AKHLAK
IBNU MISKAWAIH
Penulis :
Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.
Penerbit Rizquna
Anggota IKAPI No. 199/JTE/2020
Jl. KS Tubun Gang Camar RT 05/04,
Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Banyumas, Jawa Tengah All Right Reserved
Email: cv.rizqunaa@gmail.com
Layanan SMS: 085257288761
Apabila menemukan kesalahan cetak dan atau kekeliruan informasi pada buku
harap menghubungi redaksi Rizquna. Terima kasih.
Apabila menemukan kesalahan cetak dan atau kekeliruan informasi pada buku
harap menghubungi redaksi Rizquna. Terima kasih.
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
A. Biografi Singkat
Nama Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan tentang akhlak. Hal ini karena memang akhlak
menjadi pembahasan utama Sang Filosuf, sampai-sampai dia
dikenal sebagai Bapak Filsafat Akhlak Islam. Label ini sangat
layak oleh karena jasanya dalam mensistematisasi filsafat akhlak
dengan sangat baik.
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad Ibnu
Muhammad Ibnu Maskawaih. Lahir di kota Ray (Iran) pada tahun
330 H/932 M dan meninggal di Asfahan pada tahun 421 H/1030
M. Miskawaih tidak hanya ahli dalam bidang filsafat akhlak, Ia
juga ahli dalam bidang kedokteran, bahasa dan sastra, dan
sejarah. Dalam Riwayat hidupnya sebelum masuk Islam,
Miskawaih merupakan pemeluk agama Magi1.
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian
besar bermazhab Syi'ah. Ibnu Maskawaih adalah seorang
cendekiawan muslim dalam bidang filsafat akhlaq. Ia belajar
sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan)
Ibn al-'Abid di mana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh
banyak hal positif berkat pergaulanya dengan kaum elit. Setelah
itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan
hidup pada istana pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan
beberapa jabatan lain. Bahkan Miskawaih mendapatkan gelar
guru ketiga setelah Aristoteles sebagai guru pertama dan al
Farabi sebagai guru kedua.
Dalam perjalanan hidupnya, Miskawaih memiliki pergaulan
intelektual yang disegani dan juga merupakan anggota
kelompok intelektual seperti At Tawhidi dan As Sijistani.
Pergaulan yang luas dan produktif ini menunjukkan semangat
belajar dan kedalaman pengetahuannya.
B. Karya-karya
Ibnu Miskawaih termasuk filosuf yang sangat produktif
menghasilkan karya tulis dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Tercatat terdapat 41 judul karya yang pernah ditulis olehnya
selama masa hidupnya.
Kitab yang paling terkenal yang ditulis oleh Miskawaih
dalam bidang filsafat akhlak adalah Tahdzib al-Akhlak wa Tathir
1 Agama magi adalah kepercayaan dan praktik dimana manusia meyakini secara langsung
bahwa mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antar mereka sendiri, entah untuk tujuan
baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih
tinggi.
al-A'raq. Selain itu terdapat beberapa judul kitab lain dalam
berbagai bidang seperti Tajarih Al-Umam berisi sejarah tentang
banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M, Nadim Al-Farid
kumpulan anekdot, syair peribahasa dan kata-kata mutiara,
Jawidan Khird berisi tentang kumpulan ungkapan bijak, Tartib Al-
Sa'adat tentang akhlak dan politik, Al Musthafa berisi tentang
syair-syair pilihan, as-Syiar tentang aturan hidup. Beberapa karya
lain yang pernah ditulisnya seperti Ta'qub Al-Himam, Thabarat Al-
Nafs, Adab Al-'Arab wa Al-Fisr, Al-Fawz Al-Aghsar fi ushul Al-
Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar, Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy'ar,
Nuzhat Namah 'Alaiy Al-Adwiyah Al-Mufridah, Al-Asyribah dan
lainnya.
Dari banyaknya judul kitab yang ditulisnya dan kesibukan di
masa hidupnya menunjukkan Miskawaih begitu mencintai ilmu
pengetahuan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan dibuktikan
dengan karya otentik yang mampu mempengaruhi filosuf Islam
generasi setelahnya. Bahkan sistematisasi filsafat akhlak yang
digagasnya menjadi rujukan utama dikarenakan banyak
intelektual muslim lain yang bingung ketika menjelaskan
berkaitan dengan etika atau akhlak.
ُزِي َن لِلنَّ ِاس ُح ُّب الشَّ هَو ِت ِم َن ِالن َسا ِء َوالْ َبنِ ْ َْي َوالْقَنَا ِط ْ ِْي الْ ُمقَ ْن َط َر ِة ِم َن ا َّذله َِب
ُ َوالْ ِفضَّ ِة َوالْ َخ ْيلِ الْ ُم َس َّو َم ِة َو ْ َاْلنْ َعا ِم َوالْ َح ْر ِث ۗ ذ ِ َِل َمتَا ُع الْ َحيو ِة ادلُّ نْ َيا َۗو
الل ِع ْندَ ه
ُح ْس ُن الْ َما ِب
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).
B. Pengertian Akhlak
Dalam bahasa arab ada dua kosa kata yang mirip; khalq
(ٌٌٌ)خ َْلقdan khuluq (ٌ) ُخلُق. Keduanya menjadi sifat dasar manusia.
Kedua kosa kata yang hampir sama dalam pengucapan tadi
memiliki makna yang berbeda; khalq adalah gambaran fisik yang
dapat diindra, sementara khuluq adalah bersifat batini dan
merupakan gambaran atau karakteristik jiwa manusia. Kata
khuluq inilah yang kemudian dijamakkan menjadi akhlaq. Dari
segi katanya, akhlak biasa disandingkan dengan istilah karakter,
etika dan moral. Istilah-istilah tersebut memiliki kesamaan dalam
klasifikasi dua kutub yaitu baik dan buruk sehingga kita bisa
menyebut akhlak baik, karakter baik, atau etika baik dan
sebaliknya. Perbedaannya terletak pada ukuran yang digunakan
dalam menentukan posisi baik dan buruk. Akhlak menggunakan
timbangan yang bersumber pada al Qur’an dan Hadist.
Dalam tahdzib al Akhlak, Miskawaih mendefinisikan akhlak
secara istilah sebagai berikut:
اخللق هو حال للنفس داعية لها اىل أفعالها بدون فكر وْل روية
Artinya akhlak adalah sebuah sikap mental yang
mempunyai daya dorong untuk berbuat tanpa dipikir panjang
dan tanpa ditimbang-timbang. Pengertian ini merujuk pada sikap
yang secara otomatis menyatu dalam tindakan dan tidak
melibatkan proses berpikir. Oleh karena itu disebut sebagai
sikap mental. Contohnya adalah ketika kita bertemu dengan
pengamen di jalan, keputusan untuk memberi atau tidak
memberi uang secara langsung akan muncul dalam tindakan.
Jika perilaku yang muncul adalah memberi, maka ia telah
bersikap dermawan. Sampai pada titik ini, pengklasifikasian
apakah termasuk akhlak baik atau buruk tidak dapat dimonopoli
oleh satu pihak tertentu karena jika kita masuk dalam
kompleksitas baik dan buruk, maka kita sudah masuk dalam
ranah etika dan moral. Kita tidak sedang membahas etika dan
moral sehingga cukup digambarkan perilaku yang termasuk
dalam akhlak, terlepas dari baik atau buruk.
Selanjutnya, istilah akhlak memuat dua unsur penting yaitu
sikap mental dan tindakan spontan. Berikut penjelasan
singkatnya:
a. Sikap mental
Sikap mental adalah sebuah kondisi jiwa yang
menggambarkan kesediaan dan kesiapannya untuk berbuat
sesuatu, baik ataupun buruk. Jadi akhlak bukan sekedar
berbuat. Bisa jadi seseorang berakhlak dermawan padahal
dia tidak memberi, mungkin karena sesuatu dan lain hal.
Sebaliknya bisa jadi seseorang rajin memberi bantuan tapi
dia bukan dermawan, sebab dia memberi karena riya atau
pamer. Dan akhlak juga bukan sekedar kemampuan untuk
berbuat. Sebab setiap individu pada hakekatnya tercipta
dan memiliki kemampuan tersebut. Akhlak juga bukan
gambaran dari pengetahuan. Sebab pengetahuan itu netral.
Akhlak adalah gambaran dari sikap mental yang sudah
terbentuk dan menjadi karakter jiwa.
b. Tindakan spontan (Direct Action)
Tindakan spontan (direct action) ditandai oleh tindakan
yang tidak melalui pertimbangan. Artinya berbuat sesuatu
dengan enteng dan mudah atau cepat tanpa ada
keterpaksaan. Sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai
akhlak yang mulia jika perbuatan mulia tersebut dilakukan
dengan enteng dan tanpa ragu-ragu. Untuk menciptakan
karakter ini dibutuhkan latihan dan pembiasaan. Kedua
proses inilah yang mempengaruhi pembentukan akhlak.
Proses pembentukan akhlak dengan latihan dan
pembiasaan ini menunjukkan bahwa akhlak adalah sifat
yang bisa berubah dan diusahakan. Seseorang dapat
dibentuk dengan pendidikan, nasihat, latihan dan
pembiasaan. Hal ini sejalan dengan berbagai teori
pendidikan Islam, di mana pribadi-pribadi muslim dapat
dibentuk dengan berbagai cara (Miskawaih, 1985, p. 21).
Dari dua kata kunci tersebut, akhlak menurut Miskawaih
memiliki sifat dasar yang tidak tetap. Sikap mental dan tindakan
spontan ini muncul secara otomatis dari manusia karena sudah
menjadi akhlak. Otomatisasi ini juga dapat disebut dengan
karakter. Selain itu, akhlak juga lebih mengarah pada afeksi,
bukan kognitif dan juga psikomotorik. Hal tersebut
berkonsekuensi pada penilaian akhlak tidak dapat dinilai secara
kognitif, melainkan bentuk perilaku dan sandaran nilainya
sehingga pengkategorian akhlak yang baik dan buruk selalu
dilihat dari dua hal yaitu bentuk perilaku dan sandaran nilai. Jika
kedua bentuk ini sesuai, maka sudah dapat ditentukan
pengkategoriannya.
Dari segi penggunaannya, kata akhlak cenderung dimaknai
secara positif yaitu perilaku baik yang muncul dalam diri
seseorang. Kalimat “kalian itu harus punya akhlak” tanpa
menggunakan kata “akhlak baik” sudah cukup mafhum bahwa
yang dimaksud pada kata akhlak adalah akhlak baik. Contoh
lainnya adalah kalimat negatif “kamu memang tidak berakhlak”.
Kalimat negatif tersebut memfungsikan kata akhlak dengan arti
yang positif. Kata pendidikan akhlak berarti melatih jiwa pada
kebaikan.
D. Standar Moral
Standar moral adalah aturan yang dipergunakan untuk
mengukur nilai perilaku akhlak. Para filosuf dan pengkaji akhlak
berbeda-beda dalam penggunaan standar ini. Sebagian orang
menggunakan adat dan tradisi dalam kelompoknya menjadi
standar untuk menilai baik dan buruknya sebuah perilaku. Apa
yang dalam tradisi mereka baik maka baik secara moral, dan
sebaliknya yang buruk pun begitu. Sebagian yang lain
memposisikan hukum positif sebagai rujukan. Ada juga yang
menjadikan hukum agama sebagai standar mereka. Bahkan ada
yang merujuk hanya kepada pendapat pribadinya, bukan kepada
norma-norma umum.
Perbedaan mengenai ukuran yang digunakan dalam
menentukan baik dan buruk inilah yang terkadang menjadi
masalah tersendiri. Contohnya, dari sudut pandang agama,
menikah lebih dari satu atau poligami diperbolehkan. Akan
tetapi, masyarakat di Indonesia umumnya memandang poligami
sebagai hal tabu dan bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat sekitar sehingga poligami menjadi hal yang tidak
baik dilakukan. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber
ukuran yang saling menguatkan seperti hukum agama
menguatkan tradisi dan juga sebaliknya. Contohnya adalah
kebiasaan di Jawa saat kedatangan tamu adalah menyambutnya
dengan hangat dan selalu disediakan makanan kecil, bahkan ada
yang mewajibkan kepada tamunya untuk makan. Tradisi
tersebut sangat sesuai dengan norma agama yang mengajarkan
bagaimana harus memuliakan tamu (ikrom ad duyuf). Artinya,
nilai kebaikannya menjadi semakin kuat karena didukung dari
dua sumber norma sekaligus norma agama dan norma budaya.
