Anda di halaman 1dari 216

A Novel Based on True Story

Cinta (Kita) Sederhana


Sebuah Manakib Antara Cinta dan Kesederhanaan

Humaidi Syaidil Akbar

Humaidi Syaidil Akbar | i


SANKSI PELANGGARAN PASAL 113
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
penggunaan secarakomersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan atau pidanadenda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hakcipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalampasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
pidanadenda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hakmelakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komesialdipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana
dendapaling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yangdilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10(sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii | Cinta (Kita) Sederhana


Cinta (Kita) Sederhana
Penulis : Humaidi Syaidil Akbar
Design Cover : KMO Indonesia
Editor : KMO Indonesia
ISBN : 978-623-332-185-3
Layout : KMO Indonesia

Diterbitkan oleh :
KMO Indonesia
Jln. Sultan Ageng Tirtayasa Graha Rorocantik
Blok C 18 Talun Cirebon
No.Telp/HP: 082216620246
Email: cvkmoindonesia@gmail.com
Anggota IKAPI Jawa Barat

Cetakan Pertama, Juni 2021


216 halaman; 14 x 20 cm

©Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam
bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
maupun penulis.

“Isi di luar tanggung jawab penerbit dan percetakan.”

Humaidi Syaidil Akbar | iii


Buku ini dipersembahkan untuk Sheilla-ku dan semua pejuang devisa
dalam mengukir cinta. Mohon sisipkan Fatihah sebelum membaca
buku ini, ‘alâ hâdzihinniyyah al-fâtihah.

iv | Cinta (Kita) Sederhana


Kata Pengantar
Alhamdulillâh ‘alâ ni’matillâh wa as-shalâtu wa as-salâmu
‘alâ rasulillâh, wa ba’du. Dengan penuh panjatan syukur atas
nikmat Allah dan cinta akan Rasul-Nya, penulis telah menyele-
saikan catatan kehidupan bertajuk “Cinta (kita) Sederhana”
dengan penuh pengharapan rida dan inayah-Nya.
Setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Ketika seseorang
telah mengembuskan napas terakhir, hanya ada tiga perkara
yang akan terus mengalir untuknya yaitu amal jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan dan anak-anak salih yang mendoakan. Semoga
buku ini merupakan salah satu bentuk amal jariyah tentang
perjalanan pejuang devisa dalam mengukir sayap-sayap cinta
hingga menerbangkannya pada hakikat cinta Ilahi.
Buku ini juga merupakan bentuk kecintaan penulis pada
sosok yang namanya mengisi setiap alinea. Almarhumah
Sheillawati, istri sekaligus ibu dari anak penulis yang sosoknya
sudah terlebih dahulu menghadap Sang pencipta, yang seluruh
lika-liku hidupnya adalah pelajaran berharga yang kemudian kami
susun dalam sebuah manakib. Manakib sendiri diartikan sebagai
cerita atau riwayat hidup meliputi kebaikan-kebaikan serta
perangai yang terpuji dari orang tertentu.

Humaidi Syaidil Akbar | v


Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada tim penerbit
yang dengan wasilahnya buku ini terlahir, Mbak Rafika Aulia
dengan tangan besinya mengaudit tiap part kisah ini, si jagoan—
Heero Zawyl Akbar—yang mampu menahan tangisnya jika ayah
sedang fokus mengetik naskah, dan para kawan-kawan yang
sudah membantu request terbitnya buku ini hingga mengobar-
kan semangat penulis untuk menyusunnya.
Tak lupa juga terima kasih teramat untuk orang tua baik
kandung atau mertua, saudara-saudari baik kandung atau ipar,
Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an beserta seluruh jajarannya, dan
semua pihak yang kehadirannya menyempurnakan dan mengge-
napi kisah kami. Semoga sepenggal manakib ini menjadi wasilah
tercatatnya kebaikan serta bertambahnya ilmu dan wawasan.
Juga sebagai sarana melangitkan doa.

Tangerang, 31 Maret 2021


Penulis

vi | Cinta (Kita) Sederhana


Daftar Isi
Kata Pengantar .......................................................................v
Daftar Isi ................................................................................ vii
Bab 1 Aku dan Cinta ....................................................................1
Bab 2 Like dan Kado Spesial ...................................................... 6
Bab 3 Kau dan Perjuangan ....................................................... 11
Bab 4 Cerita dan Rahasia .......................................................... 17
Bab 5 Takdir dan Jodoh ........................................................... 22
Bab 6 Berubah dan Positif ....................................................... 28
Bab 7 Merdeka dan Proklamasi............................................... 35
Bab 9 Selawat dan Harapan .................................................... 54
Bab 10 Ketetapan dan Istikamah ............................................60
Bab 11 Kriteria dan Pilihan ....................................................... 67
Bab 12 Kurban dan Perkenalan................................................ 79
Bab 13 Restu dan Kejujuran ..................................................... 85
Bab 14 Relung dan Ingin .......................................................... 91
Bab 15 Curhat dan Target ........................................................ 97
Bab 16 Hubhub dan Impian ................................................... 103
Bab 17 Teman dan Relasi ....................................................... 109
Bab 18 Hubungan dan Kepastian ........................................... 116
Bab 19 Pacaran dan Senyuman .............................................. 127
Bab 20 Selingkuh dan Seteru ................................................. 133
Bab 21 Memiliki dan Kehilangan ............................................ 140
Bab 22 Ikhlas dan Pasrah ....................................................... 146

Humaidi Syaidil Akbar | vii


Bab 23 Hidup dan Mati ........................................................... 155
Bab 24 Phobia dan Amnesia .................................................. 166
Bab 25 Rencana dan Keadilan ................................................ 173
Bab 26 As-Samawati dan Al-Ardhi ......................................... 180
Bab 27 Lika dan Liku .............................................................. 190
Bab 28 Sheillawati dan Humaidi ............................................ 196
Bionarasi ............................................................................. 204

viii | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 1
Aku dan Cinta
Ini memang hanya sekadar kutipan kata
Tak seindah kisah Wardah dan Natta
Atau seinspiratif novel Andrea Hirata
Namun, ini adalah kisah nyata
Tentang lahirnya sebuah cinta
***

I ni adalah kisahku memperjuangkan cinta. Sebut saja


“Cinta Sederhana”, cinta yang narasinya orang pan-
dang sebagai suatu hal yang tabu, tetapi aku jalani
dengan cara yang sederhana. Cinta yang tak semua orang dapat
menjalaninya, tetapi aku hadapi dengan cara yang sederhana.
Humaidi Syaidil Akbar. Begitulah namaku tertulis di akta,
ijazah, KTP dan tanda pengenal lainnya. Banyak orang memanggil
dengan nama akhir—Akbar—sebagai nama panggilan, tapi
setelah merantau ke kota orang dan mengajar di sebuah
pesantren, aku lebih sering dipanggil dengan sebutan Humayd.
Sebenarnya apa pun panggilan disematkan sama saja, tetapi aku
lebih menyukai nama Humayd ini karena terdengar lebih keren
dan unik. Sangat jarang nama ini dipakai di lingkungan sekitarku.

Humaidi Syaidil Akbar | 1


Lagi pula, diri ini berharap ‘Akbar’ akan menjadi sebuah marga
yang mengisi akhir dari setiap nama-nama keturunanku kelak.
Aku menyebut diri sendiri sebagai santri abadi. Bukan
karena enggan untuk hengkang dari dunia kepesantrenan, tapi
karena hingga saat menulis catatan ini pun, aku masih berguru
walau kenyataannya bukan menjadi seorang santri secara formal.
Aku berprinsip untuk terus belajar dan mengaji di mana pun kaki
berpijak, bertabaruk atas hafalan Alquran yang semakin lama
rasanya semakin butuh perhatian.
Perjalanan hidup menuntunku sampai pada titik di mana
harus memegang beberapa kegiatan seperti kuliah, mengajar,
dan tentu saja menyerap berkah kepada ulama. Hingga aku
merasa kesibukan ini semakin lama semakin mencekik sampai-
sampai rindu kembali momen pada saat menjadi santri. Aku
memang bukan santri yang tamat belajar dari satu pesantren ke
pesantren lain. Entah mengapa aku hanya bisa bertahan paling
lama satu tahun di setiap pesantren yang pernah disinggahi,
biasanya karena sudah bosan atau dialih-pindahkan. Akan tetapi,
darinya aku belajar bahwa setiap pesantren memiliki karakter,
lingkungan, metode, dan sistem pembelajaran yang bermacam-
macam. Tidak hanya itu, aku jadi bisa memperluas pergaulan dan
memahami tradisi berbagai tempat.
Satu petuah yang pernah aku dapatkan dari seorang ustaz
yakni, “Ilmu sedikit yang diamalkan akan lebih baik daripada ilmu
banyak yang disia-siakan”. Kalimat ini sesekali mengobarkan
kembali api semangat di jiwaku untuk terus berjuang meraih rida
Allah tatkala dirundung futur, walau terkadang semangat itu
menyusut kembali akibat kelelahan yang berkelanjutan. Aku
menganggap ini hal yang biasa, setiap jasad pasti memiliki hati
yang sifatnya berbolak-balik. Kadang semangat, kadang kendor.
Kadang senang, kadang sedih. Kadang futuh dan kadang futur.

2 | Cinta (Kita) Sederhana


Sampai pada suatu ketika aku membaca sebuah kutipan
pada laman media sosial yang berbunyi, “CARA PALING EFEKTIF
UNTUK MELANCARKAN HAFALAN ADALAH MENIKAH”.
Awalnya aku merasa kalimat itu hanya sebuah pembelaan saja
untuk kaum jomlo kesepian, lalu mereka gadaikan hafalan
mereka dengan nafsunya pada wanita, itu tak ada dalam kamus
Humaidi. Aku selalu beranggapan, tak perlu sejauh itu
mengumbar percintaan. Cukup mengaji saja dengan tekun, maka
apa saja yang kita mau—bahkan jodoh sekalipun—pasti Tuhan
berikan. Sebagaimana tertuang juga dalam sebuah hadis qudsi
yang maknanya, “Barang siapa yang disibukkan oleh Alquran
sehingga tidak sempat meminta kepada-Ku, akan Aku berikan
kepadanya sesuatu yang paling baik yang Aku berikan kepada
orang-orang yang meminta, dan keutamaan kalam Allah terhadap
seluruh kalam selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap
seluruh makhluk-Nya.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Thabrani).
Namun, perhatianku kemudian tertuju kepada secarik
artikel yang menjelaskan bahwa untuk dapat mengaktifkan
kembali fungsi otak yang mulai melemah, salah satunya dengan
menyalurkan hasrat kita pada lawan jenis. Itulah yang dilakukan
oleh ulama terdahulu, hingga menciptakan ribuan kitab-kitab
monumental. Benarkah? Setelah membaca itu aku mulai
penasaran apakah benar begitu kenyataannya? Bahkan hal
tersebut sudah termaktub dalam kitab karangan ulama
seperti Qurrat al-‘Uyun, Fath al-Izar, dan kitab berbau kama sutra
lainnya.
***
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, aku sudah menyan-
dang gelar santri dengan belajar di pesantren yang jaraknya tak
jauh dari rumah. Keseharianku lebih banyak dilakukan di
pesantren daripada di rumah. Aku pulang ke rumah hanya untuk
mengganti baju dan makan saja, sisa waktu biasanya habis

Humaidi Syaidil Akbar | 3


dengan mengaji, belajar, bermain, tidur dan mengukir cerita di
pesantren. Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil, di antara-
nya adalah pentingnya mencari keberkahan guru, perbedaan
cara pandang dan pakaian antara santri dengan non-santri serta
haramnya santri untuk pacaran yang kesemuanya ini lambat laun
menjadi identitas hidup.
Lulus dari sekolah, kaki ini tergerak untuk merantau, me-
nyusun satu demi satu pengalaman hidup yang nantinya akan aku
ceritakan kepada anak keturunan. Langkah pertamaku berpijak
di sebuah restoran Italia di daerah Jakarta Utara, Paparon’s
Pizza namanya. Di sana aku belajar bagaimana seseorang dapat
bertahan hidup tanpa bergantung kepada orang tua. Mulai dari
belajar diswashing (mencuci piring), menjadi bartender hingga
menjadi seorang master cook. Rasanya semua mempunyai kesan
yang unik, mungkin di lain kesempatan akan aku tulis kisah
tersendiri satu persatu bait sejarah yang pernah terpijak oleh kaki
ini. Meski bekerja sepanjang hari, aku masih tetap memegang
identitas sebagai santri secara hakiki, minimal salat dan mengaji
tak pernah terlupakan. Jujur saja, selama sekolah sampai bekerja,
aku belum pernah bermain cinta atau biasa orang katakan
‘pacaran’. Pernah dulu ketika sekolah aku berpacaran karena
terpaksa menerima tantangan dari kawan-kawan, itu pun tak
berlangsung lama, karena mungkin kategorinya masih cinta
monyet. Setelah itu aku lebih memfokuskan diri pada karir dan
keluarga.
Mengejar dunia memang bukan menjadi passion utama
bagi seorang santri—terlebih bagi diriku sendiri. Setelah
beberapa tahun bekerja, aku banting lagi setir pada jalan semula,
jalan agama. Mulai dari belajar di sebuah Lembaga Pelatihan
Keterampilan Islami sampai kembali lagi pada suasana pondok
pesantren. Pada titik ini mulai terbukalah wawasan keagama-
anku hingga akhirnya sampai pada kegiatan menghafal Alquran.

4 | Cinta (Kita) Sederhana


Tapi mungkin ini menjadi cobaan sekaligus ujian dari Allah, karena
di fase ini, mataku mulai teralihkan pada perhatian wanita. Ya,
aku mulai membuka hati untuk jatuh cinta. Aku memang tak
memiliki spesifikasi tertentu dalam memilih pasangan. Aku bisa
akrab bahkan dengan kalangan jelata termasuk wanita ‘nakal’
sekalipun, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita
sebagai makhluk sosial untuk berlaku ramah dan cakap kepada
siapa pun—baik laki-laki maupun perempuan, orang baik
ataupun tidak. Akan tetapi, dari sinilah fase nakal terlahir, di balik
sosok seorang santri, aku juga berpacaran dengan siapa pun
tanpa melihat latar belakang sosial maupun keturunan-
nya. Astaghfirullah.
Aku berpikir, apakah boleh seorang santri jatuh cinta?
Apakah wajar jika santri lebih mengutamakan cinta daripada ilmu?
Dan apakah dari percintaan dapat menimbulkan pengaruh positif
bagi pembelajaran dan ibadah seorang santri? Aku membaca
beberapa artikel dan bacaan dalam kitab dan buku, di sana
menjelaskan bahwa memang pacaran tidak diperbolehkan
bahkan diharamkan karena dapat mengarah pada perzinaan
sebagaimana diiungkapkan dalam QS. Al-Isra’: 32 tentang
larangan mendekati zina. Namun, ada kutipan yang membuatku
terenyuh bahwa “Memang syari’at menyatakan bahwa pacaran
itu haram, tapi tak pernah ada larangan pada siapa pun untuk jatuh
cinta.”. Dari sinilah hati ini teralihkan tujuan percintaannya pada
jalan yang benar, cinta yang diungkapkan untuk memberikan
kebahagiaan dan kepastian. Jika akhirnya harus mengalami
kegagalan, paling tidak aku sudah berhasil menjadi ‘Agent Of
Happiness’ untuk mereka yang pernah singgah di hati.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 5


Bab 2
Like dan Kado Spesial

K au mungkin tak sadar, setiap langkah yang kau pijak


adalah gambaran takdirmu. Entah dilakukan dengan
sengaja atau tidak, apa pun yang kau perbuat, Tuhan
sudah terlebih dahulu membuat skenario terbaik dalam kitab-Nya.
Kau yang sekarang adalah jembatan dirimu esok hari. Bukankah
manusia adalah makhluk bodoh yang tak mengetahui takdirnya?
Salah satu cara agar kita mengetahui takdir adalah melihat
perbuatan kita saat ini. Maka lakukan yang terbaik agar buahnya
juga baik.
***
Tahun 2018. Tak terasa sudah dua tahun aku mengalihkan
posisi dari santri menjadi seorang guru di sebuah pesantren
kenamaan di daerah Tangerang—walau sebenarnya diri ini masih
merasa santri. Agak aneh rasanya menjadi seorang guru, tetapi
masih berjiwa santri. Julukan “Ustaz Humayd” masih terasa
sangat mengganggu di telingaku. Aku lebih senang dipanggil
‘kakak’ atau ‘abang’ daripada ustaz, karena tanggung jawab yang
diemban dalam nama itu tak sepadan dengan pencapaian sampai
saat ini.

6 | Cinta (Kita) Sederhana


Oleh karena itu, Ramadan tahun ini aku memutuskan untuk
mengikuti program yang sebenarnya hanya diikuti oleh santri,
yaitu ‘Program Imam Muda’. Pesantren memberikan apresiasi
sekaligus amanah bagi para santri untuk mengamalkan hafalan
dan ilmunya ke kota sampai pedalaman pada bulan Ramadan.
Aku ikut program ini dengan harapan dapat meningkatkan
kembali kualitas hafalan dan ilmu serta menambah pengalaman.
Aku dan beberapa santri ‘Imam Muda’ mendapat bagian tugas di
Bogor—tanah kelahiran—tinggal di sebuah rumah yang unik nan
antik. Di dalamnya banyak sekali barang-barang klasik yang
umurnya sudah tua. Kontrak tugas kami di sana sampai H-7
sebelum lebaran.
Sebagaimana biasanya, setelah murajaah hafalan, aku
mulai mengasah hobi membuat video. Kali ini aku membuat
sebuah video tentang sajak hari ulang tahun karena kebetulan
tak lama lagi ulang tahun si anak laki-laki semata wayang ini akan
segera tiba. Katakan saja ini sebagai kado dariku-untukku. Banyak
hal yang bisa kulakukan di luar waktu wajib, di antaranya
membuat video, lagu, puisi, dan kata-kata motivasi. Lalu hasil
karya ini aku bagikan di beberapa media sosial seperti Facebook,
Instagram dan YouTube. Kebanyakan jika bentuknya sebuah
tulisan, hanya dibagikan di Aplilkasi biru. Tak peduli berapa
pun like dan comment yang bertengger. Aku hanya berpikir
kepuasan hakiki adalah ketika kita bisa menuangkan sebuah hobi
dan dirasakan manfaatnya untuk orang lain.
Video dan kutipan sudah selesai, segera aku unggah
kiriman ini ke laman Facebook dan Youtube. Sekali klik, postingan
selesai.
Namun, agak berbeda, postingan di aplikasi milik Mark
Zuckerberg kali ini sepertinya disenangi oleh seseorang yang
tidak aku kenal. Pada profilnya tertulis nama “Ananda Zayba”,
seorang wanita yang terlihat dari fotonya mengenakan cadar.

Humaidi Syaidil Akbar | 7


Aku tidak yakin apakah itu adalah foto asli atau mungkin salah
satu gambar dari situs pencarian raksasa yang ia ambil untuk
menutupi identitasnya. Aku juga tidak yakin apakah ini akun asli
atau palsu, siapa tahu pemegang akun ini adalah laki-laki atau
paling tidak masih orang dekat.
Ternyata tak hanya like, bahkan ia berkomentar dengan
mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Memang sebelum-
nya aku pernah iseng berkomentar di postingan orang ini dan
sempat mengirimkan Messengger, tapi tak berselang lama
komunikasi itu padam. Wajar saja, karena tujuanku saat itu hanya
ingin tahu apakah dia manusia asli atau bukan. Aku kira dia lupa
padaku. bahkan aku tak sadar sejak kapan dia menjadi salah satu
jajaran teman FB. Setelah kejadian itu, status lampauku menda-
pat ‘boom like’ sampai beberapa postingan terbaru.
Timbul pertanyaan, ada angin apa tiba-tiba seorang wanita
yang tidak aku kenali—terlebih bercadar—muncul di dunia
mayaku dan memberi boom like pada postinganku?
***
Aku mulai tertarik dan kepo pada wanita ini hingga
tertuntun masuk pada laman profil FB miliknya untuk mencari
tahu tentangnya lebih jauh. Ternyata di sana aku hanya
mendapatkan informasi bahwa dia sedang berada di Taiwan dan
tak lama lagi akan pulang untuk menikah. Tak sadar dalam hati
berkata, ‘Ya sudahlah, mungkin bukan jodoh’.
Waktu terus berlalu, aku masih rajin membuat status, tapi
sudah jarang mendapat jempol darinya. Aku melihat beberapa
postingan terakhirnya menunjukkan sebuah cincin dan foto
keluarga, sesekali ia juga posting foto dirinya dengan seorang
laki-laki sedang melakukan video call—tentu saja ia menutupi
wajahnya dengan stiker. Aku hanya tersenyum kecil sambil
bergumam dalam hati, ‘Bagaimanapun, ketika seseorang sudah

8 | Cinta (Kita) Sederhana


menemukan kebahagiaan, siapa saja yang melihatnya pasti akan
ikut merasa bahagia.’
Bulan Juni. Muncul notifikasi dari Facebook, Ananda Zayba
Berulang Tahun Hari Ini. Ada kebimbangan dalam hati apakah
pantas jika aku mengucapkan selamat ulang tahun pada wanita
yang akan menikah? Apa akan terjadi hal yang tak diinginkan jika
ada pesan dari laki-laki masuk kronologinya? Pertanyaan dengan
nada sama satu persatu masuk ke kepalaku. Akan tetapi apa
salahnya jika aku cek dulu kronologinya, ternyata di sana sudah
ada beberapa orang mendahului mengucapkan selamat padanya,
baik dari laki-laki juga perempuan. Tak banyak berpikir, aku ikut
gabung saja mengucapkan selamat ulang tahun sembari
menambah doa,
[Wilujeung tepang taun,1 ya, Teteh. Semoga lancar sampai
tujuan.] Tanpa berharap balasan, kututup aplikasi.
Kling
Sekitar satu jam kemudian terdengar bunyi dari gawai pipih,
kulihat ada notifikasi dari aplikasi biru masuk. “Ananda Zayba
Mengirimi Anda Pesan”.
What?! Sepertinya ucapan selamat ulang tahun dariku ia
balas melalui Messenger. Kemudian aku buka notifikasi dan benar
saja, ia menulis,
[Énggal mayunan.]2
Dia mungkin menganggap ucapan selamat dariku ini
sekaligus mengiringi perjalanannya agar sampai pernikahan
dengan lancar. Mulai dari sini timbul percakapan.

1 Selamat Ulang Tahun


2 Silahkan duluan.

Humaidi Syaidil Akbar | 9


[Saya masih dua puluh, silakan kakak duluan, yang
masih kecil nyusul,] tandasnya sembari menempel-
kan emotikon senyum.
[Masa? Saya kira sudah dua tiga, lihat di profilnya,] balasku
tak percaya.
[Benarkah? Saya juga baru engeuh 3 soalnya bukan
saya yang buat akunnya,] jelasnya mengklarifikasi
pertanyaanku. Aku tak menyangka kalau wanita ini
masih muda sekali, bahkan jauh dibandingkan diriku
yang sudah berumur dua puluh enam tahun.
[Disave aja nomor WA saya kalau mau ngundang.] Aku
mencoba memancing perkara, tak lupa ekpresi senyum
lebar tersemat di dalamnya.
[Ngundang apa?] tanya pemilik akun Ananda Zayba
ini.
[Ngundang apa aja, deh. Sunatan, ulang tahun, atau apa aja
boleh, he he,] jawabku dikemas canda.
[He he, ok,] balasnya singkat.
Sejak saat itu, aku memulai obrolan dengannya melalui
aplikasi hijau. Banyak informasi darinya yang tidak kudapatkan
di Facebook yang secara cuma-cuma ia beritahukan. Obrolan
sederhana itu seolah menjadi episode baru dalam hidupku.
Episode yang memberiku warna lain tentang kehidupan. Episode
yang mengantarkanku pada cinta sederhana. Ini juga menjadi
kado bagi kami. Kado yang takkan lekang dimakan panas atau
lapuk diguyur hujan. Dan tentu saja, awal di mana kado-kado
selanjutnya terlahir.

3 sadar

10 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 3
Kau dan Perjuangan

S ebelumnya kita akan ulas kembali, bahwa aku adalah


tipikal orang yang terbuka dalam pergaulan. Aku tak
pernah membatasi dengan siapa pun harus bergaul,
berkomunikasi, dan berteman. Selama tak merugikan dan dapat
memberikan hal yang positif untuk orang lain, tak ada salahnya
bersikap welcome, kendatipun pada orang tak kita kenal. Adapun
sikap empati kepada wanita yang mendatangiku saat ini adalah
sikap seorang yang ingin menambah teman dan pengalaman
sebanyak-banyaknya. Bukan untuk digoda atau dilecehkan ke-
hormatannya.
Sejak pertama kali mengobrol di aplikasi hijau beberapa
waktu lalu, aku dapat menyimpulkan sedikit informasi tentang
wanita ini. Nama aslinya Shellawati. Ya, Hanya Shellawati. Tak ada
penambahan atau pengurangan pada namanya. Awalnya ketika
lahir, ia diberi nama Shellawati Cucu Indah, tetapi tak lama
kemudian ia menderita sakit yang cukup serius. Mungkin karena
ingin membuang sial, orang tuanya menanggalkan dua kata
paling belakang pada namanya. Ini adalah hal yang wajar
dilakukan oleh orang-orang kampung yang notabene berpikiran

Humaidi Syaidil Akbar | 11


kolot. Walaupun entah dari mana asalnya, tapi solusi seperti ini
kerap dijadikan tradisi.
Nama Ananda Zayba yang terpampang di laman media
sosialnya itu adalah nama samaran atau sebut saja nama pena.
Ananda diambil dari nama adiknya sendiri yaitu Ananda Arsheela
dan Zayba adalah nama sebuah geng yang disepakati dari teman-
temannya di sana, entah mereka mengambil nama itu dari bahasa
mana, katanya, sih, artinya cantik.
Wanita ini kelahiran Pamanukan, Subang. Merupakan anak
pertama dari empat bersaudara. Ia Terbang ke Taiwan mening-
galkan Indonesia sejak umur enam belas sampai di umurnya yang
kedua puluh ini karena alasan ekonomi. Genap empat tahun
sudah ia berjuang di tanah rantau dan rencananya bulan lima
nanti ia akan pulang ke tanah air untuk alasan cuti.
Baru beberapa bulan ini ia tinggal di Pulau Penghu—
sebuah pulau kecil yang terpisah dari Taiwan tetapi masih
termasuk Republik Tiongkok—setelah sebelumnya menetap di
Kota Taichung, bersama keluarga kecil yang sudah ia anggap
seperti keluarga sendiri. Tugasnya di sana mengurusi sepasang
kakek-nenek yang sudah renta, tapi belum lama ini sang kakek
meninggal karena sebuah penyakit. Akhirnya hanya ada dua
orang dalam rumah tersebut, Shella dan nenek. Tiga anak nenek,
semuanya sudah memiliki kehidupan masing-masing. Lain hal
dengan tradisi di Indonesia, orang tua di Taiwan harus
menghadapi getirnya kesendirian. Anak perempuan di sana wajib
ikut keluarga suami dan menjadi tamu di keluarganya sendiri,
sementara anak laki-laki yang memegang hak kepengurusan
orang tua tak memiliki banyak waktu karena diikat kesibukan
juga mengurus pekerjaan dan anak-istrinya. Akhirnya, banyak
orang tua yang dialih-pindahkan ke panti jompo atau paling tidak
ditinggalkan bersama para caregiver dari negara lain.

12 | Cinta (Kita) Sederhana


Di sisi lain, Shella juga termasuk seorang aktivis hijrah.
Banyak kegiatan keagamaan ia ikuti seperti kajian ilmu, majlis
zikir dan bakti sosial. Ternyata para TKI di Taiwan memiliki
harmonisasi keagamaan yang baik. Beberapa dari ormas islam
berdiri tegak di sana. Mereka sering mengadakan meet up tatkala
waktu libur kerja dan membuat acara yang bermanfaat untuk
mengisi libur tersebut. Sempat selama beberapa bulan Shella
melanjutkan pendidikan formalnya di tanah asing tersebut,
tetapi itu harus terhenti karena perpindahannya ke Penghu
menghambat semua aktivitasnya.
Alasan Shella selalu memberikan like di setiap postinganku
akhir-akhir ini adalah karena ia tertarik dengan kata-kata motivasi
yang aku tulis. Wanita bercadar ini sempat merasa penasaran
bagaimana caranya membuat video yang menarik seperti yang
aku sering upload di media sosial. Pernah beberapa kali ia
tanyakan rasa penasarannya itu pada teman sejawatnya tapi
jawaban yang ia dapat malah membuatnya semakin pusing.
Meski mendapatkan keluarga dan teman-teman yang baik
di sana, tetapi beban mental harus ia hadapi seorang diri. Banyak
hal yang telah ia alami selama empat tahun perjalanannya di
Taiwan. Jatuh-bangun perjuangannya seorang diri mengantar-
kan wanita berumur dua puluh ini sampai pada titik di mana harus
meruntuhkan segala harapan pada manusia. Bagi Shella, manusia
bisa sukses membuat janji hanya sebatas mulut saja, selebihnya
tak dapat dipegang seratus persen. Hingga akhirnya ia
membulatkan keputusan untuk menutup wajah dengan cadar
dan berpakaian serba hitam dan gelap. Aku yang mendengar
penegasannya ini sempat bergeming, ada ciptaan Allah di muka
bumi ini yang rela hilang dari pandangan demi terang di akhir
zaman.
Namun, agak sedikit aneh, setiap aku lontarkan pertanya-
an tentang calon yang tempo hari terekspos di laman Facebook-

Humaidi Syaidil Akbar | 13


nya, mendadak ia mengganti topik pembicaraan. Padahal, aku
bertanya karena tak ingin komunikasi antara kami tidak
mendapatkan izin dari calonnya. Entah apa yang membuatnya
mengalihkan pembicaraan itu, setiap kucoba pojokkan lagi
dengan pertanyaan yang serupa, dia malah menjawab,
“Jodohnya sedang OTW”. Hm … Positive thinking saja mungkin
maksudnya on the way menuju ke pelaminan yang tak lama lagi
mereka laksanakan.
***
Walau cukup banyak informasi yang kudapat, komunikasi
kami tidak terlalu sering terjadi, bahkan bisa dibilang jarang sekali.
Terkadang kami hanya saling mengomentari status
atau story yang kami buat satu sama lain, itu pun tidak menjadi
perbincangan panjang, mungkin karena di satu sisi aku sibuk
dengan pekerjaanku di pesantren, sisi lain aku menganggap
kurang layak—kiranya—jika aku berkomunikasi terlalu intens
dengan orang yang tak lama lagi akan menikah. Sampai suatu
hari ia bertanya padaku bagaimana tata cara Salat Istikharah.
[Untuk apa?] Aku mulai perbincangan.
[Istikharahin jodoh,] singkatnya.
[Ouhh.] Tapi sebentar, aku menemukan kejanggalan dari
jawabannya. Aku coba menimpali lagi dengan pertanyaan
lain.
[Istikharah itu, kan, biasanya dilakuin kalo ada dua
pilihan. Ini, mah, milih apa lagi?]
[Ha ha ha.] Sepertinya ia sudah tidak bisa mengelak lagi
dari pertanyaanku satu ini.
[Ada kebimbangan dari pihak sananya,] ketiknya
menjawab pertanyaanku.

14 | Cinta (Kita) Sederhana


[Bimbang itu biasa, kok, dalam pernikahan. Dijalani positif
aja. Tak perlu pake istikharah.] Aku mencoba
mendinginkan suasana.
[Pihak sana gak mau menunggu sampe dua ribu dua
puluh. Dan mereka sempat ada trauma dengan
mantan yang dulu sudah tujuh tahun hubungan,
ketika dua bulan mau menikah malah gagal,]
jelasnya lagi.
[Bukannya sebentar lagi pulang, ya?]
[Cuti doang. Untuk nikah, Teteh juga masih ada
pertimbangan tanggungan yang lebih besar.]
Setelah membaca kalimatnya tersebut, jariku kaku untuk
membalas. Di kepalaku hanya terpikir apa ada hubungannya
dengan komunikasi antara kami akhir-akhir ini? Apa secara tidak
sadar aku sudah menjadi penghancur hubungan orang? Aku coba
menghilangkan pikiran itu dan menghiburnya.
[Pasti selalu ada lika-liku, khususnya dalam hal pernikahan
setiap orang.] Aku menambahkan lagi.
[Pesan aku mah, jangan fokus 'dengan siapa kita
menikah'. Karena kalo kita terlalu keukeuh 4 sama
satu orang, ketika dia tidak sesuai harapan, nantinya
jadi kecewa. Tapi fokuskan 'bagaimana nantinya kita
akan menikah'. Maksudnya dengan siapa pun kita
nikah, kalau niat kita ibadah karena Allah insyaAllah
akan dimudahkan menuju pernikahan dengan orang
baik yang Allah pilih buat kita. Memang ketika kita
menikah, bukan hanya aku atau dia yang ada di
dalamnya, tapi kita dan mereka—dua keluarga—
yang menikah. Menyatukan dua keluarga memang

4 Keras kepala

Humaidi Syaidil Akbar | 15


penuh perjuangan. Tapi yakin saja semakin ditempa,
kita akan semakin kuat.]
Wanita ini juga mencoba menghibur dirinya dengan
anggapan masih harus banyak belajar lalu memutuskan untuk
fokus memperbaiki diri dan berjalan sesuai skenario Allah.
Obrolan kami berakhir, tapi isi kepalaku semakin berputar-
putar. Kadang merasa menyesal sekaligus penasaran, kadang
kasihan, kadang juga merasa harus bertanggung jawab.
***
“Allah tidak akan memberikan ‘satu ditambah satu’ untuk
menjadi ‘dua’, karena jawabannya hanya satu kemungkinan saja.
Tapi Allah akan memberi ‘dua’ untuk menjadi ‘satu ditambah satu’,
‘tiga dikurangi satu’, ‘dua dikali atau dibagi satu’, karena akan
banyak kemungkinan di dalamnya.”

16 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 4
Cerita dan Rahasia
Lewati saja hari walaupun dengan secangkir senyum
Tanpa terasa aroma pertemuanmu akan semakin tercium
***

B ulan Juli. Tak terasa sudah dua bulan sejak pertama


kali berkomunikasi dengan Shella atau lebih sering
kupanggil ‘teteh’. Biasanya aku memanggil orang
yang layak dihormati dengan sebutan teteh atau mbak—
walaupun terpaut umur yang jauh di bawahku. Bagiku itu sebagai
bentuk kesopanan, terlebih karena memang sudah dididik
demikian oleh orang tua sejak dulu. Ia pun memanggilku dengan
panggilan ‘aa’, wajar saja karena aku memang lebih tua, apalagi
karena kami sama-sama dari Suku Sunda.
O iya, sebelum mengakhiri obrolan kemarin, Shella ingin
aku mendengarkan cerita darinya yang tak pernah diceritakan
pada orang lain sebelumnya. Namun, ia memintaku untuk
menunggu sampai hatinya siap untuk terbuka karena ia merasa
butuh kesiapan batin untuk menceritakan itu kepada orang lain.
Aku bertanya, ‘kenapa harus aku?’ Apa dia tidak takut kalau nanti
cerita itu akan tersebar dari mulut penuh dosa ini? Ia menjawab

Humaidi Syaidil Akbar | 17


dengan mantap, “InsyaAllah Teteh percaya, Aa adalah orang
yang amanah dapat dipercaya menjaga rahasia.”
Memang, selama ini aku tak pernah menahan orang-orang
untuk menumpahkan cerita atau curhatnya padaku. Aku sudah
banyak menerima bermacam-macam cerita tentang kehidupan
orang lain yang dari situ pula aku bisa belajar bagaimana
menghadapinya. Aku bisa menjamin, mereka tak perlu khawatir
curhatannya akan bocor. Selama aku bisa memberikan solusi dan
kontribusi positif bagi mereka sampai mereka merasa tenang
dengan itu bagiku sudah cukup menyenangkan.
***
Selesai mengerjakan laporan sore ini, aku beristirahat
sejenak sembari menikmati secangkir susu. Kubuka gawai pipih
dan melihat notifikasi baru di Aplikasi berlogo telepon. Kaget
bukan kepalang! Ada status yang tak biasanya. ‘Darah mengucur
di tangan’ ada di status si teteh! Shella sedang terluka! Seketika
aku balas dan menanyakan keadaannya.
[kepalang, A,] sahutnya.
[Astaghfirullah. Please, Teh. Cepet obatin lukanya. Jangan
sampai infeksi!] titahku pada gadis Subang ini. Untuk lebih
menyadarkannya, aku kirimkan ayat larangan menyakiti
diri.
[“… Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke
dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat
baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik." (Al-Baqarah: 195).] Ia hanya memba-
las dengan emoji menangis.
***
Satu jam kemudian, akhirnya dia mau membuka suara. Ini
pertama kalinya aku mendengar suaranya dari voice note. Lem-

18 | Cinta (Kita) Sederhana


but dan agak sedikit parau, wajar saja karena ia curhat dengan
hati tertekan.
Aku dengarkan satu demi satu deretan pesan suara yang
setiap pesannya berdurasi cukup panjang. Setelah selesai
mengkhatamkan semua pesan, aku memiliki kesimpulan bahwa
gadis muda ini benar-benar memiliki ujian hidup yang berat. Aku
tak tahu apakah bisa sekuat itu jika berada dalam posisinya.
Masalah yang diceritakannya ini adalah hal yang baginya sangat
sensitif, yakni keluarga. Aku yakin dengan keadaannya saat ini, ia
hanya butuh tempat berteduh dari derasnya badai yang
mengguyur sanubarinya. Ketika keluarga—satu-satunya tempat
berteduh itu—ikut terkoyak, ia bak bunga yang hanya bertahan
dengan satu tangkai saja, yaitu kesabaran. Tinggal menunggu
waktu, kapan tangkai itu hancur dari terpaan badai.
[Jujur, Teteh nyesek ceritainnya. Teteh bingung apa yang
harus Teteh lakuin, sementara posisi Teteh jauh. Ditambah
di sini juga banyak masalah kerjaan, jadi gak ada beres.
Makanya Teteh minta masukan ke Aa bagaimana baiknya.
Sekarang kalau menelpon keluarga gak pernah diangkat,
kadang malah direject,] keluhnya dalam pesan singkat.
Sejenak menahan napas, aku berpikir, 'Pantaskah seorang
anak wanita menerima cobaan sebesar ini?' Aku paham, jika saja
mampu, ia sangat ingin pulang ke Indonesia dan menyelesaikan
semua masalah walau seorang sendiri. Aku yang bertahun-tahun
hidup di tanah perantauan saja tak pernah merasakan sensasi
seberat ini. Salut, jika sampai saat ini ia masih bisa tegar dan tetap
berdiri. Aku mencoba memberikan masukan dengan sangat hati-
hati.
[Ya Allah ... sabar, ya, Teh. InsyaAllah di tengah kesulitan ini
Allah sertakan kemudahan dan kebaikan.] Tak lupa kukutip
ayat Alquran sebagai motivasi.

Humaidi Syaidil Akbar | 19


[Fa inna ma'al ‘usri yusrâ. Inna ma'al ‘usri yusrâ. Pada satu
kesulitan ada dua kemudahan. Untuk masalah kerjaan, Aa
percaya pasti Teteh kuat dan sabar menghadapinya, karna
Aa yakin lamanya Teteh di sana membuktikan bahwa Teteh
sudah menguasai medannya. Seberat apa pun masalahnya,
yang penting usaha & ushalli tetep dijaga.] Sebenarnya
petuah ini kudapatkan dari ibu. Semoga bermanfaat juga
untuk meringankan bebannya.
[Untuk masalah di rumah, memang sulit kalau kita
gak ada di sana, ngerasa gak bisa berbuat apa-apa.
Tapi bukan berarti kita diam, ‘kan? Kita tetap
berusaha menampilkan kebaikan, bertutur kata
bagus pada orang tua dan keluarga apa pun masalah
yang mereka alami. Jadilah anak yang bisa menerima
keluh kesah mereka sekaligus menjadi alternatif
kasih sayang mereka. Tunjukkan bahwa Teteh masih
mengharapkan kerukunan dan kedamaian keluarga
di rumah.]
[Bicarakan semua dengan lembut, kehidupan dalam rumah
tangga itu penuh dengan uji dari Allah. Kuatin semuanya
agar bisa menjalani ujian ini dengan baik. Allah gak akan
menguji seorang hamba, di luar batas kemampuannya.
InsyaAllah,] paparku.
Tak banyak kata yang ia ucapkan, hanya emotikon mena-
ngis yang aku terima. Aku melanjutkan khotbah.
[Sedih boleh, tapi kalau nangis terus tak akan menye-
lesaikan masalah. Adukan segalanya pada Allah. Allah
sebaik tempat kembali dan Ia takkan pernah ingkar janji]
[Ingat. Nabi Nuh saja dakwah beratus tahun, tapi tak
pernah menyerah. Nabi Ibrahim berdoa baru dika-bulkan
berabad-abad kemudian. Itu pelajaran buat kita. Berusaha

20 | Cinta (Kita) Sederhana


sekuat mungkin, hasilnya serahkan pada Allah.] Mungkin
motivasi ini tak seberapa dibandingkan dengan apa yang ia
rasakan, tapi aku berharap ini bisa membuatnya lebih
tenang.
[Walau Teteh curhat sama Aa, tapi Aa juga akan arahin
Teteh buat curhat ke Allah. Semangat terus, Aa di belakang
Teteh selalu ngedukung!] Aku menutup khotbah.
[Aa di depan, dong. ‘Kan, cowok. Teteh baru di
belakang] Ia menimpaliku dengan canda. Sepertinya
sedikit nasihat ini membuat keadaannya lebih baik.
[Biar si ‘dia’ aja deh yang di depan Teteh.] Aku membalas
candaanya.
[Nah, ini satu lagi masalah. Cuma Teteh gak mau
cerita, maaf, ya, wk wk wk.]
Aku mengerti, tak ada seorang pun yang ingin masalah
pribadinya diketahui orang lain, kecuali orang itu percaya dan
dapat dipercaya. Semua pengakuannya hari ini adalah bukti
bahwa aku adalah orang yang dapat dipegang janjinya, maka ia
pun tak segan untuk menceritakannya padaku. Aku juga tak
boleh mengingkari kepercayaan itu. Namun, untuk masalah
jodoh ini memang misteri. Ia tak ingin aku masuk lebih jauh ke
dalam satu sisi kehidupannya ini. Tak apa, lagi pula aku takut hal-
hal yang tidak diinginkan terjadi jika ikut campur lebih dari ini.
Semoga kita selalu terhindar dari bahaya fitnah. Fa tawaffanâ
ghayra maftûn, Matikan kami tanpa terjangkit fitnah.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 21


Bab 5
Takdir dan Jodoh

“T
ahukah engkau, bahwa takdir dan jodoh—
keduanya—sebenarnya telah ditakdirkan untuk
berjodoh, begitulah mereka tertulis. Akan tetapi,
takdir memilih jodoh lainnya yaitu umur, rezeki, dan kematian. Di
sisi lain, jodoh pun ditakdirkan dengan umur kapan mereka
bertemu, rezeki kapan mereka saling menggenggam, dan kematian
kapan mereka bersua. Pada akhirnya, jodoh tetap akan berjodoh
dengan ia yang ditakdirkan, yaitu takdir.”
Setelah kejadian kemarin, seketika aku seperti menjadi
penasehat baginya. Dan entah mengapa ada dorongan hati
untuk memperhatikan setiap gerak-geriknya. Rasanya aku takut
jika sewaktu-waktu lengah, ia mencoba melakukan hal-hal yang
tak diinginkan lagi.
[Sudah baikan, Teh?]
[Alhamdulillah. Makasih, ya, motivasinya kemarin.]
Aku menghela napas—bersyukur, setidaknya bisa
mengembalikan lagi sedikit gairah hidup untuk wanita ini.
[Masih nyesek sebenarnya, he he,] timpalnya.

