Diterbitkan oleh :
KMO Indonesia
Jln. Sultan Ageng Tirtayasa Graha Rorocantik
Blok C 18 Talun Cirebon
No.Telp/HP: 082216620246
Email: cvkmoindonesia@gmail.com
Anggota IKAPI Jawa Barat
3 sadar
4 Keras kepala
“T
ahukah engkau, bahwa takdir dan jodoh—
keduanya—sebenarnya telah ditakdirkan untuk
berjodoh, begitulah mereka tertulis. Akan tetapi,
takdir memilih jodoh lainnya yaitu umur, rezeki, dan kematian. Di
sisi lain, jodoh pun ditakdirkan dengan umur kapan mereka
bertemu, rezeki kapan mereka saling menggenggam, dan kematian
kapan mereka bersua. Pada akhirnya, jodoh tetap akan berjodoh
dengan ia yang ditakdirkan, yaitu takdir.”
Setelah kejadian kemarin, seketika aku seperti menjadi
penasehat baginya. Dan entah mengapa ada dorongan hati
untuk memperhatikan setiap gerak-geriknya. Rasanya aku takut
jika sewaktu-waktu lengah, ia mencoba melakukan hal-hal yang
tak diinginkan lagi.
[Sudah baikan, Teh?]
[Alhamdulillah. Makasih, ya, motivasinya kemarin.]
Aku menghela napas—bersyukur, setidaknya bisa
mengembalikan lagi sedikit gairah hidup untuk wanita ini.
[Masih nyesek sebenarnya, he he,] timpalnya.
“D
i Indo sebentar lagi hari kemerdekaan, ya?”
Wanita kelahiran Subang ini memulai dia-
log setelah memperdengarkan bacaan
Alqurannya kepadaku selama kurang-le-
bih satu jam dan mendengarkan ulasan tadabur yang kusampai-
kan lima belas menit setelahnya. Walaupun dengan malu-malu,
rupanya ia ingin kegiatan ini rutin dilakukan untuk memperbaiki
diri sekaligus kembali pada jalan yang seharusnya ditempuh
manusia di dunia, yakni mencari ilmu agama sebanyak mungkin.
Dialog yang kami bicarakan ini terjadi tepat di tanggal empat
belas Agustus tahun dua ribu delapan belas.
“Iya, tiga hari lagi tanggal tujuh belas, Teh,” jawabku.
Dalam dialog, tersimpul rangkaian kalimat keluh dari bibir
seorang TKI ini. Pasalnya perayaan kemerdekaan Indonesia tak
dapat dirasakan di tanah rantau tersebut. Kendati terdapat
beberapa ormas dan kelompok yang menyempatkan waktunya
untuk melakukan upacara kemerdekaan seadanya, momen
tersebut tak bisa diikuti oleh Shella yang tinggal di tengah pulau
terpencil.
5 Silakan
6 Kenapa
3. Nagih Allah.
Orang seperti ini lain dengan kelompok sebelumnya.
Bisa dibilang, ini adalah perpaduan dua kelompok yang
disebutkan di atas. Biasanya, mereka punya standarisasi jodoh
yang diinginkan, tapi itu dijadikan sebagai transaksi untuk
riyadah mereka dalam memperbaiki diri. Memang terkesan
memaksa Allah, wong namanya juga nagih Allah. Mereka
yakin, jika tanpa membuat kesepakatan saja Allah tahu apa
yang mereka inginkan, apalagi terang-terangan
mendemonstrasikan di hadapan Rabb-Nya.
Lalu konsekuensinya apa? Tidak ada. Mereka akan
menganggap jodoh seperti apa pun yang didapatkan adalah
sesuai dengan ukuran riyadahnya. Kendatipun tak
mendapatkan jodoh hingga akhir hayat, mereka akan gembira
bahwa Allah telah menyiapkan pasangan terbaik di surga.
“Nah, Teteh termasuk kelompok yang mana?” Aku
menawarkan tiga pilihan itu pada Shella—mulai saat ini
kupanggil Sheilla/Hurayra. Pada obrolan telepon malam ini, kami
membicarkan jodoh yang ideal, meneruskan chatting yang
8 berasa
“G
imana?”
“Apanya?”
