Anda di halaman 1dari 56

EPILOG....

Sebuah pengaharapan yang tidak mungkin kami musnahkan hingga


penghabisan. Kami berada di sebuah posisi dimana negeri dan rakyat dalam
kebijakan. Tidak mudah untuk mengawali sebuah perpindahan. Namun cekaman
demi cekaman tidak akan membuat kami gerah dan kalah dengan kepayahan.
Bagaimana mungkin akan berhenti dengan sendirinya? Bagaimana mungkin akan
terlihat rapi hanya dengan karena berdasi? Ini negeri untuk manusia seperti apa, jika
satu pergerakan dibungkam paksa tanpa alasan utama. Terima kasih kami ucapkan
kepada mereka yang telah menghidupi jalan generasi melalui pangan dalam satu
wadah pertanian. Karena kami pun mereka tahu bahwa pertiwi masih mampu
menyediakan suapan demi suapan. Biarkan kami bergerak dan bertindak untuk
negeri ini dan untuk generasi ini demi kesejahteraan.
KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah SWT, kami bersyukur atas tersusunnya “BUKU CINTA
MAHASISWA UNTUK NEGERI” ini. Sebuah buku yang menceritakan tentang
perjalanan negeri untuk masa depan bangsa Indonesia. Sebuah buku yang didapatkan dari
berbagai goresan ide generasinya. Sebuah buku yang menyampaikan pesan untuk
pemimpin dan memeperjuangkan rakyat dari sebuah makhluk yang orang namai
“mahasiswa”. Pergerakan dan perjuangan kami landasi atas nama persatuan. NKRI dengan
kebhinekaannya mewarnai alur dalam buku cinta ini. Sejarah bisu akan mencatat
generasinya yang peduli.
Harapannya melalui buku cinta ini pesan kami tersampaikan dengan baik dan
mendapat perhatian terkhusus pada solusi dan pemecahan masalah yang ada. Kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam pembuatan buku cinta ini.
Terima kasih juga kepada seluruh mahasiswa yang mengaspirasikan seluruh idenya untuk
negeri tercinta dan memperjuangkannya melalui aksi nyata. Sebuah kesatuan yang
mencoba mengawali perubahan demi perubahan atas rasa cinta dalam satu jiwa
“MAHASISWA”
DARAH JUANG

Bangku ini kosong dan telah berdebu


Mencoba membersihkan separuh tempat hanya untuk sekedar beristirahat
Sejenak melihat kedepan dengan ketidak pastian
Mencoba selalu berjuang hingga penghabisan
Siapa yang menjamin esokku akan baik-baik saja?
Siapa yang menjamin segores tinta untuk anak bangsa?
Tidak...
Aku tidak akan memulai dengan hal itu
Ini kami yang beranjak mencoba merubah sebuah tabiat
Karena pertiwiku tidak akan sirna dengan cepat
Dibawah dan ditopang dengan perjuangan
Melawan tirta hitam yang menetes dengan perlawanan
Hai...
Ini kekasih kami, dan biarkan kami menyayanginya
Tidak ada satupun yang dapat menutup durga angkara
Karena kami selalu bergerak
Karena kami bertindak nyata
Jika ada 1000 orang yang berjuang demi kebaikan
Pastikan aku satu diantaranya
Jika ada 100 orang yang tetap mempedulikan
Pastikan aku satu diantaranya
Jika hanya ada satu orang yang mati karena perjuangan
Maka pastikan aku lah satu orang yang tersisa itu
Satu naungan dalam pergerakan dan sebuah nama
MAHASISWA

Mahasiswa UNS
UNTUK
INDONESIAKU

Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan

HIDUP
MAHASISWA!!!
PANGAN, AGRARIA, DAN
KESEJAHTERAAN PETANI
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Pertanian Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126

“ Soal pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa”. Begitulah petikan
dari salah satu pidato tokoh utama di Indonesia, Ir. Soekarno. Sedari dulu kala kita
mengenal negeri kita, Indonesia tercinta sebagai Negara yang memiliki potensi
kekayaan alam yang begitu melimpah. Orientasi tersebut didukung dengan realita
keadaan alam Indonesia yang sangat mendukung dalam hal kekayaan alam.
Kekayaan alam yang dimiliki mampu menghantarkan negeri ini menjemput tahta
agraris. Tahta yang diemban ini seperti memberikan amanah tersendiri untuk
selalu menjaga eksistensinya sebagai negara agraris.
Agraris memiliki pengertian sebagai sebuah Negara yang mayoritas
penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Agraris memiliki kaitan
yang sangat erat dengan pertanian. Ketika sebuah Negara dijuluki sebagai Negara
agraris, maka yang terlintas dibenak kita bersama adalah adanya negeri yan
mengelola dan memanfaatkan dengan semaksimalnya kekayaan alam yang
dimiliki, terkhusus dalam sector pertanian.
“Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung didalamanya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.” UUPA.
Dalam UUPA tersebut dijelaskan bahwa kekayan alam yang dimiliki Indonesia
adalah untuk dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hal ini dapat
diartikan bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia terkhusus pada
kebutuhan pangan adalah dengan pengelolaan sumber daya alam secara optimal.
Indonesia yang merupakan Negara agraris dan disebut-sebut sebagai tanah surga
hingga tongkat, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini seharusnya mampu
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, bahkan Indonesia amat berpotensi untuk
menjadi Negara pengekspor bahan pangan. Lalu apa yang akan terjadi ketika
Negara yang bertahta agraris ini tak lagi mampu memenuhi (sebatas) kebutuhan
rakyatnya? Dan bagaimana langkah yang harus kita tempuh dalam menghadapi
tantangan ini?
Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan
pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris
dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan
kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian,
apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya
mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli
pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang
solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks
persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan
tidak asal „comot‟ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks
permasalahan.
Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan
penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar,
dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar
perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3
miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk
dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012).
Pangan menurut lampiran pe-raturan menteri pertanian nomor:
15/Permentan/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi
keberlangsungan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam
UU yang didasarkan pada kedaultan dan kemandirian pangan.
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara
agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini
terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan
harganya naik tak terkendali. Penyediaan pangan di masa depan berkejaran
dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai
populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian
untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga
abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan
kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012).
Pangan menurut lampiran pe-raturan menteri pertanian nomor: 15/Permenta
n/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi keberlangsun
gan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam UU yang didas
arkan pada kedaultan dan kemandirian pangan.
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara a
graris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terj
adi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harga
nya naik tak terkendali.
Sasaran strategis pembangunan pertanian yang dicanangkan pada tahun
2015-2019 adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan penyediaan bahan
pangan pokok (padi, jagung, kedelai, gula, daging, dan lainnya), meningkatkan
ekspor dan substitusi impor produk pertanian, meningkatkan ketersediaan bahan
baku bio-industri dan bio-energi, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Penetapan sasaran tersebut bertujuan untuk memperbaiki kondisi pertanian saat
ini. Hal tersebut diimplementasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan
Pemerintah. Beberapa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam jangka
waktu tahun 2015-2019 antara lain Kebijakan peningkatan ketahanan pangan
(padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, cabai, dan bawang merah) yang berdampak bagi
perekonomian, Kebijakan pengembangan komoditas ekspor dan distribusi impor
serta komoditas penyedia bahan baku bio-industri dan bio-energi, kebijakan
pengembangan infrastruktur serta tatakelola kepemerintahan yang baik dan
Reformasi Birokrasi.
Kebijakan peningkatan ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah
karena ketersediaan pangan menyangkut kelangsungan hidup masyarakat
Indonesia. Bentuk kebijakan peningkatan ketahanan pangan adalah dengan cara
meningkatkan produksi pangan yang diwujudkan dengan Program Peningkatan
Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan. Peningkatan produksi
tersebut dapat dilakukan dalam beberapa kegiatan seperti subsidi pupuk dan
benih. Subsidi pupuk dan benih tersebut diberikan kepada petani melalui
kelompok tani. Penyaluran subsidi ini kepada petani masih mengalami kendala.
Subsidi yang diberikan terkadang mengalami keterlambatan sehingga tidak dapat
dimanfaatkan petani karena kualitas benih yang jelek dan sudah terlalu lama. Hal
tersebut membuat petani belum bisa maksimal dalam menerima subsidi dari
pemerintah. Selain subsidi pra panen, diperlukan pula subsidi dalam hal pasca
panen seperti pemasaran. Pengendalian pemasaran oleh pemerintah diharapkan
dapat mengurangi risiko permainan harga oleh pihak-pihak tertentu.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan
untuk keperluan masyarakat. Beberapa komoditas bahkan menjadi produk
unggulan untuk diekspor ke luar negeri seperti kelapa sawit. Beberapa sumber
daya alam di Indonesia juga memiliki potensi untuk dijadikan sumber energi
seperti kelapa sawit dan ubi kayu. Namun angka impor bahan pangan Indonesia
juga masih tergolong tinggi sehingga harus ada pengembangan komoditas ekspor
dan mengatur produk-produk yang memerlukan impor dari negara lain.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah juga memperbaiki infrastruktur
yang berkaitan dengan pertanian seperti pembuatan embung. Embung yang
direncanakan akan dibuat oleh pemerintah adalah sekitar 30.000 buah pada tahun
2017. Pembuatan embung diharapkan dapat mengatasi masalah irigasi yang ada di
desa-desa. Akan tetapi perlu diperhatikan pula dampak negatifnya terhadap
lingkungan dan ketersediaan lahan. Permasalahan lain yang juga dapat muncul
adalah masalah kepemilikan tanah yang akan dipakai sebagai embung.
Harapannya, dalam pembangunan embung nanti tidak akan menimbulkan konflik
agraria karena persoalan kepemilikan lahan. Hal ini juga akan menjadi sorotan
tata kelola kepemerintahan yang ada. Oleh karena itu, sebelum pembangunan
embung persoalan kepemilikan tanah harus sudah dapat terselesaikan
Pembangunan infrastruktur dapat menimbulkan pendapat pro dan kontra
dalam masyarakat. Reforma agraria merupakan dasar hukum dalam persoalan
yang berkaitan dengan pertanian/agrarian. Landasan utama reforma agraria
(landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis
dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di
Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) Hadirnya Reforma Agraria sebagai solusi dari keadilan
sosial dan kesejahteraan rakyat belum bisa dijadikan jawaban. Reforma agraria
yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
(pertanian) yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat namun masih berjalan belum efektif. Terbukti
dari hasil survei Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat wilayah yang
menjadi titik konflik agraria mencapai 1, 26 juta hektare sepanjang 2016, atau
meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada 2015 yakni 400.430 hektare.
KPA juga mencatat ada 450 konflik agraria sepanjang 2016 atau meningkat
hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni mencapai
252 konflik.Dari total jumlah ini, konflik agraria melibatkan setidaknya 1.085.817
kepala keluarga (KK). Pada 2015 saja, total konflik yang terjadi adalah 252
kejadian dengan luasan mencapai 400.430 hektar dan melibatkan 108.714 KK.
Tahun kemarin, sektor perkebunan mendominasi seluruh konflik agraria di
Indonesia dengan persentase 50 persen. Di sektor ini, jumlah konflik agraria
mencapai 127 kasus. Posisi kedua konflik agraria terbanyak, berasal dari sektor
infrastruktur yaitu 70 konflik atau 28 persen. Selanjutnya, berturut-turut sektor
kehutanan 24 konflik (9,6 persen), sektor pertambangan 14 konflik (5,2 persen),
sektor lain-lain (4 persen), serta sektor pertanian dan sektor pesisir atau kelautan
masing-masing sebanyak 4 konflik (2 persen). Konflik agraria banyak berujung
hal yang tak mengenakkan dan membuat korban berjatuhan terbukti sepanjang
2015 konflik agraria telah mengakibatkan 5 orang tewas, 39 orang tertembak
aparat, 124 orang luka-luka karena penganiayaan, dan 278 orang mengalami
kriminalisasi atau ditahan. Baru-baru ini konflik seputar tanah Kendeng
bergejolak, lagi-lagi masalah agraria tentang tanah pertanian. Program pemerintah
dalam hal pembangunan memang tidaklah salah namun pemerintah juga harus
sadar bahwa negeri ini adalah negeri agraris yang masyarakatnya bergantung dari
pertanian. Jika makin berjalanannya waktu sumber dan lahan itu hilang atas nama
pembangunan juga merupakan hal yang tidak baik.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin
meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di
pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya
fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan
ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat
masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.
Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di
tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar,
konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten
dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara
langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan,
perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012)
Menurut KPA selama lebih dari 6 bulan Jokowi-JK memimpin, perencanaan
guna mendorong perwujudan reforma agraria sangat minim. Hanya kebijakan
redistribusi 9 juta hektar satu-satunya manifestasi dari usaha tersebut, meski
secara orientasi masih terlalu kabur. Dalam konteks kebijakan, redistribusi 9 juta
hektar tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni melanjutkan dari kebijakan
sebelumnya di era SBY, dimana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari
target di era sebelumnya. KPA mencatat, target redistribusi tanah di era SBY
terdiri dari 1 juta hektar tanah tanaman, 8,1 juta hektar hutan produksi dan 7
hektar tanah terlantar. Saat Jokowi-JK menetapkan 9 juta hektar, maka jumlah
tersebut sudah termasuk dalam target dari kebijakan SBY yang belum rampung
terlaksana. Budiman Sudjatmiko mengakui bahwa identifikasi jumlah tanah objek
redistribusi dilaksanakan sejak era SBY. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK
cenderung hanya melanjutkan.
Hiruk-pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres, dan pemilihan pres
iden sudah berakhir. Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visi-
misi serta janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani In
donesia memang berlandaskan peta permasalahan pangan yang ada serta memung
kinkan direalisasikan pada periode pemerintahan mendatang.

Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari
kemudian yang amat ngeri. Bahkan seperti satu todongan pistol ”mau hidup
ataukah mau mati” (Bung Karno).
MENCERMATI PERSELISIHAN YANG TERJADI
ANTARA PT FREEPORT INDONESIA DENGAN
PEMERINTAH INDONESIA
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126

Seperti yang sudah diketahui, di Papua sedang terjadi kisruh yang cukup
merugikan berbagai pihak akibat ketegangan yang terjadi antara Pemerintah
Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Ketegangan ini terjadi lantaran PTFI
menolak kebijakan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diajukan oleh
pemerintah sebagai ganti dari Kontrak Karya (KK) ditolak oleh PTFI. Akibatnya, PTFI
tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga, yang lalu pada akhirnya PT Freeport
Indonesia menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017. Salah satu
akibat dari berhentinya kegiatan produksi Freeport adalah dirumahkannya puluhan
ribu pekerja yang merupakan penduduk lokal. Lalu, para pekerja yang dirumahkan
oleh PT Freeport Indonesia mengancam akan menduduki kantor-kantor pemerintah,
bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tidak segera memulihkan kegiatan
produksi Freeport.
Menurut Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, sejauh ini Freeport telah mem-PHK sekitar
1.100 pekerja dan merumahkan ribuan lainnya. Namun, menurutnya Freeport sengaja
memanfaatkan situasi ini untuk melakukan efisiensi, memberhentikan para pekerja
yang sudah habis masa kontraknya dan karyawan yang tidak berkelakuan baik. Selain
itu, menurut Bupati Mimika bahwa perekonomian di Mimika masih berjalan normal
dan situasi sosial masih dapat terkendali. Hanya saja, nasib para pekerja yang tekena
PHK tidak boleh diabaikan. Selain itu, pemerintah juga sudah memberikan
rekomendasi izin ekspor agar Freeport bisa beroperasi kembali yang diharapkan bisa
menjadi solusi jangka pendek dalam waktu 6 bulan kedepan.
Lantas, mengapa Kontrak Karya harus diubah menjadi IUPK? Mengapa pemerintah
bersikeras untuk menggunakan kebijakan tersebut? Bagaimana langkah apa yang
diambil kedua pihak apabila tidak menemukan win win solution?
Pengubahan Kontrak Karya Menjadi IUPK
Alasan Pemerintah Indonesia mengganti Kontrak Karya menjadi IUPK adalah semua
pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi)
dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan
Pasal 170 UU No 4/2009) alias 2014. Namun pada kenyataannya sampai saat ini pihak
PTFI belum membuat smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian). Pemegang
Kontrak Karya (KK) yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter)
sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, apabila tetap ingin melakukan
ekspor konsentrat
harus merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Oleh
sebab itu, pemerintah menawarkan IUPK sebagai jalan keluar agar Freeport tetap
dapat mengekspor konsenstrat.
PT. Freeport Indonesia tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab,
IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan
perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah
hingga masa kontrak berakhir (naildown). Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan
melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51%
karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham
mayoritas dipegang pihak lain. Sementara, saat ini PT Freeport Indonesia baru
melakukan divestasi saham sebesar 9.36% dan baru baru ini kembali menawarkan
10.64% kepada pemerintah, dimana seharusnya PTFI melakukan Divestasi saham
sebesar 30% sesuai dengan Peraturan Pemerinha (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaa Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara.
Sebenarnya perusahaan pertambangangan pemegang Kontrak Karya (KK) tidak
diwajibkan mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK). Semua pemegang KK, termasuk PT Freeport Indonesia, berhak tetap
memegang KK. Tidak ada paksaan untuk berubah menjadi IUPK.
Ada perusahaan tambang yang memilih untuk tetap menjadi pemegang KK hingga
masa kontraknya habis, yaitu PT Vale Indonesia Tbk. Ada juga yang berganti baju jadi
pemegang IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
Tapi bagi yang tetap menjadi pemegang KK, konsekuensinya adalah tak bisa
mengekspor konsentrat lagi. Kalau mau ekspor konsentrat, harus berubah menjadi
IUPK karena UU Minerba tak memberi deadline bagi pemegang IUPK untuk
melakukan pemurnian. Bagi Vale, tentu tak jadi problem karena mereka sudah
membangun smelter, memurnikan seluruh hasil produksinya, dan hanya mengekspor
mineral yang sudah dimurnikan. Tapi buat Freeport ini masalah, karena perusahaan
tambang asal Amerika Serikat (AS) ini belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya
melakukan pemurnian, baru 40% konsentratnya yang sudah dimurnikan di smelter
Gresik.
Apa itu IUPK dan KK
Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK merupakan izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwa setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin
untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha
berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 83 UU Minerba mengatur persyaratan luas wilayah dan jangka waktu IUPK
sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK
meliputi:
a. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam
diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral
logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara
diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
d. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan
batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling
lama 8 (delapan) tahun.
f. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama
7 (tujuh) tahun.
g. Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing
10 (sepuluh) tahun.

Dalam pelaksanaannya, IUPK tidak dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan


selain yang tertera dalam pemberian IUPK. Dalam hal proses Eksplorasi, jika
pemegang IUP ingin menjual mineral logam atau batubara, maka pemegang IUP
Eksplorasi wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan
penjualan yang diberikan oleh Menteri.
Lalu, Kontrak karya atau KK adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan
antara pemerintah republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan
perusahaan asing dengan Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk
melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak gas dan bumi.
kontrak karya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan dimana
sebelumnya dimulai oleh UU No1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang
menjadi pintu masuk inverstor asing untuk menanamkan modalnya dalam bisnis
pertambangan.Dalam pasal 8 uu no1 tahun 1967 disebutkan bahwa penanaman
modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan
pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai ketentuan perundangan
yang berlaku
Kontrak Karya Sebagai Bagian Kerjasama Pertambangan
Kontrak karya adalah salah satu dari jenis-jenis kerjasama dalam usaha
pertambangan selain kontrak karya ada juga Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B). Objek dari kontrak karya adalah perjanjian-perjanjian
pertambangan di luar minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, batu bara.
Pengusahaan pertambangan umum mencakup kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan serta penjualan
bahan galian. Khusus untuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) mencakup pula kegiatan studi kelayakan dan
konstruksi. Bahan-bahan galian dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan: (i) bahan
galian strategis disebut golongan A; (ii) bahan galian vital disebut golongan B; dan
(iii) bahan galian bukan strategis dan bukan vital disebut golongan C.
Sifat Perjanjian Kontrak Karya
Kontrak karya merupakan perjanjian innomirat yaitu perjanjian yang pengaturannya
tidak diatur dalam KUHPeR. Karena kontrak karya adalah perjanjian khusus yang
ketentuaanya merujuk pada pasal 1338 KUHPeR, yang terkenal dengan asas
kebebasan berkontrak. Dimana dalam pasal 1338 para pihak yang sepakat untuk
mengikatkan dirinya dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut menjadi hukum dan
mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya, tetapi dibatasi oleh pasal 1320
KUHPeR. Kontrak karya adalah perjanjian yang bersifat dinamis dimana terdapat
butir-butir yang dapat direnegosiasi antara lain: luas wilayah, tenaga kerja, royalti,
masa kontrak, pajak, pengembangan wilayah usaha setempat, domestic market
obligation, dan kepemilikan saham.
Bentuk dan Substansi Kontrak Karya
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan
penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan
domestik adalah bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapakan oleh Pemerintah
Republik Indonesia melalui Departemen ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral )
dengan calon penanam modal.Substansi dari kontrak karya tersebut meliputi :
1. tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya
2. Subjek hukum yaitu : Pemerintah dan penanam modal
3. Definisi, yaitu : Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair, pengusahaan,
, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan umum , eksplorasi,
wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral ikutan, penambangan,
pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran, dan wilayah proyek.
4. Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan
5. modus operandi, yaitu : memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi
pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program,mengkontrakkan
pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang dinggap perlu.
6. Wilayah kontrak
7. Periode penyelidikan umum
8. Periode eksplorasi
9. Laporan dan deposito jaminan
10. Periode studi kelayakan
11. Periode konstruksi
12. Periode operasi
13. Pemasaran
14. Fasilitas umum dan re-ekspor
15. Pajak-pajak dan lain-lainkewajiban keuangan perusahaan
16. Pelaporan,inspeksi dan rencana kerja
17. Hak-hak khusus pemerintah
18. Ketentuan-ketentuan kemudahan
19. Keadaan memaksa (force majure)
20. Kelalaian
21. Penyelesaian sengketa
22. Pengakhiran kontrak
23. Kerja sama para pihak
24. Promosi kepentingan nasional
25. Kerja sama daerah dalam pengadan prasarana tambahan
26. Pengelolaan dan perlindungan lingkungan
27. Pengembangan kegiatan usaha setempat
28. Ketentuan lain-lain
29. Pengalihan hak
30. Pembiayaan
31. Jangka waktu
32. Pilihan hukum

Persyaratan wilayah kontrak


Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2001 dan
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 134.K/201/M.PE/1996.Persyaratan
wilayah yang diperbolehkan bagi pengusahaan pertambangan :
1. Kontrak Karya(KK), luas wilayah tidak boleh melebihi 250.000 Ha.
2. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), luas wilayah tidak
boleh melebihi 100.000 Ha.
3. Kuasa Pertambangan (KP) Penyelidikan Umum, luas wilayah tidak boleh melebihi
25.000 Ha.
4. Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi, luas wilayah tidak boleh melebihi 10.000 Ha.
5. Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi, luas wilayah tidak boleh melebihi 5.000 Ha.

Perbedaan IUPK dan KK


Perbedaan utamanya ialah status perjanjian, KK adalah 'kontrak' dan IUPK ialah 'izin'.
Dalam KK, Freeport dan pemerintah Indonesia adalah 2 pihak yang berkontrak,
kedudukannya sejajar. Sedangkan kalau IUPK, negara adalah pemberi izin yang
berada di atas perusahaan pemegang izin.
UU Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan berbagai
hak dan kewajiban bagi pemegang IUPK, yang tentunya berbeda dengan hak dan
kewajiban pemegang KK.
Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari sini jelas bahwa IUPK bersifat prevailing, mengikuti aturan perpajakan yang
berlaku. Besarnya pajak dan PNBP dapat berubah ketika ada perubahan peraturan.
Inilah yang dianggap sebagai ketidakpastian oleh Freeport, mereka ingin besaran
pajak dan PNBP yang stabil seperti dalam KK, tidak berubah-ubah hingga masa
kontrak habis (naildown).
Lalu soal kewajiban melakukan pemurnian, baik IUPK maupun KK sama-sama wajib
melakukan pemurnian mineral. Tetapi pasal 102 dan 103 UU Minerba tak
memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan
pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian).
Sedangkan untuk pemegang KK ada batasan waktunya. Di pasal 170, UU Minerba
menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian mineral dalam waktu
5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014. Inilah sebabnya pemerintah menawarkan
IUPK kepada Freeport. Satu-satunya jalan yang memungkinkan Freeport tetap
mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK.
Jika pemerintah memberikan izin ekspor tapi Freeport tetap berpegang pada KK,
akan terjadi pelanggaran terhadap UU Minerba. Baik pemerintah maupun Freeport
semuanya terikat oleh UU Minerba.
Langkah Pemerintah Indonesia dan PTFI Apabila Tidak Menemukan Win Win
Solution
Baik Pemerintah Indonesia maupun PTFI sama sama berencana untuk membawa ke
Arbitrase apabila setelah 120 hari (terhitung per tanggal 17 Februari 2017) tidak
dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Sebenarnya, pemerintah
menawarkan 2 solusi lain ke PTFI sebelum bersengketa di Arbitrase. Opsi pertama
adalah Freeport menerima IUPK dan izin ekspor konsentrat yang sudah diberikan
pemerintah sambil meneruskan negosiasi terkait stabilitas jangka panjang yang
mereka inginkan. Opsi kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara (UU Minerba) direvisi, agar ada ruang untuk mengakomodasi keinginan
Freeport.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana,
menyarankan sebaiknya menerima saja IUPK dan izin ekspor dari pemerintah agar
dapat memulihkan kembali kegiatan operasi dan produksinya, sembari
merundingkan stabilitas jangka panjang dan kewajiban divestasi. Jika memilih opsi
kedua, Freeport harus menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
sampai revisi UU Minerba selesai. Selama itu, Tambang Grasberg tak beroperasi.
Tentu bukan opsi yang ideal. Sementara, untuk opsi ketiga, yakni Arbitrase, bukan
jalan yang bagus. Hikmahanto yakin, posisi pemerintah Indonesia cukup kuat dan
dapat mengalahkan Freeport kalau masalah dibawa ke Arbitrase. Sebab, tidak ada
pelanggaran terhadap KK. Dengan menerbitkan IUPK untuk Freeport, pemerintah
justru berupaya mencarikan jalan terbaik.
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada saat
berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg tidak berlaku
lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir semua aspek
mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan ruang
lingkup baik nasional maupun internasional.
Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini
meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun
beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan
sengketa melalui jalur litigasi adalah:
1. Sidang tertutup untuk umum
2. Prosesnya cepat (maksimal enam bulan).
3. Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi.
4. Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan
memiliki integritas atau moral yang tinggi.
5. Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada
'biaya-biaya lain'.
6. Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan
Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para
pihak.

Dalam ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia


juga acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh
kasusnya adalah :
1. Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan
melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004
sampai 2007
2. Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan
melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008
3. Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat
Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan
melalui ICSID, Singapore
4. Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di
ICSID, Washington DC.

