RAJAWALI PERS
Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Junaidi, Muhammad
HUKUM KONSTITUSI: Pandangan dan Gagasan Moderenisasi Negara Hukum/
Muhammad Junaidi—Ed. 1,—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017.
xxx, xxx hlm., 21 cm
Bibliografi: hlm. xxx
ISBN 978-602-425-xxx-xx
1. xxxxxx I. Judul
xxx.xxx
2017.xxxx RAJ
Dr. Muhammad Junaidi, S.H.I., M.H.
HUKUM KONSTITUSI
Pandangan dan Gagasan Moderenisasi Negara Hukum
Cetakan ke-1, xxxx 2017
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover: octiviena@gmail.com
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset
PT RajaGrafindo PersadA
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243 Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok Soragan Indah
Blok A-1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan
Blok. A No. 9, Telp. (031) 8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 Rt. 78, Kel. Demang
Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Pekanbaru-28294, Perum. De’Diandra Land Blok. C1/01 Jl. Kartama, Marpoyan
Damai, Telp. (0761) 65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence
Kec. Medan Johor, Telp. (061) 7871546. Makassar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok A 14/3, Komp. Perum. Bumi
Permata Hijau, Telp. (0411) 861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 05, Telp. (0511) 3352060. Bali, Jl.
Imam Bonjol g. 100/V No. 5B, Denpasar, Bali, Telp. (0361) 8607995, Bandar Lampung-35115, Perum. Citra
Persada Jl. H. Agus Salim Kel. Kelapa Tiga Blok B No. 12A Tanjung Karang Pusat, Telp. 082181950029.
HUKUM KONSTITUSI
PANDANGAN DAN GAGASAN MODERENISASI NEGARA
HUKUM
PENGANTAR PENULIS
Tertanda
Penulis
ii
KATA PENGANTAR
Dr. Muhanto, AQ
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
KONSTITUSI SEBUAH PENGANTAR
Tujuan Intruksional
1. Dalam bab ini diharapkan dapat menjadi instrument dalam mengantarkan
pemahaman hal-hal yang barkaitan dengan konstitusi utamanya pengertian
konstitusi
2. Diharapkan dapat memberikan pemahaman tujuan dan fungsi atas
keberadaan konstitusi
3. Diharapkan dapat memberikan pemahaman terkait prinsip-prinsip atau
dasar-dasar dalam kajian konstitusi.
d. Pengertian Konstitusi
1
naskah konstitusi (in einer Urkunde auf einem Blatt Papier
alleinstitutionen und Regierings prinzipien des landes) (Jimly Asshidiqie,
2006:141).
2
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku
universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di
bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-
peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Atas dasar logika demikian, maka Mahkamah Agung Amerika Serikat
menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan
menguji materi peraturan produk legislative (judicial review) terhadap
materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit
memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung (The
Supreme Court)( Jimly Asshidiqie, 2006 :118-119).
Tidak jauh beda dengan apa yang dijabarkan di atas, Politeia atau
contituti menurut istilah Cicero, pada pertengahan abad 13 di Yunani,
konstitusi juga disifatkan sebagai Jus publicum regni (aturan yang
terpublikasi yang mengatur urusan publik). Dalam maknanya sebagai jus,
maka substansi konstitusi, dan sananya atau awalnya tidak pemah
mewakili atau melembagakan ide-ide murahan. Sesuai maknanya pula,
konstitusi sebagai suatu dokumen, ,nterupakan rekaman atas ide-ide,
dengan kualifikasi hebat untuk dijadikan patokan pengaturan dalam
penyelenggaraan negara. Ide-ide yang direkam atau dibentuk
“constitutum”constitUe” inilah yang disebut juga sebagai konstitusi. Jadi
Konstitusi, dapat diwujudkan ke dalam satu dokumen. Karena itulah, pada
perkembangan hukum tata negara kemudian hari, dikenal dengan istilah
3
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Oleh para ahli, konstitusi
tertulis disebut Undang-undang Dasar(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:4).
Hal ini juga tidak jauh beda dengan adanya peristilahan dalam
konstitusi kita yang pertama kali disebuat dengan istilah Piagam Jakarta.
Disebut “piagam” (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum
warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka,
mengatur kewajiban-kewajiban kernasyarakatan semua golongan,
menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan
prinsip-prinsipnya untuk rnenghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan
yang tidak baik. Disebut “konstitusi” (constitution), karena di dalamnya
4
terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-
dasar politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan
pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk madinah yang majemuk
tersebut(Dahlan Thaib DKK, 2008:43-44).
5
derajat legitimasinya masih tergantung kepada pengakuan pihak-pihak
lain(Jimly Asshidiqie, 2006:20).
6
konstitusi secara umum. Korelasi antara Negara hukum sebagai bentuk
dari Negara konstitusi mengingat dalam negara hukum, hukumlah yang
memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Sesungguhnya, yang memimpin dalam penye1nggaraan negara adalah
hukum itu sendiri, sesuai dengan prinsip „the Rule of Law, And not of
Man‟, yang sejalan dengan pengertian „n omocratie‟, yaitu kekuasaan yang
dijalankan oleh hukum, „nomos (Ni‟matul Huda, 2015:88).
7
naclitwächterstaat (negara penjaga malam), atau meminjam istilah Miriam
Budiarjo, negara hukum klasik(Majda El Muhtaj, 2005:21).
Dalam hal ini yang perlu dipahami bahwa konsep Negara hukum
sebagai bentuk wujud konstitusi tidak bisa disamakan pada setiap Negara.
Maksudnya setiap Negara memiliki karakteristik Negara hukum yang
berbeda-beda sesuai ideologinya masing-masing. Hal tersebut tentunya
berbeda dengan konsep rechtstaat yang bersumber dan rasio manusia,
liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, pemisahan
negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsure-
unsur utama menurut F. J. Stahl terdapat 4 (empat) unsur dan negara
hukum, yakni: (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (2) adanya
pembagian kekuasaan; (3) pemerintah harusah berdasarkan peraturan-
peraturan hukum; dan (4) adanya peradilan administrasi. Sementara
menurut Scheltema unsur-unsurnya terdiri dan: (1) Kepastian Hukum; (2)
Persamaan; (3) demokrasi dan; (4) pemerintahan yang melayani
kepentingan umum(Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).
Oleh karena itu, dalam ide dan realitas politik serta hukum di
Indonesia, Pancasila tidak mungkin tergantikan sebagai dasar dan ideologi
negara yang dapat menampung, meramu, dan memproduk solusi dengan
kearifan dan toleransi yang tinggi atas berbagai aliran dan kepentingan di
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk(Moh. Mahfud MD, 2013:13).
8
Hal yang penting adalah konstitusi bukanlah undang-undang biasa.
Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan
yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang
terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat
dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itu lah yang
berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it
prevails and the ordinary law must give way)(Jimly Asshidiqie, 2006:18).
1) Hukum tata Negara itu adalah ilmu yang termasuk salah satu cabang
ilmu hukum, yaitu hukum kenegaraan yang berada di ranah hukum
publik;
3) Hukum tata Negara tidak hanya merupakan Recht atau hukum dan
apalagi hanya sebagai Wet atau norma hukum tertulis, tetapi juga
adalah lehre atau teori, sehingga pengertiannya mencakup apa yang
disebut sebagai erfassungsrecIit (hukum konstitusi) dan sekaligus
verfassungslehre (teori konstitusi); dan
4) Hukum tata Negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang
mempelajari negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun yang
mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging)(
Sirajuddin dan Winardi, 2015: 5).
9
Dalam kajian Undang-Undang Dasar yang dikenal sebagai Hukum
Tata Negara, bentuk konstitusi yag diantaranya adalah Undang-Undang
Dasar berbeda degan peraturan di bawahnya. UUD adalah peraturan
perundang-undangan yang masih berupa himpunan asas yang belum
menjadi norma yang ada sanksi hukumnya. Pelanggaran atas UUD hanya
dapat dijatuhi sanksi politik, kecuali Ianggaran atas isi UUD yang telah
dijadikan UU (norma) yang disertai ancaman sanksi hukum yang jelas.
Dengan kata lain, isi UUD baru bisa menjadi norma yang disertai sanksi
hukum jika sudah diturunkan (derivasi) ke dalam UU dan UU inilah yang
harus dimasukkan di dalam Lembaran Negara agar berlaku asasfictie
bahwa setiap orang dianggap tahu pemberlakuan UU tersebut dengan
semua ancaman sanksi hukumnya. Oleh karena UUD adalah peraturan
perundang-undangan yang masih merupakan himpunan asas-asas yang
tidak memuat ancaman sanksi hukum bagi pelanggarnya, melainkan hanya
dapat ditegakkan dengan sanksi politik, maka UUD tidak harus
dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan kesahannya tergantung pada
prosedur penetapan atau perubahan yang diatur di dalam UUD itu sendiri.
Untuk memperjelas ini dapat ambil contoh tentang semua Ketetapan (Tap)
MPR/MPRS yang selama puluhan tahun berlaku sebagai peraturan
perundang-undangan pada derajat kedua di bawah UUD Dalam kurun
waktu 1960 sampai dengan tahun 2002, MPR/MPRS telah mengeluarkan
sebanyak 139 Ketetapan yang semuanya berkedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan di atas UU, namun semua Ketetapan MPR/MPRS itu
tidak pernah dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan tak pernah ada
yang mempersoalkan. Mengapa?Karena semua Ketetapan MPR/MPRS itu
bukan berupa norma yang disertai ancaman sanksi hukum. Peraturan
perundang-undangan yang belum berupa norma yang disertai ancaman
sanksi hukum tak perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara(Moh.
Mahfud MD, 2013:45-46).
10
e. Tujuan dan Fungsi Konstitusi
11
Apa yang disampaikan james Madison di atas memberikan kata
kunci bahwa secara tidak langsung Negara memiliki porsi untuk bertindak
dan porsi yang ada dalam bertindak tersebut tidak bisa dikatakan semua
legal dan sah. Keabsahan suatu tindakan kekuasaan dalam Negara harus
dibatasi oleh element pengontrol kekuasaan yang ada tersebut yang ada
dalam konstitusi.
12
kekuasaan maupun fungsi yang dijalankan oleh masyarakat pada
umumnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disamping itu konstitusi yang dianggap sebagai cita ideal sebuah Negara,
maka konstitusi banyak diartikan menjadi arah penentu sutau Negara
dalam mewujudkan cita-citanya disamping juga konstitusi dianggap
sebagai cita-cita itu sendiri.
13
attaining equal status with established states. The practice of
constitutionalism, however, is much less frequent, for “ the claim that a
constitution exists is not a guarantee that it really does. In fact, one of the
most important, and difficult, evaluations to make about a government is
whether or not it has working constitution.( Majda El Muhtaj, 2005:31)
Fungsi tersebut secara praktis, juga dapat kita tinjau dari sebuah
konsepsi dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
peyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenag-wenang. Caranya yang
efektif adalah dengan membagi kekuasaan. Konstitusi merupakan
perwujudan dari hukum yang tertinggi (supremasi hukum) yang harus
ditaati oleh rakyat dan penguasanya. Di negara-negara Komunis, undang-
undang mempunyai fungsi ganda, yaitu mencerminkan kemenangan-
kemenangan yang telah dicapai, dan undang-undang dasar memberikan
rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan
dalam tahap perkembangan berikutnya. Jadi, undang-undang dasar
mengikuti perkembangan kearah terbentuknya masyarakat komunis dan
diganti setiap kali dicapainya suatu tahap yang lebih maju(Syahrial
Syarbani, 2014:38).
14
seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, maka yang dimaksud bukanlah
semata-mata penyusun, pengesahan, dan penetapan UUD sebagai suatu
proses formal perundang-undangan, melainkan yang lebih dipentingkan
lagi, bahwa UUD 1945 yang disusun, disahkan, dan ditetapkan itu,
maknanya, isinya, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam
merupakan hasil perjuangan dan milik seluruh hansa dan rakyat
Indonesia(Dahlan Thaib DKK, 2008:97).
15
samping untuk mempermudah proses pembuktian karena asal muasal juri
dalam sejarah hukum merupakan para tetangga pelaku kejahatan yang
kemungkinan besar sangat mengetahui tabiat si pelaku, bahkan mungkin
mereka melihatnya ketika dilakukan perbuatan jahat tersebut. Sedangkan
di Indonesia, Pancasila sering disebut-sebut sebagai cita hukum
Indonesia(Munir Fuady, 2010:72).
16
lain. Suatu negara disebut negara demokrasi jika berlaku prinsip demokrasi
di dalam oraganisasinya dan suatu negara disebut negara otokrasi apabila
berlaku prinsip otokrasi di dalam organisasinya, demikian Hans
Kelsen(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:24).
17
pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas
profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan
kepercayaan.
Cita hukum ideal bagi hakim atau institusi yudisial adalah bentuk
lain dari kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. tentunya akan
sangat berbeda dengan cita hukum bagi anggota DPR dalam menjalankan
fungsi pengawasan, penganggaran dan pembuatan perundang-undangan.
Perbedaan ini merupakan wujud karakteristik dari institusi-institusi
tersebut yang berbeda.
18
pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state organ. Menurut
Hans Kelsen, siapa pun yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan
oleh tatanan hukum (legal order) merupakan sebuah organ. Artinya, organ
Negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang
berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh
hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat
menciptakan norma (norm creating) dan atau bersifat menjalankan norma
(norm applying)( Sirajuddin dan Winardi, 2015:174).
19
BAB II
SEJARAH KONTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Diharapkan melalui pemahaman sejarah dapat memhami kedudukan
konstitusi dari sebuah Negara.
2. Diharapkan melalui pembahasan sejarah konstitusi dapat memhamai kapan
konstitusi dalam sebuah Negara berlaku
20
sejarah masa lalu yang senantiasa formal dan alamiah untuk ditegakkan
sebagai institusi yang akan menjadikan umat manusia terus berkembang
pada koridor yang diharapkan. Dalam konstitusi juga tidak jauh berbeda.
Adanya akar sejarah sebuah konstitusi dalam pembentukan hukum
menjadi salah satu Negara yang terus berkembang dan bergerak.
21
Peran hakim dalam penemuan hukum sangat kecil. Padahal, karakter kasus
terus-menerus berkembang dan sesungguhnya tidak bisa didekati secara
deduktif saja. Sesungguhnya, tradisi hukum common law sangat memberi
ruang terciptanya keadilan yang kontekstual. Lebih lanjut, cara berhukum
yang memadukan tradisi hukum civil law dan common law secara
seimbang akan memberi manfaat bagi terciptanya keadilan substantif.
Oleh karena itu, bagi tujuan keadilan, upaya-upaya pemaduan tradisi
hukum civil law dan common law dalam tradisi hukum di Indonesia
seharusnya mulai dilakukan(Fx Adji Samekto, 2013:5).