22 | Cinta (Kita) Sederhana


[Udah atuh. Makanya jangan nangis wae, sisain air matanya
buat lebaran.] Seperti biasa. Bumbu-bumbu jenaka harus
selalu aku mainkan demi mempertahankan senyumnya.
[Lebaran masih lama.] Ia mulai terbiasa mengikuti
gaya humorku.
[Biarin. Kan, nabung buat lebaran, he.]
[O iya, lebaran nanti main, ya, ke Subang, Teteh
masakin masakan Taiwan buat Aa.] Aku sedikit
tersipu. Secara tidak langsung wanita ini
mengundangku ke rumahnya, tapi ….
[Emang bisa pulang, ya?]
[Bisa, A. Tahun kemarin juga sempet pulang. Tapi
cuma dapat dua belas hari saja. Ya, hitung-hitung
pengobat rindu, tapi, ya, gak puas.]
[Gak apa-apa, yang namanya obat kalo cuma dimakan
sekali redanya paling sebentar, tapi kalo udah doyan sama
obat malah bisa kecanduan. Sedang aja, yang penting
pernah terobati, ‘kan.]
Aku senang, ia mencoba menyesuaikan suasana hatinya
agar tak terlihat sedih dalam obrlolan. Walau aku tahu, batinnya
pasti masih merasa sakit. Ajakannya untuk silaturahmi membuka
kesempatan untuk mengganti topik yang sebenarnya ingin aku
ketahui sejak kemarin-kemarin.
[Afwan, Teh. kalau lebaran nanti Aa main ke Subang, apa
enggak keberatan sama si calonnya?]
[Ha ha. Gak apa-apa atuh A. wong saya gak jadi nikah.]
Aku terhenti mengetik pesan. Satu lagi hal yang tidak
disangka terjadi. Aku semakin merasa bersalah pada dirinya.
Sepertinya diri ini sudah bukan lagi seorang penasehat, melain-

Humaidi Syaidil Akbar | 23


kan hanya sebagai PHO (Penghancur Hubungan Orang lain).
Memang sebelumnya ia pernah bercerita bahwa pihak si lelaki
merasa keberatan perihal penantian sampai dua tahun
mendatang, tapi aku kira ini akan berakhir dengan adanya titik
temu yang baik, bukan malah berujung pembatalan.
[Gak jadi?! Maaf, Aa gak tau,] ketikku memelas.
[Panjang ceritanya. Tapi, ya, sudahlah, sekarang mah
pengen fokus dulu aja sama kerjaan. Tinggal dua
tahun lagi.] serunya meyakinkan.
[Dua tahun itu fix mau pulang?]
[Iya, A. Karena di sini selesai kontrak tahun dua ribu
dua puluh. Tapi terserah kita, sih, mau putus kontrak
atau enggak juga gak apa-apa, semisal ada halangan
atau urusan yang mendesak. Tidak harus
memberatkan,] jelasnya.
[Kalau menurut Aa, sih, enaknya pulang dulu. Nanti ketika
cuti, nikah sama calonnya Teteh. Setelah itu lanjut lagi
kontraknya sambil berangkat bareng suami.] Aku mencoba
menawarkan solusi.
[Konsekuensinya si suami harus ada paspor kerja di
sini. Kalau paspornya cuma turis gak bisa lama. Nah,
dia gak mau kerja di luar negeri karena beberapa
alasan,] sergahnya.
[Oh, begitu.] Aku tak dapat membantah apa pun.
[Aa sendiri kapan mau nikah?] Tak ingin kalah, ia
menanyaiku juga perihal jodoh.
[Eh, sebenarnya, sih, nunggu selesai kuliah, kira-kira dua
tahun lagi,] jawabku singkat.
[Nah, sama, dong? Jangan-jangan ….]

24 | Cinta (Kita) Sederhana


Ia menyadari sesuatu. Kita sama-sama punya tenggat
waktu dua tahun untuk melangkah pada rencana selanjutnya,
yaitu menikah. Aku terkaget, sama sekali tak ada niat mencocok-
cocokkan apalagi sok berjodoh. Kugaruk kepala walau tak
merasa gatal, bersikap tengah salah tingkah.
Dalam hati berkata, ‘Sebenarnya kapan pun aku siap untuk
menikah’. Tapi karena sadar diri mempunyai beban yang tak kalah
pentingnya dengan yang wanita ini emban, maka terpaksa
kukatakan demikian. Lagipula, mau dua tahun atau tidak, ketika
Allah sudah menunjukkan tanda kebesaran-Nya, pasti akan
dimudahkan.
***
Ping!
Suatu pagi si teteh memberikan sinyal untuk mengajak
chatting. Sepertinya ia sudah mulai terbiasa untuk membuka
percakapan denganku yang notabene bukan siapa-siapa.
Terlebih aku adalah laki-laki bukan mahromnya.
[Iya, gimana, Teh?]
[Gak apa-apa, curhat dikit boleh, ya?]
[Iya, silahkan.] Aku selalu semangat jika ada yang
mengadukan curahan hati. Walaupun aku sendiri tak dapat
memastikan apakah bisa memberikan kontribusi terbaik.
[Teteh ditawarin tambah kontrak, A. Seneng, sih.
Tapi aslinya pengen pulang. Pengen buka usaha baju
syar’i sama barang-barang yang semacam madu gitu.
Tapi bingung] jelasnya.
[Atuh baru ditawarin, ‘kan? Dipikirin dulu aja sebelum
dijawab,] jawabku.

Humaidi Syaidil Akbar | 25


[Iya, sih, baru ditawarin, makanya minta pendapat
Aa dulu.] Entah sejak kapan wanita Subang ini
menjadikanku sebagai sumber referensinya. Aku
tergelitik saat membaca pesan ini, tapi di sisi lain
merasa sadar diri untuk tidak terlalu tenggelam.
[Teteh maunya gimana?]
[Maunya, sih, pulang. Jalanin usaha, istikamah di
rumah. Nikah deh, ha ha. Itu juga kalau ada yang
mau.] Lihatlah! Obrolan ini semakin lama semakin
berbahaya. Aku harus mencari celah untuk
menghindar.
[Kalau sudah sukses pasti banyaklah yang mau.]
[Belum ada yang bisa diajak kerja sama kalau buka
usaha sekarang, karna Mamah sibuk terus, siapa
tahu kalau di rumah sama pasangan, kan, enak, he
he.]
[Ya sudah, kalau kebelet mah pulang aja. Sebelum nikah,
kan, bisa bantu Ibu, bagus tuh buka usaha bisnis online.
Jadi gak ninggalin beliau sebelum nikah, lagian Aa mah
yakin, gak lama Teteh pulang pasti ada yang datang ke
rumah, he he.] Aku harap, alasan ini bisa mengeluarkanku
dari zona merah. O iya, sambil chattingan, aku segarkan
jasad ini dengan menyicip sedikit demi sedikit susu racikan
khas keluarga. Kenapa bukan kopi? Jelas saja, aku bukan
termasuk jajaran pembual filosofi biji, karena susu lebih
mendamaikan.
[Teteh boleh tanya? Aa udah ada calon istri?]
Susu yang sedang kuseruput seketika berham-
buran memenuhi selingkar wajah saking
kagetnya. Pertanyaan macam apa lagi ini?

26 | Cinta (Kita) Sederhana


[Belum, Teh. Kenapa? Emangnya mau nyariin? He he]
Guyonan basi kulontarkan demi menyelamatkan diri dari
ancaman.
[Gimana mau nyariin, Teteh juga minta dicariin. Ha
ha.] Sudah, aku taruh gelasku di meja dan berhenti
minum. Pembahasan ini sudah terlalu jauh, harus
diselesaikan dengan sekali serang.
[Aa, sih, sebenarnya lagi puasa dulu nyari jodoh, nanti kalau
udah lulus kuliah mungkin baru kepikiran. Kalau sekarang,
susah nyari waktu juga karena super sibuk,] jawabku
mantap.
[Begitu, ya.]
Hening. Tak ada jawaban lain. Wanita ini meredup. Aku
berhasil membungkam mulut ukhti ini. Paling tidak, ia akan
berhenti menanyakan hal ini untuk ke sekian kalinya. Tapi,
kenapa pada saat yang sama hatiku berontak? Apakah ada yang
salah? Ayolah hati, dia bukan jodohmu. Kau hanya sejumput
kompos yang membantu tanaman lebih subur. Sadarkan ia agar
tidak putus asa memperjuangkan cinta yang hampir sempurna
dalam liku hidupnya. Setelah ia berhasil melewati gerbang
pernikahan menjemput sang pangeran, tugasmu segera berakhir.
Bersabarlah hati.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 27


Bab 6
Berubah dan Positif

K au takkan pernah bisa menerka kapan cinta datang


menyemaikan hati. Kau akan merasa ada yang ber-
beda tatkala cinta tiba-tiba sudah menguasai. Cinta
tak memerlukan izin untuk bertamu, ia akan datang tepat saat kau
menancapkan kata ‘ingin bertemu’.
Aku memang pernah bilang tak ingin tenggelam terlalu
dalam pada sosok wanita yang kini sedang membutuhkan arahan
ini. Pada kenyataannya kami sudah seperti menguasai individu
masing-masing dengan seringnya bertukar informasi yang
hampir setiap hari, baik mengenai keluarga, pekerjaan, kesibukan,
dan hal lainnya. Dan disadari atau tidak, posisi ini kian menekanku
untuk terus larut masuk ke dalam kehidupan seseorang yang
kenal saja baru beberapa waktu terakhir ini. Apa yang harus
kulakukan jika hal yang tak diinginkan terjadi? Blokir? Tidak!
Hanya orang jahat yang memutuskan silaturahmi dengan jalan
blokir. Mungkin hanya tawakal saja tamengku saat ini.
Profesional sebagai Agent of Happines, tapi tetap tahu diri.
[Kalau cewek ungkapin rasa ke cowok, itu salah
nggak, A?] Suatu hari Shella membuka obrolan

28 | Cinta (Kita) Sederhana


dengan pertanyaan berat. Aku berpikir sejenak,
kemudian menjawab.
[Mmm ... nggak juga. Tugas lelaki, kan, milih, dan wanita itu
dipilih. Tapi bukan berarti wanita gak bisa mengajukan
permintaan, dari pengajuan wanita itu bisa jadi referensi
buat lelaki memilih. Jangankan mengajukan, menggugat
saja boleh. Kan, dalam Alquran ada surat yang
menceritakan tentang wanita yang menggugat (Al-
Mujadalah).]
[Iya iya, paham.]
Begitulah, aku mencoba tak menggeser posisi sebagai
sumber rujukan. Akan tetapi, banyak jawaban atau tanggapan
darinya yang seakan memojokkanku untuk keluar dari zona itu.
Aku merasa ia ingin hati ini membukakan tabir yang sampai saat
ini masih menjadi misteri baginya. Tentang bagaimana
perasaanku atas kehadiran dirinya saat ini.
Dari obrolan berat sampai obrolan ringan, sudah menjadi
konsumsi pribadi bagi kami. Aku kerap diperkenalkan suasana di
langit Taiwan seperti makanan khas, hari-hari besar, sampai
watak penduduknya yang sangat kontras dengan orang-orang
Indonesia. Begitu pun denganku, banyak hal yang ia baru tahu
terkait suasana kepesantrenan. Bagaimana suka-duka menjalani
hidup dalam penjara suci, bahkan ia sempat menagih ilmu yang
melekat dalam otakku agar ditularkan padanya suatu hari nanti.
Aku menyebut ini titik balik untuk sosok wanita yang
sempat runtuh dengan harapannya. Entah mengapa tanggung
jawab yang sebenarnya tidak mengikat ini malah terus kupegang
erat. Selain pekerjaanku sebagai sekretaris tahfizh di pesantren,
semua yang berhubungan dengannya juga menjadi laporan
sehari-hari. Gerak-geriknya, ibadahnya, pola makannya, sampai

Humaidi Syaidil Akbar | 29


meluruskan kembali tujuannya berada di tanah Tiongkok terse-
but. Lucu bukan?
[Sehari enam kali makan?! Sebulan berapa kilo BB
Teteh naek, Aa?] keluhnya ketika aku baru sadar
kalau selama beberapa bulan ini berat badannya
turun drastis karena frustasi, kemudian aku
perintahkan dia untuk makan sehari enam kali.
[Bagus, ‘kan? Nanti kalau ada yang tanya, kok sekarang ge-
mukan? jawab saja: ‘udah ada yang bahagiain’,] pintaku
dengan gurau.
[Nah, iya juga. Bener-bener, ha ha.] Ia hanya
mengiyakan.
[Terus ditanya lagi, siapa yang bahagiain? Apa jawab Teteh?]
Aku kembali memancingya untuk meneruskan jawaban.
[A Abay?] jawabnya terkesan ragu.
[Kan, dibahagiain sama makan,] tandasku sembari
menambahkan emoji konyol.
[Makanan mah diem aja,] tanggapnya.
[Terus siapa yang ada di balik makan itu?] pancingku lagi.
[Aa,] terkanya lagi polos.
[Atuh yang masaknyalah,] jawabku konyol.
[Di sini aku masak sendiri, kan.] Shella menyanggah.
[Nanti ditanya lagi siapa yang nyuruh makan banyak?] Aku
masih memancing.
[Nah, kalau itu pasti A abay,] jawabnya mantap.
[Hamba Allahlah.] Lagi. Ini adalah satu dari seribu gu-
yonanku padanya.

30 | Cinta (Kita) Sederhana


[Kasian yang nanya dijebak terus, ha ha. Hamba Allah
yang selalu disebut dalam doa. Gitu aja, ya, hi hi] Ia
akhirnya menutup dengan pancingan juga.
[Nah betul. Orang tualah jawabannya. Karena mereka yang
layak didoakan.] Aku masih bisa menghindar.
[Dasar … Kalau pada orang-orang pada ilfil sama BB
Teteh, Aa harus tanggung jawab, ya?!] Aku
tersenyum terpojok.
***
Al ajru bi qadri al-masyaqqah, ‘Semakin besar kadar
kesulitan, semakin besar pahala yang diraih.’
***
Aku mencoba menyemangatinya tatkala kami bersepakat
untuk membuat jadwal mengaji. Sebenarnya ini insiatif yang aku
tawarkan kepadanya, bukan karena alasan menggurui tapi ingin
obrolan yang diakukan bernilai manfaat.
[Jujur, Teteh deg-degan kalau disuruh ngaji. Sama
sekali belum lancar. Kalah sama adik yang sekarang
lagi mondok,] racaunya untuk kesekian kali.
[Dibawa seru aja ngajinya. Kalau nggak dari sekarang,
kapan mulainya? Lagian kita udah beberapa bulan ini
chattingan, masak masih malu aja?] tuturku menampik
alasannya.
[Iya. Dibawa seru biar gak tegang kaya orang mau
akad nikah.] Lagi, sebuah pancingan.
[Jiah, malah nyambung ke akad.] Aku menggerutu.

Humaidi Syaidil Akbar | 31


[Orang mau akad, kan, gitu, tegang, keringet dingin,
panas adem, semua kumpul jadi satu, ha ha,]
paparnya.
[Kayak yang pernah ngerasain aja.] Kuikuti saja perma-
inannya.
[Kan, Aa nanti di depan penghulu. Teteh mah
perempuan, nggak ikut ijab.]
[Iya juga, sih. Jadi kapan ngajinya?] Iya sajalah, daripada
benjol.
[InsyaAllah, malam ini, ya.]
Akhirnya obrolan yang selama ini kuresahkan dalam
chatting akan terbebas dari gugatan. Ya, gugatan kepastian, ke
mana jalur pembicaraan kami berarah. Tapi tunggu, bukankah ini
pertanda juga bahwa aku akan mendengarkan langsung sua-
ranya tanpa melalui voice note? Lebih dari itu, ini akan jadi kali
pertama wanita Penghu ini mendengarkan suaraku. Kutampar
kepalaku sembari bermonolog, ‘Kamu mau lebih menghindar atau
mendekat sih?’.
Kami sepakat saling menelepon pukul 20.00 waktu
Indonesia, atau 21.00 waktu Taiwan. Semua yang aku risikan se-
belumnya sudah terkubur dalam peti positive thinking. Persetan
dengan konsekuensi, yang penting tak menyakiti hati. Kebetulan
malam ini tak ada kegiatan kuliah maupun kantor. Aku bisa
bersantai mendengarkan lantunan ayat yang akan dibaca.
Denting jam sepertinya semakin memekakkan telinga.
Atau aku yang terlalu berlebihan memerhatikan tiap detik jarum
jam berjalan. Kuhela napas panjang, berharap tidak ada hal yang
aneh terjadi pasca-telepon ini.
Deerrrt!! Deerrtt!!

32 | Cinta (Kita) Sederhana


Gawai pipihku bergetar membangunkan seisi sanubari.
Panggilan darinya masuk, aku harus mempersiapkan selang
tenggorkanku yang tiba-tiba kering. Kutelan kuat-kuat saliva
yang baru terproduksi oleh kelenjarnya. Tak cukup, kuambil
segera botol air kemasan dan menelan setengah isinya. Serasa
sudah siap, perlahan kutekan simbol hijau berlambang telepon
dan menariknya ke arah atas.
“Assalamualaikum—” Suaranya parau.
“Wa-walaikumsalam,” jawabku sengau.
“Alhamdulillah, akhirnya dengar suara Aa juga. Setelah
sekian lamanya, he he.”
“Ha ha. I-iya.” Kenapa aku yang merasa tegang? Sementara
ia ringan sekali melayangkan kata demi kata. Kutepuk pipi kanan
beberapa kali kemudian meregangkan posisi mulut agar tak kaku.
‘Ayolah! Biasanya kamu yang paling PD dari lawan bicaramu!’
“Udah selesai tugas negaranya?” Aku memulai dialog.
“Udah, dong. Aa sendiri udah beres laporannya?” Ia balik
bertanya.
“Alhamdulillah. Ini lagi santai sambil baca-baca,” jawabku.
“MasyaAllah … Masih sempat aja baca buku di jam
istirahat begini,” puji ukhti ini.
“Baca chat yang numpuk, Teh,” sanggahku.
“Jiah! Kirain baca apaan, ha ha,” tanggapnya jenaka.
“Mulai gak nih ngajinya?”
“Boleh, tapi jangan diketawain.”
“Iya.”
“Jangan dibentak-bentak kalau salah!”

Humaidi Syaidil Akbar | 33


“Iya.”
“Jangan kecewa kalau gak lancar.”
“Iya, Gadis. Iya! Bawel, ya?!”
“Hi hi.”
“Ayo, mulai,”
Bismillah. Ini kali pertama aku menyimak bacaan Alquran
seorang gadis asing. Terlebih melalui telepon. Ayat-ayat suci yang
keluar dari mulut ukhti ini menusuk gendang telinga. Mendengar
caranya membaca, memang perlu perbaikan di beberapa hukum
tajwid dan pengucapan huruf. Aku coba memperbaiki satu
persatu kesalahannya dalam bacaan. Lucunya, setiap kalimat
yang ia baca, selalu diselingi dengan kata ‘gitu?’. Mengaji
memang menjadi pesona para akhi-ukhti untuk bertukar
wawasan. Akan tetapi kita perlu berhati-hati, bisa saja dalam
momen ini setan sedang memainkan sistem talbis (menyamarkan
kebatilan dalam bingkai kebaikan). Apakah yang kulakukan ini
termasuk talbis setan? Na’udzubillâhi min dzaâlik.
***

34 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 7
Merdeka dan Proklamasi

“D
i Indo sebentar lagi hari kemerdekaan, ya?”
Wanita kelahiran Subang ini memulai dia-
log setelah memperdengarkan bacaan
Alqurannya kepadaku selama kurang-le-
bih satu jam dan mendengarkan ulasan tadabur yang kusampai-
kan lima belas menit setelahnya. Walaupun dengan malu-malu,
rupanya ia ingin kegiatan ini rutin dilakukan untuk memperbaiki
diri sekaligus kembali pada jalan yang seharusnya ditempuh
manusia di dunia, yakni mencari ilmu agama sebanyak mungkin.
Dialog yang kami bicarakan ini terjadi tepat di tanggal empat
belas Agustus tahun dua ribu delapan belas.
“Iya, tiga hari lagi tanggal tujuh belas, Teh,” jawabku.
Dalam dialog, tersimpul rangkaian kalimat keluh dari bibir
seorang TKI ini. Pasalnya perayaan kemerdekaan Indonesia tak
dapat dirasakan di tanah rantau tersebut. Kendati terdapat
beberapa ormas dan kelompok yang menyempatkan waktunya
untuk melakukan upacara kemerdekaan seadanya, momen
tersebut tak bisa diikuti oleh Shella yang tinggal di tengah pulau
terpencil.

Humaidi Syaidil Akbar | 35


“Teteh sebagai warga negara Indonesia harus berjiwa
merdeka juga dengan cara tidak galau, he he.”
“Tetep aja Teteh nggak merdeka. Karena masih dijajah
waktunya di sini sama kolonial Taiwan.”
“Ha ha.”
Rupanya aku tak sadar bahwa lawan bicara yang suaranya
menempel dalam gawai pipih ini adalah seorang tenaga kerja di
negara asing. Bukankah merdeka sebenarnya ketika kita sudah
bisa berdiri di atas kaki sendiri? Pembicaraan ini tak seharusnya
dikonsumsi oleh orang-orang yang tenaganya dikuras warga
asing. Kendati demikian, banyak tenaga kerja Indonesia yang
malah bangga bisa hidup di luar negeri dan berpenghasilan lebih
dari karyawan Indonesia pada umumnya.
“O iya. Dulu pernah bilang, kan, kalau Teteh pakai cadar
karena hilang kepercayaan sama orang lain? Itu gimana cerita-
nya?” Aku palingkan pembicaraan pada topik lain yang sebenar-
nya sudah lama bergerumut di hati.
“Panjang, A. yakin mau denger?” tanya Shella dengan
suara rendah.
“Sekiranya Teteh mau cerita. Aa dengerin insyaAllah.” Aku
meyakinkan.
“Jadi Teteh ini baru pakai cadar awal tahun 2017 kemarin.
Itu karena perjuangan berat, A. Mungkin orang biasa bakal
ngerasa pengen mati aja, deh. He he.”
“Ada hal yang berat, ya?”
“Banget. Sejak Teteh punya niat berangkat ke Taiwan,
nggak ada orang yang tahu kecuali agen. Mamah Papah tahunya
Teteh main ke rumah teman, padahal selama enam bulan Teteh
ikut pelatihan bahasa. Sampai H-1 Teteh mau terbang, barulah

36 | Cinta (Kita) Sederhana


Teteh kasih kabar kalau mau berangkat ke Taiwan. Awalnya
memang nggak dikasih izin, tapi Teteh yakinin bahwa dengan
jalan nekat ini bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.”
“MasyaAllah.”
“Tempat pertama yang Teteh injak di Taiwan ini daerang
Kaoshiung. Teteh kerja di sebuah toko milik bapak-bapak yang
ditinggalin istrinya. Sumpah pengalaman pertama ini bikin Teteh
down karena harus mengurus laki-laki yang bukan mahrom
sendirian. Terlebih lagi, si bapak itu minta Teteh melayani sampai
hal yang sensitif. Teteh nggak mau tangan ini kotor hanya demi
hal yang haram. Akhirnya teteh putuskan untuk kabur—”
“Kabur? Ke mana?”
“Awalnya nggak tahu. Soalnya kalau kabur ke agen nanti
bakal dapat teguran dari banyak pihak. Akhirnya Teteh kabur ke
rumah teman yang pernah deket pas waktu masih di karantina.
Di sana Teteh ditelepon agensi, Teteh lapor aja kalau pekerjaan
ini nggak sesuai kesepakatan, tapi apa yang terjadi setelah itu….”
“Terus?”
“Si majikan ini enggak terima, dong, pembantunya kabur
tanpa izin. Akhirnya Teteh dituntut, dibawa ke pengadilan biar
dihukum.”
“Astaghfirullah.”
“Perlu Aa tahu, pengadilan di sini susah memihak orang
asing. Lain dengan Indo yang bisa panjang berdiskusi, di sini
warga asli lebih diprioritaskan. Bahkan kalau Aa lihat ada
kecelakaan di jalan daerah Taiwan, enggak akan ada yang mau
menolong karena takut kalau sidik jari mereka bakal jadi bukti
bisu sebagai pelaku.”

Humaidi Syaidil Akbar | 37


“Pantesan Aa pernah lihat ada video anak kecil yang nangis
nyari orang tuanya tapi enggak ada yang mau nolongin.”
“Nah, itu mereka bukan enggak peduli. Tapi lebih pada
perasaan takut kalau nantinya harus berhadapan sama penga-
dilan. Itu yang pernah Teteh alamin di sini. Keluarga enggak ada
yang tahu.”
“Lalu gimana, Teh?”
“Teteh cuma bisa pasrah saja. Lâ haula wa lâ quwwata illâ
billâh. Teteh serahkan takdirnya sama Allah. Kami jalani proses
sidang sehari semalam. Di fase awal, Teteh dituntut habis-
habisan karena kabur tanpa izin, menyalahi kontrak kerja, sampai
teman yang melindungi Teteh sempat kebawa juga padahal
Teteh sama sekali enggak mau melibatkan orang lain dalam kasus
ini.”
“Allahu—”
“Barulah di fase akhir Teteh keluarkan seluruh unek-unek
yang Teteh pendam. Tentang bagaimana perlakuan dia sama
Teteh, omongan yang selalu bikin risi, ancaman yang selalu dia
keluarin kalau Teteh berontak. Beruntung, Teteh punya rekaman
video yang nunjukkin tindak pelecehannya. Terlebih Teteh
bersyukur punya agen yang mau ngebela selama persidangan
karena Teteh enggak punya track record yang buruk sebelumnya.”
“Alhamdulillah.”
“Akhirnya sidang selesai dengan bebasnya Teteh dari
tuntutan orang itu karena bukti yang Teteh hadirkan kuat, ada
jam dan tanggalnya pula. Wallahu a’lam, Teteh gak tahu gimana
jadinya kalau nggak tawakal. Dari situ Teteh gak mau menggan-
tungkan kepercayaan sama manusia. Mulailah Teteh pakai jilbab
atas arahan ustaz yang pernah Teteh datangi di Taiwan.”
“Teteh keren.”

38 | Cinta (Kita) Sederhana


“Setelah itu, agen bikin kesepakatan baru sama majikan
yang nuntut Teteh itu dengan beberapa syarat. Teteh enggak
begitu ingat apa isinya. Enggak lama kemudian Teteh dipindah-
kan ke daerah Tainan, ketemu sama sepasang kakek-nenek yang
tinggal di apartemen.”
“Enak kerja di situ?”
“Capek, A. Teteh kerja dua puluh dua jam dalam sehari.
Enggak makan enggak istirahat. Cuma dikasih waktu dua jam aja
untuk rehat sebentar udah disuruh ini-itu lagi. Padahal yang
Teteh jagain cuma dua orang, tapi cabangnya banyak banget.
Ada anak, cucu, paman, sampe bisa dibilang semuanya bergan-
tung sama Teteh.”
“Ya salam, malah makin menderita kedengarannya.”
“Walaupun sempat ditawari sekolah lagi, bukannya menja-
dikan Teteh senang malah semakin butek otak. Untungnya Teteh
enggak lama juga di situ langsung dipindah ke Penghu, nyebrang
pulau. Ketemu sama nenek bawel tapi baik. Anaknya juga jarang
ada di rumah karena punya keluarga masing-masing, tapi banyak
banget godaan di sini.”
“Godaan gimana?”
“Jadi di Penghu itu kalau perempuan tugasnya jaga rumah,
sementara laki-laki tugasnya berlaut nyari ikan. Nah, orang-orang
nelayan itu kalau nongkrong di deket rumah yang Teteh tinggali.
Setiap Teteh lewat pasti digodain, banyak temen Teteh jadi
korban. Ada yang pacaran sama mereka, ada yang nikah, bahkan
ada juga yang hamil di luar nikah. Tapi Teteh enggak bilang
mereka jahat-jahat, cuma ada aja sebagian yang Teteh lihat
begitu. Selain dari mereka banyak juga sih yang baik.”
“Lalu?”

Humaidi Syaidil Akbar | 39


“Hampir aja Teteh kena goda orang laut. Untungnya Teteh
ketemu sama teman-teman yang salihah, mengenalkan Teteh
tentang cadar. Kuatlah niat Teteh makin pengen enggak
kelihatan. Alhamdulillah, Setelah pakai cadar, enggak ada yang
berani godain, Teteh ngerasa merdeka sampai hari ini,” tutup
kisahnya. Lagi-lagi perasaan kagum lahir untuk wanita rantau ini.
“MasyaAllah. Pengalaman hidup seperti itu jangan sampai
enggak didokumentasikan, Teh. Mahal itu.”
“Dokumentasi gimana?”
“Ya ditulis, dibagikan biar jadi inspirasi buat orang lain.”
“Ha ha, bisa bisa.”
Obrolan malam ini terasa hangat. Banyak ilmu dan
pengalaman berharga yang kudengar darinya. Aku berpikir,
sedalam-dalamnya seseorang belajar di sekolah, pada akhirnya
pengalaman hiduplah sebaik pembelajaran. Aku memang
memiliki keterampilan ilmiah yang kudapat di bangku pesantren,
tapi kisah hidupku belum apa-apa dibandingkan dengan wanita
yang umurnya jauh di bawahku, tapi harganya melebihi sekolah
di mana pun.
Tak sadar, aku terlalu larut hingga tenggelam dalam lelap.
Wanita ini berhasil menjadi pengantar tidurku malam ini.
***

40 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 8
Karya dan Sejarah

“Sesungguhnya kehidupan manusia adalah sejarah. Maka jika


kamu mampu untuk membuat sejarah yang baik, lakukanlah!”
(Al-Bayân wa Al-Tabyîn li Al-Jâhizh)

K ubuka mata menyambut sahutan ayam yang


berlomba-lomba menggaungkan panggilan subuh.
Kepalaku pusing, mata pun masih berat. Berkali-kali
kuregangkan tubuh agar ruh ini menempati posisinya semula,
tetapi rasa kantuk juga tak menyerah membenamkan tubuh
kembali ke matras.
Kulihat gawai pipih dan menekan tombol aktivasinya. Mati.
Aku lupa belum men-chargenya semalam. Semalam? Apa yang
terjadi semalam?
Astaghfirullah!
Aku ketiduran setelah menelpon Shella. Sepertinya
ponselku tidak kuat bertahan karena daya baterainya menipis
dan mati. Kupasangkan ponsel dengan kabel charge yang
tersambung dengan sakelar listrik kemudian beranjak ke kamar
mandi untuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah fardu.
Kebetulan hari ini Ahad, hari libur. Aku tak perlu grasah-grusuh
mempersiapkan kerjaan.

Humaidi Syaidil Akbar | 41


Aku memang dimandati tugas untuk mengurus data dan
dokumen tahfizh di pesantren, tetapi pada saat yang sama aku
pun harus menerima setoran dari beberapa santri yang berminat
mengabdikan diri di kantor membantu tugasku mengolah data.
Biasanya di minggu akhir bulan, mereka kuberikan fasilitas laptop
masing-masing untuk menginput data. Setelah tugas selesai,
mereka kuizinkan mengakses apa pun yang mereka mau dengan
catatan tidak keluar dari garis batas kepesantrenan.
Selesai salat dan merapal zikir serta doa, kuaktifkan lagi
gawai pipih yang terlihat sudah terisi enam puluh persen. Setelah
melewati greeting product, gawai ini langsung berteriak sembari
menggertarkan tanganku yang tengah menggenggamnya. Ada
banyak notifikasi masuk. Kusapu layar ke arah bawah, melihat
apa saja notifikasi yang terpampang. Ananda Zayba: 3 Panggilan
tak terjawab, Ananda Zayba: 5 Pesan masuk, dan beberapa
notifikasi lain dari grup WhatsApp yang kuikuti.
[Udah tidur, ya?]
[Ya udah, Teteh tidur juga, ya]
[Bangun!]
[Subuhan!]
[Kecapean kayaknya ini orang.]
Ternyata benar, aku ketiduran ketika masih dalam
panggilan masuk. Entah apa topik terakhir yang kami bicarakan
semalam, aku tak begitu bisa mengingatnya. Aku lebih penasaran
berapa lama durasi menelepon kami semalam. Kugeser layar ke
menu panggilan. Jreng! Jreng! ‘7.04.31’. tujuh jam lebih!
Astaghfirullah. Pantas saja ponselku mati, pasti karena tidak kuat
menahan panggilan yang lama.
[Rekor nelpon tujuh jam dalam sejarah!] Kukirimkan pesan
pada Shella sembari menempelkan emoji tertawa. Tak

42 | Cinta (Kita) Sederhana


lama ia membalas pesan dengan lawakan khasnya.
Ternyata ia pun meninggalkan panggilan dalam keadaan
tidur.
Alhamdulillah. Allah lancarkan semua urusan dalam
beberapa hari ini. Sangat jarang dari kami membicarakan hal yang
tidak penting. Walapun masih dengan suasana penuh canda,
obrolan yang kami lakukan pasca-mengaji tempo hari selalu
berbuah ilmu dan pengalaman. Meskipun tak ada pembahasan
yang penting, minimal kami saling mengingatkan kewajiban satu
sama lain. Harmonis memang, tapi bukankah ini menandakan
hubungan kami yang semakin dekat? Apa aku gagal membatasi
hati agar tidak masuk terlalu dalam? Apakah aku akan menyesal
jika suatu saat kehilangan sosoknya?
***
Entah angin apa yang menimpaku saat ini, kata-kata yang
semula bermunculan dalam pikiran tiba-tiba hilang. Jangankan
berpuisi atau menulis narasi, mengobrol pun kini seperti
kehilangan kosakata. Ketika berinteraksi dengan lawan bicara,
aku harus berpikir lama untuk memproduksi satu kalimat.
[Aa kehilangan inspirasi, nih,] keluhku pada Shella,
entah sejak kapan ia menjadi sasaran aduanku.
[Kenapa?]
[Entahlah, pengen nulis puisi tapi gak keluar kata-
katanya.]
[Teteh bantuin. Mau, gak?]
[Teteh suka nulis juga?]
[Nulis, sih, gak suka karena tulisan jelek. Kalau disuruh baca,
mau. Maksudnya Teteh bantuin Aa support doa biar bisa
keluar kata-katanya.]

Humaidi Syaidil Akbar | 43


[Dari pada begitu, mending Teteh juga nulis. Aa
pengen teteh juga bisa jadi penulis. Apalagi teteh
kan punya pengalaman berharga.]
[Teteh nulis biasanya kalau iseng di diary. Itu pun harus
ketika libur full.]
[Itu udah ada modal, Teh. Tinggal ditingkatkan aja
kemauannya. Ayo, bismillah aja. Aa yakin Teteh pasti
bisa menginspirasi banyak orang.]
[Yuk, sama-sama jadi penulis, he he. Mulai dari awal Teteh
ke Taiwan aja kan dari situ banyak perubahan.]
[Tuh, kan. Aa pengen kita jadi pribadi yang
pengalaman baik dan buruknya bermanfaat dan jadi
pelajaran buat orang.]
[Iya, sih. Biar mereka selalu melihat ke depan, kalau masa
depan untuk mereka itu bener-bener suci. Mereka pantas
bahagia dengan cara mereka sendiri tanpa harus melihat
ke belakang yang dinamakan masa lalu.]
[Curhat terus.]
[Ha ha.]
Bukan hal yang mudah mengekspresikan kemampuan jika
tak ada pemantiknya. Aku bisa menemukan mutiara dalam
sosoknya, ia akan redup dan terkubur jika dibiarkan, tapi pasti
akan bersinar menerangi setiap sudut kegelapan jika digali
kemudian dimanfaatkan. Ide pun muncul! Akan kuberikan salah
satu tulisan yang tak pernah dipublis dalam catatan mana pun
supaya ia bisa mempelajari apa yang sebaiknya ditulis.
[Aa dulu pernah nulis latar belakang keluarga Aa.
Mau baca gak? Siapa tahu jadi referensi nulis buat
Teteh.]

44 | Cinta (Kita) Sederhana


[Boleh, Teteh pengen tahu gimana masa lalu Aa. Sekalian
belajar dari tulisan Aa.]
Dengan kecepatan tinggi kugeser menu dan masuk pada
aplikasi catatan. Kucari catatan yang ingin kuberikan pada Shella,
kemudian berkat bantuan pilihan tugas salin dan tempel, catatan
pun terkirim.
[ Alkisah, diawali dengan kisah seorang wanita yang cantik,
yang hidupnya berada pada ikatan orang tua. Wanita ini anak
bungsu dari enam bersaudara, yang mana semua anak lainnya
sudah mempunyai karir di luar sana, sedangkan ia masih berada
dalam rumahnya mengurus orang tua.
Tak hanya mengurus, ia juga seringkali mendapat
pendidikan dari sang ayah yang dulunya seorang santri. Ini
membuatnya terbentuk menjadi guru ngaji mendampingi sang
ayah. Walau hidup dengan kekangan orang tua, ia merasa indah
dalam hidupnya.
Sampai suatu ketika, seorang pria muda mendatangi
rumah bermaksud untuk menikahinya. Sebenarnya wanita ini
cukup diidolakan banyak pria saat itu. Namun kepatuhannya
pada orang tua membuat ia harus menikah dengan pria yang
mendatanginya tersebut.
Wanita itu pun menikah. Akan tetapi, tak seperti keluarga
pada umumnya, suaminya seringkali meninggalkannya di rumah
hingga sempat selama beberapa tahun sang suami tak kunjung
datang, padahal saat itu ia sudah mempunyai satu anak
perempuan. Orang tua wanita itu sempat menyesal menikah-
kannya dengan pria yang dianggapnya tak bertanggung jawab.
Sampai ada pria lain yang penampilannya biasa saja, juga terlihat
asing, memberanikan diri berkunjung ke rumah itu.
Laki-laki itu ingin menikahi sang wanita. Namun orang tua
wanita ini tak mengizinkannya karena si wanita masih berstatus

Humaidi Syaidil Akbar | 45


istri orang. Sempat kesal dengan penjelasan orangtuanya karena
ketidakbertanggungjawaban mengakibatkan wanita ini tak
berdaya. Si pria hanya menyerahkan seluruh urusannya pada
Sang maha menentukan.
Ajaib, si suami datang dan seketika menceraikan wanita itu,
sempat terjadi masalah terkait hak asuh, tetapi sang wanita bisa
mempertahankan argumennya mengasuh anak. Akhirnya si pria
biasa ini menikah dengan sang wanita.
Namun, alangkah kagetnya ternyata keluarga si pria masih
ada hubungan kerabat dengan keluarga wanita. Masih satu cicit
dari jalur ayah keduanya. Ini kebetulan yang luar biasa.
Hidup wanita ini lebih baik dari sebelumnya. Hingga
putrinya menginjak bangku Sekolah Dasar dan terpilih sebagai
anak berprestasi di sekolahnya. Wanita ini menjadi istri yang
bahagia karena mengandung anak laki-laki. Sebelum si anak lahir,
sang istri sempat bertemu dengan seorang lelaki tua paruh baya
tapi tak dikelilingi janggut di dagunya. Ia berpakaian putih dan
tersenyum pada wanita tersebut. Ternyata itu hanya mimpi.
Tak lama setelah mengalami mimpi itu, si wanita akhirnya
dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat. Semoga menjadi
kebanggaan keluarganya kelak. Rumah terasa hangat dengan
kehadiran dua anak yang cantik dan tampan. Sampai ketika si
anak perempuan tak pulang dari sekolah, seluruh keluarga
merasa khawatir. Tak ada yang tahu di mana rimbanya.
Si anak baru pulang ketika matahari mulai merendahkan
kepalanya. Si anak berkata bahwa ia sudah main dengan ayahnya.
Rasa kaget dan khawatir membuat si anak mendapatkan
pengawasan penuh dari keluarga. Hingga di akhir masa SD, si
anak perempuan ini disalami pesan terakhir dari ayah
kandungnya, tak lama sang ayah dikabarkan meninggal karena
kecelakaan.

46 | Cinta (Kita) Sederhana


Berlanjut cerita anaknya yang laki-laki.
Anak ini dianggap memiliki hal yang menarik. Bagaimana
tidak, di tahun pertama, tepat nenek dari ayahnya meninggal, ia
mendapat perkembangan berbicara dan memanggil-manggil si
nenek. Bahkan tak lama setelah si nenek dimakamkan, pada
malam hari ketika semua tertidur, sang anak tiba-tiba berjalan
melewati semua anggota keluarga yang pada saat itu tertidur di
ruang tamu.
Tak hanya itu, di tahun kedua ketika kakek dari ibunya
meninggal, si anak lebih banyak bermain di kamar dan meng-
gulung-gulung benang jahit milik si kakek. Keluarga menganggap
si anak masih dimiliki kasih sayang dari orang-orang yang
menyayanginya walaupun sudah berbeda dunia.
Berlanjut tahun ketiga, ketika kakak perempuannya masuk
Sekolah Menengah Pertama, ia mengambil alat tulis dan krayon
milik si kakak kemudian menggambar di dinding mirip dengan
tokoh yang ia senangi waktu itu, tweety dan Popeye.
Menyadari ada sebuah potensi pada anak tersebut, si ayah
yang pada saat itu bekerja di rumah seorang saudagar kaya,
selalu membawakan bermacam-macam buku. Si anak disodorkan
semua alat yang diharapkan meningkatkan kualitas keilmuan dan
bakatnya.
Asik dengan dunia fantasinya, si anak tak melakukan ba-
nyak hal di luar rumah. Tak sering bermain dengan temannya
bahkan di sekolah. Teman bermainnya hanya sebuah kapur dan
papan tulis. Berhasil, di umur yang menginjak kelas tiga SD, ia
sudah membuat banyak cerita dongeng dan komik hasil
tangannya sendiri. Banyak teman lainnya yang ingin mendapat-
kan gambarnya, sampai guru seninya memberinya penghargaan
atas karya-karya yang ia hasilkan.]

