. Ibu Fenny Wulandari, S.H., M.H. Selaku Dosen Pengampu Mata kuliah
Penulisan Skripsi, yang dengan arahan dan kesabaran beliau dalam
mengarahkan sehingga peneliti mampu menyelesaikan proposal skripsi.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang.

ii
7. Orang tua dan kedua adik saya, yang tercinta dan yang saya sayangi yang
telah membantu dan mendorong sehingga terselesaikannya proposal skripsi
ini.
8. Teman teman mahasiswa fakultas Hukum Universitas Pamulang.
Demikian ucapan terimakasih ini, semoga Allah SWT, memberikan pahala
Dan balasan atas semua jasa-jasa mereka, penulis juga menyadari bahwa proposal
skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diperlukan demi menyempurnakan proposal skripsi ini.

Tangerang Selatan, 12 September 2021


Penyusun

Rajib

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6
D. Manfaat penelitian ........................................................................................... 7
E. Kerangka Teori................................................................................................ 7
F. Orisinalitas Penelitian .................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan..................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Yuridis Permohonan ........................................................................ 16
B. Tinjauan Terhadap Executive Review ............................................................. 19
C. Tinjauan Terhadap Pemerintah Daerah ............................................................ 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................................................. 29
B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................................... 29
C. Lokasi Penelitian ........................................................................................... 30
D. Sumber Data.................................................................................................. 31
E. Teknik Pengambilan Data............................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 34

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Van Apeldoorn mengemukakan pendapatnya mengenai negara adalah

“penguasa” untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakuka n

kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu

daerah,1 dalam hal ini pembentukan negara tidak lepas dari unsur- unsur untuk

berdirinya suatu negara, dimana Pasal 1 montevideo (pan american) convention

on rights and duties of states of 1993 unsur-unsur negara ditentukan berupa,

harus ada penghuni, harus ada wilayah, harus ada kekuasaan tertinggi, serta

kesanggupannya untuk berhubungan dengan negara-negara lain.2 dalam hal ini

negara Indonesia yang sudah memenuhi unsur yang dibutuhkan dan sudah

menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945 dengan memiliki tujuan dan cita-

cita sebagaimana dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 yang selanjutnya dalam proposal ini ditulis UUD 1945,

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

merupakan sebuah tujuan dan cita-cita yang luhur dari bangsa Indonesia,

sedangkan didalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan negara Indonesia adalah

negara hukum. Dan Hukum itu sendiri dalam artian penguasa ialah perangkat-

perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan-badan

1 Lintje Anna Marpaung, Ilmu Negara, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2018, Hlm, 5
2 Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1960, Hlm 2
1
2

yang berwenang untuk membentuk berbagai peraturan tertulis (Undang-

Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden,

Peraturan Daerah Provinsi Dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota). 3 Dan fungs i

Hukum itu sendiri secara garis besar berfungsi sebagai alat ketertiban

masyarakat, sebagai sarana dan prasarana mewujudkan keadilan sosial lahir

batin serta sebagai sarana penggerak pembangunan. 4

Dalam perkembangannya kekuasaan di Indonesia sendiri terbilang baru,

terhitung sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara

yang berdasarkan Hukum. Negara Indonesia sendiri dalam menjalanka n

pemerintahannya membagi kekuasaan pada Lembaga-lembaga tertentu,

dikarenakan trauma panjang akan otoritarianisme dan absolutis me

menyebabkan model pembagian kekuasaan pada kelembagaan negara baru

terjadi saat reformasi nasional sejak tahun 1998 yang kemudian diikuti dengan

perubahan sistem pemerintahan sehingga memunculkan Lembaga-lemb a ga

baru dalam tatanan pemerintah itu sendiri, dalam hal ini dikenal dengan

Separation of power yang membagi kekuasaan berdasarkan fungsi, di dalam

sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 membagi

lembaga Legislatif terdiri dari MPR, DPR dan DPD, sedangkan Eksekutif yang

terdiri dari Presiden, dan Yudikatif terdiri dari MA,MK,dan KY. 5 Yang jika

difungsikan dalam kekuasaannya, Legislatif berfungsi untuk membentuk

3 Agus sudaryanto, pengantar ilmu Hukum, setara press, malang, 2015 hlm.14
4 Ibid, hal, 14
5 Umboh, Christiani Junita. "Penerapan Konsep Trias Politica Dalam Sistem

Pemerintahan Republik Indonesia." Lex Administratum 8.1, 2020.


3

Undang-Undang, sedangkan Eksekutif yang menjalankan dan Yudikatif

berfungsi sebagai pengawal atau sebagai Lembaga ketatanegaraan yang

berkuasa untuk menguji produk Hukum oleh lembaga peradilan atau judicia l

review, dan perubahan lainnya yaitu lahirnya pengaturan tentang hak asasi

manusia dan otonomi daerah.6

Yang mana otonomi daerah merupakan esensi dari pemerintahan dengan

sistem desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu autos

(sendiri), nomos (undang-undang),7 Hak melakukan pemerintahan sendiri

sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan tidak lain berarti

otonomi, yaitu hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, 8 Pengertian

otonomi dapat dilihat dalam UU No 23 tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) yang

menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, 9

adapun pelimpahan sebagian kekuasaan yang dimilik i pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah, dilakukan oleh tiap-tiap pemerintahan daerah merupakan

kepanjangan dari pemerintah pusat itu sendiri, sehingga pemerintah daerah

dalam menjalankan fungsi pemerintahannya memiliki kekuasan, dalam

menjaga, mengatur dan melakukan kegiatan pemerintahan sebagaima na

6 Dian Aries Mujiburohman, “Pengantar Hukum Tata Negara”, STTPN Press, Yogyakarta,
2017, hlm. 28
7 Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta, Jala Permata

