Anda di halaman 1dari 34

Sejarah Singkat Slowfood

Pada tahun 1986 restoran cepat saji seperti McD masuk ke Roma Italia. Ketika itu pula para jurnalis,
masyarakat dari berbagai kalangan mulai mengkritik makanan cepat saji tersebut dengan alasan
menjaikan makanan tidak sehat. Sebutan paling kasar untuk makanan dengan cara cepat saji atau
fast food ini adalah junk food atau makanan sampah. Sungguh miris memang sebutan tersebut dan
dari sinilah makanan cepat saji (fast food) vs makanan alami (slow food). Kami menyebutnya
budaya Eropa vs budaya Amerika.

Carlo Petrini adalah seorang jurnalis menulis dan membangun sebuah website untuk menyerukan
aspirasinya dengan alamat di www.slowfood.com. Carlo Petrini sering menulis di web dengan
lambang siput tersebut tentang kuliner yang ada di Roma Italia. Sungguh bertentangan sekali kuliner
khas Eropa dengan kuliner khas Amerika.

Di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang gerakan slowfood ini pada tahun 2009. Adalah Herlianti
seorang pelopor gerakan slowfood ini. Ia membangun javara.co.id untuk mempromosikan produk-
produknya berupa bahan pangan dan herbal dengan sistem slowfood. Banyak pelanggannya adalah
wisatawan asing dan orang-orang Indonesia yang cinta makanan sehat dan bermutu. Herlianti
disebut sebagai Chairwomen Slowfood Convivium dari Kemang. Convivium adalah sebutan bagi
kelompok anggota slowfood. Sementara Chairwomen atau Chairman adalah sebutan untuk leader
atau perwakilan atau bisa juga disebut ketua regional.

Kini sudah banyak sekali Slowfood Convivium di Indonesia salah satunya di Ubud Bali. Dan saya
yakin akan ada lebih banyak lagi Slowfood Convivium di kota-kota besar di Indonesia. Di
Jogjakarta ternakayamkampung.com adalah peternak ayam kampung dengan berpedoman pada
nilai-nilai slowfood tersebut dalam pembudidayaan ayam kampung.

Nilai-nilai Slowfood
Ada tiga (3) nilai terpenting dari gerakan slowfood ini. Yaitu : 1) Good, 2) Clean, 3) Fair

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal dari budaya lokal.
Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai bangsa Indonesia.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan residu dan
bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau bahkan menimbulkan
dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food harus terbebas dari itu semua.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini dimaksudkan agar
produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung namun konsumen tidak terbebani dalam
mendapatkan makanan atau bahan makanan tersebut (harga standar).

Lawan Fast Food Dengan Slow Food

Pemeliharaan Ayam Kampung Sistem Slowfood


Sistem pemeliharaan ayam kampung di sebuah peternakan ayam berbeda-beda dan salah satunya
adalah sistem semi intensif. Sistem semi intensif merupakan sistem pemeliharaan tepat untuk
memenuhi kriteria atau kategori Slowfood. Tidak semua bahan makanan atau makanan masuk
dalam kategori slowfood. Seperti bahan makanan atau makanan organik di Supermarket dijual
dengan harga tinggi ini sungguh memberatkan konsumen. Sehingga nilai fair tidak termasuk dalam
nilai slowfood tersebut. Dengan berdasarkan nilai-nilai slowfood di atas, kami
mengembangkan ayam kampung organikdengan memperhatikan daya beli masyarakat. Dengan arti
ayam kampung organik murni tidak selalu mahal.

Aturan Pembesaran Ayam Buras Sistem Slowfood


1. Bebas Hidup

Dengan penggunaan pemeliharaan sistem semi intensif ayam akan merasa bebas hidup kemana ia
suka meski masih di dalam kandang. Kami sudah membandingkan pemeliharaan dengan cara semi
intensif dengan cara intensif. Sungguh pengeluaran terbanyak ada pada sistem intensif. Berbeda
dengan cara ayam kampung di kandang baterai, ayam berdesak-desakan, bahkan tidak bergerak
bebas. Apakah nutrisi ayam tercukupi?

2. Bebas Bahan Kimia

Penggunaan bahan kimia dalam peternakan ayam dimungkinkan dapat menimbulkan masalah di
kemudian hari (perlu diteliti lebih lanjut). Kami mencoba sejak pemeliharaan DOC ayam hingga
penjualan tidak menggunakan bahan kimia.

3. Biaya produksi

Tidak sedikit resiko harus dihadapi peternak ayam kampung dalam menciptakan produk ayam
kampung organik murni. Ayam diharapkan tidak terserang penyakit sampai panen dan jelas ini tidak
mungkin terpenuhi 100%. Banyak biaya produksi dikeluarkan untuk pembelian obat, vaksin, vitamin,
antibiotik, penanggulangan masalah kandang dll. Sebagai gantinya mari menggunakan cara
tradisional yakni memakai jamu menggunakan bahan herbal asli Indonesia

4. Penjualan

Kami berharap nilai atau harga ayam kampung atas produk-produk kami tidak memberatkan
konsumen kami di masa depan.

Inti ternak ayam kampung menggunakan sistem slowfood menurut kami adalah menggunakan
bahan disekitar kita yakni ayam kampung, pakan, obat, dll merupakan budaya asli Indonesia. Maju
terus peternakan ayam Indonesia!

Sadar atau tidak, pola makan kita sudah kerasukan gaya cepat saji (fast food). Hal
ini mengusik hati seorang jurnalis dan pemerhati pola hidup sehat asal Italia, Carlo
Petrini, yang kemudian menggalakkan gerakan Slow Food sebagai perlawanan
terhadap globalisasi fast food. Bakal berhasilkah Petrini?
Fast food muncul karena tuntutan manusia sendiri, yang dalam aktivitasnya
membutuhkan sesuatu yang serbacepat. Tua maupun muda, maunya serbainstan.
Dalam guyonan saat memesan menu di rumah makan misalnya, si pemesan kerap
melontarkan ujaran “Jangan pakai lama ya?”. Awalnya memang cuma guyonan, tapi
lama kelamaan dianggap sebagai keharusan, baik oleh pemesan maupun pengelola
rumah makan. Alhasil, kebutuhan makan menjadi hanya sekadar mengusir lapar.

Terkadang, demi ritual, sarapan dilakukan di atas kendaraan sambil bermacet ria,
lalu makan siang dilaksanakan sambil meneruskan pekerjaan, sedangkan makan
malam disantap sambil membaca koran atau majalah yang sepanjang hari itu belum
sempat tersentuh.

Semua dilakukan karena harus mengejar waktu. Manusia modern memaknai waktu
dengan uang. Time is money. Ritual makan dengan tenang sekeluarga sambil
mengobrol santai dan mengunyah makanan hingga lumat pun semakin luntur.

Kepraktisan memang menjadi nilai plus santapan fast food. Apalah artinya fast kalau
tidak praktis? Bahkan ia sudah menjadi semacam gaya hidup. Ada rasa bangga
ketika orang-orang kampung yang mampir ke kota dan bisa mencicipi makanan
cepat saji yang nama-nama restorannya sudah mendunia.

Namun, dibalik kepraktisan dan gengsi tadi, fast food biasanya rendah serat, kurang
lengkap gizi, namun berlimpah lemak jenuh, kolesterol, gula, dan kalori. Hal ini akan
membebani sistem metabolisme tubuh ketika mencerna, apalagi jika disantap
terburu-buru.

Perlu Edukasi
Gerakan Slow Food sendiri tercetus tahun 1986 di Italia. Selanjutnya Petrini
mendirikan organisasi Slow Food pada tahun 1989, berbarengan dengan
pembukaan gerai fast food McDonald’s di Roma. Bisa ditebak, gerakan itu
dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap globalisasi fast food. Hingga saat ini,
anggota Slow Food mencapai 90.000 orang, yang tersebar di seluruh dunia.
Semangat dari gerakan ini adalah untuk menyelamatkan warisan budaya makan
yang asli di seluruh dunia. Jangan sampai tradisi makan dan makanan tradisional di
dunia musnah tergerus kepopuleran fast food. Jika dilakukan secara konsisten,
dalam jangka panjang, Slow Food bahkan berpotensi memberi dampak langsung
terhadap keselamatan lingkungan. Di dalam buku The Live Earth, Global Warming
Survival Handbook (Kompas 8-12-2007) tertulis, jika satu juta orang beralih ke
makanan produksi lokal selama satu tahun saja, maka umat manusia akan
melenyapkan 625.000 ton COr Lumayan, ‘kan?

Melalui Slow Food, Petrini mengajak kita untuk kembali pada ritme makan nan alami.
Salah satunya dengan memperhatikan pola makan. Menghindari fast food dan
membiasakan diri menyantap makanan sehat alami dengan tidak terburu-buru, lebih
lambat, dan tenang. la mengajak kita kembali ke dapur, menapak jejak ketika Ibu
atau Nenek menyiapkan makanan dari bahan aslinya. Sayuran, daging, dan bumbu
semuanya serba alami.

Slow Food memang kontradiktif dengan zaman kini yang serba cepat. Gregory
Ernoult, pemimpin gerakan Slow Food Indonesia yang didirikan pada September
2006 pun memahami hal itu. Diakuinya, “Tidak mudah mendidik masyarakat yang
sudah terpengaruh globalisasi untuk memahami gerakan Slow Food ini, dan perlu
edukasi yang panjang.” Padahal, ketika sudah telanjur kegemukan, kita akan
digempur lagi dengan makanan serba diet kalori. “Kita memiliki hak dan kemampuan
untuk mendapatkan makanan yang baik dan sehat yang akan kita makan,” ucap
Gregory, yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia ini mantap.

Untuk itu, perlu penyadaran kembali dan pendidikan sejak dini untuk membangkitkan
cita rasa. Contoh kecilnya, lokalatih kecil-kecilan untuk membedakan cita rasa sirup
jeruk dengan perasan jeruk asli, termasuk membedakan aroma jeruk organik dan
yang bukan organik. Menurut Gregory yang asal Prancis, di negeri asalnya, kegiatan
seperti ini sudah dilakukan sejak taman kanak-kanak.

Keseimbangan alam terancam


Serba lambat di jalur cepat tadi, sesungguhnya tak sekadar gerakan untuk melawan
gaya makan serbacepat. Tapi juga mengajak kita untuk memaknai hidup, merasakan
prosesnya. Makan dengan tempo lambat membantu proses pencernaan tubuh dalam
hal penyerapan nutrisi. Proses pencernaan pun berjalan secara bertahap, tidak
terburu-buru sehingga penyerapan nutrisinya bisa berjalan maksimal. Selaras
dengan ritme alamiah tubuh. Kegiatan memasak ala Ibu atau Nenek yang tidak
terburu-buru dan dihayati juga bagian dari rekreasi dan rileksasi.
Pola makan berbasis lokal ini akan menghindarkan sistem pertanian dari eksploitasi
besar-besaran. Bayangkan jika seluruh dunia ini menu makanannya fast food. Pola
makan yang seragam akibat membanjirnya franchise fast food di seluruh dunia akan
mengkhawatirkan. Bukan hanya karena berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi
juga mengancam keseimbangan alam.

Menjamurnya gerai fast food di seluruh dunia memaksa dunia menerapkan sistem
pertanian monokultur. Tanaman yang ada akan seragam, sesuai dengan permintaan
industri fast food, seperti ayam broiler dan gandum. Flora dan fauna lokal bisa-bisa
terpinggirkan. Ayam kampung, beras cianjur, atau beras rojolele bisa jadi hanya akan
menjadi cerita di kalangan generasi penerus.

Gerakan Slow Food memiliki impian bahwa suatu saat tanaman dan ternak konsumsi
akan diproduksi secara alamiah, tidak terburu-buru dan dalam jumlah besar demi
pasar. Pestisida, hormon, antiobiotik, dan obat-obatan sintetis pun disingkirkan.
Dengan sendirinya, keseimbangan alam akan terjaga, karena makhluk yang hidup di
sekitar ekosistem pertanian tidak terbunuh.

Slow Food pun menempatkan kebersamaan dalam menikmati makan karena tidak
terburu-buru. Tak soal apakah Anda penganut food combining atau vegetarian. Yang
terpenting nikmati dan nikmati.