Humaidi Syaidil Akbar | 47


Tak ada respons apa pun setelah kukirim catatan ini.
Apakah ia sudah membacanya? Atau belum? Atau sudah memba-
ca tapi merasa tak menarik? Atau masih membaca ulang?
Sudahlah. Kutinggalkan ponsel ini dan meneruskan lagi tugas
pesantren.
***
Malam mendendangkan riuh angin pada kegelapan yang
semakin lama pekatnya semakin membutakan mata. Tugas kali
ini menyetorkan presensi kehadiran asatiz selama sebulan.
Memang melelahkan, tapi aku yakin pada setiap lelah yang lillah,
akan ada sebongkah berkah. Hari ini aku pulang cukup larut,
motor yang terpaku di parkiran sepertinya sudah bosan menanti.
O iya, saat ini aku tinggal bersama rekan kerja pesantren di
sebuah kontrakan tiga petak. Mr. Sidig, begitulah biasa orang-
orang termasuk aku memanggilnya. Sebenarnya sudah lumayan
lama kami menetap dalam satu atap, tapi kabarnya beliau
berencana akan pindah kontrakan membersamai adiknya yang
kini bermukim seorang diri di Kawasan Ciledug dalam beberapa
bulan mendatang.
Momen pertama kali menelepon gadis Taiwan kemarin
bertepatan dengan observasi Mr. Sidig ke kontrakan adiknya.
Tentu saja aku merasa bebas karena tak ada yang mendengarkan
celotehku dengan lawan telepon. Kalau sampai beliau tahu
bahwa aku tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita, bisa
repot jadinya.
Sesampainya perjalanan dari pesantren, kurebahkan tubuh
yang sepertinya butuh istirahat ini. Aku tidur di ruang tamu depan
memisahkan diri dengan Mr. Sidig yang nyaman melelapkan
jasad di kamar tengah. Aku tak biasa memejamkan mata dalam
keadaan lampu redup seperti yang dilakukan guru Bahasa Inggris
itu. Kubuka kembali layar ponsel yang terkunci pola, terlihat ada

48 | Cinta (Kita) Sederhana


pesan masuk dari Ananda Zayba. Rupanya ia sudah membaca
catatan yang kemarin kukirim.
[Bagus banget ceritanya,] tukasnya dengan emoji
mata berbinar.
[Teteh juga bisa, kok. Jangan patah semangat. Tuangkan
semua mimpi Teteh ke dalam tulisan, InsyaAllah itu jadi
do'a terindah,] tanggapku santai.
[Teteh mah kelas dua SD udah punya adek lagi.
Waktu itu sering banget belajar bikin jajanan kecil
terus dibawa ke sekolah untuk dijual. Jadi passionnya
bukan penulis, lebih ke pedagang,] imbunya
menyangkal.
[Gak apa-apa ‘kan, pedagang yang jago nulis? Kayak Aa,
guru ngaji yang jago gambar, he he.] Aku balas lagi
menaikkan motivasinya.
[Ada sih, tulisan Teteh yang udah lama. Aa mau baca?]
[Boleh, coba kirim]
Sambil mencicipi makanan yang tersimpan di kulkas,
kunantikan catatan yang membuatku penasaran. Selain isinya,
aku juga ingin tahu bagaimana cara ia menuangkan perasaan
dalam sebuah tulisan.
Ping!
Pesan masuk dari Shella. Setelah notifikasi terbuka, kubaca
perlahan catatan tahun dua ribu enam belas itu.
[ Saya seorang gadis kecil yang kini berusia delapan belas
tahun. Hidup bersama kedua orang tua dan adik-adik tercinta.
Anak pertama dari tiga bersaudara. Tepat pukul 20:00 WIB, saya
menangis dalam sujud, membayangkan, memikirkan, dan
menyesalkan semua yang sedang saya Alami. ‘Tuhan tidak adil,’

Humaidi Syaidil Akbar | 49


pikir saya waktu itu. Tuhan itu jahat, mengapa bisa hidup saya
seperti ini?
Hari terus berganti, waktu terus berjalan, saya terus
berpikir mencari jalan keluar tentang semua kesulitan dan
kesedihan ini. Saya tahu Tuhan itu baik, Tapi bukan pada saya.
Hingga pada akhirnya saya mulai berpikir jernih dengan hati yang
ikhlas.
“Apa yang sedang kamu doakan, apa yang sedang kamu
harapkan, apa yang sedang kamu impikan, sedang Tuhan kerjakan.
Percayalah semua akan indah menurut rencana dan waktu-Nya.”
Tidak bisa dipungkiri, setiap orang pasti pernah mengalami
masa sulit dalam kehidupannya. Kesedihan, kepahitan, air mata,
difitnah, dikecewakan, dicaci, dimaki, direndahkan, bahkan
ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
Ada juga momen di mana orang yang sudah kamu bantu,
orang yang sudah kamu percayakan penuh terhadapnya, dan
orang yang paling kamu percaya ternyata memanfaatkan kamu,
mengkhianati kamu, memfitnah kamu, sampai menyakiti hati
kamu.
Jika sekarang kamu sedang melalui masa-masa sulit itu,
masa-masa saat kamu merasa diremehkan, saat ini juga saya akan
katakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Walau mungkin sedikit-banyak situasi kita berbeda, tapi
kita pernah berada di masa yang sama. Iya, saya pernah
merasakan kepahitan itu. Jatuh berulangkali, difitnah, dan
dikhianati. Dan saya pun tahu bagaimana rasanya pertama kali
mendengar kabar buruk itu. Dalam lubuk hati, kita masih
berharap, menginginkan, dan menolak untuk semua apa yang
terjadi.

50 | Cinta (Kita) Sederhana


Sempat saya menggerutu dengan amarah, ‘Ah, enggak
mungkinlah!’, ‘masa sih?’, ‘kok, gitu?’, ‘kok, tega?’, ‘kok, jadi
begini, sih?’, ‘Nggak! Enggak! Ini enggak bener!’, ‘Ini semua salah,
tidak bisa dipercaya, tidak bisa lagi dimengerti!’. Tapi percayalah,
itu realita kehidupan yang kita alami.
Saya pun pernah merasakan marah kepada keadaan,
marah kepada diri sendiri. ‘kok, bisa, sih, aku sebodoh ini?’, ‘kok,
bisa aku selemah ini?’, ‘kok, bisa aku seceroboh ini?’, ‘kenapa ini
kubiarkan terjadi?’, ‘kenapa aku percaya kepada mereka yang
sudah menyakiti?’, ‘kenapa selama ini aku tak pernah melihat?’,
‘kenapa selama ini tak pernah terpikirakan?’, kenapa? Kenapa?
Kenapa?.
Kadang semua tidak bisa terjadi sesuai dengan apa yang
kita harapkan, yang kita inginkan, yang kita rangkai, dan yang kita
mimpikan. Tapi, sebenarnya justru rasa pahit, kecewa, dan sedih
itulah yang menyadarkan saya. Ingatlah, jangan sampai kamu
terus berdiam diri sampai kamu dan terperangkap di dalamnya.
Hal pertama yang kamu harus lakukan adalah bangkit,
sadar, dan tersenyum. Yakinkan hati dan dirimu, bahwa apa yang
kamu alami bukan sebuah hukuman tapi sebuah kesempatan. Iya,
kesempatan untuk bangkit dari masa terpuruk. Percayalah,
Tuhan sedang mempersiapkan semuanya, Tuhan sedang
mengendalikanmu dan membawamu ke suatu tempat yang lebih
baik lagi, yang lebih indah dan lebih bahagia. Bahkan Dia bisa
membawamu ke tempat yang tak pernah pikirkan sebelumnya.
Sedikit demi sedikit waktu terus berjalan. Hari berganti
bulan, bulan berganti tahun. Tuhan membiarkan yang buruk itu
menghilang dan pergi karena tidak lama lagi yang lebih baik akan
datang. Tuhan sedang mempersiapkanmu, menguatkanmu, dan
membentukmu Perlahan tapi pasti kita akan mulai tersadar,
‘badai akan berlalu’, ‘setelah kesulitan akan ada kemudahan’,

Humaidi Syaidil Akbar | 51


‘setelah air mata akan ada kebahagiaan’, ‘setelah hujan akan ada
pelangi’.
Saya harus bisa bangkit dan melupakan semua ini, saya
harus memompa kembali semangat, melihat kedepan dan
menjadikannya sebagai pembelajaran hidup. Memang sulit,
sangat sulit. Ini memang tak semudah apa yang saya pikir.
Namanya juga manusia yang maha terbatas. Tapi saat ini saya
ingin mengingatkan kalian sebagaimana saya mengingatkan
kembali kepada diri sendiri, ketika mengalami masa sulit atau
berada di bawah, ketika dikecewakan atau dikhianati, kita hanya
punya dua pilihan. ‘Give up or Get up’.
Berdiam diri, menyerah pasrah, dan membiarkan hal
tersebut menghancurkanmu atau bangkit dan menjadikannya
sebuah pelajaran, semangat, dan insipirasi yang membuatmu
bertumbuh. Sebagai manusia, tidak bisa dipungkiri ada hal-hal di
dunia ini yang tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa diubah.
Terimalah, tersenyumlah, sambutlah dengan tangan terbuka dan
terima dengan ikhlas. Semua dimulai dari hal kecil.
Mulailah memaafkan orang-orang yang sudah menyakiti-
mu, mengecewakanmu, dan membuatmu menangis bahkan
sampai membuatmu terjatuh. Tentu hal paling terpenting,
maafkan juga dirimu.
Mengeluh bukan solusi, tidak perlu mengeluh tentang apa
yang salah dari semua yang sudah terjadi. Percayalah! Terse-
nyumlah! Angkat kepalamu! Mulailah berfikir positif, yang hilang
akan segera diganti dengan keindahan, air mata akan segera
diganti dengan senyuman.
Jangan biarkan kamu berlarut dalam kesedihan, air mata
dan penyesalan yang sudah terjadi. Tetap tegar, semangat
melangkah dengan kesabaran dan hati yang ikhlas. Tetap
tersenyum dengan hati yang tulus dan bersyukur di saat sulit

52 | Cinta (Kita) Sederhana


sekalipun. Tetap percaya dan optimis walaupun belum terlihat
hasilnya. Tetaplah setia menanti setitik cahaya sekalipun kau tahu
ini tidak mudah.
Percayalah, apapun yang sedang kamu doakan sedang
Tuhan kerjakan. Dia mempunyai skenario dan sebaik-baik
rencana. Tersenyumlah, semua akan indah menurut rencana dan
waktu-Nya. Yakinlah kita pasti bisa, semua akan baik baik saja. 14
Januari 2016.]
Aku yang khusyuk membaca pesan ini hanya tersenyum
tipis. Ini bukan menarasikan hidup atau menceritakan kisah diri,
tapi cenderung pada motivasi. Tentu saja, wanita ini memang
seharusnya jadi seorang motivator. Aku berani bertaruh, dengan
pengalaman hidup yang ia alami selama ini dapat mengubah
jutaan kelam menjadi cahaya. Selamat datang, Sang Motivator.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 53


Bab 9
Selawat dan Harapan
“Kita bisa belajar dari apa pun. Kebaikan maupun keburukan,
masing-masing memiliki pelajaran berharga bagi penuntutnya.
Kebaikan mengajarkan kita selalu bersyukur, keburukan
mengajarkan kita untuk bersabar.”

T anggal tujuh belas Agustus, Hari kemerdekaan tiba.


Aku menyambut hari ini dengan ketidakmerdeka-
anku mengerjakan tugas kantor. Ditambah lagi,
mulai hari ini aku diminta bergabung dengan beberapa asatiz
yang dipilih untuk menjadi pengajar tahsin di Kantor Bank
Indonesia.
Seperti biasa, setiap info kegiatan baruku harus sampai
pada gawai yang Shella pegang. Aku sempat berpikir, ‘Untuk apa
melakukan hal seperti ini? Memangnya siapa dia dalam kehidu-
panmu’. Akan tetapi jemariku terus memaksa menjentikkan
pesan untuk wanita Taiwan ini.
[Doain ya, mau ke BI. Aa disuruh isi pengajian mingguan di
sana,] laporku.

54 | Cinta (Kita) Sederhana


[BI? Bank Indonesia? Ikut, dong, pengajiannya.
Rasanya pengen banget pergi kajian sana-sini
denger ceramah langsung dari seorang ustaz,]
pintanya sembari mengirimkan emoji menangis.
Padahal sudah beberapa hari ini kami rutin mengkaji
bacaan Alquran dan mentadabur isinya. Mungkin
kurang afdal jika tidak dengan muwajahah.
[Nanti ada saatnya,] hiburku.
[Bismillah. Shalawatin aja sekarang mah bisanya.
Nanti kalau pulang ke Indo enggak pengen jalan-
jalan, enggak pengen apa-apa. Pengennya ke majelis
ilmu. Titik.] Hanya itu yang bisa wanita caregiver ini
lakukan di tengah keinginannya yang amat sangat
untuk hadir dalam kajian ilmu.
[Betul. Ayo kencengin shalawatnya biar dimudahin urusan-
nya!] Aku menutup obrolan.
Berbicara selawat. Selawat baginya adalah senjata yang
luar biasa ampuh untuk mengobati segala kegundahannya. Baru
tadi pagi, ia bercerita tentang mimpi yang sangat luar biasa.
Sampai-sampai aku iri dibuatnya.
[Aa, tadinya Teteh semalam pengen ngaji. Tapi Aa
sibuk. Ya sudah, akhirnya Teteh bobo juga sambil
dengerin ngaji,] imbunya kemudian ia lanjutkan.
[Terus mimpi.]
[Mimpi apa?] tanyaku penasaran.
[Teteh mimpi ketemu seseorang. Kelihatannya
familiar gitu tapi Teteh lupa-lupa ingat dia siapa.] Ia
menjelaskan spesifik mimpinya, aku yang membaca
pesannya masih buram untuk menerka.

Humaidi Syaidil Akbar | 55


[Pas sadar, Teteh ngerasa sering lihat tapi belum
pernah ketemu,] lanjut penjelasannya.
[katanya, “Semoga Allah dan Rasul selalu merahmati kamu.”
Sambil elus-elus rambut Teteh. Teteh cuma bisa diam.
Dalam hati bertanya, ‘beliau siapa?’]
[Itu aja yang teteh ingat.] Beberapa saat kemudian,
Wanita ini mengirimkan pesan foto padaku sembari
mengklarifikasi. [Ini Orangnya. Beliau siapa, A?
Kebetulan temen Teteh pake foto profil ini.]
Aku yang melihat itu kaget bukan main. Netra yang terasa
berat seketika membelalak melihatnya. Dada pun berdecak
kagum. Shella mengirimkan foto Habib Umar bin Hafidz. Ulama
masyhur asal Tarim, Yaman. Siapa yang tak mengenal pendiri
Pesantren Darul Musthafa ini? Beliau salah satu keturunan Nabi
yang menyandang Wali Qutub, setidaknya itu yang diucapkan
para ulama yang mengenal baik sosoknya. Aku pernah membaca
sebuah tautan yang menyebutkan bahwa Habib Abdul Qadir
Assegaf mengatakan, “Jika engkau ingin melihat cara berbicara,
berjalan, dan penyampaian Rasulullah saw., maka lihatlah Habib
Umar bin Hafidz.”
Habib Umar sangat memiliki peranan penting dalam laju
dakwah di Indonesia. Penuturan yang beliau sampaikan sangat
lembut, tak pernah terdengar sedikit pun dari lisan beliau kalimat
cela atau hina. Beliau sangat menjunjung tinggi kemanusiaan,
sama seperti menantunya, Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri. Beliau
adalah salah satu dari lima puluh urutan tertinggi dari The Muslim
500: The World’s 500 Most Influential Muslims, jelas gelar ini
dicatat berkat pengaruh beliau dalam kancah dunia.
[Itu Habib Umar bin Hafidz, Teh! Serius Teteh mimpiin
beliau? Enggak mengada-ada, kan?] Aku berusaha
memastikan kebenaran.

56 | Cinta (Kita) Sederhana


[Mana ada Teteh bercanda. Malah nanya ke Aa
karena pengen tahu,] katanya polos.
[MasyaAllah ... Ya Allah, Teteh. Bagus banget mimpinya!
Serius Aa ngiri.]
[Aa iri, Teteh malah bingung kenapa bisa mimpi
beliau?]
[Masa Teteh enggak tahu Habib Umar? Beliau masyhur, loh,
di kalangan para penuntut ilmu apalagi pecinta habib.]
[Mana Teteh tahu, baru hijrah aja di sini. Teteh sering
ikut kajian sunnah tapi jarang mendengar nama
beliau. Kalaupun pernah, jarang lihat orangnya.
Kalaupun lihat orangnya, gak benar-benar tahu
setinggi apa pengaruhnya.]
[Kok bisa, sih, mimpi ulama besar seperti beliau?]
[Bingung juga, A. Semalam itu habis wudu Teteh
shalawatan lama, ngaji terus rebahan sambil
dengerin murattal. Keboboan deh. Enggak inget
apa-apa ... tahu -tahu mimpi begitu. Kebangun deh
jam setengah dua, terus salat]
[Teteh harus bersyukur. Yang Teteh mimpiin itu Habib, ada
darah Rasul di dalamnya. Dalam Riwayat kalau seseorang
mimpi ketemu Rasulullah, berarti itu benar-benar
Rasulullah. Karena setan gak mungkin bisa menyerupainya.
Walaupun bukan Rasul, mimpi ketemu ulama itu sama
bagusnya.]
[Benar gitu, A? Pasti seneng banget, ya, bisa ketemu
Rasulullah. Teteh cuma inget, kalau kita tulus
shalawat sama Nabi, apa pun urusan kita pasti Allah
mudahkan.]

Humaidi Syaidil Akbar | 57


[Bener banget, amalan yang paling mudah tapi pahalanya
besar itu shalawat, Teh. Bahkan kalaupun Teteh
bershalawat karena riya atau nggak ada niat di dalamnya,
tetep dapat pahala karena kemualiaan Nabi Muhammad.
InsyaAllah]
Setelah membaca paparan pesan singkat yang sarat makna
tersebut. Anak sulung dari empat bersaudara ini bertekad untuk
lebih rajin memanjatkan selawat atas junjungan alam sang
kekasih Allah. Semoga ghirah yang terbesit dalam hatinya
menjadi penolong juga untukku yang tak dapat berbuat apa-apa
selain memberikan sejentik kalimat pengingat.
***
Azan asar berkumandang di seantero bumi. Sore ini
pertama kalinya aku merasakan nuansa berbeda, berada di
antara jajaran para masyaikh dan guru besar pesantren dengan
misi membumikan kalam Allah di kalangan elite, Bank Indonesia.
Di sini wajib hukumnya berjiwa nasionalisme, karena dikeililingi
oleh harmonisasi kenegaraan.
Kami masuk kawasan BI dengan menggunakan mobil
pesantren yang dikemudikan oleh syekh panutan, Syekh Ahmad
Samir Al-Kannash. Laju kemudinya yang garang menyihir gengsi
kami menjadi layaknya borjuis berpeci. Lalu kaki kami bertaut di
depan masjid yang megah, di atas pintu masuk utama masjid
yang berbalut tiang marmer terdapat kaligrafi dengan khat farsi
bertuliskan Bayt Al-Ihsan. Nama ini selaras dengan Bank
Indonesia yang jika di singkat membentuk kata BI.
Jasad yang sedari tadi gemetar tak sabar rasanya ingin
mengabadikan momen ini dengan berfoto ria. Kuambil posisi
paling presisi dengan masjid sebagai latar kemudian meminta
teman untuk mengambil gambar. Sekali klik, dua-tiga foto sukses
tersimpan. Tak puas dengan itu, kubagikan foto-ria ini di story

58 | Cinta (Kita) Sederhana


WhatsApp. Harapannya tentu saja tahadduts bin ni’mah, walau
sebenarnya ada sedikit nada pamer di dalamnya, he he.
Selesai berfoto, kami memulai misi kami bertarung ilmu
dengan para petinggi BI. Tetapi karena sudah masuk waktu
magrib, urusan kami harus diundur seusai salat. Di sela-sela
menunggu giliran wudu, gawai pipihku bergetar. Ada yang
terpancing oleh status yang aku bagikan. Siapakah dia?
[Shalawatin aja dulu ya, A.] Isi pesan tersebut. Siapa
lagi kalau bukan si wanita Taiwan. Sepertinya ada
yang hendak ia harapkan dari foto statusku.
[Iya, kalau dishalawatin pasti kekabul. InsyaAllah,]
tanggapku.
[Amin.]
[Emang lagi shalawatin apa, sih?]
[Masjidnya, atuh, biar bisa kesana.]
[Kirain? He he]
Kututup ponsel untuk bergegas mengejar imam yang
sudah mulai bertakbir. Rupanya dari kejadian kecil ini, akan ada
keajaiban besar timbul setelahnya.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 59


Bab 10
Ketetapan dan Istikamah
Pernahkah kau merasa bahwa doa yang tak terkabul kemarin
adalah jawaban untuk hari ini? Atau hari ini seperti jawaban atas
rantai doa yang saban hari terpanjat? Atau bahkan bukan jawaban
doamu, melainkan doa dari jiwa suci yang selalu mematri namamu
kemudian terkabul.
***

H ari ini aku lelah sekali, gara-gara tugas di BI kemarin


selesai agak larut malam. Tapi aku senang, meski
peluh ini bercucuran di hadapan para nahkoda
rupiah tapi ilmu yang tersampaikan sangat membekas di hati
mereka. Tentu ini berkat jasa dari tangan besi para guru besar
dan masyaikh pesantren. Ada kepuasan tersendiri ketika objek
ajar kita adalah sosok yang memiliki peran penting untuk
Indonesia.
Akhir pekan pagi ini akan kulewati lagi dengan bertatap
muka di depan layar laptop. Kubuka gawai kecil yang dayanya
sudah terisi penuh lalu masuk pada menu status dalam aplikasi
chatting sejuta umat. Terlihat nama Ananda Zayba bertengger di
antara barisan status WhatsApp, statusnya baru dibuat sepuluh

60 | Cinta (Kita) Sederhana


menit yang lalu, kelihatannya hanya status kutipan saja. Kubuka
dengan santai status tersebut.
“18-08-18. Tanggal cantik”
Aku yang membacanya tergerak memberikan komentar
pancingan kepada wanita Taiwan ini. Dia pun pasti menantikan
ada satu-dua komentar guyonan masuk di daftar pesannya.
Terlihat dari statusnya diakhiri dengan emoji tersipu.
[Tuhh, harus disejarahkan,] imbuhku memulai percakapan.
[Ha ha ha. Iya bener,] balas wanita ini menanggapi.
[Ayo, mau bikin hari apa?] Ada saja alasan untuk berbagi
senyum tatkala bercakap dengannya. Aku hendak
memberikan teka-teki untuk memancing tawanya.
[Hari apa, ya?] Dari pertanyaannya, ia kebingungan.
5
[Sok , tentukan dari sekarang sebelum matahari terbenam,]
kataku memojokkannya
[Teteh kan cewek, yak. Ngikut aja apa yang
dikatakan sama cowok. Jadi semuanya Teteh
serahkan sama Aa,] timpalnya tak mau tahu.
[Naha6 jadi nyerahin ke Aa? Dasar.]
[Aa laki laki, he he.]
[Kalo bagi Aa mungkin jadi ‘hari rekap data’.]
[Hari buat sama-samalah.]
[Hari paling bersejarah. ‘Nelpon terlama’.]
[Kemaren itu mah.]

5 Silakan
6 Kenapa

Humaidi Syaidil Akbar | 61


[Tanggal tujuh belas, kan, hari kemerdekaan. Tanggal
delapan belas hari pasca-kemerdekaan, atau hari sabtu.]
[Serius, Aa.]
[Tanggal tujuh belas ‘menetapkan kemerdekaan’, tanggal
delapan belas?]
[Sok ngajebak wae deuh 7 . Aa pokoknya harus
tanggung jawab.]
[Masak, hari bertanggung jawab? Atas apa emangnya?]
[Atas nelepon yang lama sehingga enggak bisa
dimatiin sama Teteh.]
[Serius nelepon kemarin enggak bisa dimatiin?]
[Iya, Teteh tunggu sampai handphone mati.] keluh-
nya.
[Tapi bahagia kan? Hi hi]
[Alhamdulillah. Bahagia. Makasih, ya, A.]
[Nah, berarti hari ini hari ‘bikin teteh bahagia’. Tapi dari
kemarin udah bahagia, ‘kan?]
[Yah, kemarin itu senang sedih bahagia, campur
aduk.]
[Kenapa?]
[Enggak nyangka aja. Setiap laki-laki yang Teteh
temui pasti selalu banyak maunya. Enggak enak di
hati, jadi malas untuk kenal lagi. Tapi sejauh kenal Aa,
enggak ada tuntutan yang muluk-muluk. Malah
enaknya Teteh bisa sharing macam-macam. Kerasa

7 Suka ngejebak aja, nih.

62 | Cinta (Kita) Sederhana


enak dan simpel aja, udah. Nggak ngerasa
digombalin sampai gombalan tingkat khayangan.]
[Teteh lebih suka sama orang yang enggak muluk-muluk,
santai, dan biasa aja. Bukan yang malah suka bikim ilfeel.
Enggak cewek gak cowok, kalau berlebihan udah males.
Berlebihan dalam arti kalau cowok ke cewek gombal,
cewek ke cowok ganjen. Baru kenal udah minta video call,
minta foto dan lain-lain.]
[Terus Aa gimana menurut Teteh?]
[Ya, Bagi Teteh, Aa udah kayak saudara, teman, abang
sendiri. Secara Teteh, kan, enggak punya kakak.]
Untuk ukuran anak sulung, wajar jika wanita ini butuh
sosok kakak yang bisa mengigatkannya serta menjadi tempat
berlindung di kala sedih. Akan tetapi, entah mengapa ada
gertakan hati berkata bahwa aku bisa menjadi lebih dari apa yang
diinginkan. Obrolan pagi ini sungguh menggelikan, terlebih kami
sudah berbicara di luar tema yang pertama kali dibahas.
[Jadi, intinya hari ini mau jadi hari apa?] Ia hanya
membalas emoji terbahak-bahak. Sudahlah, aku
akan putuskan bahwa hari ini adalah “HARI
MENETAPKAN HATI”. Semoga niat ini teramini.
***
“Tak masalah jika jawaban doaku ditunda, yang masalah jika Allah
melihatku sebagai hamba yang selalu menunda kewajiban.”
Statusnya pagi ini menyejukkan hati. Rupanya acara me-
ngaji via telepon malam tadi cukup memberikan kesan yang
mendalam. Setelah menyetorkan bacaan surat pendek Alquran,
ia juga bersedia mendengarkan kicauan murajaahku yang sangat
membosankan saking panjangnya.

Humaidi Syaidil Akbar | 63


Aku kemudian membagikan tips tentang mempertahan-
kan hafalan yang baik yakni dengan jalan istikamah. Istikamah
adalah usaha menjaga perbuatan baik agar tidak berubah
menjadi buruk, dalam istilah lain disebut juga dengan konsisten.
Imam An-Nawawi membatasi istikamah ini hanya dalam hal
ketaatan, jadi tak ada yang namanya istikamah untuk perbuatan
maksiat.
Aku juga menjelaskan bahwa orang yang istikamah lebih
utama daripada orang yang memiliki seribu karamah. Bahkan
keutamaan seorang hamba yang istikamah dapat mengalahkan
kemuliaan seorang Nabi. Terbukti dalam kisah Maryam bin Imran
yang selalu istikamah menjaga ibadah dan kehidupannya dalam
mihrab. Nabi Zakaria yang setiap hari ditugasi mengantarkan
makanan untuk Maryam terkaget tatkala suatu hari melihat
banyak sekali bahan makanan tersedia di hadapan wanita salihah
ini.
“Wahai Maryam, dari mana datangnya makanan ini?” tanya
Nabi Zakaria terperangah.
“Ini dari sisi Allah, wahai Nabi,” tutur Maryam dengan
suara lembut.
“Bagaimana engkau berkata semua rezeki ini dari Allah
sementara aku tak pernah melihatmu keluar dari mihrab ini
kecuali untuk hal kecil.” Nabi Zakaria semakin kebingungan
mendengar jawaban dari Maryam.
“Innallâh yarzuqu man yasyâ-u bi ghairi hisâb.”
(Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa saja
yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.)
Jawaban Maryam seketika membekukan sendi-sendi
tubuh Nabi Zakaria yang sudah terlampau sepuh, tetapi sekaligus
mengetuk hatinya untuk kembali tergerak berdoa di mihrab

64 | Cinta (Kita) Sederhana


Maryam. Pada kejadian ini, aku menjelaskan bahwa tempat yang
dijadikan mihrab Maryam saja digunakan Nabi Zakaria sebagai
wasilah untuknya berdoa, artinya gelar Nabi sekalipun masih
membutuhkan media istikamah untuk menguatkan doa yang
selama ini belum Allah perkenankan. Padahal Maryam bukan
seorang Nabi, tempat yang didiaminya pun tak sesuci tanah
haram. Alhamdulillah bi idznillâh, tak lama setelah berdoa di
tempat tersebut Zakaria dikaruniai seorang anak yang salih
penerus generasi kenabian, yakni Yahya.
“MasyaAllah banget ya, A. Allah kuasa ngasih karunia lebih
besar dari gelar Nabi. Hati Teteh kayaknya makin bergejolak
pengen istikamah,” kata Shella seusai mendengar penuturanku.
“Makanya, ayo berusaha istikamah! Aa akuin belum bisa
istikamah. Ngaji masih malas, ibadah sering ditunda, apalagi
ngasih manfaat ke orang lain sementara diri sendiri butuh
motivasi, he he.” Aku mencoba menyetarakan posisi.
“Ayolah … pokoknya ini jadi tanggung jawab Aa ngingetin
Teteh.”
“Kenapa Aa lagi yang disuruh tanggung jawab?”
“Lagian dikasih tau hikmah istikamah. Coba kalau Teteh
enggak tahu.”
“He he, sama-sama aja. Aa ngingetin Teteh, Teteh juga
ingetin Aa.”
“Bismillah, ya, A. Semoga bisa istikamah sampai ….”
Wanita ini menjeda ucapannya. Ada kalimat yang ingin ia
keluarkan tapi sengaja ditahan.
“Sampai apa?”
“Isi sendiri, he he.”

Humaidi Syaidil Akbar | 65


Ternyata belum waktunya, ya. Dalam hati terdalam, aku
hanya berharap ia mengatakan hal yang sama denganku, “sampai
sah”.
***

66 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 11
Kriteria dan Pilihan

T erhitung dalam seminggu terakhir, sudah tiga kali


aku beradu panggilan dengan wanita yang katanya
mulai ingin istikamah ini. Tidak terasa dua malam
terlewati dengan keadaanku yang kurang istirahat, karena selain
menerima telepon tugas kantor yang menumpuk juga ikut
meremukkan tubuh.
Aku merebah di atas tikar yang selalu menemani peristira-
hatan di akhir senja. Sepertinya aku butuh istirahat, khawatir
dengan fisik yang lemah ini tak menjamin mampu menahan
kantuk ketika mendengarkan lantunan ayat suci Shella yang
masih butuh perhatian. Aku berinisiatif untuk meminta izin tidak
menerima setoran hafalannya mala mini.
[Aa sakit?] ungkapnya.
[Enggak, cuma butuh istirahat aja. Besok juga fit lagi,]
imbuhku mengantisipasi kekhawatirannya.
[Iyalah, istirahat yang cukup. Kalau butuh apa-apa
kasih tahu Teteh aja, siapa tahu bisa bantu.]
[Butuh hiburan kayaknya, Aa. He he]

Humaidi Syaidil Akbar | 67


[Hiburan apa?]
[Teteh kirim suara dong. Nyanyi, shalawat atau apa kek.]
[Enggak bisa, Teteh bukan penyanyi.]
[Apakah harus menjadi penyanyi untuk bernyanyi? Apakah
harus menjadi koki untuk memasak? Apakah harus menjadi
mubaligh untuk berdakwah? Apakah harus menjadi Qori'
untuk membaca Qur'an?]
[Iya, Bapak Humaidi Syaidil Akbar. Nanti aja, ya, lagi
serak.]
[Siap. Ditunggu Ibu Sheilla Hurayra Wati. Ditunggu
suaranya]
[Nama orang diganti-ganti, ha ha.]
[Izin ganti nama, ya, Bu. Kalau enggak seneng nanti saya
ganti lagi.]
[Enggak apa-apa. Anggap aja menghibur orang yang
lagi butuh istrahat, he he]
Aku memiliki kebiasaan mengganti nama orang-orang
terdekat dengan panggilan yang tak biasa orang lain berikan. Aku
menganggapnya panggilan kesayangan, dengan begitu tak perlu
malu jika sewaktu-waktu menulis sesuatu tentang orang lain
dengan panggilan samaran ini. Sebenarnya sejak mengetahui
nama asli wanita kelahiran Subang ini, aku ingin meminta izin
mengganti namanya walaupun hanya sebatas di kontak ponsel
saja. Sekarang waktu yang tepat untuk meunaikan keinginan
tersebut.
[Hurayra artinya apa?]
[Hurayra itu asal kataya Hirratun, artinya kucing. Hurayra
artinya kucing kecil. Nama yang dipakai juga oleh Abu

68 | Cinta (Kita) Sederhana


Hurairah, sang bapak kucing. Karena beliau sangat
menyayangi kucing. Pernah Abu Hurairah mau shalat tapi
selendangnya ditiduri anak kucing, akhirnya beliau potong
bagian kain yang nggak ditiduri kucing untuk dijadikan
sejadah.]
[MasyaAllah, jadi ada sejarahnya, toh.]
[Suka nggak? Kalau enggak suka, gak jadi.]
[Suka, kok. Suka, he he. Lagian namanya juga bagus.
Jadi di HP udah bukan nama Ananda Zayba lagi?]
[Sudah diganti, Komandan.]
[Berarti sah, ya?]
[Sah apanya?]
[Sheilla Hurayra Wati]
[Sah di kontak Aa, enggak tahu kalau di Kartu Keluarga
Teteh, Nanti yang ada Aa malah dituntut karena ganti-ganti
nama orang.]
[Enggaklah. Nanti kita klarifikasi. He he.]
[O iya, Aa juga seneng nama yang awalannya huruf ‘H’.
Mungkin karena nama Aa juga diawali huruf ‘H’—Humaidi,
jadi kalau orang lain minta rekomendasi nama, Aa kasih
yang awalannya H. Ada yang namanya Hazzel, Haura,
Humaira.]
[Nanti nyari istri juga yang awalnya H, ya? Ha ha.]
[Pengennya gitu, tapi enggak mesti. Toh nanti pada
akhirnya istri Aa juga bakal menyandang gelar sebagai
‘Nyonya Humaidi’.]
[Kayaknya Bapak ini punya kriteria calon idaman, ya.]

Humaidi Syaidil Akbar | 69


[Ada, sih. Kenapa? Teteh mau cariin?]
[Nanti Teteh cariin kalo nemu. Kalo nemu, yah. Kalo
eng-gak jangan ngambek]
[Oke, besok Aa kirim ke Teteh, ya.]
Kesempatan baik, kapan lagi aku bisa mengirimkan CV
taaruf tanpa diminta. Dulu aku sempat iseng menyusun data diri
ini, niatnya tentu saja ditujukan kepada sosok calon pendamping
masa depan. Walau sebenarnya bukan orang yang serius mencari
jodoh dengan cara seperti ini, aku penasaran saja bagaimana
jadinya jika suatu saat ada seseorang yang berkenan membaca-
nya.
Kutelusuri kembali dokumen usang yang sudah tertumpuk
begitu jauh di dalam penyimpanan data ponsel. Syukurlah, masih
bisa kutemukan file tahun 2016 tersebut. Sifat malas menghapus
data lama ini terkadang menguntungkanku, dasar aku. Esoknya
kukirimkan file yang baru saja terlahir kembali ini pada inangnya.
Send! Selesai.
***
KRITERIA PENDAMPING
Sisi Agama:
- Salihah.
- Mahir kitab kuning dan bahasa Arab (kalau belum
bisa, mau belajar bersama suaminya).
- Hafal Alquran (kalau belum bisa, mau belajar
bersama suami-nya).
Sisi Fisik:
- Cantik cenderung imut.
- Kulit putih bersih.

70 | Cinta (Kita) Sederhana


- Chinese.
- Rambutnya rapi baik lurus maupun terurai.
- Umur di bawah suami.
- Tinggi sedikit di bawah suami.
- Nama berawalan dari huruf H (lebih afdal).
- Badan ideal, Tidak gemuk juga tidak krempeng.
- Suara bagus.
Sisi Kehidupan:
- Punya usaha sendiri tidak bergantung pada gaji
suami.
- Suka menyanyi dan selawat.
- Keluarga rida. Baik dari pihak suami atau istri.
- Terbuka, tidak menyembunyikan apa pun dari
suami.
Sifat:
- Periang.
- Cerdas dan kreatif.
- Pintar di bidang yang suami belum tahu.
- Tidak banyak menuntut dan menyusahkan suami.
- Mampu menjadi sumber kebahagiaan.
- Manut dan mendukung apa pun usaha suami dan
siap bekerjasama.
- Senang bercanda dan selera humor sama.
***
[Waww … Panjangnya,] tanggapnya selepas
membaca dokumen itu.
[Ha ha, itu data dua tahun yang lalu, Teh. Iseng aja bikin.]
Jujur saja, aku tak mau menyembunyikan apapun tentang
ini.

Humaidi Syaidil Akbar | 71


[Orang lain mungkin ada aja tapi kalau Teteh
kejauhaan, ha ha,] lanjut pesannya yang tertimpa
pesanku sebelumnya.
[Emang kriteria idaman Teteh kayak gimana?]
[Teteh mah enggak muluk-muluk, yang penting bisa
sabar nunjukin surga dunia dan akhirat buat Teteh.]
Lagi, aku terhenti menulis. Tak tahu lagi apa yang harus
kukatakan pada wanita satu ini. Sudah kesekian kali aku dibuat
tak berdaya dengan kata-katanya yang sederhana tapi seakan
menusuk relung hati. Timbul rasa malu dalam diri, untuk apa
kukirimkan file itu? Aku malah menunjukkan keegoisanku kepada
takdir.
[Teh, ada dua hal yang perlu teteh tahu. Pertama, ada
sesuatu yang bisa diri kita nilai, tapi orang enggak bisa,
contohnya keilmuan dan usaha. Kita bisa aja ngaku sama
orang lain bahwa kita hafal Alquran, punya ini dan itu.
Cuma mengaku aja toh? Yang tahu kenyataan sebenarnya
adalah kita sendiri.
Kedua, ada juga sesuatu yang orang lain bisa nilai, tapi kita
sendiri enggak bisa, contohnya akhlak dan paras. Ketika
orang lain melihat kelakuan kita buruk atau wajah kita jelek,
itu murni harus kita terima. Kita tidak boleh menyangkal,
malah harus introspeksi diri.]
[Iya, lalu?]
[Jangan pernah merendahkan diri ketika kita sedang
berusaha baik. Orang lain yang berhak menilai itu. Misalnya
Aa lihat Teteh, udah cukup baik, harus dipertahankan
bahkan ditingkatkan. Sementara apa yang sekarang Teteh
dapatkan, syukuri itu. Manfaatkan semua yang bisa

72 | Cinta (Kita) Sederhana


membantu Teteh jadi lebih baik. Jangan pernah bohongi
sedikit pun hati Teteh.]
[Iya, Aa bener. Teteh gak boleh patah semangat.
Tetap berusaha menjadi wanita baik walaupun sulit.
Belajar, supaya tidak menyesal di kemudian hari! Itu
yang saat ini Teteh mau. Sambil memperbaiki diri
supaya pantas kalau disandingkan sama orang yang
maunya banyak, hi hi.]
[Eh, Teteh ngomong gitu maksudnya bukan Aa, ‘kan?]
Kucairkan obrolan ini dengan canda.
[Ha ha.] Wanita ini hanya tertawa.
***
Carilah dia yang bisa menyempurnakan kekurangan, bukan
yang mencari kesempurnaan. Memang ada bilang bahwa jodoh itu
cerminan diri, tapi berhenti memperbaiki diri juga bukan solusi.
Jika kau tak mampu menjadi baik, pilihlah seseorang yang dapat
menerima, melengkapi, dan memperbaiki kekuranganmu setulus
hati.
***
Ada tiga macam kelompok manusia dalam menyikapi
jodoh:
1. Punya arah.
Ini adalah kelompok dengan tipe perfeksionis, mencari
pasangan sesempurna mungkin sesuai dengan kriteria
idamannya. Yang mereka dapatkan mungkin saja pasangan
impian, tantangannya jodoh tersebut akan susah didapatkan
karena yang dituntut adalah kesempurnaan. Satu saja ada
ketidaksesuaian dalam diri seseorang, maka mereka katakan
itu bukan jodohnya.

Humaidi Syaidil Akbar | 73


2. Pasrah.
Kelompok manusia seperti ini sangat mudah dalam
mendapatkan pasangan karena mereka tak memiliki
standarisasi dalam memilih jodoh, kalaupun ada, kebanyakan
hanya bermodal iman saja, “yang penting salih/salihah.”
Sementara mereka tak tahu apa ukuran kesalihan.
Konsekuensi yang mereka dapatkan adalah harus siap
menerima kekurangan pasangan dalam hal yang dirinya pun
tak suka. Banyak orang masuk dalam kelompok ini, tetapi
menyerah ketika mendapati pasangannya tak sesuai harapan.
Mereka dituntut selalu bersyukur dan bersabar padahal dalam
hati merasa tertekan, bahkan menyesal.

3. Nagih Allah.
Orang seperti ini lain dengan kelompok sebelumnya.
Bisa dibilang, ini adalah perpaduan dua kelompok yang
disebutkan di atas. Biasanya, mereka punya standarisasi jodoh
yang diinginkan, tapi itu dijadikan sebagai transaksi untuk
riyadah mereka dalam memperbaiki diri. Memang terkesan
memaksa Allah, wong namanya juga nagih Allah. Mereka
yakin, jika tanpa membuat kesepakatan saja Allah tahu apa
yang mereka inginkan, apalagi terang-terangan
mendemonstrasikan di hadapan Rabb-Nya.
Lalu konsekuensinya apa? Tidak ada. Mereka akan
menganggap jodoh seperti apa pun yang didapatkan adalah
sesuai dengan ukuran riyadahnya. Kendatipun tak
mendapatkan jodoh hingga akhir hayat, mereka akan gembira
bahwa Allah telah menyiapkan pasangan terbaik di surga.
“Nah, Teteh termasuk kelompok yang mana?” Aku
menawarkan tiga pilihan itu pada Shella—mulai saat ini
kupanggil Sheilla/Hurayra. Pada obrolan telepon malam ini, kami
membicarkan jodoh yang ideal, meneruskan chatting yang

74 | Cinta (Kita) Sederhana


terhenti siang tadi. Kebetulan malam ini aku sedang bermalam di
kantor.
“Intinya Teteh yakin aja sama keputusan-Nya,” ringkasnya.
“Emang tahu keputusan Allah gimana nanti? Gimana kalau
Allah jodohin Teteh sama orang yang pinter tapi malas? Diminta
apa-apa gak mau karena ngerasa ilmunya di atas istri. Gimana
kalau Allah ngasih orang yang jahat? Baik di depan keluarga Teteh
tapi sebenarnya kriminal. Gimana kalau Allah sama sekali nggak
ngasih jodoh karena Teteh gak pernah minta? Allah, kan,
sebagaimana hati hamba-Nya. Menyerah semua pada Allah tanpa
memberikan kisi-kisi sama saja mengharapkan hal yang tak pasti.
Ingat kisah Maryam kemarin? Allah memberi rizki kepada
siapa yang Dia kehendaki. Bagaimana cara kita menjadi salah satu
yang dikehendaki Allah? Allah punya rule yang harus kita lakukan,
gak sembarangan. Ada riyadahnya, ada doanya, ada
istikamahnya, barulah tawakal.
Perhatikan apa yang terjadi kepada Maryam karena selalu
ibadah di dalam mihrab, beliau mengandung Nabi Isa tanpa
melakukan kontak fisik dengan laki-laki sama sekali. Itu Allah
jadikan sebagai ujian keimanan. Beruntung Maryam masih
diberikan wahyu harus puasa dengan cara tidak boleh bicara
dengan manusia selama mengandung. Lah, manusia jaman
sekarang apa ada yang sesuci Maryam?” Seperti biasa, kuajak
Sheilla berkeliling tsaqafah islamiyyah untuk memojokkan
keputusannya.
“Gimana atuh? Pokoknya Teteh mah berdoa aja, ‘Ya Allah,
minta dia jadi jodohku. Titik, gitu,” imbuhnya sembari
menyimpulkan tawa.
“Nahh gitu dong. Kalau mau, ya, kejar,” kataku sambil
menertawakannya.

