Anda di halaman 1dari 73

BUKU ACUAN:

KEPEMIMPINAN

DESA

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia
Buku Acuan

KEPEMIMPINAN
DESA

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia i
ii Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
KEPEMIMPINAN
DESA

November 2015

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia iii
Kepemimpinan Desa

PENGARAH : Ahmad Erani Yustika (Direktur Jenderal

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PENANGGUNGJAWAB : Eko Sri Haryanto (Direktur

Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PEMBACA : Bito Wikantosa (Kepala Subdirektorat Pengemban

gan Kapasitas Masyarakat Desa).

COVER & LAY OUT : Heru YP

ILUSTRATOR : Ibe Karyanto

Cetakan Pertama – November 2015

Diterbitakan Oleh :

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan


Transmigrasi Republik Indonesia

Jl. TMP Kalibata, No 17, Jakarta Selatan – 12740


Telp (021) 7989924

iv Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
DAFTAR ISI

Pengantar iv

Bagian 1

Kewenangan Desa dan Regulasi Desa 1

Bagian 2

Kepemimpinan Desa 13

Bagian 3

Demokratisasi Desa 26

Bagian 4

Kader Desa 35

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia v
PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, kare-


na dengan rahmatNya telah diselesaikan beberapa seri pener-
bitan buku yang diperlukan untuk mendorong kerja implemen-
tasi Undang-undang Desa. Buku Kepemimpinan Desa yang
sekarang di tangan pembaca berisi empat tema besar yang mer-
upakan subtansi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa. Masing-masing adalah Kewenangan Dan Peraturan Desa,
Kepemimpinan Desa, Demokratisasi Desa, dan Kaderisasi.

Kewenangan Desa merupakan salah satu mandat UU Desa


untuk secara serius dan konsisten melindungi keragaman dan
kekhasan Desa. Mandat tersebut tak terpisah dari semangat rekognisi
dan subsidiaritas, dua azas utama dari pengaturan Desa. Keduanya
sekaligus merupakan spirit untuk mendorong Desa dalam mengatur
dan mengurus kebutuhan Desa berdasarkan kemampuannya sendiri.

Buku ini dimaksudkan menjadi acuan bagi para tena-


ga profesional pendampingan Pembangunan dan Pem-
berdayaan Masyarakat Desa, baik Tenaga Ahli, Pendamp-
ing Desa, dan Pendamping Lokal Desa maupun Setrawan.
Meskipun demikian buku ini juga bermanfaat untuk dibaca oleh
perangkat Desa, unsur masyarakat dan para pihak yang memiliki
komitmen yang sama dalam melakukan kerja implementasi UU Desa.

Akhir kata, terlepas dari berbagai kekurangan maupumn


kelemahan yang ada, semoga buku bermanfaat menambah kasanah
kepustakaan buku-buku dan bacaan sekitar implementasi UU Desa
khususnya serta memperkaya perspektif pembaca dalam melaku-
kan upaya Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

vi Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Selamat belajar dan selamat menggunakan buku ini dengan bijak.

Direktur Jenderal

Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

Ahmad Erani Yustika

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia vii
Bagian 1

KEWENANGAN DESA

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 1
PENGANTAR

PERKEMBANGAN PENGATURAN DESA

Terbitnya UU No. 6 Tahun. 2014 tentang Desa, selanjutnya


disebut UU Desa, merupakan titik terang harapan bagi Desa untuk
memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Sebagaimana tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Desa
berpeluang untuk berkontribusi dalam membentuk fondasi demokrasi,
kemandirian ekonomi, dan berkepribadian secara budaya melalui UU
Desa. Harapan itu tidak berlebihan, sebab dalam UU Desa tersebut,
pengakuan terhadap hak asal-usul dan kewenangan lokal Desa
mendapat peneguhan konstitusional melalui prinsip rekognisi dan
subsidiaritas sebagai azas pengaturan Desa.

Azas rekognisi merupakan pengakuan terhadap hak asal usul Desa


yang keberadaannya mendahului berdirinya Republik Indonesia, atau
pengakuan bahwa Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum asli
Indonesia. Sementara azas subsidiaritas merupakan peneguhan bahwa
Desa memiliki kewenangan lokal, yakni kewenangan untuk mengatur
dirinya sendiri dalam skala lokal-Desa. Dengan ketentuan-ketentuan
tersebut, UU Desa merupakan kemajuan yang sangat besar dalam tata
pengaturan Desa yang telah dimulai sejak awal Indonesia merdeka.

Sebelum UU Desa, beberapa peraturan perundangan telah


diterbitkan untuk mengatur Desa antara lain:

 UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,

 UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan


Daerah,

 UU No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja,

 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di


Daerah,

2 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
 UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,

 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

 dan terakhir (hingga sebelum 15 Januari 2014) adalah UU No.


32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Desa
diatur dalam 16 Pasal yaitu dari Pasal 200 s/d Pasal 216.

Secara umum, pengaturan tentang Desa sebelum UU Desa


belum memberikan perlindungan yang serius dan konsisten terhadap
keragaman dan kekhasan Desa, serta terhadap upaya membangun
kemandirian dan kesejahteraan Desa. Sebaliknya, dengan begitu
saja Desa diperlakukan seragam dan secara langsung berada dalam
pengendalian Pemerintah supradesa (Kabupaten/Kota, Provinsi,
dan Pusat), sehingga potensi asli, karakter khas, dan kekuatan Desa
tidak mendapat ruang untuk berkembang. Padahal, sebagai kesatuan
masyarakat yang membentuk nation Indonesia, kekuatan kebangsaan
Indonesia justru terletak pada Desa – atau dengan sebutan yang lain.

Titik maju dan keberpihakan UU Desa terhadap Desa tampak dalam


beberapa pengaturan strategis. Di antaranya, pertama adalah terkait
kewenangan pengaturan, rekognisi dan subsidiaritas dimana desa
mengatur dan mengurus sesuai hak asal usul dan kewenangan lokalnya.
Kedua, penegasan tujuan pengaturan Desa yang di antaranya adalah
untuk memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan
(Pasal 4 huruf i UU Desa). Ketiga, azas dan tujuan tersebut dilengkapi
dengan kewenangan Desa yang memberi keleluasaan bagi Desa untuk
menyelenggarakan pembangunan (Pasal 18 s/d 22 UU Desa) dan
mengalokasikan anggaran untuk Desa (Pasal 72 ayat (1) huruf b UU
Desa) yang dikenal sebagai Dana Desa sebagai wujud kewajiban Negara
memenuhi hak desa. Keempat, sebagai bukti pengakuan terhadap
hak asal-usul, diakuinya dua bentuk desa yaitu: Desa dan Desa Adat
(pasal 6 ayat 1 UU Desa). Titik maju kelima adalah penyelenggaraan
Pendampingan dalam pembangunan dan pemberdayaan, yakni Negara
bertanggung jawab menyediakan sumber daya manusia pendamping
dan manajemen.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 3
KEWENANGAN DESA DAN PENDAMPINGAN

Sebagai implementasi, UU Desa telah disusul oleh beberapa


perangkat perundangan. Di antaranya adalah:

 PP No. 43/2014

 PP No. 47/2015

 PP No. 60/2014

 PP No. 22/2015

 PMK No. 93/PMK.07/2015

 Permendagri No. 111 s/d No. 114/2014

 Permendesa PDT T No. 1 s/d No. 5/ 2015

Salah satu bagian strategis yang harus dikawal sebagai


implementasi UU Desa adalah terkait kewenangan Desa. Sebab,
implementasi kewenangan Desa merupakan kunci bagi pengembangan
prakarsa Desa (Pemerintah Desa dan masyarakat Desa) dalam
menyelenggarakan Pembangunan Desa. Melalui kewenangannya
tersebut, Desa mengatur dan mengurus dalam mengelola potensi dan
aset Desa, mengembangkan inisiatif warga atau masyarakat Desa,
mengelola keuangan Desa, dan seterusnya.

Dalam konteks itulah pendampingan seperti diamanatkan UU Desa


dibutuhkan. Pendampingan ditujukan untuk mengembangkan Desa
dalam mengelola kewenangannya. Bagaimanapun, implementasi UU
Desa dengan segenap pengaturannya dilakukan setahap demi setahap.
Pendampingan dilakukan agar dalam proses awal implementasi UU
Desa, semangat pemberdayaan, pembelajaran, dan pembangunan
Desa dapat berlangsung dengan baik. Untuk kepentingan itu, buku kecil
ini diadakan, yakni sebagai bacaan tambahan bagi para pendamping
dalam menjalankan tugas-tugasnya di Desa.
4 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
1. KEWENANGAN DESA

A. PENGERTIAN DESA

Pertama pendamping harus memahami secara jelas pengertian


Desa. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Desa mendefinisikan demikian:

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Frasa “kesatuan masyarakat hukum” telah menempatkan


Desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat
berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan
lokal (local self government). Artinya:

a) Desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau


pemerintahan berbasis masyarakat. Pemerintahan Desa
berbeda dengan Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintahan
Daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan
perangkat birokrasi.

b) Desa tidak identik dengan Pemerintah Desa dan Kepala


Desa. Desa mengandung pemerintahan (local self government)
dan sekaligus mengandung masyarakat (self governing
community), sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum.

Frasa “prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional”


bermakna: keberadaan dan kewenangan Desa sudah ada sebelum
adanya negara, sebagai warisan masa lalu maupun berkembang
dinamis karena prakarsa masyarakat setempat. Dengan demikian,
masyarakat yang berprakarsa membentuk keberadaan Desa dan
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 5
kewenangan Desa, dimana keberadaan Desa dan kewenangan Desa
tersebut harus diakui dan dihormati oleh negara.

Juga harus dimengerti oleh para Pendamping bahwa dalam


penggunaannya di daerah, Desa bukan sebutan baku. Desa digunakan
sebagai istilah umum dalam Undang Undang, namun seperti ditangkap
dalam definisi di atas, istilah lain dapat digunakan menurut tradisi
atau kebiasaan setempat. Misalnya, di Sumatera Barat digunakan
Nagari, Kampung di Papua, Negeri di Maluku, Wanua di Sulawesi, dan
seterusnya.

Wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan


dan kepentingan masyarakat seperti disebutkan dalam pengertian
Desa di atas merupakan pijakan legal bagi Desa dalam menjalankan
kewenangannya. Secara lebih rinci, kewenangan tersebut diatur di
Pasal 18 s/d 22 UU Desa, Pasal 33, 35, 36, 37, 38 PP No. 43/2014,
Pasal 34 dan 39 PP No. 47/2014 (perubahan atas PP No. 43/2014), dan
Permendesa No. 1/2015.

Dengan penjelasan singkat di atas, Pendamping Desa harus


memahami bahwa kewenangan Desa melekat pada pengertian Desa
itu sendiri, dimana Desa tidak menunjuk pada Pemerintah Desa atau
salah satu unsur lainnya.

B. KEWENANGAN DESA DAN KAITANNYA DENGAN AZAS


REKOGNISI DAN SUBSIDIARITAS

Apa saja kewenangan Desa? Pasal 18 mengatur bahwa kewenangan


Desa meliputi bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Bidang kewenangan tersebut
merupakan bentuk dorongan dan pengakuan Negara bahwa sebagai
kesatuan masyarakat hukum, Desa harus mampu untuk memperkuat
daya hidup Desa itu sendiri.

6 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Tabel 1

Kewenangan berdasar hak asal usul

SUB- CAKUPAN PASAL 34 AYAT (1) PASAL 2 DAN PASAL 3


YEK PP NO. 47/2015 PERMENDESA PDTT NO.
1/2015

DESA Hak asal Meliputi: Meliputi:


usul merupa-
kan warisan  Sistem organisasi  Sistem organisasi perang-
yang masih masyarakat adat; kat Desa
hidup dan
prakarsa  Pembinaan kelem-  Sistem organisasi mas-
Desa atau bagaan masyarakat; yarakat Adat
prakarsa
masyarakat  Pengelolaan tanah  Pembinaan kelembagaan
Desa sesuai kas Desa; masyarakat
dengan
perkem-  Pengembangan  Pengelolaan Tanah Beng-
bangan peran masyarakat kok
kehidupan Desa
masyarakat  Pengembangan peran mas-
yarakat, dll.
DESA Meliputi:
ADAT
 Penataan sistem organisasi
dan kelembagaan mas-
yarakat adat;

 Pranata hukum adat;

 Pemilikan hak tradisional;

 Pengelolaan tanah ulayat;

 Pengelolaan tanah kas


Desa Adat

 Kesepakatan dalam ke-


hidupan masyarakat Desa
Adat.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 7
Bentuk selanjutnya dari pengakuan kewenangan Desa tampil
dengan jelas dalam ketentuan Pasal 19 UU Desa. Kewenangan
Desa meliputi:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;

b. Kewenangan lokal berskala Desa;

c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah


Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah


Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan berdasar hak asal usul dan keterkaitan dengan


Azas Rekognisi. Kewenangan berdasar hak asal-usul terkait erat
dengan azas rekognisi. Dalam pengakuan terhadap hak asal-usul
(rekognisi) ditegaskan sebagai kewenangan di Pasal 19 tersebut. Dalam
konteks itu, azas rekognisi yang bergandengan dengan kewenangan
Desa dapat dimaknai sebagai berikut.

1. Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan


masyarakat hukum adat, merupakan entitas yang berbeda dengan
kesatuan masyarakat hukum yang disebut Daerah.

2. Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang
sudah ada sebelum NKRI diproklamasikan dan sudah memiliki
susunan asli maupun hak asal usul.

3. Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan bagian dari
keragaman Indonesia sehingga tidak dapat diseragamkan.

4. Dalam lintasan sejarah, Desa atau yang disebut dengan nama


lain, secara struktural menjadi arena eksploitasi atas tanah dan
penduduk serta diperlakukan tidak adil mulai masa feodal, kolonial
hingga otoritarianisme.

5. Konstitusi telah memberikan amanat kepada Negara untuk

8 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
mengakui dan menghormati Desa atau yang disebut dengan
nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum beserta hak-hak
tradisionalnya.

6. Sesuai amanat konsitusi [Pasal 18B ayat (2) UUD NKRI 1945],
maka Negara, swasta (pelaku ekonomi) dan pihak ketiga (LSM,
perguruan tinggi, lembaga donor internasional dan sebagainya)
harus mengakui dan menghormati keberadaan Desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum.

7. Eksistensi Desa mencakup hak asal usul (bawaan maupun prakarsa


lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun
pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan
masyarakat, prakarsa Desa maupun kekayaan Desa.

8. Konsep mengakui dan menghormati Desa berarti tindakan untuk


memanfaatkan, mendukung dan memperkuat institusi Desa yang
sudah ada, dan bukannya menonjolkan tindakan intervensi (campur
tangan) dan tindakan memaksa yang justru akan mematikan
institusi Desa. Contoh tindakan yang bertentangan dengan azas
pengakuan dan penghormatan ini adalah: (1) Pemerintah maupun
swasta menjalankan proyek pembangunan di Desa tanpa berdialog
atau tanpa memperoleh persetujuan Desa, atau (2) Pihak luar
membentuk kelompok masyarakat Desa tanpa persetujuan Desa;
dan lain sebagainya.

9. Rekognisi Desa dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati


identitas, adat istiadat, pranata dan kearifan local (local wisdom)
sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural (cultural justice),
yang disertai dengan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi
dana untuk Desa dari APBN atau yang saat ini disebut Dana Desa .

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 9
Tabel 2

Kewenangan lokal berskala Desa


CAKUPAN BIDANG PASAL 34 AYAT (2) PERMENDESA
PP NO. 47/2015 PDTT
NO. 1/2015
Kewenanga Pemerintahan a. Pengelolaan 1) Penetapan
n untuk Desa tambatan perahu organisasi
mengatur b. Pengelolaan pasar Pemerintah
dan Desa Desa
mengurus c. Pengelolaan tempat 2) Pembentukan
kepentingan pemandian umum Badan
masyarakat d. Pengelolaan jaringan Permusyawara
Desa yang irigasi tan Desa
telah e. Pengelolaan 3) Penetapan
dijalankan lingkungan perangkat
oleh Desa pemukiman Desa
atau mampu masyarakat Desa 4) Dll.
dan efektif f. Pembinaan
dijalankan Pembangunan kesehatan 1) Pelayanan
oleh Desa Desa masyarakat dan sosial Dasar
atau yang pengelolaan pos 2) arana dan
muncul pelayanan terpadu prasarana
karena g. Pengelolaan 3) embina
perkembang perpustakaan Desa kerukunan
an Desa dan dan taman bacaan warga Desa
prakarsa h. Pengelolaan air 4) Pengembanga
masyarakat minum berskala n ekonomi
Desa Desa lokal Desa
i. Pembuatan jalan ) Dll.
Desa antar
Kemasyarakat pemukiman wilayah 1) embina
an Desa pertanian keamanan
ketertiban dan
ketentraman
wilayah dan
masyarakat
2) embina
kerukunan
warga Desa
3) emelihara
perdamaian
4) Dll.

Pemberdayaa
n masyarakat
Desa

10 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Kewenangan lokal berskala Desa dan keterkaitan dengan Azas
Subsidiaritas. UU Desa mendefinisikan Azas Subsidiaritas sebagai
penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan
secara lokal untuk kepentingan Desa. Inti gagasan azas Subsidiaritas
selanjunya ditegaskan dalam Pasal 19 huruf b UU Desa, “Kewenangan
Desa meliputi: ..(b) kewenangan lokal berskala Desa..”.

Pemaknaan dari Azas Subsidiaritas adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang


kepentingan masyarakat setempat kepada Desa. Urusan
lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal
ditangani oleh Desa sebagai organisasi lokal yang paling dekat
dengan masyarakat.

2. Negara menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi


kewenangan Desa melalui UU Desa. Penetapan kewenangan
lokal berskala Desa berarti terdapat peraturan perundang-
undangan yang secara langsung memberi batas-batas yang jelas
tentang kewenangan lokal berskala lokal, tanpa melalui mekanisme
delegasi maupun pelimpahan urusan/wewenang dari kabupaten/
kota. Misalnya, Peraturan Menteri Desa PDTT No. 1/2015 tentang
Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan
Lokal Berskala Desa.

3. Pemerintah melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap Desa


dalam mengembangkan prakarsa untuk menyusun dan menetapkan
kewenangan lokal berskala Desa. Misalnya, Peraturan Bupati/
Walikota tentang Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa yang
disusun dengan melibatkan prakarsa pemerintahan dan masyarakat
Desa.

Pelaksanaan kewenangan lokal membawa konsekuensi terhadap


masuknya program-program Pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 UU
Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf a dan b UU Desa) diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4 dan 5) :

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 11
“Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh
Desa” dan “Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa
diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan
dengan Pembangunan Desa”.

Rangkaian pasal itu menegaskan bahwa kewenangan lokal bukanlah


kewenangan pemerintah supra-desa (termasuk kementerian sektoral)
melainkan menjadi kewenangan desa. karena selama ini hampir setiap
kementerian sektoral memiliki proyek masuk desa yang membawa
perencanaan, birokrasi, pendekatan, bantuan dan membangun
kelembagaan lokal di ranah desa. Ada desa mandiri energi (ESDM),
pengembangan usaha agribisnis perdesaan (pertanian), desa siaga
(kesehatan) dan yang lainnya. Dengan UU Desa ini, semua program
tersebut adalah kewenangan lokal berskala desa yang dimandatkan
oleh UU Desa untuk diatur dan diurus oleh desa.

12 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
2. REGULASI DESA

A. REGULASI (PERATURAN) DAN MUSYAWARAH DESA

Regulasi Desa meliputi (1) Peraturan Desa, (2) Peraturan Bersama


Kepala Desa, dan (3) Peraturan Kepala Desa. Semua peraturan
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama BPD sebagai sebuah kerangka hukum dan kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa.

Regulasi Desa dihasilkan dari proses musyawarah Desa yang


dilakukan dengan menjunjung tinggi azas demokrasi, azas partisipasi,
dan azas kesetaraan. Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi
di Desa. Musyawarah tersebut dilaksanakan sedikitnya 1 (satu) kali
dalam setahun dan harus melibatkan Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa. Musyawarah tersebut
dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat strategis untuk
diputuskan dan ditetapkan dalam peraturan Desa. Hal yang Bersifat
Strategis adalah Penataan Desa; Perencanaan Desa; Kerja Sama Desa;
Rencana Investasi Yang Masuk Ke Desa; Pembentukan BUMDesa;
Penambahan Dan Pelepasan Aset Desa dan Kejadian Luar Biasa.

Hak Masyarakat dalam penyusunan regulasi desa adalah Rancangan


Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa dan
Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan
Peraturan Desa, yang telah diatur UU Desa Pasal 69, ayat 9 dan 10.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 13
B. TAHAPAN PENETAPAN PERATURAN DESA

Peraturan Desa (Perdes) bersifat mengikat bagi Pemerintah Desa


dan masyarakat Desa. Proses pembahasan dan penetapan diatur
melalui Permendesa PDTT No. 2/2015. Proses penetapan Perdes
tidak boleh dilakukan sepihak oleh Pemerintah Desa atau Kepala
Desa. Lebih penting lagi, Perdes harus berpihak pada kebutuhan
dan kepentingan masyarakat Desa, serta dirumuskan sesuai dengan
prakarsa masyarakat Desa. Skema berikut mengilustrasikan tahap
penetapan Perdes.
Tahap Pertama

14 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Tahap Kedua

C. TAHAPAN PENETAPAN PERATURAN BERSAMA KEPALA


DESA

Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan peraturan bersama


yang disusun dalam konteks kerja sama antar-Desa. Peraturan tersebut
ditandatangani oleh Kepala Desa masing-masing yang terlibat dalam
kerja sama. Sebelum menjadi ketetapan sebagai Peraturan Bersama,
rancangan Peraturan Bersama terlebih dahulu harus mengikuti tahapan
berikut :

1. Perencanaan

Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa ditetapkan


bersama oleh dua Kepala Desa atau lebih setelah mendapatkan
rekomendasi dari musyawarah desa.

2. Penyusunan

Penyusunan rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa


dilakukan oleh Kepala Desa pemrakarsa. Dan rancangan
peraturan yang telah disusun tersebut terlebih dahulu wajib

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 15
dikonsultasikan kepada masyarakat desa masing-masing dan
camat untuk mendapatkan masukan.

3. Pembahasan, Penetapan dan Pengundangan

Pembahasan rancangan Peraturan dilakukan oleh dua Kepala


Desa atau lebih untuk ditetapkan dan diundangkan dalam Berita
Desa.

4. Penyebarluasan

Sosialisasi Peraturan Bersama Kepala Desa kepada masyarakat


Desa dilakukan Kepala Desa masing-masing.

D. Peraturan Kepala Desa

Peraturan Kepala Desa disusun berdasar kewenangan Kepala


Desa. Peraturan ini mengacu pada Peraturan Desa dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

16 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
PENUTUP

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadikan rekognisi dan dan


subsidiaritas sebagai azas utama. Dengan kedua azas tersebut, desa
mempunyai harapan dan cita-cita baru yang realistis dan dilindungi
oleh konstitusi. Dua azas menjadikan desa bisa mendapatkan dua
kewenangan utamanya, yaitu kewenangan berdasarkan asal usul dan
kewenangan desa berskala desa. Pada kedua kewenangan ini desa
mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang
mana kedua hak tersebut belum pernah didapatkan desa sebelumnya.

Kedua hak tersebut merupakan harapan utama untuk menjadikan


desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dengan kedua hak itu
desa bebas mengeluarkan dan menjalankan aturan main (regulasi),
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat
kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan aturan
tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan
dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta
menyelesaikan masalah yang muncul.

Dengan adanya kewenangan mengatur dan mengurus dirinya sendiri


yang dimiliki oleh desa, baik pemerintahan, kepentingan masyarakat
yang berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
NKRI, maka hal itu bisa dengan mudah merealisasikan salah satu cita-
cita Nawacita Jokowi-JK, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 17
Bagian 2

KEPEMIMPINAN DESA

18 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
PENGANTAR

Paradigma ‘Desa Membangun’ telah menempatkan karakter


pemerintahan Desa sebagai campuran antara masyarakat
berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan
lokal (local self government). Sifat campuran tersebut berdampak
pada perubahan posisi kepala desa/kepala desa adat sebagai salah
satu bentuk pemimpin formal didesa. Dengan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus desa dibutuhkan para pemimpin yang dapat
mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kwalitas kehidupan kerja dan
tingkat prestasi pemerintahan desa. Para pemimpin desa memainkan
peranan kritis dalam membantu kelompok, kelembagaan dan organisasi
desa atau masyarakat untuk mencapai tujuan visi, misi desa yang telah
ditetapkan.

Secara umum, tipe kepemimpinan kepala Desa dapat dibagi menjadi


tiga. Masing-masing akan diuraikan di bawah ini.

PERTAMA adalah kepemimpinan regresif yaitu kepemimpinan


yang berwatak otokratis. Otokrasi berarti pemerintahan dimana
kekuasaan politik dipegang oleh satu orang. Salah satu cirinya adalah
anti perubahan, baik terhadap perubahan tata kelola baru seperti
Musyarawah Desa atau usaha ekonomi bersama Desa. Desa yang
bersifat parokhial (hidup bersama berdasarkan garis kekerabatan,
agama, etnis atau yang lain) serta Desa-Desa korporatis (tunduk pada
kebijakan dan regulasi negara) biasanya melahirkan kepemimpinan
seperti ini.

