Anda di halaman 1dari 222

HUKUM KONSTITUSI

PANDANGAN DAN GAGASAN MODERENISASI


NEGARA HUKUM

Dr. Muhammad Junaidi, S.H.I., M.H.

RAJAWALI PERS
Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Junaidi, Muhammad
HUKUM KONSTITUSI: Pandangan dan Gagasan Moderenisasi Negara Hukum/
Muhammad Junaidi—Ed. 1,—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017.
xxx, xxx hlm., 21 cm
Bibliografi: hlm. xxx
ISBN 978-602-425-xxx-xx

1. xxxxxx I. Judul
xxx.xxx

Hak cipta 2017, pada Penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2017.xxxx RAJ
Dr. Muhammad Junaidi, S.H.I., M.H.
HUKUM KONSTITUSI
Pandangan dan Gagasan Moderenisasi Negara Hukum
Cetakan ke-1, xxxx 2017
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover: octiviena@gmail.com
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RajaGrafindo PersadA
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243 Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok Soragan Indah
Blok A-1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan
Blok. A No. 9, Telp. (031) 8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 Rt. 78, Kel. Demang
Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Pekanbaru-28294, Perum. De’Diandra Land Blok. C1/01 Jl. Kartama, Marpoyan
Damai, Telp. (0761) 65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence
Kec. Medan Johor, Telp. (061) 7871546. Makassar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok A 14/3, Komp. Perum. Bumi
Permata Hijau, Telp. (0411) 861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 05, Telp. (0511) 3352060. Bali, Jl.
Imam Bonjol g. 100/V No. 5B, Denpasar, Bali, Telp. (0361) 8607995, Bandar Lampung-35115, Perum. Citra
Persada Jl. H. Agus Salim Kel. Kelapa Tiga Blok B No. 12A Tanjung Karang Pusat, Telp. 082181950029.
HUKUM KONSTITUSI
PANDANGAN DAN GAGASAN MODERENISASI NEGARA
HUKUM
PENGANTAR PENULIS

Ajaran negara hukum merupakan suatau ajaran yang parsial apabila


tidak dilihat secara utuh dalam perspektif konstitusi. Sebegitu pentingnya
konstitusi dalam negara hukum mengingat sebuah konstitusi dalam ajaran
negara merupakan wujud asli dan keabsahan atas hukum itu sendiri.
Pemahaman tersebut acapkali dewasa ini menjadi belum dilihat secara
objektif mengingat paham negara hukum hanya dilihat pada sebuah teks yang
mati dalam wujud sebuah undang-undang. hal yang terjadi pada akhirnya
negara tidak lagi berbentuk negara hukum akan tetapi negara undang-undang
yang memilki konskwensi lembaga pembentuk undang-undanglah yang
memilki dominasi kekuasaan dalam sebuah negara.
Disinilah perlu pemahaman utuh dalam doktrin konstitusi. Dalam wujud
hukum yang sebenar-benarnya konstitusi tidak hanya dianggap sebagai simbul
negara sebagaimana kita melihat Undang-Undang dasar dan Pancasila.
Konstitusi haruslah menjadi karakter dan kepribadian hukum dalam sebuah
negara yang bukan saja dipahami oleh pemerintah akan tetapi juga rakyat.
Konstitusi dijadikan sebagai karakter dan kepribadian inilah yang
demikian halnya di perankan oleh Prancis ketika melalui proses revolusi
prancis dengan melahirkan transformasi sosial dan politik. Konstitusi yang
demikian juga diperankan pula oleh Franklin D. Roosevelt dengan melahirkan
four freedoms yaitu yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan beragama,
kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari ketakutan yang sampai
sekarang menjadi catatan bagi Amerika dalam menjalankan hukumdi
negaranya.
Buku yang ada di tangan anda ini merupakan strategi praktis dalam
memahami konstitusi sebagai karakter dan kepribadian hukum. Bukan hanya
menguraiakan sejarah dan definisi, dalam buku ini juga mendeskripsikan
bagaimana keberlakuan sebuah konstitusi dan penegakan konstitusi yang
sangat dibutuhkan seperti negara hukum indonesia.

Tertanda

Penulis

ii
KATA PENGANTAR

Sesuai dengan judulnya, buku ini telah berhasil memberikan


pemahaman mendasar kepada kita semua tentang makna yang paling hakiki
mengenai konstitusi itu sendiri. Sebagai sebuah produk hukum, keberadaan
konstitusi memang tidak terlepas dari tarik menarik antara praktik politik dan
teori hukum. Pergulatan ini tidak akan pernah berakhir sepanjang kehidupan
manusia sehingga sebuah konstitusi harus senantiasa mengikuti dinamika ini.
Hanya saja agar tujuan yang paling hakiki dalam konstitusi tetap dapat
terpelihara dengan baik, maka konstitusi tetap tidak dapat melepaskan diri dari
falsafah hukumnya.
Hal inilah yang dijelaskan secara runtut dalam buku ini sehingga kita
seolah-olah diajak memahami sejarah panjang lahirnya konstitusi. Konstitusi
ini kemudian harus diinternalisasi pada setiap organ negara sebagai dasar
pembuatan kebijakan di masing-masing bidang dan sektor.
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan yang mungkin terdapat dalam
buku ini, saya berharap agar kegiatan penulisan ini tidak berhenti sampai di
sini. Jika dikaitkan dengan kondisi yang terjadi dewasa ini di negara yang kita
cintai ini, semua pihak dituntut untuk mengeluarkan gagasan-gagasan bernas
terkait dengan penyempurnaan produk-produk hukum yang didasarkan pada
konstitusi secara benar dan berterima di semua pemangku kepentingan. Hal
inilah yang kelak akan dapat meningkatkan dan membangun budaya hukum
nasional.
Terakhir, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua
warga bangsa. Khususnya bagi generasi muda, buku ini diharapkan dapat
menjadi modal dasar dalam membangun kesadaran untuk berbhakti dalam
menjalankan dan menyempurnakan aturan-aturan yang didasarkan pada
konstitusi ini.

Dr. Muhanto, AQ

iii
DAFTAR ISI

BAB I KONSTITUSI SEBUAH PENGANTAR


a. Pengertian konstitusi
b. Tujuan Dan Fungsi Konstitusi
c. Prinsip Dasar Dalam Pemikiran Konstitusi
BAB II SEJARAH KONSTITUSI
a. Kedudukan Sejarah Konstitusi
b. Permulaan dianggapnya konstitusi sebagai hukum
BAB III TERBENTUKNYA KONSTITUSI
a. Norma sebagai pembentuk konstitusi
b. Terbentuknya negara sebagai dasar lahirnya konstitusi
c. Benturan Kekuasaan Dalam Doktrin Norma Konstitusi
BAB IV PERKEMBANGAN KONSTITUSI
a. Konstitusi di negara pra modern
b. Konstitusi Negara Modern
BAB V KEBERLAKUKAN KONSTITUSI
a. Pengertian Keberlakukan Konstitusi
b. Teori atas Keberlakukan Konstitusi
c. Nilai Keberlakuan Konstitusi
BAB VI TRADISI DALAM KONSTITUSI
a. Pengertian Tradisi
b. Tradisi Sebagai Bentuk Nilai Dasar Dalam Konstitusi
BAB VII PERUBAHAN KONSTITUSI
a. Pengertian perubahan konstitusi
b. Tujuan perubahan konstitusi
c. Model-model perubahan konstitusi
BAB VIII PENEGAKAN KONSTITUSI
a. Makna dari Penegakan Konstituasi
b. Penegakan Konstitusi Melalui Judicial Review
BAB IX DOKTRIN KONSTITUSIONALISME
a. Pengertian Konstitusionalisme
b. Doktrin Konstitusionalisme
BAB X PERBANDINGAN KONTITUSI
a. Pendekatan Perbandingan Konstitusi
b. Aktualisasi Perbandingan Konstitusi

iv
BAB I
KONSTITUSI SEBUAH PENGANTAR

Tujuan Intruksional
1. Dalam bab ini diharapkan dapat menjadi instrument dalam mengantarkan
pemahaman hal-hal yang barkaitan dengan konstitusi utamanya pengertian
konstitusi
2. Diharapkan dapat memberikan pemahaman tujuan dan fungsi atas
keberadaan konstitusi
3. Diharapkan dapat memberikan pemahaman terkait prinsip-prinsip atau
dasar-dasar dalam kajian konstitusi.

d. Pengertian Konstitusi

Menurut Black‟s Law Dictionary pengertian konstitusi adalah: the


fundamental and organic law of a nation or state, establishing the
conception, character, and organization of its government, as well as
prescribing the extent of its sovereign power and the nianrs of its
exercise”. (Hukum dasar dan organik dan suatu bangsa atau negara dalam
menetapkan konsep, karakter, dan organisasi dan pemerintahannya, juga
menelaskan kekuasaan kedaulatannya serta cara dan pengujiannya)
(Sirajuddin dan Winardi, 2015:47).

Penganut paham modern yang juga menyamakan pengertian


konstitusi dengan undang-undang dasar, menurut Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, adalah Lasalle. Dalam bukunya “Uber
Verfassungswesen”, Lasalle menyatakan bahwa konstitusi yang
sesungguhnya menggambarkan hubungan antara kekuasaan yang terdapat
di dalam masyarakat. Golongan-golongan yang dimaksud adalah golongan
yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat (rieele
rnac/ztsfactoren), misalnya Kepala Negara, Angkatan Perang, Partai-partai
Politik, kelompok-kelompok penekan (pressure group), buruh, tani,
pegawai, dan lain sebagainya. Dengan pandangannya yang demikian,
Lasalle menghendaki agar semua hal yang penting dituliskan dalam

1
naskah konstitusi (in einer Urkunde auf einem Blatt Papier
alleinstitutionen und Regierings prinzipien des landes) (Jimly Asshidiqie,
2006:141).

Dalam penjelasan lain, istilah konstitusi berasal dari bahasa


Prancis; constituer, yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi
yang dimaksud adalah pembentukan sesuatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah undang-undang dasar
merupakan terjemahan istilah dari bahasa Belanda, gronwet. Perkataan wet
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia undang-undang dasar, dan grond
berarti tanah atau dasar. Di negara-negara yang menggunakan bahasa
Inggris dipakai istilah constitution,yang bahasa Indonesianya konstitusi.
Pengertian konstitusi dalam praktik dapat diartikan lebih luas dari pada
pengertian undang-undang dasar. Dalam ilmu politik, constitution
merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-
cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat. Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari
dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah presposisi yang
berarti “bersama-sama dengan...”, sedangkan statuere mempunyai arti
berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu
agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian, bentuk
tunggal dari konstitusi adalah menetapkan sesuatu secara bersama-sama
dan bentuk jamak dari konsttusi berarti segala yang ditetapkan(Syahrial
Syarbani, 2014:36).

Dalam pandangan lain terdapat doktrin constituent power


pengertian constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum
(hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya karena konstitusi merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan

2
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku
universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di
bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-
peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Atas dasar logika demikian, maka Mahkamah Agung Amerika Serikat
menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan
menguji materi peraturan produk legislative (judicial review) terhadap
materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit
memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung (The
Supreme Court)( Jimly Asshidiqie, 2006 :118-119).

Berdasarkan pandangan tersebut akan lebih cenderung diartikan


bahwa kostitusi merupakan arah suatu bangunan membangun. Arah
membangun bukan hanya arti pembangunan hukum, akan tetapi
pembangunan bidang social, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini
Nampak jelas dalam konstitusi kita yaitu Undang-Undang-Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang secara umum isinya menjabarkan
seluruh masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi oleh bangsa.

Tidak jauh beda dengan apa yang dijabarkan di atas, Politeia atau
contituti menurut istilah Cicero, pada pertengahan abad 13 di Yunani,
konstitusi juga disifatkan sebagai Jus publicum regni (aturan yang
terpublikasi yang mengatur urusan publik). Dalam maknanya sebagai jus,
maka substansi konstitusi, dan sananya atau awalnya tidak pemah
mewakili atau melembagakan ide-ide murahan. Sesuai maknanya pula,
konstitusi sebagai suatu dokumen, ,nterupakan rekaman atas ide-ide,
dengan kualifikasi hebat untuk dijadikan patokan pengaturan dalam
penyelenggaraan negara. Ide-ide yang direkam atau dibentuk
“constitutum”constitUe” inilah yang disebut juga sebagai konstitusi. Jadi
Konstitusi, dapat diwujudkan ke dalam satu dokumen. Karena itulah, pada
perkembangan hukum tata negara kemudian hari, dikenal dengan istilah

3
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Oleh para ahli, konstitusi
tertulis disebut Undang-undang Dasar(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:4).

Hadirnya pengertian oleh Cicero tersebut setidak-tidaknya


menganalogikan bahwa konstitusi menjadi instrument kuat pembentuk
Negara. Adanya istilah konstitusi sebagai ide dasar pembentukan Negara
tidak terlepas dari pemikiran bahwa Nation state, seperti dikemukakan
oleh Giddens, merupakan : rangkaian bentuk-bentuk institusional
pemerintahan yang mempertahankan satu monopoli administratif terhadap
suatu wilayah dengan batas-batas tertentu di mana kekuasaan yang
dijalankan melalui hukum serta kontrol Iangsung atas sarana-sarana
kekuasaan internal maupun eksternal. Nation state memiliki karakter
mendasar yang membedakan negara dalam pengertian yang sebenarnya.
Karakter mendasar tersebut oleh Held dirumuskan ke dalam empat
karakter penting, yaitu teritorialitas, kontrol atas sarana-sarana kekuasaan,
struktur kekuasaan yang bersifat impersonal, dan adanya legitimasi politik
(Mahfud MD, 2010 :35-36).

Oleh karena system monopoli, sikap mencakup semua dan daya


paksa tidak semata-mata bisa dijalankan secara objektif terarah dan tertib
jika tidak dilandasai dasar konstitusional yang sebelumnya telah menjadi
kesepakatan bersama dalam sebuah Negara.

Hal ini juga tidak jauh beda dengan adanya peristilahan dalam
konstitusi kita yang pertama kali disebuat dengan istilah Piagam Jakarta.
Disebut “piagam” (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum
warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka,
mengatur kewajiban-kewajiban kernasyarakatan semua golongan,
menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan
prinsip-prinsipnya untuk rnenghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan
yang tidak baik. Disebut “konstitusi” (constitution), karena di dalamnya

4
terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-
dasar politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan
pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk madinah yang majemuk
tersebut(Dahlan Thaib DKK, 2008:43-44).

Dalam hal ini yang perlu menjadi penegasan adalah pengertian


bahwa konstitusi mendahului pemerintahan tetap berlaku, meskipun dalam
praktik banyak negara sudah lebih dulu diproklamasin baru undang-
undang dasarnya disahkan. Misalnya, the Federal Cons titution of the
United States of America baru disahkan pada tanggal 17 September 1787,
yaitu 11 tahun setelah dekiarasi kemerdekaan Amerika Serikat dan Inggris
pada taggal 4 Juli 1776. Bekas negara federasi Uni Soviet mengesahkan
undang-undang dasarnya (KonstituSi Federal) pada tahun 1924, setelah 2
tahun berdirinya, yaitu pada 30 Desember 1922. Kerajaan Belanda yang
sekarang juga baru mengesahkan Grondwet pada tanggal 2 Februari 1814,
yaitu setelah 2 bulan dan 11 hari sejak prokiamasi kemerdekaan dan
Perancis pada tanggal 21 November 1813. Republik Indonesia sendiri
yang sudah diprokiamasikan sebagai negara merdeka dan berdaulat pada
tanggal 17 Agustus 1945, baru mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945(Jimly Asshidiqie, 2006: 19-20). Dalam
ilmu hukum tata negara juga berlaku doktrin “teori fiktie hukum” (legal
fiction theory) yang menyatakan bahwa suatu negara dianggap telah
memiliki konstituSi sejak negara itu terbentuk. Terbentuknya negara itu
terletak pada tindakan yang secara resmi menyatakannya terbentuk, yaitu
melalui penyerahan kedaulatan (transfer of authority) dan negara induk
seperti penjajah kepada negara jajahannya, melalui pernyataan dekiarasi
dan proklamasi, ataupun melalui revolusi dan perebutan kekuasaan melalui
kudeta. Secara juridis formal, negara yang bersangkutan atau pemerintahan
tersebut dapat dinyatakan legal secara formal sejak terbentuknya. Namun,
legalitas tersebut masih bersifat formal dan sepihak. Oleh karena itu,

5
derajat legitimasinya masih tergantung kepada pengakuan pihak-pihak
lain(Jimly Asshidiqie, 2006:20).

Oleh karenanya tidak musatahil jika dikatakan bahwa konstitusi


menjadi induk dari pada sebuah Negara. Dalam ajaran konstitusi tersebut
prinsip Negara menjadi mutlak dalam mewujudkan tatanan sosial dan
budaya secara demokratis menjadi hal yang harus dijalankan oleh Negara
dewasa ini dengan menempatkan konstitusi sebagai bagian yang mutlak
harus ada dalam menjalankan Negara.

Istilah konstitusi juga tidak jauh beda dengan peristilahan Negara


hukum. Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru jika
dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan
rakyat. Para ahli telah memberikan pengertian terhadap negara hukum. R.
Soepomo misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum
sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum
berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara
hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya
memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada
hubungan timbal balik. Senada dengan Soepomo, Arief Sidharta
menyatakan negara hukum sebagai negara yang penyelenggaraan
pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum yang
berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar
Sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah(Sirajuddin dan Winardi,
2015:23).

Pengertian Negara hukum inilah yang kemudian merujuk dari


paham pengertian konstitusi sangat dianggap sebagai wujud dari
keabsahan Negara yang konstitusional. Beberapa praktik yang
memperistialhkan Negara hukum sebagai Negara konstitusional atau yang
berlandaskan konstitusi dianggap rujukan dalam mengartikan pengertian

6
konstitusi secara umum. Korelasi antara Negara hukum sebagai bentuk
dari Negara konstitusi mengingat dalam negara hukum, hukumlah yang
memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Sesungguhnya, yang memimpin dalam penye1nggaraan negara adalah
hukum itu sendiri, sesuai dengan prinsip „the Rule of Law, And not of
Man‟, yang sejalan dengan pengertian „n omocratie‟, yaitu kekuasaan yang
dijalankan oleh hukum, „nomos (Ni‟matul Huda, 2015:88).

Dalam bukunya, Constitutional Government and Democracy;


Theory and Practice in Europe and America, Carl J. Friedrich
memperkenalkan sebuah istilah negara hukum dengan nama rechtstaat
atau constitutional state. Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo, tokoh
Iainnya yang berperan dalarn peristilahan rechtstaat adalah Friedrich J.
StahL Setidaknya, menurut Stahl, terdapat empat unsur berdirinya
rechtstaat, yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian
kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintah berdasarkan
peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi dalam perselisihan.
Adalah Albert Venn Dicey dalam magnum opus-nya, Introduction to the
Law of the Gonstitution memperkenalkan istilah the Rule of Law yang
secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukurn. Menurut Dicey, ada
tiga unsur fundamental dalam rule of law, yaitu: (i) supremasi aturan-
aturan hukum; tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti,
seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2) kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku, baik bagi
masyarakat biasa maupun para pejabat; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi
manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Berdasarkan pandangan di atas, kelihatan bahwa negara tidak bersifat
proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan
pada posisinya negara hanya menjalankan apa yang termaktub dalam
konstitusi semata. Dengan kata lain, negara tidak lebih hanya sebatas

7
naclitwächterstaat (negara penjaga malam), atau meminjam istilah Miriam
Budiarjo, negara hukum klasik(Majda El Muhtaj, 2005:21).

Dalam hal ini yang perlu dipahami bahwa konsep Negara hukum
sebagai bentuk wujud konstitusi tidak bisa disamakan pada setiap Negara.
Maksudnya setiap Negara memiliki karakteristik Negara hukum yang
berbeda-beda sesuai ideologinya masing-masing. Hal tersebut tentunya
berbeda dengan konsep rechtstaat yang bersumber dan rasio manusia,
liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, pemisahan
negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsure-
unsur utama menurut F. J. Stahl terdapat 4 (empat) unsur dan negara
hukum, yakni: (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (2) adanya
pembagian kekuasaan; (3) pemerintah harusah berdasarkan peraturan-
peraturan hukum; dan (4) adanya peradilan administrasi. Sementara
menurut Scheltema unsur-unsurnya terdiri dan: (1) Kepastian Hukum; (2)
Persamaan; (3) demokrasi dan; (4) pemerintahan yang melayani
kepentingan umum(Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).

Meskipun unsur-unsur yang disampaikan oleh F. J. Stahl tersebut


bisa dilihat bersumber dan rasio manusia, liberalistik individualistik,
humanisme yang antroposentrik, akan tetapi praktik di Negara kita tidak
memungkinkan demikian terjadi. Nilai-nilai pancasila di indoensia
dianggap sebagai konstitusi dan landasan konse hukum yang tentunya
sangat relevan jika mengikuti kebutuhan dan penegrtian Negara hukum
yang konstitusional menurut Negara Indonesia.

Oleh karena itu, dalam ide dan realitas politik serta hukum di
Indonesia, Pancasila tidak mungkin tergantikan sebagai dasar dan ideologi
negara yang dapat menampung, meramu, dan memproduk solusi dengan
kearifan dan toleransi yang tinggi atas berbagai aliran dan kepentingan di
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk(Moh. Mahfud MD, 2013:13).

8
Hal yang penting adalah konstitusi bukanlah undang-undang biasa.
Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan
yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang
terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat
dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itu lah yang
berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it
prevails and the ordinary law must give way)(Jimly Asshidiqie, 2006:18).

Selaian iu yang patut dipertimbangkan adalah mendefinisikan


konstitusi tidak lepas dari konsep hukum tata Negara. Beberapa definisi
konstitusi di beberapa Negara memberikan penegrtian terhadap konstitusi
sebagai kajian hukum tata Negara. Dalam al ini hukum tata Negara dapat
diartikan sebagai :

1) Hukum tata Negara itu adalah ilmu yang termasuk salah satu cabang
ilmu hukum, yaitu hukum kenegaraan yang berada di ranah hukum
publik;

2) Definisi hukum tata Negara telah dikembangkan oleh para ahli


sehingga tidak hanya mencakup kajian mengenai organ Negara, fungsi
dan mekanisme hubungan antar organ Negara itu, tetapi mencakup
pula persoalan-persoalan yang terkait dengan mekanisme hubungan
antara organ-organ Negara itu dengan warga Negara.

3) Hukum tata Negara tidak hanya merupakan Recht atau hukum dan
apalagi hanya sebagai Wet atau norma hukum tertulis, tetapi juga
adalah lehre atau teori, sehingga pengertiannya mencakup apa yang
disebut sebagai erfassungsrecIit (hukum konstitusi) dan sekaligus
verfassungslehre (teori konstitusi); dan

4) Hukum tata Negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang
mempelajari negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun yang
mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging)(
Sirajuddin dan Winardi, 2015: 5).

9
Dalam kajian Undang-Undang Dasar yang dikenal sebagai Hukum
Tata Negara, bentuk konstitusi yag diantaranya adalah Undang-Undang
Dasar berbeda degan peraturan di bawahnya. UUD adalah peraturan
perundang-undangan yang masih berupa himpunan asas yang belum
menjadi norma yang ada sanksi hukumnya. Pelanggaran atas UUD hanya
dapat dijatuhi sanksi politik, kecuali Ianggaran atas isi UUD yang telah
dijadikan UU (norma) yang disertai ancaman sanksi hukum yang jelas.
Dengan kata lain, isi UUD baru bisa menjadi norma yang disertai sanksi
hukum jika sudah diturunkan (derivasi) ke dalam UU dan UU inilah yang
harus dimasukkan di dalam Lembaran Negara agar berlaku asasfictie
bahwa setiap orang dianggap tahu pemberlakuan UU tersebut dengan
semua ancaman sanksi hukumnya. Oleh karena UUD adalah peraturan
perundang-undangan yang masih merupakan himpunan asas-asas yang
tidak memuat ancaman sanksi hukum bagi pelanggarnya, melainkan hanya
dapat ditegakkan dengan sanksi politik, maka UUD tidak harus
dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan kesahannya tergantung pada
prosedur penetapan atau perubahan yang diatur di dalam UUD itu sendiri.
Untuk memperjelas ini dapat ambil contoh tentang semua Ketetapan (Tap)
MPR/MPRS yang selama puluhan tahun berlaku sebagai peraturan
perundang-undangan pada derajat kedua di bawah UUD Dalam kurun
waktu 1960 sampai dengan tahun 2002, MPR/MPRS telah mengeluarkan
sebanyak 139 Ketetapan yang semuanya berkedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan di atas UU, namun semua Ketetapan MPR/MPRS itu
tidak pernah dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan tak pernah ada
yang mempersoalkan. Mengapa?Karena semua Ketetapan MPR/MPRS itu
bukan berupa norma yang disertai ancaman sanksi hukum. Peraturan
perundang-undangan yang belum berupa norma yang disertai ancaman
sanksi hukum tak perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara(Moh.
Mahfud MD, 2013:45-46).

10
e. Tujuan dan Fungsi Konstitusi

Posisi kontitusi memainkan peran yang strategis dalam sebuah


Negara. Bahkan dalam pandangan Dicey, konstitusi dianggap sebagai cikal
bakal tumbuh dan berkembangnya Negara. Melalui pandangan terkait
konvensi dicey mengungkapkan hal yang demikian.

Jika dirinci, konvensi ketatanegaraan menurut Dicey, maka terdiri


atas (1) konvensi adalah bagian dan kaidah ketatanegaraan (konstitusi)
yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktik penyelenggaraan Negara;
(2) konvensi sebagai bagian dan konstitusi tidak dapat ditegakkan oleh
(melalui) pengadilan; (3) konvensi ditaati semata-mata didorong oleh
tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan Negara; (4)
konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya
(sebaliknya) discretionary powers dilaksanakan(Sirajuddin dan Winardi,
2015:18)..

Jelas dalam pandangan diatas, kaidah-kaidah yang berkembang


menjadi landasan dasar tumbuh dan berkembangnya hukum adalah
dimulai dengan lahirnya konstitusi dalam sebuah Negara. Hal ini
meyakinkan kita bahwa keberadaan konstitusi menjadi bagian terpenting
dalam sebuah Negara dan juga menjadi citra luhur konsep kemajuan
bangsa.

Jemes Madison, seorang penyusun utama konstitusi menuliskan


pengamatannya: “seandainya manusia adalah malaikat, maka pemerintah
tidak akan diperlukan. Seandainya malaikat memerintah manusia, maka
tidak perlu adan kontrol internal dan eksternal terhadap pemerintah. Dalam
merancang sebuah pemerintahan yang diatur oleh manusia atas manusia,
kesulitan terbesar terletak dalam hal ini: pertama-tama anda harus
memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang diperintah; dan
selanjutnya, menentukan kewajiban pemerintah untuk mengontrol dirinya
sendiri”( Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).

11
Apa yang disampaikan james Madison di atas memberikan kata
kunci bahwa secara tidak langsung Negara memiliki porsi untuk bertindak
dan porsi yang ada dalam bertindak tersebut tidak bisa dikatakan semua
legal dan sah. Keabsahan suatu tindakan kekuasaan dalam Negara harus
dibatasi oleh element pengontrol kekuasaan yang ada tersebut yang ada
dalam konstitusi.

Uraian tersebut berkorelasi dengan apa yang disampaikan oleh


Soetandyo Wignjosoebroto dengan menyatakan bahwa ide
konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh kembang di bumi aslinya
Eropa Barat mengandung dua esensi; esensi pertama adalah “Konsep
Negara Hukum” atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh hukum Anglo
Saxon disebut Rule of Law yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum
secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu
hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua;
adalah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa
kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi, dan kekuasaan negara
akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya memperoleh
legitimasinya dan konstitusi saja (Jazim Hamidi dan Malik, 2009:13-14).

Tujuan yang demikian yang kemudian memungkinkan pengertian


konstitusi dalam Black‟s Law Dictionary memberikan pengertian
konstitusi sebagai the fundamental and organic law of a nation or state,
establishing the conception, character, and organization of its
government, as well as prescribing the extent of its sovereign power and
the nianrs of its exercise”. (Hukum dasar dan organik dan suatu bangsa
atau negara dalam menetapkan konsep, karakter, dan organisasi dan
pemerintahannya, juga menjelaskan kekuasaan kedaulatannya serta cara
dan pengujiannya)( Sirajuddin dan Winardi, 2015:47).

Hal inilah yang menjadikan konstitusi sebagai bentuk lain untuk


mengukur ciri khas suatu Negara dalam menjalankan fungsi baik fungsi

12
kekuasaan maupun fungsi yang dijalankan oleh masyarakat pada
umumnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disamping itu konstitusi yang dianggap sebagai cita ideal sebuah Negara,
maka konstitusi banyak diartikan menjadi arah penentu sutau Negara
dalam mewujudkan cita-citanya disamping juga konstitusi dianggap
sebagai cita-cita itu sendiri.

Kehadiran konstitusi merupakan condition sine qua non (syarat


mutlak) bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran
dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu
di dalamnya ditemukan letak relasional dan kedudukan hak dan kewajiban
warga negara. Konstitusi merupakan social contract antara yang
dipenintah (rakyat) dengan yang memenintah (penguasa, pemerintah).
Begitu pentingnya kehadiran konstitusi di sebuah negara, maka adalah
sulit dibayangkan bagaimana sebuah negara jika mengalami krisis
terhadap konstitusi Selain itu, secara umum sebagaimana dalam
terminologi ilmu politik, konstitusi mengandung dua pengertian, pei‟taina
dalani pengertian luas, yakni mencakup sistem pemerintah dari suatu
negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur
pemerintaham dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya(Majda El Muhtaj,
2005:28-29).

Begitu pentingnya kehadiran konstitusi bagi sebuah negara, maka


muncullah istilah pemerintahan konstitusional (constitutional government),
yakni pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Gagasan ini kemudian
melahirkan sebuah era baru konstitusionalisme (constitutio nalisin).
Intinya, menekankan adanva supremasi konstitusi dalam penyelenggaraan
pemerintahan sebuah negara. Dengan amat baik, Hitcner dan Levine
mengatakan sebagai berikut: Today, the ideal of constitutional government
is universally accepted among democracies. Each newly independent
nation considers the promulgation of a constitution a significant step in

13
attaining equal status with established states. The practice of
constitutionalism, however, is much less frequent, for “ the claim that a
constitution exists is not a guarantee that it really does. In fact, one of the
most important, and difficult, evaluations to make about a government is
whether or not it has working constitution.( Majda El Muhtaj, 2005:31)

Fungsi tersebut secara praktis, juga dapat kita tinjau dari sebuah
konsepsi dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
peyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenag-wenang. Caranya yang
efektif adalah dengan membagi kekuasaan. Konstitusi merupakan
perwujudan dari hukum yang tertinggi (supremasi hukum) yang harus
ditaati oleh rakyat dan penguasanya. Di negara-negara Komunis, undang-
undang mempunyai fungsi ganda, yaitu mencerminkan kemenangan-
kemenangan yang telah dicapai, dan undang-undang dasar memberikan
rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan
dalam tahap perkembangan berikutnya. Jadi, undang-undang dasar
mengikuti perkembangan kearah terbentuknya masyarakat komunis dan
diganti setiap kali dicapainya suatu tahap yang lebih maju(Syahrial
Syarbani, 2014:38).

f. Prinsip Dasar Dalam Pemikiran Konstitusi

J.C.T. Simorangkir dalam disertasinya, memberi istilah yang


berbeda tapi mempunyai makna yang sama, yaitu UUD 1945 merupakan
Izarya agung bangsa dan rakyat Indonesia. Undang Undang Dasar 1945
adalah konstitusi yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, yang persiapan-persiapan sebelumnya telah dilakukan oleh BPUPKI
(jadi terdapat kesamaan pandangan mengenai pengkualifikasian tokoh-
tokoh bangsa dengan yang dimaksudkan di atas). Lebih lanjut Simorangkir
mengatakan jika yang dimaksud UUD 1945 merupakan hasil karya agung

14
seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, maka yang dimaksud bukanlah
semata-mata penyusun, pengesahan, dan penetapan UUD sebagai suatu
proses formal perundang-undangan, melainkan yang lebih dipentingkan
lagi, bahwa UUD 1945 yang disusun, disahkan, dan ditetapkan itu,
maknanya, isinya, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam
merupakan hasil perjuangan dan milik seluruh hansa dan rakyat
Indonesia(Dahlan Thaib DKK, 2008:97).

Pandangan simongkir di atas menegaskan bahwa konstitusi


menjadi prinsip-prinsip bernegara. Dalam arti formal di sebagai hukum
dasar memang, akan tetapi prinsip dasar konstitusi tidak hanya mengarah
sebagai landasan dasar bernegara saja. Prinsip dasar konstitusi dianggap
sebagai institusi dasar dalam membentuk, melakukan rekayasan dan
element memperkuat pondasi dasar-dasar Negara agar tetap terjaga.

Jika konstitusi dikatakan demikian, maka dalam hukum dia harus


mampu menjadi cita dari sebuah perwujudan keadilan. Memandang
sebuah nilai hukum ketika akan diterapkan dan kemudian dikatakan
hukum itu adil atau tidak bukan hanya dilihat ada sebuah nilai putusan dan
puasnya para pihak sebagai objek putusan. Hal yang harusnya diterapkan
ada adalah keberadaan cita hukum sebagai prinsip dasar yang ada dalam
pemikiran konstitusi.

Cita hukum (ideals) adalah maksud, semangat, visi, misi, dan


obsesi yang melatarbelakangi lahirnya atau dibuatnya suatu aturan hukum
yang sering kali berhubungan dengan tempat dan waktu di mana aturan
tersebut dibuat. Misalnya, cita hukum dalam hal diperkenalkannya bentuk
usaha koperasi dalam hukum bisnis, yaitu untuk menolong pengusaha-
pengusaha kecil agar dapat berusaha dengan baik, tertib, adil, dan
terlindungi oleh hukum. Kemudian, cita hukum yang menyebabkan
dikenalnya sistem jun dalam sistam hukum Anglo Saxon ialah sebagai
lambang keikutsertaan rakyat masyarakat dalam memutus perkara, di

15
samping untuk mempermudah proses pembuktian karena asal muasal juri
dalam sejarah hukum merupakan para tetangga pelaku kejahatan yang
kemungkinan besar sangat mengetahui tabiat si pelaku, bahkan mungkin
mereka melihatnya ketika dilakukan perbuatan jahat tersebut. Sedangkan
di Indonesia, Pancasila sering disebut-sebut sebagai cita hukum
Indonesia(Munir Fuady, 2010:72).

Pada zaman abad pertengahan, prinsip dasar corak


konstitusionalismenya bergeser ke arah feodalisme. Sistem feodal ini
mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah.
Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang
harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi daripada tuan tanah, menjadi
tidak mendapat tempat. Pada abad VII (zaman kiasik) Iahirlah piagam
konstitusi Madinah. Piagam Madinah adalah konstitusi Negara Madinah
yang dibentuk pada awal masa kiasik Islam, tepatnya sekitar tahun 62.2 M.
Tinjauan tentang konstitusi Madinah secara memadai akan dibahas lebih
lanjut di Bab II(Dahlan Thaib DKK, 2008:3).

Prinsip-prinsip yang ada dalam konstitusi demikian juga menjadi


pedoman diselenggarakan beberapa lembaga, seperti pemerintahan yang
bertanggung jawab dan “sistem peradilan yang bebas. Jika demokrasi
dikaitkan dengan kontitusi, maka muncul istilah demokrasi konstitusi
sebagai lawan dan konstitusi otokrasi. Konstitusi demokrasi dan konstitusi
otokrasi menurut Hans Kelsen sebenarnya bukan gambaran tentang
konstitusi-konstitusi yang diberikan oleh sejarah, melainkan lebih
merupakan tipe-tipe yang ideal. Di dalam realitas politik, tidak ada satu
negara pun yang sepenuhnya ,sesuai dengan salah satu dan dua tipe ideal
ini. Tiap-tiap negara menunjukkan suatu perpaduan antar unsur dan kedua
tipe ini, sehingga sejumlah masyarakat lebih mendekati kepada kutub yang
satu, sementara sejumlah masyarakat lainnya lebih mendekati kutub yang

16
lain. Suatu negara disebut negara demokrasi jika berlaku prinsip demokrasi
di dalam oraganisasinya dan suatu negara disebut negara otokrasi apabila
berlaku prinsip otokrasi di dalam organisasinya, demikian Hans
Kelsen(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:24).

Namun tentunya cita konstitusi yang ideal memiliki makna yang


berbeda-beda dalam setiap institusi. Cita bagi institusi yudisial adalah cita
ideal penegakan hukum yang berkeadilan, cita ideal bagi eksekutif adalah
menjalankan undang-undang yang seseuai kedaulatan rakyat dan cita ideal
bagi legislative adalah pengawasan dan pembuatan undang-undang,
pengawasan dan penganggaran.

Dalam hal ini dapat diambil contoh semisal terdapat 6 (enam)


prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia
sebagaimana tercantum dalam The Bangalore Principle sebagai cita ideal
hakim sesuai konstitusi yakni:

1. Independensi (Independence Principle) Independensi hakim


merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat
bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

2. Ketidakberpihakan (Impartiality Principle). Ketidak berpihakan


merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai
pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap
perkara yang diajukan kepadanya.

3. Trite gritas (Integrity Principle). Integritas hakim merupakan sikap


batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian
setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalarn
menjalankan tugas jabatannya.

4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle). Kepantasan dan


kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan
antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai

17
pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas
profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan
kepercayaan.

5. Kesetaraan (Equality Principle). Kesetaraan merupakan prinsip yang


menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan
kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu
dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit,
jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi,
umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa.

6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence dan Diligence Principle)


Kecaka pan dan Kesamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam
pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin
dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan,
pelatihan dan atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan
kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan
kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan
dalam pelaksanaan tugas profesional hakim(Sirajuddin dan Winardi,
2015:141-142).

Cita hukum ideal bagi hakim atau institusi yudisial adalah bentuk
lain dari kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. tentunya akan
sangat berbeda dengan cita hukum bagi anggota DPR dalam menjalankan
fungsi pengawasan, penganggaran dan pembuatan perundang-undangan.
Perbedaan ini merupakan wujud karakteristik dari institusi-institusi
tersebut yang berbeda.

Hal tersebut terjadi karena secara definitif, alat-alat kelengkapan


suatu Negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara adalah
institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.
Dalam banyak istilah yang digunakan, istilah lembaga Negara atau organ
Negara mengandung pengertian yang secara teoritis mengacu pada

18
pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state organ. Menurut
Hans Kelsen, siapa pun yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan
oleh tatanan hukum (legal order) merupakan sebuah organ. Artinya, organ
Negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang
berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh
hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat
menciptakan norma (norm creating) dan atau bersifat menjalankan norma
(norm applying)( Sirajuddin dan Winardi, 2015:174).

19
BAB II
SEJARAH KONTITUSI

Tujuan Instruksional
1. Diharapkan melalui pemahaman sejarah dapat memhami kedudukan
konstitusi dari sebuah Negara.
2. Diharapkan melalui pembahasan sejarah konstitusi dapat memhamai kapan
konstitusi dalam sebuah Negara berlaku

A. Kedudukan Sejarah Konstitusi

Sesungguhnya, apa yang terjadi di dalam tatanan sosial kehidupan


manusia sekarang ini merupakan rangkaian sebab akibat yang bersumber
dan masa lalu. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa pengembangan
ilmu pengetahuan selalu seiring dengan tingkat pemikiran manusianya
(peradaban) manusianya. Apabila pada era masa lalu, ilmu pengetahuan
dikembangkan berbasis pemikiran Keillahian, namun dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan dikembangkan berbasis pikiran
manusia (rasio) dan melepaskan diri dan pengaruh keillahian. Sejarah
pemikiran masa lalu tidak bisa dilepaskan bahkan disalahkan, akan tetapi,
rasionalitas juga tidak bisa dipersalahkan. Keduanya, langsung atau tidak
langsung, memiliki andil dalam pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan
termasuk di dalamnya ilmu hukum(Fx Adji Samekto, 2013:11).

Makna yang demikian menggaisbesari bahwa hukum tidak akan


mungkin terbentuk tanpa proses sejarah yang dijalankan dan aplikasikan
sedemikian rupa sehingga wujudnya akan menjadi hukum yang lebih baik
pada masanya. Pemahaman atas kondisi tersebut juga berlaku pada produk
konstitusi yang terbentuk karena sebuah proses sejarah yang dengan
kontruksinya mendesaian konstiusi sebagai norma dasar yang patut
menjadi rujukan bagi norma-norma lainnya.

Dalam memhamai sejarah, pada prinsipnya perkembangan yang


ada dalam sebuah alam nyata merupakan kesadaran untuk merefleksikan

20
sejarah masa lalu yang senantiasa formal dan alamiah untuk ditegakkan
sebagai institusi yang akan menjadikan umat manusia terus berkembang
pada koridor yang diharapkan. Dalam konstitusi juga tidak jauh berbeda.
Adanya akar sejarah sebuah konstitusi dalam pembentukan hukum
menjadi salah satu Negara yang terus berkembang dan bergerak.

Tidak hanya demikian, konsepsi Negara menjadi salah satu bentuk


terjalinnya element-element yang senantiasa berpeluang untuk dipadukan
yang pada akhirnya menciptakan sebuah cita hukum yang tetap dan
konstans dapat digunakan alat ukur keadilan dan ketertiban selalu hadir
dan selalu ada dalam masyarakat untuk digunakan baik oleh element
pemerintah maupun element masyarakat itu sendiri. Hal ini semua
dibangun melalui proses sejarah yang panjang.

Peran sejarah terhadap konstitusi ini sangat mempengaruhi betul


adanya keberadaan Negara dalam tertib hukum. Desain Negara yang baik
tetap menjadi pola yang secara ideal mengembangkan Negara pada arah
yang responsive terhadap pembentukan pola pikir Negara yang selalu ideal
terhadap tantangan zaman, dengan istilah dari ius constitutum menuju ius
constituendum.

Testimoninya tersebut tidak jauh berbeda seperti halnya dalam


kondisi baik sejarah civil law maupun common law. Di dalam
perkembangan sejarah, tradisi hukum civil law menguat di Perancis,
kemudian diikuti Belanda, Jerman, dan berkembang di negara-negara
Eropa Kontinental. Tak ayal ketika Belanda menjalankan imperialisme dan
kolonialisme di Indonesia, maka tradisi hukum civil law mendominasi cara
berhukum di Indonesia. Hingga kini, dominasi cara berhukum civil law
menjadi kultur berhukum di Indonesia. Konsekuensinya, dalam sistem
hukum di Indonesia, kepastian hukum sangat mengandalkan pada
ketentuan hukum tertulis. Di sisi lain, tradisi hukum common law, yang
mengandalkan pada peran hakim, kurang dikembangkan di Indonesia.

21
Peran hakim dalam penemuan hukum sangat kecil. Padahal, karakter kasus
terus-menerus berkembang dan sesungguhnya tidak bisa didekati secara
deduktif saja. Sesungguhnya, tradisi hukum common law sangat memberi
ruang terciptanya keadilan yang kontekstual. Lebih lanjut, cara berhukum
yang memadukan tradisi hukum civil law dan common law secara
seimbang akan memberi manfaat bagi terciptanya keadilan substantif.
Oleh karena itu, bagi tujuan keadilan, upaya-upaya pemaduan tradisi
hukum civil law dan common law dalam tradisi hukum di Indonesia
seharusnya mulai dilakukan(Fx Adji Samekto, 2013:5).

Praktik tardisi dalam sejarah hukum yang demikian inilah yang


kemudian menjadi embrio hukum dan konstitusi di Indonesia yang dengan
bentuknya diiringi perjuangan bangsa mewujudkan adanya tatana Negara
yang dicita-citakan adil dan sejarahtera lepas dari proses penjajahan
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Karakterisktik yang ada di Negara
Indonesia tentunya dalam sejarahnya berbeda dengan Negara lain yang
bentuk Negara lain bisa jadi Negara tersebut terbentuk tidak melalui proses
penjajahan panjang akan sebagaimana Indonesia.

Berangkat berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa


sejarah konstitusi yang disetiap Negara berbeda tidak bisa kemudian
dipersamakan. Konstitusi sebagaimana idealismenya merupakan sebuah
cita-cita, tidak akan menjadi wujud lain dari adanya identitas hukum yang
terus berkembang. Adakalanya perkembangan dimotori oleh factor
kebiasaan, pengaruh gaya berpolitik maupun daya tekan kekuasaan yang
ada dalam sebuah Negara terhadap rakyatnya sehingga rakyat kemudian
mengambil keputusan untuk melakukan perubahan gaya pemerintahan
melalui berbagai macam cara.

Cara pandang dengan melihat dalam perspektif sejarah demikian


tentunya menjadi pertimbangan karaena memahami konstitusi tidak

22
terlepas dari upaya mereorientasikan apa yang diinginkan oleh pendiri
negar apada masa lampau, sebagaimana yang ada di Indonesia dengan
mempertimbangkan pancasila sebagai orientasi bangsa apa-apa yang ingin
dituju.

