Dengan Rahmat Allah SWT, kami bersyukur atas tersusunnya “BUKU CINTA
MAHASISWA UNTUK NEGERI” ini. Sebuah buku yang menceritakan tentang
perjalanan negeri untuk masa depan bangsa Indonesia. Sebuah buku yang didapatkan dari
berbagai goresan ide generasinya. Sebuah buku yang menyampaikan pesan untuk
pemimpin dan memeperjuangkan rakyat dari sebuah makhluk yang orang namai
“mahasiswa”. Pergerakan dan perjuangan kami landasi atas nama persatuan. NKRI dengan
kebhinekaannya mewarnai alur dalam buku cinta ini. Sejarah bisu akan mencatat
generasinya yang peduli.
Harapannya melalui buku cinta ini pesan kami tersampaikan dengan baik dan
mendapat perhatian terkhusus pada solusi dan pemecahan masalah yang ada. Kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait dalam pembuatan buku cinta ini.
Terima kasih juga kepada seluruh mahasiswa yang mengaspirasikan seluruh idenya untuk
negeri tercinta dan memperjuangkannya melalui aksi nyata. Sebuah kesatuan yang
mencoba mengawali perubahan demi perubahan atas rasa cinta dalam satu jiwa
“MAHASISWA”
DARAH JUANG
Mahasiswa UNS
UNTUK
INDONESIAKU
Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan
HIDUP
MAHASISWA!!!
PANGAN, AGRARIA, DAN
KESEJAHTERAAN PETANI
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Pertanian Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
“ Soal pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa”. Begitulah petikan
dari salah satu pidato tokoh utama di Indonesia, Ir. Soekarno. Sedari dulu kala kita
mengenal negeri kita, Indonesia tercinta sebagai Negara yang memiliki potensi
kekayaan alam yang begitu melimpah. Orientasi tersebut didukung dengan realita
keadaan alam Indonesia yang sangat mendukung dalam hal kekayaan alam.
Kekayaan alam yang dimiliki mampu menghantarkan negeri ini menjemput tahta
agraris. Tahta yang diemban ini seperti memberikan amanah tersendiri untuk
selalu menjaga eksistensinya sebagai negara agraris.
Agraris memiliki pengertian sebagai sebuah Negara yang mayoritas
penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Agraris memiliki kaitan
yang sangat erat dengan pertanian. Ketika sebuah Negara dijuluki sebagai Negara
agraris, maka yang terlintas dibenak kita bersama adalah adanya negeri yan
mengelola dan memanfaatkan dengan semaksimalnya kekayaan alam yang
dimiliki, terkhusus dalam sector pertanian.
“Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung didalamanya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.” UUPA.
Dalam UUPA tersebut dijelaskan bahwa kekayan alam yang dimiliki Indonesia
adalah untuk dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hal ini dapat
diartikan bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia terkhusus pada
kebutuhan pangan adalah dengan pengelolaan sumber daya alam secara optimal.
Indonesia yang merupakan Negara agraris dan disebut-sebut sebagai tanah surga
hingga tongkat, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini seharusnya mampu
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, bahkan Indonesia amat berpotensi untuk
menjadi Negara pengekspor bahan pangan. Lalu apa yang akan terjadi ketika
Negara yang bertahta agraris ini tak lagi mampu memenuhi (sebatas) kebutuhan
rakyatnya? Dan bagaimana langkah yang harus kita tempuh dalam menghadapi
tantangan ini?
Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan
pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris
dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan
kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian,
apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya
mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli
pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang
solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks
persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan
tidak asal „comot‟ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks
permasalahan.
Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan
penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar,
dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar
perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3
miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk
dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012).
Pangan menurut lampiran pe-raturan menteri pertanian nomor:
15/Permentan/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi
keberlangsungan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam
UU yang didasarkan pada kedaultan dan kemandirian pangan.
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara
agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini
terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan
harganya naik tak terkendali. Penyediaan pangan di masa depan berkejaran
dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai
populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian
untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga
abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan
kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012).
Pangan menurut lampiran pe-raturan menteri pertanian nomor: 15/Permenta
n/OT.140/2/2013 adalah kebutuhan yang strategi dan mendasar bagi keberlangsun
gan hidup rakyat. Penyelenggaraan pangan nasional di-atur dalam UU yang didas
arkan pada kedaultan dan kemandirian pangan.
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara a
graris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terj
adi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harga
nya naik tak terkendali.
Sasaran strategis pembangunan pertanian yang dicanangkan pada tahun
2015-2019 adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan penyediaan bahan
pangan pokok (padi, jagung, kedelai, gula, daging, dan lainnya), meningkatkan
ekspor dan substitusi impor produk pertanian, meningkatkan ketersediaan bahan
baku bio-industri dan bio-energi, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Penetapan sasaran tersebut bertujuan untuk memperbaiki kondisi pertanian saat
ini. Hal tersebut diimplementasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan
Pemerintah. Beberapa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam jangka
waktu tahun 2015-2019 antara lain Kebijakan peningkatan ketahanan pangan
(padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, cabai, dan bawang merah) yang berdampak bagi
perekonomian, Kebijakan pengembangan komoditas ekspor dan distribusi impor
serta komoditas penyedia bahan baku bio-industri dan bio-energi, kebijakan
pengembangan infrastruktur serta tatakelola kepemerintahan yang baik dan
Reformasi Birokrasi.
Kebijakan peningkatan ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah
karena ketersediaan pangan menyangkut kelangsungan hidup masyarakat
Indonesia. Bentuk kebijakan peningkatan ketahanan pangan adalah dengan cara
meningkatkan produksi pangan yang diwujudkan dengan Program Peningkatan
Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan. Peningkatan produksi
tersebut dapat dilakukan dalam beberapa kegiatan seperti subsidi pupuk dan
benih. Subsidi pupuk dan benih tersebut diberikan kepada petani melalui
kelompok tani. Penyaluran subsidi ini kepada petani masih mengalami kendala.