Slow Food dan Keanekaragaman Hayati


Industri fast food menyeragamkan semua produknya di seluruh dunia. Untuk
mendukung itu diperlukan bahan baku yang seragam juga. Ayam goreng. fried
chicken misalnya, berasal dari ayam ras atau broiler. Agar cepat besar, ayam ras
diberi pakan berupa formula khusus, suntikan
hormon, dan antibiotik. Contoh lain, industri fast food berbahan tepung terigu
seperti roti dan donat juga akan menyingkirkan makanari lokal seperti gethuk atau
tiwul.
Yang perlu diwaspadai dari perkembangan industri fast food
adalah penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Selain membahayakan
kesehatan manusia, tindakan ini ikut mengancam ekosistem alam, karena berisiko
memutus rantai makanan yang ada pada ekosistem
pertanian, seperti cacing, kodok, dan serangga.

Teknologi paling mutakhir bahkan sudah menggunakan bibit hasil rekayasa


genetika atau transgenik demi mengejar produksi secara cepat
dan masal. Padahal, akibat buruk kebiasaan mengonsumsi makanan transgenik
terhadap kesehatan belum tuntas diteliti dan baru diketahui setelah evolusi atau
bergantinya generasi.

Mari Makan Ala Slow Food


Berikut ini cara makan sehat menurut anjuran gerakan Slow Food:
1. Utamakan bahan makanan segar.
Dapatkan makanan segar langsung dari petani atau berbelanja di pasar tradisional.
Pasar tradisional merupakan jalur distribusi terpendek makanan segar. Yang
diperlukan tubuh kita adalah makanan segar yang baru dipanen atau belum lama
dipanen. Sayuran kemarin tidak akan dijual di pasar tradisional, karena tak
ada lemari pendingin untuk menyimpan sayuran agar tetap segar.
Di supermarket, sangat besar kemungkinan sayuran segar yang Anda beli sudah
dipanen beberapa hari atau bahkan seminggu sebelumnya,
sehingga kandungan nutrisi dan energinya telah banyak menyusut. Begitu pula
daging dan ikan segar, belilah di pasar tradisional. Namun, tetap harus teliti dan
waspada terhadap formalin dan zat pewarna makanan.

2. Ganti bumbu instan dan MSG dengan bahan-bahan seperti bawang merah,
bawang putih, bawang bombai, daun bawang, seledri, jahe, merica, dan minyak
wijen.
3. Sediakan bumbu instan segar dan alami. Caranya bekukan ulekan bumbu
dalam ice tray atau kantong plastik, sehingga Anda tinggal menggunakannya sesuai
keperluan, tanpa repot harus mengupas dan mengulek dulu. Jadi, tak perlu
menggunakan bumbu instan kemasan.
“Peluru terpedo memakai besi, enggak perlu gengsi, makan gado-gado memakai
dasi.”

Kampanye Makanan Lokal, Ayam pun Harus Bahagia


Upaya melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat.
Namanya gerakan Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar
hingga 150 negara. Di Indonesia, salah seorang penggeraknya adalah Helianti
Hilman.
Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu
Eropa. Salah satunya McDonald’s. Restoran dengan produk utama hamburger itu
masuk ke Roma, ibu kota Italia, pada 1986. Ketika itu, beberapa kalangan mulai
mengkritisi globalisasi fast food yang dituding menyajikan makanan tidak sehat.
Bahkan pada perkembangannya, sebagian orang menyebut fast food dengan istilah
junk food atau makanan sampah.

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya
McDonald’s di Italia. Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh
yang biasa menulis artikel tentang kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia
bersama puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu
memproklamasikan gerakan Slow Food International. Lambangnya unik, keong atau
siput berwarna merah. Keong itu digunakan sebagai representasi makhluk yang
bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di
negara-negara maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang
kesehatan makanan menjadi pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar
tidak hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang bahkan hingga negara-
negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari 100 ribu anggota yang tersebar di
150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang pangan itu, majalah TIME
memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

“Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para
ekspatriat (orang asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak
warga sendiri yang bergabung. Ini sangat positif,” ujar Helianti Hilman kepada Jawa
Pos (grup Radar Lampung) di counter-nya, kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia
menjadi chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang
terdiri atas kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang
chairman atau chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa
convivium yang masing-masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow
Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia
pada 2006 oleh Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef
atau koki. Ketika itu, Ernoult yang berdomisili di kompleks Lippo Karawaci,
Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium Karawaci. Namun, perkumpulan itu
tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari King’s College, London, Inggris, yang kini
menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan itu
mulai tertarik dengan gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung
mendaftarkan diri sebagai anggota Slow Food International. Baru pada awal 2012,
Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

“Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara,” ungkap
perempuan kelahiran Jember, Jawa Timur, 1971, itu.
Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang
didirikan Helianti.

Selain Slow Food Convivium Kemang yang dipimpin Helianti, kini ada Slow Food
Convivium Ubud yang beranggota para ekspatriat yang tinggal di Bali dan Slow Food
Convivium Depok. Total anggota komunitas itu sudah mendekati 100 orang.

Latar belakang mereka beragam. Ada pengusaha, karyawan, aktivis lingkungan,


chef, guru, jurnalis, hingga ibu rumah tangga. “Dalam Slow Food, yang utama adalah
kualitas anggota, bukan kuantitas. Jadi, semua adalah anggota aktif, tidak ada
anggota pasif,” sebutnya.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai. Yakni good,
clean, dan fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan
bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa
menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus
ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan itu.

“Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin


untuk hanya memakan makanan yang memenuhi tiga nilai itu,” tegasnya.
Apa bedanya dari makanan organik? Menurut Helianti, makanan yang masuk
kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia
seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk
kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua.
Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan
pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun
juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan.
Karena itu, anggota gerakan Slow Food sangat anti-makanan dari daging ayam
broiler. Menurut Helianti, peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk
perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

“Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat


sempit, tak bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang
telur serta antibiotik. Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow
Food sangat against (melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu,” ujarnya
dengan mimik wajah serius, dua tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang
diternak secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia.
Di Indonesia, kata Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

“Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana,


makanannya juga alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam
broiler. Karena itu, dalam Slow Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan
binatang yang hidupnya bahagia,” ujarnya, lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena
itu, meski tidak ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan
semaksimal mungkin menjalankan konsep yang sudah disepakati.

“Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan
atau ide yang sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat
menjalankannya,” tegasnya.

Selain itu, anggota Slow Food di negara berkembang wajib membayar iuran EUR5
atau sekitar Rp70 ribu per tahun. Di negara maju, iurannya bisa sampai EUR70 per
tahun.

Helianti menyebutkan, salah satu kendala yang dihadapi komunitas Slow Food
adalah tidak mudahnya mendapat makanan yang memenuhi konsep good, clean,
dan fair. Di kota besar seperti Jakarta memang terdapat beberapa supermarket yang
khusus menjual bahan pangan organik. Namun, harganya relatif lebih tinggi. “Jadi,
opsinya adalah menanam sendiri,” ucapnya.

Karena itu, Helianti menegaskan bahwa Slow Food bukanlah komunitas yang hanya
bisa diikuti orang kaya. Buktinya, di negara-negara Afrika, banyak anggota Slow
Food yang justru masyarakat miskin yang hidupnya dibantu dan diberdayakan untuk
berkebun atau beternak sesuai dengan nilai-nilai Slow Food.

Lalu, apa yang sudah dilakukan komunitas Slow Food? Menurut Helianti, di tingkat
internasional, ada ajang tahunan bernama Terra Madre. Pada 23–28 Oktober 2012,
Helianti bersama beberapa anggota dan petani lokal menghadiri acara itu di Italia.

Dalam acara itu, program-program Slow Food dari seluruh dunia dipaparkan agar
peserta dari berbagai negara bisa mencontoh. “Terra Madre juga menjadi ajang
penghargaan bagi para petani lokal dari berbagai negara,” ungkapnya.

Helianti menambahkan, Slow Food mewajibkan anggotanya di seluruh dunia untuk


melakukan kegiatan perorangan atau kelompok, minimal tiga kali dalam setahun.
Misalnya, food and taste education melalui pengenalan rasa bahan pangan lokal
kepada anak usia TK atau SD. Melalui kegiatan itu, anak-anak diajari untuk
membedakan wujud dan rasa makanan alami maupun yang mengandung zat kimia
serta bahayanya.

Kegiatan lain yang dilakukan Helianti adalah kampanye One Thousand Food
Gardens. Caranya, mendorong dan mengajari ibu-ibu rumah tangga untuk menanam
sendiri tanaman bahan pangan di rumahnya. Konsep itu diadaptasi dari gerakan
yang sukses besar di Afrika.

Program lain yang dijalankan Slow Food adalah protecting food biodiversity atau
melindungi keanekaragaman hayati bahan pangan. Di Indonesia, kata Helianti, hal
itu merupakan tantangan berat karena makin sedikit orang Indonesia yang peduli
terhadap keanekaragaman sumber makanan.

Misalnya, sangat banyak tanaman berkhasiat tinggi yang sudah jarang dikenal
orang. Misalnya, kelor. Padahal, lanjut dia, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa
kandungan protein kelor lebih tinggi dari daging, kalsiumnya lebih tinggi dari susu,
vitamin A-nya lebih tinggi dari wortel, vitamin C-nya lebih tinggi dari jeruk,
potasiumnya lebih tinggi dari pisang, dan zat besinya lebih tinggi dari bayam.

“Orang-orang tua zaman dulu juga mengakui kehebatan kelor, makanya dipakai
untuk memandikan jenazah, digunakan untuk menangkal santet, melepas susuk, dan
lain-lain,” ujarnya.

Helianti mengakui, kini justru orang-orang asing yang memiliki minat tinggi terhadap
produk-produk lokal Indonesia. “Mereka banyak menghargai keanekaragaman
pangan Indonesia. Kita yang orang Indonesia malah kurang,” tuturnya.

Di Javara, perusahaan yang didirikan Helianti, konsumen terbesarnya justru orang-


orang asing. Ketika Jawa Pos berkunjung ke kantor Javara di kawasan Kemang,
Jakarta Selatan, ada beberapa ekspatriat asal Italia yang tengah memborong
produk-produk Javara.

Javara adalah perusahaan yang bergerak di bidang pangan lokal dari berbagai
daerah di Indonesia, mulai Jawa, Sumatera, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Ada
beras, tepung dari sukun, ubi ungu, singkong, ganyong, garut, gula nila kelapa,
madu, garam, rempah-rempah, hingga kacang mede (cashew nut).
Misalnya, garam kusamba yang berbentuk piramida dari Klungkung, Bali, yang
hampir punah kini justru sudah diekspor ke Italia, Swiss, Belgia, Inggris, serta dalam
waktu dekat masuk pasar AS dan Jepang. Tak tanggung-tanggung, department store
papan atas sekelas Globus di Swiss pun sudah berhasil ditembus. Sebuah jaringan
produk makanan di Belgia juga siap memasarkan produk lokal Indonesia itu ke 2.000
supermarket di Eropa.

Helianti menyebutkan, eksotisme produk-produk lokal Indonesia kini makin banyak


diminati. Tahun ini, Javara mengekspor 10 kontainer produk lokal Indonesia ke
berbagai negara. “Tahun depan, target kami 24 kontainer karena permintaan terus
meningkat,” ungkapnya. (p6/c2/ary)

Demikian tulisan diatas diambil dari berbagai sumber kami sampaikan untuk
menambah wawasan bagi anggota keluarga kami khususnya dan secara umum
masyarakat Indonesia.

Nilai-2 dari slowfood sangat berkaitan sekali dengan misi dan fisi usaha kami
dibidang agrobisnis, nilai-2 :

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal
dari budaya lokal. Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai
bangsa Indonesia.

Kedelai lokal sangat baik mutunya untuk membuat tempe, pada jaman saya masih
kecil dulu tempe yang digoreng oleh ibu sangat gurih dan nikmat rasanya.

Ubi-2 an dilahan-lahan bapak tani sangat banyak sekali dan khasiatnya sangat hebat
apabila kita konsumsi dari pada makan makanan PIZA atau yang sebangsanya.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan
residu dan bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau
bahkan menimbulkan dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food
harus terbebas dari itu semua.

Maka dari itu produksi produksi pertanian diusahakan tanpa pestisida sintesis dan
menggunakan pupuk kimia berangsur-angsur dikurangi hingga tidak menggunakan
sama sekali apabila unsur hara yang diperlukan oleh tanaman telah mencukupi.