22
terlepas dari upaya mereorientasikan apa yang diinginkan oleh pendiri
negar apada masa lampau, sebagaimana yang ada di Indonesia dengan
mempertimbangkan pancasila sebagai orientasi bangsa apa-apa yang ingin
dituju.
23
dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia Yang merdeka.
bersahabat, tertib dan damai.
e. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil
rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan
yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali
dan kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang
terpendam sejak berabad-abad yang lain. melainkan karena Pancasila
itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah
perjuangan bangsa(Solly lubis, 1993:80-81).
Orientasi yang demikian sangat dipahami oleh jelas pada masa-
masa Negara Indonesia sebagai bangsa yang baru. Hal tersebut seperti
dalam penelitian Pompe yang sejalan dengan hasil studi yang pernah
dilakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah
Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan
dengan baik melalui pimpinan yang tegas dan penuh integritas dalam
menegakkan hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum JaksaAgung,
Soeprapto, yang
tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, kepengadilan karena tindak
pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang
jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak
pidana(Moh. Mahfud MD, 2013:170).
Berbeda dengan kondisi yang sekarang dimana memaknai
pancasila dan Undang-Undang Dasar dilepaskan dari proses sejarah.
Disini, problema yang sifatnya jangka panjang dan lebih mendasar harus
diselesaikan melalui solusi paradigmatik yakni pergeseran orientasi
paradigma atas konsepsi negara hukum dan rechtsstaat menjadi the rule of
law seperti yang banyak dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon.
Dengan paradigma ini, maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu
melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta
mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-
24
nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat
dalam setiap penyelesaian kasus hukum. Perubahan paradigma ini harus
diartikan pula sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan dan moral
sebagai sukma hukum yang akan dibangun untuk masa depan negara
hukum Indonesia. Untuk melakukan penggeseran paradigma itu,
kemungkinannya pada saat ini sudah lebih terbuka, sebab UUD 1945 hasil
amandemen tidak lagi secara eksplisit menyebut “rechtsstaat” sebagai
acuan negara hukum Indonesia. Istilah rechtsstaat yang dulu secara resmi
terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945 sekarang sudah tidak
dicantumkan lagi.Setelab UUD 1945 mengalami empat kali perubahan
(amandemen), Penjelasan UUD tersebut dihapuskan dan tidak lagi menjadi
bagian dan UUD 1945. Sebagai gantinya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
digariskan tentang negara hukum anutan Indonesia dengan bunyi ayat
“Negara Indonesia adalah negara hukum(Moh. Mahfud MD, 2013:186).
25
negara, pemerintahan, dan perlindungan hak-hak rakyat. Tidak mungkin
sebuah konstitusi dapat lahir tanpa perdebatan dan kontroversi, kecuali
dalam keadaan tidak normal di mana sebuah konstitusi ditetapkan secara
sepihak oleh suatu kekuatan penguasa. Mutu sebuah konstitusi justru
menjadi tinggi jika pembuatannya melalui perdebatan-perdebatan yang
tajam. Hanya saja yang perlu ditekankan di sini, kita harus mempunyai
konstitusional, yakni sikap untuk tunduk dan melaksanakan konstitusi
dengan sebaik-baiknya jika sebuah resultante atau ikatan politik telah
disepakati melalui prosedur yang sah(Mahfud MD, 2010:114-115).
26
konstitusi tidak tertulis, namun justru sebenarnya negara mi tidak
mempunyai konstitusi tertulis. Oleh karena kebanyakan negara, termasuk
Inggris, tidak memiliki sistem ketatanegaraan yang diwujudkan semata-
mata dalam peraturan-peraturan tertulis atau semata-mata dalam peraturan-
peraturan tidak tertulis. Peraturan hukum maupun non-hukum dan tertulis
maupun tidak tertulis, semuanya dipadukan untuk membentuk suatu sistem
ketatanegaraan(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:97).
27
kongkrit perwujudan dari keteraturan masyarakat yang menjadi akar
penyesuaian pertama kali.
28
Hal inilah yang menjadi dasar dari terbentuknya hukum yang
tentunya tidak bersifat konstan. Sebagaimana pandangan Oliver Wendel
Holmes yang memperperkuat oleh Jerome Frank (1889-1957) yang
menyatakan bahwa hukum tidak bisa disamakan seperti aturan-aturan alam
yang bersifat konstan. Aturan-aturan alam seperti itu berbasis logika,
sedangkan hukum tidak seperti itu. Hukum sebagai aturan yang diharapkan
dapat mengatur kehidupan manusia tentu banyak dipengaruhi faktor-faktor
lain dalarn pembentukannya. Pembenaran terhadap legal realisme bagi
penulis dapat dilandaskan pada argumen bahwa, faktor-faktor yang ada di
dalam kenyataan sesungguhnya sesuatu yang kompleks yang tidak bisa
dilogika secara deduktif berbasis ajaran-ajaran logika ilmu pengetahuan
alam yang ketat. Sesuatu yang berbasis fakta tidak bisa dipungkiri, dan
tidak selalu harus dipersalahkan berbasis teori(Fx Adji Samekto, 2013:68).
29
sendiri tentang pembagian kekuasaan di antara para hakim serdiri tentang
pembagian kekuasaan di antara hakim, legislator, eksekutip dan
seterusnya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa dengan mengemukakan
komponen strukturalnya ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana
sistem hukum itu membenihkan pelayanan terhadap penggarapan bahan-
bahan hukum secara teratur(Sadjipto Rahardjo, 1980:84).
30
orang-orang kaya. Di sini pengaruh orang-orang tersebut dengan mudah
akan memasuki pikiran para hakim melalui percakapan-percakapan
informal yang dilakukan di situ(Sadjipto Rahardjo, 1980:64).
31
Disamping itu yang perlu ditegaskan adalah di dalam gasasan
konstitusinalisme, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya
merupakan suatu dakumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan
(anatomy of a power relationship), seperti antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Akan tetapi dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi atau
undang-undang dasar dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai
fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan di satu pihak
dengan melakukan perimbangan kekuasaan antara eksekutif, parlemen dan
yudikatif. Sementara di pihak lain menjamin hak-hak asasi dan hak-hak
politik dari warganegaranya. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan
dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintah, sesuai dengan dalil: “Government by laws, not by men”
Negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional States
(negara konstitusional). Sementara Adnan Buyung Nasution dalam
desertasinya, mengatakan bahwa yang dimaksud negara konstitusional
adalah pertama-tama ia merupakan negara yang mengakui dan menjamin
hak-hak warga negara, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya
secara hukum. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Muhammad Yamin,
yang mengatakan bahwa dalam pengertian konstitusionalisme harus
dipenuhi persyaratan: (1) bahwa pengakuan dan deklarasi hak-hak asasi
manusia merupakan persyaratan mutlak bagi setiap deklaraasi
kemerdekaan suatu negara; (2) kekuasaan rakyat atau kedaulatan harus
diselaraskan dengan keadilan; (3) kedaulatan rakyat dan kesejahteraan
rakyat tidak hanya perlu dicatat dalam istilah yang jelas, tetapi harus
diwujudkan pula dalam pasal-pasal yang jelas di dalam undang-undang
dasar(Taufiqurrohman S, Negara Konstitusional: 9-10).
32
Kaidah hak asasi manusia sendiri paling tidak menjadi indikator utama
dalam keberlakuan konstitusi.
Table 2.1
Pasal 28 Undang-Undang Dasar
No Pasal Isi Pasal
1 Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya
2 Pasal 28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3 Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
33
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
4 Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
5 Pasal 28E (1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
keper-cayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
(3)Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
6 Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
7 Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
8 Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
34
keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
9 Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemer-dekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
10 Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Prinsip dasar yang tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar
tersebut merupakan prinsip nyata keberadaan Negara dalam mmeberikan
35
jaminan terhadap hak individu maupun kelompok baik. Tentunya hal ini
juga berlaku dalam konstitusi setiap Negara karena menjadi komitment
bahwa hak asasi manusia menjadi bagain yang tidak bisa ditinggalkan
dalam muatan konstitusi.
36
BAB III
TERBENTUKNYA KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Dapat memberikan pemahaman terkait proses terbentuknya konstitusi baik
secara teoritis maupun praktis
2. Memberikan pemahaman posisi norma sebagai pembentuk konstitusi
dalam sebuah Negara
3. Memberikan pemahaman alasan ideology sebagai pembentuk kaidah-
kaidah dasar dalam konstitusi
Pada sisi lain selain mengartikan arti sosiologis, dalam hal ini
mengingat Ilmu hukum mempelajari hal-hal yang bersifat meta yuridis
yang mendasari keberlakuan suatu norma hukum. Ilmu hukum juga
mempelajari asal-muasal (sumber) dan keberadaan sistem hukum modern.
Ada keterkaitan erat antara pengaruh ajaran-ajaran era Imperium Romawi
dengan keberadaan sistem hukum modern. Imperium Romawi telah
menguasai hampir seluruh daratan Eropa sejak 27 Sebelum Masehi hingga
476 Masehi (untuk Kekaisaran Romawi Barat) dan hingga 1453 (untuk
Kekaisaran Romawi Timur). Begitu lamanya cengkeraman Imperium
Romawi atas daratan Eropa menyebabkan pengaruh tradisi budaya
maupun hukum-hukum dan Imperium Romawi menjadi sangat mengakar
di daratan Eropa(Fx Adji Samekto, 2013:10).
37
Hukum memiliki makna sosial disamping makna yuridis-normatif
yang melekat. Makna sosial dan hukum dapat memberikan gambaran
kepada kita bagaimana konsep yuridis normatifdijalankan di dalam
masyarakat. Berbagai doktrin yang lazim diterima sebagai sesuatu “yang
baik-baik” begitu sajajuga dapat mempunyai makna sosial yang tidak
persis sama seperti dipikirkan orang. Dalam doktrin ROL misalnya,
diterima asas “Supremacy of Law” dan kita menerima begitu saja asas
tersebut sebagai sesuatu yang memang baik, adil dan sebagainya. Tetapi
makna sosial dan asas seperti itu dapat menjadi lain apabila diterapkan
dalam kenyataan. Dalam konteks kenyataan kita akan menghadapi para
justisiabel yang berbeda dalam kemampuan ekonominya, dan karena itu
tidak semua orang dapat menikmati bekerjanya asas yang tampak netral
atau non diskriminatif tersebut dengan sama baiknya. Pengamatan
sosiologis menunjukkan, bahwa dalam dunia hukum tidak hanya terjadi
pergumulan yuridis, tetapi juga ekonomi dengan segala akibat dan
hasilnya. Marc Galanter misalnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa
dengan kekuatan ekonomi (uang), maka seseorang dapat memenangkan
suatu perkara (“the haves come out ahead”). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, doktrin “supremacy of law” dapat mempunyai makna
sosial yang lain, yang bahkan dapat menimbulkan ketidakadi1an atau efek
diskriminatif. Kebenaran pemyataan-pernyataan tersebut di muka, dapat
terbukti dan praktik-praktik hukum di Indonesia. Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum. Konsepsi negara berdasar atas ukum Indonesia
memiliki ciri-ciri (yang dioper dan Rule of Law):
38
Hukum yang dimaksudnya dalam hal ini adalah “norm”. kualitas
hukum memang sejatinya tidak bisa dilepasakan oleh pembentukan
masyarakat. Oleh karena itulah maka konsepsi dalam konstitusi kita yaitu
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
menempatkan dasar Negara hukum pasal 1 ayat 3 keberaanya di dahului
pasal 1 ayah 2 yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan dijalankan sesuai
dengan UUD.
39
3. Menurut Aif Ross (Denmark), hukum adalah seperangkat ide normatif
yang abstrak yang berfungsi sebagai model interpretasi atas fenomena
hukum dalam kenyataannya.
40
utamanya sebagaimana di sebut Soetandyo Wignyosoebroto, adalah
bermotivasi mengatur (to regulate). Norma hukum lalu menjadi pembenar
atau penolak perilaku, atau dengan kata lain, norma hukum digunakan
untuk melakukan justifikasi apakah suatu fakta memiliki dasar legitimasi
atau tidak. Berdasarkan hal itu, maka pola berpikir yang digunakan untuk
melakukan penelitiannya adalah silogisme deduktif. Akan tetapi
perkembangan keilmuan tidak pernah berhenti. Pencarian kebenaran
secara terus-menerus dalam dunia ilmu adalah keniscayaan. Demikianlah,
perkembangan pemikiran dalam (ilmu) hukum tidak berhenti pada
pemikiran tersebut di atas saja(Fx Adji Samekto, 2013:56-57).
41
Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-undang formal) dan Kelompok IV
: Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan ortonom)
(Sirajuddin dan Winardi, 2015:13).
42
Sebagai uraian pengaruh konsteliasi politik dalam pembentukan
konstitusi dalam suatu Negara. Kiranya dapat dilihat dari perubahan
konstitusi di Indonesia melalui uraian, sebagai berikut :
43
Mukthie Fadjar menegaskan fungsi partai politik secara umum
sebagai berikut:
44
sebuah ajaran juga bisa dijalankan dengan mudah dalam keberlakuan
norma dibawah norma konstitusi.
3. Negara berhak menentukan mata uang yang berlaku dan beh ak pula
untuk memungut pajak.
45
Dalam contoh lain bentuk kekuasaan presiden dalam masa
jabatannya dirubah mengingat kondisi demokrasi politik pasca reformasi
juga berubah. Hal ini dapat dimuat dalam Perubahan I (pertama) 19
Oktober 1999 yang sebelumnya berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali, yang kemudian dirubah menjadi Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan. Perubahan dalam amandement pertama berdampak pada tatanan
system politik dan pemerintahan secara keseluruhan.
46
Adanya penggarisan bahwa Tap MPR itu bukan merupakan
peraturan rundang-undangan dapat dengan mudah digali dan dipahami dari
dua pasal di dalam UUD yakni Pasal 24 C ayat (1) dan Aturan Tambahan
Pasal I serta Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004:
47
mengeluarkan Tap MPR yang (secara populer) dikenal sebagai Tap
Sapujagat yakni Tap Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapam MPRS dan Ketetapan
MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Tap ini
mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke
dalam enam kelompok status baru, yaitu: (1) yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku sebanyak 8 Tap (2) yang dinyatakan tetap
berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap, (3) yang dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
sebanyak 8 Tap, (4) yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya UU sebanyak 11 Tap, (5) yang dinyatakan masih berlaku
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR
hasil Pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap, (6) yang dinyatakan tidak
perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat final
(einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak
104 Tap(Moh. Mahfud MD, 2013:33-34).
48
kedudukan, peranan, kekurangan, dan macam-macam kualitas lain yang
melekat pada hukum.6 Dan segi asal usul hukum, timbulnya hukum
sebagai tingkah laku anggota-anggota masyarakat adalah karena didorong
oleh motif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Paul
Vinogradoff, hukum tumbuh dari praktekpraktek yang dijalankan anggota
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan antara yang seorang
dengan orang lain. Praktek-praktek itu tidak berpedoman pada norma
norma dan suatu sistem hukum tertentu, tetapi didasarkan pada
pertimbangan memberi dan menerima dalam hubungan yang diukur
dengan pertimbangan kepatutan atau kepantasan. based on a give and take
consideration in reasonable social intercourse. Masih menurut
Vinogradoff, tidak ada lembaga hukum yang timbulnya disebabkan karena
dimulai dengan pengaturan oleh hukum atau karena terjadinya
konflik(Suteki, 2013:83).