Subsidi yang diberikan terkadang mengalami keterlambatan sehingga tidak dapat
dimanfaatkan petani karena kualitas benih yang jelek dan sudah terlalu lama. Hal
tersebut membuat petani belum bisa maksimal dalam menerima subsidi dari
pemerintah. Selain subsidi pra panen, diperlukan pula subsidi dalam hal pasca
panen seperti pemasaran. Pengendalian pemasaran oleh pemerintah diharapkan
dapat mengurangi risiko permainan harga oleh pihak-pihak tertentu.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan
untuk keperluan masyarakat. Beberapa komoditas bahkan menjadi produk
unggulan untuk diekspor ke luar negeri seperti kelapa sawit. Beberapa sumber
daya alam di Indonesia juga memiliki potensi untuk dijadikan sumber energi
seperti kelapa sawit dan ubi kayu. Namun angka impor bahan pangan Indonesia
juga masih tergolong tinggi sehingga harus ada pengembangan komoditas ekspor
dan mengatur produk-produk yang memerlukan impor dari negara lain.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah juga memperbaiki infrastruktur
yang berkaitan dengan pertanian seperti pembuatan embung. Embung yang
direncanakan akan dibuat oleh pemerintah adalah sekitar 30.000 buah pada tahun
2017. Pembuatan embung diharapkan dapat mengatasi masalah irigasi yang ada di
desa-desa. Akan tetapi perlu diperhatikan pula dampak negatifnya terhadap
lingkungan dan ketersediaan lahan. Permasalahan lain yang juga dapat muncul
adalah masalah kepemilikan tanah yang akan dipakai sebagai embung.
Harapannya, dalam pembangunan embung nanti tidak akan menimbulkan konflik
agraria karena persoalan kepemilikan lahan. Hal ini juga akan menjadi sorotan
tata kelola kepemerintahan yang ada. Oleh karena itu, sebelum pembangunan
embung persoalan kepemilikan tanah harus sudah dapat terselesaikan
Pembangunan infrastruktur dapat menimbulkan pendapat pro dan kontra
dalam masyarakat. Reforma agraria merupakan dasar hukum dalam persoalan
yang berkaitan dengan pertanian/agrarian. Landasan utama reforma agraria
(landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis
dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di
Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) Hadirnya Reforma Agraria sebagai solusi dari keadilan
sosial dan kesejahteraan rakyat belum bisa dijadikan jawaban. Reforma agraria
yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
(pertanian) yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat namun masih berjalan belum efektif. Terbukti
dari hasil survei Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat wilayah yang
menjadi titik konflik agraria mencapai 1, 26 juta hektare sepanjang 2016, atau
meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada 2015 yakni 400.430 hektare.
KPA juga mencatat ada 450 konflik agraria sepanjang 2016 atau meningkat
hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni mencapai
252 konflik.Dari total jumlah ini, konflik agraria melibatkan setidaknya 1.085.817
kepala keluarga (KK). Pada 2015 saja, total konflik yang terjadi adalah 252
kejadian dengan luasan mencapai 400.430 hektar dan melibatkan 108.714 KK.
Tahun kemarin, sektor perkebunan mendominasi seluruh konflik agraria di
Indonesia dengan persentase 50 persen. Di sektor ini, jumlah konflik agraria
mencapai 127 kasus. Posisi kedua konflik agraria terbanyak, berasal dari sektor
infrastruktur yaitu 70 konflik atau 28 persen. Selanjutnya, berturut-turut sektor
kehutanan 24 konflik (9,6 persen), sektor pertambangan 14 konflik (5,2 persen),
sektor lain-lain (4 persen), serta sektor pertanian dan sektor pesisir atau kelautan
masing-masing sebanyak 4 konflik (2 persen). Konflik agraria banyak berujung
hal yang tak mengenakkan dan membuat korban berjatuhan terbukti sepanjang
2015 konflik agraria telah mengakibatkan 5 orang tewas, 39 orang tertembak
aparat, 124 orang luka-luka karena penganiayaan, dan 278 orang mengalami
kriminalisasi atau ditahan. Baru-baru ini konflik seputar tanah Kendeng
bergejolak, lagi-lagi masalah agraria tentang tanah pertanian. Program pemerintah
dalam hal pembangunan memang tidaklah salah namun pemerintah juga harus
sadar bahwa negeri ini adalah negeri agraris yang masyarakatnya bergantung dari
pertanian. Jika makin berjalanannya waktu sumber dan lahan itu hilang atas nama
pembangunan juga merupakan hal yang tidak baik.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin
meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di
pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya
fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan
ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat
masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.
Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di
tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar,
konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten
dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara
langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan,
perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012)
Menurut KPA selama lebih dari 6 bulan Jokowi-JK memimpin, perencanaan
guna mendorong perwujudan reforma agraria sangat minim. Hanya kebijakan
redistribusi 9 juta hektar satu-satunya manifestasi dari usaha tersebut, meski
secara orientasi masih terlalu kabur. Dalam konteks kebijakan, redistribusi 9 juta
hektar tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni melanjutkan dari kebijakan
sebelumnya di era SBY, dimana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari
target di era sebelumnya. KPA mencatat, target redistribusi tanah di era SBY
terdiri dari 1 juta hektar tanah tanaman, 8,1 juta hektar hutan produksi dan 7
hektar tanah terlantar. Saat Jokowi-JK menetapkan 9 juta hektar, maka jumlah
tersebut sudah termasuk dalam target dari kebijakan SBY yang belum rampung
terlaksana. Budiman Sudjatmiko mengakui bahwa identifikasi jumlah tanah objek
redistribusi dilaksanakan sejak era SBY. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK
cenderung hanya melanjutkan.
Hiruk-pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres, dan pemilihan pres
iden sudah berakhir. Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visi-
misi serta janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani In
donesia memang berlandaskan peta permasalahan pangan yang ada serta memung
kinkan direalisasikan pada periode pemerintahan mendatang.
Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari
kemudian yang amat ngeri. Bahkan seperti satu todongan pistol ”mau hidup
ataukah mau mati” (Bung Karno).
MENCERMATI PERSELISIHAN YANG TERJADI
ANTARA PT FREEPORT INDONESIA DENGAN
PEMERINTAH INDONESIA
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Seperti yang sudah diketahui, di Papua sedang terjadi kisruh yang cukup
merugikan berbagai pihak akibat ketegangan yang terjadi antara Pemerintah
Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Ketegangan ini terjadi lantaran PTFI
menolak kebijakan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diajukan oleh
pemerintah sebagai ganti dari Kontrak Karya (KK) ditolak oleh PTFI. Akibatnya, PTFI
tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga, yang lalu pada akhirnya PT Freeport
Indonesia menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017. Salah satu
akibat dari berhentinya kegiatan produksi Freeport adalah dirumahkannya puluhan
ribu pekerja yang merupakan penduduk lokal. Lalu, para pekerja yang dirumahkan
oleh PT Freeport Indonesia mengancam akan menduduki kantor-kantor pemerintah,
bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tidak segera memulihkan kegiatan
produksi Freeport.