Aksara, hlm. 34
8 Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Radja

Grafindo Persada, hlm. 307


9 Sri Kusriyah, Politik Hukum Desentralisasi & Otonomi Daerah Dalam Perspektif Negara

Kesatuan Republik Indonesia, UNISSULA PRESS Semarang, cet-1, 2019 hal. 28


4

mestinya, dan pemerintah daerah sendiri melalui Otonomi daerah diberikan

Kewenangan otonomi luas dalam penjelasan umum disebutkan keleluasaa n

daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan

semua bidang kecuali kewenangan yang telah ditentukan oleh Undang-

Undang,10 sehingga dalam hal ini pemerintahan memiliki kekuasaan untuk

menciptakan atau membuat Peraturan Daerah.

Peraturan daerah sendiri merupakan instrumen penyelenggara a n

pemerintahan daerah yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dan pemerintah daerah.11 dan Peraturan daerah tersebut merupakan hak

yang diberikan pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah, dengan

maksud pemerintah daerah bersama lembaga terkait melakukan upaya-upaya

yang dibutuhkan daerahnya berkenaan dengan aspirasi dari masyarakat di

daerahnya sendiri, peraturan daerah sendiri merupakan salah satu kewenangan

yang penting dari suatu daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri yaitu kewenangan untuk menetapkan peraturan daerahnya

tersebut, Hak untuk menetapkan peraturan daerah tersebut dinamakan hak

legislatif.12 Dan berdasarkan kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya

ketidaksesuaian atau bertabrakannya peraturan daerah tingkat provinsi maupun

tingkat kota, yang mana harus dibuat mekanisme penyelesaiannya.

Disinilah keberadaan Lembaga judicial diperlukan, Berdasarkan UUD

1945 BAB IX Kekuasaan Ke-Hakiman Pasal 24 A ayat (1) menyebutka n

10 Ibid,
hal 40
11 Lasatu, Asri. "Urgensi Peraturan Daerah Tentang Program Pembentukan Peraturan
Daerah Terhadap Kinerja DPRD." Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
12 Irwanto, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, 1989, Cet-2, Hlm. 1
5

bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-

Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Dasar. Namun hal lain diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun

2014 Pasal 251 yang mana secara eksplisit memberikan kewenangan bagi

Gubernur secara berjenjang untuk membatalkan peraturan daerah melalui surat

keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, sedangkan kewenangan

Mahkamah Agung sebagaimana di sebutkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945

merupakan ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kekuasaan

yang di amanatkan kepada Mahkamah Agung, sebagai Lembaga yang

merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakan Hukum dan

keadilan, sehingga jika dilakukannya pelaksanaan sebagaimana dalam

Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 Pasal 251 ayat (2) dan (3) maka akan

timbulnya dualisme putusan dalam upaya penegakan Hukum dan terjadinya

kekeliruan dan ketidak pastian Hukum yang diakibatkan lahirnya keputusan

dari Lembaga yang berbeda.

Dari uraian tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji

masalah tersebut serta mengangkat kasus ini ke dalam penelitian dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS PERMOHONAN PENGHAPUSAN

EXECUTIVE REVIEW OLEH GUBERNUR TERHADAP PERATURAN

DAERAH BERDASARKAN PASAL 24 AYAT 1 UNDANG-UNDANG

DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 (Analisis Putusan


6

Mahkamah Konstitusi Nomor :137/PUU/XIII/2015)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini secara singkat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Akibat hukum penghapusan executive review oleh Gubernur

terhadap peraturan daerah berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Undang-Unda ng

Dasar Negara Republik Indonesia 1945?

2. Bagaimana analisa putusan penghapusan executive review oleh Gubernur

terhadap peraturan daerah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

:137/PUU/XIII/2015?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini secara

singkat adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Akibat hukum penghapusan executive review oleh

Gubernur terhadap peraturan daerah berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2. Untuk mengetahui analisa putusan penghapusan executive review oleh

Gubernur terhadap peraturan daerah pada putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor :137/PUU/XIII/2015.
7

D. Manfaat penelitian

Diharapkan juga hasil penelitian ini mempunyai manfaat secara teoritis

dan praktis sebagai berikut:

1. Meningkatkan pengetahuan dan manfaat mengenai peninjauan pembatalan

kewenangan Gubernur dalam mencabut peraturan daerah satu tingkat di

bawahnya yang dilakukan oleh Mahkamah konstitusi.

2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan teori dan

praktek Hukum dalam korelasinya dengan peraturan perundang-undanga n

dan dalam putusan Hakim.

3. Memberikan hasil penelitian ini sebagai bagian dari kontribusi dalam

keilmuan ketatanegaraan mengenai kedudukan eksistensi kewenangan

Gubernur dalam mencabut peraturan daerah satu tingkat di bawahnya.

4. Menjadikan sebagai bahan penelitian terkait para pihak yang ingin

melakukan penelitian terhadap pembatalan kewenangan executive review

yang dilakukan oleh Gubernur yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi.