KEDUA adalah kepemimpinan konservatif-involutif, yaitu model


kepemimpinan yang ditandai oleh hadirnya Kepala Desa yang bekerja
apa adanya (taken for granted), menikmati kekuasaan dan kekayaan,
serta tidak berupaya melakukan inovasi (perubahan) yang mengarah
pada demokratisasi dan kesejahteraan rakyat. Kepemimpinan tipe ini
pada umumnya hanya melaksanakan arahan dari atas, melaksanakan
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 19
fungsi kepala Desa secara tekstual sesuai tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) kepala Desa.

KETIGA adalah kepemimpinan inovatif-progresif, kepemimpinan


tipe ini ditandai oleh adanya kesadaran baru mengelola kekuasaan
untuk kepentingan masyarakat banyak. Model kepemimpinan ini tidak
anti terhadap perubahan, membuka seluas-luasnya ruang partisipasi
masyarakat, transparan serta akuntabel. Dengan pola kepemimpinan
yang demikian kepala Desa tersebut justru akan mendapatkan legitimasi
yang lebih besar dari masyarakatnya.

Aspek paling fundamental dalam menjalankan kepemimpinan Desa


adalah Legitimasi, hal ini terkait erat dengan keabsahan, kepercayaan
dan hak berkuasa. legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat
terhadap kewenangan. Kewenangan untuk memimpin, memerintah,
serta menjadi wakil atau representasi dari masyarakatnya.

Desa memiliki sejumlah kewenangan yang merujuk pada Pasal 19


huruf a dan b UU Desa. Kewenangan tersebut, antara lain kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Kewenangan hak asal usul merupakan kewenangan yang diberikan
karena Desa merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI
lahir pada tahun 1945 dan sudah memiliki susunan asli. Sementara
kewenangan lokal berskala Desa merupakan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah
dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau
yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat
Desa.

20 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Tabel 1

Kategori Kepemimpinan

No Issue Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan


regresif konservatif-invo- inovatif-progresif
lutif
1 Pemer- Pemerintahan Desa Cenderung pemerintahan
intahan adalah dirinya Normatif dan Desa sebagai
Desa sendiri, tidak ada prosedural. proses menjalank-
orang lain dan apa Pemerintahan an pemerintahan
yang diucapkan dijalankan sesuai yang melibatkan
olehnya dianggap prosedur dalam partisipasi/pra-
keputusan Desa hal akuntabilitas karsa masyarakat
dan harus dipatuhi. yang mement- dan mengede-
Kepemimpinan ingkan dokumen pankan transpar-
regresif menolak laporan pertang- ansi serta akunt-
untuk transparan dan gungjawaban. abilitas kinerjanya.
tidak ada mekanisme Isu transparansi
pertanggungjawaban dijalankan hanya
kepada publik sesuai aturan
yang diterbitkan
2 Pemba- Pembangunan Melaksanakan Melaksanakan
gunan Desa harus sesuai pembangunan pembangunan
Desa dengan kemauannya. Desa sesuai ar- Desa dengan
Program pembangu- ahan pemerintah melibatkan parti-
nan diarahkan untuk daerah sipasi masyarakat
kesejahteraan dirinya mulai dari meren-
sendiri, contohnya canakan, melak-
proyek jalan Desa sanakan serta
dibangun hanya dari mengawasi proyek
rumah kepala Desa pembangunan.
menuju kebunnya

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 21
3 Kemas- menjaga ketentra- akan menjaga melibatkan
yaraka- man dan ketertiban ketenteraman dan seluruh unsur
tan Desa didasarkan ketertiban di Desa masyarakat se-
Desa model penanganan secara prosedural cara bersama-sa-
oleh dirinya sendiri. dan dilaksanakan ma untuk menjaga
Pemimpin tipe regre- melalui koordinasi ketentraman dan
sif akan mengontrol dengan pihak ketertiban Desa
kehidupan mas- keamanan
yarakat Desa dan bila
terdapat masyarakat
yang dianggap mere-
sahkan maka mas-
yarakat akan ditindak
atau diintimidasi
4 Pem- biasanya menolak hanya akan Lebih mendorong
ber- untuk adanya pem- memberdayakan pemberdayaan
dayaan berdayaan mas- keluarga, kerabat Desa dengan
Mas- yarakat Desa karena atau warga memunculkan
yarakat masyarakat yang masyarakat yang prakarsa-prakarsa
Desa berdaya dianggap dapat dikenda- masyarakat.
mengancam posis- likan olehnya Melakukan kade-
inya risasi dan meny-
iapkan Kader-kad-
er Desa (Kader
Pemberdayaan
Masyarakat Desa;
KPMD) serta
membuka akses
untuk peningkatan
kapasitas mas-
yarakat Desa.

22 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
1. PENDAMPINGAN & KEPEMIMPINAN DESA DALAM
BERBAGAI SEKTOR STRATEGIS UU DESA

A. KEPEMIMPINAN DALAM MUSYAWARAH DESA

Musyawarah Desa (Musdes) dilakukan dengan mendorong partisipatif


atau melibatkan seluruh unsur masyarakat baik itu tokoh agama,
tokoh masyarakat, perwakilan petani, nelayan, perempuan maupun
masyarakat miskin. Setiap orang dijamin kebebasan menyatakan
pendapatnya, serta mendapatkan perlakuan yang sama. Musdes wajib
dilakukan secara transparan, setiap informasi disampaikan secara
terbuka dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Faktor-faktor kunci sukses penyelenggaraan Musdes adalah


peran kepala Desa dan ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Kepala Desa harus mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi
masyarakatnya melalui pelibatan secara penuh dalam forum Musdes.

Faktor kunci lainnya adalah peran ketua Badan Permusyawaratan


Desa (BPD) sebagai pimpinan rapat, sebagaimana diatur dalam
Permendesa PDTT No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib
dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa. Selain
memimpin penyelenggaran Musyawarah Desa, Ketua BPD bertugas
menetapkan panitia, mengundang peserta Musdes, serta menandatangi
berita acara Musyawarah Desa.

Sikap kepemimpinan kepala Desa maupun ketua BPD dapat ditandai


menurut kategori kepemimpinan sebagaimana di tabel 2 berikut.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 23
TABEL 2

Sikap Pemimpin Menurut Kategori Kepemimpinan Dalam


Musyawarah Desa

No Issue Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan


regresif konservatif-involutif inovatif-progresif
1 Partisipasi Cenderung tidak Melaksanakan Melibatkan se-
mengharapkan Musyawarah Desa tiap unsur mas-
partisipasi mas- sesuai tata tertib yarakat, tokoh
yarakat dalam atau aturan yang agama, tokoh
Musdes, bahkan ada, serta me- masyarakat,
pemimpin tipe ini merlukan PTO perwakilan per-
cenderung meno- (Petunjuk Teknis empuan, hingga
lak adanya Musy- Operasional) perwakilan mas-
awarah Desa penyelenggaraan. yarakat miskin
dalam Musyawar-
ah Desa.
2 Demokrasi Cenderung akan Cenderung akan Setiap orang
melakukan intimi- melakukan selek- akan dijamin
dasi, tidak bereti- si terhadap siapa kebebasan ber-
ka dan sebagain- yang diinginkan pendapatnya dan
ya pendapatnya, ma- mendapatkan
sukan dari “atasan” perlakuan yang
akan lebih diperha- sama, serta akan
tikan, dalam forum melindunginya
Musdes pendapat dari ancaman
atau masukan dan upaya intim-
cenderung di-set- idasi.
ting atau diatur ter-
lebih dahulu agar
dapat menguntung-
kan dirinya
3 Transparan Cenderung me- Transparansi akan Membuka akses
nolak untuk dilakukan terbatas, seluas-luasnya
transparan, tidak informasi hanya kepada mas-
akan memberikan diberikan kepada yarakatnya, se-
informasi apap- pengikut atau pen- makin luas serta
un kepada mas- dukungnya saja lengkap informa-
yarakatnya meski- si yang disam-
pun menyangkut paikan kepada
kepentingan mas- masyarakat di-
yarakatnya sendiri anggap akan se-
makin dekat den-
gan kesuksesan
program Desa
24 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
4 Akuntabel Cenderung tidak Hasil musyawar- Hasil Musyawar-
akan menyam- ah Desa maupun ah Desa ser-
paikan keputu- tindak lanjutnya ta tindak lanjut
san Musyawarah hanya akan dis- keputusan musy-
Desa, termasuk ampaikan kepada awarah akan
menolak memper- pengikutnya saja disampaikan dan
tanggungjawab- diper tanggung-
kan kinerjanya ke- jawabkan kepada
pada masyarakat masyarakat seti-
ap saat

B. KEPEMIMPINAN DALAM GERAKAN USAHA EKONOMI DESA

Berdasarkan pengalaman selama ini salah satu permasalahan


kegagalan Desa menggerakkan usaha ekonomi Desa adalah aspek
kepemimpinan Desa. Kepala Desa sebagai pemimpin Desa tidak
mempunyai imajinasi dan prakarsa yang kuat untuk menggerakkan
masyarakat dan mengonsolidasikan aset ekonomi lokal. Kepala Desa
ataupun Pemerintah Desa hanya disibukkan dengan mengelola bantuan
dari pemerintah baik itu pusat, provinsi maupun Kabupaten Kota. Dan
Seringkali bantuan yang diberikan tersebut masih belum menyentuh
gerakan ekonomi lokal.

Beberapa kasus matinya BUM Desa terjadi saat pergantian kepala


Desa. setelah diganti oleh kepala Desa baru BUM Desa tersebut redup,
berhenti beraktifitas dan akhirnya mati, hal ini dikarenakan adanya
ketergantungan yang tinggi kepada kepala Desa yang lama. Aspek
kepemimpinan Desa nyatanya menjadi faktor kunci kegagalan maupun
keberhasilan dalam menggerakkan potensi ekonomi lokal.

Riset FPPD dan ACCESS di Kabupaten Selayar menemukan kisah


sukses kepemimpinan Desa dalam menggerakkan potensi ekonomi
Desa. Adalah Syamsul Bahri, Kepala Desa Bontosunggu, Kabupaten
Selayar Sulawesi Selatan telah berhasil membaca potensi Desa, yang
dikembangkan menjadi potensi unggulan yaitu perikanan. Desa ini
penghasil ikan dari berbagai jenis antara lain ikan Layang, Cakalang
kecil, Lure dan Mairo dan dapat memenuhi kebutuhan di pasar Selayar
sampai Makassar. Melimpahnya hasil tangkapan laut belum diimbangi
dengan penyerapan pasar sehingga memerlukan pengolahan hasil
tangkapan laut menjadi produk olahan yang tahan lama dan tidak
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 25
membusuk. Menyiasati kondisi tersebut, Kepala Desa berinisitaif
melakukan pelatihan bagi warganya tentang pengolahan hasil
perikanan diantaranya pengeringan ataupun pembuatan pelet. Kendala
yang masih dihadapi hingga saat ini adalah belum adanya investor yang
berkenan menyediakan pengolahan hasil perikanan dalam skala yang
lebih besar terutama mesin pengering.

Kini Desa Bontosunggu memiliki dermaga dan pengelolaan parkir


atau biaya labuh yang dikelola oleh Desa dengan retribusi taksi
laut yang berjumlah 22 unit adalah Rp1.000,00/taksi per hari. Dari
retribusi tersebut pemasukan Desa sebesar Rp22.000,00/hari. Desa
Bontosunggu juga memiliki terminal darat, dimana pengelolaan parkir
ditangani oleh pemdes, dan merupakan salah satu pemasukan untuk
pendapatan asli Desa (PADes).

Penggalan cerita diatas menunjukkan peran Kepala Desa sebagai


pemimpin Masyarakat yang betul-betul mampu untuk membangkitkan
usaha ekonomi masyarakat berdasarkan potensi yang dimiliki oleh
Desa. Kepala Desa mengambil prakarsa untuk pengembangan ekonomi
dengan membuat pelatihan-pelatihan secara mandir serta melakukan
reviltalisasi aset Desa hingga menghasilkan PADes yang sangat besar.

Dalam usaha ekonomi Desa, keberadaan Badan Usaha Milik Desa


(BUM Desa) layak untuk dikembangka. Tentunya dengan sejumlah
perbaikan-perbaikan yang fundamental agar keberdaan BUM Desa
dapat menjadi tulang punggung perekonomin Desa.

BUM Desa sebelumnya telah ada dan lahir karena imposisi


pemerintah atau perintah dari atas dan umumnya berjalan tidak mulus.
Kesan pertama terhadap BUM Desa adalah proyek pemerintah, seperti
halnya proyek-proyek lainnya yang masuk ke Desa, sehingga legitimasi
dan daya lekat BUM Desa dimasyarakat sangat lemah.