Menurut Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, sejauh ini Freeport telah mem-PHK sekitar
1.100 pekerja dan merumahkan ribuan lainnya. Namun, menurutnya Freeport sengaja
memanfaatkan situasi ini untuk melakukan efisiensi, memberhentikan para pekerja
yang sudah habis masa kontraknya dan karyawan yang tidak berkelakuan baik. Selain
itu, menurut Bupati Mimika bahwa perekonomian di Mimika masih berjalan normal
dan situasi sosial masih dapat terkendali. Hanya saja, nasib para pekerja yang tekena
PHK tidak boleh diabaikan. Selain itu, pemerintah juga sudah memberikan
rekomendasi izin ekspor agar Freeport bisa beroperasi kembali yang diharapkan bisa
menjadi solusi jangka pendek dalam waktu 6 bulan kedepan.
Lantas, mengapa Kontrak Karya harus diubah menjadi IUPK? Mengapa pemerintah
bersikeras untuk menggunakan kebijakan tersebut? Bagaimana langkah apa yang
diambil kedua pihak apabila tidak menemukan win win solution?
Pengubahan Kontrak Karya Menjadi IUPK
Alasan Pemerintah Indonesia mengganti Kontrak Karya menjadi IUPK adalah semua
pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi)
dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan
Pasal 170 UU No 4/2009) alias 2014. Namun pada kenyataannya sampai saat ini pihak
PTFI belum membuat smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian). Pemegang
Kontrak Karya (KK) yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter)
sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, apabila tetap ingin melakukan
ekspor konsentrat
harus merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Oleh
sebab itu, pemerintah menawarkan IUPK sebagai jalan keluar agar Freeport tetap
dapat mengekspor konsenstrat.
PT. Freeport Indonesia tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab,
IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan
perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah
hingga masa kontrak berakhir (naildown). Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan
melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51%
karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham
mayoritas dipegang pihak lain. Sementara, saat ini PT Freeport Indonesia baru
melakukan divestasi saham sebesar 9.36% dan baru baru ini kembali menawarkan
10.64% kepada pemerintah, dimana seharusnya PTFI melakukan Divestasi saham
sebesar 30% sesuai dengan Peraturan Pemerinha (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaa Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara.
Sebenarnya perusahaan pertambangangan pemegang Kontrak Karya (KK) tidak
diwajibkan mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK). Semua pemegang KK, termasuk PT Freeport Indonesia, berhak tetap
memegang KK. Tidak ada paksaan untuk berubah menjadi IUPK.
Ada perusahaan tambang yang memilih untuk tetap menjadi pemegang KK hingga
masa kontraknya habis, yaitu PT Vale Indonesia Tbk. Ada juga yang berganti baju jadi
pemegang IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
Tapi bagi yang tetap menjadi pemegang KK, konsekuensinya adalah tak bisa
mengekspor konsentrat lagi. Kalau mau ekspor konsentrat, harus berubah menjadi
IUPK karena UU Minerba tak memberi deadline bagi pemegang IUPK untuk
melakukan pemurnian. Bagi Vale, tentu tak jadi problem karena mereka sudah
membangun smelter, memurnikan seluruh hasil produksinya, dan hanya mengekspor
mineral yang sudah dimurnikan. Tapi buat Freeport ini masalah, karena perusahaan
tambang asal Amerika Serikat (AS) ini belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya
melakukan pemurnian, baru 40% konsentratnya yang sudah dimurnikan di smelter
Gresik.
Apa itu IUPK dan KK
Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK merupakan izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwa setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin
untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha
berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 83 UU Minerba mengatur persyaratan luas wilayah dan jangka waktu IUPK
sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK
meliputi:
a. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam
diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral
logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara
diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
d. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan
batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling
lama 8 (delapan) tahun.
f. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama
7 (tujuh) tahun.
g. Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing
10 (sepuluh) tahun.
Tahun 1991 - Kontrak karya generasi II (1992-2014) - Total eksploitasi : 3.992 ribu
ton
Tahun 2009 - Kewajiban penghiliran tambang mulai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. - Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu
Bara selalu berubah-ubah. - Peraturan Pemerintah No 23/2010 menyebutkan
kewajiban divestasi hingga 20 persen. - Peraturan Pemerintah No 24/2012
menyatakan kewajiban divestasi sebesar 51 persen hingga tahun kesepuluh. -
Peraturan Pemerintah No 1/2014. - Peraturan Pemerintah No 77/2014 menyebut
kewajiban divestasi tambang bawah tanah 30 persen. Perpanjangan diajukan paling
cepat dua tahun sebelum kontrak karya berakhir.
19 Desember 2012. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM
mengundang PT Freeport Indonesia untuk membahas 6 isu strategis renegosiasi
amandemen kontrak karya (luas wilayah, kelanjutan operasi, penerimaam negara,
divestasi, pengolahan pemurnian, dan penggunaan barang, jasa serta tenaga kerja
dalam negeri).
25 Juli 2014. Memorandum of Understanding (MoU) renegosiasi amandemen
kontrak karya antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah ditandatangani,
wilayah kontrak karya (WKK) disepakati 90.360 hektare dan projek area 36,640
hektare, divestasi 30 persen, pajak badan nailed down, Penerimaan Negara Bukan
Pajak dan Pajak lainnya prevailing sampai dengan tahun 2021, kelanjutan operasi
pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pengolahan
dan pemurnian akan dilaksanakan di dalam negeri dengan mewujudkan suatu
fasilitas pemurnian tembaga tambahan di Indonesia dengan mengutamakan
penggunaan tenaga kerja, barang, dan jasa dalam negeri.
23 Desember 2014. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, dengan melibatkan
pemerintah daerah (kepala dinas Energi dan Sumber Daya Mineral), melakukan rapat
membahas perkembangan naskah amandemen kontrak karya PT Freeport Indonesia.
23 Januari 2015. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia memperpanjang MoU
renegosiasi amandemen kontrak karya untuk memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyepakati amandemen kontrak karya.
9 Juli 2015. Surat PT Freeport Indonesia mengenai Permohonan Perpanjangan
Operasi.
31 Agustus 2015. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengirimkan teguran
keras kepada PT Freeport Indonesia atas ketidaktaatan PT Freeport Indonesia dalam
menyelesaikan amandemen kontrak karya dan ketidakpatuhan dalam menjalankan
amanat UU Minerba.
11 September 2015. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menanggapi
surat PT Freeport Indonesia atas Permohonan Perpanjangan Operasi.
7 Oktober 2015. PT Freeport Indonesia mengirimkan surat ke Menteri ESDM terkait
Permohonan Perpanjangan Operasi.