Ukuran atau standar dalam menilai perilaku disebut juga
sebagai (qanun) hukum atau undang-undang. Hukum dan
undang-undang di sini lebih diartikan sebagai suatu konsep yang
filosofis bukan dimaknai secara praktis. Secara lebih spesifik,
berikut penjelasan standar moral yang digunakan untuk
mengukur tingkatan akhlak seseorang yaitu hukum alam, hukum
positif, hukum akhlak/moral dan hukum Tuhan.
1. Hukum alam
Hukum alam adalah aturan main yang berlaku di alam
semesta dan menjadi mekanisme kerja alam. Banyak ayat-
ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hukum alam ini, di
antaranya firman Allah dalam Surat Yasin ayat 37:
َ َو َءاي َ ٌة ل َّ ُه ُم أل َّ ْي ُل ن َ ْسلَخُ ِمنْ ُه ألَّنَّ َ َار فَا َذا ُُه ُّم ْظ ِل ُم
ون
Dan suatu
ِ
tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi
mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari
malam itu, maka dengan serta merta mereka berada
dalam kegelapan.
2
Ibnu Thufeil memetakan dengan apik kemampuan hebat akal manusia dan
keterbatasannya, peran penting wahyu, dalam kisah epiknya Hayyu bin Yaqzan. Dalam kisah ini
digambarkan dengan jelas bagaimana kemampuan akal manusia dapat mencapai puncak
pengetahuannya dalam sosok Hayyu bin Yaqzan yang sejak bayi diasuh oleh seekor rusa betina,
dan sampai dewasa tidak pernah bertemu orang lain. Dia belajar mandiri dari alam sekitar. Hingga
setelah dewasa Hayyu bertemu dengan 2 tokoh agama Salman dan Absal. Keduanya memberikan
informasi tentang peribadatan ala Islam, shalat, haji, puasa dan lainnya, yang sebelumnya tidak
pernah diketahui oleh Hayyu. Juga berbagai informasi tentang kehidupan setelah mati atau alam
akhirat. Di sinilah nampak keterbatasan akal manusia, dan dilengkapi menjadi semakin sempurna
kemnusiaan seseorang dengan berbagai info dari wahyu Tuhan.
akan menghasilkan sebuah pemahaman keagamaan yang ideal.
Dalam tradisi filsafat Islam, rasio diposisikan sebagai alat untuk
memahami ajaran wahyu, membantu umat Islam agar
memahami ajaran agamanya sehingga semakin mantap dan
terhindar dari pemahaman yang keliru ( )خطأٌ ٌالفهمatau
pemahaman yang buruk ( )سوءٌ ٌالفهمterhadap ajaran-ajaran
agama.3
3
ٌ ٌ Istilah ini dipakai oleh Muhammad Iqbal ketika mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan besar apa sebetulnya yang membuat umat Islam tertinggal. Iqbal menegaskan bahwa
umat Islam terjangkit penyakit jumud, statis, mandeg. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang
salah terhadap ajaran-ajaran agama, atau kalaupun tidak salah, pemahaman mereka buruk.
Solusinya adalah dinamisasi ajaran Islam, kata Iqbal.
Nabi Muhammad inilah yang disebut sebagai standar moral
menggunakan standar agama.
Secara spesifik, pengaruh agama terhadap konseptualisasi
akhlak dapat dijelaskan dalam tiga hal, pertama, akhlak yang
bersumber pada nilai-nilai ajaran agama lebih universal
dibandingkan dengan akhlak yang bersumber pada nilai-nilai
tradisi ataupun hukum positif. Mengapa demikian? Hal tersebut
dikarenakan nilai tradisi dan hukum positif berasal dari ijtihad
manusia, sedangkan agama berasal dari teladan Nabi
Muhammad sebagai manusia paling sempurna. Sedangkan, kita
tidak dapat menolak bahwa Nabi Muhammad merupakan
gambaran sempurna dari ajaran-ajaran yang ada dalam al
Qur’an. Universalitas akhlak oleh sebab agama dibuktikan
dengan banyaknya klasifikasi kebaikan yang tidak membatasi
penggunaannya pada umat tertentu. Dalam makna lain,
siapapun yang menyandarkan akhlak terhadap ajaran agama
maka dapat diterima standarnya oleh masyarakat dunia.
Kedua, akhlak yang merupakan suatu perilaku yang melekat
dalam diri seseorang lebih sempurna dari bangunan etikanya.
Kesempurnaan akhlak tersebut disebabkan oleh sandarannya
terhadap agama. Sebagaimana yang kita pahami, agama
bersumber pada wahyu yang terjamin kebenarannya dan
menjadikan manusia memiliki derajat yang lebih tinggi.
Sempurnanya akhlak menunjukkan tingginya peradaban pada
para pelakunya.
Ketiga, akhlak dalam tingkatan tertentu menjadikan
seseorang mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) hakiki oleh
karena tingkatan tertinggi dari akhlak adalah meleburnya dan
menirunya manusia terhadap sifat-sifat Tuhannya. Dalam bahasa
sederhana dan contoh yang paling mudah dicerna adalah para
sufi. Hal tersebut terjadi oleh karena pengaruh dari agama
terhadap akhlak. Jadi, sangat wajar jika akhlak tanpa diberi
keterangan karimah atau mahmudah sudah menunjukkan
dengan sendirinya dan jauh dari makna akhlak yang diberi
keterangan madzmumah (buruk).
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa agama
melalui sumber-sumber ajarannya berpengaruh terhadap akhlak.
Dalam Islam, sumber-sumber ajaran yang dimaksud adalah al Qur’an,
Hadist dan pandangan para ulama. Al Qur’an dan hadist sebagai
sumber utama dalam ajaran Islam, sedangkan pandangan ulama
merupakan buah dari pengalaman dan tafsirnya terhadap kedua
sumber utama tersebut. Dari sumber-sumber tersebut, akhlak
menjadi terjelaskan dari segi konseptualisasinya. Dalam bab ini,
penjelasan akhlak dalam al Qur’an, hadist dan pendapat ulama
berlandaskan pada asumsi-asumsi akhlak dari Miskawaih.
الشُّ ْك ُر يَ ُك ْو ُن ِِبلقَلْ ِب َوال ِل َس ُان َواجل ََوا ِر ُح َواحلَ ْمدُ َْل يَ ُك ْو ُن اْلَّ ِِبل ِل َس ِان
ِ
“Syukur haruslah dijalani dengan hati, lisan, dan anggota
badan. Adapun al-hamdu hanyalah di lisan.” (Majmu’ah Al-
Fatawa, 11:135)
ما أضيف اىل النيب صل هللا عليه وسَل من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
أو ُخلُقية
Hadist dalam konteks sumber ajaran Islam kedua setelah al
Qur’an, dapat diposisikan sebagai penjelas dan penguat dari apa
yang sudah ada dalam al Qur’an. Sesuatu yang tidak diatur
secara spesifik dalam al Qur’an, diatur kemudian dalam hadist,
begitu juga tentang akhlak. Malahan, hadist menjadi sumber
yang sangat kaya dari akhlak. Hal tersebut dikarenakan hadist
berasal dari nabi selama masa hidupnya baik di Mekah ataupun
di Madinah. Kehidupan Nabi bersama sahabat dan juga dalam
menghadapi kaum kafir Qurais lebih dari cukup untuk dijadikan
sebagai pedoman dalam berakhlak. Detail dari akhlak yang
dijelaskan dalam hadist meliputi banyak aspek seperti akhlak
dalam bermua’malah, beribadah, keluarga, bermasyarakat,
bernegara, dan lain sebagainya.
Jika diklasifikasikan dalam bidang-bidang kehidupan, maka
hadist juga menjelaskan bagaimana akhlak dalam kehidupan
bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Jika
diklasifikasikan berdasarkan manusia sebagai pelaku utama dari
akhlak, maka hadist menjelaskan bagaimana manusia harus
bersikap sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
ekonom, makhluk biologis, makhluk politis dan lainnya.
Banyaknya klasifikasi pengaturan akhlak manusia dalam hadist
tersebut menunjukkan begitu kayanya perkataan, perbuatan
dan ketetapan yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad sebagai
manusia paling sempurna di muka bumi ini.
Dalam bagian ini, penulis tidak ingin menjelaskan satu
persatu contoh hadist yang berkaitan dengan akhlak dalam
berbagai macam klasifikasinya, melainkan hanya menjelaskan
beberapa hadist yang menunjukkan pentingnya akhlak sehingga
dapat diketahui bahwa hadis juga telah menjelaskan sedemikian
rupa perihal akhlak. Secara ringkas, hadist dalam konteks
pembahasan dalam buku ini adalah hadist sebagai landasan dari
akhlak.
َأ ْْكَ ُل الْ ُم ْؤ ِم ِن َْي اميَاًنً َأ ْح َس َّنُ ُ ْم ُخلُقًا َو ِخ َي ُارُ ُْك ِخ َي ُارُ ُْك ِل ِن َساِئِ ِ ْم ُخلُ ًقا
ِ
“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya dan sebaik-baik mereka adalah yang paling
baik terhadap istri mereka“. (HR. At-Tirmidzi)
َش ٍء َأثْقَ ُل ِ ِْف ِم ْ َْي ِان الْ ُم ْؤ ِم ِن ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة ِم ْن ُخلُ ٍق َح َس ٍن
ْ َ َما ِم ْن
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
ا َّن ِم ْن َأ َحب ُ ُِْك ا َ َّىل َو َأ ْق َ ِبر ُ ُْك ِم ِّن َم ْج ِل ًسا ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة َأ َح ِاس َن ُ ُْك َأ ْخ َالقًا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang
ِ ِ
paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat adalah yang
paling baik akhlaknya“. (HR. At-Tirmidzi)
َش ٍء يُوضَ ُع ِِف الْ ِم َْي ِان َأثْقَ ُل ِم ْن ُح ْس ِن الْ ُخلُ ِق َوا َّن َصا ِح َب ُح ْس ِن الْ ُخلُ ِق
ْ َ َما ِم ْن
ِ الص َال ِة
َّ الص ْو ِم َوَّ لَ َي ْبلُ ُغ ِب ِه د ََر َج َة َصا ِح ِب
“Tidak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan hari kiamat
yang lebih berat daripada akhlak yang mulia, dan sesungguhnya
orang yang berakhlak mulia bisa mencapai derajat orang yang
berpuasa dan shalat.” (HR. At-Tirmidzi)
ِ ِ اِئ ال َق
اِئ ِ ِ الص
َّ ا َّن الْ َع ْبدَ لَ ُيدْ ِركُ ِ ُِب ْس ِن ُخلُ ِق ِه د ََر َج َة
ِ
“Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mencapai derajat
orang yang berpuasa dan sholat malam dengan sebab akhlaknya
yang baik“. (HR Abu Dawud)
« َع ْن َأ ْك َ َِث َما يُدْ ِخ ُل النَّ َاس الْ َجنَّ َة فَقَا َل-صل هللا عليه وسَل- الل ِ َّ ول
ُ ُس ئِ َل َر ُس
الْ َف ُم: َو ُس ئِ َل َع ْن َأ ْك َ َِث َما يُدْ ِخ ُل النَّ َاس النَّ َار فَقَا َل.» الل َو ُح ْس ُن الْ ُخلُ ِق
ِ َّ تَ ْق َوى
َوالْ َف ْر ُج
“Rasulullah SAW ditanya mengenai perkara yang banyak
memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab: Taqwa
kepada Allah dan akhlak yang baik, dan ketika ditanya tentang
kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka
beliau (Muhamad) menjawab: Lidah dan kemaluan“. (HR. At-
Tirmidzi, Bukhari, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
َأًنَ َز ِع ٌمي ِب َبي ٍْت ِِف َرب َ ِض الْ َجنَّ ِة ِل َم ْن تَ َركَ الْ ِم َر َاء َوا ْن ََك َن ُم ِحقًّا َو ِب َبي ٍْت ِِف َو َسطِ الْ َجنَّ ِة
ِل َم ْن تَ َركَ الْ َك ِذ َب َوا ْن ََك َن َما ِز ًحا َو ِب َبي ٍْت ِِف َأعْ َ ِل الْ َجنَّ ِة ِل َم ْن َح َّس َن ُخلُقَ ُه
“Saya menjamin sebuah rumah di tepi surgaِ bagi orang
meninggalkan debat sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di
tengah surga bagi orang yang tidak berbohong sekalipun hanya
bergurau, dan rumah di atas surga bagi orang yang mulia
akhlaknya.“ (HR. Abu Dawud)
الل َ ََعلَ ُ ُْك َو َر ُس ْو ُل َوالْ ُم ْؤ ِمنُ ْو َ ۗن َو َس ُ َُتد ُّْو َن ِاىل ع ِ َِل الْغَ ْي ِب ُ اَعلُ ْوا فَ َس َ َْيى َ ْ َِوقُل
َوالشَّ هَا َد ِة فَ ُينَ ِبئ ُ ُُْك ِب َما ُك ْن ُ ُْت تَ ْع َملُ ْو َن
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan.”