Tanaman herbal sangat beragam mungkin china saja yang dapat menyaingi kita,
sehingga kita tidak perlu mengkonsumsi obat-2 an kimia yang isinya merupakan
racun.

Apabila kita mengikuti jejak leluhur dengan ramuan herbal bangsa kita akan menjadi
bangsa yang besar, bangsa yang sehat lahir batinnya.

Bukan hanya manusianya yang sehat, tanaman, hewan juga bisa diatasi dengan
ramuan herbal, contoh rekan kita Ermina Kemala Dara ( EKD ) telah membantu kita
produk-2nya untuk kembali ke kearifan local.sangat mujarab.

Tetapi kalau kita tidak segera berubah ke arah organic salah satu item dari slowfood,
makan makanan jump food / makanan sampah, minum obat racun akhirnya kita
menjadi tergantung pada obat-2an kimia yang makin lama makin mahal dan
menghancurkan system imunitas seperti halnya Lahan kita yang sudah sangat
hancur kesuburannya
Rumah sakit kian lama kian banyak dan besar-2 dan kita mempunyai andil
membangunnya karena makin lama jenis penyakit kian bertambah banyak, para
tenaga medis yang melayani kesehatan bertambah banyak sekolah-2 medis
dibangun besar-2 an dan dikatakan hal itu untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah
penduduk, akan tetapi apabila bertambahnya jumlah penduduk dibarengi dengan
kwalitas kesehatannya tidak akan sampai demikian booming keberadaan
penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.

Kenapa kita tidak berfikir untuk mengusahakan jadi keluarga sehat yang akan
berdampak menjadi bangsa yang sehat, contoh aplikasinya

Lebih baik kita makan ayam goreng kampung dari pada makan fried chicken, lebih
baik makan tempe dari kedelai lokal dari pada kedelai import, lebih baik makan
sayur-2 an yang organic dari pada sayur yang menggunakan pestisida dan
meniadakan makan makanan yang mengandung bahan pengawet berbahaya, awasi
keluarga kita jangan gengsi makan makanan nDeso, kalau sudah ada acara yang
dituju adalah PIZZA HUT atau makanan-2 Fast Food lainnya.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini
dimaksudkan agar produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung
namun konsumen tidak terbebani dalam mendapatkan makanan atau bahan
makanan tersebut (harga standar).1.

Hal ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan masing-2 yang berkepentingan :


petani /produsen menjual hasil produksinya seperti tertera diatas dalam batas wajar
diatas dari nilai pengobanan yang dilakukan sehingga ada nilai margin untuk
kesejahteraannya sedang konsumen juga sepakat membeli secara wajar pula
sehingga terjadi suatu kesepakatan tidak tertulis tetapi tersirat secara moral dan ini
mengakibatkan harga tidak akan dikendalikan oleh para makelar dan harga
akan stabil, makan organic tidak mahal, yang mahal adalah sertifikasinya.

Dipersilahkan para konsumen melihat sendiri proses produksi makanan sehat


sehingga mengetahui secara langsung dan inilah yang akan menjadi embrio makan
sehat tetapi terjangkau masyarakat kecil menengah dan besarpun bisa menikmati

Demikian sedikit ulasan kami semoga bisa menjadi panduan buat kita untuk menuju
hidup sehat dengan melakukan Standart Operasional Prosedur dari SLOW FOOD.
Sejarah Singkat Slowfood
Pada tahun 1986 restoran cepat saji seperti McD masuk ke Roma Italia. Ketika itu pula para jurnalis,
masyarakat dari berbagai kalangan mulai mengkritik makanan cepat saji tersebut dengan alasan
menjaikan makanan tidak sehat. Sebutan paling kasar untuk makanan dengan cara cepat saji atau
fast food ini adalah junk food atau makanan sampah. Sungguh miris memang sebutan tersebut dan
dari sinilah makanan cepat saji (fast food) vs makanan alami (slow food). Kami menyebutnya
budaya Eropa vs budaya Amerika.

Carlo Petrini adalah seorang jurnalis menulis dan membangun sebuah website untuk menyerukan
aspirasinya dengan alamat di www.slowfood.com. Carlo Petrini sering menulis di web dengan
lambang siput tersebut tentang kuliner yang ada di Roma Italia. Sungguh bertentangan sekali kuliner
khas Eropa dengan kuliner khas Amerika.

Di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang gerakan slowfood ini pada tahun 2009. Adalah Herlianti
seorang pelopor gerakan slowfood ini. Ia membangun javara.co.id untuk mempromosikan produk-
produknya berupa bahan pangan dan herbal dengan sistem slowfood. Banyak pelanggannya adalah
wisatawan asing dan orang-orang Indonesia yang cinta makanan sehat dan bermutu. Herlianti
disebut sebagai Chairwomen Slowfood Convivium dari Kemang. Convivium adalah sebutan bagi
kelompok anggota slowfood. Sementara Chairwomen atau Chairman adalah sebutan untuk leader
atau perwakilan atau bisa juga disebut ketua regional.

Kini sudah banyak sekali Slowfood Convivium di Indonesia salah satunya di Ubud Bali. Dan saya
yakin akan ada lebih banyak lagi Slowfood Convivium di kota-kota besar di Indonesia. Di
Jogjakarta ternakayamkampung.com adalah peternak ayam kampung dengan berpedoman pada
nilai-nilai slowfood tersebut dalam pembudidayaan ayam kampung.

Nilai-nilai Slowfood
Ada tiga (3) nilai terpenting dari gerakan slowfood ini. Yaitu : 1) Good, 2) Clean, 3) Fair

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal dari budaya lokal.
Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai bangsa Indonesia.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan residu dan
bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau bahkan menimbulkan
dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food harus terbebas dari itu semua.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini dimaksudkan agar
produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung namun konsumen tidak terbebani dalam
mendapatkan makanan atau bahan makanan tersebut (harga standar).

Lawan Fast Food Dengan Slow Food

Pemeliharaan Ayam Kampung Sistem Slowfood


Sistem pemeliharaan ayam kampung di sebuah peternakan ayam berbeda-beda dan salah satunya
adalah sistem semi intensif. Sistem semi intensif merupakan sistem pemeliharaan tepat untuk
memenuhi kriteria atau kategori Slowfood. Tidak semua bahan makanan atau makanan masuk
dalam kategori slowfood. Seperti bahan makanan atau makanan organik di Supermarket dijual
dengan harga tinggi ini sungguh memberatkan konsumen. Sehingga nilai fair tidak termasuk dalam
nilai slowfood tersebut. Dengan berdasarkan nilai-nilai slowfood di atas, kami
mengembangkan ayam kampung organikdengan memperhatikan daya beli masyarakat. Dengan arti
ayam kampung organik murni tidak selalu mahal.

Aturan Pembesaran Ayam Buras Sistem Slowfood


1. Bebas Hidup

Dengan penggunaan pemeliharaan sistem semi intensif ayam akan merasa bebas hidup kemana ia
suka meski masih di dalam kandang. Kami sudah membandingkan pemeliharaan dengan cara semi
intensif dengan cara intensif. Sungguh pengeluaran terbanyak ada pada sistem intensif. Berbeda
dengan cara ayam kampung di kandang baterai, ayam berdesak-desakan, bahkan tidak bergerak
bebas. Apakah nutrisi ayam tercukupi?

2. Bebas Bahan Kimia

Penggunaan bahan kimia dalam peternakan ayam dimungkinkan dapat menimbulkan masalah di
kemudian hari (perlu diteliti lebih lanjut). Kami mencoba sejak pemeliharaan DOC ayam hingga
penjualan tidak menggunakan bahan kimia.

3. Biaya produksi

Tidak sedikit resiko harus dihadapi peternak ayam kampung dalam menciptakan produk ayam
kampung organik murni. Ayam diharapkan tidak terserang penyakit sampai panen dan jelas ini tidak
mungkin terpenuhi 100%. Banyak biaya produksi dikeluarkan untuk pembelian obat, vaksin, vitamin,
antibiotik, penanggulangan masalah kandang dll. Sebagai gantinya mari menggunakan cara
tradisional yakni memakai jamu menggunakan bahan herbal asli Indonesia

4. Penjualan

Kami berharap nilai atau harga ayam kampung atas produk-produk kami tidak memberatkan
konsumen kami di masa depan.

Inti ternak ayam kampung menggunakan sistem slowfood menurut kami adalah menggunakan
bahan disekitar kita yakni ayam kampung, pakan, obat, dll merupakan budaya asli Indonesia. Maju
terus peternakan ayam Indonesia!

Sadar atau tidak, pola makan kita sudah kerasukan gaya cepat saji (fast food). Hal
ini mengusik hati seorang jurnalis dan pemerhati pola hidup sehat asal Italia, Carlo
Petrini, yang kemudian menggalakkan gerakan Slow Food sebagai perlawanan
terhadap globalisasi fast food. Bakal berhasilkah Petrini?
Fast food muncul karena tuntutan manusia sendiri, yang dalam aktivitasnya
membutuhkan sesuatu yang serbacepat. Tua maupun muda, maunya serbainstan.
Dalam guyonan saat memesan menu di rumah makan misalnya, si pemesan kerap
melontarkan ujaran “Jangan pakai lama ya?”. Awalnya memang cuma guyonan, tapi
lama kelamaan dianggap sebagai keharusan, baik oleh pemesan maupun pengelola
rumah makan. Alhasil, kebutuhan makan menjadi hanya sekadar mengusir lapar.

Terkadang, demi ritual, sarapan dilakukan di atas kendaraan sambil bermacet ria,
lalu makan siang dilaksanakan sambil meneruskan pekerjaan, sedangkan makan
malam disantap sambil membaca koran atau majalah yang sepanjang hari itu belum
sempat tersentuh.

Semua dilakukan karena harus mengejar waktu. Manusia modern memaknai waktu
dengan uang. Time is money. Ritual makan dengan tenang sekeluarga sambil
mengobrol santai dan mengunyah makanan hingga lumat pun semakin luntur.

Kepraktisan memang menjadi nilai plus santapan fast food. Apalah artinya fast kalau
tidak praktis? Bahkan ia sudah menjadi semacam gaya hidup. Ada rasa bangga
ketika orang-orang kampung yang mampir ke kota dan bisa mencicipi makanan
cepat saji yang nama-nama restorannya sudah mendunia.

Namun, dibalik kepraktisan dan gengsi tadi, fast food biasanya rendah serat, kurang
lengkap gizi, namun berlimpah lemak jenuh, kolesterol, gula, dan kalori. Hal ini akan
membebani sistem metabolisme tubuh ketika mencerna, apalagi jika disantap
terburu-buru.

Perlu Edukasi
Gerakan Slow Food sendiri tercetus tahun 1986 di Italia. Selanjutnya Petrini
mendirikan organisasi Slow Food pada tahun 1989, berbarengan dengan
pembukaan gerai fast food McDonald’s di Roma. Bisa ditebak, gerakan itu
dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap globalisasi fast food. Hingga saat ini,
anggota Slow Food mencapai 90.000 orang, yang tersebar di seluruh dunia.
Semangat dari gerakan ini adalah untuk menyelamatkan warisan budaya makan
yang asli di seluruh dunia. Jangan sampai tradisi makan dan makanan tradisional di
dunia musnah tergerus kepopuleran fast food. Jika dilakukan secara konsisten,
dalam jangka panjang, Slow Food bahkan berpotensi memberi dampak langsung
terhadap keselamatan lingkungan. Di dalam buku The Live Earth, Global Warming
Survival Handbook (Kompas 8-12-2007) tertulis, jika satu juta orang beralih ke
makanan produksi lokal selama satu tahun saja, maka umat manusia akan
melenyapkan 625.000 ton COr Lumayan, ‘kan?

Melalui Slow Food, Petrini mengajak kita untuk kembali pada ritme makan nan alami.
Salah satunya dengan memperhatikan pola makan. Menghindari fast food dan
membiasakan diri menyantap makanan sehat alami dengan tidak terburu-buru, lebih
lambat, dan tenang. la mengajak kita kembali ke dapur, menapak jejak ketika Ibu
atau Nenek menyiapkan makanan dari bahan aslinya. Sayuran, daging, dan bumbu
semuanya serba alami.