Humaidi Syaidil Akbar | 75


“Nah kalau udah dikejar tapi dianya gak mau, gimana?”
“Jangan kejar dianya tapi kejar yang menciptakannya.
Capek kalau mengejar manusia. Makanya konsep nagih Allah itu
bakal sukses jika dilakukan oleh orang dua orang yang sama-
sama yakin jika mereka sudah menyerahkan proposal doanya
sama Allah, hal yang tidak mungkin jadi mungkin.”
“Semoga yang Teteh sebut namanya setiap malam juga
menyebutkan nama Teteh juga, biar nyetrum doanya ha ha,”
“Ha ha, Amin.”
Jodoh itu misteri, Allah takkan memberitahukan siapa
jodoh kita sampai waktu pertemuannya tiba. Tetapi sebagai
manusia yang memiliki Hasrat, sangat wajar jika kita
menginginkan sosok yang kemudian namanya teruntai dalam
rapalan doa. Doa sepasang insan pada satu muara bagaikan dua
bilah magnet yang mengarah pada satu kutub, semakin kuat
energinya maka akan semakin kencang daya tariknya. Jadi siapa
sosok yang wanita ini sebutkan dalam doanya? Itu pun masih
misteri.
“Teteh enggak mau sia-siakan kesempatan yang udah
Allah kasih. Di sini harus fokus kerja buat masa depan. Jangan
sampai ada penyesalan pas pulang nanti.” Ia memulai topik lain.
“Tapi kalau terlalu fokus, mata Teteh bisa minus, banyak
fikiran sampai kurus, kerjaan jadi enggak keurus,” jawabku
berbalut canda.
“Teteh dari dulu gak suka main, lebih senang di rumah.
Keluar palingan sama mamah sama adek, udah, gitu doang.
Papah itu takut kalau Teteh jadi permpuan yang gak bener,
apalagi banyak kasus di Subang tentang orang-orang yang nikah
setelah mengandung. Teteh yakinkan Papah terus kalau Teteh

76 | Cinta (Kita) Sederhana


bisa jaga diri, sekarang pelan-pelan Papah paham dengan tujuan
Teteh.”
“Emang apa tujuan Teteh?”
“Teteh kan anak pertama, pastinya harus jadi teladan yang
baik buat adek-adek sama keturunan Teteh nanti. Teteh pengen
mengajarkan pengalaman yang baik untuk masa depan yang
baik.”
Ingatanku terpental kembali kepada saat Sheilla
menceritakan pengalaman yang sangat berharga. Bagaimana
perjalanannya dari kecil hingga kini, semua diiringi dengan
mental positif dari jiwa wanita kuat ini.
“Di rumah Aa, anak-anak enggak ada yang diikat dengan
aturan baku, semua menjalani apa yang mereka mau. Tapi
Mamah-Papah itu cerdas, mereka mencontohkan yang baik-baik
ke anaknya. Gimana adab kepada sesama, kepada yang lebih tua
atau yang lebih muda, sampai cara manggil pun disesuaikan
dengan posisi anaknya. Jadi tanpa ada intruksi apa pun, kita
anaknya sudah paham secara otomatis.
Dulu Aa suka corat-coret tembok sampai memenuhi seisi
rumah, enggak pernah dilarang sama sekali. Bikin apa pun sampai
rumah acak-acakan enggak pernah dimarahin, cuma disuruh
beresin aja kalau udah selesai, itu syarat dapat jajan. Sampai gede,
Aa suka ngegambar, maen musik, manggung sana-sini, enggak
pernah dilarang.
Sampai akhirnya Aa masuk pondok pesantren, gak pernah
disuruh. Aa ngafal hingga ngajar sekarang ini, enggak ada
intervensi dari Mamah-Papah. Karena yang mereka ajarin itu
cuma prinsip etika aja, pengembangannya kita sendiri yang
kembangkan.” Mendengar penjelasanku, Sheilla menanggapi
dengan persetujuan.

Humaidi Syaidil Akbar | 77


“Nah, Teteh pun sama pemikirannya kayak gitu. Semakin
anak diatur apalagi dikekang, pasti ujungnya dia memberontak
orang tua. Makanya semenjak Teteh paham harus melakukan apa.
Teteh pelan-pelan ubah semua pemikiran dan peraturan di
rumah.”
“Semangat, Teteh!”
“Aa mau enggak, Teteh kenalin ke orang tua?”
“Eh, malu, ah! Nanti kalau ditanya, itu siapa?”
“Bilang aja saudara ketemu gede, he he.”
“Saudara ketemu gede itu pengertiannya kaya gimana sih?
Aa masih belum paham.”
“Nanti Teteh kasih tahu jawabannya. Mungkin satu tahun
lagi.”
“Kelamaan, Gadis!”
“Biarin. Biar Aa stay tune terus, he he.”
“Teteh sendiri, mau enggak dikenalin sama orang rumah?”
“Eh?”
***

78 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 12
Kurban dan Perkenalan
Pagiku kian ‘ied
Diawali takbir yang menggema nasyid
Mataku sembab tertunduk paranoid
Aku berpikir,
Jika kesabaran ini kau sebut syahid
Lalu, kapan kita akan married?
***

S etelah mengumandangkan takbir pada malam hari


raya, seluruh umat muslim berbondong-bondong
menjejalkan jasad dan memenuhi tiap sekat rumah
Allah di pagi harinya untuk mendirikan salat idul adha. Aku
bersama segala kewayangan hati tertunduk pasrah mengiringi
setiap gerakan khusyuk imam salat ‘ied. Selepas salam, seluruh isi
masjid bergemuruh bertakbir kemudian dengan khusyuk
mendengarkan khutbah singkat.
Usai menunaikan salat, kurogoh saku gamis demi mencari
gawai pipih yang sedari tadi dalam keadaan nonaktif.

Humaidi Syaidil Akbar | 79


[Aa mau on the way Bogor.] Kuketik pesan singkat pada
seseorang yang sedang menanti kabar.
[Oke, hati-hati, A. Kabarin kalau sudah sampai,]
balasnya.
Jadi di momen libur hari raya kurban ini aku berencana
untuk menghadap orang tua di Bogor, mencertitakan pengala-
man selama di tanah santri serta berbagi diskusi untuk
pembicaraan yang lebih serius. Yap, pulang kampung kali ini ada
bingkisan yang berbeda dari biasanya, yaitu memperkenalkan
wanita yang kini sedang dekat hubungannya denganku.
Jujur saja, aku tak pernah melewati kehendak orang tua
dalam memilih suatu urusan termasuk jodoh. Sudah beberapa
kali kukenalkan setiap insan jelita yang singgah di hati ini pada
mamah dan papah. Walaupun pastinya berujung dengan
kehendak diri ini mengambil jawaban, alangkah berdosanya jika
aku menyembunyikan kebahagiaan pada mereka.
Aku sempat syok tatkala Sheilla mengirimkan foto tanpa
cadar kepadaku. Berulang kali kucocokkan foto orang ini dengan
foto lainnya yang mengenakkan cadar. Beda! Ini pasti editan
handphone mahal! Ketika kutanyakan kebenarannya, dia hanya
tertawa. Pasalnya banyak orang yang juga terkaget-kaget—
termasuk teman hijrahnya—melihat paras wanita ini di balik
cadar. Cantik? Tentu saja semua wanita cantik, yang tampan
hanya kaum pria, he he. Aku sudah bersumpah menjaga rahasia
ini sampai saat yang dinanti tiba.
Namun, ada satu hal yang mengganjal hatinya ketika
kutawarkan ia untuk diketahui keluarga. Ia merasa seorang
tenaga kerja wanita sepertinya tak pantas diperkenalkan.
Jangankan dimintai izin menjalankan sebuah hubungan, untuk
diketahui pun membuat dirinya tak percaya diri. Apa kata orang-

80 | Cinta (Kita) Sederhana


orang kala seorang ustaz kawakan pesantren sepertiku
disandingkan dengan TKW?
Tentu dengan lapang dada kukatakan semua akan baik-
baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kupastikan
keluarga di Bogor takkan senaif itu mencegah niat seseorang
yang dengan tulus hati ingin mempererat tali bersilaturahmi.
Mereka pasti akan luluh ketika kuceritakan bagaimana
perjuangannya sampai di tanah Tiongkok tersebut. Hembusan
angin yang senakin kuat meninju permukaan kaca helmku seakan
menjadi teman selama perjalanan. Aku selalu mengulang satu
kalimat, “Jika memang berjodoh, tolong mudahkan, ya Rabb.”
Sebelum azan zuhur berkumandang, si bebek besi sudah
berhasil membawaku sampai di kampung halaman tercinta—
kampung Pagentongan. Kampung yang terkenal dengan sosok
Abah Falak, mursyid sekaligus pendiri pesantren Al-Falak. Di
rumah sudah menunggu mamah, papah, adik dan kakakku yang
kebetulan pada momen hari id ini menyempatkan hadir. Aku
sangat senang ketika anak dari adik pertamaku—Haura, sangat
antusias jika ingin bermain dengan omnya ini. Biasanya
petualangan pertama kami mencari binatang-binatang di sekitar
rumah seperti ayam, kucing, dan hewan lainnya.
Jepret!
Sekali klik, laporan untuk wanita yang menunggu kabar
sampai dariku terkirim. Sekalian kusertakan juga foto Haura yang
sedang asyik mengelus kucing bermotif garis jingga.
[Alhamdulillah, Aa udah sampai. Ini lagi ada Haura di
rumah,] laporku pada Sheilla.
[MasyaAllah, si cantik! Nanti kalau aunti pulang wajib
tak gendong, he he.] Sheilla sebenarnya sudah
kuperkenalkan pada Haura saat anak kecil itu
terbaring sakit tiga bulan sebelumnya, tepat

Humaidi Syaidil Akbar | 81


beberapa hari setelah kami mulai percakapan di
aplikasi hijau.
***
Swastamita mulai menyusut tertunduk dalam genggaman
nabastala yang tergantikan tugasnya oleh dewi malam
menyelimuti jiwa-jiwa dalam peristirahatannya. Sorak sorai
gemuruh takbir masih terngiang di telinga tatkala sang jagal
mempersembahkan hewan kurban sebagai lambang penyucian
jiwa dan keimanan sebagaimana teguhnya iman sang khaliullah
baginda Nabi Ibrahim as. mengorbankan jiwa sang anak
tercinta—Nabi Isma’il as.—atas perintah agama hingga Allah
menyematkan anugerah kepada bapak para Nabi dengan ucapan
selamat, salâmun ‘alâ Ibrâhîm.
Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin di Indonesia pada
hari raya idul adha untuk ramai-ramai melaksanakan penyembe-
lihan hewan kurban. Dapat terlihat di masjid atau tempat-tempat
tertentu membuat posko-posko penerimaan daging kurban,
pada jam yang telah ditentukan datang para warga berbondong-
bondong dengan menggenggam secarik kupon kurban untuk
menerima dan menikmati hasil penyembelihan. Banyak di antara
mereka memanfaatkan kesempatan tersebut dengan membuat
olahan-olahan khas idul adha seperti sate, semur daging, sop
daging, dan apa pun semacamnya.
Setelah menikmati hasil olahan daging yang dibuat oleh
tangan besi mamah dan juga dibantu oleh anak-anaknya, kami
sekeluarga berkumpul di satu titik ruangan untuk membahas hal-
hal menarik yang terjadi di sekitar kami akhir-akhir ini, Teh Lia
dengan kehidupannya di Sindang barang, Mimil dengan keluarga
kecilnya di Gunung Bunder, terakhir membahas kehidupanku di
tanah pesantren.

82 | Cinta (Kita) Sederhana


“Alhamdulillah di pesantren ada sekitar seratus kambing
dan dua puluh sapi di potong,” ucapku pada keluarga.
“Aa nggak ikut motong?” tanya Nuke, sang adik bungsu.
“Tahun ini enggak kebagian tugas. Sebenarnya sih disuruh
bantu-bantu, tapi Aa bingung mau bantu apa, jadinya pulang aja.”
Sembari menyantap setusuk sate, kujelaskan alasanku bisa
pulang pagi.
“Asyik, Aa dapat daging enggak?” lanjut Mimil—sang adik
pertama sekaligus mamah Haura—menanyakan hakku.
“Harusnya sih, dapat. Biasanya pembagian daging di
pesantren mah agak lambat. Paling besok atau lusa.” Aku
menutup topik tentang kurban.
“Katanya abay mau cerita, sok atuh cerita apa?” Mamah
langsung to the point karena matanya sudah terlihat sayu.
“He he, iya. Seperti biasa, sih. Mau ngenalin seseorang lagi.”
‘Seperti biasanya’. Ya, pembahasan seperti ini memang
sudah menjadi hal yang biasa aku laporkan khususnya pada
mamah. Biasanya para saudariku yang lain—karena aku tak
memiliki saudara laki-laki di rumah ini—akan menerima
laporanku dari mulut mamah.
“Aa lagi deket sama siapa emangnya?”
Sebelum menyebutkan sosok yang akan aku ceritakan,
kusodorkan terlebih dahulu foto kiriman WhatsApp dari orang
tersebut kala menelepon kemarin. Semua anggota keluarga
secara estafet memegang gawai pipihku sembari memelototi
apa yang terpancar dari balik layar.
“Siapa namanya, A?” kata Mimil setelah memberikan
ponselku pada anggota yang belum sempat melihat wajahnya.
Ketika papah dengan bantuan kacamata tebalnya memperha-

Humaidi Syaidil Akbar | 83


tikan objek foto, ia teringat mendiang wajah anak pertama dari
istri pertamanya, “Mirip Teh Nina, ya?”
“Namanya Sheilla, Abay juga pas pertama nerima foto itu
asa8 pernah lihat di mana gitu.”
“Orang mana?” Mamah mulai menginterogasiku. Mamah
adalah tipikal orang yang sulit ditebak. Kadang ada wanita yang
sudah yakin kukenalkan, tapi ketika dimintakan pendapat, beliau
mengurungkan dengan alasan tempat tinggalnya terlampau jauh
atau adat yang tak sama. Pernah juga suatu waktu kukenalkan
orang yang biasa saja dan beliau menyuruhku melanjutkan
dengan alasan dijalani dulu saja. Bagiku mungkin semua itu
berdasarkan bagaimana keadaan mood mamah.
“O-Orang Subang, Mah,” jawabku gelagapan.
“Oh, lumayan jauh, sih, tapi masih daerah Jawa Barat mah
bisalah ditempuh,” timpal papah yang sepertinya sudah
memberikan lampu hijau.
“Kerja apa kuliah?” Mimil bertanya sambil kakinya
menggoyang-goyangkan bantal dengan Haura tidur di atasnya.
“Kerja. Ini yang sebenarnya Abay mau maintain pendapat
semua, kerjaannya ini beda dengan yang sebelum-sebelumnya.
Dia kerja di Taiwan.”
“Hahh! Taiwan?!” Semua berteriak dalam satu oktav.
***

8 berasa

84 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 13
Restu dan Kejujuran

“G
imana?”
“Apanya?”
“Ngobrolnyalah!”
“Ha ha. Pasti bakal nanyain itu. Sabar—”
Malam belum juga menampakkan gelapnya, sang gadis
Subang sudah menampakkan rasa penasarannya dengan
meneleponku siang ini. Obrolanku dengan keluarga malam itu
sepertinya cukup membuat rasa kepo dalam dirinya meletup-
letup. Wajar saja, karena aku belum menghubunginya lagi
semenjak melaporkan kedatangan di Bogor tempo hari. Padahal
ia sudah mengirimkan pesan singkat malamnya tapi sengaja tak
kubalas agar memicu rasa ingin tahunya.
Aku sudah kembali ke pesantren, melaksanakan lagi
kesibukan yang tertinggal beberapa hari selama pulang kampung.
Siang ini aku mendapatkan kabar pengambilan hewan kurban
dari grup WhatsApp pesantren. Ketika sedang bersiap berangkat,
Sheilla malah menghubungiku.

Humaidi Syaidil Akbar | 85


“Enggak bisa sabar. Cepet ceritain, ih!” cerocosnya tak
sabaran.
“Ini lagi ngurus daging kurban dulu di pesantren. Teteh
kerjain dulu aja urusan jaga neneknya sana!” umpatku beralasan.
“Awas, ya! Bikin Teteh penasaran. Malam cerita pokoknya!”
“Siap, Bos.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal usai mengerjainya, rasakan
‘jurus penumbuh rasa kepo’ dari suhu Humaidi. Emangnya enak
disuruh nunggu, dia pasti sangat kepikiran. O iya, aku baru ingat
hari ini Mr. Sidig sudah mulai meminta izin untuk pamit, ia
berancana sedikit demi sedikit memindahkan barang-barang di
sini ke kontrakan adiknya di Ciledug. Jadi hari ini kegiatan full.
Namun, waktu seakan mendukung rasa penasaran Sheilla,
ia cepat sekali memutar siang pada malam. Tak terasa dengan
dipenuhi bulir peluh, jasadku sudah tergeletak di kasur tipis.
“Jangan alasan lagi, cerita sini!” Sheilla dengan suara
meledak-ledak menahan kemelut hatinya.
“Baru selesai ini, lagi pendinginan dulu,” timpalku.
“Allahu—”
“Teteh ngaji dulu, sih. Udah berapa malam nggak setoran?”
Aku sengaja mengalihkan topik agar wanita ini lebih mampu
menahan rasa sabarnya.
“Sekarang episode khusus cerita, enggak bisa diganggu
gugat. Lagian lagi enggak bisa ngaji, lagi ada ‘tamu’ datang,”
timpalnya lagi, ia keukeuh ingin meledakkan hasrat penasarannya.
“Lo, Emang apa hubungannya ada ‘tamu’ sama enggak
ngaji?”

86 | Cinta (Kita) Sederhana


“Ya, kan, kalau kita lagi ada ‘tamu’ enggak boleh pegang
Qur’an. Jadi gimana mau ngaji?”
“Huh … Begini, bedakan antara memegang Alquran sama
membacanya. Itu dua hukum yang enggak sama satu sama lain.
Masing-masing punya perbedaan pendapat di kalangan ulama
fikih. Dalam hukum memegang Alquran, Imam Hanafi sama
Syafi’i memang ketat banget melarangnya terkecuali kalau di
dalam kitab tersebut lebih banyak penjelasan atau tafsirnya
daripada ayat, begitu juga Imam Maliki sama Hanbali yang
membolehkan jika dalam keadaan darurat atau terhalang oleh
benda lain seperti kain. Tapi kita, kan, sekarang membahas
hukum bacanya. Aa mau tanya, memangnya ngaji harus selalu
pegang Alquran?”
“Ya … enggak juga, sih.”
“Nah makanya, banyak alternatif lain yang bisa kita
lakukan agar bisa ngaji meskipun nggak pegang Alquran.
Misalnya dengan mendengarkan mp3 atau video murattal, itu
malah lebih bagus, jadi berasa ditalaqqi langsung imam qari.
Membaca Alquran untuk niat zikir atau murajaah hafalan itu
diperbolehkan, dalam ilmu fikih ini disebut istihsan, artinya
berpaling dari suatu hukum tertentu untuk mengambil
kemashlahatan yang lebih besar. Kalau kita tidak baca Alquran
dalam satu hari padahal kita punya tuntutan murajaah, itu malah
jadi mudharat karena dapat melemahkan hafalan.”
“Teteh takut aja, dalam keadaan hadas begini malah baca
ayat suci, kan enggak cocok.”
“Siti Aisyah ra. pernah berkata kalau Nabi Muhammad saw.
selalu menyebut nama Allah dalam segala hal. Ini berarti boleh
saja membaca ayat suci termasuk dalam keadaan junub sekalipun.
Asal niat zikir aja. Semua itu kembali ke niat masing-masing.”

Humaidi Syaidil Akbar | 87


“Iya … iya, tapi kan sekarang lagi gak punya hafalan. Apa
yang mau disetorin?”
“Gubrakk!” Mungkin sudah saatnya kuceritakan perkara
obrolan keluarga kemarin, tubuh juga sepertinya sudah mulai
enakkan. Semoga ia tidak kaget setelah mendengarnya nanti.
“Ya udah, Aa cerita, ya.”
“Siap, tak dengarkan!”
“Aa udah bilang kalau sekarang sedang dekat sama cewek
kelahiran Subang, tapi sekarang lagi merantau ke Taiwan—"
Belum selesai aku bicara, Sheilla memotongnya, “Nah,
gimana, tuh, reaksi mereka?”
“Santai, Bu. Bapak terusin, nih.”
“Iya … iya, he he.”
“Awalnya mereka kaget dengernya, mereka enggak
nyangka Aa bisa kenal sama seseorang yang enggak sefrekuensi.
Aa jelasin aja kalau awalnya kita ketemu di Facebook, kemudian
berlanjut di WhatsApp. Papah yang tadinya wajahnya semringah
tiba-tiba diem, he he. Malah teh Lia sempat ngasih informasi
kalau Aa harus hati-hati bergaul sama tenaga kerja luar negeri,
soalnya beliau juga dulu punya pengalaman nggak enak sama
TKW.”
“Tuh, kan. Teteh enggak—"
“Wait, Aa belum beres ngomong. Harap dengarkan sampai
selesai.”
“Iya …,” dari nada bicaranya, sepertinya ia sudah berputus
asa untuk berkomunikasi denganku lebih jauh. Mudah-mudahan
dengan penjelasanku ini, hatinya kembali ceria.

88 | Cinta (Kita) Sederhana


“Aa ngomong kaya gini dalam rangka kejujuran. Enggak
mau ada yang disembunyikan sedikit pun sama mereka. Tapi ini
masih reaksi awal, setelah itu Aa jelasin lagi kalau wanita ini lain
daripada yang lain. Aa certain kalau di sana Teteh punya
pengalaman yang sangat berkesan, mulai dari niat awal
berangkat sampai keputusan Teteh pakai cadar. Dan jujur saja,
keluarga tertegun dengarnya. Enggak ada dari mereka yang
punya pengalaman sehebat Teteh.”
“Serius reaksi mereka gitu? Aa enggak bohong, kan? Bukan
dalam rangka ngehibur Teteh aja?”
“Suer, deh! Ngapain Aa bohong? Kan dalam rangka
kejujuran. Terus terakhir mamah tanya, ‘kapan Teteh pulang?’”
“Eh, Aa jawab apa?”
“Ya, Aa jawab aja dua tahun lagi. Mereka paham kalau
Teteh ada tanggungan yang enggak bisa lepas gitu aja.”
“Syukur, deh, kalau gitu.”
“Teteh sendiri udah cerita tentang Aa ke keluarga?”
“Udah, dongs!”
“Gimana?” Sejujurnya aku tak begitu ingin ia
menceritakanku pada keluarganya karena ada hal yang masih
mengganjal dalam pikiranku.
“Pertamanya Teteh tanyain perkembangan si Lutfi, adik
Teteh yang lagi pesantren. Ternyata dia enggak betah di sana,
sering pulang. Terus Teteh bilang aja mending cari pesantren
yang jauh sekalian, Teteh sebutin pesantren yang dulu pernah Aa
tempatin. Eh, apa kata Mamah? ‘Teteh kayaknya lagi deket sama
seseorang’, gitu.”
“Kok bisa tahu?”

Humaidi Syaidil Akbar | 89


“Enggak paham Teteh juga, katanya sih enggak mungkin
Teteh tahu banyak tentang pesantren kalau enggak lagi deket
sama seseorang. Ya udah, Teteh ceritain tentang Aa. Eh, Mamah
malah langsung minta nomor Aa, Teteh bilang aja, ‘nanti ada
waktunya’. He he”
“Kenapa enggak dikasih aja atuh?”
“Jangan, ah. Mamah itu orangnya kepo banget. Aa, kan,
lagi banyak urusan di pesantren, nanti malah gangguin terus.”
“Sama keponya kayak anaknya, ya?”
“Idih … enggaklah. Nanti kalau sudah saatnya Teteh kasih
nomor Aa.”
“Kapan?”
“Tunggu saja, he he.”
Syukurlah, laporan kami berjalan dengan respons baik dari
masing-masing keluarga. Akan tetapi, ini belum selesai. Ada satu
hal penting yang harus kupastikan. Hari ini akan kukatakan.
Bismillâh.
***

90 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 14
Relung dan Ingin

T uhan memang menyuruh kita tawakal, menggan-


tungkan segala urusan pada-Nya. Akan tetapi, tak
perlu meminta tangan Tuhan untuk membantu
sedang dirimu membatu. Carilah rida-Nya dengan bekal potensi
sendiri. Tugas Tuhan itu pengabul sederet doa tulus, bukan pelayan
segala urus. Jika bukan diri sendiri, pantaskah Tuhan yang
menggerakkan jasadmu untuk mencari rida-Nya? Sebegitu
rendahkah Tuhan di matamu?
***
“Maaf kalau Aa lancang, apa keluarga Teteh enggak
nanyain si ‘dia’? Jujur Aa masih enggak enak sampai sekarang
komunikasi sama Teteh apalagi dikenalin ke keluarga.” Sudah
kukatakan. Persetan dengan segala konsekuensi, aku lebih ingin
menyibak kebenaran ketimbang memanjakan perasaan. Wanita
ini harus tegas dengan segala pilihan hidupnya. Tetap bersamaku
dengan segala bumbu-bumbu halu, atau kembali kepadanya
dengan keyakinan pasti.
“Udah ke laut dia mah. Lagian Teteh enggak bisa mem-
pertahankan orang yang juga enggak bisa mempertahankan

Humaidi Syaidil Akbar | 91


komitmen Teteh.” Jawaban yang menohok nan menonjok wajah
ini ringan sekali ia ucapkan. Apa maksudnya? Untaian kalimatnya
bak ratu yang menendang para peserta sayembara tatkala
mereka gagal menjalaninya.
“Teteh fix enggak jadi sama dia?” ucapku penuh kehati-
hatian.
“InsyaAllah udah enggak ada lagi yang gangguin Teteh
untuk memperluas jangkauan silaturahmi. Memang dulu dia
udah sempat ke rumah, minta izin sama Mamah dan Papah. Tapi
itu enggak sama keluarganya, dia cuma ngajak teman dekatnya
yang rumahnya masih daerah Subang. Barulah keluarganya
datang pas lagi ada undangan, itu pun tanpa ada dia.” Primadona
Taiwan ini masih menguasai ucapannya, aku harus bertanya hal
yang lebih dalam lagi.
“Udah dikasih cincin?”
“Udah, tapi Teteh udah minta mamah titipin lagi ke teman-
nya itu.”
“Hm … begitu.” Baik, sementara cukup itu daftar tanyaku.
Malam ini aku merasa seperti telah memecahkan satu bisul yang
sudah lama mengendap, terasa puas walaupun ada sakit yang
harus ditahan. Puas karena masing-masing keluarga kami sudah
saling mengetahui, tapi sakit karena mendengar kegagalan
hubungan seseorang di depan mata. Aku harap apa pun yang
terjadi selama ini tidak menjadi akhir yang buruk suatu hari nanti.
***
Bulan September sudah menyambut, roman masuk kuliah
pun sudah mulai terasa dengan iringan broadcast grup
mahasiswa dan UKM yang berseliweran pada gawai pipihku. Tak
terasa periode ini aku masuk semester lima, artinya tugas-tugas
terkait skripsi pasti akan jadi santapan baru dalam irama

92 | Cinta (Kita) Sederhana


pembelajaranku di kampus. Tinggal dua tahun lagi perjuangan
membelah jadwal pekerjaan, pendidikan, hafalan, salah satunya
akan tergenapi. Setidaknya saat ini hanya kuliah yang baru
terlihat ujungnya.
Namun, pada periode ini pula aku memiliki kegiatan baru
yang tak kalah pentingnya. Ya, sebagai agent of happiness. Aku
sedang memperjuangkan kebahagiaan seseorang yang entah
mengapa mengalihkan seluruh perhatian menjadi sebuah
prioritas. Jika di pesantren aku membagikan sebagian ilmu, di sini
aku membagikan sebagian cinta. Cinta yang terbungkus jasa.
Akan tetapi, apakah ini layak disebut cinta? Tiap hari mendakwahi
seorang wanita dengan berbagai problematika hidupnya tanpa
ada secuil pun harap tersentuh untuknya. Aku hanya memegang
satu prinsip, Allah akan menyingkap kuasa-Nya di saat yang tepat.
[Semalam jam empat subuh perut sakit banget,
susah napas. Dibawa napas sakit. Sampai terpaksa
bangunin nenek minta tolong nelpon majikan.
Napasnya bener-bener sakit.] Pesan pagi hari dari
Sheilla membangkitkan syaraf adrenalin.
[Innâlillâh … Terus gimana sekarang?]
[Ini masih di RS. Mohon doanya, A. semoga gak ada
apa-apa. InsyaAllah sore juga pulang]
[Kenapa atuh bisa gitu?]
[Biasa, ada penyakit pengen lewat. Niatnya hari ini
mau puasa, pas sahur malah kerasa. Ya udah, gak
jadi.]
[Jaga kesehatan, Teh. Jangan terlalu maksain diri kerja
banyak-banyak. Doa dan shalawat pantengin terus. Aa hari
ini udah mulai lagi kuliah malam, jadi nanti kita atur jadwal
ngaji lagi, ya.]

Humaidi Syaidil Akbar | 93


[Siap, Bos. Enggak apa-apa hari ini libur dulu deh.
Teteh juga mau istirahat dulu, semangat terus, Pak
Ustaz.]
Baiklah, aku bisa bernapas lega selama seharian ini. Bukan
karena terbebas dari tugas mendakwahinya, tetapi lega karena
hati ini tak perlu meledak-ledak mendengar desah suaranya.
Namun, perasaan lega ini juga harus terurungkan tatkala
mendapati tugas-tugas kampus yang sudah menghantui di hari
pertama ini. Maskur, teman duduk sebelahku terlihat sibuk
sendiri dengan gawai pipih tercantol di kedua tangannya.
Sepertinya selain tugas kampus, ada hal yang lebih hebat
menimpa dirnya.
“Ngapain sih? Khusyuk amat sama HP,” godaku demi
memecah perhatiannya.
“Enggak apa-apa, lagi belajar ngedit video aja.” Tepat,
kulihat ia sedang asyik mengakses kinemaster, sebuah aplikasi
edit video dengan fitur yang rasanya cukup lengkap untuk kelas
editor amatir. Tetapi ada yang berbeda, kulihat Maskur sedang
mengedit video yang sedikit misterius. Ada siluet dua orang yang
saling membelakangi dengan kata-kata yang sekelebat terbaca
sangat puitis.
Sambil mencuri-curi pandang pada layar ponsel yang
dipegang Maskur, aku tetap memerhatikan materi yang
disampaikan dosen kemudian memindahkannya pada lembar
catatan binder. Waw! Tak hanya video romantis, usai mengedit
video dan mengirimkannya pada platform WhatsApp, kulihat
lelaki berkulit sawo matang ini juga memiliki grup dengan hanya
dua orang anggota di dalamnya. Walau kurang terlihat jelas, tapi
sedikit demi sedikit aku masih bisa membaca kedua anggota
tersebut. Anda—Maskur, dan Deku. Deku? Siapa itu?
Mungkinkah? Eh, Mengapa aku jadi penasaran begini?

94 | Cinta (Kita) Sederhana


Kuliah selesai pukul sepuluh malam, waktu yang tepat
untuk beristirahat, menata ulang anatomi tubuh yang hampir
remuk sembari mendaya ulang energi otak dan fisik. Tetapi,
masih saja kulihat Maskur bercumbu dengan telepon pintarnya di
sudut kursi yang terpasang rapi satu set dengan meja teras di
depan ruang administrasi.
“Masih aja sibuk, lu.” Kuhampiri ia dan duduk di seberang
kursi dengan meja sebagai pembatasnya.
“Iya, nih. Tanggung dikit lagi,” ungkapnya ringkas. Tanpa
ba-bi-bu langsung saja kutanyakan hal yang paling inti.
“Lu mau nikah, ya?”
“Sotoy lu, ah!” sanggahnya sembari menyunggingkan
mulut penuh ejek.
“Enggak apa-apa kali, jujur aja. Enggak akan bocor kok.”
Aku tegas meyakinkannya dengan menanyakan pertanyaan
kedua, “Sama Rohmah, ‘kan?”.
“Eh, dia cerita sama Lu?” Dia mulai terpancing.
“Enggaklah. Gue tadi gak sengaja liat chat lu sama Rohmah.
Deku itu Rohmah, ‘kan?” Sekakmat. Dia sudah tak bisa lagi
mengelak untuk menyembunyikan rahasianya. Aku tahu mereka
telah menjalin kedekatan sejak terbentuknya kelompok peneliti
sosial kami dulu. Sekitar dua semester sebelumnya, aku bersama
lima orang kawan kampus lainnya membuat sebuah kelompok
kecil, di dalamnya ada Maskur dan Rohmah pula. Awalnya
kelompok itu terbentuk dari momen kumpulan biasa lalu
berevolusi menjadi sekelompok pemuda-pemudi yang
mengabdikan diri pada kepentingan sosial. Tak lama kemudian
kelompok ini vakum dan lambat laun mengurai karena
kepentingan pribadi masing-masing.
“Dasar tukang nguntil!” seru ia menahan malu.

Humaidi Syaidil Akbar | 95


“Bagus, ‘kan. Gak usah dikasih tahu udah mandiri,”
sergahku.
“Doain aja, Mid. Gue masih memperjuangkan, semoga
lancar sampai hari H.” Aku paham, apa yang dialaminya kini
bukan lagi perkara main-main. Sebelum lisan berhasil mengukir
kalimat sakral itu, akan ada banyak ujian yang Allah hidangkan
untuk para peneguk cinta, mungkin aku pun sedang
mengalaminya kini. Apa aku bisa menggaetnya dalam rinai
kehidupanku mendatang?
***

96 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 15
Curhat dan Target
Aku rela merasakan sakitnya sembilu
Jika pengalaman adalah hasilnya
Aku rela merasakan sakitnya rindu
Jika kamu adalah penawarnya
***

M askur benar-benar mantap akan menikahi


Rohmah. Akan tetapi, ia megingatkanku untuk
sementara tidak menyebarkan kabar ini pada
siapa pun. Tenang saja, aku adalah orang yang sangat teguh
memegang komitmen, apalagi untuk urusan rahasia. Akan tetapi,
sudah kesekian kalinya menjadi tempat transit segala curahan
hati, aku masih saja ragu pada siapa kemelut dalam benak ini
harus disampaikan. Allah. Hanya Allah sebaik-baik tempat kem-
bali.
Meski asyik menjadi pendengar sejati, tak jarang kritik dan
saran kulontarkan pada lelaki keturunan Madura tersebut.
Keputusannya untuk menikah memang sangatlah mulia, tapi jika
hal itu dilakukan, apakah ia sanggup mengemban tugas sebagai

Humaidi Syaidil Akbar | 97


kepala keluarga pada masa kuliah ini? Terlebih lagi ia masih
mempunyai tugas berat menggantikan almarhum ayahnya
mencari nafkah. Bukan karena aku tak percaya akan kemam-
puannya, yang jadi masalah, wanita yang akan ia nikahi adalah
seorang mahasiswi yang memiliki kewajiban sama dengannya.
Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya.
Namun, inilah kelemahanku. Terkadang apa yang seha-
rusnya aku jaga, tak bisa dipertahankan dengan baik. Setelah
melaporkan perpindahan Mr. Sidig dan kosongnya peralatan di
kontrakan pasca ditinggal, aku juga melaporkan dialog dengan
Maskur tanpa ada satu hal pun yang tersisa, Bodohnya. Lebih
bodoh lagi laporan tersebut kusampaikan dalam keadaan sadar,
hanya karena menganggap Sheilla bukan siapa-siapa, apa yang ia
dengar takkan sampai pula di telinga teman-teman kampus dan
sekitarnya. Semoga Allah mengampuni kecerobohanku ini.
“Semoga mereka dimudahkan urusannya. Siapa tahu de-
ngan mendoakan mereka, urusan kita juga dimudahkan, he he,”
kata Sheilla. Malam ini aku bisa meneleponnya dengan leluasa,
jangankan manusia, barang-barang saja nyaris tak ada di sini. Aku
hanya ditemani sebuah lemari, beberapa lembar pakaian dan
segulung tikar.
“Emang urusan kita apa?” tanyaku mengikuti permainan-
nya.
“Banyak, ‘kan? Urusan dunia dan akhirat.”
“Bener-bener … Ya udah, ayo mulai ngaji.”
“He he, se-sebenernya Teteh belum ada hafalan. Setoran
terakhir kemarin itu batas tabungan Teteh. Padahal udah
ngafalin semalam suntuk tetep gak masuk-masuk. Sedih—"
keluhnya.

98 | Cinta (Kita) Sederhana


“Ya udah enggak apa-apa. Kan bisa tahsin dulu. Kalau
sudah lancar bacanya baru dihafal. Lagian kemarin Teteh abis dari
RS, ‘kan?” Aku memakluminya karena kondisinya saat ini pasti
sedang lemah, walau ia bilang hanya kecapaian saja.
“Gimana kalau udah berusaha tapi nggak hafal-hafal?
Teteh itu pengen nangis, pengen ngejerit. Kenapa kok susah
banget ngafal? Dosa apa Teteh ya Allah—" Sheilla masih
mengeluh.
“Kenapa harus sedih? Alquran itu fungsinya dibaca toh,
bukan dihafal? Apakah setelah itu berubah jadi hafalan atau
enggak, tetep aja pada akhirnya dibaca juga, ‘kan? Malah kita
harusnya senang, hafalan yang susah hakikatnya adalah tanda
kalau ayat itu gak mau berhenti kita baca. Dia masih betah di
mulut kita,” dakwahku.
“Begitu … enggak dosa, kan, kalau kita enggak hafal
Alquran?”
“Ha ha ha, kalau orang yang enggak hafal Alquran semua
berdosa, surga sepi karena semua pada masuk neraka. Orang
yang hafal Alquran memang diistimewakan oleh Allah, tapi bukan
berarti yang nggak hafal Alquran diterlantarkan. Hafal Alquran,
tahu maknanya, paham tajwidnya, sampai pakar tafsirnya itu
hukumnya fardu kifayah, kalau dalam satu tempat sudah ada
yang mewakili, gugur sudah kewajibannya. Lagian dengan kita
hanya hafal Alfatihah pun sudah bisa dijadikan modal amal di
akhirat. InsyaAllah.”
“Iya, sih. Teteh cuma sedih aja, orang-orang bisa gampang
hafal, sementara Teteh….”
“Mohon maaf, ya, Teh. Nggak semua orang hafal Alquran
otomatis selamat dari neraka. Ada orang-orang yang di dunia
hafal Alquran tiga puluh juz, tahu tafsirnya, tapi karena amalnya
tidak sesuai dengan hafalannya ia dimasukkan ke neraka. Ada

Humaidi Syaidil Akbar | 99


juga yang cuma hafal satu-dua ayat saja, tapi dia masuk surga
karena amalnya semua berlandaskan Alquran. Fungsi Alquran
buat manusia itu ada dua, kalau tidak memberi rahmat ya
memberi laknat. Na’udzu billâh.”
“Serem, ih. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari laknat
Alquran, ya Allah.”
“Yang penting kita istikamah nyari rida Allah. Tetep jaga
hati, jaga sikap, dan jaga perasaan. He he.”
Sesaat obrolan kita hening. Ada sesuatu yang hendak
keluar dari mulutnya. Mungkinkah?
“A,” ucapnya membuyarkan keheningan.
“Iya,” balasku.
“Teteh sempet mikir, enggak tahu apa yang terjadi kalau
enggak ada Aa dalam kehidupan Teteh. Mungkin Teteh udah
mikir pengen mati aja kali.”
“Hush! Enggak boleh ngomong gitu, Aa ada karena Allah
yang mau. Allah yang bikin kita sekarang bisa komunikasi. Allah
berkuasa mempertemukan dan memisahkan siapa saja yang Dia
kehendaki.”
“Teteh enggak mau bohong, sebelum ada Aa kehidupan
Teteh acak-acakan. Memang orang lain ngelihat Teteh senang,
bahagia, ceria, itu karena mereka melihat dari balik cadar. Jauh
dari yang mereka bayangkan, Teteh ngerasa hidup sempit. eak
ada yang bisa nolongin Teteh atau paling tidak dengerin curhatan
Teteh. Temen-temen di sini kebanyakan ngurusin dirinya masing-
masing. Tetep aja kalau ada apa-apa larinya ke Teteh. Teteh
ngerasa, mungkin dengan datangnya Aa, Allah denger doa Teteh.”
“Apa yang Teteh doain?”