Tidak semua BUM Desa gagal, ada juga yang berhasil dengan baik
serta memberikan dampak nyata peningkatan ekonomi masyarakat
Desa. Keberhasilan BUM Desa tersebut dikarenakan kecepatan
melakukan transformasi dari BUM Desa yang dianggap proyek
pemerintah menjadi BUM Desa milik masyarakat. Kecepatan tranformasi
tersebut dibanyak tempat karena didukung oleh peran Kepala Desa
yang tanggap, progresif serta mendorong prakarsa masyarakat.

26 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Dalam konteks pengelolaan ekonomi Desa, sikap pemimpin juga
dapat dikarakterisasi sebagaimana ditampilkan di tabel 3 berikut.

Tabel 3

Karakter Kepemimpinan & Pengelolaan Ekonomi Desa

No Issue Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan


regresif konservatif-in- inovatif-progresif
volutif
Aset Desa aset Desa atau Aset Desa akan melibatkan
potensi sum- akan dikuasai prakarsa mas-
berdaya lokal dan diman- yarakat Aset Desa
cenderung faatkan untuk direvitalisasi dan
akan dikuasi kesejahteraan dimanfaatkan
secara pribadi dirinya dan s e l u a s - l u a s nya
kelompoknya untuk kesejahter-
saja aan masyarakat-
nya. Adanya ino-
vasi baru untuk
menambah aset
Desa
BUM Desa keberadaan BUM Desa BUM Desa
BUM Desa hanya akan di- didirikan dengan
akan dikon- isi oleh kelom- prakarsa mas-
trol penuh, poknya saja, yarakat, apa yang
setiap usaha arah program menjadi rencana
usaha, penen-
ekonomi akan pengemban-
tuan personil,
diarahkan un- gan ekonomi
aturan main akan
tuk kepentin- Desa cend- dibahas bersa-
gan pribadinya erung meminta ma-sama secara
arahan dari pe- demokratis
merintah kabu- melalui Musy-
paten/kota awarah Desa

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 27
C. KEPEMIMPINAN DAN PENDAMPING DESA

Pekerjaan penting dari Implementasi Undang-undang Desa adalah


menyediakan pendamping Desa yang mampu melakukan kerja-kerja
pemberdayaan di masyarakat. Pendampingan Desa yang berkualitas
akan menentukan sejauh mana transformasi Desa sesuai Visi Misi
UU Desa. Salah satu capaian pendampingan Desa adalah lahirnya
kepemimpinan dan pemimpin lokal yang berbasis masyarakat,
demokratis dan visioner. Pemimpin ideal yang mampu membawa
masyarakat dan Desanya mencapai kesejahteraan, harkat dan martabat
yang tinggi, pemimpin yang senantiasa melayani masyarakat, serta
mengedepankan prakarsa masyarakat. Kader kader pemimpin tersebut
tumbuh dan berkembang secara organik dari proses berdesa.

Cakupan kegiatan pendampingan Desa yang diharapkan setidaknya


menyangkut dua hal pokok, yaitu pengembangan kapasitas teknokratis
dan pendidikan politik (lihat gambar 1).

Pengembangan kapasitas teknokratis. Kegiatan ini mencakup


pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap para pelaku
Desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan,
administrasi, sistem informasi dan sebagainya.

Pendidikan politik. Pendampingan Desa menginginkan terwujudnya


masyarakat yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat.
Pendampingan ini merupakan sarana kaderisasi bagi masyarakat lokal
Desa agar mampu menjadi penggerak pembangunan dan demokratisasi
Desa. Kaderisasi dilakukan dengan melakukan pendidikan, pelatihan
dan membuka ruang-ruang publik serta akses perjuangan politik untuk
kepentingan masyarakat Desa.

Politik dalam konteks ini bukan dalam pengertian hendak


melakukan perebutan kekuasaan melainkan penguatan pengetahuan
dan kesadaran akan hak, kepentingan dan kekuasaan mereka, dan
organisasi mereka merupakan kekuatan representasi politik untuk
berkontestasi mengakses arena dan sumberdaya Desa. Pendekatan
pendampingan yang berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa
rakyat sekaligus membuat sistem Desa menjadi lebih demokratis.

28 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Gambar 1. Cakupan Pendampingan Desa

Pendampingan Desa akan lebih kokoh dan berkelanjutan jika


dilakukan dari dalam secara emansipatif oleh aktor-aktor lokal.
Pendampingan secara fasilitatif dibutuhkan untuk katalisasi dan
akselerasi. Namun proses ini harus berbatas, tidak boleh berlangsung
berkelanjutan selama bertahun-tahun, sebab akan menimbulkan
ketergantungan yang tidak produktif. Selama proses pendampingan,
pendekatan fasilitatif itu harus mampu menumbuhkan kader-kader lokal
yang handal dan piawai tentang ihwal Desa, dan nantinya mereka lah
yang akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris. Mereka
memiliki spirit voluntaris, tetapi sebagai bentuk apresiasi, tidak ada
salahnya kalau pemerintah Desa mengalokasikan insentif untuk para
kader lokal itu.

Selain itu, pendampingan melakukan intervensi secara utuh


terhadap sistem Desa sebagai bagian dari membangun masyarakat
berpemerintahan (self governing community) dan pemerintahan lokal
(local self government). Beragam aktor Desa serta isu-isu pemerintahan
dan pembangunan Desa bukanlah segmentasi yang berdiri sendiri,
tetapi semuanya terikat dan terkonsolidasi dalam sistem Desa.

Sistem Desa yang dimaksud menyangkut kewenangan Desa, tata


pemerintahan Desa, serta perencanaan dan penganggaran yang
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 29
semuanya mengarah pada pembangunan Desa untuk kesejahteraan
warga. Baik kepentingan, tema pembangunan, aset lokal, beragam
aktor diarahkan dan diikat dalam sistem Desa itu. Dengan kalimat
lain, Desa menjadi basis bermasyarakat, berpolitik, berpemerintahan,
berdemokrasi dan berpembangunan. Pola ini akan mengarah pada
pembangunan yang digerakkan oleh Desa (village driven development),
yang bersifat kolektif, inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel.

Kepala Desa sebagai pemimpin masyarakat di era pembaharuan


Desa seperti sekarang ini akan merasa terbantu, beban dan tanggung
jawab dalam pengelolaan pembangunan serta demokratisasi Desa
berikut tanggung jawab menyiapkan bibit-bibit terbaik Desa, sebagian
telah dikerjakan oleh Pendamping Desa.

Pendampingan Desa sebagaimana konsepsi diatas mengarah pada


pengembangan kapasitas teknokratik serta pendidikan politik yang
berlangsung di Desa. Dan pemimpin Desa dengan beberapa tipe akan
cenderung berbeda dalam menanggapi isu tersebut.

30 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Tabel 4

Karakter Pendampingan dalam Kategori Kepemimpinan Desa

No Issue Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan


regresif konservatif-involutif inovatif-progresif

1 Pengem- Cenderung Kegiatan pengem- Seringkali men-


bangan menolak bangan kapasitas gambil langka
kapasitas pengemban- hanya mengikuti inisiatif untuk
teknokratik gan kapasitas arahan pemerintah pengembangan
teknokratik di kabupaten/kota, kapasitas tek-
Desa, membutuhkan nokratik, semakin
PTO (petunjuk banyak masyarakat
teknis operasio- yang paham akan
anal) semakin memu-
dahkan dirinya
untuk berinovasi
program pemban-
gunan Desa

Pendidikan Tidak menging- Memiliki kekha- Menyambut


Politik inkan adanya watir jika semakin baik pendidikan
pendidikan warga Desa kritis, politik serta turut
politik, bagi kuat dan berdaya, serta melaku-
pemimpin ini maka Desa tidak kan pendidikan,
semakin kritis lagi memperoleh pelatihan serta
serta berdaya dana dari pemerin- membuka akses
akan mengan- tah. Kekhawatiran perjuangan politik
cam kekua- yang lebih ekstrem untuk kepentin-
saannya, pen- muncul, bila Desa gan masyarakat.
didikan politik kuat akan mem- kepemimpinan ini
justru menjadi bangkang kabu- memiliki kesadaran
ancaman paten dan bahkan untuk memuncul-
membahayakan kan kader-kader
NKRI Desa yang poten-
sial, demokratis,
visioner dan akan
membantu dirinya
dalam melakukan
percepatan menuju
kesejahteraan
Desa

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 31
1. KERANGKA KERJA MEWUJUDKAN
KEPEMIMPINAN MASYARAKAT
Sebagaimana diurai diatas, pendampingan Desa melakukan kerja-
kerja kaderisasi yang diorientasikan pada penguatan pendidikan
politik dengan target ideal munculnya kader-kader militan Desa yang
potensial, kritis, demokratis, visioner serta dapat menjadi teladan
bagi masyarakatnya. Berdasarkan uraian tipe-tipe kepemimpinan
yang ada di Desa, tipe kepemimpinan yang paling ideal untuk
menerapkan implementasi UU Desa adalah pemimpin Desa dengan
tipe kepemimpinan inovatif-progresif.

Kerangka atau acuan kerja pendamping desa dalam mewujudkan


kepemimpinan masyarakat dengan tipe kepemimpinan inovatif-progresif
sebagaimana yang diamanatkan kontitusi adalah sebagai berikut.

A. MEMBANGUNAN LEGITIMASI MASYARAKAT

Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat


terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan
melaksanakan keputusan politik. Legitimasi erat kaitannya dengan
keabsahan, kepercayaan dan hak berkuasa dan merupakan dimensi
paling dasar dalam kepemimpinan kepala Desa. Seorang kepala Desa
yang tidak legitimate akan sulit mengambil inisiatif.

Legitimasi secara prosedural didapatkan melalui proses demokrasi,


dan praktek demokrasi secara formal dilakukan dengan Pemilihan
Kepala Desa (Pilkades). Legitimasi kepala Desa (pemenang pemilihan
kepala Desa) kuat bila ia ditopang dengan modal politik, yang berbasis
pada modal sosial, bukan karena modal ekonomi alias politik uang.

Jika seorang calon kepala Desa memiliki modal sosial yang kaya
dan kuat, maka ongkos transaksi ekonomi dalam proses politik menjadi
rendah. Sebaliknya jika seorang calon kepala Desa miskin modal sosial
maka untuk meraih kemenangan ia harus membayar transaksi ekonomi
yang lebih tinggi, yakni dengan politik uang. Kepala Desa yang menang
karena politik uang akan melemahkan legitimasinya, sebaliknya kepala

32 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Desa yang kaya modal sosial tanpa politik uang maka akan memperkuat
legitimasinya.

Pendamping Desa harus menciptakan kultur kepemimpinan


yang menyadari pentingnya legitimasi dalam memimpin Desanya.
Legitimasi tersebut berguna untuk mengoptimalkan kinerja Desa dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat Desa.

Pendamping Desa harus mendorong para pemimpin Desa baik


itu kepala Desa maupun BPD (Badan Permusyawaratan Desa) untuk
menunjukkan dengan kinerja yang terukur, transparan dan akuntabel
serta menerapkan kebersamaan dalam pembangunan Desa.

Kinerja pemimpin yang terukur, transparan dan akuntabel.


Seorang pemimpin harus membuat rencana kerja yang akan dilakukan
selama masa jabatannya, biasanya berupa visi dan misi yang telah
disampaikan sebelum menjabat. Pendamping Desa perlu untuk
membantu agar visi dan misi tersebut benar-benar realistis serta terukur.
Rencana kerja tersebut juga harus disampaikan kepada masyarakat
agar mereka mengerti apa yang menjadi keinginan pemimpin Desa,
hal ini juga untuk mendapatkan umpan balik masukan dari masyarakat
terkait rencana-rencana tersebut.

Pendamping juga harus mendorong adanya transparansi serta


akuntabilitas pemimpin Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan Desa. Dengan demikian kepercayaan masyarakat
kepada kepala Desa justru akan semakin bertambah.

Prinsip kebersamaan. Pendamping Desa harus mendorong


kepemimpinan kepala Desa yang mendasarkan pada asas kebersamaan
(kolektifitas) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
di Desa. Kebersamaan itu ditunjukkan dengan memberikan kesempatan
warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan
pembangunan, melaksanakan pemerintahan dengan transparan.

Pendamping Desa mendorong kepala Desa atau BPD menemui


warga untuk mensosialisasikan program desa, melalui pertemuan
dengan perwakilan warga, tokoh masyarakat, tokoh agama, karang
taruna, dan semua unsur yang ada di Desa.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 33
B. MEMBANGUN KETELADANAN PEMIMPIN

Bangsa ini tengah dilanda persoalan krisis keteladan pemimpin,


sederet kasus kriminal seperti pejabat korupsi, penyalahgunaan
narkoba, pelecehan seksual, dan pemalsuan ijasah yang menimpa
para pemimpin atau pejabat kita menunjukkan merosotnya moralitas
dan keteladanan para pemimpin kita.