Seiring perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui


beberapa permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau
eksekusi putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase
internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa adalah Negara
Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada eksekuatur dari
Mahkamah Agung –
RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia seringkali "dicap" enggan untuk
melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan alasan bahwa
putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam
ruang lingkup nasional pelaksanaan putusan arbitrase juga seringkali terhambat
akibat kurangnya kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat
penundaan putusan arbitrase.
Negosiasi Freeport - Indonesia
Sebagai perusahaan nasional dengan komposisi saham mencapai 90,64% dikuasai
asing, perkembangan PT Freeport Indonesia tentu tidak dapat dibilang mulus
melainkan banyak diwarnai dengan pertentangan, sikap kontra, dan berbagai protes
yang digulirkan masyarakat, terutama kepada pemerintah Indonesia yang dinilai tidak
dapat secara tegas mengatur operasi perusahaan ini. Sebagai perusahaan yang
bergerak di bidang pengelolaan sumber daya mineral, pengelolaan perusahaan ini
seharusnya didasarkan pada UU No. 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berikut kronologi kontak karya serta
sejumlah negosiasi yang telah terjadi antara PT Freeport dan Indonesia dari masa ke
masa.
Tahun 1967
- Kontrak karya generasi I (1973-1991)
- Eksploitasi : 258 ribu ton

Tahun 1991 - Kontrak karya generasi II (1992-2014) - Total eksploitasi : 3.992 ribu
ton
Tahun 2009 - Kewajiban penghiliran tambang mulai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu
Bara selalu berubah-ubah. - Peraturan Pemerintah No 23/2010 menyebutkan
kewajiban divestasi hingga 20 persen. - Peraturan Pemerintah No 24/2012
menyatakan kewajiban divestasi sebesar 51 persen hingga tahun kesepuluh. -
Peraturan Pemerintah No 1/2014. - Peraturan Pemerintah No 77/2014 menyebut
kewajiban divestasi tambang bawah tanah 30 persen. Perpanjangan diajukan paling
cepat dua tahun sebelum kontrak karya berakhir.
19 Desember 2012. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM
mengundang PT Freeport Indonesia untuk membahas 6 isu strategis renegosiasi
amandemen kontrak karya (luas wilayah, kelanjutan operasi, penerimaam negara,
divestasi, pengolahan pemurnian, dan penggunaan barang, jasa serta tenaga kerja
dalam negeri).
25 Juli 2014. Memorandum of Understanding (MoU) renegosiasi amandemen
kontrak karya antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah ditandatangani,
wilayah kontrak karya (WKK) disepakati 90.360 hektare dan projek area 36,640
hektare, divestasi 30 persen, pajak badan nailed down, Penerimaan Negara Bukan
Pajak dan Pajak lainnya prevailing sampai dengan tahun 2021, kelanjutan operasi
pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pengolahan
dan pemurnian akan dilaksanakan di dalam negeri dengan mewujudkan suatu
fasilitas pemurnian tembaga tambahan di Indonesia dengan mengutamakan
penggunaan tenaga kerja, barang, dan jasa dalam negeri.
23 Desember 2014. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, dengan melibatkan
pemerintah daerah (kepala dinas Energi dan Sumber Daya Mineral), melakukan rapat
membahas perkembangan naskah amandemen kontrak karya PT Freeport Indonesia.
23 Januari 2015. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia memperpanjang MoU
renegosiasi amandemen kontrak karya untuk memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyepakati amandemen kontrak karya.
9 Juli 2015. Surat PT Freeport Indonesia mengenai Permohonan Perpanjangan
Operasi.
31 Agustus 2015. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengirimkan teguran
keras kepada PT Freeport Indonesia atas ketidaktaatan PT Freeport Indonesia dalam
menyelesaikan amandemen kontrak karya dan ketidakpatuhan dalam menjalankan
amanat UU Minerba.
11 September 2015. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menanggapi
surat PT Freeport Indonesia atas Permohonan Perpanjangan Operasi.
7 Oktober 2015. PT Freeport Indonesia mengirimkan surat ke Menteri ESDM terkait
Permohonan Perpanjangan Operasi.
7 Oktober 2015. Menteri ESDM mengirimkan surat kepada PT Freeport Indonesia
yang menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia dapat terus melakukan kegiatan
operasinya hingga 30 Desember 2021 dan PT Freeport Indonesia berkomitmen untuk
melakukan investasi dan meneruskan renegosiasi untuk menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Pada puncaknya, Pemerintah Indonesia membuat gebrakan baru pada tahun 2017:
Tahun 2017 - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017. Dalam PP
ini Kontrak Karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Kewajiban
divestasi bertahap hingga 51 persen. 12 Januari 2017 Ekspor konsentrat PT Freeport
Indonesia berhenti.
Beberapa Kontribusi PT Freeport Indonesia di Tanah Air
Dampak Fiskal dan Ekonomi
Kehadiran Freeport di Indonesia memberikan dampak ekonomi dan fiskal baik pada
tingkat nasional,provinsi maupun kabupaten. Besaran dampak tersebut dapat
diketahui dari pengukuran kontribusi PTFI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan
semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah dalam jangka waktu
tertentu. PDRB sendiri adalah nilai tambah ekonomi atau balas jasa atau pendapatan
yang diterima oleh semua factor produksi yang dilibatkan dalam kegiatan produksi.
Faktor produksi yang dimaksud di antaranya adalah tenaga kerja, barang modal, dan
kewirausahaan. PTFI dalam hal ini memberikan kontribusi sebesar 1,6% dari PDB
Indonesia pada tahun 2009, sebesar 1,1% pada tahun 2010, dan 0,8% pada tahun
2011(Laporan Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat-Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, LPEM-FE UI, 2013).
Sektor ekonomi utama yang terkait dengan keberadaan PTFI baik di tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten adalah sektor pertanian, pertambangan,
manufaktur,listrik, gas, air, konstruksi, perdagangan, transportasi,keuangan, dan jasa-
jasa pendukung dari keseluruhan industri utama dan industri pendukung.
Kontribusi PTFI pada PDRB Provinsi Papua sangat besar meskipun menunjukkan
kecenderungan yangmenurun, yaitu pada tahun 2009 sebesar 61,3%,tahun 2010
sebesar 53,6%, dan tahun 2011 sebesar 45,4%. Kecenderungan menurunnya
kontribusi PTFI dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, terjadi penurunan produksi.
Kedua, berkembangnya sektor sector ekonomi lainnya di Provinsi Papua. Sedangkan
kontribusi ekonomi PTFI pada Kabupaten Mimika, kabupaten yang baru berumur 12
tahun, sangat dominan. Dari awal terbentuknya Kabupaten Mimika pada tahun 2001
sampai (2012), kontribusi PTFI terhadap PDRB secara rata-rata tidak pernah kurang
dari 95% (LPEM-FE UI, 2013).
Bagi Provinsi Papua, keberadaan PTFI secara langsung memberikan dampak ekonomi
yang sangat dominan. Hal ini akan semakin kentara jika memperhitungkan dampak
tidak langsung berupa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pendukung dari industri
pertambangan yang melibatkan masyarakat lokal baik di tingkat regional Papua
maupun di tingkat nasional. Penelitian LPEM-FE Universitas Indonesia tahun 2013
menyimpulkan bahwa dampak operasional PTFI pada perekonomian lokal, regional
dan nasional telah menciptakan 227.000 peluang kerja, termasuk di dalamnya
128.000 kesempatan kerja langsung dan tidak langsung di Provinsi Papua.
Membangun Infrastruktur di Dataran Tinggi Mimika
PTFI menyediakan infrastruktur yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di
Banti, Aroanop, dan Tsinga. Program ini lebih dikenal dengan nama Proyek Tiga Desa
di wilayah kontrak karya. Sepanjang tahun 2012, program infrastruktur di dataran
tinggi difokuskan pada pembangunan di wilayah Tiga Desa (Banti, Aroanop, dan
Tsinga). Pada 2012, terdapat beberapa penyelesaian
pembangunan jembatan gantung di Aroanop dan Tsinga, instalasi pipa air bersih, dan
instalasi pipa sanitasi. Tahun 2012, PTFI juga mengerjakan proyek pembangunan
lapangan terbang perintis di Kampung Anggokin, Aroanop. Ini adalah lapangan
terbang perintis kedua karena pada tahun 2010, kami juga telah menyelesaikan
pembangunan lapangan terbang Mulu, Tsinga yang telah diserahkan kepada
pemerintah pada 2011. Kehadiran kedua lapangan terbang ini akan meningkatkan
akses masyarakat dari dan ke wilayah lain di kabupaten Mimika.
Membangun Infrastruktur di Dataran Rendah Mimika
PTFI melakukan pembangunan masyarakat di lima desa di Kamoro Timika (Nayaro,
Koperapoka, Nawaripi Baru, Ayuka, dan Tipuka) dalam pembangunan infrastruktur di
desa-desa tersebut seperti pembangunan rumah tinggal, jalan raya, jembatan,
gedung ibadah, sekolah, klinik, gedung pemerintahan, fasilitas air bersih, sumber dan
instalasi listrik. Untuk mendukung keberlanjutan dan mata pencaharian masyarakat
Kamoro di lima desa, PTFI melakukan berbagai program pendampingan dan
pengembangan masyarakat di wilayah tersebut. Program ini dititikberatkan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program ekonomi dan kesehatan.
Dalam rangka mendukung pengembangan program tersebut, PTFI melakukan
serangkaian pembangunan dan penyediaan fasilitas infrastruktur untuk mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada tahun 2012, PTFI bekerjasama
dengan United States Agency for International Development (USAID) untuk
menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan ikan sebagai bagian dari program
Papua Agriculture Development Alliance (PADA), melanjutkan dukungan untuk para
nelayan di Timika dan Pomako yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya.
Langkah pemerintah apabila kasus sampai ke arbitrase dan memenangkannya
Menurut Luhut Panjaitan, Menko Maritim, jika Pemerintah Indonesia menang di
Arbitrase, maka kontrak Freeport selesai sudah di tahun 2021. Namun, apabila PTFI
setuju untuk melepaskan 51% sahamnya, maka kewajiban mengambil alih saham
Freeport Indonesia masih menjadi kewenangan pemerintah. Namun jika pemerintah
melalui APBN tidak mampu, maka tahap selanjutnya ditawarkan ke BUMN, dalam hal
ini Inalum yang akan mengeksekusinya.
Jika PT Freeport Indonesia setuju menerima IUPK dan melepas 51% sahamnya, Eltinus
Omaleng, selaku Bupati Mimika meminta pemerintah daerah (pemda) Mimika
sebagai daerah penghasil tambang diberi jatah. Dengan adanya kepemilikan Pemda
Mimika, Tambang Grasberg diyakini dapat lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal, merasakan manfaat keberadaan tambang emas dan tembaga.
Menyatakan Sikap
BEM Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia, memutuskan untuk mengambil beberapa sikap setelah melakukan
pertimbangan melalui paparan yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu:
1. Mendukung segala bentuk langkah Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas
kepada perusahaan asing yang melanggar peraturan di Indonesia.
2. Mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengambil saham mayoritas dari
PTFI Indonesia yang sudah sangat lama berada di Indonesia dan memang sudah
sewajarnya Pemerintah Indonesia menjadi pemegang saham terbesar.
3. Meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak mengabaikan, serta lebih
memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat Papua yang terkena dampak dari
kasus ini.
UNTUK
JAWA TENGAH KAMI TERCINTA

Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan

HIDUP
MAHASISWA!!!
JAWA TENGAH REBUTAN TANAH
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM FKIP, FP, FH dan FISIP Jalan Ir. Sutami No. 36A
Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126