E. Kerangka Teori

1. Teori pemisahan kekuasaan

Teori pemisahan kekuasaan pertama kali dipopulerkan secara

ilmiah oleh John Locke seorang filsuf yang berkebangsaan Inggris (1632-

1704) dalam bukunya Two Treatises of Government, yang terbit tahun

1690. John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah Negara menjadi tiga

yaitu: pertama, kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (Legislatif),


8

kedua, kekuasaan dalam melaksanakan Undang-Undang (Eksekutif), dan

ketiga, kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai, membuat

perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan

badan badan di luar negara (federatif).13 Sedangkan Montesquieu dalam

bukunya berjudul De L’Esprit des lois terbit tahun 1748, mengemukaka n

teori pemisahan kekuasaan negara. yang mana Montesquieu menyatakan

bahwa kekuasaan dalam negara harus dipisahkan dalam tiga kekuasaan,

yaitu: pertama, kekuasaan Legislatif (la puissance legislative) yang

membentuk Undang-Undang, kedua, kekuasaan Eksekutif (la puissance

executive) yang melaksanakan Undang-Undang, dan ketiga, kekuasaan

Yudikatif (la puissance de juger), yang menjalankan kekuasaan

kehakiman,14 sedangkan Menurut Miriam Budiardjo adalah kekuasaan

negara terdiri dari tiga macam kekuasaan, Pertama kekuasaan

Legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (dalam

peristilahan baru sering disebut rule making function). Kedua kekuasaan

Eksekutif atau kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang (dalam

peristilahan baru sering disebut rule application function). Ketiga

kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggara n

Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule

adjudication function).15 Menjadikan teori pembagian kekuasaan atau

13 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta, Aksara Baru, 1982, hlm. 1-2
14 Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi Dan Kekuasaan KeHakiman Yang
Independen Menurut Islam, Jurnal Selat,2016
15 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2003, hal, 151


9

lebih dikenal dengan trias politica bertujuan untuk menciptakan prinsip

check and balances atau keseimbangan antara lembaga negara,

sehingga dengan prinsip ini dapat mencegah terjadinya proses

impeachment (pemakzulan) Presiden sebagai pemegang kekuasaan

Eksekutif yang diawali oleh mosi tidak percaya dari lembaga Legisla tif.

Prinsip dalam pembagian kekuasaan yang merupakan konsistensi dari

penerapan prinsip Negara Hukum Indonesia diatur sepenuhnya dalam

UUD 1945. Sedangkan penerapan pemisahan kekuasaan dipakai dalam

konteks pemisahan kekuasaan di pemerintah federal, yaitu antara legisla tif,

eksekutif dan yudikatif.16 Sedangkan Penerapan pembagian kekuasaan di

Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu pembagian kekuasaan secara

horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal. Pada pembagian

kekuasaan secara horizontal yaitu membagi kekuasaan menurut fungs i

lembaga-lembaga tertentu (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif), yang

meliputi kekuasaan konstitutif, kekuasaan Eksekutif, kekuasaan Legisla tif,

kekuasaan Yudikatif atau disebut kekuasaan kehakiman, Kekuasaan

eksaminatif/inspektif, dan Kekuasaan moneter. Sedangkan pembagian

kekuasaan secara vertikal merupakan pembagian kekuasaan menurut

tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan

pemerintahan,17 yang dimaksud dengan kekuasan vertikal yakni

pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk membedakan kekuasaan

16 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II Konstitusi Press, Jakarta
hlm. 19
17 Marlina, Rika. "Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di

Indonesia" Jurnal Daulat Hukum 1.1, 2018. hal 173-174


10

atasan dan kekuasaan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerinta h

federal dan pemerintah negara bagian dalam negara federal (federal state)

atau pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan

(Unitary state).18 Dan lingkup kekuasaan vertikal sebagaimana Pasal 18

ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan, bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi atas daerah-daerah provinsi,

dan daerah provinsi itu terbagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang

diatur didalam Undang-Undang. Sehingga menjadikannya pada negara

Indonesia yang berbentuk kesatuan dalam pembagian kekuasaan secara

vertikal menurut Mahfud MD disebut dengan istilah pemencaran

kekuasaan secara vertikal yang melahirkan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisas i. 19

Desentralisasi sendiri merupakan prinsip pendelegasian wewenang dari

pusat ke bagian-bagiannya. Prinsip ini mengacu pada fakta adanya span of

control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggaraka n

secara bersama-sama,20 dan pada Desentralisasi memberikan gambaran

terhadap pengalihan tugas operasional ke pemerintahan lokal, dan

menunjukan pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan

keputusan kepada pemerintahan yang tingkatannya lebih rendah.

Dekonsentrasi sendiri merupakan pelimpahan wewenang dari pemerinta h

18 Jimly Assiddiqie. Pengantar Hukum tata negara, op.cit. hlm. 20


19 Moh Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik Dan Hukum di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, hlm.186.
20 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta hal.45
11

pusat atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya

kepada pejabat-pejabat di daerah,21 sehingga Dalam konteks pembagian

kekuasaan Indonesia memilih bentuk negara kesatuan yang di dalamnya

terselenggara mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembang

keragaman antar daerah di seluruh tanah air. 22 dengan maksud Negara

kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi

yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai

dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya

dengan dorongan dan bantuan yang diberikan Pemerintah Pusat. 23

F. Orisinalitas Penelitian

1. Skripsi Muhamad Nurhasan, Fakultas Syariah dan Hukum Universita s

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018 yang berjudul

“Kewenangan Pada Kementerian Dalam Negeri”, yang mana penelitia n

tersebut memiliki keterkaitan yang diteliti oleh peneliti dengan hasil

penelitian tersebut menguraikan Pertimbangan Hakim pada Putusan

Mahkamah Konstitusi yang mana terdapat inkonsistensi, dan mahkama h

menyatakan bahwa Keputusan Kepala Daerah bukan bagian dari jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan padahal Peraturan Kepala Daerah

dikenal 2 (dua) istilah yakni sebagai peraturan kepala Daerah dan

21 AW Widjaja, Titik Berat Otonomi Daerah, Pada Daerah Tingkat II, Raja Grafindo,
Jakarta, hlm.13
22 Sri Kusriyah, Politik Hukum Desentralisasi & Otonomi Daerah Dalam Perspektif