4
Taklif secara bahasa artinya membebani (ilzam) sesuatu yang berat untuk dilakukan.
Secara terminologi hukum Islam, taklif adalah perintah Allah kepada hambaNya untuk melakukan
atau meninggalkan sesuatu. Orang yang dibebani tugas ini disebut mukallaf. Lihat Muhammad bin
Ali Asy_Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilm Al-Ushul, (tt, Dar al-Kitab al-
‘Arabiy, 1999), cet.1, hal.6
C. Ganjaran dan Hukuman
Dalam ajaran Islam, balasan berupa ganjaran atau hukuman,
adalah konsekuensi logis dari ujud pertanggungjawaban. Sejauh
mana pertanggungjawaban seseorang, maka ia akan
mendapatkan balasan dari perbuatannya. Dan pasti balasan itu
setimpal dengan perbuatannya, itulah asas keadilan. Hanya saja
perlu dipahami dengan baik, asas keadilan dalam Islam ini tidaklah
berarti sama rasa sama rata secara mutlak. Berikut ini penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip keadilan ilahi dalam balasan:
1. Hukum yang adil berlaku sama untuk semua orang
Adil di sini dimaksudkan bahwa sebuah aturan berlaku
sama untuk semua pihak. Apa yang boleh untuk seseorang
pasti boleh juga untuk yang lainnya. Tidak ada perlakuan yang
berbeda. Inilah spirit yang tertulis dalam Surat Al-Kahfi ayat 49
:
َو ُو ِض َع الْ ِكت ُب فَ َ َُتى الْ ُم ْج ِر ِم ْ َْي ُم ْش ِف ِق ْ َْي ِم َّما ِف ْي ِه َوي َ ُق ْولُ ْو َن ي َويْلَ َت َنا َمالِ ه َذا الْ ِكت ِب
اِضا ۗ َو َْل ي َ ْظ ِ َُل َرب ُّ َك َا َحدً ا
ً ِ َْل يُغَا ِد ُر َص ِغ ْ َْي ًة َّو َْل َكب ْ َِْي ًة ِا َّْل ي َا ْحصهىَا َو َو َجدُ ْوا َما َ َِعلُ ْوا َح
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang
bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya,
dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang
telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak
menganiaya seorang juapun".
لَي َْس ِ َِب َما ِني ُ ُِْك َو َْل ي َا َم ِ ِاّن َاهْلِ الْ ِكت ِب ۗ َم ْن ي َّ ْع َم ْل ُس ْو ًءا ُّ َْي َز بِه َو َْل ََيِدْ َل ِم ْن د ُْو ِن
الل َو ِل ًّيا َّو َْل ن َِص ْ ًْيا
ِ
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat
pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”
ي َيُّيُّ َا النَّ ُاس ات َّ ُق ْوا َربَّ ُ ُْك َواخْشَ ْوا ي َ ْو ًما َّْل َ َْي ِز ْي َو ِ ٌادل َع ْن َّو َ ِدله َو َْل َم ْولُ ْو ٌد ه َُو َج ٍاز َع ْن
الل َح ٌّق فَ َال تَغ َُّرنَّ ُ ُُك الْ َحيو ُة ادلُّ نْ َياۗ َو َْل يَغ َُّرنَّ ُ ُْك ِِب ِلل الْغ َُر ْو ُر
ِ ََّو ِ ِادله َش ْيـاۗ ِا َّن َوعْد
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu
hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong
anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar,
maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu
dalam (mentaati) Allah.”
D. Jenis-jenis Hukuman
Ada lima macam hukuman, yaitu: hukuman alami, hukuman
politik/sipil, hukuman sosial, hukuman ukhrawi, dan hukuman
moral.
1. Hukuman alam
Hukuman ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum
alam. Rasa sakit di badan, pikiran, sehat dan sakit yang timbul
akibat seseorang mengikuti atau melanggar hukum alam
adalah bentuk dari hukuman alam ini. Seperti seseorang yang
mengonsumsi sayuran yang tidak bersih, atau mandi dengan
air kotor yang tercemar, begadang malam berlebihan, dan
lainnya.
2. Hukuman politik atau sipil
Hukuman ini diberikan kepada orang yang melanggar
hukum negara atau hukum positif. Bentuknya seperti penjara,
kerja paksa, denda dan lainnya. Bagi orang yang taat hukum
positif maka ia akan merasakan kenyamanan, kemerdekaan
dan kelancaran dalam kehidupan masyarakat.
3. Hukuman sosial
Ganjaran dan hukuman sosial ini didasarkan kepada
ketaatan terhadap pendapat umum masyarakat dan tradisi
yang berkembang di sana. Pandangan umum masyarakat
memberikan penghargaan dan memuji sifat-sifat pengorbanan,
kedermawanan, keberanian, berkata benar, memegang teguh
prinsip. Di sisi lain masyarakat mengecam perilaku rendah dan
jahat seperti penakut, ketidak pedulian sosial, kikir, dan
lainnya. Banyak orang lebih takut kepada hukuman masyarakat
dari pada hukum agama dan moral. Mereka lebih khawatir
dikucilkan dan tidak dihormati warga daripada ancaman Tuhan.
Sehingga mereka berpuasa bukan karena mencari keridhoan
Allah, tapi lebih karena malu kepada warga.
4. Balasan Ukhrawi
Balasan ini adalah kenikmatan abadi di surga bagi orang
yang taat, dan siksa abadi di neraka bagi para
pembangkangnya. Balasan atau hukuman ini seperti yang
tertulis dalam surat az Zalzalah ayat 7-8:
فَ َم ْن ي َّ ْع َم ْل ِمثْقَا َل َذ َّر ٍة خ ْ ًَْيا يَّ َره
ًّ َ َو َم ْن ي َّ ْع َم ْل ِمثْقَا َل َذ َّر ٍة
ْشا يَّ َره
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
5. Hukuman Moral
Ganjaran moral biasanya berbentuk ketenangan hati
ketika ia melakukan kebaikan, dan sebaliknya gelisah ketika
melakukan keburukan. Seorang yang melakukan dosa akan
menyesal tatkala ia tersadar. Dan penyesalan itu menjadi
hukuman yang kadang lebih menyakitkan dibandingkan
hukuman lainnya. Sebaliknya, seseorang yang melakukan
kebaikan, balasannya adalah ketenangan batin yang
merupakan balasan terbaik bagi kebaikan. Dalam ungkapan
filosofis, balasan untuk kebaikan adalah kebaikan, dan balasan
untuk keutamaan adalah keutamaan itu sendiri.
A. Pengertian Fadhilah dalam Akhlak
Keutamaan (fadhilah) adalah sebuah sikap mental atau
kondisi kejiwaan yang darinya muncul perilaku-perilaku utama
dengan enteng dan gampang. Dalam definisi tersebut terdapat
beberapa unsur sebagai berikut:
1. Sikap mental yang menjadi sumber munculnya perilaku baik
Sikap mental ini dapat kita pahami dengan baik dengan
dua penjelasan yaitu pertama, bukan sekedar berbuat.
Fadhilah bukanlah sekedar berbuat suatu perilaku baik atau
utama. Banyak perbuatan nampaknya baik tapi sebenarnya
tidak. Sebab mungkin perbuatan tersebut muncul bukan dari
jiwa yang tulus dan bersih. Seperti seorang yang berderma
tanpa didasari keikhlasan dan karena ingin dapat pujian. Atau
seseorang yang dapat menghindarkan diri dari korupsi bukan
karena ia punya mental yang bersih, tapi karena mungkin tidak
mendapatkan kesempatan saja. Kedua, bukan sekedar tahu
dan mampu. Fadhilah bukanlah sekedar kita tahu dan paham
akan sebuah keutamaan atau kebaikan. Dan juga bukan
sekedar kemampuan seseorang untuk berbuat. Kedua hal
tersebut, tahu dan mampu, posisinya sama dalam kaitannya
dengan keutamaan dan keburukan.
Jadi sikap mental yang dimaksud di sini adalah kesiapan
jiwa seseorang untuk berbuat suatu keutamaan dengan sadar
dan tulus. Bisa jadi kesiapan jiwa ini tidak sampai mewujud
dalam sebuah aksi perbuatan, tetap saja seseorang bisa disifati
dengan fadhilah ini. Semisal seseorang punya sikap mental
kedermawanan meskipun dia tidak sempat berderma kepada
sesama.
2. Munculnya perilaku utama dengan enteng dan mudah
Enteng dan mudah menjadi syarat utama sebuah perilaku
dapat disebut sebagai sebuah tindakan akhlak. Secara
psikologis dapat dipahami bahwa berbuat dengan enteng dan
mudah ini tidak dapat dilakukan dengan intsan. Keduanya
menggambarkan kondisi jiwa yang mapan dan tulus. Tentu
saja, untuk mencapai sifat tersebut butuh latihan dan
pembiasaan.
َ َِس ْع ُت َر ُس ْو َل:هللا َع ْن ُه قَا َل ُ ِض َ ِ َع ْن َأ ِم ْ ِْي الْ ُم ْؤ ِم ِن ْ َْي َأ ِ ْيب َح ْف ٍص ُ ََع َر ْب ِن الْخ ََّط ِاب َر
فَ َم ْن.ك ا ْم ِرئٍ َما ن ََوى ِ ُ ات َوان َّ َما ِلِ َّ ان َّ َما ْا َأل ْ ََع ُال ِِبلنِي:هللا صل هللا عليه وسَل ي َ ُق ْو ُل ِ
ِ
َو َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ِ ُدلنْ َيا يُ ِص ْيُبُ َا،ِ هللا َو َر ُس ْو ِ ِل
ِ هللا َو َر ُس ْو ِ ِل فَ ِه ْج َرتُ ُه ا َىلِ ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا َىل
ِ ِ
َأ ْو ا ْم َر َأ ٍة ي َ ْن ِك ُحهَا فَ ِه ْج َرتُ ُه ا َىل َما هَا َج َر الَ ْي ِه
“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab
ِ ِ
radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap
perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di
dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya
(akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhary)
Posisi niat ini sangat menentukan kelas dan level dari sebuah
kebajikan. Secara umum keutamaan dapat dibagi menjadi tiga
level, yaitu;
1. Level awam atau yang terendah. Kebajikan dilakukan karena
mengharap ganjaran dari Allah, dan takut akan siksaNya.
2. Level menengah, yaitu kebajikan dilakukan untuk
mendapatkan pujian dari Allah, dan menghindari celaan-Nya.
Ini kelasnya orang-orang salih.
3. Level tertinggi, yaitu kebajikan dilakukan untuk mendapatkan
ridho Allah. Ini kelasnya para Nabi, Syuhada dan Sholihin (As
Ashfahani, 1987).
Perbuatan baik yang muncul dari jiwa yang bersih manakala
memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas dapat
dikategorikan sebagai sebuah keutamaan akhlak. Hanya saja
kadangkala terjadi seseorang sebetulnya siap untuk berderma, ia
berharap bisa memberi dan membantu orang lain, tapi keadaan
tidak memungkinkan. Pertanyaannya apakah kesiapan berbuat ini
cukup untuk disebut sebagai keutamaan derma?
Jawabannya adalah cukup. Sebab keutamaan adalah sikap
mental yang darinya muncul perbuatan baik, apakah perbuatan
baik tadi sampai terwujud atau tidak. Jadi dapat dikatakan bahwa
kehendak dan niat berderma, meskipun tidak sampai
dilaksanakan, termasuk kategori keutamaan akhlak.
Ada sebagian ulama akhlak, termasuk Aristotelles dan diikuti
oleh Ibnu Miskawaih, yang mempersyaratkan untuk sempurnanya
sebuah keutamaan akhlak haruslah terwujud dalam dunia nyata.
