Anda di halaman 1dari 14

JAKSA AGLING

REPUBLIC INDONESIA

PERATURAN KKJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 15 TAHUN 2020
TENTANG
PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga


pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus mampu me judkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan
kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta
wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat;
b. bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan
mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan
keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban
dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada
pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum
masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus
dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan
dan pembaharuan sistem peradilan pidana;
C. bahwa Jaksa Agung bertugas dan berwenang
mengefektifkan proses penegakan hukum yang
diberikan oleh Undang-Undang dengan memperhatikan
asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta
menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan
perkara untuk keberhasilan penuntutan yang
dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk
penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum


Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 440 l);
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 63);
4. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-
006/A/JA/ 07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 1069) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 6 Tahun
2O19 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung
Nomor: PER-006/A/JA/07/ 2017 tentang Organisasi
dam Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1094).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN KEJAKSAAN TENTANG PENGHENTIAN
PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF.

BAB I
KETENTUAN UML M

Pasal 1
Dalam Peraturan Kejaksaan ini yang dimaksud dengan:
1. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga
pelaku/ Korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan.
2. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatanriya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 2
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
dilaksanakan dengan berasaskan:
a. keadilan;
b. kepentingan umum;
c. proporsionalitas;
d. pidana sebagai jalan terakhir; dan
e. cepat, sederhana, dan biaya ringan.
BAB II
PENUT4JPAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Pasal 3
(1)
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi
kepentingan hukum.
(2)
Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan
dalam hal:
a. terdakwa meninggal dunia;
b. kedaluwarsa penuntutan pidana;
c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas
perkara yang sama (nebis in idem),
d. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut
atau ditarik kembali; atau
e. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan
(afdoening butter process).
(3)
Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan
ketentuan:
a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana
denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula
dengan menggunakan pendekatan Keadilan
Restoratif.
(4)
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
menghentikan penuntutan.
(3) Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan
restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung
jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi.
-5-

BAB III
SYARAT

Pasal 4
(1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:
a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain
yang dilindungi;
b. penghindaran stigma negatif;
c. penghindaran pembalasan;
d. respon dan keharmonisan masyarakat; dan
e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak
pidana;
b. latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak
pidana;
c. tingkat ketercelaan;
d. kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak
pidana;
e. cool and bene t penanganan perkara;
f. pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
g. adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Pasal S
(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan
dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan
Restoratif dalam ha1 terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak
pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda
atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih
dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti
atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari
-6-

tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua


juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam ha1
terdapat Criteria atau keadaan yang bersifat kasuistik
yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan
persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau
Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap
memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau
huruf c.
(3) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang,
tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
dikecualikan.
(4) Dalam ha1 tindak pidana dilakukan karena kelalaian,
ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat
dikecualikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat {4) tidak berlaku dalam hal terdapat
kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut
pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif.
(6) Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dari ayat (4),
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula
yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
1. mengembalikan barang yang diperoleh dari
tindak pidana kepada Korban;
2. mengganti kerugian Korban;
3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat
tindak pidana; dan/atau
-7-

4. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari


akibat tindak pidana;
b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban
dan Tersangka; dan
c. masyarakat merespon positif.
(7) Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat
pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.
(8) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif dikecualikan untuk perkara:
a. tindak pidana terhadap keamanan negara,
martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara
sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya,
ketertiban umum, dan kesusilaan;
b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman
pidana minimal;
c. tindak pidana narkotika;
d. tindak pidana lingkungan hidup; dan
e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Pasal 6
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan
Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya
berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.

BAB IV
TATA CARA PERDAMAIAN

Bagian Kesatu
Upaya Perdamaian

Pasal 7
(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian
kepada Korban dan Tersangka.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat
penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti (tahap dna).