Negara Kesatuan Republik Indonesia, Op. Cit hal.14


23 Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusamedia, hlm 47
12

Keputusan Kepala Daerah. Kemudian eksistensi atau keberadaan

Peraturan Kepala Daerah itu sendiri masih menjadi masalah konstitusio na l

hal ini dikarenakan Peraturan Kepala Daerah sebagai produk hukum yang

berada dibawah undang-undang yang mestinya pengujiannya dilakukan

oleh Mahkamah Agung tetapi masih dapat diuji oleh mekanisme executive

review. Perbedaan dalam penelitian ini selain telah diputuskan terkait

executive review, adanya indikasi hal serupa yang hendak peneliti kaitkan

dengan penelitian yang diangkat.

2. Jurnal Universitas Halu Oleo berjudul “Analisis Hukum Pembatalan

Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan Keputusan

Gubernur ” ditulis oleh Usman Sulaeman, Muhammad Jufri Dewa,

Muhammad Sabaruddin Sinapoy yang dimana jurnal ini membahas

mengenai Pembatalan Peraturan Kepala Daerah melalui Keputusan

Gubernur, dimana Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di

daerah diberikan wewenang pengawasan terhadap pelaksanaan

pemerintahan daerah kabupaten/kota, termasuk di dalamnya melakuka n

kajian terhadap peraturan kepala daerah (executive review) yang dapat

berujung pada pembatalan peraturan kepala daerah dengan keputusan

gubernur. Perbedaan pada penelitian ini mengenai bahwa pemerinta h

daerah terbukti inkonstitusional sehingga legalitas hukum keberlakuan

peraturan kepala daerah hanya sebatas jika pemerintah kabupaten/kota

tidak mencabut maka melalui surat keputusan kepala daerah yang


13

membatalkan. sehingga selama belum ada pencabutan, maka peraturan

dimaksud tetap ada tetapi tidak dapat dilaksanakan.

3. Jurnal Universitas Semarang berjudul “Tinjauan terhadap pertimbangan

hukum dalam pembatalan kewenangan Menteri dan Gubernur di

daerah berkaitan dengan pada putusan no. 137/PUU-XIII/2015 dan No.

56/PUU-XIV/2016” ditulis oleh Rio Dwi Nugroho, Gatot Dwi Hendro

Wibowo, Chrisdianto Eko Purnomo yang menerangkan penghapusa n

kewenangan Pemerintah Pusat terkait dengan pembatalan Perda melalui

mekanisme executive review sebagaimana tertuang di dalam Pasal 251 UU

No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Yang mana pasal

tersebut telah mengabaikan konvensi ketatanegaraan selama ini mengena i

kewenangan executive review terhadap Perda yang dilakukan Pemerinta h

Pusat serta tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk membedakan

kewenangan executive review terhadap Perda dengan executive review

terhadap Perkada. perbedaaan dalam penelitian ini berupa menjelaska n

kewenangan judicial review ini merupakan kewenangan Lembaga judicia l

yang berwenang menjadikan kewenangan MA dalam memutus suatu perda

bukan lah sebuah kekeliruan.


14

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS

PERMOHONAN PENGHAPUSAN EXECUTIVE REVIEW OLEH

GUBERNUR TERHADAP PERATURAN DAERAH BERDASARKAN

PASAL 24 AYAT 1 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA 1945 (analisis putusan mahkamah konstitusi nomor

:137/puu/xiii/2015)”, sistematika penulisan yang digunakan dibagi dalam

beberapa bab yang masing- masing bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, orisinalitas

penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini memuat mengenai tinjauan yuridis permohonan dan

dasar Hukum executive review dan kedudukan pemerintah daerah,

dan kewenangan pemerintah daerah dalam lingkup tinjauan yurid is

gubernur.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai kaidah atau cara-cara yang

digunakan peneliti dalam memperoleh jawaban yang akurasi atas

permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERMOHONAN PENGHAPUSAN

EXECUTIVE REVIEW OLEH GUBERNUR TERHADAP


15

PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PASAL 24 AYAT

1 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA 1945 (analisis putusan mahkamah konstitusi

nomor :137/puu/xiii/2015)”.

Dalam bab ini mengenai uraian tentang tinjauan yuridis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU/XII/2015, mengena i

kewenangan executive review Gubernur yang bertentangan dengan

berdasarkan pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945, kemudian pertimbangan Hakim

Konstitusi dan analisis putusan terkait eksistensi kewenangan

Kepala Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

137/PUU/XII/2015.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini berisi hasil dari pembahasan masalah berupa

kesimpulan dan saran atas penulisan penelitian ini yang dilengkap i

dengan daftar pustaka sebagai daftar tabulasi dari semua sumber

rujukan yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Yuridis Permohonan

Tinjauan Yuridis merupakan berasal dari dua kata yang berbeda yakni

tinjauan dan yuridis dimana tinjauan yang dimaksud KBBI adalah pandangan

atau pendapat akan sesuatu hal, sedangkan pada yuridis dimaksud KBBI adalah

menurut hukum atau secara hukum sedangkan pandangan yang dimaksud

peneliti mengenai yuridis adalah pandangan yang mengacu pada hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku,24 sehingga di dapati bahwa

tinjauan yuridis adalah pendapat akan suatu hukum yang mengacu pada hukum

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tinjauan yuridis yang dilakukan peneliti terkait peruntukannya terhadap

gubernur yang di perbolehkan mencabut peraturan daerah yang ada dibawahnya

merupakan inkonstitusional yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 dalam Pasal 20 ayat (2) dinyatakan, “Mahkamah