49
bersifat dasar, misalnya yang mengatakan, bahwa di suatu negara,
kehidupan perekonomian didasarkan pada azas kebebasan berusaha,
sedang negara lain didasarkan pada azas kekeluargaan atau
kebersamaan(Sadjipto Rahardjo, 1982:47-48).
50
hanya akan berhubungan satu sama lain apabila disitu ada suatu
kepentingan(Sadjipto Rahardjo, 1982:79-80).
51
meskipun pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan keputusan
presiden sebagai pejabat administrasi Negara tertinggi.
52
dibentuk atas inisiatif menteri sebagai pejabat public, berdasarkan
kebutuhan berkenaan dengan tugas-tugas pemerintah dan
pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Menteri dapat saja membentuk badan, dewan. Lembaga, ataupun
panitia-panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik (
Sirajuddin dan Winardi, 2015:178-180).
53
pada pembuatan kebijakan pembangunan dan pemikir-pemikir neo-liberal
menekankan pada peran mekanisme pasar dalam pertumbuhan
ekonomi(Fx Adji Samekto, 2013:92).
54
diselesaikan; (4) Budaya bangsa hidup atas dasar kepribadian dalam
kebudayaan, dan pemerintah bersama masyarakat menyelenggarakan
langkah ke arah preservasi, inovasi, dan kalau perlu proyeksi terhadap
budaya sendiri; dan (5) Tertib merupakan ideologi praktis yang lebih
merupakan langkah positif daripada negatif(Marilang,Jurnal Konstitusi
:261-262)
55
bidang ekonomi melalui badan usaha milik negara (state owned
corporations). Sifat dinamis tersebut berkaitan dengan usaha yang
terus menerus dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dan hidup
berdampingan (co-existence) antara peran sektor swasta dan sektor
publik.
d. Fungsi negara sebagai umpire (wasit, pengawas). Dalam kedudukan
demikian, negara dituntut untuk merumuskan standarstandar yang adil
mengenai kinerja sektor-sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi,
di antaranya mengenai perusahaan negara. Fungsi terakhir ini diakui
sangat sulit, karena di satu pihak negara melalui perusahaan negara
selaku pengusaha, tetapi di lain pihak ditentukan untuk menilai secara
adil kinerjanya sendiri di banding dengan sektor swasta yang lainnya
(Marilang, Jurnal Konstitusi :277-278).
56
sebagaimana yang disimpulkan oleh Schacht dalam Encyclopedia
of the Social Science bahwa Islam tidak hanya sebuah agama, namun juga
merupakan ideologi politik dan hukum yang telah direalisasikan dalam
sebuah kekuasaan terbesar dan meluas di berbagai negara sampai pada hari
ini. Islam menunjukan seluruh kebudayaan yang meliputi agama dan
negara yang bersumber pada konsep negara dan ajaran Islam yang murni
(Cecep Supriadi, Jurnal Kalimah:207)
57
sudah menjadi ketentuan bahwa hukum, penerapan dan pelaksanaannya
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai pancasila. Namun, dalam
penerapannya pancasila menempatkan posisinya di atas konstitusi.
Penerapan nilai-nilai pancasila dalam konstitusi dapat dilakukan malalu
lembaga-lembaga pemerintahan sebagai penjabaran dari konstitusi.
Lembagalembaga tersebut tentu sudah mencakup dari bidang sosial,
ekonomi, lingkungan atau hukum. Sebagai bagian dari kebutuhan dan
tuntutan reformasi, telah lahir kelembagaan negara baru untuk memberi
ruang bagi penyelesaian berbagai masalah kemasyarakatan, mencakup
sosial, ekonomi, lingkungan atau hukum. Keadaan ini ditujukan bukan saja
untuk memperkuat fungsi lembaga kenegaraan yang sudah ada, tetapi juga
untuk mengkoreksi pengalaman bad practice yang merugikan masyarakat.
Hasil kajian Hakim (2010), lembaga negara dapat dikelompokkan dalam
sepuluh kategori. Kategori tertinggi adalah yang dibentuk dan disebutkan
kewenangannya di dalam UUD 45 (Sutrisno, Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan:45-46).
58
norma sesuai dengan absolutism kekuasaan sehingga konstitusi tidak lagi
menjadi dominasi dalam sebuah Negara hukum. Namun tidak dapat
dikesampingkan kekuasaan tetap dibutuhkan.
59
monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius. Tetapi para
penganut hukum alam lalu melepaskan unsur-unsur teologis atau unsur
Ke-Tuhanan, yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lagi diturunkan dari
Tuhan, akan tetapi dan alam kodrat, dan berdasarkan atas rasio. Maka
kekuasaan penguasa itu bukan lagi diturunkan dan Tuhan yang
mengakibatkan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak, tetapi kekuasaan
itu didasarkan atas hukum alam, maka dengan demikian kekuasaan
penguasa itu tidak mungkin bersifat mutlak(Soehino, 1996:107).
60
BAB IV
PERKEMBANGAN KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memhami perkembangan konstitusi dapat
memahami ide-ide perkembangan yang ada dalam konstitusi dari masa
ke masa
2. Diharapkan dengan memahami perkembangan konstitusi dapat
menjadi pendukung pemahaman konstitusi secara komperhensif
3. Dapat memahami perbedaan pemikiran antara konstitusi modern dan
konstitusi pra modern
61
yang paling kuat di antara hewan innya di mana syarat seperti mi harus
dimiliki oleh seorang Raja. Menurut Hobbes yang kuatlah (fisik) yang
harus memerintah an yang berkuasa di dalam suatu negara(Moh Kusnardi
dan Bintan R Saragih, 199:65).
62
1. Hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal mi merupakan
pengertian yang lebih
63
perintah tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, termasuk
ancaman dan hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Pandangan yang
sangat banyak dianut oleh para ahli hukum ini telah mengartikan hukum
dalam arti yang sangat lazim, vaitu sebagai ketentuan-ketentuan tertulis
yang mengatur tingkah laku manusia(Munir Fuady, 2010:37).
64
1. Cita hukum dalam hal. diperkenalkannya bentuk usaha koperasi dalam
hukum bisnis, yaitu untuk menolong pengusaha-pengusaha kecil agar
dapat berusaha dengan baik, tertib, adil, dan terlindungi oleh hukum.
2. Cita hukum dalam sistem juri yang dikenal dalam sistim hukum Anglo
Saxon, merupakan lambang keikutsertaan rakyat atau masyarakat
dalam memutus perkara, juga untuk mempermudah proses pembuktian
karena dalam sejarah hukum, dahulunya juri merupakan para tetangga
pelaku kejahatan(Munir Fuady, 2010:41)
65
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental (Majda
El Muhtaj, 2005 :85).
66
Pemikiran para ahli filsafat pada zaman Yunani kuno dimotori oleh
Socrates (sang guru), Plato, dan Aristoteles. Pemikiran mereka yang pada
waktu itu hidup dalam polis Yunani, yaitu negara kota yang berciri khas
tiap warga polis adalah warga yang berperan aktif dalam kehidupan
politik, termasuk bernegara. Dan rakyat menjadi subyek sekaligus obyek
dalam hal pemenuhan tugas — tugas negara. Dalam bukunya The Laws
(Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is an imitation of
the best and noblest life”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus ataupun
dalam Areopagiticus menyebut bahwa “the politeia is the soul of the polis
with power over it like that of the mind over the body “. Keduanya sama-
sama menunjuk kepada pengertian konstitusi(Jazim Hamidi dan Malik,
2009:28-29).
67
1. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme yang tersedia untuk
merespons keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang dalam
pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang “inkonstitusional”.
68
mulai dipahami sebagai “lex” yang menentukan bagaimana bangaimana
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip “the higher law”.
Prinsip hierarki hokum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan(Jazim Hamidi dan Malik,
2009:35-36).
69
dengan Polity. Sedangkan dalam kiasifikasi konstitusi yang jelek, apabila
dalam bentuk pemerintah oleh satu orang disebut dengan Tyranni atau Des
potisme, dalam bentuk pemerintahan oleh beberapa orang disebut dengan
Oligarki, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut
dengan Demokrasi(Jazim Hamidi dan Malik, 2009:94-95).
70
Berangkat berdasarkan uraian di atas, maka konsensus yang
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
71
institusi serta doktrind oktnn hukum. “Kehidupan hukum terletak pada
pelaksanaannya, demikian dikatakannya (Pound, 1912)(Sadjipto Rahardjo,
1982:265-266).
72
celah bagi masyarakat untuk mentransformasikan cita-citanya dengan dalil
kepastian hukum yang lebih akomodatif terhadap kebutuahn masyarakat.
73
harus disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
Indonesia. Hal itu merupakan keniscayaan karena Pancasila adalah
ideologi terbuka, bukan ideologi tertutup atau rigid harus dilaksanakan
secara doktriner. Menjadi kewajiban kita untuk selalu
mengkontekstualisasikan Pancasila sehingga benar-benar menjadi
pedoman dan etika moral serta sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Upaya mengkonstektualisasikan Pancasila
dalam kehidupan merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai selama
negara diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 masih eksis dan kita telah
berikrar untuk mempertahankan Indonesia merdeka sampai akhir
zaman(Fahrurodji, 2005:xxiii).
74
diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.
75
tetapi “untergeordnet” kepada Majelis”. Demikian diuraikan dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
76
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya
tidak tergantung dan Dewan, akan tetapi tergantung dari Presiden.
Mereka ialah pembantu Presiden”.
77
melainkan demi kepentingan suatu golongan atau pribadi
tertentu(Bambang Arumana dan Sunarto,1990:3).
78
penuh toleransi antarpemeluk-pemeluknya. Tidak boleh da
pengistimewaan perlakuan terhadap agama dan pemeluknya karena
didasarkan pada. besar dan kecilnya jumlah pemeluk. Perlakuan
proporsional tentu saja diperbolehkan, tetapi pengistimewaan tidak
diperbolehkan. Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada
menjaga ketertiban aar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap
orang. Dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa
menganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu
diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama diserahkan
kepada masing-masing pribadi pemeluknya, tetapi gara dapat mengatur
pelaksanaannya oleh pemeluk masing masing untuk menjamin kebebasan
dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaannya tersebut(Mahfud MD,
2010:38-39).
79
BAB V
KEBERLAKUKAN KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memahami keberlakuan konstitusi dapat memahami
sejauh mana konstitusi dalam berlaku
2. Dapa memahami keberlakuan konstitusi pada saat-saat tertentu yang
berbeda antara situasi dan kondisinya
3. Dapat memhami teori-teori yang mendukung atas keberlakuan konstitusi
dalam sebuah negara
80
Pengingkaran terhadap konsesnsus tersebut juga dalam hal ini di atur
melalui peraturan perundang-undangan yang terkait. Secara teoritis,
semakin kuatnya kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama,
kesepakatan tentang „the rule of law‟ dan kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan maka dapat
dimungkinkan Negara akan terdesain semakin kuat pula.
1. Feodalisme,
2. Standestaat,
3. Absolutisme,
81
triadism yang meliputi tiga keberlakuan hukum yaitu keberlakuan hukum
secara filosofis, dogmatis dan sosiologis. Tiap-tiap keberlakuan hukum
tersebut didasarkan pada tiga nilai dasar yang berbeda. Ketiga nilai dasar
tersebut adalah nilai keadilan (justice), nilai kepastian (certainty), dan nilai
kemanfaatan (utility). Inti dan filosofi hukum Radbruch terdiri dari
ajarannya tentang konsep hukum dan gagasan hukum. Radbruch
mengatakan bahwa “The idea of law is defined through a triad of justice,
utility and certainty.” Nilai utilitas atau kemanfaatan muncul dan analisis
tentang nilai keadilan(Suteki, 2013:191).
82
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa paling tidak ada 11 prinsip
pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demok ratis, yakni: (i)
adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (ii)
pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas; (iii) adanya
aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; (iv) adanya
mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang
ditatati bersama itu; (v) pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; (vi)
pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal; (vii) adanya
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan
kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (viii)
dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin kedailan
bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintahan (pejabat administrasi negara);(ix) adanya mekanisme
„judiciel review‟ oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan
legislatif baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif;
dan (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau „due process of law‟ dalam
keseluruhan sistem penyelengaraan negara(Sirajuddin dan Winardi, 2015:
282-283).
83
lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada
kebenaran formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum
tentu tercermin di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di
dalam sanubari dan hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum
tertulis (UU) dapat disimpangi oleh hakim jika UU dirasa tidak adil.
Karena titik berat the rule of law adalah keadilan, maka dalam membuat
putusan hakim tidak harus tunduk pada bunyi hukum tertulis melainkan
dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan nilai-nilai
keadilan di dalam masyarakat. Lebih lanjut Mahfud menyatakan, sejak
perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan
agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara
seimbang segi-segi baik dan konsepsi rechtsstaat dan the rule of law
sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan
substansial( Ni‟matul Huda, 2015:206-207).
84
Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia
sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian
pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18
ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan
diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan
strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan
tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah
pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan
Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan,
potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai
tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak
bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk
85
mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam
bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan
dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan
ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan
Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab
akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan
kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasanterhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu
oleh
menteri negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan
Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan. Sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai
pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)
untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi
pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan
kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan
Kementerian melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat
umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan
86
harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Dikaji dari aspek filosofis, politis dan yuridis konsep di atas
merupakan wujud dari bentuk hubungan antara pusat dan daerah dalam
kerangka otonomi daerah. Disinilah aspek penting dari pemberlakuan
konstitusi dalam perundang-undangan diberlakukan sesuai dengan desain
singkronisasi dan harmonisasi antara norma yang lebih tinggi kepada
norma yang ada dibawahnya.
87
tindakan-tindakan ketatanegaraan. Bagi kita, landasan filosofis itu
ialah: Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kehijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
88
Segi konsep operasional dan segi konsepsional tersebut
memungkinkan lahirnya konstitusi darurat dalam sebuah Negara. Dinegara
kita beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar republic Indonesia tahun
1945 mengatur istilah keadaan bahaya atau darurat dalam konstitusi
diantaranya karena adanya perang, bensana dan lain sebagainya.
a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dan luar negeri
(external agression or foreign invasion).