Slow Food memang kontradiktif dengan zaman kini yang serba cepat. Gregory
Ernoult, pemimpin gerakan Slow Food Indonesia yang didirikan pada September
2006 pun memahami hal itu. Diakuinya, “Tidak mudah mendidik masyarakat yang
sudah terpengaruh globalisasi untuk memahami gerakan Slow Food ini, dan perlu
edukasi yang panjang.” Padahal, ketika sudah telanjur kegemukan, kita akan
digempur lagi dengan makanan serba diet kalori. “Kita memiliki hak dan kemampuan
untuk mendapatkan makanan yang baik dan sehat yang akan kita makan,” ucap
Gregory, yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia ini mantap.
Untuk itu, perlu penyadaran kembali dan pendidikan sejak dini untuk membangkitkan
cita rasa. Contoh kecilnya, lokalatih kecil-kecilan untuk membedakan cita rasa sirup
jeruk dengan perasan jeruk asli, termasuk membedakan aroma jeruk organik dan
yang bukan organik. Menurut Gregory yang asal Prancis, di negeri asalnya, kegiatan
seperti ini sudah dilakukan sejak taman kanak-kanak.

Keseimbangan alam terancam


Serba lambat di jalur cepat tadi, sesungguhnya tak sekadar gerakan untuk melawan
gaya makan serbacepat. Tapi juga mengajak kita untuk memaknai hidup, merasakan
prosesnya. Makan dengan tempo lambat membantu proses pencernaan tubuh dalam
hal penyerapan nutrisi. Proses pencernaan pun berjalan secara bertahap, tidak
terburu-buru sehingga penyerapan nutrisinya bisa berjalan maksimal. Selaras
dengan ritme alamiah tubuh. Kegiatan memasak ala Ibu atau Nenek yang tidak
terburu-buru dan dihayati juga bagian dari rekreasi dan rileksasi.
Pola makan berbasis lokal ini akan menghindarkan sistem pertanian dari eksploitasi
besar-besaran. Bayangkan jika seluruh dunia ini menu makanannya fast food. Pola
makan yang seragam akibat membanjirnya franchise fast food di seluruh dunia akan
mengkhawatirkan. Bukan hanya karena berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi
juga mengancam keseimbangan alam.

Menjamurnya gerai fast food di seluruh dunia memaksa dunia menerapkan sistem
pertanian monokultur. Tanaman yang ada akan seragam, sesuai dengan permintaan
industri fast food, seperti ayam broiler dan gandum. Flora dan fauna lokal bisa-bisa
terpinggirkan. Ayam kampung, beras cianjur, atau beras rojolele bisa jadi hanya akan
menjadi cerita di kalangan generasi penerus.

Gerakan Slow Food memiliki impian bahwa suatu saat tanaman dan ternak konsumsi
akan diproduksi secara alamiah, tidak terburu-buru dan dalam jumlah besar demi
pasar. Pestisida, hormon, antiobiotik, dan obat-obatan sintetis pun disingkirkan.
Dengan sendirinya, keseimbangan alam akan terjaga, karena makhluk yang hidup di
sekitar ekosistem pertanian tidak terbunuh.

Slow Food pun menempatkan kebersamaan dalam menikmati makan karena tidak
terburu-buru. Tak soal apakah Anda penganut food combining atau vegetarian. Yang
terpenting nikmati dan nikmati.

Slow Food dan Keanekaragaman Hayati


Industri fast food menyeragamkan semua produknya di seluruh dunia. Untuk
mendukung itu diperlukan bahan baku yang seragam juga. Ayam goreng. fried
chicken misalnya, berasal dari ayam ras atau broiler. Agar cepat besar, ayam ras
diberi pakan berupa formula khusus, suntikan
hormon, dan antibiotik. Contoh lain, industri fast food berbahan tepung terigu
seperti roti dan donat juga akan menyingkirkan makanari lokal seperti gethuk atau
tiwul.
Yang perlu diwaspadai dari perkembangan industri fast food
adalah penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Selain membahayakan
kesehatan manusia, tindakan ini ikut mengancam ekosistem alam, karena berisiko
memutus rantai makanan yang ada pada ekosistem
pertanian, seperti cacing, kodok, dan serangga.

Teknologi paling mutakhir bahkan sudah menggunakan bibit hasil rekayasa


genetika atau transgenik demi mengejar produksi secara cepat
dan masal. Padahal, akibat buruk kebiasaan mengonsumsi makanan transgenik
terhadap kesehatan belum tuntas diteliti dan baru diketahui setelah evolusi atau
bergantinya generasi.

Mari Makan Ala Slow Food


Berikut ini cara makan sehat menurut anjuran gerakan Slow Food:
1. Utamakan bahan makanan segar.
Dapatkan makanan segar langsung dari petani atau berbelanja di pasar tradisional.
Pasar tradisional merupakan jalur distribusi terpendek makanan segar. Yang
diperlukan tubuh kita adalah makanan segar yang baru dipanen atau belum lama
dipanen. Sayuran kemarin tidak akan dijual di pasar tradisional, karena tak
ada lemari pendingin untuk menyimpan sayuran agar tetap segar.
Di supermarket, sangat besar kemungkinan sayuran segar yang Anda beli sudah
dipanen beberapa hari atau bahkan seminggu sebelumnya,
sehingga kandungan nutrisi dan energinya telah banyak menyusut. Begitu pula
daging dan ikan segar, belilah di pasar tradisional. Namun, tetap harus teliti dan
waspada terhadap formalin dan zat pewarna makanan.

2. Ganti bumbu instan dan MSG dengan bahan-bahan seperti bawang merah,
bawang putih, bawang bombai, daun bawang, seledri, jahe, merica, dan minyak
wijen.
3. Sediakan bumbu instan segar dan alami. Caranya bekukan ulekan bumbu
dalam ice tray atau kantong plastik, sehingga Anda tinggal menggunakannya sesuai
keperluan, tanpa repot harus mengupas dan mengulek dulu. Jadi, tak perlu
menggunakan bumbu instan kemasan.
“Peluru terpedo memakai besi, enggak perlu gengsi, makan gado-gado memakai
dasi.”

Kampanye Makanan Lokal, Ayam pun Harus Bahagia


Upaya melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat.
Namanya gerakan Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar
hingga 150 negara. Di Indonesia, salah seorang penggeraknya adalah Helianti
Hilman.
Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu
Eropa. Salah satunya McDonald’s. Restoran dengan produk utama hamburger itu
masuk ke Roma, ibu kota Italia, pada 1986. Ketika itu, beberapa kalangan mulai
mengkritisi globalisasi fast food yang dituding menyajikan makanan tidak sehat.
Bahkan pada perkembangannya, sebagian orang menyebut fast food dengan istilah
junk food atau makanan sampah.

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya
McDonald’s di Italia. Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh
yang biasa menulis artikel tentang kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia
bersama puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu
memproklamasikan gerakan Slow Food International. Lambangnya unik, keong atau
siput berwarna merah. Keong itu digunakan sebagai representasi makhluk yang
bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di
negara-negara maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang
kesehatan makanan menjadi pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar
tidak hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang bahkan hingga negara-
negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari 100 ribu anggota yang tersebar di
150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang pangan itu, majalah TIME
memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

“Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para
ekspatriat (orang asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak
warga sendiri yang bergabung. Ini sangat positif,” ujar Helianti Hilman kepada Jawa
Pos (grup Radar Lampung) di counter-nya, kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia
menjadi chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang
terdiri atas kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang
chairman atau chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa
convivium yang masing-masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow
Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia
pada 2006 oleh Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef
atau koki. Ketika itu, Ernoult yang berdomisili di kompleks Lippo Karawaci,
Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium Karawaci. Namun, perkumpulan itu
tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari King’s College, London, Inggris, yang kini
menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan itu
mulai tertarik dengan gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung
mendaftarkan diri sebagai anggota Slow Food International. Baru pada awal 2012,
Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

“Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara,” ungkap
perempuan kelahiran Jember, Jawa Timur, 1971, itu.
Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang
didirikan Helianti.

Selain Slow Food Convivium Kemang yang dipimpin Helianti, kini ada Slow Food
Convivium Ubud yang beranggota para ekspatriat yang tinggal di Bali dan Slow Food
Convivium Depok. Total anggota komunitas itu sudah mendekati 100 orang.

Latar belakang mereka beragam. Ada pengusaha, karyawan, aktivis lingkungan,


chef, guru, jurnalis, hingga ibu rumah tangga. “Dalam Slow Food, yang utama adalah
kualitas anggota, bukan kuantitas. Jadi, semua adalah anggota aktif, tidak ada
anggota pasif,” sebutnya.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai. Yakni good,
clean, dan fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan
bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa
menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus
ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan itu.

“Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin


untuk hanya memakan makanan yang memenuhi tiga nilai itu,” tegasnya.
Apa bedanya dari makanan organik? Menurut Helianti, makanan yang masuk
kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia
seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk
kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua.
Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan
pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun
juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan.
Karena itu, anggota gerakan Slow Food sangat anti-makanan dari daging ayam
broiler. Menurut Helianti, peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk
perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

“Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat


sempit, tak bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang
telur serta antibiotik. Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow
Food sangat against (melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu,” ujarnya
dengan mimik wajah serius, dua tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang
diternak secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia.
Di Indonesia, kata Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

“Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana,


makanannya juga alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam
broiler. Karena itu, dalam Slow Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan
binatang yang hidupnya bahagia,” ujarnya, lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena
itu, meski tidak ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan
semaksimal mungkin menjalankan konsep yang sudah disepakati.

“Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan
atau ide yang sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat
menjalankannya,” tegasnya.

Selain itu, anggota Slow Food di negara berkembang wajib membayar iuran EUR5
atau sekitar Rp70 ribu per tahun. Di negara maju, iurannya bisa sampai EUR70 per
tahun.

Helianti menyebutkan, salah satu kendala yang dihadapi komunitas Slow Food
adalah tidak mudahnya mendapat makanan yang memenuhi konsep good, clean,
dan fair. Di kota besar seperti Jakarta memang terdapat beberapa supermarket yang
khusus menjual bahan pangan organik. Namun, harganya relatif lebih tinggi. “Jadi,
opsinya adalah menanam sendiri,” ucapnya.

Karena itu, Helianti menegaskan bahwa Slow Food bukanlah komunitas yang hanya
bisa diikuti orang kaya. Buktinya, di negara-negara Afrika, banyak anggota Slow
Food yang justru masyarakat miskin yang hidupnya dibantu dan diberdayakan untuk
berkebun atau beternak sesuai dengan nilai-nilai Slow Food.

Lalu, apa yang sudah dilakukan komunitas Slow Food? Menurut Helianti, di tingkat
internasional, ada ajang tahunan bernama Terra Madre. Pada 23–28 Oktober 2012,
Helianti bersama beberapa anggota dan petani lokal menghadiri acara itu di Italia.

Dalam acara itu, program-program Slow Food dari seluruh dunia dipaparkan agar
peserta dari berbagai negara bisa mencontoh. “Terra Madre juga menjadi ajang
penghargaan bagi para petani lokal dari berbagai negara,” ungkapnya.

Helianti menambahkan, Slow Food mewajibkan anggotanya di seluruh dunia untuk


melakukan kegiatan perorangan atau kelompok, minimal tiga kali dalam setahun.
Misalnya, food and taste education melalui pengenalan rasa bahan pangan lokal
kepada anak usia TK atau SD. Melalui kegiatan itu, anak-anak diajari untuk
membedakan wujud dan rasa makanan alami maupun yang mengandung zat kimia
serta bahayanya.

Kegiatan lain yang dilakukan Helianti adalah kampanye One Thousand Food
Gardens. Caranya, mendorong dan mengajari ibu-ibu rumah tangga untuk menanam
sendiri tanaman bahan pangan di rumahnya. Konsep itu diadaptasi dari gerakan
yang sukses besar di Afrika.

Program lain yang dijalankan Slow Food adalah protecting food biodiversity atau
melindungi keanekaragaman hayati bahan pangan. Di Indonesia, kata Helianti, hal
itu merupakan tantangan berat karena makin sedikit orang Indonesia yang peduli
terhadap keanekaragaman sumber makanan.

Misalnya, sangat banyak tanaman berkhasiat tinggi yang sudah jarang dikenal
orang. Misalnya, kelor. Padahal, lanjut dia, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa
kandungan protein kelor lebih tinggi dari daging, kalsiumnya lebih tinggi dari susu,
vitamin A-nya lebih tinggi dari wortel, vitamin C-nya lebih tinggi dari jeruk,
potasiumnya lebih tinggi dari pisang, dan zat besinya lebih tinggi dari bayam.