Agung berwenang: b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang”. Serta di dalam Penjelasan Pasal 20

ayat (2) ini menyatakan,

“Ketentuan ini mengatur mengenai hak uji Mahkamah Agung terhadap


peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak
uji dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan”.
24 Pratiwi, Epita, Nanik Trihastuti, and F. X. Samekto. Faktor-Faktor Yuridis Yang

Menghambat Implementasi Proyek Reducing Emissions From Deforestation And Forest


Degradation Plus (Redd+) Di Indonesia. Diss. Universitas Diponegoro, 2018.
17

Sehingga jika kewenangan Gubernur dalam mencabut peraturan daerah

menggunakan surat keputusan akan menggangu roh utama negara hukum

sebagaimana dijelaskan pula dalam berbagai teori pemisahan kekuasaan yang

berujung pada pentingnya mekanisme saling mengawasi dan mengimba ngi

(checks and balances). Sehingga Nampak dengan nyata bahwa mekanis me

judicial review sudah ada pada UUD 1945.

Sedangkan terhadap Permohonan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia berasal dari suku kata “per.mo.hon.an” yang berarti permintaa n

kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya dan sebagainya, dari penulis

sendiri berpendapat bahwa permohonan adalah untuk suatu tindakan yang

ditujukan kepada suatu pihak atau Lembaga atau mendapatkan sesuatu yang

diinginkan. Dan permohonan dalam peradilan menjadikan seolah-olah bahwa

perkara yang dimaksud bersifat satu pihak (ex parte atau voluntair), istila h

permohonan digunakan karena memuat nuansa kepentingan umum yang

dominan dalam setiap perkara yang diajukannya khususnya Lembaga peradilan.

Permohonan ini hanya berlaku kepada para pihak yang ingin memintakan suatu

dari beberapa kewenangan, dalam hal ini kewenangan yang dimaksud dimilik i

oleh Lembaga Mahkamah Konstitusi, walaupun perkara yang diajukan oleh

perorangan/individu warga negara, namun putusannya berlaku umum dan

memliki kekuatan untuk mempengaruhi hukum serta ketatanegaraan.

Sedangkan antara Permohonan dengan Gugatan memiliki porsi yang berbeda

dimana pada saat wewenang Mahkamah Konstitusi masih dilakukan oleh MA,

sebelum terbentuknya Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang kini telah


18

mengalami perubahan keempat UUD 1945, terhadap dua istilah permohonan

dengan gugatan memiliki perbedaan yang digunakan masing masing lembaga,

yaitu permohonan digunakan dalam peradilan yang digunakan oleh Mahkamah

Konstitusi dan gugatan digunakan oleh Mahkamah Agung. Dimana diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata

Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah

Agung menggunakan istilah permohonan untuk perkara (1) pengujian undang-

undang; (2) sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan (3) memutus pendapat DPR tentang

dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden sedangkan Dalam hukum acara perdata yang menajadi

Objek kewenangan Mahkamah Agung terdapat penggugat dan tergugat karena

sifat perkara hukum yang diadili para pihak yang saling berhadapan

(contentieus rechtspraak) atau dipertemukan. Di dalam peradilan pengujia n

Undang-Undang hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah

Kontitusi didapati bahwa tidak adanya pihak yang saling berhadapan. Karnanya

Keberadaan pembentukan UU (Presiden dan DPR) dalam persidangan tersebut

adalah sebagai pihak terkait yang dapat dimintakan keterangan, bukan sebagai

termohon yang berhadapan dengan pemohon. diatur dalam UUD 1945. Istilah

gugatan pada Mahkamah Konstitusi digunakan dalam perkara perselisihan hasil

pemilihan umum dan pembubaran partai politik. Akan tetapi sejak adanya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 istilah yang digunakan untuk semua


19

perkara pada Mahkamah Konstitusi disamakan yakni sebagai permohonan.

Permohonan dalam Hukum acara Mahkamah Konstitusi sendiri diajukan secara

tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada

Mahkamah Konstitusi. Dan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang

mendukung permohonan dimaksud, walaupun tidak menutup kemungkina n

pemohon atau pihak terkait nantinya mengajukan bukti tambahan dalam proses

persidangan. Disebutkan juga dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003

permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon;

b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan

perkara yang dimohonkan; c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

B. Tinjauan Terhadap Executive Review

Didalam pengujian sebuah peraturan perundang- undangan yang

dilakukan oleh Lembaga executive maka akan disebut dengan executive review

yang maksudnya ialah membatalkan suatu Peraturan Daerah karena Peraturan

Daerah tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaa n, 25

pembatalan produk hukum tersebut dapat dilakukan oleh lembaga

pembentuknya (kontrol internal), segala bentuk produk hukum yang dibuat oleh

pihak executive diujikan kembali oleh executive baik kelembagaan dan

kewenangan yang bersifat hierarkis, kontrol internal tersebut dapat dilakukan

25 Ridwan, Syarif. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Menurut Undang –Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan. Diss. Universitas Andalas, 2017
20

oleh lembaga yang membentuk produk hukum tersebut, ketentuan ini

didasarkan pada Bab VI Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan, “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-

undang”. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan, “Pemerintah daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” dalam rangka

mempermudah pelayanan, memperpendek jarak antara pemerintah sebagai

pelayan dengan masyarakat sebagai pihak yang dilayani, efisien, efektif dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempercepat kesejahteraan

masyarakat di daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mengamanatka n

“Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat” disebutkan juga urusan pemerintahan yang menjadi urusan

pemerintah pusat meliputi:26

1. Politik Luar Negeri, antara lain meliputi:

a. Mengangkat pejabat diplomatik,

b. Menunjuk Warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga

internasional.