Gunung Kendeng
Panguripe dulur sami
(Sumber kehidupan kita semua)
Saking Taban nganti Tuban punika
(Dari Taban sampai Tuban)
Kathah sanget isen-isene
(Banyak yang ada didalamnya)
Wolu pitutu ing banyu ning Sukolilo nyukupi wargane
(Delapan puluh tujuh mata air di Sukolilo mencukupi
wargannya)
Ayo dulur sedoyo nguri-uri tinggalane sing Nduwur
(Mari saudara semua melestarikan peninggalannya)
Pasarehan dilestariknno murih dadi roso tentrem neng
ati
(Lestarikan tempat bersejarah agar hati menjadi tentram)
Kanti bukti lan nyata
(Dengan bukti nyata dan tindakan)
Kendeng puyeng saat ini, tanpa ada raut bahagia diwajah para petani. Itu
tanah mereka, itu rumah mereka. Namun Pemimpinnya menganggap seolah hal
ini biasa. Orasi dengan maksud tersembunyi saat dulu mencari simpati,
merajakan rakyat padahal korporat. Rakyat berjuang dengan demokrasi yang
walaupun lagi-lagi hanya dikerasi.
Tinggi hati dengan kuasa untuk apa itu semua ? Jika rakyat masih
menderita. Pencitraanmu benar-benar luar biasa hingga rakyat tak menyadari
bahwa sikapmu hanya kamuflase belaka. Seorang Kartini gugur dimedan tempur,
dan si korporat hanya menonton sembari meminum anggur. Pemerintahan
sekarang ini tak ubahnya seperti Nazi dan Fasis di Itali. Pemusnahan nalar bahwa
Kendeng tak dalam masalah, dan dengan berbagai kode perilaku yang menunjuk
pada kekerasan dan kebohongan seolah siapapun yang melawannya menjadi
musuh yang harus musnah.
Konflik dari tahun 2010 yang kian belarut-larut sampai saat ini, masih
tanpa solusi yang diberi padahal digaji dari uang kami. Hanya mementingkan
Ekspansi dan Investasi pada tanah rakyat yang haknya dikebiri. Sekali lagi,
Indonesia tak perlu semen tambahan. Biarkan rakyat Kendeng bekerja dengan
alam, karna hal itu yang diajarkan oleh nenek moyang. Warga Kendeng berjalan
ratusan kilometer untuk menjemput keadilan saat putusan MA terkalahkan oleh
sebuah kekuasaan, sembari berdoa tengah malam agar Pemimpinnya sadar
karna sudah keblabasan.
Banyak pasal yang menerangkan bahwa tindakan ini melanggar aturan.
Salah satunya Pasal 28 H ayat (1) dikatakan bahwa “setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun
mengapa hidup ini begitu menyakitkan, ditanah anak cucu mereka akan
dibesarkan. Para Pejuang Kendeng masih berjuang dengan segala kekuatan dan
ketabahan meski sesekali merasakan getirnya sebuah pertahanan. Terlalu banyak
basa basi kata yang diucapkan korparat tentu membuat jengah. Pejuang
Kendeng yang masih berjuang barangkali sudah mencapai titik nadir, dimana
mereka benar-benar lelah. Sesekali ingin mengeluh dan berhenti, namun jika itu
terjadi sia-sia apa yang mereka lakukan selama ini.
Pada pasal 28 A dikatakan bahwa “ setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” sesuai dengan Pasal
tersebut Warga kendeng dan Kartini lain pengganti Bu Patmi masih terus
berjuang melawan korporasi ditanah yang mereka tiduri. Berusaha sekuat tenaga
agar kehidupan mereka tak diintervensi demi kepentingan pribadi, demi anak-
anaknya dan demi cucu mereka. Ini sudah jelas bahkan sangat jelas saat putusan
MA menyatakan batal SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012
dan mewajibkan Tergugat mencabut SK tersebut, namun lagi-lagi kuasa
mengalahkan segalanya. Pabrik pun seolah menjadi tema utama dimana
Gubernur menjadi sutradara yang memerintah hal yang tak seharusnya ada.
Warga yang kontra seolah dianggap tak mengetahui apa-apa pada masa depan
lingkungan mereka, yang seolah mampu membangun dengan begitu cerah tanpa
celah.
Saat warga kendeng dianggap kriminal dan penghambat pembangunan
adalah hal lucu yang wajib di tertawakan. Siapa yang kriminal ? Siapa yang
Penghambat pembangunan ? Tanah ini lebih besar dari uang yang Kaum
Korporat Tuhankan. Ini masalah alam dengan berbagai dampak, yang jelas sekali
kerusakan akan tampak. Berbagai dampak yang akan timbul dari masalah ini jika
tidak segera ditangani dari sosial dan budaya, ekosistem, hingga ekonomi.
Perampasan hak warga jelas adanya tanpa mempertimbangkan solusi bagi
keberlangsungan warga kendeng sebagai penggantinya. Apakah begitu hina
menjadi petani ? Apakah menjadi buruh derajat akan tinggi ? Mohon yang
bersangkutan mampu berpikir lebih realistis lagi !.
Teruntuk mereka yang sadar akan kebenaran dan keadilan, pada Pasal 28
H Ayat (4) dengan jelas mengatakan bahwa “ setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang
wenang oleh siapapun”. Tanah ini milik Indonesia bukan milik korporat dan
koloninya. Jangan jarah tanah kami yang lestari, dengan pembangunan yang
hanya alibi. Menyejahterakan rakyat tidak melulu membangun pabrik. Alam
Indonesia ini indah jangan biarkan rusak sia-sia karna di jarah, pikirkan saja untuk
bisa mengekspor beras bukan semenlah. Dampak memang tak selalu langsung
dirasa namun niscaya akan tampak adanya. Semen memang menjadi hal penting
dalam pembangunan, namun tak lebih penting jika melihat rakyat banyak mati
kelaparan. Lagi-lagi perlu ditekakankan tidak perlu mengekspor semen, cukup
jalankan apa yang ada dengan semestinya. Indonesia negara agraris namun jika
masih mengimpor beras bukankah menjadi hal yang begitu ironis. Cukup tragis
memang pemerintahan sekarang ditangan orang yang tak bereadilan, serasa
anak cucu dalam ambang kesengsaraan yang entah kapan akan dimakmurkan.
Indonesia, sejak merdeka telah memplokamirkan diri sebagai bangsa
agraris. Hal ini bukan lagi sekedar program pemerintah kala itu, naumun sudah
menjadi satu dengan budaya bangsa yang mengakar kuat. Kemerdekaan
Indonesia, sejatinya menghendaki pembebasan sepenuhnya dari penghambaan
kepada manusia. Tentunya, kemerdekaan ini harus dirasakan di segala bidang
kehidupan. Tak terkecuali kemerdekaan agraria. Hidup, tinggal dan bertani serta
berkebun di tanah yang menghidupi mereka secara mandiri dan bebas. Sebelum
kemerdekaan, kemerdekaan agraria dihinakan dengan adanya sistem tanam paksa,
pembatasan lahan yang bebas digunakan, dan kewajiban pajak yang tinggi, serta
penggusuran dan perebutan tanah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Namun,
setelah republik Indonesia, sudahkah kemerdekaan agraria itu ada?

Nyatanya, konflik agraria yang terjadi sejak sebelum negara ini berdiri,
malah kemudian beranak pinak. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan, konflik agraria yang saat
ini marak terjadi di sejumlah daerah merupakan warisan masa kolonial. Warisan
tersebut terkait terkait asas dalam pengambilalihan status kepemilikan tanah oleh
negara (Kompas, 15 Februari 2013). Sengketa agraria masih terus berlangsung
hingga kini. Mirisnya, semua berlangsung di tengah kekuasaan politik yang
diklaim telah menjadi milik bangsa Indonesia sendiri. Konflik – konflik yang
berlangsung hingga kini, justru kemudian banyak melibatkan pemerintah yang
notabene administrator dari kesejahteraan rakyat. Sengketa nya kemudian beralih
antara rakyat, petani dan nelayan melawan pemerintah mereka sendiri, kekuasaan
yang berasal dari hajat elektoral demokratis. Terlebih lagi, tak jarang pemerintah
melakukan tindakan represif terhadap perlawanan masyarakat, di samping acuh
terhadap urusan para korban. Semua konflik ini semakin marak, bahkan hingga
menyebabkan korban meninggal. Ingat kembali bagaimana dahulu seorang Salim
Kancil tewas terbunuh oleh aparat karena memperjuangkan hak atas tanahnya,
serta banyak kasus – kasus lainnya.

Jawa Tengah menjadi salah satu daerah yang tengah disoroti karena kasus agraria.
Kasus yang paling terkemuka adalah sengketa pembangunan pabrik semen
Kendeng. Kasus ini mencuat beriringan dengan banyak kasus lain yang tengah
terjadi namun tak terlalu muncul ke permukaan. Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat bahwa Jawa tengah
memiliki sedikitnya 36 kassus tentang konflik agraria yang memakan lahan 9043
ha. Angka tersebut cukup untuk menduduki peringkat ke 2 dalam hal “provinsi
dengan konflik agraria terbanyak”. Dan, seperti kasus agraria kebanyakan, maka
korbannya adalah mereka yang justru paling banyak membutuhkan kehadiran
negara: petani, nelayan dan satuan masyarakat adat. Para pejuang agraria ini
berada di satu sisi untuk kemudian berebut hak atas tanah dengan korporat, aprat
bahkan negara. Rakyat berebut dengan mereka yang menerima amanat. Jawa
Tengah Rebutan Tanah!

Jawa Tengah Rebutan Tanah!

Konflik agraria di Jawa Tengah termasuk yang paling ramai


diperbincangkan. Seiring maraknya pembangunan di propinsi ini, maka marak
pula konflik perebutan tanah. HuMa menuturkan, untuk pelaku utama konflik,
ditempati perusahaan, dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani
versus perusahaan, komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat
melawan perusahaan. Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang
dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan. Di antara yang cukup menarik
untuk disampaikan mengenai kasus Jawa Tengah Rebutan Tanah adalah :

1. Konflik Agraria di Sambirejo, Sragen

Konflik Sambirejo melibatkan delapan desa, yaitu Sukorejo, Jambeyan,


Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. Lahan yang diperebutkan
seluas kurang lebih 400 hektar yang digarap sekitar 830 petani dengan ditanami
jagung oleh petani Sambirejo. Pada 1965, petani di Sambirejo dituduh terlibat
G30S/PKI. Lahan-lahan petani tersebut kemudian dirampas oleh Perseroan
Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) IX dan ditanami pohon karet. Setelah
krisis ekonomi pada akhir 1998, menjadi pemantik untuk merebut kembali hak
atas tanah leluhur mereka.
Sepanjang konflik,, telah terjadi banyak kriminalisasi terhadap petani di
Sambirejo. Pada 2014 misalnya, tiga petani Sambirejo ditahan oleh Polda Jawa
Tengah. Tidak lama kemudian, PTPN IX juga pernah mengerahkan 5.000
karyawan untuk melakukan pendudukan lahan yang telah ditanami warga. Hingga
kini, belum ada penyelesaian terhadap konflik lahan di Sambirejo.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga, mulai dengan menemui
pejabat desa, provinsi sampai ke pemerintahan pusat, seperti DPR RI, Komnas
HAM, Ombudsman, Kementrian Keuangan, Kementrian BUMN, Kementrian
Pertanian dan Kementrian Dalam Negeri. Atas berbagai upaya tersebut, DPR
sempat membentuk Pansus Pertanahan untuk menyelesaikan kasus pertanahan di
Sambirejo, tetapi hingga kini kerja pansus ini tidak mencapai penyelesaian yang
tuntas.

2. Konflik Agraria di Darmakradenan, Banyumas

Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Darmakradenan dengan PT.


Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah perusahaan yang dikelola oleh
Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV Semarang. Dimana pemicu
konflik sebenarnya adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT.
Rumpun Sari Antan (RSA). Sertifikat inilah yang kemudian memicu terjadinya
konflik. Dari sudut pandang pihak perusahaan, kronologi kasusnya diawali dari
adanya penyerobotan lahan bersertifikat Hak Guna Usaha, namun menurut sudut
pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik mereka sejak nenek moyang.
Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut berakhir, tidak
diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan kepada masyarakat.
Adanya Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Rumpun Sari Antan
dinilai semkain merugikan para petani, karena tanah yang seharusnya dikelola
petani sebagai sasaran produksi untuk kehidupan mereka malah digunakan untuk
pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah, dalam konteks ini dikelola yang
notabene adalah Tentara Nasional Indonesia. Dapat dikatakan bahwa para petani
di Darmakradenan sengasara karena tidak memiliki tanah dan menyebabkan tidak
adanya penghasilan. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari pemerintah untuk
mengatasi masalah sengketa lahan ini.
Dari dua kasus tersebut, dapat dilihat bahwasannya belum adanya upaya
dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut. Sejauh ini,
pemerintah terkesan ” melempar batu sembunyi tangan”. Pemerintah seolah-olah
bersimpati terhadap keluh kesah rakyat, dalam artian para petani, akan tetapi tidak
ada upaya nyata dari pemerintah unruk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam
aturan Hak Guna Usaha, lahan yang masih menjadi sengketa, tidak boleh
dilakukannya perpanjangan Hak Guna Usaha, namun kenyataannya, kedua kasus
tersebut, Hak Guna Usahanya terus terus diperpanjang. Dalam kasus di
Sambirejo, sengketa mulai memanas sejak tahun 2006 di mana masa berlakunya
HGU nya sudah habis, tetapi nyatanya masih saja diperpanjang. Hal demikian,
bisa dikatakan bahwa pemerintah melanggar aturan berkaitan dengan Hak Guna
Usaha.

3. Konflik Agraria Kendal

Konflik lahan memang bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, masalah
yang melibatkan masyarakat pemilik lahan dengan para pemilik modal seringkali
muncul di daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah untuk
dimanfaatkan. Konflik biasanya merugikan masyarakat kecil yang mayoritas
hanya petani.

Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat selama 10


tahun terakhir (2004-2014) tercatat 85 orang tewas, 110 tertembak, 633 luka-luka
dianiaya dan 1.395 ditangkap. Jumlah korban itu berasal dari akumulasi 1.520
kasus konflik agraria 10 tahun terakhir yang meliputi 61 Ha lahan konflik.

Awalnya masalah ini dari masalah tanah negara yang dijadikan sebagai
lahan tukar-menukar yang diterima oleh PT. Perhutani sebagai lahan pengganti
kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab, Kendal, Jawa
Tengah. Lahan yang menjadi objek sengketa memiliki luas sekitar kurang-lebih
127 Hektar. Hingga kini sebagian besar dari lahan tersebut merupakan lahan yang
sudah digarap sebagai perkebunan dan pertanian oleh warga Surokonto Wetan
semenjak tahun 1950-an.
Dengan status lahan perkebunan sebagai tanah negara dan hak
pengelolaannya dipegang oleh NV. Sekecer/Wringinsari di tahun 1956-1965
sebelum kemudian beralih kepada PT. Sumurpitu Wringinsari dari tahun 1972-
1997 dan 1998-2022. di tahun 1972, warga dan sesepuh Desa Surokonto Wetan
pernah mengadakan perjanjian terkait penggarapan lahan kebun bersama PT.
Sumurpitu Wringinsari dengan syarat bilamana ada warga Desa Surokonto Wetan
yang hendak bergabung dan turut menggarap lahan perkebunan, maka warga
tersebut harus ikut bergabung dengan Sekber Golkar. Selain itu, porsi pembagian
hasil usaha pun turut diperjanjikan, dengan bagi hasil 1/3 untuk pihak Perusahaan,
dan 2/3 untuk pihak penggarap.Perhutani, PT. Semen.