89
konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya,
kerusuhan sosial di Jakarta yang menyebabkan Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Kerusuhan sosial atau
ketegangan sosial seperti ini dapat dikategorikan sebagai “state of
tension” seperti yang dimaksud oleh S.E. Finer, Vernon Bogdanor.
dan Bernard udden di atas.
90
B. Teori atas Keberlakukan Konstitusi
91
Dalam aktualisasi nilai keadilan sebagai wujud dan bentuk
keberlakuan konstitusi, maka keadilan merupakan sasaran utama dan
hukum, maka penegakan hukum harus diarahkan antara lain untuk
mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi
masyarakat atau keadilan sosial. Bukan Sanya keadilan formal (formal
justice), melainkan juga keadilan subtansial(substantial justice) bahkan
keadilan sosial (social justice). Disinilah pentingnya hakim untuk
menoleh, memperhatikan apa yang disebut dengan the living law sebagai
salah satu sisi .kta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk memutus
perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. The living law dap.
dikatakan sebagai the social pressure yang dapat dipertimbangkan oleh
hakim dalam memutus perkara. H.L.A. Hart dalam bukunva The Concept
of Law mengatakan bahwa: “What is important is that the insistence on
importance . seriousness of social pressure behind the rules is the primary
fickr determining wet her are thought of as giving rise to obligation...”
(Suteki, 2013:203-204).
92
Seperti sudah disebutkan bahwa teori keadilan dan John Rawls
dengan ucapan terkenalnya, yaitu justices fairness, merupakan alternatif
terhadap teori keadilan dan aliran utilitarian dan John S. Mill. Bahkan,
Rawis dengan tegas menolak teori util itarian tersebut. Sebaliknya, dengan
mendasari teori keadilan kepada kontrak sosial, Rawis sebenarnya banyak
terpengaruh oleh ajaran John Locke, Rousseau, dan Immanuel Kant. Baik
ucapannya berupa “justice as fairness”, maupun ucapannya yang berupa
“justice as the first virtue of social institutions” jelas merupakan
pengembangan dan teori kontrak sosial tersebut. Karena menurut teori
kontrak sosial, ketertiban dalam masyarakat akan tercapai manakala
pemerintah yang disepakati bersama oleh rakyat mengaturnya berdasarkan
konsep masyarakat tersebut tentang keadilan. Karena itu, salah satu
tampilan dan justice as fairness adalah wajah sosial dan keadilan.Namun
sebenarnya kurang tepat ketika John Rawls terlalu mempertentangkan
antara teori utilitarian dengan teori kontrak sosial. Sebab, teori kontrak
sosial tersebut memerlukan suara mayoritas dan masyarakat dan teori
utilitarian memerlukan the greatest number ofpeople yang sebenarnya
merupakan wajah lain dan prinsip mayoritas masyarakat tersebut(Munir
Fuady, 2010:96).
93
Disini jika arti kemanfaatan hukum disifati sebuah nilai yang
berlaku untuk kebahagiaan, maka hukum tidak akan memiliki
kecenderungan hanya sebagai alat kepuasaan semata. Hukum harus
memiliki nilai jati diri yaitu memiliki keberlangsungan yang utuh bagi
manusia secara seluruhnya, meskipun dalam konteks keputusan hukum
hanya berkaitan dengan beberapa pihak saja.
94
pada Abad 19; (b) Sangat dipengaruhi paradigma positivisme dalam ilmu
pengetahuan alam; (c) Rasional , lepas dan pengaruh Ketuhanan; (d)
Meyakini bahwa hukum dapat dikonstruksi dan dikelola secara netral,
tidak berpihak, impersonal, dan objektif; (e) Melindungi freedom-HAM;
dan (f) Mendukung terciptanya kepastian untuk menjamin
prediktabilitas(Fx Adji Samekto, 2013:60).
95
Sedangkan berkaitan dengan masalah pokok keadilan yang berarti
adalah masalah pokok keadilan sosial yaitu pembagian (distribusi) nikmat
dan beban dalam masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam tiga
kelompok yaitu: (1) ekonomi (uang); (2) politik (kuasa); dan sosial
(status).4 Marxisme memandang keadilan bukan dan aspek distribusinya
tetapi dan aspek produksi. Distribusi masih bisa diatur dan diperbaiki
(fiskal progresif, misalnya), tetapi selama produksi berada di tangan
kapitalis, selama itu pula ada masalah dengan keadilan(Suteki, 2013:250).
96
Ketiga adalah jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai-nilai
demokrasi Barat. Ketika pandangan ini merupakan alternatif jawaban
Rusia dalam pencarian jalan menuju masa depannya. Hal ini terlihat dari
berbagai aktivitas sosial politik yang terjadi selepas runtuhnya sistem
solisalisme Uni Soviet. Alternatif kedua dan ketiga menemukan bentuknya
dalam berbagai pergulatan politik yang tajam sehingga berakhirnya
pemerintahan presiden pertama Boris Yeltsin. Pada masa ini terlihat
terjadinya berbagai upaya golongan sosisalis untuk kembali membawa
negara ini ke sistem yang menjadi inti perjuangan mereka.Begitu angin
keterbukaan dihembuskan, apresiasi politik yang biasanya hanya boleh
disalurkan lewat partai komunis, kini boleh disuarakan oleh kekuatan
politik lain. Tercatat sehak tahun 1989 hingga 1993 muncul sedikitnya 36
partai politik dan organsasi massa, yang siap menjadi corong aspirasi pada
masa pasca-komunis ini (Fahrurodji, 2005:190).
Dalam hal ini dapat dicerna bahwa akar kemajuan yang dapat
dikatakan adopsi dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan tentunya bisa
mungkin terjadi karena perubahan ideology yang nantinya pula akan
merubah tatanan suatu Negara dalam memberlakukan konstitusi. namun
tentunya bagi Negara seperti Indonesia hal tersebut terjadinya sangatlah
jauh secara sederhana untuk diterapkan.
97
pada lain waktu atau bagian dan tulisannya, Plato juga menunjuk Laws,
yang dimaksudkan sebagai konstitusi, ketika membicarakan hukum
sebagai sesuatu yang bernilai bagi perikemanusiaan. Pada pertengahan
abad ke-12 (tahun 1164), terminologi konstitusi digunakan secara terbuka
untuk apa yang dikenal dengan Clarendom Constitution. Seringkali
konstitusi ini diandaikan sebagai konstitusi modern pertama, tentu yang
bersifat sekuler. Konstitusi ini dikenal juga dengan istilah avitae
constitutiones of leges, a recordatio vel recognition(Jazim Hamidi dan
Malik, 2009:3).
98
dari gagasan tersebut mengacu pada Karl Loewenstein yang telah
melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai
konstitusi, yaitu sebagai berikut.
99
Keilahian begitu dominan. Segala gejala (fenomena) di alam fakta yang
terjadi di dunia diterangkan dengan pendekatan Keilahian. Pendekatan ini
mendasarkan pada keyakinan, bukan pada pembuktian terlebih dahulu.
Dominasi pendekatan Keillahian sebenarnya dapat ditelusuri sejarahnya
dan pemikiran filosof Yunani: Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-
322 SM)( Fx Adji Samekto, 2013:12)..
100
Sociological Jurisprudence dengan baik sehingga the living law, aspek
sosial, politik, ekonomi dan budaya mendapat tempat dalam pertimbangan
hakim untuk menghasilkan putusan yang tidak hanya memenuhi prinsip
keadilan formal (formal Justice) tetapi juhakeadilan subtansial (subtantial
justice) bahkan keadilan masyarakat (social justice) dalam penegakan
hukum nasional(Suteki, 2013:21-22)
101
Hal yang kuat pada sisi lain adanya Sociological Jurisprudence
lebih menekankan penguatan kedaulatan rakyat dalam pemberlakuan
konstitusi. Teori kedaulatan (negara) dalam bidang hukum ini merupakan
analisis teoretis legal terhadap kekuasaan dan kedaulatan negara.Teori
hukum yang berhaluan politik dalam suatu negara memang lebih banyak
dikembang di zaman modern, sebab negaran egara modern memang sangat
memerlukan suatu landasan teoretis yang kuat dan luas. Adalah Bodin
(1577), dalam bukunya Six Livres de la Republique yang pertama kali
berbicara tentang teori kedaulatan ini. Menurut Bodin, kedaulatan bukan
hanya kekuasaan negara yang superior dan simpel, melainkan sudah
merupakan kekuasaan negara yang absolut dan berlaku terus. Memang,
sekelompok manusia juga dapat memiliki kedaulatan, tetapi hal tersebut
dapat menjadi suatu tirani mayoritas yang liar.Apa yang disebut dengan
kedaulatan negara mencakup juga kedaulatan dalam membuat hukum yang
berarti hukum merupakan sekumpulan perintah (command) dan negara.
Sebenarnya, konsep hukum sebagai perintah bukanlah hal yang baru, di
mana sudah melakukan sebuah inovasi dengan menekankan pada elemen
kedaulatan (souvereignty). Meskipun bagitu, banyak para ahli yang kurang
sreg dengan konsepsi hukum sebagai perintah, mereka menginginkan agar
konsep perintah (command), kekuasaan (power), dan paksaan
(enforcement) sebaiknya ditempatkan dalam ruang lingkup ilmu politik,
psikologi, dan sosiologi.Thomas Hobbes juga merupakan salah satu
pelopor teori kedaulatan negara. Berbeda dengan Bodin yang melihat
hukum hanya sebagai produk dan pelaksanaan kekuasaan yang aktual,
sebaliknya Hobbes lebih melihat kedaulatan sebagai “hak” Nuntuk dapat
memerintah orang lain. Dasar dan hak atau otoritas tersebut adalah hukum
alam yang mengharuskan manusia untuk menjalankan apa yang
dijanjikannya(Munir Fuady, 2010,10).
102
kedaulatan rakyat. Asas yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai
berikut :
103
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
7. Huruf g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8. Huruf h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
9. Huruf i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
10. Huruf j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
104
BAB VI
TRADISI DALAM KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Dapat memahami nilai-nilai tradisi yang menjadi sandaran kedudukan
konstitusi
2. Dapat memberikan gambaran tradisi sebagai karakteristik dan nilai
sakral sebuah konstitusi
3. Dapat memahami bahwa tradisi menjadi sumber perwujudan konstitusi
A. Pengertian Tradisi
1. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dan mana materi itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
105
pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan
politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan,
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional,
keadaan geografIs, dan lain-lain.
106
yang dikutip oleh Dahlan Thaib yang mula-mula mempergunakan istilah
konvensi ketatanegaraan(Weldy Agiwinata, Yuridika : Volume 29 No
2:153).
107
konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenulmya oleh
Mahkamah Agung dengan status sebagai „the Guardian of the
Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrm yang kemudian biasa juga
disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall‟s doctrine),
„judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas
oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian
terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentral ized or dffuse or
dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa
(incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional
sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara
lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat
spesifik dan termasuk kategori „a posteriori review‟. Adapun, Mahkamah
Agung dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan
sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem
yang tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak
yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali
dalam kerangka prinsip „stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di
kemudian han terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil
sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Pada pokoknya,
putusan mengenai iukons titusionalitas suatu undang-undang bersifat
deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat
„ex tunc dengan akibat „pro praeterito‟ yang menimbulkan efektif
retroaktif ke belakang. Tentang sistem demikian berbeda sekali dengan
yang diterapkan di Indonesia dewasa ini Akan tetapi, persoalan ini tidak
akan didiskusikan di sini, melainkan akan dibahas dalam buku tersendiri.
Dan segi kelembagaannya, sistem pengujian konstitusionalitas yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat mi jelas berbeda pula
dan tradisi yang sama di Austria. Dalam sistem Amerika Serikat yang
menganut tradisi „common law‟, peranan hakim penting dalam proses
108
pembentukan hukum menurut asas „precedent‟. Bahkan hukum dalam
sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made law‟, atau
hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall
memprakarsai praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh
Mahk amah Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnya pun para
hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi
tradisi pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-
undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa
setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa peranan
hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya
demikian(Jimly Asshiddiqie, 2010:45-47).
109
1. Constitutional review‟ diterapkan dalam keadaan yang beragam,
tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap negara.
110
Bentuk judicial review di berbagai macam Negara tersebut
tentunya mengindikasikan bahwa adanya system hukum tidaka hanya
mengacu pada kebiasaan yang acapkali dilakukan. Namun kebiasaan
tersebut harus berkecederungan jaminan nilai-nilai yang berlaku secara
utuh dalam masyarakat sehingga memungkinkan terjadinya stabilitas
secara adil dan konstan untuk diterapkan.
111
dikeluarkan pada tanggaI 17 Agustus 1945 melainkan Indonesia yang lain
lagi(Moh. Mahfud MD, 2013:3).
112
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan,
negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi
negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham
perseorangan. Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu
menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.
113
upaya pembenahan sistem dan struktur ketatanegaraan guna membatasi
kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang. Untuk membenahi
sistem dan struktur ketatanegaraan itu, yang diperlukan hanyalah
mengamandemen isi-isi (pasal-pasal yang dulu disebut Batang Tubuh)
UUD 1945 tanpa mempersoalkan Pembukaan karena otoriterisme yang
muncul di masa lalu bukan bersumber dan Pembukaan melainkan
bersumber dan pasal-pasal UUD tersebut(Moh. Mahfud MD, 2013:4).
114
Wujud paradigma yang tidak hanya bersifat tertulis tentunya akan
menghasilkan citra hukum yang sesuai dengan bangunan tradisi yang
dibangun oleh bapak bangsa. Hal tersebut yang kemudian dituangkan
dalam pembukaan Undang-Undang dasar Negara republic Indonesia yang
tidak berubah.
Salah satu bentuk dari citra hukum yang tidak tertulis dalam hal ini
dimaksudkan adalah living law. The Living Law merupakan ciri khas dan
aliran dalam ilmu hukum Socilogical Jurisprudence. Keadilan merupakan
sasaran utama dan hukum, maka penegakan hukum harus diarahkan antara
lain untuk mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi
masyarakat atau keadilan sosial. Bukan Sanya keadilan formal (formal
justice), melainkan juga keadilan subtansial(substantial justice) bahkan
keadilan sosial (social justice). Disinilah pentingnya hakim untuk
menoleh, memperhatikan apa yang disebut dengan the living law sebagai
salah satu sisi .kta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk memutus
perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. The living law dap.
dikatakan sebagai the social pressure yang dapat dipertimbangkan oleh
hakim dalam memutus perkara. H.L.A. Hart dalam bukunva The Concept
of Law mengatakan bahwa: “What is important is that the insistence on
importance . seriousness of social pressure behind the rules is the primary
fickr determining wet her are thought of as giving rise to obligation...”(
Suteki, 2013:203-204).