Untuk mewujudkan keutamaan ini dibutuhkan kesehatan jasmani
dan beberapa faktor eksternal diri kita seperti ketersediaan harta
dan lainnya. Beberapa keutamaan tidak dapat dilakukan oleh
orang yang miskin harta, seperti zakat, sadaqah dan haji. Dalam
konteks ini orang fakir diibaratkan seperti tentara yang maju
perang ke medan laga tanpa senjata. Di samping itu juga
dibutuhkan dukungan lingkungan seperti keluarga dan teman.
Adapun tujuan dari keutamaan akhlak adalah terwujudnya
keseimbangan sosial di masyarakat. Dan ini merupakan impact
sosial dari keutamaan akhlak, di mana kesejahteraan dan
kebahagiaan akan dapat terwujud jika manakala ada
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Ini perwujudan dari
spirit wasatiyah akhlak Islam.
Keadilan dibutuhkan karena ia dapat memperbaiki pola
kehidupan sosial dan dapat menghapuskan kezaliman yang
merupakan salah satu sifat buruk. Sifat ifah, sederhana dan bisa
menahan diri merupakan keutamaan akhlak, sebab sifat tersebut
dapat mengangkat derajat luhur seseorang, dan menghindarkan
dari pengkhianatan yang dapat mengancam keselamatan
masyarakat dan juga keamanan mereka. Begitu juga sifat
pemberani, syaja’ah, merupakan keutamaan karena dengannya
seseorang dapat menghadapi situasi gawat dan tidak melarikan
diri dari kegaduhannya. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa keutamaan-keutamaan akhlak tadi sangatlah dibutuhkan
untuk mengatur pola komunikasi dan interaksi sosial, di mana hal
itu menjadi syarat dapat berlangsungnya kehidupan sosial yang
harmonis. Keutamaan akhlak bertujuan membentuk individu-
individu yang memiliki kesempurnaan diri. Jika individu-individu
yang merupakan anggota masyarakat telah mencapai keutamaan
akhlak, dan secara otomatis mencapai kesempurnaan diri, maka
masyarakat pada umumnya juga akan aman dan sejahtera.
Dalam lingkup yang lebih luas, keutamaan akhlak ini
bertujuan mewujudkan kebahagiaan individu dan juga sosial.
Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan dalam arti
seluas-luasnya, termasuk di dalamnya kebahagiaan jiwa yang
dirasakan oleh seseorang ketika ia dapat melakukan apa yang
menurutnya baik dan utama. Bukan hanya kebahagiaan di dunia,
tapi juga sampai di akhirat nanti. Inilah inti tujuan dari keutamaan
akhlak, mewujudkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Dari penjelasan tentang tujuan keutamaan akhlak di atas,
dapat dipahami bahwa ukuran kesempurnaan moral dalam akhlak
islami itu ada tiga, yaitu; masyarakat, individu dan aturan ilahi. Jadi
akhlak Islami tidak hanya diukur dari terwujudnya keharmonisan
kehidupan masyarakat yang nampak dari perilaku saling kompak
dan bekerjasama antar anggotanya. Dan bukan juga sekedar
diukur dari kebaikan individu-individu yang melakukan kebajikan
akhlak. Ukuran kebajikan dalam Islam diukur dari 2 unsur tadi,
individu dan sosial, ditambah satu lagi ukuran yang tidak dapat
dilupakan yaitu titah ilahi, unsur agama, yang sangat terkait
dengan akhlak dalam Islam. Sehingga kebahagiaan yang menjadi
tujuan utama kebajikan akhlak islami adalah kebahagiaan yang
lengkap, duniawi dan ukhrawi.
Telah dijelaskan di muka bahwa keutamaan adalah sebuah
sikap mental yang darinya muncul perbuatan-perbuatan baik.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah sikap mental tersebut
cukup sebagai bukti keutamaan seseorang meskipun baru sebatas
potensi belum mewujud ke perbuatan nyata? Dengan kata lain,
apakah cukup seseorang disebut sebagai dermawan hanya
dengan sikap mental atau kesiapan berderma saja tanpa aksi
nyata?
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa keutamaan butuh
perwujudan dalam aksi nyata. Keutamaan adalah perbuatan
positif yang memiliki dampak kepada orang lain. Seseorang belum
bisa dikategorikan dermawan jika dia belum pernah memberi.
Begitupun sifat kesederhanaan atau iffah, seseorang bisa disebut
afif jika dia mampu menghindari berbagai kekurangan, dan dapat
mencegah dirinya dari kenikmatan dan syahwat duniawi di saat
kesempatan terbuka lebar.
Ibnu Miskawaih kurang setuju dan bahkan mencela para
penyendiri yang mengasingkan diri di biara-biara mereka,
menghindari interaksi dengan masyarakat, fokus beribadah.
Bahkan Ibnu Maskawaeh menegaskan bahwa mereka tidak dapat
mencapai atribut fadhilah. Mereka salah dan zalim terhadap
masyarakat, di mana mereka telah mengambil sesuatu dan tidak
mau memberi. Mereka, para penyendiri itu menyangka bahwa diri
mereka potret dari sifat sederhana atau afif, juga dan dermawan.
Kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Bagaimana mereka bisa
menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga diri dari keburukan,
dan bagaimana mereka bisa membantu dan memotivasi orang
lain, sedangkan mereka terasing dari masyarakat di mana
keutamaan-keutamaan tersebut dapat terwujud (Miskawaih,
1985).
Ibnu Miskawaih mendasarkan kecenderungan moralitas
sosialnya ini kepada teks-teks keagamaan, ayat-ayat Al-Qur’an dan
juga hadis Nabi. Di antaranya adalah ajaran agama tentang
keutamaan shalat jama’ah yang lebih utama sampai 27 derajat
dibandingkan shalat sendirian. Di samping itu, Islam juga
mensyari’atkan shalat jum’at seminggu sekali, sebagai media
untuk berkumpulnya masyarakat jama’ah sekitar sebuah masjid.
Media perkumpulan yang lebih besar lagi adalah disunnahkannya
shalat hari raya. Dan yang terbesar adalah berkumpulnya jutaan
umat Islam jama’ah haji dari seluruh dunia di Padang Arafah untuk
wukuf haji.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Tiada kehidupan tanpa masyarakat yang menjadi
tempat mereka mencapai kesempurnaannya. Manusia saling
membutuhkan satu dengan yang lain. Menyingkir dan
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat sama saja
menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, dan juga menutup
jalan menuju keutamaan-keutamaan sosial yang hanya dapat
terwujud di tengah kehidupan masyarakat. Seseorang belum
dapat disebut sebagai dermawan manakala belum ada pihak lain
yang merasakan bantuan dan kepeduliannya. Sifat lembut hanya
bisa diuji manakala seseorang dihadapkan pada situasi dapat
memancing emosi.
Dalam hal ukuran moralitas, para filosuf akhlak terbagi
menjadi 2 mazhab besar; moralitas sosial dan individual. Dalam
pandangan penganut mazhab moralitas sosial ukuran moral, baik
dan buruk, ditentukan saat seseorang ada dalam kehidupan
sosial, di tengah masyarakat. Keutamaan-keutamaan akhlak pun
sebagian besar terkait langsung dengan masyarakat. Sementara
menurut paham yang kedua, moralitas individual, baik dan buruk
sangatlah personal. Kehidupan ramai masyarakat lebih sering
dipandang sebagai virus yang merusak pribadi-pribadi. Maka
solusinya menurut mereka, seseorang harus sering mengasingkan
diri. Pandangan yang pertama, moralitas sosial, banyak dianut dan
dikembangkan oleh para filosuf dan pegiat ilmu-ilmu sosial.
Sementara moralitas individual banyak dikembangkan oleh kaum
sufi.
Pertanyaan berikutnya adalah, lebih baik dan efektif yang
manakah antara dua pandangan moral di atas. Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan menjawab pertanyaan berikut ini; untuk
menjadi baik lebih berat yang mana, sosial atau individual? Atau
lebih ringan yang mana? Untuk menjadi orang baik, entengan
mana, pas sendirian di atas gunung, atau pas hidup di tengah
warga? Jawabannya adalah lebih ringan ketika kita menyepi
sendirian. Maksiat atau pelanggaran apa yang bisa diperbuat oleh
seseorang tatkala ia sendrian tidak berinteraksi dengan orang lain.
Kita tahu kebanyakan kesalahan dan dosa itu bermuara kepada
pelanggaran terhadap hak orang lain, atau terkait dengan sikap
terhadap orang lain.
Masing-masing pandangan di atas punya fadhilahnya. Hanya
saja sebagai makhluk sosial pandangan moralitas sosial tentu
lebih kena di kalangan muslim pada umumnya. Hal ini bukan
berarti ‘uzlah, menyendiri, mengasingkan diri itu tidak
dibutuhkan. ‘Uzlah yang proporsional sangatlah dibutuhkan
dalam mewujudkan berbagai keutamaan diri, dan juga saat kita
menyembah Sang Khalik. Dalam Kitab Adz-Dzari’ah disebutkan:
“Menyendiri itu hukumnya makruh kecuali untuk 3 orang: Sultan
untuk menyusun pemerintahannya, hakim untuk mencari
kebijaksanaan, dan seorang hamba saat bemunajat kepada
Tuhannya”.
الل يَأْ ُم ُر ِِبلْ َعدْ لِ َو ْاْل ْح َس ِان َواي َتا ِء ِذي الْ ُق ْر َب َويََّنْ َىى َع ِن الْ َف ْحشَ ا ِء َوالْ ُم ْن َك ِر َ َّ ا َّن
ِ ون ِ ِ
َ َوالْ َب ْغ ِي ي َ ِع ُظ ُ ُْك لَ َعل َّ ُ ُْك تَ َذكَّ ُر
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
I. Syaja’ah/Keberanian
Syaja’ah atau keberanian ini merupakan buah dari
pengelolaan yang baik terhadap daya emosi atau quwwah
ghadhabiyah kita. Ibnu Miskawaih mendefinisikannya sebagai
kemampuan untuk menanggung rasa sakit dan menghadapi
bahaya dengan kuat dan tepat sesuai kebutuhan. Seorang yang
memiliki sifat syaja’ah ini tahu kapan ia harus bangkit melawan,
dan kapan ia harus siap sedia menanggung rasa sakit.
Sebagai induk keutamaan yang nomer kedua setelah hikmah,
sifat syaja’ah ini mencakup beberapa sifat mulia yang lain, yaitu
kebesaran jiwa, kepahlawanan, tekad kuat, ketetapan hati, sabar,
penyantun, mampu menahan beban berat.
Sifat syaja’ah ini berada di tengah antara dua sifat buruk yaitu
tahawwur (ceroboh) dan jubn (penakut). Yang perlu dipahami
dengan baik di sini adalah bahwa syaja’ah tidak sama dengan tidak
takut. Jadi seorang pemberani itu bukanlah seseorang yang sudah
tidak memiliki rasa takut lagi. Rasa takut dan khawatir merupakan
hal yang manusiawi. Bahkan pada saat yang tepat seseorang
harus memiliki rasa takut ini, terutama takut keburukan akan
menimpa dirinya. Bagaimana dengan al-jubn atau sifat penakut.
Sifat jubn ini adalah takut tidak pada tempatnya. Seorang
pemberani adalah seorang yang dengan gagah berani akan
bangkit maju berjuang saat dibutuhkan. Dan keberanian ini bukan
keberanian buta tanpa perhitungan. Semua diperhitungkan
dengan matang dan menghindari sifat ceroboh atau tahawwur.
Untuk mempermudah pemahaman kita tentang wasathiyah
sifat syaja’ah ini kita ambil sebuah contoh seorang anak muda
pengendara sepeda motor di jalan raya. Saat ia tengah
mengendarai sepeda motornya di jalurnya, sebelah kiri, tiba-tiba
dari arah berlawanan sebuah bus ngebut menyalip sebuah truk
gandeng. Pemuda pemotor tadi pada situasi harus memilih, jika
ingin selamat tidak tertabrak bus ia harus mengalah turun dari
jalan aspal. Tentu kita pahami bahwa bukan kategori syaja’ah jika
pemuda pemotor tadi memilih tetap berjalan di jalurnya dengan
alasan ia ada di jalur yang benar, bus tersebut salah. Hal tersebut
akan berakibat fatal, dan kemungkinan besar kematian. Jika opsi
ini yang dipilih, akal sehat akan menegaskan itu adalah
kecerobohan yang konyol. Itulah batas antara syaja’ah dengan
tahawwur, sangat tipis.
Secara umum ada dua jenis keberanian, yaitu keberanian fisik
dan keberanian moral.