Pancasila sebagai dasar Negara dan konstitusi jelas dikehendaki


oleh seluruh rakyat Indonesia karena ia sebenarnya telah tertanam dalam
kalbunya rakyat, oleh karena itu ia juga merupakan dasar Negara yang
mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah, maka
Pancasila yang kita gali dan bumi Indonesia sendiri merupakan:

a. Dasar Negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dan


segala sumber hukum yang berlaku di Negara kita.
b. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita,
serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat kita yang beraneka
ragam sifatnya.
c. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan
corak yang khas kepada bangsa Indonesia, dan tak dapat dipisahkan
dan bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang membedakan
bangsa Indonesia dan bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan,
bahwa tiap-tiap Sila - secara terlepas dan yang lain - bersifat universal,
yang juga dimiiki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi
kelima Sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak berpisah-pisah
itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
d. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka. berdaulat, bersatu. dan berkedaulatan rakvat
dalam suasana perikehidupan bangsa yangaman. tenteram. tertib dan

23
dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia Yang merdeka.
bersahabat, tertib dan damai.
e. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil
rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan
yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali
dan kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang
terpendam sejak berabad-abad yang lain. melainkan karena Pancasila
itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah
perjuangan bangsa(Solly lubis, 1993:80-81).
Orientasi yang demikian sangat dipahami oleh jelas pada masa-
masa Negara Indonesia sebagai bangsa yang baru. Hal tersebut seperti
dalam penelitian Pompe yang sejalan dengan hasil studi yang pernah
dilakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah
Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan
dengan baik melalui pimpinan yang tegas dan penuh integritas dalam
menegakkan hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum JaksaAgung,
Soeprapto, yang
tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, kepengadilan karena tindak
pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang
jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak
pidana(Moh. Mahfud MD, 2013:170).
Berbeda dengan kondisi yang sekarang dimana memaknai
pancasila dan Undang-Undang Dasar dilepaskan dari proses sejarah.
Disini, problema yang sifatnya jangka panjang dan lebih mendasar harus
diselesaikan melalui solusi paradigmatik yakni pergeseran orientasi
paradigma atas konsepsi negara hukum dan rechtsstaat menjadi the rule of
law seperti yang banyak dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon.
Dengan paradigma ini, maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu
melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta
mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-

24
nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat
dalam setiap penyelesaian kasus hukum. Perubahan paradigma ini harus
diartikan pula sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan dan moral
sebagai sukma hukum yang akan dibangun untuk masa depan negara
hukum Indonesia. Untuk melakukan penggeseran paradigma itu,
kemungkinannya pada saat ini sudah lebih terbuka, sebab UUD 1945 hasil
amandemen tidak lagi secara eksplisit menyebut “rechtsstaat” sebagai
acuan negara hukum Indonesia. Istilah rechtsstaat yang dulu secara resmi
terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945 sekarang sudah tidak
dicantumkan lagi.Setelab UUD 1945 mengalami empat kali perubahan
(amandemen), Penjelasan UUD tersebut dihapuskan dan tidak lagi menjadi
bagian dan UUD 1945. Sebagai gantinya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
digariskan tentang negara hukum anutan Indonesia dengan bunyi ayat
“Negara Indonesia adalah negara hukum(Moh. Mahfud MD, 2013:186).

B. Permulaan Dianggapnya Konstitusi Sebagai Hukum

Sejarah konstitusi dianggap sebagai hukum dasar sangat sulit untuk


memastikannya. Hal ini mengingat bahwa konstitusi dianggap kesepakatan
politik yang harus ditetapkan dan berbagai pilihan yang berdasar
perspektifnya sendiri sama-sama baik. K.C. Wheare ketika mengatakan
bahwa konstitusi itu adalah resultante alias kesepakatan bangsa melalui
para pembuatnya (misalnya konstituante badan legislasi) sesuai dengan
situasi tempat dan waktu tertentu. Tepatnya, Wheare menulis:
Constitution, when they are framed and adopted, tend to reflect dominant
beliefs and interest, or some compromise between con (licr Ib eliefs and
interests, which are characteristic the society at r time... .A constitution is
indeed the resultant of parallelogram of forces -political, economic and
social- which operate at that its adoption. Proses pencapaian resultante
atau kesepakatan politik sudah pasti melalui perdebatan antar berbagai
konsep subtitusi mempunyai arti sangat penting bagi penyelenggaraan

25
negara, pemerintahan, dan perlindungan hak-hak rakyat. Tidak mungkin
sebuah konstitusi dapat lahir tanpa perdebatan dan kontroversi, kecuali
dalam keadaan tidak normal di mana sebuah konstitusi ditetapkan secara
sepihak oleh suatu kekuatan penguasa. Mutu sebuah konstitusi justru
menjadi tinggi jika pembuatannya melalui perdebatan-perdebatan yang
tajam. Hanya saja yang perlu ditekankan di sini, kita harus mempunyai
konstitusional, yakni sikap untuk tunduk dan melaksanakan konstitusi
dengan sebaik-baiknya jika sebuah resultante atau ikatan politik telah
disepakati melalui prosedur yang sah(Mahfud MD, 2010:114-115).

Hal di atas dapat kita tegaskan bahwa sebuah Negara ketika


menganggap konstitusi sebagai hukum dasar harus diawali dengan
permulaan wujud komitment. Meskipun perdebatan-perdebatan keras telah
menjadi cirri khas proses pembuatan konstitusi, nampaknya hal tersebut
hanya sekedar metamorphosis dari sebuah iklim proses berkonstitusi.
Dalam hal ini yang paling penting bukan soal beda pendapatnya, pada
tahap akhir yang paling penting adalah komitmentnya dibangun.

Akan tetapi wujud komitment tersebut tidak selamanya harus


diwujudkan tertulis semua. Dalam praktik ketatanegaraan konstitusi dibuat
dalam bentuk tertulis. Namun, jika dikatakan sebagai konstitusi tidak
dikodifikasi, tentu ada benarnya karena Konstitusi Indonesia yang
dikodifikasi adalah UUD 1945. Sedangkan menurut Wheare, dipandang
dan aspek bentuknya, konstitusi dapat dibagi menjadi konstitusi tertulis
(written) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten). Akan tetapi, kemudian
Wheare menambahkan, kiasifikasi konstitusi dalam bentuk tertulis
(written) dan tidak tertulis (unwritten) sebenarnya tidak tepat, dan yang
tepatnya adalah kiasifikasi antara negara-negara yang memiliki konstitusi
tertulis dan yang tidak memiliki konstitusi tertulis, atau antara negara-
negara yang mempunyai konstitusi dan yang tidak mempunyai konstitusi.
Lalu ia mencontohkan Inggris, bahwa negara mi bukannya memiliki

26
konstitusi tidak tertulis, namun justru sebenarnya negara mi tidak
mempunyai konstitusi tertulis. Oleh karena kebanyakan negara, termasuk
Inggris, tidak memiliki sistem ketatanegaraan yang diwujudkan semata-
mata dalam peraturan-peraturan tertulis atau semata-mata dalam peraturan-
peraturan tidak tertulis. Peraturan hukum maupun non-hukum dan tertulis
maupun tidak tertulis, semuanya dipadukan untuk membentuk suatu sistem
ketatanegaraan(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:97).

Model baik bentuk tertulis maupun tidak tertulis acapkali


menimbulkan polemic perdebatan baik tafsir maupun gagasan
konstitusional. Hal ini tentunya wajar. Sudah seperlunya memang yang
disoroti adalah bagaimana konstitusi dibentuk secara ideal dalam sebuah
dengan melihat dalam norma tekstual dan norma-norma yang hidup di
masyarakat.

Perdebatan dalam kelahiran konstitusi menjadi suatu hal yang


sangat memungkinkan terjadi. Kenyataan tersebut tidak dapat disangkal
lagi, karena memang, menurut F. Lassalle sebagaimana dikutif Abu Daud
Busroh dan Abu Bakar Busroh, konstitusi dipakai dalam dua pengertian,
yaitu pengertian sosiologis atau politis dan pengertian yuridis. Dalam
pengertian sosiologis atau politis (sociologische atau politische begrip),
konstitusi merupakan sintesis faktor-faktor kekuatan yang ada
(dereclemachtsfac toren) dalam masyarakat. Pada pengertian ini,
konstitusi akan menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan
tersebut, seperti raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik,
dan sebagainya(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:105).

Kedua unsur tersebut yang kemudian yang menjadi permulaan


dianggapnya konstitusi sebagai hukum. Hal yang mendasari dari itu semua
adalah kedudukan konstitusi secara tidak langsung akan menjadi sumber
bagi hukum yang lain karena konstitusi yang telah terbentuk secara
subtansi merupakan jalinan kekuatas yang terlahir secara abstrak dan

27
kongkrit perwujudan dari keteraturan masyarakat yang menjadi akar
penyesuaian pertama kali.

Pada sisi lain kedua unsur dalam mempraktikkan perannya dalam


membantuk konstitusi sebenarnya tidak bisa mandiri. Adanya pengaruh
pada pihak lain yaitu unsure letak kekuasaan menjadi cirri khas yang tidak
bisa dihindari dari keberadaan konstitusi. Fakta tersebut kita ambil saja
pada masa Imperium Romawi.

Tradisi hukum era Imperium Romawi sesungguhnya mewarisi


tradisi hukum Yunani. Adapun tradisi hukum Yunani sebenarnya dapat
dirujuk dan pemikiran Plato dan Anistoteles. Pemikiran-pemikiran mereka
telah menginspirasi lahirnya hukum alam yang dipengaruhi pemikiran
Keilahian. Tradisi hukum alam yang berorientasi pada Keilahian ini
bertahan hingga hampir 300 tahun sesudah keruntuhan Imp erium Romawi
Timur (1453). Hukum alam yang berkembang di Imperium Romawi,
digunakan terutama untuk mengatur hubungan orang dengan orang
(hubungan privat). Hal itu bisa dipahami mengingat bahwa pada masa
Imperium Romawi, kekuasaan raja merupakan kekuasaan mutlak yang
tidak tersentuh oleh hukum. Raja diasumsikan selalu benar adanya. Pihak
yang bisa menjadi objek keberlakuan hukum adalah rakyat. Dalam konsep
kemutlakan raja, keberadaan rakyat adalah karena belas kasihan
penguasa(Fx Adji Samekto, 2013:24-25).

Begitupun sebaliknya, jika kemudian kekuasaan rakyat yang


tertinggi dipandang oleh penciptaan unsur sosiologis dan yuridis sebagai
kekuatan besar, maka sudah barangpasti hukum dianggap menjadikan
rakyatlah sebagai kekuatan yang dominant dibandingkan kekuasaan. Hal
ini bisa kita bandingkan pada era imperium romawi dengan era saat ini
yaitu ketika Undang-Undang dasar Negara republic Indonesia menegaskan
bahwa Indonesia adalah Negara hukum dan kekuasaan tertinggi ada di
tangan rakyat.

28
Hal inilah yang menjadi dasar dari terbentuknya hukum yang
tentunya tidak bersifat konstan. Sebagaimana pandangan Oliver Wendel
Holmes yang memperperkuat oleh Jerome Frank (1889-1957) yang
menyatakan bahwa hukum tidak bisa disamakan seperti aturan-aturan alam
yang bersifat konstan. Aturan-aturan alam seperti itu berbasis logika,
sedangkan hukum tidak seperti itu. Hukum sebagai aturan yang diharapkan
dapat mengatur kehidupan manusia tentu banyak dipengaruhi faktor-faktor
lain dalarn pembentukannya. Pembenaran terhadap legal realisme bagi
penulis dapat dilandaskan pada argumen bahwa, faktor-faktor yang ada di
dalam kenyataan sesungguhnya sesuatu yang kompleks yang tidak bisa
dilogika secara deduktif berbasis ajaran-ajaran logika ilmu pengetahuan
alam yang ketat. Sesuatu yang berbasis fakta tidak bisa dipungkiri, dan
tidak selalu harus dipersalahkan berbasis teori(Fx Adji Samekto, 2013:68).

Meskipun demikian, apabila kekuasaan tertinggi dimiliki oleh


rakyat, belum tentu hal ini menjadi sebuah kemutalkhan dalam hukum
yang terlahir oleh konstitusi, hukum menjadi unsure yang berpihak bagi
kepentingan masyarakat. Hal tersebut mengingat terbangunnya intepretasi
yang jelas-jelas terfokus pada kepentingan rakyat tersebut produk hukum
hasil konstitusi, dengan melihat pada sebuah factor yaitu sejauhmana
component strktural digerakkan.

Komponen bersifat struktural adalah kelembagaan yang diciptakan


oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem tersebut. Salah satu dan lembaga-lembaga
semacam itu adalah pengadilan. Di dalam kerangka strukturalnya ini maka
kita misalnya dapat membedakan antara jenis-jenis pengadilan yang
diciptakan oleh sistem hukum, seperti pengadilan negeri, pengadilan
administrasi, pengadilan agama dan sebagainya. Selanjutnya tentang ada
atau tidaknya dasar-dasar peraturan yang melandasi bekerjanya lembaga
hukum tersebut; tentang pembagian kompetensi di antara para hakim

29
sendiri tentang pembagian kekuasaan di antara para hakim serdiri tentang
pembagian kekuasaan di antara hakim, legislator, eksekutip dan
seterusnya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa dengan mengemukakan
komponen strukturalnya ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana
sistem hukum itu membenihkan pelayanan terhadap penggarapan bahan-
bahan hukum secara teratur(Sadjipto Rahardjo, 1980:84).

Sebagai rujukan bisa diambil sampel hakim yang ada di amerika


sebagai sebuah testimony peran structural dalam mempengaruhi
terbentuknya hukum dari penafsiran konstitusi. Hakim dalam hal ini
dianggap memiliki peranan yang strategis dalam ruang structural hukum.

Di dalam studinya terhadap para hakim di Amerika Serikat,


Chambliss dan Seidman menghubungkan antara sikap-sikap konservatip
dan para hakim dengan tekanan keadaan yang bekerja atas diri mereka.
Sebagai manusia yang tidak ada bedanya dengan orang-orang lain, maka
hakim juga menghendaki status, kekuasaan dan kedudukan istimewa
(privilege) yang semakin meningkat di masyarakat. Untuk memenuhi
keinginan-keinginan tersebut maka ia harus memandang ke atas, kepada
hakim yang lebih tinggi. Mereka menyadari, bahwa keputusan-keputusan
yang mereka buat merupakan indeks yang paling penting untuk
menentukan kenaikannya. Di samping tekanan untuk bersikap patuh
kepada pola pikiran yang berkuasa, masih ada lagi tekanan lain yang lebih
Iangsung sifatnya. Hakim, terutama para hakim tingkat banding,
mempunyai kemungkinan besar untuk memegang status yang tertinggi di
dalam masyarakat. Dalam kedudukannya yang demikian itu maka ia akan
terlibat dalam suasana kehidupan golongan atas, golongan elite.
Menghadiri acara-acara minum-minum, keanggotaan di dalam klub-klub,
pertemuan-pertemuan politik, merupakan bagian dan kegiatan-kegiatan
sosial yang harus dilakukannya. Dengan demikian ia akan mengalami
pergaulan yang erat dengan orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan

30
orang-orang kaya. Di sini pengaruh orang-orang tersebut dengan mudah
akan memasuki pikiran para hakim melalui percakapan-percakapan
informal yang dilakukan di situ(Sadjipto Rahardjo, 1980:64).

Berangkat berdasarkan uraian di atas, konstitusi sebagai hukum


tidak bisa mandiri. Ketertarikan kepada unsure penegak hukum menjadi
salah satu unsure penting bagi konstitusi bukan hanya pada proses
pembuatannya akan tetapi pada proses penegakannya. Oleh karena itu
konstitusi permulaanya dianggap sebagai hukum bergantung pada
manusianya, sejauh mana manusia mampu menerjemahkan dan menjadi
karakter keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam masyarakat, maka
sejauh itupula hukum akan menjadi unsur yang mengakar secara baik.

Ide tentang permulaan konstitusi tentunya akan menjadi perdebatan


yang panjang jika hanya mengedepankan akar sosiologis pemikiran
personal. Disinilah perlu dan pentingnya memahami permulaan konstitusi
bedasarkan akar filosofis yaitu ajaran konstitusi dimana konstitusi
memiliki ajaran pokok dan baku dalam keberlakuannya.

Pengertian dari Konstitusionalisme atau ajaran konstitusi sendiri


adalah, Konstitusionalisme merupakan pemikiran yang telah lama
berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan.
Pembatasan kekuasaan itu terutama dilakukan melalui hukum lebih khusus
lagi melalui konstitusi. Constituionalism is a belief in imposition of
restrains on government by means of a constituion. Menurut Daniel S Lev
pada intinya konstitusionalisme adalah proses hukum.Sementara itu
menurut Mc Ilwan sebagaimana dikutip Adnan Buyung Nasution, ada dua
unsur fundamental dari paham konstitusionalisme, yaitu batas-batas
hokumterhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan
pertanggungjawaban politik sepenuhnya dari pemerintah kepada yang di
perintah(Sri Soemantri Martosoewignjo, 2005:1-2).

31
Disamping itu yang perlu ditegaskan adalah di dalam gasasan
konstitusinalisme, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya
merupakan suatu dakumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan
(anatomy of a power relationship), seperti antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Akan tetapi dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi atau
undang-undang dasar dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai
fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan di satu pihak
dengan melakukan perimbangan kekuasaan antara eksekutif, parlemen dan
yudikatif. Sementara di pihak lain menjamin hak-hak asasi dan hak-hak
politik dari warganegaranya. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan
dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintah, sesuai dengan dalil: “Government by laws, not by men”
Negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional States
(negara konstitusional). Sementara Adnan Buyung Nasution dalam
desertasinya, mengatakan bahwa yang dimaksud negara konstitusional
adalah pertama-tama ia merupakan negara yang mengakui dan menjamin
hak-hak warga negara, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya
secara hukum. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Muhammad Yamin,
yang mengatakan bahwa dalam pengertian konstitusionalisme harus
dipenuhi persyaratan: (1) bahwa pengakuan dan deklarasi hak-hak asasi
manusia merupakan persyaratan mutlak bagi setiap deklaraasi
kemerdekaan suatu negara; (2) kekuasaan rakyat atau kedaulatan harus
diselaraskan dengan keadilan; (3) kedaulatan rakyat dan kesejahteraan
rakyat tidak hanya perlu dicatat dalam istilah yang jelas, tetapi harus
diwujudkan pula dalam pasal-pasal yang jelas di dalam undang-undang
dasar(Taufiqurrohman S, Negara Konstitusional: 9-10).

Prinsip yang ada di atas merupakan sebagai indikator dalam ajaran


konstitusi yang menegaskan keberlakuan konstitusi melihat dari aspek
berlakunya hak asasi manusia dalam norma konstitusi, adanya kekuasaan
rakyat dan system kedaulatan rakyat yang dibuat secara tegas dan jelas.

32
Kaidah hak asasi manusia sendiri paling tidak menjadi indikator utama
dalam keberlakuan konstitusi.

Ajaran konstitusi semisal dalam kaitannya hak asasi manusia


mengingat kebebasan warga negara sangat erat kaitannya dengan “hak
asasi” atau human right, terutama dengan hak asasi yang paling
fundamental antara lain :

a) Kebebasan untuk bergerak atau berpindah


b) Kebebasan untuk berkumpul atau berorganisasi
c) Kebebasan berbicara secara lisan atau tertulis
d) Kebebasan beragama dan beribadah
e) Kebebasan berkontrak dalam bidang perdata
f) Kebebasan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan(Ahmad Kamil,
M. Fauzan, 2004:18).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945


juga menegaskan hal demikian yang diantaranya dapat dicontohkan dalam
pasal 28 yang dapat diuraikan menjadi salah satu bentuk prinsip-prinsip
dasar konstitusi. uraian atas pasal 28 dalam Undang-Undang Dasar Negara
sebagai berikut :

Table 2.1
Pasal 28 Undang-Undang Dasar
No Pasal Isi Pasal
1 Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya
2 Pasal 28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3 Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.

33
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
4 Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
5 Pasal 28E (1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
keper-cayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
(3)Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
6 Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
7 Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
8 Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

34
keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
9 Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemer-dekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
10 Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Prinsip dasar yang tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar
tersebut merupakan prinsip nyata keberadaan Negara dalam mmeberikan

35
jaminan terhadap hak individu maupun kelompok baik. Tentunya hal ini
juga berlaku dalam konstitusi setiap Negara karena menjadi komitment
bahwa hak asasi manusia menjadi bagain yang tidak bisa ditinggalkan
dalam muatan konstitusi.

36
BAB III
TERBENTUKNYA KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Dapat memberikan pemahaman terkait proses terbentuknya konstitusi baik
secara teoritis maupun praktis
2. Memberikan pemahaman posisi norma sebagai pembentuk konstitusi
dalam sebuah Negara
3. Memberikan pemahaman alasan ideology sebagai pembentuk kaidah-
kaidah dasar dalam konstitusi

A. Norma Sebagai Pembentuk Konstitusi

Secara sosiologis, hukum merupakan lembaga kemasyarakatan


yaitu himpunan daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh karena hukum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pokok seluruh warga masyarakat akan ketertiban dan sebagai lembaga
kemasyarakatan hukum jelas berfungsi sebagai pedoman bertingkah laku,
sebagai alat untuk menjaga keutuhan masyarakat dan sebagai suatu sistim
pengendalian sosial (Bambang Arumanadi, Sunarto, 1990:3).

Pada sisi lain selain mengartikan arti sosiologis, dalam hal ini
mengingat Ilmu hukum mempelajari hal-hal yang bersifat meta yuridis
yang mendasari keberlakuan suatu norma hukum. Ilmu hukum juga
mempelajari asal-muasal (sumber) dan keberadaan sistem hukum modern.
Ada keterkaitan erat antara pengaruh ajaran-ajaran era Imperium Romawi
dengan keberadaan sistem hukum modern. Imperium Romawi telah
menguasai hampir seluruh daratan Eropa sejak 27 Sebelum Masehi hingga
476 Masehi (untuk Kekaisaran Romawi Barat) dan hingga 1453 (untuk
Kekaisaran Romawi Timur). Begitu lamanya cengkeraman Imperium
Romawi atas daratan Eropa menyebabkan pengaruh tradisi budaya
maupun hukum-hukum dan Imperium Romawi menjadi sangat mengakar
di daratan Eropa(Fx Adji Samekto, 2013:10).

37
Hukum memiliki makna sosial disamping makna yuridis-normatif
yang melekat. Makna sosial dan hukum dapat memberikan gambaran
kepada kita bagaimana konsep yuridis normatifdijalankan di dalam
masyarakat. Berbagai doktrin yang lazim diterima sebagai sesuatu “yang
baik-baik” begitu sajajuga dapat mempunyai makna sosial yang tidak
persis sama seperti dipikirkan orang. Dalam doktrin ROL misalnya,
diterima asas “Supremacy of Law” dan kita menerima begitu saja asas
tersebut sebagai sesuatu yang memang baik, adil dan sebagainya. Tetapi
makna sosial dan asas seperti itu dapat menjadi lain apabila diterapkan
dalam kenyataan. Dalam konteks kenyataan kita akan menghadapi para
justisiabel yang berbeda dalam kemampuan ekonominya, dan karena itu
tidak semua orang dapat menikmati bekerjanya asas yang tampak netral
atau non diskriminatif tersebut dengan sama baiknya. Pengamatan
sosiologis menunjukkan, bahwa dalam dunia hukum tidak hanya terjadi
pergumulan yuridis, tetapi juga ekonomi dengan segala akibat dan
hasilnya. Marc Galanter misalnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa
dengan kekuatan ekonomi (uang), maka seseorang dapat memenangkan
suatu perkara (“the haves come out ahead”). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, doktrin “supremacy of law” dapat mempunyai makna
sosial yang lain, yang bahkan dapat menimbulkan ketidakadi1an atau efek
diskriminatif. Kebenaran pemyataan-pernyataan tersebut di muka, dapat
terbukti dan praktik-praktik hukum di Indonesia. Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum. Konsepsi negara berdasar atas ukum Indonesia
memiliki ciri-ciri (yang dioper dan Rule of Law):

1. Adanya asas legalitas yuridis (juga berarti supremacy of law)


2. Adanya peradilan yang bebas , merdeka, mandiri (independen
judiciary) dan
3. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
(equality before the law)( Suteki, 2013:182-183)

38
Hukum yang dimaksudnya dalam hal ini adalah “norm”. kualitas
hukum memang sejatinya tidak bisa dilepasakan oleh pembentukan
masyarakat. Oleh karena itulah maka konsepsi dalam konstitusi kita yaitu
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
menempatkan dasar Negara hukum pasal 1 ayat 3 keberaanya di dahului
pasal 1 ayah 2 yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan dijalankan sesuai
dengan UUD.

Norma hukum harus dibentuk dalam suatu cara tertentu dan


dituangkan dalam format tertentu. Pendapat seorang ahli hukum dalam
sebuah buku misalnya belum dapat dikatakan sebagai norma hukum
karena belum memenuhi bentuk yang dipersyaratkan oleh norma. Lain
halnya kalau ucapan itu kemudian dikutip oleh seorang hakim dan
dimasukkannya kedalam pertimbangan putusannya. Dapat dikatakan,
ucapan ahli tadi telah mengalami transformasi dan bentuk doktrin menjadi
putusan hakim. Doktrin di sini bukan merupakan norma hukum, tetapi
sumber formal hukum. Adapun putusan hakim, adalah sumber formal
hukum sekaligus norma hukum(Muhammad Erwin, 2013:119).

Pesan singkat yang diuraikan dalam konstitusi kita sebenarnya


menegaskan bahwa konstitusi sebagai nilai dasar dalam hukum terlahir
dan berkembang di tengah keberadaan masyarakat. Konstitusi dalam hal
ini bukan hanya sebagai nilai dalam masyarakat akan tetapi kemudian
menjadi acuan normative dari masyarakat tersebut untuk berkembang.

Konsepsi norma sebagai pembentuk konstitusi tersebut akan


berbeda dengan pandangan aliran normative hukum diantara oleh Austin.
Menurut paham positivisme, hukum diartikan sebagai berikut.:

1. Hans Kelsen memberikan arti kepada hukum sebagai suatu sistem


norma yang keabsahannya berasal dan norma dasar (grundnorm).

2. Menurut John Austin, hukum merupakan suatu perintah- (command)


dan pemeg ang kekuasan untuk mengatur anggota masyarakat.

39
3. Menurut Aif Ross (Denmark), hukum adalah seperangkat ide normatif
yang abstrak yang berfungsi sebagai model interpretasi atas fenomena
hukum dalam kenyataannya.

4. Hukum adalah aturan yang digunakan oleh masyarakat dengan tujuan


untuk menentukan sifat manusia yang dapat dipaksakan kepadanya
dengan kekuatan kekuasaan publik. Untuk menentukan mana di antara
aturan dalam masyarakat yang merupakan aturan khusus tersebut
(aturan hukum), haruslah digunakan “tes asal-usul” (pedigree test).

5. Masalah yang tidak ada pengaturannya harus diputus dengan suatu


kebijaksanaan (misalnya kebijaksanaan hakim) untuk mencari
jawabannya di luar hukum yang ada, misalnya dengan jalan membuat
hukum yang baru atau menambah terhadap hukum yang lama(Munir
Fuady, 2010:38).

Konsepsi aspek normativisme tersebut dalam sebuah konstitusi


prinsipnya sah-sah saja, akan tetapi terdapat konsepsi nilai yang
seperlunya dikembangkan. Dalam pandangan Soetandyo Wignyosoebroto
menyatakan bahwa positivisasi norma-norma hukum adalah suatu proses
politik yang amat menentukan bagi perkembangan hukum sebagai suatu
applied art. Ajaran hukum mi dengan jabaran-jabaran yang dikembangkan
sebagai doktrin (seperti netralitas dan objektivitas dan impartialitas
hukum) sudah demikian standar sejak awal abad 19. Ajaran mi pun
kemudian diintroduksikan ke negara-negara jajahan Eropa termasuk
Indonesia. Dalam hal mi Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan di
negeri jajahan Hindia Belanda, doktrin-doktrin positivisme yang
dikembangkan dan liberal legal justice ini telah dicoba dikembangkan
lewat proses-proses replikasi(Fx Adji Samekto, 2013:56-57).

Dalam ranah legal formalism hukum dikonsepsikan terutama


sebagai sarana kontrol sosial untuk menjamin kepastian agar perilaku
selalu tetap dan dapat diprediksikan (Logika Normologik). Jadi, kajian

40
utamanya sebagaimana di sebut Soetandyo Wignyosoebroto, adalah
bermotivasi mengatur (to regulate). Norma hukum lalu menjadi pembenar
atau penolak perilaku, atau dengan kata lain, norma hukum digunakan
untuk melakukan justifikasi apakah suatu fakta memiliki dasar legitimasi
atau tidak. Berdasarkan hal itu, maka pola berpikir yang digunakan untuk
melakukan penelitiannya adalah silogisme deduktif. Akan tetapi
perkembangan keilmuan tidak pernah berhenti. Pencarian kebenaran
secara terus-menerus dalam dunia ilmu adalah keniscayaan. Demikianlah,
perkembangan pemikiran dalam (ilmu) hukum tidak berhenti pada
pemikiran tersebut di atas saja(Fx Adji Samekto, 2013:56-57).

Berangkat dari sinilah menjadi pembenar bahwa konstitusi menjadi


bentuk lain dari upaya pembenar dari konstitusi yang sifatnya dasar dalam
sebuah Negara. Meskipun demikian proses legalisasi norma di bawah
norma dasar harus memang benar-benar diseleksi betul bukan hanya pasca
pembuatannya, akan tetapi dalam implementasinya juga demikian.

Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky


mengembangkan teori yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam
bukunya berjudul Algeineine Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai
dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dan negara manapun selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah
berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma
yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma
dasar. Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-
lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dan suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan norma-norma
hukum dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang
terdiri dari:Kelompok I: Staatfundamentalnorm (norma fundamental
negara), Kelompok II: Staatgrundgeset-z (aturan dasar/pokok negara),

41
Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-undang formal) dan Kelompok IV
: Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan ortonom)
(Sirajuddin dan Winardi, 2015:13).

Pancasila disebut sebagai dasar Negara, sebagai


philosofisceggrondslag dalam pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya
berkedudukan sebagai Staatfundamentalnorm dalam system tata tertib
hukum di Indonesia. Dalam pengertian ini fungsi pancasila merupakan
sumber bagi pembentukan pasal-pasal dalam verfassungnorm atau
Undang-Undang dasar1945, merupakan sumber dan dasar bagi
pembentukan aturan-aturan dalam grundgesetznorm atau ketatapan MPR
dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan
gezetznor atau undang-undang. Konsekwensinya jikalau hal itu merupakan
suatau taat tertib hukum, maka secara keseluruhannya memiliki hubungan
yang sistematis, konsisten dan koheren(Kaelan, 2017:3).

Dalam hal penegakannya, norma hukum mendapat dukungan dan


kekuatan negara. Penguasa negara yang sah wajib menjamin keberlakuan
norma hukum itu, baik terhadap individu maupun masyarakat
keseluruhannya. Hukum tanpa dukungan kekuasaan hanya akan menjadi
kata-kata mati. Sekalipun demikian, kekuatan inipun tidak boleh
sewenang-wenang tanpabatas. Hukum pula yang membatasi penerapan
kekuasaan Negara itu(Muhammad Erwin, 2013:119).

Norma sebagai pembentuk konstitusi dianggap menjadi cita ideal


konstitusi dalam sebuah Negara. Akan tetapi tetap dalam hal ini
pembentukan norma sebagai landasan dasar konstitusi tersebut kiranya
belum dapat dikatakan instrument dasar terbentuknya konstitusi. dalam hal
ini terdapat konsteleasi politik yang mempengaruhi terbentuknya
konstitusi dalam sebuah Negara.

42
Sebagai uraian pengaruh konsteliasi politik dalam pembentukan
konstitusi dalam suatu Negara. Kiranya dapat dilihat dari perubahan
konstitusi di Indonesia melalui uraian, sebagai berikut :

a) Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun


1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan
memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
lembaga legislatif.
b) Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000
meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat
kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang
HAM.
c) Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun
2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara,
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan
ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
d) Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun
2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan
tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara,
penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang
pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan
kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan(Jimly
Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila:9).

Disinilah jelas bahwa pengaruh politik dalam pembentukan


konstitusi dominant dalam menentukan kualitas norma. Peran sentral yang
peru dikedepankan memang seharusnya desain politik yang utama
dijabarkan oleh kekuasaan partai politik benar-benar mampu menjamin
masalah pokok itu semua.

43
Mukthie Fadjar menegaskan fungsi partai politik secara umum
sebagai berikut:

a. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu di satu pihak merumuskan


kepentingan (interest articulation) dan menggabungkan atau
menyalurkan kepentingan (interest aggregation) masyarakat untuk
disampaikan dan diperjuangkan kepada pemerintah, sedangkan di
pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan menyebarluaskan
kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya anggota
partai politik yang bersangkutan).

b. Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang


memperoleh pandangan, orientasi, dan nilai-nilai dan masyar akat di
mana dia berada. Proses tersebut juga mencakup proses di mana
masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dan satu generasi
ke generasi berikut-nya.

c. Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment),


yakni proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak
orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.

d. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam Negara


demokratis yang masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan
persaingan pendapat sangatlah wajar, akan tetapi sening menimbulkan
konflik sosial yang sangat luas. Oleh karena itu, konflik harus bisa
dikendalikan atau dijinakkan agar tidak berlarut-larut yang bisa
menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini,
parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin(Sirajuddin
dan Winardi, 2015:286-287)

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa jika desain partai politik


diarahkan dengan baik akan menentukan kualitas penjabaran norma dalam
konstitusi menjadi optimal. Unsure-unsur keberlakuan konstitusi sebagai

44
sebuah ajaran juga bisa dijalankan dengan mudah dalam keberlakuan
norma dibawah norma konstitusi.

Oleh karenanya mengingat kekuasaan politik mempengaruhi


terbentuknya konstitusi, maka dalam pelaksaannya konstitusi kekuasaan
juga menjadi unsure dominant dalam pemberlakuan konstitusi. unsure
inilah yang menjadikan dasar Negara memiliki kekuasaan fisik. Negara
mempunyai monopoli kekuasaan fisik kata Von Eering, yang artinya
negara sebagai salah satu organisasi dalam masyarakat dibedakan dengan
organisasi-organisasi lainnya karena ia memiliki hak istimewa dalam
mempergunakan kekuatan jasmaniahnya, misalnya:

1. Negara bisa memaksakan warga negaranya untuk tunduk kepada


peraturannya, jika perlu dengan sanksi hukuman mati.

2. Negara bisa memerintahkan warga negaranya untuk mengangkat


senjata untuk membela tanah airnya, sekalipun berada di luar negeri.

3. Negara berhak menentukan mata uang yang berlaku dan beh ak pula
untuk memungut pajak.

Oleh Miriam Budiardjo, kekuasaan politik diartikan sebagi


kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemeritah) baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan tujuan-tujuan
pemegang kekuasaan sendiri. Misal, sebelum reformasi dalam sistem
pemerintahan (sistem politik) yang berlaku di Indonesia sebagai suatu
konvensi ketatanegaraan bahwa Presiden/Mandataris MPR menyiapkan
bahan-bahan untuk ketatapan-ketetapan MPR mendatar Kalau bahan-
bahan tersebut sebagai rancangan ketetapan MPR kemudian oleh MPR
dijadikan ketetapannya, maka Presiden/Mandataris MPR telah
mempengaruhi kebijaksanaan umum (kebijaksanaan atau ketetapan MPR)
baik terbentuknya ketetapan-ketetapan MPR tersebut maupun akibat-
akibatnya, dan tentu sesuai dengan keinginan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan(Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994:118).

45
Dalam contoh lain bentuk kekuasaan presiden dalam masa
jabatannya dirubah mengingat kondisi demokrasi politik pasca reformasi
juga berubah. Hal ini dapat dimuat dalam Perubahan I (pertama) 19
Oktober 1999 yang sebelumnya berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali, yang kemudian dirubah menjadi Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan. Perubahan dalam amandement pertama berdampak pada tatanan
system politik dan pemerintahan secara keseluruhan.

Selain itu dapat dicontohkan pula pasca reformasi melalui adanya


amandement Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia telah
merubah system politik yang pada era orde baru tidak tepat yang salah
satunya menempatkan kedudukan MPR. Perubahan tersebut diwarnai oleh
pada kondisi politik yang berubah pula.

MPR sekarang ini bukan lembaga tertinggi negara yang dulu


dilekatkan kepadanya karena MPR melakukan sepenuhnya kedaulatan
rakyat sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 yang asli. Penyebutan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
di masa lalu didasarkan juga pada bunyi Penjelasan, Bagian Sistem
Pemerintahan Negara butir III, yang menggariskan bahwa “Kekuasaan
Negara yang tertinggi di Majelis Permusyawaratan Rakyat,” yang
kemudian dimasukkan juga di dalam Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1 966. Padahal, seperti dikemukakan di atas, UUD basil
amandemen tidak lagi memiliki Penjelasan Tap MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 sudah tidak berlaku, baik karena pada tahun 2000
dengan Tap Nomor III/MPR/2000 maupun karena konsekuensi bahwa
menurut UUD 1945 hasil amandemen Tap MPR bukan merupakan
peraturan perundang-undangan(Moh. Mahfud MD, 2013:31).

46
Adanya penggarisan bahwa Tap MPR itu bukan merupakan
peraturan rundang-undangan dapat dengan mudah digali dan dipahami dari
dua pasal di dalam UUD yakni Pasal 24 C ayat (1) dan Aturan Tambahan
Pasal I serta Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004:

1) Pasal 24C ayat (1) menggariskan bahwa “Mahkamah Konstitusi


berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar..,” dan seterusnya. Ini berarti bahwa peraturan
perundang-undangan yang langsung berada di bawah UUD adalah UU.
Kalau seandainya ada Tap MPR di bawah UUD maka ketentuan
pengujiannya tentu akan menentukan bahwa MK menguji Tap MPR
terhadap UUD dan atau menguji UU terhadap Tap MPR Dengan
demikian, jelas bahwa Tap MPR bukanlah peraturan perundang-
undangan.

2) Aturan Tambahan Pasal I UUD basil amandemen menentukan bahwa


“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukurn Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang MPR
tahun 2003.” Ketentuan ini jelas memerintahkan kepada MPR untuk
meninjau dan menentukan status baru bagi semua Tap MPR/MPRS
yang sudah ditetapkan bukan sebagai peraturan perundang-undangan
lagi. Jadi ketentuan Aturan Tambahan ini dibuat karena Tap MPR
bukan lagi sebagai peraturan perundang-undangan sehingga harus
dibuat status baru unuk yang sudah ada dan terlanjur menjadi peraturan
perundang-undangan.

3) Berdasarkan ketentuan UUD hasil amandemen atas status Tap MPRS


dan Tap MPR itu maka Sidang Tahunan MPR tahun 2003

47
mengeluarkan Tap MPR yang (secara populer) dikenal sebagai Tap
Sapujagat yakni Tap Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapam MPRS dan Ketetapan
MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Tap ini
mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke
dalam enam kelompok status baru, yaitu: (1) yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku sebanyak 8 Tap (2) yang dinyatakan tetap
berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap, (3) yang dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
sebanyak 8 Tap, (4) yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya UU sebanyak 11 Tap, (5) yang dinyatakan masih berlaku
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR
hasil Pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap, (6) yang dinyatakan tidak
perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat final
(einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak
104 Tap(Moh. Mahfud MD, 2013:33-34).

Meskipun berdasarkan uraian di atas, unsure-unsur kepentingan


politik acapkali dominant dalam keberlakuannya, namun kedudukan
norma tetap utama dalam pembentuk konstitusi dalam suatau Negara. Hal
ini mengingat jika ditelaah dalam Undang-Undang Dasar terdapat pasal 1
ayat 2 yang menyatakan system kekuasaan dalam suatau Negara yang
dominant ada di tangan rakyat.

Hal tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa sebuah


pendekatan yang melihat hukum dalam konteks atau merupakan bagian
dan proses sosial yang lebih besar, akan menghasilkan pemahaman yang
Iebih baik terhadap hukum dan poses pembentukannya. Dengan
melakukan pengidentifikasian tentang hubungan kait-mengait antara
hukum dengan lingkungan sosialnya itu, baik ke depan maupun ke
belakang, dimungkinkan memperoleh gambaran lebih benar mengenai

48
kedudukan, peranan, kekurangan, dan macam-macam kualitas lain yang
melekat pada hukum.6 Dan segi asal usul hukum, timbulnya hukum
sebagai tingkah laku anggota-anggota masyarakat adalah karena didorong
oleh motif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Paul
Vinogradoff, hukum tumbuh dari praktekpraktek yang dijalankan anggota
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan antara yang seorang
dengan orang lain. Praktek-praktek itu tidak berpedoman pada norma
norma dan suatu sistem hukum tertentu, tetapi didasarkan pada
pertimbangan memberi dan menerima dalam hubungan yang diukur
dengan pertimbangan kepatutan atau kepantasan. based on a give and take
consideration in reasonable social intercourse. Masih menurut
Vinogradoff, tidak ada lembaga hukum yang timbulnya disebabkan karena
dimulai dengan pengaturan oleh hukum atau karena terjadinya
konflik(Suteki, 2013:83).

Masyarakat dengan sistem sosial yang tertentu akan memberikan


pedoman-pedoman kepada para anggotanya tentang bagaimana hendaknya
hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan. Pedoman-pedoman
bisa berupa larangan maupun keharusan. Apabila hal ini dihubungkan
dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya, maka pedoman itu
memberi tahu tentang bagammana masing-masmng anggota masyarakat
itu berbuat dalam hubungannya satu sama lain, dalam rangka mengejar
sumber-sumber daya tersebut. Suatu pasal undang-undang misalnya, bisa
mengatam an. bahwa untuk mendapatkan suatu barang yang diinginkan
Orang harus melakukan perbuatan jual-beli, artinya si pembeli harus
bersedia untuk membayar harga yang ditentukan. Disini, jalan masuk
untuk memperoleh sumber daya itu dilakukan dengan sarana uang, yang
berarti, mereka yang tidak memiliki uang sejumlah yang ditentukan oleh
harga itu, tidak akan mendapatkan barang tersebut. Secara lebih
konsepsional kita akan menemukan pernyataan tentang pembagian sumber
sumber daya dalam masyarakat itu dalam perundang-undangan yang

49
bersifat dasar, misalnya yang mengatakan, bahwa di suatu negara,
kehidupan perekonomian didasarkan pada azas kebebasan berusaha,
sedang negara lain didasarkan pada azas kekeluargaan atau
kebersamaan(Sadjipto Rahardjo, 1982:47-48).

Menurut Emile Durkheim, masyarakat itu mengikat oleh karena


adanya solidaritas di antara anggota-anggotanya. Untuk menjelaskan
mengenai perkembangan masyarakat yang berbeda-beda, Durkheim
menunjukkan adanya masyarakat dengan solidaritas mekanis dan
masyarakat dengan solidaritas organis. Solidaritas mekanis mendasarkan
terwujudnya masyarakat pada rasa keterikatan dan rasa persatuan di antara
anggota-anggotanya. Perbedaan pendapat dan penyimpangan-
penyimpangan tingkah laku merupakan hal yang bertentangan dengan
solidaritas. Di lain pihak, pada masyarakat yang didasarkan pada
solidaritas organis, terwujudnya masyarakat didasarkan pada kebebasan
para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk
berhubungan satu dengan yang lain, karena sifat sosial manusia maka
kebebasan demikian ini tidak menyebabkan musnahnya
masyarakat(Suteki, 2013:126-127).

Masyarakat atau kehidupan sosial sesungguhnya merupakan


himpunan dan berbagai macam hubungan antara para anggotanya.
Hubungan-hubungan inilah yang pada akhirnya membentuk kehidupan
sosial itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kehidupan sosial itu
merupakan jalinan dan Derbagai hubungan yang dilakukan antara para
anggota rnasyarakat satu sama lain. Hubungan-hubungan ini berkisar Dada
kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan ditujukan kepada
sasaran-sasaran dan yang paling kasar, seperti benda-benda ekonomi,
sampai kepada yang paling halus. Dalam hal perkawinan, misalnya, sulit
bagi kita untuk mengatakan, bahva di situ terlibat sasaran yang bersifat
kebendaan ekonomi. Namun bagaimana pun, tentunya kedua pasangan itu

50
hanya akan berhubungan satu sama lain apabila disitu ada suatu
kepentingan(Sadjipto Rahardjo, 1982:79-80).

B. Terbentuknya Negara Sebagai Dasar Lahirnya Konstitusi

Sebagaimana dalam konstitusi kita, norma dasar menjadi sarana


pembentuk konstitusi, dan konstitusi tersebut membentuk melalui
penjiwaan norma-normanya melalui gagasan baku dengan melahirkan
kaidah-kaidah dasar norma-norma di bawahnya. Bentuk inilah yang
kemudian dapat ditinjau dari berbagai macam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar misalnya.