100 | Cinta (Kita) Sederhana


“Teteh selalu berdoa, kelak suatu saat ada orang yang
ikhlas menghabiskan waktunya untuk membimbing Teteh, jadi
solusi dari semua pertanyaan Teteh. Makasih, ya, A.” Kata-
katanya terkesan teduh nan romantis, tapi ini bukan rayuan dari
jiwa-jiwa gombal. Ini sebuah pengakuan, pasti langsung keluar
dari hati.
“Iya … Syukur deh kalau gitu, makanya manfaatin bener-
bener kehadiran Aa. Jangan malas kalau disuruh ngaji sama
shalawat, he he.” Aku balas dengan guyonan untuk mencairkan
suasana yang rasanya makin memanas.
“Serius, eh! Jangan ngilang dulu, ya. Kalaupun suatu saat
kita enggak berjodoh, jangan berhenti ingetin Teteh.” Apa
kataku! Kata-kata itu sudah bisa kuprediksi dari gelagatnya. Apa
yang harus kulakukan?
“Ya enggak bisalah. Kalau Teteh sudah menemukan
jodohnya. Tugas Aa sebagai pengingat udah selesai.”
“Enggak mau! Pokoknya Aa gak boleh lost contact sebelum
Teteh selesai berusaha.”
“Berusaha apa?”
“Ya … Berusaha mencapai semua target teteh sampe
finish dan itu Banya—k banget. Tapi yang terpenting agama
nomor satu, itu yang pengen banget teteh usahain saat ini.
belajar belajar dan belajar.”
“Lalu setelah itu apa?”
“Satu cita-cita Teteh, kelak menjadi wanita sekaligus istri
yang sukses. Bukan hanya sukses dalam keluarga—mendidik
serta mengurus suami dan anak, tapi sukses juga dalam banyak
hal khususnya bidang yang Teteh tekuni. Dan itu butuh bantuan
Aa, he he.” Apa lagi ini? Masihkah ini sebuah pengakuan? Atau dia
sengaja menjatuhkan diri dalam kubangan agar aku memapah-

Humaidi Syaidil Akbar | 101


nya? Sekelebat aku teringat momen Maskur dengan sesuatu
yang ada dalam gawainya.
“Kita bikin grup, yuk!”
“Grup apa?”
“Grup WhatsApp. Isinya kita aja.”
“Buat?”
“Teteh kan tadi bilang pengen kejar target, kebetulan Aa
juga sama. Kita kerjain target kita sama-sama pakai grup itu,
gimana?”
“Hmm … Boleh.”
***

102 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 16
Hubhub dan Impian

“M
impi besar terbentuk dari mimpi-mimpi kecil
yang terkumpul kemudian menjadikannya
besar. Kau takkan bisa mewujudkan sebuah
mimpi besar jika mengabaikan mimpi-mimpi kecil. Hargai mimpi
sekecil apa pun itu, ia akan mengantarkanmu pada mimpi yang
lebih besar. Dan tak ada mimpi terbesar selain mendapatkan Wajah
Allah.”
***
“Hubhub? Apa artinya?” tanyanya usai kubuatkan grup
pada platform WhatsApp dan memasukkannya dalam grup
tersebut. Kuselipkan nama Hubhub pada kepala grup tanpa ada
foto terlebih dahulu.
“Asal katanya ‘Hubb’, artinya cinta. Hubhub maksudnya
mengumpulkan cita-cita dan apa yang kita cinta di dalamnya.
Seperti biasa, harus ada nama ‘H’,” jawabku.
“Kirain ada maksud tertentu dengan nama itu, hi hi.” Aku
tahu ia ingin memancing canda, tapi bukan saatnya. Aku
lanjutkan lagi pemaparannya.

Humaidi Syaidil Akbar | 103


“Aturannya gampang, kita enggak boleh masukkan apa
pun di situ kecuali mimpi-mimpi sama target kita aja. Siapa tahu
dengan begitu kita bisa saling bantu cita-cita masing-masing.”
“Oke, siap. Aa mau masukin apa?”
“Aa sih pengen masuk-masukin puisi, lagu, daftar target,
sama kutipan-kutipan. Aa pengen bikin buku karya sendiri. Teteh
juga kalau bisa ikutan.”
“Bisa-bisa … nanti Teteh coba-coba nulis juga deh.”
“Tadi Teteh bilang pengen sukses di bidang yang Teteh
tekuni, apa itu?”
“Teteh itu seneng bikin-bikin baju, khususnya yang syar’i.
Cita-cita Teteh pengen buka butik sendiri. Nanti paling Teteh
masukin info seputar model-model baju, bahan kain, sama semua
yang berhubungan dengan pergamisan. Sekarang Teteh tuh lagi
cari-cari tahu cara bikin brand nama sendiri sama cara jahit rok
yang biar enggak keriput kayak gimana, he he.”
“Kenapa enggak bilang dari dulu? Teteh enggak tahu? Aa
jago gambar loh. Memang biasanya gambar-gambar kartun, sih,
tapi kalau disuruh bikin baju mah cetek.” Aku baru menyadari
Sheilla belum tahu bakat terpendamku. Sebenarnya sudah
terselip sebuah clue pada tulisan yang kukirim padanya tempo
hari, tapi sepertinya ia tak memperhatikan itu.
“Masa sih? Kirain Aa itu cuma fokus sama Qur’an aja.”
“Siapa bilang? Sekarang iya Aa di pesantren cuma ngajar
ngaji, tapi gini-gini dulu Aa punya jasa gambarin orang-orang. Di
IG Aa punya akun galeri namanya ‘Aidil Galery’, di situ banyak
karya-karya yang Aa simpen. Bismillah deh, semoga Aa berguna.
Teteh bisa pakai tenaga Aa buat bikin desainnya, siapa tahu
panjang umur nanti bisa launching merk sendiri.”

104 | Cinta (Kita) Sederhana


“MasyaAllah … kok enggak nyangka yah, kita kayak cocok
aja gitu. Teteh yang punya ide desain, Aa yang gambarnya, he he.”
“Iya kan … iya kan.”
Hubhub adalah titik awal di mana seluruh mimpi kami
dimula, di dalamnya tersimpan dengan rapi semua hal yang akan
kami rencanakan di masa depan. Bisa dibilang ini adalah anak
pertama kami, anak dari sebuah pemikiran dan tujuan yang sama.
Selain karena senang dengan nama yang berawalan huruf ‘H’,
pada saat yang sama aku pun menautkan sebuah doa cinta agar
Allah menyatukan dua Hubb—aku dan Sheilla—kemudian
membingkainya dalam azzam yang selalu akan kembali pada titik
awal, rida-Nya.
Esoknya, aku menuliskan catatan kecil, sebuah daftar
target kecil pada Sheilla. Tujuannya agar menjadi referensi
untuknya membuat hal yang sama.
TARGET AA:
1. Istikamah nabung
2. Salat berjamaah
3. Salat-salat sunnah
4. Lancar Alquran
Tanpa basa-basi, Wanita bercadar ini mengirimkan daftar
yang sama dengan konten yang sedikit berbeda denganku.
Empat poin pertama yang menjadi titik awal perubahan kami.
TARGET TETEH:
1. Tahsin Alquran
2. Paham agama
3. Nabung juga
4. Desain Baju

Humaidi Syaidil Akbar | 105


[Pokoknya mulai dari sekarang kita harus ketat waktu buat
memperjuangkan poin-poin target kita. Setuju?] pekikku
menyemangatinya.
[Siap, Bos. Ingetin terus kalau Teteh lupa.]
Sebenarnya di catatan lain aku sempat menuliskan
beberapa tulisan tentang ritme perjalanan kisah kami, tapi
sengaja tak kumasukkan dalam Hubhub karena pasti akan
membuatnya fly in the mind. Aku berpikir bagaimana caranya
agar makna dari catatan itu tersampaikan tanpa memberikan
sebuah harapan besar jika ia membacanya?
[Teh, Aa izin masukkin puisi Aa yang dulu-dulu, ya.] Aku
coba mencari alasan klasik dengan mengatakan ‘tulisan
terdahulu’ agar ia tak menyadari itu ditujukan padanya.
[Iya, sok aja.] Semoga ini tak menambah kecurigaan-
nya tatkala. Biarlah Allah yang membukakan semua
rahasia yang tersingkap pada waktu yang tepat.
Kukirimkan beberapa puisi dan catatan yang
sebelumnya memenuhi waiting list juga menyalin-
tempelkan riwayat chat kami yang bernada motivasi
dalam grup.
***
Aku cinta kepadamu dengan final
Cinta abadi berlaku universal
Cinta jiwa menumpu ruh yang kekal

Aku sayang kepadamu dengan frontal


Memaksa Tuhan mengiba doa tersakral
Merayu zaman menidurkan ajal

106 | Cinta (Kita) Sederhana


Aku rindu kepadamu tanpa gombal
Rindu makhluk indah terkhayal
Terkabar cuitan langit hingga viral
Itulah jeritku.
***
Derrtt … Derrtt …
Getar ponsel membangunkanku malam ini, kulihat jam
dinding masih menunjukkan pukul dua dini hari. Sebelumnya aku
sudah tertidur sepulang kuliah tadi.
‘Sheilla. Panggilan suara masuk.’
Aku kira bunyi alarm, ternyata ada panggilan. Pantas saja
aku heran, alarm harusnya tersetting pukul tiga. Ada apa, Sheilla
menelepon malam-malam begini?
“Teteh kebangun karena mimpi. Sampai sekarang
kebayang terus,” ungkapnya begitu kuterima panggilan itu
kemudian memberi salam.
“Mimpi apa?”
“Teteh kayak lagi diajak sama Aa ke suatu tempat, enggak
tahu kemana karena jalannya gelap. Teteh di perjalanan udah
ngerasa gak enak. Sampai di sebuah rumah kayu, Aa mapah
Teteh buat masuk, awalnya Teteh enggak mau tapi Aa yakinin
semua pasti baik-baik aja.”
“Terus?” Aku minta kelanjutannya di tengah rasa kantuk
yang masih menempel sambil sesekali menguap.
“Pas di dalam, Teteh kaget bukan main. Ngeliat banyak
banget mayat, tapi anehnya Aa biasa aja. Malah Aa nyuruh Teteh
bantuin buat mindah-mindahin mayat itu keluar. Rasanya Teteh
pengen nangis pas bawa satu mayat yang udah dikafanin. Aa mah

Humaidi Syaidil Akbar | 107


santai aja kayak gak ada beban. Enggak lama Teteh kebangun
sampe keringat bercucuran gini. Teteh takut—”
“Istigfar, Teh. Mimpi yang enggak enak itu datang dari
setan. Jangan langsung diterima mentah-mentah, biasakan kalau
bangun dari mimpi buruk ucapkan taawuz terus meludah ke kiri
tiga kali.” Aku mencoba menenangkan hati dan pikiran Sheilla
atas paranoid yang ia alami. Jujur aku pun merinding mendengar
mimpinya itu.
“Abisnya Teteh sendiri di sini, jadi nelpon Aa. Maaf kalau
ganggu istirahat Aa.”
“Enggak masalah kalau itu, Teteh doa dulu gak sebelum
tidur?”
“Kayaknya doa deh, malah Teteh wudu terus selawatan
dulu, abis itu ngaji sebentar baru bobo.” Tunggu dulu, harusnya
ritual lengkap seperti itu tak menjadikan tidur seseorang tak
tenang.
“Mimpi itu berawal dari pikiran kita pas sadar. Mungkin
Teteh ada pikiran enggak enak atau khawatirin sesuatu jadinya
mimpinya begitu.” Aku mengakhiri penjelasan.
“Astaghfirullâhal ‘azhîm. Makasih ya, A. Ya udah, istirahat
lagi deh.”
Bagaimana bisa istirahat kembali? Hanya laporan saja
sudah habis satu jam, subuh pun sebentar lagi menggema, aku
gunakan saja waktu sisa ini dengan salat malam.
***

108 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 17
Teman dan Relasi
“Seseorang itu berada sesuai dengan agama (aktivitas)
temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian
melihat dengan siapa ia berteman.”
(HR. Abu Dawud)
***

S etelah melahirkan Hubhub, aktivitas kami kian


bermanfaat. Banyak kegiatan yang sebelumnya
terbengkalai dengan kemalasan atau kesibukan kini
bersemi karena adanya perhatian. Masing-masing dari kami
adalah pengingat, Untuk membantu targetku, Sheilla menjadi
alarm pengingat di tengah penuhnya kesibukanku. Sementara
untuk target Sheilla, selain menjadi pengingat aku pun
membantunya membuatkan beberapa desain baju gamis,
kerudung hingga cadar. Ada satu model cadar yang sempat ia
pasarkan dan Alhamdulillah mendapat banyak respons positif.
Hingga pada satu kesempatan, aku berkenan membuat-
kannya sebuah akun Instagram bernama ‘Hubhub Collection’
sekaligus memberinya dua buah logo untuk meresmikan
namanya. Masing-masing logo memiliki karakter huruf yang

Humaidi Syaidil Akbar | 109


berbeda tapi memiliki identitas yang sama yaitu dua tanda hati.
Dua logo tersebut juga dibuat karena Sheilla ingin suatu saat
menciptakan desain untuk kaum pria, maka untuk membedakan-
nya dibutuhkan satu logo yang identik dengan laki-laki.

Dua logo Hubhub


Waktu terasa cepat berlalu, Tahun baru tinggal sebulan lagi.
Hubungan komunikasiku dengan Sheilla semakin erat. Sudah tak
terhitung kesan yang lahir semenjak pertama kali kami berko-
munikasi. Bermula dengan perasaan takut yang menghantui
hingga kenyamanan yang terjadi. Akan tetapi, sampai detik ini
pun perasaan kami masih menjadi misteri masing-masing.
Tak apa, yang terpenting sekarang bagaimana senyum
yang tiap hari membumbui hari-hari kami tetap bertahan. Banyak
candaan khas yang kami ciptakan seperti mengganti kata-kata
yang umum dengan nama aneh contohnya ‘heran’ menjadi
‘herna’ atau ‘penasaran’ menjadi ‘pemasaran’, lalu membuat
aturan yang tak lazim tapi terkesan lucu seperti tertawa harus
satu kali ‘Ha’ tidak boleh berlebihan atau jika diantara kita ada
yang galau harus bernyanyi dengan satu jenis huruf vokal, yang
lebih lucu lagi terkadang kami membahas perkara yang sangat
tidak penting seperti bawelnya nenek yang Sheilla jaga adalah
syarat dari perguruan Cu Hang Fa—nama yang kubuat asal-
asalan. Konyol memang, tapi berkesan selamanya.

110 | Cinta (Kita) Sederhana


Melihat perubahan yang signifikan mulai dari fisik hingga
karakter, banyak dari teman Sheilla yang merasa curiga, siapa
yang membuatnya berubah seperti ini? Padahal sebelumnya
Sheilla adalah sosok yang sangat jutek, ketus, juga menyebalkan.
Keanehan bertambah dengan rasa percaya dirinya mengenalkan
desain baju pada teman sejawatnya.
[Lucu deh, A. Kemarin ada temen pinjam HP Teteh,
terus dia kaget lihat ada kontak cowok,] katanya
memulai dialog.
[Emang di HP Teteh enggak ada satu pun kontak cowok?]
tanyaku bingung. Sealim apa pun seorang wanita, pasti di
ponselnya tersimpan kontak pria.
[Ada paling cuma Papah sama beberapa saudara
deket, itu juga jarang kontekan jadi enggak ada
riwayat chatnya.] Penjelasannya diikuti dengan
mengirim video berdurasi dua puluh detik yang
menampilkan seluruh kontak gawainya yang tak
banyak. Terlihat namaku tersimpan paling atas
dengan sebutan ‘Aa Abay’, wajar saja huruf A adalah
abjad pertama.
[MasyaAllah … Itu serius sepi banget WAnya.] ujarku
terheran.
[Teteh gak mau nyimpen nomor orang yang enggak
penting, apalagi cowok yang enggak jelas. Anak-
anak kalau ada perlu biasanya langsung nelepon
grup. Sampe-sampe di daftar blokir aja ada dua
puluh dua nomor gak dikenal.] Salut, masih ada
makhluk seperti dia di dunia yang penuh godaan ini.
Jika dibuat daftar rank, mungkin posisiku jauh di
bawahnya.

Humaidi Syaidil Akbar | 111


[Aa akui susah bisa kaya teteh gitu buat orang seperti Aa
begini. Kontak cowok-cewek berantakan di kontak Aa. Aa
gak berani untuk blokir kontak karena Aa punya
pemahaman orang yang paling jahat di media sosial adalah
orang yang memblokir sebab memutuskan silaturahmi.]
[Jahat kepada orang yang berniat jahat sama kita
mah sedekah, A.]
[Iya juga, sih, ha ha. O iya, Teteh dapat inspirasi desain baju
dari mana?]
[Banyak, A. Mau Teteh ceritain?]
Obrolan kami berlanjut pada panggilan suara, Sheilla
menceritakan bahwa ia mempunyai banyak teman yang sudah
sukses di dunia perbutikan. Ada Purnamasari Devi yang omset
penjualannya melejit karena mempersembahkan tema Abaya
hitam, ada juga Fenny yang kini tinggal di Taiwan tapi sudah
memiliki toko baju besar di tanah kelahirannya, lalu wanita
pecinta hitam ini juga menyebutkan nama-nama inspiratornya
seperti Rhenata Syar’i, Ummu Maryam, dan banyak lagi yang
ingin ia jadikan referensi.
Berbicara referensi gamis syar’i, Aku juga mengatakan
bahwa memiliki rekan kampus bernama Evhie, seorang brand
ambassador dari Hijab Alila cipta karya ustaz kawakan, Felix Siau.
Begitu kuceritakan sekelumit tentangnya, Sheilla sangat antusias
meminta nomor kawan kampusku ini.
Terselip di akhir obrolan, wanita bercadar ini juga meminta
nomor keluarga dan beberapa teman akhwat, termasuk Rohmah.
Alasannya, sih, ingin memperluas jaringan. Mulai dari sini
terjalinlah komunikasi antara Sheilla dengan orang-orang di
sekitarku. Hingga momen itu terjadi.

112 | Cinta (Kita) Sederhana


[Semalem Aa mimpi, Teteh bilang ke Aa kalau Mamah
Teteh cerita ada yang mau ngurusin stok baju kita.] chatku
mengawali.
[Ya terus?] timpalnya.
[Terus Aa bilang, bagusnya kita cantumin alamat IG kalau
mau bikin kain merek sebagai pancingan biar banyak yang
mengunjungi katalog IG kita….] kulanjutkan cerita. Akan
tetapi, Sheilla tiba-tiba menimpali lagi begitu kuketik
kelanjutannya.
[Itu Aa mimpi?] tanya Sheilla dengan emoji ketus.
[Iya, mimpi tapi kaya yang nyata. Tetehnya di depan Aa.]
[Masa?]
[Teteh enggak percaya, ya….]
[Bukan enggak percaya, emang Aa ngomong gitu
semalam kok.]
[Ehh iya, tah ... Trus Aa bilang apa?]
[Kata Aa nanti mau nyari info orang yang cetak
brand,] jawabnya santai.
[Eh, bener. Berarti bukan mimpi ya? Ha ha.] Aku baru ingat
kalau semalam aku ketiduran ketika membicarakan
branding baju, karena lelah, Sheilla kutinggal lelap.
Malunya.
[Teteh juga udah menghubungi temen Aa yang kerja
di Hijab Alila itu]
[Oh, Teh Evhie, ngobrol apa aja?]

Humaidi Syaidil Akbar | 113


[Banyak, sih. Tapi terakhir Teteh pesen satu set baju
sama hijab sama dia. Nanti transaksinya lewat Aa aja,
ya.]
[Lewat Aa? Kenapa nggak sekalian dikirim ke Taiwan aja
langsung? Aa gak tahu cara kirim ke sana.]
[Nanti dia yang jelasin ke Aa.]
[Iya, oke, deh. Kalau pesanannya sudah sampai Aa laporin.]
Tak banyak yang bisa kubicarakan dengannya karena kami
harus kembali pada kesibukan masing-masing. Hingga
petang pun menjinggakan cakrawala, hari ini jadwal
kuliahku dimulai pukul lima sore.
***
Kelas berjalan seperti biasanya, ada mahasiswa yang
melakukan presentasi dan dosen yang termangu menyaksikan.
Aku yang terbilang aktif di kelas mampu menyihir suasana yang
membosankan menjadi tegang dengan sajian-sajian isu yang
dianggap kontroversi dengan paparan materi. Debat kusir sering
terjadi antara aku dengan beberapa mahasiswa yang memiliki
pengalaman keislmanan di lapangan, bahkan tak jarang dosen
pun menjadi peserta debat, mereka yang minim pengetahuan
hanya bergeming dan membatu menyaksikan adu mulut terjadi
di hadapan mereka.
Kelas pertama berakhir, kami sejenak mendinginkan
kepala dengan salat magrib berjamaah. Usai salat, Evhie
mendekatiku dan mengajak berdialog.
“Kakak, kenal sama Shella, ‘kan?” tanya ia meminta klarifi-
kasi.
“I-iya. Dia pesan baju, ya, sama Teh Evhie?” Aku balik ber-
tanya.

114 | Cinta (Kita) Sederhana


“Ho-oh,” jawabnya singkat. Memang hubungan kami para
ikhwan dengan akhwat di kelas kurang harmonis. Pasalnya
mereka menjaga pandangan dan komunikasi agar tak terlalu
tenggelam hingga menyebabkan ikhtilath, Bagiku itu terlalu
berlebihan, bergaul dengan kawan sekelas takkan seketika
menjadikan diri bergelimang dosa. Hubunganku dengan akhwat
dari jurusan lain malah lebih baik, kami sering berdiskusi meski
ada saja dari mereka yang menyimpulkan kebaikan sebagai
harapan.
“Berapa banyak?”
“Tanyain aja sama beliau langsung.”
“Shella juga nggak kasih tahu, cuma minta nitip
pesanannya ke saya.”
“Emang ada hubungan apa Kak Humaidi sama Shella?”
“Eh?”
***

Humaidi Syaidil Akbar | 115


Bab 18
Hubungan dan Kepastian
“Menurut Evhie sih mending kalian nikah aja. Gak baik menjalani
komunikasi tanpa adanya kepastian.”
***

N
guuung … nguuung … nguuung.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Bel
tanda berakhirnya kelas sudah berdering.
Seluruh mahasiswa di kampus berhamburan
keluar dari kelasnya masing-masing digantikan posisinya dengan
mereka yang masuk jam ketiga dan keempat. Walaupun semua
berbaur dalam satu atap tatkala mendirikan salat isya, usai itu
sebagian dari mahasiswa memilih tinggal di kampus lebih lama,
sebagian lainnya kembali ke habitat semula.
Perkataan Evhie di kelas tadi terngiang terus menerus
dalam telingaku dan seakan berputar menagih kepastian.
Padahal aku sudah memberikan jawaban yang aman dari
praduga, tapi pikiran itu tak berhenti berkelebat.
Sesampainya di kontrakan tiga petak ini, kusandarkan
ransel yang mengait di bahu pada pojok rak televisi—tanpa

116 | Cinta (Kita) Sederhana


televisi—dan merebahkan jasad menghadap langit-langit. Aku
masih bergeming dengan suara Evhie yang masih terekam di otak.
Aku penasaran, apakah pertanyaan yang sama diucapkan juga
pada Shella? Tanpa ba-bi-bu, kuaktifkan gawai cerdasku yang
semula terkunci kemudian menelepon Shella.
“Tadi Aa udah ngobrol sama si Evhie,” laporku di awal
dialog.
“Oh, apa katanya?”
“Enggak banyak, sih. Dia cuma klarifikasi pesanan dari
Teteh aja.”
“Udah? Itu aja?”
“Sama … ada satu hal lagi yang gak enak sebenarnya
diomongin, he he.”
“Enggak apa-apa, ngomong aja.”
“Dia tanya sama Aa, kenal Shella dari mana? Punya
hubungan apa Aa sama Teteh? Gitu, he he.”
“Terus Aa jawab apa?”
“Ya, Aa jawab aja teman bisnis.”
“Oh, gitu.”
“Enggak apa-apa, kan, Aa bilang gitu?”
“Ya menurut Aa gimana?”
“Emmm … ka—” belum selesai aku bicara, Sheilla sudah
memotong kalimatku.
“Udah dulu, deh. Teteh mau istirahat dulu.
Assalamualaikum”
Clack!

Humaidi Syaidil Akbar | 117


Aku diam membatu sampai tak berani menahannya untuk
tetap mendengarkan alasan. Jangankan untuk mengatakan
sepatah kata, menggerakkan bibir pun aku tak mampu. Sheilla
benar-benar sedang dirundung pilu. Memang tak terdengar
sedikit pun kalimat keluh dari mulutnya, tapi sikapnya barusan
sangat jelas menggambarkan keadaan dirinya saat ini, seakan ia
mengatakan, “Aku ini dianggap apa?”
Kutampar pipiku sekerasnya berulang kali. Dasar bodoh!
Kau ini laki-laki atau bukan? Laki-laki macam apa yang tega
membuat seorang wanita yang sudah diambang harap terjatuh
kembali? Bukankah sudah tak perlu bertanya lagi tentang
perasaan? Bukankah kalian sudah sama-sama tahu perasaan
masing-masing? Apa artinya semua waktu dan tenaga yang kau
sisihkan untuk merangkai senyum di bibirnya itu? ini saatnya kau
ucapkan itu padanya.
Aku tahu Sheilla bukan orang yang beristirahat jam-jam
segini. Biarpun tak melakukan kegiatan bersamaku, wanita lugu
itu pasti akan menghabiskan malamnya dengan berzikir dan
berselawat, atau paling tidak menonton drama korea favoritnya.
Kutancap lagi jemariku menyusuri simbol telepon pada profil
Sheilla. Bismillah, kumulai meneleponnya lagi.
Tuuut … Tuuut … Tuuut ….
Sudah lima kali kuulangi panggilan suara ini, ia masih belum
mau mengangkat telepon. Tetapi aku tak akan menyerah
semudah itu. Sebelum memanggilnya lagi, kukirimkan pesan
singkat, meminta dirinya mendengarkan penjelasanku. Saat
panggilan keenam ini tersalur, barulah ia menjawab teleponnya.
“Aa mau minta maaf. Bukan maksud Aa menganggap
Teteh bukan siapa-siapa. Aa cuma gak mau ada orang yang
mencampuri kehidupan kita yang Aa kira udah nyaman ini.”

118 | Cinta (Kita) Sederhana


Kurangkai kata sedemikian rupa agar tak ada satu ucapan pun
yang mengiris hatinya.
“Hmmm ….” Sheilla masih belum mau membuka suara.
“Ngomonglah, jangan bikin Aa ngerasa bersalah terus,
please—” Kulontarkan jurus permintaan maaf pamungkas.
Biasanya kata ‘please’ dapat mencairkan es yang membatu.
“Ngomong apa lagi? Udah jelas, kan? Teteh teman bisnis.”
Sheilla menimpaliku dengan kesimpulan awal.
“Ya Allah … kalaupun Aa anggap Teteh teman bisnis. Bisnis
Aa sama Teteh itu satu surga, ‘kan?” Aku paling pandai mengelak
kesalahan dengan membalikkan pemahaman.
“Artinya?” Rupanya wanita ini sudah pandai memancingku
untuk mengatakan hal yang selama ini dinantikan.
“Ya … Apa lagi? Berarti Aa enggak bohong toh kalau Teteh
temen bisnis Aa? Lagian kan Teteh mau buka butik, Aa juga
pengen buka rumah tahfiz, bukannya itu juga termasuk bisnis?”
elakku kembali.
“Au ah! Nyebelin dia mah! Teteh tutup lagi nih teleponnya,
bye!” gertaknya lagi mengancamku.
“Eh … Tunggu! Emang gak mau jadi teman bisnis Aa
sampai surga?” Sekarang giliran aku yang memancingnya.
“Ya-ya … Maulah,” katanya terbata-bata.
“Ya udah, jangan coba-coba pergi!”
Yes! Aku menang. Ini sudah lebih dari cukup mengetahui isi
hatinya lebih dalam lagi. Tak perlu mengumbar kata-kata gombal
untuk menautkan cinta pada hati masing-masing, cukup lihat saja
apa yang kami pertahankan sampai saat ini. Yakin, Allah akan
menyingkap kebenaran pada momen yang tepat.

Humaidi Syaidil Akbar | 119


“Lagian siapa yang nggak kesel coba dibilang gitu, huh—”
“Teteh cemburu, Aa ngenalin si Evhie?”
“Dih … ngapain cemburu?”
“Ngaku aja, karena dia multi talent, terus—”
“PUJI TERUS!”
“Ha ha, kan, cemburu.”
Aku memang tak pernah mau mengalah dalam perdebatan
atau adu mulut dengan siapa saja bahkan rektor sekalipun, tapi
aku akan kalah telak jika menggoreskan luka pada orang spesial.
Untung saja, Tuhan memberikanku anugerah dapat mencairkan
lagi suasana yang tegang setelahnya.
“Kemarin pertanyaan Aa belum dijawab, kenapa pesanan
Teteh harus dikirim ke Aa?”
“Emang si Evhie nggak ngasih tahu ke Aa?”
“Nggak, malah disuruh tanya lagi ke Teteh. Kenapa sih
semua wanita itu sama saja, sukanya main lempar-lemparan?”
“Makanya jangan jadi playboy, Pak Humaidi.”
“Ye … siapa juga yang jadi playboy. Ya udah jawab.”
“Atuh biar bisa dipakai di situ, pakek nanya lagi si Bapak ini.”
Tunggu sebentar, biar kupahami dulu kronologinya. Sheilla
memesan baju kepada Evhie, lalu Evhie memberikan pesanannya
padaku agar Sheilla bisa memakainya di sini. Di sini maksudnya di
kontrakanku? Apa maksudnya? Apa dia mau—?
“Teteh mau pulang ke sini?!” celetukku menggemakan
gendang telinga.
“Hih … baru nyambung dia. Kemana aja, Pak?” ketus
Sheilla.
120 | Cinta (Kita) Sederhana
“Serius?! Emangnya udah ada keputusan? Bukannya Teteh
selesai kontrak dua tahun lagi?”
“Iya emang Teteh selesai kontrak dua tahun lagi, tapi ini
lagi ngusahain gimana biar bisa pulang dalam waktu dekat. Kalau
misalkan berhasil, Teteh mau putusin kontrak. Memang ada
resikonya, sih, tapi insyaAllah bisa Teteh lewatin.” Jelasnya.
Apa hari ini aku bermimpi? Hanya dengan gertakan teman
kampus, Allah menjawab semua pinta yang selama ini terpanjat.
Aku sudah siap bersabar menunggu selesainya masa kerja Sheilla
di Taiwan, tetapi aku akan sangat bersyukur jika memang Allah
berkuasa memperkenankan dalam waktu dekat.
“Memangnya resiko apa yang harus Teteh lewatin?”
“Teteh harus bikin surat keputusan enam bulan
sebelumnya, terus bayar denda.”
“Denda?”
***
Mengapa bingung akan kebaikan Allah? Dengan menyadari
diri bergerak dan bernapas saja sudah membuktikan bahwa Allah
itu baik. Pernahkah kalian merasa bagaimana jadinya jika sehari
saja Allah cabut nikmat itu pada setiap manusia?
Allah maha baik, Dia memberikan Rahmân-Nya kepada siapa
saja yang tanpa pandng bulu baik tua, muda, kaya, miskin, beriman,
bahkan kafir sekalipun. Maka sadarilah bahwa sesungguhnya
setiap kita butuh Allah. Allah akan melihat siapa di antara hamba-
Nya yang bersyukur dengan cara beribadah kepada-Nya, dan kabar
gembira bagi mereka yang istikamah.
***
“Setiap hal yang nggak sesuai dengan peraturan agent,
mesti kena denda. Nah, kalau Teteh mutusin kontrak kerja

Humaidi Syaidil Akbar | 121


padahal belum selesai, otomatis kena juga.” Sheilla kembali
menuturkan penjelasannya.
“Emang berapa dendanya?”
“Kurang tahu pastinya, yang jelas bisa sampai dua atau tiga
kali gaji.”
“MasyaAllah … itu, sih, banyak.” Taiwan menggunakan
mata uang NTD (New Taiwan Dollar), yang mana satu NTD sama
dengan lima ratus rupiah. Selama ini Sheilla mendapatkan gaji tak
kurang dari dua puluh ribu NTD atau sama dengan sepuluh juta
tiap bulannya, jumlah yang cukup besar khususnya untukku
sebagai pengajar yang harus pontang-panting hanya untuk
mendapatkan bilangan tiga saja. Memang menjadi PR besar
untuk negeri ini dalam menghargai para pahlawan tanpa tanda
jasa yang bisa dibilang untuk hidup sehari-hari masih susah,
benar-benar ‘tanpa tanda jasa’, kan? Sampai tanda jasa saja
ditiadakan.
Agent memang punya aturan yang sangat mengikat bagi
pekerjanya. Bukan tanpa alasan, mereka melakukannya sebab
banyak tenaga kerja yang enggan menuntaskan pekerjaannya
dengan alasan yang bermacam-macam. Bahkan kerap kali tenaga
kerja memutuskan untuk kabur meninggalkan tugasnya tapi tak
berkutik tatkala dihadapkan pada pengadilan. Jika untuk dapat
terbang lintas negara saja sudah cukup rumit, maka berhenti di
pertengahan jalan juga akan sama rumitnya.
“Emang Teteh punya tabungan?”
“InsyaAllah ada. Tapi percuma kalau nanti pulang nggak
ada tujuan.” Sheilla bermaksud memintaku memantapkan
hatinya agar ketika pulang, harapannya tercapai.

122 | Cinta (Kita) Sederhana


“Kalau memang Teteh ada tabungan dan paham konse-
kuensinya, gak apa-apa pulang. Tapi kalau memang rumit,
selesaikan dulu aja sampai kontrak habis.”
“Teteh sekarang udah nggak ada tujuan lain selain bahagia.
Kalau Aa gak bisa pegang komitmen lebih baik di sini selamanya.
Di sini Teteh diterima baik seperti keluarga sendiri, semua yang
Teteh lakukan nggak ada yang dicegah bahkan menjalankan
syariat sekalipun. Tapi kalau kebahagiaan itu ada di tangan Aa,
Teteh milih pulang.” Aku seperti berada di antara dua pintu yang
masing-masing memiliki satu kunci. Jika aku masuk pada pintu
pertama yaitu memegang komitmen bersama Sheilla, maka aku
akan mendapatkan wanita yang sudah berhasil mendapat
tempat di hati walau memang rintangannya tak kalah hebat.
Akan tetapi, jika aku masuk pada pintu kedua yakni menga-
baikannya, maka detik ini pun aku harus meninggalkannya dan
mengubur segala rencana yang telah dibangun, imbasnya Sheilla
akan kembali asing.
“Berarti pilihan ada di Aa, ya?”
“Iyalah … Laki-laki harus memilih.”
Kepalaku tertunduk layu, menyadari bahwa Allah benar-
benar maha kuasa membolak-balikkan keadaan hamba-Nya serta
menempatkan rahasia pada setiap pilihan. Aku tak boleh
bergerak sembarangan, ada hati yang akan hancur jika kaki ini
salah berpijak.
“Teh, kita sama-sama salat istikharah, yuk. Dulu Aa pernah
ajarkan pas Teteh lagi bimbang, sekarang Aa pengen kita
istikharah bukan karena bimbang tapi pengen Allah yang kasih
petunjuk langsung. InsyaAllah besok Aa kasih jawaban, mudah-
mudahan terbaik,” simpulku menutup dialog.
Usai menelepon, kuambil air wudu kemudian menggelar
sajadah tempat di mana ayat-ayat rindu beradu lalu menunaikan

Humaidi Syaidil Akbar | 123


hajatku beristikharah. Doa yang kupanjatkan kali ini adalah
putusan Allah, dengan harapan sebuah kemudahan jika Dia
memperkenankan dan keikhlasan jika Dia belum memperke-
nankan.
***
Fajar teriring dengan seruan subuh serta sahutan ayam
bertalu-talu. Aku yang semalaman tak kuasa memejamkan mata
hanya bisa memangku lutut sambil memojokkan diri di sudut
ruangan lima kali tiga meter ini. Istikharahku gagal, bahkan
setelah melantunkan beberapa juz ayat suci hingga dilanjut salat
malam pun tak dapat mengalahkan kegundahan yang sedari sore
kurasakan.
Istikharah biasanya tergambar dalam impian, itu yang
lumrah terjadi walau tak dapat dipastikan kebenarannya. Akan
tetapi, ada cara lain untuk membuktikan istikharah, salah satunya
dengan petunjuk Alquran. Walau ini pun tak dapat dijadikan
landasan hukum karena terikat dengan rumus ‘kebetulan’. Aku
lebih percaya bahwa istikharah sebenarnya adalah ketika Allah
memberikan kemantapan hati, entah dengan melalui media atau
langsung.
“Sebelum Aa kasih keputusan, tolong ceritain si Evhie
ngomong apa aja sama Teteh kemarin?” Matahari belum
menampakkan sinarnya tapi aku sudah menggantungkan
headset di kedua telingaku untuk mengobrol dengan Sheilla.
“Ya ... Dia cuma tanya, udah sejauh mana kedekatan Teteh
sama Aa, terus Teteh bilang cuma sebatas telepon aja.” Aku
menanggapinya dengan senyuman kecil, jika dipikir-pikir betul
juga kalau kami hanya dekat di telepon saja, tidak sampai
bertemu muka atau bersentuhan karena terpaut jarak. Pintar
juga wanita ini beralasan.
“Terus apa lagi?”
124 | Cinta (Kita) Sederhana
“Kepo, ih … rahasia kaum wanita, jangan ikut campur.”
Nampaknya hubungannya dengan seleb Instagram itu sudah
cukup dekat, ke depannya aku harus lebih berhati-hati
menampakkan sikap. “Udah kasih tahu gimana keputusannya?”
“Teteh semalem udah istikharah?”
“Udah.”
“Gimana jawabannya?”
“Teteh mimpi, Aa ada di suatu kafe sama teman-teman
kerjaan Aa. Teteh lihat dari kejauhan terus samperin, tapi apa
yang terjadi? Aa cuek banget, ampe Teteh nangis di depan teman-
teman Aa karena sama sekali nggak digubris. Teteh sakit hati
banget. Tapi pas kalian semua bubar dari meja, Aa nyamperin
Teteh terus meluk. Teteh yang lagi nangis makin kencang
nangisnya. Aa bilang, ’maaf, tadi malu di depan yang lain’.” Entah
harus bagaimana lagi aku menilai keseriusannya dalam
memperjuangkan hubungan ini, tetapi dari paparannya
menunjukkan bahwa apa yang terjadi dalam mimpinya selaras
dengan keteguhan hatinya. Bukankah Allah sesuai dengan
sugesti hamba-Nya? Lalu bagaimana denganku? “Lanjut Aa yang
cerita.”
“Ya udah iya ….” Aku menjeda-jeda kalimat agar terkesan
kejutan.
“Jujur aja Aa nggak tidur semalaman ini jadi nggak mimpi
apa-apa. Tapi Aa punya pemahaman kalau istikharah itu sarana
buat Allah menguatkan atau melemahkan keyakinan kita
walaupun nggak harus bermimpi.”
“Lalu? Keyakinan Aa menguat apa melemah?”
“Teh, Aa paham gimana keukeuhnya Teteh memastikan
hubungan antara kita. Tapi Aa nggak mau kalau Teteh bakal

Humaidi Syaidil Akbar | 125


menyesal di akhir ketika tahu kejelekan Aa. Aa yakin Teteh bakal
kaget Humaidi yang sebenarnya seperti apa—”
“Teteh nggak mau dengar hal-hal yang biki rumit, to the
point aja, sih!”
“Walau begitu Aa akuin kalau Teteh udah dapetin hati Aa,
jadi bismillah, ayo kita nikah.”
***

126 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 19
Pacaran dan Senyuman

S uara isak lirih terdengar memecah gendang headset


yang menutup rapat lubang telinga ini, sepertinya
ada yang sedang terharu usai kuucapkan kalimat
mantra itu. Aku baru saja menembak hatinya, memang tak ada
jawaban yang jelas keluar dari bibir bening wanita berdomisili
Taiwan ini tapi tangisannya sudah mewakili semua deretan tanya
yang ada.
“Teteh nangis?” Dengan pura-pura bego, kutanyakan hal
itu pada Sheilla.
“Enggak! Ini lagi ketawa!” Di tengah sendu yang
menumbuhkan bulir-bulir bening, Sheilla masih sempat bercanda.
Sebelum melanjutkan obrolan serius ini, aku mengajaknya untuk
sejenak menenangkan hati dan pikiran agar tak terlalu tegang,
rapalan humor tengah mengisi jalannya dialog kami. Aku
bersyukur, Sheilla bukan orang yang manja di kala senang dan
cengeng di kala gundah. Ia hanya butuh seseorang yang dapat
membantunya mengendalikan emosi.
“Aa mau tanya, kenapa Teteh bisa milih Aa?” lanjutku
meneruskan dialog.

Humaidi Syaidil Akbar | 127


“Enggak tahu, awal rasa nyaman Teteh hadir karena Aa
selalu bisa nasehatin Teteh kalau ada masalah. Empat tahun
sejauh ini Teteh belum pernah sekali pun berani curhat sama laki
laki yang belum dikenal apalagi nggak pernah ketemu sebelum-
nya. Kecuali Aa. Dan Aa mau tahu nggak apa rahasia Teteh ke Aa?”
“Apa itu?”
“Dulu waktu Aa pertama kali ngajar di BI terus Aa bikin
status, yang Teteh shalawatin itu Aa soalnya itu foto pertama
yang bikin Teteh kagum sama Aa. Sambil Teteh doain semoga
orang ini yang jadi masa depan Teteh, he he.” Ingat momen ini?
Rupanya selawat sudah menjadi jurus pamungkasnya.
“Ternyata benar dugaan Aa, cuma gak mau pede aja
dishalawatin sama seorang bidadari, hi hi,” imbuhku dibumbui
senyum.
“Tapi A, maaf banget, Teteh nggak mau ada kata pacaran
di antara kita. Teteh udah buang jauh-jauh itu dari dulu. Enggak
mau lagi dekat-dekat sama harapan palsu.” Berbicara tentang
pacaran, aku megerti bagaimana track recordnya selama ini
hingga berkata seperti itu. Aku pun akan sangat kerepotan jika
ada mengetahui seorang ustaz—pengajar pesantren tahfiz—
berpacaran. Akan tetapi, ada hal yang perlu diluruskan.
“Emang pacaran menurut Teteh apa?”
“Ya, berduaan, saling cinta-cintaan, tapi enggak pernah
dihalalkan.”
“Iya betul, tapi kurang tepat. Pacaran itu saat di mana laki-
laki dan perempuan menentukan pasangannya untuk dinikahi
kemudian keduanya saling mengenal lebih dalam satu sama lain.
Selebihnya mereka menunjukkan kasih sayang dengan harapan
itu menjadi modal awal menjalin kepercayaan. Sebenarnya boleh-
boleh saja seseorang berpacaran dengan tujuan itu, kasih sayang

128 | Cinta (Kita) Sederhana


itu fitrah dari Allah, banyak hal positif yang bisa dilakukan
sepasang kekasih untuk menunjukkan komitmennya. Bukankah
masa setelah lamaran bisa disebut juga masa pacaran? Iya kan?”
“Terus yang haram yang bagaimana?”
“Yang haram itu kalau pacaran tanpa sepengetahuan
keluarga, diam-diam mereka saling berdekatan, bersentuhan,
sampai melakukan perbuatan yang lebih ekstrem dari itu. dan
yang seperti itu namanya khalwat. Khalwat itu haram kalau belum
nikah.”
“Jadi kalau sekadar berkomunikasi, memompa semangat,
dan mengingatkan satu sama lain untuk ibadah kayak kita itu juga
disebut pacaran tapi yang boleh?”
“Ya, bisa dibilang begitu. Lagian sebelumnya Aa enggak
pernah maksa Teteh untuk pacaran sama Aa, ‘kan? Aa bukan tipe
orang yang terlalu frontal ngumbar kasih sayang. InsyaAllah
kalaupun disebut pacaran, ini bukan pacaran seperti orang-orang
di luar sana. Aa hanya memberi kesempatan Teteh kenal lebih
jauh tentang Aa, begitupun sebaliknya. Teteh tahu enggak, Rasul
juga menyuruh umatnya pacaran sebelum nikah loh.”
“Masa sih? Teteh belum pernah denger.”
“Pacaran yang direstui Rasul itu melihat wajah dan telapak
tangan, maksudnya apa? Melihat wajah artinya paras, pribadi,
agama dan nasabnya. Sedangkan tangan maksudnya ghirah,
kegiatan, akhlak, dan usahanya.
“Oh, Itu maksudnya. Iya, paham-paham.”
“Bukannya di hadits lain juga Rasul menyebutkan bahwa
wanita dinikahi karena empat perkara? Karena paras, nasab,
keturunan, dan agamanya. Dan selanjutnya Rasul menganjurkan
untuk memilih karena agama. Di sini kita punya kesimpulan kalau
selain agama, Rasul juga tidak melarang seseorang menikah

Humaidi Syaidil Akbar | 129


karena tiga perkara sebelumnya, hanya saja faktor agama harus
menjadi pondasi awal dalam memilih.”
“Betul juga sih, semoga Teteh termasuk orang yang
beruntung memilih pasangan. Teteh selalu minta sama Yang
punya hati teteh, ‘jodohkan, pertemukan Teteh dengan dia yang
bisa mengubah Teteh dalam hal apa pun terutama dalam hal
agama, agar bisa lebih mencitai Qur'an dan rasul-Nya.”
“Amin. Aa pun berdoa seperti itu, gak harus yang sekufu,
yang penting bisa sama-sama jalan ke surga-Nya.” Akhirnya
obrolan memorable ini berjalan tanpa ada kata-kata gombal di
dalamnya, tapi yang terpenting adalah esensi dan makna yang
kami inginkan bisa tersampaikan.
“Allah itu Maha lucu, ya, A. Teteh belum banyak doa udah
Allah kasih duluan jalannya,” seru wanita penyuka rendang ini.
“Enggak cuma itu. Allah juga Maha surprise, surprise-
surprise yang ada di dunia ini gak ada yang bisa ngalahin surprise-
Nya.”
“Bisa itu ditambahin di Asma’ul Husna, he he. Aa lagi apa?”
“lagi di depan komputer. Biasa, ngerjain tugas negara.”
“Hiih … Pagi-pagi udah cemburu, kan, sama komputer.”
“Teteh jangan cemburu dulu. Ini tidak seperti apa yang
teteh pikirkan, Aa bisa jelaskan ….”
“Udah cukup ya, A, cukup. Teteh udah enggak mau tahu.
Enggak ada lagi yang harus dijelaskan.”
“Please, Teteh dengarkan Aa. Janganlah berpaling
semudah itu ….”
“Sudah cukup! Semua sudah jelas A.”