“Orang-orang tua zaman dulu juga mengakui kehebatan kelor, makanya dipakai
untuk memandikan jenazah, digunakan untuk menangkal santet, melepas susuk, dan
lain-lain,” ujarnya.

Helianti mengakui, kini justru orang-orang asing yang memiliki minat tinggi terhadap
produk-produk lokal Indonesia. “Mereka banyak menghargai keanekaragaman
pangan Indonesia. Kita yang orang Indonesia malah kurang,” tuturnya.

Di Javara, perusahaan yang didirikan Helianti, konsumen terbesarnya justru orang-


orang asing. Ketika Jawa Pos berkunjung ke kantor Javara di kawasan Kemang,
Jakarta Selatan, ada beberapa ekspatriat asal Italia yang tengah memborong
produk-produk Javara.

Javara adalah perusahaan yang bergerak di bidang pangan lokal dari berbagai
daerah di Indonesia, mulai Jawa, Sumatera, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Ada
beras, tepung dari sukun, ubi ungu, singkong, ganyong, garut, gula nila kelapa,
madu, garam, rempah-rempah, hingga kacang mede (cashew nut).
Misalnya, garam kusamba yang berbentuk piramida dari Klungkung, Bali, yang
hampir punah kini justru sudah diekspor ke Italia, Swiss, Belgia, Inggris, serta dalam
waktu dekat masuk pasar AS dan Jepang. Tak tanggung-tanggung, department store
papan atas sekelas Globus di Swiss pun sudah berhasil ditembus. Sebuah jaringan
produk makanan di Belgia juga siap memasarkan produk lokal Indonesia itu ke 2.000
supermarket di Eropa.
Helianti menyebutkan, eksotisme produk-produk lokal Indonesia kini makin banyak
diminati. Tahun ini, Javara mengekspor 10 kontainer produk lokal Indonesia ke
berbagai negara. “Tahun depan, target kami 24 kontainer karena permintaan terus
meningkat,” ungkapnya. (p6/c2/ary)

Demikian tulisan diatas diambil dari berbagai sumber kami sampaikan untuk
menambah wawasan bagi anggota keluarga kami khususnya dan secara umum
masyarakat Indonesia.

Nilai-2 dari slowfood sangat berkaitan sekali dengan misi dan fisi usaha kami
dibidang agrobisnis, nilai-2 :

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal
dari budaya lokal. Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai
bangsa Indonesia.

Kedelai lokal sangat baik mutunya untuk membuat tempe, pada jaman saya masih
kecil dulu tempe yang digoreng oleh ibu sangat gurih dan nikmat rasanya.

Ubi-2 an dilahan-lahan bapak tani sangat banyak sekali dan khasiatnya sangat hebat
apabila kita konsumsi dari pada makan makanan PIZA atau yang sebangsanya.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan
residu dan bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau
bahkan menimbulkan dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food
harus terbebas dari itu semua.

Maka dari itu produksi produksi pertanian diusahakan tanpa pestisida sintesis dan
menggunakan pupuk kimia berangsur-angsur dikurangi hingga tidak menggunakan
sama sekali apabila unsur hara yang diperlukan oleh tanaman telah mencukupi.

Tanaman herbal sangat beragam mungkin china saja yang dapat menyaingi kita,
sehingga kita tidak perlu mengkonsumsi obat-2 an kimia yang isinya merupakan
racun.

Apabila kita mengikuti jejak leluhur dengan ramuan herbal bangsa kita akan menjadi
bangsa yang besar, bangsa yang sehat lahir batinnya.

Bukan hanya manusianya yang sehat, tanaman, hewan juga bisa diatasi dengan
ramuan herbal, contoh rekan kita Ermina Kemala Dara ( EKD ) telah membantu kita
produk-2nya untuk kembali ke kearifan local.sangat mujarab.

Tetapi kalau kita tidak segera berubah ke arah organic salah satu item dari slowfood,
makan makanan jump food / makanan sampah, minum obat racun akhirnya kita
menjadi tergantung pada obat-2an kimia yang makin lama makin mahal dan
menghancurkan system imunitas seperti halnya Lahan kita yang sudah sangat
hancur kesuburannya
Rumah sakit kian lama kian banyak dan besar-2 dan kita mempunyai andil
membangunnya karena makin lama jenis penyakit kian bertambah banyak, para
tenaga medis yang melayani kesehatan bertambah banyak sekolah-2 medis
dibangun besar-2 an dan dikatakan hal itu untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah
penduduk, akan tetapi apabila bertambahnya jumlah penduduk dibarengi dengan
kwalitas kesehatannya tidak akan sampai demikian booming keberadaan
penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.

Kenapa kita tidak berfikir untuk mengusahakan jadi keluarga sehat yang akan
berdampak menjadi bangsa yang sehat, contoh aplikasinya

Lebih baik kita makan ayam goreng kampung dari pada makan fried chicken, lebih
baik makan tempe dari kedelai lokal dari pada kedelai import, lebih baik makan
sayur-2 an yang organic dari pada sayur yang menggunakan pestisida dan
meniadakan makan makanan yang mengandung bahan pengawet berbahaya, awasi
keluarga kita jangan gengsi makan makanan nDeso, kalau sudah ada acara yang
dituju adalah PIZZA HUT atau makanan-2 Fast Food lainnya.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini
dimaksudkan agar produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung
namun konsumen tidak terbebani dalam mendapatkan makanan atau bahan
makanan tersebut (harga standar).1.

Hal ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan masing-2 yang berkepentingan :


petani /produsen menjual hasil produksinya seperti tertera diatas dalam batas wajar
diatas dari nilai pengobanan yang dilakukan sehingga ada nilai margin untuk
kesejahteraannya sedang konsumen juga sepakat membeli secara wajar pula
sehingga terjadi suatu kesepakatan tidak tertulis tetapi tersirat secara moral dan ini
mengakibatkan harga tidak akan dikendalikan oleh para makelar dan harga
akan stabil, makan organic tidak mahal, yang mahal adalah sertifikasinya.

Dipersilahkan para konsumen melihat sendiri proses produksi makanan sehat


sehingga mengetahui secara langsung dan inilah yang akan menjadi embrio makan
sehat tetapi terjangkau masyarakat kecil menengah dan besarpun bisa menikmati

Demikian sedikit ulasan kami semoga bisa menjadi panduan buat kita untuk menuju
hidup sehat dengan melakukan Standart Operasional Prosedur dari SLOW FOOD.
Sejarah Singkat Slowfood
Pada tahun 1986 restoran cepat saji seperti McD masuk ke Roma Italia. Ketika itu pula para jurnalis,
masyarakat dari berbagai kalangan mulai mengkritik makanan cepat saji tersebut dengan alasan
menjaikan makanan tidak sehat. Sebutan paling kasar untuk makanan dengan cara cepat saji atau
fast food ini adalah junk food atau makanan sampah. Sungguh miris memang sebutan tersebut dan
dari sinilah makanan cepat saji (fast food) vs makanan alami (slow food). Kami menyebutnya
budaya Eropa vs budaya Amerika.

Carlo Petrini adalah seorang jurnalis menulis dan membangun sebuah website untuk menyerukan
aspirasinya dengan alamat di www.slowfood.com. Carlo Petrini sering menulis di web dengan
lambang siput tersebut tentang kuliner yang ada di Roma Italia. Sungguh bertentangan sekali kuliner
khas Eropa dengan kuliner khas Amerika.

Di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang gerakan slowfood ini pada tahun 2009. Adalah Herlianti
seorang pelopor gerakan slowfood ini. Ia membangun javara.co.id untuk mempromosikan produk-
produknya berupa bahan pangan dan herbal dengan sistem slowfood. Banyak pelanggannya adalah
wisatawan asing dan orang-orang Indonesia yang cinta makanan sehat dan bermutu. Herlianti
disebut sebagai Chairwomen Slowfood Convivium dari Kemang. Convivium adalah sebutan bagi
kelompok anggota slowfood. Sementara Chairwomen atau Chairman adalah sebutan untuk leader
atau perwakilan atau bisa juga disebut ketua regional.

Kini sudah banyak sekali Slowfood Convivium di Indonesia salah satunya di Ubud Bali. Dan saya
yakin akan ada lebih banyak lagi Slowfood Convivium di kota-kota besar di Indonesia. Di
Jogjakarta ternakayamkampung.com adalah peternak ayam kampung dengan berpedoman pada
nilai-nilai slowfood tersebut dalam pembudidayaan ayam kampung.

Nilai-nilai Slowfood
Ada tiga (3) nilai terpenting dari gerakan slowfood ini. Yaitu : 1) Good, 2) Clean, 3) Fair

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal dari budaya lokal.
Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai bangsa Indonesia.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan residu dan
bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau bahkan menimbulkan
dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food harus terbebas dari itu semua.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini dimaksudkan agar
produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung namun konsumen tidak terbebani dalam
mendapatkan makanan atau bahan makanan tersebut (harga standar).

Lawan Fast Food Dengan Slow Food

Pemeliharaan Ayam Kampung Sistem Slowfood


Sistem pemeliharaan ayam kampung di sebuah peternakan ayam berbeda-beda dan salah satunya
adalah sistem semi intensif. Sistem semi intensif merupakan sistem pemeliharaan tepat untuk
memenuhi kriteria atau kategori Slowfood. Tidak semua bahan makanan atau makanan masuk
dalam kategori slowfood. Seperti bahan makanan atau makanan organik di Supermarket dijual
dengan harga tinggi ini sungguh memberatkan konsumen. Sehingga nilai fair tidak termasuk dalam
nilai slowfood tersebut. Dengan berdasarkan nilai-nilai slowfood di atas, kami
mengembangkan ayam kampung organikdengan memperhatikan daya beli masyarakat. Dengan arti
ayam kampung organik murni tidak selalu mahal.

Aturan Pembesaran Ayam Buras Sistem Slowfood


1. Bebas Hidup
Dengan penggunaan pemeliharaan sistem semi intensif ayam akan merasa bebas hidup kemana ia
suka meski masih di dalam kandang. Kami sudah membandingkan pemeliharaan dengan cara semi
intensif dengan cara intensif. Sungguh pengeluaran terbanyak ada pada sistem intensif. Berbeda
dengan cara ayam kampung di kandang baterai, ayam berdesak-desakan, bahkan tidak bergerak
bebas. Apakah nutrisi ayam tercukupi?

2. Bebas Bahan Kimia

Penggunaan bahan kimia dalam peternakan ayam dimungkinkan dapat menimbulkan masalah di
kemudian hari (perlu diteliti lebih lanjut). Kami mencoba sejak pemeliharaan DOC ayam hingga
penjualan tidak menggunakan bahan kimia.

3. Biaya produksi

Tidak sedikit resiko harus dihadapi peternak ayam kampung dalam menciptakan produk ayam
kampung organik murni. Ayam diharapkan tidak terserang penyakit sampai panen dan jelas ini tidak
mungkin terpenuhi 100%. Banyak biaya produksi dikeluarkan untuk pembelian obat, vaksin, vitamin,
antibiotik, penanggulangan masalah kandang dll. Sebagai gantinya mari menggunakan cara
tradisional yakni memakai jamu menggunakan bahan herbal asli Indonesia

4. Penjualan

Kami berharap nilai atau harga ayam kampung atas produk-produk kami tidak memberatkan
konsumen kami di masa depan.

Inti ternak ayam kampung menggunakan sistem slowfood menurut kami adalah menggunakan
bahan disekitar kita yakni ayam kampung, pakan, obat, dll merupakan budaya asli Indonesia. Maju
terus peternakan ayam Indonesia!

Sadar atau tidak, pola makan kita sudah kerasukan gaya cepat saji (fast food). Hal ini mengusik
hati seorang jurnalis dan pemerhati pola hidup sehat asal Italia, Carlo Petrini, yang kemudian
menggalakkan gerakan Slow Food sebagai perlawanan terhadap globalisasi fast food. Bakal
berhasilkah Petrini?
Fast food muncul karena tuntutan manusia sendiri, yang dalam aktivitasnya membutuhkan
sesuatu yang serbacepat. Tua maupun muda, maunya serbainstan. Dalam guyonan saat
memesan menu di rumah makan misalnya, si pemesan kerap melontarkan ujaran “Jangan pakai
lama ya?”. Awalnya memang cuma guyonan, tapi lama kelamaan dianggap sebagai keharusan,
baik oleh pemesan maupun pengelola rumah makan. Alhasil, kebutuhan makan menjadi hanya
sekadar mengusir lapar.