7 Oktober 2015. Menteri ESDM mengirimkan surat kepada PT Freeport Indonesia
yang menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia dapat terus melakukan kegiatan
operasinya hingga 30 Desember 2021 dan PT Freeport Indonesia berkomitmen untuk
melakukan investasi dan meneruskan renegosiasi untuk menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Pada puncaknya, Pemerintah Indonesia membuat gebrakan baru pada tahun 2017:
Tahun 2017 - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017. Dalam PP
ini Kontrak Karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Kewajiban
divestasi bertahap hingga 51 persen. 12 Januari 2017 Ekspor konsentrat PT Freeport
Indonesia berhenti.
Beberapa Kontribusi PT Freeport Indonesia di Tanah Air
Dampak Fiskal dan Ekonomi
Kehadiran Freeport di Indonesia memberikan dampak ekonomi dan fiskal baik pada
tingkat nasional,provinsi maupun kabupaten. Besaran dampak tersebut dapat
diketahui dari pengukuran kontribusi PTFI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan
semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah dalam jangka waktu
tertentu. PDRB sendiri adalah nilai tambah ekonomi atau balas jasa atau pendapatan
yang diterima oleh semua factor produksi yang dilibatkan dalam kegiatan produksi.
Faktor produksi yang dimaksud di antaranya adalah tenaga kerja, barang modal, dan
kewirausahaan. PTFI dalam hal ini memberikan kontribusi sebesar 1,6% dari PDB
Indonesia pada tahun 2009, sebesar 1,1% pada tahun 2010, dan 0,8% pada tahun
2011(Laporan Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat-Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, LPEM-FE UI, 2013).
Sektor ekonomi utama yang terkait dengan keberadaan PTFI baik di tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten adalah sektor pertanian, pertambangan,
manufaktur,listrik, gas, air, konstruksi, perdagangan, transportasi,keuangan, dan jasa-
jasa pendukung dari keseluruhan industri utama dan industri pendukung.
Kontribusi PTFI pada PDRB Provinsi Papua sangat besar meskipun menunjukkan
kecenderungan yangmenurun, yaitu pada tahun 2009 sebesar 61,3%,tahun 2010
sebesar 53,6%, dan tahun 2011 sebesar 45,4%. Kecenderungan menurunnya
kontribusi PTFI dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, terjadi penurunan produksi.
Kedua, berkembangnya sektor sector ekonomi lainnya di Provinsi Papua. Sedangkan
kontribusi ekonomi PTFI pada Kabupaten Mimika, kabupaten yang baru berumur 12
tahun, sangat dominan. Dari awal terbentuknya Kabupaten Mimika pada tahun 2001
sampai (2012), kontribusi PTFI terhadap PDRB secara rata-rata tidak pernah kurang
dari 95% (LPEM-FE UI, 2013).
Bagi Provinsi Papua, keberadaan PTFI secara langsung memberikan dampak ekonomi
yang sangat dominan. Hal ini akan semakin kentara jika memperhitungkan dampak
tidak langsung berupa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pendukung dari industri
pertambangan yang melibatkan masyarakat lokal baik di tingkat regional Papua
maupun di tingkat nasional. Penelitian LPEM-FE Universitas Indonesia tahun 2013
menyimpulkan bahwa dampak operasional PTFI pada perekonomian lokal, regional
dan nasional telah menciptakan 227.000 peluang kerja, termasuk di dalamnya
128.000 kesempatan kerja langsung dan tidak langsung di Provinsi Papua.
Membangun Infrastruktur di Dataran Tinggi Mimika
PTFI menyediakan infrastruktur yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di
Banti, Aroanop, dan Tsinga. Program ini lebih dikenal dengan nama Proyek Tiga Desa
di wilayah kontrak karya. Sepanjang tahun 2012, program infrastruktur di dataran
tinggi difokuskan pada pembangunan di wilayah Tiga Desa (Banti, Aroanop, dan
Tsinga). Pada 2012, terdapat beberapa penyelesaian
pembangunan jembatan gantung di Aroanop dan Tsinga, instalasi pipa air bersih, dan
instalasi pipa sanitasi. Tahun 2012, PTFI juga mengerjakan proyek pembangunan
lapangan terbang perintis di Kampung Anggokin, Aroanop. Ini adalah lapangan
terbang perintis kedua karena pada tahun 2010, kami juga telah menyelesaikan
pembangunan lapangan terbang Mulu, Tsinga yang telah diserahkan kepada
pemerintah pada 2011. Kehadiran kedua lapangan terbang ini akan meningkatkan
akses masyarakat dari dan ke wilayah lain di kabupaten Mimika.
Membangun Infrastruktur di Dataran Rendah Mimika
PTFI melakukan pembangunan masyarakat di lima desa di Kamoro Timika (Nayaro,
Koperapoka, Nawaripi Baru, Ayuka, dan Tipuka) dalam pembangunan infrastruktur di
desa-desa tersebut seperti pembangunan rumah tinggal, jalan raya, jembatan,
gedung ibadah, sekolah, klinik, gedung pemerintahan, fasilitas air bersih, sumber dan
instalasi listrik. Untuk mendukung keberlanjutan dan mata pencaharian masyarakat
Kamoro di lima desa, PTFI melakukan berbagai program pendampingan dan
pengembangan masyarakat di wilayah tersebut. Program ini dititikberatkan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program ekonomi dan kesehatan.
Dalam rangka mendukung pengembangan program tersebut, PTFI melakukan
serangkaian pembangunan dan penyediaan fasilitas infrastruktur untuk mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada tahun 2012, PTFI bekerjasama
dengan United States Agency for International Development (USAID) untuk
menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan ikan sebagai bagian dari program
Papua Agriculture Development Alliance (PADA), melanjutkan dukungan untuk para
nelayan di Timika dan Pomako yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya.
Langkah pemerintah apabila kasus sampai ke arbitrase dan memenangkannya
Menurut Luhut Panjaitan, Menko Maritim, jika Pemerintah Indonesia menang di
Arbitrase, maka kontrak Freeport selesai sudah di tahun 2021. Namun, apabila PTFI
setuju untuk melepaskan 51% sahamnya, maka kewajiban mengambil alih saham
Freeport Indonesia masih menjadi kewenangan pemerintah. Namun jika pemerintah
melalui APBN tidak mampu, maka tahap selanjutnya ditawarkan ke BUMN, dalam hal
ini Inalum yang akan mengeksekusinya.