130 | Cinta (Kita) Sederhana


“Jadi teteh menganggap Aa selingkuh dengan komputer?
Lalu bagaimana dengan teteh? Tiap hari pasti selalu nyari ikatan
rambut. Memangnya siapa prioritas teteh? Aa apa ikatan rambut?”
“Menurut Aa? Prioritas Aa juga siapa? Pagi-pagi sudah main
pandang-pandangan sama komputer. Ngerti nggak gimana
perasaan Teteh?
“Perlu Teteh tahu, ini profesionalitas kerja, tanpa kompu-
ter Aa gak akan bisa menafkahi keluarga. Aa sudah berusaha
menjaga hati ini. Sementara Teteh, Sudah dua dus ikatan rambut
Teteh habiskan tapi masih tetap aja nyari-nyari. Betapa Teteh
lebih butuh dia dari Aa, huh!”
“Cukup, Pak, drama paginya! Enggak usah diteruskan.
Teteh enggak kuat pengen ngakak. Perut udah sakit, nih.”
“Momen ini disponsori oleh Teteh dan Aa.”
“Seandainya beneran ada orang kayak kita di dunia nyata.
Gimana jadinya masa depan nanti ya Allah, ha ha.”
“Semoga enggak ada ‘dus iketan rambut’ di antara kita.”
Kami mengakhiri panggilan pagi ini dengan senyuman lebar
tanpa ada hal yang mengganjal hati lalu melanjutkan pekerjaan
masing-masing. Sambil beraktivitas, melalui aplikasi hijau
bersimbol telepon aku menjelaskan rencana bagaimana ritme
yang paling baik untuk sampai pada titik pernikahan. Kutawarkan
Sheilla untuk meminta restu pada masing-masing orang tua kami
terlebih dahulu kemudian menunggu sampai perpulangannya ke
Indonesia barulah kita mengurus data-data pernikahan. Tanpa
ba-bi-bu, Sheilla yang sudah memiliki kontak keluargaku
langsung memulai percakapan dengan kakak tertua, sementara
aku meminta waktu yang senggang untuk membicarakan hal
serius ini dengan keluarganya.

Humaidi Syaidil Akbar | 131


Di waktu istirahat sejenak, aku membuka Instagram dan
mendapati ada notifikasi masuk. Ada permintaan pesan dari
seseorang laki-laki tak dikenal.
[Assalamu’alaikum, kenal Shella?]
***

132 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 20
Selingkuh dan Seteru

[W aalaikumsalam. Iya kenal, kenapa?] Kalimat awal


setelah salamnya membuatku memikirkan hal
yang tak seharusnya terjadi.
[Sering kontekan?] tanyanya lagi. Rasa curigaku
semakin meluap.
[Iya, sering.] Setelah membalas pesannya aku masuk ke
profil akun yang sebut saja bernama Mr. J, tak ada
postingan tentang Sheilla di dalamnya.
[Ada hubungan apa Mas sama dia? O iya, jangan
bilang-bilang Shela kalau saya tanya-tanya Mas, ya.]
Siapa sebenarnya orang ini? Saudaranya? Temannya?
Atau jangan-jangan?
[Saya calon suaminya,] ungkapku untuk memancing
pembicaraan.
[Ha ha ha. Kenal saya enggak?] Mr. J ini berkata seo-
lah dirinya terkenal.

Humaidi Syaidil Akbar | 133


[Maaf, saya enggak kenal.] Setelah kubalas
pesannya itu, Mr. J mengirimkan sebuah foto, sosok
seorang pria berumur empat puluh tahunan. Ya, aku
tahu itu ayah Sheilla, dulu ia pernah membuat status
dengan latar foto tersebut. Mr. J bertanya, [Itu
kenal?]
[Iya, itu Papahnya Shella.]
[Sudah pernah ketemu langsung? Atau minimal
nelpon?]
[Belum, saya belum ada kesempatan. Kenapa Masnya
nanya itu?]
[Maaf beribu maaf, saya dan keluarga sudah datang
duluan, dan saya sudah khitbah dia, ternyata dia
selingkuh. Sebelum Mas, ada orang lain yang dia
dekati, awalnya masih saya maafkan, tapi sekarang
sama Mas, saya udah enggak tahan diselingkuhi
terus. Dia sering bohong. Pantas saja dia minta pisah
terus dari saya, ternyata ada orang lain toh.
Sebenarnya sudah dari sebulan lalu saya curiga dia
ada hubungan sama Mas, ternyata benar. Ya udah,
makasih, semoga lancar sampai akad. Silahkan
datang ke bapaknya, saya juga belum bilang sama
mereka kalau kami mau pisah,] jelasnya panjang
lebar. Terbuka semua apa yang dari tadi aku
sangkakan, ternyata benar ini calon Sheilla yang
sebelumnya pernah melamar. Bukankah Sheilla
sudah bilang tak ada hubungan apa-apa dengannya?
[Makasih, sudah ngasih info.] Aku tak mau bicara terlalu
banyak. Aku hanya ingin orang ini yang menumpahkan
masalah sepuasnya dan mendengarkan semua kenyataan

134 | Cinta (Kita) Sederhana


ini langsung dari Sheilla karena aku yakin seseorang takkan
mengatakan hal yang utuh jika diselimuti angkara.
[Pokoknya saya minta hati-hati saja kalau nggak mau
sakit hati kayak saya, tapi ya mudah-mudahan
Masnya bisa ngerubah dia, itu lebih baik. Saya
awalnya berpikir bisa ngerubah dia, ternyata sakit
hati yang ada.]
[Saya mewakili Shella minta maaf udah bikin Masnya sakit,
tapi keputusan yang dia ambil saya yakin sudah dia pikirkan
matang-matang. Jadi tolong pahami maksud dia. O iya,
satu lagi, status khitbah mas udah diputus oleh Shella dan
keluarganya, jadi enggak ada ceritanya dia selingkuh.]
[Kapan keluarganya bilang? Enggak pernah nyampe
ke telinga saya. Bahkan keluarga saya aja enggak
tahu. Silahkan Mas tanyakan sendiri.] Orang ini
mencoba menampik kenyataan yang Sheilla pernah
sampaikan padaku.
[Maaf, itu bukan wilayah saya.]
[Dua minggu yang lalu saya dari rumahnya, dan
kemarin masih ada kontekan sama bapaknya. Ya
udah terserah, saya nanya sama Mas ini cuma
memastikan doang, makasih banyak.] Ia masih
melanjutkan racaunya.
[Bahkan lima hari kemarin dia masih bermanja di telepon
sampai pagi saya sama. Kan lucu, ha ha. Ya sudah, jangan
diperpanjang, maaf sudah ganggu.] Tunggu, lima hari yang
lalu? Bukankah itu tepat saat aku tidak menelepon Sheilla
karena sedang jam kuliah? Apa yang dikatakannya itu
benar?

Humaidi Syaidil Akbar | 135


[Siap, mudah-mudahan Mas tidak bohong,] ucapku
ringkas.
[History chat dan telponnya sudah saya hapus, jadi saya
lupa tepatnya. Ya udah kalau enggak percaya. Terakhir dari
saya, Masnya udah istikharah belum? Siapa tahu ini sinyal
dari Allah supaya Mas pikir-pikir lagi. Permisi,
wassalamu'alaikum.]
Deg! Baru saja kemarin aku lapor pada Sheilla bahwa aku
tak berhasil dalam istikharah, modalku hanya keyakinan. Dan
sekarang muncul sosok yang menjatuhkan keyakinanku. Apa
yang harus kulakukan? Tetap yakin bahwa Sheilla adalah jodoh
pilihan Ilahi? Atau mundur karena menganggap ini sinyal
keraguan?
Kukirimkan pesan singkat pada Sheilla bahwa aku ingin
bicara malam ini. Sengaja tak kuceritakan terror dari Mr. J
padanya karena pasti dia akan memaksa menelepon saat ini juga.
Kling! Sebuah notifikasi dari Instagram masuk lagi, Mr. J
mengirimkan pesan. Kali ini apa lagi? Kulihat pesan tersebut,
sebuah foto dengan seorang wanita berumur tiga puluh sampai
empat puluh tahunan tengah duduk bersandar di ruang tamu.
[Cuma foto itu mungkin satu-satunya bukti kalau tiga
minggu lalu saya mengambil foto mamahnya di
rumahnya. Lihat sendiri tanggalnya.] Memang di
sampingnya terselip tanggal kapan foto tersebut
diambil. Aslikah? Atau hanya editan? Ia lanjut lagi
menyerocos, [Pernah lihat, ‘kan, dia bikin status di
WAnya? Itu foto dari saya, gimana tidak saya katakan
selingkuh?]
[Oke segera saya klarifikasi.]

136 | Cinta (Kita) Sederhana


[Maaf, Mas, saya hanya sekadar memastikan aja
bahwa benar Mas orang yang ada di belakang kita.
Jujur hati saya sempat kesel, tapi saya enggak mau
memperpanjang, cuma sempat terpancing.
Meskipun seandainya dia mau kembali lagi pun, saya
udah hilang feeling, malah bersyukur yang ada
karena udah terbuka belangnya.]
[Gak apa-apa, sudah sewajarnya Mas menyatakan hal yang
akhirnya membuat saya berhenti bertanya-tanya. Biar
enggak ada yg ditutup-tutupi.] Giliranku mulai membuka
suara setelah ia puas memuntahkan segala unek-uneknya
padaku.
[Alhamdulillah, kalau Mas udah gak mau sama Shella.
Nanti saya langsung tanya perihal ini sama orang
tuanya apakah benar menerima tamu tanggal segitu.
Kalau iya, saya tanyakan juga tujuannya karena itu
perlu supaya jalan saya sama Shella kelak gak ada
hambatan.]
[Iya monggo, lebih cepat lebih baik, tolong catat kalau
tanggal tunangan saya empat maret lalu, saya masih ada
hubungan baik dengan keluarganya, Kalau mau lebih jelas
kita bisa VC di WhatsApp langsung sama bapaknya,
gimana?] Nampaknya ia mulai berani mempertaruhkan
kebenarannya dengan mengajakku menelepon ayah
Sheilla by video.
[Maaf, saya belum ada waktu sampai malam karena
harus kuliah bakda isya. Saya juga nggak tergesa-
gesa, santai aja.] Selain beralasan kesibukan, aku
pun belum siap beradu mulut dengan orang yang
ingin kumintakan restu, apalagi kami belum pernah
bercakap sebelumnya.

Humaidi Syaidil Akbar | 137


[Oh … Pantas saja akhir-akhir ini Shella selalu pengen
nelepon dengan saya abis isya, ternyata sebagai
pelampiasan kebosanan karena nggak teleponan sama
Mas toh. Aduh … saya kena tipu abis!] Kupastikan ini
pesannya terakhir. Aku sudah muak untuk meneruskan
pembicaraan ini lebih lama lagi.
***
Malam sudah larut, tetapi rasa penasaranku masih belum
surut. Usai pulang kuliah kuaktifkan kembali gawai cerdas dan
langsung menelepon Sheilla. Kukirimkan screen shoot yang berisi
seluruh percakapanku dengan Mr. J. Kaget bukan kepalang,
Sheilla kalang kabut menginterogasiku dengan pertanyaan
bertubi-tubi. Aku yang sedang malas bercakap hanya ingin
mendengarkan klarifikasi darinya.
“Sebelumnya Teteh mohon maaf banget sama Aa sampai
waktunya tersita buat ladenin dia. Teteh harus klarifikasi semua
biar Aa paham. Pertama, demi Allah, Teteh udah gak ada
hubungan lagi sama dia sejak enam bulan lalu. Apa yang dia
ceritain itu biar Aa gak percaya lagi sama Teteh. Aa udah lihat
sendiri enggak ada kontak laki-laki lain selain Aa di HP Teteh.
Keluarga juga udah tahu dan cincin udah di tangan dia.
Kedua. Foto yang dikasih ke Aa. Itu foto lama, Papah
pernah bikin status, rupanya dia screen shoot fotonya terus
ngaku kalau itu dari dia. Dan gak ada tamu satu pun datang ke
rumah Teteh sejak sebulan lalu sebab semuanya lagi pergi ke
Bandung, mau operasi Arsheel. Soal Papah masih suka kontekan
sama dia, wajar aja karena Papah gak mau tiba-tiba cuek sama
orang lain.
Ketiga. Perlu Aa tahu kalau dia punya hutang sama Teteh
untuk bikin usaha, Teteh sih udah nggak mikirin itu tapi dia juga

138 | Cinta (Kita) Sederhana


pasti malu kalau masih menuntut sesuatu dari Teteh. Kalau Aa
pengen video call, silakan Teteh layanin.”
Lega rasanya, satu masalah sudah terklarifikasi. Aku tak
ingin memperpanjang urusan karena tak tahan dengan beban
fisik yang sedari tadi ingin tenggelam dalam lelap. Aku anggap
urusan dengan Mr. J sudah selesai dan tak ingin lagi berurusan
dengannya. Kalaupun ada masalah dengan wanita ini, paling
tidak Sheilla sendiri yang akan menanganinya. Aku percaya
padanya.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 139


Bab 21
Memiliki dan Kehilangan

“W
ahai Tuhan pemilik segenap jiwa, tempat
segala harap bermuara. Kuserahkan takdir
ini pada ketetapanmu yang nyata. Kau sebaik
sutradara, menguasai kami para pelakon jenaka. Hak-Mu menilai
peran-peran amatir atau sempurna, dalam naskah-Mu pula akhir
cerita ini berada. Mungkin kelak jika aku atau orang-orang tercinta
telah menggenapi kontraknya, izinkan nama kami tetap hidup
dalam barisan doa. Amin.”
***
Tahun baru tiba, kami sambut dengan rasa bahagia, sebut
saja ini adalah tahun cinta. Hari baru ini bertepatan dengan
semangat dan rencana yang terbarukan pula. Ada luka kemarin
yang harus segera terurai, ada juga mimpi untuk hari esok bisa
tercapai. Adios9, dua ribu delapan belas dengan segala kenangan
yang berlalu. Bievenido10, dua ribu sembilan belas dengan segala
harap yang menggebu.

9 Selamat tinggal
10 Selamat datang

140 | Cinta (Kita) Sederhana


Bersyukur, pasukan pengganggu yang sebelumnya
menghantui kami perlahan-lahan lenyap seiring dengan
berseminya doa yang saban hari terucap. Meski tak harus
meramu rasa cinta menjadi kata-kata rayu dan bualan gombal,
kami ungkapkan anugerah fitrah ilahi ini dalam sebuah grup
dengan anggota paling kekal. Hubhub sudah menjadi penyejuk di
saat sendu dan hujan di kala rindu. Tak disangka, tulisanku kalah
telak dengan catatan Sheilla yang menggelontor lebih banyak.
Rupanya ia juga punya catatan simpanan tentang aku dan
seketika membuncah usai momen penembakan lalu.
Yang lebih menggembirakan, Maskur dan Rohmah
akhirnya melangsungkan pernikahan pada akhir bulan dua belas
kemarin. Momen ini menambah erat pertemanan kami hingga
Sheilla pun turut serta masuk dalam lingkaran tersebut. Tak ingin
ketinggalan, hubunganku dengan Sheilla juga mendapatkan
restu dan lampu hijau dari keluarga masing-masing. Kini mojang
Subang itu semakin erat berkomunikasi dengan semua saudariku,
tak jarang kami pun menelepon secara berkelompok. Aku yang
juga mulai membuka suara dengan orang tuanya mendapat
respons yang positif, bedanya kami tak sering berkomunikasi
karena ayah dan ibunda Sheilla jarang terlihat aktif di WhatsApp,
biasanya mereka menitipkan salam kala aku dan Sheilla berpadu
dalam satu panggilan.
Tak ada kelulusan tanpa syarat dan ketentuan. Tentu saja
dengan segala keterbatasan yang ada, hubungan kami terikat
oleh beberapa kesepakatan. Pertama, tak akan pernah
mengumbar apa pun perihal hubungan kami di media sosial.
Kedua, saling menjaga komitmen serta menabung rindu dan
finansial sampai hari pertemuan tiba. Ketiga, harus ada waktu
luang untuk mengadakan pertemuan dua keluarga membicara-
kan pernikahan. Dan keempat, setelah pulang, Sheilla tidak

Humaidi Syaidil Akbar | 141


diperkenankan lagi kembali ke Taiwan dan hidup bahagia
bersamaku.
Memang terkadang aku ataupun Sheilla terpaksa masuk
pada hiruk pikuk dan asam manis arus kehidupan keluarga kami
masing-masing, tapi itu tak menjadikan niat kami beranjak
sejengkal pun. Malah dengan masuk dalam area keluarga baru,
kami dapat sama-sama belajar memahami dan memahamkan
kebaikan di dalamnya.
Suatu hari Sheilla memberi tawaran untuk mengumpulkan
tabungan masing-masing di kantong rekeningku.
“Aa kemana aja?” tegur Sheilla dalam sebuah panggilan
yang sempat beberapa menit kutinggal terpasang charger.
“Aa nyari makan dulu, lapar soalnya,” jawabku mengeluh.
“Masa, sih? Bukannya dari tadi Aa di situ sambil ngetik?
Padahal ….” Belum selesai Sheilla berucap, kupotong dengan
tawa.
“Ha ha, maaf, ya. Aa enggak bilang dulu.”
“Ya udah, lupakan. Teteh mau kirim uang ke Aa, ya.”
“Buat apa?” tukasku.
“Ya … biar memudahkan aja. Sekarang uang ada di
rekening Teteh yang dipegang Papah. Pasti bakal repot kalau tiap
hari nyuruh Papah bolak-balik bank buat ini itu. Hitung-hitung
investasi pernikahan juga.”
“Enggak enak, ah. Nanti dikiranya Aa manfaatin buat
melorotin uang Teteh doang.”
“Enggaklah, siapa yang berani ngomong gitu tak hajar.
Kalau misal juga Aa bawa kabur uangnya bakal Teteh cari
walaupun ke ujung langit. He he.”

142 | Cinta (Kita) Sederhana


“Teteh percaya sama Aa?”
“InsyaAllah percaya. Nanti Teteh bilang sama Papah, beliau
juga pasti percaya.”
“Emang Teteh udah enggak ngirim buat keperluan
keluarga?”
“Itu mah udah enggak usah ditanya. Perlu Aa tahu, mulai
Teteh nginjek Taiwan semua keperluan keluarga Teteh yang
tanggung. Tahun pertama Teteh lunasin semua hutang-hutang
keluarga. Tahun kedua Teteh kasih mereka usaha, Mamah buka
warung sementara Papah buka jongko ikan. Tahun ketiga Teteh
penuhin kebutuhan semua anggota keluarga, biaya sekolah adik-
adik sampai tiga kali operasi bibir sumbing si bungsu, terakhir
kemarin pas di Bandung. Nah, tahun keempat ini sambil bantu
ngirim juga Teteh pengen manjain diri, nabung buat masa depan,
sama mikirin usaha kedepannya. Wajar dong Teteh minta hak
Teteh yang sekarang dipegang Papah.”
“I-iya, sih. Gimana Teteh aja, Aa manut. Mudah-mudahan
aman di Aa.”
Sejujurnya, aku tak pandai dalam mengelola keuangan.
Banyak peristiwa nahas terjadi jika aku diamanahkan dalam posisi
ini. Pernah suatu hari ketika masih duduk di bangku SD aku
berjualan gorengan keliling, saat setor uang selalu saja nombok
padahal tak pernah ada yang berhutang. Kali lain saat aku diminta
menjadi bendahara, pasti ada jumlah nota pembayaran yang
harus ditutupi. Untuk kasus Sheilla ini, aku berpikir pasti aman
kalau hanya sekadar menyimpan uang dan tak pernah disentuh
selamanya.
Petang menyambut, kudapatkan notifikasi pesan masuk
dari Shella, ia minta ditelpon. Kebetulan hari ini aku masuk kuliah
malam.

Humaidi Syaidil Akbar | 143


“Aa jangan kaget, ya.” Suaranya terdengar sambil sesekali
menghirup napas yang tersengal-sengal.
“Kenapa?”
“Qadarullah … Papah tadi sore kena musibah dihipnotis
sama seseorang. Motornya diambil, uang yang ada di ATM semua
habis.” Irama suaranya makin meledak tak keruan. Ia mencoba
mengendalikan emosi yang sepertinya meronta-ronta ingin
membuncah. Aku yang mendengarnya merasa terpukul sangat
keras. Baru tadi pagi aku merasa khawatir tak bisa menjaga uang
Sheilla, sekarang kutukan itu malah menimpa calon mertuaku.
“Kalau boleh tahu, berapa uang yang di ATM?” Kutanyakan
hal tersebut dengan harapan dapat membantu kehilangannya.
“Lumayan, A. Ada sekitar dua ratus lima puluh jutaan.”
Mati aku. Jangankan membantu, mendengarnya saja sudah
membuat buku kuduk berdiri. Manusia macam apa yang tega
merampok hak orang lain sebanyak itu? Pasti orang itu merasa
mendapatkan durian runtuh.
“Innâ lillâhi … itu enggak sedikit, Teh.”
“Makanya Teteh yang dengar berita itu langsung lemes,
shock, rasanya pengap banget dada Teteh. Kalau Teteh enggak
punya iman, mungkin Teteh udah gila. Itu tabungan hasil dua
tahun lebih Teteh nyisihin uang jajan.” Aku paham bagaimana
perjuangannya mengelola keuangan bergelut dengan kebutuhan.
Sheilla adalah wanita yang sangat royal untuk masalah kebaikan
tapi ia juga sangat pelik dalam menekan pengeluaran.
“Terus sekarang gimana? Udah diselidiki belum?”
“Udah, kebetulan Teteh punya mamang dari polres.
Katanya motor alhamdulillah bisa balik walaupun banyak bagian
yang ilang, tapi uang belum bisa diselidiki soalnya yang ambil
ternyata nggak satu orang.”

144 | Cinta (Kita) Sederhana


“Allahu … berkelompok gitu? Kok bisa ya?”
“Ada enam orang, A. Empat orang udah ketemu, sisanya
masih dicari. katanya sih mereka lihat Papah keluar dari ruang
ATM, pas dihipnotis, Papah bilang gak bisa cara transfernya,
akhirnya kartu sama buku rekening Teteh dibawa sama dua
orang temennya ke bank dan langsung dicairin.”
“Semoga bisa segera selesai dan balik lagi ya, Teh.”
“Maaf, ya, A. Enggak bisa nabung di Aa dulu, hiks—”
“Udah enggak apa-apa, Teh. Jangan menyalahkan diri
sendiri gitu. Ini udah takdir Allah. Semua milik Allah pasti akan
kembali juga sama Allah. Teteh udah berusaha menjaga harta di
bank, ‘kan? Selanjutnya tawakal aja, semoga Allah ngasih
keadilan dan kesabaran buat kita. Teteh harus tetap semangat,
pantau terus kasus ini sampai tuntas. Bismillah.”
“Teteh cuma takut kalau uangnya enggak bisa balik lagi
Teteh bener-bener enggak bisa pulang ke Indo. Soalnya harapan
Teteh ada di situ.”
“what—”
***

Humaidi Syaidil Akbar | 145


Bab 22
Ikhlas dan Pasrah
“Teteh minta maaf sama Aa kalau nanti enggak bisa pulang
cepet karena enggak ada ongkos pulang.”
Dalam hati aku merasa bahwa sebenarnya akulah yang
paling bersalah. Mengapa tak bisa berbuat apa-apa ketika orang
yang engkau cintai sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Memang mengulurkan tangan untuk menutup kekurangannya
adalah hal yang sangat tak mungkin dilakukan olehmu yang
sangat minim dalam finansial. Akan tetapi, lihatlah kekasihmu. Di
tengah keterpurukannya memikul musibah, ia masih sempat
meminta maaf kepadamu yang sama sekali tak melakukan apa-
apa. Apakah kau tak punya muka hingga merasa semua ini biasa
saja?
“Aa yang harusnya minta maaf, sama sekali enggak bisa
bantu apa-apa. Seandainya ada yang bisa Aa lakuin, Teteh tinggal
bilang aja. Aa siap lakuin,” pekikku menyemangatinya.
“Aa enggak perlu ngapa-ngapain. Cukup tetep di sini aja
sama Teteh, jangan kemana-mana apa pun yang terjadi.” Hatiku
seketika meleleh. Kenapa dia yang meyakinkanku? Harusnya aku

146 | Cinta (Kita) Sederhana


yang mengatakan itu kepadanya. Ya, mungkin hal itu ia katakan
untuk memastikan hatiku tak kecewa menunggu.
“InsyaAllah Aa enggak akan berubah. Teteh juga harus
semangat, ya! Yakin! Selama masih ada potensi baik, terus
gaungkan doa. Bismillah!” Obrolan kami kemudian berakhir
setelah memastikan Sheilla sudah tenang.
Pagi menunaikan tugasnya lagi mendampingi sang
bagaskara menerangi jagad bentala. Ditemani segelas coklat
panas dan tugas kantor yang mengganas, aku mendapatkan info
terbaru terkait kasus yang menimpa ayahanda Sheilla kemarin.
Sayang seribu sayang, uang yang sudah diambil oleh para
pendosa dari ATM Sheilla tak bisa dikembalikan lagi karena itu
termasuk kategori transaksi yang sah. Entah dengan cara
menguras dari satu ATM ke ATM lainnya atau transaksi via bank,
yang jelas semua uang telah raib setelah keenam pelaku itu
dimintai keterangan. Aku yang beberapa kali mengulang kata-
kata semangat pada Sheilla juga merasa terkoyak hati bagai diiris
sembilu. Jiwa nakalku berbisik, ‘Mengapa bukan aku saja yang
menerima uang sebanyak itu?’.
“Yang sabar, ya, Teh. Aa yakin kalau Teteh ikhlasin itu
sebagai gadaian amal, pasti bakal diganti dengan ganjaran yang
lebih besar. Allah enggak tidur, Allah tahu mana hati yang ikhlas
dan rida sama semua ketetapan-Nya. Soal uang itu, kita ambil
hikmahnya saja, kita jadi belajar berhati-hati simpan uang. Terus
kita bisa evaluasi mungkin aja kita kurang sedekah atau Allah
simpan harta itu untuk masa depan, dunia dan akhirat.”
“Iya, A. Tapi konsekuensinya Teteh harus mengundurkan
perpulangan. Maksimal dua tahun lagi baru bisa pulang.”
“Enggak apa-apa, Teh. Hitung-hitung kita mulai nabung
lagi. Lumayan, ‘kan, kalau terkumpul sampai dua tahun.”
“Sekali lagi, maafin Teteh, ya, A.”

Humaidi Syaidil Akbar | 147


“Enggak usah dipikirin, Teh. Yuk, semangat lagi. O iya,
Papah gimana kabarnya?”
“Papah langsung jatuh sakit abis kejadian kemarin, katanya
sih mau periksa ke dokter hari ini.”
“Syafâhullâh buat Papah, ya. Semoga cepet sehat lagi.
Bilang sama Papah gak usah merasa tertekan. Teteh harus bisa
kuatin beliau.”
“Amin. Iya, A. Semoga Allah ganti semua pengorbanan ini
dengan rezeki yang tak terhingga dan tak ternilai dengan apa pun,
yaitu sebuah keluarga kecil kita nanti.”
“Amin ya Allah, nanti kita ceritain kisah kita sama Hiro dan
Hurin, ya.”
“Siapa itu Hiro Hurin?”
“InsyaAllah itu nama keturunan yang akan melanjutkan
perjuangan kita kelak. Kalau laki-laki namanya Hiro, perempuan
namanya Hurin. Jadi kita semua keluarga ‘lima H’—Humaidi,
Hurayra, Hubhub, Hiro, dan Hurin.”
“Aaa … so sweet banget. Pengen cepet pulang, kan,
jadinya!”
“Ha ha, sabar sabar, ya.” Walau mulutku fasih mengucap
kata-kata semangat, tapi batin ini terasa pedih yang teramat
sangat. Aku bak gelondong kayu yang membuka paksa pintu
yang berkarat, pada saat yang sama fisik ini tak kuat menahan
tekanan dari semua sudut secara bersamaan. Keinginan untuk
menikah pada waktu dekat pupus hanya karena tindak tanduk
kaum laknat.
“O iya, Teteh setuju gak, nanti panjang umur Aa pengen
kita akadnya pas Teteh turun dari pesawat. Pasti viral itu.” Aku
membuka topik lain agar gundah hatinya segera hilang.

148 | Cinta (Kita) Sederhana


“Ha ha, gimana itu?” tanyanya penasaran.
“Jadi Aa udah siapin dekorasi mini di lapangan landing.
Begitu lihat Teteh, langsung Aa gaet Teteh ke kursi akad terus kita
akad deh.” Kupaparkan lagi rencana ngawur ini.
“Ha ha … nanti kata Teteh, ‘Bentar, Pak. Istirahat dulu,
capek abis terbang’,” ungkapnya menanggapi guyonanku.
“Yeee … Aa serius ini, nanti kita sekalian pesen media
massa buat ngeliput kita.”
“Ha ha … udah cukup, Pak. Nanti saya mules.” Syukurlah,
galaunya mereda. Minimal aku berhasil menenangkan hatinya,
meski nyatanya tak sedikit pun solusi tertumpah.
***
Beberapa hari setelah insiden hipnotis yang menimpa ayah
Sheilla tempo lalu, aku melaporkan pada keluarga akan
penundaan kepulangan Sheilla yang tak bisa lagi dipungkiri.
Keluargaku menyayangkan hal tersebut, sama seperti aku yang
berpikir mengapa aku tak mendapat kesempatan mencium
aroma uang sebanyak itu di ATMku—dasar pikiran kotor. Akan
tetapi, mereka memaklumi bahwa itu adalah salah satu bentuk
musibah yang bisa dihindari. Berpasrah adalah jalan terbaik. Aku
meminta doa dan restu pada kedua orang tuaku agar Allah
memudahkan segala urusanku dengan calon istriku ini.
Berangsur-angsur rasa sedih ini akhirnya sirna dimakan waktu.
Namun, siapa yang menyangka bahwa Allah belum selesai
memperlihatkan kasih sayang-Nya. Dan bentuk kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya adalah dengan memberinya ujian. Kali
ini ujian yang kami alami menjadi penentu segala keputusan.
Suatu pagi Sheilla bercerita tentang sesuatu yang ia rasakan.

Humaidi Syaidil Akbar | 149


“A, boleh jujur enggak? Kenapa sampai sekarang hati sama
pikiran Teteh enggak tenang, ya? Kayak ada sesuatu yang
mengganjal, jadi nggak tenang.”
“Teteh kenapa lagi?”
“Enggak tahu, kayak mikirin sesuatu tapi entah apa. Teteh
ngaji lumayan enakkan, tapi beresnya kumat lagi. Malah kata
Mbak Arie—tetangga di sini—Teteh ngelamun terus.
Sebenernya Teteh udah ngerasain ini kira-kira semingguan.”
Tiba-tiba terbesit dalam pikiranku gejala yang dialami Sheilla ini
bukan semata-mata karena beban psikologi, tapi ada seseorang
yang berniat jahat dan mengirimkan energi buruk kepadanya.
“Banyakin ngaji, zikir, selawat, Teh. Cari kegiatan yang
menyenangkan, sempatkan isi Hubhub sama tulisan Teteh lagi.
Baca QS. An-Nisâ’ ayat 148 sama An-Nâs berulang kali, terus baca
doa, ‘Allâhumma a’idznî minasy syaithân, wa ajirnî minasy syaithân,
wahfazhnî minasy syaithân. Allâhumma a’innî ‘alâ dzikrika wa
syukrika wa husni ‘ibâdatik’. Soalnya yang bikin was-was itu setan,
baca ayat kursi sama tri-qul juga bagus.” Aku harap amalan dariku
mengurangi deritanya.
“Iya, A. Teteh mau istirahat dulu, ya. Sambil baca doa dari
Aa.” Tak seceria biasanya, pagi ini Sheilla terlihat lemas, bukan
karena kasus kemarin tapi ada hal lain. Kulanjutkan lagi aktivitas
seperti biasanya, tetapi sebelum zuhur Sheilla kembali
melakukan panggilan suara.
“Teteh mimpi enggak enak,” ungkapnya setelah kuangkat
panggilan.
“Mimpi apa?”
“Teteh mimpi kita udah serumah, terus Teteh dikasih
bingkisan sama mantan Teteh, Aa nyuruh Teteh tolak tapi
bingkisan itu malah ditaruh di depan rumah dan Teteh bawa

150 | Cinta (Kita) Sederhana


masuk ke dalam. Aa marah terus bilang, ‘ngapain bawa-bawa
itu?’. Teteh cuma jawab penasaran aja. Eh, pas dibuka, Teteh
ngerasa ada di suatu tempat ngelihat cewek sekitar sembilan
belas tahunan terbaring sakit. Gak lama, keluarganya datang
ngebakar cewek itu.” Dugaanku menguat, semua ada
hubungannya dengan Mr. J yang sebelumnya menerorku. Aku
tak bisa menuduh seenaknya tanpa ada bukti jelas tapi dugaan ini
enggan beranjak. Semoga ini tak berimbas pada kekhawatiranku
yang lebih besar.
“Astaghfirullah … serem amat,” tanggapku.
“Dan enggak tahu kenapa mimpinya kayak nyambung
sama pas seminggu yang lalu Teteh diajak main ke rumah Mbak
Ivy, enggak jauh, sih, dari rumah Teteh tapi halaman belakangnya
kayak hutan belantara gitu, gelap. Banyak pohon-pohon besar di
sana, ada juga yang udah pada ditebang. Di mimpi itu hujan gede
banget, Teteh duduk di batu besar yang ada di samping rumah
sambil neduh.” Sheilla melanjutkan cerita.
“Terus gimana?”
“Enggak lama duduk di batu, Teteh ngelihat anak yang
dibakar sama orang tuanya itu, tapi di situ mukanya rata. Teteh
dipanggil-panggil disuruh ikut dia tapi Teteh nggak mau soalnya
takut banget. Eh, kebangun badan udah basah sama keringat.”
“Teh, waktu main ke Mbak Ivy itu sambil zikiran enggak?
Aa takutnya Teteh kesambet. Harus banyak-banyak ingat Allah.”
“Teteh enggak terlalu ingat, tapi emang akhir-akhir ini
sering nggak enak hati dan pikiran, udah mah neneknya cerewet
marah-marahin Teteh terus, memori hape Teteh juga keformat
gara-gara memperbarui iCloud,” keluhnya. Belum juga memberi
solusi untuk Sheilla, seseorang mengetuk pintu ruanganku.
Ustadz Zikran, mudîr tahfîz pesantren. Sepertinya beliau ingin
mengajakku berdiskusi, aku yang sedang menelepon Sheilla

Humaidi Syaidil Akbar | 151


meminta waktu untuk bicara empat mata dengan mudir. Kami
pun mengakhiri obrolan ini.
Diskusi berakhir sampai azan zuhur memanggil, kami
kemudian beranjak dari kantor untuk menunaikan panggilan
Allah. Usai salat, kulihat gawai pipih yang terselimuti kantung
saku ini tak memberi notifikasi apa pun. Barulah kemudian
notifikasi masuk setelah aku makan siang.
[Abis chattingan sama Teh Lia, cerita soal kehilangan
kemarin sekalian curcol juga soal toko kue dan baju.
Cita-cita pengen kerja sama sama si Teteh, beliau
juga jualan macam-macam, ya.]
[Iya keluarga Aa semuanya pada jualan. Ngomongin apa
lagi?]
[Cerita banyak, intinya Teteh dikasih motivasi. Teteh
sadar kapan aja Allah bisa kasih kita dengan cara gak
diduga dan kapan aja ngambil dengan cara enggak
diduga juga. Dunia memang enggak ada apa-apanya,
yang penting kita berusaha. Sekarang mah
semangat buat nabung lagi.]
[MasyaAllah … semoga ini jadi langkah baik, ya.]
[Sekalian mau cerita, tadi habis salat zuhur Teteh
buang sampah. Eh, pohon lumayan gede jatuh di
depan teteh. Jaraknya cuma satu langkah di depan
Teteh, padahal itu pohon akarnya gede banget.]
Tempat Sheilla membuang sampai memang agak
jauh karena biasanya orang-orang di pulau tersebut
mengumpulkannya pada truk sampah yang biasa
berkeliling. Sheilla biasanya membuang sampah
berbarengan dengan caregiver lainnya, tapi seperti-
nya kali ini ia hanya sendiri.

152 | Cinta (Kita) Sederhana


[Ya Allah, tapi nggak ada yang luka, ‘kan?!]
[Iya, Alhamdulillah. Untung banget nggak kena.
Allah masih ngelindungin Teteh.]
[Syukur, deh. Kalau lagi kemana-mana hati-hati, ya.
Biasakan jalan sambil shalawat sama zikir.]
[InsyaAllah kalau itu mah enggak pernah lupa, hari
ini aja udah tiga ribuan baca sambil kerja.] Ini yang
membuatku terpana, meski bergelut dengan
kesibukan tapi Sheilla masih sempat membasahi
bibirnya dengan berzikir. Ia memang punya
kebiasaan mengaitkan tasbih digital pada jemarinya,
jadi kapan pun di mana pun zikir selalu menggema
dan tersistem dalam hatinya.
[O iya, Aku ‘kan beli bajunya Teh Lia. Minta izin, ya, sore ini
ke Seven Eleven mau transfer. Boleh nggak?]
[Baru juga bilang mau nabung, sekarang udah jajan
baju lagi. Padahal baju dari si Evhie juga masih ada di
sini belum dipake. Sama siapa berangkatnya?]
[Sama Ape11, sekalian mau isi ulang air katanya. Maaf, ya.
Soalnya tadi Teteh nanyain bahan-bahan jadi keterusan beli
baju deh. He he.]
[Ya udah, yang penting ada yang nemenin pokoknya.]
Usai menutup chat, aku kembali lagi tenggelam
dalam tugas pendataan hingga larut sore. Hari ini
jadwal kuliahku malam, jadi lebih leluasa untuk
menyelesaikan deadline harian.
Seakan berada dalam jeruji besi, aku membebaskan diri
dari kantor dengan menaiki bebek besi menghirup udara segar

11 Adik nenek

Humaidi Syaidil Akbar | 153


sekalian mencari makan kemudian melipir pada salah satu masjid
jami yang tak jauh dari pesantren untuk menunaikan kewajiban
salat magrib. Usai salat, saat akan menaiki bebek besi, terasa ada
getaran pada gawai pipihku, sebuah pesan masuk. Betul saja, itu
dari Sheilla. Kala kuklik notifikasi, ada yang aneh dengan pesan ini.
“Assalamualaikum. Untuk semua teman Shela. Minta
doanya tadi jam enam Shela kecelakaan, jatuh dari motor bareng
majikannya menuju seven eleven. Sekarang belum sadar dan ada di
rumah sakit terdekat. Minta doanya, ya, biar cepet sadar. Makasih.
‘Tini’.”
Apa aku salah lihat? Berkali-kali kugilas kedua mataku
dengan punggung dan muka telapak tangan, ini pasti bohong.
Sheilla kecelakaan?! Seluruh tubuh yang telah disanitasi oleh
ibadah dan doa ini kembali terkulai lemas. Jam enam? Berarti
kecelakaan terjadi jam lima waktu Indo. Pesan ini ditulis oleh
Tini—teman Sheilla yang bekerja menjaga toko, Artinya Sheilla
kini sedang tak memegang gawainya.
Kugas motorku menuju kontrakan dengan kecepatan
penuh. Di perjalanan orang rumah meneleponku, dengan nada
khawatir mereka menanyakan kebenaran pesan dari Sheilla
tersebut. Rupanya pesan ini dikirim ke banyak orang, entah
keluarganya di Subang menerima pesan ini juga atau tidak. Aku
memastikan untuk mencari tahu lebih lanjut setelah sampai di
kontrakan.
***

154 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 23
Hidup dan Mati

S epulang dari masjid, kubanting semua yang melekat


dalam jasad mulai dari tas yang menggantung
sampai nametag yang tertaut di saku. Fokusku kali ini
hanya mempertahankan gawaiku agar tak sampai kehabisan
baterai. Setelah menyesuaikan posisi yang nyaman kemudian
memasang charger dan headset. Aku langsung melakukan
panggilan ke nomor Sheilla.
Sial! Mengapa sampai panggilan kesepuluh, tak ada satu
pun respons masuk. Berulang kali kukirimkan pesan untuk
meyakinkan bahwa diri ini menunggu kabar terbaru sampai tanpa
malu menjapri akun Facebook teman-teman yang dekat dengan
Sheilla. Akan tetapi, yang kudapatkan hanya harapan kosong.
Rencana berangkat kuliah sebelum kumandang azan isya sudah
tak lagi kupedulikan. Sekarang, kabar Sheilla lebih penting dari
segala yang kuinginkan. Barulah gawai berdering tepat pukul
tujuh.
[Maaf, ini suaminya Shella?] Dari cara mengetiknya jelas ini
bukan Shella, pasti ponselnya masih digenggam oleh Tini.