Terkadang, demi ritual, sarapan dilakukan di atas kendaraan sambil bermacet ria, lalu makan
siang dilaksanakan sambil meneruskan pekerjaan, sedangkan makan malam disantap sambil
membaca koran atau majalah yang sepanjang hari itu belum sempat tersentuh.
Semua dilakukan karena harus mengejar waktu. Manusia modern memaknai waktu dengan uang.
Time is money. Ritual makan dengan tenang sekeluarga sambil mengobrol santai dan
mengunyah makanan hingga lumat pun semakin luntur.

Kepraktisan memang menjadi nilai plus santapan fast food. Apalah artinya fast kalau tidak
praktis? Bahkan ia sudah menjadi semacam gaya hidup. Ada rasa bangga ketika orang-orang
kampung yang mampir ke kota dan bisa mencicipi makanan cepat saji yang nama-nama
restorannya sudah mendunia.

Namun, dibalik kepraktisan dan gengsi tadi, fast food biasanya rendah serat, kurang lengkap gizi,
namun berlimpah lemak jenuh, kolesterol, gula, dan kalori. Hal ini akan membebani sistem
metabolisme tubuh ketika mencerna, apalagi jika disantap terburu-buru.

Perlu Edukasi
Gerakan Slow Food sendiri tercetus tahun 1986 di Italia. Selanjutnya Petrini mendirikan
organisasi Slow Food pada tahun 1989, berbarengan dengan pembukaan gerai fast food
McDonald’s di Roma. Bisa ditebak, gerakan itu dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap
globalisasi fast food. Hingga saat ini, anggota Slow Food mencapai 90.000 orang, yang tersebar
di seluruh dunia.
Semangat dari gerakan ini adalah untuk menyelamatkan warisan budaya makan yang asli di
seluruh dunia. Jangan sampai tradisi makan dan makanan tradisional di dunia musnah tergerus
kepopuleran fast food. Jika dilakukan secara konsisten, dalam jangka panjang, Slow Food bahkan
berpotensi memberi dampak langsung terhadap keselamatan lingkungan. Di dalam buku The Live
Earth, Global Warming Survival Handbook (Kompas 8-12-2007) tertulis, jika satu juta orang
beralih ke makanan produksi lokal selama satu tahun saja, maka umat manusia akan
melenyapkan 625.000 ton COr Lumayan, ‘kan?

Melalui Slow Food, Petrini mengajak kita untuk kembali pada ritme makan nan alami. Salah
satunya dengan memperhatikan pola makan. Menghindari fast food dan membiasakan diri
menyantap makanan sehat alami dengan tidak terburu-buru, lebih lambat, dan tenang. la
mengajak kita kembali ke dapur, menapak jejak ketika Ibu atau Nenek menyiapkan makanan dari
bahan aslinya. Sayuran, daging, dan bumbu semuanya serba alami.

Slow Food memang kontradiktif dengan zaman kini yang serba cepat. Gregory Ernoult, pemimpin
gerakan Slow Food Indonesia yang didirikan pada September 2006 pun memahami hal itu.
Diakuinya, “Tidak mudah mendidik masyarakat yang sudah terpengaruh globalisasi untuk
memahami gerakan Slow Food ini, dan perlu edukasi yang panjang.” Padahal, ketika sudah
telanjur kegemukan, kita akan digempur lagi dengan makanan serba diet kalori. “Kita memiliki hak
dan kemampuan untuk mendapatkan makanan yang baik dan sehat yang akan kita makan,” ucap
Gregory, yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia ini mantap.

Untuk itu, perlu penyadaran kembali dan pendidikan sejak dini untuk membangkitkan cita rasa.
Contoh kecilnya, lokalatih kecil-kecilan untuk membedakan cita rasa sirup jeruk dengan perasan
jeruk asli, termasuk membedakan aroma jeruk organik dan yang bukan organik. Menurut Gregory
yang asal Prancis, di negeri asalnya, kegiatan seperti ini sudah dilakukan sejak taman kanak-
kanak.

Keseimbangan alam terancam


Serba lambat di jalur cepat tadi, sesungguhnya tak sekadar gerakan untuk melawan gaya makan
serbacepat. Tapi juga mengajak kita untuk memaknai hidup, merasakan prosesnya. Makan
dengan tempo lambat membantu proses pencernaan tubuh dalam hal penyerapan nutrisi. Proses
pencernaan pun berjalan secara bertahap, tidak terburu-buru sehingga penyerapan nutrisinya
bisa berjalan maksimal. Selaras dengan ritme alamiah tubuh. Kegiatan memasak ala Ibu atau
Nenek yang tidak terburu-buru dan dihayati juga bagian dari rekreasi dan rileksasi.
Pola makan berbasis lokal ini akan menghindarkan sistem pertanian dari eksploitasi besar-
besaran. Bayangkan jika seluruh dunia ini menu makanannya fast food. Pola makan yang
seragam akibat membanjirnya franchise fast food di seluruh dunia akan mengkhawatirkan. Bukan
hanya karena berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi juga mengancam keseimbangan alam.

Menjamurnya gerai fast food di seluruh dunia memaksa dunia menerapkan sistem pertanian
monokultur. Tanaman yang ada akan seragam, sesuai dengan permintaan industri fast food,
seperti ayam broiler dan gandum. Flora dan fauna lokal bisa-bisa terpinggirkan. Ayam kampung,
beras cianjur, atau beras rojolele bisa jadi hanya akan menjadi cerita di kalangan generasi
penerus.

Gerakan Slow Food memiliki impian bahwa suatu saat tanaman dan ternak konsumsi akan
diproduksi secara alamiah, tidak terburu-buru dan dalam jumlah besar demi pasar. Pestisida,
hormon, antiobiotik, dan obat-obatan sintetis pun disingkirkan. Dengan sendirinya, keseimbangan
alam akan terjaga, karena makhluk yang hidup di sekitar ekosistem pertanian tidak terbunuh.

Slow Food pun menempatkan kebersamaan dalam menikmati makan karena tidak terburu-buru.
Tak soal apakah Anda penganut food combining atau vegetarian. Yang terpenting nikmati dan
nikmati.

Slow Food dan Keanekaragaman Hayati


Industri fast food menyeragamkan semua produknya di seluruh dunia. Untuk mendukung itu
diperlukan bahan baku yang seragam juga. Ayam goreng. fried chicken misalnya, berasal dari
ayam ras atau broiler. Agar cepat besar, ayam ras diberi pakan berupa
formula khusus, suntikan hormon, dan antibiotik. Contoh lain, industri fast food berbahan
tepung terigu seperti roti dan donat juga akan menyingkirkan makanari lokal seperti gethuk atau
tiwul.
Yang perlu diwaspadai dari perkembangan industri fast food adalah penggunaan pupuk
dan pestisida sintetis. Selain membahayakan kesehatan manusia, tindakan ini ikut
mengancam ekosistem alam, karena berisiko memutus rantai makanan yang ada pada
ekosistem pertanian, seperti cacing, kodok, dan serangga.

Teknologi paling mutakhir bahkan sudah menggunakan bibit hasil rekayasa genetika atau
transgenik demi mengejar produksi secara cepat dan masal. Padahal, akibat buruk
kebiasaan mengonsumsi makanan transgenik terhadap kesehatan belum tuntas
diteliti dan baru diketahui setelah evolusi atau bergantinya generasi.

Mari Makan Ala Slow Food


Berikut ini cara makan sehat menurut anjuran gerakan Slow Food:
1. Utamakan bahan makanan segar.
Dapatkan makanan segar langsung dari petani atau berbelanja di pasar tradisional. Pasar
tradisional merupakan jalur distribusi terpendek makanan segar. Yang diperlukan tubuh kita
adalah makanan segar yang baru dipanen atau belum lama dipanen. Sayuran kemarin tidak akan
dijual di pasar tradisional, karena tak ada lemari pendingin untuk menyimpan sayuran agar
tetap segar.
Di supermarket, sangat besar kemungkinan sayuran segar yang Anda beli sudah
dipanen beberapa hari atau bahkan seminggu sebelumnya, sehingga kandungan nutrisi dan
energinya telah banyak menyusut. Begitu pula daging dan ikan segar, belilah di pasar
tradisional. Namun, tetap harus teliti dan waspada terhadap formalin dan zat pewarna makanan.

2. Ganti bumbu instan dan MSG dengan bahan-bahan seperti bawang merah, bawang putih,
bawang bombai, daun bawang, seledri, jahe, merica, dan minyak wijen.
3. Sediakan bumbu instan segar dan alami. Caranya bekukan ulekan bumbu dalam ice tray
atau kantong plastik, sehingga Anda tinggal menggunakannya sesuai keperluan, tanpa repot
harus mengupas dan mengulek dulu. Jadi, tak perlu menggunakan bumbu instan kemasan.
“Peluru terpedo memakai besi, enggak perlu gengsi, makan gado-gado memakai dasi.”

Kampanye Makanan Lokal, Ayam pun Harus Bahagia


Upaya melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat. Namanya gerakan
Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar hingga 150 negara. Di Indonesia,
salah seorang penggeraknya adalah Helianti Hilman.
Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu Eropa. Salah
satunya McDonald’s. Restoran dengan produk utama hamburger itu masuk ke Roma, ibu kota
Italia, pada 1986. Ketika itu, beberapa kalangan mulai mengkritisi globalisasi fast food yang
dituding menyajikan makanan tidak sehat. Bahkan pada perkembangannya, sebagian orang
menyebut fast food dengan istilah junk food atau makanan sampah.

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya McDonald’s di Italia.
Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh yang biasa menulis artikel tentang
kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia bersama
puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu memproklamasikan gerakan Slow
Food International. Lambangnya unik, keong atau siput berwarna merah. Keong itu digunakan
sebagai representasi makhluk yang bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di negara-negara
maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang kesehatan makanan menjadi
pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar tidak hanya di negara maju, tapi juga di
negara berkembang bahkan hingga negara-negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari
100 ribu anggota yang tersebar di 150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang
pangan itu, majalah TIME memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

“Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para ekspatriat (orang
asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak warga sendiri yang
bergabung. Ini sangat positif,” ujar Helianti Hilman kepada Jawa Pos (grup Radar Lampung) di
counter-nya, kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia menjadi
chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang terdiri atas
kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang chairman atau
chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa convivium yang masing-
masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia pada 2006 oleh
Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef atau koki. Ketika itu, Ernoult
yang berdomisili di kompleks Lippo Karawaci, Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium
Karawaci. Namun, perkumpulan itu tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari King’s College, London, Inggris, yang kini menekuni
profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan itu mulai tertarik dengan
gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai anggota Slow
Food International. Baru pada awal 2012, Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

“Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara,” ungkap perempuan
kelahiran Jember, Jawa Timur, 1971, itu.
Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang didirikan Helianti.

Selain Slow Food Convivium Kemang yang dipimpin Helianti, kini ada Slow Food Convivium Ubud
yang beranggota para ekspatriat yang tinggal di Bali dan Slow Food Convivium Depok. Total
anggota komunitas itu sudah mendekati 100 orang.

Latar belakang mereka beragam. Ada pengusaha, karyawan, aktivis lingkungan, chef, guru,
jurnalis, hingga ibu rumah tangga. “Dalam Slow Food, yang utama adalah kualitas anggota, bukan
kuantitas. Jadi, semua adalah anggota aktif, tidak ada anggota pasif,” sebutnya.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai. Yakni good, clean, dan fair.
Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal.
Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang
mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara
mendapatkan makanan itu.

“Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin untuk hanya
memakan makanan yang memenuhi tiga nilai itu,” tegasnya.
Apa bedanya dari makanan organik? Menurut Helianti, makanan yang masuk kategori Slow Food
sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida.
Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi
konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama,
keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual
terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena
bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan. Karena itu,
anggota gerakan Slow Food sangat anti-makanan dari daging ayam broiler. Menurut Helianti,
peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

“Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat sempit, tak
bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang telur serta antibiotik.
Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow Food sangat against
(melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu,” ujarnya dengan mimik wajah serius, dua
tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang diternak
secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia. Di Indonesia, kata
Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

“Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana, makanannya juga
alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam broiler. Karena itu, dalam Slow
Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan binatang yang hidupnya bahagia,” ujarnya,
lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena itu, meski tidak
ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan semaksimal mungkin
menjalankan konsep yang sudah disepakati.

“Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan atau ide yang
sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat menjalankannya,” tegasnya.

Selain itu, anggota Slow Food di negara berkembang wajib membayar iuran EUR5 atau sekitar
Rp70 ribu per tahun. Di negara maju, iurannya bisa sampai EUR70 per tahun.

Helianti menyebutkan, salah satu kendala yang dihadapi komunitas Slow Food adalah tidak
mudahnya mendapat makanan yang memenuhi konsep good, clean, dan fair. Di kota besar
seperti Jakarta memang terdapat beberapa supermarket yang khusus menjual bahan pangan
organik. Namun, harganya relatif lebih tinggi. “Jadi, opsinya adalah menanam sendiri,” ucapnya.

Karena itu, Helianti menegaskan bahwa Slow Food bukanlah komunitas yang hanya bisa diikuti
orang kaya. Buktinya, di negara-negara Afrika, banyak anggota Slow Food yang justru
masyarakat miskin yang hidupnya dibantu dan diberdayakan untuk berkebun atau beternak
sesuai dengan nilai-nilai Slow Food.

Lalu, apa yang sudah dilakukan komunitas Slow Food? Menurut Helianti, di tingkat internasional,
ada ajang tahunan bernama Terra Madre. Pada 23–28 Oktober 2012, Helianti bersama beberapa
anggota dan petani lokal menghadiri acara itu di Italia.

Dalam acara itu, program-program Slow Food dari seluruh dunia dipaparkan agar peserta dari
berbagai negara bisa mencontoh. “Terra Madre juga menjadi ajang penghargaan bagi para petani
lokal dari berbagai negara,” ungkapnya.

Helianti menambahkan, Slow Food mewajibkan anggotanya di seluruh dunia untuk melakukan
kegiatan perorangan atau kelompok, minimal tiga kali dalam setahun. Misalnya, food and taste
education melalui pengenalan rasa bahan pangan lokal kepada anak usia TK atau SD. Melalui
kegiatan itu, anak-anak diajari untuk membedakan wujud dan rasa makanan alami maupun yang
mengandung zat kimia serta bahayanya.

Kegiatan lain yang dilakukan Helianti adalah kampanye One Thousand Food Gardens. Caranya,
mendorong dan mengajari ibu-ibu rumah tangga untuk menanam sendiri tanaman bahan pangan
di rumahnya. Konsep itu diadaptasi dari gerakan yang sukses besar di Afrika.

Program lain yang dijalankan Slow Food adalah protecting food biodiversity atau melindungi
keanekaragaman hayati bahan pangan. Di Indonesia, kata Helianti, hal itu merupakan tantangan
berat karena makin sedikit orang Indonesia yang peduli terhadap keanekaragaman sumber
makanan.

Misalnya, sangat banyak tanaman berkhasiat tinggi yang sudah jarang dikenal orang. Misalnya,
kelor. Padahal, lanjut dia, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kandungan protein kelor lebih
tinggi dari daging, kalsiumnya lebih tinggi dari susu, vitamin A-nya lebih tinggi dari wortel, vitamin
C-nya lebih tinggi dari jeruk, potasiumnya lebih tinggi dari pisang, dan zat besinya lebih tinggi dari
bayam.

“Orang-orang tua zaman dulu juga mengakui kehebatan kelor, makanya dipakai untuk
memandikan jenazah, digunakan untuk menangkal santet, melepas susuk, dan lain-lain,” ujarnya.

Helianti mengakui, kini justru orang-orang asing yang memiliki minat tinggi terhadap produk-
produk lokal Indonesia. “Mereka banyak menghargai keanekaragaman pangan Indonesia. Kita
yang orang Indonesia malah kurang,” tuturnya.

Di Javara, perusahaan yang didirikan Helianti, konsumen terbesarnya justru orang-orang asing.
Ketika Jawa Pos berkunjung ke kantor Javara di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, ada
beberapa ekspatriat asal Italia yang tengah memborong produk-produk Javara.

Javara adalah perusahaan yang bergerak di bidang pangan lokal dari berbagai daerah di
Indonesia, mulai Jawa, Sumatera, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Ada beras, tepung dari
sukun, ubi ungu, singkong, ganyong, garut, gula nila kelapa, madu, garam, rempah-
rempah, hingga kacang mede (cashew nut).
Misalnya, garam kusamba yang berbentuk piramida dari Klungkung, Bali, yang hampir punah kini
justru sudah diekspor ke Italia, Swiss, Belgia, Inggris, serta dalam waktu dekat masuk pasar AS
dan Jepang. Tak tanggung-tanggung, department store papan atas sekelas Globus di Swiss pun
sudah berhasil ditembus. Sebuah jaringan produk makanan di Belgia juga siap memasarkan
produk lokal Indonesia itu ke 2.000 supermarket di Eropa.

Helianti menyebutkan, eksotisme produk-produk lokal Indonesia kini makin banyak diminati.
Tahun ini, Javara mengekspor 10 kontainer produk lokal Indonesia ke berbagai negara. “Tahun
depan, target kami 24 kontainer karena permintaan terus meningkat,” ungkapnya. (p6/c2/ary)

Demikian tulisan diatas diambil dari berbagai sumber kami sampaikan untuk menambah wawasan
bagi anggota keluarga kami khususnya dan secara umum masyarakat Indonesia.

Nilai-2 dari slowfood sangat berkaitan sekali dengan misi dan fisi usaha kami dibidang agrobisnis,
nilai-2 :

1) Good
Arti good yaitu makanan atau sumber makanan sehat, bermutu, enak dan berasal dari budaya
lokal. Ayam kampung adalah budaya lokal merupakan aset tak ternilai bangsa Indonesia.

Kedelai lokal sangat baik mutunya untuk membuat tempe, pada jaman saya masih kecil dulu
tempe yang digoreng oleh ibu sangat gurih dan nikmat rasanya.

Ubi-2 an dilahan-lahan bapak tani sangat banyak sekali dan khasiatnya sangat hebat apabila kita
konsumsi dari pada makan makanan PIZA atau yang sebangsanya.

2) Clean
Clean berarti bersih mulai dari cara produksi hingga pemasaran tanpa menggunakan residu dan
bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mencemari lingkungan atau bahkan menimbulkan
dampak negatif bagi tubuh apabila dikonsumsi. Slow food harus terbebas dari itu semua.

Maka dari itu produksi produksi pertanian diusahakan tanpa pestisida sintesis dan menggunakan
pupuk kimia berangsur-angsur dikurangi hingga tidak menggunakan sama sekali apabila unsur
hara yang diperlukan oleh tanaman telah mencukupi.

Tanaman herbal sangat beragam mungkin china saja yang dapat menyaingi kita, sehingga kita
tidak perlu mengkonsumsi obat-2 an kimia yang isinya merupakan racun.

Apabila kita mengikuti jejak leluhur dengan ramuan herbal bangsa kita akan menjadi bangsa yang
besar, bangsa yang sehat lahir batinnya.

Bukan hanya manusianya yang sehat, tanaman, hewan juga bisa diatasi dengan ramuan herbal,
contoh rekan kita Ermina Kemala Dara ( EKD ) telah membantu kita produk-2nya untuk kembali
ke kearifan local.sangat mujarab.

Tetapi kalau kita tidak segera berubah ke arah organic salah satu item dari slowfood, makan
makanan jump food / makanan sampah, minum obat racun akhirnya kita menjadi tergantung
pada obat-2an kimia yang makin lama makin mahal dan menghancurkan system imunitas seperti
halnya Lahan kita yang sudah sangat hancur kesuburannya
Rumah sakit kian lama kian banyak dan besar-2 dan kita mempunyai andil membangunnya
karena makin lama jenis penyakit kian bertambah banyak, para tenaga medis yang melayani
kesehatan bertambah banyak sekolah-2 medis dibangun besar-2 an dan dikatakan hal itu untuk
mengantisipasi melonjaknya jumlah penduduk, akan tetapi apabila bertambahnya jumlah
penduduk dibarengi dengan kwalitas kesehatannya tidak akan sampai demikian booming
keberadaan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.

Kenapa kita tidak berfikir untuk mengusahakan jadi keluarga sehat yang akan berdampak menjadi
bangsa yang sehat, contoh aplikasinya

Lebih baik kita makan ayam goreng kampung dari pada makan fried chicken, lebih baik makan
tempe dari kedelai lokal dari pada kedelai import, lebih baik makan sayur-2 an yang organic dari
pada sayur yang menggunakan pestisida dan meniadakan makan makanan yang mengandung
bahan pengawet berbahaya, awasi keluarga kita jangan gengsi makan makanan nDeso, kalau
sudah ada acara yang dituju adalah PIZZA HUT atau makanan-2 Fast Food lainnya.

3) Fair
Fair berarti adil dan saling menguntungkan. Adil dan saling menguntungkan ini dimaksudkan agar
produsen makanan atau bahan makanan mendapat untung namun konsumen tidak terbebani
dalam mendapatkan makanan atau bahan makanan tersebut (harga standar).1.

Hal ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan masing-2 yang berkepentingan : petani /produsen
menjual hasil produksinya seperti tertera diatas dalam batas wajar diatas dari nilai pengobanan
yang dilakukan sehingga ada nilai margin untuk kesejahteraannya sedang konsumen juga
sepakat membeli secara wajar pula sehingga terjadi suatu kesepakatan tidak tertulis tetapi tersirat
secara moral dan ini mengakibatkan harga tidak akan dikendalikan oleh para makelar dan harga
akan stabil, makan organic tidak mahal, yang mahal adalah sertifikasinya.

Dipersilahkan para konsumen melihat sendiri proses produksi makanan sehat sehingga
mengetahui secara langsung dan inilah yang akan menjadi embrio makan sehat tetapi terjangkau
masyarakat kecil menengah dan besarpun bisa menikmati

Demikian sedikit ulasan kami semoga bisa menjadi panduan buat kita untuk menuju hidup sehat
dengan melakukan Standart Operasional Prosedur dari SLOW FOOD.

Sumber : Anonim. Tentang Slow Food.


https://agroklinik.wordpress.com/slowfood/tentang-slow-food/. Diakses tanggal 22.10.2017.
Berawal dari Eropa, gerakan slow food kian dikenal luas ke seluruh dunia sebagai suatu pola
hidup sehat

Semua ingin serba cepat! Termasuk didalamnya proses pembuatan makanan. Begitu cepat
perubahan dalam segala proses, membuat kita tak lagi bisa "menikmati" proses tersebut.

Terlebih lagi untuk mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Mengunjungi restoran
cepat saji akan terlihat lebih "keren" ketimbang menikmati makanan rumahan.

Akibat globalisasi, fenomena fast food dan junk food menjadi demikian populer karena
segala sesuatunya memiliki ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan.

Terlebih, saat pertumbuhan penduduk mengalami percepatan, perubahan gaya hidup juga
tak terelakkan dengan pola konsumsi makanan sebagai perubahan yang paling menonjol.

Hal inilah yang kemudian memunculkan gerakan slow food yang berdiri dengan maksud
untuk menandingi ancaman fast food, lewat berbagai konsep unik yang diklaim lebih
menyehatkan.

seperti dikutip dari laman situs resmi asosiasi slow food (www.slowfood.com), konsep ini
dipakai untuk melawan penyeragaman menu makan pada Fast Food, yang menggiring
banyak orang di seluruh dunia agar mengenal makanan cepat saji semata.

Gerakan Slow Food sendiri diperkenalkan oleh seorang pria Italia, Carlo Petrini pada
tahun 1989. Sejak awal gerakan ini memang dibentuk untuk menandingi merebaknya
restoran-restoran siap sajai Fast Food yang cenderung tidak sehat.

Berkebalikan dengan fast food, slow food menawarkan konsep keberagaman menu
makanan dengan menggunakan bahan sesuai dengan tradisi yang berlaku di suatu negara
atau wilayah.

Konsep berikut yang ditawarkan slow food adalah memproses dan mengonsumsi makanan
dengan tidak terburu-buru. Mulai dari menyiapkan bumbu, menumis atau merebus
hingga kemudian menghidangkannya di meja makan, semuanya harus benar-benar
dinikmati walaupun lebih memakan waktu.