1. Keberanian fisik
Jenis keberanian ini mudah kita pahami dari berbagai segi
kehidupan. Misalnya keberanian seorang tentara dalam
berperang, di mana ia setiap saat mempertaruhkan jiwa dan
raganya untuk mempertahankan kehormatan negaranya.
Keberanian jenis ini juga ada pada profesi-profesi lainnya
seperti pemadam kebakaran, kru ambulance, nelayan dan
pelaut, para penyelam, dan lainnya, di mana mereka
menghadapi berbagai bahaya dan tantangan yang bahkan
kadang mengancam jiwa mereka sampai tingkat kematian.
2. Keberanian moral
Keberanian jenis ini biasanya terkait dengan hal-hal non
material. Misalnya keberanian seseorang menyampaikan
pendapat dan keyakinannya serta mempertahankannya
meskipun ia diserang banyak pihak yang berbeda dengannya,
tidak peduli apa kata orang. Ia tidak pernah takut sesuatu
yang buruk akan menimpanya demi kebenaran yang ia
pertahankan. Ia akan selalu mengatakan yang benar meski
terasa pahit di mulut, dan menolak yang batil meski resikonya
berat. Ia merasa puas saat hatinya merasa tenang setelah
menunaikan kewajiban membela kebenaran.
Keberanian moral ini jauh lebih tinggi dibandingkan
keberanian fisik. Dalam konteks keberanian fisik, seseorang
membahayakan dirinya dan menantang maut untuk saat-saat
tertentu saja, sementara dan biasanya hanya sebentar.
Adapun keberanian moral berlangsung untuk waktu yang
lama, dan lebih membutuhkan kekuatan tekad yang tidak
goyah oleh bermacam godaan dan serangan. Keberanian
moral ini hanya dimiliki oleh sekelompok orang yang sudah
mencapai tingkat kemajuan peradaban yang luhur, di mana
masing-masing person merasa bahwa ia adalah seorang
manusia yang berakal sehat, dan memiliki hak kebebasan
berfikir dan menyatakan pendapat.
Di lapangan, keberanian moral biasanya
termanifestasikan dalam beberapa hal berikut ini:
a. Keberanian menyampaikan pendapat dan
mempertahankan kebenaran.
Masyarakat pada umumnya memiliki tradisi dan nilai-
nilai yang mengikat anggotanya. Seorang anggota
masyarakat biasanya tidak mampu untuk berseberangan
apalagi melawan pendapat umum yang sudah menjadi
tradisi dan keyakinan mereka. Saat seseorang berbeda
pendapat dengan mereka, pastilah ia akan dikucilkan
bahkan mungkin disingkirkan. Namun dalam perjalanan
sejarah kita menyaksikan sosok-sosok yang
memperlihatkan kekuatan prinsip, cahaya iman, dan juga
tekad yang bulat untuk melawan pendapat-pendapat
masyarakat yang keliru. Dengan gagah berani orang-
orang ini menyampaikan kebenaran yang mereka yakini.
Tinta emas sejarah telah mencatat banyak
pemberani yang telah mengorbankan jiwa dan harta
mereka dalam mempertahankan kebenaran. Mereka
terus mengibarkan bendera kebenaran, meskipun sakit
dan siksaan diterimanya. Tidak jarang para pemberani ini
disiksa bahkan diancam dibunuh, tapi dengan teguh
mereka tetap memegang panji-panji kebenaran. Lihatlah
para Nabi, para syuhada, filosuf, ulama, banyak di antara
mereka yang disiksa oleh masyarakatnya, diusir dari
kampungnya, namun mereka tetap kokoh dengan
prinsipnya, mereka pertaruhkan jiwa dan raganya demi
menggapai ridha ilahi dan demi tegaknya panji
kebenaran. Sosok Nabi Muhammad SAW adalah contoh
terbaik untuk jenis keberanian ini. Sang pemberani yang
menyampaikan kepada Abu Thalib saat pamannya
tersebut menyampaikan pesan dari Kaum Quraisy agar
Nabi menghentikan dakwahnya, “Pamanku.. Demi Allah,
seandainya mereka meletakkan matahari di tangan
kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku hentikan
dakwahku ini, tidak akan pernah aku berhenti”.
Sejarah bangsa Arab mencatat beberapa pahlawan
pemberani. Di antaranya adalah Ahmad Bin Hanbal,
seorang Imam Besar pemberani. Ia dipenjara dan disiksa
karena mempertahankan pendapat yang diyakininya.
Siksaan tersebut bahkan beberapa kali membuatnya
pingsan, tapi tidak pernah menggoyahkan keyakinannya.
Sosok lainnya adalah Ibnu Taimiyah yang berseberangan
pendapat dengan para ulama semasanya. Kemudian ia
difitnah dan dipenjarakan oleh penguasa. Tidak sedikit
siksaan dan tekanan ia terima saat di penjara. Ibnu
Taimiyah tetap mampu berkarya menulis risalah-
risalahnya di penjara.
b. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan kekurangan
diri
Mengaku bersalah dan menyadari kekurangan diri
bukanlah perkara mudah. Sungguh berat untuk
mewujudkannya. Pengakuan tersebut membutuhkan
kebesaran hati dari seseorang. Sering kali sifat egois dan
kesombongan menghalangi kita untuk mengakui
kesalahan yang telah diperbuat atau kekurangan yang
kita miliki. Karena beratnya ini, makanya keberanian
untuk mengaku bersalah dan menyadari kekurangan diri
ini termasuk salah satu jenis keutamaan, dan menjadi
salah satu manifestasi utama dari bentuk keberanian
moral yaitu Serius dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
Keseriusan dan kesungguhan dalam berkarya ini
sangat dibutuhkan dalam mewujudkan sebuah cita-cita.
Tidak jarang godaan dan ancaman menerpa saat kita
mengejar sebuah asa. Butuh keberanian dan kemantapan
jiwa untuk mewujudkannya.
J. ‘Ifah/Menahan Diri
Setiap manusia memiliki syahwat dan keinginannya. Tugas
kita adalah mengelola syahwat ini, bukan membunuhnya, agar
sejalan dengan tuntunan syariat. Saat syahwat dan keinginan kita
sudah dapat disalurkan sesuai dengan ajaran agama, berarti kita
sudah mencapai sifat ‘ifah. Inilah inti persoalan yang hendak
disampaikan oleh Ibnu Miskawaih ketika ia mendefinisikan ‘ifah
sebagai usaha manusia menyalurkan keinginan syahwatnya
sejalan dengan ajaran agama (Khudhair, n.d.). Atau dengan kata
lain, ‘ifah adalah menahan diri, mengelola keinginan dan
menyalurkannya sejalan dengan aturan syariat dan akal sehat.
Watak dasar manusia pada umumnya adalah cenderung
mengikuti naluri dan keinginannya, terutama terkait hal-hal yang
di dalamnya terdapat kenikmatan dan kesenangan. Dengan
berbagai cara mereka berusaha mengejarnya. Jika seseorang
tidak berusaha mengendalikan hasrat dan keinginannya,
membiarkannya tanpa kendali diri, dan tidak mendampinginya
dengan nalar rasional yang sehat, maka bisa dipastikan ia akan
diperbudak oleh hasrat dan keinginan tersebut. Hal ini akan
membahayakan dirinya baik secara mental spiritual bahkan sering
kali sampai ke fisiknya juga. Kesehatannya akan terganggu,
badannya melemah, ia semakin malas untuk mengerjakan banyak
hal yang bermanfaat. Akibatnya ia akan kehilangan kebebasan
dirinya sebagai manusia, dan menjadi penghamba syahwat dunia
dan tawanan dari hasrat dan nafsunya. Ia akan terjerumus
melakukan berbagai perilaku jahat dan tercela seperti mencuri,
berbohong, tamak, foya-foya, temperamental dan sifat-sifat
buruk lainnya.
Cara membebaskan diri dari perilaku buruk di atas adalah
seperti yang dilakukan oleh kaum sufi dengan menahan dan
mengendalikan keinginan nafsu kita sehingga kita tidak menjadi
hamba dari nafsu tersebut. Jika seseorang sudah diperbudak oleh
nafsu dan keinginannya maka tidak ada kebaikan yang bisa
diharapkan lagi. Kaum sufi melihat bahwa perilaku moral dan nilai
akhlak yang paling luhur adalah memerangi hawa nafsu. Karena
dasar inilah mereka banyak yang kemudian tidak menikah, terus
berpuasa, tidak makan daging, tidak mau tinggal di rumah-rumah
mewah, berpakaian sederhana bahkan kadang compang-
camping. Sebagian kaum sufi kadang berlebihan dalam sikap
zuhudnya, mereka tidak hanya menahan nafsunya, tapi kadang
sampai menyiksa diri mereka dengan berjemur di bawah panasnya
sinar matahari terus menerus, atau membiarkan tubuh mereka
menggigil kedinginan tanpa pakaian tebal pada saat musim dingin
yang ekstrim.
Pandangan ekstrim tentang zuhud di atas adalah pandangan
yang berlebihan dan keliru. Biasanya pandangan seperti itu
muncul dari orang-orang yang dendam terhadap kehidupannya,
atau putus asa menghadapi kenyataan hidup. Di sisi lain juga ada
sekelompok muslim yang keliru memahami ajaran agamanya
sehingga sampai pada kesimpulan yang salah tentang zuhud.
Dalam pandangan Muhammad Iqbal pandangan seperti itu
dianggap sebagai produk dari khatha’ al-fahm (pemahaman yang
keliru) atau su’ul fahm (pemahaman yang buruk) terhadap ajaran
agama. Dan hal ini dianggap oleh Iqbal menimbulkan kejumudan
atau sikap statis dalam memahami agama, dan ini berkontribusi
terhadap kemunduran umat Islam. Makanya kemudian Iqbal
menawarkan konsep Islam yang Dinamis.
Salah satu model zuhud yang terpuji adalah yang tidak
berlebihan, tidak ekstrim. Biasanya zuhud ini muncul karena
didasari niat berkorban demi kebahagiaan dan kesejahteraan
orang lain. Seperti zuhudnya Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ia
menghindari berbagai kenikmatan, makanan dan lainnya, yang
sebetulnya boleh saja ia nikmati, karena khawatir hal tersebut
akan mendorong para pejabat menuntut fasilitas mewah dan
pada gilirannya akan memberatkan umat para pembayar pajak.
Sikap berlebihan pada kedua kutubnya tetaplah perbuatan
buruk. Berlebihan dalam menuruti keinginan nafsu, sampai-
sampai seseorang menjadi budak nafsunya itu sangat tercela.
Sebaliknya berlebihan dalam menahan hawa nafsu, sampai-
sampai seseorang tidak memberikan hak-hak jasmaniahnya
seperti tubuh butuh makan, manusia butuh hubungan seksual dan
lainnya, juga tercela. Yang terbaik adalah tawassuth di antara dua
kutub ekstrim di atas. Seseorang boleh menuruti berbagai
keinginannya, selagi tidak keluar dari batas-batas nilai moral.
Sikap tawassuth yang demikian ini sejalan dengan tabiat manusia
pada umumnya.
Sifat ‘ifah atau menahan diri ini dapat dimanifestasikan dalam
beberapa hal berikut ini:
1. Menahan diri dari nafsu-nafsu jasmani
Nafsu jasmani yang dimaksud adalah keinginan berlebihan
yang terkait dengan makan, minum, pakaian, tempat tinggal
dan lainnya. Berlebihan dalam pola makan dan minum dapat
menyebabkan seseorang terkena penyakit. Berlebihan dalam
berpakaian biasanya dilandasi keinginan pamer dan tampil
menipu. Tentu saja hal tersebut bukan berarti seseorang tidak
boleh berpakaian bagus dan harus berpakaian jelek atau
compang-camping. Jika begitu sama saja kita tidak menghargai
badan kita dan juga orang lain. Yang tidak boleh adalah
berlebihan dalam berpakaian. Begitupun dalam makan dan
minum, yang dilarang adalah berlebihan. Senada dengan
firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 31:
ِ ْ ُاْشبُوا َوْل ت
ْسفُوا ان َّ ُه ْل ُ ُِي ُّب ِ ُ ََي ب َ ِِن أ ي َد َم خ ُُذوا ِزينَتَ ُ ُْك ِع ْند
َ ْ ك َم ْسجِ ٍد َو ُ ُُكوا َو
ِ
ْسِف َْيِ ْ الْ ُم
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”
K. ‘Adalah/Adil
Dalam bahasa arab kata adil atau keadilan merujuk kepada
kata al-‘adalah dan al-‘adl yang berarti kesetaraan atau perlakuan
yang sama. Dalam istilah ilmu akhlak adil berarti sebuah sikap
mental yang mempunyai kemampuan untuk memperlakukan
sesuatu secara sama, tidak lebih dan juga tidak kurang, sehingga
terjadi keseimbangan dan harmoni. Sikap mental tersebut
bukanlah berbuat atau kemampuan untuk berbuat saja
sebagaimana sudah dijelaskan di atas tentang pengertian
fadhilah. Seorang yang adil adalah seorang yang sudah memulai
pengelolaan terhadap kemampuan, perbuatan dan keadaannya
sehingga tidak terjadi overlapping antara satu daya dengan yang
lainnya. Artinya ia menempatkan daya yang ia miliki, mulai dari
daya pikir, daya emosi dan syahwat keinginannya sesuai dengan
porsinya.