Namun dalam kurun waktu dari tahun 1972 hingga tahun 2016,
penggarapan lahan tanah negara oleh pihak warga Desa Surokonto Wetan tak
selamanya berjalan mulus. Pernah beberapa kali mereka mengalami kendala dan
halangan. Mulai dari pihak PT. Ulat Sutra dari kurun waktu 1984-1990.
Penggarapan berjalan sekitar 4 tahun hingga akhirnya terhenti kembali karena
lahan disewa oleh PT. Kayu Manis untuk ditanami pohon tebu yang berlangsung
selama belasan tahun.

Di tahun 2009-an, masa sewa lahan oleh PT. Kayu Manis telah habis dan
lahan kembali digarap oleh warga desa Surokonto Wetan. Penggarapan kembali
pada lahan perkebunan ini sempat mengalami kekisruhan dikarenakan adanya
ketimpangan pengelolaan lahan kebun. Kekacauan tukar-guling antara PT Sumur
Pitu dengan PT. Semen Indonesia, ada cacat hukum dalam hal pengelolaan yang
dilaksanakan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari. Cacat tersebut bahkan dimulai dari
penelantaran lahan semenjak tahun 1998.

Dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK


3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan
Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 Ha di Kabupaten Kendal,
Provinsi Jawa Tengah, PT. Perhutani Kab. Kendal kemudian melakukan
penanaman papan informasi mengenai kepemilikan lahan di beberapa titik areal
lahan perkebunan Keputusan Menteri Kehutanan RI tersebut di kemudian hari
dijadikan dasar hukum untuk menjerat beberapa warga yang menggarap lahan
dengan tuduhan pembalakan liar. Tuduhan ini didasarkan bahwa sebagian warga
melakukan penanaman dan pengrusakan lahan yang diduduki oleh PT. Perhutani.
Tuduhan ini tidak didasari dengan bukti yang jelas karena sebelumnya PT.
Perhutani belum pernah menanam pohon di areal perkebunan. Areal perkebunan
justru telah ditanami oleh warga semenjak 1952, yang dengannya tuduhan ini
justru menafikan fakta sosial yang ada di masyarakat.

Rangkaian kasus itu pun masih terus berlangsung karena masyarakat


sekitar merasa dirugikan atas kekacauan pengolahan lahan ini. Carut marutnya
masih saja terjadi.

4. Konflik Agraria Pertambangan ilegal di Desa Terkesi, Kec. Klambu, Kab.


Grobogan

Pertambangan ilegal di Desa Terkesi, Kec. Klambu, Kab. Grobogan


dirasa sangat merugikan. Dilihat dari keberadaanya, pertambangan ilegal tersebut
hanya menguntungkan segelintir orang. Selain berdiri secara ilegal,
pertambangan tersebut juga berada di wilayah yang seharusnya dikaji lebih lanjut
sebelum mendirikan usaha pertambangan. Kerugian pun mulai dirasakan oleh
penduduk setempat, misalnya saja, kali yang seharusnya dapat menampung air
hujan, tertutupi oleh residu tambang. Sehingga, kali tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya dan mengakibatkan banjir terjadi di Desa Terkesi. Banjir
megakibatkan sawah sebagai mata pencaharian utama mereka terendam dan
menyebabkan gagal panen. Pertambangan tersebut juga berpotensi longsor saat
hujan deras melanda, penyebabnya adalah kurangnya tumbuhan yang berfungsi
untuk menahan laju air ke dalam tanah. Saat hujan turun, masyarakat merasa
was-was karena takut mereka menjadi koban longsor.

Masyarakat yang berdekatan langsung dengan lokasi pertambangan juga


sering dirugikan karena saat proses peledakan, rumah mereka sering menjadi
korban. Baik berupa kerusakan ringan sampai yang mengakibatkan kerugian
jutaan rupiah. Tak hanya korban luka-luka, ada pula warga yang meninggal akibat
peledakan tersebut. Keberadaan pertambangan itu juga tidak selalu berdampak
positif terhadap perekonomian, karena sekarang sudah jarang pula warga yang
menggunakan pasir atau batu dari pertambangan tersebut.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sudah mengingatkan berulang-
kali kepada bupati daerah setempat, Bambang Pujiono, namun tidak digubris.
Bahkan, peringatan tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu oleh DPRD daerah
setempat yang bertanggung jawab untuk mensosialisasikan imbauannya untuk
melakukan penataan terkait penambangan atau aktivitas galian C (garam, pasir,
marmer, batu kapur, tanah liat, dan asbes). Selain Gubernur Jawa Tengah, Kepala
ESDM, Teguh Dwi Paryono, juga sudah melayangkan peringatan kepada pemilik
usaha pertambangan, namun juga tidak digubris. Selanjutnya, kasus ini akan
ditindaklanjuti melalui proses hukum, yang akan ditangani oleh Polres Grobogan.

5. Konflik Agraria di Kebumen

Tanah yang sekarang disengketakan dari dahulu merupakan tanah turun


temurun dari abad ke 18. Pada saat itu, pada masa pemerintahan Bupati Ambal R.
Poerbonegoro, beliau membagi tanah dengan sistem “galur larak”, yaitu dengan
membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan.
Lalu pada awal abad ke 19, daerah tersebut mulai di gabungkan sampai saat ini.
Pada masa penjajahan Belanda, pesisir Urutsewu dipakai untuk latihan militer.
Lalu pasca Indonesia merdeka, sertifikat tanah tersebut mulai keluar dan
pemerintah menghimbau masyarakat untuk membuat sertifikat tanah dan
perjanjian jual beli yang akan ditandatangani oleh asiten wedono dan kepala desa
sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Konflik mulai bermula ketika
TNI mulai datang pada tahun 1982 dengan kedok melakukan Latihan Militer. TNI
lalu membuat surat “pinjam tempat latihan”, yang lama kelamaan, surat tersebut
tidak lagi dilakukan dan digantikan oleh surat pemberitahuan latihan saja. Lama
kelamaan area latihan militer TNI tersebut dari yang awalnya berada di tanah tak
bertuan menjadi merembet hingga 750 m dengan panjang sekitar 22,5 km di
sepanjang pesisir. Pemetaan dilakukan sepihak oleh salah satu anggota TNI yang
kemudian dimintakan tanda tangan oleh desa setempat.

Warga setempat mengklaim bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan


yang sah atas tanah tersebut. Akan tetapi, TNI juga mengkalim mendapatkan izin
dari pemerintah setempat untuk memakai tempat tersebut sebagai tempat latihan.
Lalu pada tahun 2006, kepada desa setempat mengeluarkan surat kades yang
isinya memberikan izin latihan kepada TNI dengan pengecualian bahwasanya
masyarakat setempat juga diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola
kawasan tersebut. Ternyata, setelah ditelusuri lebih lanjut, tanah yang semula
menjadi tanah latihan TNI yang katanya telah mendapat persetujuan dari
pemerintah daerah itu tidak ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen
pada audiensi dengan DPRD Kabupaten Kebumen pada tanggal 13 Desember
2007 bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI juga tidak
pernah mengajukan permohonan kepada BPN. Pada saat itu juga, tanah „TNI‟
melebar hingga 1000m dari garis pantai. Sehingga pemerintah setempat meminta
penggantian aset dalam ppembangunan jalur lintas selatan Pulau Jawa. Pelebaran
tersebut memicu perlawanan dari masyarakat. Mulai saat itulah, konflik mulai
terjadi. Hingga pada tahun berikutnya, Kodam IV Diponegoro melayangkan surat
persetujuan pemanfaatan tanah sengketa tersebut kepada PT Mitra Niagatama
Cemerlang pada tanggal 25 September 2008 untuk melakukan penambangan pasir
besi. Surat ini nampak begitu jelas bahwa TNI telah melakukan klaim sepihak
sekaligus melakukan pelanggaran berupa bisnis yang seharusnya tidak dilakukan
oleh pihak TNI. Lalu, dibuatlah AMDAL yang di sosialisasikan terhadap desa-
desa yang termasuk dalam area izin eksplorasi. Namun dari seluruh jajaran
pejabat pemerintah setempat yang diundang, hanya Desa Winomartan yang hadir
dalam sosialisasi tersebut dengan catatan bahwa masyarakat setempat juga harus
mendapatkan keuntungan dari penambangan tersebut. Izin tersebut lalu
diterbitkan walau saat itu, perda belum menetapkan kawasan Urutsewu sebagai
kawasan pertambangan.

Penolakan mulai terjadi pada tanggal 16 April 2011. Warga menolak


latihan uji coba senjata yang dilakukan pihak TNI dengan menunjukkan aksi
ziarah ke makam korban yang meninggal akibat ledakan bom mortir beberapa
waktu sebelumnya dengan membuat blokade dari pohon. TNI lalu membongkar
blokade tersebut. Walau begitu, warga setempat tetap melakukan blokade jalan
dengan menggunakan kayu, merobohkan gerbong TNI, dan bahkan melempari
gudang peluru bekas yang sudah terbengkalai yang sebenarnya bangunan tersebut
dibangun diatas tanah milik warga. Karena peristiwa ini, lalu TNI lalu merespon
dengan menangkap 6 petani dengan pasal pengerusakan dan penganiyaan, dan
melakukan penyerangan balik sehingga menimbulkan beberapa korban luka serta
pengerusakan fasilitas warga. Lalu pada Mei 2011, Kodam IV Diponegoro
mencabut hak PT MNC untuk melanjutkan survey lapangan yang ternyata, hal itu
hanyalah praktek „cuci tangan‟ TNI yang pastinya langsung direspon oleh warga
setempat dengan melakukan penolakan secara massive dan sama sekali tidak
dihiraukan oleh Pemerintah.

Karena semakin peliknya masalah, lalu pada Februari 2013, sekitar 500
warga menggelar apel akbar di depan kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan
TNI Kebumen dengan menyampaikan aspirasi mereka yang berupa penolakan
lahan pesisir Uritsewu untuk dijadikan sebagai lahan militer. Lalu dilanjut pada
Maret 2013 dengan pengiriman surat oleh 3 kepala desa yang berisikan tentang
protes atas pemagaran yang dilakukan oleh pihak TNI pada wilayah yang
disengketakan. Karena itupula, masyarakat yang tersulut emosi lalu melakukan
pemberontakan dengan pengerusakan pagar pembatas yang sudah jelas-jelas
melanggar wilayah milik warga. Sayangnya, aksi tersebut malah membuat TNI
semakin garang dengan merusak kebun-kebun pertanian dengan tank-tank milik
TNI. Tidak hanya sampai disitu, warga yang melakukan orasi dengan dipimpin
oleh kepada desa Wirimartan, Bapak Sunu, juga mendapat perlakuan yang tidak
baik oleh pihak TNI dengan membalas lewat aksi serupa, bahkan perlawanan
warga yang hanya membawa peralatan seadanya dibalas oleh pemukulan yang
membabi-buta sehingga menjatuhkan banyak korban dari pihak warga, termasuk
Bapak Sunu yang mengalami luka serius di wajah dan tangan. Konflik ini terus
terjadi hingga menurut perkembangan terakhir, terjadi pula pemberontakan yang
membawa korban luka berat dan ringan.

Berdasarkan kronologi tersebut, kasus yang terjadi di wilayah Kebumen


tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan baik ketika kedua belah pihak yang
bersengketa saling mau mendengarkan satu sama lain. Disisi awalnya, masyarakat
mampu berasaptasi dan memahami maksud dan tujuan latihan militer tersebut,
namun, hal ini juga seharusnya dibarengi oleh niatan awal pihak TNI yang
„hanya‟ melakukan latihan militer saja, dengan batas-batas wilayah yang sudah
disepakati. Akan tetapi, pada pelaksanaannya, malah pihak militer yang
seharusnya menjadi pihak penengah, malah melanggar hal tersebut dan bahkan
melakukan konfrontasi balasan terhadap masyarakat yang melakukan aksi
penolakan terhadap apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Jikalau memang
tanah tersebut memang bisa dimanfaatkan dengan baik, seharusnya pemerintah
juga melakukan transparasi terhadap masyarakat lokal, sehingga masyarakat tahu
apa yang sedang dan akan dilakukan sehingga tidak terjadi kesalah pahaman.
Setelah itu, pihak penengah juga seharusnya tidak mudah terbawa arus, dengan
ikut ke alur kiri lalu kanan. Sebagai pihak penengah, katakanlah pemerintah, juga
harus memiliki presepsi sendiri untuk mencari cara bagaimana menyelesaikan
konflik, tidak hanya harus mengambil dari satu sudut pandang saja. Lalu sebagai
sesama warga negara yang baik, kita juga harus saling membantu walau hanay
sekedar aksi solidaritas sesama yag mungkin bisa lebih fleksibel dan intelek
dalam memperdalam hal seperti ini agar tidak terulang kembali.

6. Konflik Agraria Kendeng

Kasus agraria banyak sekali terjadi dalam tahun ini. Masyarakat yang
bergantung terhadap sektor agraris untuk mendapatkan kehidupan sehari-hari
merasa dibingungkan oleh sengketa mengenani agraria yang terjadi. Seperti
halnya, kasus Kendeng yang sudah berlangsung sejak 2006 silam, memaksa
petani untuk bergerak terhadap penolakan pendirian PT Semen Indonesia.