Konsep yang demikian berbeda dengan konsep Negara hukum


klasik yang kering dengan norma. Konsep negara hukum formal (klasik)
mulai digugat menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah Perang
Dunia (World War). Beberapa faktor yang mendorong lahirnya kecaman
atas negara hukum formal, yang pluralis liberal, seperti dikemukakan oleh
Miriam Budiardjo antara lain adalah akses-akses dalam industrialisasi dan
sistem kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan
pembagian kekuasaan secala merata serta kemenangan beberapa partai
sosialis di Eropa(Majda El Muhtaj, 2005:22).

Dalam teori Norma Sumber Legitimasi yang dikemukakan oleh


Jimly Asshiddiqie, semisal alat-alat perlengkapan Negara dikelompokkan
menurut bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau pemberi
kewenangan kepada lembaga terkait. Di tingkat pusat pengelompokkan
lembaga-lembaga Negara terbagi atas.

1. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Dasar yang


diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden dan keputusan presiden.
Lembaga Negara pada tingkat konstitusi ini misalnya, DPR, DPD
,Presiden, BPK, MA dan MK. Kewenangan lembaga-lembaga ini
diatur dalam konstitusi, dan dirinci lagi dalam undang-undang,

51
meskipun pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan keputusan
presiden sebagai pejabat administrasi Negara tertinggi.

2. Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang diatur atau


ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan peraturan pemerintah,
peraturan presiden dan keputusan presiden. Lembaga tingkat kedua ini
adalah lembaga yang sumber kewenangannya berdasarkan undang-
undang. Proses pemberian kewenangan pada lembaga-lembaga mi
melibatkan peran DPR dan Presiden, atau untuk hal-hal tertentu
melibatkan pula peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Oleh karena
itu, pembubaran atau peru bahan bentuk dan kewenangan lembaga
semacam ini juga melibatkan DPR dan Presiden. Sebagai misal,
Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, KPK, KPI, PPATK dan
sebagainya, dibentuk berdasarkan undang-undang, karena itu tidak
dapat diubah atau dibubarkan kecuali dengan mengubah atau mencabut
undang-undangnya.

3. Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah atau


peraturan presiden, yang ditentukan lebih lanjut dengan keputusan
presiden. Lembaga-lembaga ini memiliki sumber kewenangan yang
murni dan presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga
pembentukannya sepenuhnya bersumber dari beleid presiden
(presidential policy). Artinya, pembentukan, perubahan ataupun
pembubarannya tergantung kepada kebijakan presiden semata.
Pengaturan mengenai organisasi lembaga Negara yang bersangkutan
juga cukup dituangkan dalam peraturan presiden yang bersifat
regeling, dan pengangkatannya dilakukan dengan keputusan presiden
yang bersifat beschiking.

4. Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan mentari, yang


ditentukan lebih lanjut dengan keputusan menteri atau keputusan
pejabat di bawah menteri. Pada tingkatan terendah ini, lembaga terkait

52
dibentuk atas inisiatif menteri sebagai pejabat public, berdasarkan
kebutuhan berkenaan dengan tugas-tugas pemerintah dan
pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Menteri dapat saja membentuk badan, dewan. Lembaga, ataupun
panitia-panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik (
Sirajuddin dan Winardi, 2015:178-180).

Berangkat dari uraian di atas, tentunya gagasan konstitualisme


telah tercermin dalam lembaga Negara sesuai dengan pemaknaan norma.
Namun tidak menepis kemungkinan memang berhasilnya norma dalam
menggiring noma-norma di bawahya tentunya berangkat dari kualitas
ketatanegaraan kita seara formil dan materiil yang didorong oleh kekuatan
political will.

Pandangan dengan mendudukan political will tersebut oleh penulis


menolak pemahaman dari beberapa tokoh hukum. Diantaranya Eugen
Erlich menekankan pada signifikasi sistem ekonomi sebagai faktor yang
penting dalam pembentukan hukum. Bagi Erlich, ekonomi merupakan
faktor yang menentukan bagi kehidupan. Dalam batas ini pendapat Eugen
Erlich sama seperti Karl Marx yang mengatakan dunia ini berubah karena
ekonomi, bukan karena politik. Pendapat Eugen Erlich yang pragmatis
seperti itu tampaknya tidak bisa dipungkiri apabila dibicarakan dalam
konteks kelahiran sistem hukum modern di Eropa Barat pada abad ke-19.
Pendapat Eugen Erlich di masa lalu itu kini tampak kebenarannya, apabila
kita menyimak karya David M. Trubek dan Alvaro Santos dalam bukunya:
The New Law and Economic Development A Critical Appraisal. Beberapa
hal dikatakan dalam buku tersebut: (1) hukum dan ekonomi merupakan
variabel yang saling memengaruhi; (2) pada periode 1950-1960 an
kebijakan pembangunan ekonomi dunia dipusatkan pada peran negara
dalam mengelola ekonomi dan harus dilakukan transformasi terhadap
masyarakat tradisional; (3) pada periode 1980-1990 an hukum diabdikan

53
pada pembuatan kebijakan pembangunan dan pemikir-pemikir neo-liberal
menekankan pada peran mekanisme pasar dalam pertumbuhan
ekonomi(Fx Adji Samekto, 2013:92).

Merespon hal di atas, penulis melihat aspek ekonomi menjadi


dominant dianggap mengigat kebutuhan manusia untuk berada pada
kekuasaan ekonomi memang tidak bisa dibantahkan. Hal tersebut
ditambah sumber hukum material adalah factor-faktor masyarakat yang
mempengaruhi pembentukan hukum, factor yang mempengaruhi materi
(isi) dari aturan-aturan hukum. Sumber hukum materil ini merupakan
faktor hukum yang membantu pembentukan hukum(Ni‟matul Huda,
2015:31). Namun tentunya dalam ranah pembentuk kita tidak
mengesampingkan retorika structural dalam menafsirkan konstitusi dalam
ruang perundang-undangan di bawahnya.

C. Ideology Sebagai Pembentuk

Salah satu wujud konstitusi seringkali didesiankan dalam wujud


ideology. Dalam sebuah Negara ideology memiliki peranan penting karena
ia sebgai jiwa dan menjadi bagian dari karakteristik sebuah Negara dalam
menjalankan tertib bernegara.

Kuntowijoyo membagi ideologi dalam bentuk ideologi murni dan


ideologi praktis. Ideologi murni selalu memerlukan ideologi praktis.
Ideologi Praktis dalam berbagai bidang kehidupan dapat diturunkan dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ideologi praktis itu adalah: (1)
Kekuasaan, yaitu amanat Tuhan dan rakyat yang harus diselenggarakan
secara bertanggungjawab dengan berbagai kekuasaan bersama kekuatan
sosial yang hidup dalam masyarakat; (2) Kesejahteraan masyarakat diatur
berdasar sistem kekeluargaan dalam arti harus diusahakan suatu proses
egalitarianisasi atas dasar idealisme kerakyatan; (3) Kehidupan sosial tidak
merupakan tempat bagi pertentangan antar-kelas dan golongan, tetapi
merupakan wadah konsolidasi tempat pertentangan-pertentangan

54
diselesaikan; (4) Budaya bangsa hidup atas dasar kepribadian dalam
kebudayaan, dan pemerintah bersama masyarakat menyelenggarakan
langkah ke arah preservasi, inovasi, dan kalau perlu proyeksi terhadap
budaya sendiri; dan (5) Tertib merupakan ideologi praktis yang lebih
merupakan langkah positif daripada negatif(Marilang,Jurnal Konstitusi
:261-262)

Peran ideology demikian memiliki implikasi yang bersifat


signifikan terhadap eksistensi pola pembangunan dan perwujudan Negara.
Kaitannya terhadap hal tersebut maka sangatlah memungkinkah masa
depan suatau bangsa dapat diprediksikan melalui instriument sejauh mana
ideology diterapkan. Semisal kaitannya ideology bangsa kita yang tertuang
dalam pancasila dalam sila kelima yait keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dalam bidang ekonomi maka fungsi Negara adalah memberikan
jaminan.

Secara teoritis, W. Friedmann mengemukakan empat Konsep


fungsi negara dalam bidang ekonomi, yaitu :

a. Fungsi negara sebagai provider (penjamin). Fungsi ini berkenaan


dengan negara kesejahteraan (welfare state) yaitu negara
bertanggungjawab dan menjamin suatu standar minimum kehidupan
secara keseluruhan serta bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya
b. Fungsi negara sebagai regulator (pengatur). Kekuasaan negara untuk
mengatur merupakan wujud dari fungsi sebagai regulator. Bentuknya
bermacam-macam, ada yang berupa peraturan perundang-undangan,
tetapi juga bersifat peraturan kebijaksanaan. Secara sektoral misalnya
pengaturan tentang investasi di sektor industri pertambangan, ekspor-
impor, pengawasan dan lain-lain.
c. Fungsi negara selaku entrepereneur (melakukan usaha ekonomi).
Fungsi ini sangat penting dan perkembangannya sangat dinamis.
Negara dalam kedudukan demikian, menjalankan sektor tertentu dalam

55
bidang ekonomi melalui badan usaha milik negara (state owned
corporations). Sifat dinamis tersebut berkaitan dengan usaha yang
terus menerus dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dan hidup
berdampingan (co-existence) antara peran sektor swasta dan sektor
publik.
d. Fungsi negara sebagai umpire (wasit, pengawas). Dalam kedudukan
demikian, negara dituntut untuk merumuskan standarstandar yang adil
mengenai kinerja sektor-sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi,
di antaranya mengenai perusahaan negara. Fungsi terakhir ini diakui
sangat sulit, karena di satu pihak negara melalui perusahaan negara
selaku pengusaha, tetapi di lain pihak ditentukan untuk menilai secara
adil kinerjanya sendiri di banding dengan sektor swasta yang lainnya
(Marilang, Jurnal Konstitusi :277-278).

Jika Negara dalam fungsinya menjamin itu semua yaitu prinsip-


prinsip keadilan sosial dengan menekankan pada Fungsi negara sebagai
provider (penjamin), Fungsi negara sebagai regulator (pengatur), Fungsi
negara selaku entrepereneur (melakukan usaha ekonomi), dan Fungsi
negara sebagai umpire (wasit, pengawas) tentunya prediksi negar aakan
stabil dalam mewujudkan kesejahteraan dapat tercapai dengan mudah. Hal
inilah yang kemudian dapat dikatakan ideology menjadi unsure indikator
penting dalam sebuah Negara dan ideology menjadi pembentuk norma-
norma yang terdapat dalam konstitusi.

Ideology terbentuk bukan hanya berdasarkan pada sebuah


karakterisktik local yang sifatnya murni. Bisa memungkinkan dalam
desainnya sebuah ideology terbentuk karena sebuah proses pencampuran
atas berbagai ideology yang ada yang kemudian membentuk dalam dalam
masyarakat dan satu sama lain saling mempengaruhi semisal ideology
islam yang ada di Indonesia yang mewarnai ideology Negara kita.

56
sebagaimana yang disimpulkan oleh Schacht dalam Encyclopedia
of the Social Science bahwa Islam tidak hanya sebuah agama, namun juga
merupakan ideologi politik dan hukum yang telah direalisasikan dalam
sebuah kekuasaan terbesar dan meluas di berbagai negara sampai pada hari
ini. Islam menunjukan seluruh kebudayaan yang meliputi agama dan
negara yang bersumber pada konsep negara dan ajaran Islam yang murni
(Cecep Supriadi, Jurnal Kalimah:207)

Konsep masuknya ideology agama dalam ideology nasional kita


karena dimungkinkan beberapa alasan Pertama, Demokrasi Islam yang
didukung oleh Muhammad Natsir. Model ini berupaya menerima nilai-
nilai politik modern tanpa mengabaikan doktrin-doktrin Islam klasik.
Islam sebagai dasar negara yang sifatnya komprehensif dalam mengatur
kehidupan manusia, membumi, dan cocok untuk segala zamandan tempat.
Dengan karakter seperti ini, Islam tidak dapat ditundukan di bawah sistem
manapun. Dalam pandangan Natsir Islam harus menjadi dasar negara
karena dua alasan; pertama, Islam adalah agama lengkap dan sempurna
yang memberikan doktrin bersifat global tentang sosial politik. Kedua,
secara sosiologis, Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun
tetap menjunjung tinggi toleransi serta menghargai ajaran agama lain.
Umat Islam yang mayoritas itu memerlukan suatu landasan yang kokoh
bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan dijadikannya Islam
sebagai dasar negara, diharapkan terciptanya cita-cita bersama baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafur(Cecep Supriadi, Jurnal Kalimah : 213).

Berkaitan dengan ideology pancasila sebagai citra bangsa maka


Banyak diuraikan dalam sejarah bangsa Indonesia bahwa pancasila
merupakan filosofische grondslag dan common platforma. Pancasila
merupakan dasar negara. Tentu hal ini telah disampaikan oleh Notonagoro.
Pancasila tentu hal harus dicipatakan suatu ide-ide dalam pacasila untuk
bisa digunakan sebagai hukum positif. Dengan penepatan tersebut tentu

57
sudah menjadi ketentuan bahwa hukum, penerapan dan pelaksanaannya
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai pancasila. Namun, dalam
penerapannya pancasila menempatkan posisinya di atas konstitusi.
Penerapan nilai-nilai pancasila dalam konstitusi dapat dilakukan malalu
lembaga-lembaga pemerintahan sebagai penjabaran dari konstitusi.
Lembagalembaga tersebut tentu sudah mencakup dari bidang sosial,
ekonomi, lingkungan atau hukum. Sebagai bagian dari kebutuhan dan
tuntutan reformasi, telah lahir kelembagaan negara baru untuk memberi
ruang bagi penyelesaian berbagai masalah kemasyarakatan, mencakup
sosial, ekonomi, lingkungan atau hukum. Keadaan ini ditujukan bukan saja
untuk memperkuat fungsi lembaga kenegaraan yang sudah ada, tetapi juga
untuk mengkoreksi pengalaman bad practice yang merugikan masyarakat.
Hasil kajian Hakim (2010), lembaga negara dapat dikelompokkan dalam
sepuluh kategori. Kategori tertinggi adalah yang dibentuk dan disebutkan
kewenangannya di dalam UUD 45 (Sutrisno, Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan:45-46).

D. Benturan Kekuasaan Dalam Doktrin Norma Pembentuk Konstitusi

Dalam pemerintahan Oligarki ini maka orang-orang yang


memegang pemerintahan, yaitu orang-orang yang kaya-kaya tadi,
mempunyai hasrat atau kecenderungan ingin lebih kaya lagi. Keadaan mi
menimbulkan kemelaratan umum, oleh karena itu lalu sebagian besar
daripada anggauta masyarakat terdiri daripada orang-orang
miskin.Sedangkan tekanan dan pihak penguasa semakin bertambah berat,
maka setelah rakyat, yang sebagian besar terdiri daripada orang-orang
miskin, itu menyadari keadaannya, bersatulah mereka memberontak
melawan para hartawan yang memegang pemerintahan (Soehino,
1996:19).

Disinilah memungkinkan konstitusi sedang diuji kekuatannya.


Kekuasaan acapkali menghidari norma asli untuk dibalikkan menjadi

58
norma sesuai dengan absolutism kekuasaan sehingga konstitusi tidak lagi
menjadi dominasi dalam sebuah Negara hukum. Namun tidak dapat
dikesampingkan kekuasaan tetap dibutuhkan.

Merujuk dengan apa yang disampaikan dengan Niccolo


Machiavelli yang memiliki kesamaan dengan Jean Bodin juga menyatakan
bahwa tujuan negara itu adalah kekuasaan. Difinisinya tentang negara
adalah sebagai berikut : Negara adalah keseluruhan dan keluarga-keluarga
dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal dan seorang penguasa
yang berdaulat. Jadi seperti Aristoteles, Jean Bodin berpendapat bahwa
keluarga itu adalah asal atau dasar daripada negara, baik menurut logika
maupun menurut sejarah.Kekuasaan negara mengharuskan membatasi
kebebasan bertindak menurut alam. Dalam keluarga itu ada pater familias
sebagai kepala keluargaia melakukan pembatasan-pembatasan dalam
keluarga. Dasar masyarakat adalah naluni, sedang dasar negara adalah
kekuasaannya.Pada mulanya hanya ada satu keluarga, kemudian keluarga-
keluarga lainnya bergabung dan merupakan suatu kesatuan, oleh karena
dengan demikian itu mereka secara bersama-Sama dapat mempertahankan
diri dengan baik.Dan dalam keadaan itu pula kebebasan alam lenyap.
Sampai di sini pendapatnyasama dengan Aristoteles(Soehino, 1996:78).

Dalam norma konstitualisme terdapat pemaknaan bahwa konstitusi


tetap bisa mengendalikan sebenarnya dari modus bentuk kekuasaan yang
menyimpang. Karena konstitusi merupakan isme/ajaran maka sebuah
ajaran tetap memiliki kekhususan paham teori alam yang salah satunya
bermadzhab pada kekuatan baik ajaran ketuhanan maupun ajaran hukum
alam.

Semula tujuan daripada aliran hukum alam itu adalah untuk


membatasi kekuasaan absolut daripada negara (Staats-absolutisme) yang
diciptakan antara lain oleh Niccollo Machiavelli dan John Bodin. Jadi
sebenarnya teori hukum alam ini merupakan lanjutan daripada aliran

59
monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius. Tetapi para
penganut hukum alam lalu melepaskan unsur-unsur teologis atau unsur
Ke-Tuhanan, yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lagi diturunkan dari
Tuhan, akan tetapi dan alam kodrat, dan berdasarkan atas rasio. Maka
kekuasaan penguasa itu bukan lagi diturunkan dan Tuhan yang
mengakibatkan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak, tetapi kekuasaan
itu didasarkan atas hukum alam, maka dengan demikian kekuasaan
penguasa itu tidak mungkin bersifat mutlak(Soehino, 1996:107).

60
BAB IV
PERKEMBANGAN KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memhami perkembangan konstitusi dapat
memahami ide-ide perkembangan yang ada dalam konstitusi dari masa
ke masa
2. Diharapkan dengan memahami perkembangan konstitusi dapat
menjadi pendukung pemahaman konstitusi secara komperhensif
3. Dapat memahami perbedaan pemikiran antara konstitusi modern dan
konstitusi pra modern

A. Konstitusi di Negara Pra-Modern


Dalam tulisan ini sebenarnya bisa diperluas era sebelum pra
modern berlangsung. Mengingat penulis hanya ingin membatasi pada
ranah subjek konstitusi, maka pembahasannya hanya sebatas konstitusi
pasca modern dan modern. Hobbes memberikan gambaran terkait
persoalan tersebut.
Dalam ajarannya itu Hobbes membedakan dua macam status
manusia yaitu status naturalis kedudukan manusia waktu masih belum
ada negara dan, status civilis kedudukan manusia setelah ada negara
sebagai warga negara. Dalam status naturalis (negara masih belum
terbentuk), masyarakatnya masih kacau karena tidak ada badan atau
organisasi yang disebut negara yang menjaga menjamin tata tertib. Dalam
keadaan ini perselisihan mudah timbul karena sifat manusia dalam
keadaan tidak tertib itu merupakan serigala bagi yang lain (Homo Homoni
Lupus), kalau keadaan ini dibiarkan terus-menerus akan timbul perang
semesta (Bellum Omnium Contra Omnes). Dalam keadaan semacam ini
yang berlaku adalah hukum kepalan (vuisl recht) artinya siapa yang kuat
dia yang menang dan berkuasa, karena setiap orang itu hidup menurut
hukumnya sendiri-sendiri. Jadi syarat yang penting menurut Hobbes
menjadi seorang Raja adalah orang yang kuat fisiknya, yang melebihi
lainnya agar dapat mengatasi segala kekacauan yang timbul dalam
masyarakat. Leviathan artinya singa, dan singa itu merupakan binatang

61
yang paling kuat di antara hewan innya di mana syarat seperti mi harus
dimiliki oleh seorang Raja. Menurut Hobbes yang kuatlah (fisik) yang
harus memerintah an yang berkuasa di dalam suatu negara(Moh Kusnardi
dan Bintan R Saragih, 199:65).

Dalam memhami konstitusi pra modern hukum tidak jatuh dan


langit. Hukum tumbuh dan berkembang melalui peijalanan sejarah yang
amat panjang hingga terbentuk hukum modem seperti yang sekaranh
digunakan oleh negara-negara modern. Pertumbuhan hukum tidak dapat
dilepaskan dan pertumbuhan sistem produksi di bidang ekonomi dan
pertumbuhan serta perubahan di bidang sosial budaya. Ada hubungan
timbal balik antara hukum dengan perkembangan masyarakatnya. Kita
dapat mengatakan bahwa perkembangan hukum modern itu sarat dengan
transformasi nilai-nilai, sosial dan budaya(Suteki, 2013:174).

Hal itu semua terangkum dalam wadah sejarah. Dalam ilmu


hukum juga dikenal kajian tentang sejarah hukum. Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa dengan mempelajari sejarah hukum akan memperkaya
pengatahuan kita tentang suatu sistem lembaga atau suatu pengaturan
hukum tertentu menjadi lebih mendalam dan diperkaya. Kekeliruan-
kekeliruan baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau
ketentuan hukum tertentu dapat dicegah jika terlebih dahulu pemahaman
sejarah hukum(Sirajuddin dan Winardi, 2015:267).

Sejarah konstitusi tidak terlepas dari sebuah sejarah hukum dalam


sebuah Negara. Hal tersebut disebabakan karena Negara hukum menjadi
salah satu utama point penting dalam ajaran konstitualisme dimana
menempatkan hukum konstitusi sebagai norma dasar dalam sebuah
Negara.

Dalam pandangan masyarakat di sepanjang sejarah, ada dua


pengertian yang sering sekali diberikan kepada hukum, yaitu sebagai
berikut.;

62
1. Hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal mi merupakan
pengertian yang lebih

mengarah kepada pengaturan moral yang dalam berbagai bahasa sering


disebut dengan istilah right, recht, ius, droit, diritto, derecho.

2. Hukum diartikan sebagai undang-undang, yang dalam hal inihanya


merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang dibuat oleh
pembentuk undangu ndang (legislasi), yang dalam berbagai bahasa
disebut dengan istilah law, lex, gesetz, legge, ley ( Munir Fuady,
2010:36-37).

Makna yang secara ekplisit dari bentuk kedua hukum di atas


nampaknya menjadi acuan baku hukum yang berlaku pada masa sekarang
ini. Hukum diartikan sebagai kompleksitas persoalan yang ada dalam
masyarakat yang terus berkembang sedemikian rupa sehingga membentuk
tatanan masyarakat. Sehingga berangkat berdasarkan perkembangan
hukum sejarah konstitualisme juga berkembang dari satu masa ke masa.

Dalam perkembangannya di sepanjang sejarah hukum, pengertian


hukum bergerak dan satu ujung kutub ke ujung kutub yang lain dan dua
pengertian hukum tersebut. Ketika mengartikan hukum, berbagai
pandangan telah diberikan trgantung dan siapa yang mengartikan hukum
tersebut dan atas keperluan apa hukum tersebut diartikan. Pandangan yang
paling tua tentang hukum adalah pandangan yang men yatakan bahwa
hukum merupakan ketentuan yang mengatur tentang sikap tindak manusia,
yakni yang mengatur bagaimana manusia harus bertindak dalam
kehidupannya, khususnya dalam melakukan tindakan-tindakan yang
penting. Karena itu, menurut pandangan ini hukum tidak lain merupakan
kebiasaan etika yang dikodifikasi; suatu pandangan yang diyakini benar
pada masa-masa awal perkembangan hukum. Selanjutnya, dalam
pandangan para pembuat undang-undang, hukum diartikan sebagai
ketentuan yang mengatur tentang sikap yang pantas yang merupakan

63
perintah tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, termasuk
ancaman dan hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Pandangan yang
sangat banyak dianut oleh para ahli hukum ini telah mengartikan hukum
dalam arti yang sangat lazim, vaitu sebagai ketentuan-ketentuan tertulis
yang mengatur tingkah laku manusia(Munir Fuady, 2010:37).

Dalam pandangan seorang hakim, hukum dipandang sebagai


suatu ketentuan yang mengatur bagaimana suatu persoalan hukum
diselesaikan. Sedangkan, bagi seorang penasehat hukum, hukum
dipandang sebagai suatu prinsip atau kaidah yaig menjelaskan tentang
konsep-konsep hukum sebagai dasar bagi suatu prediksi tentang
bagaimanakah yang akan diputuskan oleh hakim dalam perkara yang
dihadapinya. Ada lagi yang mengartikan hukum sebagai suatu aturan dan
pihak otoritas untuk mengatur tentang nilai-nilai (values) yang saling
bertentangan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, biasanya hukum
akan memihak kepada pihak yang kuat sesuai dengan nilai-nilai yang
menguntungkan pihak yang kuat yang dekat dengan pihak otoritas(Munir
Fuady, 2010:37).

Bangunan hukum yang demikian mengindikasikan bahwa hukum


dimotori oleh kekuasaan masyarakat yang secara absolute mencitrakan
kekuasaan rakyat secara seutuhnya dalam bingkat Negara. Wujud hukum
yang demikian merefleksikan sebuah bentuk tatanan nilai dan norma yang
berkembang seiring dengan kebutuhan dan karakter masyarakat disetiap
wilayah.

Aspek kewilayahan inilah yang serngkali diseut dengan istilah


cita hukum. Cita hukum adalah maksud, semangat, visi, misi, dan obsesi
yang melatarbelakangi lahirnya atau dibuatnya suatu aturan hukum yang
seringkali berhubungan dengan tempat dan waktu di mana aturan tersebut
dibuat. Contoh cita hukum :

64
1. Cita hukum dalam hal. diperkenalkannya bentuk usaha koperasi dalam
hukum bisnis, yaitu untuk menolong pengusaha-pengusaha kecil agar
dapat berusaha dengan baik, tertib, adil, dan terlindungi oleh hukum.

2. Cita hukum dalam sistem juri yang dikenal dalam sistim hukum Anglo
Saxon, merupakan lambang keikutsertaan rakyat atau masyarakat
dalam memutus perkara, juga untuk mempermudah proses pembuktian
karena dalam sejarah hukum, dahulunya juri merupakan para tetangga
pelaku kejahatan(Munir Fuady, 2010:41)

Negara konstitusi yang berkembang pada era pra modern setiap


proporsi kekuasaanya yang berlaku mencerminkan cita hukum. Cita
hukum inilah yang kemudian mempengaruhi semangat ilmplementasi
konstitsui yang ada pada setiap Negara dewasa ini yang menempatkan
konstitusi sebagai groundnorm.

Disinilah perlu memahami cita hukum menjadi instrument


esensial konstitusi. A constitution is not the act of ci government but of a
people cons titutilig a government, without a constitution is power without
rig/it, and a constitution is the property of the nation and not of those who
exeercise the governmenth demikian penegasan Thomas Paine, tokoh
radikal abad ke-18 yang karya-karyanya banyak mengilhami munculnya
revolusi Perancis dan Amerika. Pandangan ini menunjukkan kedudukan
konstitusi merupakan elemen esensial dalam sebuah negara. Tidak saja
karena konstitusi memberikan kejelasan tentang mekanisme
ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan
relasi yang amat kuat antara rakyat dan penguasa. Menurut Steenbeek,
sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, UUD berisi tiga pokok materi
muatan, yakni pertama adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
dan warga negara; kedua ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
negara yang bersifat fundamental; dan ketiga adanva pembagian dan

65
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental (Majda
El Muhtaj, 2005 :85).

Penamaan seperti itu disebabkan oleh konstitusi itu


mencantumkan aturan, yang menggariskan batas pemisah antara
kekuasaan sekuler raja di satu sisi, dengan gereja, di sisi lain. Sebab pada
kenyataan sebagai kumpulan atas instruksi atau keputusan yang
dikeluarkan oleh raja, maka konstitusi itu juga dinamakan recordatiori. Di
samping nama lain lagi ialah Lex or Edictum, karena konstitusi itu juga
merupakan Royal Edit. Karena sifatnya sebagai suatu dokumen tertulis
dengan susbtansinya jelas, untuk dijadikan pedoman bagi Royal
Magistraat dalam menyelenggarakan negara, maka dokumen-dokumen ini
juga menjadi sesuatu yang terpublikasikan. Sebagai aturan yang harus
dipedomani oleh Royal Magistraat, karena substansi mencakup dua aspek
penting, yaitu kerangka alamiah “tatanan alamiah negara dan tujuan atau
cita-cita negara”( Jazim Hamidi dan Malik, 2009:4).

Pada abad-abad itu, sekalipun baru berdaya laku dalam lingkaran


kehidupan lokal urban (karena belum berkembang kehidupan kenegaraan
pada aras bangsa dan kebangsaan), berbagai konstitusi sebagian sudah
tertulis dalam dokumen-dokumen yang disebut chartula, charta atau
charter (charter) dan sebagian lagi tidak-telah clikpnal orang. Tanpa
menafikan variasinya, pada asasnya ide konstitusionalisme yang mantap
dalam konstitusi-konstitusi berbagai polis-polis di Eropa Barat itu
mengakui kekuasaan pemerintah (misalnya untuk menarik pajak atau,
membuat uang, membentuk bala tentara, membuat perjanjian damai
dengan atau menyatakan perang terhadap polis lain); namun juga dilain
pihak kekuasaan itu juga dibatasi oleh berbagi hak konstitusional warga
kota (misalnya untuk memilih pejabat kota, untuk mempersenjatai diri
untuk memperoleh jaminan kebebasannya sebagai warga kota, dan untuk
memperoleh perlindungan oleh proses peradilan yang jujur dan adil).

66
Pemikiran para ahli filsafat pada zaman Yunani kuno dimotori oleh
Socrates (sang guru), Plato, dan Aristoteles. Pemikiran mereka yang pada
waktu itu hidup dalam polis Yunani, yaitu negara kota yang berciri khas
tiap warga polis adalah warga yang berperan aktif dalam kehidupan
politik, termasuk bernegara. Dan rakyat menjadi subyek sekaligus obyek
dalam hal pemenuhan tugas — tugas negara. Dalam bukunya The Laws
(Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is an imitation of
the best and noblest life”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus ataupun
dalam Areopagiticus menyebut bahwa “the politeia is the soul of the polis
with power over it like that of the mind over the body “. Keduanya sama-
sama menunjuk kepada pengertian konstitusi(Jazim Hamidi dan Malik,
2009:28-29).

Doktrin konstitusi seperti yang penulis uraikan di atas,


membentuk sebuah paradigma konstitusi bahwa konstitusi merupakan
tatanan yang menjadi keinginan masyarakat, bukan keginginan penguasa.
Posisi keinginan penguasa dalam konstitusi hanyalah sebgai bentuk
mengatur, mensejahterakan dan memberikan kepastian akan jalannya
Negara supaya tertib dan sesuai dengan kehndak masyarakat.

Bila kita bandingkan konstitusionalisme yang dianut Yunani


Kuno dengan sekarang, perbedaannya terletak pada lembaga perwakilan.
Dalam mengembangkan demokrasinya, negara bangsa (nation state) yang
dikenal sekarang selalu memasukkan asas perwakilan (representation),
tetapi asas seperti mi sama sekali tidak dikenal oleh bangsa Yunani.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles membayangkan keberadaan seorang
pemimpin negara yang bersifat “superman” dan berbudi luhur. Karena,
sejarah kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Berbagai alasan
yang menginspirasi Aristoteles berpendapat seperti itu:

67
1. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme yang tersedia untuk
merespons keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang dalam
pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang “inkonstitusional”.

2. Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya


mengubah corak “public law”, tetapi juga menjungkirbalikkan segala
institusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada
tuntutan perubahan keseluruhan “way of life” (masyarakat) yang
bersangkutan. Dalam keadaan demikian, Aristoteles berpendapat
keseluruhan dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar.

3. Ketiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai, kekerasan


(violence), proscription, ostracism, dan bahkan kematian, sehingga
orang Yunani dihinggapi oleh penyakit “fear of stasis ( Jazim Hamidi
dan Malik, 2009:31-32).

Dalam hal ini yang perlu disimpulkan adalah sebuah konstitusi


menawarkan sebuah bentuk dialektika dari sebuah masa kegelapan di
mana diskriminasi hak menjaid salah satu subtansi yang tidak pasti
menjadi tatanan masyarakay dan pemerintah yang demokratis bersendikan
penghormatan terhadap hak-hak masyarakat melalui instrument hukum.

Oleh karena itu jika dibandingkan pada zaman yunani dan


romawi, di jaman Romawi Kuno ini, perkembangan ide dan gagasan
tentang konstitusi (konstitusionalisme) begitu mengalami perubahan yang
revolusioner dan jaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. Di mana pada
jaman Yunani Kuno, mereka memahami konstitusi sebagai sesuatu yang
berada di dalam Negara. Hubungan konstitusi bergandengan dengan
Negara, raja sebagai penguasa Negara mempunyai legitimasi dan
kekuasaan yang lebih tinggi dan pada Negara. Sedangkan
konstitusionalisme yang berkecamuk pada jaman Romawi Kuno mulai
dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan bahkan di atas negara.
Tidak seperti masa sebelumnya, pada jaman Romawi kuno, konstitusi

68
mulai dipahami sebagai “lex” yang menentukan bagaimana bangaimana
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip “the higher law”.
Prinsip hierarki hokum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan(Jazim Hamidi dan Malik,
2009:35-36).

Hal inilah yang kemudian menjadi terus berkembang pada era


zaman sekarang yang menempatkan konstitusi sebagai motor penggerak
suatau bangsa dia bukan hanya sebagai instrument yang mewarnai Negara
akan tetapi konstitusi yang berkembang menjadi sebuah instrument
kekuasaan yang mutlak dalam membatasai kekuasaan Negara sehingga
kekuasaan Negara mampu menjabarkan keinginan secara utuh oleh rakyat.

B. Konstitusi Negara Modern

Memahami konstitusi zaman modern dewasa ini tidak terlepas


pada memahami karakteristik kewilayahan Negara. Seperti halnya dalam
memahami tentang muatan konstitusi, demikian juga terjadi dalam melihat
klasifikasi konstitusi, di mana terdapat berbagai macam pendapat. Tetapi
dalam hal ini, yang terjadi lebih banyak mengarah pada aspek-aspek mana
yang dipandang untuk memahami sebuah konstitusi. Karena itu, nantinya,
macam-macam klasifikasi kontitusi ini dilihat dan aspek bentuknya,
prosedur amandemennya, tipe pemerintahan negara, bentuk negara dan
system pemerintahannya. Jauh sebelumnya, Aristoteles telah
mengklasifikasikan bentuk-bentuk konstitusi. Menurut dikutip oleh C.F.
Strong, konstitusi diklasifikasikan menjadi dua kelas besar, yaitu konstitusi
yang bagus dan yang jelek. Masing-masing dan dua kelas besar tersebut
dibagi menjadi tiga tipe pemerintah, yaitu pemerintah satu orang, beberapa
orang, dan banyak orang. Adapun dalam kiasifikasi konstitusi yang baik,
dimana dalam bentuk pemerintahan oleh satu orang disebut dengan
Monarki, dalam bentuk pemerintahan oleh beberapa orang disebut dengan
Aristokrasi, dan dalam bentuk pemerintah oleh banyak orang disebut

69
dengan Polity. Sedangkan dalam kiasifikasi konstitusi yang jelek, apabila
dalam bentuk pemerintah oleh satu orang disebut dengan Tyranni atau Des
potisme, dalam bentuk pemerintahan oleh beberapa orang disebut dengan
Oligarki, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut
dengan Demokrasi(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:94-95).

Namun sebagaimana di dasarkan kehadiran konstitusi pada pra


modern yang mendalilkan pada paham konstitualisme, maka pada masa
modern juga memiliki alat ukut yang sama. Hal ini merupakan wujud lain
dari sebuah hukum yang mendalilkan wujud nyatanya sebagai konstitusi
dalam bentuk abstrak adalah hukum.

Munculnya sistem hukum modern, menurut Satjipto Rahardjo,


merupakan respons terhadap sistem produksi ekonomi baru (kapitalis),
karena sistem yang lama sudah tidak bisa lagi melayani perkembangan-
perkembangan dan dampak bekerjanya sistem ekonomi kapitalis tersebut.
Satjipto Rahardjo juga mengatakan bahwa proses-proses produksi
ekonomi yang bersifat kapitalis itu memerlukan tatanan sosial yang
mampu menciptakan medan sosial dimana proses-proses ekonomi dapat
berlangsung secara baik. Oleh karena itu tuntutan yang mendesak adalah
diciptakannya suatu sistem hukum yang formal-logis yang dapat
memberikan prediktabilitas tinggi sehingga dapat dimasukkan dalam
kalkulasi produksi ekonomi. Max Weber menyatakan bahwa prosedur
penyelenggaraan hukum yang semakin berteknik rasional dan
menggunakan metode deduksi yang semakin ketat, merupakan tahapan
dalam perkembangan hukum sehingga hukum boleh disebut sebagai
hokum modern. Dalam kaitannya apa yang disebut sebagai modern legal
system, analisis dari Weber dapat semakin menjelaskan hubungan
kapitalisme dengan modern legal system tadi(Fx Adji Samekto, 2013:62-
63).

70
Berangkat berdasarkan uraian di atas, maka konsensus yang
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of


society or general acceptance of the same philosophy ofgoverninent);

2. Kesepakatan tentang „the rule of law‟ sebagai landasan pemerintahan


atau penyelenggaraan Negara (the basis ofgoverninent);

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur


ketatanegaraan (the form of ins titiisions and procedures).(Sirajuddin
dan Winardi, 2015:47-48)

Elemet tersebut sebagaimana ada di Negara amerika. Adalah


merupakan ciri dan pemikiran Amerika, bahwa ia tidak sabar
membicarakan sesuatu secara abstrak dan teoretis. ltulah barangkali
sebabnya, kebanyakan konsep-konsep dasar dan besar mengenal
pendekatan secara sosiologis ini lebih banyak lahir di luar negeri tersebut.
Ketidak sabarafi akan abstrakSiabStraksi mi tampak pula pada pemikiran
Roscoe Pound yang sering dikaitkan pada perkembangan sociological
jurisprudence di Amerika Serikat. di samping Pound, bisa disebut pula
nama-nama Holmes dan Cardozo. Peran pound,yang kemudian dikenal
sebagal pernyataan program aliran hukum sosiologis tersebut, dmnyatakan
pada tahun 1912 dalam karangann ya berjudul Scope and Purpose of
Sociological Jurisprudence (Pound, 1912). Dalam karangannya itu ia
membentangkan pendap atnya, bahwa bagi para ahli hukum yang beraliran
sosiologis, perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial dalm pekerjaa
nnya, apakah itu pembuatan hukum, ataukah penafsran serta penerapan
peraturan-peraturan hukum. Ia harus Iebih memperh itungkan secara
pandai fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang
nantinya akan menjadi sasaran penerapa nnya. Pound menganjurkan agar
perhatian lebih diarahkan kepada efek-efek yang nyata dan Enstitusi-

71
institusi serta doktrind oktnn hukum. “Kehidupan hukum terletak pada
pelaksanaannya, demikian dikatakannya (Pound, 1912)(Sadjipto Rahardjo,
1982:265-266).

Gianfranco Poggi, dalam bukunya “The Development of The


Modern State, A Sociological Introduction”, sebagaimana dikutip oleh
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa perkembangan hukum modern tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan atau pertumbuhan masyarakat dan
negara modern. Perkembangan yang terdahulu merupakan prasyarat bagi
munculnya perkembangan masyarakat serta hukum yang kemudian. Poggi
membagi perkembangan struktur sosial masyarakat menjadi lima tahap,
yaitu (1) Feodalisme, (2) Standestaat, (3) AbsolutiSme, (4) Masyarakat
Sipil (Civil Society), dan (5) Negara Konstitusional. Di Eropa hukum
tumbuh berseiring dengan pertumbuhan Masyarakatnya. Kita dapat
mengatakan bahwa perkembangan hukum di Eropa bersifat teratur, tahap
demi tahap dilalui dengan mulus, evolutif sehingga dapat dikatakan
sebagai perkembangan yang bersifat “history” bukari “a history”. Di
bagian awal sudah dikemukakan bahwa tipe hukum sangat terkait dengan
tipe masyarakatnya. Tidak mungkin digunakan tipe hukum modern pada
saat tipe masyarakatnya adalah feodalisme atau sebaliknya. Apabila
disimak perkembangan masyarakat, tampak bahwa kemunculan tipe
masyarakat sipil atau civil society, merupakan satu langkah prasyarat
munculnya negara modern konstitusional dengan penggunaan hukum
modern. Dapat pula dikatakan bahwa munculnya masyarakat sipil (civil
society) menjadi prasyarat untuk munculnya hukum modern(Suteki,
2013:144).

Perkembangan itulah yang kemudian membuka peluang dan


celah dengan kelahiran konsep pengujian material undang-undang dengan
instrument konstitusi. peluang ini semata-mata membuka peluang dan

72
celah bagi masyarakat untuk mentransformasikan cita-citanya dengan dalil
kepastian hukum yang lebih akomodatif terhadap kebutuahn masyarakat.

Per definisi, konsep „constitutional review‟ itu sendiri sebenarnya


dapat dilihat sebagai buah perkembangan gagasan modern tentang sistem
pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule
of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of
fundamental rights). Dalam sistem „constitutional review‟ itu tercakup 2
(dua). tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem
demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau „interplay‟ antara
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).
Dengan perkataan lain, „constitutional review‟ dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang
kekuasaan sedemikian rupa sehingga cabang kekuasaan lainnya Kedua,
untuk melindungi setiap individu warga Negara dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental
mereka yang dijamin dalam konstitusi(Jimly Asshiddiqie, 2010:8-9).

Namun tetap demikian, adanya konstitusi modern sebagai wujud


dalam berlakunya sebuah ide dasar bernegara, tidak terlepas dari kondisi
memahami kekuasaan Negara dari berbagai perspektif sudut pandang. Hal
tersebut tentunya terbentuk tidak terlepas dari adanya proses sejarah
terbangunnya ideology yang terjadi.

Dengan melihat perubahan dan gejolak ideologi kita rasanya


pantas bersyukur bahwa para founding father telah berhasil merumuskan
idelogi negara yang tidak saja sesuai dengan budaya bangsa, tetapi juga
mempunyai dimensi universal karena sejalan dengan jiwa dan semangat
kemanusiaan, yakni Pancasila. Namun, dengan perumusan Pancasila tidak
berarti kita telah selesai dengan masalah ideolgi. Perumusan ideologi
negara memang tidak perlu diubah apalagi diganti, tetapi pelaksanaannya

73
harus disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
Indonesia. Hal itu merupakan keniscayaan karena Pancasila adalah
ideologi terbuka, bukan ideologi tertutup atau rigid harus dilaksanakan
secara doktriner. Menjadi kewajiban kita untuk selalu
mengkontekstualisasikan Pancasila sehingga benar-benar menjadi
pedoman dan etika moral serta sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Upaya mengkonstektualisasikan Pancasila
dalam kehidupan merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai selama
negara diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 masih eksis dan kita telah
berikrar untuk mempertahankan Indonesia merdeka sampai akhir
zaman(Fahrurodji, 2005:xxiii).

Ide pancasila tersebut sebagai wujud konstitusi modern juga


berpengaruh terhadap system pemerintahan nasional kita yang
menekankan 7 (tujuh) kunci pokok sebuah wujud konstitusi
modern.Sistern Pemerintahan Negara Indonesia dijelaskan dengan terang
dan sisternatis dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar „ 1945. Di dalam
Penjelasan itu dikenal 7 (tujuh) buah kunci pokok:

a. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtss taat).


Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Ini mengandung arti
bahwa Negara, termasuk di dalamnya Pemerintah dan Lembaga-
lembaga Negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan
apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.Tekanan pada hukurn (recht) di
sini dihadapkan sehagai lawan dan kekuasaan (macht). Prinsip dan
sistem ini di samping akan tampak dalam rumusan pasal-pasalnya,
jelas sejalan dan merupakan pelaksanaan dan pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang

74
diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.

b. b) Sistem Kstitusional. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi


(hukum dasar) bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Sistemini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian
pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan Konstitusi, yang
dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum yang
merupakan produk konstitusional, seperti Garis-garis.Besar Haluan
Negara. Undang-Undang. dan sebagainya. Dengan demikian sistem ini
memperkuat dan menegaskan lagi sistem Negara hukum seperti yang
dikemukakan di muka. Dengan landasan kedua sistem itu sistem
Negara hukum dan sistem konstitusional diciptakanlah sistem
mekanisme hubungan tugas dan hukum antara Lembaga-lembaga
Negara. yang dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan
dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian
cita-cita Nasional

c. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan


Rakyat (Die gezamte Staatsgewalt liegt allein bei der Malelis).
“Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat. sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini
menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan
Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang
kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden hartis menjalankan
Haluan Negara menurut Garis-garis Besar yang telah ditetapkan oleh
Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung
jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis, ia berwajib
menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neh ben”. akan

75
tetapi “untergeordnet” kepada Majelis”. Demikian diuraikan dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

d. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di


bawah Majelis. Penjelasan UUD 1945 menyatakan: “Di bawah
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden ialah penyelengra
Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan
Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden
(Concentration of power and responsibility upon the President)”.
Sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis. Presiden
bukan saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas
untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis
Besar Haluan Negara ataupun ketetapan lainnya. Oleh karena itu
Presiden adalah Mdataris Majelis. Presidenlah yang memegang
tanggung jawab atas jalannya Pemerintahan yangdipercayakan
kepadanya dan tanggung jawab itu adalah kepada majelis, bukan
kepada Badan lain.

e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan


Rakyat. Juga dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
bagai berikut: “Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan
Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
rakyat untuk membentuk Undang-Undang (Gesetzgehung) dan untuk
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staats- V
grooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama
dengan Dewan, akan tetapi, Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan.

f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak


bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Presiden mengangkat dan
memberhentikan Menteri-Menteri Negara. Menteri-Menteri itu tidak

76
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya
tidak tergantung dan Dewan, akan tetapi tergantung dari Presiden.
Mereka ialah pembantu Presiden”.