Secara umum, konsep slow food menawarkan gaya hidup yang jauh lebih sehat
dibandingkan fast food. Dalam proses penyediaan bahan makanan, sayuran dan ternak
dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alami.

Selain itu, saat bersantap makanan juga disarankan untuk tidak buru-buru dikejar waktu.
Mengunyah makanan dengan perlahan sampai lunak, memudahkan perut untuk
mencerna, juga merupakan bagian yang dikampanyekan konsep slow food.

Tidak hanya soal makanan, konsep bergerak lambat juga disarankan oleh slow food untuk
menciptakan pola pikir yang lebih rilek, tidak terburu-buru sehingga tidak mudah stres.
Menurut seorang dokter ahli gizi, Dr. Dian Farida Natanegara yang
ditemui Beritasatu.com hari Sabtu kemarin, konsep slow food muncul karena kondisi dunia
telah membuat manusia melupakan budayanya, termasuk makanan.

"Slow food itu melawan budaya serba cepat, agar semuanya dapat dinikmati dengan cara
yang santai, rileks dan tenang serta tidak terburu-buru,"kata ahli gizi yang berpraktek di
kawasan Sudirman ini.

"Saat bersantap, makanan yang dikunyah perlahan sampai benar-benar lunak akan
memudahkan perut untuk mencernanya dapat mengurangi risiko obesitas,"tambahnya
lagi.

Pernyataan yang disampaikan Dr. Dian Farida sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Peter Popham, seorang koresponden untuk harian The Independent yang tinggal di Italia.

Dalam artikel untuk harian tersebut, Peter menulis, gerakan slow food merupakan hal
yang dapat memicu revolusi dalam hal pola makan.

"Rasanya belum terlalu lama, dimana toko kelontong lokal dan pub, menjadi sumber
makanan dan menjadi tempat untuk pertukaran informasi serta pengetahuan dari
kalangan pemasok. Namun, saat ini semua hal itu telah tersapu oleh modernisasi dalam
bentuk supermarket dan makanan cepat saji," katanya seperti dikutip laman channel
news asia belum lama ini.

Menurut Peter, dalam beberapa tahun terakhir kesadaran masyarakat di seluruh dunia
akan kelebihan yang dimiliki oleh slow food semakin berkembang.

Hal ini dikarenakan, bahwa langkah hidup ini terlalu cepat di seluruh dunia sehingga
permintaan untuk makanan cepat saji dan makanan yang diproduksi secara massal
sebenarnya menyebabkan masalah ekologis serta psikologis semata.

"Konsep ini semua tentang mengaktifkan panca indera," kata Peter. "Banyak orang di
seluruh dunia, telah melupakan rasa asli dari makanan tradisionalnya, karena hanya ada
terlalu banyak bumbu. Slow food membantu mereka untuk menemukan kembali rasa ini.
"

Seperti yang dijelaskan oleh laman situs slowfood (www.slowfood.com), slow food
menempatkan kembali hubungan antara konsumen dengan para produsen makanan yang
Anda nikmati, sambil merasakan bau, rasa dan belajar tentang "kebijaksanaan makanan"
sambil menciptakan ikatan yang tidak terputus walaupun supermarket gencar menyerbu
pasar. Melalui slow food, Petrini selaku pendiri gerakan ini seakan mengajak kita semua
untuk kembali pada ritme makan alami yang menyehatkan, menghindari fast food dan
membiasakan diri menyantap makanan sehat alami.

Sumber : Anonim. Memaknai Hidup Sehat Dengan Slow Food.


http://www.beritasatu.com/kuliner/37531-memaknai-hidup-sehat-dengan-slow-food.html
Bagi sebagian ibu bekerja, fast food terkadang jadi solusi bila tak sempat menyiapkan makan untuk
keluarga. Hati-hati, terlalu sering memberikan hidangan cepat saji, tak baik untuk keluarga, terutama
untuk anak. Sesekali, boleh saja. Untuk makanan rekreasi. Tapi bukan sebagai hidangan sehari-hari.

Beda waktu pengolahan. Fast food adalah istilah untuk makanan yang penyajiannya memakan waktu
singkat, yang dikonsumsi secara instan. Cirinya, kandungan gizi fast food biasanya tidak seimbang.
Kebanyakan mengandung kalori tinggi tetapi sangat rendah serat. Juga, tinggi kandungan lemak, gula,
dan garam," demikian ungkap Prof. Dr. Ali Khomsan, Ketua Pasca Sarjana Ilmu Gizi Masyarakat
Institut Pertanian Bogor.

Sedangkan slow food adalah makananan yang butuh waktu lama untuk pengolahannya. Biasanya
berupa makanan tradisional, seperti rendang, ayam ungkep, sop buntut, nasi uduk dan lain-lain. Untuk
kandungan gizi, biasanya bisa lebih bervariasi, tergantung bahan pembuatan. Apabila ditambahkan
dengan sayur-mayur kandungan serat akan cukup tinggi.

Menurut, Ali Khomsan, baik fast food maupun slow food sama-sama memiliki kelebihan dan
kekurangan, "Fast food unggul dalam kemudahan mengelola higiene atau kebersihan. Karena
pengolahan dan penyajiannya yang cepat, fast food cukup higienis. Sebaliknya, slow food berisiko lebih
besar terkontaminasi dibandingkan fast food, terutama pada proses pembuatannya".Tentu ini bisa
diatasi dengan membuat slow food sendiri ketimbang membeli yang sudah matang.

Risiko konsumsi fast food berlebihan. Oleh karena fast food tidak memenuhi kriteria gizi seimbang:
kandungan kalori sangat tinggi, terutama dalam bentuk karbohidrat, lemak dan
protein. Akibatnya, konsumsi yang tinggi akan menyebabkan risiko obesitas semakin tinggi. Dalam
jangka panjang obesitas bisa memicu timbulnya berbagai penyakit, seperti diabetes dan jantung
koroner. Selain itu kadar garam yang tinggi bisa memicu hipertensi (darah tinggi).

Trik menyeimbangkan. Ada beberapa cara menyeimbangkan asupan gizi balita yang gemar makanan
fast food. Apabila Anda dan balita sudah makan siang nasi plus nugget ayam, di rumah Anda bisa
menyediakan sayur bayam atau sup sayuran, tahu-tempe dan jus buah. Usaha menyeimbangkan harus
benar-benar dilakukan orang tua masa kini. Sebab, dengan cara inilah Anda bisa mencegah terjadinya
risiko akibat terlalu banyak makan fast food atau gizi balita jadi tidak seimbang.

Amati juga selera balita Anda. Jika ia kurang begitu suka makan buah potong berilah pilihan jus buah,
yogurt dengan potongan buah atau puding buah. Sajikan makanan dalam bentuk yang menarik dan
dengan komposisi warna yang juga menarik.

Tak perlu dihindari, batasi saja. Menurut para pakar, anak-anak masa kini memang tak bisa dihindarkan
dari fast food. Anda tak perlu panik atau paranoid sampai menyingkirkan fast food sama sekali dari
menu si balita. Paling tidak, balita masih boleh makan fast food satu-dua kali bulan.

Sumber : Anonim. Fast Food Versus Slow Food. https://www.ayahbunda.co.id/balita-gizi-


kesehatan/fast-food-versus-slow-food.
Pada tgl 1 April 2011, setelah peresmian Cultural Field School (CFS), rombongan tamu
menuju lokasi Terang Baru di mana disiapkan acara makan siang untuk para undangan dan
masyarakat, tepatnya di gereja GKII. Ternyata makanan sudah tersedia disajikan dalam
banyak panci dan wadah yang besar di atas empat meja di satu pojok gedung gereja.
Setelah saya melihat dari dekat, baru saya sadar bahwa semua jenis makanan adalah
makanan lokal dan masakan dari bahan asli daerah dataran tinggi Krayan.

Bahkan ada beberapa makanan yang sangat “unik” dan cukup “asing.” Misalnya, ada satu
jenis makanan bentuknya bulat seperti permen besar berwarna hitam dihiasi garis putih.
Terlihat cantik sekali dan menggelitik rasa penasaran saya untuk mencicipinya. Ternyata itu
adalah sejenis jamur yang tumbuh di ladang pada musim tertentu, rasanya sedap dan
teksturnya lembut.

Tidak hanya itu, dalam beragam sajian kuliner siang itu, ada juga nasi putih hitam dan
merah varietas lokal adan Krayan, beberapa jenis bubur (yang disebut dalam bahasa lokal
"biter"), bermacam-macam hidangan olahan daging kerbau, ikan, siput, dan anakan lebah
madu. Selain itu, banyak juga jenis sayuran yang dimasak mulai dari ubud rotan dan palem,
hingga ubi, pakis merah dan hijau, serta tumbuhan hutan lainnya.

Setelah menikmati hidangan yang berlimpah dan lezat itu seraya dimanjakan oleh alunan
suara merdu paduan suara ibu-ibu dari Long Umung, saya merasa bahwa masakan yang
disajikan hari itu sungguh kaya rasa “baru” yang “antik.” Ya, antik karena sajian itu
merupakan masakan masyarakat adat sejak jaman dulu.

Makan siang pada hari itumenjadi suatu pengalaman yang luar biasa penuh “petualangan”
rasa dan kenikmatan tersendiri, sebuah sensasi kuliner asli Krayan yang tentu tidak
mungkin didapat atau dirasakan di tempat lain. Makanan tersebut juga memiliki nilai ektra
karena mengekspresikan kearifan lokal masyarakat adat serta pengetahuannya tentang
memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan tanaman di sekitarnya.

Saya teringat dengan gerakan sosial yang disebut “slow food movement,” sebuah inisiatif di
Eropa (awalnya dari negeri Itali) yang ingin mempertahankan makanan tradisional dari
setiap daerah dan suku etnis di seluruh dunia, menghargai varietas lokal yang hanya bisa
tumbuh di daerah tertentu. Oleh karena dia tumbuh di daerah tertentu, dia punya cita rasa
yang khas berkat air, tanah, benih, cara dan praktek budidaya, dan udaranya.

Slow food ini bukan inisiatif sekedar makanan saja sebenarnya. Nilai paling penting dari
inisiatif ini adalah mepertahankan nilai masakan daerah yang berasal dari sumber daya
alam dan tumbuhan asli daerah, yang diolah dan diproses berdasarkan tradisi
masyarakatnya sendiri. Masakan menjadi ekspresi budaya dan kearifan lokal dalam kaitan
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu masakan tradisional patut
dilestarikan dan dipromosikan, serta dilindungi bahan bakunya dengan pengakuan HKI
(Hak akan Kekayaan Intelektual) dan indikasi geografis (IG).

Nama gerakan “Slow food’ tentu punya sasaran utama juga yakni membendung belenggu
“fast food” (McDonald, Burger King, Kentucky Fried Chicken, dll) yaitu makanan ‘global’
(bukan lokal) di mana nilai bahan dan kearifan tradisional sudah tidak ada lagi, bahkan
kerap kali publik tidak mengetahui dari mana bahan makanan tersebut berasal.

Pengalaman makan siang di Terang Baru menjadi sebuah pengalaman “slow food” di
dataran tinggi Jantung Borneo. Sudah selayaknya masyarakat lokal turut mempromosikan
aspek budaya ini dalam rangka mendorong pengembangan ekowisata di daerahnya. Salah
satu caranya adalah dengan menawarkan menu lokal (local cuisine) kepada wisatawan.
Turis akan terpesona akan rasa segar, unik, dan bumbu alami yang menjadi ciri khas
masakan di kawasan hutan.

Di Indonesia sendiri sudah muncul kesadaran di masyarakat bahwa apa yang kita pilih
sebagai makanan juga berdampak pada lingkungan dan bumi kita. Gaya konsumsi di kota
seperti memilih produk organis dan ramah lingkungan, menghargai masakan tradisional,
mendorong konsumsi produk lokal yang tersedia tanpa perlu diimpor dari jauh dengan
biaya dan karbon sangat tinggi adalah beberapa contoh langkah nyata guna membantu
ekonomi lokal dan kelestarian lingkungan.

Sumber : Eghenter, C. “Slow food”: sensasi kuliner asli sebagai ekspresi gaya hidup, budaya,
dan kearifan tradisional. http://www.wwf.or.id/?25087/Slow-food-sensasi-kuliner-asli-sebagai-
ekspresi-gaya-hidup-budaya-dan-kearifan-tradisional.

Anda mungkin juga menyukai