Jika pabrik semen tersebut tetap didirikan, maka akan timbul kerugian
bagi masyarakat setempat dalam berbagai sektor. Seperti sektor ekonomi, jika kita
melihat profesi masyarakat kendeng yang mayoritas bergantung terhadap
pertanian ( Rembang, Pati, Grobogan, Blora) mulai kehilangan mata pencaharian
atau solusi dekatnya yaitu mereka dipaksaberalih profesi menjadi buruh di PT
SEMEN INDONESIA dengan kriteria yang telah ditetapkan.Dari segi
sektorgeografis, Kendeng memiliki wilayah Karst Watuputih yang berfungsi
sebagai penyuplai air di empat kabupaten, ketersediaan air bersih tersebut dapat
terganggu apabila pembangunan pabrik semen tetap dilanjutkan. Kendeng adalah
sumber mata air yang penting bagi empat Kabupaten guna menyuplai kebutuhan
air untuk minum dan lahan pertanian. Oleh sebab itu, Karst Kendeng diamanatkan
melalui Keppres No 26 Tahun 2011 harus dilindungi.
Di pulau Jawa, sudah terdapat 2 pabrik semen yang beroprasi yaitu PT
SEMEN BONSAWA yang berada didaerah banyuwangi, Jawa Timur( 16 juli
2014) dan PT SEMEN JAWA yang berlokasi di sukabumi, jawa barat. Apakah
pulau jawa akan menjadi pulau pabrik? Tentu saja tidak. Banyak dampak yang
telah diakibatkan oleh aktivitas pabrik semen tersebut.

Pemasukan atas semen di Indonesia sudah bisa dikatakan cukup. 90 juta


ton per tahun yang telah di produksi oleh PT SEMEN INDONESIA, sedangkan
Indonesia hanya membutuhkan 60 juta ton per tahun. Dari hal tersebut dapat
dikatakan produksi semen di Indonesia sudah melampaui kebutuhan tetapi kenapa
pendirian pabrik semen di indonesia terus berbuka cabang. Akibat yang di
timbulkan adalah perampasan hak tanah para tani yang dimana mereka
bergantung terhadap lahan tersebut.

Petani Rembang sudah resah akan keadilan.Jika melihat perjuangan petani


rembang dalam memperjuangankan hak tanahnya yang sangat miris, hingga
mereka rela menyemen kaki mereka sebagi protes terhadap pendirian PT SEMEN
INDONESIA. Tetapi apa? Mereka sia sia semata. Suara mereka seperti angin lalu
ditelinga pemerintah. Maka dari itu, aksi terus berlanjut hingga di depan Istana
Presiden. Beberapa hari lalu, Rembang berduka atas meninggalnya bu patmi
sebagai aktivis petani.

7. PLTP Gunung Lawu

Tidak heran memang ketika mendengar kabar bahwa proyek Pembangkit


Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah,
dapat dukungan yang sangat kuat dari pihak pemerintah. Atau katakanlah,
beberapa pihak pemerintah. Tujuannya adalah satu, kesejahteraan masyarakat
melalui suplai listrik yang lebih besar. Tentu itu alasan dari pemerintah. “Dari 27
proyek PLTP, 5 proyek yang akan dilelang tahun ini direncanakan berkapasitas
sekitar 460 MW. Terdiri dari Way Ratai, Gunung Lawu, Kepahiang, Danau
Ranau, dan Marana,” ujar Rida Mulyana, selaku Direktur Jenderal Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Hal ini tentu ditambah lagi dengan
persetujuan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. “Anda nggak setuju,
nggak apa-apa, tapi apa alasannya? Kalau saya setuju, ketika nantinya ada yang
terbarukan, kenapa tidak. Terus nanti mau pakai tenaga apa? Tenaga surya yo
urung iso,” terang Ganjar dalam wawancaranya dengan Rudi.

Satu menteri, satu gubernur, dan tentunya tidak kelupaan pelaksana tugas
yang membuat proyek ini bisa berhasil, yakni Pertamina yang sepertinya menjadi
bagian dari bumi Indonesia dan saat ini memenangkan tender PLTP di Gunung
Lawu. “Berdasarkan Berita Acara Penetapan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran
Tahap Kedua Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi Gunung Lawu tanggal 23
Desember 2015 ditetapkan bahwa: Peringkat pertama dari pelelangan WKP
Gunung Lawu adalah PT. Pertamina dan peringkat kedua adalah PT. Star Energy
Geothermal Indonesia,” jelas pengumuman dari EBTKE.

Akan tetapi, dari semua berita tersebut, masih sedikit yang menyebutkan
tentang survei, AMDAL, maupun dampak-dampak yang akan timbul jika Gunung
Lawu diaktifkan sebagai PLTP. Alasan kebutuhan suplai listrik memang sangat
strategis untuk digunakan bagi masyarakat Lawu dan sekitarnya. Menurut saya,
sampai saat ini, masih belum terlihat dengan jelas alasan dibalik embel-embel
kesejahteraan masyarakat yang mereka ucapkan. Alasan uang? Bisa saja.
Kelihatannya, tidak besar jumlah dari hasil tender, hanya “660 juta dolar AS atau
sekitar 8 triliun rupiah,” kata Rinto, selaku ketua DPC Partai Demokrat
Karanganyar. Setidaknya cukup untuk membuka mulut sang Gubernur Jawa
Tengah dalam mengatakan “Yes, bring it to me,” dalam imajinasi liar saya sebagai
mahasiswa. Tanggapan beliau, jika mengenai tender, dapat dilihat tidak jauh-jauh
dengan kasus pabrik semen di Kendeng. Hal yang penting adalah keberadaan
sebuah proyek itu punya manfaat (tentunya sebagai alasan), maka proyek tersebut
akan mulus sampai kepada tujuan.

Kembali kepada topik. Sebenarnya, tidak sedikit yang menolak proyek


PLTP Gunung Lawu. Warga sekitar, para pecinta lingkungan, bahkan Bapak
Juliyatmono selaku Bupati Karanganyar sempat menolak rencana pembangunan
PLTP di Gunung Lawu. Tidak tanggung-tanggung, ia sendiri pernah memimpin
aksi penolakan bersama pemuda dan masyarakat terhadap proyek yang semakin
panas ini. Anggota DPR RI asal Tawangmangu, Rinto Subekti, pun pernah angkat
bicara. „‟Kalau saya prinsipnya, jangan mengusik keindahan Lawu, jangan
merusak kelestarian dan keanekaragaman hayati Gunung Lawu. Sebab, Lawu
salah satu gunung yang memiliki sejarah panjang dengan keberadaan tanah
Jawa,‟‟ jelasnya. Dengan demikian, sudah jelas. Masih belum ada kejelasan data,
dan masih banyak pro-kontra baik dalam tubuh pemerintahan mengenai proyek
ini. Pertanyaan dari saya hanya satu. Benarkah proyek pengelolaan energi panas di
Gunung Lawu untuk kesejahteraan masyarakat semata? Atau ada tujuan untuk
mencairkan triliunan rupiah?

Jawa Tengah Berbenah

Beberapa kasus konflik agraria di atas dapat mewakili puluhan kasus lain
yang memakan lebih banyak korban. Kehadiran pemerintah, dalam hal ini
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah harus dirasakan, bukan lagi sekedar
kepentingan politik pencitraan. Komnas HAM mencatat bahwa korban utama dari
sengketa tanah adalah petani, nelayan dan masyarakat adat. Maka, pemerintah
perlu mulai menyadari, bahwa keberadaan entitas masyarakat harus diutamakan,
seperti petani, nelayan dan masyarakat adat.

Banyaknya kasus sengketa tanah di Jawa Tengah juga harus disadari oleh
Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini harus diselesaikan, bukan malah diperkeruh
suasananya. Selama ini, pemerintah tidak secara optimal mampu mengatasi
masalah ini, bahkan berada di pihak yang bersengkata melawan masyarakat.
Masyarakat merupakan bagian dari sistem pemerintahan. Pemahaman masyarakat
sendiri tidak dapat disimpulkan secara teoritis semata. Perlu memaknai
masyarakat agar dapat memahami apa yang dibutuhkan serta apa yang dirasakan
masyarakat. Masyarakat diibaratkan sebagai ttubuh manusia, masyarakat sebagai
sebuah jantung, yang sangat memiliki peran dan fungsi yang sangat sentral.
Sistem pemerintahan diibaratkan menjadi sebuah tubuh manusia. Analogi ini
merupakan gambaran kecil betapa pentingnya sebuah sinergitas antara pemerintah
dan masyarakat. Jika dalam tubuh manusia ada yg mengalami disfungsi tentu ini
akan menghambat fungsi organ dan sistem tubuh akan terganggu.

Begitu pula dalam sistem pemerintahan . Bagaimana sebuah pemerintahan


dapat mewujudkan tujuan dari pembangunan, jika masyarakat tidak dilibatkan
didalam pembangunan. Pemikiran kecil ini membawa kita kepada sebuah
kesadaran tentang pentingnya bagian-bagian dari sebuah sistem. Salah satu tujuan
pemerintahan adalah agar terciptanya kesejahteraan,keadilan serta poin-poin lain
yang menjadi sebuah harapan masyarakat yang tak memiliki wewenang, lemah
tanpa kekuasaan.

Pemerintah hadir di dalam masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat.


Apa yang menjadi kebutuhan dari rakyat, pemerintah sangat diharuskan untuk
merealisasikannya. Masyarakat bukan merupakan obyek dari sebuah
pembangunan. Bagaimana bisa pembangunan terwujud jika pemerintah
membangun tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada, bukankah itu akan
membuat tatanan masyarakat serta nilai-nilai luhur yang dipelihara selama ini
didalam masyarakat akan tergerus oleh pembangunan yang tidak memperhatikan
apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan dari masyarakat. Sedangkan
pembangunan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Bagaimana masyarakat
akan sejahtera,jika mereka hanya diam tanpa diajak untuk jagongan, berpikir dan
berbicara mengenai pembangunan. Dimana mereka sangat tahu persis apa yang
mereka butuhkan. Yang seharusnya masyarakat diberdayakan sehingga mereka
dapat menikmati usia mereka, dengan penuh kesehatan, keadaan alam yang
lestari, membangun kreatifitas serta nilai-nilai luhur yang tertanam kuat tidak
runtuh karena dampak pembangunan. Mereka yang setiap pagi menyapa ketika ke
sawah, ladang dan bekerja sebagai seorang petani, semua itu hancur begitu saja
karena pembangunan yang tidak berorientasi pada nilai-nilai sosial. Lahan mereka
hilang diganti uang, sedangkan keahlian mereka hanya kerja diladang dan
pertanian, uang yang lama-lama hilang karena ditelan oleh kebodohan. Ini bukan
merupakan tujuan pembangunan.

Pembangunan tidak semata mata bersifat elitis, hanya tinjauan ekonomi


yang menjadi dasar dalam pembangunan, yang seharusnya bersifat populis yang
mengedepankan faktor sosial. Perrumbuhan bukan dioperasionalkan untuk
efisiensi namun harus efektif. Bagaimana sebuah pembangunan akan efektif, jika
pemerintah mengedepankan untung rugi bukan masyarakat mandiri dan penuh
kreasi. Pernyataan Abraham Lincoln mungkin tidak asing lagi, kekuasaan itu dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, namun apakah pemegang mandat rakyat
dapat memaknai. Bagaimana bangsa ini bisa berkreasi jika lahan pak tani dihabisi.
Jika hilang lahan mereka mau kerja apa mereka, yang awalnya banyak uang,
semakin lama akan hilang dan jadi pengangguran. Sebuah pembangunan jika
dipaksakan maka akan memisahkan sosial cultural. Maka tinggal menunggu
waktu, untuk melihat nilai luhur nenek moyang hancur karena keangkuhan dari
pembuat kebijakan.

Bagaimana sodara kami dapat produktif jika lahan mereka dijual belikan.
Sudah saatnya kesempatan masyarakat yang produktif, mandiri dan menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur harus dilindungi. Hambatan diskriminatif untuk memenuhi
kesempatan masyasrakat produktif harus dilenyapkan. Pembangunan perlu
mengedepankan subtainability, dimana pembangunan tidak untuk genarasi saat
ini, namun untuk generasi mendatang. Bumi kita ini kaya akan hasil tani, mohon
bapak jangan mengganti dan ujung-ujungnya kehidupan lestari menjadi mati.
Berdasarkan pada Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Implementasinya sangat bertolak belakang. Kebijakan kebijakan yang telah dibuat
hanya untuk penanam modal! Lalu jika tidak bisa menanam modal dengan jumlah
banyak, kita diperlakukan berbeda?

Berdasarkan segala permasalahan Jawa Tengah Rebutan Tanah ini, juga


menilik sejumlah fakta mengenai banyaknya konflik agraria di Indonesia,
utamanya Jawa Tengah, maka BEM FISIP UNS 2017 memberikan tuntutan
kepada Bapak Ganjar Pranowo selaku Gubenur Jawa Tengah, di antaranya :

1. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk merespon dengan cepat dan tepat
segala bentuk konflik agraria di Jawa Tengah dengan memperhatikan
dengan seksama kepentingan petani, nelayan dan masyarakat adat.
2. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi segala peraturan hukum
yang telah diberlakukan dengan menutup pabrik semen PT. Semen
Indonesia di Kendeng, Jawa Tengah
3. Menolak segala upaya kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang
bersengketa dengan pemerintah atau pihak lain dalam konflik agraria
4. Menuntut adanya pemberdayaan masyarakat secara jelas dalam setiap
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta
5. Menuntut diberlakukannya kajian ilmiah yang jujur, komprehensif, dan
memperhatikan kehidupan masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan.
6. Menolak adanya tindakan represif aparat keamanan terhadap kelompok
masyarakat yang berjuang untuk membela hak atas tanah.

Harapannya, segala tuntutan ini dapat direalisasikan supaya semua janji politik
yang dijanjikan bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Selanjutnya, kami
berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberikan ganjaran yang
adil terhadap segala bentuk penindasan kepada rakyat yang membela hak atas
tanah mereka.