115
oleh hakim di pengadilan umum. Hakim harus berani menilai sampai
sejauh mana validitas the living law tersebut, apakah merupakan culture
yang harus diapresiasi atau merupakan counter culture yang justru harus
dianulir. Dalam hal ini peranan Pancasila sebagai margin fappreciation
dalam hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi penting (Suteki,
2013:197).
116
Nilai yang terkandung dalam hokum itu, menurut Gustav Radbruch adalah
keadilan. Oleh karena itu dalam pandangannya, pengupayaan keadilan
harus diwujudkan dalam peraturan yang nyata(Fx Adji Samekto, 2013:48-
49).
117
kebudayaan sebagai keseluruhan hidup suatu masyarakat sebagai warisan
sosial yang diperoleh para individu dan kelompoknya. Dalam pengertian
yang lebih fungsional, kebudayaan merupakan desain untuk hidup dalam
arti suatu perencanaan dan, sesuai dengan perencanaan itu, masyarakat
kemudian mengadaptasikan dirinya pada Iingkungan fisik, sosial, dan ide.
Dan banyak pengertian itu, dapat dikemukakan beberapa dimensi tentang
kebudayaan. Pertama, kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri
sebagai makhluk yang “belum selesai” dan harus berkembang sehingga
kebudayaan terkait pula dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia
yang asasi, Kedua, kebudayaan dapat dipahami juga sebagai suatu strategi
manusia alam menghadapi lingkungannya. Ketiga, kebudayaan merupakan
suatu sistem sosial yang tidak mandiri atau terlepas dan sistem sosial
ekonomis.Pada satu sisi kebudayaan itu mengondisikan sistem sosial
dalam arti ikut membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan
oleh sistem sosial ekonomi dalam arti dipengaruhi olehnya. Keempat,
kebudayaan merupakan satu sistem makna sehingga pendekatannya pun
harus menggunakan metode interpretasi ( Moh. Mahfud MD, 2013:207).
118
Lebih lanjut K. C. Wheare menyatakan bahwa konvensi terbentuk
dengan dua cara. Pertama, praktik tertentu berjalan dengan cara yang
cukup lama. Awal mula bersifat persuasive kemudian diterima sebagai
suatu hal yang wajib (kewajiban); kedua, konvensi terjadi melalui
kesepakatan (agreement) di kalangan rakyat sendiri. mereka sepakat
melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu dan sekaligus menetapkan
ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaanya. Contoh Kebiasaan dalam
ketatanegaraan Indonesia adalah pada setiap tanggal 16 Agustus, Presiden
mengucapkan pidato kenegaraan didalam sidang Dewan Perwakilan
Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut merupakan suatu laporan tahunan yang
bersifat informatoris dan presiden karena dalam laporan itu juga dimuat
rencana kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh pada tahun yang akan
datang(Sirajuddin dan Winardi, 2015:19).
119
sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical positivism
hanya eksemplar saja atau hanya merupakan symbol saja dan dorongan
untuk melakukan “studi terhadap hukum secara benar”. Di belakang studi
sosiologis terhadap hukum masih berderet yang lain seperti antropologi,
psikologi dan ekonomi(Suteki, 2013:29).
120
Table 1.6
Perubahan Kekuasaan Kehakiman Dengan Mengelaborasikan
Dengan Arus Modernisasi
No Sebelum amandement Setelah amandement
1 Perubahan III 19 November Pasal 24
2001, sebelumnya berbunyi : * (1) Kekuasaan kehakiman merupakan
(1) Kekuasaan kehakiman kekuasaan yang merdeka untuk
dilakukan oleh sebuah menyelenggarakan peradilan guna
Mahkamah Agung dan lain-lain menegakkan hukum dan keadilan.
badan kehakiman menurut * (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
Undang-undang. oleh sebuah Mahkamah Agung dan
(2) Susunan dan kekuasaan badan peradilan yang berada di
Badan-badan Kehakiman itu bawahnya dalam lingkungan peradilan
diatur dengan Undang-undang umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
* (3) Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.
2 Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, meguji
peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim Agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan
dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung
serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang.
121
3 Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undangundang
4 Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai
sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
122
konstitusi.
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian
hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang
Dapat disimpulkan bahwa latar belakang amandemen atas UUD
1945 yang terkait dengan kekuasaan kehakiman jelas menunjukkan bahwa
Komisi Yudisial diletakkan sebagai lembaga negara yang sangat vital
untuk menjaga martabat hakim dan mengawasinya agar ia tidak dikotori
oleh praktik mafia peradilan atau judicial corruption yang selama ini tak
dapat secara efektif disentuh oleh pengawasan. Terjadinya resistensi di
tubuh MA adalah akibat selama puluhan tahun lembaga yudikatif ini telah
menderita penyakit korup yang sangat sulit disembuhkan. Konflik antara
MA dan KY mungkin juga lebih disebabkan oleh gaya kerja dan
kepemimpinan yang kurang sinkron, misalnya, penilaian bahwa KY terlalu
over acting.( Moh. Mahfud MD, 2013:32)
123
kegiatan pemilu/pileg. Hal itu juga berlaku dalam ranah judikatif maupun
aparat penegak hukum. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi ketika ada
perekutan aparat bisa dipastikan akan ada sistem jual beli yang
mengalirkan uang kekantong-kantong oknum yang bersangkutan.
Sehingga tidak heran lagi ketika para pejabat banyak yang tersandung
kasus korupsi, mereka korupsi karena ingin mengembalikan modal yang
dikeluarkannya itu.Sudut pandang mereka bukan lagi kearah pengabdian
masyarakat melainkan sudah menyeleweng untuk keuntungan individu
masing-masing, dan inilah ciri kapitalisme. Maka jangan ragu pula untuk
menyebut sistem Indonesia saat mi adalah sistem kapitalis dan man kita
ben label Indonesia adalah negara kapitalis(Muhtar Said, 2013:149).
124
Dalam pengertian yang lebih fungsional, kebudayaan merupakan desain
untuk hidup dalam arti suatu perencanaan dan, sesuai dengan perencanaan
itu, masyarakat kemudian mengadaptasikan dirinya pada Iingkungan fisik,
sosial, dan ide. Dan banyak pengertian itu, dapat dikemukakan beberapa
dimensi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan terkait dengan ciri
manusia sendiri sebagai makhluk yang “belum selesai” dan harus
berkembang sehingga kebudayaan terkait pula dengan usaha pemenuhan
kebutuhan manusia yang asasi, Kedua, kebudayaan dapat dipahami juga
sebagai suatu strategi manusia alam menghadapi lingkungannya. Ketiga,
kebudayaan merupakan suatu sistem sosial yang tidak mandiri atau
terlepas dan sistem sosial ekonomis.Pada satu sisi kebudayaan itu
mengondisikan sistem sosial dalam arti ikut membentuk atau
mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial ekonomi dalam
arti dipengaruhi olehnya.Keempat, kebudayaan merupakan satu sistem
makna sehingga pendekatannya pun harus menggunakan metode
interpretasi(Moh. Mahfud MD, 2013:207).
125
itu bergerak, dan budaya hukum adalah apa dan siapa saja yang
memutuskan untuk menjalankan mesin dan siapa yang menghidupkan atau
mematikan serta menentukan bagaimana mesin itu akan digunakan(Moh.
Mahfud MD, 2013:208-209).
126
BAB VII
PERUBAHAN KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Melalui pemahaman perubahan konstitusi dapat mengetahui metode
perubahan konstitusi
2. Dapat memahami model-model perubahan konstitusi yang diterapkan
disetiap Negara
3. Dapat memberikan pemahaman atas konsep-konsep perubahan konstitusi
yang ideal diterapkan
127
menolak keyakinan yang dibangun mazhab sejarah sebagaimana dibangun
Von Savigny (1779-1861). Pada tahun 1852, Jhering menolak pendapat
Von Savigny tentang hukum Romawi. Menu rut Von Savigny, seluruh
hukum Romawi merupakan refleksi jiwa bangsa Romawi, dan karena
itulah maka hukum Romawi merupakan hukum nasional(Fx Adji Samekto,
2013:71).
Hal ini tidak jauh beda dengan Indonesia dimana sampai sekarang
sudah dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 sampai
empat tahap, namun Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya
mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut
diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sejak thun
1999 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 berpedoman pada lima
kesepakatan dasar yang salah satu di antaranya adalah “tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945” yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Keputusan
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan
keputusan yang tepat, baik secara filosofis maupun secara politis, dalam
hidup bernegara bagi bangsa Indonesia(Moh. Mahfud MD, 2013:3).
Namun tentunya model perubahan tidak boleh tanpa alur yang baik
dan jelas. Sebagaimana perubahan bentuk secara umum, perubahan UUD
juga tidak boleh dilakukan sekehendak hati melainkan harus memenuhi
kriteria tertentu. Mengenai pendapat ini patut diperhatikan pendapat
128
Mochtar Kusumaatmadja mengenai ukuran pengembangan bidang hukum
berikut.
129
Namun berkaitan dengan pembukaan tidak diberlakukan adanya
perubahan. Sampai sekarang sudah dilakukan perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945 sampai empat tahap, namun Pembukaan UUD 1945
yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara tidak ikut diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang sejak thun 1999 melakukan perubahan terhadap UUD 1945
berpedoman padalima kesepakatan dasar yang salah satu di antaranya
adalah “tidak mengubah Pembukaan UUD 1945” yang telah ditetapkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus
1945. Keputusan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 tersebut
merupakan keputusan yang tepat, baik secara filosofis maupun secara
politis, dalam hidup bernegara bagi bangsa Indonesia ( Moh. Mahfud MD,
2013:3).
Pembukaan beda dengan teks yang lain dalam undang-undang
dasar. Di amenjadi sebuah wujud dari kedaulatan rakyat dalam sebuah
Negara. Kedaulatan penting mengingat apabila negara tidak mempunyai
kedaulatan yang absolut maka negeri tersebut bukanlah suatu negeri yang
independen, ia merupakan negeri boneka yang hanya bisa‟pasrah ketika
dibuat mainan oleh negara lain atau kekuatan yang menguasai negera
tersebut, ketika hidup masyarakat tergantung pada negara yang menguasi
wilayahnya mi menyebabkan bisa masyarakat tidak tentram karena mereka
bekerja bukan untuk memberikan sumbangan energi kepada tanah
kelahirannya namun kerja mereka temyata untuk memperkaya negara lain.
mi jelas menjadi tekanan psikologis terhadap masyarakat yang dalam
kehidupan sehari-harinya selalu dibayangi dengan tekanant ekanan yang
selalu menghantui disetiap helai nafas hidupnya. Apabila ada wilayah yang
dimana wilayah tersebut belum mendapatkan gelar kedaulatan yang
artinya bisa mengurus rumah tangganya sendiri maka wilayah tersebut
belum bisa disebut sebagai negara, karena tidak bisa memberikan rasa
aman dan nyaman terhadap warganya(Muhtar Said, 2013:103-104).
130
Kedaulatan juga merupakan simbol kehormatan negara, jika ada
negara yang kedaulatannya terciderai oleh negara lain maka bisa saja akan
menimbulkan peperangan yang berpotensi banyaknya nyawa yang hilang.
Pentingnya kedaulatan bagi negara maka banyak negara yang rela
mengalokasikan kas negara untuk membeli atau memproduksi peralatan
tempumya serta memperbanyak anggota militer. Cara seperti itu ditempuh
sebagai langkah persiapan jika suatu saat akan ada negara yang menjajah.
Memprbanyak kekuatan persenjataan dan anggota militer merupakan
langkah strategi guna mempertahankan kedaulatan suatau Negara, langkah
ini banyak ditiru oleh Negara-negara yang mnegaku saying terhadap
rakyatnya seperti amerika dan Negara kekuasaan seperti korea
utara(Muhtar Said, 2013:112-113).
Pembukaan Undang_undang Dasar merupakan wujud kongkrit
kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya sehingga tidak bisa dirubah jika
kita masih menginginkan Negara utuh. Isi pembukaan dalam Undang-
Undng dasar Negara Republik Indonesia sebagai berikut :
Table 1.7
Pendahuluan Undang-Undang Dasar NRI
No Paragraph isi
Alenia pertama Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
1
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan.
Alenia kedua Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
2
Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alenia ketiga Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
3
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
131
Alenia keempat Kemudian dari pada itu untuk membentuk
4
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
132
B. Tujuan Perubahan Konstitusi
133
pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal; (vii) adanya
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan
kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (viii)
dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin kedailan
bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintahan (pejabat administrasi negara);(ix) adanya mekanisme
„judiciel review‟ oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan
legislatif baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif;
dan (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau „due process of law‟ dalam
keseluruhan sistem penyelengaraan negara(Sirajuddin dan Winardi,
2015:282-283).
134
solidaritas organis, terwujudnya masyarakat didasarkan pada kebebasan
para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk
berhubungan satu dengan yang lain, karena sifat sosial manusia maka
kebebasan demikian ini tidak menyebabkan musnahnya masyarakat
(Suteki, 2013:5).
135
Nilai yang terkandung dalam hokum itu, menurut Gustav Radbruch adalah
keadilan. Oleh karena itu dalam pandangannya, pengupayaan keadilan
harus diwujudkan dalam peraturan yang nyata(Fx Adji Samekto, 2013:48-
49).
136
mengumpulkan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI yang dapat
membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih
sempurna.
137
Undang-Undang Dasar 1945 terhambat oleh ketentuan bahwa MPR
RI tidak akan mengubah Undang-undang Dasar 1945.
138
Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang. Dengan adanya 2
kelompok yang berbeda pendapat, maka ditempuh jalan kompromi,
pengaturan Hak Asasi Manusia diatur di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 secara terbatas.
139
Tidak hanya dilapangan sosial tetapi mempengaruhi pula tatanan politik
seperti nepotisme, ketertutupan, membangun suatu jarak dengan rakyat,
dan sebagainya. Watak dan sikap feodal harus dihapus dan diganti dengan
watak dan sikap demokratis, atau egaliter. Keenam reformasi hukum. Hal
ini didasarkan beberapa pertimbangan:
140
Berdasarkan dasar berbagai teori konstitusi Soemantri (2001)
mengemukakan adanya empat aspek yang terkandung dalam perubahan
konstitusi, yaitu:
141
untuk menyiapkan Rancangan Perubahan UUD di mana PAH I BP
MPR ini dapat mengangkat Tim Ahli para pakar dan melakukan
penyerapan aspirasi publik (baik dalam menjaring masukan untuk
naskah perubahan maupun uji sahih hasil rancangannya).