Menurut data Kemendagri hingga tahun 2014 terdapat 325 kepala


daerah yang terjerat hukum baik yang masih berstatus tersangka atau
sudah menjadi narapidana, untuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah) data resmi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dinyatakan
sejumlah 3.600 orang yang terjerat kasus korupsi. Hal ini menunjukkan
banyaknya contoh pemimpin yang miskin moralitas, miskin keteladanan.

Bila generasi bangsa ini miskin akan keteladanan dan krisis moral,
meskipun kecerdasannya patut dibanggakan, justru mereka inilah
yang merugikan negara dan masyarakat, dan mereka pula yang
akan membawa negara menuju kehancuran. Karenanya keteladanan
seorang pemimpin sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Para pendahulu nusantara juga mengajarkan pentingnya keteladanan


seorang pemimpin hal ini tercermin pada semboyan yang dipopulerkan
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara “Ing
ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.

“Ing ngarso sung tulodho” diartikan bahwa pemimpin sebaiknya


memberi keteladanan atau contoh terbaik buat rakyatnya. Harus selalu
diingat bahwa, rakyat melakukan sesuatu bukan karena disuruh atau
mengikuti perintah pemimpin. Melainkan mencontoh dari apa yang
dilihat pada perilaku pemimpinnya.

“Ing madyo mangun karso” artinya bahwa sebaik-baik pemimpin


adalah yang selalu mendampingi masyarakat/rakyatnya kapanpun
dan dimanapun. Rakyat dibebaskan berfikir dan berinisiatif dalam
mengambil prakarsa sendiri yang akan dijalankan untuk kebaikannya.
Tugas pemimpin memastikan jalan yang mereka pilih adalah terbaik
diantara yang baik untuk kehidupan rakyatnya sendiri.

“Tut wuri handayani” bisa diartikan sebagai pendorong masyarakat

34 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
atau rakyatnya agar maju kedepan, tampil, dan berani mengambil
keputusan. Apapun resikonya (asal tidak membahayakan), pemimpin
berada dibelakang mereka memberikan support.

Ajaran tersebut menegaskan keutamaan teladan pemimpin dalam


menjalankan kehidupan berbangsa, bernegara, termasuk untuk
menciptakan Desa yang berdaulat secara politik, berdaya secara
ekonomi, dan bermartabat secara budaya memerlukan keteladanan
seorang pemimpin. Salah satu tugas pendamping Desa adalah
mendorong pemimpin di Desa menjadi teladan yang baik bagi
masyarakatnya, teladan yang jujur, bersih, inovatif dan transformatif.

C. KETAATAN PADA HUKUM

Pasal 26 ayat 4 UU nomor 6 tahun 2014 menyatakan Kepala


Desa berkewajiban antara lain; memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan UUD 1945, serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika; meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; menaati
dan menegakkan peraturan perundang-undangan; melaksanakan
kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender; melaksanakan prinsip
tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif
dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa; menyelenggarakan administrasi Pemerintahan
Desa yang baik.

Sebagai warga negara memiliki kewajiban taat dan patuh pada


hukum yang berlaku, sebagaimana konstitusi pasal 27 ayat (1) UUD
1945 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kepala Desa atau pemimpin di Desa lainnya juga harus tunduk dan
patuh pada hukum yang berlaku di Indonesia termasuk tunduk pada UU
Desa sebagai aturan yang mengikat dalam menjalankan pemerintahan
dan pembangunan Desa. Kewajiban-kewajiban sebagaimana
yang diamanahkan UU Desa harus senantiasa diperhatikan serta
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 35
dilaksanakan.

Sanksi juga akan diberlakukan bagi kepala Desa yang tidak


melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai kepala Desa sebagaimana
yang telah diatur dalam konstitusi. Pasal 28 UU Desa menyatakan
kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis serta
tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian tetap.

Ruang lingkup Pendampingan Desa juga harus diarahkan pada


penguatan peran Kepala Desa dalam menjalankan kewajibannya
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Serta menciptakan kultur
Desa yang taat dan patuh pada hukum yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Gambar 2.

Kerangka Kerja Pendampingan Kerja Mewujudkan Pemimpin Rakyat

36 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
PENUTUP

Kepemimpinan inovatif-progresif merupakan kepemimpinan yang


ideal untuk menterjemahkan cita-cita UU Desa dimana Desa yang kuat,
maju, mandiri, dan demokratis. Pendamping Desa memiliki tanggung
jawab dalam turut mendampingi kepala Desa agar menjadi pemimpin
masyarakat seutuhnya.

Pendamping Desa harus menciptakan kultur kepemimpinan


yang menyadari pentingnya legitimasi dalam memimpin Desanya.
Legitimasi tersebut berguna untuk mengoptimalkan kinerja Desa
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, mengangkat harkat
dan martabat Desa. Legitimasi dibangun atas dasar kinerja yang
terukur, transparan dan akuntabel serta, menerapkan adanya
kebersamaan dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan
Desa. Pendamping Desa juga diarahkan untuk mendorong pemimpin-
pemimpin Desa, baik itu kepala Desa maupun BPD sebagai teladan
yang baik bagi masyarakatnya, teladan yang bersih, jujur, inovatif dan
transformatif.

Pada akhirnya, Pendampingan Desa juga harus memastikan


bahwa Kepala Desa menjalankan kewajibannya sebagaimana yang
diamanatkan konstitusi serta taat dan patuh pada hukum yang berlaku
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 37
Bagian 3

DEMOKRATISASI DESA

38 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
PENGANTAR

KONSEP DEMOKRATISASI DESA

Demokratisasi Desa merupakan frase yang sengaja dibedakan


dengan demokratisasi di Desa. Konsep demokratisasi Desa hendak
mewakili semangat UU No. 6/2014 tentang Desa yang mengakui Desa
sebagai subjek untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/hak tradisional dalam payung asas rekognisi dan
subsidiaritas. Pilihan frase tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa Desa bukanlah ruang kosong yang berjarak dari sosio budaya
manusia yang tinggal di dalamnya, seperti tertangkap dari frase
demokratisasi di Desa. Sebaliknya, Desa merupakan kesatuan teritorial
atau wilayah yang melekat dan terikat pada kehidupan manusia
beserta tradisi dan adat-istiadat yang menggerakkan kehidupan itu.
Dengan demikian, frase atau konsep demokratisasi Desa berarti upaya
menggerakkan demokrasi dalam kekhasan Desa itu sendiri, dalam
semangat pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi Desa.

Makna penting demokratisasi Desa dilatarbelakangi oleh tiga


pertimbangan: PERTAMA, dalam arena Desa demokrasi merupakan
upaya pendefinisian ulang hubungan antara masyarakat Desa dengan
penyelenggara Pemerintahan Desa. Frasa “kesatuan masyarakat
hukum” telah menempatkan Desa sebagai organisasi campuran (hybrid)
antara masyarakat berpemerintahan (self governing community)
dengan pemerintahan lokal (local self government), dimana artinya
Desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis
masyarakat, sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum. Dari kondisi
ini prinsip dasar Pemerintahan Desa harus dilihat sebagai: 1). Check
and balances antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan
desa, 2). Demokrasi perwakilan dan permusyawaratan dan 3). Proses
demokrasi partisipatoris melalui Musyawarah Desa (Musdes) yang
merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi sebagai wujud
musyawarah untuk mufakat dalam pemerintahan masyarakat. Melalui
demokrasi, di Desa pun berlaku definisi umum kekuasaan, yakni

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 39
kekuasaan berasal dan berada di tangan rakyat. Dengan berpijak pada
definisi tersebut berarti bahwa masyarakat atau warga Desa adalah
pemilik sejati dari kekuasaan (Desa), bukan elit atau penyelenggara
Pemerintahan Desa. Penyelenggara Pemerintahan Desa adalah
sekedar pelaksana kekuasaan rakyat Desa, bukan pemilik kekuasaan
atau apalagi pemilik Desa. KEDUA, terkait dengan kemajuan yang
ditandai oleh UU Desa dalam memandang kedudukan Desa. Salah
satu bagian terpenting dalam UU Desa adalah pengakuan Negara
terhadap hak asal-usul Desa (disebut asas rekognisi) dan penetapan
kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal
untuk kepentingan masyarakat Desa (disebut asas subsidiaritas).
Melalui dua asas rekognisi, demokrasi Desa merupakan hasil dialog
kreatif dari pemahaman dan prosedur demokrasi modern dengan
kenyataan sosiologis masyarakat Desa. KETIGA, demokratisasi Desa
dibutuhkan untuk mengimbangi peluang kembalinya watak feodal
dan elitisme penyelenggara Pemerintahan Desa. Demokratisasi Desa
menuntut partisipasi masyarakat Desa sebagai subjek dalam setiap
tahap penyelenggaraan Pembangunan Desa. Melalui partisipasi
tersebut, proses-proses pengambilan kebijakan Desa akan berlangsung
lebih terbuka.

DESA SEBAGAI ARENA DEMOKRASI

Demokratisasi Desa harus memperhatikan empat hal berikut: 1).


Aspek pola relasi, dimana hubungan-hubungan sosial yang ada di Desa
yang terbangun dari pergaulan sosial secara personal antar sesama
penduduk Desa yang telah berlangsung lama. Di antara hubungan
tersebut diikat oleh hubungan kekerabatan, adat istiadat, dan kesamaan
leluhur. Artinya, dalam proses demokratisasi Desa, pendamping tidak
dapat mengasumsikan masyarakat Desa sebagai kumpulan individu
bebas yang tidak memiliki keterikatan tertentu dengan individu yang
lain. 2). Aspek pranata dan kearifan lokal, hubungan Desa dengan
masyarakat, ruang, tanah seringkali berlangsung dengan intensitas
yang sangat dalam melahirkan tata nilai dan kearifan terhadap
keseimbangan alam sebagai sumber kehidupan. Bagi Desa, alam,
tanah dan ruang yang mereka tinggali bukan semata-mata ruang mati
yang dapat ditinggalkan sewaktu-waktu atau diolah dan diuangkan
(dijual) dengan sesuka hati. Ruang bagi Desa sama pentingnya dengan
kehidupan itu sendiri. Keterikatan pada ruang tersebut bukan semata-
40 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
mata bersifat ekonomis, yakni sebagai sumber nafkah, melainkan
tidak jarang dibarengi dengan perlakuan ruang sebagai sesuatu yang
bernyawa dan hidup. Dari model keterikatan semacam itulah muncul
kearifan lokal (local wisdom) yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk
tindakan ramah lingkungan masyarakat Desa, penghargaan terhadap
tanah, udara, dan air. 3). Aspek tata kelola pemerintahan & kelembagaan
adat masyarakat, menciptakan atau pola sosio budaya Desa yang khas.
Kehidupan Desa tidak berlangsung sebagai kumpulan manusia yang
berhubungan secara kontraktual dan formal, melainkan sekumpulan
manusia atau komunitas yang memiliki pengalaman panjang bersama,
sekaligus digerakkan oleh tradisi yang terbentuk dalam lintasan sejarah,
dan terikat pada ruang. Khususnya pada Desa-desa yang masih
jauh tersentuh secara langsung oleh pola kehidupan kota. 4). Aspek
solidaritas social, yang terbentuk di Desa biasanya bersifat mekanis yang
kental dengan nuansa komunal. Dalam bentuk solidaritas semacam itu,
masyarakat Desa menjadi suatu kategori subyektif tersendiri yang diikat
oleh rasa kebersamaan dan saling topang. Masyarakat Desa sebagai
subyek atau aktor dapat bertindak sebagaimana individu. Dalam
cara pandang modernisasi-pembangunan model orde baru, sifat-sifat
Desa yang semacam itu dilihat sebagai penghambat pembangunan.
Sebaliknya, dalam UU Desa sifat-sifat itu justru diakui dan diterima
sebagai fakta sebagai titik berangakat demokratisasi Desa.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 41
1. PRINSIP DEMOKRASI DAN LEMBAGA
DEMOKRASI DESA

A. PRINSIP DEMOKRATISASI DESA

Secara umum, demokrasi difahami sebagai kekuasaan yang


berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bentuk langsung
dari pengertian tersebut tampak dari Pemilihan umum dan sistem
representasi atau perwakilan rakyat. Dalam pengertian UU Desa,
pengertian tersebut tidak bersifat mutlak. sistem pengorganisasian
masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan
oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa
serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin.

Prinsip umum tersebut membawa konsekuensi, yaitu (1) menolak


klaim bahwa kekuasaan dimiliki atau ditakdirkan oleh sebuah
keluarga dan keturunannya. Konsekuensi selanjutnya (2) setiap warga
masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, yakni
dalam pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat strategis dan
terkait dengan urusan Desa.