Jika PT Freeport Indonesia setuju menerima IUPK dan melepas 51% sahamnya, Eltinus
Omaleng, selaku Bupati Mimika meminta pemerintah daerah (pemda) Mimika
sebagai daerah penghasil tambang diberi jatah. Dengan adanya kepemilikan Pemda
Mimika, Tambang Grasberg diyakini dapat lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal, merasakan manfaat keberadaan tambang emas dan tembaga.
Menyatakan Sikap
BEM Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia, memutuskan untuk mengambil beberapa sikap setelah melakukan
pertimbangan melalui paparan yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu:
1. Mendukung segala bentuk langkah Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas
kepada perusahaan asing yang melanggar peraturan di Indonesia.
2. Mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengambil saham mayoritas dari
PTFI Indonesia yang sudah sangat lama berada di Indonesia dan memang sudah
sewajarnya Pemerintah Indonesia menjadi pemegang saham terbesar.
3. Meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak mengabaikan, serta lebih
memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat Papua yang terkena dampak dari
kasus ini.
UNTUK
JAWA TENGAH KAMI TERCINTA
Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan
HIDUP
MAHASISWA!!!
JAWA TENGAH REBUTAN TANAH
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM FKIP, FP, FH dan FISIP Jalan Ir. Sutami No. 36A
Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Gunung Kendeng
Panguripe dulur sami
(Sumber kehidupan kita semua)
Saking Taban nganti Tuban punika
(Dari Taban sampai Tuban)
Kathah sanget isen-isene
(Banyak yang ada didalamnya)
Wolu pitutu ing banyu ning Sukolilo nyukupi wargane
(Delapan puluh tujuh mata air di Sukolilo mencukupi
wargannya)
Ayo dulur sedoyo nguri-uri tinggalane sing Nduwur
(Mari saudara semua melestarikan peninggalannya)
Pasarehan dilestariknno murih dadi roso tentrem neng
ati
(Lestarikan tempat bersejarah agar hati menjadi tentram)
Kanti bukti lan nyata
(Dengan bukti nyata dan tindakan)
Kendeng puyeng saat ini, tanpa ada raut bahagia diwajah para petani. Itu
tanah mereka, itu rumah mereka. Namun Pemimpinnya menganggap seolah hal
ini biasa. Orasi dengan maksud tersembunyi saat dulu mencari simpati,
merajakan rakyat padahal korporat. Rakyat berjuang dengan demokrasi yang
walaupun lagi-lagi hanya dikerasi.
Tinggi hati dengan kuasa untuk apa itu semua ? Jika rakyat masih
menderita. Pencitraanmu benar-benar luar biasa hingga rakyat tak menyadari
bahwa sikapmu hanya kamuflase belaka. Seorang Kartini gugur dimedan tempur,
dan si korporat hanya menonton sembari meminum anggur. Pemerintahan
sekarang ini tak ubahnya seperti Nazi dan Fasis di Itali. Pemusnahan nalar bahwa
Kendeng tak dalam masalah, dan dengan berbagai kode perilaku yang menunjuk
pada kekerasan dan kebohongan seolah siapapun yang melawannya menjadi
musuh yang harus musnah.
Konflik dari tahun 2010 yang kian belarut-larut sampai saat ini, masih
tanpa solusi yang diberi padahal digaji dari uang kami. Hanya mementingkan
Ekspansi dan Investasi pada tanah rakyat yang haknya dikebiri. Sekali lagi,
Indonesia tak perlu semen tambahan. Biarkan rakyat Kendeng bekerja dengan
alam, karna hal itu yang diajarkan oleh nenek moyang. Warga Kendeng berjalan
ratusan kilometer untuk menjemput keadilan saat putusan MA terkalahkan oleh
sebuah kekuasaan, sembari berdoa tengah malam agar Pemimpinnya sadar
karna sudah keblabasan.
Banyak pasal yang menerangkan bahwa tindakan ini melanggar aturan.
Salah satunya Pasal 28 H ayat (1) dikatakan bahwa “setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun
mengapa hidup ini begitu menyakitkan, ditanah anak cucu mereka akan
dibesarkan. Para Pejuang Kendeng masih berjuang dengan segala kekuatan dan
ketabahan meski sesekali merasakan getirnya sebuah pertahanan. Terlalu banyak
basa basi kata yang diucapkan korparat tentu membuat jengah. Pejuang
Kendeng yang masih berjuang barangkali sudah mencapai titik nadir, dimana
mereka benar-benar lelah. Sesekali ingin mengeluh dan berhenti, namun jika itu
terjadi sia-sia apa yang mereka lakukan selama ini.
Pada pasal 28 A dikatakan bahwa “ setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” sesuai dengan Pasal
tersebut Warga kendeng dan Kartini lain pengganti Bu Patmi masih terus
berjuang melawan korporasi ditanah yang mereka tiduri. Berusaha sekuat tenaga
agar kehidupan mereka tak diintervensi demi kepentingan pribadi, demi anak-
anaknya dan demi cucu mereka. Ini sudah jelas bahkan sangat jelas saat putusan
MA menyatakan batal SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012
dan mewajibkan Tergugat mencabut SK tersebut, namun lagi-lagi kuasa
mengalahkan segalanya. Pabrik pun seolah menjadi tema utama dimana
Gubernur menjadi sutradara yang memerintah hal yang tak seharusnya ada.
Warga yang kontra seolah dianggap tak mengetahui apa-apa pada masa depan
lingkungan mereka, yang seolah mampu membangun dengan begitu cerah tanpa
celah.
Saat warga kendeng dianggap kriminal dan penghambat pembangunan
adalah hal lucu yang wajib di tertawakan. Siapa yang kriminal ? Siapa yang
Penghambat pembangunan ? Tanah ini lebih besar dari uang yang Kaum
Korporat Tuhankan. Ini masalah alam dengan berbagai dampak, yang jelas sekali
kerusakan akan tampak. Berbagai dampak yang akan timbul dari masalah ini jika
tidak segera ditangani dari sosial dan budaya, ekosistem, hingga ekonomi.
Perampasan hak warga jelas adanya tanpa mempertimbangkan solusi bagi
keberlangsungan warga kendeng sebagai penggantinya. Apakah begitu hina
menjadi petani ? Apakah menjadi buruh derajat akan tinggi ? Mohon yang
bersangkutan mampu berpikir lebih realistis lagi !.