Ibnu Miskawaih menegaskan, “jika seseorang berbuat adil
dalam sebuah urusan dengan motivasi guna memperoleh
kehormatan, harta, pujian atau motif bendawi lainnya maka kita
tidak menyebutnya sebagai seorang yang adil. Dia berbuat
sesuatu karena motif dan pamrih tertentu”(Miskawaih, 1985).
Untuk menjadi adil dipersyaratkan seseorang hendaknya tahu
tentang prinsip wasathiyah sehingga ia benar-benar mampu untuk
menghindari dua kutub ekstrimnya. Keadilan ini bukanlah
keutamaan yang berdiri sendiri seperti keutamaan lainnya seperti
syaja’ah dan ‘ifah. Tapi ia merupakan bagian dari setiap
keutamaan lainnya. Di mana semua keutamaan intinya adalah
keseimbangan, tengah-tengah, yang merupakan prinsip utama
dari keadilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah
keutamaan yang paling sempurna dan paling komplit. Ruang
lingkupnya meluas bukan hanya terkait dengan pribadi dari orang
yang adil, tapi juga mengait teman-temannya, keluarganya,
koleganya, bahkan juga seluruh umat manusia dan juga hewan.
Keadilan merupakan keutamaan yang terkait bukan hanya dengan
pribadi seseorang dan koleganya, bahkan hingga ke sistem alam
semesta. Ibnu Miskawaih menjelaskan poin ini dengan
mengatakan bahwa keadilan merupakan sifat Tuhan dalam
menciptakan dan mengelola semesta ini. Inilah salah satu makna
utama kenapa “imam yang adil” termasuk salah satu kelompok
yang memiliki posisi yang luar biasa tingginya dalam tradisi Islam.
Dalam hadis disebutkan imam yang adil ini termasuk orang yang
akan mendapatkan perlindungan khusus dari Allah kelak di
akhirat.
Sebagai salah satu induk keutamaan, sifat adil ini di bawahnya
terdapat banyak sifat-sifat utama lainnya. Berikut ini beberapa
sifat utama yang merupakan pengejawantahan dari sifat adil, atau
dengan kata lain keadilan harus menjadi spirit dari sifat-sifat
berikut ini:
1. Silaturrahmi.
Silaturrahmi adalah interaksi yang baik antara beberapa
orang yang memiliki hubungan darah dalam kebaikan. Kita
tahu tentang fadhilah dan keutamaan dari silaturrahmi ini
dalam berbagai hadis Nabi, salah satunya adalah, “Tidak akan
masuk sorga orang yang memutus silaturrahmi”.
2. Mukafa’ah atau memberikan santunan kepada pihak yang
membutuhkan
3. Persekutuan dagang yang baik
4. Memutuskan perkara dengan baik
5. Ibadah
6. Persahabatan
Dalam persahabatan dibutuhkan ketulusan, perhatian dan
loyalitas. Dan menghindari sifat iri, permusuhan dan
persaingan tidak sehat.
1. Jenis-jenis Keadilan
Sifat adil ini terbagi menjadi dua yaitu adil internal dan adil
eksternal. Yang dimaksud adil internal diri kita adalah
keseimbangan di antara potensi-potensi jiwa yang ada. Potensi
dan daya yang kita miliki ini bermacam-macam, yaitu daya pikir,
daya emosi dan daya syahwat. Masing-masing memiliki pola
dan tujuan sendiri. Jika tidak ada keseimbangan, atau terjadi
overlapping, saling berebut pengaruh satu dengan yang
lainnya, maka akan berakibat seseorang menjadi kacau
hidupnya. Keseimbangan akan terwujud manakala kekuatan
akal pikiran menjadi rujukan utama dan komando dari
perjalanan kehidupan seseorang. Jangan sampai yang menjadi
komando itu daya emosi, bisa berabe hidup kita. Terlebih daya
syahwat, jika ia yang memimpin hancurlah dunia akhirat. Itulah
keadilan internal diri.
Adapun keadilan eksternal yang dimaksud adalah keadilan
atau keseimbangan yang terwujud dalam interaksi seorang
manusia dengan pihak lain di luar dirinya. Yang tertinggi dari
jenis keadilan atau keseimbangan ini adalah dalam konteks
hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Adil dan seimbang
dalam beribadah. Allah SWT telah menganugerahkan kepada
umat manusia berbagai nikmat yang agung dan melimpah.
Sudah sepantasnya manusia sebagai makhluk yang paling
banyak menikmati anugerah Tuhan ini membalasnya dengan
sifat taat dan cinta. Dosa dan dzolim jika ada di antara kita yang
ingkar terhadap nikmat Tuhan ini.
Allah SWT berhak untuk disembah. Dan peribadatan kita
kepada Allah menjadi unsur utama dalam sifat keadilan atau
keseimbangan. Berikut ini beberapa jenis peribadatan manusia
kepada Allah SWT:
1. Ibadah badaniah seperti shalat, puasa dan lainnya, yaitu
peribadatan yang dilakukan oleh manusia dengan badan
mereka.
2. Ibadah batiniah seperti akidah yang benar, bertauhid, iman
dan lainnya. Jenis ibadah ini intinya apa yang ada dalam hati
kita.
3. Ibadah social, atau ibadah yang melibatkan orang lain dalam
pelaksanaannya. Seperti sedekah, membantu orang lain dan
lainnya.
2. Keadilan dan Kesetaraan
Adil dan setara atau sama rata merupakan dua istilah yang
sering membuat orang bingung. Apakah adil berarti setara dan
sama antara semua orang? Jika kesetaraan ini belum terwujud,
apakah dapat disebut situasi tersebut sebagai kedzaliman
(lawan dari keadilan)?
Sebagian orang mengatakan bahwa manusia seluruhnya
itu sama dalam hak-haknya. Maka mereka pun mestinya setara
dan sama dalam haknya untuk menikmati kehidupan dengan
berbagai hiasan dan kenikmatannya. Pendapat ini tentu saja
tidak sepenuhnya benar. Realitas menunjukkan kesetaraan
antar manusia itu tidaklah bersifat absolut. Di antara mereka
pasti ada perbedaan dalam hak ataupun kewajibannya
tergantung kondisi masing-masing. Ahmad Amin menjelaskan
dalam kitab Akhlaknya sebagai berikut:
1. Manusia tidaklah sama potensi dan kemampuan mereka,
baik sisi rasionalitas, fisik dan juga mental. Di antara mereka
ada orang yang cerdas, dan ada juga yang bodoh. Ada yang
dewasa, dan ada yang kurang dewasa pemikiran dan
tingkah lakunya. Ada yang kuat dan lemah, penyabar dan
emosional. Berdasarkan perbedaan-perbedaan ini, berbeda
pula dalam kepemilikan kapital, kehidupan, status sosial dan
juga produk kreasinya. Keliru sekali manakala kita
memposisikan pemalas, orang bodoh dan tidak memiliki
kemampuan, untuk mengelola pekerjaan besar,
memberikan biaya pendidikan untuk mereka, menyediakan
permodalan yang pastinya tidak akan menghasilkan sesuatu
seperti yang diharapkan.
2. Perbedaan dalam kekayaan ini mendorong iklim kompetisi.
Seorang yang miskin ketika ia melihat orang kaya dapat
menikmati kehidupan jauh di atas yang ia nikmati, dan itu
karena orang kaya tersebut bekerja dengan rajin, maka hal
tersebut akan mendorong si miskin berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam bekerja, agar dapat menikmati
seperti apa yang dinikmati oleh si kaya. Dengan begitu si
miskin akan naik level menjadi kaya. Ini merupakan hal
positif dalam konteks kemanusiaan secara umum. Yang
harus diwaspadai adalah jangan sampai pada kondisi di atas,
justru yang muncul dari si miskin adalah rasa iri dan dengki.
Keduanya merupakan sifat tercela yang akan melemahkan
spirit kompetisi, dan melukai martabat kemanusiaan.
Saat di antara kita muncul seorang yang sukses, kaya,
pandai, hendaklah kita ikut bergembira. Kita harus
menumbuhkan sikap positif thinking atau berpikir positif.
Setiap kali bertambah orang yang sukses, kaya, cerdik pandai
di masyarakat, akan semakin naik level kehidupan mereka.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kesetaraan
antar manusia tidaklah bersifat absolut atau dalam semua hal.
Bahkan dapat kita tegaskan bahwa dalam banyak hal di antara
mereka memang berbeda-beda. Dan Tuhan Yang Maha Adil
pun memberikan ganjaran yang berbeda-beda untuk hamba-
Nya. Semua tergantung amal usaha mereka. Apakah sama
antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu? Dalam
surat as Sajdah ayat 18 dan surat al Maidah ayat 100 dijelaskan
sebagai berikut:
َافَ َم ْن ََك َن ُم ْؤ ِمنًا َْكَ ْن ََك َن فَ ِاسقًاۗ َْل ي َْس تَو َن
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang
yang fasik? Mereka tidak sama.”
َ الطي ُِب َولَ ْو َا ْ َْع َب َك َك ْ ََث ُة الْ َخ ِبي ِْث فَات َّ ُقوا
الل ي ُي ِوىل ْ َاْللْ َب ِاب َّ قُ ْل َّْل ي َْس َت ِوى الْ َخ ِبي ُْث َو
لَ َعل َّ ُ ُْك تُ ْف ِل ُح ْو َن
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu
mendapat keberuntungan".
ِه َا ْح َس ُن َحت ي َ ْبلُ َغ َا ُشدَّه َو َا ْوفُوا الْ َك ْي َل َ ِ َو َْل تَ ْق َربُ ْوا َما َل الْ َي ِت ْ ِمي ِا َّْل ِِبل َّ ِ ِْت
َوالْ ِم ْ َْي َان ِِبلْ ِق ْسطِ َْل ُن َ ِك ُف ن َ ْف ًسا ِا َّْل ُو ْس َعهَا َو ِا َذا قُلْ ُ ُْت فَاعْ ِدلُ ْوا َولَ ْو ََك َن َذا قُ ْرب
ىُك بِه لَ َعل َّ ُ ُْك ت ََذكَّ ُر ْو َن
ْ ُ الل َا ْوفُ ْوا ۗ ذ ِل ُ ُْك َوص ِ َو ِب َع ْه ِد
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai
(usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah
sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji
Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu
ingat.”
b. Al-Maidah: 8
ي َيُّيُّ َا َّ ِاذل ْي َن ا َمنُ ْوا ُك ْون ُْوا قَ َّوا ِم ْ َْي ِ ِلل ُشهَدَ ا َء ِِبلْ ِق ْسطِ َو َْل َ َْي ِر َمن َّ ُ ُْك َش نَا ُن قَ ْو ٍم عَ يل
الل َخب ْ رِْي ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن َ َا َّْل تَ ْع ِدلُ ْوا ۗ ِاعْ ِدلُ ْوا ۗ ه َُو َا ْق َر ُب لِلتَّ ْقوى َوات َّ ُقوا
َ الل ۗ ِا َّن
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
c. An-Nisa: 135
ي َيُّيُّ َا َّ ِاذل ْي َن ا َمنُ ْوا ُك ْون ُْوا قَ َّوا ِم ْ َْي ِِبلْ ِق ْسطِ ُشهَدَ ا َء ِ ِلل َولَ ْو عَ يل َانْ ُف ِس ُ ُْك َا ِو الْ َو ِ َادل ْي ِن
الل َا ْوىل ِبِ ِ َماۗ فَ َال تَت َّ ِب ُعوا الْه يَوى َا ْن تَ ْع ِدلُ ْوا ُ ََو ْ َاْل ْق َرب ْ َِْي ِا ْن يَّ ُك ْن غَنِ ًّيا َا ْو فَ ِق ْ ًْيا ف
الل ََك َن ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن َخب ْ ًِْياَ َوا ِْن تَلْوا َا ْو تُ ْع ِرضُ ْوا فَ ِا َّن
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa)
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan
(kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah
Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
L. Ihsan
Ihsan dalam Al-Qur’an memiliki arti yang sangat luas. Bukan
hanya baik dalam ibadah kepada Allah, tapi juga mencakup
makna-makna lain termasuk ihsan atau baik dalam konteks akhlak
dan perilaku kehidupan. Kata hasan dengan berbagai pecahannya
termaktub dalam Al-Qur’an sebanyak 37 kali, kebanyakan
menceritakan tentang balasan terbaik untuk perilaku ihsan.