26 Sri Kusriyah, Politik Hukum Desentralisasi & Otonomi Daerah Dalam Perspektif

Negara Kesatuan Republik Indonesia, Op.Cit.hal 42


21

c. Memantapkan kebijakan luar negeri,

d. Melakukan perjanjian dengan negara lain.

2. Pertahanan, antara lain meliputi:

a. Mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,

b. Menyatakan damai dan perang,

c. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya,

d. Mengembangkan sistem pertahanan negara.

3. Keamanan, antara lain:

a. Membentuk Kepolisian Negara,

b. Menetapkan kebijakan keamanan negara,

c. Menindak semua orang yang melanggar keamanan negara.

4. Moneter dan Fiskal Nasional, antara lain:

a. Mencetak uang,

b. Menentukan nilai mata uang,

c. Menetapkan kebijakan moneter.

5. Yustisi, antara lain:

a. Mendirikan lembaga peradilan,


22

b. Mengangkat hakim dan jaksa,

c. Mendirikan lembaga pemasyarakatan.

6. Agama, antara lain:

a. Memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama

b. Menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan

keagamaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, keberadaan

pemerintahan daerah memiliki kewenangan konstitusional untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Demikian juga

kehendak konstitusi di dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 untuk menghadirka n

otonomi yang seluas-luasnya dengan cara memberikan ruang seluas-luas nya

kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya

adalah perwujudan desentralisasi dari pemerintahan yang demokratis, dimana

Rondinelli dan Cheema mendefinisikan desentralisasi sebagai peraliha n

kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan, dan administrasi dari

pemerintah pusat ke organisasi atau satuan administrasi daerah, lembaga

lembaga semi otonom dan antar daerah (parastatal), pemerintah daerah atau

lembaga-lembaga swadaya masyarakat,27 dalam pemberian otonomi yang

seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

27 Ni’matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah

Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, hlm.33
23

peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkunga n

strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaa n

dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI.

Mengenai sistem desentralisasi lainnya, Menurut Yuniarto ialah

memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal

untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah

tangganya sendiri,28 dan didalam UUD 1945 telah memberikan landasan

konstitusional pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Dengan

ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah


provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur
dalam undang-undang.
Terkait kewenangan Pemerintah Pusat dalam pembatalan Perda

28 Joeniarto, 1992, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 15.
24

berdasarkan kewenangan pengawasan represif sesuai dengan prinsip pada

UU 22/1999. Namun konsep kewenangan pengawasan pembatalan Perda

menjadi pengawasan preventif hanya dalam bentuk evaluasi Rancangan

Peraturan Daerah (Raperda) diberikan kepada Menteri untuk mengevaluas i

Raperda Provinsi yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), perubahan

APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribus i

daerah, dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan oleh gubernur. Undang-

Undang Pemda juga memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai

wakil Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi rancangan peraturan daerah

kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan

APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribus i

daerah dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan oleh bupati/waliko ta

sebaiknya juga melakukan pembinaan (evaluasi) kepada daerah, khususnya

dalam pembuatan Perda secara berkelanjutan. Dimana Raperda yang kurang

tepat segera dikembalikan untuk direvisi, sehingga kemungkinan adanya

kesalahan dalam pembuatan Perda dapat diminimalisir sejauh mungk in

sebab apabila pembatalan Perda kabupaten/kota yang dilakukan oleh

Gubernur adalah satu kebijakan yang mencederai prinsip otonomi daerah,

buah Reformasi 1998. Prinsip ini adalah bentuk dari kedua pihak yang saling

mempercayai dalam hubungan hubungan nya antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah.


25

Kedudukan Perda, baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten

atau Kota, dimuat atau termasuk ke dalam bentuk peraturan yang disetarakan

dengan undang-undang dalam artian merupakan produk hukum lembaga

legislatif. Namun demikian, dari segi isinya sudah seharusnya kedudukan

peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang

lebih sempit hanya mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingka n

peraturan dengan ruang lingkup wilayah berlaku yang lebih luas. Dengan

demikian, Undang-Undang sendiri lebih tinggi dalam hal kedudukannya

daripada Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.

C. Tinjauan Terhadap Pemerintah Daerah

Pasca berakhirnya era reformasi pemerintah pusat telah mengeluarka n

beberapa kebijakan diantaranya kebijakan tentang otonomi daerah yakni

lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang

kini menjadi UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan

undang-undang no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah, dimana paket kebijakan ini dikeluarkan pada

masa pemerintah B.J Habibie. Dalam kebijakan tersebut dianggap sebagai arah

balik dalam negara Indonesia yang lebih demokratis dibandingkan dengan

kebijakan sebelum-sebelumnya.