Teruntuk mereka yang sadar akan kebenaran dan keadilan, pada Pasal 28
H Ayat (4) dengan jelas mengatakan bahwa “ setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang
wenang oleh siapapun”. Tanah ini milik Indonesia bukan milik korporat dan
koloninya. Jangan jarah tanah kami yang lestari, dengan pembangunan yang
hanya alibi. Menyejahterakan rakyat tidak melulu membangun pabrik. Alam
Indonesia ini indah jangan biarkan rusak sia-sia karna di jarah, pikirkan saja untuk
bisa mengekspor beras bukan semenlah. Dampak memang tak selalu langsung
dirasa namun niscaya akan tampak adanya. Semen memang menjadi hal penting
dalam pembangunan, namun tak lebih penting jika melihat rakyat banyak mati
kelaparan. Lagi-lagi perlu ditekakankan tidak perlu mengekspor semen, cukup
jalankan apa yang ada dengan semestinya. Indonesia negara agraris namun jika
masih mengimpor beras bukankah menjadi hal yang begitu ironis. Cukup tragis
memang pemerintahan sekarang ditangan orang yang tak bereadilan, serasa
anak cucu dalam ambang kesengsaraan yang entah kapan akan dimakmurkan.
Indonesia, sejak merdeka telah memplokamirkan diri sebagai bangsa
agraris. Hal ini bukan lagi sekedar program pemerintah kala itu, naumun sudah
menjadi satu dengan budaya bangsa yang mengakar kuat. Kemerdekaan
Indonesia, sejatinya menghendaki pembebasan sepenuhnya dari penghambaan
kepada manusia. Tentunya, kemerdekaan ini harus dirasakan di segala bidang
kehidupan. Tak terkecuali kemerdekaan agraria. Hidup, tinggal dan bertani serta
berkebun di tanah yang menghidupi mereka secara mandiri dan bebas. Sebelum
kemerdekaan, kemerdekaan agraria dihinakan dengan adanya sistem tanam paksa,
pembatasan lahan yang bebas digunakan, dan kewajiban pajak yang tinggi, serta
penggusuran dan perebutan tanah dengan Pemerintah Hindia Belanda. Namun,
setelah republik Indonesia, sudahkah kemerdekaan agraria itu ada?
Nyatanya, konflik agraria yang terjadi sejak sebelum negara ini berdiri,
malah kemudian beranak pinak. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan, konflik agraria yang saat
ini marak terjadi di sejumlah daerah merupakan warisan masa kolonial. Warisan
tersebut terkait terkait asas dalam pengambilalihan status kepemilikan tanah oleh
negara (Kompas, 15 Februari 2013). Sengketa agraria masih terus berlangsung
hingga kini. Mirisnya, semua berlangsung di tengah kekuasaan politik yang
diklaim telah menjadi milik bangsa Indonesia sendiri. Konflik – konflik yang
berlangsung hingga kini, justru kemudian banyak melibatkan pemerintah yang
notabene administrator dari kesejahteraan rakyat. Sengketa nya kemudian beralih
antara rakyat, petani dan nelayan melawan pemerintah mereka sendiri, kekuasaan
yang berasal dari hajat elektoral demokratis. Terlebih lagi, tak jarang pemerintah
melakukan tindakan represif terhadap perlawanan masyarakat, di samping acuh
terhadap urusan para korban. Semua konflik ini semakin marak, bahkan hingga
menyebabkan korban meninggal. Ingat kembali bagaimana dahulu seorang Salim
Kancil tewas terbunuh oleh aparat karena memperjuangkan hak atas tanahnya,
serta banyak kasus – kasus lainnya.
Jawa Tengah menjadi salah satu daerah yang tengah disoroti karena kasus agraria.
Kasus yang paling terkemuka adalah sengketa pembangunan pabrik semen
Kendeng. Kasus ini mencuat beriringan dengan banyak kasus lain yang tengah
terjadi namun tak terlalu muncul ke permukaan. Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat bahwa Jawa tengah
memiliki sedikitnya 36 kassus tentang konflik agraria yang memakan lahan 9043
ha. Angka tersebut cukup untuk menduduki peringkat ke 2 dalam hal “provinsi
dengan konflik agraria terbanyak”. Dan, seperti kasus agraria kebanyakan, maka
korbannya adalah mereka yang justru paling banyak membutuhkan kehadiran
negara: petani, nelayan dan satuan masyarakat adat. Para pejuang agraria ini
berada di satu sisi untuk kemudian berebut hak atas tanah dengan korporat, aprat
bahkan negara. Rakyat berebut dengan mereka yang menerima amanat. Jawa
Tengah Rebutan Tanah!
Konflik lahan memang bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, masalah
yang melibatkan masyarakat pemilik lahan dengan para pemilik modal seringkali
muncul di daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah untuk
dimanfaatkan. Konflik biasanya merugikan masyarakat kecil yang mayoritas
hanya petani.
Awalnya masalah ini dari masalah tanah negara yang dijadikan sebagai
lahan tukar-menukar yang diterima oleh PT. Perhutani sebagai lahan pengganti
kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab, Kendal, Jawa
Tengah. Lahan yang menjadi objek sengketa memiliki luas sekitar kurang-lebih
127 Hektar. Hingga kini sebagian besar dari lahan tersebut merupakan lahan yang
sudah digarap sebagai perkebunan dan pertanian oleh warga Surokonto Wetan
semenjak tahun 1950-an.
Dengan status lahan perkebunan sebagai tanah negara dan hak
pengelolaannya dipegang oleh NV. Sekecer/Wringinsari di tahun 1956-1965
sebelum kemudian beralih kepada PT. Sumurpitu Wringinsari dari tahun 1972-
1997 dan 1998-2022. di tahun 1972, warga dan sesepuh Desa Surokonto Wetan
pernah mengadakan perjanjian terkait penggarapan lahan kebun bersama PT.
Sumurpitu Wringinsari dengan syarat bilamana ada warga Desa Surokonto Wetan
yang hendak bergabung dan turut menggarap lahan perkebunan, maka warga
tersebut harus ikut bergabung dengan Sekber Golkar. Selain itu, porsi pembagian
hasil usaha pun turut diperjanjikan, dengan bagi hasil 1/3 untuk pihak Perusahaan,
dan 2/3 untuk pihak penggarap.Perhutani, PT. Semen.
Namun dalam kurun waktu dari tahun 1972 hingga tahun 2016,
penggarapan lahan tanah negara oleh pihak warga Desa Surokonto Wetan tak
selamanya berjalan mulus. Pernah beberapa kali mereka mengalami kendala dan
halangan. Mulai dari pihak PT. Ulat Sutra dari kurun waktu 1984-1990.
Penggarapan berjalan sekitar 4 tahun hingga akhirnya terhenti kembali karena
lahan disewa oleh PT. Kayu Manis untuk ditanami pohon tebu yang berlangsung
selama belasan tahun.