3. Sistem perubahan UUD, dalam hal ini menurut teori konstitusi dapat
dilakukan melalui (Asshiddiqie, 2001):
142
pada tahun 1804, dan selebihnya 15 kali hingga sekarang(Taufiqurrahman
Syahuri, 2004:74-75).
143
Di Negara Cina, Konstitusi Republik Rakyat Cina mengatur cara
perubahan konstitusi dalam pasal 64. Sesuai pasal 64 ayat (1), yang
berwenang mengubah konstitusi adalah kongres rakyat nasional sebagai
organ tertinggi dan kekuasaan negara dan satu-satunya yang melaksanakan
kekuasaan legislatif negara. Kongres Rakyat Nasional terdiri dan wakil-
wakil yang dipilih oleh provinsi-provinsi, daerah-daerah otonom, kota-
kota besar yang secara langsung di bawah kekuasaan pusat, angkatan
bersenjata, dan orang Cina yang berada di luar negeri. Perubahan terhadap
konstitusi memerlukan dua pertiga (2/3) suara mayoritas dan selunuh
wakil-wakil Kongres Rakyat Cina(Taufiqurrahman Syahuri, 2004:76).
144
BAB VIII
PENEGAKAN KONSTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Diharapkan dengan memahami materi penegakan konstitusi dapat
menjadi bahan rekomendasi konsep dasar dalam konsep penegakan
konstitusi secara tepat
2. Diharapkan dapat memhami konsep penegakan konstitusi yang
diterapkan diberbagai Negara
3. Memperkuat pemahamn terkait model penegakan konstitusi melalui
mekanisme pengujian Undang-undang yaitu Judisial Review
145
sendiri-sendiri. Juga apakah pengertian kedaulatan itu sama dengan
pengert ian sovereigniteit. Kalau menurut Jean Bodin tadi kedaulatan itu
adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di dalam suatu negara,
yang sifatnya:
146
bagaimana tegaknya konstitusi adalah bagaimanapual tegaknya hak-hak
gdasar masyarakat.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila
yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai
untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara
berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan
untuk- berlaku bagi waktu yang akan datang.
147
demokratis adalah pemerint ah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bentindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan
penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada
beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan
dalam satu tangan atau satu badan. Perumusan yuridis dan prinsip- prinsip
mi terkenal dengan Rechtsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law(
Ni‟matul Huda, 2015:265).
148
untuk menentukan hukum yang konkret bagi sesuatu kasus hukum, seperti
dapat dijumpai pula pada tradisi Penatsiran di Inggens yang telah kita
bicarakan. Usaha-usaha tersebut juga dimulai dan pemahamàn dan sudut
tata bahasa. Dalam kata-kata Scholten sendiri, “Dengan demikian maka
yang kita lakukan terdiri dan segi bahasa, sejarah undang-undangnya,
sistem hukumnya dalam keseluruhan, tujuan sosial serta hasil dan
penerapan, perkembangan sejarahnya, semua itu adalah faktor-faktor yang
diperhitungkan untuk menentukan apa yang menurut suatu undang-undang
merupakan hukum pada suatu kasus tertentu”( Sadjipto Rahardjo,
1982:132).
1. Stabilitas
149
hukum di anggap sebagai sebuah wujud penegakan konstitusi mengingat
aspek-aspek yang dijalankan dalam penegakan hukum adalah penegakan
konstitusi.
150
Pada sisi lain, yang harus dipahami dalam penegakan hukum adalah
Legal pluralism merupakan strategi pendekatan baru yang harus dikuasai
oleh penegak hukum agar dapat melakukan terobosan hukum melalui the
non enforcement of law. Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak lagi
terpenjara oleh ketentuan legal formalism melainkan telah melompat ke
arah pertimbangan living law dan natural law.Cara berhukum di Indonesia
tidak tepat apabila digunakan pendekatan posivistik seperti negara asal
hukum Indonesia (khususnya Eropa) tanpa melihat aspek moral/religion
atau pun ethic serta pertimbangan aspek socio-legaln ya. Watak liberal
individualistik hukum modern di Indonesia mesti dibongkar untuk
disesuaikan dengan basis sosialnya, yakni masyarakat Indonesia dengan
karakter Oriental-nya. Watak liberal dan individualitas hukum modern
mesti diimbangi dengan watak arif bijaksana serta watak welas asth,
kesatuan dan rasa keadilan dalam masyarakat yang tercermin dalam the
living lawn ya sehingga hukum mampu menghadirkan keadilan paripurna
yang menjadi tujuan penegakan hukum progresif(Suteki, 2013:196-197).
151
Penegakan yang disalahgunakan oleh kekuasaan inilah yang
kemudian perlu direspon melalui adanya pembatasan kekuasaan yang
diatur tegas dalam sebuah konstitusi setiap Negara. Selain itu konstitusi
dalam aspek penegakkanya juga mengatur adanya pemisahan kekuasaan
dalam konstitusinya secara tidak langsung.
152
sejak awal memang mensyaratkan pemisahan kekuasaan. Perdebatan yang
berlangsung dalam penyusunan konstitusi Amerika bukan tentang apakah
konstitusi dalam hal tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan
apakah pemisahan itu sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi,
2015:36).
153
Disamping itu secara keseluruhan model, adanya pembatasan
kekuasaan dalam penegakan hukum dalam usahanya menjalankan
kekuasaan tidak absolute maka dilakukan usaha-usaha lain dalam usaha
pelemahan kekuasaan pada beberapa sisi.Secara umum dalam praktik
pelemahan kekuasaan maka di dalam usaha tersebut terdapat tiga macam
cara yang umum dipergunakan, yaitu :
154
pemilihan tetap merupakan suatu cara yang paling tepat dan tegas
untuk membatasi kekuasaan penguasa.
b. Pembagian kekuasaan
Ini juga dikemukakan oleh Maurice Duverger sebagai salah satu cara
yang baik untuk membatasi atau melemahkan kekuasaan penguasa,
dengan maksud untuk mencegah agar para penguasa itu jangan sampai
menyalah gunakan kekuasaannya atau bertindak sewenang-wenang
dengan melebarkan cengkraman totaliternya atas rakyat. Dalam hal mi
Maurice Duverger telah memperingatkan pula akan ajaran
Montesquieu yang sangat termashyur, kemasyhurannya ini disebabkan
oleh karena ketegasan daripada ajaran tersebut, yaitu : kekuasaan
membatasi kekuas aan. Diperingatkan pula oleh beliau bahwa
pembagian kekuasaan, hend aknya dipahami dalam pengertiannya
yang luas, maksudnya tIdak saja dalam arti pemisahan kekuasaan
menurut tipe Trias politika klasik, yaitu bahwa kekuasaan negara itu
dibagi dalam atau menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif, yang meskipun sudah barangtentu pengertian yang terakhir
itu ada kebaikannya, yaitu, dan ini terutama, sifat kebebasan kekuasaan
pengadilan dalam hubungannya dengan kedua kekuasaan yang lain, ini
misalnya, dan terutama di negara-negara Anglosaxon, sehingga para
warga negara terjamin betul terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh penguasa.
c. Kontrol yuridiksional
155
serta mengendalikan lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga
administrasi(Soehino, 1996:267-269).
Table 8.1
Model Pembatasan Kekuasaan Dalam Menegakkan Hukum
Pembatasan kekuasaan Pasal 5
(1)Presiden berhak mengajukan
rancangan Undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan
Undang-undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
156
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badanperadilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan melalui Pemilu Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-
undang
kontrol yuridiksional Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badanperadilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. (3)
Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.
157
Model di atas sangat cenderung banyak digunakan sehingga secara
teoritis dapat dikatakan teori pembatasan kekuasaan hukum melalui
Pembatasan kekuasaan, Pembatasan melalui Pemilu dan kontrol
yuridiksional sangat berlaku baik selama ini. Hal ini memungkinkan di era
modern kekuasaan penegakan konstitusi melalui instrument hukum tidak
dapat melepaskan adanya upaya pembatasan kekuasaan.
158
derajat kedua di bawah UUD3 Dalam kurun waktu 1960 sampai dengan
tahun 2002, MPR/MPRS telah mengeluarkan sebanyak 139 Ketetapan
yang semuanya berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan di
atas UU, namun semua Ketetapan MPR/MPRS itu tidak pernah
dimasukkan di dalam Lembaran Negara dan tak pernah ada yang
mempersoalkan. Mengapa?Karena semua Ketetapan MPR/MPRS itu
bukan berupa norma yang disertai ancaman sanksi hukum. Peraturan
perundang-undangan yang belum berupa norma yang disertai ancaman
sanksi hukum tak perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara( Moh.
Mahfud MD, 2013:45-46).
159
tindakan-tindakan itu tidak dapat diserahkan demikian saja kepada
kehendak baik dan orang-orang itu. Paksaan hanya dipergunakan untuk
menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan, ialah
guna kepentingan-kepentingan yang menjadi tujuan peraturan-peraturan
itu. Hanya pertimbangan inilah yang menentukan sifat memaksa dan
peraturan-peraturan hukum. Dalam menyusun kaidah-kaidah itu, dalam
menetapkan peraturan-peraturan itu sekali-kali tidak terdapat kehendak
untuk bertindak Sewenang-wenang. Paksaan bukanlah menjadi pokok
pangkal atau pun tujuan, tetapi semata-mata hanya sebagai alat, bukan
paksaan sebagai kenyataan kekuasaan dan simaharajalela, tetapi suatu
paksaan yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi kepentingan
orang lain ( Sudarsono, 2003:3).
160
menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi
khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan
yang kuat baik dan luar maupun dan dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi
khusus dan hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kalah jika
dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang
kuat. Keempat, hukum harus menjamin kebebasan beragama dengan
penuh toleransi antarpemeluk-pemeluknya. Tidak boleh da
pengistimewaan perlakuan terhadap agama dan pemeluknya rianya karena
didasarkan pada. besar dan kecilnya jumlah Demeluk. Perlakuan
proporsional tentu saja diperbolehkan, tetapi pengistimewaan tidak
diperbolehkan. Negara boleh riengatur kehidupan beragama sebatas pada
menjaga ketertiban aar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap
orang .apat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa
menganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu
diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama iserahkan
kepada masing-masing pribadi pemeluknya, tetapi gara dapat mengatur
pelaksanaannya oleh pemeluk masing masing untuk menjamin kebebasan
dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaannya tersebut (Mahfud MD,
2010:38-39).
161
1. Kewenangan terbatas. Dalam hal in badan pengadilan berjalan sejajar
dan seiring dengan kewenangan dua cabaiig pemerintahan lainnya.
Misalnya, dalam bidang hukum tentang kepemilikan benda, di mana
pihak legislatif yang membuat aturan main, pihak pemerintah yang
menjalankannya, sedangkan pihak pengadilan yang mengadili, bahkan
sampai batas-batas tertentu ikut pula menciptakan hukumnya.
162
dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, maka tata
cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam hukum acara,
yaitu hukum acara konstitusi. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis
proses beracara, yaitu “contentious procesrecht” dan “noncontentious
procesrecht”. Meskipun demikian hukum acara Mahkamah Konstitusi
disusun secara sederhana dan tidak memisahkan secara khusus masing-
masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi(Bambang Sutiyoso, 2006:32-33).
163
tinggi negara atau anggota lembaga tinggi negara, (x) biro-biro dan divisi-
divisi hukum badan-badan hukum publik dan privat, (xi) kalangan
perguruan tinggi, khususnya fakultas-fakultas huk um dan pusat-pusat
kajian konstitusi di seluruh Indonesia, (xii) kalangan tokoh-tokoh aktivist
lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum dan hak asasi manusia,
(xiii) dan lain sebagainya. Sebagai contoh, para advokat yang bekerja di
bidang litigasi seringkali menghadapi persoalan dalam beracara di
Mahkamah Konstitusi, karena sifat acaranya yang sama sekali berbeda
dengan pengadilan biasa(Jimly Asshidiqie, 2006:343).
164
(Merupakan pencerminan dan Pasal 2 UU MK dan Pasal 33 UU No
4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
10. Asas Audi et alterain partern Hak yang sama untuk didengar
keterangannya secara berimbang. Masing-masing pihak mempunyai
kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung
dalil masing-masing. Sernua harus dipertimbangkan oleh Mahkamah
Konstitusi jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang
dapat membuat jelas permasalahan ( Zainal Asikin, 2013:287-288).
165
ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi inibelurn
muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah
perlu tidaknya UUD 1945 menga komodir gagasan hak uji materiil ke
dalam kekuasaan kehakiman.6° Namun, di kalangan negara-negara
demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang men galami
perubahan dan otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir
abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat
populer. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan
deinokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu
menjadi sangat luas diterima(Ni‟matul Huda, 2015:215-216).
166
Hak uji UU terhadap UUD diberikan kepada MK sebagai lembaga
yudikatif yang sejajar dengan pembuat UU selain didasari oleh pandangan
perlunya checks and balances antarlembaga negara, tampaknya mengacu
pula pada alasan John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika
Serikat. John Marshall untuk pertama kalinya dalam sejarah
ketatanegaraan melakukan judicial review dengan membatalkan Judiciary
Act 1789 karena isinya bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat.
Ketika itu ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Chief Justice Amerika
Serikat itu.Pertama, hakim bersumpah untuk menjujung tinggi konstitusi,
sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi,
maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan
tersebut.Kedua, konstitusi adalah the supreme law of the landsehingga
harus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar isi
konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara
sehingga kalau ada yang mengajukan permintaanjudicial review,
permintaan itu haruslah dipenuhi. Berdasarkan kenyataan dan pengalaman,
selain dapat menerima sepenuhnya alasan-alasan Marshall tersebut, ada
lagi sebuah alasan tentang perlunya pelembagaanjudicial review yakni
bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik sangat mungkin
isi UU bertentangan dengan UUD, misalnya, akibat adanya kepentingan-
kepentingan politik pemegang suara ayoritas di parlemen, atau adanya
kolusi politik antaranggota parlemen, atau adanya intervensi dan tangan
pemerintah yang sangat kuat tanpamenghiraukan keharusan untuk taat asas
pada UUD atau konstitusi. Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru, banyak sekali UU yang dipersoalkan karena bertentangan dengan
UUD dan lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang
intervensionis, tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya. Dengan
demikian, maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang
paling pokok adalah menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan
UUD dan kalau itu ada, maka MK dapat membatalkannya. Itulah
167
sebabnya, sering dikatakan bahwa MK merupakan pengawal konstitusi
dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi(Moh. Mahfud MD,
2013:98-99).
168
2015:218). Mahkamah Konstitusi menekankan perlunya keadilan
substantif untuk menghindari munculnya putusan yang mengabaikan rasa
keadilan sebagaimana kerap ditemukan dalam putusan pengadilan pada
masa lalu.Terobosan hukum tersebut perlu dilakukan untuk
menggairahkan penegakan hukum dalam masyarakat(Ni‟matul Huda,
2015:218).