Humaidi Syaidil Akbar | 155


Aku mengkonfimasikan diri sebagai suaminya, sepertinya
Tini belum tahu kalau Shella belum menikah.
[Iya, saya suaminya. Gimana keadaan istri saya?
Tolong jawab telepon dari saya! Saya pengen lihat
langsung.] Tak ada hal yang kucari selain
memastikan keadaan wanitaku baik-baik saja. Akan
tetapi, Tini mengatakan bahwa keadaan sedang
tidak kondusif karena rumah sakit sedang ramai. Tak
hanya itu, ia juga tak berani mengotak-atik gawai
milik Shella yang tengah tergenggam itu sedang
banyak sekali panggilan dan pesan yang masuk.
Yang bisa kubaca hanya kalimat ‘mohon doa’ saja.
Namun, setelah meyakinkan diri bahwa aku adalah salah
satu orang terpenting dalam hidup Sheilla, akhirnya Tini bisa
membuka setitik komunikasi. Ia menjelaskan bahwa dirinya
melihat Sheilla tengah digotong oleh beberapa orang. Kebetulan
saat itu ia sedang menebus obat milik nenek yang diurusnya.
Yang paling mengetahui kejadian sebenarnya adalah mbak
Arie, karena posisinya tepat berada di sekiar jalanan yang dilalui
oleh motor yang Sheilla tumpangi. Beliau mengatakan kalau
Sheilla sedang dibonceng oleh adik dari si nenek menuju Seven
Eleven setelah mengisi air galon, angin laut pada saat itu memang
sedang kencang-kencangnya memuput ombak dan apa saja yang
berani menghadang. Karena jalanan yang dilalui memang cukup
menanjak, angin kencang ini menghembuskan sepeda motor Ape
hingga laju jalannya terhuyung-huyung ke area berlawanan. Tak
kuasa mengendalikan keseimbangan, motor sudah disambut
oleh truk yang melaju tepat di depannya dan Brakk! Kecelakaan
tak dapat dihindari, motor yang digilas oleh truk pun mengenai
pembatas jalan dan kedua orang di atasnya terpental hingga
ujung bibir jalan.

156 | Cinta (Kita) Sederhana


Mendengar cerita yang dipaparkan, rintik bulir bening
pada mata ini perlahan jatuh. Keringat yang terpompa oleh
panasnya ruangan dan kemelut hati mengucur makin deras. Isi
kepalaku memuntahkan semua ingatan tentang Sheilla,
bagaimana kesan pertama kali berkenalan, mendengar suara
genitnya, membimbing lantunan Qur’annya yang masih
tergopoh-gopoh, hingga obrolan terakhir kami siang tadi. Semua
runtuh dalam sekali sentuh. Ungkapan ‘aku tak bisa hidup
tanpamu’ ternyata benar adanya, aku merasakannya saat ini.
[Orang tuanya juga tahu?] tanyaku memeriksa informasi.
[Bosnya ngelarang saya untuk mengabari orang tua
Shella, Mas. Khawatir mereka tak kuasa mendengar-
nya, biarlah mereka mengetahui esok pagi setelah
dilakukan tindakan.] Aku cukup mengerti cara
berpikir orang Taiwan dalam menangani sebuah
kasus, mereka tak ingin sebuah berita tersebar luas
sebelum ada hasil akhir yang keluar. Maka tak heran,
ada beberapa kasus Tenaga Kerja Indonesia yang
pulang hanya membawa jasad saja sementara
keluarga korban tak mengetahuinya.
[Gimana kabar Ape? Udah sadar?]
[Ape meninggal di tempat, Mas. Badannya rusak
karena terpental jauh, sementara Sheilla cuma
berdarah di kepala.] Tak dapat berkata-kata, itulah
keadaanku saat ini. Ape adalah salah satu orang yang
sangat peduli akan kehidupan Sheilla, seringkali ia
memberikan uang jajan tambahan tanpa
sepengathuan nenek. Rasa sayang Ape kepada
Mojang Subang ini melebihi sayangnya kepada
saudara lainnya. Beliau juga merupakan sosok yang
menyukseskan keputusan Sheilla mengenakan cadar

Humaidi Syaidil Akbar | 157


meski ada beberapa dari anggota keluarga lain tak
setuju. Semua milik Allah akan kembali pada Allah.
Kini ia sudah tiada, meski tak seiman tapi kabar
kematiannya menumbuhkan rasa simpati dalam diri.
Tak henti kuingatkan Tini agar selalu memberikan kabar
terbaru tentang kadaan Sheilla. Aku sempat kaget ketika ia
membuat story yang menampilkan wajah Sheilla, dengan
perasaan kesal kuperintahkan Tini tuk menghapusnya segera.
Aku paham ia sedang ingin menunjukkan rasa empatinya
terhadap Sheilla, tapi tak layak kiranya seseorang membuat
kiriman publik menggunakan fasilitas orang lain tanpa izin.
Setelah meminta maaf, ia mengirimkan beberapa foto
gambaran keadaan Sheilla di rumah sakit. Satu foto menampilkan
dirinya terbaring lemah dengan balutan perban di sekujur
tubuhnya, foto lainnya memperlihatkan hasil rontgen dengan
gambar tulang bahu kiri yang tergeser dan tangan yang patah.
Air mataku seketika mengucur deras, berkali-kali sahutan istigfar
mengalun dari mulutku.
[Tolong bantu dia semaksimal mungkin! Kalau butuh biaya,
nanti saya transfer. Saya yang tanggung pengobatannya.]
Tini meyakinkan kalau majikan Sheilla lebih berhak untuk
bertanggung jawab atas kejadian ini, kemudian terdengar
kabar bahwa Sheilla harus melakukan operasi pukul
sepuluh malam ini. Aku yang tak bisa melakukan apa-apa
hanya memasrahkan keputusan terbaik.
Namun, tak lama berselang Sheilla terlihat mengernyitkan
mata beberapa kali karena pancaran lampu menyilaukannya. Tini
langsung mengabariku dan mengatakan bahwa Sheilla tengah
mengucapkan sesuatu.
[Maaf, Mas. ‘Aa’ itu siapa? Shella manggil-manggil
terus.]

158 | Cinta (Kita) Sederhana


[Itu panggilan buat saya, Mbak!]
[‘Bay’? Saya nggak paham. Suara Shella kecil.]
[Allahu … Itu saya! Sheilla manggil saya ‘Aa Abay’.] Langit
seakan bergemuruh dahsyat menyambut kesadaran
Sheilla kembali. Aku meminta Tini untuk menelepon tapi ia
menyarankan untuk memperdengarkan suaraku saja via
voice note.
“Teh, ini Aa. Teteh yang kuat, ya. Aa nggak kemana-mana
nungguin Teteh terus,” seruku dengan suara terisak-isak.
[Mas, katanya jangan nangis. Dia baik-baik aja kok.
Tapi dia ngucapin kata yang susah didenger. ‘Ss’ …
apa itu ‘ss’?] Seakan bermain teka-teki. Ucapan yang
keluar dari mulut Sheilla membuat kami bingung.
Sekali lagi Tini mengatakan kalau Sheilla ‘minta ss’.
[Astaghfirullah … maksudnya minta ‘kiss’, Mbak. Dia mulai
bandel sekarang!] Aku yang menyadari ucapannya itu
serasa ingin menangis sambil tertawa. Menangis karena
terharu, di tengah kondisinya kini ia masih memikirkanku.
Tertawa karena senang, akhirnya wanita penyuka rendang
ini berani menggodaku.
[Aa nggak nangis, Teh. Yang nangis Hiro sama Hurin,
ngeliat ummahnya begini.] Tini mengatakan bahwa Sheilla
tersenyum saat dua nama itu kusebut. Walau dengan suara
parau, Tini mengeja kata tiap kata yang Sheilla ucapkan
agar disampaikan padaku.
[Mas, kata Shella kenapa nggak kuliah?]
[Jangan pikirin itu! Teteh harus sembuh dulu. Gimana mau
kuliah, mata sembab gini!] Kenapa masih saja ia
mementingkan urusanku daripada keadaannya saat ini?

Humaidi Syaidil Akbar | 159


[Kata Shella, Shella bakal sembuh kalau lihat Aa
makan durian.] Dasar bodoh, walaupun tak suka
durian, aku akan memakannya jika itu maumu. Tini
bercerita kalau Sheilla sadar karena mendengar
panggilanku dalam alam bawah sadarnya.
Waktu pada jam dinding menunjukkan pukul sembilan atau
pukul sepuluh waktu Taiwan, saatnya Sheilla masuk ruang
operasi. Semoga apa pun tindakannya, aku bisa mendengar
canda tawanya lagi. Sehat lagi, Sayang.
***
Sambil menanti detik-detik operasi, Tini menceritakan
bagaimana keseharian Sheilla di sana, bagaimana cara ia bergaul
dengan rekan sesama caregiver, keluasan hatinya dalam berbagi,
hingga langkah yang ia tempuh untuk memberikan solusi jika
terjadi konflik antara rekan dengan majikan. Akhir-akhir ini sering
terucap dari mulutnya keinginannya untuk pulang, katanya sudah
tak ada alasan baginya untuk bertahan lagi di negeri orang. Aku
yang sudah tak lagi memedulikan notifikasi pada gawai yang
masuk berkali-kali dengan khusyuk mendengarkan hikayat
tersebut sambil sesekali menanggapi pertanyaan-pertanyaan
kecil.
[Mbak, tolong doain Sheilla, ya. Sempatkan bacakan
fatihah sama tri-qul masing-masing tiga kali,] pesanku pada
Tini.
[Iya, Mas. Saya juga sedang baca Yasin di HP Shella.]
Berselang sepuluh menit setelah bel ruang operasi
berbunyi. Tini memberikan kabar kalau Sheilla semakin kritis.
[Allaah … doakan terus, Mbak.] Aku takkan berpuas diri
sebelum mendengar berita baik. Aku tahu proses operasi
masih belum selesai, masih ada waktu untuk melangitkan

160 | Cinta (Kita) Sederhana


doa. Akhirnya setelah menunggu sejam lebih, lampu
operasi padam. Kabar Sheilla sadar menyeruak telingaku.
Operasi berjalan lancar, cedera bahu dan tulang yang
patah berhasil diatasi, pendarahan pada kepala yang bocor
juga sudah diredakan.
[Kata Shella, Maaf belum bisa transfer.]
[Astaghfirullah … Udah jangan dipikirin. Dibayar dengan
sembuh aja, ya. Masalah itu, biar Aa yang urus. Jangan
ngomong macam-macam. Sekarang sembuh dulu aja.]
Selama berkomunikasi, Tini menjadi perantara antara aku
dengan Sheilla. Ia menuturkan pengalaman Sheilla bahwa selama
berada di alam bawah sadar ia diajak oleh seseorang yang tak
dikenal, tetapi ketika berjalan terdengar suaraku memanggil
namanya dan memaksa untuk kembali. Padahal kala itu Sheilla
melihat ada hiburan besar, tapi suaraku yang terisak
menggerakkan hatinya untuk mencari di mana sumber suara
berada. Begitu memutar arah, terlihat cahaya dan akhirnya ia
tersadar. Kemudian ia bertanya pada Tini mengapa melarangnya
untuk pulang? Aku katakan jika ingin pulang harus meminta izin
terlebih dahulu padaku. Akhirnya dengan segala keterbatasan
yang ada, Sheilla membuka suaranya meneleponku.
“A, Ape udah gak ada—” Sambil tersedu-sedu, Sheilla
mengungkapkan penyesalannya.
“Teteh doain, ya. Semua sayang Ape, tapi masih ada Aa di
sini.” Bagaimana pun, saat ini Sheilla hanya butuh penghibur setia.
“Tasbih juga hilang—"
“Tasbih dibawa sama Ape, Teh. Ikhlasin aja, ya. Biarin dia
nerusin zikir Teteh.” Sangat absurd memang membicarakan
orang yang berbeda iman dalam konteks keislaman. Alasan ini
agar Sheilla lebih rela melepas orang tua angkatnya itu.

Humaidi Syaidil Akbar | 161


Kami menghabiskan malam dengan penuh haru bahagia,
semua joke yang dulu pernah mengukir senyumnya kuulangi lagi.
Sambil menahan desakan napas yang meledak-ledak serta
gumpalan air netra yang hampir membanjiri kelopak, kupastikan
malam ini harus berlalu penuh senyuman.

Foto rontgen bahu Sheilla


***
Pagi kembali berotasi, Sheilla harus menjalani operasi
kedua pada bagian kepala yang bocor. Sebelum masuk ruang
eksekusi, Sheilla meminta orang rumah membawakan kerudung
dan pakaian panjangnya karena selama ini ia mengenakan baju
pasien setelah dokter merobek dan menanggalkan gamisnya.
Tini membantunya pulang-pergi rumah sakit karena nenek yang
ia urus juga tengah berbaring di sana. Setelah mengambil wudu
dan salat duha, Sheilla memulai operasinya.
Selama jalannya operasi, tak henti kugadaikan doa dan
bacaan Qur’anku dengan keselamatan dan kesembuhan wanita
pembenci sirene ambulans itu. kumintakan juga kepada Tini dan
siapa pun yang menemani perjalanan Sheilla di sana untuk ikut
mendoakan. Banyak yang mengatakan pasca-insiden kemarin,
wajah Sheilla terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Bahkan

162 | Cinta (Kita) Sederhana


sesekali ia menggerak-gerakkan tangannya untuk menghitung
zikir yang dilantunkan.
Namun, keanehan terjadi, detak jantung Sheilla menurun.
Matanya basah, tapi tak memberikan ekspresi apa pun. Aku
meminta Tini memperdengarkan selawat yang pernah kubagikan
pada halaman YouTube. Semua intruksi dariku berusaha dipenuhi,
tapi—
[Shella koma, Mas.] Isi pesan itu kembali membombardir
ragaku hingga terjatuh lemas. Aku takkan pernah bisa menerima
kabar buruk apa pun selain keselamatan Sheilla. Akan kuobrak-
abrik isi rumah sakit itu jika tak becus menangani masalah kecil
ini.
Zuhur sudah berkumandang, operasi masih saja belum
menemukan titik terang. Aku yang sedari tadi bergeming di pojok
ruang kontrakan tak henti menanyakan kabar pada Tini. Sampai
pukul setengah satu, dokter menyampaikan pada hadirin di luar
ruangan dengan kalimat yang menyengat telinga.
[Meiyou Banfa,] singkat Tini.
[Apa itu?] Aku belum belajar banyak bahasa Taiwan
kebingungan membacanya.
[Kayaknya gak ada kemungkinan, Mas.]
Bagai remuk tertimpa gunung. Sungguh ucapan
memuakkan itu telah meracuni seluruh ragaku. Hampir lima jam
menunggu, hanya kudengar kata-kata apatis seperti itu. Untuk
apa gelar dokter tersemat jika hanya menutup luka kepala saja
sampai meregang nyawa pasien? Kurobohkan jasad, tersujud
memohon agar keajaiban diberikan kepada hamba mungil nan
salihah ini. Tak hanya itu, aku pun meminta keadilan sang Rasul
agar membantu meloloskan doa untuk salah satu umat yang
sangat mencintai dan merindukannya itu.

Humaidi Syaidil Akbar | 163


“Ya Rasul, lihat salah satu kekasihmu ini, ia sedang
terbaring mati. Tidakkah engkau sampai hati membuatnya
menderita hingga akhir hayatnya? Tegakah engkau melihatnya
melepas cita-citanya untuk bahagia? Dengan segala kelemahan
dan kebodohanku menghadapmu, tolong bantu ia, ya Rasul,”
rintihku.
Tak membutuhkan waktu lama, Tini mengabarkan Sheilla
mulai memberi gerakan kecil dan perlahan membuka mata, aku
membaca pesan sambil melompat kegirangan. Keterbatasan
fasilitas ruang ICU tak memungkinkanku melakukan panggilan
suara, aku hanya dapat mengirimkan pesan suara dan foto selfie
tatkala semalam berlinangan air mata. Sheilla tersenyum manis.
Perjuangan melawan takdir memang sangat menguras
kesabaran. Setelah beberapa kali melewati masa kritis hingga
dokter pun angkat tangan, akhirnya Allah memberikan kabar
gembira bagi siapa saja yang bersabar. Wa basysyir al-shâbirîn.
Ada hal aneh yang mungkin tak dapat diterima akal. Selain
kebingungan karena selama satu jam Elektrokardiogram hanya
menunjukkan satu garis panjang dan pada akhirnya berubah
normal, dokter juga dikejutkan dengan bau tubuh Sheilla yang
sebelumnya terasa asam karena belum tersentuh air tiba-tiba
memancarkan harum yang menyamankan penciuman. Aku
sendiri tak begitu kaget mendengar kesaksian tersebut karena
yakin Sheilla memiliki penjaga yang akan setia melindunginya
dalam keadaan apa pun, yakni selawat. Selawat yang selalu
dilantunkan Sheilla tak pernah kurang dari tiga ribu kali setiap
hari, malah kadang ia melebihkan berkali-kali lipat jika memiliki
waktu luang. Dalam hal ini, kuakui tak dapat mengalahkan
istikamah yang sudah mengakar dalam dirinya. Jadi wajar saja
kuminta bantuan Rasul agar membantunya melawan koma. Dan
prinsip ini takkan pernah dokter mana pun temukan jika dalam
hatinya tak ada keimanan pada agama yang hak ini.

164 | Cinta (Kita) Sederhana


Setelah berganti ruangan, Sheilla diperbolehkan
melakukan panggilan dengan syarat mesti loud speaker, karena
frekuensi dalam gawai akan berpengaruh pada kondisi kepala
Sheilla yang masih terbungkus hangat.
“Teteh kemana aja?” ucapku setelah tersambung dengan
Sheilla.
“Teteh dibawa sama orang muka rata yang Teteh mimpiin
kemarin itu, tapi di situ mukanya cantik. Terus Teteh diajak main
sama orang-orang yang mukanya jelek-jelek, gak lama ada suara
mamah Aa bilang kalau pulang bukan ke sana, tapi ke sini. Pas
Teteh menoleh, ada keluarga Aa sama keluarga Teteh lambai-
lambai tangan. Langsung aja Teteh samperin, Eh, malah ditahan
sama Aa. Seketika itu tempat jadi gelap, Teteh gak bisa lihat apa-
apa.”
“Terus?”
“Pas Teteh nyari sana-sini, ada cahaya terang banget
nempel di badan laki-laki tinggi yang pakai sorban. Gak cuma
terang, tapi wangi juga. Teteh disuruh pegang sorbannya terus
ngikutin jalannya. Dari situ nggak inget apa-apa lagi, bangun deh.”
Aku dengan mata yang berkaca-kaca berkali-kali
mengucapkan selawat pada junjungan alam. Ternyata mukjizat
itu nyata, jelas dalam Alquran disebutkan, “Dan janganlah kau
mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka
benar-benar) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154). Maha benar Allah
dengan segala firman-Nya. Sosok yang selalu disebut namanya
itu benar-benar datang.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 165


Bab 24
Phobia dan Amnesia

S egala ketakutan berasal dari keyakinan yang


berkurang. Saat itulah setan memainkan tipu dayanya
agar manusia bertekuk lutut di hadapannya. Tapi
yakinlah, setan itu lemah. Jika sampai jatuh dan terperdaya, maka
kau lebih lemah dari setan.
***
“Banyak panggilan tak terjawab. Emang Teteh kenapa gitu?
Bangun-bangun banyak kabel sama infusan.” Sheilla menyadari
dirinya terbaring dengan segala macam hasil penanganan dokter.
Tak ingin menekan pikirannya, kujawab dengan ringan,
“Teteh tidur lama. Aa sampe bosen nunggunya. Jangan lama-
lama di situ.”
“Iya, Teteh gak betah di sini. Takut … banyak orang, ada
cewek lihatin terus.” Ucapannya tiba-tiba terdengar suram, siapa
perempuan yang ia maksud? Tini-kah? Atau jie jie? Kalau benar,
mengapa ia mesti ketakutan?
“Ya udah, cepet pulang ke Indo. Rumah Teteh bukan di
Taiwan. Keluarga Aa juga udah minta Teteh pulang.” Kualihkan

166 | Cinta (Kita) Sederhana


pada topik lainnya agar tak terlalu dalam membicarakan
tangapannya tersebut.
“Emang mereka bilang apa?”
“Mereka minta kita nikah segera. InsyaAllah kita udah
diskusi, kalau nanti Aa pulang mau sekalian eksekusi. Teteh juga
dari sekarang boleh urus perpulangan.”
“Nanti, ya, kumpulin ongkos dulu. He he.”
Selama menelepon, Sheilla selalu mengawali obrolan
dengan pertanyaan, jam berapakah? Tanggal berapakah? Hari
apakah? Kemana saja? Dari pertanyaan yang wajar hingga yang
tak wajar.
“Mensive kita nanti yang kedua bulan, kan?” Mengapa tiba-
tiba Sheilla menanyakan mensive?
“Kita itu jadian tanggal delapan belas Agustus, berarti
udah lima bulan atuh.” Kujawab dengan guyon.
“Kita udah ngapain aja sih?”
“Banyak, kita sampai bikin cita-cita nanti kalau udah nikah
mau bikin toko kue, rumah tahfizh, dan lain-lain.”
“Loh, kita memang udah nikah, ‘kan?” Dari sini, aku mulai
merasakan hal yang janggal. Ada yang aneh dengan kata-katanya,
ia menyangka kita sudah menikah. Jangan-jangan—
“Iya udah. Tapi kan masih akad belum sah secara negara.
Lagian Teteh juga masih di sana. Kalau pulang kita urus ke KUA.”
“Iya juga sih. Kita nikah bulan sepuluh kemarin ya?”
“Iya.” Kepalanya sedang tidak beres. Aku pernah
mendengar kalau orang yang mengalami operasi di kepala akan
merasakan amnesia ringan. Apakah ini termasuk pengaruhnya?

Humaidi Syaidil Akbar | 167


Aku tak tahu harus berbuat apa, yang bisa kulakukan hanya
mengikuti alur psikologinya.
“Kenapa kalau udah nikah masih panggil Teteh-Aa?”
“Kan belum punya anak, Sayang. Kalau udah punya anak,
Aa dipanggil ayah, Teteh dipanggil ummah.” Aku sengaja
menyelipkan kata sayang agar terkesan kita sudah menikah.
“Oh, kayak kakak-adik aja. Raisya siapa? Kok doain Teteh
sembuh? Kan, nggak sakit.”
“Raisya anaknya Teh Lia, Kakaknya Aa. Orang yang paling
pengen ketemu sama kamu.”
“Enggak tahu, ah. Pusing, kepala Teteh cenat-cenut.
Ngerasa kayak orang baru lahir.”
“Ya udah, jangan dipikirin. Aa hari ini ada kuliah dari sore
sampai isya. Pulang kuliah Aa telepon lagi, ya.” Setelah
mematikan panggilan, kukirimkan file berisi riwayat chat antara
aku dengan Sheilla dari awal sampai hari ini. Semoga ini bisa
membantunya mengingat kembali.
***
Jam belajar mengajar memang tak pernah memperlihat-
kan keramaiannya, suasana sepi ini tak jauh beda dengan ruang
hatiku yang kosong tanpa adanya sosok Sheilla yang dulu. Aku
bertanya-tanya kapan pengaruh operasi itu berakhir? Sehari?
Seminggu? Atau lebih lama dari itu? Apakah harus selama itu
kususun ulang lagi ingatan dan kenangan kami selama ini? Jika
pengaruh ini malah semakin memperpendek ingatannya, apa aku
harus mengganti kenangan yang sudah mengalir indah dulu?
Ketakutan ini tak berhenti melayang di otakku hingga materi
kuliah hari ini pun tak dapat kuikuti dengan baik.

168 | Cinta (Kita) Sederhana


Ada story dari Sheilla, ia menuliskan keadaanya yang
sedang bingung dengan kondisinya saat ini. Terlihat emoji
merintih memenuhi statusnya tersebut. Ketika aku mencoba
menenangkannya dengan bertanya, ia malah balik bertanya.
[Rohmah siapa? Nuke siapa? Mimil siapa? Kenapa
nggak ada yang Teteh inget satu pun?!] Nampaknya
amnesianya ini semakin parah, ia bahkan tak
mengenal orang yang sebelumnya ia sebutkan. Apa
bahkan nanti ia tak mengenal dirinya sendiri?
[Jangan bingung, Sayang. Itu orang-orang yang sayang
sama Teteh.]
[Papah tadi nelepon aku, tapi bingung jawabnya.]
Syukurlah orang tuanya masih bisa diingat. Berarti ia
hanya lupa fase di mana tak lama sebelum bertemu
denganku sampai kecelakaan kemarin.
[Enggak apa-apa, Teteh tenang, ya. Nanti pulang kuliah Aa
telepon Teteh. Sekarang Teteh baca file yang Aa kirim aja,
ya. Buat ngisi waktu.] Kuhembuskan napas panjang-
panjang, ujian ini berat sekali. Apakah orang lain
merasakan hal yang sama denganku dalam
memperjuangkan cinta?
Sebelum pulang kuliah, aku duduk termenung sejenak.
Rasanya lelah ini harus terbayar tunai dengan kebahagiaan yang
tiada tara. Entah setelah ini ujian apa lagi yang akan menimpa
kami. Meski ujian adalah bentuk kecintaan Allah pada hamba-Nya,
tapi apakah tak boleh aku sedikit menawar agar ujian ini lebih
diringankan?
“Kak.” Terdengar suara wanita mendekatiku dan menyapa,
Evhie. Mau apa dia?

Humaidi Syaidil Akbar | 169


“Shella kenapa? Kecelakaan, ya? Kok statusnya begitu?”
tanyanya. Aku yang mendengarkannya menyerocos hanya
menampakkan wajah yang layu. Tak ada satu kata pun
kuucapkan padanya.
“Eh, Kakak lagi sedih, ya. Ya udah atuh, maaf. He he,”
katanya sambil balik kanan melipir ke luar kelas. Dasar tak tahu
sopan santun, sudah membuatku makin resah langsung kabur
pula. Aku ditemani oleh Maskur, ia pun menanyakan hal yang
sama seperti Evhie. Aku ceritakan kronologis kejadian kemarin
hingga aku absen dari perkuliahan. Berkali-kali Maskur
mengucapkan sabar atas apa yang kuderita saat ini, Rohmah pun
sedang chatting dengan Sheilla, berusaha membuat ingatannya
kembali.
Pukul setengah sembilan, aku baru menancap gas bebek
besiku dan on the way pulang. Sekitar lima belas menit di atas
kendaraan, gawaiku bergetar lama. Ada telepon masuk, nama
Sheilla terlihat. Aku langsung menjawab panggilannya dan
mencoba menata hati agar tak terdengar sendu saat berkata.
“Assalamualaikum.” Dengan berbekal headset yang terus
bergelantung, kunikmati angin malam sambil mengobrol.
“Waalaikum salaam. Ini Aa, ‘kan—” Sheilla mulai membuka
suara. Aku harus bersiap dengan serangan tanya yang akan ia
lontarkan.
“Iya, Sayang. Aa baru pulang kuliah.”
“Jangan mampir dulu kemana-mana. Nanti kalau sakit,
Teteh lagi yang repot.” Eh, nada suaranya tak seasing
sebelumnya. Apa dia sudah sembuh? Atau hanya sekadar
membiasakan diri karena sudah membaca file yang berisi riwayat
chatting kami?
“Teteh udah ingat?”

170 | Cinta (Kita) Sederhana


“Udahlah, bapak Humaidi Syaidil Akbar yang suka ngawur
ngomongnya kalau nelepon sambil tiduran, hi hi.” Sumpah demi
apa pun, langit malam yang terlihat gelap seketika terang
mengikuti lajur motorku. Bunyi kendaraan yang lalu-lalang
melintas di sekitarku seolah memiliki tangga nada yang tersusun
membentuk nyanyian bahagia. Gelora jiwa sedari tadi meredam
terasa ingin terbang setinggi-tingginya untuk menucapkan
terima kasihku pada semesta.
“Alhamdulillah ya Rabb … Kok bisa langsung ingat lagi, sih?
Padahal tadi sore masih linglung?”
“Teteh tadi baca-baca file chatingan yang Aa kirim.
Awalnya, sih, bingung. Apa pernah Teteh ngetik begitu. Kadang
Teteh ketawa bacanya, kadang juga sedih karena pengen inget
lagi, sementara ini kepala makin pusing. Terus ada chat Rohmah
masuk, tadinya Teteh gak kenal sama sekali tapi Rohmah pinter,
dia ngajak Teteh kenalan lagi. Di situ kita obrolin semua yang
pernah kita bahas sebelum Teteh hilang ingatan. Apa coba yang
terjadi?”
“Apa?”
“Teteh makin pusing, kepala kayak mau pecah. Teteh
banting HP terus rebahan sambil minum obat dokter. Ini kepala
kayak kaset yang muter ulang videonya. Mana masih dililit
perban, Teteh jadi gak bisa pegang bagian yang sakit. Makin lama
bayang-bayang semuanya kelihatan jelas di ingatan Teteh. Abis
itu Teteh nangis dong sendirian karena udah ingat lagi semuanya.
Sampai nomor celana Aa pun Teteh ingat lagi, he he.”
Kebahagiaan tiada banding ini lebih dari dunia dan segala
isinya. Kutancap gas kencang-kencang agar lebih cepat sampai
kontrakan. Sesampainya di sana, kulempar tas dan diri ini di atas
kasur karpet bermotif Doraemon sementara panggilan masih
terhubung.

Humaidi Syaidil Akbar | 171


“Teh, sebagaimana janji Aa. Keluarga udah setuju kalau kita
nikah. Sekarang Aa minta izin sama Teteh, nanti Aa sama Mamah
Papah mau ke Subang buat langsungin akad. Teteh setuju?”
***

172 | Cinta (Kita) Sederhana


Bab 25
Rencana dan Keadilan

A ku sudah tak ingin bertele-tele lagi, menikah adalah


jalan terbaik meski hanya melangsungkan akad saja.
Dengan begitu tak akan ada lagi kekhawatiran akan
zina mata atau khalwat di media sosial. Selain itu aku tak perlu
malu memperlihatkan diri berjam-jam menelepon seorang
wanita di hadapan rekan-rekan pesantren. Dan yang lebih
penting, aku telah membantu Sheilla menjadi sebuah alasan
untuknya pulang. Bukankah sangat mengesankan jika seseorang
yang tak pernah bertemu, tiba-tiba dipertemukan sebagai
seorang suami dan istri?
“Teteh setuju banget, malah nggak usah ada resepsi
sekalian. Dulu Teteh juga punya teman yang nikah by WA, posisi
keluarga cewek awam agama jadi nurut-nurut aja. Menurut Aa
nikah dengan cara begitu boleh nggak?” tanya Sheilla sambil
mengantarkanku pada keyakinan.
“Boleh aja, salah satu syarat nikah, kan, prosesi ijab kabul
dilakukan dalam satu majelis. Yang melakukan ijab kabul itu wali
wanita sama mempelai laki-laki, jadi kalau si wanita berada di
tempat lain gak apa-apa. Bahkan ada pendapat yang bilang kalau

Humaidi Syaidil Akbar | 173


kebolehan ini didasarkan kebiasaan orang-orang dahulu yang
akadnya dengan cara wali mengirimkan surat ke calon suami,
kemudian suami membalasnya. Maka, ditariklah pendapat itu ke
konteks jaman sekarang dengan teknologi by email, chat, telepon
bahkan video call. Ulama mazhab juga gak ada pertentangan,
cuma ada pendapat dari majma’ fiqih Islamiyyah yang melarang
karena khawatir ada jeda antara ijab dan Kabul. Selama
kekhawatiran itu bisa diantisipasi, oke-oke aja,” jelasku
memperluas wawasan Sheilla.
“Nah, kan. Ada sumbernya. Teteh mah mending akad aja,
deh. asal ada kata ‘sah’ sudah cukup. Teteh nggak mau jadi istri
yang serakah. Nikah itu se-sah-nya, bukan se-wah-nya bagi Teteh.”
Alasannya ini menaikkan keberanianku untuk semakin yakin
menikahinya. Ia paham bahwa keadaan kita saat ini sangat serba
pas-pasan, selain karena keadaannya yang baru saja kehilangan
tabungan, ditambah aku pun sering sekali menutupi kebutuhan-
nya saat ia tak mampu.
“Tapi malu gak yah kalau cuma akad aja,” keluhku.
“Kalau ada rejeki, kasih aja buat anak yatim. Kita bikin acara
makan-makan sederhana sama keluarga. Itu juga udah lebih dari
sekadar resepsi.” Sungguh mulia hatinya, jiwa mana di jaman
serba glamor ini yang memiliki pemikiran sama dengannya?
Ketika kebanyakan orang ingin menikah menjadi momentum
untuk mengumpulkan investasi dunia, ia malah ingin
pernikahannya menjadi investasi akhirat.
“Yang jadi masalah, kalau keluarga nggak setuju. Apalagi di
kampung, Emak Teteh suka bantu-bantu masak kalau ada hajatan,
Papah juga pasti punya banyak kenalan di pasar. Kalau pengen
lolos, kita harus sama-sama berjuang. Gimana?” lanjutnya.
“Bismillah … ayo kita perjuangkan dari sekarang.”
***
174 | Cinta (Kita) Sederhana
Satu bulan berlalu setelah insiden kecelakaan yang
menimpa Sheilla. Ternyata salah satu penyebab ujian berakhir
adalah dengan membiarkannya terurai oleh waktu. Kami
melewati ini semua dengan sabar dan enjoy, tentu saja tanpa
mengurangi langitan zikir tiap hari. Mungkin ini pula yang
dipahami oleh barisan sakit hati yang sengaja menyibukkan diri
agar lupa pernah mencintai hati yang salah. Lambat laun, luka
Sheilla pun semakin berangsur kering. Perban yang menutupi
kepala dan tangannya sudah mulai ditanggalkan satu per satu.
Kami mulai mengeksekusi rencana yang sudah matang
dibuat. Sheilla berdiskusi dengan keluarganya di Subang,
sementara aku berdiskusi dengan keluargaku di Bogor. Di luar
dugaan, semua pihak setuju saja dengan putusan kami. Mereka
menganggap aku adalah orang yang paling paham dan mengerti
landasan hukum dari niat kami ini. Akan tetapi, untuk lebih
melancarkannya aku diminta untuk bicara langsung dengan
keluarga Subang. Selain itu, Sheilla juga mulai mengurus
pemutusan kontrak walau apa pun resikonya.
“Assalamualaikum, Pah, Mah.” Aku mulai membuka suara
kepada ayah Sheilla. Ada rasa harap dan cemas yang bercampur
di dalamnya,
“Waalaikum salam. Iya, A,” jawab beliau.
“Hampunten sateuacanna ngempelkeun sadaya kaluargi.
Hampura oge nyarios na dina telepon—” 12 Dari sini kucoba
menata bahasa sunda sehalus mungkin, walau sebenarnya masih
terbilang sangat minim kosakata. Aku memang lahir di tanah
sunda, tapi nahasnya bahasa yang sehari-sehari digunakan

12Mohon maaf sebelumnya sudah mengumpulkan semua keluarga. Maaf juga


sudah berbicara melalui telepon.

Humaidi Syaidil Akbar | 175


adalah bahasa kasar. Semoga tak ada yang keliru dengan
susunan katanya.
“Muhun A, wios. Sok kumaha?”13
“Bismillah nya, Pah. Janten, Aa parantos Badami sareng
kaluargi nu di Bogor. Katitipan salam sareng aya maksad anu dituju.
InsyaAllah lamun jodoh, Aa aya kahoyong ngalereskeun niat bade
nikah sareng si Teteh. Kumargi diridoan, hoyong ngakadkeun
tipayun supados engkin lamun si Teteh uih tos janten sah.” 14 Kata-
kata yang tertahan itu akhirnya keluar juga. Setelah ini yang ingin
kudengar adalah kepastian, entah itu penerimaan atau
penolakan.
“Nya ari mpah mah sok wae lamun niat Aa sareng si Teteh
sae mah. Tapi kan kedah sapersetujan sadayana nya. Ieu aya Enin
hoyong nyarios sareng Aa.” 15 Ayah Sheilla mengalihkan
pembicaraan ini pada nenek.
“Maksud Aa mau nikahin si Teteh, gimana?” Tanya sang
nenek mempertegas tujuanku.
“Betul, Mak. Karena Aa sama Teteh udah sama-sama
punya niat baik, kami gak mau hubungan ini akhirnya jadi dosa
hanya karena nggak ada ikatan halal. Lagian Rasul juga ngasih
wasiat ke umatnya, ada tiga perkara yang tidak boleh ditunda,
yaitu salat jika telah tiba waktunya, jenazah jika siap dikuburkan,
dan wanita jika sudah ada calonnya.” Kudakwahi si nenek agar
paham maksudku.

13 Iya, A. Gak apa-apa. Silakan, bagaimana.


14 Jadi Aa sudah diskusi dengan keluarga di Bogor. Ada titipan salam dan
maksud tertentu, InsyaAllah jika berjodoh, Aa ada keinginan meluruskan niat
ingin menikah dengan si Teteh. Seandainya direstui, ingin diakadkan terlebih
dulu, agar ketika si Teteh pulang, sudah sah.
15 Ya, kalau bapak silakan saja selama niat kalian baik. Tapi harus ada persetujuan

semua, kan. Ini ada nenek ingin bicara dengan Aa.

176 | Cinta (Kita) Sederhana


“Tapi kan Si Teteh lagi ada di luar negeri. Kenapa nggak
nunggu aja dulu?”
“Aa paham keinginan Emak ingin yang terbaik buat Teteh.
Tapi ini juga jadi keinginan si Teteh, dia yang minta Aa langsung
datang nikahin walaupun orangnya belum pulang.”
“Aa … Emak ngucapin makasih kalau Aa mau sama cucu
Emak, tapi di sini belum biasa kalau nikah tanpa ada jasad.”
“Emak enggak usah khawatir, nikah itu yang penting
terpenuhi rukun dan syaratnya. Calon suami dan istri udah ada
walaupun beda tempat, saksi, wali dan mahar insyaAllah udah
dipersiapkan. Masalah teknis akad atau pernikahan, itu nggak
jadi soal.”
“Gimana, ya. Bukannya enggak mau, Emak mah Takut ada
omongan macam-macam dari tetangga.” Sepertinya sang nenek
amat alot untuk diajak berdiskusi, meski aku mengerti bahwa
sedari kecil Sheilla sudah diasuh oleh beliau. Pasti melepaskannya
pada momen yang tak tepat akan mengakibatkan sakit hati yang
luar biasa.
“Ya udah gini aja, Aa sama keluarga insyaAllah mau datang
ke rumah untuk silaturahmi. Perkara nanti enaknya gimana kita
diskusikan di sana, gimana, Mak?” Tak ada jalan lain selain
memberikan opsi kedua. Ini pun sudah menjadi antisipasi bagiku.
Akan tetapi, pada opsi ini keberhasilannya akan menjadi lima
puluh banding lima puluh.
“Ya udah, enggak apa-apa kalau begitu. Nanti kabarin aja
kalau mau kesini,” tutup Emak. Momen menelepon ini otomatis
terkirim rekamannya di grup keluargaku. Setelah semua
membaca, kami langsung berdiskusi bagaimana mempersiapkan
langkah selanjutnya.