Berikut ini di antara ayat-ayat yang menyebutkan tentang
ihsan sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir:
1. Ali Imran: 134
ُ الَّضاء َوالْ ََك ِظ ِم َْي الْغَ ْيظَ َوالْ َعا ِف َْي َع ِن النَّ ِاس َو
هللا ُ ُِي ُّب َ َّ ِاذل َين يُن ِف ُق
َّ َّ ون ِِف
َّ َّ الْساء َو
الْ ُم ْح ِس نِ َْي
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang
yang berbuat kebaikan.”
Ihsan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perilaku orang
yang dapat menahan amarah dan emosinya, juga orang yang
suka memaafkan orang lain dengan penuh ketulusan.
2. Al-Qashash: 77
ُ ََوابْتَغ ِ ِفميَا أيَتَ ك
هللا ادلَّ َار ا َألي ِخ َر َة َو َْل ت ََنس ن َِصي َب َك ِم َن ادلُّ نْ َيا َو َأ ْح ِس ْن َ َمَك َأ ْح َس َن
هللا َْل ُ ُِي ُّب الْ ُم ْف ِس ِد َين
َ هللا الَ ْي َك َو َْل تَ ْبغ ِ الْ َف َسا َد ِِف ا َأل ْر ِض ا َّن ُ
ِ ِ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu
lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
M. Cinta
Cinta sebagai sebuah kemampuan mengatur potensi dan
kekuatan jiwa manusia sehingga terwujud keseimbangan dapat
disebut sebagai keutamaan personal individual. Sedangkan jika
dilihat sebagai sebuah kemampuan mengatur hubungan
seseorang dengan pihak lain maka dapat disebut sebagai
keutamaan sosial. Gambaran ini sekaligus menjelaskan dua arah
konsen utama ilmu akhlak yaitu individu dan masyarakat,
moralitas personal individual dan moralitas sosial.
Kecenderungan moralitas sosial nampak dalam berbagai
pendapat Ibnu Miskawaih. Misalnya ia melihat bahwa seseorang
tidak bisa lepas dari kehidupan sosialnya, individu merupakan
bagian dari masyarakat. Banyak sekali kebaikan dan keutamaan
yang berbasiskan sosial kemasyarakatan. Perumpamaan
keberadaan seorang individu dalam masyarakatnya adalah
laksana organ tubuh yang saling bahu membahu bersama
mewujudkan target dan tujuan hidupnya (Miskawaih, 1985, p. 15).
Antara moralitas personal individual dan moralitas sosial,
keduanya memiliki posisi yang cukup penting dalam kehidupan
manusia. Kedua ukuran moralitas ini saling terkait satu dengan
lainnya. Personaliti yang baik dan berkarakter sangatlah
dibutuhkan untuk mewujudkan kebaikan bersama sebuah
masyarakat. Dan kebaikan individual personal akan dapat
sempurna jika itu dapat mewujudkan kebaikan sosial. Ajaran ini
terkait pula dengan ajaran agama tentang dua sisi peribadatan
kepada Tuhan. Di satu sisi peribadatan terkait dengan hablun
minallah, kesempurnaan diri seseorang di mata Tuhan. Di sisi lain
berbagai amal peribadatan juga memiliki sisi-sisi kebaikan sosial,
seperti menebarkan kasih sayang kepada sesama, membantu
manusia lainnya, dan berbagai kebaikan sosial yang lain.
Kesempurnaan terwujud manakala seseorang baik di mata Tuhan,
dan juga baik di mata dan terhadap sesama.
Di antara keutamaan moral terpenting dalam konteks
mewujudkan kebaikan bersama adalah cinta kasih dan
persahabatan. Berikut ini penjelasan sigkat mengenai dua
keutamaan tersebut:
1. Cinta dan Kasih Sayang
Dr Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Cinta dalam
Pandangan Islam (terj), menjelaskan bahwa cinta merupakan
perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri, dan terpautnya
hati orang yang mencintai pada pihak yang dicintainya, dengan
semangat yang menggelora dan wajah yang selalu
menampilkan keceriaan. Kebalikan dari cinta adalah benci,
yaitu menjauhi dan menghindari pihak yang tidak dicintainya.
Bertolak dari sini dapat dipahami bahwa keburukan seseorang
tidak mungkin menimpa kepada orang yang ia cintai. Jadi
mencintai identik dengan melimpahkan kebaikan dan kasih
sayang terhadap pihak yang dicintai, sebaliknya kebencian
akan memberikan keburukan dan kejahatan kepada pihak yang
dibencinya.
Harmoni atau cinta bagi masyarakat itu posisinya laksana
ruh bagi jasad. Badan kita tidak akan hidup tanpa ruh.
Begitupun masyarakat, tidak ada kehidupan dan eksistensi
kecuali dengan adanya cinta. Bangunan sebuah masyarakat
tidak akan kokoh, bagian-bagiannya tidak akan harmonis,
tanpa adanya cinta yang tulus. Cinta dan kasih sayang
seseorang terhadap orang lain akan mendorongnya untuk
memperlakukan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.
Inilah yang menjadi salah satu inti pesan Nabi dalam hadisnya,
“Orang mukmin satu dengan yang lainnya itu laksana
bangunan, satu menguatkan yang lain”.
Dalam bingkai cinta, seorang pecinta akan memperlakukan
orang yang dicintainya bukan hanya sebatas adil, tapi lebih dari
itu, seorang pecinta akan memperlakukan kekasihnya dengan
ihsan, mempersembahkan kebaikan lebih dari porsinya. Ibnu
Miskawaih memposisikan cinta ini lebih tinggi dari sifat adil.
Cinta ini terkait erat dengan harmoni alam semesta pada
umumnya, dan eksistensi manusia pada khususnya (Miskawaih,
1985, pp. 135–136).
Begitu pentingnya cinta, Islam mengajarkan bagaimana
cara merawat cinta:
1. Meluruskan niat. Agar cinta berbuah ibadah, sucikan niat
dalam bercinta karena Allah SWT semata. Senada dengan
hadis Nabi, “Segala amal itu tergantung niatnya dan setiap
orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (Muttafaq alaih).
2. Mencintai secara proporsional.
“.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216).
Nabi SAW pernah berpesan, “Cintailah kekasihmu
sekadarnya saja, karena boleh jadi suatu hari nanti dia akan
menjadi sesuatu yang engkau benci; dan bencilah sesuatu
yang tidak engkau sukai sekadarnya saja, karena boleh jadi
suatu hari nanti dia akan menjadi sesuatu yang engkau
cintai.” (HR Bukhari).
3. Memproklamirkan cinta.
Nabi SAW bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya
hendaklah memberitahukan kepadanya bahwa ia
mencintainya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
4. Memandang dengan penuh cinta.
Pandangan akan mempengaruhi segalanya. Jika kita
memandang sesuatu dengan pandangan cinta maka semua
akan indah, aib dan noda tidak akan nampak. Sebaliknya jika
melihat dengan pandangan benci maka semua keburukan
akan terbuka lebar. Model pandangan cinta ini selanjutnya
dalam ranah sosial bisa diwujudkan dalam bentuk berfikir
positif. Dengan positive thinking, maka keharmonisan dan
kenyamanan hidup akan mudah terwujud.
5. Kunjungan cinta.
Agar tanaman cinta bertambah subur, hendaklah saling
mengunjungi. Rasulullah SAW bersabda, “Berkunjung secara
berkala maka cinta pun akan bertambah.” (HR Baihaqi).
6. Merawat tanaman cinta secara berkala, taburkan pupuk
cinta secara merata, pasti akan menuai buah cinta, yaitu
dengan mendahuluinya dalam mengucapkan salam,
memanggilnya dengan nama yang paling disukainya, dan
melapangkan tempat duduk baginya.
7. Mengokohkan cinta dengan doa.
Nabi SAW mengajarkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon anugerah cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang
mencintai-Mu, serta usaha yang dapat mengantarkan aku
kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang
paling aku senangi.” (HR Ahmad).
2. Jenis-jenis Cinta
Ibnu Miskawaih membagi cinta dilihat dari sebab dan
motivasinya menjadi tiga macam:
1. Cinta yang didasari oleh kenikmatan dan kesenangan
lahiriah
Cinta model ini terjalin dengan cepat, dan bubar pun
dengan cepat pula. Hal ini sejalan dengan watak dari
kenikmatan sesaat yang dapat muncul dan hilang dengan
cepat. Makanya model ini dikategorikan sebagai jenis cinta
yang paling rendah.
2. Cinta yang didasari oleh kepentingan atau manfaat yang
didapatkan.
Proses menjalin model cinta ini biasanya lambat, karena
harus saling memahami kepentingan dan manfaat dari
masing-masing pihak, dan pada akhirnya dapat
mempertemukannya. Namun proses hilang cinta model ini
dapat berjalan dengan cepat, seiring hilangnya kepentingan
atau manfaat yang didapat. Meski demikian, cinta yang
didasari kepentingan dan manfaat yang diperoleh ini masih
lebih tinggi levelnya dari model pertama di atas.
3. Cinta yang didasari kebaikan.
Cinta model ini biasanya cepat terjalin, dan awet
perjalanannya atau tidak mudah bubar dan hilang. Sebab
sifat dasar kebaikan biasanya dapat bertahan lama, maka
cinta dengan bingkai kebaikan ini pun dapat awet dan
bertahan. Ibnu Miskawaih memposisikan cinta model ini
sebagai level tertinggi cinta. Jadi motivasi cinta haruslah
kebaikan, agar semuanya baik dan harmonis (Miskawaih,
1985, pp. 143–144).
N. Persahabatan
Apabila cinta sudah terjalin di antara dua pihak, di mana di
antara mereka ada kesatuan rasa, kesepahaman dalam pendapat,
keharmonisan dalam sikap, maka akan terwujud persahabatan
yang sejati. Jadi persahabatan ini lebih spesifik dibandingkan
dengan cinta. Biasanya persahabatan ini terjalin di antara dua
pihak atau lebih, sementara cinta sifatnya umum.
Seperti juga cinta, lemah dan kuatnya persahabatan ini
tergantung kepada motivasi dan tujuan dari terjalinnya. Jika
persahabatan dijalin atas dasar kenikmatan dan kepentingan
sesaat, maka ia akan mudah pudar. Namun apabila persahabatan
dijalin atas dasar kebaikan, dan ini hanya terjalin di antara orang-
orang yang baik, maka model ini akan menjadi persahabatan level
tertinggi dan akan abadi.
1. Bagaimana Cara Memilih Sahabat?
Salah satu sifat yang banyak dimiliki manusia adalah
pandai menyembunyikan sesuatu, termasuk niat jahat dan
lainnya. Kadang orang berpura-pura baik, padahal ia berniat
mencelakai kita. Hal inilah yang mestinya mendorong kita
untuk berhati-hati dalam menjalin persahabatan dan memilih
sahabat. Tentu saja kita harus hati-hati dalam konteks ini.
Jangan sampai kehati-hatian kita justru membelenggu dan
membuat kita tidak bagus dalam bersahabat. Ibnu Miskawaih
secara tegas memberikan warning tentang hal ini, “Kita harus
berhati-hati jangan sampai persahabatan dengan pihak lain
justru memposisikan kita dalam bahaya. Kita haruslah waspada
terhadap pihak yang suka berpura-pura dan menipu. Mereka
berpenampilan baik di depan kita, begitu kita lengah mereka
akan memangsa kita seperti binatang buas yang mendapatkan
mangsanya” (Miskawaih, 1985, p. 162).
Untuk mendapatkan sahabat sejati dan persahabatan yang
baik kita mesti melakukan beberapa hal berikut ini:
1. Meneliti riwayat perjalanannya di masa muda, dan juga
keadaan sikap dan mentalnya kepada kedua orang tuanya,
saudara dan keluarganya.