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Penjelasan Undang-


Undang Dasar 1945 menyatakan: “Meskipun Kepala Negara tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan
“diktator” artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Di atas telah ditegaskan
bahwa ia bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan
Perwakilan Rakyat”. Kunci sistem ini kekuasaan Presiden tidak tak
terbatas di tekankan lagi di samping sudah tegas dalam kunci sistem
yang ke-2 sistem Pemerintahan Konstitusional bukan bersjfat absolut
dengan menunjukkan fungsi/peranan Dewan Perwakilan Rakyat dan
fungsi atau peranan para Menteri sebagai pembantu Presiden yang
dapat mencegah kemungkinan kemerosotan kekuasaan pemerintahan
di tangan Presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme). Sesuai
dengan sistem ini, maka kedudukan dan peranan DPR adalah kuat.
Bukan saja ia tidak dapat dibubarkan oleh Presiden seperti halnya
dalam sistem parlemnter dan juga bukan saja ia memegang wewenang
memberikan persetujuan kepada Presiden dalm membentuk Undang-
Undang dan menetapkan APBN tetapi DPR adalah juga Badan yang
memegang pengawasan terhadap Pemerintah dalam hal ini Presiden
yang efektif. (Solly lubis, 1993: 126-130)

Namun tentunya, pelaksanaan Konstitusi yang berlaku disuatu


negara sebagaimana di Indonesia, mempunyai beberapa kemungkinan.
Pertama, konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat
didalamnya. Kedua, terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak
dilaksanakan lagi meskipun secara resmi masih berlaku. Ketiga, konstitusi
dilaksanakan tidak berdasarkan ketentuan yang termuat didalamnya

77
melainkan demi kepentingan suatu golongan atau pribadi
tertentu(Bambang Arumana dan Sunarto,1990:3).

Prinsipnya, system pemerintahan dalam konstitusi modern di


Indonesia berimplikasi pada sebuah wujud hukum. Hukum diarahkan
untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada dalam sebuah
Negara yang diorientasikan untuk kepentingan membangun bukan sekedar
menerapkan apa yang seharusnya.

Rambu-rambu tersebut kemudian diperkuat dengan adanya empat


kaidah penuntun hukurn yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam
politik atau pembangunan hukum, yaitu: Pertama, hukum nasional harus
dapat menjaga integrasi (keutuhan) baik ideologis maupun wilayah
teritorial sesuai dengan tujuan „melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia.‟ Harus dicegah munculnya produk hukum yang
berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia,
termasuk hukum-hukum yang diskriminati berdasar ikatan-ikatan
primordial. Kedua, hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan
nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap
aspirasi masyarakat luas melalui prosedur-prosedur dan mekanisme yang
fair, transparan, dan akuntabel. Harus dicegah munculnya produk hukum
yang diproses secara licik, kucing-kucingan, dan transaksi di tempat gelap.
Meskipun secara demokratis pembentukan hukum itu benar, tetapi jika
salah secara nomokratis (prinsip hukum) maka hukum itu batal atau dapat
dibatalkan oleh lembaga yudisial. Ketiga, hukum nasional harus ditujukan
juga untuk menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi
proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan
golongan yang kuat baik dan luar maupun dan dalam negeri sendiri. Tanpa
proteksi khusus dan hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kalah
jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan
yang kuat. Keempat, hukum harus menjamin kebebasan beragama dengan

78
penuh toleransi antarpemeluk-pemeluknya. Tidak boleh da
pengistimewaan perlakuan terhadap agama dan pemeluknya karena
didasarkan pada. besar dan kecilnya jumlah pemeluk. Perlakuan
proporsional tentu saja diperbolehkan, tetapi pengistimewaan tidak
diperbolehkan. Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada
menjaga ketertiban aar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap
orang. Dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa
menganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu
diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama diserahkan
kepada masing-masing pribadi pemeluknya, tetapi gara dapat mengatur
pelaksanaannya oleh pemeluk masing masing untuk menjamin kebebasan
dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaannya tersebut(Mahfud MD,
2010:38-39).

79
BAB V
KEBERLAKUKAN KONSTITUSI

Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memahami keberlakuan konstitusi dapat memahami
sejauh mana konstitusi dalam berlaku
2. Dapa memahami keberlakuan konstitusi pada saat-saat tertentu yang
berbeda antara situasi dan kondisinya
3. Dapat memhami teori-teori yang mendukung atas keberlakuan konstitusi
dalam sebuah negara

A. Pengertian Keberlakukan Konstitusi

Dalam pandangan umum konstitusi diberlakukan sesuai dengan


subtansinya pada saat sebuah kontitusi diatur secara jelas dan menjadi
wujud komitment dari setiap masyarakat. Oleh karena itu nilai
keberlakukan konstitusi tidak lain merupakan wujud dari upaya
kesepakatan bersamaseluruh masyarakat untuk mentaati peraturan dasar
tersebut.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman


modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan
(consensus), yaitu:

4. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of


society or general acceptance of the same philosophy ofgoverninent);

5. Kesepakatan tentang „the rule of law‟ sebagai landasan pemerintahan


atau penyelenggaraan Negara (the basis ofgoverninent);

6. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur


ketatanegaraan (the form of ins titiisions and procedures)( Sirajuddin
dan Winardi, 2015:47-48).

Dalam konsensus nasional adanya kesepakatan tersebut merupakan


wujud lain dari komitment memberlakukan bangsa secara lebih baik.

80
Pengingkaran terhadap konsesnsus tersebut juga dalam hal ini di atur
melalui peraturan perundang-undangan yang terkait. Secara teoritis,
semakin kuatnya kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama,
kesepakatan tentang „the rule of law‟ dan kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan maka dapat
dimungkinkan Negara akan terdesain semakin kuat pula.

Gianfranco Poggi, dalam bukunya “The Development of The


Modern State, A Sociological Introduction”, sebagaimana dikutip oleh
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa perkembangan hukum modern tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan atau pertumbuhan masyarakat dan
negara modern. Perkembangan yang terdahulu merupakan prasyarat bagi
munculnya perkembangan masyarakat serta hukum yang kemudian. Poggi
membagi perkembangan struktur sosial masyarakat menjadi lima tahap,
yaitu:

1. Feodalisme,

2. Standestaat,

3. Absolutisme,

4. Masyarakat Sipil (Civil Society), dan

5. Negara Konstitusional(Suteki, 2013:11).

Struktur masyarakat yang demikian tentunya sangat membutuhkan


sebuah sikap dan system hukum yang berlaku. Keberlakuan dan adanya
korelasi system hukum yang berkembang memiliki bentuk yang bersifat
baku dalam setiap Negara. Hal ini mengingat bentuk paham
konstitusionalisme yang ada pada setiap Negara yang secara teoritis
maupun praktis sama bentuknya.

Paham konstitusionalisme dalam aktualisasinya merupakan wujud


dari paham Negara hukum, di dalam penegakannya, hukum dituntut untuk
memenuhi tiga ranah keberlakuan yang oleh Gustav Radbruch disebut

81
triadism yang meliputi tiga keberlakuan hukum yaitu keberlakuan hukum
secara filosofis, dogmatis dan sosiologis. Tiap-tiap keberlakuan hukum
tersebut didasarkan pada tiga nilai dasar yang berbeda. Ketiga nilai dasar
tersebut adalah nilai keadilan (justice), nilai kepastian (certainty), dan nilai
kemanfaatan (utility). Inti dan filosofi hukum Radbruch terdiri dari
ajarannya tentang konsep hukum dan gagasan hukum. Radbruch
mengatakan bahwa “The idea of law is defined through a triad of justice,
utility and certainty.” Nilai utilitas atau kemanfaatan muncul dan analisis
tentang nilai keadilan(Suteki, 2013:191).

Lebih lanjut G.Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissefl SChaft,


Stuttgart, 1961 menyatakan, bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita
atau tujuan. Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya. Tujuan ini yang ingin
diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu:

1. keadilan untuk keseimbangan

2. kepastian untuk ketepatan;

3. kemanfaatan untuk kebahagiaan(Muhammad Erwin, 2013:123)

Tiga nilai dasar di atas sangatlah berpengaruh terhadap terjalinnya


subtansi hukum yang lebih bermartabat. Aspek kepastian lebih
berkecenderungan membuat tatanan nilai hukum jelas, aspek keadilan
lebih cenderung pada aspek hukum mengedepankan nilai ketertiban
sedangkan aspek kemanfaatan lebih cenderung menilai hukum memiliki
nilai kemaslahatan.

Kemasan keseimbangan antara keadilan, kepastian dan


kemanfaatan bukan hanya sekedar masalah subtansi tegaknya rechtsstaat.
Konsep rechtsstaat tentunya sangatlah sederhana karena tradisis
keberlakuan konstitusi kita dengan melihat norma-norma yang ada bukan
berorientasi lagi pada sebuah proses kepastian hukum semata.

82
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa paling tidak ada 11 prinsip
pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demok ratis, yakni: (i)
adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (ii)
pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas; (iii) adanya
aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; (iv) adanya
mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang
ditatati bersama itu; (v) pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; (vi)
pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal; (vii) adanya
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan
kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (viii)
dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin kedailan
bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintahan (pejabat administrasi negara);(ix) adanya mekanisme
„judiciel review‟ oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan
legislatif baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif;
dan (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau „due process of law‟ dalam
keseluruhan sistem penyelengaraan negara(Sirajuddin dan Winardi, 2015:
282-283).

Menurut Moh. Mahfud MD penghilangan istilah rechtsstaat dan


UUD tersebut bukanlah masalah semantik atau gramatik semata melainkan
juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Istilah
rechtssraat lebih menekankan pada pentingnya hukum tertulis (civil law)”
dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtss
taat lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal artinya yang benar
dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis. Di dalam
rechrsstaat hakim merupakan corong undang-undang. Sedangkan the rule
of law lebih menekankan pada pentingnya “hukum tak tertulis” (common
law) demi tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum

83
lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada
kebenaran formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum
tentu tercermin di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di
dalam sanubari dan hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum
tertulis (UU) dapat disimpangi oleh hakim jika UU dirasa tidak adil.
Karena titik berat the rule of law adalah keadilan, maka dalam membuat
putusan hakim tidak harus tunduk pada bunyi hukum tertulis melainkan
dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan nilai-nilai
keadilan di dalam masyarakat. Lebih lanjut Mahfud menyatakan, sejak
perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan
agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara
seimbang segi-segi baik dan konsepsi rechtsstaat dan the rule of law
sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan
substansial( Ni‟matul Huda, 2015:206-207).

Secara sederhana dalam perundang-undangan keberlakuan


konstitusi sering kali digunakan dengan standarisasi baik berlakunya
secara normative, yuridis dan politis. Hal tersebut yang dalam Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang
undangan ditegaskan dalam bagian konsideran.

Pemberlakuan semisal dalam Undang-Undang pemerintahan


daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah yang menegaskan dalam penjelasan yang mencitrakan prinsip-
prinsip dasar keberlakuan konstitusi baik secara filosofis, sosiologis dan
yuridis sebagai berikut :

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari


alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat
pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali
dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah
Nasional yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus bangsa
Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara

84
Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia
sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian
pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18
ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan
diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan
strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan
tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah
pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan
Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan,
potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai
tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak
bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk

85
mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam
bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan
dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan
ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan
Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab
akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan
kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasanterhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu
oleh
menteri negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan
Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan. Sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai
pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)
untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi
pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan
kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan
Kementerian melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat
umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan

86
harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Dikaji dari aspek filosofis, politis dan yuridis konsep di atas
merupakan wujud dari bentuk hubungan antara pusat dan daerah dalam
kerangka otonomi daerah. Disinilah aspek penting dari pemberlakuan
konstitusi dalam perundang-undangan diberlakukan sesuai dengan desain
singkronisasi dan harmonisasi antara norma yang lebih tinggi kepada
norma yang ada dibawahnya.

Konsep pemerintahan daerah secara konstitusi yang demikian


tentunya berbeda dengan konsep federasi. Federasi adalah bentuk tengah,
suatu bentuk kompromistis konfederasi yang hubungannya tidak erat dan
negara ke satuan yang kukuh ikatannya. Komponen-komponen suatu
federasi menghendaki persatuan (union), tetapi menolak kesatuan. Bentuk
negara federasi (federal) adalah gejala modern, yakni baru dikenal tahun
1787, ketika pembentuk-pembentuk konstitusi Amerika Serikat memilih
bentukan federasi sebagai bentuk pemerintahan mereka. Sejak saat ini
Negara Amerika Serikat menjadi “bentuk model” dari semua federasi-
federasi yang dibentuk kemudian ( Sirajuddin dan Winardi, 2015:65).

Dalam uraian berikutnya ini. tiga faktor ketatanegaraan itu dilihat


dalam peranannya sebagai landasan-landasan atau dasar-dasar
ketatanegaraan khususnya ketatanegaraan Republik Indonesia.

a. Landasan filosofis yaitu filsafat atau pandangan hidup


(Levensbeschouwing ; Lehensanschauung dan Weltanschauung) yang
menjadi dasar filosofis sewaktu mendirikan negara dan selanjutnya
menjadi landasan filosofis bagi kehidupan negara itu Landasan
filosofis ini menjadi dasar kebijaksanaan bagi ketatalaksanaan
pemerintahan (administrasi negara), dengan kata lain menjadi dasar
pertimbangan sewaktu merumuskan sesuatu kebijaksanaan
pemerintahan ke dalam suatu rancangan peraturan negara atau kepada

87
tindakan-tindakan ketatanegaraan. Bagi kita, landasan filosofis itu
ialah: Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kehijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Landasan juridis yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi dasar


hukum bagi ketatanegaraan, yang pada umumnya berpuncak pada
Undang-Undang Dasar (UUD, (Constitution, Grond Wet). Bagi kita
ialah: UUD RI 1945.

c. Landasan Politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar


pengarahan jalannya pemerintahan negara. Umumnya, dimulai dengan
penetapan Tujuan Negara dalam UUD, yang selanjutnya dirinci dalam
dokumen khusus. Bagi kita dokumen itu ialah: Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), misalnya: GBHN, menurut Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR No. IV tahun 1973, Tap
MPR No. IV tahun 1978) (Solly lubis, 1993:5).

Tinjauan terhadap ketiga landasan Ketatanegaraan RI itu dapat


dilakukan dan dua segi sebagairnana diuraikan terdahulu. yaitu (a) segi
konsepsional dan (b) segi operasional :

a. Segi Konsepsional. Segi Konsepsional berarti segi rancangan misalnya


Pancasila sebagai konsepsi dasar filsafat negara, UUD 1 945 sehagai
konsepsi juridis mengenai struktur dan mekanisme pemerintahan
sedangkan GBHN merupakan konsepsi politis yang sekaligus sebagai
strategi dan program umum pembangunan yang akan dilaksanakan,
Sesuai dengan Tujuan Negara yang tercantum dalarn UUD.

b. Segi Operasional. Segi Operasionalnya yaitu perihal pelaksanaannya,


yakni sejauh mana kesesuaian jalannya ketatalaksanaan pemerintahan
sehari-hari diuji berdasarkan cita-cita dan ketentuan yang terkandung
dalam landasan-landasan yang tiga macam itu( Solly lubis, 1993:5-6).

88
Segi konsep operasional dan segi konsepsional tersebut
memungkinkan lahirnya konstitusi darurat dalam sebuah Negara. Dinegara
kita beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar republic Indonesia tahun
1945 mengatur istilah keadaan bahaya atau darurat dalam konstitusi
diantaranya karena adanya perang, bensana dan lain sebagainya.

Keadaan bahaya itu sendiri dapat terjadi dalam beberapa


kemungkinan bentuk dan variasi, mulai dan yang paling besar tingkat
bahayanya sampai ke tingkat yang paling kurang bahayanya. Tingkat
bahaya yang timbul juga ada yang bersifat langsung dan ada pula yang
bersifat tidak langsung. Oleh karena itu, dipandang dan pengertian
dernikian, keadaan bahaya itu dalam arti yang luas identik dengan keadaan
daru rat. meskipun tidak setiap keadaan darurat selalu berisi hahaya.
Keadaan-keadaan bahaya, dalam arti langsung atau tidak langsung, dalam
arti sempit ataupun dalarn arti luas dimaksud itulah yang dapat dijadikan
syarat materil untuk pendekiar asian atau pemberlakuan keadaan bahaya
atau keadaan darurat („state 0 emergency, etat de siege). Keadaan-keadaafl
demikian itu dalam praktik sangat bervariasi atau beraneka ragam bentuk
dan tingkat kegentingaflflY yang mernaksa Presiden untuk bertindak
cepat. Jika dirinci, keadaan keadaan yang demikian itu dapat berkaitan
dengan keadaan-keadaafl berikut

a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dan luar negeri
(external agression or foreign invasion).

b. Kadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar


negeri, seperti tentara Amerika Serikat berperang di Irak.

c. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau


ancaman pemberontakan bersenjata oleh kelompok separatis di dalam
negeri, seperti pernah terjadi di masa DOM (Daerah Operasi Militer).

d. Kadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan


ketenangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan

89
konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya,
kerusuhan sosial di Jakarta yang menyebabkan Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Kerusuhan sosial atau
ketegangan sosial seperti ini dapat dikategorikan sebagai “state of
tension” seperti yang dimaksud oleh S.E. Finer, Vernon Bogdanor.
dan Bernard udden di atas.

e. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster,)


atau kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan,
ketegangan, dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya, musibah
gelombang „tsuz d mi‟ di Aceh dan bencana-bencana lain yang
menimbulkan kepanikan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan sehari-
hari tidak dapat difungsikan. Keadaan seperti ini tercakup dalam
pengertian keadaan darurat sipil yang dapat disebut sebagai „welfare
emergencies‟.

f. Keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu


atau menyebabkan mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalan
sebagaimana mestinya sesuai peraturan perundang-undangan yang
Iaku. Keadaan demikian ini, misalnya, tercakup dalam keadaan yang
dimaksud oleh Finer, Bogdanor, dan Rudden sebagai “internal state of
emergency” (innerer notstand).20”

g. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara seperti yang dalam


UUD India disebut “financial emergency”21dan kondisi administrasi
negara yang tidak mendukung atau di mana ketersediaan keuangan
yang tidak memungkinkan dilaksanakannya tugas-tugas pemerintahan
oleh lembaga-lembaga penyelenggaranegara sebagaimana ,mestinya,
sementara kebutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan
mendesak untuk dilakukan (Jimly Asshidiqie, 2007:68-69).

90
B. Teori atas Keberlakukan Konstitusi

Di Eropa hukum tumbuh berseiring dengan pertumbuhan


masyarakatnya. Kita dapat mengatakan bahwa perkembangan hukum di
Eropa bersifat teratur, tahap demi tahap dilalui dengan mulus, evolutif
sehingga dapat dikatakan sebagai perkembangan yang bersif at “history”
bukan “a history”. Di bagian awal sudah cemukakan bahwa tipe hukum
sangat terkait dengan tipe masyarakatnya. Tidak mungkin digunakan tipe
hukum modern saat tipe masyarakatnya adalah feodalisme atau sebaliknya.
Apabila disimak perkembangan masyarakat, tampak bahwa kemunnculan
tipe masyarakat sipil atau civil society, merupakan satu langkah prasyarat
munculnya Negara modern konstitusional dengan penggunaan hukum
modern. Dapat pula dikatakan bahwa munculnya masyarakat sipil (civil
society) menjadi prasyarat untuk munculnya hukum modern(Suteki,
2013:175).

Apa yang terjadi dalam Negara eropo bukan menjadi testimony


Negara yang memiliki paham konstitusionalisme tinggi. Hal ini
mendasarkan pada masih banyaknya ketidakpatian hukum di Negara eropa
pada umumnya. Namuan setidak-tidaknya kita dapat menggunakan
Negara-negara eropa sebagai sebuah institusi yang mewujudkan tatanana
Negara yang memiliki subtansi dari aktualisasi yang tetap karena
memperankan Negara sebagai wujud konstruktif dari sebuah hukum
karena acapkali hukum di terapkan berdasarkan pada nilai actual pada
teori-teori yang selalau di kembangkan secara terus menerus.

Secara prinsipil paham konstitusinalisme melalui implementasi


aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di terapkan di eropa
secara sungguh-sungguh. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa Negara-
negara eropa lebih cenderung stabil dibandingkan dengan Negara-negara
lain. Teori konstitualisme yang dimaksud dengan mendalilkan pada paham
kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

91
Dalam aktualisasi nilai keadilan sebagai wujud dan bentuk
keberlakuan konstitusi, maka keadilan merupakan sasaran utama dan
hukum, maka penegakan hukum harus diarahkan antara lain untuk
mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi
masyarakat atau keadilan sosial. Bukan Sanya keadilan formal (formal
justice), melainkan juga keadilan subtansial(substantial justice) bahkan
keadilan sosial (social justice). Disinilah pentingnya hakim untuk
menoleh, memperhatikan apa yang disebut dengan the living law sebagai
salah satu sisi .kta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk memutus
perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. The living law dap.
dikatakan sebagai the social pressure yang dapat dipertimbangkan oleh
hakim dalam memutus perkara. H.L.A. Hart dalam bukunva The Concept
of Law mengatakan bahwa: “What is important is that the insistence on
importance . seriousness of social pressure behind the rules is the primary
fickr determining wet her are thought of as giving rise to obligation...”
(Suteki, 2013:203-204).

Nilai keadilan yang diangkat dalam tulisan ini bukanlah nilai


keadilan individual, melainkan nilai keadilan sosial. Perwujudan nilai
keadilan individual sangat ditentukan oleh masing-masing individu dalam
melakukan interaksi di antara mereka. Berbeda dengan nilai keadilan
individual, perwujudan nilai keadilan sosial sangat tergantung dan peranan
negara melalui pengkondisian struktur sosial pada masyarakat tertentu.
Jadi bukan tergantung kemauan individu-individu. Adanya keadilan,
terutama sekali keadilan sosial merupakan suatu prasyarat untuk dapat
berlangsungnya (sustainsibility) suatu komunitas tertentu karena
komunitas tersebut dalam keadaan tertib (order), dinamis dan ketimpangan
sosial dapat direduksi. Kondisi masyarakat demikian bukan berarti di
dalamnya tanpa ada konflik. Konflik tetap ada, namun konflik tersebut
bersifat fungsional dan dapat diselesaikan melalui mekanisme tertentu
dengan menjunjung tinggi nilai keadilan (justice) ( Suteki, 2013:248).

92
Seperti sudah disebutkan bahwa teori keadilan dan John Rawls
dengan ucapan terkenalnya, yaitu justices fairness, merupakan alternatif
terhadap teori keadilan dan aliran utilitarian dan John S. Mill. Bahkan,
Rawis dengan tegas menolak teori util itarian tersebut. Sebaliknya, dengan
mendasari teori keadilan kepada kontrak sosial, Rawis sebenarnya banyak
terpengaruh oleh ajaran John Locke, Rousseau, dan Immanuel Kant. Baik
ucapannya berupa “justice as fairness”, maupun ucapannya yang berupa
“justice as the first virtue of social institutions” jelas merupakan
pengembangan dan teori kontrak sosial tersebut. Karena menurut teori
kontrak sosial, ketertiban dalam masyarakat akan tercapai manakala
pemerintah yang disepakati bersama oleh rakyat mengaturnya berdasarkan
konsep masyarakat tersebut tentang keadilan. Karena itu, salah satu
tampilan dan justice as fairness adalah wajah sosial dan keadilan.Namun
sebenarnya kurang tepat ketika John Rawls terlalu mempertentangkan
antara teori utilitarian dengan teori kontrak sosial. Sebab, teori kontrak
sosial tersebut memerlukan suara mayoritas dan masyarakat dan teori
utilitarian memerlukan the greatest number ofpeople yang sebenarnya
merupakan wajah lain dan prinsip mayoritas masyarakat tersebut(Munir
Fuady, 2010:96).

Nilai kemanfaatan sendiri merupakan bentuk lain dari agara sebuah


karakterisktik hukum memang benar-benar memiliki nilai kebahagiaan
untuk semua. Hal ini setidak-tidaknya yang ditekankan oleh Gustav
Radbruch, Einfuhrung indieRechtswissefl SChaft, Stuttgart, 1961
menyatakan, bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan.
Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya. Tujuan ini yang ingin diwujudkan
manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu:

1. keadilan untuk keseimbangan

2. kepastian untuk ketepatan;

3. kemanfaatan untuk kebahagiaan(Muhammad Erwin, 2013:123)

93
Disini jika arti kemanfaatan hukum disifati sebuah nilai yang
berlaku untuk kebahagiaan, maka hukum tidak akan memiliki
kecenderungan hanya sebagai alat kepuasaan semata. Hukum harus
memiliki nilai jati diri yaitu memiliki keberlangsungan yang utuh bagi
manusia secara seluruhnya, meskipun dalam konteks keputusan hukum
hanya berkaitan dengan beberapa pihak saja.

Berkaitan dengan pandangan yang terakhir yaitu nilai kepastian,


menurut Max Weber, dalam bertingkah laku, orang-orang selalu terikat
pada kebiasaan. Pengulangan selalu menimbulkan rasa comford dan
akhirnya timbul rasa kepastian (certainty). Max Weber membedakan
antara hukum formal dengan hukum subtansial. Pembedaan ini merupakan
proses rasionalisasi hukum. Hukum formal adalah keseluruhan sistem dan
teori dan teori hukum yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika
yuridis saja tanpa mempertimbangkan faktor luar hukum. Hukum subtansi
memperhatikan faktor-faktor non yuridis seperti nilai-nilai politik, etika,
ekonomi dan agama(Suteki, 2013:8-9).

Nilai kepastian hukum dalam tradisi civil law lebih


berkecenderungan diartikan dalam paham tertulis. Namun nampaknya
tidak cukup demikian. Dalam pandangan awam tradisi kepastian ini lebih
cenderungan pada situasi implementasi hukum yang stabil dan ajeg, akan
tetapi tetap menjadi nilai dan subtansi keadilan dan ketertiban yang ada
dan sejatinya menjadi bagian dari tujuan akhir dari hukum.

Konsep kepastian hukum, dilihat dan perspektif sosiologis,


semakin menjadi penting ketika hukum harus diletakkan dalam kerangka
sistem sistem hukum modern. Sebagaimana diketahui, sistem hukum
modern menunjuk pada sistem hukum yang dilahirkan dan tradisi
pemikiran di Eropa Barat,khususnya sebagai implikasi dan Revolusi
Perancis 1789. Ciri-ciri dan sistem hukum modern yang utama adalah: (a)
Merupakan sistem hukum yang berasal dan tatanan sosial Eropa Barat

94
pada Abad 19; (b) Sangat dipengaruhi paradigma positivisme dalam ilmu
pengetahuan alam; (c) Rasional , lepas dan pengaruh Ketuhanan; (d)
Meyakini bahwa hukum dapat dikonstruksi dan dikelola secara netral,
tidak berpihak, impersonal, dan objektif; (e) Melindungi freedom-HAM;
dan (f) Mendukung terciptanya kepastian untuk menjamin
prediktabilitas(Fx Adji Samekto, 2013:60).

Berkaitan dengan kemanfaatan yang berimplikasi pada kebahagian


perlu merujuk pada apa yang disampaikan oleh Thomas Hobbes. Apakah
kiranya sumbangan Thomas Hobbes dalam sejarah pemikiran tentang
negara dan hukum sebagai seorang ahli pikir?Sumbangannya ialah suatu
sistem materialistis yang besar, dalam mana termasuk juga pen kehidupan
organis dan rokhaniah. Artinya bahwa tujuan hidup, yaitu kebahagiaan itu
hanya dapat dicapai dengan cara berlomba dengan gerak. Adapun alat-alat
untuk dapat mencapai kebahagiaan adalah kekuasaan, kekayaan, nama
baik atau keagungan pribadi dan kawan. Sedang kekuasaan terbesar untuk
kepentingan manusia adalah negara. Ajarannya itu ditulis dalam dua buah
bukunya yang sangat terkenal, ialah : De Cive (= tentang warga negara)
dan Leviathan (= tentang negara) ( Soehino, 1996:98).

Kebahagian disini bukan hanya diartikan instrument kebebasan.


Harun Nasution menegaskan bahwa kebebasan manusia yang terdapat
dalam Islam tidak bersifat absolut, demikian juga hak asasinya. Yang
mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan dalam ajaran Islam
hanyalah Allah. Selain itu, disamping hak, manusia mempunyai kewajiban
yang dibebankan oleh Allah kepadanya, yaitu patuh kepada perintah dan
larangan-Nya. Larangan-Nya adalah supaya manusia tidak berbuat onar
dipermukaan bumi dan perintah-Nya adalah agar manusia berbuat baik,
mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan
orang lain, apalagi kepent ingan umum atau orang banyak, adalah dilarang
dalam Islam( Sirajuddin dan Winardi, 2015:239).

95
Sedangkan berkaitan dengan masalah pokok keadilan yang berarti
adalah masalah pokok keadilan sosial yaitu pembagian (distribusi) nikmat
dan beban dalam masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam tiga
kelompok yaitu: (1) ekonomi (uang); (2) politik (kuasa); dan sosial
(status).4 Marxisme memandang keadilan bukan dan aspek distribusinya
tetapi dan aspek produksi. Distribusi masih bisa diatur dan diperbaiki
(fiskal progresif, misalnya), tetapi selama produksi berada di tangan
kapitalis, selama itu pula ada masalah dengan keadilan(Suteki, 2013:250).

Keberlakuan melihat dari aspek kepastian, kemanfaatan dan


keadilan mendorong konstitusi dimungkinkan berubah. Perubahan yang
mendasar dalam hal ideology sebagai akar konstitusi dengan
mempertimbangkan kondisi yang terjadi dalam sebuah Negara. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada Negara Rusia.

Khusus dibidang ideologi, negara Rusia mengalami perubahan


berkali-kali. Mulai dari idelogi berdasarkan tradisi lama dalam wujud
sistem masyarakat feodal yang religius sampai pada monarkhi absolut,
kemudian negara itu menganut idelogi Komunisme yang atheistis dan anti
istitusi agama. Saat ini ideologi negara berubah lagi. Ideologi Komunisme
yang atheistis dan totaliter ditinggalkan, dan berganti dengan kebebasan,
termasuk kebebasan beragama. Perubahan ideologi jelas mengubah corak
berfikir dan bersikap bangsa Rusia, termasuk corak kebijakan pemerintah
dan kenegaraan ( Fahrurodji, 2005:xxiii).

Kebangkitan kembali Rusia dapat dicapai dengan 3 alternatif cara.


Pertama, adalah dengan kembalinya Rusia pada sistem pra-Bolshevik
dengan mengadopsi elemen-elemen imperium Rusia. Dengan cara ini
diharapkan Rusia dapat meraih kembali kehormatan dan kejayaan Rusia
pada masa lampau. Kedua, kembali ke sistem sosialisme Sovietini
beranggapan bahwa sistem inilah yang tepat untuk mengangkat kembali
Rusia keposisinya sebagai negara adikuasa (Derzhava) yang disegani.

96
Ketiga adalah jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai-nilai
demokrasi Barat. Ketika pandangan ini merupakan alternatif jawaban
Rusia dalam pencarian jalan menuju masa depannya. Hal ini terlihat dari
berbagai aktivitas sosial politik yang terjadi selepas runtuhnya sistem
solisalisme Uni Soviet. Alternatif kedua dan ketiga menemukan bentuknya
dalam berbagai pergulatan politik yang tajam sehingga berakhirnya
pemerintahan presiden pertama Boris Yeltsin. Pada masa ini terlihat
terjadinya berbagai upaya golongan sosisalis untuk kembali membawa
negara ini ke sistem yang menjadi inti perjuangan mereka.Begitu angin
keterbukaan dihembuskan, apresiasi politik yang biasanya hanya boleh
disalurkan lewat partai komunis, kini boleh disuarakan oleh kekuatan
politik lain. Tercatat sehak tahun 1989 hingga 1993 muncul sedikitnya 36
partai politik dan organsasi massa, yang siap menjadi corong aspirasi pada
masa pasca-komunis ini (Fahrurodji, 2005:190).

Dalam hal ini dapat dicerna bahwa akar kemajuan yang dapat
dikatakan adopsi dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan tentunya bisa
mungkin terjadi karena perubahan ideology yang nantinya pula akan
merubah tatanan suatu Negara dalam memberlakukan konstitusi. namun
tentunya bagi Negara seperti Indonesia hal tersebut terjadinya sangatlah
jauh secara sederhana untuk diterapkan.

C. Nilai Keberlakukan Konstitusi

Sejauh ini, tidak ditemukan jejak sejarah yang menunjukkan siapa


sebenarnya, yang pertama kali menggunakan terminologi
konstitusionalisme. Berbeda dengan penggunaan terminologi konstitusi.
Sekurang-kurangnya Aristoteles, dapat ditunjuk sebagai orang pertama
yang secara sistematis menggunakan terminologi itu, ketika mengkaji
sejumlah konstitusi. Konstitusi atau “constitutio “ politeia dalam Yunani,
tidak selalu mudah dapat disarikan maknanya secara tepat. Plato misalnya
menunjuk, politeia sebagai jiwa dan negara soul of the body polis. Tetapi

97
pada lain waktu atau bagian dan tulisannya, Plato juga menunjuk Laws,
yang dimaksudkan sebagai konstitusi, ketika membicarakan hukum
sebagai sesuatu yang bernilai bagi perikemanusiaan. Pada pertengahan
abad ke-12 (tahun 1164), terminologi konstitusi digunakan secara terbuka
untuk apa yang dikenal dengan Clarendom Constitution. Seringkali
konstitusi ini diandaikan sebagai konstitusi modern pertama, tentu yang
bersifat sekuler. Konstitusi ini dikenal juga dengan istilah avitae
constitutiones of leges, a recordatio vel recognition(Jazim Hamidi dan
Malik, 2009:3).

Namun dalam berpraktik hukum nasional, maka hukum sebagai


paradigma pembangunan hukum mengacu pada Pancasila, memiliki
sekurang-kurarignya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan
pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia yakni
sebagai berikut:

1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamm keutuhan


bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih
disintegrasi.

2. Hukum hams menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi


khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan
bebas melawan golongan yang kuat.

3. Hukum hams dibangun secara demokratis sekaligus membangun


demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum).

4. Hukum tidak boleh diskriminatjf berdasarkan ikatan primordial apa


pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan
kemanusiaan dan keberadaban(Suteki, 2013:244).

Secara teoritis jaminan tersebuat dalam sebuah nilai keberlakuan


konstitusi dipedomani dengan mengacu pada sebuah nilai keberlakuan
normative, nilai keberlakuan semantic dan nilai keberlakuan nominal. Ide

98
dari gagasan tersebut mengacu pada Karl Loewenstein yang telah
melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai
konstitusi, yaitu sebagai berikut.

a. Nilai Normatif. Konstitusi yang bernilai normatif mengandung


pengertian bahwa konstitusi itu berlaku tidak hanya dalam arti hukum
(legal) melainkan kenyataan (realitas).
b. Nilai Nominal. Konstitusi yang bernilai nominal mengandung
pengertian bahwa menurut hukum masih berlaku tetapi dalam
pelaksanaannya atau kenyataannya tidak sempurna karena ada pasal-
pasal yang tidak dilaksanakan.
c. Nilai Semantik. Konstitusi yang bernilai semantik berarti konstitusi itu
secara hukum memang berlaku tetapi hanya sekedar untuk memberi
bentuk atau melaksanakan kekuasaan politik. Konstitusi diadakan
hanya untuk kepentingan pemegang kekuasaan. Konstitusi hanya
sekedar istilah karena pelaksanaannya harus selalu dihubungkan
dengan kepentingan pihak yang berkuasa(Sri Soemantri
Martosoewignjo, 2005: 33-34)

Dalam keberlakuan normative Hukum (yang diterjemahkan dan


kata “law” dalam bahasa Inggris) menurut Herman J. Pietersen adalah
suatu bangunan normatif. Dalam pengertian in hukum dikonsepsikan
sebagai aninstrument of the state orpolis concerned with justice, with rules
of conduct to regulate human behaviour. Menurut pandangan ini hukum
merupakan instrumen untuk menegakkan keadilan yang wujudnya berupa
pedoman perilaku dengan fungsi utamanya mengatur perilaku manusia.
Inilah basis berpikir ajaran hukum doktrinal. Dilihat dan perspektif
perkembangan peradaban di Eropa Barat, hukum sesungguhnya telah
dikembangkan sejak masa Sebelum Masehi. Akan tetapi pendayagunaan
akal manusia (rasio) belum menjadi hal utama untuk mengembangkan
hukum, mengingat era (masa) itu adalah era dimana pengaruh kekuasaan

99
Keilahian begitu dominan. Segala gejala (fenomena) di alam fakta yang
terjadi di dunia diterangkan dengan pendekatan Keilahian. Pendekatan ini
mendasarkan pada keyakinan, bukan pada pembuktian terlebih dahulu.
Dominasi pendekatan Keillahian sebenarnya dapat ditelusuri sejarahnya
dan pemikiran filosof Yunani: Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-
322 SM)( Fx Adji Samekto, 2013:12)..

Antara keberlakuan normative, semantic dan nominal tersebut pada


prinsipnya menampatkan konstitusi sebagai unsure penyeimbang dan
keterpaduan implementasi hukum. Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukum itu berfungsi untuk menjamin keterpaduan sosial dan perubahan
tertib social dengan cara menyeimbangkan konflik kepentingan yang
meliputi:

1. kepentingan-kepentingan individual (kepentingan-kepentingan privat


dan warga Negara selaku perseorangan

2. kepentingan-kepentingan sosial (yang timbul dan kondisi kondisi


umum kehidupan social

3. kepentingan-kepentingan publik (khususnya kepentingan-kepentingan


Negara)( Muhammad Erwin, 2013:237-238)

Kaitannya terhadap hal tersebut, maka pendekatan Sociological


Jurisprudence dianggap salah satu bentuk pendekatan yang tepat.
Sociological Jurisprudence merupakan salah satu bentuk perwujudan
kesatuan Ilmu Hukum dengan basis sosialnya (termasuk ilmu-ilmu sosial)
yang kemudian dapat berakibat dalam sistem penegakan hukum khususnya
melalui mekanisme peradilan, yaitu mekanisme hakim dalam memutus
perkara. Problematiknya akan muncul terkait dengan kemerdekaan hakim
dalam memutus perkara. Sistem peradilan bersifat authopoietic6, tetapi
juga harus melihat aspek-aspek lingkungan sosialnya. Di sinilah
pentingnya seorang hakim untuk selalu memperhatikan aspek socilogik
dan Ilmu Hukum yang digunakannya. Hakim seharusnya memahami aliran

100
Sociological Jurisprudence dengan baik sehingga the living law, aspek
sosial, politik, ekonomi dan budaya mendapat tempat dalam pertimbangan
hakim untuk menghasilkan putusan yang tidak hanya memenuhi prinsip
keadilan formal (formal Justice) tetapi juhakeadilan subtansial (subtantial
justice) bahkan keadilan masyarakat (social justice) dalam penegakan
hukum nasional(Suteki, 2013:21-22)

Nilai-nilai yang diberlakukan konstitusi yang diangkap melalui


pendekatan Sociological Jurisprudence demikian tentunya akan menjadi
dasar diberlakukannya konstitusi secara baik dan tepat. Hal tersebut
diasarkan mengingat Sociological Jurisprudence mengamati bagaimana
hukum dengan segala karakteristiknya diterapkan dan digunakan dalam
dan dipakai oleh masyarakat. Pada saat hukum dijalankan terjadilah
interaksi antara hukum dan perilaku masyarakat yang menggunakannya.
Sociological Jurisprudence berbicara mengenai makna sosial hukum (the
sosial meaning of law). Makna sosial diberikan kepada hukum melalui
kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana hukum itu diterapkan.
Pandangan Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa peraturan
hukum tidak dapat memaksakan agar isi peraturan dijalankan secara
mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh struktur sosial di
mana hukum itu dijalankan. Penelitian tentang budaya hukum di Indonesia
oleh Daniel S. Lev sebagimana dikutip Satjipto Rahardjo menunjukkan
bagaimana pengertian hukum, prosedur hukum, di Jawa dikalahkan oleh
pola harmoni, menjaga perasaan dan sebagainya. Maka dalam hal ini
struktur sosial menjadi faktor penentu pula dalam hukum dan masyarakat
pun sebenarnya turut membentuk hukum dengan memberi makna sosial
kepadanya. Hubungan struktur sosial dengan hukum dapat kita amati pula
dengan pemikiran ke belakang bagaimana hukum itu dibentuk dan
dijalankan juga bergantung kepada struktur sosial masyarakatnya(Suteki,
2013:34-35)

101
Hal yang kuat pada sisi lain adanya Sociological Jurisprudence
lebih menekankan penguatan kedaulatan rakyat dalam pemberlakuan
konstitusi. Teori kedaulatan (negara) dalam bidang hukum ini merupakan
analisis teoretis legal terhadap kekuasaan dan kedaulatan negara.Teori
hukum yang berhaluan politik dalam suatu negara memang lebih banyak
dikembang di zaman modern, sebab negaran egara modern memang sangat
memerlukan suatu landasan teoretis yang kuat dan luas. Adalah Bodin
(1577), dalam bukunya Six Livres de la Republique yang pertama kali
berbicara tentang teori kedaulatan ini. Menurut Bodin, kedaulatan bukan
hanya kekuasaan negara yang superior dan simpel, melainkan sudah
merupakan kekuasaan negara yang absolut dan berlaku terus. Memang,
sekelompok manusia juga dapat memiliki kedaulatan, tetapi hal tersebut
dapat menjadi suatu tirani mayoritas yang liar.Apa yang disebut dengan
kedaulatan negara mencakup juga kedaulatan dalam membuat hukum yang
berarti hukum merupakan sekumpulan perintah (command) dan negara.
Sebenarnya, konsep hukum sebagai perintah bukanlah hal yang baru, di
mana sudah melakukan sebuah inovasi dengan menekankan pada elemen
kedaulatan (souvereignty). Meskipun bagitu, banyak para ahli yang kurang
sreg dengan konsepsi hukum sebagai perintah, mereka menginginkan agar
konsep perintah (command), kekuasaan (power), dan paksaan
(enforcement) sebaiknya ditempatkan dalam ruang lingkup ilmu politik,
psikologi, dan sosiologi.Thomas Hobbes juga merupakan salah satu
pelopor teori kedaulatan negara. Berbeda dengan Bodin yang melihat
hukum hanya sebagai produk dan pelaksanaan kekuasaan yang aktual,
sebaliknya Hobbes lebih melihat kedaulatan sebagai “hak” Nuntuk dapat
memerintah orang lain. Dasar dan hak atau otoritas tersebut adalah hukum
alam yang mengharuskan manusia untuk menjalankan apa yang
dijanjikannya(Munir Fuady, 2010,10).

Oleh karenanya dalam setiap pembentukan perundang-undangan


ditekankan adanya asas pembentukan yang merupakan bentuk lain dari

102
kedaulatan rakyat. Asas yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai
berikut :

1. Huruf a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa


setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
2. Huruf b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
3. Huruf c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Huruf d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5. Huruf e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
6. Huruf f. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,

103
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
7. Huruf g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8. Huruf h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
9. Huruf i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
10. Huruf j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.

104
BAB VI
TRADISI DALAM KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Dapat memahami nilai-nilai tradisi yang menjadi sandaran kedudukan
konstitusi
2. Dapat memberikan gambaran tradisi sebagai karakteristik dan nilai
sakral sebuah konstitusi
3. Dapat memahami bahwa tradisi menjadi sumber perwujudan konstitusi

A. Pengertian Tradisi

Melalui analisis khas seorang Marxis, Tan Malaka memberikan


gambaran mengenai perubahan masyarakat dan negaranya kedalam
beberapa tingkatan.Dimulai dan masyarakat komunis asli, masyarakat
budak (slave), masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, dan masyarakat
sosialis.Masing-masing tahap ada sistem-sistem yang mengatur dan
mengarahkan kesistem selanjutnya sehingga tujuan terencana dengan
rapi(Muhtar Said, 2013:145).

Uraian analisis seorang Marxis tersebut setidak-tidaknya


mengembangkan sebuah paradigma bahwa dalam setiap implementasi
konstitusi sejatinya memiliki kekhasan kebiasaan yang masing-masing
berbeda. Tradisi bukan hanya diartikan sebagai terjemahan kebiasaan,
karena cukup sederhana sekali jika tradisi dinilai sebuah simpul-simpul
kebiasaan yang kering nilai. Tradisi dalam hal ini dapat dipahami sebagai
akar jalinan norma yang berlaku terus menerus dan bisa menjadi identitas
yang tidak bertentangan dengan ideology dasar dalam sebuah Negara.