Prinsip umum demokrasi di atas, pada gilirannya harus dikembangkan


dalam basis sosio budaya Desa, sebagaimana ditegaskan melalui
asas rekognisi dan subsidiaritas. Pelaksanaan dan pengembangan
kehidupan demokrasi harus diorientasikan bagi kemajuan kolektif
masyarakat setempat. Secara lebih spesifik, prinsip demokrasi Desa
adalah sebagai berikut.

Kepentingan masyarakat Desa. Pelaksanaan pemerintahan desa


secara keseluruhan harus bertolak dan berujung pada kepentingan
masyarakat Desa. Kepentingan masyarakat Desa yang dimaksud adalah
aspek umum yang berkait dan menentukan perikehidupan warga Desa,
khususnya untuk hal yang bersifat strategis. Dalam Pasal 54 ayat (2) UU
Desa, hal yang bersifat strategis tersebut meliputi: (a) penataan Desa,
(b) perencanaan Desa, (c) kerja sama Desa, (d) rencana investasi yang

42 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
masuk ke Desa, (e) pembentukan BUM Desa, (f) penambahan dan
pelepasan aset Desa, dan (g) kejadian luar biasa.

Musyawarah. Musyawarah merupakan pembahasan atas suatu


masalah tertentu dengan mengedepankan tukar pendapat serta
argumentasi yang dilaksanakan dengan melibatkan seluruh unsur
masyarakat. Proses pengambilan keputusan dalam musyawarah telah
diatur dalam Permendesa PDTT No. 2/2015.

Partisipasi. Selain sebagai asas pengaturan Desa, partisipasi


merupakan praktek kunci dalam demokratisasi Desa. Setiap unsur
masyarakat harus dilibatkan dan sesuai ketentua Pasal 3 ayat (3)
huruf e Permendesa No. 2/2015, masyarakat Desa berhak “menerima
pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan
selama berlangsungnya musyawarah Desa”.

Sukarela. Sukarela berarti (1) kesadaran pribadi untuk melakukan


atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan Desa. Selanjutnya (2) sukarela
berarti bebas dari ancaman atau intimidasi dalam menentukan sebuah
sikap. Termasuk di dalamnya ancaman kekerasan atau rayuan politik
uang (money politic).

Toleransi. Prinsip ini berarti sikap menghormati atas sikap


atau pendapat yang berbeda, tanpa mencela, merendahkan, atau
meremehkan. Toleransi juga bermakna non-diskriminasi. Mengucilkan
seseorang atau sekelompok orang karena identitas atau keadaannya
(gender, agama, etnis, keluarga, tingkat ekonomi, penyandang
disabilitas, dst.) merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Prikemanusiaan atau humanis. Pengertian demokrasi dalam UU


Desa di atas menempatkan pengakuan dan jaminan terhadap keluhuran
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tata perlakuan dasar atas manusia/ masyarakat Desa. Itu berarti
setiap orang atau individu warga Desa harus dilihat dalam posisinya
yang luhur dan mulia sebagai makhluk Tuhan. Setiap orang berhak untuk
dihormati, diayomi, diakui harkat dan martabatnya. Dengan kata lain,
perbuatan menyudutkan seseorang secara negatif, main hakim sendiri,
pembiaran atas terjadinya kekerasan atau bahkan melakukannya, harus
dieliminasi dalam kehidupan Desa. Dalam demokrasi Desa, akar-akar
prinsip prikemanusiaan atau humanis mengacu pada keluhuran harkat
dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 43
Berkeadilan gender. Prinsip penting dalam demokrasi Desa
adalah keadilan gender. Keadilan gender sudah harus tercermin dalam
pengambilan keputusan-keputusan strategis Desa. Menonjolkan prinsip
keadilan gender dalam demokrasi Desa sesungguhnya memiliki garis
tradisi dengan hubungan gender di Desa. Dalam kehidupan Desa,
pembedaan ketat antara peran publik dan peran domestik berbasis
gender, justru tidak dikenal. Aktivitas ekonomi ataupun politik di Desa
sama-sama dilakukan oleh setiap identitas gender, baik laki-laki maupun
perempuan. Tradisi tersebut bagi masyarakat Desa perlu direvitalisasi
dan dikemas dalam semangat baru untuk menggerakkan demokratisasi.

Transparan dan akuntabel. Proses politik Desa berlangsung


sebagai kegiatan yang berlangsung demi kepentingan masyarakat Desa.
Sebab itu masyarakat Desa harus tahu apa yang tengah berlangsung
dalam proses politik Desa. Prinsip transparan berarti tidak ada yang
disembunyikan dari masyarakat Desa, kemudahan dalam mengakses
informasi, memberikan informasi secara benar, baik dalam hal materi
permusyawaratan atau anggaran. Masyarakat Desa juga berhak untuk
tahu pengelolaan keuangan Desa, dari penganggaran, pengalokasian,
dan penggunaan keuangan Desa.

B. LEMBAGA DEMOKRASI DESA

Lembaga demokrasi Desa yang dimaksud di sini adalah setiap unsur


Pemerintahan Desa yang memiliki kewajiban pokok melaksanakan
demokrasi. Dalam UU Desa, unsur penyelenggara fungsi Pemerintahan
Desa ada dua, yakni (1) Kepala Desa dibantu oleh perangkat Desa,
dan (2) Badan Permusyawaratan Desa atau BPD. Sebagai lembaga
demokrasi, keduanya berkewajiban melaksanakan kehidupan
demokrasi di Desa.

Selain kedua penyelenggara fungsi pemerintahan Desa tersebut,


Desa juga memiliki kewajiban mengembangkan kehidupan demokrasi.
Harus diingat, bahwa pengertian Desa meliputi sekaligus Pemerintah
Desa dan masyarakat Desa. Artinya, yang dimaksud dengan Desa tidak
lain adalah keduanya.

44 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Tabel 1

Pemangku Kewajiban Demokratisasi Desa

KEPALA DESA Melaksanakan kehidupan Pasal 26 ayat


demokrasi dan berkeadilan gen- (4) huruf e UU
der Desa
Kewajiban di atas ditegaskan juga Pasal 38 ayat
sebagai komitmen jabatan Kepala (3) UU Desa
Desa dalam sumpah jabatan

BADAN Melaksanakan kehidupan Pasal 63 huruf


PERMUSYAWARATAN demokrasi yang berkeadilan b UU Desa
DESA gender dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa
Kewajiban di atas ditegaskan juga Pasal 58 ayat
sebagai komitmen jabatan Kepala (4) UU Desa
Desa dalam sumpah jabatan.
DESA Mengembangkan kehidupan Pasal 67 ayat
demokrasi (2) huruf c UU
Desa

Kewajiban Desa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi


merupakan sebuah konsekuensi dalam langkah-langkah demokratisasi.
Desa merupakan sebuah arena politik, yang susunan keanggotaannya
adalah masyarakat Desa. Bagi masyarakat atau warganya, sebuah
Desa merupakan ruang pembiasaan (habituasi) praktik dan prinsip atau
nilai demokrasi. Sebuah Desa yang mampu membiasakan praktik dan
nilai demokrasi dalam kesehariannya, jauh lebih mungkin menghasilkan
Pemerintah Desa (Kepala Desa beserta perangkatnya) serta BPD yang
mampu melaksanakan kehidupan demokrasi pula.

Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKM) memiliki peran yang sangat


penting sebagai mitra Pemerintah Desa. Peranan LKM yang terkait
dengan pengembangan demokrasi di Desa di antaranya adalah dalam
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa. Dalam penyelenggaraan pembinaan dan pemberdayaan, penting
bagi LKM untuk melaksanakan mengembangkan tumbuhnya nilai-nilai
demokrasi melalaui bidang garapan yang bersifat sektoral.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 45
Lembaga Adat berperan serupa. Lembaga tersebut mencerminkan
susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat Desa. Sehingga, sebagai bagian dari prakarsa masyarakat
Desa, prinsip-prinsip Demokrasi dapat juga dikembangkan dari lembaga
tersebut. Sebagai mitra Pemerintah Desa, keduanya (LKM dan Lembaga
Adat) turut bertanggung jawab dalam pelaksanaan demokrasi di Desa,
sementara sebagai bagian dari Desa, keduanya juga bertanggung
jawab dalam mengembangkan kehidupan demokrasi.

46 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
2. KERANGKA KERJA DEMOKRATISASI DESA

A. AKTOR DEMOKRATISASI DESA

UU Desa telah membicarakan secara lengkap pihak-pihak yang


berperan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Selain unsuru-unsur Pemerintahan Desa yang terdiri dari Pemerintah
Desa (Kades beserta perangkatnya) dan BPD, diatur pula di dalamnya
LKM, Lembaga Adat, dan Pendampingan Desa. Dari situ dapat dirinci
aktor-aktor demokratisasi Desa adalah sebagai berikut.

Tabel 2

Aktor Demokratisasi Desa

AKTOR PERAN/KETERANGAN
DESA Berkewajiban mengembangkan kehidupan
demokrasi
KEPALA DESA Berkewajiban melaksanakan kehidupan
demokrasi dan berkeadilan gender
BADAN PERMUSYAWARATAN Berkewajiban melaksanakan kehidupan
DESA demokrasi yang berkeadilan gender
LEMBAGA Pemberdayaan masyarakat Desa sebagai
KEMASYARAKATAN DESA mitra Pemerintah Desa dalam urusan
sektoral
LEMBAGA ADAT Wadah aspirasi masyarakat yang dibentuk
atas prakarsa masyarakat Desa
UNSUR MASYARAKAT Tokoh atau wakil kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki bidang garapan
tertentu
KPMD (Kader Pemberdayaan Kader Desa yang dilatih untuk melakukan
Masyarakat Desa) pemberdayan masyarakat

PENDAMPING DESA Figur yang bertugas mendampingi Desa


dalam rangka melakukan fungsi-fungsi
pemberdayaan masyarakat Desa

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 47
Tabel 2 di atas menunjukkan aktor-aktor yang secara langsung
berperan dalam pelaksanaan dan pengembangan kehidupan
demokrasi Desa. Tentu saja aktor-aktor tersebut dapat ditambah
dengan menyebut orang yang masuk dalam kepengurusan BUM
Desa serta Badan Kerjasama Antar Desa.

B. LANGKAH DEMOKRATISASI DESA

Kerangka kerja demokratisasi Desa dapat dibagi dalam tiga bagian


yang terkait satu sama lain dan dapat berlangsung secara serempak
(simultan). Tiga bagian tersebut adalah (1) mengontrol terlaksananya
prosedur dan mekanisme demokrasi Desa, seperti Musyawarah
Desa dan Pilkades; (2) mengawasi kadar prinsip demokrasi dalam
pelaksanaan mekanisme demokrasi; dan (3) mengembangkan kultur
demokrasi dalam keseharian Desa dan kegiatan-kegiatan Desa.
Masing-masing diterangkan sebagai berikut :

- Mengontrol terlaksananya prosedur dan mekanisme demokrasi


Desa, seperti Musyawarah Desa dan Pilkades.

- Menjaga terlaksananya prosedur atau mekanisme demokrasi


Desa berarti setiap aktor bertanggung jawab terhadap terlaksananya
setiap tahap prosedur yang telah diatur dalam sistem perundang-
undangan yang berlaku. Desa mengenal 3 (tiga) mekanisme
demokrasi dalam skala besar yang secara langsung melibatkan
masyarakat Desa, yaitu pemilihan anggota BPD, pemilihan Kepala
Desa, dan Musyawarah Desa. Tiga agenda tersebut telah diatur baik
dalam UU Desa dan secara spesifik dalam Peraturan Menteri.

- Mengawasi atau memonitor kadar prinsip demokrasi dalam


pelaksanaan mekanisme demokrasi. Dalam pelaksanaan prosedur
dan mekanisme demokrasi harus dipastikan sejauh mana prinsip-
prinsip yang dipaparkan di bab sebelumnya menjadi acuan dan
tampil dalam pelaksanaan. Ini adalah fungsi pokok pengawasan
yang harus dikembangkan oleh Pendamping Desa.

- Mengembangkan kultur demokrasi dalam keseharian Desa


dan kegiatan-kegiatan Desa. Langkah ketiga ini sesungguhnya
merupakan langkah paling biasa namun justru menentukan secara
48 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
mendasar proses demokratisasi Desa. Mengembangkan kultur
demokrasi berarti membiasakan tindakan yang mengacu pada
prinsip-prinsip demokrasi, prinsip luhur Desa setempat, dalam
tindakan dan kehidupan sehari-hari. Proses ini umumnya disebut
sebagai habituasi.