Di tahun 2009-an, masa sewa lahan oleh PT. Kayu Manis telah habis dan
lahan kembali digarap oleh warga desa Surokonto Wetan. Penggarapan kembali
pada lahan perkebunan ini sempat mengalami kekisruhan dikarenakan adanya
ketimpangan pengelolaan lahan kebun. Kekacauan tukar-guling antara PT Sumur
Pitu dengan PT. Semen Indonesia, ada cacat hukum dalam hal pengelolaan yang
dilaksanakan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari. Cacat tersebut bahkan dimulai dari
penelantaran lahan semenjak tahun 1998.
Karena semakin peliknya masalah, lalu pada Februari 2013, sekitar 500
warga menggelar apel akbar di depan kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan
TNI Kebumen dengan menyampaikan aspirasi mereka yang berupa penolakan
lahan pesisir Uritsewu untuk dijadikan sebagai lahan militer. Lalu dilanjut pada
Maret 2013 dengan pengiriman surat oleh 3 kepala desa yang berisikan tentang
protes atas pemagaran yang dilakukan oleh pihak TNI pada wilayah yang
disengketakan. Karena itupula, masyarakat yang tersulut emosi lalu melakukan
pemberontakan dengan pengerusakan pagar pembatas yang sudah jelas-jelas
melanggar wilayah milik warga. Sayangnya, aksi tersebut malah membuat TNI
semakin garang dengan merusak kebun-kebun pertanian dengan tank-tank milik
TNI. Tidak hanya sampai disitu, warga yang melakukan orasi dengan dipimpin
oleh kepada desa Wirimartan, Bapak Sunu, juga mendapat perlakuan yang tidak
baik oleh pihak TNI dengan membalas lewat aksi serupa, bahkan perlawanan
warga yang hanya membawa peralatan seadanya dibalas oleh pemukulan yang
membabi-buta sehingga menjatuhkan banyak korban dari pihak warga, termasuk
Bapak Sunu yang mengalami luka serius di wajah dan tangan. Konflik ini terus
terjadi hingga menurut perkembangan terakhir, terjadi pula pemberontakan yang
membawa korban luka berat dan ringan.
Kasus agraria banyak sekali terjadi dalam tahun ini. Masyarakat yang
bergantung terhadap sektor agraris untuk mendapatkan kehidupan sehari-hari
merasa dibingungkan oleh sengketa mengenani agraria yang terjadi. Seperti
halnya, kasus Kendeng yang sudah berlangsung sejak 2006 silam, memaksa
petani untuk bergerak terhadap penolakan pendirian PT Semen Indonesia.
Jika pabrik semen tersebut tetap didirikan, maka akan timbul kerugian
bagi masyarakat setempat dalam berbagai sektor. Seperti sektor ekonomi, jika kita
melihat profesi masyarakat kendeng yang mayoritas bergantung terhadap
pertanian ( Rembang, Pati, Grobogan, Blora) mulai kehilangan mata pencaharian
atau solusi dekatnya yaitu mereka dipaksaberalih profesi menjadi buruh di PT
SEMEN INDONESIA dengan kriteria yang telah ditetapkan.Dari segi
sektorgeografis, Kendeng memiliki wilayah Karst Watuputih yang berfungsi
sebagai penyuplai air di empat kabupaten, ketersediaan air bersih tersebut dapat
terganggu apabila pembangunan pabrik semen tetap dilanjutkan. Kendeng adalah
sumber mata air yang penting bagi empat Kabupaten guna menyuplai kebutuhan
air untuk minum dan lahan pertanian. Oleh sebab itu, Karst Kendeng diamanatkan
melalui Keppres No 26 Tahun 2011 harus dilindungi.
Di pulau Jawa, sudah terdapat 2 pabrik semen yang beroprasi yaitu PT
SEMEN BONSAWA yang berada didaerah banyuwangi, Jawa Timur( 16 juli
2014) dan PT SEMEN JAWA yang berlokasi di sukabumi, jawa barat. Apakah
pulau jawa akan menjadi pulau pabrik? Tentu saja tidak. Banyak dampak yang
telah diakibatkan oleh aktivitas pabrik semen tersebut.
Satu menteri, satu gubernur, dan tentunya tidak kelupaan pelaksana tugas
yang membuat proyek ini bisa berhasil, yakni Pertamina yang sepertinya menjadi
bagian dari bumi Indonesia dan saat ini memenangkan tender PLTP di Gunung
Lawu. “Berdasarkan Berita Acara Penetapan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran
Tahap Kedua Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi Gunung Lawu tanggal 23
Desember 2015 ditetapkan bahwa: Peringkat pertama dari pelelangan WKP
Gunung Lawu adalah PT. Pertamina dan peringkat kedua adalah PT. Star Energy
Geothermal Indonesia,” jelas pengumuman dari EBTKE.
Akan tetapi, dari semua berita tersebut, masih sedikit yang menyebutkan
tentang survei, AMDAL, maupun dampak-dampak yang akan timbul jika Gunung
Lawu diaktifkan sebagai PLTP. Alasan kebutuhan suplai listrik memang sangat
strategis untuk digunakan bagi masyarakat Lawu dan sekitarnya. Menurut saya,
sampai saat ini, masih belum terlihat dengan jelas alasan dibalik embel-embel
kesejahteraan masyarakat yang mereka ucapkan. Alasan uang? Bisa saja.
Kelihatannya, tidak besar jumlah dari hasil tender, hanya “660 juta dolar AS atau
sekitar 8 triliun rupiah,” kata Rinto, selaku ketua DPC Partai Demokrat
Karanganyar. Setidaknya cukup untuk membuka mulut sang Gubernur Jawa
Tengah dalam mengatakan “Yes, bring it to me,” dalam imajinasi liar saya sebagai
mahasiswa. Tanggapan beliau, jika mengenai tender, dapat dilihat tidak jauh-jauh
dengan kasus pabrik semen di Kendeng. Hal yang penting adalah keberadaan
sebuah proyek itu punya manfaat (tentunya sebagai alasan), maka proyek tersebut
akan mulus sampai kepada tujuan.
Beberapa kasus konflik agraria di atas dapat mewakili puluhan kasus lain
yang memakan lebih banyak korban. Kehadiran pemerintah, dalam hal ini
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah harus dirasakan, bukan lagi sekedar
kepentingan politik pencitraan. Komnas HAM mencatat bahwa korban utama dari
sengketa tanah adalah petani, nelayan dan masyarakat adat. Maka, pemerintah
perlu mulai menyadari, bahwa keberadaan entitas masyarakat harus diutamakan,
seperti petani, nelayan dan masyarakat adat.