Humaidi Syaidil Akbar | 177


Di sisi lain, urusan pemutusan kontrak Sheilla mengalami
masalah. Surat yang sudah dikirimnya ke agent terbengkalai
karena Mr. Lie—salah seorang anggota agent PT—mempersulit
prosedur pengajuan surat pengantar ke KDEI Taipei. Ketika
Sheilla mendatangi kantor, Agent bermata sipit ini memintanya
membuka cadar sebagai salah satu syarat laporan. Sheilla tahu
betul, tak ada syarat seperti itu jika hanya untuk mengajukan
surat. Kalaupun ada, pasti ada pemakluman dengan proses
pemeriksaan dilakukan oleh sesama wanita. Akhirnya dengan
hati yang gondok, Sheilla pulang dengan tangan kosong.
“Teh, sampai kapan pun jangan pernah berharap lebih
akan keadilan manusia. Mereka mungkin bisa berlaku adil, tapi
susah untuk berlaku muqsith. Dua-duanya sama-sama berarti adil,
tapi maknanya beda. Adil itu artinya sama persis sementara
muqsith itu seimbang. Kalau orang tua punya tiga anak yang
berbeda umur—bayi, kanak-kanak dan dewasa, apakah semua
akan diberikan jatah yang sama? Pastinya berbeda, maka itulah
muqsith. Aturan-aturan baku yang dibuat manusia kebanyakan
bersifat adil, tapi jauh dari kata muqsith. Mereka menganggap
semua manusia sama, dan harus mempunyai kemampuan yang
sama agar bisa mengikuti aturan. Yang benar-benar berlaku
muqsith hanya aturan Allah semata. Maka mintalah keadilan
sejati pada Allah,” ocehku kepada Sheilla yang tengah galau akan
sikap Mr. Lie.
“Terus harus gimana?”
“Ayo, kita bacain yasin tiga kali. Niatkan semoga Allah
melenyapkan semua tindakan kesewenangan di dalam PT.”
Kami pun dengan keyakinan hati mematrikan bacaan ayat
suci untuk meminta keadilan paling hakiki, tindakan ini juga
disambut baik oleh keluargaku di rumah yang ikut meramaikan
hujan yasin. Ajaib, belum sehari kami bermujahadah, datang

178 | Cinta (Kita) Sederhana


kabar Mr. Lie dikeluarkan dari kantor. Kami bersorak merayakan
kemenangan. Tapi surat tetap belum bisa keluar. Perpulangan
Sheilla masih tertunda sampai ada persetujuan dari KDEI Taipei.
Aku harus menata kesabaran atas harapan yang masih
terkantung, tapi doaku takkan pernah berhenti menggaung.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 179


Bab 26
As-Samawati dan Al-Ardhi

B ulan Maret tiba, aku mengikuti daurah yang


diadakan pesantren di Hotel Siti, sebuah hotel
bintang tiga yang berada di kawasan Jalan Moh.
Toha Karawaci, kota Tangerang. Hotel ini menyajikan pelayanan
yang hangat dengan restoran, musala dan sarapan gratis di
dalamnya. Hasil tangan besi dai kenamaan—ustaz Yusuf
Mansur—ini menawarkan pesona perhotelan dengan suasana
pesantren. Bisa terlihat bangunan hotel yang berdiri di
sebelahnya diisi oleh santri sighor puteri. Tempat yang sangat
cocok untuk melakukan travel spitiritual yang estetik.
Aku mendapat bagian sekamar dengan ustaz Zikran.
Beruntungnya karena beberapa alasan sebagai kepala tahfizh,
beliau tidak bisa mengikuti acara sampai selesai. Akhirnya aku
nikmati seluruh fasilitas kamar sendirian. Senangnya.
Beberapa waktu lalu, aku sempat ceritakan rencana untuk
menikah dengan jalan akad pada ustaz Zikran, tapi beliau kurang
mendukung tindakan ini karena seharusnya anak pertama
dispesialkan, pernikahan anak sulung perempuan itu adalah
sebuah momentum di mana harga diri sebuah keluarga

180 | Cinta (Kita) Sederhana


dipertaruhkan. Wajar saja beliau berkata seperti itu, karena
notabene lingkungan yang membentuk beliau di Aceh memiliki
budaya yang memiliki rangkaian tahap seperti Ba Ranup, Peukong
Haba, Jak Ba Tanda, Meungaca, dan barulah ijab kabul. Beliau pun
paham, tiap tempat memiliki budaya masing-masing. Maka beliau
menyerahkan putusan akhir padaku.
Daurah diadakan selama seminggu, kami mengikuti event
ini dengan khidmat. Sampai pada hari di mana aku dan Sheilla
membuka perbincangan dalam sebuah panggilan suara.
“Keluarga Teteh udah pulang? Berarti Aa harus siap-siap!”
celetukku.
“Iyalah,” ucap Sheilla. Sebelumnya aku pernah berjanji
pada Sheilla dan keluarganya, bahwa aku bersama beberapa
sanak keluarga akan bertandang setelah mereka pulang dari
operasi anak bungsunya di Bandung. Mamah di rumah juga sudah
mewanti-wanti untuk segera pulang karena mereka akan
berkunjung ke rumah saudara usai mengantarku bersilaturahmi
ke Subang. Rupanya aku salah memperkirakan selisih waktu
antara operasi si bungsu dengan rencana silaturahim keluargaku.
Dengan begitu, mau tidak mau event daurah ini harus
kutinggalkan di tengah perjalanan.
“Teh, Aa enggak tahu apakah nanti ke sana bisa tembus
akad atau sekadar pertemuan antar keluarga saja. Yang jelas
sebelum kita sah, Aa pengen buka-bukaan tentang apa yang
Teteh enggak tahu mengenai Aa. Aa harap nanti juga Teteh
ceritain hal yang sama.”
Malam makin larut, aku yang merebah di atas kasur
menikmati tiupan AC sembari memakan snack dari daurah yang
belum sempat dimakan. Momen ini kugunakan untuk
menceritakan semua rahasiaku mulai dari yang biasa sampai
tingkat aib. Tak hanya itu, kuceritakan pula bahwa diri ini memiliki

Humaidi Syaidil Akbar | 181


sifat temperamen yang ketika kalap bisa melakukan hal gila
sekalipun. Bahkan aku bercerita pernah memiliki pribadi yang
seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Humaidi sekarang
ini, padahal aku sendiri tak menyadari hal itu. Sheilla dengan bijak
menanggapi semua ucapanku dengan senyum dan tawa.
Usai kuceritakan semua rahasia ini, giliran Sheilla men-
ceritakan rahasianya. Sama halnya dengan aku, wanita kelahiran
sembilan puluh delapan ini memiliki segudang pengalaman yang
ringan hingga yang berat. Aku baru tahu kalau ia memiliki riwayat
darah tinggi, tapi sangat benci makan sayuran. Sheilla juga punya
keluhan pada paru-parunya yang tak bisa tahan mencium bau
menyengat seperti pewangi ruangan, parfum, atau alat
pembasmi serangga. Masing-masing kekurangan kami dapat
dimaklumi dan kelebihannya dapat dimanfaatkan. Itulah hakikat
sepasang kekasih, saling berlomba melengkapi dan menghargai.
Esoknya kusampaikan kepada panitia acara bahwa aku tak
bisa mengikuti rangkaian acara hingga selesai karena ada hajat
yang harus ditunaikan. Alhamdulillah izin kudapatkan dengan
mudah, bahkan tak sedikit dari rekan yang memberikan
supportnya atas hajat yang akan kutunaikan ini.
Aku melakukan perjalanan dari tempat acara ke kampung
halaman selama seharian. Sesampainya di rumah kuceritakan
bahwa nanti ada tiga kemungkinan yang terjadi, temu keluarga
saja, lamaran, atau akad langsung. Aku meminta keluarga untuk
membantu mempersiapkan kemungkinan paling tinggi, yaitu
akad. Mereka mulai merangkai hiasan mahar yang berisikan
seperangkat alat salat lengkap dengan Alquran dan buku
panduan pernikahan beserta emas sesuai jumlah yang sudah
disepakati. Tak lupa makanan dan sejumlah uang panai masuk
dalam daftar bawaan.

182 | Cinta (Kita) Sederhana


Hari Ahad, tepatnya di tanggal sepuluh maret dua ribu
sembilan belas, aku beserta rombongan keluarga dan wali dari
kalangan ustaz berangkat menuju Subang membawa niat yang
suci. Sheilla yang sejak pukul empat dini hari sudah terjaga turut
mengiringi keberangkatan kami sebagai navigator. Seakan
menjemput sebuah asa, hatiku berdegup amat kencang hingga
tak terasa kalimat ijab kabul berputar-putar di kepala selama
perjalanan.
Jika ditarik mundur ke belakang, aku tak pernah
menyangka akan menemukan jodohku di tempat yang tak
pernah terjamah di bumi ini. Tulisan Sheilla berjudul ‘Arasy’
memberiku keyakinan bahwa pertemuan yang berkah ini berasal
dari langit. Di mana saat doa dari dua insan yang saling mencintai
telah bertemu di arasy-Nya, maka takkan ada hal yang mustahil di
dunia ini. Kami tak pernah meminta dipertemukan dengan
pasangan yang sempurna, kami hanya meminta Allah menjadi
saksi atas doa yang saling menyapa. Tak pernah terbesit dalam
hati kami untuk menguasai kehendak berdasarkan kelemahan ini,
hanya Allah satu-satunya Zat yang dapat menguatkan kelemahan
dan menyatakan kemustahilan. Sungguh, cinta yang tumbuh di
hati kami adalah campur tangan As-Samawati (langit) dan Al-
Ardhi (bumi), yang berevolusi menjadi cinta Sheillawati dan
Humaidi.
***
Pukul sembilan pagi, kuda besi yang kami tumpangi sudah
mendarat di tanah Subang, tepat di samping rumah Sheilla. Dari
luar mobil, terlihat kerumunan orang-orang yang sudah
menyadari niat pertemuan ini. Bisik-bisik yang beradu dari bibir
mereka mengesankan bahwa petandangan yang kami lakukan
adalah hal sakral yang tak boleh dilewatkan. Di samping rumah
sudah ada barisan sanak keluarga yang siap menyambut hangat
kedatangan kami.

Humaidi Syaidil Akbar | 183


Ada hal yang lucu terjadi. Saat turun dari mobil, orang-
orang mengira ‘Aa’ yang digadang-gadang adalah sosok yang
mengenakan koko hitam dan berpeci putih. Hingga pada
akhirnya mereka harus menahan malu karena yang mereka
sangkakan ternyata adalah ustaz Miftahuddin, wali yang akan
menjadi juru bicara pertemuan ini. Aku yang terakhir turun dari
mobil mengucapkan salam kemudian memperkenalkan diri,
sontak keluarga yang berkerumun di teras rumah bersorak
menyadari inilah ‘Aa’ yang dimaksud.
Di rumah sudah ada kakek, nenek, mamah Sheilla, dan
beberapa saudara yang meluangkan waktu hadir. Papah sendiri
masih berada di pasar karena jadwalnya closing adalah pukul
sepuluh. Mereka mengkonfirmasikan papah sedang dalam
perjalanan pulang.
Ayahanda Sheilla pulang, kami kembali saling bertegur
sapa dan merangkai kalimat basa-basi. Barulah setelah semua
dirasa siap, papahku mulai menyatakan niat sebenarnya pada
silaturahmi ini. Beliau menguraikan sepatah dua patah kata
kemudian dilanjutkan paparan lengkapnya oleh ustaz
Miftahuddin. Kalimatnya harus terhenti sejenak karena dari luar
datang seorang ustaz yang cukup disegani di kampung tersebut,
namanya ustaz Dudung. Beliau tak ingin ketinggalan mengikuti
dan menjadi saksi akan momen berharga ini.
Paparan ustaz Miftahuddin selesai dengan diakhiri sebuah
permintaan izin dari pihak keluargaku untuk meminta hasil
musyawarah yang terbaik dari pertemuan ini. Tiga opsi yang
ditawarkan hendak menjadi bahasan yang menarik untuk
didiskusikan dalam kumpulan tersebut.

184 | Cinta (Kita) Sederhana


16
“Ari ujang ngawulang, sanés?” tanya ustaz Dudung
membuka suara dari pihak Sheilla.
“Muhun, ustaz. Tapi saya mah santri abadan 17 ,” jawabku
merendah.
“Naha hoyong ka Neng Shella? Kan, teu acan ningali jalmi asli
na kumaha?” 18 ustaz Dudung menimpali jawabanku dengan
pertanyaan lain yang menentukan keputusanku melamar Sheilla.
“Abdi mah yakin wae, Ustaz. Teu kedah ningali jalmi na, nu
penting tos katingali akhlakna selama kenal téh. InsyaAllah
katampi sagala kakiranganna,”19 tukasku mantap.
“MasyaAllah … dengerin semuanya. Si Aa ini udah mantap
pengen sama Teh Shella, ditanya bagaimana pun pasti
jawabannya keukeuh gak akan berubah. Dulu saya waktu nikah
sama istri juga gitu, gak pernah ketemu. Sekalinya ketemu udah
sah. Ini yang namanya cinta sejati, tidak memandang fisik atau
kekurangan. Tapi yang dilihat adalah watak dan akhlak.” Semua
menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Jujur, demi Allah. Kalau saya punya anak yang berjodoh
sama orang model si Aa begini, enggak akan pernah saya halangi
sedikit pun. Saya rida dunia akhirat harta saya dimakan sama
orang yang berilmu, beragama baik, dan berbudi seperti ini.
Langka, Pak. Orang kayak gini susah didapatkan di jaman
sekarang. Ibarat kata seribu banding satu.” Orasi yang
dikemukakan ustaz Dudung mengoyak hati para hadirin. Nampak

16 Adinda ini (kerjaannya) mengajar, bukan?


17 Abadan = selamanya
18 Kenapa mau sama Shella? Kan belum tahu sosok aslinya bagaimana?
19 Saya sih yakin aja, Ustaz. Gak usah lihat orangnya, yang penting udah

kelihatan akhlaknya selama kenal. insyaAllah bisa diterima segala kekurangan-


nya.

Humaidi Syaidil Akbar | 185


ada satu saudara Sheilla sedang memutar gawainya memindai
ruangan. Sepertinya Sheilla sedang video call dengan orang itu.
“Tadi Ustaz Miftah bilang, ada tiga tawaran. Silarutahmi,
lamaran, sama akad. Saya mau jelaskan, kalau misal kita akhiri
pertemuan ini dengan hanya silaturahmi atau lamaran saja, akan
ada sejuta setan menyerang hati anak-anak kita ini. Siapa yang
tahu setelah ini mereka berubah pikiran dan saling meninggalkan,
akhirnya pertemuan kita sia-sia, galau jadi imbasnya. Kalaupun
menunggu Neng Shella pulang, bukan tidak mungkin kita juga
bakal kena dosa karena menggantungkan janji pada mereka yang
sudah yakin satu sama lain. Syukur-syukur mereka masih ada
umur, kalau Allah cabut nyawanya? Siapa yang mau tanggung
jawab?” Semua tertunduk mendengarnya.
“Bismillah … kebetulan kemarin saya baru nikahin orang,
dan berkasnya masih sisa satu. Ini saya bawakan Surat
Keterangan Nikah dengan harapan keluarga mau memasrahkan
keputusan kita menjadi akad nikah, bagaimana?” Semua
menyerahkan jawaban keluar dari mulut papah Sheilla.
“Saya mah ikut apa kata Pak Ustaz Dudung aja. Kan, saya
juga santri,” ucap papah.
“Rida Neng Sheilla kita nikahkan dengan A Akbar?”
“InsyaAllah rida, Pak Ustaz.”
“Alhamdulillah … hayuk, kalau begitu kita siapkan. Mahar
udah ada belum, A?” ustaz Dudung memintaku menyiapkan
mahar. Kuminta salah seorang membawa mahar yang sudah
disiapkan di bagasi mobil. Aku dan ustaz Dudung mengambil
posisi berhadapan dengan tangan saling mengepal.
“Udah siap, A?”
“Sebentar, Ustaz. Ada sedikit prakata dari Neng Sheilla
yang dikirim ke saya. Dia minta diputarkan sebelum akad.” Dalam

186 | Cinta (Kita) Sederhana


satu komando dari sang ustaz, semua mendekatkan telinga pada
ponsel yang kuletakkan di tengah lingkar majelis akad. Kumulai
memutar voice note dari kontak Sheilla.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh. Papah
dan Mamah yang teteh cinta dan teteh hormati, Teteh
menghaturkan permohonan maaf jika selama ini Teteh banyak
ngelakuin kesalahan dan kekhilafan, baik kata-kata Teteh yang
kurang berkenan ataupun perbuatan Teteh yang nggak pantas
Teteh lakuin terhadap Papah dan Mamah,” ungkap Sheilla dalam
rekaman. Sayup-sayup mulai terdengar isak dari beberapa sudut
ruangan.
“Walaupun Teteh enggak bisa hadir di tengah-tengah haru
bahagia kalian, Teteh mohon izin, Teteh memohon restu dan rida
Mamah Papah untuk menikahkan Teteh dengan kekasih pilihan
Teteh. Pria yang Teteh cintai, pria yang Teteh sayangi, dan
dengan setulus hati Teteh ikhlas dan ridha Papah dan Mamah
menikahkan Teteh.” Suara yang terdengar riang namun sendu itu
makin menyatakan bulir bening yang tak dapat lagi tertahan dari
pihak keluarga Sheilla. Setelah ucapan izin untuk kedua keluarga,
Sheilla mengucapkan terimakasih sudah mengizinkannya
menikah denganku dan berakhir dengan permohonan doa restu.
Setelah rekaman berdurasi lima menit itu selesai, kututup
sesi ini dengan meminta papah Sheilla mengucapkan satu dua
patah kalimat untuk mengiringi restu. Usai itu ustaz Dudung
kembali memimpin acara.
“Bismillah!” Acara akad dibuka, dari luar kerumunan orang
makin memadati setiap celah yang ada. Saudara dari pihak
keluargaku masing-masing memasang kamera untuk mengaba-
dikan momen ini. Seorang perempuan yang sedari tadi tengah
video call dengan Sheilla mendekatkan gawainya di antara
lingkaran majelis. Ustaz Dudung memulai khutbah nikah dengan

Humaidi Syaidil Akbar | 187


pembacaan taawuz, basmalah, lantunan bacaan Qur’an dan
sepenggal hadis kemudian melanjutkan dengan prosesi ijab
kabul.
“Wahai Ananda Humaidi Syaidil Akbar, saya menikahkan
dan mengawinkan Shellawati binti Bapak Ono Waryono kepada
engkau. Bapak Ono Waryono sudah mewakilkan kepada saya
sebagai wali nikahnya, dengan mas kawin perhiasan emas lima
gram ditambah seperangkat alat salat dibayar tunai!” Dengan
satu kali napas, kujawab dengan kalimat kabul.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Shellawati binti Bapak
Ono Waryono dengan mas kawin di atas dibayar tunai!”
“Sah! Alhamdulillah!” Senyum semringah dan sorak
bahagia memenuhi isi ruangan. Ada haru yang membuncah
keluar dari relung batinku. Sebuah tujuan yang awalnya buram
kini jelas terlihat. Ada sosok terukir dari balik mata ini, seorang
yang kini menjadi istriku, Shellawati namanya.
***
Acara diakhiri dengan ramah tamah dan makan-makan.
Lalu pihak keluargaku memberikan beberapa bawaan perni-
kahan untuk keluarga Sheilla, begitu pun dari pihak Sheilla
memberikan cinderamata untuk kami bawa pulang.
Dalam perjalanan pulang, hanya satu orang yang menjadi
tujuan panggilanku, yaitu Sheilla. Setelah panggilan tersambung,
hanya terdengar suara ringikan tangis keluar dari mulutnya.
“Aku bahagia … Alhamdulillah ya Allah—" ucap Sheilla
dengan nada rintih.
“Eh, kan, Aa belum salam. Gimana, sih?” gumamku.
“Oh, iya. Maaf. He he”

188 | Cinta (Kita) Sederhana


“Assalamu’alaikum, Istriku.”
***

Humaidi Syaidil Akbar | 189


Bab 27
Lika dan Liku

S emua pasti bertanya-tanya, bagaimana malam


pertama pasangan suami-istri jarak jauh terjadi? Apa
saja yang mereka lakukan? Meihat pasangan seperti
ini sangatlah langka, bagaimana esensi merasakan hal langka
tersebut? Perlukah kuceritakan?
Sebagaimana pasangan suami-istri biasanya yang baru
menikah, kami melalui malam pertama dengan sangat syahdu.
Dalam buaian kasih sayang dan saling tagih menagih kata cinta,
kami merasakan kenikmatan layaknya pasangan baru menikah
pada umumnya.
Namun, yang menarik dari pengalaman ini adalah momen
di mana Sheilla memperlihatkan bagian tubuhnya yang tertutupi
cadar. Aku yang ingin sekali mengobrol dengannya tanpa balutan
hijab ini tak sabar hingga harus meronta-ronta dengan bersikap
manja. Sheilla yang dengan malu-malu membuka seidikit demi
sedikit kain penutup itu seolah mempermainkan kesabaranku.
Setelah semua hijab tersingkap sempurna, barulah kurasakan
bahagia tak terkira. Ini baru istriku. Pada akhirnya kami saling

190 | Cinta (Kita) Sederhana


mengecup layar gawai kami sembari menghujani bibir ini mengu-
capkan kalimat sakral, Aku cinta padamu. So sweet sekali bukan?
***
Seminggu pasca-akad, kabar status baru kami tersebar
seantero keluarga. Ada di antara mereka yang kaget karena baru
tahu setelah acara, ada yang ikut bergembira dengan
mengucapkan doa berkah serta menanyakan resepsi, ada juga
yang merasa kecewa karena tindakan yang kami lakukan tanpa
melibatkan keluarga lain. Itu semua kami anggap sebuah
pemakluman dan suatu saat mereka akan merasakan juga
kebahagiaan ini.
Misi selanjutnya adalah menjemput kepulangan Sheilla.
Akan tetapi, Sampai detik ini pun tak kunjung datang
perkembangan kabar surat pengajuan ke KDEI yang tempo hari
Sheilla urus dengan Mr. Lie. Padahal untuk mengurus itu saja
butuh waktu setidaknya enam bulan. Walau begitu, tak pernah
sedikitpun dari kami mengendurkan harap dan doa pada Sang
maha cinta.
Sheilla kemudian melakukan mediasi dengan majikan
perihal kepastian pengajuannya untuk resign, ternyata baru
diketahui bahwa gagalnya surat yang diajukan saat itu adalah
karena pihak agensi belum menemukan pengganti lain, tentu
saja alasan ini tak ada hubungannya dengan egoisme Mr. Lie.
Laopan—panggilan yang digunakan kepada bos—memberi usul
kepada Sheilla untuk mencari pengganti sendiri atau menunggu
sampai waktu yang tidak ditentukan.
Sheilla dengan keteguhan hatinya memohon kepada
Laopan agar membantunya melancarkan pemutusan kontrak. Ia
berkata bahwa statusnya kini adalah istri dari seorang laki-laki
yang sedang menunggunya pulang, dan tak lama lagi kami akan

Humaidi Syaidil Akbar | 191


melangsungkan pesta pernikahan. Akhirnya si majikan luluh dan
mencoba menelepon pihak agensi sekali lagi.
“Aku mau packing barang ke Ayah, ya. Satu dus kayaknya
cukup.” Dengan panggilan baru—ayah dan ummah—yang
menghiasi hari kami, Sheilla mulai mengemas barangnya.
“Emang udah ada info pulang, Mah?”
“Mudah-mudahan ada, Sayang. Tadi Laopan udah telepon
pihak agent, katanya besok mereka mau ke sini.”
Sesuai perkiraan, pukul dua belas siang datang pihak
agensi ke kediaman Sheilla. Mereka mengatakan sudah
memesankan tiket untuk Sheilla pulang pada bulan april
mendatang, sontak raut muka yang tertekuk itu tiba-tiba cerah.
Namun, setelah melihat surat persetujuan, keterangan
menuliskan bahwa itu adalah tiket untuk Sheilla cuti selama
sebulan. Dan pembayarannya sudah dilunasi oleh pihak majikan.
Serasa jatuh kembali ke dalam kubangan lumpur, Sheilla dengan
kecewa menolak tiket tersebut.
“Aku pulang itu pengen resign, bukan cuti!” sentak Sheilla.
“Sabar, Sayang. Mungkin hanya ini yang bisa Laopan
lakuin.”
“Tapi kenapa nggak bilang sama aku kalau itu untuk cuti?!
Kenapa harus memutuskan sepihak? Pasti mereka juga menutup
diri kalau sebenarnya gak mau aku diganti sama orang lain.”
“Ya udah, seperti biasa … kita ngaji yasin lagi rame-rame,
yuk. Kita ajak juga semua keluarga, niatnya untuk meluluhkan
hati majikan dan agent. Soal tiket hangus gak apa-apa, nanti kita
usahakan lagi.”

192 | Cinta (Kita) Sederhana


“Pokoknya setelah ini aku mau cari tahu pembelian tiket ke
Indo, teman aku ada yang pernah pulang tanpa bantuan agent
sama majikan.”
***
Suatu pagi, Sheilla meneleponku. Ia mengadu bahwa
nenek tiba-tiba sering marah-marah. Hanya karena menanyakan
beberapa bungkus mi kiriman Jie jie tiga bulan lalu yang pastinya
sudah habis. Menurutnya semakin hari semakin suram
kehidupannya di sana.
Tak lama Jie jie mengajaknya jalan-jalan untuk mentraktir
semua keinginan Sheilla sebelum ia pulang ke Indo. Terakhir
memberinya sebuah kado titipan dari nenek, setelah dibuka kado
tersebut berisi jam tangan cantik yang harganya cukup tinggi. Jie
jie mengatakan bahwa Ama—panggilan nenek—tak mau Sheilla
pergi, ia ingin memberi sesuatu sebagai kenang-kenangan tapi
malu. Lepas dari luar, Sheilla memeluk nenek dan keduanya
saling meminta maaf. Tak ada hadiah yang terindah selain kasih
sayang yang diberikan.
***
Berlanjut pada urusan perpulangan, untuk ke sekian
kalinya Sheilla menghubungi agensi untuk meminta pemutusan
kerja. Kali ini Sheilla mengungkapkan kekecewaannya pada
pelayanan agensi yang selalu miss komunikasi dan terkesan
lambat. Ia memaksa agensi bertanggung jawab atas
pengajuannya dahulu yang digagalkan oleh Mr. Lie.
Agensi kemudian mengatakan bahwa dengan aduannya ini
Sheilla bisa saja putus kontrak pada bulan kelima dengan
konsekuensi gaji ditahan sampai bulan pemulangan, ditambah
uang cuti sebesar dua puluh delapan ribu yang Sheilla endapkan
selama empat tahun hangus. Dengan tegas Sheilla menyanggupi
hal tersebut.

Humaidi Syaidil Akbar | 193


“Kamu serius, Mah?” Aku yang mendengar keputusannya
sampai menelan sativa, kesungguhannya untuk pulang bukan
main.
“Nggak apa-apalah. Aku masih ada simpanan uang gaji
kemarin, masih bisa buat beli tiket sama kehidupan sehari-hari,”
imbuhnya. Entah apakah itu benar atau hanya alasan yang ia buat
untuk meyakinkan diriku.
“Ya udah kalau begitu, aku bantu kirim uang, ya.”
“Jangan … nggak usahlah. Uang kamu mah buat nanti aja
kalau kita udah serumah.” Aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
Kesannya seperti ia sedang berjuang sendirian, sementara aku
hanya termangu di sini menonton aksinya. Ya Rabb, Mudahkan
urusannya dan berikanlah jalan terbaik di balik urusan kami
sebagaimana Engkau berikan itu pada orang-orang yang
bertakwa.
***
Awal bulan april, agensi mendapatkan pengganti untuk
Sheilla, namanya Anis. Anis mulai percobaan bekerja dengan
tinggal di rumah ketiga Jie jie—yang jaraknya tak jauh dari rumah
Ama—mengurus keempat anaknya. Sewaktu-waktu Sheilla
berkunjung menemui Anis membantu menangani anak-anak,
begitu pun Anis yang kadang bertukar tempat mengurus Ama.
Namun, seminggu sejak Anis masuk kerja, anak-anak Jie jie
terlihat sering berkunjung ke rumah Ama. Bahkan pernah
seharian penuh Sheilla harus berusaha membagi tenaganya
untuk Ama dan anak-anak. Ketika ditanya mengapa sering
menemui Sheilla, mereka menjawab kalau pelayanan Sheilla jauh
lebih baik dari Anis. Anis dinilai terlalu kasar untuk memenuhi
kebutuhan anak-anak, lain dengan Sheilla yang sudah mengang-
gap mereka seperti anak sendiri.

194 | Cinta (Kita) Sederhana


Sheilla mengatakan padaku bahwa ia senang dengan cara
Jie jie membesarkan anak-anaknya. Sedari kecil mereka tak
pernah diberikan imunisasi, tapi setiap bulan Jie jie selalu
menyempatkan diri memeriksakan anak-anaknya ke bidan atau
dokter dan selalu memberikan makanan dari hasil masakannya
sendiri. Jie jie juga tak pernah melarang anak-anaknya berbuat
sesukanya, malah mereka diajarkan untuk bertanggung jawab
dan berusaha mengejar apa yang mereka inginkan. Semua cara
asuh Jie jie menjadi rekaman untuk Sheilla dalam mengasuh anak
suatu hari nanti. Karena anak adalah aset, maka asahlah mereka
agar memiliki nilai dan kualitas yang tinggi.
***

Humaidi Syaidil Akbar | 195


Bab 28
Sheillawati dan Humaidi

T akdir Sheilla di Penghu akhirnya menemukan kli-


maksnya. Loupan tiba-tiba menggebrak pintu de-
ngan raut muka yang sangar. Sheilla yang terkaget-
kaget mendengarnya seketika mendatangi arah suara. Ternyata
penyebab kemarahannya adalah karena sang majikan menemu-
kan adanya genangan air dari pintu dapur, Sheilla lalu menjelas-
kan bahwa itu adalah air bekas hujan yang menyembul dari celah
pinggir tembok sehingga menggenang di area dapur.
Loupan yang sudah terlanjur marah mengalihkannya pada
masalah lain, ia masih saja membentak Sheilla dengan alasan
lambat membersihkan genangan air hingga tercampur dengan
sampah. Sheilla pun tak ingin kalah, ia menampik bahwa air itu
pasti akan selalu masuk selama tembok belum ditambal. Untuk
masalah sampah, sudah ada jadwal rutin kapan ia harus
membuangnya ke mobil sampah. Tak terima dengan sanggahan
Sheilla, dengan kasar anak lelaki Ama ini mendorong Sheilla
hingga kepalanya terbentur palang pintu dan berdarah.
Sheilla yang sakit lahir batin akan perlakuan majikannya ini
hanya bisa mengurai bulir bening pada netranya. Ia mengatakan,

196 | Cinta (Kita) Sederhana


jika memang sudah tidak suka dengan cara kerjanya, lebih baik
pulangkan saja dirinya ke Indonesia. Akhirnya permintaan itu
dipenuhi, Sheilla dipecat dari rumah Ama.
Dari sekian kali mendengar laporan darinya, baru ini
kurasakan emosi yang luar biasa. Bagaimana sampai hati seorang
laki-laki berlaku kasar pada perempuan? Terlebih sampai terluka.
Bukankah itu adalah luka lama pasca-insiden kecelakaan Sheilla
yang kembali terbuka? Bagaimana jika wanita malang ini harus
kembali ke rumah sakit untuk dioperasi lagi untuk kedua kalinya?
Apakah manusia jalang itu tak berpikir sampai ke sana?
Akhir bulan ini adalah akhir di mana ia menginjakkan
kakinya di rumah Ama, bahkan di Penghu. Karena setelah ini ia
harus dikembalikan terlebih dahulu ke penampungan tenaga
kerja di Taiwan dan mengurus nasib selanjutnya di sana. Loupan
yang menerima amarah dari Jie jie membayar rasa bersalahnya
dengan membantu Sheilla membayar setengah harga tiket. Usut
punya usut, ternyata Loupan juga merasa kesal ketika Sheilla
menolak tiket cuti yang sudah dipenuhinya sampai akhirnya
uangnya hangus sia-sia, begitu ungkap Jie jie kepada Sheilla. Jauh
daripada itu, Jie jie malah sangat merasa sayang jika Sheilla harus
meninggalkan rumahnya itu. Ama yang sudah menganggap
Sheilla bagian dari keluarganya tak henti melirih sambil meratap.
Akan tetapi, kenyataan ini harus tetap diterima. Saatnya
mengucapkan xie xie20 atas segalanya, bai bai21, zai jian22, Taiwan.
Keputusan sudah keluar, Sheilla dipulangkan bulan lima
awal, tepatnya tanggal tiga. Sehari sebelumnya ia sudah harus
sampai di Taiwan untuk mengurus surat pemutusan kontrak
dengan pihak KDEI Taipei sekaligus pembayaran denda dan

20 Terima kasih
21 bye
22 Sampai jumpa lagi

Humaidi Syaidil Akbar | 197


pengambilan tiket pulang. Barang-barang yang pernah ia packing
tempo hari sudah sampai mendarat di kontrakanku dengan
selamat. Namun, sangat disayangkan, hanya ada satu dus yang
kuterima, satu lainnya hilang entah kemana. Sebenarnya masalah
ini yang sangat dikhawatirkan Sheilla sewaktu mengantarkan dua
dus itu pergi. Pasalnya kemanan pengiriman keluar masuk barang
antar negara itu diragukan. Semoga informasi ini terbawa sampai
kepada pihak bersangkutan agar bisa dievaluasi lebih baik.
“Seneng enggak mau ketemu?” tanya Sheilla padaku saat
sedang menelepon sembari mengemas barang-barang terakhir.
“Biasa aja, soalnya baru mau."
“Oh, gitu. O iya, aku dikasih pinjam sama Mbak Arie tiga
juta rupiah, tapi dia ngasih sepuluh ribu NTD. Katanya balikinnya
pakai rupiah aja. Nanti aku mau minta Papah buat bayarin di Indo.”
“Jangan! Jangan libatkan mereka buat urusan kita! Sama
aja kita ngemis. Haram hukumnya minta-minta sama orang tua.
Biar Aku aja yang bayar.”
“Iya … iya. Jangan marahlah.”
“Ya, makanya jangan sembarangan berbuat. Buat apa ada
Aa sebagai suami Teteh? Kayak nggak berguna jadinya.”
“Iya, maaf kalau Teteh masih banyak kurang, tabungan
habis, sering—”
“Kenapa jadi kesitu, sih?” Sepertinya obrolan kali ini begitu
suram, entah mengapa tak ada guyonan yang berlaku. Sheilla
sebentar lagi akan meninggalkan kehidupannya yang serba
nikmat, hidup tanpa ada aturan mengekang, fasilitas yang selalu
terpenuhi dan keuangan yang sejahtera harus ia korbankan demi
menjalani kehidupan bersama laki-laki miskin, temperamen, dan
keras kepala sepertiku. Sementara aku pun harus memikirkan
bagaimana menghidupi dua perut dengan finansial seadanya,

198 | Cinta (Kita) Sederhana


ditambah kesibukan yang pastinya lebih banyak dari biasanya.
Mungkin ini yang namanya ujian menikah, harus bisa sama-sama
meredam ego.
“Aa juga minta maaf. Di sini lagi banyak kerjaan jadi
kebawa emosi. Sekarang Teteh fokus persiapan pulang, siapkan
barang-barang, mental, fisik, sama pikirannya. Selama Aa mampu,
enggak akan Aa biarin Teteh pakai tenaga orang lain. Tenang aja,
di bandara nanti Aa pastiin jemput,” ucapku menetralkan
suasana. Kelak pasti akan banyak masalah lebih dahsyat yang
menerpa realita kehidupan kami, ini belum apa-apa.
***
Kamis, dua mei, Sheilla dijemput agensi dari rumah Ama di
Penghu menuju Taiwan dengan transportasi udara. Tangis haru
dari keluarga majikan serta rekan kerja mewarnai setiap jejak
langkahnya. Sebenarnya Sheilla pernah berkata kalau ia ingin
sekali bertahan lalu mencarikan pekerjaan yang cocok dengan
passionku di Taiwan. Akan tetapi, kenyataan berubah ketika
setan menguasai pikiran Loupan.
Setiap titik perjalanan Sheilla selalu dalam pantauanku, tak
pernah kubiarkan ia berlalu sebelum melaporkan posisi dan
keadaannya. Sampai pada suatu keadaan yang genting, Sheilla
mengatakan bahwa kakinya terkilir karena harus mengejar
pesawat yang akan take off. Ia dilepas oleh agensi seorang diri di
bandara dan hampir saja ketinggalan jam terbang.
“Hati-hati makanya. Enggak usah bawa-bawa boneka, sih,”
tukasku karena kulihat dalam video call, Sheilla menggembol tas
dan boneka besar.
“He he. Aku cuma bawa Banny, kok. Haramy aku kasih ke
tetangga.” Banny adalah boneka kelinci, sementara Haramy
adalah boneka babi. Dua boneka yang selalu menemani hari-
harinya di tanah Penghu.

Humaidi Syaidil Akbar | 199


Sheilla meminta pemakluman dariku karena hanya
membawa uang tiga ratus ribu rupiah saja dari Taiwan. Ia juga
mengungkapkan penyesalannya kepada keluarga Subang yang
ingin menjemput tapi terbengkalai masalah ongkos, ia
mengusulkan agar uang yang ada disimpan saja untuk kebutuhan
bulan puasa nanti. Begitu pun keluargaku yang memilih datang
setelah Sheilla sudah sampai di Tangerang. Teman-temanku yang
sudah dekat dengan Sheilla juga kularang untuk ikut, biarlah kami
menikmati momen pertama ini berdua.
Sampai di penampungan Taiwan, Sheilla ditolong oleh
seorang wanita yang berbaik hati mengulurkan tangannya
mengobati kakinya yang terkilir. Sebagai ucapan terima kasih, ia
memberikan Banny pada wanita tersebut dan melanjutkan
perjalanan dari Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan menuju
Soekarno-Hatta esoknya.
“Yang, aku pakai kerudung pink, gamis biru sama cadar
hitam, ya. InsyaAllah kita nanti ketemu di gate tiga,” ucapnya
dalam perjalanan menuju bandara. Tiba-tiba dada ini terasa amat
hangat, degup jantung yang begitu kencang seakan meronta
ingin keluar dari sarangnya. Tak lama lagi kudapatkan sebuah
kado spesial, bersua dengan istri tercinta.
“Aku udah masukin tiga koper ke bagasi, di kabin cuma
boleh bawa satu tas kecil. Nanti perkiraan bakal transit di
Hongkong, jadi terbangnya agak lama,” liput Sheilla tepat pada
pukul dua belas siang.
“Iya, di sini juga pakaianmu yang menggunung sudah
menunggu. Aku sampai bingung mau taruh di mana.” Jelas saja,
satu dus besar berisi pakaian Sheilla—dari pakaian dalam sampai
resmi—yang membutuhkan sebuah lemari kini meramaikan isi
kontrakan.

200 | Cinta (Kita) Sederhana


“Ha ha, maaf ya. Itu belum termasuk barang yang hilang di
pengiriman loh. Aku sedih, padahal di dalamnya banyak oleh-oleh
buat kamu, keluargamu sama keluargaku—”
“Udah, enggak apa-apa. Nanti bisa kita lacak lagi di sini. O
iya, aku minta izin sekarang jangan?” ungkapku meminta saran
karena beberapa hari ini sibuk mengerjakan berkas untuk acara
wisuda tahfizh yang akan berlangsung tiga hari lagi.
“Kamu berangkat maleman aja. Estimasi waktu landing jam
delapan kok.”
“Enggak apa-apa, biar bisa persiapan sama beres-beres
kamar dulu, he he.”
“Ha ha … oke. I love you.”
“I love you too.”
Ini adalah komunikasi terakhir bersama Sheilla, setelah ini
kami sengaja tak bertegur sapa sampai bertemu muka. Selain
karena larangan menggunakan gawai dalam pesawat, juga agar
pertemuan ini terkesan istimewa.
Petang sudah mulai membentang, mega menjingga searah
permukaan cakrawala. Aku sudah berdandan rapi terbungkus
kaos biru dan jaket hitam. Semua elemen yang dibutuhkan untuk
bertatap sudah siap. Kupastikan energi baterai pada gawai sudah
terisi penuh. Usai salat isya, kupesan jasa grab bike untuk
menuntunku menuju bandara.
Tepat pukul delapan malam, kaki ini sudah berpijak di lantai
gate tiga Bandara Soekarno-Hatta. Dengan penuh harap dan
cemas, kulangkahkan kaki secara frontal menuju ruang arrival.
Dalam perjalanan, aku mendapati sepanjang lorong ini sangat
sepi. Kamera ponsel yang terus merekam memindai satu per satu
bagian dalam bandara. Sampai di ruang tunggu kedatangan,

Humaidi Syaidil Akbar | 201


barulah kuamati banyak sekali orang-orang yang lalu lalang di
sekitaran area tersebut.
Tanpa adanya tanda penjemputan, kuselami titik tiap titik
gerbang keluar penumpang. Layar besar di ruang tunggu
menunjukkan bahwa pesawat China Airlines sudah mendarat
pukul delapan lebih tiga puluh lima menit. Ketika kutanyakan
pada resepsionis di mana arah munculnya penumpang dari
pesawat tersebut, ia menjawab bahwa sebelum keluar
penumpang harus melewati garis migrasi paling cepat satu jam
dari landingnya pesawat.
Aku benar-benar buta arah dalam membaca denah
bandara ini. Dengan rasa pegal dan capai, kurebahkan diri
menyandar pada sebuah dinding kaca di pojok ruangan. Tak lama
kemudian datang petugas menyuruhku untuk pergi dari tempat
tersebut karena itu merupakan jalur untuk penumpang.
Akhirnya aku keluar dari ruang tunggu, benar-benar dalam
keadaan putus asa dengan daya baterai yang semakin menipis,
kakiku melangkah dengan tergontai-gontai. Kulirikkan mata
memutar arah, berharap menemukan ia yang kucari. Langkah
terakhir, kubantu pencarian ini dengan segumpal fatihah sembari
bermonolog bahwa dua hati yang tertaut pasti akan bertemu
dengan sendirinya. Tawakkal memang pantas diletakkan pada
posisi ini.
Sambil menutup netra, kusebut namanya dalam hati
kemudian membuka kembali pandangan. Di luar dugaan, dari
jauh sayup-sayup terlihat sosok dengan tanda-tanda yang
kukenal. Ya, itu Sheilla. Ia sedang tergopoh-gopoh mendorong
troli berisikan tiga koper besar. Aku yang menyadari itu berteriak
keras, “YANG DICINTA DATANG … YANG DICINTA DATANG!”
Pada jarak lima meter, kami saling bertemu pandang dan
mendekat dengan perlahan. Tanpa kata-kata, Sheilla meraih

202 | Cinta (Kita) Sederhana


tanganku dan mencium telapak punggungnya. Kami pun saling
merekatkan tubuh, menikmati jutaan rindu yang runtuh dalam
hangat peluk. Segala resah yang menumpuk hilang seketika,
waktu seakan membeku menyisakan rasa nyaman, damai, dan
nyaman di hati. Terima kasih, Tuhanku. Sungguh Engkau Zat yang
maha hebat. Misi penjemputanku sukses. Kami akhiri malam ini
dengan bermandikan cinta. Cinta Sederhana.
***
Kututup serangkaian doa dengan kalimat ‘amin’ sembari
mengatupkan kedua tangan pada wajah. Akhirnya prosesi zikir,
doa, serta menceritakan sekelumit manakib Sheilla sudah selesai.
Teman-teman yang sedari tadi mendengarkan paparanku terlihat
semringah seraya bangkit dari batu pijaknya. Sebelum bangun,
kusentuh lagi kayu nisan yang bertuliskan nama Shellawati binti
Ono Waryono (lahir: 23 Juni 1998. Wafat: 22 Maret 2020) dan
mengucapkan pesan terakhir.
“Udah dulu, ya, Mah. Kami pamit dulu. Bahagia selalu di
sana. Assalamualaikum.” Kuakhiri ziarah kali ini dengan kecupan
di atas kayu nisan.
Sambil berjalan dan menaiki mobil, Seorang kawan
bertanya padaku, “Terus pas beliau udah di Indonesia, gimana
ceritanya?”
“Kalian masih mau dengar lanjutan ceritanya? Baik,
dengarkan seksama, ya.”
Dalam mobil yang berisi empat orang—dua di barisan
depan dan dua di barisan belakang—ini kami kembali berbincang.
Dengan laju kecepatan delapan puluh kilometer perjam
membelah angin, kusiapkan segunung cerita tentangnya,
Sheillaku.

Bersambung
Humaidi Syaidil Akbar | 203
Bionarasi

Humaidi Syaidil Akbar, S.Ag.


Seorang yang menyebut diri sendiri
santri abadi. Kelahiran Bogor, 24 Mei
1992. Pernah bernaung di beberapa
pondok pesantren, di antaranya: PP. Al-
Falak Bogor, Yayasan Tebar Iman
Jakarta, Ma’had Al-Askar Bogor, Pusat
Studi Alquran Tang-Sel, Ihsan Center
Tang-Sel dan Pesantren Tahfizh Daarul
Qur’an Tangerang. Penyuka seni seperti
gambar, musik, puisi dan berkisah.
Duda beranak satu dari pernikahannya dengan almarhu-
mah Sheillawati yang hanya berjalan satu tahun. Pendidikan
terakhirnya adalah ‘Sarjana Agama’ program studi Ilmu Alquran
dan Tafsir di STAI Asy-Syukriyyah Tangerang dan berencana
melanjutkan pendidikan setelah menamatkan talaqqi Qur’an-nya
pada Syaikh Samir Ahmad al-Kannash asal Suriah yang kini
menetap di Daarul Qur’an Tangerang.

204 | Cinta (Kita) Sederhana


Karya yang pernah dituangkan:
 Hubhub (Sebuah Perjalanan Cinta), buku solo berisi
kutipan, narasi, dan puisi.
 Single Dad, antologi cerpen.
 LDR ‘Cerita Cinta Tersekat Jarak’, antologi cerpen.
 Muara Sebuah Rasa, antologi cerpen
 Goresan Pentigraf, antologi cerpen.
 Serentak Hijrah, antologi Puisi.
 Tribute to Sapardi Joko Damono, antologi Puisi.
 Sajak-Sajak Hujan, antologi Puisi.
Waktunya digunakan sebagai pengajar ngaji di pondok
pesantren Daarul Qur’an Tangerang, content creator, dan sedang
mengukir aksara dalam beberapa event menulis. Silakan bertegur
sapa di:
 Youtube : Humayd Channel
 Facebook : Humaidi Sayidil Akbar
 Instagram : @humaidisa8

Humaidi Syaidil Akbar | 205


206 | Cinta (Kita) Sederhana
Humaidi Syaidil Akbar | 207
208 | Cinta (Kita) Sederhana

Anda mungkin juga menyukai