169
tersendiri mi tenth saja mengundang kontroversi di negara-negara yang
bersangk utan masing-masing.Apalagi, hampir semua MahkamahAgung di
bekas negara komunis telah terkooptasi secara sangatberakar oleh paham
komunisme yang sangat antipati kepada semua ide yang bercorak
liberalistik. Di Georgia, misalnya, pernah muncul ide dan upaya yang
sangat kuat untuk memindahkan fungsi atau kewenangan pengujian
konstitusional (cons titutional review) dan Mahkamah Konstitusi ke
Mahkamah Agung. Untunglah upaya itu gagal. Akan tetapi, menurut
Herman Schwatz, upaya pengalihan kewenangan seperti itu berhasil
dilakukan di Estonia karena alasan yang lebih berkaitan dengan soal
ekonomi, daripada soal filosofi, politik, ataupun sejarah(Jimly
Asshiddiqie, 2010:40-41).
170
review) ini telah tumbuh sedemikian rupa melalui tahap-tahap
perkembangan (Jimly Asshiddiqie, 2010:10).
171
terhadap pembentukan undang-undang yang sembarangan (tidak hati-hati)
dengan pengujian undang-undang dalarn arti formal pada khususnya hak-
hak dasar (hak asasi manusia). Orang menyebut argumen tersebut sebagai
argumen negara-hukum (rechtsstaatargument)(A Pointer, diterjemahkan
oleh Arief Sidharta, 2008:112).
a. Aspek Hukum
Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajad tertinggi dari
aturan hukum yang ada karena beberapa pertimbangan.
172
1. Konstitusi dibuat oleh badan pembuat undang-undang atau
lembaga negara.
2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, dari rakyat dan kekuatan
berlakunya dijamin oleh rakyat dan dilaksanakan kepentingannya
untuk rakyat pula.
3. Konstitusi dibuat oleh badan yang diakui keabsahannya.
4. Daya ikatnya bukan saja kepada rakyat, tetapi juga kepada
penguasa dan pembuat konstitusi itu sendiri.
b. Aspek Moral
Konstitusi dibuat berdasarkan landasan etika moral dan nilai-nilai
yang bersifat universal. Moral dan nilai-nilai universal setiap waktu
dapat mengkontrol konstitusi agar konstitusi dapat menyesuaikannya.
Contohnya, konstitusi yang melegalisir sistem apartheid dengan
sendirinya ia bertentangan dengan moral dan akan mendapat kritik dan
sorotan dari masyarakat umum. Motif politik yang menonjol dari
penyusunan UUD, menurut Bryce adalah sebagai berikut.
1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat untuk mengendalikan
tingkah laku penguasa.
2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada
dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan
sewenang- wenang dari penguasa masa depan.
3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau
mengamankan berlakunya acara pemerintahan dalam bentuk yang
permanen dan dapat dipahami oleh warga negara.
4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk menjamin
aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu berkeinginan
tetap mempertahankan hak serta kepentingan sendiri-
sendiri(Syahrial Syarbani, 2014:41-42).
173
yang dikedepankan sebagai cita ideal Negara hukum, aspek moral disini
dapat diartikan sebagai wujud keberadaan dan eksistensi masyarakat yang
memiliki nilai kedaulatan yang kemudian masyarakat pula membentuk
norma dan kaidah yang wujudnya kita identifikasikan berentuk moral.
174
BAB IX
DOKTRIN KONSTITUSIONALISME
Tujuan instruksional
1. Dapat mengethuai paham-paham dalam ajaran konstitusi
2. Dapat memahami sejauh mana paham dalam ajaran konstitusi
dibutuhkan dalam sebuah Negara
3. Dapat memhamai perkembangan paham ajaran konstitusi dalam
sebuah negara
A. Pengertian Konstitusionalisme
175
manusia. Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu
konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh
C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau
persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan
yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara.13 Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh,
maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan
pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal
ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat
manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di
Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun
peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998(Jimly
Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila:5).
176
adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh
dihukum jika melanggar hukum; Unsur ini diakui sebagai yang paling
pertama diperjuangkan oleh rakyat Jnggris. Doktrin supremasi hukum
menempatkan hukum sebagai alat pengatur tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Semua elemen daam negara harus menempatkan
hukum diatas segala-galanya. KeduaEquality Before Of the law dan ketiga
Constitution Based On Human Rights (Sirajuddin dan Winardi, 2015:25).
177
tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan apakah pemisahan itu
sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).
178
latar belakang adalah terpilinya sebuah system Negara hukum (rechstate)
dibandingkan system Negara kekuasaan (machstate).Idealnya memang
Negara hukum dianggap mampu menerjemahkan sebuah kekuasaan yang
ada dalam sebuah Negara dengan memposisikan rakyat sebagai tujuan
utamanya.
179
atas dasar hukum dasar (basic norm) yang demokratis, yang merupakan
naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga konstitusi yang dibentuk adalah
konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of law. Dengan batasan
tegas yang ditentukan konstitusi sebagai aturan dasar negara, maka
diharapkan penguasa tidak mudah memanipulasi konstitusi untuk
mengendalikan kepentingan kekuasaannya. Selain itu, konstitusi juga
diharapkan mampu menjamin dan memberikan perlindungan hak-hak
rakyatnya(Bactiar, Jurnal Surya Kencana Dua:127-128)
B. Doktrin Konstitusionalisme
180
pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum yang
berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar
Sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah(Sirajuddin dan Winardi,
2015:23).
181
negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Ses ungguhnya, yang memimpin dalam
penye1nggaraan negara adalah hukum itu sendiri, sesuai dengan prinsip
„the Rule of Law, And not of Man‟, yang sejalan dengan pengertian „n
omocratie‟, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,
„nomos‟.(Ni‟matul Huda, 2015:88).
182
sosial tersebut memerlukan suara mayoritas dan masyarakat dan teori
utilitarian memerlukan the greatest number ofpeople yang sebenarnya
merupakan wajah lain dan prinsip mayoritas masyarakat tersebut(Munir
Fuady, 2010:96).
183
Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip
demokrasi (Demos Cratos atau Cratein) dalam perkembangan sejarah
pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan
ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi (Nomos
Cratos atau Cratein).Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam
istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan
prinsip Rechrsstaat (Negara Hukum).Perdebatan teoretis dan fliosofis
mengenai mana yang Iebih utama dan kedua prinsip ajaran kedaulatan huk
um dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman
Yunani kuno.Di zaman modern Sekarang ini, orang berusaha untuk
merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya, dikatakan
bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dan mata uang
yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang
demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum(Ni‟matul
Huda, 2015:210-211).
184
3. Setiap tindakan Negara harus berdasarkan Undang-undang
yang dibuat terlebih dahulu. Negara baru dapat bertindak
menyelenggarakan kepentingan rakyat kalausudah ada Und ang-
undang untuk tindakan tersebut. Perkembangan selanjutnya halini tidak
mungkin, berhubung untuk membuat suatu peraturan undang-undang
adalah membutuhkan proses yang lama dan seringkali bawah Undang-
undang ketinggalan dan kebutuhan masyarakat, maka sering
Pemerintah mengambil kebijaksanaan sendiri dengan membuat
peraturan Pemenintah tersebut ke bawah. Sepintas lalu kita melihat
pelanggaran prinsip Negara Hukum karena yang membuat peraturan
itu bukan badan legislatif, tetapi eksekutif. Tetapi hal ml dapat
dinetralkan misalnya dengan memberikan hak menguji peraturan-
peraturan tersebut, kepada Mahkamah Agung dan kalau bertentangan
hendaknya dicabut kembali. Kemudian kalau terdapat perselisihan
antara penguasa dan rakyat, maka dibuat unsur keempat yaitu:
185
paradigmatik yakni pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi negara
hukum dan rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak
dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini,
maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari
jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak
hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta
menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap
penyelesaian kasus hukum. Perubahan paradigma ini harus diartikan pula
sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan dan moral sebagai sukma
hukum yang akan dibangun untuk masa depan negara hukum Indonesia.
Untuk melakukan penggeseran paradigma itu, kemungkinannya pada saat
ini sudah lebih terbuka, sebab UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi
secara eksplisit menyebut “rechtsstaat” sebagai acuan negara hukum
Indonesia. Istilah rechtsstaat yang dulu secara resmi terdapat di dalam
Penjelasan UUD 1945 sekarang sudah tidak dicantumkan lagi.Setelab
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen), Penjelasan
UUD tersebut dihapuskan dan tidak lagi menjadi bagian dan UUD 1945.
Sebagai gantinya, pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 digariskan tentang
negara hukum anutan Indonesia dengan bunyi ayat “Negara Indonesia
adalah negara hukum.”(Moh. Mahfud MD, 2013:186).
186
Di negara-negara Eropa Kontinental, konsepsi negara hukum
mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama perkembangan
terhadap asas legalitas yang sem ula diartikan sebagai pemerintahan
berdasarkan undangu ndang (wetmatigheid van bestuur) kemudian
berkembang menjadi pemerintahan berdasarkan hukum (rechtmatigheid
van bestuur). Terjadinya perkembangan konsepsi terse- but merupakan
konsekuensi dan perkembangan konsepsi negara hukum materiil sehingga
pemerintah diserahi tugas dan tanggung jawab yang semakin berat dan
besar untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun, pemerint ah
diberikan pula ruang gerak yang semakin longgar, yang cenderung
melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) disertai ruang kebijaksanaan
yang longgar berupa freies ermessen (Ni‟matul Huda, 2015:85). Dalam
paham negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa hukum
itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan huk um itu
sendiri, pada dasarnya berasal dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu,
prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut
prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (demokratische
rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirk an, dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsipp rinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar
(constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau
demokratis (democratische rechtsscaat)( Ni‟matul Huda, 2015:88-89).
187
1. Equality before the law, artinya setiap manusia mempunyai kedudukan
hukum yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama.
188
ke bawah. Sepintas lalu kita melihat pelanggaran prinsip Negara
Hukum karena yang membuat peraturan itu bukan badan legislatif,
tetapi eksekutif. Tetapi hal ml dapat dinetralkan misalnya dengan
memberikan hak menguji peraturan-peraturan tersebut, kepada
Mahkamah Agung dan kalau bertentangan hendaknya dicabut kembali.
Kemudian kalau terdapat perselisihan antara penguasa dan rakyat,
maka dibuat unsur keempat yaitu:
189
compulsory political mechanisms we call the State”. Jadi kata kuncinya di
sini adalah konsensus atau general agreement. Lebih lanjut jelaskannya
bahwa konsensus atau general agreement itu meliputi : “(a) the general
goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government; (b) the rule of law the basis of government; and (c) the
reform of institutiions and procedures”. Ketiga elemen ini sangat
menentukan tegaknya paham konstitusionalisme di suatu negara. Menurut
Jimly Asshiddiqie, “jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuhlah
pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya
perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi”. Hal ini semisal
tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu
revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun
1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun
1998, serta yang masih terhangat revolusi yang terjadi di Irak tahun 2008
dan di Mesir tahun 2013. Kesemuanya diakibatkan karena di antara warga
negara tidak tercapai konsensus terkait bangunan negara yang
diidealkan(Bactiar, Jurnal Surya Kencana Dua:130-131).
190
yang mendeklarasikan Rusia sebagai : “negara hukum yang berbentuk
federasi dengan sistem pemerintahan presidensil”. Konstitusi menekankan
prinsip pemisahan kekuasaan Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif, yang
masing-masing berdiri sendiri. Kekuasaan pemerintahan dalam lingkup
negara dipegang oleh : Presiden, Dewan Federasi, Pemerintah
(Pravitel‟stvo) dan Kehakiman, sedangkan dalam lingkup Subjek Federasi
Rusia (direpublik-republik, kray(daerah), oblast dan oblast otonom adalah
organ-organ kekuasaan setempat ( Fahrurodji, 2005:194).
191
terbukti dan praktik-praktik hukum di Indonesia.Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum. Konsepsi negara berdasar atas hukum Indonesia
memiliki ciri-ciri (yang dioper dan Rule of Law):
192
berusaha untuk memenuhi sekuat mungkin dan sedekat mungkin dengan
syarat-syarat tersebut( Munir Fuady, 2010:44-45).
193
Perujukan terhadap konvensi-konvensi tersebut juga semakin senng
dilakukan. Di sampingnya hakim dalam anti tertentu menguji peraturan
perundang-undangan yang Iebih rendah pada asas-asas hukum
fundamental dan asas-asas hukum fundamental itu dapat juga memainkan
peranan pada intenpretasi undang-undang dalam anti formal(J.A Pointer,
diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008:112). Namun pembentuk undang-
undang kadang-kadang juga secara sadar menyerahkan perkembangan
hukum kepada hakim. Dapat dikatakan bahwa terjadi “delegasi”
kewenangan pembentukan aturan kepada hakim. Terhadap “pembentukan
aturan hukum oleh hakim” ini juga dapat (telah) dilancarkan keberatan-
keberatan. Bukankah hakim tidak cukup disiapkan untuk tugas
pembentukan aturan. Berbeda dan kekuasaan pembentukan undang-
undang, hakim yaris tidak memiliki dukungan aparat kepegawaian. Pada
penataan bangunan (inrichting) kekuasaan kehaki man tidak dipikirkan
kegiatan-kegiatan untuk hakim di luar peradilan yang lazim. Selanjutnya,
suatu keberatan terhadap “pembentukan aturan oleh hakim” adaiah bahwa
hakim tidak dapat mengembangkan prakarsa-prakarsa sendiri untuk
pembentukan atunan, melainkan akan harus menunggu sengketa konkret.
Yang lebih besar adalah keberatan-keberatan yang menyangkut
pengorganisasian dan pembentukan putusan, misalnya tidak adanya
legitimasi demokratikai yang bersifat fundamental. Kadang-kadang hakim
memperlihatkan secara jelas bahwa karenaaiasan-alasan itu tidak mau
melakukan tindakan pembentukan hukum(J.A Pointer, diterjemahkan oleh
Arief Sidharta, 2008:113).
194
BAB X
PERBANDINGAN KONTITUSI
Tujuan Instruksional
1. Dapat memahami adanya perbandingan konstitusi dalam setiap Negara
sebagai rujukan pemahaman konstitusi secara komperhensif
2. Dapat menjadi instrument pendukung dalam pemahaman gagasan-gagasan
konstitusi yang berlaku dalam setiap Negara
195
pada sebuah jalinan konstitusi yang lebih akomodati terhadap kebutuhan
masyarakat.
196
dibawah lembaga memegang kekuasaan negara. Konsep pemisahan
kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de
Monstesquieu dalam karyanya L‟Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).
Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam
tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif),
kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh
Montesquieu diutamakan tindakan dibidang politik luar negeri (eksekutif)
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang
(yudikatif). Kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat kelengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya, konsepsi yang dikembangkan Montesquieu lebih
dikenal dengan ajaran Trias Politica. Jika dibandingkan konsep pembagian
kekuasaan John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785),
perbedaan mendasar pemikiran keduanya, bahwa John Locke memasukkan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.14 Berbeda
halnya dengan pemikiran John Locke dan Montesquieu, seorang sarjana
Belanda Van Vollenhoven, mengemukakan bahwa tugas dalam sebuah
negara itu bukan tiga, tetapi empat cabang kekuasaan dengan memakai
Kwartas Politica (Catur Praja), yang mana memasukkan tugas polisionil
sebagai tugas memelihara ketertiban masyarakat dan bernegara. Secara
umum, pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia dimaknai
(separation of power) dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica
Montesquieu. Hal ini muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu
yang menyatakan, “when the legislative and the executive powers are
united in the same person, or in the sama body of magistrate, there can be
no liberty”. Pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang sangat
luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang
dikutipkan dimaknai, bahwa cabang-cabang kekuasaan Negara benar-
197
benar terpisah atau tidak mempunyai hubungan sama sekali(Andryan M.
Solly Lubis, Suhaidi, Faisal Akbar Nasution, USU Law Journal:162-163).
198
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-
sama dengan Mahkamah Agung; dan
199
i) Bekerjasama dengan lembag anegara lain yang memiliki kedekatan
dalam fungsi(Komisi Yudisial, 2014:101-102).
200
output dan metode perbandingan mi bukan pada mencari persamaan
dan perbedaannya, akan tetapi lebih terfokus pada perbedaan yang
sifatnya tajam dan mencolok saja.
201
fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih
(Ni‟matul Huda, 2015:176).
202
Berbicara tentang prinsip pemisahan kekuasaan negara semisal,
maka tidak bisa dilepaskan dan pemikiran Montesqiue dalam bukunya
L‟espirit des Lois (1748). Ajaran Montesqiue (oleh Immanuel Kant
,dipopulerkan dengan sebutan Trias Politica) menghendaki pemisahan
kekuasan negara dalam tiga bidang pokok, yang masing-masing berdiri
sendiri, lepas dan kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu
fungsi saja, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif yaitu cabang kekuasaan yang
melaksanakan fungsi membentuk undang-undang, b. Kekuasaan eksekutif,
yaitu cabang kekuasaan yang memiliki fungsi melaksanakan undang-
undang/Pemerintahan, dan c. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi
peradilan. Gagasan Locke dan Montesquieu mendapatkan ekspresi
praktisnya dalam revolusi Amerika tahun 1780.kerangka pemerintahan
yang dijabarkan Konstitusi Amerika 1787, sejak awal memang
mensyaratkan pemisahan kekuasaan. Perdebatan yang berlangsung dalam
penyusunan konstitusi Amerika bukan tentang apakah konstitusi dalam hal
tertentu memuat pemisahan kekuasaan, melainkan apakah pemisahan itu
sudah cukup memadai(Sirajuddin dan Winardi, 2015:36).
203
tegaknya konstitusi secara umum.Oleh karena itulah maka upaya
menemukan intisari pernadingan harus diletakkan secara objektid pada
tujuan untuk mewujudkan keadilan secara utuh.
204
minoritas, dan sebagainya) dan suara mayoritas (tirani mayoritas). Jadi,
sebenarnya tidak banyak perbedaan apakah sistem unikameral” atau
bikameral yang digunakan dalam negara kesatuan atau federasi itu.Hal
yang penting adalah sistem majelis tunggal atau ganda itu dapat benar
benar berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengawasi
jalannya pemerintahan. Ada negara yang menjalankan sistem dua kamar
karena latar belakang kesejarahan. Inggris menjalankan sistem dua kamar,
antara lain untuk tetap memelihara kehadiran perwakilan kaum
bangsawan, di samping rakv at umum. Sistem dua kamar di Inggris tidak
terlepas dan proses demokratisasi badan perwakilan. Semuladan
perwakilan di Inggris hanya terdiri dankaum bangs awan atau yang
mewakili kelompok agama dan institusi tertentu. Demokratisasi dan
tumbuhnya kelas sosial baru (kelas menengah) kemudian menuntut
perwakilan yang mewakili rakyat umum.Lahirlah Majelis Rendah (House
of Commons) di samping Majelis Tinggi (House of Lords).Sistem dua
kamar di Amerika Serikat merupakan hasih kompromi antara negara
bagian yang berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit.House
of Representatives (DPR) mewakili seluruh rakyat.Setiap negara bagian
diwakili sesuai dengan jumlah penduduk.Senate (Senat) mewakili negara
bagian. Setiap negara bagian diwakili dua orang Senator tanpa membeda-
bedak an negara bagian yang berpenduduk banyak (seperti New York atau
California) dengan yang berpenduduk lebih kecil (seperti Alaska, atau
Nevada).(Ni‟matul Huda, 2015;167-168)
205
a. Tidak seperti Jeremy Bentham, John Austin membatasi hukum hanya
pada perintah (command) tentang apa yang harus dilakukan dan apa
yang dilarang.
b. Perintah menurut John Austin hanyalah perintah yang tidak langsung
dan pemegang otoritas sehingga hukum hanyalah perintah urnum
untuk memenuhihak-hak hukum dan warga masyarakat. Sebuah
perintah yang dijalankan dan mengandung unsur “amanah” (fiduciary),
seperti kewenangan wali bagi anak-anak di bawah umur; jadi tidak
termasuk perintah untuk kepentingan pemberi perintah, misalnya
perintah atasan terhadap bawahannya(Munir Fuady, 2010:11-12).
Konsep hukum menurut Hart jauh lebih kompleks dan pengertian
hukum menurur John Austin. Menurut Hart, hukum yang primer adalah
aturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban. Misalnya aturan
hukum pidana yang melarang dan memberikan sanksi kepada seorang
pencuri, perampok, penipu, pencopet, dan sebagainya. Sedangkan hukum
sekunder menurut Hart adalah aturan hukum yang mengatur bagaimana
dan siapa yang membuat, menegakkan, atau mengubah aturan hukum yang
primer tersebut. Terhadap hukum sekunder ini, Hart menyebutnya sebagai
“hukum pengakuan(rule of recognition) , karena merupakan aturan yang
menentukan mana di antara aturan dalam masyarakat yang dibuat dengan
prosedur yang sesuai hukum sehingga aturan tersebut dapat dianggap
sebagai hukum (Munir Fuady, 201039).
Perbedaan konsep hukum demikian tentunya akan menjadi latar
belakang pemahaman konstitusi pada setiap Negara yang yang tentunya
menjadikan akan berbeda satu dengan yang lain. Disini dapat dipahami
bahwa paradigma hukum (sudut pandang hukum) dalam suatau Negara
akan berimplikasi pada tatanan ideal sejuah mana Negara tersebut
membentuk konstitusinya.
Wujud konsep hukum yang demikian dapat diaktualisasikan dalam
system hukum yaitu antara sisitem hukum anglo saxon dan eropa
206
continental(civila law) diantaranya. Civil law dan anglo saxon dirasa
sangat memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami konstitusi.
Dalam sistem hukum civil law istilah “code “(undang-undang)
adalah sekumpulan klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif,
komprehensif dan sistematis yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang
disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu,
peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, di mana semua
sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan sering kali dalam
masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukumnya.
Sedangkan dalam sistem hukum common law mekipun dijumpai
penggunaan istilah “code “untuk peraturan hukum, akan tetapi makna
peraturan hukum itu tidak termuat dalam Kitab Undang-Undang yang
komprehensifitu, peraturan itu terkadang hanya bersifat terbatas baik
lingkup pengaturannya maupun wilayah berlakunya(Zainal Asikin,
2013:81).
Untuk memudahkan memahami karakter sistem hukum civil law,
maka di bawah ini akan diuraikan beberapa karakternya sebagai berikut :
1. Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh
hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab
Undang-Undang atau Perundang-undangan, sehingga undang-undang
menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat
pada preseden atau yurisprudensi.
2. Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum
publik.Meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil
law mengakui bahwa hukum privat mengatur hubungan antara warga
negara dan antarperusahaan, sedangkan hukum publik mengatur
hubungan antar warga negara dengan negara. Tetapi perbedaannya
dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam.
Karena perbedaan pada civil law kemudian muncul dua macam
hierarki pengadilan yaitu peradilan perdata dan peradilan pidana.
207
Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan
peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan
perdata, tetapi muncul pula Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
untuk penyelesaian persoalan Kepailitan, Peradilan Pajak, Mahkamah
Konstjtusi, Peradilan Militer, dan Peradilan khusus untuk tindak pidana
korupsi (TIPIKOR). Dalam sistem common law tidak ada pengadilan
tersendiri berkenaan dengan perselisihan hukum publik.6 Di dalam
sistem civil law kumpulan substansi hukum privat secara prinsipil
terdiri dan atas civil law dalam pengertian hukum perdata yang
selanjutnya dipecah ke dalam beberapa subbab atau devisi hukum
seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum
kepemilikan, hukum perjanjian atau kontrak.
3. Dalam sistem civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil law)
dengan hukum dagang (commercial law). Hukum dagang menjadi
bagian hukum perdata, tetapi diatur dalam kumpulan hukum yang
berbeda yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang tersendiri (French
Code de Conmierce/Hukum Dagang di Prancis) atau Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD di Indonesia). Dalam sistem hukum
common law tidak ada perbedaan antara hukum perdata dengan hukum
dagang dengan alasan yang sederhama bahwa hukum dagang adalah
bagian dan hukum perdata. Sebagai lawan dan hukum pidana(Zainal
Asikin, 2013:81-82).
Tradisi yang demikian sangat mewarnai dan berlaku di Indonesia.
Proses penjajahan belanda telah memberikan geseran paradigm
berkonstitusi yang dulunya berakar dari nilai-nilai budaya yang
dipengaruhi oleh sejarah masa kerajaan beralih pada system hukum yang
sifatnya tertulis.
Sistem common law memiliki tiga karakter, yaitu pertama,
yurisprudensi dianut sebagai sumber hukum yang utama, kedua dianutnya
prinsip stare decisis, dan ketiga dianutnya adversary system dalam
208
peradilan. Sistem ini berasal dan Inggris (dalam sistem ini tidak ada
sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang
dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan). Hukum inggris
karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang
terus-menerus, dengan pesat berkembang menurut garisnya sendiri, dan
pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika( Zainal
Asikin, 2013:82).
209
GLOSARIUM
Cita hukum (ideals) adalah maksud, semangat, visi, misi, dan obsesi yang
melatarbelakangi lahirnya atau dibuatnya suatu aturan hukum yang
sering kali berhubungan dengan tempat dan waktu di mana aturan
tersebut dibuat
Civil Law adalah system hukum yang mulai berkembang di Negara prancis.
Dalam system hukum ini sumber hukum hukum tertulis baik yang
berbentuk perundang-undangan atau kodisifikasi
Common Law adalah system hukum yang menekankan acuan utamanya yaitu
system hukum tidak tertulis. Berkembang di Negara inggris dan
mengacu pada acuan utama sumber hukumnya yaitu jurisprudensi
Modern adalah terbaharukan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak
sesuai dengan tuntutan zaman;
210
Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan
diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya
memiliki Kedaulatan. Negara juga merupakan suatu wilayah yang
memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di
wilayah tersebut, dan berdiri secara independent
Norma atau kaidah adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia
dalam masyarakat.
211
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
Konstitusi Press Jakarta
Dahlan Thaib DKK, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008, penemuan hukum (judul
asli rechtvinding), Jendela Mas Pusaka-Anggota Ikapi, Bandung
212
Komisi Yudisial, 2014, Studi Perbadingan Komisi Yudisial di berbagai
negara, diterbitkan oleh sekertariat jenderal Komisi Yudisial republik
indonesia, Jakarta
Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dai
UUD 1945 sampai dengan perubahan UUD 1945 tahun 2002,
Kencana, Jakarta
Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Gaya Media
Pratama, Jakarta
Muhtar Said, 2013, Politik Hukum Tan Malaka, Thafa Media, Semarang
Ni‟matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
213
Sri Soemantri Martosoewignjo, 2005, Hukum Konstitusi Yogyakarta : Kurnia
Kalam Semesta
214
Taufiqurrohman S(Lektor Kepala HTN Universitas Bengkulu), Negara
Konstitusional Bukan Sekedar Memiliki Konstitusi, makalah
disampaikan pada saat menjadi Biro Rekrutmen, Advokasi Dan
Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial Republik Indonesia
215
"Di zaman yang masyarakatnya mulai gagap, acuh dan anti konstitusi, buku
ini seperti menjadi oase di tengah-tengah gurun pasir yang gersang. Selamat
membaca.
"Kajian konstitusi merupakan kajian inti dalam ilmu hukum, terutama Hukum
Tata Negara. Dua dasawarsa terakhir, terutama seputaran perubahan
Konstitusi Indonesia UUD 1945 sepanjang tahun 1999-2002, minat kajian
tentang konstitusi mengalami perkembangan pesat, apakah menggunakan
perspektif hukum maupun perspektif politik. Munculnya konsep dan lembaga
baru yang dibentuk oleh konstitusi hasil amandemen, seperti konsep pemilu,
partai politik, Mahkamah Konstitusi untuk menyebut beberapa, serta
perkembangan praktek ketatanegaraan baru yang mendapat legitimasi baru
dalam konstitusi, menjadikan kajian konstitusi sebagai daya tarik baru.
Sebagai konsekuensinya, kajian konstitusi kemudian melahirkan sarjana-
sarjana baru dan ahli-ahli baru yang relatif muda usia dan berpandangan
progresif, tampil mengumandangkan gagasan baru dan segar dalam ranah
kajian konstitusi. Pada titik inilah kehadiran buku ini menjadi relevan. Buku
ini berada pada ranah penjelajahan teoritik dari berbagai aspek konstitusi,
mulai dari pembentukan, perubahan, penegakan hukum dan perbandingan
konstitusi. Buku ini layak menjadi pegangan bagi pengkaji konstitusi,
terutama di kampus-kampus hukum yang menempatkan Hukum Konstitusi
sebagai mata kuliah wajib Bagian Hukum Tata Negara, dan bahkan di kampus
hukum yang telah menjadikan Hukum Konstitusi sebagai mata kuliah wajib
fakultas. Buku ini bagus dan lengkap, namun akan lebih menarik bila sang
penulis pada bagian awal buku ini memberikan semacam panduan
metodologis bagaimana metode kajian yang berkembang untuk mengkaji
konstitusi, atau ragam metode penafsiran konstitusi. Selamat berselancar di
dunia konstitusi dari awal hingga akhir."
216