Cukup miris apabila kita membandingkan bait-bait lagu diatas dengan keadaan
yang terjadi sekarang di Kendeng. Ada apa dengan Kendeng kawan-kawanku?
Mungkin pernah teman-teman melihat sekilas di timeline media sosial kalian
mengenai perjuangan kartini-kartini dari Rembang ke Jakarta dan menyemen kaki
mereka saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Presiden? Mungkin juga kalian
pernah mendengar para petani berjalan kaki dari Rembang ke Semarang untuk
melakukan unjuk rasa di Kota Semarang? Mungkin juga kalian pernah mendengar
para petani Rembang ini menginap selama sebulan di depan Kantor Gubernur untuk
menanti sikap Gubernur Jawa Tengah terhadap hasil Putusan Mahkamah Agung
mengenai izin pembangunan PT Semen Indonesia?

Kejadian-kejadian itu bukanlah cerita dalam dunia dongeng semata, itu juga
bukan kisah yang dibesar-besarkan untuk menarik simpati masyarakat mengenai
keadaan di Kendeng. Ini kisah nyata perjuangan para petani Rembang dan masyarakat
di Rembang demi mempertahankan hak, kelestarian lungkungan dan tentu
mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Mari sejenak kami ceritakan
sekelumit kisah dan fakta-faktanya.

Dimulai dari Gunung Watu Putih, berdasarkan hasil penelitian Air Bawah Tanah
oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998
dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong
dalam tipe bentang alam karst yang memiliki goa-goa alam dan sungai bawah tanah.
Luas batu gamping Formasi Paciran yang membentuk Gunung Watuputih lebih
kurang 3.020 Ha. Di kawasan tersebut terdapat Cekungan Air Tanah (CAT)
Watuputih yang merupakan area imbuhan air sebesar 2555,09681 Ha (perhitungan
Sistem Informasi Geografis) yang menjadi kawasan resapan air terbesar penyuplai
sumber mata air di sekitar kawasan Pegunungan Watuputih. Pendataan berkala yang
dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang juga mendata adanya 49 goa yang tersebar
di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, 4 diantaranya memiliki
sungai bawah tanah aktif dengan 109 mata air yang mengalir di sepanjang musim
kemarau dan penghujan. Mata air disini digunakan untuk mengairi pertanian dan
menyokong kehidupan di 14 Kecamatan di Rembang serta banyak lagi manfaat
lainnya.

Konflik mulai muncul ketika pembangunan pabrik semen mulai dilakukan oleh
PT Semen Indonesia di Kawasan Gunung Watuputih kecamatan Gunem, Kabupaten
Rembang dengan nilai investasi tidak kurang dari Rp 3,7 triliun. Pabrik ini memiliki
kapasitas produksi 3 juta ton semen per tahun dan Kabupaten Rembang dipilih karena
merupakan wilayah yang memiliki bentangan karst cukup luas untuk suplai bahan
baku utama penghasil semen, yaitu batu gamping. Mari kita kaji dahulu lebih dalam
kawan-kawan sebelum memunculkan asumsi-asumsi lain. Berikut kami sajikan
beberapa alasan penolakan dari masyarakat Rembang, pembelaan dari PT Semen
Indonesia, dan sedikit analisa sederhana:

1. Rusaknya ekosistem daerah karst yang merupakan wilayah penambangan


berisiko memiskinkan masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai
petani serta berpotensi merusak sumber air masyarakat.

Di Kabupaten Rembang memang tidak dapat dipungkiri bahwa memang disana


terdapat beberapa mata air dan goa basah yang menurut hakikatnya merupakan
kawasan lindung dan tidak dapat diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang
merubah bentang alam.
Akan tetapi, berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang
telah dipegang oleh PT Semen Indonesia, wilayah yang termasuk daripadanya
sebesar 520 Ha tidak terdapat sama sekali mata air dan goa basah. Pada Cekungan
Watu Putih, Kabupaten Rembang, meskipun pada IUP Operasi Produksi tertera
sebesar 520 Ha, hanya 487 Ha yang akan ditambang dan sisanya untuk kepentingan
lingkungan.
Aktivitas tambang dan pabrik semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. di kawasan
CAT Watuputih akan menyebabkan rusaknya gugusan karst Watuputih dan berakibat
hilangnya sumber-sumber air yang menopang kehidupan dan mata pencaharian
masyarakat kab. Rembang. Hal ini dapat disebabkan oleh penghancuran gugusan
karst untuk bahan baku semen dan penyerapan air dalam jumlah yang sangat besar.
Hal ini akan menyebabkan kekeringan yang juga akan mengancam lahan pertanian
dan mengancam sumber pendapatan para petani, ancaman pengangguran dan masa
paceklik menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat di sekitaran Gunung
Kendeng. Selain itu adanya pencemaran yang disebabkan polusi udara yang
dihasilkan oleh Pabrik Semen tersebut sangat berpotensi mengganggu kesehatan
pernafasan masyarakat di wilayah sekitar pabrik dan sangat dapat pula mempengaruhi
hasil produksi pertanian disekitarnya karena udaranya tercemar polusi dari pabrik
semen tersebut.
2. Pabrik semen ini nantinya akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi masyarakat karena akan menyerap tenaga kerja kurang lebih sekitar 3000
orang dikhawatirkan hanya omong kosong belaka.

PT Semen Indonesia tidak menjanjikan kesejahteraan tetapi menjanjikan dan


menawarkan opportunity (kesempatan) untuk bisa bekerja di sana bagi masyarakat
ring 1, melalui program CSR, pajak yang lebih ringan, dan lain-lain yang dapat
menyebabkan pertumbuhan ekonomi masyarakat meningkat 15%.
Faktanya hanya sekitar 10% dari masyarakat di dekat Pabrik Semen yang
dipekerjakan di pabrik tersebut. Itupun mereka hanya dipekerjakan sebagai pesuruh
atau tenaga kerja sementara bukan pekerja tetap
3. Lokasi pertambangan PT. Semen Indonesia (Persero) berada di kawasan
Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang merupakan kawasan lindung
geologi (tipe bentang alam karst) yang mesti dilindungi oleh pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

UU 26 tahun 2007 mengatur jenis-jenis kawasan berdasarkan fungsi utamanya yang


dibedakan menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan budidaya
merupakan kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan,
perindustrian, pertanian, kehutanan, dan lain-lain. Sementara kawasan lindung
merupakan kawasan suaka alam, cagar budaya, sempadan sungai, sempadan pantai,
sekitar mata air, sekitar danau, hutan lindung, bergambut, resapan air, rawan
bencana alam.
Karst merupakan batu gamping yang berpori. Gamping yang ada di wilayah
Indonesia hampir seluruhnya 99% merupakan batu Karst karena Indonesia berada di
wilayah tropis. Dalam peraturan, yang diatur untuk tidak boleh dirubah bentang
alamnya atau ditambang diatur sebagai kawsan lindung adalah Kawasan Bentang
Alam Karst dan bukan kawasan Karst. Apabila Karst tidak boleh ditambang maka di
Indonesia tidak akan ada produksi semen. Kawasan Bentang Alam Karst merupakan
kawasan yang mana terdapat keindahan bentang alam seperti stalagtit dan stalagmit.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2012 tentang penetapan kawasan
bentam alam karst, dijelaskan pada Pasal 3 bahwa “Kawasan Bentang Alam Karst
merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung
nasional”. Selain itu dijelaskan pula dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 6 Tahun
2010 tentang Rencana Tata Ruwang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah tahun
2010-2030:
Pada pasal 60 berbunyi:
“Kawasan lindung geologi” sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf e, terdiri
dari: – Kawasan lindung kars;
– Kawasan cagar alam geologi;
– Kawasan imbuhan air.
Selanjutnya, dalam pasal 63 ditegaskan bahwa “Kawasan Imbuhan Air”
sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf c, meliputi kawasan resapan air tanah
pada : Cekungan Majenang, Cekungan Sidareja, Cekungan Nusa Kambangan,
Cekungan Cilacap, Cekungan Kroya, Cekungan Banyumudal, Cekungan Purwokerto-
Purbalingga, Cekungan Kebumen-Purworejo, Cekungan Wonosobo, Cekungan
Magelang-Temanggung, Cekungan Karanganyar-Boyolali, Cekungan Belimbing,
Cekungan Eromoko, Cekungan Giritontro, Cekungan Semarang-Demak, Cekungan
Randublatung, Cekungan Watu Putih, Cekungan Lasem, Cekungan Pati-Rembang,
Cekungan Kudus, Cekungan Jepara, Cekungan Ungaran, Cekungan Sidomulyo,
Cekungan Rawapening, Cekungan Salatiga, Cekungan Kendal, Cekungan Subah,
Cekungan Karang Kobar, Cekungan Pekalongan-Pemalang, Cekungan Tegal-Brebes,
Cekungan Lebaksiu”.
Melihat hasil penelitian Air Bawah Tanah oleh Dinas Pertambangan Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 yang menyatakan bahwa wilayah
Gunung Watu Putih adalah Kawasan Bentang Alam Karst, dengan berpatokan
pada Permen ESDM No. 17/2012, Perda Jateng No. 6/2010, dan UU No 26/2007
bahwa seharusnya pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia yang masih
dalam kawasan Bentang Alam Karst tidaklah diperbolehkan karena hal tersebut sudah
menyalahi peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya.
4. Proses perencanaan dan pembangunan tambang dan pabrik semen PT.
Semen Indonesia tidak transparan dan partisipatif terhadap masyarakat,
khususnya bagi masyaarakat di desa yang menjadi lokasi pertambangan dan
pabrik semen PT. Indonesia.

Keterbukaan dalam penyusunan sudah dilakukan, namun pada kenyataannya kurang


merata. Adnan Buyung Nasution sebagai kuasa hukum PT. Semen Indonesia sudah
melakukan pertemuan dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Adnan
mengatakan dalam suatu media, bahwa akan terus melakukan berbagai upaya
pendekatan secara persuasif serta penjelasan ilmiah pada kelompok masyarakat
yang masih menolak
Masyarakat secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui rencana awal
pembangunan tambang dan pabrik semen, termasuk proses pembebasan lahan
(tanah), sosialisasi perencanaan tambang dan pabrik semen, dan minimnya pelibatan
masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sejak saat itu, protes dan penolakan masyarakat terus meningkat. Proses yang
perencanaan pembangunan pabrik semen yang tidak transparan dan partisipatif telah
melahirkan AMDAL dan Izin Lingkungan dinilai cacat hukum karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan (PP No 27/2012 dan UU No. 32/2009). Maka
jika kita berpatokan dengan dasar hukum tersebut, Izin Lingkungan PT. Semen
Indonesia (Persero) Tbk. bertentangan dengan peraturan perundangundangan
dan tidak bisa dijadikan dasar dalam penerbitan IUP, karena pengurusan
dokumen sebagai syarat diterbitkannya Izin Lingkungan tidaklah sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku.
.
Berdasarkan pemaparan diatas memang kurangnya komunikasi dan sosialisasi antara
perusahaan PT Semen Indonesia dengan masyarakat di daerah Rembanglah yang
menyebabkan konflik ini. Kurangnya sosialisasi dan pencerdasan ke masyarakat yang
menimbulkan konflik berkepanjangan. Serta masih adanya kekurangan dibeberapa
aspek dalam pembangunan pabrik semen ini, yakni dengan masih adanya pencemaran
udara serta solusi agar mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terganggu.
Perlunya adanya Kajian Lingkungan Strategis seperti yang telah diperintahkan oleh
Presiden Joko Widodo yang kemudian akan dipantau oleh PT SI dan masyarakat di
Rembang itu sendiri agar jelas mana daerah yang bisa di eksploitasi, mana yang tidak.
Mari kita lanjutkan dengan cerita mengenai bagaimana hasil putusan konflik
Pembangunan pabrik semen di Rembang ini. Dalam pertemuan itu masyarakat tolak
pabrik semen dikagetkan bahwa ternyata memang SK Izin Lingkungan no.660.30/17
tahun 2012 dicabut, akan tetapi kemudian secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam
Ganjar Pranowo menerbitkan SK Izin Lingkungan baru untuk PT SI dengan Nomor
660.1/30 Tahun 2016. Dalam sebuah media massa, Ganjar mengatakan bahwa
Pembangunan pabrik semen oleh PT SI di Rembang akan tetap jalan terus. Dia
beralasan bahwa tidak ada dasar hukum untuk menghentikannya, karena keputusan
PK MA hanya membatalkan SK Izin Lingkungan tidak memutus pemberhentian
operasi PT SI.
Bahwa berdasarkan putusan MA izin lingkungan PT. Semen Indonesia
dicabut. Putusan MA ini kemudian dutindak lanjuti oleh Ganjar Pranowo selaku
Gubernur Jawa Tengah yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No.6601/4
tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Gubernur No.
660.1/30 tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku
dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT. Semen Indonesia (Persero)
Tbk.
Dalam keterangannya, pada poin satu, Ganjar menyebutkan; “Menyatakan batal dan
tidak berlaku” keputusan Gubernur No. 660.1/17 tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012
sebagaimana telah diubah oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/30 tahun
2016 tanggal 9 November 2016 tentang Izin Lingkungan Penambangan Bahan Baku
Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT. Semen Indonesia
(Persero) Tbk di Rembang.
Namun di poin kedua, menyatakan berdasarkan putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung, Gubernur memerintahkan kepada PT. Semen Indonesia (Persero)
Tbk untuk menyempurnakan dokumen adendum Andal dan RKL-RPL. Selain itu,
Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan proses penilaian
dokumen adendum Andal dan RKL-RPL, yang saat ini sedang berlangsung untuk
memenuhi Putusan Peninjauan Kembali No. 99/PK /TUN/2016 tanggal 5 Oktober
2016.
Apabila kita telaah lebih dalam, bisa kita lihat berasama ada upaya untuk
menyiasati putusan MA berdasarkan putusan Gubernur Jawa Tengah ini, karena dari
pernyataannya bahwa proses pembangunan pambrik semen PT. Semen Indonesia
dapat dilanjutkan apabila mampu melengkapi syarat dokumen sesuai persyaratan.
Hukum dibuat untuk ditaati bukan untuk disiasati. Perjuangan Rakyat Kendeng masih
panjang kawan-kawanku. Cerita ini tidak berhenti disini saja. Mereka masih
membutuhkan keadilan dan realisasi dari pemerintah. Mari pantau terus perjuangan
Rakyat Kendeng untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka dan juga kelestarian
lingkungan yang berusaha mereka jaga. Karena bagi mereka bukan hanya
kesejahteraan sesaat lah yang mereka fikirkan melainkan juga kesejahteraan anak
cucu mereka kelak. Bukannya membatasi pembangunan dan mengambat kemajuan.
Tidak, sama sekali bukan itu. Melainkan menuntut adanya pembangunan yang tidak
melupakan bagaimana dampaknya terhadap dilingkungan sekitar. Kawan sudah
sepatutnya pembangunan di Indonesia tidak dilakukan secara sembarangan, karena
alam adalah sesuatu yang harus kita manfaatkan dan kita jaga. Lantas mau tinggal
dimana kelak anak cucu kita jika lingkungan terus kita gerogoti lestarinya?
Panjang umur perjuangan dan salam perjuangan untuk kita semua!
BEM FH UNS 2017
#Aktif Berkawan
UNTUK
SURAKARTA

Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan

HIDUP
MAHASISWA!!!
Tuntutan Atas Mangkraknya Tol
Solo – Kertosono
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126

Tol Solo – Kertosono yang diimpikan warga untuk menghubungkan


dua kota besar di Jawa Tengah kini terbengkalai. Target dari penyelesaian tol
ini sudah lebih dari 6 tahun tidak kunjung selesai.
Proyek underpass yang digadang-gadang sebagai penghubung jalan
dibawah Tol Solo–Kertosono ini pun sempat mangkrak selama 4 bulan. Salah
satu petani jalan raya Solo-Ngawi sangat menyayangkan atas mangkirnya
pembangunan jalan tol Solo-Kertosono selama kurang lebih 4 bulan tanpa
alasan yang jelas. Rangkaian besi-besi ulir dibiarkan berkarat karena
terpapar sinar matahari, sebagian besi itu pun sudah tertuang semen cor,
namun tidak ada pekerja yang melakukan aktivitas proyek pada 4 bulan itu.
Sungguh disayangkan bahan tersebut disia-siakan begitu saja.
Akibat lain dari pembangunan tol ini menyebabkan jalan desa yang
dilalui oleh kendaraan berat bertonase tinggi mengalami kerusakan yang
memprihatinkan. Jalan-jalan yang harusnya dilewati warga dengan nyaman
direnggut oleh lubang-lubang besar hasil dari kendaraan berat yang
melewati batas beban. Bahkan sebagian warga Ngemplak, Boyolali
melakukan aksi memancing di kubangan sebagai bentuk protes atas
kerusakan jalan yang memprihatinkan.
Warga Ngemplakpun juga melakukan tindakan dengan
menghancurkan tembok yang memisahkan pembangunan tol dengan jalan
raya. Hal ini dilakukan demi mendapatkan akses jalan yang lebih dekat
dengan jalan raya, dikarenakan jalan alternatif yang disediakan memutar dan
memakan waktu sehingga warga merasa tidak efisien.
Warga Ngawi menuntut untuk segera diselesaikan permasalahan yang
timbul akibat keberlangsungan proyek ini kepada PT. Waskita Karya selaku
perusahaan rekanan dari proyek tol Solo-Kertosono, berikut tuntutan warga
atas proyek Tol Solo-Kertosono tersebut:
1. Memperbaiki jalan penghubung yang rusak akibat aktivitas perbaikan tol
2. Memperbaiki saluran drainase yang terdampak pembangunan jalan tol
tersebut
3. Merehabilitasi lahan galian yang terbengkalai akibat pengerukan untuk tol
Solo-Kertosono
4. Mencegah kendaraan yang melebihi tonase untuk melewati jalan Solo-
Ngawi.
Sebagai mahasiswa, kami menuntut pemerintah dalam merencanakan
serta melaksanakan pembangunan untuk lebih professional dan tanggap
terhadap permasalahan yang ada dilapangan sebelum rakyat yang
menanggung akibat dari kesalahan dalam pembangunan tol ini.

Berikut merupakan gambar langsung keadaan di jalan Desa Donohudan ke


Desa Pandeyan yang diambil pada tanggal 29 Maret 2017 :
REFERENCES
Cahyati, Devy Dhian. 2014. “Konflik Agraria di Urutsewu : Pendekatan Ekologi
Politik.” Yogyakarta : STPN Press.
Apriando, Tommy. 2015. “Konflik Lahan, TNI-AD Aniyaya Petani Urut Sewu.”
Mongabay.com diakses pada tanggal 29 Maret 2017 18:05
Tim Penutur Selamatkan Bumi. 2014. “Kronologi konflik tanah pesisir Urutsewu,
Kebumen, Jawa Tengah” selamatkanbumi.com diakses pada tanggal 29
Maret 2017 17:45
Aris. 2017. “Melawan Tambang Pasir Urut Sewu” wartahijau.com diakses pada
tanggal 29 Maret 2017 18:27
http://www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170105204316-20-184437/wilayah-
konflik-agraria-indonesia-capai-12-juta-hektare/
https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Imp
lementasi
https://www.inawf.org/reforma-agraria-strategi-meraih-mimpi-kedaulata-pangan-
di-indonesia/
https://www.pertanian.co.id
https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-
masalah-freeport-apa-bedanya
http://www.hukumpertambangan.com/izin-usaha-tambang/izin-usaha-
pertambangan-khusus-iupk/
http://muhammadbarli.blogspot.co.id/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html
https://finance.detik.com/energi/d-3435109/esdm-kami-tak-paksa-freeport-ganti-
kontrak-karya-jadi-iupk
https://finance.detik.com/energi/d-3433363/pekerja-freeport-di-papua-setop-
bekerja-ini-kata-bupati-mimika
https://finance.detik.com/energi/d-3428445/jonan-sodorkan-3-opsi-untuk-
freeport-mana-yang-terbaik
http://id.beritasatu.com/energy/freeport-harus-terima-iupk/156772
https://finance.detik.com/energi/d-3434185/luhut-pemerintah-tetap-ingin-51-
saham-freeport
http://www.esdm.go.id/index.php/post/view/Ini-Enam-Pokok-Point-Penting-PP-
Nomor-1-Tahun-2017/
https://m.tempo.co/read/news/2017/02/22/090848981/kronologi-kontrak-dan-
eksploitasi-tambang-freeport-di-papua
http://www.rappler.com/indonesia/109077-kronologi-negosiasi-perpanjangan-
kontrak-freeport-indonesia
http://www.thejakartapost.com/news/2017/02/20/freeport-gives-government-four-
months-to-negotiate-new-settlement.html
http://ptfi.co.id/media/files/publication/529fe726e02ac_04_wtsd_bab_4__kontrib
usi_kami_untuk_pembangunan_ekonomi_papua.pdf
http://www.hukumonline.com/talks/baca/lt54c06922d0403/arbitrase-sebagai-
salah-satu-alternatif-penyelesaian-sengketa-diluar-pengadilan-angkatan-keempat
https://finance.detik.com/energi/d-3433151/jonan-janjikan-jatah-saham-freeport-k
e-pemda-mimika
https://dok.joglosemar.co/baca/2015/12/04/proyek-pembangunan-pltp-lawu-
kementerian-esdm-segera-survei-panas-bumi.html
https://joglosemar.co/2015/11/ganjar-dukung-proyek-pembangkit-listrik-tenaga-
panas-bumi-di-lawu.html
http://industri.kontan.co.id/news/esdm-lelang-27-proyek-pltp
http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/02/26/1132/pengumuman.pemenang.pelelangan
.wkp.gunung.lawu
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/proyek-geothermal-dikhawatirkan-usik-
keindahan-lawu/
http://www.enciety.co/produksi-semen-indonesia-lebihi-kebutuhan-semen-
nasional/
http://regional.kompas.com/read/2016/06/01/14192531/dituntut.warga.agar.hengk
ang.dari.sukabumi.ini.jawaban.pt.semen.jawa-scg
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/15/201500526/pabrik.semen.bos
owa.di.banyuwangi.resmi.beroperasi
https://www.academia.edu/12021898/HUKUM_AGRARIA_-
_Studi_Kasus_Sengketa_Lahan_Hak_Guna_Usaha_Warga_Darmakradenan_deng
an_PT_Rukun_Sari_Antan
http://www.solopos.com/2016/09/26/reformasi-agraria-ratusan-petani-sambirejo-
sragen-long-march-15-km-tuntut-penghentian-krinalisasi-petani-756076
http://www.gresnews.com/berita/hukum/120293-konflik-agraria-sragen-tak-juga-
tuntas/0/
http://www.daulathijau.org/?p=751
http://www.simpulsemarang.org/2016/04/dokumentasi-konflik-petani-surokonto-
wetan-kabupaten-kendal.html
Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2012 Tentang Pengaturan Kawasan
Bentang Alam Karst
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
Peraturan Daerah (PERDA) No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruwang
Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Tengah tahun 2010-2030
Media Internet
https://www.youtube.com/watch?v=6W9Btawerqo diakses tanggal 19 Januari
2017 pukul 21:29
http://fairfinanceguide.org/media/277137/bank-investment-on-cement-industry-
in-the-basin-groundwater-cat-watuputih-central-java-id.pdf diakses tanggal 19
Januari 2017 pukul 22:37
http://omahkendeng.org/2011-05/181/kronologi-penolakan-warga-atas-rencana-
pendirian-pabrik-semen-pati/ diakses tanggal 19 Januari pukul 22:41
https://boemimahardika.wordpress.com/2016/12/11/solidaritas-perjuangan-terus-
mengalir-kepada-rakyat-kendeng-menyikapi-sk-izin-lingkungan-baru-untuk-pt-si/
diakses tanggal 20 pukul 12:06
http://hmt.mining.itb.ac.id/mitos-dan-fakta-dibalik-konflik-semen-rembang/
diakses tanggal 20 pukul 12:07
http://m.bareksa.id/id/text/2015/03/16/pabrik-semen-indonesia-di-rembang-dan-
demonstran-tenda-biru/9741/analysis diakses tanggal 20 pukul 13:05
http://www.antaranews.com/berita/486269/karst-rembang-cocok-untuk-pabrik-
semen diakses tanggal 20 Januari 2017 pukul 11:05
http://www.republika.co.id/berita/koran/financial/14/09/26/nchvc7-pabrik-semen-
di-rembang-diminta-segera-dibangun diakses tanggal 20 pukul 10:30
http://suaraagraria.com/detail-20555-alasan-petani-rembang-tolak-pertambangan-
karst–pabrik-semen.html#.VSxQtPmUdNU diakses tanggal 20 Januari 2017 pukul
12:05
regional.kompas.com/read/2014/12/02/20330301/Komnas.HAM.Pembuatan.Amd
al.Pabrik.Semen.di.Rembang.Langgar.HAM diakses tanggal 20 Januari 2017
pukul 12:30
www.semenindonesia.com/page/get/laporan-tahunan-78
http://regional.liputan6.com/read/2547873/semarang-salatiga-macet-tol-bawen-
mampet
http://m.solopos.com/tag/tol-solo-kertosono
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=31&date=2016-01-12
http://www.suara.com/bisnis/2016/10/17/183951/proyek-jalan-tol-solo-kertosono-
ditargetkan-kelar-2018
Surat cinta kami,
Pertiwi, kami ingin mengadu tentang sebuah kisah dari tanah generasi, dan
biarkan kami mengungkap semua peluh yang mulai mengering. Dengan dua mata dan
dua telinga kami mendapat kabar dari mereka mengenai durga. Sebuah kisah
perjalanan negeri yang entah kapan menemukan seorang Satriya Piningitnya. Kemudian
saya berjalan menuju kerumunan itu dan menemukan kepalsuan diantara ketidak
pastian, yakni kehidupan.

Pertiwi, biar kami lanjutkan...


Kisah kami bukan hanya sekedar tentangmu dan diriku yang mulai saling
memperhatikan. Tapi mereka pun mulai mencari perhatian dan mengoyak kita ke segala
arah. kami harus memegang siapa? Sepertinya kata “aku mencintaimu” saja tidak cukup
membereskan.Kami sedang mencoba melangkah dengan cara berbeda dan mencoba
membenahi kerusakan yang terjadi.

Biar ditutup jalan yang membuka mata...


Kami mencoba menggapai secuil kesejahteraan untuk negeri ini. Mencoba
berjuang dengan aksi, dan mengerahkan semua angan untuk asasi. Biar kami suarakan
betapa beratnya kepalan ini yang selalu berusaha untuk menggapai keadilan diatas
penindasan yang mereka tidak pahami.
Kami mengatakan,
“kami tidak akan mundur satu langkahpun”
“karena bagi kami perjuangan adalah bakti utama untuk negeri”

Salam pergerakan, salam perjuangan untuk indonesia beradab dan sejahtera

Mahasiswa UNS

Anda mungkin juga menyukai