Oleh karenanya tradisi dapat dipahami sebagai sumber. Tradisi


selain membentuk juga tidak mungkin bertentangan dengan karakteristik
hukum yang bersumber dari formil maupun materiil. menurut Sudikno
Mertokusumo sumber hukum formil dana materiil sebagai berikut :

1. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dan mana materi itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu

105
pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan
politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan,
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional,
keadaan geografIs, dan lain-lain.

2. Sumber Hukum Formal merupakan tempat atau sumber dan mana


suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan
dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu
formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal
ialah UU, perjanjian antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
Sumber Hukum Menurut Joeniarto terdiri dari:

a. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya


hukum positif.

b. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai bentuk-


bentuknya hukum di mana sekaligus merupakan tempat
diketemukannya aturan-aturan dan ketentuan hukum positifnya.

c. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai hal-hal yang


seharusnya menjadi isi hukum positif.

d. Pancasila sebagai sumber dan segala sumber hukum RI.

e. Proklamasi merupakan tindakan pertama dan Tata Hukum


Indonesia(Zainal Asikin, 2013:155).

Wujud dari tradisi konstitusi yang diistilahkan dengan konvensi


ketatanegaraan berasal dari bahasa Inggris. Namun istilah ini tidak dapat
disamakan dengan istilah konvensi konstitusi yang dikenal di Amerika,
konvensi konstitusi yang dikenal dinegara tersebut mempunyai pengertian
yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam pembentukan konstitusi itu
sendiri atau dengan kata lain pengkodifikasian dari konvensi itu sendiri.
Convention atau lebih dikenal dengan istilah constitutional convention,
yang diteliti lebih dalam oleh Dicey seorang sarjana Inggris sebagaimana

106
yang dikutip oleh Dahlan Thaib yang mula-mula mempergunakan istilah
konvensi ketatanegaraan(Weldy Agiwinata, Yuridika : Volume 29 No
2:153).

Dalam tradisi konstitusi dimaknai sebagai legitimasi norma di


dalam masyarakat untuk diterapkan secara ajeg dan aktif sesuai dengan
kebiasaan sebuah Negara. Semisal dalam tradisi pengujian Undang-
Undang sebagai salah satu bentuk konstitusi. diberbagai Negara memiliki
tradisi yang berbeda-beda.

Sistem hukum modem di Inggris justru tidak mengenal


„constitutional review‟ ataupun „judicial review‟ sama sekali.
Perkembangan sejarah hukum Inggris memang mengandung berbagai
elemen „constitutional review‟, misalnya, prinsip supremasi konstitusi (the
principle of the supremacy of the Constitution). Prinsip ini bahkan sudah
ditemukan sejak sekitar tahun 1610, dan dapat dikatakan pengaruhnya
sangat menentukan perkembangan tradisi hukum Inggris selanjutnya.
Contoh lain adalah yang dapat disebut sebagai kontribusi Jnggris bagi
perkembangan diskusi dan perdebatan akademis mengenai persoalan ini
adalah mekanisme „impeachment‟ yang berasal dan masa-masa akhir Abad
Pertengahan (the late Middle Ages of Europe). Gagasan-gagasan mengenai
„the supremacy of the Constitution and the right to judicial review‟
memang berkembang luas dan Inggris sampai ke Amerika Serikat. Sejak
akhir abad ke-18, Pengadilan telah membuat putusan yang
memproklamasikan individual English Acts null and void‟, tidak berlaku
mengikat di dalam wilayah negara Amerika Utara (North American States)
(Jimly Asshiddiqie, 2010:25).

Dalam tradisi Amerika berbeda dengan tradisi di inggris. Model


“Judicial Review” menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan atas
pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara
Marbury versus Madison pada tahun 1803. Dalam model ini pengujian

107
konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenulmya oleh
Mahkamah Agung dengan status sebagai „the Guardian of the
Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrm yang kemudian biasa juga
disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall‟s doctrine),
„judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas
oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian
terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentral ized or dffuse or
dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa
(incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional
sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara
lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat
spesifik dan termasuk kategori „a posteriori review‟. Adapun, Mahkamah
Agung dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan
sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem
yang tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak
yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali
dalam kerangka prinsip „stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di
kemudian han terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil
sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Pada pokoknya,
putusan mengenai iukons titusionalitas suatu undang-undang bersifat
deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat
„ex tunc dengan akibat „pro praeterito‟ yang menimbulkan efektif
retroaktif ke belakang. Tentang sistem demikian berbeda sekali dengan
yang diterapkan di Indonesia dewasa ini Akan tetapi, persoalan ini tidak
akan didiskusikan di sini, melainkan akan dibahas dalam buku tersendiri.
Dan segi kelembagaannya, sistem pengujian konstitusionalitas yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat mi jelas berbeda pula
dan tradisi yang sama di Austria. Dalam sistem Amerika Serikat yang
menganut tradisi „common law‟, peranan hakim penting dalam proses

108
pembentukan hukum menurut asas „precedent‟. Bahkan hukum dalam
sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made law‟, atau
hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall
memprakarsai praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh
Mahk amah Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnya pun para
hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi
tradisi pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-
undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa
setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa peranan
hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya
demikian(Jimly Asshiddiqie, 2010:45-47).

Oleh karenanya, bila seseorang keluar dan kebebasan alamiahnya


dan masuk bergabung dengan komunitas (kelompok sosial dalam
masyarakat) atau masyarakat politik (political society), maka yang
bersangkutan telah menyerahkan kekuatan yang ada padanya secara tidak
langsung kepada kekuatan mayoritas masyarakat politik tersebut.
Kesepakatan sejumlah kelompok masyarakat tersebut bergabung menjadi
suatu kekuatan yang mayoritas, hal ini adalah merupakan asal muasal
terbentuknya pemerintahan. Saling tolak menolak antara kekuatan
mayoritas dengan kekuatan minoritas yang mendukung dan atau yang
tidak mendukung pemerintahan, akan menentukan apakah pemerintahan
atau penguasa yang bersangkutan dijalankan atau menjalankan
kekuasaannya secara demokratis ataukah otoriter(Jazim Hamidi dan Malik,
2009:1).

Antara Amerika, Inggris ditambah dengan Austria memiliki lebih


banyak perbedaan lagi. Austria atau Model Austria ini diikuti dan
dipraktikkan di banyak Negara-negara dunia, ciri umum yang terdapat
dalam sistem „constitutional review‟ menurut Model Austria in Ciri-ciri
umunmya adalah sebagai berikut:

109
1. Constitutional review‟ diterapkan dalam keadaan yang beragam,
tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap negara.

2. Badan-badan pelaksana pengujian atau „constitutional review‟ yang


bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan kehakiman
yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung

3. Dalam perkara-perkara yang menyangkut „constitutional complaint‟,


penyelesaian permasalahannya dilakukan den gan cara mengadakan
pemisahan antara mekanisme „cons titutional review‟ dan mekanisme
yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa.

4. Kedudukan konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang


administratif dan finansial dianggap prasyarat utama bagi independensi
lembaga peradilan konstitusi.

5. Sifat monopoli dalam melakukan „constitutional review‟ atau


spesialisasi dalam rangka constitutional review, ataupun terjaminnya
konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana.

6. Adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang


disahkan oleh parlemen (legislative acts).

7. Para hakiin Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-


lembaga politik (bodies of political power).

8. Sifat khusus dan proses peradilan yang diselenggarakan, yaitu bahwa


putusannya di samping bersifat juridis juga bernuansa politis,
meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula memiliki
fungsi yang murni bersifat konsultatif (a purely consultative function).

9. Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian konstitus ionalitas


atas undang-undang menurut Model Austria ini, pada umumnya,
bersifat „represif‟, meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga
coraknya yang bersifat preventif yang diterapkan dalam praktik(Jimly
Asshiddiqie, 2010:53-54).

110
Bentuk judicial review di berbagai macam Negara tersebut
tentunya mengindikasikan bahwa adanya system hukum tidaka hanya
mengacu pada kebiasaan yang acapkali dilakukan. Namun kebiasaan
tersebut harus berkecederungan jaminan nilai-nilai yang berlaku secara
utuh dalam masyarakat sehingga memungkinkan terjadinya stabilitas
secara adil dan konstan untuk diterapkan.

Berangkat berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan jika


lahirnya suatu sistem hukum yang kemudian dipergunakan di suatu negara
yang hal ini menjadi bagian dari paham konstitusi tidak lepas sejarah
tradisi (hukum) dan budaya (hukum) legal culture yang dianut pada
masyarakat tersebut. Bagi masyarakat yang menganggap praktik-praktik
kebiasaan yang melembaga dan kemudian menjelma menjadi hukum,
maka sistem hukumnya menjadi tradisi sistem hukum tidak tertulis sebagai
bagian spirit of the people suatu bangsa. Sebaliknya ketika tradisi dan
budaya tata tulis telah menjadi semangat kepastian hukum suatu bangsa,
maka sistem hukumnya menjelma menjadi sistem hukum tertulis yang
dikodifikasikan(Zainal Asikin, 2013:78).

Dalam pandangan umum, konstitusi indonesia yaitu yang tertuang


dalam pembukaan menjadi bagian yang utuh dari sebuah tradisi bangsa
yang tidak bisa diubah-ubah. Konsep demikian mengingat pembukaan
merupakan nilai kejiwaan bangsa yang patut dijaga sepanjang masa.

Pembukaan UUD 1945 juga dianggap merupakan modus vivendi


(kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan
satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran
(akte) karena sebagai modus vivendi di dalamnya memuat pernyataan
kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah
untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jika Pembukaan
diubah maka Indonesia yang ada bukanlah Indonesia yang aktenya

111
dikeluarkan pada tanggaI 17 Agustus 1945 melainkan Indonesia yang lain
lagi(Moh. Mahfud MD, 2013:3).

Isi pembukaan dalam Undang-undang dasar Negara republic


Indonesia tahun 1945 tersebut sebagai berikut :

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa


dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalau kita telaah secara mendalam tentunya pembukaan tersebut


sangat memiliki korelasi jika dalam kajian pemaknaan pembukaan tersebut
maka tentunya sangat penting untuk kembali mereview pembukaan
tersebut melalui pemaknaan dalam penjelasan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Naskah asli sebagai berikut :

1. “Negara” begitu bunyinya “melindungi segenap bangsa Indonesia dan


seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan

112
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan,
negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi
negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham
perseorangan. Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu
menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.

2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara


yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem negara yang
terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan
Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran
ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam “pembukaan”


ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang
Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam ide


dan realitas politik serta hukum di Indonesia, Pancasila tidak mungkin
tergantikan sebagai dasar dan ideologi negara yang dapat menampung,
meramu, dan memproduk solusi dengan kearifan dan toleransi yang tinggi
atas berbagai aliran dan kepentingan di dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk(Moh. Mahfud MD, 2013:13).

Berangkat dari sinilah secara politik, kesepakatan MPR untuk tidak


mengubah Pembukaan UUD juga sangatlah tepat sebab gerakan reformasi,
yang salah satu agendanya adalah amandemen atas UUD, terkait dengan

113
upaya pembenahan sistem dan struktur ketatanegaraan guna membatasi
kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang. Untuk membenahi
sistem dan struktur ketatanegaraan itu, yang diperlukan hanyalah
mengamandemen isi-isi (pasal-pasal yang dulu disebut Batang Tubuh)
UUD 1945 tanpa mempersoalkan Pembukaan karena otoriterisme yang
muncul di masa lalu bukan bersumber dan Pembukaan melainkan
bersumber dan pasal-pasal UUD tersebut(Moh. Mahfud MD, 2013:4).

Namun tentunya terdapat problema yang sifatnya jangka panjang


dan lebih mendasar harus diselesaikan melalui solusi paradigmatik yakni
pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi negara hukum dan
rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak dikembangkan di
negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini, maka setiap upaya
penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan
formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif
dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral
di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum. Perubahan
paradigma ini harus diartikan pula sebagai upaya mengembalikan rasa
keadilan dan moral sebagai sukma hukum yang akan dibangun untuk masa
depan negara hukum Indonesia. Untuk melakukan penggeseran paradigma
itu, kemungkinannya pada saat ini sudah lebih terbuka, sebab UUD 1945
hasil amandemen tidak lagi secara eksplisit menyebut “rechtsstaat”
sebagai acuan negara hukum Indonesia. Istilah rechtsstaat yang dulu
secara resmi terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945 sekarang sudah tidak
dicantumkan lagi.Setelab UUD 1945 mengalami empat kali perubahan
(amandemen), Penjelasan UUD tersebut dihapuskan dan tidak lagi menjadi
bagian dan UUD 1945. Sebagai gantinya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
digariskan tentang negara hukum anutan Indonesia dengan bunyi ayat
“Negara Indonesia adalah negara hukum (Moh. Mahfud MD, 2013:186).

114
Wujud paradigma yang tidak hanya bersifat tertulis tentunya akan
menghasilkan citra hukum yang sesuai dengan bangunan tradisi yang
dibangun oleh bapak bangsa. Hal tersebut yang kemudian dituangkan
dalam pembukaan Undang-Undang dasar Negara republic Indonesia yang
tidak berubah.

Salah satu bentuk dari citra hukum yang tidak tertulis dalam hal ini
dimaksudkan adalah living law. The Living Law merupakan ciri khas dan
aliran dalam ilmu hukum Socilogical Jurisprudence. Keadilan merupakan
sasaran utama dan hukum, maka penegakan hukum harus diarahkan antara
lain untuk mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi
masyarakat atau keadilan sosial. Bukan Sanya keadilan formal (formal
justice), melainkan juga keadilan subtansial(substantial justice) bahkan
keadilan sosial (social justice). Disinilah pentingnya hakim untuk
menoleh, memperhatikan apa yang disebut dengan the living law sebagai
salah satu sisi .kta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk memutus
perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. The living law dap.
dikatakan sebagai the social pressure yang dapat dipertimbangkan oleh
hakim dalam memutus perkara. H.L.A. Hart dalam bukunva The Concept
of Law mengatakan bahwa: “What is important is that the insistence on
importance . seriousness of social pressure behind the rules is the primary
fickr determining wet her are thought of as giving rise to obligation...”(
Suteki, 2013:203-204).

Karakteristik the living law dalam pencarian keadilan paripurna


sangat penting untuk diperhatikan. Terkait dengan masalah ini perlu
ditegaskan pernyataan Muladi bahwa dengan berlakunya ajaran sifat
melawan hukum materiil, maka hukum yang hidup mempunyai multiguna,
baik sebagai dasar pemidanaan (kalau tidak ada bandingannya dengan
hukum positif), sebagai alasan penghapus pidana (alasan pembenar)
maupun alasan pemberatan pemidanaan. Hal ini harus dipertimbangkan

115
oleh hakim di pengadilan umum. Hakim harus berani menilai sampai
sejauh mana validitas the living law tersebut, apakah merupakan culture
yang harus diapresiasi atau merupakan counter culture yang justru harus
dianulir. Dalam hal ini peranan Pancasila sebagai margin fappreciation
dalam hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi penting (Suteki,
2013:197).

Dipihak lain selain the living law sebagai bentuk instrument


hukum, terdapat pula kaidah yang menjadi bentuk dari sebuah tradisi yaitu
budaya. Budaya menjadi instrument nilai konstitusi mengingat budaya
dalam bentuknya merupakan karakteristik yang berjalan secara
keberlanjutan.

Gustav Radbruch mengembangkan pemikirannya dengan berpijak


pada pandangan Immanuel Kant. Sebagaimana telah disebut bahwa dalam
pandangan Kant, ada dua bidang dalam kehidupan, yaitu bidang fakta dan
bidang seharusnya. Gustav Radbruch menghubungkan antara bidang fakta
dengan bidang seharusnya tersebut. Penggabungan keduanya dilandasi
pada pemikirannya bahwa sesungguhnya di dalam kehidupan terdapat
bidang yang mengandung unsur fakta (das sein) dan unsur seharusnya (das
sollen). Jadi, keduanya sebenarnya bisa dihubungkan. Bidang yang mampu
menghubungkan, menurut Gustav Radbruch adalah budaya (culture).
Budaya, menurut Gustav Radbruch, merupakan perwujudan nilai-nilai
(yang memuat bidang seharusnya) di dalam alam fakta, yang tercermin
dalam tingkah laku manusia maupun peraturan. Hukum, dengan demikian
menurut Gustav Radbruch, merefleksikan budaya yang merupakan
jembatan antara nilai dan kenyataan. Oleh karena itulah, menurut
Radbruch kehendak manusia tidak akan sebebas-bebasnya, karena ia
terikat pada nilai-nilai. Dengan demikian dalam pandangan Gustav
Radbruch, aturan hukum merupakan paduan antara nilai-nilai yang harus
diwujudkan dan kenyataan yang tidak boleh melanggar nilai-nilai itu.

116
Nilai yang terkandung dalam hokum itu, menurut Gustav Radbruch adalah
keadilan. Oleh karena itu dalam pandangannya, pengupayaan keadilan
harus diwujudkan dalam peraturan yang nyata(Fx Adji Samekto, 2013:48-
49).

Berdasarkan pengertian tersebut maka budaya hukum yang


berkembang di dalam suatu masyarakat tidak dapat dilepaskan dan budaya
politiknya, sebab hukum itu sebenarnya merupakan produk politik.
Sebagai produk politik, hukum itu merupakan kristalisasi atau formalisasi
dan kehendak-kehendak politik yang berkontestasi satu sama lain. Dengan
melihat lembaga legislatife misalnya, akan tampak jelas bahwalembaga
ini, meskipun produk legislasinya merupakan hukum yang imperatif,
sebenarnya (seperti sering dikatakan oleh Satjipto Rahardjo) tidak
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan hukum melainkan melakukan pekerjaan-
pekerjaan politik. Hukum sebenarnya merupakan hasil tawar-menawar
atau adu kekuatan taranggota lembaga legislatif, sehingga produknya
merupakan produk politik belaka. Itulah sebabnya jika pemegang
kekuasaan politik yang dominan menolak sebuah rancangan produk
hukum maka rancangan itu tidak akan pernah menjadi hukum(Moh.
Mahfud MD, 2013:209).

Untuk memahami maksud budaya hukum terlebih dulu perlu


digambarkan secara umum tentang pengertian kebudayaan. Sebab budaya
hukum merupakan bagian dan kebudayaan pada umumnya.Kebudayaan
telah refinisikan dengan berbagai pendekatan oleh berbagai pakar. Di
dalam buku Communicating Between Cultures disebutkan bahwa Taylor,
pada tahun
1871, mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan kompleks yang
memuat pengetahuan kepercayaan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan,
dan segala kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Sementara itu, Clyde Kluckhohn mengartikan

117
kebudayaan sebagai keseluruhan hidup suatu masyarakat sebagai warisan
sosial yang diperoleh para individu dan kelompoknya. Dalam pengertian
yang lebih fungsional, kebudayaan merupakan desain untuk hidup dalam
arti suatu perencanaan dan, sesuai dengan perencanaan itu, masyarakat
kemudian mengadaptasikan dirinya pada Iingkungan fisik, sosial, dan ide.
Dan banyak pengertian itu, dapat dikemukakan beberapa dimensi tentang
kebudayaan. Pertama, kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri
sebagai makhluk yang “belum selesai” dan harus berkembang sehingga
kebudayaan terkait pula dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia
yang asasi, Kedua, kebudayaan dapat dipahami juga sebagai suatu strategi
manusia alam menghadapi lingkungannya. Ketiga, kebudayaan merupakan
suatu sistem sosial yang tidak mandiri atau terlepas dan sistem sosial
ekonomis.Pada satu sisi kebudayaan itu mengondisikan sistem sosial
dalam arti ikut membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan
oleh sistem sosial ekonomi dalam arti dipengaruhi olehnya. Keempat,
kebudayaan merupakan satu sistem makna sehingga pendekatannya pun
harus menggunakan metode interpretasi ( Moh. Mahfud MD, 2013:207).

B. Tradisi Sebagai Bentuk Nilai Dasar Dalam Konstitusi

Bila kemudian dikatakan bahwa konstitusi yang berlaku hanya


memberikan pandangan sebagai nilai dan ide dasar sebuah Negara dalam
menjamin ketertiban hukum, maka hal ini memungkinkan dan disebabkan
kita melihatnya berdasarkan beberapa sudut pandang saja. Dalam paham
konstitusi bahkan dapat dirasakan nilai yang sekedar tertulis acapkali
menyandera kebebasan aspek keberlakuan hukum melalui jaminan
keadilan dan kemanfaatan dan kepastian untuk berkembang dinamis.

Disinilah kemudian menjadi respon secara umum jika tradisi


menjadi bagian dari bentuk nilai dasar yang ada pada sebagian konstitusi.
tradisi konstitusi yang dimaksudkan dalam hal ini dengan sebuatan
konvensi (kebiasaan ketatanegaraan).

118
Lebih lanjut K. C. Wheare menyatakan bahwa konvensi terbentuk
dengan dua cara. Pertama, praktik tertentu berjalan dengan cara yang
cukup lama. Awal mula bersifat persuasive kemudian diterima sebagai
suatu hal yang wajib (kewajiban); kedua, konvensi terjadi melalui
kesepakatan (agreement) di kalangan rakyat sendiri. mereka sepakat
melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu dan sekaligus menetapkan
ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaanya. Contoh Kebiasaan dalam
ketatanegaraan Indonesia adalah pada setiap tanggal 16 Agustus, Presiden
mengucapkan pidato kenegaraan didalam sidang Dewan Perwakilan
Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut merupakan suatu laporan tahunan yang
bersifat informatoris dan presiden karena dalam laporan itu juga dimuat
rencana kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh pada tahun yang akan
datang(Sirajuddin dan Winardi, 2015:19).

Tradisi dalam wujud konvensi sebagai nilai bentuk dasar konstitusi


setidaknya konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri sebagai
berikut; Konvensi ketatanegaraan itu berkenaan dengan hal-hal dalam
bidang ketatanegaraan; Kemudian konvensi ketatanegaraan tumbuh,
berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan negara; serta
Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaraan
terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan(Weldy Agiwinata,
Yuridika, Volume 29 No 2:153).

Berangkat dari sinilah dapat diartikan konvensi sebagai bagian dari


ciri paham konstitusionalisme menjadi instrument pendukung sinyalement
yang dikeluarkan oleh Satjipto Rahardjo yang pernah mengatakan bahwa
perkembangan baru dalam studi hukum di abad ke-20 memberi isyarat
bahwa ada yang kurang benar dalam cara-cara orang mempelajari hukum
selama ini, yaitu dengan membatasi diri dalam ranah hukum perundang-
undangan. Perkembangan dalam studi hukum akan berlanjut terus dan
tidak hanya berhenti sampai “sociological movement in law”. Studi

119
sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical positivism
hanya eksemplar saja atau hanya merupakan symbol saja dan dorongan
untuk melakukan “studi terhadap hukum secara benar”. Di belakang studi
sosiologis terhadap hukum masih berderet yang lain seperti antropologi,
psikologi dan ekonomi(Suteki, 2013:29).

Namun tentunya paham konstitusionalisme tidak hanya bergerak


pada ruang tradisi. Akan tetapi nilai yang dikedepankan selain tradisi juga
termasuk kolaborasi terhadap paham modernisasi yang penting untuk
menjadi instrument pertimbangan. Pada sisi lain konsep adopsi nilai
dengan modernisasi penting mengingat hal tersebut akan memungkinkan
ide dasar dari peran konstitusi sebagai penjamin kebahagiaan akan terua
didapatkan.

Rusia merupakan salah satu Negara yang menjalankan ide yang


demikian. Kecenderungan terakhir, sejak runtuhnya Uni Soviet, bangsa
Rusia memperlihatkan upaya mendekatkan diri dengan ide-ide demokrasi
dan pasar bebas. Hal ini semata-mata bisa dipahami sebagai bentuk
jawaban dari berbagai perubahan global yang menurut pengadopsian
anasir-anasir nilai-nilai demokrasi, untuk diabdikan pada ideologi “abadi”
bangsa ini. Dengan kata lain, bahwa demokrasi bukan sesuatu yang final
apalagi diterima mentah-mentah sebagaimana nilai-nilai itu dipahami
Barat. Proses Rusifikasi nilai-nilai universal demokrasi dengan elemen-
elemen tradisional Rusia merupakan jawaban terhadap permasalahan
jaman ini(Fahrurodji, 2005:7).

Pandangan atas perubahan yang mendasar tersebut dapat


dicontohkan dari perubahan nilai-nilai dasar yang dicanangkan dalam
konstitusi kita yaitu Undang-Undang dasar diantaranya pada kekuasaan
kehakiman. perubahan tersebut dapat dilihat berdasarkan table sebagai
berikut :

120
Table 1.6
Perubahan Kekuasaan Kehakiman Dengan Mengelaborasikan
Dengan Arus Modernisasi
No Sebelum amandement Setelah amandement
1 Perubahan III 19 November Pasal 24
2001, sebelumnya berbunyi : * (1) Kekuasaan kehakiman merupakan
(1) Kekuasaan kehakiman kekuasaan yang merdeka untuk
dilakukan oleh sebuah menyelenggarakan peradilan guna
Mahkamah Agung dan lain-lain menegakkan hukum dan keadilan.
badan kehakiman menurut * (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
Undang-undang. oleh sebuah Mahkamah Agung dan
(2) Susunan dan kekuasaan badan peradilan yang berada di
Badan-badan Kehakiman itu bawahnya dalam lingkungan peradilan
diatur dengan Undang-undang umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
* (3) Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.
2 Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, meguji
peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim Agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan
dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung
serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang.

121
3 Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undangundang
4 Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai
sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

122
konstitusi.
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian
hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang
Dapat disimpulkan bahwa latar belakang amandemen atas UUD
1945 yang terkait dengan kekuasaan kehakiman jelas menunjukkan bahwa
Komisi Yudisial diletakkan sebagai lembaga negara yang sangat vital
untuk menjaga martabat hakim dan mengawasinya agar ia tidak dikotori
oleh praktik mafia peradilan atau judicial corruption yang selama ini tak
dapat secara efektif disentuh oleh pengawasan. Terjadinya resistensi di
tubuh MA adalah akibat selama puluhan tahun lembaga yudikatif ini telah
menderita penyakit korup yang sangat sulit disembuhkan. Konflik antara
MA dan KY mungkin juga lebih disebabkan oleh gaya kerja dan
kepemimpinan yang kurang sinkron, misalnya, penilaian bahwa KY terlalu
over acting.( Moh. Mahfud MD, 2013:32)

Salah satu faktornya adalah kekuasaan kehakiman masih diwarnai


gaya kapitalisme sebagaimana masa orde baru. Kapitalisme merekayasa
sebuah sistem negara dengan membuat lembaga-lembaga negara yang
hanya bisa dimasuki oleh kaum-kaum pemodal, legislatif, yudikatif
maupun eksekutif merupakan lembaga-lembaga negara yang hanya bisa
dimasuki oleh kaum pemodal.Tidak perlu ragu lagi untuk menyebut sistem
pemilu dan pileg untuk memilih eksekutif dan legislatif adalah cara-cara
kaum pemodal untuk menancapkan kuku tajamnya itu. Orang yang
mengikuti pemilu maupun pileg membutuhkan biaya banyak dan disinilah
menjadi pintu masuk kaum pemodal, walaupun mereka tidak andil secara
langsung tetapi mereka menguraikan kekuatan modalnya untuk
berpartisipasi dengan cara menyumbangkan sebagian uangrlya untuk

123
kegiatan pemilu/pileg. Hal itu juga berlaku dalam ranah judikatif maupun
aparat penegak hukum. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi ketika ada
perekutan aparat bisa dipastikan akan ada sistem jual beli yang
mengalirkan uang kekantong-kantong oknum yang bersangkutan.
Sehingga tidak heran lagi ketika para pejabat banyak yang tersandung
kasus korupsi, mereka korupsi karena ingin mengembalikan modal yang
dikeluarkannya itu.Sudut pandang mereka bukan lagi kearah pengabdian
masyarakat melainkan sudah menyeleweng untuk keuntungan individu
masing-masing, dan inilah ciri kapitalisme. Maka jangan ragu pula untuk
menyebut sistem Indonesia saat mi adalah sistem kapitalis dan man kita
ben label Indonesia adalah negara kapitalis(Muhtar Said, 2013:149).

Adopsi system kekuasaan kehakiman yang mandiri dan modern


menjadi salah satu unsur yang strategis untuk diberlakukan dalam sebuah
Negara hukum. Hal ini tentunya sedikit banyak mengeliminir tradisi
Negara yang banyak ditentunya oleh pimpinan kekuasaan yang diserahkan
pada seorang raja yang tentunya dianggap sebagai tradisi akan tetapi sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan konstitusi modern.

Berkaitan dengan tradisi seringkali diartikan sebagai wujud


budaya. Untuk memahami maksud budaya hukum terlebih dulu perlu
digambarkan secara umum tentang pengertian kebudayaan. Sebab budaya
hukum merupakan bagian dan kebudayaan pada umumnya.Kebudayaan
telah refinisikan dengan berbagai pendekatan oleh berbagai pakar. Di
dalam buku Communicating Between Cultures disebutkan bahwa Taylor,
pada tahun 1871, mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan
kompleks yang memuat pengetahuan kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat kebiasaan, dan segala kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Sementara itu, Clyde Kluckhohn
mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hidup suatu masyarakat
sebagai warisan sosial yang diperoleh para individu dan kelompoknya.

124
Dalam pengertian yang lebih fungsional, kebudayaan merupakan desain
untuk hidup dalam arti suatu perencanaan dan, sesuai dengan perencanaan
itu, masyarakat kemudian mengadaptasikan dirinya pada Iingkungan fisik,
sosial, dan ide. Dan banyak pengertian itu, dapat dikemukakan beberapa
dimensi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan terkait dengan ciri
manusia sendiri sebagai makhluk yang “belum selesai” dan harus
berkembang sehingga kebudayaan terkait pula dengan usaha pemenuhan
kebutuhan manusia yang asasi, Kedua, kebudayaan dapat dipahami juga
sebagai suatu strategi manusia alam menghadapi lingkungannya. Ketiga,
kebudayaan merupakan suatu sistem sosial yang tidak mandiri atau
terlepas dan sistem sosial ekonomis.Pada satu sisi kebudayaan itu
mengondisikan sistem sosial dalam arti ikut membentuk atau
mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial ekonomi dalam
arti dipengaruhi olehnya.Keempat, kebudayaan merupakan satu sistem
makna sehingga pendekatannya pun harus menggunakan metode
interpretasi(Moh. Mahfud MD, 2013:207).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya hukum adalah


sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum seperti kepercayaan,
nilai, ide, dan harapan-harapan, Ia juga sering diartikan sebagai situasi
pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
itu dituruti, dilanggar, dan disimpangi. Dan pengertian ini menjadi jelas
bahwa tanpa budaya hukum suatu sistem hukum, tidak akan berdaya.
Dapat juga dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dan
sistem hukum yang juga memiliki dua bagian lain, yakni struktur hukum
dan substansi hukum. Struktur, substansi, dan budaya hukum merupakan
subsistem dan sistem hukum yang saling berkaitan sehingga jika budaya
hukum tidak ada maka sistem hukum itu menjadi lumpuh. Ketiga
subsistem itu dapat digambarkan dalam hubungan antara mesin, cara
menggerakkan mesin, dan penggerak mesin. Struktur hukum dapat
diumpamakan sebagai mesin, substansi hukum adalah bagaimana mesin

125
itu bergerak, dan budaya hukum adalah apa dan siapa saja yang
memutuskan untuk menjalankan mesin dan siapa yang menghidupkan atau
mematikan serta menentukan bagaimana mesin itu akan digunakan(Moh.
Mahfud MD, 2013:208-209).

Dimensi yang ada kemudian adalah bangungan tradisi dibangun


melalui proses budaya bangsa dalam memahami konstitusi tidak lain
adalah mengintegrasikan antara norma-norma dengan jalan
menegaskannya sebagai kaidah yang bersifat nyata dan kongkrit.
Konsekwensinya masyaakat terikat oleh semua pemanhtapan tersebut
secara terus menerus sehingga keyakinan tersebut mengikat menjadi
sebuah jalinan norma yang membangun nilai-nilai keadilan, kemanfatan
dan kepastian dalam masyarakat.

126
BAB VII
PERUBAHAN KONSTITUSI

Tujuan Instruksional
1. Melalui pemahaman perubahan konstitusi dapat mengetahui metode
perubahan konstitusi
2. Dapat memahami model-model perubahan konstitusi yang diterapkan
disetiap Negara
3. Dapat memberikan pemahaman atas konsep-konsep perubahan konstitusi
yang ideal diterapkan

A. Pengertian Perubahan Konstitusi

Salah satu alasan terpenting kenapa konstitusi berubah adalah


adanya kondisi manusia yang sejatinya juga sama terus berubah.
Pemikiran terhadap perubahan konstitusi diantaranya disampaikan oleh
Roscoe Pound yang secara garis besar mendoktrinasi adanya model
perubahan konstitusi sebagai salah satu cirri dari keinginan masyarakat
yang terus mengalami perubahan.

Pemikiran Roscoe Pound sesungguhnya dilatar belakangi oleh


pemikiran filosof Perancis Montesquieu dalam bukunya lesprit des Lois
yang dipandang oleh Roscoe Pound sebagai yang pertama kali
menerapkan prinsip-prinsjp fundamentalsociological jurist. Di dalam buku
tersebut Montesquieu mengemukakan bahwa: “system of law is a living
growth and development interralated with the physical and societal
movement”. Dengan demikian, menurut Montesquieu, sistem hukum hidup
dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan sosial. Dan latar
belakang pemikiran Montesquieu inilah, maka kita bisa memahami
pandangan Roscoe Pound bahwa tugas hukum adalah sebagai alat
untuk melakukan rekayasa sosial demi kepentingan kesejahteraan
bersama. Pemikiran yang mendorong perhatian terhadap keterkaitan
hukum dengan perubahan sosial (yang juga memengaruhi pemikiran
Roscoe Pound) adalah pemikiran Rudolf von Jhering (1818-1892). Jhering

127
menolak keyakinan yang dibangun mazhab sejarah sebagaimana dibangun
Von Savigny (1779-1861). Pada tahun 1852, Jhering menolak pendapat
Von Savigny tentang hukum Romawi. Menu rut Von Savigny, seluruh
hukum Romawi merupakan refleksi jiwa bangsa Romawi, dan karena
itulah maka hukum Romawi merupakan hukum nasional(Fx Adji Samekto,
2013:71).

Hal ini tidak jauh beda dengan Indonesia dimana sampai sekarang
sudah dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 sampai
empat tahap, namun Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya
mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut
diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sejak thun
1999 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 berpedoman pada lima
kesepakatan dasar yang salah satu di antaranya adalah “tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945” yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Keputusan
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan
keputusan yang tepat, baik secara filosofis maupun secara politis, dalam
hidup bernegara bagi bangsa Indonesia(Moh. Mahfud MD, 2013:3).

Berbasis ajaran Montesquieu yang diperkuat oleh Rudolf von


Jhering itulah, maka bisa dipahami pendapat Roscoe Pound bahwa, tugas
hukum adalah mengharmonisasikan antara kepentingan individual dengan
kepentingan masyarakat dengan mengacu pada keadilan yang memang
dikehendaki bersama(Fx Adji Samekto, 2013:72). Maka melalui
perubahan orisinalitas konstitusi sebagai groundnorm tetap terjamin
dengan baik.

Namun tentunya model perubahan tidak boleh tanpa alur yang baik
dan jelas. Sebagaimana perubahan bentuk secara umum, perubahan UUD
juga tidak boleh dilakukan sekehendak hati melainkan harus memenuhi
kriteria tertentu. Mengenai pendapat ini patut diperhatikan pendapat

128
Mochtar Kusumaatmadja mengenai ukuran pengembangan bidang hukum
berikut.

1) Ukuran Keperluan yang mendesak (urgent need), kadang-kadang tak


dapat dikatakan kita dihadapkan pada pilihan karena sering kita
terdesak untuk segera melakukannya tanpa kesempatan memilih dalam
arti yang sebenarnya; contohnya adalah penanaman modal asing dan
perundangan yang bertalian dengan itu.
2) Feasibility: bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan
ditangguhkan dan dipilih bidang-bidang yang tak ada komplikasi-
komplikasi kulturil, keagamaan, dan sosiologis. Apabila
dikombinasikan dengan kriterium (a) diatas maka dapat kiranya pilihan
yang lebih seimbang;
3) Perubahan yang pokok (fundamental Change): di sini perubahan
(melalui perundang-undangan)di perlukan karena pertimbangan-
pertimbangan politis, ekonomis, dan/atau sosial. Perobahan hukum
demikian sering diadakan oleh negara-negara bekas jajahan dengan
pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Bidang
hukum yang biasanya dipilih adalah: hukum agraria, hukum
perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan dan industri. Di
mana ada keinginan untuk menarik penanam modal asing, maka akan
ada tarikan antara keinginan demikian dengan keinginan untuk
mengadakan perubahan dasar (fundamental change) dalam perundang-
undangan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial yang
menempatkan pemerintah ybs., dalam kedudukan yang tidak
mudah(Sri Soemantri Martosoewignjo, 2005: 46-47).
Adanya uraian yang disampaikan oleh muchtar Kusumaatmadja
merupakan wujud lain dari standarisasi nilai perubahan konstitusi agar
terjamin nilai keadilan, kepastian dan kemenfaatan. Hal inilah yang
menjadi cirri khas dari paham konstitusionalisme yang berkembang di era
modern.

129
Namun berkaitan dengan pembukaan tidak diberlakukan adanya
perubahan. Sampai sekarang sudah dilakukan perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945 sampai empat tahap, namun Pembukaan UUD 1945
yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara tidak ikut diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang sejak thun 1999 melakukan perubahan terhadap UUD 1945
berpedoman padalima kesepakatan dasar yang salah satu di antaranya
adalah “tidak mengubah Pembukaan UUD 1945” yang telah ditetapkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus
1945. Keputusan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 tersebut
merupakan keputusan yang tepat, baik secara filosofis maupun secara
politis, dalam hidup bernegara bagi bangsa Indonesia ( Moh. Mahfud MD,
2013:3).
Pembukaan beda dengan teks yang lain dalam undang-undang
dasar. Di amenjadi sebuah wujud dari kedaulatan rakyat dalam sebuah
Negara. Kedaulatan penting mengingat apabila negara tidak mempunyai
kedaulatan yang absolut maka negeri tersebut bukanlah suatu negeri yang
independen, ia merupakan negeri boneka yang hanya bisa‟pasrah ketika
dibuat mainan oleh negara lain atau kekuatan yang menguasai negera
tersebut, ketika hidup masyarakat tergantung pada negara yang menguasi
wilayahnya mi menyebabkan bisa masyarakat tidak tentram karena mereka
bekerja bukan untuk memberikan sumbangan energi kepada tanah
kelahirannya namun kerja mereka temyata untuk memperkaya negara lain.
mi jelas menjadi tekanan psikologis terhadap masyarakat yang dalam
kehidupan sehari-harinya selalu dibayangi dengan tekanant ekanan yang
selalu menghantui disetiap helai nafas hidupnya. Apabila ada wilayah yang
dimana wilayah tersebut belum mendapatkan gelar kedaulatan yang
artinya bisa mengurus rumah tangganya sendiri maka wilayah tersebut
belum bisa disebut sebagai negara, karena tidak bisa memberikan rasa
aman dan nyaman terhadap warganya(Muhtar Said, 2013:103-104).

130
Kedaulatan juga merupakan simbol kehormatan negara, jika ada
negara yang kedaulatannya terciderai oleh negara lain maka bisa saja akan
menimbulkan peperangan yang berpotensi banyaknya nyawa yang hilang.
Pentingnya kedaulatan bagi negara maka banyak negara yang rela
mengalokasikan kas negara untuk membeli atau memproduksi peralatan
tempumya serta memperbanyak anggota militer. Cara seperti itu ditempuh
sebagai langkah persiapan jika suatu saat akan ada negara yang menjajah.
Memprbanyak kekuatan persenjataan dan anggota militer merupakan
langkah strategi guna mempertahankan kedaulatan suatau Negara, langkah
ini banyak ditiru oleh Negara-negara yang mnegaku saying terhadap
rakyatnya seperti amerika dan Negara kekuasaan seperti korea
utara(Muhtar Said, 2013:112-113).
Pembukaan Undang_undang Dasar merupakan wujud kongkrit
kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya sehingga tidak bisa dirubah jika
kita masih menginginkan Negara utuh. Isi pembukaan dalam Undang-
Undng dasar Negara Republik Indonesia sebagai berikut :
Table 1.7
Pendahuluan Undang-Undang Dasar NRI
No Paragraph isi
Alenia pertama Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
1
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan.
Alenia kedua Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
2
Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alenia ketiga Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
3
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.

131
Alenia keempat Kemudian dari pada itu untuk membentuk
4
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Wujud dasar tersebut menjadi indikasi bahwa hukum dengan tegas


mengatur segala tingkah laku lahirlah dan ingin menciptakan
keseimbangan diantara kepentingan warga masyarakat yang berbeda satu
dengan yang lain. Di setiap Negara, pasti memiliki ciri-ciri hukumnya
sendiri-sendiri. Seperti contohnya di Indonesia. Negara Hukum Indonesia
memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai
dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat
pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam
negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of
religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara
Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat
bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi Indonesia(Muhammad
Tahir Azhary, 2003:93).

132
B. Tujuan Perubahan Konstitusi

Konsep Negara hukum menjadi salah satu topik utama dalam


paham konstitusi. Konsep rechtstaat bersumber dan rasio manusia,
liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, pemisahan
negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-
unsur utama menurut F. J. Stahl terdapat 4 (empat) unsur dan negara
hukum, yakni: (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (2) adanya
pembagian kekuasaan; (3) pemerintah harusah berdasarkan peraturan-
peraturan hukum; dan (4) adanya peradilan administrasi. Sementara
menurut Scheltema unsur-unsurnya terdiri dan: (1) Kepastian Hukum; (2)
Persamaan; (3) demokrasi dan; (4) pemerintahan yang melayani
kepentingan umum(Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).

Hal yang paling mendasar seperti yang di sampaikan oleh F. J.


Stahl adalah paham negar berdasarkan pada subtansi proses hukum yang
dijalankan oleh kekuasaan yang terus berkembang melalui perkembangan
masyarakat dengan ditandai pada sisi-sisi jaminan perkembangan hak asasi
manusia, perkembangan pembagian kekuasaan da lain sebagainya. Oleh
karena itu unsure konstitusi harus dinamis dan tidak hanya menempatkan
konstitusi sebagai sumber hukum tertulis saja mengakibatkan proses dan
paham konstitusi terus berkembang melalui peradaban manusia.

Padanan yang harus dikembangkan dalam Negara hukum haruslah


mengkonsepsikan perkembangan manusia. Jimly Asshiddiqie
menyebutkan bahwa paling tidak ada 11 prinsip pokok yang terkandung
dalam negara hukum yang demokratis, yakni: (i) adanya jaminan
persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (ii) pengakuan dan
penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas; (iii) adanya aturan yang
mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; (iv) adanya mekanisme
penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditatati
bersama itu; (v) pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; (vi)

133
pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal; (vii) adanya
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan
kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (viii)
dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin kedailan
bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintahan (pejabat administrasi negara);(ix) adanya mekanisme
„judiciel review‟ oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan
legislatif baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif;
dan (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau „due process of law‟ dalam
keseluruhan sistem penyelengaraan negara(Sirajuddin dan Winardi,
2015:282-283).

Sebelas pokok objek tersebut menjadikan latar belakang konstitusi


harus berubah seiring dengan perubahan masyarakat. Salah satu alasan
yang menjadi unsure perkembangan manusia seperti halnya yang
disampaikan oleh Emile Durkheim. Emile Durkheim menilai sebuah
kekuatan yang ada dalam masyarakat merupakan bentuk kekuatan yang
memilki pola yang tidak statis akan tetapi dinamis yang selalu megikut
sertakan perkembangan dalam memnuhi unsure kebutuhannya.

Menurut Emile Durkheim, masyarakat itu mengikat oleh karena


adanya solidaritas di antara anggota-anggotanya. Untuk menjelaskan
mengenai perkembangan masyarakat yang berbeda beda, Durkheim
menunjukkan adanya masyarakat dengan solidaritas mekanis dan
masyarakat dengan solidaritas organis. Solidaritas mekanis mendasarkan
terwujudnya masyarakat pada rasa keterikatan dan rasa persatuan di antara
anggota-anggotanya. Perbedaan pendapat dan penyimpangan-
penyimpangan tingkah laku merupakan hal yang bertentangan dengan
solidaritas. Di lain pihak, pada masyarakat yang didasarkan pada

134
solidaritas organis, terwujudnya masyarakat didasarkan pada kebebasan
para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk
berhubungan satu dengan yang lain, karena sifat sosial manusia maka
kebebasan demikian ini tidak menyebabkan musnahnya masyarakat
(Suteki, 2013:5).

Unsure yang lain yang mengakibatkan hukum harus berubah


adalah unsure budaya manusia itu sendiri. Manusia dalam menjalankan
prinsip-prinsip kemajuannya selallu menjadikan budaya sebagai
instrument baku dalam karakteristiknya. Oleha karena itu konstitusi dalam
bentuknya harus mengikut sertakan perubahan dalam bentuknya.