Banyaknya kasus sengketa tanah di Jawa Tengah juga harus disadari oleh
Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini harus diselesaikan, bukan malah diperkeruh
suasananya. Selama ini, pemerintah tidak secara optimal mampu mengatasi
masalah ini, bahkan berada di pihak yang bersengkata melawan masyarakat.
Masyarakat merupakan bagian dari sistem pemerintahan. Pemahaman masyarakat
sendiri tidak dapat disimpulkan secara teoritis semata. Perlu memaknai
masyarakat agar dapat memahami apa yang dibutuhkan serta apa yang dirasakan
masyarakat. Masyarakat diibaratkan sebagai ttubuh manusia, masyarakat sebagai
sebuah jantung, yang sangat memiliki peran dan fungsi yang sangat sentral.
Sistem pemerintahan diibaratkan menjadi sebuah tubuh manusia. Analogi ini
merupakan gambaran kecil betapa pentingnya sebuah sinergitas antara pemerintah
dan masyarakat. Jika dalam tubuh manusia ada yg mengalami disfungsi tentu ini
akan menghambat fungsi organ dan sistem tubuh akan terganggu.
Bagaimana sodara kami dapat produktif jika lahan mereka dijual belikan.
Sudah saatnya kesempatan masyarakat yang produktif, mandiri dan menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur harus dilindungi. Hambatan diskriminatif untuk memenuhi
kesempatan masyasrakat produktif harus dilenyapkan. Pembangunan perlu
mengedepankan subtainability, dimana pembangunan tidak untuk genarasi saat
ini, namun untuk generasi mendatang. Bumi kita ini kaya akan hasil tani, mohon
bapak jangan mengganti dan ujung-ujungnya kehidupan lestari menjadi mati.
Berdasarkan pada Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Implementasinya sangat bertolak belakang. Kebijakan kebijakan yang telah dibuat
hanya untuk penanam modal! Lalu jika tidak bisa menanam modal dengan jumlah
banyak, kita diperlakukan berbeda?
1. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk merespon dengan cepat dan tepat
segala bentuk konflik agraria di Jawa Tengah dengan memperhatikan
dengan seksama kepentingan petani, nelayan dan masyarakat adat.
2. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi segala peraturan hukum
yang telah diberlakukan dengan menutup pabrik semen PT. Semen
Indonesia di Kendeng, Jawa Tengah
3. Menolak segala upaya kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang
bersengketa dengan pemerintah atau pihak lain dalam konflik agraria
4. Menuntut adanya pemberdayaan masyarakat secara jelas dalam setiap
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta
5. Menuntut diberlakukannya kajian ilmiah yang jujur, komprehensif, dan
memperhatikan kehidupan masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan.
6. Menolak adanya tindakan represif aparat keamanan terhadap kelompok
masyarakat yang berjuang untuk membela hak atas tanah.
Harapannya, segala tuntutan ini dapat direalisasikan supaya semua janji politik
yang dijanjikan bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Selanjutnya, kami
berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberikan ganjaran yang
adil terhadap segala bentuk penindasan kepada rakyat yang membela hak atas
tanah mereka.
Cukup miris apabila kita membandingkan bait-bait lagu diatas dengan keadaan
yang terjadi sekarang di Kendeng. Ada apa dengan Kendeng kawan-kawanku?
Mungkin pernah teman-teman melihat sekilas di timeline media sosial kalian
mengenai perjuangan kartini-kartini dari Rembang ke Jakarta dan menyemen kaki
mereka saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Presiden? Mungkin juga kalian
pernah mendengar para petani berjalan kaki dari Rembang ke Semarang untuk
melakukan unjuk rasa di Kota Semarang? Mungkin juga kalian pernah mendengar
para petani Rembang ini menginap selama sebulan di depan Kantor Gubernur untuk
menanti sikap Gubernur Jawa Tengah terhadap hasil Putusan Mahkamah Agung
mengenai izin pembangunan PT Semen Indonesia?
Kejadian-kejadian itu bukanlah cerita dalam dunia dongeng semata, itu juga
bukan kisah yang dibesar-besarkan untuk menarik simpati masyarakat mengenai
keadaan di Kendeng. Ini kisah nyata perjuangan para petani Rembang dan masyarakat
di Rembang demi mempertahankan hak, kelestarian lungkungan dan tentu
mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Mari sejenak kami ceritakan
sekelumit kisah dan fakta-faktanya.
Dimulai dari Gunung Watu Putih, berdasarkan hasil penelitian Air Bawah Tanah
oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998
dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong
dalam tipe bentang alam karst yang memiliki goa-goa alam dan sungai bawah tanah.
Luas batu gamping Formasi Paciran yang membentuk Gunung Watuputih lebih
kurang 3.020 Ha. Di kawasan tersebut terdapat Cekungan Air Tanah (CAT)
Watuputih yang merupakan area imbuhan air sebesar 2555,09681 Ha (perhitungan
Sistem Informasi Geografis) yang menjadi kawasan resapan air terbesar penyuplai
sumber mata air di sekitar kawasan Pegunungan Watuputih. Pendataan berkala yang
dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang juga mendata adanya 49 goa yang tersebar
di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, 4 diantaranya memiliki
sungai bawah tanah aktif dengan 109 mata air yang mengalir di sepanjang musim
kemarau dan penghujan. Mata air disini digunakan untuk mengairi pertanian dan
menyokong kehidupan di 14 Kecamatan di Rembang serta banyak lagi manfaat
lainnya.
Konflik mulai muncul ketika pembangunan pabrik semen mulai dilakukan oleh
PT Semen Indonesia di Kawasan Gunung Watuputih kecamatan Gunem, Kabupaten
Rembang dengan nilai investasi tidak kurang dari Rp 3,7 triliun. Pabrik ini memiliki
kapasitas produksi 3 juta ton semen per tahun dan Kabupaten Rembang dipilih karena
merupakan wilayah yang memiliki bentangan karst cukup luas untuk suplai bahan
baku utama penghasil semen, yaitu batu gamping. Mari kita kaji dahulu lebih dalam
kawan-kawan sebelum memunculkan asumsi-asumsi lain. Berikut kami sajikan
beberapa alasan penolakan dari masyarakat Rembang, pembelaan dari PT Semen
Indonesia, dan sedikit analisa sederhana:
Sampaikan salam
kami atas nama cinta
dan persatuan demi
sebuah kesejahteraan
HIDUP
MAHASISWA!!!
Tuntutan Atas Mangkraknya Tol
Solo – Kertosono
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
Sekretariat: Sekretariat BEM Fakultas Teknik Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Mahasiswa UNS