“Ngobrolnyalah!”
“Ha ha. Pasti bakal nanyain itu. Sabar—”
Malam belum juga menampakkan gelapnya, sang gadis
Subang sudah menampakkan rasa penasarannya dengan
meneleponku siang ini. Obrolanku dengan keluarga malam itu
sepertinya cukup membuat rasa kepo dalam dirinya meletup-
letup. Wajar saja, karena aku belum menghubunginya lagi
semenjak melaporkan kedatangan di Bogor tempo hari. Padahal
ia sudah mengirimkan pesan singkat malamnya tapi sengaja tak
kubalas agar memicu rasa ingin tahunya.
Aku sudah kembali ke pesantren, melaksanakan lagi
kesibukan yang tertinggal beberapa hari selama pulang kampung.
Siang ini aku mendapatkan kabar pengambilan hewan kurban
dari grup WhatsApp pesantren. Ketika sedang bersiap berangkat,
Sheilla malah menghubungiku.
“M
impi besar terbentuk dari mimpi-mimpi kecil
yang terkumpul kemudian menjadikannya
besar. Kau takkan bisa mewujudkan sebuah
mimpi besar jika mengabaikan mimpi-mimpi kecil. Hargai mimpi
sekecil apa pun itu, ia akan mengantarkanmu pada mimpi yang
lebih besar. Dan tak ada mimpi terbesar selain mendapatkan Wajah
Allah.”
***
“Hubhub? Apa artinya?” tanyanya usai kubuatkan grup
pada platform WhatsApp dan memasukkannya dalam grup
tersebut. Kuselipkan nama Hubhub pada kepala grup tanpa ada
foto terlebih dahulu.
“Asal katanya ‘Hubb’, artinya cinta. Hubhub maksudnya
mengumpulkan cita-cita dan apa yang kita cinta di dalamnya.
Seperti biasa, harus ada nama ‘H’,” jawabku.
“Kirain ada maksud tertentu dengan nama itu, hi hi.” Aku
tahu ia ingin memancing canda, tapi bukan saatnya. Aku
lanjutkan lagi pemaparannya.
N
guuung … nguuung … nguuung.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Bel
tanda berakhirnya kelas sudah berdering.
Seluruh mahasiswa di kampus berhamburan
keluar dari kelasnya masing-masing digantikan posisinya dengan
mereka yang masuk jam ketiga dan keempat. Walaupun semua
berbaur dalam satu atap tatkala mendirikan salat isya, usai itu
sebagian dari mahasiswa memilih tinggal di kampus lebih lama,
sebagian lainnya kembali ke habitat semula.
Perkataan Evhie di kelas tadi terngiang terus menerus
dalam telingaku dan seakan berputar menagih kepastian.
Padahal aku sudah memberikan jawaban yang aman dari
praduga, tapi pikiran itu tak berhenti berkelebat.
Sesampainya di kontrakan tiga petak ini, kusandarkan
ransel yang mengait di bahu pada pojok rak televisi—tanpa
“W
ahai Tuhan pemilik segenap jiwa, tempat
segala harap bermuara. Kuserahkan takdir
ini pada ketetapanmu yang nyata. Kau sebaik
sutradara, menguasai kami para pelakon jenaka. Hak-Mu menilai
peran-peran amatir atau sempurna, dalam naskah-Mu pula akhir
cerita ini berada. Mungkin kelak jika aku atau orang-orang tercinta
telah menggenapi kontraknya, izinkan nama kami tetap hidup
dalam barisan doa. Amin.”
***
Tahun baru tiba, kami sambut dengan rasa bahagia, sebut
saja ini adalah tahun cinta. Hari baru ini bertepatan dengan
semangat dan rencana yang terbarukan pula. Ada luka kemarin
yang harus segera terurai, ada juga mimpi untuk hari esok bisa
tercapai. Adios9, dua ribu delapan belas dengan segala kenangan
yang berlalu. Bievenido10, dua ribu sembilan belas dengan segala
harap yang menggebu.
9 Selamat tinggal
10 Selamat datang
11 Adik nenek
20 Terima kasih
21 bye
22 Sampai jumpa lagi
Bersambung
Humaidi Syaidil Akbar | 203
Bionarasi