Seperti halnya Hans Kelsen, sebenarnya Gustav Radbruch


mengembangkan pemikirannya dengan berpijak pada pandangan
Immanuel Kant. Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa dalam
pandangan Kant, ada dua bidang dalam kehidupan, yaitu bidang fakta dan
bidang seharusnya. Gustav Radbruch menghubungkan antara bidang fakta
dengan bidang seharusnya tersebut. Penggabungan keduanya dilandasi
pada pemikirannya bahwa sesungguhnya di dalam kehidupan terdapat
bidang yang mengandung unsur fakta (das sein) dan unsur seharusnya (das
sollen). Jadi, keduanya sebenarnya bisa dihubungkan. Bidang yang mampu
menghubungkan, menurut Gustav Radbruch adalah budaya (culture).
Budaya, menurut Gustav Radbruch, merupakan perwujudan nilai-nilai
(yang memuat bidang seharusnya) di dalam alam fakta, yang tercermin
dalam tingkah laku manusia maupun peraturan. Hukum, dengan demikian
menurut Gustav Radbruch, merefleksikan budaya yang merupakan
jembatan antara nilai dan kenyataan. Oleh karena itulah, menurut
Radbruch kehendak manusia tidak akan sebebas-bebasnya, karena ia
terikat pada nilai-nilai. Dengan demikian dalam pandangan Gustav
Radbruch, aturan hukum merupakan paduan antara nilai-nilai yang harus
diwujudkan dan kenyataan yang tidak boleh melanggar nilai-nilai itu.

135
Nilai yang terkandung dalam hokum itu, menurut Gustav Radbruch adalah
keadilan. Oleh karena itu dalam pandangannya, pengupayaan keadilan
harus diwujudkan dalam peraturan yang nyata(Fx Adji Samekto, 2013:48-
49).

Berangkat berdasarkan uraian di atas, tidak ada alasan yang baku


bahwa konstitusi tidak boleh berubah. Bentuk konstitusi yang tertulis
maupun yang tidak tertulis sudah seharusnya memliki kebutuhan yang
jamak untuk terus berubah sehingga tujuan dari konstitusi yang secara
umum mewujudkan prinsip Negara kesejahteraan harus direalisaikan
secara dinamis sesuaia dengan subjek dalam konstitusi itu sendiri yaitu
manusia.

Paling tidak terdapat beberapa hal pokok yang dapat menjadi


rekomendasi diantaranya dengan adanya perubahan konstitusi. Pada waktu
era orde baru Undang-Undang Dasar 1945 “disakralkan”. Salah satu
“berkah reformasi” adalah dilakukan perubahan Undang-undang Dasar
1945. Adapun alasan-alasan diadakan perubahan Undang-undang Dasar
1945 yaitu:

1) Pertama; Secara Filosofis. Yaitu: 1). Undang-undang Dasar 1945


moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang
demikian pada saat dirumuskan Undang-undang Dasar 1945. Setelah
lebih dari 50 tahun tentu terdapat perubahan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Hal ini belum tercantum di dalam Undang-
Undang Dasar 1945. 2). Undang-undang Dasar 1945 disusun oleh
manusia yang tidak sampai kepada kesempurnaan.

2) Kedua; Secara Historis. Dari semula penyusun Undang-undang Dasar


1945 bersifat sementara. Hal ini dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua
PPKI) dalam rapat pertama tanggal 18 Agustus 1945: Undang-undang
Dasar yang kita buat adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau
kita telah bernegara dalam suasana lebih tentram kita tentu akan

136
mengumpulkan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI yang dapat
membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih
sempurna.

3) Ketiga; Secara Yuridis. Para perumus Undang-undang Dasar 1945


telah
menunjukan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika Undang-
undang Dasar 1945 disusun akan berbeda kondisinya dengan masa
yang akan datang dan suatu saat akan mengalami perubahan.

4) Keempat; Secara Substantif. Undang-undang Dasar 1945 banyak sekali


mengandung kelemahan antara lain: 1). Kekuasaan eksekutif terlalu
besar tanpa disertai checks and balances. 2). Rumusan Undang-undang
Dasar 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum atau tidak
jelas sehingga menimbulkan multi tafsir. 3). Unsur-unsur
konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam
Undangundang Dasar 1945. 4). Terlalu menekankan pada semangat
penyelenggara negara. 5). Undang-undang Dasar 1945 memberikan
atribusi kewenangan terlalu besar kepada presiden untuk mengatur
berbagai hal penting kepada undang-undang. 6). Banyak materi muatan
yang penting justru diatur di dalam penjelasan Undang-undang Dasar
1945 dan tidak tercantum di dalam Pasal Undang-undang Dasar 1945.
7). Status materi penjelasan Undang-undang Dasar 1945 terpisah atau
menyatu dengan pasal Undang-undang Dasar 1945.

5) Kelima; Secara Politik. Salah satu kesepakatan MPR RI adalah untuk


pembenahan sistem dan struktur ketatanegaraan. Alasan perubahan
Undang-undang Dasar 1945 menurut Maria Farida Indrati Soeprapto:

a) Tuntutan reformasi. Pada tahun 1998 di Negara Republik Indonesia


terjadi demonstrasi dari berbagai kalangan masyarakat termasuk
mahasiswa untuk “menurunkan” Presiden RI yang telah berkuasa
selama sekitar 30 Tahun. Pada era Orde Baru dalam perubahan

137
Undang-Undang Dasar 1945 terhambat oleh ketentuan bahwa MPR
RI tidak akan mengubah Undang-undang Dasar 1945.

b) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang multi tafsir. Dengan


adanya pasal-pasal Undang-undang 1945 yang multi tafsir, dalam
praktik ketetanegaraan RI menimbulkan ketidakpastian. Penafsiran
pasal Undang-undang Dasar 1945 yang dianggap benar adalah
tafsir Pemerintah (Presiden RI). Salah satu contoh adalah ketentuan
Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945: Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali. Tafsir Pemerintah (Presiden RI) adalah: Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipilih lebih 2 kali periode asal masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden 5 Tahun dalam 1 periode dan dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan RI dengan suara terbanyak

c) Tidak ada checks and balances terhadap organ negara. Paradigma


sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945 adalah Majelis
Permusyawaratan RI sebagai pelaksana dan pemegang kedaulatan
rakyat, Lembaga tersebut sebagai lembaga tertinggi negara yang
membawahi lembaga tinggi negara yang diatur di dalam Undang-
undang Dasar 1945.

d) Tidak banyak memuat Hak Asasi Manusia. Ada 2 kelompok yang


berbeda pendapat di persidangan BPUPKI yaitu: Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dan Muhammad Hatta dan Muhammad
Yamin di pihak lain. Soekarno dan Soepomo berpendapat: Tidak
menyetujui pasal Hak Asasi Manusia dimasukkan di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasannya adalah Negara
Indonesia yang didirikan adalah negara gotong royong menolak
individualisme. Selanjutnya Muhammad Hatta dan Muhammad
Yamin berpendapat: Mengusulkan agar pasalpasal Hak Asasi
Manusia dimasukkan di dalam Undang-undang Dasar 1945 agar

138
Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang. Dengan adanya 2
kelompok yang berbeda pendapat, maka ditempuh jalan kompromi,
pengaturan Hak Asasi Manusia diatur di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 secara terbatas.

e) Tidak merupakan living constitution. Dalam kenyataannya selama


pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 tidak merupakan living
constitution atau merupakan konstitusi yang hidup(Abu thamrin,
Jurnal Cita Hukum:93-95).

Refleksi reformasi sebagai bentuk alasan perubahan konstitusi


karena dimungkinkan terjadi dengan alasan dalam rangka revitalisasi
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ada beberapa
sasaran refromasi yang perlu mendapat perhatian. Pertama; memulihkan,
agar setiap orang dapat menggunakan secara wajar hak-hak demokratis,
hak yang terkandung dalam prinsip negara konstitusional dan negara
berdasarkan atas hukum. Bentuk pertama reformasi ini tidak lain dan
pemberdayaan (empowering) masyarakat. Hanya masyarakat yang berdaya
dapat melaksanakan reformasi yang managable. Kedua reformasi diartikan
pada usaha pemberdayaan supra struktur dan infra struktur politik agar
benar- benar menjadi wahana perjuangan mewujudkan dan melaksanakan
tatanan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar
formalitas. Ketiga reformasi birokrasi atau administrasi negara
(administrative reform). Satu hal yang mendesak dilakukan ,yaitu
melepaskan birokrasi dan ikatan politik primordial dan kekuatan politik
tertentu yang menimbulkan berbagai kecemburuan politik. Sebagai
penyelenggara pelayanan negara terhadap masyarakat, birokrasi harus
dilepaskan dan keterkaitan suatu kekuatan politik. Keempat selain hal-hal
yang berkenaan dengan soal-soal politik dan pemerintahan reformasi harus
pula dijalankan di bidang ekonomi. Kelima reformasi di bidang sosial
budaya berkaitan dengan tingkah laku feodalisme yang makin marak.

139
Tidak hanya dilapangan sosial tetapi mempengaruhi pula tatanan politik
seperti nepotisme, ketertutupan, membangun suatu jarak dengan rakyat,
dan sebagainya. Watak dan sikap feodal harus dihapus dan diganti dengan
watak dan sikap demokratis, atau egaliter. Keenam reformasi hukum. Hal
ini didasarkan beberapa pertimbangan:

a. Pada dasamya semua unsur yang menjadi sasaran reformasi


dilaksanakan atas dasar berbagai aturan hukum tanpa reformasj aturan
hukum, tidak akan terjadi reformasi politik, ekonomi dan lain-lain;

b. Melalui hukum, reformasi dilaksanakan secara “rechtmatig”. Dengan


demikian, perubahan dapat terlaksana secara tertib dan damai.
Berbagai ketentuan seperti “paket Undang-undang di bidang politik”,
perlu dikaji untuk diperbaharui mengingat berbagai perkembangan
baru yang terjadi pada saat reformasi ketentuan Undang-undang mi
tidak selalu berarti mengahpus hal-hal yang baik seperti kesederhanaan
struktur politik. Yang harus diperbaharui adalah mekanisme
mewujudkan struktur politik yang sederhana, misalnya sistem
pemilihan umum, cara menentukan partisipasi partai pada badan
perwakilan dan lain sebagainya. Pembaharuan mencakup juga usaha
mewujudkan agar badan perwakilan sepenuhnya mencermjnkan
sebuah badan demokratjs baik cara pengisian, cara “penindakan”
(seperti recall), cara melaksanakan tugas dan lain sebagainya(Jazim
Hamidi dan Malik, 2009:80-81).

C. Model-Model Perubahan Konstitusi

Konstitusi yang sifatnya tertulis tentunya harus memerlukan


penyesuaian dengan kondisi yang ada dalam sebuah Negara yang tentunya
masyarakatnya juga berubah. Oleh karena itu perubahan konstitusi
menjadi sangat penting dalam menentukan kualitas suatu Negara melalui
upaya penegakan hukum.

140
Berdasarkan dasar berbagai teori konstitusi Soemantri (2001)
mengemukakan adanya empat aspek yang terkandung dalam perubahan
konstitusi, yaitu:

1. Prosedur perubahannya, dalam hal ini berkaitan dengan institusi yang


berwenang melakukan perubahan konstitusi, kuorum dan pengambilan
keputusannya. Kalau kita simak Pasal 37 UUD 1945 (ash) ternyata
memuat tiga kaidah hukum:

a. Yang berwenang merubah UUD adalah MPR

b. Untuk merubah UUD kuorum sidang MPR adalah 2/3 jumlah


anggota MPR

c. Sahnya perubahan UUD apabila disetujui oleh minimal 2/3 anggota


MPR yang hadir.

Kalau kita kaitkan dengan pandangan Wheare dan juga Bryce,


UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai rigid and supreme
constitution, sedangkan kalau kita kaitkan dengan pandangan Wolf &
Phillips termasuk „conditional and superior constitution, karena
prosedur perubahannya oleh institusi yang bukan pembuat undang-
undang biasa dan dengan syarat-syarat khusus.

2. Mekanisme perubahannya, apakah dalam menyiapkan perubahan


konstitusi dilakukan sendiri oleh institusi yang berwenang mengubah
ataukah dapat didelegasikan kepada institusi lain yang dibentuk oleh
institusi yang berwenang tersebut dan kemudian institusi yang
berwenang hanya menetapkan mengesahkan. UUD 1945 ternyata tidak
menentukan mekanisme tersebut. Dalam praktek sejak Perubahan
Pertama (1999) sampai rencana Perubahan Keempat (2002)
mekanismenya diserahkan sepenuhnya kepada MPR melalui tata tertib
persidangannya, dalam hal ini diserahkan kepada Badan Pekerja (BP)
MPR dan kemudian BP MPR menugaskan Panitia Ad Hoc I (PAH I)

141
untuk menyiapkan Rancangan Perubahan UUD di mana PAH I BP
MPR ini dapat mengangkat Tim Ahli para pakar dan melakukan
penyerapan aspirasi publik (baik dalam menjaring masukan untuk
naskah perubahan maupun uji sahih hasil rancangannya).

3. Sistem perubahan UUD, dalam hal ini menurut teori konstitusi dapat
dilakukan melalui (Asshiddiqie, 2001):

a. Pembaharuan naskah (perubahan dalam teks menyangkut hal-hal


tertentu);

b. Penggantian naskah (materi perubahan cukup mendasar dan


banyak);

c. Melalui naskah tambahan (annex atau adendum) menurut sistem


Ainendement Amerika Serikat(Abdul Mukthie Fadjar, 2006:17-18).

Mekanisme perubahan di atas tentunya akan menyesuaikan dengan


kebutuhanyang ada dalam sebuah Negara. Namun dalam hal ini berkaitan
dengan perubahan konstitusi pada setiap Negara, semakin baik orientasi
yang ada lam perubahan konstitusi yang terletak pada kompleksitas politik
hukum pemerintahan yang baik maka semakin baik pula outpun perubahan
konstitusi yang dilakukan dalam sebuah Negara.

Dalam proses perubahan konstitusi di sebagaimana terjadi di


Amerika Serikat dalam proses perubahan maka Konstitusi Amerika Serikat
menyebutkan bahwa amandemen dilakukan melalui kongres, sebagaimana
diatur dalam pasal. Menurut pasal ini, dua pertiga (2/3) anggota kongres
atau dua pertiga negara bagian boleh mengajukan inisiatif amendemen.
Perubahan baru dipandang sah apabila telah disetujui oleh tiga perempat
(3/4) anggota kongres dan oleh tiga perempat (3/4) dewan legislatif
negara-negara bagian. Sampai sekarang, cara ini terus dipakai. Dalam
sejarahnya, proses amandemen berjalan alot, banyak usulan yang gagal.
Hingga sekarang mi (2003), amandemen baru dilakukan 27 kali; 12 kali

142
pada tahun 1804, dan selebihnya 15 kali hingga sekarang(Taufiqurrahman
Syahuri, 2004:74-75).

Mekanisme perubahan konstitusi di Amerika Serikat tersebut


terjadi mengingat dalam konsep peerintahan amerika serikat perubahan
konstitusi dilakukan secara hati-hati mengingat konstitusi akan menjadi
dasar dari pembentukan dan penegakan hukum yang dijalankan dalam
sebuah Negara. Hal tersebut tentunya dianggap benar oleh amerika dan
mekanisme tersebut tentunya akan berbeda dengan Negara kita dan Negara
lain termasuk di Belanda.

Berbeda Di Belanda perubahan konstitusi diatur dalam bab XIII


pasal 137-142. Apabila konstitusi akan diubah, terlebih dahulu dibentuk
panitia negara yang diberi tugas khusus menangani perubahan konstitusi.
Cara perubahan konstitusi dilakukan melalui undang-undang. Undang-
undang untuk perubahn konstitusi Belanda itu diundangkan dalam
lembaran negara dan disebarluaskan setelah parlemen bubar, serta
diadakan pemilihan umum untuk memilih angota twede-kamer (majelis
rendah) dan eerste kamer (majelis tinggi). Kemudian, apabila staten
general (parlemen) yang baru terbentuk, maka ia bersama-sama dengan
pemerintah yang baru menyusun undang-undang tentang perubahan tadi.
Keputusan tentang perubahan konstitusi dilakukan oleh staten general dan
hams didukung oleh dua pertiga (2/ 3) suara dan yang hadir. Sedangkan
kuorum untuk itu sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
dan seluruh anggota staten general. Cara perubahan konstitusi melalui
lembaga khusus ini juga dilakukan di negara Republik Iran
(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:75).

Konsep peubahan konstitusi di Belanda demikian hampir dianut di


Indoensia saat ini dengan menyiapkan team yang melakukan pengkajian
konstitusi. Model yang ada di Belanda menjadi bagian dari prasyarat
kehati-hatian dalam proses perubahan konstitusi dalam sebuah Negara.

143
Di Negara Cina, Konstitusi Republik Rakyat Cina mengatur cara
perubahan konstitusi dalam pasal 64. Sesuai pasal 64 ayat (1), yang
berwenang mengubah konstitusi adalah kongres rakyat nasional sebagai
organ tertinggi dan kekuasaan negara dan satu-satunya yang melaksanakan
kekuasaan legislatif negara. Kongres Rakyat Nasional terdiri dan wakil-
wakil yang dipilih oleh provinsi-provinsi, daerah-daerah otonom, kota-
kota besar yang secara langsung di bawah kekuasaan pusat, angkatan
bersenjata, dan orang Cina yang berada di luar negeri. Perubahan terhadap
konstitusi memerlukan dua pertiga (2/3) suara mayoritas dan selunuh
wakil-wakil Kongres Rakyat Cina(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:76).

Perubahan yang ditentukan oleh kongkres mengingat Negara Cina


menganggap kongkres menjadi bagian terpenting dalam system Negara
yang memiliki keterwakilan rakyat yang sangat tinggi. Disini kemudian
dapat dikatakan sejauh mena kongres tidak dimasuki kepentingan politik
yang buruk maka semakin baik pula kualitas konstitusi yang dirubah
nantinya.

Jika kita bandingkan di Argentina perubahan konstitusi tidak dapat


berlaku kecuali melalui konvensi yang khusus diadakan untuk itu.
Konstitusi Argentina dapat diubah secara total atau sebagian. Perubahan
atau amandemen konstitusi tersebut harus diumumkan oleh kongres, yang
didukung oleh jumlah suara paling sedikit dua pertiga dan jumlah seluruh
anggota(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:77).

144
BAB VIII

PENEGAKAN KONSTITUSI

Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memahami materi penegakan konstitusi dapat
menjadi bahan rekomendasi konsep dasar dalam konsep penegakan
konstitusi secara tepat
2. Diharapkan dapat memhami konsep penegakan konstitusi yang
diterapkan diberbagai Negara
3. Memperkuat pemahamn terkait model penegakan konstitusi melalui
mekanisme pengujian Undang-undang yaitu Judisial Review

A. Makna dari Penegakan Konstituasi

Dalam pemahaman ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan


prinsip demokrasi (Demos Cratos atau Cratein) dalam perkembangan
sejarah pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan
dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi
(Nomos Cratos atau Cratein). Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu
sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the
rule of law dan prinsip Rechrsstaat (Negara Hukum). Perdebatan teoretis
dan fliosofis mengenai mana yang Iebih utama dan kedua prinsip ajaran
kedaulatan huk um dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus
berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern Sekarang ini,
orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi.
Misalnya, dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua
sisi dan mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara
hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas
hukum (Ni‟matul Huda, 2015:210-211).

Perlu diingat bahwa sesungguhnya tentang pengertian kedaulatan


itu dalam sejarah pemikiran tentang negara dan hukum belum pernah
mendapatkan kesatuan pendapat. Dalam arti bahwa masing-masing sarjana
memberikan perumusan pengertian kedaulatan menurut pendapatnya

145
sendiri-sendiri. Juga apakah pengertian kedaulatan itu sama dengan
pengert ian sovereigniteit. Kalau menurut Jean Bodin tadi kedaulatan itu
adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di dalam suatu negara,
yang sifatnya:

1. Tunggal. ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi


didalam negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak
menentukan atau membuat undang-undang, atau hukum.
2. Asli. ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dan kekuasaan lain.
Jadi tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya
propinsi atau kotapraja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuas
aan yang ada padanya itu tidak ash, sebab diperoleh dan pusat.
3. Abadi. mi berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan itu adalah negara, yang menurut pendapat Jean Bodin
negara itu adanya abadi
4. Tidak dapat dibagi-bagi. mi berartibahwa kedaulatan itu tidak dapat
diserahkan kepada orang atau badan lain, balk sebagian maupun
seluruhnya(Soehino, 1996:79).

Konsepsi Jean Bodin tentang pengertian kedaulatan tersebut diatas,


sebetulnya mempunyai suatu kelemahan, yang meskipun mi telah disadari
oleh Jean Bodin sendiri, ialah bahwa ia tidak memisahkan antara
pengertian negara dengan pemerintah. mi merupakan kelemahan dan
teorinya, sebab lalu berarti bahwa kedaulatan negara sama dengan
kedaulatan pemerint ahnya. Karena pemerintah itu tidak abadi, maka mi
berarti bertentangan dengan unsur abadi dan kedaulatan di dalam
teorinya(Soehino, 1996:79).

Perwujudan dari sebuah demokrasi itulah yang kemudian


melahirkan hak-hak dasar dalam masyarakat untuk terus terjaga melalui
sebuah instrument konstitusi.hal yang patut diperhitungkan adalah

146
bagaimana tegaknya konstitusi adalah bagaimanapual tegaknya hak-hak
gdasar masyarakat.

Fuller mengajukan satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada


suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum (Fuller,
1971:39-91). Ukuran tersebut diletakann ya pada delapan azas yang
dinamakannya principles of legality, yaitu:

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-pperaturan. Yang


dimaksud di sini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar
keputusan-keputusanyang bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila
yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai
untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara
berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan
untuk- berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa


dimengerti

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanp peraturan yang


bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi


apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah-rubah peraturan


sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan


pelaksanaannya sehari-hari (Sadjipto Rahardjo, 1982:92).

Berdasarkan apa yang disampaikan di atas, sangat tepat jika ciri


khas dan demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang

147
demokratis adalah pemerint ah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bentindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan
penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada
beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan
dalam satu tangan atau satu badan. Perumusan yuridis dan prinsip- prinsip
mi terkenal dengan Rechtsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law(
Ni‟matul Huda, 2015:265).

Ciri-ciri di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral


rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia yang bertumpu atas dasar prinsip kebebasan dan persamaan.
Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusion al
terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan
untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang
sangat cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan
terhadap kebebasan dan persamaan. Adanya kekuasaan pembuatan
undang-undang dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat
adalah atas kehendak rakyat; dengan demik ian hukum tersebut tidak akan
memperkosa hak-hak rakyat, tetapi dikaitkan dengan asas mayonitas
kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak golongan mayoritas(Ni‟matul
Huda, 2015:269).

Maka yang dapat disimpulkan bahwa jaminan hak konstitusional


melalui pemberian hak-hak dasar bagi masyarakat untuk tetap terjamin
hak-haknya melalui konstitusi yang diterapkan dalam norma positif yang
dijadikan acuan kemudian oleh para penguasa. Di Indonesia sendiri hal
tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang disebut oleh Mahkamah
Konstitusi.

Sebagai catatan menarik apa yang disampaikan oleh Scholten.


Scholten mengemukakan apa yang juga lazim dilakukan dalam usaha

148
untuk menentukan hukum yang konkret bagi sesuatu kasus hukum, seperti
dapat dijumpai pula pada tradisi Penatsiran di Inggens yang telah kita
bicarakan. Usaha-usaha tersebut juga dimulai dan pemahamàn dan sudut
tata bahasa. Dalam kata-kata Scholten sendiri, “Dengan demikian maka
yang kita lakukan terdiri dan segi bahasa, sejarah undang-undangnya,
sistem hukumnya dalam keseluruhan, tujuan sosial serta hasil dan
penerapan, perkembangan sejarahnya, semua itu adalah faktor-faktor yang
diperhitungkan untuk menentukan apa yang menurut suatu undang-undang
merupakan hukum pada suatu kasus tertentu”( Sadjipto Rahardjo,
1982:132).

Upaya yang ingin dilakukan oleh Scholten dengan penegakan


konstitusi tersebut adalah melalui perwujudan keadilan. Keadilan
merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya
diakui di semua tempat di dunia ini.Apabila keadilan itu kemudian
dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum, maka, seperti telah
diuraikan di muka, institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran
agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat.
Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan
masyarakat yang demikian itu adalah:

1. Stabilitas

2. Merupakan pemberian kerangka social terhadap kebutuhan-kebutuhan


dalam masyarakat

3. Sehubungan dengan institusi sebagai pengerangkaan secara social


terhadap kebutuhan mansuai itu maka institusi menampilkan wujudnya
dalam bentuk norma-norma

4. Jalinan antar institusi(Sadjipto Rahardjo, 1982:150-152)

Berdasarkan pada teori di atas, maka sebenarnya penegakan


konstitusi merupakan definisi lain dari penegakan hukum. Penegakan

149
hukum di anggap sebagai sebuah wujud penegakan konstitusi mengingat
aspek-aspek yang dijalankan dalam penegakan hukum adalah penegakan
konstitusi.

Di dalam penegakannya, hukum dituntut untuk memenuhi tiga


ranah keberlakuan yang oleh Gustav Radbruch disebut triadism yang
meliputi tiga keberlakuan hukum yaitu keberlakuan hukum secara
filosofis, dogmatis dan sosiologis.Tiap-tiap keberlakuan hukum tersebut
didasarkan pada tiga nilai dasar yang berbeda.Ketiga nilai dasar tersebut
adalah nilai keadilan (justice), nilai kepastian (certainty), dan nilai
kemanfaatan (utility).Inti dan filosofi hukum Radbruch terdiri dari
ajarannya tentang konsep hukum dan gagasan hukum. Radbruch
mengatakan bahwa “The idea of law is defined through a triad of justice,
utility and certainty.” Nilai utilitas atau kemanfaatan muncul dan analisis
tentang nilai keadilan(Suteki, 2013:191).

Keadilan merupakan faktor penting bagi alasan keberadaan


penegakan hukum.Filosof-filosof Yunani kuno seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles menyatakan, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan dan
untuk itu penegakan hukum diperlukan.Dalam hal ini, pemikiran-
pemikiran yang bersumber dan ajaran agama belum begitu kuat.Kuatnya
pengaruh agama, dalam pembentukan hukum di masa berikutnya, terjadi
karena Kristen dijadikan.sebagai agama bangsa Romawi, semasa
Imperium Romawi berkuasa atas sebagian besar daratan Eropa(Fx Adji
Samekto, 2013:2).

Nilai dasar yang disampikan gustav tersebut diatas sejatinya untuk


memberikan koridor kepastian dalam menjalankan penegakan hukum.
Walhasial hal ini tentunya dapat dijalankan meskipun terjadi multitafsir
namuan dengan batasan-batasan kepastian, kemanfaatan dan keadilan akan
memungkinkan hukum dapat dijalankan secara rasional dan proporsional.

150
Pada sisi lain, yang harus dipahami dalam penegakan hukum adalah
Legal pluralism merupakan strategi pendekatan baru yang harus dikuasai
oleh penegak hukum agar dapat melakukan terobosan hukum melalui the
non enforcement of law. Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak lagi
terpenjara oleh ketentuan legal formalism melainkan telah melompat ke
arah pertimbangan living law dan natural law.Cara berhukum di Indonesia
tidak tepat apabila digunakan pendekatan posivistik seperti negara asal
hukum Indonesia (khususnya Eropa) tanpa melihat aspek moral/religion
atau pun ethic serta pertimbangan aspek socio-legaln ya. Watak liberal
individualistik hukum modern di Indonesia mesti dibongkar untuk
disesuaikan dengan basis sosialnya, yakni masyarakat Indonesia dengan
karakter Oriental-nya. Watak liberal dan individualitas hukum modern
mesti diimbangi dengan watak arif bijaksana serta watak welas asth,
kesatuan dan rasa keadilan dalam masyarakat yang tercermin dalam the
living lawn ya sehingga hukum mampu menghadirkan keadilan paripurna
yang menjadi tujuan penegakan hukum progresif(Suteki, 2013:196-197).

Namun yang perlu dipahami dalam proses penegakan hukum yang


memang perlu di khawatirkan adalah posisi dari kekuasaan yang
menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, untuk masalah penyalahgunaan
kekuasaan, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dalam menegakkan
hukum ini keadaannya sudah sangat payah, bahkan sudah sampai pada
keadaan darurat. Karena itu, dibutuhkan hukum yang memiliki karakter
yang darurat pula; keadaan sudah luar biasa sehingga diperlukan
penegakan hukum yang luar biasa pula.Keadaan darurat dan luar biasa
tersebut bukan hanya sampai sebatas penegakan hukum observatif dan
normative saja, melainkan juga tembus sampai ke pembentukan teori
hukum yang sesuai untuk keadaan yang darurat tersebut. Masalahnya,
bagaimanakah teori hukum yang cocok untuk keadaan yang serba darurat
tersebut. Pastinya, teori hukum itu berbeda dengan teori hukum yang
berlaku dalam keadaan normal(Munir Fuady, 2010:184-186).

151
Penegakan yang disalahgunakan oleh kekuasaan inilah yang
kemudian perlu direspon melalui adanya pembatasan kekuasaan yang
diatur tegas dalam sebuah konstitusi setiap Negara. Selain itu konstitusi
dalam aspek penegakkanya juga mengatur adanya pemisahan kekuasaan
dalam konstitusinya secara tidak langsung.

Dalam wujud penegakan yang demikian konstitusi dianggap sebagai


sumber. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta juga memberikan
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sumber hukum ini.
Menurutnya, sumber hukum dipakai orang dalam 2 (dua) arti. Yang
pertama, untuk menjawab pertanyaan, “mengapa hukum itu mengikat?”
Pertanyaan ini bisa juga dirumuskan, “apa sumber (kekuatan) hukum
hingga mengikat atau dipatuhi manusia?” Pengertian sumber hukum dalam
arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti materiil(Sirajuddin dan
Winardi, 2015:11). Sedngakan sumber hukum dalam arti formil disebut
juga dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai instrumentnya.

Dalam hal penegakan konstitusi yang berkaitan dengan pemisahan


kekuasaan, prinsip pemisahan kekuasaan negara tidak bisa dilepaskan dan
pemikiran Montesqiue dalam bukunya L‟espirit des Lois (1748). Ajaran
Montesqiue (oleh Immanuel Kant ,dipopulerkan dengan sebutan Trias
Politica) menghendaki pemisahan kekuasan negara dalam tiga bidang
pokok, yang masing-masing berdiri sendiri, lepas dan kekuasaan lainnya.
Satu kekuasaan mempunyai satu fungsi saja, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif
yaitu cabang kekuasaan yang melaksanakan fungsi membentuk undang-
undang, b. Kekuasaan eksekutif, yaitu cabang kekuasaan yang memiliki
fungsi melaksanakan undang-undang/Pemerintahan, dan c. Kekuasaan
yudikatif, menjalankan fungsi peradilan. Gagasan Locke dan Montesquieu
mendapatkan ekspresi praktisnya dalam revolusi Amerika tahun
1780.kerangka pemerintahan yang dijabarkan Konstitusi Amerika 1787,

152
sejak awal memang mensyaratkan pemisahan kekuasaan. Perdebatan yang
berlangsung dalam penyusunan konstitusi Amerika bukan tentang apakah
konstitusi dalam hal tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan
apakah pemisahan itu sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi,
2015:36).

Masih dalam rangka yang sama, adalah Ismail Sunny yang


mengakui bahwa Indonesia ini system ketatanegaraan yang dipedomani
sebagaimana disebut dalam UUD 1945 menekankan kepada pembagian
bagian kekuasaan. Artinya tidak pada pemisahan kekuasaan sebagaimana
doktrin aslinya. Tanpa menyebutkannya sebagai penganut doktrin trias
politika dalam arti pembagian kekuasaan, Sunny meminjam istilah Ivor
Jennings, Guru besar Filsafat dan Ketatanegaraan lnggris tempat dimana
trias politika itu dilahirkan yang memisahkan kekuasaan dalam arti materil
dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.Dalam hal ini dimaksudkan
sebagai pemisahan kekuasaan secara materiil adalah merujuk pada
pemisahan substansi yang benar-benar terpisah secara prinsip.Sedangkan
pemisahan kekuasaan dalam arti formal tidak demikian mendasar.Sekadar
ada patokan bahwa kekuasaan itu dipisahkan tetapi kenyataannya terjadi
pula semacam perembesan kekuasaan antar lembaga.Ismail Sunny menilai
bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 (sebelum
diamandemen) dalam hal ini hanya mengenal pemisahan keluarga dalam
arti formal. Secara tegas, disimpulkan pula bahwa Indonesia memang tidak
mengenal sistem pemisahan kekuasaan, akan tetapi adalah sistem
pembagian kekuasaan. Hanya mengenai division of power, bukannya
separation of power(Sirajuddin dan Winardi, 2015:176-177)

Model pemisahan kekuasaan sangat membatasi kekuasaan yang ada


dalam Negara dalam menjalankan kekuasaan penagakan hukum
berdasarkan konstitusi agar tidak melampaui batas.Mekanisme yang
demikian berlaku pada setiap Negara yang dituangkan dalam konstitusi.

153
Disamping itu secara keseluruhan model, adanya pembatasan
kekuasaan dalam penegakan hukum dalam usahanya menjalankan
kekuasaan tidak absolute maka dilakukan usaha-usaha lain dalam usaha
pelemahan kekuasaan pada beberapa sisi.Secara umum dalam praktik
pelemahan kekuasaan maka di dalam usaha tersebut terdapat tiga macam
cara yang umum dipergunakan, yaitu :

a. Pemilihan para penguasa

Pada waktu kita mempelajari atau membicarakan sistem pemerintahan


demokrasi, kita telah mengetahui bahwa pemilihan para penguasa
oleh.rakyat yang akan diperintah, itu merupakan salah satu cara yang
paling mudah dan praktis untuk melaksanakan dan mencapai maksud
daripada prinsip pembatasan kekuasaan penguasa. Tetapi yang
demikian ini harus disertai syarat-syarat bahwa pemilihan itu harus
betul-betul bebas dan beres. Kalau memang betul-betul demikian
halnya mi akan memaksa para penguasa untuk memberikan
pertanggung-jawaban kepada rakyat. Dan pertanggungan-jawab itu
bukanlah sekedar pertanggungan-jawab yang tidak ada sanksinya apa-
apa, melainkan pengertian pertanggunganjawab di sini adalah
pertanggunganjawab politis, dengan sanksi yang bersifat politis juga,
dan sanksi ini yang paling berat ialah : apabila kebisanaan penguasa itu
tidak dapat diterima oleh rakyat, maka penguasa akan kehilangan
kekuasaannya, dan ini berarti jatuhnya kekuasaan mereka. Tetapi
apabila penguasa itu mulai menyadari bahwa kekuasaan mereka itu
sebenarnya mereka peroleh dan rakyat, dan mulai saat itu pula
menyegani rakyat, maka mi adalah merupakan titik pangkal daripada
kebijaksanaan penguasa.Meskipun pemilihan mi sebenarnya tidak
dapat terlepas dan kelemahank elemahan, ini tergantung daripada
sistem pemilihan dan sikap rakyat terhadap penguasa, namun

154
pemilihan tetap merupakan suatu cara yang paling tepat dan tegas
untuk membatasi kekuasaan penguasa.

b. Pembagian kekuasaan

Ini juga dikemukakan oleh Maurice Duverger sebagai salah satu cara
yang baik untuk membatasi atau melemahkan kekuasaan penguasa,
dengan maksud untuk mencegah agar para penguasa itu jangan sampai
menyalah gunakan kekuasaannya atau bertindak sewenang-wenang
dengan melebarkan cengkraman totaliternya atas rakyat. Dalam hal mi
Maurice Duverger telah memperingatkan pula akan ajaran
Montesquieu yang sangat termashyur, kemasyhurannya ini disebabkan
oleh karena ketegasan daripada ajaran tersebut, yaitu : kekuasaan
membatasi kekuas aan. Diperingatkan pula oleh beliau bahwa
pembagian kekuasaan, hend aknya dipahami dalam pengertiannya
yang luas, maksudnya tIdak saja dalam arti pemisahan kekuasaan
menurut tipe Trias politika klasik, yaitu bahwa kekuasaan negara itu
dibagi dalam atau menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif, yang meskipun sudah barangtentu pengertian yang terakhir
itu ada kebaikannya, yaitu, dan ini terutama, sifat kebebasan kekuasaan
pengadilan dalam hubungannya dengan kedua kekuasaan yang lain, ini
misalnya, dan terutama di negara-negara Anglosaxon, sehingga para
warga negara terjamin betul terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh penguasa.

c. Kontrol yuridiksional

Dengan ini dimaksudkan ialaha adanya peraturan-peraturan hukum


yang menentukan hak-hak atau kekuasaan-kekuasaan tersebut, dan
yang semuanya pelaksanaannya diawasi dan dilindungi oleh organ-
organ pengadilan dari lembaga-lembaga lainnya dengan tujuan
membatasi kekuasaan pengauasa, melainkan juga terjadi pemberian
kekuasaan kepada lembaga pengadilan untuk mengontrol, mengatur

155
serta mengendalikan lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga
administrasi(Soehino, 1996:267-269).

Pembatasan penegakan hukum melalui pembatasan kekuasaan,


pemilihan penguasan dan control yuridiksi.Bentuk yang demikian sangat
efektif membatasi kekuasaan dalam menjalankan hukum supaya sesuai
dengan prosedur.Di Indonesia juga mengatur demikian yang secara khusus
diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar yang merupakan sebagai
dari konstitusi.

Pengaturan pematasan kekuasaan dalam penegakan hukum tersebut


diantaranya dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara rEpublik
Indonesia tahun 1945 sebagai berikut :

Table 8.1
Model Pembatasan Kekuasaan Dalam Menegakkan Hukum
Pembatasan kekuasaan Pasal 5
(1)Presiden berhak mengajukan
rancangan Undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan
Undang-undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

156
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badanperadilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan melalui Pemilu Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-
undang
kontrol yuridiksional Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badanperadilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. (3)
Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.

157
Model di atas sangat cenderung banyak digunakan sehingga secara
teoritis dapat dikatakan teori pembatasan kekuasaan hukum melalui
Pembatasan kekuasaan, Pembatasan melalui Pemilu dan kontrol
yuridiksional sangat berlaku baik selama ini. Hal ini memungkinkan di era
modern kekuasaan penegakan konstitusi melalui instrument hukum tidak
dapat melepaskan adanya upaya pembatasan kekuasaan.

Hal yang perlu ditegaskan dalam definisi istilah penegakan


konstitusi adalah penegakan konstitusi tidak seperti penegakan hukum
pada umumnya. Beberapa alasan yang menjadi UUD tidak bisa disamakan
dari peraturan dibawahnya mengingat UUD atau konstitusi bersifat umum
dan tidak memungkinkan terjadinya penegasan yang mutlak atas suatau
persoalan.

Pada sisi lain, UUD adalah peraturan perundang-undangan yang


masih berupa himpunan asas yang belum menjadi norma yang ada sanksi
hukumnya. Pelanggaran atas UUD hanya dapat dijatuhi sanksi politik,
kecuali Ianggaran atas isi UUD yang telah dijadikan UU (norma) yang
disertai ancaman sanksi hukum yang jelas. Dengan kata lain, isi UUD baru
bisa menjadi norma yang disertai sanksi hukum jika sudah diturunkan
(derivasi) ke dalam UU dan UU inilah yang harus dimasukkan di dalam
Lembaran Negara agar berlaku asasfictie bahwa setiap orang dianggap
tahu pemberlakuan UU tersebut dengan semua ancaman sanksi
hukumnya. Oleh karena UUD adalah peraturan perundang-undangan yang
masih merupakan himpunan asas-asas yang tidak memuat ancaman sanksi
hukum bagi pelanggarnya, melainkan hanya dapat ditegakkan dengan
sanksi litik, maka UUD tidak harus dimasukkan di dalam Lembaran
Negara dan kesahannya tergantung pada prosedur penetapan atau
perubahan yang diatur di dalam UUD itu sendiri. Untuk memperjelas ini
dapat ambil contoh tentang semua Ketetapan (Tap) MPR/MPRS yang
selama puluhan tahun berlaku sebagai peraturan perundang-undangan pada

158
derajat kedua di bawah UUD3 Dalam kurun waktu 1960 sampai dengan
tahun 2002, MPR/MPRS telah mengeluarkan sebanyak 139 Ketetapan
yang semuanya berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan di
atas UU, namun semua Ketetapan MPR/MPRS itu tidak pernah
dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan tak pernah ada yang
mempersoalkan. Mengapa?Karena semua Ketetapan MPR/MPRS itu
bukan berupa norma yang disertai ancaman sanksi hukum. Peraturan
perundang-undangan yang belum berupa norma yang disertai ancaman
sanksi hukum tak perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara( Moh.
Mahfud MD, 2013:45-46).

Namun tentunya, konstitusi menjadi kaidah dasar untuk berlaku.


Maka tentunya wujud konstitusi perlu ditegakkan dan memiliki daya
paksa. Pandangan Prof. Mr. J. Van Kan tentang hukum dititik beratkan
kepada sifatnya. Sifat yang khas dan peraturan hukum, ialah sifat
memaksa, menghendaki tinjauan yang lebih mendalam: Memaksa
bukanlah sekali-kali berarti senantiasa dapat dipaksakan. Pelaksanaan
kaidah hukum yang senantiasa dapat dipaksakan dalam arti yang sebenar-
benarnya, tidak mungkin tercapai. Memaksanya hukum melalui beberapa
cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Memaksanya hukum
hanya merupakan perantara agar peraturan dapat terlaksana; atau untuk
masalah-masalah lain di luar pelaksanaan peraturan tersebut, akan tetapi
pada prinsipnya adalah memaksa. Hukum adalah memerintah, memaksa,
akan tetapi hal itu tidak berarti selalu dapat dipaksakan. Jadi kaidah hukum
bukanlah memberi peringatan, memberi anjuran atau mey
akinkan(Sudarsono, 2003:3). Demikian pula halnya, Van Kan
berpandangan bahwa “paksaan” bukanlah berarti tindakan sewenang-
wenang: Tata hukum mengadakan kaidah-kaiclahnya yang bersifat
memaksa karena untuk hidup Iangsungnya masyarakat, yang berarti guna
perlindungan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat, tindakan-
tindakan tertentu demikian dibutuhkannya, sehingga pelaksanaan

159
tindakan-tindakan itu tidak dapat diserahkan demikian saja kepada
kehendak baik dan orang-orang itu. Paksaan hanya dipergunakan untuk
menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan, ialah
guna kepentingan-kepentingan yang menjadi tujuan peraturan-peraturan
itu. Hanya pertimbangan inilah yang menentukan sifat memaksa dan
peraturan-peraturan hukum. Dalam menyusun kaidah-kaidah itu, dalam
menetapkan peraturan-peraturan itu sekali-kali tidak terdapat kehendak
untuk bertindak Sewenang-wenang. Paksaan bukanlah menjadi pokok
pangkal atau pun tujuan, tetapi semata-mata hanya sebagai alat, bukan
paksaan sebagai kenyataan kekuasaan dan simaharajalela, tetapi suatu
paksaan yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi kepentingan
orang lain ( Sudarsono, 2003:3).

Dalam konstitusi, sifat mekasa tentunya berbeda dengan peraturan


dibawahnya. Tujuan dari memaksa merupakan bentuk dari rambu-rambu
yang kemudian diperkuat dengan adanya empat kaidah penuntun hukurn
yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan
hukum, yaitu: Pertama, hukum nasional harus dapat menjaga integrasi
(keutuhan) baik ideologis maupun wilayah teritorial sesuai dengan tujuan
„melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Harus
dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah
keutuhan bangsa dan negara Indonesia, termasuk hukum-hukum yang
diskriminati berdasar ikatan-ikatan primordial. Kedua, hukum nasional
harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus
mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui
prosedur-prosedur dan mekanisme yang fair, transparan, dan akuntabel.
Harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik,
kucing-kucingan, dan transaksi di tempat gelap. Meskipun secara
demokratis pembentukan hukum itu benar, tetapi jika salah secara
nomokratis (prinsip hukum) maka hukum itu batal atau dapat dibatalkan
oleh lembaga yudisial. Ketiga, hukum nasional harus ditujukan juga untuk

160
menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi
khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan
yang kuat baik dan luar maupun dan dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi
khusus dan hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kalah jika
dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang
kuat. Keempat, hukum harus menjamin kebebasan beragama dengan
penuh toleransi antarpemeluk-pemeluknya. Tidak boleh da
pengistimewaan perlakuan terhadap agama dan pemeluknya rianya karena
didasarkan pada. besar dan kecilnya jumlah Demeluk. Perlakuan
proporsional tentu saja diperbolehkan, tetapi pengistimewaan tidak
diperbolehkan. Negara boleh riengatur kehidupan beragama sebatas pada
menjaga ketertiban aar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap
orang .apat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa
menganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu
diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama iserahkan
kepada masing-masing pribadi pemeluknya, tetapi gara dapat mengatur
pelaksanaannya oleh pemeluk masing masing untuk menjamin kebebasan
dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaannya tersebut (Mahfud MD,
2010:38-39).