2. Meneliti perilaku dan sikap-sikapnya bersama teman-teman
lamanya.
3. Menelisik sejauh mana keberpihakannya terhadap
kebajikan, dan kepandaiannya dalam mensyukuri nikmat
Tuhan.
4. Diharapkan sahabat yang hendak dipilih bukan orang yang
suka bermalas-malasan, dan suka menunda-nunda
kewajiban, serta cenderung kepada kenikmatan-kenikmatan
lahiriah. Karena seperti itulah biasanya ia akan
memperlakukan sahabatnya.
5. Mengetahui dengan baik bahwa sahabat yang hendak
dipilih bukan seorang yang materialis, suka mengumpulkan
harta benda dan cinta dunia. Sahabat yang model begini
tidak akan tulus. Mereka mengukur semuanya dengan
materi. Dan persahabatan didasarkan kepada materi dan
harta sangat mudah hancur, dan bahkan dalam sesaat dapat
berubah drastis dari sahabat menjadi musuh.
6. Sahabat yang hendak dipilih bukan orang yang ambisi
kekuasaan dan senang menindas orang lain. Ambisi
semacam ini sering kali menghalalkan segala cara, termasuk
mencelakai sahabat, atau mengkhianati teman.
2. Etika Persahabatan
Agar persahabatan dapat langgeng dan berjalan baik, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Bersahabat seperlunya.
Yang dimaksud dengan bersahabat seperlunya adalah
jangan sampai kita terjebak kepada prinsip “banyak teman,
banyak berkah dan manfaat” secara verbal tanpa isi.
Banyaknya sahabat tidak menjamin semua akan berjalan
baik. Maka yang mesti diperhatikan adalah kualitas
persahabatan, bukan kuantitasnya. Mungkin cukup dengan
satu orang sahabat yang baik semua akan baik-baik saja,
dibandingkan banyak sahabat tapi kita tidak mampu
memperlakukan mereka dengan baik, atau ada sebagian
mereka yang tidak tulus.
2. Menutupi aib sahabat.
Seperti yang disabdakan Beliau SAW, “Siapa yang
menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aib
orang itu di dunia dan akhirat. Dan, siapa mengumbar aib
saudaranya sesama Muslim maka Allah akan mengumbar
aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.”
(HR Ibnu Majah).
3. Memberikan perhatian kepada sahabat.
Perhatian kepada seorang sahabat dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk seperti mencari dan menanyakan
saat ia tidak muncul, menyambut dengan ramah saat
bertemu, menyapa dan memenuhi hak-haknya sebagai
sahabat. Perhatian ini juga harus diberikan kepada orang-
orang terdekat sahabat kita tadi seperti teman, anak, orang
tua, anak buah dan lainnya. Tentu saja bukan perhatian atau
perlakuan yang berlebihan, sebab sesuatu yang berlebihan
pasti tidak baik.
4. Bersama dalam suka dan duka.
Sahabat sejati adalah yang membersamai kita dalam
segala situasi, baik suka maupun duka, senang maupun
susah.
5. Berusaha mengerti dan menyempurnakan kekurangan
sahabat.
6. Hindari pertengkaran dan sifat hipokrit atau munafik
dengan sahabat.
Hal tersebut memang bukan hanya dengan sahabat,
tapi juga kewajiban kita kepada semua orang. Tapi yang
harus diperhatikan adalah bahwa pertengkaran dan sifat
munafik itu sangat ampuh untuk merusak persahabatan.
7. Hindari sifat pelit kepada sahabat.
8. Menjaga rahasia seorang sahabat.
9. Waspada terhadap gosip.
10. Merasa tidak nyaman dengan pihak yang menjelek-jelekkan
sahabatnya dan suka menceritakan kekurangannya.
11. Waspada kepada teman yang berbalik menjadi musuh.
Karena mereka sudah banyak mengetahui rahasia dan
kekurangan kita.
Syaikh Al-Azhar Ahmad Thoyyib menyampaikan dalam salah
satu acaranya yang ditayangkan di beberapa stasiun TV Mesir, dan
juga lewat channel YouTube dan Facebooknya, bahwa hilangnya
nilai-nilai moral dan keutamaan dari masyarakat muslim menjadi
salah satu penyebab utama kemunduran mereka dalam banyak hal.
Islam dengan segenap ajarannya mulai dari akidah, ibadah dan
hukum, semuanya terkait erat dengan akhlak. Lihatlah bagaimana
Allah berfirman dalam ayat-Nya, “Sesungguhnya shalat itu
menghalangi dari perbuatan keji dan munkar”.
Keluhuran akhlak menjadi tujuan utama dari ditegakkannya
rukun Islam mulai dari shalat, puasa, zakat dan juga haji. Dalam
ajaran Islam, antara ibadah dengan kemuliaan akhlak seperti 2 sisi
mata uang yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Inilah
yang menjadi spirit utama sabda Nabi SAW, “Tidak lain aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Ahmad Thoyyib juga menegaskan bahwa dalam Islam,
pelaksanaan peribadatan seperti shalat, puasa, zakat dan haji, jika
tidak mengejawantah dan membentuk akhlak yang mulia, maka itu
semua tidak bermanfaat bagi pelakunya kelak di hari kiamat. Bahkan
mereka tetap terancam masuk neraka. Seperti hadis yang
menceritakan tentang seorang perempuan yang rajin berpuasa di
siang hati, dan malam harinya ia tekun beribadah, tetapi lisannya
suka menyakiti tetangganya, maka puasa dan ibadahnya tidak akan
menolongnya kelak di akhirat. Sebaliknya manakala ada seorang
perempuan yang minimalis dalam beribadah, ia hanya melaksanakan
puasa ramadhan yang wajib, shalat 5 waktu saja, tetapi ia menjaga
lisannya, senang bersedekah membantu tetangganya, itu semua
justru membuatnya masuk surga.
Ada keterkaitan erat antara ibadah dengan akhlak. Salah satu
buktinya adalah Allah telah menjadikan akhlak yang mulia atau
husnul khuluq sebagai sebuah bentuk peribadatan. Nabi Saw
bersabda dalam sebuah riwayat: “Yang terbaik keisalamannya di
antara kalian adalah siapa yang paling baik akhlaknya”(Bukhari, n.d.,
p. 1328). Dalam ajaran Islam tidak ada satupun amal yang tidak
terkait dengan akhlak. Mulai dari thaharah, shalat, puasa, zakat dan
juga haji. Kesemuanya memiliki keterkaitan erat dan juga terdapat
nilai-nilai moral di dalamnya, di samping juga dimensi-dimensi
pendidikan.
Berikut ini akan dijelaskan keterkaitan antara amal peribadatan
umat Islam, mulai dari shalat, thaharah, puasa, zakat dan haji,
dengan akhlak. Dan juga kandungan nilai-nilai akhlak dalam setiap
peribadatan tersebut.
A. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Shalat
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa dalam ibadah
shalat terdapat nilai-nilai moral yang dapat membimbing jiwa
manusia menuju kebaikan, “Shalat itu bisa mendatangkan rejeki,
menjaga kesehatan, menolak bahaya, menjadi obat dari penyakit,
menguatkan hati, mencerahkan wajah, membuat jiwa ini lega,
menghilangkan kemalasan, membuat hati kita bersih,
melanggengkan nikmat dan menghilangkan laknat,
mendatangkan berkah, dan menjauhkan syaitan”.(ٌٌب ٌ يٌٌبكرٌٌأيو
ٌ نٌٌأب
ٌب
يٌأب ٌوٌعبدٌهللا
ٌ الزرع, n.d.).
Syaikh Abdulah Darraz mengatakan bahwa syi’ar iman yang
utama, dan sifat mulia dari seorang mu’min bukanlah terletak
hanya pada pelaksanaan shalat saja. Tetapi pelaksanaan shalat
dengan sempurna dan konsisten. Kesempurnaan pelaksanaan
shalat ini membutuhkan dua syarat, yaitu 1) hati yang khusyu’
mengagungkan Allah, dan organ tubuh yang aktif, sehat dan
thuma’ninah. Dan 2) akal pikir yang mampu mengendalikan kata
dan perbuatan, serta menghilangkan syak prasangka buruk yang
dapat membuat seseorang lalai (Darazi, n.d., p. 149).
Konsistensi dan kedisiplinan dalam melaksanakan shalat juga
dapat menumbuhkan sifat mulia yaitu terhindar dari hal-hal yang
sia-sia tidak berguna. Sifat mulia ini merupakan salah satu buah
dari shalat. Karena shalat itu ibarat training atau latihan untuk
terus menghiasi diri dengan perilaku mulia, dan menghindarkan
diri dari perilaku buruk.
Keterkaitan antara ibadah shalat dengan akhlak diawali
dengan nalar bahwa akhlak mulia level tertinggi adalah akhlak kita
sebagai hamba kepada Allah swt. Hal tersebut terejawantah
dalam peribadatan kita kepada-Nya, dan bagaimana kita
menjalankan apa yang membuat-Nya cinta dan ridha. Shalat
adalah ibadah umat Islam teragung. Jika kita perbaiki akhlak kita
kepada Allah dengan melaksanakan shalat, maka Allah akan
berikan kepada kita akhlak mulia dan terpuji. Berikut ini beberapa
pokok ajaran Islam yang menjelaskan kaitan erat antara shalat
dengan akhlak:
1. Kisah Abu Sufyan sebelum masuk Islam, dia menjelaskan ajaran
Nabi Muhammad tentang shalat dan akhlak lainnya:
“Muhammad memerintahkan kepada kami shalat, zakat, jujur,
kesederhanaan, menahan diri, dan menjalin silaturrahmi”. Shalat
dan zakat disandingkan dengan beberapa akhlak mulia seperti
jujur, sederhana, menahan diri dan lainnya. Ini membuktikan
bahwa antara peribadatan tersebut ada keterkaitan erat
dengan perilaku-perilaku terpuji dan tidak bisa dilepaskan
begitu saja.
2. Penjelasan Ja’far Bin Abi Thalib terhadap Raja Najasyi sebagai
berikut: “Wahai Raja.. kami dahulu adalah kaum jahiliyah
penyembah berhala, kami makan bangkai, kami melakukan
perbuatan-perbuatan kotor dan tercela, putuskan silaturrahmi,
bertindak jahat terhadap tetangga, yang kuat menindas yang
lemah. Kami terus dalam kondisi tersebut sampai kemudian Allah
mengutus Nabi-Nya. Seseorang yang kami kenal dengan baik,
dari keturunan orang-orang baik, jujur, amanah dan sederhana.
Lantas ia mengajak kami untuk menyembah Allah, bertauhid dan
melepaskan semua yang kami sembah sebelumnya. Ia juga
memerintahkan kami untuk jujur, amanah dan menjalin
silaturrahmi. Begitu juga berbuat baik kepada tetangga,
menghindari yang haram dan pertikaian. Melarang kami berbuat
dan berkata kotor, menipu, memakan harta anak yatim, dan
menuduh wanita-wanita terhormat. Ia memerintahkan kami
untuk hanya menyembah Allah saja dan tidak musyrik, shalat,
zakat dan puasa”.
Dalam penjelasan di atas, shalat dan ibadah lainnya
disebutkan belakangan setelah dijelaskan panjang lebar
tentang akhlak-akhlak terpuji dan juga yang tercela.
Sistematika penjelasan seperti ini, mendahulukan bercerita
tentang akhalk mulia sebelum peribadatan, sangat baik
pengaruhnya terutama ketika kita berdiskusi dengan penganut
agama lain atau non muslim, dalam rangka menampilkan Islam
sebagai sebuah agama yang pro akhlak mulia, secara otomatis
pro terhadap kemanusiaan.
3. Shalat adalah obat yang dapat menghilangkan beberapa
akhlak buruk. Seperti yang tergambar dalam Surat Al-Ma’arij
ayat 18-23
) َوا َذا َم َّس ُه الْخ ْ َُْي20( الْش َج ُزوعًا ُّ َّ ) ا َذا َم َّس ُه19( ا َّن ْاْلن ْ َس َان ُخ ِل َق َهلُوعًا
ِ ِ ِ
23( ِ ون َ ) َّ ِاذل َين ُ ُْه عَ َل َص َالِتِ ِ ْم دَائِ ُم22( ) ا َّْل الْ ُم َص ِل َْي21( َمنُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
ِ
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan
apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang
yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan
salatnya”.