Pasal 8
(I)
Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum
melakukan pemanggilan terhadap Korban secara sah
dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.
(2) Dalam ha1 dianggap perlu upaya perdamaian dapat
melibatkan keluaga Korban/Tersangka, tokoh atau
perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.
(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan
serta hak dan kewajiban Korban dan Tersangka dalam
upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya
perdamaian.
(4) Dalam ha1 upaya perdamaian diterima oleh Korban dan
Tersangka maka dilanjutkan dengan proses
perdamaian.
(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan
Tersangka, Penuntut Umum membuat laporan upaya
perdamaian diterima kepada Kepala Kejaksaan Negeri
atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian
khusus dari pimpinan dan masyarakat, laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan
kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
(7) Dalam ha1 upaya perdamaian ditolak oleh Korban
dan/ atau Tersangka maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian
dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara
dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan
alasannya; dan
C. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Bagian Kedua
Proses Perdamaian

Pasal 9
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan
musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan,
dan intimidasi.
(2) Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan
sebagai fasilitator.
(3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan
perkara, Korban, maupun Tersangka, baik secara
pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak
langsung.
(4) Proses perdamaian dilaksanakan di kantor Kejaksaan
kecuali terdapat kondisi atau keadaan yang tidak
memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan,
atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat
dilaksanakan di kantor pemerintah atau tempat lain
yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.
Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban
dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti (tahap dua).

Pasal 10
(1) Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan
Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara
tertulis di hadapan Penuntut Umum.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban
tertentu; atau
b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan
kewajiban tertentu.
-10—

(3) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2
(dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut
Umum.
(4) Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan
perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan
kewajiban dilakukan.
(5) Dalam ha1 kesepakatan perdamaian tanpa disertai
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara
kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.
(6) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau
pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai
kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan
perdamaian dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara
dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan
alasannya; dan
C. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 11
(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena
permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak
proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen,
perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan
kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan
tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat
dijadikan pertimbangan Penuntut Umum dalam
melakukan penuntutan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku dalam ha1 pemenuhan kewajiban tidak
dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena
faktor ekonomi atau alasan lain yang disertai dengan
itikad baik dari Tersangka.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berupa:
a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan
singkat;
b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan
tuntutan pidana; dan/ atau
c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat.
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman
Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Pasal l2
(1) Dalam ha1 kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut
Umum melaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan
Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan
melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan
rota pendapat.
(2) Berdasarkan laporan Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud ayat (1), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(3) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.
(4) Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui
atau menolak penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif secara tertulis dengan disertai
pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
sejak permintaan diterima.
(5) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian
khusus dari pimpinan, Kepala Kejaksaan Tinggi
meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap
memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
-12-

(6) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui


penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam waktu
paling lama 2 (dna) hari sejak persetujuan diterima.
(7) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) memuat alasan penghentian
penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sekaligus
menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak
pidana dimaksud.
(8) Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud
pada ayat {6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(9) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (fi) dicatat dalam Register Perkara
Tahap Penuntutan dan Register Penghentian
Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi
Kepentingan Umum.
(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak
penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas
perkara ke pengadilan.

Pasal 13
(1) Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian
terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban,
Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum
menghentikan upaya perdamaian atau proses
perdamaian.
(2) Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut
Umum dengan:
a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau
proses perdamaian dalam berita acara;
-13-

b. membuat nota pendapat bahwa perkara


dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan
alasannya; dan
C. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan

Pasal 14
Dalam ha1 kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap
penyidikan dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum
untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara
perdamaian sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

BAB V
PENAHANAN

Pasal 15
(1) Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau
pembantaran penahanan terhadap Tersangka
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam ha1 Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya
dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif, Penuntut Umum segera
membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan dikeluarkan.
(3) Pembebasan Tersangka sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibuatkan berita acara.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16
Untuk optimalisasi pelaksanaan Peraturan Kejaksaan ini
diselenggarakan bimbingan teknis dan pendidikan pelatihan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17
Peraturan Kejaksaan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Kejaksaan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2020

JAKSA AGUNG REPL BLIK INDONESIA,

BUR ANUDDIN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Ju l i 2020

DIREKTUR JENDERAL
PERATL RAN PERUNDANG—UNDANGAN
KEMEL UKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUB

WIDODO HJANA

BERITA NEGA PUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 811

Anda mungkin juga menyukai