B. Penegakan Konstitusi Melalui Judicial Review

Secara konsepsional, badan pengadilan mempunyai kewenangan


yang bersifat horizontal dan vertikal.Kewenangan horizontal dan badan
pengadilan merupakan kewenangan yang terbit sebagai konsekuensi dan
berlakunya teori pembagian kekuasaan (separation ofpower) antara cabang
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Badan badan pengadilan yang berada
dalam cabang yudikatif mempunyai kewenangank ewenangan yang sej
ajar dengan kewenangan cabang-cabang pemerintahan yang lain, yaitu
cabang eksekutif dan legislatif. Sebagai kekuasaan yang horizontal, badan
pengadilan mempunyai kewenangan sebagai berikut.

161
1. Kewenangan terbatas. Dalam hal in badan pengadilan berjalan sejajar
dan seiring dengan kewenangan dua cabaiig pemerintahan lainnya.
Misalnya, dalam bidang hukum tentang kepemilikan benda, di mana
pihak legislatif yang membuat aturan main, pihak pemerintah yang
menjalankannya, sedangkan pihak pengadilan yang mengadili, bahkan
sampai batas-batas tertentu ikut pula menciptakan hukumnya.

2. Kewenangan tertinggi. ini adalah kewenangan yang dimiliki oleh


pengadilan untuk bidang-bidang tertentu yang kedudukannya berada
lebih tinggi dan eksekutif maupun legislative(Munir Fuady, 2010:132).

Dalam hal ini, badan pengadilan dapat membatalkan putusan


putusan eksekutif, seperti yang dilakukan oleh pengadilan tata usaha
negara. Juga, dapat membatalkan putusan legislatif, seperti yang dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan mahkamah Konstitusi ini tentunya
bukan berarti bahwa kekuasaan yudikatif lebih tinggi dari pada kekuasaan
eksekutif maupun legislative, akan tetapi kekuasaan yudikatif lebih
sekedar wujud membangun ketertiban dalam bidang hukum yang tentunya
sangat berbeda dari fungsi eksekutif yang dikonsepsikan sebagai lembaga
yang menjalankan undng-undang dan legislative lembaga yang bertugas
membuat undang-undang.

Peranan dari Mahkamah Konstitusi sendiri adalah dalam menguji


konstitusionalitas undang-undang (secara materiil dan formal) memerlukan
penggunaan interpretasi/penafsiran hukum atas UUD. Artinya, dengan
interpretasi penafsiran hukum atas UUD, Mahkamah Konstitusi dapat
memperluas atau mempersempit arti, maksud, dan tujuan dari UUD(Ikhsan
Rosyada Parluhutan Daulay, 2006:56). Mahkamah Konstitusi sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi sebagai bagian

162
dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, maka tata
cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam hukum acara,
yaitu hukum acara konstitusi. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis
proses beracara, yaitu “contentious procesrecht” dan “noncontentious
procesrecht”. Meskipun demikian hukum acara Mahkamah Konstitusi
disusun secara sederhana dan tidak memisahkan secara khusus masing-
masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi(Bambang Sutiyoso, 2006:32-33).

Ide dasar dari kelahiran mahakamah konstitusi sendiri mengingat


pelaksanaan Konstitusi yang berlaku disuatu negara mempunyai beberapa
kemungkinan. Pertama, konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang termuat didalamnya. Kedua, terdapat beberapa ketentuan konstitusi
yang tidak dilaksanakan lagi meskipun secara resmi masih berlaku. Ketiga,
konstitusi dilaksanakan tidak berdasarkan ketentuan yang termuat
didalamnya melainkan demi kepentingan suatu golongan atau pribadi
tertentu. Peranan dari Mahkamah Konstitusi sendiri adalah dalam menguji
konstitusionalitas undang-undang (secara materiil dan formal) memerlukan
penggunaan interpretasi/penafsiran hukum atas UUD. Artinya, dengan
interpretasi penafsiran hukum atas UUD, Mahkamah Konstitusi dapat
memperluas atau mempersempit arti, maksud, dan tujuan dari UUD(Ikhsan
Rosyada Parluhutan Daulay, 2006:56).

Dalam penyelesalan perkara konstitusi di Mahkamah Konstitusi,


banyak pihak yang terlibat. Misalnya, yang dapat terlibat atau dilibatkan
adalah (i) advokat, (ii) para ahli hukum tata negara, (iii) para ahli dan
semua bidang keilmuan, baik ilmu hukum maupun ilmu yang berkenaan
dengan substansi kebijakan yang diatur oleh suatu undang-undang yang
bersangkutan, (iv) para saksi fakta, (v) para politisi wakil rakyat atau calon
wakil rakyat, (vi) para pejabat pemerintah pusat dan pejabat pemerintah
daerah, (vii) para anggota DPR, (viii) para anggota DPD, (ix) para pejabat

163
tinggi negara atau anggota lembaga tinggi negara, (x) biro-biro dan divisi-
divisi hukum badan-badan hukum publik dan privat, (xi) kalangan
perguruan tinggi, khususnya fakultas-fakultas huk um dan pusat-pusat
kajian konstitusi di seluruh Indonesia, (xii) kalangan tokoh-tokoh aktivist
lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum dan hak asasi manusia,
(xiii) dan lain sebagainya. Sebagai contoh, para advokat yang bekerja di
bidang litigasi seringkali menghadapi persoalan dalam beracara di
Mahkamah Konstitusi, karena sifat acaranya yang sama sekali berbeda
dengan pengadilan biasa(Jimly Asshidiqie, 2006:343).

Disamping itu, seperti dalam beracara di dalam hukum perdata dan


hukum pidana yang mengenal asas-asas beracara, maka di dalam
berperkara di Mahkamah Konstitusi juga dikenal beberapa asas, yaitu:

1. Asas Putusan Final, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang


mengadili pada tingkat pertama dan terakhir.

2. Asas Praduga Rechmatig, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi


merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap
sejak dibacakan dan tidak berlaku surut.

3. Asas Pembuktian Bebas Hakim MK bebas menentukan apa yang harus


dibuktikan, beban pembuktian, serta penilaian atas alat bukti
berdasarkan keyakinannya.

4. Asas Keaktifan Hakim MK Hakim MK aktif dalam melakukan .


penelusuran dan eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran “ melalui
alat bukti yang ada. Asas Erga Omnes Putusan MK bersifat mengikat
para pihak dan harus ditaati oleh siapa pun.

5. Asas Non Interfentif/Independensi MK merdeka dan bebas dan segala


campur tangan kekuasaan lain, baik langsung maupun tidak langsung
Asas Peradilan. Asas Independen dan Imparsial yaitu tidak memihak
baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan

164
(Merupakan pencerminan dan Pasal 2 UU MK dan Pasal 33 UU No
4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

6. Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Hukurn Acara mudah dipahami


dan tidak berbelit-belit, sehingga peradilan berjalan relatif cepat dan
berbiaya ringan. Pasal 4 ayat (2) No. 4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara
yang efisien dan efektif tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan. Semua biaya yang menyangkut persidangan
di Mahkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara.

7. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum Putusan Mahkamah sah dan


berkekuatan hukum tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum (Pasal 40 ayat (1) UU MK Sidang Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim).

8. Asas Objektivitas Hakim dan panitera wajib mengundurkan diri


apabila memiliki hubungan kerabat atau kepentingan Iangsung maupun
tidak langsung.

9. Asas Sosialisasi Putusan MK wajib diumumkan dan dilaporkan secara


berkala kepada masyarakat secara terbuka.

10. Asas Audi et alterain partern Hak yang sama untuk didengar
keterangannya secara berimbang. Masing-masing pihak mempunyai
kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung
dalil masing-masing. Sernua harus dipertimbangkan oleh Mahkamah
Konstitusi jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang
dapat membuat jelas permasalahan ( Zainal Asikin, 2013:287-288).

Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah


Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri
di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Oleh karena itu,

165
ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi inibelurn
muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah
perlu tidaknya UUD 1945 menga komodir gagasan hak uji materiil ke
dalam kekuasaan kehakiman.6° Namun, di kalangan negara-negara
demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang men galami
perubahan dan otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir
abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat
populer. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan
deinokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu
menjadi sangat luas diterima(Ni‟matul Huda, 2015:215-216).

Dilihat dalam sejarahpun dalam praktiknya tidak ada keseragaman


di Negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan Mahkamah
Konstitusi, melainkan disesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan masing-
masing negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi Mahkamah
Konstitusi ke dalam Mahkamah Agung, ada pula konstitusi negara yang
mem isahkannya sehingga dibentuk dua badan kekusaan keh akiman yaitu
MA dan MK. Berdasarkan wewenang yang dimiliki tersebut, MK
merupakan pengawal konstitusi (the guardian of the constit ution) terkait
dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya. Hal itu
membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole
interpreter of the constitution).Konstitusi seba ai hukum tertin i mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu
fungsi konstitusi adalah melind ungi hak asasi manusia yang dijamin
dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara.Oleh
karena itu, MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian
of the democracy), pelindung hak konst itusional warga negara (the
protector of the citizen‟s cons titutional rights) serta pelindung hak asasi
manusia (the protector of human rights) (Ni‟matul Huda, 2015:216).

166
Hak uji UU terhadap UUD diberikan kepada MK sebagai lembaga
yudikatif yang sejajar dengan pembuat UU selain didasari oleh pandangan
perlunya checks and balances antarlembaga negara, tampaknya mengacu
pula pada alasan John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika
Serikat. John Marshall untuk pertama kalinya dalam sejarah
ketatanegaraan melakukan judicial review dengan membatalkan Judiciary
Act 1789 karena isinya bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat.
Ketika itu ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Chief Justice Amerika
Serikat itu.Pertama, hakim bersumpah untuk menjujung tinggi konstitusi,
sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi,
maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan
tersebut.Kedua, konstitusi adalah the supreme law of the landsehingga
harus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar isi
konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara
sehingga kalau ada yang mengajukan permintaanjudicial review,
permintaan itu haruslah dipenuhi. Berdasarkan kenyataan dan pengalaman,
selain dapat menerima sepenuhnya alasan-alasan Marshall tersebut, ada
lagi sebuah alasan tentang perlunya pelembagaanjudicial review yakni
bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik sangat mungkin
isi UU bertentangan dengan UUD, misalnya, akibat adanya kepentingan-
kepentingan politik pemegang suara ayoritas di parlemen, atau adanya
kolusi politik antaranggota parlemen, atau adanya intervensi dan tangan
pemerintah yang sangat kuat tanpamenghiraukan keharusan untuk taat asas
pada UUD atau konstitusi. Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru, banyak sekali UU yang dipersoalkan karena bertentangan dengan
UUD dan lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang
intervensionis, tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya. Dengan
demikian, maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang
paling pokok adalah menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan
UUD dan kalau itu ada, maka MK dapat membatalkannya. Itulah

167
sebabnya, sering dikatakan bahwa MK merupakan pengawal konstitusi
dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi(Moh. Mahfud MD,
2013:98-99).

Menurut UUD 1945, Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai


lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi(Maruarar Siahaan, 2011:7).

Jaminan yang dijalankan oleh MK tersebut tentunya tidak akan


bisa dijalankan oleh lembaga legislative maupun eksekutif. Jika kedua
lembaga tersebut diberikan wewenang maka akan terjadi kekuasaan yang
absolute dan cenderung korup oleh karenanya dibentuk dua badan
kekusaan kehakiman yaitu MA dan MK menjadi sangat penting dalam
aktualisasi konstitusi dalam sebuah Negara.

MK sendiri sebagai lembaga negara produk reformasi, Mahkamah


Konstitusi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan
teradinya perbaikan dalam bidang peneg akan hukum. Sejauhini,
Mahkarnah Konsritusi telah mer espons harapan publik tersebut melalui
proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip
keadilan. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan ini, Mahkamah
Konstitusi mengedepankan keadilan substantif, „ yaitu keadilan yang lebih
didasarkan pada kebenaran materiil daripada kebenaran formal-prosedural.
Dengan kata lain, apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja
disalahkan jika secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.
Sebaliknya apa yang secara formal-prosedural salah bisa saja dibenarkan
jika secara materiil dan substansial sudah cukup adil(Ni‟matul Huda,

168
2015:218). Mahkamah Konstitusi menekankan perlunya keadilan
substantif untuk menghindari munculnya putusan yang mengabaikan rasa
keadilan sebagaimana kerap ditemukan dalam putusan pengadilan pada
masa lalu.Terobosan hukum tersebut perlu dilakukan untuk
menggairahkan penegakan hukum dalam masyarakat(Ni‟matul Huda,
2015:218).

Menurut Hamdan Zoelva, pergeseran Mahkamah Konstitusi yang


seolah-olah menjadi positive legislator ini disebabkan karena adanya
kebutuhan untuk menyeimb angkan secara proporsional antara jcepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Langkah demikian dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menghindari kekosongan hukum jika
Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan suatu orma undang-undang.
Kedudukan Mahkamah Konstistitusi yang terkadang melalui putusannya
menjadi positive legislator bukan berarti mengakuisisi kewenangan dan
menguasai lembaga negara lainnya yang berarti melangg ar ajaran checks
and balances. Kedudukan tersebut tidak dapat dilepaskan dan peran
Mahkamah Konstitusi sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif yang secara bersama-sama
sebagai pembentuk undang-undang(Ni‟matul Huda, 2015:224).

Jika diperbandingkan Kinerja Mahkamah Konstitusi di negara-


negara Eropa Timur sangat berpengaruh terhadap (i) pembagian peran
antar cabang kekuasaan negara, (ii) perlindungan hak asasi manusia, dan
,(iii) terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan hukum yang
diwarisi dan rezim sosialis-komunis sebelumnya, (iv) penguatan sistem
„rule of law‟, (v) pembangunan tradisi „independensi dan imparsialitas‟
peradilan, dan (vi) timbulnya kecenderungan „judicial activism‟. Seperti
telah lebih dulu dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat, negara-
negara bekas komunis di Eropa Timur semuanya membentuk mahkamah
yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.Pembentukannya secara

169
tersendiri mi tenth saja mengundang kontroversi di negara-negara yang
bersangk utan masing-masing.Apalagi, hampir semua MahkamahAgung di
bekas negara komunis telah terkooptasi secara sangatberakar oleh paham
komunisme yang sangat antipati kepada semua ide yang bercorak
liberalistik. Di Georgia, misalnya, pernah muncul ide dan upaya yang
sangat kuat untuk memindahkan fungsi atau kewenangan pengujian
konstitusional (cons titutional review) dan Mahkamah Konstitusi ke
Mahkamah Agung. Untunglah upaya itu gagal. Akan tetapi, menurut
Herman Schwatz, upaya pengalihan kewenangan seperti itu berhasil
dilakukan di Estonia karena alasan yang lebih berkaitan dengan soal
ekonomi, daripada soal filosofi, politik, ataupun sejarah(Jimly
Asshiddiqie, 2010:40-41).

Dari segi bentuk-bentuk strukturalnya organ-organ atau


kelembagaan yang diberi tugas dan kewenangan untuk melakukan
pengujian itu, kita dapat menemukan beragam pengalaman praktik di
berbagai negara yang berbeda-beda antara satu sama lain. Dan berbagai
keragaman pengalaman yang berkembang di berbagai negara itu dapat
ditemukan benang merahnya berupa prinsip-prinsip yang berlaku umum di
semua negara atau setidaknya dikebanyakan negara yang diteliti. Ide
pengujian konstitusional (constitutional review) mi telah demikian luas
diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan
ketatanegaraan di masing-masing negara. Oleh karena itu,
perkembangannya di tiap-tiap negara berbeda-beda satu sama lain. Yang
jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai „barometer‟
penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembang luas, dan
semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional (constitutional
review) itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal
pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari. Dalam
perjalanan sejarahnya, sistem pengujian konstitusional (constitutional

170
review) ini telah tumbuh sedemikian rupa melalui tahap-tahap
perkembangan (Jimly Asshiddiqie, 2010:10).

Sebagai upaya untuk menegaskan adanya perdebatan penegakan


konstitusi dalam pemikiran dewasa ini tentang hubungan konstitusional
antara pembentuk undang-undang dan hakim maka subordinasi penuh
peradilan pada perundang-undangan tidak lagi merupakan titik-tolak
absolut.Titik-taut untuk pemikiran tentang hubungan-hubungan
konstitusional dewasa ini adalah diskusi tentang larangan pengujian oleh
hakim (Pasal 120 Grondwet) sebelum dan sesudah perubahan Undang-
Undang Dasar tahun 1983. Larangan itu memuat hal bahwa para hakim
tidak boleh menguji undang-undang dalam arti formal, yang berasal dan
(dibentuk oleh) pemerintah dan Staten- Generaal, pada Undang-Undang
Dasar(J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008:11-112).

Argumen-argumen (yang menolak) terhadap pengujian oleh hakim


ini adalah bahwa larangan pengujian oleh hakim itu sesuai dengan
gambaran tradisional tentang hakim dan bahwa kepastian hukum dengan
itu tetap terjamin dengan Iebih baik.Sebuah argumen penting adalah juga
bahwa undang-undang dalam arti formal adalah produk dan pembentuk
undang undang yang terkontrol secara democrat dan bahwa andaikata
hakim menguji produk-produk dan pembentuk undang-undang, maka hal
itu dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap gagasan-
demokrasi (democratische gedachte).Argumen-argumen yang melawan
pengujian oleh hakim bertumpu pada pendapat bahwa primat pembentukan
hukum pada tataran pusat hanya menjadi kewenangan suatu organ politik
adalah hal yang diinginkan.Hal ini mengimplikasikan respek terhadap
suatu pembentuk undang-undang parlementer dan menuntut para hakim
untuk hingga derajat tertentu menahan diri dalam penemuan
hukum.Pendukung pengujian oleh hakim sebaliknya menunjuk pada
peranan yang dapat dimainkan oleh hakim pada perlindungan individu

171
terhadap pembentukan undang-undang yang sembarangan (tidak hati-hati)
dengan pengujian undang-undang dalarn arti formal pada khususnya hak-
hak dasar (hak asasi manusia). Orang menyebut argumen tersebut sebagai
argumen negara-hukum (rechtsstaatargument)(A Pointer, diterjemahkan
oleh Arief Sidharta, 2008:112).

Meskipun demikian, begitu dekatnya upaya untuk memproses


penegakan konstitusi secara demokratis memang sudah seharusnya
menjadi ukuran konstitusi itu berjalan baik dan benar.Dan hal ini senda
dalam pandangan Thomas Paine bahwa konstitusi atau verfassung itu
sendiri, dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan, bukan
sebaliknya ditetapkan oleh pemerintah untuk rakyat. Bahkan, lebih lanjut
dikatakan oleh Paine bahwa “A constitution is a thing antecedent to a
government and a government is only the creature of aernstitution”.
Konstitusi itu mendahului pemerintahan, karena pemerintahan itu justru
dibentuk berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi lebih dulu ada
daripada pemerintahan(Jimly Asshidiqie, 2006:19).

Mahkamah konstitusi indonesia sesuai kewenangan dalam Undang-


Undang Dasar menjalankan karakteristik penegakan konstitusi sesuai
ajaran Negara modern. Dalam negara modern, peyelenggaraan kekuasasan
negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (droit konstitusional), dimana
undang-undang dasar dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi,
sehingga konstitusi mempunyai kedudukan atau sederajad supremasi
dalam suatu negara. Maksud supremasi konstitusi yaitu, dimana konstitusi
mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum Indonesia. Pada
intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dibedakan kepada
dua aspek berikut.

a. Aspek Hukum
Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajad tertinggi dari
aturan hukum yang ada karena beberapa pertimbangan.

172
1. Konstitusi dibuat oleh badan pembuat undang-undang atau
lembaga negara.
2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, dari rakyat dan kekuatan
berlakunya dijamin oleh rakyat dan dilaksanakan kepentingannya
untuk rakyat pula.
3. Konstitusi dibuat oleh badan yang diakui keabsahannya.
4. Daya ikatnya bukan saja kepada rakyat, tetapi juga kepada
penguasa dan pembuat konstitusi itu sendiri.
b. Aspek Moral
Konstitusi dibuat berdasarkan landasan etika moral dan nilai-nilai
yang bersifat universal. Moral dan nilai-nilai universal setiap waktu
dapat mengkontrol konstitusi agar konstitusi dapat menyesuaikannya.
Contohnya, konstitusi yang melegalisir sistem apartheid dengan
sendirinya ia bertentangan dengan moral dan akan mendapat kritik dan
sorotan dari masyarakat umum. Motif politik yang menonjol dari
penyusunan UUD, menurut Bryce adalah sebagai berikut.
1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat untuk mengendalikan
tingkah laku penguasa.
2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada
dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan
sewenang- wenang dari penguasa masa depan.
3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau
mengamankan berlakunya acara pemerintahan dalam bentuk yang
permanen dan dapat dipahami oleh warga negara.
4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk menjamin
aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu berkeinginan
tetap mempertahankan hak serta kepentingan sendiri-
sendiri(Syahrial Syarbani, 2014:41-42).

Aspek inilah yang menjadi landasan dasar bagi mahkamah


konstitusi dalam memberlakukan konstitusi. bukan hanya aspek hukum

173
yang dikedepankan sebagai cita ideal Negara hukum, aspek moral disini
dapat diartikan sebagai wujud keberadaan dan eksistensi masyarakat yang
memiliki nilai kedaulatan yang kemudian masyarakat pula membentuk
norma dan kaidah yang wujudnya kita identifikasikan berentuk moral.

Namun tentunya berlakunya kekuatan mahkamah konstitusi dalam


menegakkan konstitusi sangat ditentukan pada sebuah budaya hukum.
Budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem
hukum seperti kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan, Ia juga sering
diartikan sebagai situasi pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum itu dituruti, dilanggar, dan disimpangi. Dan
pengertian ini menjadi jelas bahwa tanpa budaya hukum suatu sistem
hukum, tidak akan berdaya. Dapat juga dikemukakan bahwa budaya
hukum itu merupakan bagian dan sistem hukum yang juga memiliki dua
bagian lain, yakni struktur hukum dan substansi hukum. Struktur,
substansi, dan budaya hukum merupakan subsistem dan sistem hukum
yang saling berkaitan sehingga jika budaya hukum tidak ada maka sistem
hukum itu menjadi lumpuh. Ketiga subsistem itu dapat digambarkan dalam
hubungan antara mesin, cara menggerakkan mesin, dan penggerak mesin.
Struktur hukum dapat diumpamakan sebagai mesin, substansi hukum
adalah bagaimana mesin itu bergerak, dan budaya hukum adalah apa dan
siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin dan siapa yang
menghidupkan atau mematikan serta menentukan bagaimana mesin itu
akan digunakan(Moh. Mahfud MD, 2013:208-209).

174
BAB IX
DOKTRIN KONSTITUSIONALISME

Tujuan instruksional
1. Dapat mengethuai paham-paham dalam ajaran konstitusi
2. Dapat memahami sejauh mana paham dalam ajaran konstitusi
dibutuhkan dalam sebuah Negara
3. Dapat memhamai perkembangan paham ajaran konstitusi dalam
sebuah negara

A. Pengertian Konstitusionalisme

Pengertian dari Konstitusionalisme sendiri adalah,


Konstitusionalisme merupakan pemikiran yang telah lama berkembang.
Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan
kekuasaan itu terutama dilakukan melalui hukum lebih khusus lagi melalui
konstitusi. Constituionalism is a belief in imposition of restrains on
government by means of a constituion. Menurut Daniel S Lev pada intinya
konstitusionalisme adalah proses hukum. Sementara itu menurut Mc Ilwan
sebagaimana dikutip Adnan Buyung Nasution, ada dua unsur fundamental
dari paham konstitusionalisme, yaitu batas-batas hukumterhadap
kekuasaan yang sewenang-wenang dan pertanggungjawaban politik
sepenuhnya dari pemerintah kepada yang di perintah.(Sri Soemantri
Martosoewignjo, 2005 : 1-2)

Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton


H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust
which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep
a government in order”. Untuk tujuan to keep a government in order itu
diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika
kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan
sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini
secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons
perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat

175
manusia. Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu
konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh
C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau
persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan
yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara.13 Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh,
maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan
pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal
ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat
manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di
Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun
peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998(Jimly
Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila:5).

Aktualisasi dalam paham ini dijabakan lebih mudah bahwa paham


konstitusionalisme mewujudkan sebuah tatanan system Negara hukum
yang berdasarkan pada tatanan aspek baku dalam hukum yang
mengindikasikan hukum sebagai sebuah subjek dalam menjalankan suatau
tatanan Negara yang melembaga. Kekuatan Negara terletak bagaimana
kekuatan hukum dalam mewujudkan cita-cita bangsa baik dalam hal ini
hukum yang dimaksud adalah hukum secara teori maupun hukum secara
praktik (rule of law).

Konsep rule of law sumbemya sama dengan konsep rechtstaat.


Adapun unsur-unsur utamanya dalam uraian A. V. Dicey mencakup:
Pertama, Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law). Tidak

176
adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh
dihukum jika melanggar hukum; Unsur ini diakui sebagai yang paling
pertama diperjuangkan oleh rakyat Jnggris. Doktrin supremasi hukum
menempatkan hukum sebagai alat pengatur tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Semua elemen daam negara harus menempatkan
hukum diatas segala-galanya. KeduaEquality Before Of the law dan ketiga
Constitution Based On Human Rights (Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).

Dalam paham konstitusionalisme selain mudah dipahami dalam


uraian di atas, terdapat praktik wujud konstitusionalisme dalam padanan
yang berkembang dengan mewujudkan suatau model kekuasaan yang
berimbang dalam mewujudkan bentuk tatanan dalam sebuah Negara.
Aktualisasi dari itu semua dalam paham konstitusionalisme diwujudkan
melalaui karakter pembatasan kekuasaan yang dikenal salah satunya dalam
teori pemisahan kekuasaan montesque.

Berbicara tentang prinsip pemisahan kekuasaan negara maka tidak


bisa dilepaskan dan pemikiran Montesqiue dalam bukunya L‟espirit des
Lois (1748). Ajaran Montesqiue (oleh Immanuel Kant,dipopulerkan
dengan sebutan Trias Politica) menghendaki pemisahan kekuasan negara
dalam tiga bidang pokok, yang masing-masing berdiri sendiri, lepas dan
kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu fungsi saja, yaitu: a.
Kekuasaan Legislatif yaitu cabang kekuasaan yang melaksanakan fungsi
membentuk undang-undang, b. Kekuasaan eksekutif, yaitu cabang
kekuasaan yang memiliki fungsi melaksanakan undang-
undang/Pemerintahan dan c. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi
peradilan. Gagasan Locke dan Montesquieu mendapatkan ekspresi
praktisnya dalam revolusi Amerika tahun 1780. kerangka pemerintahan
yang dijabarkan Konstitusi Amerika 1787, sejak awal memang
mensyaratkan pemisahan kekuasaan. Perdebatan yang berlangsung dalam
penyusunan konstitusi Amerika bukan tentang apakah konstitusi dalam hal

177
tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan apakah pemisahan itu
sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).

Aktualisasi di Indonesia seperti yang diuraikan dalam konstitusi


dengan mengenal adanya model pembagian kekuasaan.Paham
konstitusionalisme dalam hukum tersebut yaitu pembagian kekuasan
bukan pemisahan kekuasaan berimplikasi pada sebuah tatanan hukum
yang berlaku dan berkembang dalam sebuah Negara.

Ismail Sunny yang mengakui bahwa Indonesia ini system


ketatanegaraan yang dipedomani sebagaimana disebut dalam UUD 1945
menekankan kepada pembagian bagian kekuasaan. Artinya tidak pada
pemisahan kekuasaan sebagaimana doktrin aslinya. Tanpa
menyebutkannya sebagai penganut doktrin trias politika dalam arti
pembagian kekuasaan, Sunny meminjam istilah Ivor Jennings, Guru besar
Filsafat dan Ketatanegaraan lnggris tempat dimana trias politika itu
dilahirkan yang memisahkan kekuasaan dalam arti materil dan pemisahan
kekuasaan dalam arti formal. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai
pemisahan kekuasaan secara materiil adalah merujuk pada pemisahan
substansi yang benar-benar terpisah secara prinsip. Sedangkan pemisahan
kekuasaan dalam arti formal tidak demikian mendasar. Sekadar ada
patokan bahwa kekuasaan itu dipisahkan tetapi kenyataannya terjadi pula
semacam perembesan kekuasaan antar lembaga. Ismail Sunny menilai
bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 (sebelum
diamandemen) dalam hal ini hanya mengenal pemisahan keluarga dalam
arti formal. Secara tegas, disimpulkan pula bahwa Indonesia memang tidak
mengenal sistem pemisahan kekuasaan, akan tetapi adalah sistem
pembagian kekuasaan. Hanya mengenai division of power, bukannya
separation of power (Sirajuddin dan Winardi, 2015:176-177).

Berlandaskan pada sebuah retorika di atas, konstitusionalisme telah


menjadi landasan yang menggejala di Negara modern.Aspek yang menjadi

178
latar belakang adalah terpilinya sebuah system Negara hukum (rechstate)
dibandingkan system Negara kekuasaan (machstate).Idealnya memang
Negara hukum dianggap mampu menerjemahkan sebuah kekuasaan yang
ada dalam sebuah Negara dengan memposisikan rakyat sebagai tujuan
utamanya.

Disamping itu bentuk real dari sebuah instrument


onstitusionalisme dapat direalisasikan sebgai wujud pemisahan kekuasaan.
Meskipun tidak menjamin seratus persen melalui adanya pemisahan
kekuasaan Negara akan tertib, namun tentunya sudah menjadi indikator
pasti bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan negara akan menjadi
sebuah simbul yang secara akomodatif bertujuan mengarahkan kekuasaan
yang ada sesuai dengan harapan Negara yang mampu mensejahterakan
masyarakatnya.

Selain itu, eksistensi sebuah konstitusi bagi suatu negara dalam


pandangan Ellydar Chaidirdan Sudi Fahmi bahwa “tidak hanya
dimaksudkan untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat
dan mengatur pemerintahan, tetapi konstitusi juga menjadi alat rakyat
mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur
kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita”. Pada tataran inilah
eksistensi sebuah konstitusi bagi suatu negara pada hakikatnya merupakan
akar paham konstitusionalisme dimana tidak hanya dimaksudkan untuk
membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur
pemerintahan, tetapi konstitusi juga menjadi alat rakyat
mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur
kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itulah sebabnya, pada saat
ini konstitusi tidak hanya memuat aturan hukum tetapi juga merumuskan
atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, garis haluan negara, dan
patokan kebijaksanaan (policy) yang semuanya mengikat penguasa. Lagi
pula, konstitusi dalam pandangan Jimly, menghendaki negara terbentuk

179
atas dasar hukum dasar (basic norm) yang demokratis, yang merupakan
naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga konstitusi yang dibentuk adalah
konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of law. Dengan batasan
tegas yang ditentukan konstitusi sebagai aturan dasar negara, maka
diharapkan penguasa tidak mudah memanipulasi konstitusi untuk
mengendalikan kepentingan kekuasaannya. Selain itu, konstitusi juga
diharapkan mampu menjamin dan memberikan perlindungan hak-hak
rakyatnya(Bactiar, Jurnal Surya Kencana Dua:127-128)

B. Doktrin Konstitusionalisme

Ide konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh kembang di bumi


aslinya, Eropa Barat dapat dipulangkan kedua esensinya. Esensi pertama
ialah konsep “Negara hukum” (atau di negeri-negeri yang terpengaruh
oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut rule of law) yang menyatakan
bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan Negara,
dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak
sebaliknya). Esensi kedua ialah konsep hak - hak sipil warga Negara
dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan Negara pun akan dibatasi oleh
konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh
legitimasinya dan konstitusi(Sirajuddin dan Winardi, 2015:47).

Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru jika


dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan
rakyat.Para ahli telah memberikan pengertian terhadap negara hukum. R.
Soepomo misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum
sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum
berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara
hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya
memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada
hubungan timbal balik.43 Senada dengan Soepomo, Arief Sidharta44
menyatakan negara hukum sebagai negara yang penyelenggaraan

180
pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum yang
berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar
Sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah(Sirajuddin dan Winardi,
2015:23).

Hukum dengan tegas mengatur segala tingkah laku lahirlah dan


ingin menciptakan keseimbangan diantara kepentingan warga masyarakat
yang berbeda satu dengan yang lain. Di setiap Negara, pasti memiliki ciri-
ciri hukumnya sendiri-sendiri.Seperti contohnya di Indonesia.Negara
Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia.Karena Pancasila harus
diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum
Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila.Salah satu ciri
pokok dalam negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap
freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama
diNegara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya
tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi
Indonesia(Muhammad Tahir Azhary,2003:93).

Di negara-negara Eropa Kontinental, konsepsi negara hukum


mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama perkembangan
terhadap asas legalitas yang semula diartikan sebagai pemerintahan
berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur) kemudian
berkembang menjadi pemerintahan berdasarkan hukum (rechtmatigheid
van bestuur).Terjadinya perkembangan konsepsi terse- but merupakan
konsekuensi dan perkembangan konsepsi negara hukum materiil sehingga
pemerintah diserahi tugas dan tanggung jawab yang semakin berat dan
besar untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun, pemerint ah
diberikan pula ruang gerak yang semakin longgar, yang cenderung
melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) disertai ruang kebijaksanaan
yang longgar berupa freies ermessen(Ni‟matul Huda, 2015:85).Dalam

181
negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Ses ungguhnya, yang memimpin dalam
penye1nggaraan negara adalah hukum itu sendiri, sesuai dengan prinsip
„the Rule of Law, And not of Man‟, yang sejalan dengan pengertian „n
omocratie‟, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,
„nomos‟.(Ni‟matul Huda, 2015:88).

Konsepsi inilah yang kemudian baik secara langsung maupun tidak


langsung setiap Negara saat ini memiliki konstitusi. Negara dengan system
anglo saxon ternyata juga menggunakan tradisi yang sama yaitu tetap
menggunakan konstitusi sebagai hukum dasar yang ada dalam sebuah
Negara. Seperti halnya inggris, juga menggunakan konstitusi yang dalam
hal ini adalah Magna Charta atau piagam agung.

Disini paham konstitusi dalam arti dan makna dianggap merasuk


sebagai cara pandang dan gagasan sebuah Negara. Dalam tradisi anglo
saxon, seperti sudah disebutkan bahwa teori keadilan dan John Rawls
dengan ucapan terkenalnya, yaitu justices fairness, merupakan alternatif
terhadap teori keadilan dan aliran utilitarian dan John S. Mill. Bahkan,
Rawis dengan tegas menolak teori util itarian tersebut. Sebaliknya, dengan
mendasari teori keadilan kepada kontrak sosial, Rawis sebenarnya banyak
terpengaruh oleh ajaran John Locke, Rousseau, dan Immanuel Kant. Baik
ucapannya berupa “justice as fairness”, maupun ucapannya yang berupa
“justice as the first virtue of social institutions” jelas merupakan
pengembangan dan teori kontrak sosial tersebut. Karena menurut teori
kontrak sosial, ketertiban dalam masyarakat akan tercapai manakala
pemerintah yang disepakati bersama oleh rakyat mengaturnya berdasarkan
konsep masyarakat tersebut tentang keadilan. Karena itu, salah satu
tampilan dan justice as fairness adalah wajah sosial dan keadilan.Namun
sebenarnya kurang tepat ketika John Rawls terlalu mempertentangkan
antara teori utilitarian dengan teori kontrak sosial. Sebab, teori kontrak

182
sosial tersebut memerlukan suara mayoritas dan masyarakat dan teori
utilitarian memerlukan the greatest number ofpeople yang sebenarnya
merupakan wajah lain dan prinsip mayoritas masyarakat tersebut(Munir
Fuady, 2010:96).

Dalam paham negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan


bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi.Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan huk
um itu sendiri, pada dasarnya berasal dan kedaulatan rakyat.Oleh sebab
itu, prinsip negara hukum hendakl ah dibangun dan dikembangkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (demokratische
recht7 sstaat).Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirk an, dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat).Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsipp rinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar
(constitutional democr acy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau
demokratis (democratische rechtsscaat)(Ni‟matul Huda, 2015:88089)

Sebutan lainnya untuk negara hukum yang berdasarkan kedaulatan


hukum adalah “rule of law” menurut paham Dicey. Unsur ari rule of law
adalah: (1).Equality before the law, artinya setiap manusia mempunyai
kedudukan hukum yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama, (2).
Supremacy of law, artinya kekuasaan tertinggi terletak pada hukum, dan
(3). Hak-hak asasi manusia tidak bersumber pada undang-undang dasar.
Ini adalah pengaruh daripada ajaran John Locke yang berpendapat bahwa
pemerintah harus melindungi hak-hak asasi rakyat, dan karena itu hak-hak
asasi itu dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar(Moh Kusnardi dan
Bintan R Saragih, 1994:93).

183
Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip
demokrasi (Demos Cratos atau Cratein) dalam perkembangan sejarah
pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan
ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi (Nomos
Cratos atau Cratein).Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam
istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan
prinsip Rechrsstaat (Negara Hukum).Perdebatan teoretis dan fliosofis
mengenai mana yang Iebih utama dan kedua prinsip ajaran kedaulatan huk
um dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman
Yunani kuno.Di zaman modern Sekarang ini, orang berusaha untuk
merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya, dikatakan
bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dan mata uang
yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang
demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum(Ni‟matul
Huda, 2015:210-211).

Maka menurut Kant untuk dapat disebut sebagai Negara Hukum


harus memiliki unsur pokok yaitu:

1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

2. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. Dengan demikian


munculnya tipe Negara Hukum yang pertama yang hanya bertindak
memisah kalau terjadi perselisihan di antara warga negaranya dalam
menyelenggarakan kepentingannya yang disebut sebagai : “Negara
Jaga Malam” atau “Nachtw achter Staff‟ atau “Negara Polisi” atau
“L‟etat gendarme”. Dalam perkembangan selanjutnya Negara Hukum
sebagai paham atau falsafah liberal berubah ke negara Hukum yang
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menjamin jangan
sampai terjdi tindakan sewenang-wenang dan Negara penguasa dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, maka menurut Stahal dua
unsur pokok di atas ditambah dua unsur pokok lagi vaitu:

184
3. Setiap tindakan Negara harus berdasarkan Undang-undang
yang dibuat terlebih dahulu. Negara baru dapat bertindak
menyelenggarakan kepentingan rakyat kalausudah ada Und ang-
undang untuk tindakan tersebut. Perkembangan selanjutnya halini tidak
mungkin, berhubung untuk membuat suatu peraturan undang-undang
adalah membutuhkan proses yang lama dan seringkali bawah Undang-
undang ketinggalan dan kebutuhan masyarakat, maka sering
Pemerintah mengambil kebijaksanaan sendiri dengan membuat
peraturan Pemenintah tersebut ke bawah. Sepintas lalu kita melihat
pelanggaran prinsip Negara Hukum karena yang membuat peraturan
itu bukan badan legislatif, tetapi eksekutif. Tetapi hal ml dapat
dinetralkan misalnya dengan memberikan hak menguji peraturan-
peraturan tersebut, kepada Mahkamah Agung dan kalau bertentangan
hendaknya dicabut kembali. Kemudian kalau terdapat perselisihan
antara penguasa dan rakyat, maka dibuat unsur keempat yaitu:

4. Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.


Peradilan ini harus memenuhi dua persyaratan yaitu:

a. Tidak memihak atau berat sebelah walaupun pemerint ah yang


menjadi salah satu pihak.

b. Orang-orangnya atau petugas-petugasnya haruslah terd in dan ahli-


ahli dalarr bidang tersebut (Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih,
1994:132-133).

Namun unsur-unsur yang ada tersebut lebih berkecenderungan


pada paham positifisme belaka seperti yang diterapkan pada Negara-
negara beraliran civil law.Paham civil law dengan mensifati positifisme
murni demikian lebih banyak memberikan celah bagi terbentunya suatu
tatanan Negara yang mengkonsepsikan hukum sebagai alat kekuasaan.

Sehingga berangkat dari Problema yang sifatnya jangka panjang


dan lebih mendasar tersebut sudah seharusnya diselesaikan melalui solusi

185
paradigmatik yakni pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi negara
hukum dan rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak
dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini,
maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari
jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak
hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta
menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap
penyelesaian kasus hukum. Perubahan paradigma ini harus diartikan pula
sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan dan moral sebagai sukma
hukum yang akan dibangun untuk masa depan negara hukum Indonesia.
Untuk melakukan penggeseran paradigma itu, kemungkinannya pada saat
ini sudah lebih terbuka, sebab UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi
secara eksplisit menyebut “rechtsstaat” sebagai acuan negara hukum
Indonesia. Istilah rechtsstaat yang dulu secara resmi terdapat di dalam
Penjelasan UUD 1945 sekarang sudah tidak dicantumkan lagi.Setelab
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen), Penjelasan
UUD tersebut dihapuskan dan tidak lagi menjadi bagian dan UUD 1945.
Sebagai gantinya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 digariskan tentang
negara hukum anutan Indonesia dengan bunyi ayat “Negara Indonesia
adalah negara hukum.”(Moh. Mahfud MD, 2013:186).

Konsep rechtstaat bersumber dan rasio manusia, liberalistik


individualistik, humanisme yang antroposentrik, pemisahan negara dan
agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan.50 Adapun unsure-unsur
utama menurut F. J. Stahl terdapat 4 (empat) unsur dan negara hukum,
yakni: (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (2) adanya
pembagian kekuasaan; (3) pemerintah harusah berdasarkan peraturan-
peraturan hukum; dan (4) adanya peradilan administrasi. Sementara
menurut Scheltema unsur-unsurnya terdiri dan: (1) Kepastian Hukum; (2)
Persamaan; (3) demokrasi dan; (4) pemerintahan yang melayani
kepentingan umum(Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).

186
Di negara-negara Eropa Kontinental, konsepsi negara hukum
mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama perkembangan
terhadap asas legalitas yang sem ula diartikan sebagai pemerintahan
berdasarkan undangu ndang (wetmatigheid van bestuur) kemudian
berkembang menjadi pemerintahan berdasarkan hukum (rechtmatigheid
van bestuur). Terjadinya perkembangan konsepsi terse- but merupakan
konsekuensi dan perkembangan konsepsi negara hukum materiil sehingga
pemerintah diserahi tugas dan tanggung jawab yang semakin berat dan
besar untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun, pemerint ah
diberikan pula ruang gerak yang semakin longgar, yang cenderung
melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) disertai ruang kebijaksanaan
yang longgar berupa freies ermessen (Ni‟matul Huda, 2015:85). Dalam
paham negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa hukum
itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan huk um itu
sendiri, pada dasarnya berasal dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu,
prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut
prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (demokratische
rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirk an, dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsipp rinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar
(constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau
demokratis (democratische rechtsscaat)( Ni‟matul Huda, 2015:88-89).

Sebutan lainnya untuk negara hukum yang berdasarkan kedaulatan


hukum adalah “rule of law” menurut paham Dicey. Unsur ari rule of law
adalah:

187
1. Equality before the law, artinya setiap manusia mempunyai kedudukan
hukum yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama.

2. Supremacy of law, artinya kekuasaan tertinggi terletak pada hukum.

3. Hak-hak asasi manusia tidak bersumber pada undang-undang dasar. Ini


adalah pengaruh daripada ajaran John Locke yang berpenat bahwa
pemerintah harus melindungi hak-hak asasi rakyat, dan karena itu hak-
hak asasi itu dicantumkan dalam undang-undang dasar ( Moh Kusnardi
dan Bintan R Saragih, 1994:93)

Maka menurut Kant untuk dapat disebut sebagai Negara Hukum


harus memiliki dua unsur pokok yaitu: (1). Adanya perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dan (2). Adanya pemisahan kekuasaan dalam
negara. Dengan demikian munculnya tipe Negara Hukum yang pertama
yang hanya bertindak memisah kalau terjadi perselisihan di antara warga
negaranya dalam menyelenggarakan kepentingannya yang disebut sebagai
: “Negara Jaga Malam” atau “Nachtw achter Staff‟ atau “Negara Polisi”
atau “L‟etat gendarme”. Dalam perkembangan selanjutnya Negara Hukum
sebagai paham atau falsafah liberal berubah ke negara Hukum yang
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menjamin jangan sampai
terjadi tindakan sewenang-wenang dan Negara penguasa dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, maka menurut Stahal dua unsur
pokok di atas ditambah dua unsur pokok lagi yaitu:

1. Setiap tindakan Negara harus berdasarkan Undang-undang yang dibuat


terlebih dahulu. Negara baru dapat bertindak menyelenggarakan
kepentingan rakyat kalausudah ada Und ang-undang untuk tindakan
tersebut. Perkembangan selanjutnya halini tidak mungkin, berhubung
untuk membuat suatu peraturan undang-undang adalah membutuhkan
proses yang lama dan seringkali bawah Undang- undang ketinggalan
dan kebutuhan masyarakat, maka sering Pemerintah mengambil
kebijaksanaan sendiri dengan membuat peraturan Pemenintah tersebut

188
ke bawah. Sepintas lalu kita melihat pelanggaran prinsip Negara
Hukum karena yang membuat peraturan itu bukan badan legislatif,
tetapi eksekutif. Tetapi hal ml dapat dinetralkan misalnya dengan
memberikan hak menguji peraturan-peraturan tersebut, kepada
Mahkamah Agung dan kalau bertentangan hendaknya dicabut kembali.
Kemudian kalau terdapat perselisihan antara penguasa dan rakyat,
maka dibuat unsur keempat yaitu:

2. Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.