Dalam hal ini pemerintah daerah yang dalam kewenangannya dapat

mengatur daerah dan mengurus kepentingan masyarakat didasarkan atau

berpedomana pada undang-undang, karenanya setiap daerah tersebut


26

dimaksudkan agar memiliki kemandirian untuk meningkatkan daya saing

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, agar tercapainya tujuan

nasional secara keseluruhan, sehingga daerah sebagai satu kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai otonomi daerah, berwenang mengatur

dan mengurus wilayahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentinga n

umum.29

Atas pembagian tersebut setiap daerah memiliki eksekutifnya masing

masing yang berasalkan kepanjangan dari pemerintah pusat mereka dipilih

dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyatnya di daerahnya masing

masing yang berasaskan LUBER JURDIL yang memiliki kepanjangan

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, 30 dan gubernur sendiri

bertanggung jawab kepada presiden melalui kementerian dalam negeri dan

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya gubernur bertanggung jawab

langsung kepada DPRD provinsi dan dalam kewenangannya gubernur diatur

dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 19 Tahun 2010 yang cakupannya

sebagai berikut:31

1. Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerinta ha n

29 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana


Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, (Maret, 2017), hal.163
30 Dessita, Ester. "Pemilihan Umum 2019 Dalam Perspektif Manusia Menurut Nietzsche."

(2019).
31 Asip suyadi, Buku Ajar Otonomi Daerah,universitas pamulang, 2019, hal. 45-45
27

daerah tingkat kota/kabupaten dan desa.

2. Penyelenggaran urusan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten atau

kota.

3. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaran tugas pembantuan di daerah

provinsi dan kabupaten atau kota.

Sedangkan dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewajiban antara lain:

1. Mempertahankan dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik

Indonesia.

2. Memegang teguh Pancasila dan UUD 1945.

3. Menegakan seluruh peraturan perundang-undangan.

4. Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.

5. Memelihara keamanan, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat

Diantara kewenangan lainnya gubernur Bersama pemerintahan daerah

lainnya diberikan kekuasaan agar dapat membuat peraturan daerah seperti

peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah.

Dimana setiap Pembuatan kebijakan Daerah memperhatikan tatanan hukum

nasional, yang dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan dan keselarasan

antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah yang memiliki kekhasan

dan kearifan lokal.32 Dan Peraturan Daerah sendiri didasarkan atas perintah

kekuasaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karenanya untuk

melaksanakan peraturan daerah, kepala daerah menetapkan peraturan kepala

32 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana

Peraturan Daerah, h.163


28

daerah. Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta

pembentukan peraturan daerah termuat dalam Pasal 237 Undang-Unda ng

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berlaku secara mutatis

mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentuka n

peraturan kepala daerah, di dalam membuat peraturan derah, tiap daerah

mengacunya pada Pasal 246 Ayat (1) yang menjelaskan secara tegas bahwa

untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-

undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah. Kemudian Pasal

246 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwa

ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan serta pembentuka n

peraturan daerah dimaksud dalam pasal 237 berlaku secara mutatis mutandis

terhadap asas pembentukan dan materi muatan serta pembentukan peraturan

kepala daerah.
29

BAB III

METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yakni cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu.33 yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian hukum

normatif yuridis sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

Undang- Undang/ statute approach dan juga pendekatan pada kasus. Yang

dimaksudkan agar memahami kedudukan pemerintah daerah dan

kewenangannya dalam mencabut peraturan daerah satu tingkat di bawahnya,

dilihat dari UUD 1945 dan peraturan perundang undangan nomor 23 tahun 2014

tentang peraturan daerah, sedangkan pendekatan kasus dalam analisis

pemecahan masalah ini untuk mengamati Hakim dalam memutus kewenangan

executive review pada Gubernur dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor

137/PUU/XII/2015.

B. Spesifikasi Penelitian

Dilihat dari segi spesifiknya, penelitian ini menggunakan Variabel 1

dengan Nilai-nilai Dasar yang mengatur serta menggambarkan objek tertentu

dan menjelaskannya dengan atau melukiskan secara sistematis dari berbagai

33 Sugiyono, metode penelitian, Alfabeta, 2016 bandung hal, 2


30

fakta atau kenyataan yang berkaitan dengan pelaksanaan Hukum atau

penegakan Hukum. Karenanya penelitian ini menggambarkan suatu objek

untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Mahkamah Konstitusi karenanya untuk

memperoleh data atau informasi yang berkaitan dengan permasalahan dan fokus

penelitian Mahkamah Konstitusi lah tempat yang dimaksud karenanya

Mahkamah Konstitusi Lah yang mengeluarkan putusan, Sedangkan sifat

penelitiannya menggunakan sifat penelitian kualitatif yang tidak membutuhka n

data populasi dan sampel karena sifat penelitian ini lebih menekankan pada

aspek pemahaman terhadap suatu norma Hukum yang terdapat di dalam

perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di

masyarakat,34 dan penelitian ini berbentuk yuridis normatif, yang mana sebagai

ilmu normatif ilmu Hukum memiliki cara kerja yang khas sui generis. Dalam

penelitian ini merupakan penelitian Hukum (penelitian yuridis) yang memilik i

suatu metode yang berbeda dengan penelitian yang lainnya. Metode penelitia n

Hukum merupakan bagian dari suatu cara yang sistematis dalam melakuka n

sebuah penelitian.35 penelitian Hukum normatif merupakan penelitian Hukum

yang berfokus pada kaidah-kaidah atau asas-asas dalam arti Hukum yang

dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berasal dari peraturan perundang-

34 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2005,
hal. 46
35 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2004, hal 57


31

undangan, putusan pengadilan, maupun doktrin dari para pakar Hukum

ternama.