PENUTUP
Pendamping memiliki peran kunci dalam pemberdayaan masyarakat
Desa, khususnya dalam demokratisasi Desa. Pemahaman konteks
sosiokultural dan sejarah Desa sangat penting untuk membantu
pelaksanaan tugas Pendamping dalam proses menggerakkan
demokratisasi Desa. Selain itu, pendamping harus memahami bahwa
demokrasi Desa dikembangkan dalam format yang menginjak basis
sosiokultural Desa.

Selain itu, tidak dapat diabaikan adalah pemahaman Pendamping


Desa atas mekanisme permusyawaratan yang selalu mengiringi proses
demokrasi. Meski demikian, harus dimengerti pula oleh Pendamping
bahwa demokrasi lebih dari permusyawaratan. Prinsip-prinsip demokrasi
menuntut dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan yang
barangkali harus dimulai oleh Pendamping itu sendiri, khsusunya ketika
berhadapan dengan masyarakat Desa atau Pemerintah Desa.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 49
Bagian 4

KADER DESA

50 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
PENGANTAR

A. UU DESA DAN KADERISASI

Asas rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi asas utama UU No.


6/2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) telah mendorong
negara mengakui dan menghormati hak asal usul Desa dan menetapkan
kewenangan lokal skala Desa. Konsekuensi dari asas utama
pengaturan Desa (rekognisi-subsidiaritas) adalah lahirnya paradigma
baru pembangunan Desa, dimana Desa sebagai sebuah kesatuan
masyarakat hukum, kini menjadi subjek pembangunan yang mengatur
dan menggerakkan pembangunannya secara mandiri berdasarkan hak
dan kewenangan yang dimiliki. Selain itu, Desa kini menjadi ruang publik
politik bagi warga desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa,
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatn desa dan pemberdayaan
masyarakat yang dilaksanakan secara mandiri.

Kewenangan desa untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat


secara mandiri mensyaratkan adanya manusia-manusia yang handal
dan mumpuni sebagai pengelola desa sebagai self governing community
(komunitas yang mengelola pemerintahannya secara mandiri) dan
pemerintahan lokal (local self government). Kaderisasi desa menjadi
kegiatan yang sangat strategis bagi terciptanya desa yang kuat, maju,
mandiri, berkeadilan dan demokratis. Kaderisasi desa meliputi peningkatan
kapasitas masyarakat desa di segala kehidupan, utamanya pengembangan
kapasitas di dalam pengelolaan desa secara demokratis.

Sesuai amanat UU Desa, pendampingan Desa harus dilakukan dengan


paradigma penguatan masyarakat Desa sebagai subjek. Dalam praksis
kebijakan pemberdayaan masyarakat sebelum UU Desa, kader-kader
penggerak di Desa cenderung dibentuk melalui penugasan dari supradesa,
menjadi bagian dari prasyarat proyek, serta bekerja didasarkan atas skema
“petunjuk teknis” yang rinci. Desa baru pasca UU Desa dicirikan oleh adanya
perubahan pola pendampingan desa yaitu dari semula berkarakter “kontrol
dan mobilisasi-partisipasi”, berubah menjadi fasilitasi gerakan pembaharuan
Desa sebagai komunitas yang mandiri. Berlandaskan asas rekognisi dan
subsidiaritas, pendampingan desa mengutamakan kesadaran politik warga
desa untuk terlibat aktif dalam urusan di desanya secara sukarela sehingga
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 51
arah gerak kehidupan di desa merupakan aktualisasi kepentingan bersama
yang dirumuskan secara musyawarah mufakat dalam semangat gotong
royong dan kearifan localnya.

B. PENDAMPINGAN DESA

Pemberdayaan desa sebagai self governing community (komunitas


yang mengelola pemerintahannya secara mandiri) dan pemerintahan
lokal (local self government), tidak dilakukan oleh pendamping desa
sendiri. Pendampingan desa yang sejati adalah melakukan fasilitasi kepada
masyarakat desa untuk mampu secara mandiri melakukan pembaharuan
dan pembangunan desanya secara mandiri. Pemberdayaan masyarakat
Desa yang sejati adalah sebuah bagian dari proses transformasi sosial
yang digerakkan oleh warga desa yang mampu hadir sebagai agen
pembaharuan yang menggerakan implementasi UU Desa secara mandiri.
Pendamping desa bertugas untuk menemukan, mengembangkan kapasitas,
mendampingi para penggerak pembaharuan desa yang selanjutnya disebut
sebagai Kader Desa.

1. KONSEP KADER DESA

A. PENGERTIAN KADER

Makna kata “kader” sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah


organisasi, adalah orang yang dibentuk untuk memegang peran penting
(orang kunci) dan memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk menggerakan
organisasi mewujudkan visi misinya. Dalam konteks desa, Kader Desa
adalah “orang kunci “ yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa
bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat
aktif dalam proses belajar sosial yang dilaksanakan oleh seluruh lapisan
masyarakat desa.

Kader-kader Desa hadir di dalam pengelolaan urusan desa melalui


perannya sebagai kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat; tokoh agama; tokoh masyarakat;
tokoh pendidikan; pengurus/anggota kelompok tani; pengurus/anggota
kelompok nelayan; pengurus/anggota kelompok perajin; pengurus/anggota
kelompok perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perempuan
dan laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa

52 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak.

Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader desa yang


berasal dari warga Desa itu sendiri berkewajiban untuk melakukan “upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah
dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa”. Pendampingan Desa merupakan
mandat UU Desa agar terdapat system pendampingan internal Desa guna
menjadikan Desa yang kuat,maju,mandiri, adil dandemokratis. UU Desa
dan peraturan-peraturan dibawahnya menegaskan pendampingan Desa
sebagai kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat.
Tindakan pemberdayaan masyarakat Desa itu dijalankan secara “melekat”
melalui strategi pendampingan pada lingkup skala lokal Desa.

Dalam proses pendampingan desa terkait pengembangan kader, strategi


yang dikembangkan adalah memperkuat Kader Pemberdayaan Masyarakat
Desa (KPMD). Salah satu fungsi pendamping desa adalah memperkuat
proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD),
dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan kaderisasi terhadap
komponen masyarakat lainnya. Legalitas KPMD tertuang dalam ketentuan
dalam Pasal 4 Permendesa PDTT No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa.
Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan Desa dilaksanakan oleh
pendamping yang terdiri atas: a. tenaga pendamping profesional; b. Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD); dan/atau c. pihak ketiga. Dengan
demikian, KPMD merupakan pendamping desa yang dipilih dari warga
desa setempat, untuk bekerja mendampingi beragam kegiatan di desanya
secara mandiri. Bagan hubungan kerja antara KPMD dengan pendamping
profesional maupun pendampingan pihak ketiga adalah sebagai berikut:

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 53
Gambar 1. Pelaku-pelaku Pendampingan Desa

Selain itu dalam ketentuan PP Desa maupun Permendesa disebutkan


bahwa KPMD dipilih dari masyarakat setempat oleh pemerintah Desa
melalui Musyawarah Desa untuk ditetapkan dengan keputusan kepada
Desa. Maknanya semakin terang bahwa KPMD merupakan individu-
individu yang dipersiapkan sebagai kader yang akan melanjutkan kerja
pemberdayaan di kemudian hari. Oleh karenanya, kaderisasi masyarakat
Desa menjadi sangat penting untuk keberlanjutan kerja pemberdayaan
sebagai penyiapan warga desa untuk menggerakkan seluruh kekuatan
Desa.

Identitas KPMD semakin jelas bahwa UU Desa mengarahkan


representasi dari kelompok masyarakat Desa setempat untuk giat
melakukan pendampingan sesuai dengan esensi masalah dan prioritas
kebutuhan masyarakat skala lokal Desa. KPMD versi UU Desa merupakan
representasi dari warga desa yang selanjutnya dipilih dalam Musyawarah
Desa dan ditetapkan oleh Desa setempat untuk melakukan tindakan
pemberdayaan masyarakat skala lokal, meliputi tindakan asistensi,

54 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi skala lokal Desa. Istilah yang
sekiranya tepat untuk menggambarkan KPMD pasca terbitnya UU Desa
adalah “Kader Desa” dan bukan “Kader di Desa”.

B. KADER DESA SEBAGAI INSTITUSI WARGA

KPMD dapat disebut sebagai institusi warga (civil institution), yakni


sebuah institusi kader lokal yang dibentuk secara mandiri oleh warga,
untuk memerhatikan isu-isu publik (yang melampaui isu-isu parokhial dan
adat-istiadat) serta sebagai wadah representasi dan partisipasi mereka
untuk memperjuangkan hak dan kepentingan maupun kewajiban warga
desa. Spirit kewargaan – sebagai jantung strong democracy – hadir dan
dihadirkan oleh KPMD sebagai kader organisasi warga atau organisasi
masyarakat sipil di ranah desa. Bahkan, KPMD dapat menjadi penggerak
terbentuknya Pusat Kemasyarakatan (community centre) sebagai ruang
publik politik untuk memperluas jangkuan kaderisasi Desa.

Kehadiran KPMD sebagai penggerak warga desa untuk berpartisipasi


dan berswadaya gotong royong dalam pengelolaan urusan desa sudah
barang tentu merupakan lompatan baru. Sebab, selama puluhan tahun
dalam kerangka kerja kontrol dan mobilisasi-partisipasi, desa cenderung
ditemjpatkan sebagai organisasi bentukan supra desa (desa korporatis).
Tidak hanya desa yang bersifat korporatis, lembaga-lembaga masyarakat
pun bersifat korporatis (PKK, Karang Taruna, RT, RW dan sebagainya).
Kelemahan organisasi korporatis adalah ketergantungan yang tinggi
terhadap negara, sehingga setiap urusan desa yang seharusnya
mampu dikelola secara mandiri selalu diserahkan kepada negara untuk
menyelesaikannya. Akibatnya, desa beserta lembaga masyarakat yang
bersifat korporatis menjadi beban bagi negara.

Dalam ranah kaderisasi desa, KPMD bergerak untuk mengubah


organisasi korporatis menjadi kekuatan baru yang mendorong desa tampil
sebagai pilar bangsa dan negara dalam mewujdukan kesejahteraan
masyarakat di desa-desa Indonesia. Secara horisontal, KPMD bersama-
sama dengan warga melakukan pembelajaran, musyawarah, konsensus
dan membangun kesadaran kolektif dalam diri warga desa untuk
melaksanakan pembangunan desa. Secara vertikal, KPMD memfasilitasi
para pemimpin Desa untuk berpihak kepada masyarakat desa,
memfasilitasi fungsi representasi dalam Musrenbang dan Musyawarah
Desa, memfasilitasi pelayanan publik yang berkeadilan bagi masyarakat
desa, memfasilitasi pengelolaan APBDesa secara berkeadilan untuk
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 55
kesejahteraan masyarakat desa (pembiayaan Posyandu, dukungan untuk
ketahanan pangan, penyediaan air bersih, dan lain-lain).

C. ORIENTASI KPMD

Orientasi kerja KPMD atau Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa


adalah sebagai berikut.

PERTAMA KPMD mengorganisasikan pembangunan Desa melalui


pengembangan kapasitas teknokratis dan pendidikan politik. KPMD
melakukan pengorganisasian pembangunan Desa dalam proses teknokratis
mencakup pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap
para pelaku desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran,
keuangan, administrasi, sistem informasi dan sebagainya. KPMD
melakukan pendidikan politik yang berorientasi pada penguatan active and
critical citizen, yakni warga desa yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan
bermartabat. Hal ini antara lain merupakan kaderisasi yang melahirkan
kader-kader baru KPMD yang militan sebagai penggerak pembangunan
desa dan demokratisasi.

KEDUA pendampingan yang dilakukan KPMD tidak boleh bersifat


apolitik, tetapi harus berorientasi politik. Kapasitas teknokratis yang
diemban oleh KPMD sangat penting tetapi tidak cukup untuk memperkuat
desa. Karena itu pendampingan oleh KPMD harus bersifat politik. Politik
dalam konteks ini bukan dalam pengertian keterlibatan KPMD dalam
perebutan kekuasaan di Desa, melainkan kerja fasilitasi untuk memperkuat
pengetahuan dan kesadaran anggota masyarakat desa tentang posisi
dirinya sebagai warga desa yang sekaligus warga negara Republik
Indonesia (100% warga desa, 100% warga negara). Dalam kerangka kerja
politik, KPMD mendorong tumbuhnya sikap sukarela dalam diri warga desa
untuk terlibat aktif dalam urusan desanya. Dengan demikian, kerja politik
KPMD dimaknai sebagai upaya menegakkan hak dan kewajiban desa
sekaligus upaya menumbuhkan dan menegakkan hak dan kewajiban warga
desa. Pendekatan pendampingan oleh KPMD yang berorientasi politik ini
akan memperkuat kuasa rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi
lebih demokratis dalam bingkai kedaulatan NKRI.