Peradilan ini harus memenuhi dua persyaratan yaitu:

c. Tidak memihak atau berat sebelah walaupun pemerint ah yang


menjadi salah satu pihak.

d. Orang-orangnya atau petugas-petugasnya haruslah terd in dan ahli-


ahli dalam bidang tersebut ( Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih,
1994:133-132)

Sedangkan berkaitan dengan paham konstitusionalisme terhadap


jaminan hak asasi manusia, menjadi salah satu latar tegaknya paham
konstitusionalisme yang terpenting. Hal ini berdasarkan pada sebuah dalil
bahwa dalam sebuah Negara jaminan hak warga Negara bisa menjadi alat
ukur Negara dijalankan.

Paham konstitusionalisme pada hakikatnya berbasis pokok pada


adanya kesepakatan umum (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Pernyataan ini
didasarkan pada kenyataan di mana organisasi negara itu diperlukan oleh
warga negara agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dari apa yang dinamakan negara,
sebagaimana yang ditegaskan oleh William George Andrews bahwa “The
members of a political community have, definition, common interests
which they seek to promote or protect through the creation and use of the

189
compulsory political mechanisms we call the State”. Jadi kata kuncinya di
sini adalah konsensus atau general agreement. Lebih lanjut jelaskannya
bahwa konsensus atau general agreement itu meliputi : “(a) the general
goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government; (b) the rule of law the basis of government; and (c) the
reform of institutiions and procedures”. Ketiga elemen ini sangat
menentukan tegaknya paham konstitusionalisme di suatu negara. Menurut
Jimly Asshiddiqie, “jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuhlah
pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya
perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi”. Hal ini semisal
tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu
revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun
1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun
1998, serta yang masih terhangat revolusi yang terjadi di Irak tahun 2008
dan di Mesir tahun 2013. Kesemuanya diakibatkan karena di antara warga
negara tidak tercapai konsensus terkait bangunan negara yang
diidealkan(Bactiar, Jurnal Surya Kencana Dua:130-131).

Berbeda dengan rusia, konsesnsu Negara hukum di hadirkan dan


kemudian menjadi norma pembentuk berdirinya sebuah Negara pasca
soviet runtuh. Rusia pasca Uni Soviet adalah sebuah negara yang
berbentuk federasi yang dipimpin oleh seorang presiden. Boris
Nikolayevich Yeltsin dipilih sebagai presiden pertama Rusia. Sebagai
sebuah negara federasi negara ini terdiri dari konstituen sebanyak 89
Subjek Federasi. Subjek Federasi tersebut terdiri dari : 22 Republik
(seperti : Republik Dagestan, Republik Chechnya, Republik Bakortohstan,
Republik Komi dan sebagainya), 47 Oblast (Provinsi) (seperti : Provinsi
Saratov, Provinsi Irkutsk dst), Satu Oblast Otonom yakni Yevreyskaya
Avtonomnaya Oblast, 6 Kray (setingkat Provinsi), 2 kota Federal (kota
setingkat Provinsi) yakni Moskow dan St-Petersburg, serta 10 Okrug
Otonom. Tanggal 12 Desember 1993 disahkan Konstitusi Federasi Rusia

190
yang mendeklarasikan Rusia sebagai : “negara hukum yang berbentuk
federasi dengan sistem pemerintahan presidensil”. Konstitusi menekankan
prinsip pemisahan kekuasaan Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif, yang
masing-masing berdiri sendiri. Kekuasaan pemerintahan dalam lingkup
negara dipegang oleh : Presiden, Dewan Federasi, Pemerintah
(Pravitel‟stvo) dan Kehakiman, sedangkan dalam lingkup Subjek Federasi
Rusia (direpublik-republik, kray(daerah), oblast dan oblast otonom adalah
organ-organ kekuasaan setempat ( Fahrurodji, 2005:194).

Dalam pandangan paham konstitusionalisme juga harus ditekankan


bahwa hukum memiliki makna sosial disamping makna yuridis-normatif
yang melekat. Makna sosial dan hukum dapat memberikan gambaran
kepada kita bagaimana konsep yuridis normatif dijalankan di dalam
masyarakat. Berbagai doktrin yang lazim diterima sebagai sesuatu “yang
baik-baik” begitu sajajuga dapat mempunyai makna sosial yang tidak
persis sama seperti dipikirkan orang. Dalam doktrin ROL misalnya,
diterima asas “Supremacy of Law” dan kita menerima begitu saja asas
tersebut sebagai sesuatu yang memang baik, adil dan sebagainya.Tetapi
makna sosial dan asas seperti itu dapat menjadi lain apabila diterapkan
dalam kenyataan. Dalam konteks kenyataan kita akan menghadapi para
justisiabel yang berbeda dalam kemampuan ekonominya, dan karena itu
tidak semua orang dapat menikmati bekerjanya asas yang tampak netral
atau non diskriminatif tersebut dengan sama baiknya. Pengamatan
sosiologis menunjukkan, bahwa dalam dunia hukum tidak hanya terjadi
pergumulan yuridis, tetapi juga ekonomi dengan segala akibat dan
hasilnya. Marc Galanter misalnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa
dengan kekuatan ekonomi (uang), maka seseorang dapat memenangkan
suatu perkara (“the haves come out ahead”). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, doktrin “supremacy of law” dapat mempunyai makna
sosial yang lain, yang bahkan dapat menimbulkan ketidakadi1an atau efek
diskriminatif.Kebenaran pemyataan-pernyataan tersebut di muka, dapat

191
terbukti dan praktik-praktik hukum di Indonesia.Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum. Konsepsi negara berdasar atas hukum Indonesia
memiliki ciri-ciri (yang dioper dan Rule of Law):

4. Adanya asas legalitas yuridis (juga berarti supremacy of law)

5. Adanya peradilan yang bebas , merdeka, mandiri (independen


judiciary) dan

6. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia


(equality before the law) (Suteki, 2013:182-183)

Jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi bentuk


khusus yang harus dijamin dalam aktualisasi Negara hukum. Hal ini akan
memungkinkan Negara dapat menjalankan prinsip-prinsip negar aescara
dinamis karena jaminan terhadap perlindungan terhadap hak asasi manusia
akan membuktikan Negara mampu melaksanakan kekuasaan secara baik
dan benar.

Karakteristik dari sebuah ajaran konstitusionalisme juga harus


menjadi bagian penciptaan norma-norma di bawah konstitusi. Lon Fuller
mengajukan delapan syarat agar suatu kaidah dapat dikatakan sebagai
„kaidah hukum, yang disebutnya sebagai persyaratan moral hukum internal
(inner morality oflaw).Kedelapan syarat tersebut adalah sebagai berikut :
(1). Harus ada aturan (rules), (2). Harus berlaku ke depan (prospektif),
bukan ke belakang (retrospektif), (3). Aturan tersebut harus diumumkan,
(4). Aturan tersebut harus sesuai akal sehat (intelligible). (5). Aturan tidak
boleh saling kontradiktif, (6). Aturan tersebut harus mungkin diikuti, (7).
Aturan tidak boleh berubah secara konstan dan (8). Harus ada kesesuaian
(congruence) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh
penegak hukum. Menurut Fuller, kedelapan syarat tersebut haruslah
dipenuhi oleh suatu kaidah hukum, meskipun harus diakui bahwa tidak
akan ada kaidah hukum yang dapat memenuhi syarat-syaratnya tersebut
dengan sempurna. Namun demikian, suatu kaidah hukum yang balk harus

192
berusaha untuk memenuhi sekuat mungkin dan sedekat mungkin dengan
syarat-syarat tersebut( Munir Fuady, 2010:44-45).

Dalam doktrin Konstitusionalisme juga tidak hanya mengajarkan


pada padanan bekerjanya undang-undang. Akan tetapi juga penyerahan
penegakan diserahkan diserahkan pada hakim. Peradilan dan penemuan
hukum oleh hakim adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah pendinan,
jika mereka menghasilkan putusan-putusan yang adil. Pendirian yang
demikian dalam keumumannyatidak akan lekas menimbulkan perlawanan.
Narnun, masalahnya adalah bahwa ihwalnya tidaklah mudah untuk
menetapkan kriteria apa yang harus dipenuhi sebuah putusan agar dapat
dikatakan sebagai putusan yang adil. Dapatkah misalnya sebuah putusan
sudah dapat disebut adil jika Ia sesuai dengan tuntutan kepastian hukum,
persamaan hukum, atau kewajaran (redeiijkheid) dan kelayakan
(billijkheid, fairness)? Dan bagaimana harus memutuskan jika penerapan
sebuah aturan sesuat dengan tuntutan kepastian hukum, tetapi tidak sesuai
dengan tuntutan kewajaran dan kelayakan? Lebih dan itu, siapa yang
menentukan apa yang adil itu? Hakim, pihak yang terlibat dalam
perselisihan, atau masyarakat? Daiarn sebuah masyarakat yang majemuk
orang dapat secara mendasar berbeda pendapat tentang apa yang secara
umum atau dalam kejadian-kejadian konkret merupakan sebuah putusan
yang adil(J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008:9).

Argumen-argumen yang melawan pengujian oleh hakim


diperlemah oleh sejumlah gejala. Hakim demi perlindungan hak-hak
individual dan parawarga negara dapat juga menguji undang-undang
dalam arti formal pada hak-hak asasi manusia yang dicantumkan dalam
traktat-traktat, seperti antara lain dalam Konvensi Eropa untuk
perlmndungan hak-hak dan manusia (The Europ ean Convention on
Human Rights) dan di dalam Konvensi Internasional berkenaan dengan
hak-hak warga dan hak-hak politik serta di dalam hukum / dan Uni Eropa.

193
Perujukan terhadap konvensi-konvensi tersebut juga semakin senng
dilakukan. Di sampingnya hakim dalam anti tertentu menguji peraturan
perundang-undangan yang Iebih rendah pada asas-asas hukum
fundamental dan asas-asas hukum fundamental itu dapat juga memainkan
peranan pada intenpretasi undang-undang dalam anti formal(J.A Pointer,
diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008:112). Namun pembentuk undang-
undang kadang-kadang juga secara sadar menyerahkan perkembangan
hukum kepada hakim. Dapat dikatakan bahwa terjadi “delegasi”
kewenangan pembentukan aturan kepada hakim. Terhadap “pembentukan
aturan hukum oleh hakim” ini juga dapat (telah) dilancarkan keberatan-
keberatan. Bukankah hakim tidak cukup disiapkan untuk tugas
pembentukan aturan. Berbeda dan kekuasaan pembentukan undang-
undang, hakim yaris tidak memiliki dukungan aparat kepegawaian. Pada
penataan bangunan (inrichting) kekuasaan kehaki man tidak dipikirkan
kegiatan-kegiatan untuk hakim di luar peradilan yang lazim. Selanjutnya,
suatu keberatan terhadap “pembentukan aturan oleh hakim” adaiah bahwa
hakim tidak dapat mengembangkan prakarsa-prakarsa sendiri untuk
pembentukan atunan, melainkan akan harus menunggu sengketa konkret.
Yang lebih besar adalah keberatan-keberatan yang menyangkut
pengorganisasian dan pembentukan putusan, misalnya tidak adanya
legitimasi demokratikai yang bersifat fundamental. Kadang-kadang hakim
memperlihatkan secara jelas bahwa karenaaiasan-alasan itu tidak mau
melakukan tindakan pembentukan hukum(J.A Pointer, diterjemahkan oleh
Arief Sidharta, 2008:113).

194
BAB X
PERBANDINGAN KONTITUSI

Tujuan Instruksional
1. Dapat memahami adanya perbandingan konstitusi dalam setiap Negara
sebagai rujukan pemahaman konstitusi secara komperhensif
2. Dapat menjadi instrument pendukung dalam pemahaman gagasan-gagasan
konstitusi yang berlaku dalam setiap Negara

A. Pendekatan Perbandingan Konstitusi

Dalam perbandingan hukum konstitusi jelas menggunakan metode


perbandingan atas objek yang diteliti dalam hal mi konstitusi.Metode
penyelidikan yang lazim digunakan dalam perbandingan konstitusi
dibedakan atas 2 (dua) jenis yaitu metode penyelidikan secara umum dan
khusus. Adapun metode penyelidikan yang lazim digunakan secara umum
dalam perbandingan konstitusi adalah:

1. Metode Deduksi (penarikan kesimpulan dan keadaan yang umum),


yaitu suatu metode perbandingan yang mendasarkan pada proses
penyelidikan atas asasa sas yang bersifat umum untuk menerangkan
peristiwa-peristiwa khusus (tertentu) atau penjelasan teoritis yang
bersifat umum terhadap fakta-fakta yang bersifat konkrit.

2. Metode Induksi (Metode pemikiran yang bertolak dan kaidah (hal-hal


atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum/kaidah yang umum),
yaitu suatu metode perbandingan yang berangkat dan proses
pemikiran/analisis terhadap peristiwaperistiwa khusus/konkrit untuk
kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan yang umum(Jazim Hamidi
dan Malik, 2009:128-129).

Hakikat perbandingan berdasarkan uraian di atas tentunya mencari


keselarasan terhadap system hukum yang tumbuh dan berkembang seiring
dengan kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya hal tersebut berimplikasi

195
pada sebuah jalinan konstitusi yang lebih akomodati terhadap kebutuhan
masyarakat.

Melalui rujukan dari berbagai macam pandangan bahwa konstitusi


diartikan diantaranya oleh S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard
Rudden, melalui karyanya yang berjudul Comparing Constitutions,
berpendapat: “Constitutions are codes of norms which aspire to regulate
the allocation of powers, functions, and duties among the various agencies
and officers of governments and to define the relationships between these
and the public”. Jadi menurutnya, konstitusi itu tidak lain hanyalah
kumpulan-kumpulan norma atau aturan yang mengatur tentang alokasi
kekuasaan-kekuasaan, tentang fungsi dan kewajiban antara berbagai badan
dan pejabat pemerintahan dan untuk menegaskan hubungan antara
berbagai badan dan pejabat pemerintahan tersebut dengan rakyat. Definisi
S.E. Finer, Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden ini, sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, yakni adanya
pembagian kekuasaan negara, pembatasan kekuasaan di antara berbagai
badan dan pemegang kekuasaan negara serta hubungan antara berbagai
badan dan pemegang kekuasaan negara dengan rakyat. Hanya saja, mereka
lebih menekankan maksud pembatasan kekuasaan dengan mengedepankan
arti fungsi dan kewajiban yang diletakkan pada berbagai badan kekuasaan
negara tersebut(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:92).

Pembatasan kekuasaan biasanya diwujudkan melalui dua pilihan


cara, yaitu system pemisahan kekuasaan (separation of power) dan
pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan
bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsifungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan,
pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan
itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga negara

196
dibawah lembaga memegang kekuasaan negara. Konsep pemisahan
kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de
Monstesquieu dalam karyanya L‟Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).
Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam
tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif),
kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh
Montesquieu diutamakan tindakan dibidang politik luar negeri (eksekutif)
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang
(yudikatif). Kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat kelengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya, konsepsi yang dikembangkan Montesquieu lebih
dikenal dengan ajaran Trias Politica. Jika dibandingkan konsep pembagian
kekuasaan John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785),
perbedaan mendasar pemikiran keduanya, bahwa John Locke memasukkan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.14 Berbeda
halnya dengan pemikiran John Locke dan Montesquieu, seorang sarjana
Belanda Van Vollenhoven, mengemukakan bahwa tugas dalam sebuah
negara itu bukan tiga, tetapi empat cabang kekuasaan dengan memakai
Kwartas Politica (Catur Praja), yang mana memasukkan tugas polisionil
sebagai tugas memelihara ketertiban masyarakat dan bernegara. Secara
umum, pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia dimaknai
(separation of power) dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica
Montesquieu. Hal ini muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu
yang menyatakan, “when the legislative and the executive powers are
united in the same person, or in the sama body of magistrate, there can be
no liberty”. Pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang sangat
luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang
dikutipkan dimaknai, bahwa cabang-cabang kekuasaan Negara benar-

197
benar terpisah atau tidak mempunyai hubungan sama sekali(Andryan M.
Solly Lubis, Suhaidi, Faisal Akbar Nasution, USU Law Journal:162-163).

Namun ajaran montesque tersebut di Negara indonesia tidak


berlaku utuh, akan tetapi kaidah dimana menetapkan konstitusi dengan
adanya pemisahan hanya bersifat formil. Sedangkan pemisahan dalam arti
materiil bukanlah pemisahan sesungguh-sungguhnya, terdapat nuansa
gotong royong sebagai simbul persatuan lembaga-lembaga Negara.

Perbandingan yang dapat menjadi contoh dalam kekuasaan


pemisahan lembaga Negara adalah dengan adanya komisi yudisial dalam
setiap Negara. Pembentukan komisi yudisial merupakan konsekuensi logis
yang muncul dan penyatuan atap lembaga peradilan pada MA. Ternyata
penyatuan atap berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman
oleh MA. Disamping itu dikhawatirkan MA tidak akan mampu
melaksanakan kewenangan administrasi, personel, keuangan dan
organisasi pengadilan yang selarna ini dilakukan oleh departemen. Bahkan
pandangan yang cukup pesimis menyatakan bahwa MA tidak mungkin
dapat menjalankan fungsi yang diemban dalam penyatuan atap secara baik
karena mengurus dirinya sendiri saja MA tidak mampu( Sirajuddin dan
Winardi, 2015:186).

Kewenangan komisi yudisial dalam Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pada Pasal 13
sebagai berikut :

a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di


Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta


perilaku hakim;

198
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-
sama dengan Mahkamah Agung; dan

d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman


Perilaku Hakim.

Hal ini sangatlah berbeda dengan Negara lain. Di belanda


diantaranya kewenangan Komisi Yudisial di negara menempatkan
kedudukan Komisi Yudisial yang dapat dilihat dalam Netherland Judicial
Act Division 2 Duties and Powers Section 91. menjalankan tugas
diantaranya sebagai berikut :

a) Persiapan anggaran peradilan


b) Alokasi dana pada peradilan
c) Dukungan operasional
d) Dukungan untuk proses rekruitment dan seleksi hakim
e) Peningkatan kualitas dan kesatuan hukum
f) Tugas advisor secara umum untuk peraturan baru
g) Juru bicara lembaga peradilan
h) Kerjasama internasional (Komisi Yudisial, 2014:89-90).
Bahkan di negara lain diantaranya negara bagian new south wales
Australia yang menempatkan Komisi Yudisial bukan hanya menerima
laporan dari masyarakat bahkan juga memberikan pendidikan/pelatihan
bagi petugas peradilan secara berkelanjutan. Beberapa fungsi Komisi
Yudisial di negara bagian new south wales Australia yang disebut sebagai
Judicial Commision of South Wales sebagai berikut :
1) Membantu pengadilan dalam membuat putusan yang konsisten
2) Memberikan pendidikan/pelatihan yang berkelanjutan bagi petugas
peradilan
3) Mengelola komplain terhadap petugas peradilan
4) Memberikan masukan kepada menteri kehakiman apabila
komisimenganggap perlu

199
i) Bekerjasama dengan lembag anegara lain yang memiliki kedekatan
dalam fungsi(Komisi Yudisial, 2014:101-102).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka konstitusi dapat diartikan


memiliki bentuk yang berbeda-beda yang dijalankan pada setiap Negara-
negara. Namuan tentunya keberhasilan konstitusi dalam sebuah Negara
bisa dijadikan sebuah instrument alat untuk mewujudkan konstitusi yang
lain berlaku di Negara lain dijalankan dengan mengcopy yang baik
tersebut.

Sedangkan metode penyelidikan yang lazim digunakan dalam


perbandingan konstitusi secara khusus adalah:

1. Hakikatnya Non-Komparat yaitu suatu metode yang diarahkan kepada


politik hukum konstitusi, materi muatan konstitusi, dan metode
perubahan konstitusi dan suatu negara atau penggambaran secara
paralel atas materi muatan konstitusi (misalnya) dan berbagai negara.
Jadi sasaran analisisnya ditujukan kepada masalah politik hukum
konstitusi, materi muatan konstitusi, dan matode perubahan konstitusi.

2. Hakikatnya deskriptf yaitu suatu metode yang didasarkan semata-mata


pada melukiskan secara formal dan rinci tentang materi muatan
konstitusi ke dalam rangka studi perbandingan. Jadi objek yang
dibandmgkan adalah materi muatan konstitusi dan masing-masing
negara. Dalam metode deskriptif mi dibagi lagi ke dalam suatu
pendekatan historis (sejarah kelembagaannya dan sejarah
pengaturannya), legalistik (segi hukumnya), dan/atau gabungan antara
keduanya.

3. Hakikatnya Parochial (secara sempit/terbatas), yaitu suatu metode


yang pada hakikatnya hanya diarahkan dan dititikberatkan kepada
masalah konstitusi sebagai hukum dasar di ne/gara-negara ASEAN
misalnya. Hal mi dikarenakan kendala kesulitan bahasa, sehingga
hanya difokuskan kepada negara-anegara tertentu saja. OIeh karena itu,

200
output dan metode perbandingan mi bukan pada mencari persamaan
dan perbedaannya, akan tetapi lebih terfokus pada perbedaan yang
sifatnya tajam dan mencolok saja.

4. Hakikatnya statik, yaitu suatu metode yang pada hakikatnya membahas


dengan diarahkan atau dititikberatkan kepada persoalan konstitusi
sebagai “supremasi konstitusi” dalam suatu negara misalnya. Jadi
dalam metode mi, tidak memperhiturigkan bahkan menyingkirkan
faktor-faktor lain yang menyebabkan konstitusi itu tidak lagi
menempati kedudukan suprem dalam suatu negara bagian tersebut.

5. Hakikatnya Monografik, yaitu suatu metode yang pada dasarnya


membahas dengan diarahkannya, dititikberatkannya, dan terpusatkan
kepada mempelajari pembaruan konstitusi sebagai suatu sistem dan
pembaruan sistem ketatanegaraan secara keseluruhan pada suatu
negara tertentu(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:129-130).

Wujud dalam setiap metode perbandingan tersebut akan


menghasilkan konstitusi yang memiliki karakteristik yang berbeda antara
satu dengan yang lain semisal dalam konstitusi di Indonesia jika di
perbandingkan memiliki bentuk yang berbeda pula di bandingkan di
Negara-negara lain seperti di Negara amerika yang berdasarkan demokrasi
liberal sedangkan Indonesia demokrasi Pancasila..

Namun secara praktis, bentuk konstitusi adakalnya memiliki


kesamaan seperti halnya biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-
negara berdaulat diadakan perumusan mengenai tugas pembuatan undang-
undang (legislasi) dan tugas pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke
dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang
berbeda.Meskipun demikian, apabila ditelaah secara mendalam,
sesungguhnya tidak satu pun teks konstitusi maupun praktik dimanapun
yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu
secara kaku. Baik dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktik,

201
fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih
(Ni‟matul Huda, 2015:176).

Dalam hal pengaruh masyarakat terhadap konstitusi, Menurut


Emile Durkheim, masyarakat itu mengikat oleh karena adanya solidaritas
di antara anggota-anggotanya. Untuk nienjelaskan mengenai
perkembangan masyarakat yang berbeda-beda, Durkheim menunjukkan
adanya masyarakat dengan solidaritas mekanis dan masyarakat dengan
solidaritas organis. Solidaritas mekanis mendasarkan terwujudnya
masyarakat pada rasa keterikatan dan rasa persatuan di antara anggota-
anggotanya. Perbedaan pendapat dan penyimpangan-penyimpangan
tingkah laku merupakan hal yang bertentangan dengan solidaritas. Di lain
pihak, pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organis,
terwujudnya masyarakat didasarkan pada kebebasan para aggotanya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk berhubungan satu dengan yang
lain, karena sifat sosial manusia maka kebebasan demikian ini tidak
menyebabkan musnahnya masyarakat(Suteki, 2013:37)

Pembentukan masyarakat tentunya berdasarkan pendapat di atas


sangat ditentukan jenis masyarakat yang ada. Mengingat masyarakat itu
membentuk system yang ada dalam sebuah Negara. Pada sisi lain
kedaulatan Negara juga dipersepsikan sebagai kedaulatan rakyat itu sendiri
dalam sebuah Negara sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia pasal 1 ayat 2.

B. Aktualisasi Perbandingan Konstitusi

Aktualisasi konstitus dalam memberikan jaminan terhadap


masyarakat adalah melalui bentuk kekuasaan Negara yang dijalankan dan
bentuk pemisahakan kekuasaan. Hal tersebut tentunya akan sangat banyak
di kaji dalam kajian keilmuan hukum tata Negara. Selaian itu hal-hal lain
yang bisa dikatakan wujud dari perbandingan adalah system dan model
pemerintahan.

202
Berbicara tentang prinsip pemisahan kekuasaan negara semisal,
maka tidak bisa dilepaskan dan pemikiran Montesqiue dalam bukunya
L‟espirit des Lois (1748). Ajaran Montesqiue (oleh Immanuel Kant
,dipopulerkan dengan sebutan Trias Politica) menghendaki pemisahan
kekuasan negara dalam tiga bidang pokok, yang masing-masing berdiri
sendiri, lepas dan kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu
fungsi saja, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif yaitu cabang kekuasaan yang
melaksanakan fungsi membentuk undang-undang, b. Kekuasaan eksekutif,
yaitu cabang kekuasaan yang memiliki fungsi melaksanakan undang-
undang/Pemerintahan, dan c. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi
peradilan. Gagasan Locke dan Montesquieu mendapatkan ekspresi
praktisnya dalam revolusi Amerika tahun 1780.kerangka pemerintahan
yang dijabarkan Konstitusi Amerika 1787, sejak awal memang
mensyaratkan pemisahan kekuasaan. Perdebatan yang berlangsung dalam
penyusunan konstitusi Amerika bukan tentang apakah konstitusi dalam hal
tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan apakah pemisahan itu
sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).

Wujud aktualisasi tersebut dari teori pemisahan kekuasaan adalah


yang disampaikan oleh Jemes Madison,seorang penyusun utama konstitusi
menuliskan pengamatannya: “seandainya manusia adalah malaikat, maka
pemerintah tidak akan diperlukan. Seandainya malaikat memerintah
manusia, maka tidak perlu adan kontrol internal dan eksternal terhadap
pemerintah. Dalam merancang sebuah pemerintahan yang diatur oleh
manusia atas manusia, kesulitan terbesar terletak dalam hal ini: pertama-
tama anda harus memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang
diperintah; dan selanjutnya, menentukan kewajiban pemerintah untuk
mengontrol dirinya sendiri”(Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).

Namun tentunya dalam wujud utama perbandingan konstitusi


landasan dasar keadilan seyogyanya harus menjadi pusat perhatian dmi

203
tegaknya konstitusi secara umum.Oleh karena itulah maka upaya
menemukan intisari pernadingan harus diletakkan secara objektid pada
tujuan untuk mewujudkan keadilan secara utuh.

Untuk mencapai suatu keadilan, disyaratkan sekaligus adanya


unsur “keadilan yang substantif (justice)” (mengacu kepada hasil) dan
unsur “keadilan prosedural” (fairness).Hal ini juga diamini oleh John
Rawls sehingga muncul istilah terkenal darinya berupa justice as fairness,
meskipun dan istilah “justice as fairness” tersebut mengandung arti bahwa
unsur fairness mendapat prioritas tertentu dan segi metodologinya. Jika
unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Di samping
itu, Aristoteles juga berteori bahwa akan terjadi ketidakadilan distributif,
manakala terjadi perlakuan yang tidak fair tentang distribusi manfaat
(benefit) dan beban (burden). Perlakuan yang tidakfair tersebut kemudian
populer dengan istilah “proteksi yang tidak sama” (unequal protection).
Dalam konstitusi negara Amerika Serikat, perlindungan yang sama
dipadukan secara apik dengan keadilan prosedural, melalui teori perlakuan
yang sama (equalprotection) yang terdapat dalam amandemen ke- 14 dan
konstitusinya dengan teori keadilan prosedural (due process) dalam
amandemen ke-5. Meskipun begitu, dalam perkembangannya istilah “due
process” sendiri seben arnya bisa berarti “keadilan prosedural”
(procedural dueprocess) dan juga “keadilan substantif” (substantive due
process)(Munir Fuady, 2010:116).

Hal tersebut sebagaimana bentuk lembaga parlement, yang setiap


Negara adakalanya menggunakan bikameral dan unicameral. Penerapan
sistem bikameral itu, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi,
kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti
haln va negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan mel indungi
wilayah tertentu, melindungi etnik, dan kepenngan-kepentingan khusus
dan golongan rakyat tertentu seperti kelompok kepentingan, golongan

204
minoritas, dan sebagainya) dan suara mayoritas (tirani mayoritas). Jadi,
sebenarnya tidak banyak perbedaan apakah sistem unikameral” atau
bikameral yang digunakan dalam negara kesatuan atau federasi itu.Hal
yang penting adalah sistem majelis tunggal atau ganda itu dapat benar
benar berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengawasi
jalannya pemerintahan. Ada negara yang menjalankan sistem dua kamar
karena latar belakang kesejarahan. Inggris menjalankan sistem dua kamar,
antara lain untuk tetap memelihara kehadiran perwakilan kaum
bangsawan, di samping rakv at umum. Sistem dua kamar di Inggris tidak
terlepas dan proses demokratisasi badan perwakilan. Semuladan
perwakilan di Inggris hanya terdiri dankaum bangs awan atau yang
mewakili kelompok agama dan institusi tertentu. Demokratisasi dan
tumbuhnya kelas sosial baru (kelas menengah) kemudian menuntut
perwakilan yang mewakili rakyat umum.Lahirlah Majelis Rendah (House
of Commons) di samping Majelis Tinggi (House of Lords).Sistem dua
kamar di Amerika Serikat merupakan hasih kompromi antara negara
bagian yang berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit.House
of Representatives (DPR) mewakili seluruh rakyat.Setiap negara bagian
diwakili sesuai dengan jumlah penduduk.Senate (Senat) mewakili negara
bagian. Setiap negara bagian diwakili dua orang Senator tanpa membeda-
bedak an negara bagian yang berpenduduk banyak (seperti New York atau
California) dengan yang berpenduduk lebih kecil (seperti Alaska, atau
Nevada).(Ni‟matul Huda, 2015;167-168)

Selain itu, adanya perbandingan juga dilatarbelakangi dengan cara


pandang hukum yang berbeda-beda. Semisal terdapatnya perbedaan dalam
memandang hukum di antara Jeremy Bentham dengan John Austin,
meskipun mereka sama-sama positivis dan sama menganggap hukum
sebagai kehendak (will) dan pemegang kedaulatan (sovereign will),
Perbedaannya adalah sebagai berikut.

205
a. Tidak seperti Jeremy Bentham, John Austin membatasi hukum hanya
pada perintah (command) tentang apa yang harus dilakukan dan apa
yang dilarang.
b. Perintah menurut John Austin hanyalah perintah yang tidak langsung
dan pemegang otoritas sehingga hukum hanyalah perintah urnum
untuk memenuhihak-hak hukum dan warga masyarakat. Sebuah
perintah yang dijalankan dan mengandung unsur “amanah” (fiduciary),
seperti kewenangan wali bagi anak-anak di bawah umur; jadi tidak
termasuk perintah untuk kepentingan pemberi perintah, misalnya
perintah atasan terhadap bawahannya(Munir Fuady, 2010:11-12).
Konsep hukum menurut Hart jauh lebih kompleks dan pengertian
hukum menurur John Austin. Menurut Hart, hukum yang primer adalah
aturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban. Misalnya aturan
hukum pidana yang melarang dan memberikan sanksi kepada seorang
pencuri, perampok, penipu, pencopet, dan sebagainya. Sedangkan hukum
sekunder menurut Hart adalah aturan hukum yang mengatur bagaimana
dan siapa yang membuat, menegakkan, atau mengubah aturan hukum yang
primer tersebut. Terhadap hukum sekunder ini, Hart menyebutnya sebagai
“hukum pengakuan(rule of recognition) , karena merupakan aturan yang
menentukan mana di antara aturan dalam masyarakat yang dibuat dengan
prosedur yang sesuai hukum sehingga aturan tersebut dapat dianggap
sebagai hukum (Munir Fuady, 201039).
Perbedaan konsep hukum demikian tentunya akan menjadi latar
belakang pemahaman konstitusi pada setiap Negara yang yang tentunya
menjadikan akan berbeda satu dengan yang lain. Disini dapat dipahami
bahwa paradigma hukum (sudut pandang hukum) dalam suatau Negara
akan berimplikasi pada tatanan ideal sejuah mana Negara tersebut
membentuk konstitusinya.
Wujud konsep hukum yang demikian dapat diaktualisasikan dalam
system hukum yaitu antara sisitem hukum anglo saxon dan eropa

206
continental(civila law) diantaranya. Civil law dan anglo saxon dirasa
sangat memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami konstitusi.
Dalam sistem hukum civil law istilah “code “(undang-undang)
adalah sekumpulan klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif,
komprehensif dan sistematis yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang
disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu,
peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, di mana semua
sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan sering kali dalam
masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukumnya.
Sedangkan dalam sistem hukum common law mekipun dijumpai
penggunaan istilah “code “untuk peraturan hukum, akan tetapi makna
peraturan hukum itu tidak termuat dalam Kitab Undang-Undang yang
komprehensifitu, peraturan itu terkadang hanya bersifat terbatas baik
lingkup pengaturannya maupun wilayah berlakunya(Zainal Asikin,
2013:81).
Untuk memudahkan memahami karakter sistem hukum civil law,
maka di bawah ini akan diuraikan beberapa karakternya sebagai berikut :
1. Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh
hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab
Undang-Undang atau Perundang-undangan, sehingga undang-undang
menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat
pada preseden atau yurisprudensi.
2. Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum
publik.Meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil
law mengakui bahwa hukum privat mengatur hubungan antara warga
negara dan antarperusahaan, sedangkan hukum publik mengatur
hubungan antar warga negara dengan negara. Tetapi perbedaannya
dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam.
Karena perbedaan pada civil law kemudian muncul dua macam
hierarki pengadilan yaitu peradilan perdata dan peradilan pidana.

207
Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan
peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan
perdata, tetapi muncul pula Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
untuk penyelesaian persoalan Kepailitan, Peradilan Pajak, Mahkamah
Konstjtusi, Peradilan Militer, dan Peradilan khusus untuk tindak pidana
korupsi (TIPIKOR). Dalam sistem common law tidak ada pengadilan
tersendiri berkenaan dengan perselisihan hukum publik.6 Di dalam
sistem civil law kumpulan substansi hukum privat secara prinsipil
terdiri dan atas civil law dalam pengertian hukum perdata yang
selanjutnya dipecah ke dalam beberapa subbab atau devisi hukum
seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum
kepemilikan, hukum perjanjian atau kontrak.
3. Dalam sistem civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil law)
dengan hukum dagang (commercial law). Hukum dagang menjadi
bagian hukum perdata, tetapi diatur dalam kumpulan hukum yang
berbeda yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang tersendiri (French
Code de Conmierce/Hukum Dagang di Prancis) atau Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD di Indonesia). Dalam sistem hukum
common law tidak ada perbedaan antara hukum perdata dengan hukum
dagang dengan alasan yang sederhama bahwa hukum dagang adalah
bagian dan hukum perdata. Sebagai lawan dan hukum pidana(Zainal
Asikin, 2013:81-82).
Tradisi yang demikian sangat mewarnai dan berlaku di Indonesia.
Proses penjajahan belanda telah memberikan geseran paradigm
berkonstitusi yang dulunya berakar dari nilai-nilai budaya yang
dipengaruhi oleh sejarah masa kerajaan beralih pada system hukum yang
sifatnya tertulis.
Sistem common law memiliki tiga karakter, yaitu pertama,
yurisprudensi dianut sebagai sumber hukum yang utama, kedua dianutnya
prinsip stare decisis, dan ketiga dianutnya adversary system dalam

208
peradilan. Sistem ini berasal dan Inggris (dalam sistem ini tidak ada
sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang
dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan). Hukum inggris
karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang
terus-menerus, dengan pesat berkembang menurut garisnya sendiri, dan
pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika( Zainal
Asikin, 2013:82).

209
GLOSARIUM

Amendemen adalah sebuah proses perubahan resmi dokumen resmi sebuah


Negara yang disebuah konstitusi. Perubahan ini dapat berupa
penambahan atau juga penghapusan catatan yang salah, tidak sesuai
lagi.

Cita hukum (ideals) adalah maksud, semangat, visi, misi, dan obsesi yang
melatarbelakangi lahirnya atau dibuatnya suatu aturan hukum yang
sering kali berhubungan dengan tempat dan waktu di mana aturan
tersebut dibuat

Civil Law adalah system hukum yang mulai berkembang di Negara prancis.
Dalam system hukum ini sumber hukum hukum tertulis baik yang
berbentuk perundang-undangan atau kodisifikasi

Common Law adalah system hukum yang menekankan acuan utamanya yaitu
system hukum tidak tertulis. Berkembang di Negara inggris dan
mengacu pada acuan utama sumber hukumnya yaitu jurisprudensi

Doktrin adalah ajaran (tentang asas suatu aliran politik, keagamaan

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan.

Judisial review adalah proses pengujian undang-undang baik yang dilakukan


oleh masyarakat maupun lembaga Negara

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi


tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari
pelaku

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau


kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan
kewenangan yang diberikan

Konstitusionalisme adalah suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut


pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakantindakan
pemerintahan

Modern adalah terbaharukan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak
sesuai dengan tuntutan zaman;

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik


politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh
pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

210
Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan
diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya
memiliki Kedaulatan. Negara juga merupakan suatu wilayah yang
memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di
wilayah tersebut, dan berdiri secara independent

Norma atau kaidah adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia
dalam masyarakat.

211
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
Konstitusi Press Jakarta

Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,


Jakarta : Prenada Media

Bambang Arumanadi, Sunarto, 1990, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD


1945, Semarang : Ikip Semarang Press

Bambang Sutiyoso, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Bandung :


Citra Aditya Bakti

Dahlan Thaib DKK, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Fahrurodji, 2005, Rusia Baru Menuju Demokrasi, Pengantar Sejarah Dan


Latar Belakang Budayanya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Fx Adji Samekto, 2013, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indept Publishing

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi, Jakarta :


Rineka Cipta

J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008, penemuan hukum (judul
asli rechtvinding), Jendela Mas Pusaka-Anggota Ikapi, Bandung

Jazim Hamidi dan Malik, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi


Pustaka Publiser

Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai


Negara, Sinar Grafika, Jakarta

______________, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I,


Konstitusi Press, Jakarta

______________, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada,


Jakarta

Kaelan, 2017, inkonsistensi dan inkoherensi dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil amandemen(kajian
filosofis -Yuridis), badan pengkajian MPR RI bekerjasama dengan
Paradigma Yogyakarta

212
Komisi Yudisial, 2014, Studi Perbadingan Komisi Yudisial di berbagai
negara, diterbitkan oleh sekertariat jenderal Komisi Yudisial republik
indonesia, Jakarta

Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Raja
Grafindo Persada, Jakarta

Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dai
UUD 1945 sampai dengan perubahan UUD 1945 tahun 2002,
Kencana, Jakarta

Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia(Jakarta : Sinar Grafika,)

Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Gaya Media
Pratama, Jakarta

Moh. Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata NegaraPasca Amandemen


Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Muhammad Erwin, 2013, FilsafatHukumRefleksiKritisTerhadapHukum,


CetakanKe 3, Rajawali Jakarta

Muhammad Tahir Azhary, 2003, Negara Hukum, Jakarta : Prenada Media

Muhtar Said, 2013, Politik Hukum Tan Malaka, Thafa Media, Semarang

Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor

Ni‟matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Sadjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung

______________, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung

Sirajuddin dan Winardi, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara


Press(Kelompok Instras Publising), Malang

Soehino, 1996, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta

Solly lubis, 1993, Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit Mandar Maju,


Bandung

213
Sri Soemantri Martosoewignjo, 2005, Hukum Konstitusi Yogyakarta : Kurnia
Kalam Semesta

Sudarsono, 2003, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta

Suteki, 2013, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta

Syahrial Syarbani, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Ghalia Indonesia,


Bogor

Taufiqurrahman Syahuri, 2004, Hukum Konstitusi Proses Dan Prosedur


Perubahan UUD Di Indonesia 1945 Serta Perbandingan Dengan
Konstitusi Negara Lain Di Dunia, Ghalia Indonesia, Bogor

Zainal Asikin, 2013, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta Syahrial Syarbani, 2014, Pendidikan
Kewarganegaraan, Ghalia Indonesia, Bogor

Makalah Dan Jurnal


Abu thamrin, Perubahan Konstitusi Dan Reformasi Ketatanegaraan Indonesia,
Jurnal Cita Hukum, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol.3
No.1(2015)

Andryan M. Solly Lubis, Suhaidi, Faisal Akbar Nasution, Penguatan Fungsi


Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
NO.92/PPU-X/2012), USU Law Journal, Vol.3.No.2 ( Agustus 2015)

Bactiar, Esensi Paham Konsep Konstitualisme Dalam Konteks


Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan, Jurnal Surya Kencana Dua:
Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 6 No.1, Maret 2016

Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan


Keindonesiaan, Jurnal Kalimah Vol. 13, No. 1, Maret 2015

Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas


Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012

Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, Dan Konstitusi, makalah ditulis pada


saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

Sutrisno, Peran Ideologi Pancasila Dalam Perkambangan Konstitusi Dan


Sistem Hukum Dindonesia, JPK: Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 1, Juli 2016

214
Taufiqurrohman S(Lektor Kepala HTN Universitas Bengkulu), Negara
Konstitusional Bukan Sekedar Memiliki Konstitusi, makalah
disampaikan pada saat menjadi Biro Rekrutmen, Advokasi Dan
Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial Republik Indonesia

Weldy Agiwinata, Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Batu Uji Dalam


Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi, jurnal Yuridika
Universitas Airlangga : Volume 29 No 2, Mei-Agustus 2014

215
"Di zaman yang masyarakatnya mulai gagap, acuh dan anti konstitusi, buku
ini seperti menjadi oase di tengah-tengah gurun pasir yang gersang. Selamat
membaca.

(Muhtar Said, Direktur Eksekutif Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum)

"Kajian-kajian Konstitusi yang dihadirkan dalam bentuk buku di Indonesia


tergolong tidak banyak, meski bidang ini sangat menarik dan penting
dijelaskan dari pelbagai perspektif (politik, ekonomi, sosial budaya dan tentu
saja hukum itu sendiri). Buku karya Sdr. Dr. Muhammad Junaidi ini cukup
komprehensif mengupas konstitusi; mulai dari sejarah, perkembangan, hingga
perubahan, yang tentu saja akan melengkapi buku-buku serupa yang relatif
sedikit.

(Dr. Suparman Marzuki, SH., MSi, Sketua Komisi Yudisial 2013-2015)

"Kajian konstitusi merupakan kajian inti dalam ilmu hukum, terutama Hukum
Tata Negara. Dua dasawarsa terakhir, terutama seputaran perubahan
Konstitusi Indonesia UUD 1945 sepanjang tahun 1999-2002, minat kajian
tentang konstitusi mengalami perkembangan pesat, apakah menggunakan
perspektif hukum maupun perspektif politik. Munculnya konsep dan lembaga
baru yang dibentuk oleh konstitusi hasil amandemen, seperti konsep pemilu,
partai politik, Mahkamah Konstitusi untuk menyebut beberapa, serta
perkembangan praktek ketatanegaraan baru yang mendapat legitimasi baru
dalam konstitusi, menjadikan kajian konstitusi sebagai daya tarik baru.
Sebagai konsekuensinya, kajian konstitusi kemudian melahirkan sarjana-
sarjana baru dan ahli-ahli baru yang relatif muda usia dan berpandangan
progresif, tampil mengumandangkan gagasan baru dan segar dalam ranah
kajian konstitusi. Pada titik inilah kehadiran buku ini menjadi relevan. Buku
ini berada pada ranah penjelajahan teoritik dari berbagai aspek konstitusi,
mulai dari pembentukan, perubahan, penegakan hukum dan perbandingan
konstitusi. Buku ini layak menjadi pegangan bagi pengkaji konstitusi,
terutama di kampus-kampus hukum yang menempatkan Hukum Konstitusi
sebagai mata kuliah wajib Bagian Hukum Tata Negara, dan bahkan di kampus
hukum yang telah menjadikan Hukum Konstitusi sebagai mata kuliah wajib
fakultas. Buku ini bagus dan lengkap, namun akan lebih menarik bila sang
penulis pada bagian awal buku ini memberikan semacam panduan
metodologis bagaimana metode kajian yang berkembang untuk mengkaji
konstitusi, atau ragam metode penafsiran konstitusi. Selamat berselancar di
dunia konstitusi dari awal hingga akhir."

Hasyim Asy'ari, S.H., M.Si., Ph.D. Dosen Fakultas Hukum, Universitas


Diponegoro (Undip) Semarang, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia (KPU RI).

216

Anda mungkin juga menyukai