Dalam penelitian Hukum normatif, Hukum dikonsepkan sebagai sesuatu

yang tertulis dalam perundang-undangan (law in book) atau Hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas, penelitian Hukum normatif bermula dari das

sollen (law in books) menuju das sein (law in actions). Penelitian Hukum

normatif dibangun di atas dasar peta konseptual rasional, konsisten, dan

interpretatif yang mengandung unsur-unsur rasionalisme, positivisme Hukum,

a priori, analisa, deduksi, koherensi, interpretatif, library research, data

sekunder dan data kualitatif. Penelitian Hukum normatif dalam penelitian ini

didasarkan pada data sekunder dan ditekankan pada langkah-langka h

spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.36

D. Sumber Data

Sumber Data yang digunakan peneliti adalah sumber data sekunder

dengan datanya yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau

penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan

dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum. 37 di

dapatinya data sekunder tersebut yakni melalui studi kepustakaan dan dari

berbagai referensi atau bahan bacaan yang tersedia serta yang sesuai dengan

36 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003, hal 3
37 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

Dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.


32

materi yang dibahas dan menggunakan putusan Hakim yang memiliki kekuatan

Hukum tetap sebagai bahan sekunder. Sumber-sumber data dalam penelitian ini

peneliti membaginya menjadi 3 sumber yakni:

1. Sumber Hukum Primer yang peneliti gunakan yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945,

b. Undang-Undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah

c. Dan Putusan yang terkait dengan penelitian yakni Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 137/PUU/XIII/2015

2. Sumber bahan Hukum sekunder yang peneliti pakai yakni bahan hukum

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti tulisa n

pakar hukum, RUU, majalah, makalah, jurnal, artikel surat kabar, data

melalui jaringan internet dan hasil penelitian terkait.

3. Sumber Hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder38 seperti kamus

istilah hukum, kamus bahasa dan ensiklopedia.

E. Teknik Pengambilan Data

Sesuai dengan jenis penelitian yakni penelitian Hukum Normatif maka

teknik pengambilan data yang digunakan yakni teknik pengumpulan data tipe

kualitatif yang mana dalam pengambilan data tidak memerlukan data lapangan

melainkan hanya dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap

berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau

38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hal.52


33

materi penelitian, dengan disajikan dalam bentuk deskriptif analisis yaitu suatu

metode yang dilakukan melalui pengkajian dan menganalisis dengan

memberikan gambaran umum serta menyeluruh mengenai executive review

dengan memanfaatkan bahan Hukum, baik bahan Hukum primer, bahan Hukum

sekunder maupun bahan non-Hukum sehingga diuraikan dan dikaitkan dengan

dilakukan analisis terhadap bahan Hukum tersebut yang akhirnya akan

disimpulkan mengenai bagaimana kedudukan Peraturan Kepala Daerah pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU/XII/201


34

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2004.

Agus sudaryanto, pengantar ilmu Hukum, setara press, malang, 2015

Asip suyadi, Buku Ajar Otonomi Daerah,universitas pamulang, 2019.

AW Widjaja, Titik Berat Otonomi Daerah, Pada Daerah Tingkat II, Raja
Grafindo, Jakarta.

Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, STTPN Press,


Yogyakarta, 2017.

Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1960

Irwanto, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, 1989,Cet-2,

Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta, Aksara Baru, 1982,

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada.

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II Konstitusi Press,


Jakarta, 2006.

Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bina Aksara, Jakarta. 1992

Lintje Anna Marpaung, Ilmu Negara, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2018

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka


Utama, 2003.

Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik Dan Hukum di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta,1999.

Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006.


Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar 2010

Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah


Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung,
35

2014.

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusamedia, 2009.

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Radja
Grafindo Persada. 2014.

Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta, Jala Permata


Aksara, 2010.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum.

Sri Kusriyah, Politik Hukum Desentralisasi & Otonomi Daerah Dalam Perspektif
Negara Kesatuan Republik Indonesia, UNISSULA PRESS Semarang,
cet-1, 2019

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta,


2005.

Sugiyono, metode penelitian, Alfabeta, 2016 bandung

Jurnal:

Dessita, Ester. Pemilihan Umum 2019 Dalam Perspektif Manusia Menurut


Nietzsche. (2019).

Lasatu, Asri. "Urgensi Peraturan Daerah Tentang Program Pembentukan


Peraturan Daerah Terhadap Kinerja DPRD." Jurnal Ilmiah Kebijakan
Hukum

Marlina, Rika. "Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerinta ha n


Di Indonesia" Jurnal Daulat Hukum 1.1, 2018. hal 173-174

Pratiwi, Epita, Nanik Trihastuti, and F. X. Samekto. Faktor-Faktor Yuridis Yang


Menghambat Implementasi Proyek Reducing Emissions From
Deforestation And Forest Degradation Plus (Redd+) Di Indonesia. Diss.
Universitas Diponegoro, 2018.
Ridwan, Syarif. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Menurut Undang–
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang–Undangan. Diss. Universitas Andalas, 2017

Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi Dan Kekuasaan KeHakiman Yang


Independen Menurut Islam, Jurnal Selat,2016
Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana
Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, (Maret, 2017),
36

hal.163
Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan
Pelaksana Peraturan Daerah.

Peraturan perundang-undangan:

Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 Tentang pemerintahan daerah

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

PP No 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang

Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah

Provinsi

Anda mungkin juga menyukai