KETIGA para kader yang tergabung dalam KPMD bukan hanya


memfasilitasi pembelajaran dan pengembangan kapasitas, tetapi juga
mengisi “ruang-ruang kosong” baik secara vertikal maupun horizontal.
KPMD memiliki orientasi untuk mengisi ruang kosong yang identik

56 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
dengan membangun “jembatan sosial” (social bridging) dan jembatan
politik (political bridging). Pada ranah desa, ruang kosong vertikal adalah
kekosongan interaksi dinamis (disengagement) antara warga, pemerintah
desa dan lembaga-lembaga desa lainnya. Pada ranah yang lebih luas,
ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi antara desa dengan
pemerintah supra desa. Karena itu kader-kader KPMD adalah aktor yang
membangun jembatan atau memfasilitasi engagement baik antara warga
dengan lembaga-lembaga desa maupun pemerintah desa, agar tercipta
bangunan desa yang kolektif, inklusif dan demokratis.

KEEMPAT pendampingan desa secara fasilitatif dari luar tidak cukup


dilakukan oleh aparat negara dan para pelaku pendampingan profesional,
tetapi juga perlu melibatkan “pendamping pihak ketiga. Tak jarang dijumpai
bahwa kader-kader Desa lebih kaya metodologi pendampingan ketimbang
pendamping profesional. Pendamping profesional mungkin mampu
mengembangkan kapasitas teknokratis, tetapi mengalami keterbatasan
dalam melakukan kaderisasi terhadap Kader Desa. Oleh karenanya, kader-
kader desa dalam KPMD harus direkognisi sebagai aktor pendampingan
yang tepat untuk melakukan kaderisasi. Dengan berpijak pada prinsip
“negara yang padat” (congested state), pemerintah dan pemda harus
memfasilitasi dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kader-kader
KPMD untuk berjaringan dan bekerjasama dengan unsur-unsur organisasi
masyarakat sipil dan perusahaan. KPMD sudah saatnya berkolaborasi
dengan NGOs lokal, yang mempunyai tradisi dan jaringan dengan NGOs
nasional dan lembaga-lembaga internasional, agar KPMD semakin
mempunyai tradisi yang kuat dalam menerapkan pendekatan politik dalam
pendampingan.

KELIMA pendampingan yang lebih kokoh dan berkelanjutan jika


dilakukan dari dalam secara emansipatif oleh kader-kader desa (KPMD).
Pendampingan secarafasilitatif oleh pendamping profesional maupun pihak
ketiga dibutuhkan untuk katalisasi dan akselerasi. Namun proses ini harus
berbatas, tidak boleh berlangsung berkelanjutan bertahun-tahun. Selama
proses pendampingan, pendekatan fasilitatif oleh pendamping profesional
dan pihak ketiga harus mampu menumbuhkan kader-kader desa yaitu
KPMD yang piawai tentang ihwal desa, dan kader-kader KPMD lah yang
akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris. Lebih lanjut,
KPMD akan menyebarkan jiwa dan watak kader ke seluruh warga desa.
KPMD memiliki spirit voluntaris. Tetapi sebagai bentuk apreseasi, tidak ada
salahnya kalau Desa mengalokasikan insentif untuk para KPMD.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 57
KEENAM pendampingan tidak bersifat seragam dan kaku tetapi harus
lentur dan kontekstual. Karakteristik Desa berbeda satu dengan yang lain.
Dengan mengingat dan mengacu pada asas rekognisi dan subsidiaritas,
pendamping harus menjalankan tugasnya dengan menyesuaikan diri pada
konteks kultur masyarakat setempat.

2. MENYARING KADER DESA

A. MENEMUKAN KADER DESA

Menemukan kader desa yang nantinya dilembagakan dalam kedudukan


sebagai KPMD tidaklah mudah karena dipengaruhi beberapa subsistem
dalam sistem desa. Langkah-langkah menemukan Kader Desa dapat
dilakukan sebagai berikut.

Musyawarah Desa. Musyawarah desa merupakan institusi dan proses


demokrasi deliberatif yang berbasis desa. Secara historis musyawarah
desa merupakan tradisi masyarakat lokal Indonesia. Salah satu model
musyawarah desa yang telah lama hidup dan dikenal di tengah-tengah
masyarakat desa adalah Rapat Desa (rembug Desa) yang ada di Jawa.
Dalam tradisi rapat desa selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan
setiap aspirasi dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat
terakomodasi dan sedapat mungkin dapat dihindari munculnya riak-riak
konflik di masyarakat. Selain model rapat desa ada bentuk musyawarah
daerah-daerah lain seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri
di Maluku, Gawe rapah di Lombok, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali.

Secara politik musyawarah desa diselenggarakan oleh BPD dan


difasilitasi oleh Pemerintah Desa.Kader Desa yang aktif untuk terlibat aktif
dalam pemetaan aspirasi yang dilakukan oleh BPD, potensial untuk menjadi
kader desa selanjutnya. Kader Desa ditemukan dalam selama proses
berlangsungnya Musyawarah Desa yang akan menciptakan kebersamaan
(kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD, lembaga kemasyarakatan dan
unsur-unsur masyarakat untuk membangun dan melaksanakan visi-misi
perubahan desa. Disamping itu, Kader Desa akan ditemukan ditengah-
tengah pola hubungan antara BPD dan Kepala Desa yang dominatif, kolutif,
konfliktual, dan kemitraan.

Kader Desa ditemukan dalam pola kemitraan BPD dan Kepala Desa
yang terus menerus melakukan deliberasi untuk mengambil keputusan
kolektif sekaligus sebagai cara untuk membangun kebaikan bersama.

58 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Pilihan atau Inisiatif dari Pemerintah Desa. Kader Desa dapat
ditemukan dalam tipe kepemimpinan di Desa. Pertama, kepemimpinan
regresif. Sebagian besar desa parokhial dan sebagian desa-desa korporatis
cenderung banyak ditemukan kader desa yang berwatak otokratis,
dominatif, tidak suka musyawarah desa, tidak suka partisipasi, anti
perubahan dan biasa melakukan capture terhadap sumberdaya ekonomi.
Jika desa dikuasai situasi kepemimpinan regresif, maka Kader Desa yang
mengemban amanat pengorganisasian pembangunan desa akan kesulitan
untuk ditemukan secara ideal. Kader Desa cenderung ditentukan dan dipilih
berdasarkan kepentingan Kepala Desa atau Pemerintah Desa.

Fasilitasi Pendamping Desa. Pendamping lokal Desa bertugas


untuk melakukan fasilitasi (a) perencanaan pembangunan dan keuangan
desa; (b) pelaksanaan pembangunan desa; (c) pengelolaan keuangan
desa dalam rangka pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat
desa; (d) evaluasi pelaksanaan pembangunan desa; dan (e) pengawasan
pembangunan desa. Dalam proses pendampingan ini, warga Desa yang
mampu berkomunikasi dan kolaborasi dengan pendamping profesional
lokal Desa berpotensi untuk menjadi Kader Desa.

B. PENGEMBANGAN KAPASITAS KADER DESA

Untuk mengembangkan kapasitas Kader Desa,Pemer-intah Desa dapat


membentuk beragam lembaga kemasyar-akatan sebagai wadah bagi warga
mengaktualisasikan dir-inya sebagai warga Desa. Lembaga-lembaga
tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan. Sebagaimana selama ini, di Desa
banyak model-model lembaga kemasyarakatan, antara lain seperti
Rukun Tetangga, Rukun Warga, karang taruna, lembaga pemberdayaan
masyarakat, dan sejenisn-ya. Lembaga kemasyarakatan yang banyak
terdapat di Desa itu idealnya harus bisa menjadi arena masyarakat Desa
un-tuk mengembangkan diri menjadi Kader Desa yang mampu berperan
untuk membangun desa. Lembaga-lembaga terse-but bisa menjadi
ruang bagi warga Desa merumuskan dan mengusung aspirasi mereka
danberpartisipasi dalam per-encanaan, pelaksanaan dan mengawal
pembangunan Desa. Bagi Kader Desa, lembaga-lembaga itu bisa menjadi
arena pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas mereka menjadi
kader-kader pemberdayaan masyarakat.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 59
Selain bentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut, salah
satunya misalnya bisa juga dibentuk suatu lembaga yang menjadi pusat
kegiatan kemasyarakatan (community center) yang difungsikan sebagai
pusat informasi, pusat kegiatan dan pendampingan atau pusat advokasi
masyarakat. Para pendamping desa semestinya dapat melakukan
fasilitasi pembentukan lembaga-lembaga semacam ini sebagai arena
pusat pembelajaran masyaraka dan pembelajaran bagi kader desa.
Pengembangan kapasitas Kader Desa dapat diarahkan oleh para
pendamping profesional (eksternal) melalui langkah-langkah sebagai
berikut:

a. memfasilitasi pembentukan pusat kemasyarakatan (community


center) dengan melibatkan KPMD sebagai ruang publik untuk
aktivitas bersama dalam rangka pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa;

b. memfasilitasi pendayagunaan sarana/prasarana milik desa seperti


balai desa, gedung olah raga, gedung pertemuan, lapangan
olah raga, taman dll untuk dijadikan sebagai tempat/lokasi
diselenggarakannya kegiatan-kegiatan pusat kemasyarakatan
dengan melibatkan KPMD;

memfasilitasi unsur-unsur masyarakat seperti tokoh adat; tokoh


agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; perwakilan
kelompok tani; kelompok nelayan; kelompok perajin;
kelompok perempuan; dan kelompok masyarakat miskin
untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan pusat
kemasyarakatan yang diorganisir oleh KPMD;

c. memfasilitasi terbentuknya forum mitra desa dengan KPMD


sebagai motor penggerak dimana mitra desa tersebut terdiri dari
para penggiat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
desa untuk secara sukarela terlibat dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;

e. memfaslitasi forum mitra desa bersama-sama dengan KPMD


untuk membentuk pusat kemasyarakatan (community center) di
kecamatan dan kabupaten/kota;

f. memfasilitasi forum mitra desa bersama-sama dengan KPMD untuk


membuat kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat
sepeerti penerapan ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau seni tertentu untuk menunjang pengembangan konsep
60 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
pembangunan nasional, wilayah dan/atau daerah, pengembangan
sistem pendidikan dan pengembangan;

g. memfasilitasi kegiatan kemitraan dan pemberdayaan UKM usaha


kecil dan menengah dengan melibatkan KPMD;dan

h. kegiatan-kegiatan lain yang strategis dalam rangka pengembangan


pusat kemasyarakatan (community center) sesuai dengan kondisi
lokal desa dengan melibatkan KPMD.

Proses penjaringan kader Desa pada dasarnya dapat melalui cara


apapun, baik menggunakan mekanisme formal maupun informal. Namun
sebagai bagian dari program Pendampingan, proses rekruitmen mereka
harus mengikuti mekanisme tertentu yang berlaku di Desa. Lebih dari itu,
kapasitas Kader Desa harus ditingkatkan kompatibilitasnya dengan standar
yang sesuai dengan visi UU Desa.

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 61
PENUTUP
Cara pandang pendampingan Desa harus didasari spirit rekognisi-
subsidiaritas Desa. Praksis pendampingan untuk pemberdayaan
masyarakat Desa juga harus mengandung spirit baru. Spirit baru itu harus
ditunjukkan dalam sikap bahwa pendampingan akan lebih kokoh dan
berkelanjutan jika dilakukan dari dalam secara emansipatif oleh KPMD
sebagai salah satu elemen kader desa. Pendampingan secara fasilitatif
oleh pendamping profesional maupun pihak ketiga dibutuhkan hanya untuk
katalisasi dan akselerasi untuk menumbuhkan KPMD yang piawai tentang
ihwal desadan akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris.

Selanjutnya, pendampingan oleh KPMD sebagai elemen kader harus


didorong untuk melakukan intervensi secara utuh untuk memperkuat dan
mewujudkan desa sebagai self governing community (komunitas yang
mengelola pemerintahannya secara mandiri) dan pemerintahan lokal
(local self government), yang maju, kuat, mandiri, adil dan demokratis.
Kaderisasi beserta isu-isu pemerintahan dan pembangunan desa harus
terkonsolidasi dalam sistem desa. Sistem desa yang dimaksud adalah
kewenangan desa, tata pemerintahan desa, serta perencanaan dan
penganggaran desa yang semuanya mengarah pada pembangunan desa
untuk kesejahteraan warga. Baik kepentingan, tema pembangunan, aset
lokal, dan KPMD sebagai elemen kader diarahkan dan diikat dalam sistem
desa itu. Dengan kalimat lain, desa menjadi basis bermasyarakat, berpolitik,
berpemerintahan, berdemokrasi dan berpembangunan dimana KPMD
berada didalamnya sebagai elemen Kader Desa yang inovatif-progresif.

62 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 63
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai