Anda di halaman 1dari 176

FILSAFAT

AKHLAK
IBNU MISKAWAIH

Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.


IBNU
MISKAWAIH

Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.


Filsafat Akhlak Ibnu Miskawaih

Penulis :
Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.

Penerbit dan Agency


Editor : CV. Rizquna
Adhitya Ridwan Budhi P.N. Karangsalam Kidul, Kedungbanteng,
Banyumas, Jawa Tengah
Perancang Sampul : Email: cv.rizqunaa@gmail.com
Tim Rizquna Cetakan I, Mei 2022
Layout : Faishol Temukan Kami di :

Penerbit Rizquna
Anggota IKAPI No. 199/JTE/2020
Jl. KS Tubun Gang Camar RT 05/04,
Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Banyumas, Jawa Tengah All Right Reserved
Email: cv.rizqunaa@gmail.com
Layanan SMS: 085257288761

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Vi + 167 hlm; 14,8x21
ISBN : 978-623-5999-40-1
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit Rizquna

Apabila menemukan kesalahan cetak dan atau kekeliruan informasi pada buku
harap menghubungi redaksi Rizquna. Terima kasih.

Apabila menemukan kesalahan cetak dan atau kekeliruan informasi pada buku
harap menghubungi redaksi Rizquna. Terima kasih.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, dengan segala macam


nikmatnya, buku ini dapat terselesaikan tepat pada bulan Ramadhan.
Shalawat dan salam bagi nabi Muhammad Saw., hanya melalui
beliau, segala macam ilmu kebenaran menjadi terjelaskan dan beliau
pula sumber yang paling utama dalam bidang akhlak oleh karena
manusia yang paling sempurna hanya Nabi Muhammad Saw.
Buku ini merupakan ikhtiar penulis untuk mengemas kembali
pemikiran-pemikiran Miskawaih tentang filsafat akhlak. Dengan
disisipi berbagai tafsiran penulis terhadap karya Miskawaih, penulis
memberi judul buku ini “Filsafat Akhlak Ibnu Miskawaih”. Judul yang
terlihat sederhana, namun cukup rumit jika sampai pada istilah-istilah
khas dari Ibnu Miskawaih.
Dorongan yang paling utama dari penulisan buku ini adalah
kebutuhan akan sumber referensi tentang filsafat akhlak yang masih
tergolong langka. Hal tersebut dirasakan oleh penulis dan juga
beberapa kolega yang berharap kepada penulis untuk menuliskan
filafat akhlak Ibnu Miskawaih dalam bahasa Indonesia. Mengingat,
rujukan-rujukan utama dalam bidang ini hampir semuanya berbahasa
arab. Oleh karena itu, dalam penulisan buku ini, penulis sebagian
besar mengambil intisari kitab utamanya Ibnu Miskawaih dalam
bidang akhlak yang berjudul Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A'raq.
Pola penulisan buku ini menggunakan bahasa ilmiah popular
yang terkadang menghindari bahasa-bahasa rumit khas filsafat. Hal
tersebut semata-mata dilakukan untuk mempermudah pembaca
dalam memahami filsafat akhlak Ibnu Miskawaih. Rujukan ditulis
dengan teknik body note, meskipun demikian foot note sesekali
digunakan penulis untuk menjelaskan istilah-istilah penting.
Buku filsafat akhlak Ibnu Miskawaih ini terdiri dari tujuh bab
yang secara umum mengupas pemikiran filsafat akhlak dari Ibnu
Miskawaih. Seperti pada umumnya buku bergenre sejarah pemikiran
tokoh, bab pertama dituliskan profil singkat dari sang filsuf Ibnu
Miskawaih, karya-karyanya dan juga guru dan muridnya. Dalam bab
awal ini pula, penulis mencoba mengkontekstualisasikan pemikiran
inti filsafat akhlak Ibnu Miskawaih dalam bidang atau isu kekinian.
Pada bab kedua dan ketiga, pembaca akan bertemu teori
umum filsafat akhlak yaitu konsep dasar akhlak dan sumber-sumber
ajaran akhlak. Konsep dasar akhlak ini memuat pandangan falsafi
Miskawaih dalam melihat hakikat unsur dasar dari manusia. Adapun
sumber ajaran akhlak yang dimaksud adalah al Qur’an, hadist dan
pandangan beberapa ulama baik salaf maupun khalaf. Dari kedua
bab tersebut, penulis berupaya mentransmisikan pandangan pokok
Miskawaih dengan melihat kesesuaian pandangan ulama lainnya.
Adapun bab keempat, kelima dan keenam merupakan inti
pokok yang secara detail menjelaskan ide utama Ibnu Miskawaih
tentang akhlak. Seperti pada bab keempat membicarakan tentang
pertanggungjawaban dan balasan. Pada bab kelima, penulis
menguraikan banyak hal tentang fadhilah dan radzilah. Dan bab
keenam, penulis berupaya menarik benang merah nilai-nilai akhlak
dalam ibadah. Sedangkan bab terakhir adalah ikhtitam yang
merupakan penutup dari buku ini.
Penulis ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu secara
langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan buku ini.
oleh karena itu, penulis menyampaikan “Jazakumullah Khoiron
Katsir”. Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini tidak bisa lepas
dari berbagai macam kesalahan dan juga kekurangan. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati, penulis akan merasa senang jika
terdapat kritik dan saran konstruktif sebagai catatan penulis untuk
selanjutnya. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Amin.

Purwokerto, April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................................ vi

BAB I: IBNU MISKAWAIH SANG FILOSUF AKHLAQ


A. Biografi Singkat ...........................................................................1
B. Karya-Karya ................................................................................ 2
C. Guru dan Murid Ibnu Miskawaih ............................................... 3
D. Beberapa Pandangan Filsafat Ibnu Miskawaih ........................ 4

BAB II: KONSEP DASAR AKHLAK


A. Jiwa Manusia dan Potensinya ..................................................15
B. Pengertian Akhlak.................................................................... 20
C. Apakah Akhlak dapat Berubah ............................................... 23
D. Standar Moral .......................................................................... 26
E. Agama dan Pengaruhnya terhadap Akhlak............................ 34

BAB III: SUMBER-SUMBER AJARAN AKHLAK DALAM ISLAM


A. Akhlak dalam Al-Qur’an ........................................................... 36
B. Akhlak dalam Hadits ................................................................ 43
C. Akhlak dalam Pandangan Ulama ............................................48

BAB IV: PERTANGGUNGJAWABAN DAN BALASAN DALAM


AKHLAK
A. Pengertian Pertanggungjawaban dan Balasan ...................... 55
B. Macam-Macam Pertanggungjawaban ...................................60
C. Ganjaran dan Hukuman ...........................................................68
D. Macam-macam Hukuman ........................................................ 71
BAB V: FADHILAH DAN RADZILAH DALAM AKHLAK ISLAM
A. Pengertian Fadhilah dalam Akhlak ......................................... 74
B. Karakteristik Keutamaan Akhlak ............................................ 75
C. Keutamaan Akhlak dan Pengetahuan ....................................84
D. Wasathiyah sebagai Spirit Utama Keutamaan Akhlak ...........86
E. Cara Menumbuhkan Fadhilah...................................................91
F. Pengertian dan Jenis-jenis Radzilah ........................................ 94
G. Cara Mengobati Radzilah ......................................................... 95
H. Hikmah/ Kebijaksanaan ............................................................ 97
I. Syaja’ah/ Keberanian................................................................99
J. ‘Ifah/ Menahan Diri................................................................. 104
K. ‘Adalah/ Adil ........................................................................... 108
L. Ihsan..........................................................................................121
M. Cinta.........................................................................................126

BAB VI: NILAI-NILAI AKHLAK DALAM IBADAH


A. Nilai-Nilai Akhlak dalam Ibadah Shalat ..................................134
B. Nilai-Nilai Akhlak dalam Ibadah Thaharah ............................ 139
C. Nilai-Nilai Akhlak dalam Ibadah Puasa ...................................143
D. Nilai-Nilai Akhlak dalam Ibadah Zakat .................................. 145
E. Nilai-Nilai Akhlak dalam Ibadah Haji...................................... 146

BAB VII: IKHTITAM ....................................................................... 158

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 160


BIOGRAFI PENULIS ........................................................................163
Filosuf yang konsen dan fokus pada bidang filsafat akhlak
dapat dikatakan tidak banyak. Ibnu Miskawaih menjadi salah satu
filosuf akhlak yang berupaya mengonseptualisasi filsafat akhlak.
Pada bagian pertama ini, pengenalan terhadap biografi Ibnu
Miskawaih perlu dijelaskan. Dalam biografi ini kita dapat mengetahui
latar belakang sekaligus riwayat hidup singkat Ibnu Miskawaih
berikut karya-karyanya. Dalam bagian ini pula, guru dan murid Ibnu
Miskawaih hendak diulas secukupnya. Bagian paling penting dalam
bab ini adalah pandangan-pandangan Miskawaih jika
dikontekstualisasikan dengan isu-isu kekinian.

A. Biografi Singkat
Nama Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan tentang akhlak. Hal ini karena memang akhlak
menjadi pembahasan utama Sang Filosuf, sampai-sampai dia
dikenal sebagai Bapak Filsafat Akhlak Islam. Label ini sangat
layak oleh karena jasanya dalam mensistematisasi filsafat akhlak
dengan sangat baik.
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad Ibnu
Muhammad Ibnu Maskawaih. Lahir di kota Ray (Iran) pada tahun
330 H/932 M dan meninggal di Asfahan pada tahun 421 H/1030
M. Miskawaih tidak hanya ahli dalam bidang filsafat akhlak, Ia
juga ahli dalam bidang kedokteran, bahasa dan sastra, dan
sejarah. Dalam Riwayat hidupnya sebelum masuk Islam,
Miskawaih merupakan pemeluk agama Magi1.
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian
besar bermazhab Syi'ah. Ibnu Maskawaih adalah seorang
cendekiawan muslim dalam bidang filsafat akhlaq. Ia belajar
sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan)
Ibn al-'Abid di mana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh
banyak hal positif berkat pergaulanya dengan kaum elit. Setelah
itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan
hidup pada istana pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan
beberapa jabatan lain. Bahkan Miskawaih mendapatkan gelar
guru ketiga setelah Aristoteles sebagai guru pertama dan al
Farabi sebagai guru kedua.
Dalam perjalanan hidupnya, Miskawaih memiliki pergaulan
intelektual yang disegani dan juga merupakan anggota
kelompok intelektual seperti At Tawhidi dan As Sijistani.
Pergaulan yang luas dan produktif ini menunjukkan semangat
belajar dan kedalaman pengetahuannya.

B. Karya-karya
Ibnu Miskawaih termasuk filosuf yang sangat produktif
menghasilkan karya tulis dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Tercatat terdapat 41 judul karya yang pernah ditulis olehnya
selama masa hidupnya.
Kitab yang paling terkenal yang ditulis oleh Miskawaih
dalam bidang filsafat akhlak adalah Tahdzib al-Akhlak wa Tathir

1 Agama magi adalah kepercayaan dan praktik dimana manusia meyakini secara langsung

bahwa mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antar mereka sendiri, entah untuk tujuan
baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih
tinggi.
al-A'raq. Selain itu terdapat beberapa judul kitab lain dalam
berbagai bidang seperti Tajarih Al-Umam berisi sejarah tentang
banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M, Nadim Al-Farid
kumpulan anekdot, syair peribahasa dan kata-kata mutiara,
Jawidan Khird berisi tentang kumpulan ungkapan bijak, Tartib Al-
Sa'adat tentang akhlak dan politik, Al Musthafa berisi tentang
syair-syair pilihan, as-Syiar tentang aturan hidup. Beberapa karya
lain yang pernah ditulisnya seperti Ta'qub Al-Himam, Thabarat Al-
Nafs, Adab Al-'Arab wa Al-Fisr, Al-Fawz Al-Aghsar fi ushul Al-
Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar, Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy'ar,
Nuzhat Namah 'Alaiy Al-Adwiyah Al-Mufridah, Al-Asyribah dan
lainnya.
Dari banyaknya judul kitab yang ditulisnya dan kesibukan di
masa hidupnya menunjukkan Miskawaih begitu mencintai ilmu
pengetahuan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan dibuktikan
dengan karya otentik yang mampu mempengaruhi filosuf Islam
generasi setelahnya. Bahkan sistematisasi filsafat akhlak yang
digagasnya menjadi rujukan utama dikarenakan banyak
intelektual muslim lain yang bingung ketika menjelaskan
berkaitan dengan etika atau akhlak.

C. Guru dan Murid


Kecintaannya terhadap ilmu, Miskawaih tercatat memiliki
guru dari berbagai bidang ilmu. Ia pernah belajar sejarah melalui
dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi dengan kitabnya
Tarikh al Thabari. Bidang filsafat, Miskawaih belajar pada Ibn al-
Akhmar. Ibn al Akhmar merupakan salah satu komentator karya
Aristoteles. Miskawaih juga belajar tentang kimia dari Abu
Tayyib. Selain itu, Miskawaih belajar kedokteran, filsafat dan
logika pada Hasan bin Siwar. Selain belajar kepada para ulama
besar pada masanya, Miskawaih juga memiliki kolega intelektual
masyhur seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn 'Adi dan Ibn
Sina. Bahkan Ibnu Sina pernah menjadi murid yang cerdas dan
kritis dari Miskawaih.
Sebagai seorang pemikir besar, Ibn Miskawaih telah
melahap seluruh kitab-kitab filsafat dari warisan peradaban pra-
Islam. Pada masanya, beliau banyak membaca dan menelaah
kitab-kitab pemikir dari berbagai peradaban seperti Yunani,
Persia, Romawi. Sehingga, pemikiran-pemikiran tokoh dari
berbagai peradaban itu memberikan pengaruh yang tidak kecil
bagi Ibn Miskawaih. Hal ini terlihat jelas, ketika Ibn Miskawaih
merumuskan pandangannya, beliau pun mengkombinasikan
pemikiran-pemikiran dari Plato, Aristoteles, Galen dan ajaran
Islam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bukti dari
kecintaan Miskawaih terhadap ilmu adalah saat ia memutuskan
untuk menjadi pustakawan. Dengan menjadi pustakawan,
Miskawaih dapat lebih banyak membaca berbagai literatur
untuk dipelajari. Tidak hanya soal agama, kedokteran dan kimia
juga menjadi bidang yang menarik baginya. Cakrawala
pengetahuannya yang didapatkan langsung dari para gurunya
maupun hasil dari bacaannya terhadap berbagai literatur
berpengaruh terhadap pemikiran filsafat akhlaknya.

D. Beberapa Pandangan Filsafat Ibnu Miskawaih Kontekstual


Corak pemikiran Miskawaih yang Aristotelian
memposisikannya sebagai ilmuwan muslim yang berupaya
menggunakan akal secara proporsional. Ia termasuk filsuf
rasionalis. Basis pemikiran filsafatnya masih sangat relevan
untuk dijadikan sebagai rujukan di era kontemporer saat ini. hal
tersebut dikarenakan ulasannya berkaitan dengan akhlak mudah
dipahami. Konsep-konsep filsafat seperti unsur dasar manusia
yang terdiri dari jasad, hayat, dan ruh dapat
dikontekstualisasikan di era saat ini. Klasifikasi unsur manusia
tersebut menjadi salah satu pokok pemikiran Miskawaih yang
melandasi pemikiran-pemikiran selanjutnya.
Pada bagian ini, penulis hanya mengkontekstualisasikan
pandangan filsafat Miskawaih dalam tiga bidang yaitu
pendidikan Islam, moderasi beragama dan filsafat kontemporer.
1. Aliman Tamman: Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam menjadi bidang yang paling relevan
dan kontekstual jika dihadapkan dengan pemikiran
Miskawaih. Hal tersebut dilihat dari tawaran konseptual
Miskawaih berkaitan dengan filsafat akhlak lebih dekat
dengan pendidikan Islam. Dalam konteks pendidikan,
pandangan Miskawaih dapat diposisikan sebagai materi
atau bahan pembelajaran, metode pembelajaran dan juga
kurikulum.
Sebagai materi dan bahan pembelajaran, hampir semua
konsep Miskawaih layak diadopsi untuk mata pelajaran
Akidah Akhlak terutama untuk tingkat Tsanawiyah, Aliyah
dan Perguruan Tinggi. Konsep manusia ideal, kebahagiaan,
dan penyebab perbedaan akhlak dari Miskawaih membekali
peserta didik agar mengetahui hakikat pendidikan yang
sesungguhnya.
Sebagai metode pembelajaran, pendidik dapat
mengadopsi cara pendidikan karakter Miskawaih.
Penguatan karakter Miskawaih bertumpu pada empat hal
pokok yaitu pertama, menghindari pergaulan dengan orang
keji yang menyukai kenikmatan-kenikmatan yang dilarang
oleh agama dan juga orang yang suka dan bangga berbuat
dosa. Kedua, memperbanyak aktivitas yang berkaitan
dengan pengetahuan dan praktiknya. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan sering menghadiri forum-forum ilmiah
seperti seminar, kuliah, atau bentuk lain sesuai dengan yang
diminatinya. Aktivitas ini sama seperti memberi makan jiwa
kita dalam bentuk ilmu. Seperti jasad yang membutuhkan
makan, jiwa kita juga membutuhkan asupan ilmu
pengetahuan. Jika aktivitas ini berhenti, maka
dikhawatirkan jiwa akan menjadi tumpul. Jika kita tidak lagi
mencari makna kehidupan, maka dikhawatirkan kita akan
kehilangan substansi kebaikan. Ketiga, Miskawaih juga
menyarankan kita untuk selalu melatih logika sejak dini
dengan membiasakan mempelajari ilmu matematika,
geometri, aritmatika, musik dan astronomi. Pembiasan
melatih logika ini secara tidak sadar membentuk kita untuk
selalu bersikap jujur dan mencintai kebenaran oleh karena
sifat dari dzat ilmu matematika yang objektif dan apa
adanya. Keempat, menghindari hidup yang berlebihan. Sikap
berlebihan ini yang cenderung bersifat materi seperti boros
dan tidak proporsional dalam membelanjakan hartanya
tidak akan pernah merasa puas. Sikap berlebihan ini juga
menjadikan lahirnya sifat-sifat tercela yang lain.
Dalam hal kurikulum, Miskawaih lebih
merekomendasikan bagaimana agar terjadi keseimbangan
antara muatan materi agama dan umum. Bahkan,
Miskawaih tidak membedakan secara dikotomik antara ilmu
agama dan ilmu umum. Konsep ini ditunjukkan dari cara
Miskawaih memposisikan ilmu-ilmu seperti matematika,
logika, geometri dan kedokteran. Artinya, kurikulum yang
ideal versi Miskawaih tidak menghadap-hadapkan ilmu
agama dan ilmu umum dalam posisi yang bertentangan.
Baik dari segi materi, metode dan kurikulum, tujuan
akhir dari pendidikan menurut Miskawaih adalah aliman
tamman. Aliman tamman merupakan istilah Miskawaih
untuk menjelaskan bagaimana seharusnya manusia ideal
atau sempurna. Syarat awal untuk mencapai tujuan tersebut
adalah harus memiliki cinta kepada ilmu pengetahuan (al
Syauq ila al ma’arif wa al ‘ulum). Dengan modal ini, manusia
dengan mudah mampu memahami segala sesuatu yang
sifatnya menyeluruh (kulliyat) tidak hanya partikular
(juziyyat). Adapun cara agar memperoleh pengetahuan
yang menyeluruh, Miskawaih memberi dua tips yaitu
tafakkur dan kontemplasi. Miskawaih membedakan dua
istilah tersebut. Tafakkur diartikan Miskawaih sebagai
aktivitas penyatuan akal dari realitas yaitu kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan menuju sesuatu yang hakiki. Dalam
makna lain, tafakkur merujuk pada tindakan melepaskan
dari yang terbatas menuju akal yang tidak terbatas.
Sedangkan kontemplasi lebih diartikan sebagai penyatuan
dengan Tuhan untuk mendapatkan pancaran hikmah.
Hikmah ini mungkin didapatkan ketika kita merenungkan
realitas dan ditautkan dengan keberadaan Tuhan sehingga
kita mendapatkan persepsi yang universal/ma’rifat.
Berdasarkan dua istilah tersebut, tafakkur dan kontemplasi
memiliki kemiripan dari segi aktivitas yang dilakukan yaitu
sama-sama melakukan perenungan. Perbedaannya terletak
pada penggunaan sumber-sumber aktual pengetahuan.
Jika seseorang melakukan aktivitas pendidikan dalam
rangka mencapai manusia sempurna (aliman tamman),
maka Miskawaih memastikan bahwa ia akan mendapatkan
al sa’adat (kebahagiaan). Tentu kebahagiaan yang dimaksud
tidak merujuk pada kebahagiaan yang bersifat temporer
atau kebahagiaan jasad.
2. ‘Adalah: Kunci Pemikiran Moderasi Beragama Miskawaih
Moderasi beragama Miskawaih bertumpu pada konsep
‘adalah. Keadilan bagi Miskawaih merupakan puncak dari
hakikat kebaikan dan keunggulan jiwa. Munculnya sifat
‘adalah dalam diri seseorang tidak bisa muncul dengan
sendirinya tanpa adanya upaya sepenuh hati dan
kesungguhan. Sebelum muncul sifat ‘adalah seseorang
harus terlebih dahulu memiliki sifat ‘iffah, syaja’ah dan
hikmah. Semua sifat tersebut disebut sebagai i’tidalat
(keseimbangan atau keserasian), penggambaran segala
yang baik dan utama. Sedangkan hakikat dari keseimbangan
adalah pertengahan antara yang ekstrem kelebihan dan
ekstrem kekurangan.
Posisi tengah atau sikap pertengahan ini sering kali sulit
dilakukan dalam praktik kehidupan sehari-hari seseorang.
Sebut saja istilah hemat dan kikir atau boros dan dermawan
yang sering kali menipu kita dalam konseptualisasinya.
Terkadang kita berargumentasi untuk berhemat atas harta
benda kita, namun ternyata yang kita maksud sebagai
hemat adalah kikir. Posisi tengah dalam setiap bidang
kehidupan menjadi tanda bahwa ada kehidupan. Kita tidak
bersikap fanatik terhadap wujud atau konsep tertentu.
Sikap seimbang menjadikan kita lebih bijak dalam melihat
suatu persoalan yang kita hadapi.
Moderasi dalam kacamata Miskawaih sangat prinsipil
dan esensial. Dalam setiap bagian manusia baik jasad, rohani
dan ruh harus berada pada posisi tengah. Dampak dari sikap
pertengahan ini adalah kita menjadi memiliki sikap moderat
dalam hal agama bahkan lebih luas lagi. Hal tersebut
dikarenakan filosofi Miskawaih tidak mengaitkan pada
bidang kehidupan tertentu. Seperti konsep aliman tamman
yang mengarah pada kepemilikan pengetahuan yang
universal, sikap pertengahan juga menjadi sikap universal
(kulliyat) yang dengan sendirinya secara juziyyat akan
mengikuti. Artinya kita dapat bersikap adil dalam melihat
perbedaan agama, pemikiran dan perbedaan-perbedaan
lainnya yang bersifat juziyyat.
Manifestasi dari sifat ‘adalah dalam konteks moderasi
beragama adalah memposisikan agama-agama sebagai
suatu fenomena perbedaan yang niscaya. Perbedaan
tersebut tidak dijadikan sebagai alasan untuk berjarak
dengan orang lain atau bahkan melegitimasi kekerasan.
Fenomena terorisme yang sering terjadi bisa jadi berawal
dari lemahnya sifat ‘adalah sehingga moderasi dalam
beragama tidak dapat tumbuh secara baik sehingga mudah
digoyahkan oleh konsepsi sesat berkaitan dengan misalnya
jihad. Padahal, jika sifat ‘adalah ini kuat dalam diri
seseorang, maka nilai universal kemanusiaan diposisikan
sebagai nilai yang primer. Posisi tersebut tidak memberi
celah untuk masuknya pemikiran yang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan, sebagus apapun dan sekuat
apapun dalilnya. Selain itu, kita secara otomatis terproteksi
dari rayuan-rayuan kaum ekstrimis.
Posisi tengah secara spesifik didefinisikan Miskawaih
sebagai keadaan yang membawa jiwa kepada al fadilat atau
situasi utama. Dalam konteks jasad atau bahimmiyat, posisi
ini berguna untuk menjaga diri dari berbagai keburukan
jasad. Kebanyakan makan atau kekurangan makan tidak
baik untuk jasad sehingga yang paling tepat adalah tengah-
tengah yaitu makan secukupnya. Makan secukupnya ini
sangat relatif tergantung kondisi tubuhnya masing-masing.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperkirakan secara tepat
kebutuhan fisik kita. Kecukupan dengan menjaga agar tidak
berlebihan dan tidak kekurangan pada jasad kita tidak hanya
pada soal makanan, termasuk soal tidur, istirahatnya pikiran
dan lain sebagainya. Keadilan terhadap jasad menjadikan
tubuh kita lebih sehat selain daripada melaksanakan
perintah Allah dan Nabinya.
Dalam konteks ghadbiyyat atau ruhani yang berkaitan
dengan keinginan, emosi, atau gejala psikologis lain juga
semestinya berada pada posisi tengah. Posisi tengah untuk
aspek ini akan menghasilkan syaja’ah atau berani. Berani ini
diartikan sebagai sikap antara tidak nekat dan tidak
pengecut. Seseorang yang nekat sering kali bertindak
ngawur dalam memutuskan suatu persoalan. Nekat
biasanya sikap yang tidak ada perhitungan matang.
Sedangkan lawannya nekat adalah pengecut. Pengecut ini
sikap yang mengarah pada ketakutan-ketakutan tak
berdasar. Ketakutan ini mengamputasi kreativitas dan juga
cenderung tidak dapat berkembang dalam berbagai aspek
kecerdasannya. Maka, posisi tengah antara nekat dan
pengecut adalah berani. Keberanian ini biasanya penuh
dengan perhitungan dan tidak mudah putus asa. Orang
yang memiliki keberanian tinggi, ia akan dengan mudah
mengatasi dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Pra
kondisi berani adalah pengetahuan yang matang, data yang
akurat dan opsi-opsi yang telah disiapkan sebelumnya.
Adapun posisi tengah dari natiqat adalah hikmah
(bijaksana). Bijaksana dari aspek natiqat atau pikiran adalah
bertindak sesuai dengan dosis atau porsi yang sesuai.
Pikiran yang bijak akan menghasilkan keputusan yang tepat.
Bijaksana ini berkaitan dengan penggunaan daya pikir,
konsep, teori yang sesuai tempatnya. Sebagai contoh
penggunaan teori kritis akan tepat jika diterapkan pada
situasi atau data yang lebih dominan pada kesewenang-
wenangan dan ketidakadilan masyarakat. Moderasi
beragama sangat tepat digunakan untuk menganalisa
masyarakat yang majemuk dan plural dalam agama, suku
dan budaya.
Pada puncaknya, keseimbangan atau posisi tengah
akan mengarah pada munculnya sikap ‘adalah yang kita
maksud sebagai kata kunci utama dari konsep moderasi
beragama versi Miskawaih. Dengan demikian, apapun
bentuk perbedaannya, kita tidak punya alasan ideologis
apapun untuk melegitimasi segala tindakan ekstrim dan
kekerasan terhadap orang lain yang berbeda dengan kita.
Sikap tengah ini juga dikuatkan dengan dalil dalam Al Qur’an
yaitu ayat 29 surat al Isra’ dan ayat 67 surat al Furqon.
3. Rasionalitas Kontemporer: dunia Metaverse, mungkinkah?
Era disrupsi saat ini meniscayakan berbagai macam
kondisi yang serba baru, serba cepat dan serba instan.
Perkembangan teknologi informasi merajai hampir pada
segala bidang kehidupan manusia. Kata kunci utama dalam
memahami kondisi tersebut adalah rasionalitas. Daya akal
(natiqoh) menjadi primer dalam upaya manusia memahami
kondisi zaman. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari
terkoneksinya berbagai macam pemikiran dengan sangat
mudah sehingga kolaborasi pemikiran dalam menciptakan
sebuah produk baru menjadi tidak terbendung.
Miskawaih merupakan filosuf yang rasionalis.
Pemikirannya yang Aristotelian berdampak pada corak
pemikirannya yang seimbang antara rasio dan wahyu. Selain
itu, latar belakang pendidikan Miskawaih yang tercatat
mempelajari berbagai macam ilmu logika seperti
matematika memperkuat pemikirannya yang rasionalis.
Argumentasi utama Miskawaih berkaitan dengan
penggunaan ilmu logika bahwa seseorang yang terbiasa
dengan berpikir secara logis dan matematis, maka ia akan
terbiasa dengan kejujuran dan menyukai kebenaran. Oleh
karena itu, belajar matematika menurut Miskawaih harus
dimulai sejak usia dini sehingga kebiasaan tersebut akan
terbentuk sejak usia dini pula.
Rasionalitas Miskawaih sangat relevan jika digunakan
dalam konteks sekarang. Konsep natiqat alimat yang terbagi
menjadi tiga tingkatan yaitu akal potensial, akal aktual dan
akal perolehan menjadi salah satu konsep Miskawaih dalam
menjelaskan rasionalitasnya. Melalui konsep tersebut,
penjelasan terkait dengan kenabian menjadi terjelaskan dan
rasional. Oleh karena itu, Miskawaih menyebut bahwa
seorang filosuf mampu mencapai tingkatan “nabi” dengan
metode yang berbeda. Nabi di sini tidak mencakup secara
keseluruhan, melainkan sebatas pada perolehan hakikat-
hakikat kebenaran. Jika nabi yang diutus Allah memperoleh
hakikat kebenaran secara langsung dari Allah, maka filosuf
yang mencapai tingkat nabi memperoleh hakikat kebenaran
dengan upaya dan usaha sungguh-sungguh.
Temuan-temuan canggih saat ini seperti teknologi
digital dan bahkan yang terbaru adalah dunia metaverse
dapat dianalisa dari konsep natiqat alimat Miskawaih. Akal
potensial manusia yang terus diaktifkan sehingga menjadi
aktual menjadi perantara dari banyaknya temuan yang
terkadang di luar nalar manusia pada umumnya. Padahal
teknologi digital berasal dari ilmu logika seperti ilmu coding,
php dan lainnya yang bisa dipelajari oleh manusia melalui
akal potensialnya tersebut. Kita tidak pernah
membayangkan terbentuknya komunitas dunia tak terbatas
oleh tempat dan waktu. Faktanya, media sosial dan jaringan
internet mampu membentuk wajah dunia baru.
Saat ini, akal potensial sudah banyak menuju pada akal
aktual manusia dan pada akhirnya manusia mencapai akal
perolehan. Pencapaian terhadap akal perolehan yang masih
jarang dimiliki manusia sesungguhnya berupa hakikat-
hakikat kebenaran. Hakikat kebenaran bersifat tetap,
sedangkan bentuk atau materialnya selalu mengalami
perubahan. Temuan dunia metaverse merupakan gambaran
dari pengaktifan akal manusia pada tingkatan akal aktual.
Hal tersebut dikarenakan metaverse terbatas pada bentuk
material yang dapat terus dikembangkan dan bahkan
dirubah. Produk dari akal aktual tidak bersifat tetap apalagi
kekal. Semua materi dalam dunia ini secanggih apapun
selalu memiliki sifat hancur dan mudah dimusnahkan.
Begitupun juga yang terjadi pada metaverse. Wajah dunia
baru dalam metaverse dengan platform utamanya yaitu
teknologi tetap mensyaratkan pra kondisi pra kondisi yang
harus ada pada penggunanya. Rekayasa dunia metaverse
menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) sangatlah
rasional dalam kacamata filsafat Miskawaih. Inilah yang kita
sebut sebagai rasionalitas kontemporer. Rasionalitas
kontemporer ini harus selalu diimbangi dengan rasionalitas
spiritual agar terhindar dari peniadaan keberadaan Tuhan.
Rasionalitas kontemporer merujuk pada rasio saat ini yang
cenderung dominan pada penggunaan logika sebagai ilmu
dasarnya. Logika selanjutnya melalui ilmu matematika dan
turunannya sampai dengan produk ilmu teknologi
memproduksi peradaban dunia.
Miskawaih memiliki pandangan tentang akhlak yang otentik.
Dasar utama konseptualisasinya berasal dari pandangannya
terhadap peran jiwa manusia. Hal tersebut yang kita sebut sebagai
konsep dasar akhlak yang begitu filosofis. Dalam bab ini, definisi
konseptual berkaitan dengan kata akhlak dan derivasinya dijelaskan
setelah pandangan Miskawaih tentang jiwa manusia dan potensinya.
Urutan tersebut menunjukkan pentingnya argumentasi dasar yang
filosofis korelasinya dengan konstruksi konseptual dari akhlak. Selain
itu, Miskawaih juga mengungkap bagaimana pengaruh agama dalam
pembentukan akhlak yang dijelaskan pada bagian akhir dalam bab
ini.

A. Jiwa Manusia dan Potensinya


Makhluk di alam semesta ini bertingkat-tingkat
keberadaannya. Manusia adalah yang paling mulia di antara
mereka. Maka pembicaraan tentang manusia dan hal-hal yang
menjadi kelebihan mereka dibandingkan makhluk lainnya
menjadi penting. Terlebih karena berbagai macam perbuatan
manusia itu tidak mengangkat derajat mereka lebih tinggi dari
makhluk lainnya kecuali pada hal-hal yang menjadi kekhasan
manusia seperti penguasaan ilmu pengetahuan dan perbuatan
terpuji lainnya. Adapun perbuatan-perbuatan yang juga
dilakukan oleh makhluk lainnya seperti makan, berkembang
biak, tumbuh dan lainnya, hal-hal tersebut tidak akan
mengangkat derajat kemanusiaan mereka.
Tuhan telah menganugerahkan sebuah kekuatan kepada
manusia yang membedakan mereka dengan makhluk lainnya.
Kekuatan itu adalah akal pikiran. Dengan akal manusia dapat
membedakan yang baik dari yang buruk, yang rendah dan yang
agung. Dengan kekuatan dan bimbingan akal manusia dapat
mencapai puncak eksistensinya sebagai manusia. Bahkan lebih
dari itu, mampu mencapai derajat malaikat. Sebaliknya, jika
kekuatan dan bimbingan akal diabaikan, dengan memilih
kelezatan dan syahwat, manusia bisa turun derajatnya bahkan
lebih rendah dari bangsa binatang.
Jika malaikat adalah makhluk Tuhan yang pasti baik, dan
iblis pasti jahat, maka manusia adalah makhluk yang mungkin
baik dan mungkin jahat. Manusia diberi kebebasan memilih. Di
tangan merekalah pencapaian derajat dan kelas kehidupannya.
Taat dan patuh terhadap bimbingan dan kekuatan akal akan
dapat mengangkat mereka kepada derajat tertinggi, dan
sebaliknya abai dan lebih mengedepankan nafsu dan syahwat
akan menurunkan mereka kepada derajat terendah dari
kehidupan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki dua sisi
kehidupan, jiwa dan raga, rohani dan jasmani. Karakteristik dari
jiwa atau ruh bertentangan dengan raga atau badan. Yang
pertama sebagai pengendali dari kekuatan yang kedua. Jasad
atau badan hanyalah media atau alat untuk
mengimplementasikan apa yang dikehendaki oleh jiwa. Jasad itu
laksana pena di tangan seorang penulis, seperti gergaji di tangan
seorang tukang kayu. Jiwa manusia adalah pengendali dan
penanggung jawab dari setiap perbuatan yang muncul dari diri
seorang manusia. Hal inilah yang mendorong Ibnu Maskawaih,
sang filosuf etika Islam, menjadikan jiwa manusia sebagai fokus
kajian filsafat akhlaknya.
Jiwa atau ruh selalu merindukan akhlak yang mulia dan
kenikmatan-kenikmatan maknawi, dan cenderung kepada
kebijaksanaan dan ma’rifat ilahi serta menghindari kenikmatan-
kenikmatan jasadi. Adapun jasad atau badan sesuai wataknya
cenderung kepada syahwat materi dan kelezatan duniawi.
Jiwa manusia memiliki 3 daya, yaitu daya pikir (al-quwwah
an-natiqah), daya emosi (al-quwwah al-ghadhabiyah) dan daya
keinginan (al-quwwah asy-syahwiyah). Ketiga daya tersebut
masing-masing memiliki perbedaan tugas, level dan keutamaan
yang ditimbulkannya. Berikut ini penjelasannya:
1. Daya Pikir
a. Tugas utamanya adalah berfikir dan mengamati berbagai
hal, dan pada gilirannya membedakan yang baik dari
yang buruk, yang benar dari yang salah.
b. Daya pikir menempati posisi yang mulia di antara daya
yang lainnya. Daya pikir inilah yang menjadi penentu dari
kemanusiaan seseorang. Dengan daya ini seorang
manusia dapat mencapai derajat malaikat dan sekaligus
menjadi pembeda antara manusia dengan bangsa
binatang.
c. Keutamaan yang tumbuh dari pengelolaan yang baik
terhadap daya pikir ini adalah hikmah atau kebijaksanaan.
2. Daya emosi
a. Tugas utamanya adalah menumbuhkan emosi,
keberanian, ketangguhan dalam menghadapi rasa takut,
keinginan berkuasa, dan kehormatan.
b. Levelnya berada di tengah antara daya pikir dan daya
keinginan atau syahwat.
c. Keutamaan yang tumbuh dari pengelolaan yang baik
terhadap daya emosi ini adalah sifat pemberani
(syaja’ah).
3. Daya keinginan
a. Tugas utamanya adalah mencari makan, hasrat terhadap
kenikmatan-kenikmatan duniawi yang bersumber pada
makanan, minuman dan pakaian, dan juga kenikmatan-
kenikmatan ragawi lainnya.
b. Daya keinginan ini menempati posisi terendah. Daya ini
juga sering disebut dengan daya kebinatangan
(bahimiyah), yang menunjukkan rendahnya level daya ini
dalam konteks kehidupan manusia.
c. Keutamaan yang tumbuh dari pengendalian yang baik
terhadap daya syahwat ini adalah kesederhanaan (al-
‘ifah).
Ketiga daya tersebut kadang menguat dan kadang
melemah. Kesuksesan hidup manusia tergantung dari manajerial
yang bagus terhadap ketiga daya di atas. Agar keseimbangan
(‘adalah) terwujud, maka kepemimpinan dan pengendalian
harus berada pada daya pikir. Jadi daya emosi dan daya
keinginan harus tunduk dan berada dalam kendali daya pikir.
Bukan untuk dimatikan atau dinafikan, tapi dikendalikan. Daya
emosi jika dikelola dengan baik akan dapat membantu daya pikir
dalam mengendalikan daya keinginan. Syahwat atau keinginan
merupakan kekuatan yang paling sulit dikendalikan. Ia terlahir
bersamaan dengan manusia dilahirkan.
Apa sebenarnya hikmah dari adanya daya syahwat yang
keberadaannya sering mencelakakan manusia ini. Jawabannya
adalah, syahwat ini akan jadi tercela manakala melampaui batas
keseimbangan dan membangkang perintah dari daya pikir. Jika
syahwat atau keinginan ini dikelola dan dipenuhi sesuai dengan
jalan yang baik maka akan dapat menjadi media bagi seseorang
untuk memperoleh kebahagiaan abadi yang hakiki.
Penjelasannya adalah bahwa kebahagiaan ukhrawi yang hakiki
hanya bisa didapat dengan penghambaan (ibadah). Ibadah
dapat ditunaikan dengan baik dalam kehidupan duniawi yang
baik. Kehidupan duniawi ini hanya bisa terwujud dengan cara
menjaga badan yang juga hanya bisa didapat dengan
dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasad seperti makanan,
pakaian dan lainnya. Makan bisa dilakukan didasari oleh syahwat
atau keinginan. Begitupun keinginan-keinginan duniawi lainnya
seperti seks, pakaian dan lainnya. Hubungan seks tidaklah
dilarang asal sesuai dengan aturan mainnya, bahkan bisa jadi
amal ibadah jika syaratnya terpenuhi. Yang dilarang adalah
hubungan seks dengan cara yang melanggar aturan moral dan
agama, seperti seks di luar nikah dan lainnya. Inilah makna yang
terkandung dalam firman Allah di Surat Al Imran ayat 14:

‫ُزِي َن لِلنَّ ِاس ُح ُّب الشَّ هَو ِت ِم َن ِالن َسا ِء َوالْ َبنِ ْ َْي َوالْقَنَا ِط ْ ِْي الْ ُمقَ ْن َط َر ِة ِم َن ا َّذله َِب‬
ُ ‫َوالْ ِفضَّ ِة َوالْ َخ ْيلِ الْ ُم َس َّو َم ِة َو ْ َاْلنْ َعا ِم َوالْ َح ْر ِث ۗ ذ ِ َِل َمتَا ُع الْ َحيو ِة ادلُّ نْ َيا َۗو‬
‫الل ِع ْندَ ه‬
‫ُح ْس ُن الْ َما ِب‬
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).

Di sisi yang lain, terutama untuk kalangan awam, syahwat


duniawi ini menjadi motivasi bagi mereka dalam mengabdi
kepada Allah. Hal ini tergambar dalam cerita tentang
kenikmatan-kenikmatan empirik surga seperti buah-buahan,
makanan lezat, bidadari, dan lainnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
kenikmatan empirik inilah yang mudah dipahami oleh mayoritas
umat manusia. Dan hanya kelompok khawash atau khawash al-
khawash yang dapat memahami kenikmatan hakiki non empirik
yang tergambar dalam hadis Nabi tentang surga; tidak pernah
ada mata yang melihatnya, telinga mendengarnya, dan bahkan
juga tidak pernah terdetak dalam hati seorangpun.

B. Pengertian Akhlak
Dalam bahasa arab ada dua kosa kata yang mirip; khalq
(ٌ‫ٌٌ)خ َْلق‬dan khuluq (ٌ‫) ُخلُق‬. Keduanya menjadi sifat dasar manusia.
Kedua kosa kata yang hampir sama dalam pengucapan tadi
memiliki makna yang berbeda; khalq adalah gambaran fisik yang
dapat diindra, sementara khuluq adalah bersifat batini dan
merupakan gambaran atau karakteristik jiwa manusia. Kata
khuluq inilah yang kemudian dijamakkan menjadi akhlaq. Dari
segi katanya, akhlak biasa disandingkan dengan istilah karakter,
etika dan moral. Istilah-istilah tersebut memiliki kesamaan dalam
klasifikasi dua kutub yaitu baik dan buruk sehingga kita bisa
menyebut akhlak baik, karakter baik, atau etika baik dan
sebaliknya. Perbedaannya terletak pada ukuran yang digunakan
dalam menentukan posisi baik dan buruk. Akhlak menggunakan
timbangan yang bersumber pada al Qur’an dan Hadist.
Dalam tahdzib al Akhlak, Miskawaih mendefinisikan akhlak
secara istilah sebagai berikut:
‫اخللق هو حال للنفس داعية لها اىل أفعالها بدون فكر وْل روية‬
Artinya akhlak adalah sebuah sikap mental yang
mempunyai daya dorong untuk berbuat tanpa dipikir panjang
dan tanpa ditimbang-timbang. Pengertian ini merujuk pada sikap
yang secara otomatis menyatu dalam tindakan dan tidak
melibatkan proses berpikir. Oleh karena itu disebut sebagai
sikap mental. Contohnya adalah ketika kita bertemu dengan
pengamen di jalan, keputusan untuk memberi atau tidak
memberi uang secara langsung akan muncul dalam tindakan.
Jika perilaku yang muncul adalah memberi, maka ia telah
bersikap dermawan. Sampai pada titik ini, pengklasifikasian
apakah termasuk akhlak baik atau buruk tidak dapat dimonopoli
oleh satu pihak tertentu karena jika kita masuk dalam
kompleksitas baik dan buruk, maka kita sudah masuk dalam
ranah etika dan moral. Kita tidak sedang membahas etika dan
moral sehingga cukup digambarkan perilaku yang termasuk
dalam akhlak, terlepas dari baik atau buruk.
Selanjutnya, istilah akhlak memuat dua unsur penting yaitu
sikap mental dan tindakan spontan. Berikut penjelasan
singkatnya:
a. Sikap mental
Sikap mental adalah sebuah kondisi jiwa yang
menggambarkan kesediaan dan kesiapannya untuk berbuat
sesuatu, baik ataupun buruk. Jadi akhlak bukan sekedar
berbuat. Bisa jadi seseorang berakhlak dermawan padahal
dia tidak memberi, mungkin karena sesuatu dan lain hal.
Sebaliknya bisa jadi seseorang rajin memberi bantuan tapi
dia bukan dermawan, sebab dia memberi karena riya atau
pamer. Dan akhlak juga bukan sekedar kemampuan untuk
berbuat. Sebab setiap individu pada hakekatnya tercipta
dan memiliki kemampuan tersebut. Akhlak juga bukan
gambaran dari pengetahuan. Sebab pengetahuan itu netral.
Akhlak adalah gambaran dari sikap mental yang sudah
terbentuk dan menjadi karakter jiwa.
b. Tindakan spontan (Direct Action)
Tindakan spontan (direct action) ditandai oleh tindakan
yang tidak melalui pertimbangan. Artinya berbuat sesuatu
dengan enteng dan mudah atau cepat tanpa ada
keterpaksaan. Sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai
akhlak yang mulia jika perbuatan mulia tersebut dilakukan
dengan enteng dan tanpa ragu-ragu. Untuk menciptakan
karakter ini dibutuhkan latihan dan pembiasaan. Kedua
proses inilah yang mempengaruhi pembentukan akhlak.
Proses pembentukan akhlak dengan latihan dan
pembiasaan ini menunjukkan bahwa akhlak adalah sifat
yang bisa berubah dan diusahakan. Seseorang dapat
dibentuk dengan pendidikan, nasihat, latihan dan
pembiasaan. Hal ini sejalan dengan berbagai teori
pendidikan Islam, di mana pribadi-pribadi muslim dapat
dibentuk dengan berbagai cara (Miskawaih, 1985, p. 21).
Dari dua kata kunci tersebut, akhlak menurut Miskawaih
memiliki sifat dasar yang tidak tetap. Sikap mental dan tindakan
spontan ini muncul secara otomatis dari manusia karena sudah
menjadi akhlak. Otomatisasi ini juga dapat disebut dengan
karakter. Selain itu, akhlak juga lebih mengarah pada afeksi,
bukan kognitif dan juga psikomotorik. Hal tersebut
berkonsekuensi pada penilaian akhlak tidak dapat dinilai secara
kognitif, melainkan bentuk perilaku dan sandaran nilainya
sehingga pengkategorian akhlak yang baik dan buruk selalu
dilihat dari dua hal yaitu bentuk perilaku dan sandaran nilai. Jika
kedua bentuk ini sesuai, maka sudah dapat ditentukan
pengkategoriannya.
Dari segi penggunaannya, kata akhlak cenderung dimaknai
secara positif yaitu perilaku baik yang muncul dalam diri
seseorang. Kalimat “kalian itu harus punya akhlak” tanpa
menggunakan kata “akhlak baik” sudah cukup mafhum bahwa
yang dimaksud pada kata akhlak adalah akhlak baik. Contoh
lainnya adalah kalimat negatif “kamu memang tidak berakhlak”.
Kalimat negatif tersebut memfungsikan kata akhlak dengan arti
yang positif. Kata pendidikan akhlak berarti melatih jiwa pada
kebaikan.

C. Apakah Akhlak dapat berubah?


Definisi akhlak Miskawaih yang bertumpu pada dua kata
kunci yaitu sikap mental dan perilaku spontan dapat dibentuk
sejak dini. Miskawaih tidak menganggap bahwa akhlak selalu
diwarisi dari darah dan keturunan sehingga bertahan lama,
melainkan akhlak dapat dilatih dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik lingkungan maupun pendidikan di sekitarnya. Artinya
akhlak dapat berubah dengan cara dirubah sebagaimana
karakter. Perubahan akhlak ini melibatkan pengetahuan,
penghayatan dan juga pembiasaan-pembiasaan tertentu secara
bersamaan. Akhlak yang sudah dihayati, diketahui, dan
dibiasakan secara mendalam akan mempengaruhi sulitnya
perubahan yang dilakukan. Sebut saja kebiasaan yang kita
lakukan cenderung mudah dirubah jika kebiasaan tersebut tidak
memiliki kedalaman perilaku. Sebaliknya, kebiasaan akan sulit
dirubah jika kita telah terbiasa melakukan sehingga terpatri
dalam karakter kita sehari-hari. Namun demikian, tidak dapat
diartikan bahwa karakter tersebut tidak dapat dirubah.
Ibnu Maskawaih dalam sebuah kesempatan menegaskan
bahwa jiwa seorang bocah itu bersih bersahaja dan belum
terbentuk dengan format tertentu. Jiwa seorang bayi itu tidak
memiliki kecenderungan terhadap sesuatu. Pada masa
pertumbuhannya kemudian terukir berbagai hal dan dia menjadi
tumbuh dan terbiasa dengan keadaan-keadaan tersebut. Akhlak
seorang anak bukanlah warisan dari bapaknya. Akhlak tidaklah
bersifat natural warisan orang tua, tegas Ibnu Maskawaih.
Hanya saja setelah ungkapan tersebut Ibnu Maskawaih segera
menegaskan bahwa seorang bocah pada awal masa
pertumbuhannya kebanyakan cenderung buruk laku. Seorang
bocah cenderung untuk berbohong dan menceritakan hal-hal
yang belum pernah ia dengar dan ia lihat. Kita tidak tahu dari
mana munculnya kecenderungan buruk ini.
Pendapat Ibnu Maskawaih di atas terlihat kontradiktif.
Muhammad Yusuf Musa mencoba mendamaikan pemikiran Ibnu
Maskawaih tersebut, ia sampai pada kesimpulan bahwa semua
pihak meyakini bahwa ada unsur-unsur dalam tradisi dan akhlak
yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya. (Musa, 1963).
Anasir akhlak yang diwariskan oleh orang tua tidak menafikan
kondisi fitrah manusia yang bersih dan siap menerima polesan.
Akhlak yang diwarisi oleh anak dari orang tuanya sangat lemah
dan mudah hilang. Terlebih jika kemudian tidak ada pembinaan
(As Ashfahani, 1987). Artinya, pendapat Miskawaih hampir
senada dengan aliran konvergensi dalam psikologi bahwa
perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor bawaan dan
lingkungan sekaligus begitu juga akhlak.
Perubahan akhlak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
dapat dilatih dengan perencanaan yang matang. Ini yang kita
sebut sebagai pendidikan akhlak. Sayangnya, mengubah akhlak
tidak semudah mengubah pemahaman kognitif. Satu satunya
metode yang paling efektif agar terjadi perubahan akhlak adalah
pembiasaan. Pembiasaan ini selalu diawali dengan niat yang
sungguh-sungguh sehingga internalisasi akhlak memiliki pondasi
yang kuat dan dapat bertahan lama. Artinya, perubahan akhlak
tidak mungkin terjadi jika seorang anak hanya diberi ceramah.
Adapun metode pendukung yang paling kuat selain pembiasaan
adalah keteladanan. Keteladanan ini melahirkan imitasi yaitu apa
yang dilihat oleh anak, itulah yang akan ditiru. Oleh karena itu,
dalam konteks pendidikan akhlak di sekolah, hal yang paling
utama adalah memberi contoh perilaku baik di depan anak.
Lalu bagaimana cara merubah akhlak yang sudah terlanjur
buruk pada anak? Kita harus memiliki standar tertentu dalam
menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk baik
atau buruk. Jika sudah ditentukan, kita baru menentukan cara
yang tepat untuk merubah akhlak tersebut. Misalnya terdapat
anak yang suka berbohong, maka cara yang paling baik adalah
menunjukkan akibat buruk dari berbohong secara langsung
sampai anak merasakan dampaknya. Cara tersebut jika dilakukan
secara terus menerus akan menjadikan anak berubah dan
menyadari akibat dari berbohong.
Lain halnya jika yang kita hadapi adalah orang dewasa.
Tentu metode yang digunakan juga berbeda dan cenderung
lebih sulit. Contoh yang paling nyata adalah koruptor yang
dilakukan oleh orang dewasa, berpendidikan dan bahkan
berilmu. Sayangnya ilmunya digunakan untuk hal buruk. Kasus
seperti ini cukup sulit ditangani tanpa ada kesadaran dan niat
yang kuat dari para koruptor. Mengapa demikian? Hal tersebut
terjadi karena mereka telah membangun argumentasi yang kuat
bahwa tindakan mereka itu sudah benar.
Pembenaran tindakan biasanya cukup untuk digunakan
sebagai tameng bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak
buruk. Hasilnya adalah uang hasil korupsi digunakan sebagian
kecilnya untuk bersedekah. Tentu bangunan argumentasi
kebenaran dan kebaikan tersebut tidaklah bersandar pada nilai-
nilai moral tertentu melainkan kebenaran dan kebaikan yang
bersifat subjektif. Oleh karena itu, penting sekali untuk
mempelajari standar moral dan sumber-sumber ukurannya.

D. Standar Moral
Standar moral adalah aturan yang dipergunakan untuk
mengukur nilai perilaku akhlak. Para filosuf dan pengkaji akhlak
berbeda-beda dalam penggunaan standar ini. Sebagian orang
menggunakan adat dan tradisi dalam kelompoknya menjadi
standar untuk menilai baik dan buruknya sebuah perilaku. Apa
yang dalam tradisi mereka baik maka baik secara moral, dan
sebaliknya yang buruk pun begitu. Sebagian yang lain
memposisikan hukum positif sebagai rujukan. Ada juga yang
menjadikan hukum agama sebagai standar mereka. Bahkan ada
yang merujuk hanya kepada pendapat pribadinya, bukan kepada
norma-norma umum.
Perbedaan mengenai ukuran yang digunakan dalam
menentukan baik dan buruk inilah yang terkadang menjadi
masalah tersendiri. Contohnya, dari sudut pandang agama,
menikah lebih dari satu atau poligami diperbolehkan. Akan
tetapi, masyarakat di Indonesia umumnya memandang poligami
sebagai hal tabu dan bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat sekitar sehingga poligami menjadi hal yang tidak
baik dilakukan. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber
ukuran yang saling menguatkan seperti hukum agama
menguatkan tradisi dan juga sebaliknya. Contohnya adalah
kebiasaan di Jawa saat kedatangan tamu adalah menyambutnya
dengan hangat dan selalu disediakan makanan kecil, bahkan ada
yang mewajibkan kepada tamunya untuk makan. Tradisi
tersebut sangat sesuai dengan norma agama yang mengajarkan
bagaimana harus memuliakan tamu (ikrom ad duyuf). Artinya,
nilai kebaikannya menjadi semakin kuat karena didukung dari
dua sumber norma sekaligus norma agama dan norma budaya.
Ukuran atau standar dalam menilai perilaku disebut juga
sebagai (qanun) hukum atau undang-undang. Hukum dan
undang-undang di sini lebih diartikan sebagai suatu konsep yang
filosofis bukan dimaknai secara praktis. Secara lebih spesifik,
berikut penjelasan standar moral yang digunakan untuk
mengukur tingkatan akhlak seseorang yaitu hukum alam, hukum
positif, hukum akhlak/moral dan hukum Tuhan.
1. Hukum alam
Hukum alam adalah aturan main yang berlaku di alam
semesta dan menjadi mekanisme kerja alam. Banyak ayat-
ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hukum alam ini, di
antaranya firman Allah dalam Surat Yasin ayat 37:

َ ‫َو َءاي َ ٌة ل َّ ُه ُم أل َّ ْي ُل ن َ ْسلَخُ ِمنْ ُه ألَّنَّ َ َار فَا َذا ُُه ُّم ْظ ِل ُم‬
‫ون‬
Dan suatu
ِ
tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi
mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari
malam itu, maka dengan serta merta mereka berada
dalam kegelapan.

Hukum alam ini meliputi berbagai tatanan yang dapat


dikenali oleh akal manusia dengan pembuktian empiris dan
eksperimen empiris. Seperti hukum gravitasi bumi, hukum
membekunya air pada suhu di bawah 0 derajat celcius,
memuainya logam pada panas sekian derajat dan lainnya.
Karakteristik khusus dari hukum alam ini adalah
konstan dan tidak berubah, berlaku umum, tahu ataupun
tidak tahu semua terkena hukum ini, dan ia hanya
menjelaskan fenomena alam saja. Kewajiban manusia
adalah mengenali hukum ini untuk kepentingan kemajuan
dan kebahagiaan mereka. Dan ilmu akhlak tidak terkait
langsung dengan hukum alam ini.
Meskipun tidak terkait langsung dengan akhlak,
hukum alam sering dijadikan sebagai sumber utama
kebijaksanaan dengan menjadikan peristiwa alam sebagai
sarana mendekatkan dengan Tuhan, merefleksikan diri
dengan melihat sifat-sifat alam dan lain sebagainya. Sifat-
sifat binatang bahkan dijadikan sebagai antitesa bagaimana
seharusnya manusia bersikap. Sifat berani yang penuh
perhitungan seperti yang dimiliki oleh Harimau oleh karena
ingatan dan penglihatannya yang tajam dijadikan sebagai
inspirasi sifat syaja’ah manusia.
Kebijaksanaan dari hukum alam seperti waktu terbit
dan terbenamnya matahari menginspirasi manusia untuk
bersikap disiplin sebagaimana matahari. Saat matahari
terbit, kita semestinya beranjak untuk bekerja dan saat
matahari terbenam berarti sudah saatnya kita beristirahat.
Contoh lain adalah meletusnya gunung berapi. Peristiwa
tersebut memberi banyak dampak pada kehidupan manusia
di sekitarnya termasuk banyaknya hikmah yang dapat
diambil. Peristiwa banjir, longsor dan lainnya memberi
petunjuk bagaimana akhlak kita seharusnya terhadap alam
dan lingkungan sekitar. Artinya, hukum alam dapat menjadi
standar sekaligus sumber dari akhlak manusia.
2. Hukum positif
Hukum ini adalah sekumpulan aturan yang berupa
perintah dan larangan yang dibuat sendiri oleh manusia
untuk mengatur berbagai kepentingan mereka. Masing-
masing bangsa memiliki hukum positifnya sendiri. Mereka
menyusunnya lewat tangan pemerintah atau lembaga-
lembaga lainnya. Hukum ini mereka jadikan sebagai aturan
main dan standar yang mengatur dan mengendalikan
perilaku mereka dalam hidup bermasyarakat.
Karakteristik dari hukum positif ini adalah: 1) tidak
hanya menjelaskan fenomena kehidupan saja, tapi juga
berfungsi mengendalikan, memerintah dan juga melarang,
2) hukum ini bisa berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya. 3) berlaku hanya bagi orang
yang tahu tentang hukum tersebut, dan 4) terdapat peluang
untuk dilawan dengan aturan yang berbeda. Dengan
karakteristiknya yang mudah berubah dan rentan
perbedaan antara satu bangsa dengan lainnya, maka hukum
positif seperti ini tidaklah cocok untuk dijadikan sebagai
standar moral yang berlaku universal.
Hukum positif dari segi fungsinya biasa digunakan
untuk membangun suatu sistem yang terbatas pada wilayah
tertentu tergantung bentuk hukum positif tersebut. UUD
1945 menjadi salah satu contoh dari hukum positif yang
sedang berlaku untuk wilayah Indonesia. Peraturan daerah
berlaku untuk daerah tertentu. Hukum positif yang
demikian kendali utamanya adalah pemerintah sebagai
eksekutor. Sejauh mana hukum positif itu mengakomodir
nilai-nilai universal dan dapat diterapkan sesuai dengan
bunyi setiap peraturan, sejauh itulah unsur-unsur moral
dapat diterima. Oleh karena itu, meskipun secara tekstual
hukum positif yang memuat nilai-nilai moral tertentu
memungkinkan untuk dijadikan sebagai standar moral,
namun demikian tidak dapat diandalkan secara penuh.
3. Hukum akhlak/moral
Hukum ini adalah sekumpulan aturan moral etis yang
mengatur perilaku manusia. Seorang yang berakal dan
memiliki kebebasan harus mengikuti aturan main dari
hukum moral ini dalam berbuat. Dengan begitu manusia
dapat mencapai derajat tertinggi dalam kehidupannya.
Karakteristik dari hukum moral ini adalah:
a. Tetap dan tidak berubah-ubah.
b. Berlaku absolut tanpa pengecualian.
c. Universal. Berlaku sama untuk orang pandai dan bodoh,
orang desa dan kota.
d. Bersifat mengikat secara moral, tanpa paksaan.
e. Cocok dalam semua kondisi sosial.
Contoh hukum moral ini seperti yang berlaku pada
masyarakat desa. Pada umumnya, ketika ada salah satu
warga hendak berpindah rumah, maka warga yang lain di
sekitarnya ikut serta membantu apa yang perlu dibantu.
Secara moral, masyarakat telah terikat dengan sikap gotong
royong ini sehingga ketika tidak dilakukan maka akan
muncul rasa “pekewuh”. Rasa “pekewuh” inilah yang
dimaksud sebagai hukum moral yang mengikat tetapi
sebenarnya tidak wajib dilakukan. Hal tersebut dikarenakan
hukum moral tidak tertulis dan bersifat memaksa
sebagaimana hukum positif.
Berikut ini beberapa perbedaan antara hukum positif
dengan hukum moral:
a. Hukum positif adalah bikinan manusia yang didasarkan
situasi dan kondisi kehidupan yang dinamis, sementara
hukum moral bersumber dari akal dan hati nurani.
b. Hukum positif dapat berubah-ubah sesuai dengan
kondisi, sementara hukum moral bersifat tetap dan tidak
berubah-ubah.
c. Hukum positif bisa menjadi aturan yang tidak baik
manakala mencederai kemaslahatan bersama, sementara
hukum moral pasti senantiasa baik dan cocok untuk
manusia.
d. Hukum positif hanya mengatur perbuatan-perbuatan
yang terlihat dalam tataran lahir, sementara hukum
moral menilai perbuatan sampai ke motif di belakangnya.
e. Dalam penerapannya hukum positif membutuhkan
lembaga kehakiman, hakim, jaksa, dan juga penjara.
Sementara pengawal penerapan hukum moral adalah
akal dan hati nurani.
f. Hukum positif biasanya mengatur hanya hal-hal
mendasar yang menjadi pilar keberlangsungan
kehidupan masyarakat, seperti menjaga kehormatan jiwa
dan keamanan harta benda. Sementara itu hukum moral
di samping mengatur hal-hal yang bersifat primer dan
mendasar, juga mengatur hal-hal yang sekunder bahkan
tersier. Hukum positif misalnya melarang pencurian, tapi
tidak mengatur bagaimana seseorang membelanjakan
hartanya untuk kepentingan pribadi atau masyarakat.
Hukum moral memerintahkan segenap individu untuk
peduli terhadap sesama, membelanjakan hartanya bukan
hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga kepentingan
sosial.
g. Hukum positif tidak memberikan reward untuk pihak
yang taat, hanya akan menghukum orang yang
melanggarnya. Sementara hukum moral memberikan
balasan untuk orang yang mentaatinya dengan diberikan
kehormatan, ketenangan jiwa, dan kelegowoan. Dan
sebaliknya bagi orang yang melanggar hukum moral dia
akan mendapatkan kegelisahan dan ketidaktenangan
hati.
Adapun hukum moral ini memiliki banyak sumber nilai
yang dapat diberlakukan oleh masyarakat hanya dengan
modal akal sehat dan keterbukaan terhadap kebaikan dan
kebenaran. Sumber nilai tersebut dapat berasal dari ajaran
agama dan adat istiadat turun temurun. Oleh karena itu,
hukum moral ini sesuai jika dijadikan sebagai standar moral
yang bersifat universal. Argumentasi utamanya adalah
hukum moral mengarah pada meningkatnya peradaban
manusia melalui temuan-temuan kebijaksanaannya dari
dalam akal dan jiwa manusia.
4. Hukum Tuhan
Hukum Tuhan ini berisi perintah dan larangan yang
telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya.
Hukum ini diturunkan oleh Tuhan untuk dijadikan tuntunan
dalam segala urusan, panduan dalam setiap langkah.
Mengikuti dan mematuhi hukum Tuhan ini jaminan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hukum Tuhan ini tetap dan tidak berubah-ubah,
berlaku umum dan abadi, cocok untuk tiap kurun waktu dan
semua bangsa manusia. Dengan karakteristik ini, hukum
Tuhan sangat cocok untuk dijadikan sebagai standar moral
manusia.
Dari penjelasan tentang empat macam hukum di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa dua yang pertama; hukum alam dan
hukum positif dengan berbagai karakteristiknya tidak bisa
dijadikan sebagai standar moralitas manusia. Dan dua lainnya;
hukum moral dan hukum Tuhan, keduanya layak untuk dijadikan
sebagai standar moralitas manusia. Antara hukum moral rasional
dan hukum Tuhan ini idealnya saling melengkapi dan ada
harmoni. Kondisi ideal ini dapat tercipta manakala manusia
mampu dengan benar memposisikan keduanya pada posisi yang
tepat.
Akal manusia sebagai produsen hukum moral sangat hebat
dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Akal manusia dapat
memahami tentang baik dan buruk, dan bahkan juga dapat
mencapai ma’rifatullah. Akan tetapi akal manusia tetap memiliki
keterbatasan. Ada area-area yang tidak dapat dijangkau akal.
Informasi tentang keadaan akhirat, surga dan neraka, alam
barzah, dan juga informasi tentang teknis-teknis peribadatan,
kesemuanya itu di luar jangkauan akal manusia. Di sinilah agama
samawi yang bersumber dari wahyu Tuhan berperan penting
menyampaikan berbagai informasi tersebut.2 Kolaborasi
harmonis antara kekuatan akal manusia dengan wahyu Tuhan

2
Ibnu Thufeil memetakan dengan apik kemampuan hebat akal manusia dan
keterbatasannya, peran penting wahyu, dalam kisah epiknya Hayyu bin Yaqzan. Dalam kisah ini
digambarkan dengan jelas bagaimana kemampuan akal manusia dapat mencapai puncak
pengetahuannya dalam sosok Hayyu bin Yaqzan yang sejak bayi diasuh oleh seekor rusa betina,
dan sampai dewasa tidak pernah bertemu orang lain. Dia belajar mandiri dari alam sekitar. Hingga
setelah dewasa Hayyu bertemu dengan 2 tokoh agama Salman dan Absal. Keduanya memberikan
informasi tentang peribadatan ala Islam, shalat, haji, puasa dan lainnya, yang sebelumnya tidak
pernah diketahui oleh Hayyu. Juga berbagai informasi tentang kehidupan setelah mati atau alam
akhirat. Di sinilah nampak keterbatasan akal manusia, dan dilengkapi menjadi semakin sempurna
kemnusiaan seseorang dengan berbagai info dari wahyu Tuhan.
akan menghasilkan sebuah pemahaman keagamaan yang ideal.
Dalam tradisi filsafat Islam, rasio diposisikan sebagai alat untuk
memahami ajaran wahyu, membantu umat Islam agar
memahami ajaran agamanya sehingga semakin mantap dan
terhindar dari pemahaman yang keliru (‫ )خطأٌ ٌالفهم‬atau
pemahaman yang buruk (‫ )سوءٌ ٌالفهم‬terhadap ajaran-ajaran
agama.3

E. Agama dan Pengaruhnya Terhadap Akhlak


Dalam kacamata Miskawaih, penggunaan rasio dalam
memahami agama secara proporsional berdampak pada posisi
agama terhadap konsep akhlak. Pemahaman agama yang baik
dapat terwujud jika penggunaan rasio terhadap agama
dilakukan secara seimbang. Ajaran agama yang bersumber pada
al Qur’an dan Hadist tidak dipahami secara tekstual, melainkan
harus kontekstual. Pun, agama tidak dapat dipahami tanpa
melalui penalaran terlebih dahulu. Jika agama dipahami secara
langsung tidak melalui penalaran manusia, maka pemahaman
agama yang muncul kemudian adalah paham agama yang
ekstrim dan radikal.
Agama dalam konteks akhlak dapat dijadikan sebagai
standar moral yang memungkinkan manusia dapat memilah
secara jelas tindakan baik dan tindakan buruk. Agama memberi
pondasi kuat terhadap konseptualisasi akhlak baik (akhlak al
karimah) melalui teladan yang muncul dalam diri nabi
Muhammad. Standar akhlak baik yang ditunjukkan dari teladan

3
ٌ ٌ Istilah ini dipakai oleh Muhammad Iqbal ketika mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan besar apa sebetulnya yang membuat umat Islam tertinggal. Iqbal menegaskan bahwa
umat Islam terjangkit penyakit jumud, statis, mandeg. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang
salah terhadap ajaran-ajaran agama, atau kalaupun tidak salah, pemahaman mereka buruk.
Solusinya adalah dinamisasi ajaran Islam, kata Iqbal.
Nabi Muhammad inilah yang disebut sebagai standar moral
menggunakan standar agama.
Secara spesifik, pengaruh agama terhadap konseptualisasi
akhlak dapat dijelaskan dalam tiga hal, pertama, akhlak yang
bersumber pada nilai-nilai ajaran agama lebih universal
dibandingkan dengan akhlak yang bersumber pada nilai-nilai
tradisi ataupun hukum positif. Mengapa demikian? Hal tersebut
dikarenakan nilai tradisi dan hukum positif berasal dari ijtihad
manusia, sedangkan agama berasal dari teladan Nabi
Muhammad sebagai manusia paling sempurna. Sedangkan, kita
tidak dapat menolak bahwa Nabi Muhammad merupakan
gambaran sempurna dari ajaran-ajaran yang ada dalam al
Qur’an. Universalitas akhlak oleh sebab agama dibuktikan
dengan banyaknya klasifikasi kebaikan yang tidak membatasi
penggunaannya pada umat tertentu. Dalam makna lain,
siapapun yang menyandarkan akhlak terhadap ajaran agama
maka dapat diterima standarnya oleh masyarakat dunia.
Kedua, akhlak yang merupakan suatu perilaku yang melekat
dalam diri seseorang lebih sempurna dari bangunan etikanya.
Kesempurnaan akhlak tersebut disebabkan oleh sandarannya
terhadap agama. Sebagaimana yang kita pahami, agama
bersumber pada wahyu yang terjamin kebenarannya dan
menjadikan manusia memiliki derajat yang lebih tinggi.
Sempurnanya akhlak menunjukkan tingginya peradaban pada
para pelakunya.
Ketiga, akhlak dalam tingkatan tertentu menjadikan
seseorang mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) hakiki oleh
karena tingkatan tertinggi dari akhlak adalah meleburnya dan
menirunya manusia terhadap sifat-sifat Tuhannya. Dalam bahasa
sederhana dan contoh yang paling mudah dicerna adalah para
sufi. Hal tersebut terjadi oleh karena pengaruh dari agama
terhadap akhlak. Jadi, sangat wajar jika akhlak tanpa diberi
keterangan karimah atau mahmudah sudah menunjukkan
dengan sendirinya dan jauh dari makna akhlak yang diberi
keterangan madzmumah (buruk).
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa agama
melalui sumber-sumber ajarannya berpengaruh terhadap akhlak.
Dalam Islam, sumber-sumber ajaran yang dimaksud adalah al Qur’an,
Hadist dan pandangan para ulama. Al Qur’an dan hadist sebagai
sumber utama dalam ajaran Islam, sedangkan pandangan ulama
merupakan buah dari pengalaman dan tafsirnya terhadap kedua
sumber utama tersebut. Dari sumber-sumber tersebut, akhlak
menjadi terjelaskan dari segi konseptualisasinya. Dalam bab ini,
penjelasan akhlak dalam al Qur’an, hadist dan pendapat ulama
berlandaskan pada asumsi-asumsi akhlak dari Miskawaih.

A. Akhlak dalam Al-Qur’an


Sumber yang paling utama berkaitan dengan akhlak dalam
Islam adalah al Qur’an. Al Qur’an menjadi kitab suci yang
berfungsi sebagai pedoman hidup dan petunjuk termasuk dalam
bagaimana manusia seharusnya berperilaku. Akhlak dalam al
Qur’an telah diatur sedemikian rupa dan lengkap dari mulai
bagaimana seharusnya perilaku manusia terhadap Tuhannya,
alam semesta dan sesama manusia. Sasaran utama seruan al
Qur’an adalah manusia secara umum dan umat Islam secara
khusus. Artinya, manusia sudah seharusnya memiliki perilaku
sesuai dengan tugas yang diembannya di dunia yaitu sebagai
khalifah. Dalam surat al Baqarah ayat 30 dijelaskan tugas utama
yang diemban manusia:
‫َو ِا ْذ قَا َل َرب ُّ َك لِلْ َملى َك ِة ِ ِْاّن َجا ِع ٌل ِِف ْ َاْل ْر ِض َخ ِل ْي َف ًة ۗ قَالُ ْوا َا َ َْت َع ُل ِفْيْ َا َم ْن ي ُّ ْف ِسدُ ِفْيْ َا‬
‫َوي َْس ِف ُك ِادل َما َء َو َ ِ َْن ُن ن ُ َس ب ُِح ِ َِب ْم ِدكَ َونُقَ ِد ُس َ َِل ۗ قَا َل ِا ِ ْ يّن َا ْع َ َُل َما َْل تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".

Sebagai khalifah, manusia diberi bekal untuk menjalankan


tugasnya seperti akal, ruh dan jasad. Perpaduan tiga dimensi
tersebut menjadi dasar awal dari terjadinya keseimbangan
dalam diri manusia. Salah satu keseimbangan tersebut adalah
memiliki perilaku yang sesuai dengan perintah Allah. Akhlak
yang dimiliki oleh manusia mencegah dari terjadinya kerusakan
di dunia sebagaimana yang diasumsikan oleh para malaikat.
Sebagaimana penjelasan dalam bab sebelumnya, akhlak
bukanlah sesuatu yang paten dan tidak bisa dirubah. Akhlak juga
bukan warisan dari orang tuanya. Akhlak dapat dirubah dan
dilatih secara terus menerus sehingga seseorang menjadi
terbiasa melakukan sesuatu yang masuk dalam indikator akhlak
yang baik. Akhlak sejatinya diupayakan dalam rangka untuk
kebaikan dirinya sendiri. Meskipun demikian, dalam Islam, akhlak
yang mengikuti petunjuk al Qur’an juga dapat dikategorikan
sebagai bentuk iman dan takwa oleh karena melakukan apa
yang telah diperintahkan oleh Tuhan.
Beberapa ayat penting sebagai sumber utama akhlak dalam
Islam adalah sebagai berikut:
1. Surat Al Baqarah Ayat 177
‫ْش ِق َوالْ َم ْغ ِر ِب َول ِك َّن الْ ِ َِّب َم ْن ا َم َن ِِب ِلل‬ ِ ْ ‫لَي َْس الْ ِ َِّب َا ْن ت َُول ُّ ْوا ُو ُج ْوه ُ َُْك ِق َب َل الْ َم‬
‫َوالْ َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َوالْ َملى َك ِة َوالْ ِكت ِب َوالنَّب َِْي َوا ََت الْ َما َل عَل ُحبِه َذ ِوى الْ ُق ْرب‬
ِ
‫الصلو َة َوا ََت‬ َّ ‫الساى ِل ْ َْي َو ِِف ِالرقَ ِاب َو َاقَا َم‬ َِّ ‫الس ِب ْيلِ َو‬ َّ ‫َوالْ َيتمى َوالْ َمس ِك ْ َْي َوابْ َن‬
َّ َّ ‫َّالزكو َة َوالْ ُم ْوفُ ْو َن ِب َع ْه ِد ِ ُْه ِا َذا عَاهَدُ ْوا َوالص ِ ِِبيْ َن ِِف الْ َبأْ َسا ِء َو‬
‫الَّضا ِء َو ِح ْ َْي‬
‫الْ َبأْ ِ ۗس ُاولى َك َّ ِاذل ْي َن َصدَ قُ ْوا َۗو ُاولى َك ُ ُُه الْ ُمتَّ ُق ْو َن‬
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
ِ ِ
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat di atas memiliki kandungan konseptual akhlak


yang berlimpah. Islam dalam ayat tersebut mengajarkan
umatnya untuk membantu sesama kepada masyarakat yang
lemah atau membutuhkan. Kepedulian sosial ini terjadi jika
kita memiliki empati yang tinggi sehingga hati kita akan
tersentuh saat melihat orang yang membutuhkan bantuan.
Empati ini didorong oleh banyak faktor. Adapun faktor yang
paling utama yaitu religiusitas dalam diri kita dan keimanan
kita kepada Allah, Nabi, Malaikat, hari akhir, dan malaikat.
Artinya dengan kita memahami agama secara baik, maka
akhlak kita secara perlahan akan terbentuk.
Selain kepedulian sosial, ayat di atas juga mengajarkan
kita untuk selalu menepati janji dan bersabar dalam segala
kondisi. Munculnya konflik antar individu terkadang muncul
dari kurangnya akhlak seperti tidak bisa menjaga ketepatan
antara perkataan dan perbuatan. Sikap tersebut
menumbuhkan benih kebencian dan kekecewaan sehingga
terjadi konflik. Sebagai contoh, orang berhutang berjanji
untuk mengembalikan hutangnya pada waktu yang telah
disepakati dan sampai pada waktunya, orang tersebut tidak
menepatinya. Dampaknya adalah orang yang diberi janji
akan merasa kecewa dan berpikir ulang untuk memberinya
hutang di lain waktu.
Sabar dalam segala kondisi sesuai dengan perintah
dalam ayat di atas, dapat diartikan sebagai sikap untuk
selalu tenang, berpikir jernih, menahan diri dan fokus pada
suatu penyelesaian masalah. Sabar menjadi salah satu
akhlak penting sebagai bekal manusia untuk menghadapi
kehidupannya. Sabar ini juga menjadi salah satu indikator
dari ciri-ciri orang yang beriman dan bertakwa.

2. Surat Luqman Ayat 12


‫َولَقَدْ اتَيْنَا لُ ْقم َن الْ ِح ْْكَ َة َا ِن ْاش ُك ْر ِ ِلل َۗو َم ْن ي َّْش ُك ْر فَ ِان َّ َما ي َْش ُك ُر ِلنَ ْف ِسه َو َم ْن َك َف َر‬
َ ‫فَ ِا َّن‬
‫الل غَ ِ ٌِّن َ َِح ْي ٌد‬
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada
Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa
yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji".
Pada surat Luqman ayat 12, kandungan ajaran
akhlaknya adalah syukur. bersyukur adalah sikap mengakui
pemberian segala nikmat yang hakikatnya berasal dari Allah.
Dalam Mawsu’ah Nadhrah An-Na’im (6:2393) disebutkan
pengertian syukur secara bahasa (lughatan). Syukur itu
terdiri dari huruf syin kaaf raa’ yang menunjukkan pujian
pada seseorang atas kebaikan yang ia perbuat. Imam Asy-
Syaukani rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah
adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang
diberikan dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya”
(Fath Al-Qadir, 4:312).
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,

‫الشُّ ْك ُر يَ ُك ْو ُن ِِبلقَلْ ِب َوال ِل َس ُان َواجل ََوا ِر ُح َواحلَ ْمدُ َْل يَ ُك ْو ُن اْلَّ ِِبل ِل َس ِان‬
ِ
“Syukur haruslah dijalani dengan hati, lisan, dan anggota
badan. Adapun al-hamdu hanyalah di lisan.” (Majmu’ah Al-
Fatawa, 11:135)

Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim dalam Thariq Al-


Hijratain (hlm. 508) adalah “Memuji atas nikmat dan
mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat
untuk ketaatan.” Al-Munawi rahimahullah berkata, “Syukur
itu ada dua tahapan. Pertama adalah bersyukur dengan lisan
yaitu memuji pada yang memberikan nikmat. Sedangkan
terakhir adalah bersyukur dengan semua anggota badan,
yaitu membalas nikmat dengan yang pantas. Orang yang
banyak bersyukur (asy-syakuur) adalah yang mencurahkan
usahanya dalam menunaikan rasa syukur dengan hati, lisan,
dan anggota badan dalam bentuk meyakini dan mengakui.”
(Mawsu’ah Nadhrah An-Na’im, 6:2393). Dalam Madarij As-
Salikin (1:337), Ibnul Qayyim berkata,
‫َأ َّن امل َ َع ِاِص ُُكَّهَا ِم ْن ن َْو ِع ال ُك ْف ِر ا َأل ْصغَ ِر فَاَّنَّ َا ِض ُّد الشُّ ْك ِر َّ ِاذلي ه َُو ال َع َم ُل‬
ِ ‫ِِب َّلطاعَ ِة‬
“Seluruh maksiat termasuk dalam kufur ashghar. Maksiat ini
bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur
adalah dengan beramal ketaatan.”

Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-


Syakirin (hlm. 187), rukun syukur itu ada tiga yaitu mengakui
nikmat itu berasal dari Allah, memuji Allah atas nikmat
tersebut, meminta tolong untuk menggapai rida Allah
dengan memanfaatkan nikmat dalam ketaatan.

3. Surat al A’raf Ayat 199


‫ُخ ِذ الْ َع ْف َو َو ْأ ُم ْر ِِبلْ ُع ْر ِف َو َا ْع ِر ْض َع ِن الْ َجا ِه ِل ْ َْي‬
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Ayat di atas merupakan landasan dari sikap pemaaf dan


perintah melakukan kebaikan. Sikap pemaaf menjadi salah
satu akhlak terpuji yang diperintahkan Allah pada manusia.
Perlunya sikap pemaaf ini menjadi bukti dari kecintaan
agama terhadap perdamaian dan menegasikan asumsi
bahwa agama mengajarkan kekerasan. Dalam hal ini, tidak
ada alasan untuk tidak memaafkan orang yang berbuat
salah kepada kita. Memaafkan seseorang yang bersalah
berdampak pada suasana hati yang tenang baik bagi yang
memaafkan maupun yang dimaafkan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, hampir pasti kita pernah mengalami
berbuat salah kepada orang lain atau dibuat salah oleh
orang lain. Jika ternyata setiap pihak merasa dibuat salah,
maka kita perlu merujuk ayat ini agar tumbuh kelembutan
hati sehingga kita tidak perlu merasa demikian meskipun
kenyataannya berbeda. Dengan demikian, tujuan agama
yaitu perdamaian dapat terwujud.
Ayat di atas juga melandasi kita untuk selalu berbuat
baik. Berbuat baik tentu bersandar pada standarisasi agama
atau perintah agama. Sesuatu disebut baik jika tidak
bertentangan dengan perintah Allah baik dalam al Qur’an
maupun dalam hadist nabi. Masalahnya adalah terkadang
niat baik itu tidak selalu diterima dengan baik pula. Jika
demikian, maka kita perlu mengidentifikasi cara kita berbuat
baik dan mencari penyebab dari niat baik kita dalam
melakukan kebaikan.

4. Surat al Baqarah Ayat 152-153


‫فَ ْاذ ُك ُر ْو ِ ْ يّن َا ْذ ُك ْرُ ُْك َو ْاش ُك ُر ْوا ِ ِْل َو َْل تَ ْك ُف ُر ْو ِن‬
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.

َّ ‫ي َيُّيُّ َا َّ ِاذليْ َن ا َمنُوا ا ْس َت ِع ْينُ ْوا ِِب َّلص ْ ِِب َو‬


َ ‫الصلو ِة ۗ ِا َّن‬
‫الل َم َع الص ِ ِِبيْ َن‬
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar.

Ayat di atas memiliki muatan yang sama dengan ayat


sebelumnya yaitu landasan dari sikap syukur dan sabar.
Sedangkan syukur dan sabar adalah bagian dari akhlak baik.
Ayat 153 surat al Baqarah menjelaskan bahwa sabar dan
shalat itu adalah penolongmu. Beberapa ulama menjelaskan
sabar dalam arti yang sangat luas. Arti dasarnya sama yaitu
menahan diri, namun dapat diartikan dalam berbagai hal.
Dan hal yang paling utama adalah menahan diri dari hawa
nafsu. Hawa nafsu ini bisa dimaknai menahan amarah atau
marah, menahan diri dari sikap putus asa oleh karena
kesulitan yang dihadapi dan menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan yang melampaui batas. Oleh karena itu
sangat tepat jika sabar disebut sebagai penolong manusia
dari terjerumusnya pada kesesatan dan kesalahan.
Beberapa ayat yang dijelaskan di atas merupakan sebagian
landasan dalam al Qur’an yang menjelaskan tentang akhlak.
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat yang dapat
dijadikan sebagai landasan dari akhlak dalam Islam. Artinya, jelas
bahwa al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam sangat
memprioritaskan bagaimana seharusnya akhlak manusia dan
mengapa manusia perlu memiliki akhlak terpuji.

B. Akhlak dalam Hadis


Selain al Qur’an, sumber ajaran akhlak dalam Islam adalah
hadist. Hadist dapat diartikan sebagai sesuatu yang berasal dari
Nabi Muhammad dalam perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya.

‫ما أضيف اىل النيب صل هللا عليه وسَل من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية‬
‫أو ُخلُقية‬
Hadist dalam konteks sumber ajaran Islam kedua setelah al
Qur’an, dapat diposisikan sebagai penjelas dan penguat dari apa
yang sudah ada dalam al Qur’an. Sesuatu yang tidak diatur
secara spesifik dalam al Qur’an, diatur kemudian dalam hadist,
begitu juga tentang akhlak. Malahan, hadist menjadi sumber
yang sangat kaya dari akhlak. Hal tersebut dikarenakan hadist
berasal dari nabi selama masa hidupnya baik di Mekah ataupun
di Madinah. Kehidupan Nabi bersama sahabat dan juga dalam
menghadapi kaum kafir Qurais lebih dari cukup untuk dijadikan
sebagai pedoman dalam berakhlak. Detail dari akhlak yang
dijelaskan dalam hadist meliputi banyak aspek seperti akhlak
dalam bermua’malah, beribadah, keluarga, bermasyarakat,
bernegara, dan lain sebagainya.
Jika diklasifikasikan dalam bidang-bidang kehidupan, maka
hadist juga menjelaskan bagaimana akhlak dalam kehidupan
bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Jika
diklasifikasikan berdasarkan manusia sebagai pelaku utama dari
akhlak, maka hadist menjelaskan bagaimana manusia harus
bersikap sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
ekonom, makhluk biologis, makhluk politis dan lainnya.
Banyaknya klasifikasi pengaturan akhlak manusia dalam hadist
tersebut menunjukkan begitu kayanya perkataan, perbuatan
dan ketetapan yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad sebagai
manusia paling sempurna di muka bumi ini.
Dalam bagian ini, penulis tidak ingin menjelaskan satu
persatu contoh hadist yang berkaitan dengan akhlak dalam
berbagai macam klasifikasinya, melainkan hanya menjelaskan
beberapa hadist yang menunjukkan pentingnya akhlak sehingga
dapat diketahui bahwa hadis juga telah menjelaskan sedemikian
rupa perihal akhlak. Secara ringkas, hadist dalam konteks
pembahasan dalam buku ini adalah hadist sebagai landasan dari
akhlak.

‫َأ ْْكَ ُل الْ ُم ْؤ ِم ِن َْي اميَاًنً َأ ْح َس َّنُ ُ ْم ُخلُقًا َو ِخ َي ُارُ ُْك ِخ َي ُارُ ُْك ِل ِن َساِئِ ِ ْم ُخلُ ًقا‬
ِ
“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya dan sebaik-baik mereka adalah yang paling
baik terhadap istri mereka“. (HR. At-Tirmidzi)

Hadist di atas menunjukkan korelasi antara iman dengan


akhlak. Indikator dari sempurnanya iman menurut hadist
tersebut adalah orang yang paling baik akhlaknya. Artinya, iman
seseorang tidak hanya berkaitan dengan seberapa tinggi
keyakinannya kepada Allah, Rasul, Kitab, Malaikat, Hari Akhir
dan Qadha Qadar, melainkan harus disempurnakan dengan
akhlak yang baik. Iman dan akhlak seseorang seharusnya
berbanding lurus yaitu semakin tinggi imannya, semakin baik
pula akhlaknya. Adapun rincian mengenai akhlak baik yang
dimaksud dalam hadist tersebut merujuk pada kebaikan
terhadap istri mereka.

‫َش ٍء َأثْقَ ُل ِ ِْف ِم ْ َْي ِان الْ ُم ْؤ ِم ِن ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة ِم ْن ُخلُ ٍق َح َس ٍن‬
ْ َ ‫َما ِم ْن‬
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

‫ا َّن ِم ْن َأ َحب ُ ُِْك ا َ َّىل َو َأ ْق َ ِبر ُ ُْك ِم ِّن َم ْج ِل ًسا ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة َأ َح ِاس َن ُ ُْك َأ ْخ َالقًا‬
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang
ِ ِ
paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat adalah yang
paling baik akhlaknya“. (HR. At-Tirmidzi)

Hadist ini menekankan pentingnya akhlak sebagai bekal di


hari kiamat. Saking pentingnya akhlak, nabi menjelaskan bahwa
akhlak yang baik akan menjadi penolong yang baik di hari kiamat
nanti. Ibarat seorang petani, dunia ini adalah ladang yang
digunakan untuk bercocok tanam, sedangkan di akhirat nanti
masa di mana seorang mukmin akan berpanen ria. Jika bibit
yang digunakan, cara yang digunakan dan peralatan yang
digunakan oleh seorang petani itu adalah yang paling terbaik,
maka hasilnya panennya nanti juga akan sangat baik.

‫َش ٍء يُوضَ ُع ِِف الْ ِم َْي ِان َأثْقَ ُل ِم ْن ُح ْس ِن الْ ُخلُ ِق َوا َّن َصا ِح َب ُح ْس ِن الْ ُخلُ ِق‬
ْ َ ‫َما ِم ْن‬
ِ ‫الص َال ِة‬
َّ ‫الص ْو ِم َو‬َّ ‫لَ َي ْبلُ ُغ ِب ِه د ََر َج َة َصا ِح ِب‬
“Tidak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan hari kiamat
yang lebih berat daripada akhlak yang mulia, dan sesungguhnya
orang yang berakhlak mulia bisa mencapai derajat orang yang
berpuasa dan shalat.” (HR. At-Tirmidzi)

ِ ِ ‫اِئ الْ َق‬


‫اِئ‬ ِ ِ ‫الص‬
َّ ‫ا َّن الْ ُم ْؤ ِم َن لَ ُيدْ ِركُ ِ ُِب ْس ِن ُخلُ ِق ِه د ََر َج َة‬
ِ
“Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik,
akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan
shalat di tengah malam.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

ِ ِ ‫اِئ ال َق‬
‫اِئ‬ ِ ِ ‫الص‬
َّ ‫ا َّن الْ َع ْبدَ لَ ُيدْ ِركُ ِ ُِب ْس ِن ُخلُ ِق ِه د ََر َج َة‬
ِ
“Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mencapai derajat
orang yang berpuasa dan sholat malam dengan sebab akhlaknya
yang baik“. (HR Abu Dawud)

Seperti kita ketahui, bahwa derajat orang berpuasa dan


shalat lail sangatlah tinggi di hadapan Allah. Nabi mengibaratkan
orang yang berakhlak baik sederajat dengan orang berpuasa dan
shalat lail. Dalam hadist tersebut, akhlak dihubungkan dengan
ibadah sehingga dapat dikatakan bahwa akhlak nilainya sama
dengan ibadah kepada Allah.
‫ان َّ َما بُ ِعث ُْت ِ ُألتَ ِم َم َصا ِل َح ْا َأل ْخ َال ِق‬
ِ
“Sesungguhnya aku (Muhamaad) diutus tidak lain hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menjadi dasar bahwa misi utama Islam adalah


menyempurnakan akhlak manusia. Maka tidak heran jika nabi
menegaskan bahwa tugasnya sebagai nabi adalah
menyempurnakan akhlak. Artinya akhlak memiliki kedudukan
yang sama pentingnya dengan misi tauhid. Lagi-lagi kita dapat
melihat betapa Islam mengajarkan kesesuaian antara apa yang
diyakini, apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Apa yang
dilakukan itulah yang disebut sebagai akhlak.

‫ك ِد ْي ِن ُخلُقًا َو ُخلُ ُق اْلسال َم الْ َح َيا ُء‬


ِ ُ ‫ا َّن ِل‬
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam
ِ
adalah malu.” (HR. Ibnu Majah)

Hadist ini lebih spesifik pada pentingnya akhlak malu. Malu


di sini dapat diartikan sebagai malu kepada Allah dan rasulnya.
Sifat malu ini secara otomatis akan mendorong pemiliknya untuk
berakhlak baik. Artinya, sekali kita mengingat Allah dan rasulnya,
saat itu pula kita akan berpikir ulang untuk melakukan hal-hal
buruk.

« ‫ َع ْن َأ ْك َ َِث َما يُدْ ِخ ُل النَّ َاس الْ َجنَّ َة فَقَا َل‬-‫صل هللا عليه وسَل‬- ‫الل‬ ِ َّ ‫ول‬
ُ ‫ُس ئِ َل َر ُس‬
‫ الْ َف ُم‬: ‫ َو ُس ئِ َل َع ْن َأ ْك َ َِث َما يُدْ ِخ ُل النَّ َاس النَّ َار فَقَا َل‬.» ‫الل َو ُح ْس ُن الْ ُخلُ ِق‬
ِ َّ ‫تَ ْق َوى‬
‫َوالْ َف ْر ُج‬
“Rasulullah SAW ditanya mengenai perkara yang banyak
memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab: Taqwa
kepada Allah dan akhlak yang baik, dan ketika ditanya tentang
kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka
beliau (Muhamad) menjawab: Lidah dan kemaluan“. (HR. At-
Tirmidzi, Bukhari, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

‫َأًنَ َز ِع ٌمي ِب َبي ٍْت ِِف َرب َ ِض الْ َجنَّ ِة ِل َم ْن تَ َركَ الْ ِم َر َاء َوا ْن ََك َن ُم ِحقًّا َو ِب َبي ٍْت ِِف َو َسطِ الْ َجنَّ ِة‬
‫ِل َم ْن تَ َركَ الْ َك ِذ َب َوا ْن ََك َن َما ِز ًحا َو ِب َبي ٍْت ِِف َأعْ َ ِل الْ َجنَّ ِة ِل َم ْن َح َّس َن ُخلُقَ ُه‬
“Saya menjamin sebuah rumah di tepi surgaِ bagi orang
meninggalkan debat sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di
tengah surga bagi orang yang tidak berbohong sekalipun hanya
bergurau, dan rumah di atas surga bagi orang yang mulia
akhlaknya.“ (HR. Abu Dawud)

Dua hadist di atas menjadi landasan dari jaminan surga bagi


orang-orang yang mulia akhlaknya. Bahkan hadist pertama
menyandingkan akhlak dengan takwa. Senada dengan hadist
hadist sebelumnya, akhlak memiliki posisi yang sangat penting
dalam kehidupan beragama dan terutama dalam konteks
sebagai seorang muslim. Hal tersebut dikuatkan lagi oleh bunyi
hadist di bawah ini:

‫ َأ ْح َس َّنُ ُ ْم ُخلُقًا‬،‫ا َّن َأ ْح َس َن النَّ ِاس ا ْس َال ًما‬


“Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang
ِ ِ
paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad)

C. Akhlak dalam Pandangan Ulama


Akhlak juga mendapat perhatian dari hampir seluruh ulama
baik salaf maupun khalaf sehingga dapat dijadikan sebagai salah
satu rujukan dalam memahami akhlak. Perhatian ulama
berkaitan dengan akhlak tersebut tidak semua
terdokumentasikan dalam tulisan atau kitab. Tidak heran, jika
kita tidak menemukan karya berkaitan dengan akhlak pada
setiap ulama, melainkan pada ulama-ulama tertentu yang
menuliskannya dalam bentuk kitab.
Para ulama mendefinisikan akhlak bersumber pada al
Qur’an dan Hadist. Perbedaan dengan kedua sumber tersebut
adalah mereka berupaya mengoperasionalisasikan konsep
akhlak dalam bentuk klasifikasi-klasifikasi tertentu. Apa yang ada
dalam al Qur’an dan hadist diberi judul kemudian diurutkan
berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti hadist-hadist
yang berkaitan dengan akhlak dalam bertamu, akhlak dalam
makan dan minum, akhlak dalam belajar dan seterusnya.
Pandangan ulama tersebut semakin memudahkan orang awam
yang ingin memahami akhlak secara praksis dengan tanpa
merujuk langsung pada al Qur’an dan hadist. Artinya, seseorang
yang merujuk sumber-sumber yang berkaitan dengan akhlak
pada ulama tersebut nilainya tidak jauh berbeda dengan
seseorang yang merujuk langsung pada al Qu’ran dan hadist
dikarenakan rujukan utama para ulama adalah al Qur’an dan
hadist.
Al Qurthubi menyebut akhlak sebagai segala sesuatu yang
dijadikan manusia di dalam dirinya sebagai tata krama,
kesantunan adab sebagai bagian dari penciptaannya. Berbeda
dengan Qurthubi, Abu Bakr Jabir al Jazairi menyebut akhlak
sebagai keadaan yang sangat kokoh dalam jiwa yang menjadi
sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang dikehendaki baik
perbuatan baik maupun buruk, perbuatan yang indah maupun
jelek. Sedangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddinnya
berpandangan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam
dengan kokoh di dalam jiwa manusia, yang menjadi sumber
kahirnya perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan
gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan. Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya
perbuatan-perbuatan yang terpuji dan indah, baik menurut akal
maupun hukum, disebut akhlak yang baik (khuluq hasan). Jika
keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan jelek
dan kotor, maka ia disebut akhlak kotor (khuluq sayyi’).
1. Imam Ghazali
Dalam kalangan ulama sunni, Imam Ghazali adalah
tokoh yang paling produktif dan banyak pendapatnya
tentang akhlak yang dijadikan sebagai rujukan utama.
Bagaimanapun, posisi akhlak bagi al Ghazali sangat
fundamental dalam kehidupan manusia. Bagi al Ghazali,
ukuran akhlak seseorang apakah termasuk baik atau buruk
dapat diketahui dari empat kriteria yaitu kekuatan ilmu atau
hikmahnya, kekuatan marah yang terkontrol oleh akal,
kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan.
Semakin kuat seseorang dalam empat kriteria tersebut,
maka akhlak yang muncul akan semakin baik begitupula
sebaliknya.
Pentingnya memiliki akhlak yang baik semata-mata
harus dilakukan untuk tujuan akhirat dan menjadi insan
kamil (manusia sempurna). Akhlak sangat berkaitan dengan
berbagai bidang kehidupan agama seperti ibadah,
muamalah, siyasah dan lainnya. Dalam makna tersebut,
posisi akhlak menjadi sangat primer untuk dipelajari dan
dilatih sehingga menjadi terbiasa berakhlak baik.
2. Ibnu Taimiyah
Bagi Ibnu Taimiyah, pondasi terpenting dari
terbentuknya akhlak yang baik adalah hati. Hati adalah
tempat di mana iman berada, apakah ia kuat atau lemah.
Hati yang memiliki iman yang lemah berdampak pada
perilaku atau akhlak buruk yang muncul dari pemiliknya.
Sedangkan seseorang yang hatinya memiliki iman yang kuat
akan melahirkan akhlak yang baik. Meskipun demikian, Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa memiliki tiga potensi utama
untuk menguatkan imannya dalam hati sehingga melahirkan
akhlak baik yaitu fitrah, bawaan dan lingkungan. Dari
potensi fitrah sebagai manusia yang diberi berbagai macam
sifat dasar oleh Tuhan memungkinkan seseorang untuk
menumbuhkan akhlaknya. Bawaan yang dimaksud adalah
potensi yang berasal dari gen atau keturunan di mana
seseorang cenderung memiliki sifat yang dimiliki oleh orang
tuanya. Potensi ini pula yang melahirkan konsepsi bahwa
terdapat manusia yang memiliki modal lebih baik dari yang
lain oleh karena orang tuanya. Bawaan atau faktor
keturunan ini bukan situasi yang tidak bisa dirubah oleh
karena potensi yang ketiga yaitu lingkungan. Potensi
lingkungan dalam membentuk perilaku atau akhlak
seseorang sangat penting. Seseorang yang hidup di
lingkungan penjual minyak wangi, lebih besar
kemungkinannya bahwa ia akan menjadi wangi pula.
Ketiga potensi tersebut memiliki perimbangan yang
berbeda-beda dalam menentukan tumbuhnya akhlak baik
seseorang seiring dengan tumbuhnya keimanan dalam
hatinya. Terkadang faktor bawaan lebih kuat dari yang
lainnya atau terkadang faktor lingkungan lebih
mempengaruhi faktor lainnya. Hal tersebut menjadi asumsi
dasar bahwa akhlak bukan situasi yang mati atau tidak bisa
dirubah. Dalam kaitannya akhlak dengan kuatnya hari
seseorang, Ibnu Taimiyah membagi tiga kondisi hati yaitu
hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. Hati yang
sehat adalah hati yang selalu ingat Tuhannya sehingga
seseorang dapat selalu berperilaku baik secara konsisten.
Hati yang sakit berarti kondisi hati yang terkadang lupa dan
terkadang ingat Tuhannya. Saat lupa, ia akan melakukan
perbuatan buruk seperti maksiat dan cenderung lebih
mengikuti hawa nafsunya. Saat ingat, ia akan kembali rajin
dalam beribadah dan berperilaku baik. Sedangkan hati yang
mati adalah hati yang telah tertutup dari cahaya Tuhan
sehingga segala perbuatan yang dilakukannya tidak
mencerminkan akhlak yang baik.
3. Az Zarnuji
Karya pentingnya yang terkenal adalah kitab Ta’lim
Muta’alim yang membahas berbagai hal tentang akhlak
terutama akhlak bagi para pembelajar. Pada bagian awal
dalam terjemah kitab tersebut yang disadur oleh Mudjab
Mahali, tertulis:
‫افضل العَل عَل احلال وافضل العمل حفظ احلال‬
“Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu hal (tingkah laku) dan
sebaik-baiknya amal adalah menjaga tingkah laku.”

Az Zarnuji memposisikan akhlak dan menjaga akhlak


sebagai hal yang paling utama yang harus dipelajari dan
dilakukan dari semua ilmu yang ada. Artinya sebelum
mempelajari semua ilmu, sang pencari ilmu harus belajar
tentang akhlak. Hal tersebut dikarenakan ilmu akhlak ini
digunakan hampir pada semua bidang kehidupan dan
keilmuan.
Dengan ilmu akhlak dan kepemilikan akhlak yang baik,
seseorang akan dengan mudah mempelajari berbagai
macam ilmu. Termasuk di dalamnya adalah niat awal yang
baik, menghormati ilmu dan ulama, ketekunan, tawakal,
cinta dan kasih sayang, dan wira’i. Bagi az Zarnuji, ilmu akan
mendatangi mereka para pemilik akhlak yang baik. Situasi
belajar adalah situasi yang sakral sehingga harus diliputi
akhlak yang baik agar di futuh oleh Allah.
4. K.H. Hasyim Asy’ari
Tokoh kharismatik yang merupakan kakek dari presiden
RI ke 4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini memiliki
pandangan tentang akhlak yang dituangkannya dalam kitab
adabul ‘alim wal muta’alim. Bagi Mbah Hasyim, orang yang
berilmu tapi tidak beramal atau berakhlak tidak menempati
derajat yang tinggi. Syarat mencapai derajat yang tinggi
adalah ilmu dan amal. Amal atau perilaku ini dapat diartikan
sebagai akhlak. Orang beramal tanpa ilmu akan melahirkan
perilaku yang buruk (ngawur), sedangkan orang berilmu
tidak beramal melahirkan sikap sombong karena hanya
berteori belaka. Ilmu yang dikotori oleh perilaku buruk
seperti maksiat sama seperti seseorang yang hendak
merobohkan rumahnya sendiri yang telah kokoh.
Hampir memiliki kemiripan dengan pemikirannya az
Zarnuji, mbah Hasyim menyebut 10 perilaku atau akhlak
yang dapat memudahkan pemiliknya dalam mendapatkan
ilmu yaitu membersihkan hati, niat baik, menghabiskan
waktu untuk belajar, bersikap qona’ah, disiplin waktu,
sedikit makan dan minum, wira’i, menghindari kegiatan
tidak bermanfaat, menjaga waktu istirahat, tidak bergaul
kecuali itu bermanfaat baginya.
Ketika seseorang telah berhasil mendapatkan ilmu
dengan akhlak yang baik, maka ilmu yang didapatkan akan
menjadi bermanfaat dan berkah. Artinya, akhlak memiliki
peran sentral dalam diri seseorang dalam segala situasi dan
kondisi. Sedangkan akhlak selalu berkaitan dengan
kesungguhan hati dalam berintropeksi dan selalu
melakukan perbaikan-perbaikan jiwa sanubari.
Beberapa ulama yang fokus pada tema tentang akhlak
tersebut sengaja penulis mengambil dari berbagai generasi yaitu
Imam Ghazali pada abad ke 11 Masehi, Ibnu Taimiyah pada abad
ke 7 Masehi, az Zarnuji pada abad ke 14 Masehi dan Hasyim
Asy’ari pada abad ke 19 Masehi. Dari keempat ulama tersebut
memiliki pandangan yang sama secara esensial bahwa akhlak
dapat dipelajari, dirubah dan dilatih. Selain itu, akhlak selalu
berkaitan dengan seberapa yakinnya ia terhadap ajaran agama
yang termaktub dalam al Qur’an dan hadist.
A. Definisi Pertanggungjawaban dan Balasan
1. Pertanggungjawaban
Label baik dan buruk hanya bisa ditempelkan kepada
perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan sukarela (ٌٌ‫االعما ٌل‬
‫)االرادية‬. Perbuatan seperti inilah yang menjadi obyek kajian ilmu
akhlak. Apabila ada sekelompok orang kaya membangun
rumah sakit untuk pengobatan gratis bagi orang tidak mampu
di kampungnya, maka itu menunjukkan tindakan baik yang
mereka lakukan dengan sadar dan sukarela. Jika ada seorang
pencuri menggasak perhiasan dan uang dari sebuah rumah
yang ditinggal penghuninya, maka ia melakukan itu dengan
sadar, dan ia tahu kerugian yang akan diderita oleh pemilik
rumah, juga hukuman yang akan ia terima jika tertangkap.
Seseorang akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap
tindakan yang ia perbuat, atau ia terlibat di dalamnya, atau ia
menyuruh orang lain untuk berbuat, selagi perbuatan tersebut
dilakukan dengan sadar dan atas dasar niat atau kehendaknya.
Kapan ada niat atau kehendak maka di situ ada
pertanggungjawaban.
Adapun perbuatan yang berada di luar kendali manusia,
maka ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Seperti
orang gila, orang pingsan, orang yang dipaksa, mereka semua
tidak dimintai pertanggungjawaban, karena mereka berbuat
tanpa niat kesadaran.
Pertanggungjawaban ini ada beberapa macam; pertama,
pertanggungjawaban hukum, baik sipil ataupun pidana. Kedua,
pertanggungjawaban agama, dan ketiga, pertanggungjawaban
moral. Jenis ketiga inilah yang menjadi fokus kajian buku ini.
Secara umum yang dimaksud dengan
pertanggungjawaban adalah fakta bahwa seseorang berhak
untuk ditanya atau dimintai pertanggungjawaban atas hasil
dari perbuatannya. Seorang dokter bertanggungjawab atas
pasiennya. Setiap pimpinan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dari pertanyaan
dan perhitungan terhadap perbuatan dan hasilnya inilah
kemudian muncul istilah pertanggungjawaban atau
responsibilitas.
Pertanggungjawaban moral dapat didefinisikan sebagai
kesiapan seseorang untuk dikatakan bahwa dirinya atau
perbuatannya itu baik atau buruk. Dengan ungkapan lain,
kesiapan seseorang untuk menghadapi perhitungan dan
penilaian terhadap perbuatan-perbuatannya yang ia lakukan
dengan sukarela dan atas kehendak sendiri, serta siap
menanggung akibatnya.
Keistimewaan pertanggungjawaban moral ini adalah ia
merupakan ikatan etis tanpa ada rasa takut akan hukuman dan
juga tanpa ada harapan mendapatkan ganjaran.
Pertanggungjawaban ini khas manusia, karena merekalah yang
telah mendapatkan berbagai anugerah; hati nurani yang dapat
membimbingnya menempuh jalan yang harus dilalui, akal
rasional yang dapat membedakan baik dan buruk, serta
kebebasan berkehendak yang memberikan kesempatan
mereka untuk memilih. Jadi merupakan konsekuensi logis dari
adanya tiga kekuatan tadi sebagai ukuran dari
pertanggungjawaban moral. Semakin sempurna hati, akal dan
kebebasan berkehendak seseorang, maka akan semakin tinggi
level pertanggungjawaban moralnya.
Berikut ini akan dijelaskan syarat dapat terwujudnya
pertanggungjawaban moral:
a. Kemampuan membedakan antara baik dan buruk
Untuk sempurnanya pertanggungjawaban moral
dipersyaratkan seseorang harus memiliki kemampuan untuk
membedakan antara hal-hal yang baik dengan yang buruk.
Di samping kemampuan membedakan di atas, seseorang
juga harus memiliki kesadaran bahwa ia wajib melakukan
yang baik, dan meninggalkan yang buruk. Seorang anak
kecil yang merusak mainan yang mahal, atau tiba-tiba
mencekik seekor burung yang hinggap di tangannya hingga
mati, dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena
belum memiliki kesadaran sempurna tentang apa yang
boleh dan tidak boleh untuk dilakukan. Kesadaran ini
muncul manakala seseorang sudah memiliki kemampuan
untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Begitupun
seorang gila yang menyerang orang lain dan melukainya, ia
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena ia berbuat
di luar kesadaran.
b. Tahu
Tahu atau faham akan sebuah perbuatan juga
dipersayaratkan untuk sebuah pertanggungjawaban moral.
Seseorang yang berbuat sesuatu yang buruk dan dia tidak
tahu bahwa perbuatan itu buruk, ia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban moral. Jika ada seorang apoteker
salah dalam memberikan obat, tidak sesuai dengan yang
tertulis dalam resep dokter, kemudian perawat memberikan
obat tersebut kepada pasien, dan pasien mati setelah
minum obat tersebut, maka perawat tadi tidak bersalah
secara moral, sebab ia tidak tahu bahwa ada kesalahan
pemberian obat. Yang bertanggungjawab adalah apoteker.
c. Kehendak sendiri
Poin ini menjadi syarat penting untuk sempurnanya
sebuah pertanggungjawaban moral. Jika seorang dipaksa
untuk melakukan sebuah kejahatan moral, maka yang
bertanggungjawab sebenarnya adalah orang yang
memaksanya. Begitupun jika seseorang dipaksa untuk
melakukan kebaikan, maka hakikatnya yang baik dan
mendapatkan pujian adalah pihak yang memaksa. Inilah
makna inti dari sabda Rasulullah SAW;
“Pertanggungjawaban itu lepas dari 3 macam manusia;
orang yang dipaksa, orang yang tidur, dan orang gila”.
d. Niat
Perbuatan seseorang dinilai bukan hanya dari aksi
perbuatannya, tapi juga dilihat dari niatnya. Jika suatu hari
engkau bertemu dengan seseorang berpakaian compang
camping sedang menggigil kedinginan, kemudian engkau
beri uang untuk membeli baju hangat, tapi ia pakai uang
tersebut untuk sebuah kejahatan, maka engkau tidak
bertanggungjawab terhadap kejahatan yang ia perbuat.
Contoh lainnya, jika ada seseorang batal melakukan
kejahatan karena kepergok orang lain, bukan karena
kesadarannya, maka secara moral ia tidak layak
mendapatkan pujian, sebab di hatinya masih ada niat untuk
berbuat menunggu kesempatan terbuka.
e. Kesadaran akan kewajiban etis
Poin kelima ini menyempurnakan empat sarat
sebelumnya. Yang dimaksud kesadaran etis itu bukan
sekedar tahu bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk,
tapi juga ia merasa dan sadar bahwa ia harus melakukan
atau meninggalkannya secara moral. Jika seseorang hidup
terasing dari masyarakat, dan ia tahu bahwa di masyarakat
tersebut ada nilai moral tertentu, tapi ia tidak merasa
berkewajiban menaatinya, kemudian ia melakukan
kejahatan moral, maka ia tidak bertanggungjawab secara
moral.
Dari penjelasan tentang syarat-syarat di atas dapat
dipahami bahwa pertanggungjawaban moral itu bisa berbeda
dari satu person dengan person yang lain, atau dari satu
kondisi dengan kondisi yang berbeda. Kadar
pertanggungjawaban seseorang ditentukan oleh terpenuhinya
syarat-syarat tersebut. Kemampuan untuk membedakan
perbuatan baik dan buruk berbeda-beda dari satu individu
dengan individu yang lein. Begitupun kadar pengetahuan,
kebebasan berkehendak dan berbuat, dan juga kesadaran etis
mereka berbeda-beda.
Pertanggungjawaban moral dapat dikategorikan menjadi
dua; sempurna dan tidak sempurna. Sempurna jika lima syarat
di atas terpenuhi semuanya. Tidak sempurna jika ada syarat
yang tidak terpenuhi. Bahkan jika sarat nomer tiga dan nomer
lima tidak terpenuhi, yang bersangkutan tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban moral sama sekali.
2. Balasan
Legalisasi sebuah peraturan atau hukum butuh jaminan
dalam pelaksanaannya. Jika tidak ada jaminan pengawalan
tersebut, sebuah produk hukum akan mandul dan tidak
bermanfaat. Sementara ini orang masih lebih takut masuk
penjara, dan hukuman mati daripada ancaman hukuman moral
dan agama. Hukum syariat telah menjelaskan bahwa orang
yang taat akan diberi ganjaran, yang ingkar akan disiksa.
Begitupun hukum moral, akan memberikan perasaan ridha
bagi orang yang melakukan keutamaan, dan sebaliknya
penyesalan bagi orang yang melakukan hal yang rendah.
Reward dan punishment, atau ganjaran dan hukuman dengan
berbagai macamnya tersebut yang disebut dengan balasan, al-
jaza’. Hal ini masih terkait dengan tema pertanggungjawaban
yang meniscayakan seseorang menanggung akibat dari
perbuatannya, balasan kebaikan bagi yang melakukan hal yang
baik, sebaliknya hukuman bagi yang melakukan hal buruk.
Dari prolog di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
balasan, al-jaza’ itu adalah ganjaran atau reward untuk amal
baik, dan hukuman atau punishment untuk perbuatan jahat.
Setiap hukum dan perundang-undangan, baik itu hukum
positif, hukum agama ataupun hukum moral meniscayakan
adanya jaminan kemampuan untuk memberikan ganjaran bagi
orang yang menaatinya, dan sebaliknya menghukum orang
yang melanggarnya. Ganjaran dan hukuman adalah
konsekuensi logis dari perbuatan seseorang. Adanya balasan
dari sebuah perbuatan berupa ganjaran atau hukuman ini
merupakan sebuah keadilan. Kadar ganjaran dan hukuman
tersebut tentu harus disesuaikan dengan kadar perbuatan
seseorang.

B. Macam-macam Pertanggungjawaban dan Balasan


Pertanggungjawaban dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam yaitu pertanggungjawaban manusia sebagai individu,
pertanggungjawaban secara sosial dan pertanggungjawaban
sebagai pemimpin. Dua pertanggungjawaban yang pertama
merupakan jenis pertanggungjawaban yang secara otomatis
melekat dalam diri seseorang, sedangkan jenis
pertanggungjawaban seorang pemimpin tidak semua orang
dimintai pertanggungjawabannya. Artinya, seorang pemimpin
pasti dimintai tiga pertanggungjawaban sekaligus yaitu individu,
sosial dan kepemimpinannya.
Sedangkan balasan sebagaimana dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ganjaran
sebagai balasan dari perbuatan baik dan hukuman sebagai
balasan dari perbuatan buruk. Secara detail, macam-macam
pertanggungjawaban dan balasan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban Individual
Allah telah menciptakan manusia dan menjadikannya
bertanggungjawab atas kehidupannya. Seseorang
bertanggungjawab atas badannya; dengan menjaganya atau
merusaknya. Ia juga bertanggungjawab atas jiwanya;
memperkokoh dan menguatkannya atau menghancurkannya.
Dan manusia juga bertanggungjawab atas perbuatannya; taat
atau maksiat, akhlaknya; baik atau buruk, perilakunya; lurus
atau menyimpang. Jadi seorang manusia adalah penguasa
dirinya. Ia bertanggungjawab penuh atas dirinya. Ia adalah
nahkoda kehidupannya. Ia yang mengatur segala perilakunya.
Allah berfirman dalam surat al Qiyamah ayat 14:

‫بَلِ ْ ِاْلن ْ َس ُان عَل ن َ ْف ِسه ب َ ِص ْ َْي ٌة‬


“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.”
Manusia dalam pandangan ajaran Islam
bertanggungjawab atas dirinya dan juga orang lain. Dan yang
pertama harus disadari oleh insan beriman adalah bahwa ia
bertanggungjawab atas dirinya. Ia harus membangun
kesadaran bahwa ia terus diawasi oleh Tuhan, dan ia harus
senantiasa menyadarkan hati dan jiwanya, memantau dan
mengawasi segala apa yang harus dikerjakan dan apa yang
semestinya ditinggalkan. Inilah kunci kesucian diri dan
kesuksesannya. Jika tidak maka hidupnya akan limpung tanpa
arah, dan rugi dunia akhirat. Inilah makna yang coba dijelaskan
dalam firman Allah surat as Syams ayat 7:

‫َون َ ْف ٍس َّو َما َسو َهىا‬


“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya.”

Pertanggungjawaban individual dari setiap insan muslim


inilah yang dapat menjaga keseimbangan kosmik antara raga
atau materi dengan jiwa, agar jangan sampai materi
mengalahkan ruh atau jiwa. Sifat buruk seperti boros, israf,
muncul manakala jiwa dikalahkan oleh raga. Inilah makna
firman Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 31:

‫ْسفُ ْوا ِان َّه َْل ُ ُِي ُّب‬


ِ ْ ُ‫اْشبُ ْوا َو َْل ت‬ ِ ُ َ‫يبَ ِ ْ يِن ا َد َم خ ُُذ ْوا ِزيْنَتَ ُ ُْك ِع ْند‬
َ ْ ‫ك َم ْسجِ ٍد َّو ُ ُُك ْوا َو‬
ِ ْ ‫الْ ُم‬
‫ْسِف ْ َْي‬
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”

Insan muslim juga bertanggungjawab atas anggota


badannya, untuk apa ia pergunakan, dan sejauh mana ia
optimalkan fungsinya. Pertanggungjawaban ini dapat
menghindarkan seseorang dari sifat malas, dan menumbuhkan
sifat produktif dan rajin bekerja. Seperti yang digambarkan
dalam Surat at Taubah ayat 105:

‫الل َ ََعلَ ُ ُْك َو َر ُس ْو ُل َوالْ ُم ْؤ ِمنُ ْو َ ۗن َو َس ُ َُتد ُّْو َن ِاىل ع ِ َِل الْغَ ْي ِب‬ ُ ‫اَعلُ ْوا فَ َس َ َْيى‬ َ ْ ِ‫َوقُل‬
‫َوالشَّ هَا َد ِة فَ ُينَ ِبئ ُ ُُْك ِب َما ُك ْن ُ ُْت تَ ْع َملُ ْو َن‬
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan.”

Di samping itu semua, manusia muslim juga


bertanggungjawab untuk mengisi akal pikiran mereka dengan
berbagai pengetahuan yang dapat menjaga pertumbuhan dan
perkembangannya. Dengan ilmu dan pengetahuan inilah
manusia dapat menjadi pengelola yang baik untuk alam
semesta ini.
Tanggung jawab individual manusia muslim atas dirinya
inilah rahasia dari kehormatan yang mereka dapatkan di alam
semesta ini, di mana mereka diposisikan lebih terhormat dan
lebih tinggi dari makhluk semesta lainnya.
Pertanggungjawaban ini adalah pengakuan atas eksistensi diri
manusia, sekaligus keunggulan mereka dibandingkan makhluk
lainnya.
2. Pertanggungjawaban Sosial
Di samping pertanggungjawaban individual seperti
dijelaskan di atas, seorang manusia muslim juga memiliki
tanggung jawab sosial, mempertanggungjawabkan pihak lain
yang hidup bersamanya. Pertanggungjawaban sosial ini seperti
pertanggungjawaban individual, sama pentingnya. Keberadaan
seseorang di antara masyarakatnya itu seperti sebuah
bangunan. Jadi pada hakikatnya pertanggungjawaban sosial
adalah pertanggungjawaban dari seorang manusia seutuhnya.
Hidup bermasyarakat merupakan fitrah manusia, dan menjaga
keberlangsungan masyarakat adalah menjaga
keberlangsungan fitrah tersebut. Ini semua akan dapat
terwujud dengan tanggung jawab bersama setiap individu
masyarakat.
Tujuan dari pertanggungjawaban individual adalah
pencapaian nilai kemanusiaan sebagai individu, dan tujuan dari
pertanggungjawaban sosial adalah pencapaian nilai
kemanusiaan sebagai makhluk sosial. Tidak ada alasan bagi
seseorang untuk menghindar dari tanggung jawab sosial ini.
Setiap individu punya tanggung jawab sesuai posisinya di
masyarakat. Tidak ada bedanya apakah ia seorang laki-laki atau
perempuan, juga buruh atau majikan, semuanya memiliki
tanggung jawab. Inilah makna kemanusiaan yang coba
disampaikan dalam hadis Nabi:

‫ُكُك راع وُكُك مسؤول عن رعيته‬..

Tanggung jawab masing-masing individu dalam ranah


sosial ini sesuai kadar kemampuannya. Hal ini terkait dengan
kemampuan dan kesempatan seseorang untuk berbuat
sesuatu. Tanggung jawab sosial ini adalah ujud dari ikatan
sosial dan prinsip saling menolong. Dengan ikatan sosial yang
kuat dan bahu membahu antar mereka ini akan terwujud
keunggulan dan kemajuan umat. Inilah spirit yang
dimaksudkan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71:
‫َوالْ ُم ْؤ ِمنُ ْو َن َوالْ ُم ْؤ ِمن ُت ب َ ْعضُ ه ُْم َا ْو ِل َيا ُء ب َ ْع ٍض يَأْ ُم ُر ْو َن ِِبلْ َم ْع ُر ْو ِف َويََّنْ َ ْو َن َع ِن الْ ُم ْن َك ِر‬
َ ‫الل ۗ ِا َّن‬
‫الل‬ ُ ‫الل َو َر ُس ْو َل ۗ ُاولى َك َس َ ْْي َ َُح ُه ُم‬ َ ‫الصلو َة َويُ ْؤت ُْو َن َّالزكو َة َويُ ِط ْي ُع ْو َن‬ َّ ‫َويُ ِق ْي ُم ْو َن‬
ِ ‫َع ِزْي ٌز َح ِك ْ ٌمي‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”

Tanggung jawab sosial dari masing-masing individu


tergambar dalam lingkup sosial terkecil yaitu keluarga. Seorang
kepala rumah tangga bertanggungjawab atas keluarga yang
ada dalam pertanggungannya. Di tangannyalah laju perjuangan
untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.
Jika salah satu anggota keluarga tertimpa hal yang tidak
dikehendaki, maka sebenarnya yang tertimpa musibah adalah
kepala keluarga. Dialah yang harus mengatasi dan mencari
solusinya. Jika ada kekurangan menimpa maka kepala keluarga
yang akan begadang malam hari, membanting tulang di siang
hari, untuk menutupi kekurangan tersebut. Jika ada salah satu
anggota keluarga yang bertindak melenceng, dia berusaha
sekuat tenaga untuk kembali meluruskannya.
Demi keselamatan keluarga sebagai komunitas sosial
terkecil, Islam telah mengajarkan adanya tanggung jawab
pasangan suami istri satu dengan yang lainnya, dan juga
tanggung jawab masing-masing pasangan terhadap
keluarganya. Seorang suami sebagai kepala keluarga,
bertanggungjawab menjaga istrinya, dan mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaannya. Suami juga
bertanggungjawab untuk mengarahkan jalannya, mendidik dan
meluruskannya dengan lembut. Selanjutnya seorang istri, ibu
dari anak-anak, dia adalah sekolahan pertama untuk anak-
anaknya. Mereka akan menjadikannya sebagai contoh hidup
dari perilaku akhlak. Jika ibu berakhlak mulia maka otomatis
mengajari anak dengan kemuliaannya. Dia membukakan jalan
keluhuran untuk anak-anaknya.
Peran penting seorang ibu dalam keluarga inilah di antara
yang menjadikan kita harus benar-benar mempersiapkan
secara matang dan baik, mulai dari memilih calon istri. Nabi
SAW sudah mengajarkan kepada umatnya agar memilih
pendamping yang baik. Pilihan itu didasarkan faktor agama dan
akhlak. Ini yang tergambar dalam hadis Nabi:

‫تنكح املرأة ألربع‬


Pada bagian akhir hadis tersebut ditegaskan bahwa pilihan
utama mesti didasarkan pada pertimbangan faktor agama dan
akhlak, bukan lainnya. Karena kedua hal itulah modal utama
seorang istri dalam menjaga suami, keluarga dan harta
bendanya. Kedua hal tersebut menjadi kunci sukses seorang
istri dalam keluarganya, dalam melayani dan menjaga suami
dan keluarganya, di saat suami ada di rumah ataupun pada saat
suami berada di luar rumah. Seperti sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

‫ خْي النساء‬:‫عن ايب امامة عن النيب صل هللا عليه وسَل قال‬


3. Tanggung jawab Seorang Pemimpin
Negara adalah keluarga besar. Pimpinannya
bertanggungjawab, seperti kepala keluarga, terhadap
kebahagiaan dan kesejahteraan warganya. Rasa tanggung
jawab ini menjadi syarat mutlak untuk seorang pemimpin yang
baik. Dengan rasa inilah mereka melayani rakyatnya,
mengorbankan kepentingan pribadinya, demi untuk warganya.
Sejak awal umat Islam telah memahami sabda Nabinya,
kalian semua adalah pemimpin, dan setiap kalian
bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Sabda ini dipahami
sebagai sebuah titah agar para pemegang tanggung jawab
benar-benar memperhatikan dan mengupayakan kebahagiaan
dan kesejahteraan rakyatnya, dan juga mewujudkan keamanan
dan ketenangan masyarakatnya. Tanggung jawab besar yang
dipikul oleh seorang pemimpin. Bukan hanya di depan
masyarakat warganya, tapi juga di hadapan Allah kelak, dan di
dalam catatan sejarah dan hati nurani. Maka seorang
pemimpin yang baik dia akan berjuang untuk menggapai ridho
ilahi, sekaligus menorehkan catatan harum dalam sejarah
perjalanan umat. Para sahabat generasi awal kaum muslimin
telah memberikan contoh yang baik tentang tanggung jawab
kepemimpinan ini. Sahabat Umar Bin Khathab rela berkeliling
malam hari dalam kegelapan malam untuk memantau
langsung kondisi rakyatnya. Ia khawatir ada rakyat yang
terdzalimi tanpa sepengetahuannya.
Celakanya ada sebagian orang yang melihat bahwa jabatan
pemimpin adalah sarana untuk memperoleh kedudukan
terhormat dan kekayaan. Mereka tidak memiliki rasa tanggung
jawab, tidak peduli dengan kondisi dan kebutuhan rakyatnya.
Ini tentu tidak sejalan dengan spirit ajaran Islam yang
menegaskan bahwa kepemimpinan itu tugas bukan anugerah.
Kepemimpinan itu pengorbanan dan tanggung jawab,
berkeringat di siang hari, dan tetap terjaga di malam hari untuk
kepentingan rakyat. Pemimpin haruslah menegakkan
kebenaran, mengibarkan panji keadilan, menebarkan spirit
kesetaraan dan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Secara umum, spirit utama dari rasa tanggung jawab
adalah taklif.4 Dalam Islam, taklif ini mencakup kesanggupan
secara fisik dan juga mental. Seorang yang belum mencapai
standar usia berfikir tidak dapat disebut mukallaf. Begitupun
seseorang yang tidak mampu berfikir meskipun dia sudah
cukup usia tidak juga dapat menjadi mukallaf.
Penjelasan tentang pertanggungjawaban seseorang ini
digambarkan dengan jelas dalam Hadis yang diriwayatkan oleh
Aisyah RA:

‫رفع القَل عن ثالثة‬


Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa kebebasan berbuat
(hurriyah) merupakan syarat terwujudnya
pertanggungjawaban. Seorang yang berbuat sesuatu karena
dipaksa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Maka
pertanggungjawaban dapat terwujud dengan baik jika
seseorang melakukan sesuatu, kebaikan atau kejahatan, atas
dasar pilihannya. Kemudian juga dipersyaratkan bahwa pelaku
adalah seorang yang berakal, baligh dan mandiri. Ketiga hal ini
adalah batasan dari taklif atau mukallaf.

4
Taklif secara bahasa artinya membebani (ilzam) sesuatu yang berat untuk dilakukan.
Secara terminologi hukum Islam, taklif adalah perintah Allah kepada hambaNya untuk melakukan
atau meninggalkan sesuatu. Orang yang dibebani tugas ini disebut mukallaf. Lihat Muhammad bin
Ali Asy_Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilm Al-Ushul, (tt, Dar al-Kitab al-
‘Arabiy, 1999), cet.1, hal.6
C. Ganjaran dan Hukuman
Dalam ajaran Islam, balasan berupa ganjaran atau hukuman,
adalah konsekuensi logis dari ujud pertanggungjawaban. Sejauh
mana pertanggungjawaban seseorang, maka ia akan
mendapatkan balasan dari perbuatannya. Dan pasti balasan itu
setimpal dengan perbuatannya, itulah asas keadilan. Hanya saja
perlu dipahami dengan baik, asas keadilan dalam Islam ini tidaklah
berarti sama rasa sama rata secara mutlak. Berikut ini penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip keadilan ilahi dalam balasan:
1. Hukum yang adil berlaku sama untuk semua orang
Adil di sini dimaksudkan bahwa sebuah aturan berlaku
sama untuk semua pihak. Apa yang boleh untuk seseorang
pasti boleh juga untuk yang lainnya. Tidak ada perlakuan yang
berbeda. Inilah spirit yang tertulis dalam Surat Al-Kahfi ayat 49
:

‫َو ُو ِض َع الْ ِكت ُب فَ َ َُتى الْ ُم ْج ِر ِم ْ َْي ُم ْش ِف ِق ْ َْي ِم َّما ِف ْي ِه َوي َ ُق ْولُ ْو َن ي َويْلَ َت َنا َمالِ ه َذا الْ ِكت ِب‬
‫اِضا ۗ َو َْل ي َ ْظ ِ َُل َرب ُّ َك َا َحدً ا‬
ً ِ ‫َْل يُغَا ِد ُر َص ِغ ْ َْي ًة َّو َْل َكب ْ َِْي ًة ِا َّْل ي َا ْحصهىَا َو َو َجدُ ْوا َما َ َِعلُ ْوا َح‬
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang
bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya,
dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang
telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak
menganiaya seorang juapun".

2. Balasan disesuaikan dengan jenis perbuatan


Jenis perbuatan menjadi pertimbangan utama dari sebuah
balasan dalam Islam. Kebaikan pasti dibalas kebaikan,
kenikmatan dan surga. Sebaliknya, keburukan juga akan
dibalas dengan keburukan, siksa dan neraka. Pembedanya
adalah jenis perbuatan baik atau buruk. Bukan pada jenis
kelamin pelakunya, laki-laki atau perempuan, kebangsaannya,
arab atau non arab. Surat An-Nisa ayat 123:

‫لَي َْس ِ َِب َما ِني ُ ُِْك َو َْل ي َا َم ِ ِاّن َاهْلِ الْ ِكت ِب ۗ َم ْن ي َّ ْع َم ْل ُس ْو ًءا ُّ َْي َز بِه َو َْل ََيِدْ َل ِم ْن د ُْو ِن‬
‫الل َو ِل ًّيا َّو َْل ن َِص ْ ًْيا‬
ِ
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat
pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”

3. Masing-masing pribadi bertanggungjawab atas dirinya


Setiap individu bertanggungjawab atas perbuatannya.
Seseorang tidak akan dimintai pertanggungjawaban dari
perbuatan orang lain. Inilah spirit yang ditegaskan dalam surat
Luqman ayat 33:

‫ي َيُّيُّ َا النَّ ُاس ات َّ ُق ْوا َربَّ ُ ُْك َواخْشَ ْوا ي َ ْو ًما َّْل َ َْي ِز ْي َو ِ ٌادل َع ْن َّو َ ِدله َو َْل َم ْولُ ْو ٌد ه َُو َج ٍاز َع ْن‬
‫الل َح ٌّق فَ َال تَغ َُّرنَّ ُ ُُك الْ َحيو ُة ادلُّ نْ َياۗ َو َْل يَغ َُّرنَّ ُ ُْك ِِب ِلل الْغ َُر ْو ُر‬
ِ َ‫َّو ِ ِادله َش ْيـاۗ ِا َّن َوعْد‬
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu
hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong
anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar,
maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu
dalam (mentaati) Allah.”

4. Keadilan balasan dalam Islam tidak otomatis balasan sepadan


dengan perbuatan
Ada yang khas dalam ajaran Islam. Balasan untuk kebaikan
akan dilipatgandakan. Sedangkan balasan untuk keburukan
tetap sepadan dengan perbuatannya. Hal ini adalah ujud dari
sifat kasih sayang Tuhan untuk umat manusia. Seperti firman-
Nya dalam Surat Al-An’am ayat 160:

ُ ْ ‫َم ْن َجا َء ِِبلْ َح َس نَ ِة فَ َل ع‬


‫َْش َا ْمث َا ِلهَا َو َم ْن َجا َء ِِب َّلس ِيئَ ِة فَ َال ُ َْي يزى ِا َّْل ِمثْلَهَا َو ُ ُْه َْل‬
‫يُ ْظلَ ُم ْو َن‬
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala)
sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan).”

5. Balasan dalam Islam dunia akhirat


Sebagai ajaran penutup semua agama, Islam sangatlah
komprehensif dalam hal balasan. Bukan hanya di akhirat saja
balasan untuk perbuatan manusia, tapi juga di dunia. Dua sisi
kehidupan manusia, dunia-akhirat, menjadi lengkap dalam
konsep balasan ala Islam ini. Keseimbangan antara dua sisi
kehidupan itu menjadi penyeimbang kehidupan umat.

D. Jenis-jenis Hukuman
Ada lima macam hukuman, yaitu: hukuman alami, hukuman
politik/sipil, hukuman sosial, hukuman ukhrawi, dan hukuman
moral.
1. Hukuman alam
Hukuman ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum
alam. Rasa sakit di badan, pikiran, sehat dan sakit yang timbul
akibat seseorang mengikuti atau melanggar hukum alam
adalah bentuk dari hukuman alam ini. Seperti seseorang yang
mengonsumsi sayuran yang tidak bersih, atau mandi dengan
air kotor yang tercemar, begadang malam berlebihan, dan
lainnya.
2. Hukuman politik atau sipil
Hukuman ini diberikan kepada orang yang melanggar
hukum negara atau hukum positif. Bentuknya seperti penjara,
kerja paksa, denda dan lainnya. Bagi orang yang taat hukum
positif maka ia akan merasakan kenyamanan, kemerdekaan
dan kelancaran dalam kehidupan masyarakat.
3. Hukuman sosial
Ganjaran dan hukuman sosial ini didasarkan kepada
ketaatan terhadap pendapat umum masyarakat dan tradisi
yang berkembang di sana. Pandangan umum masyarakat
memberikan penghargaan dan memuji sifat-sifat pengorbanan,
kedermawanan, keberanian, berkata benar, memegang teguh
prinsip. Di sisi lain masyarakat mengecam perilaku rendah dan
jahat seperti penakut, ketidak pedulian sosial, kikir, dan
lainnya. Banyak orang lebih takut kepada hukuman masyarakat
dari pada hukum agama dan moral. Mereka lebih khawatir
dikucilkan dan tidak dihormati warga daripada ancaman Tuhan.
Sehingga mereka berpuasa bukan karena mencari keridhoan
Allah, tapi lebih karena malu kepada warga.
4. Balasan Ukhrawi
Balasan ini adalah kenikmatan abadi di surga bagi orang
yang taat, dan siksa abadi di neraka bagi para
pembangkangnya. Balasan atau hukuman ini seperti yang
tertulis dalam surat az Zalzalah ayat 7-8:
‫فَ َم ْن ي َّ ْع َم ْل ِمثْقَا َل َذ َّر ٍة خ ْ ًَْيا يَّ َره‬
ًّ َ ‫َو َم ْن ي َّ ْع َم ْل ِمثْقَا َل َذ َّر ٍة‬
‫ْشا يَّ َره‬
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”

5. Hukuman Moral
Ganjaran moral biasanya berbentuk ketenangan hati
ketika ia melakukan kebaikan, dan sebaliknya gelisah ketika
melakukan keburukan. Seorang yang melakukan dosa akan
menyesal tatkala ia tersadar. Dan penyesalan itu menjadi
hukuman yang kadang lebih menyakitkan dibandingkan
hukuman lainnya. Sebaliknya, seseorang yang melakukan
kebaikan, balasannya adalah ketenangan batin yang
merupakan balasan terbaik bagi kebaikan. Dalam ungkapan
filosofis, balasan untuk kebaikan adalah kebaikan, dan balasan
untuk keutamaan adalah keutamaan itu sendiri.
A. Pengertian Fadhilah dalam Akhlak
Keutamaan (fadhilah) adalah sebuah sikap mental atau
kondisi kejiwaan yang darinya muncul perilaku-perilaku utama
dengan enteng dan gampang. Dalam definisi tersebut terdapat
beberapa unsur sebagai berikut:
1. Sikap mental yang menjadi sumber munculnya perilaku baik
Sikap mental ini dapat kita pahami dengan baik dengan
dua penjelasan yaitu pertama, bukan sekedar berbuat.
Fadhilah bukanlah sekedar berbuat suatu perilaku baik atau
utama. Banyak perbuatan nampaknya baik tapi sebenarnya
tidak. Sebab mungkin perbuatan tersebut muncul bukan dari
jiwa yang tulus dan bersih. Seperti seorang yang berderma
tanpa didasari keikhlasan dan karena ingin dapat pujian. Atau
seseorang yang dapat menghindarkan diri dari korupsi bukan
karena ia punya mental yang bersih, tapi karena mungkin tidak
mendapatkan kesempatan saja. Kedua, bukan sekedar tahu
dan mampu. Fadhilah bukanlah sekedar kita tahu dan paham
akan sebuah keutamaan atau kebaikan. Dan juga bukan
sekedar kemampuan seseorang untuk berbuat. Kedua hal
tersebut, tahu dan mampu, posisinya sama dalam kaitannya
dengan keutamaan dan keburukan.
Jadi sikap mental yang dimaksud di sini adalah kesiapan
jiwa seseorang untuk berbuat suatu keutamaan dengan sadar
dan tulus. Bisa jadi kesiapan jiwa ini tidak sampai mewujud
dalam sebuah aksi perbuatan, tetap saja seseorang bisa disifati
dengan fadhilah ini. Semisal seseorang punya sikap mental
kedermawanan meskipun dia tidak sempat berderma kepada
sesama.
2. Munculnya perilaku utama dengan enteng dan mudah
Enteng dan mudah menjadi syarat utama sebuah perilaku
dapat disebut sebagai sebuah tindakan akhlak. Secara
psikologis dapat dipahami bahwa berbuat dengan enteng dan
mudah ini tidak dapat dilakukan dengan intsan. Keduanya
menggambarkan kondisi jiwa yang mapan dan tulus. Tentu
saja, untuk mencapai sifat tersebut butuh latihan dan
pembiasaan.

B. Karakteristik Keutamaan Akhlak


Keutamaan memiliki tiga karakteristik dasar, yaitu, pertama,
kebajikan merupakan buah dari proses (muktasab), bukan bawaan
alam. Untuk memperoleh kebajikan moral itu dibutuhkan
beberapa media seperti pendidikan, pembiasaan dan lingkungan.
Hal tersebut nampak jelas pada perkembangan jiwa seorang anak
kecil yang diibaratkan oleh para ulama akhlak sebagai lembaran
putih yang siap menerima berbagai ukiran. Dia seperti lilin yang
bisa dibentuk sesuai dengan yang dikehendaki. Dia akan
terbentuk oleh keadaan lingkungan yang melingkupinya, dan
kebiasaan-kebiasaan yang ia alami. Perkembangan jiwa seorang
anak akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia tumbuh.
Upaya memperoleh kebajikan ini bisa didapatkan secara
otomatis tanpa memahami nilai dari perbuatannya. Seperti
seorang anak yang belajar melakukan kebajikan dengan cara
mengikuti perilaku orang lain, atau dengan cara diberikan
motivasi atau ancaman. Apabila dengan cara ini seseorang dapat
melakukan sebuah kebajikan, dan secara konsisten terus
melakukannya, kebajikan tersebut akan menjadi kebiasaan yang
tertanam dalam jiwanya. Saking seringnya ia melakukannya,
kebajikan tersebut seakan-akan menjadi suatu bawaan sejak lahir.
Dalam bahasa Aristotelles ini diistilahkan sebagai habitus.
Kebiasaan yang terinternalisasi dalam jiwa seseorang. Model yang
pertama ini haruslah dipahami sebagai sebuah proses awal
perolehan kebajikan. Dan pada gilirannya nanti harus
dikembangkan dengan upaya memahami nilai dan tujuan sebuah
perbuatan. Sebab hal tersebut menjadi syarat sebuah perbuatan
dapat dikatakan sebagai kebajikan akhlak.
Di sisi lain, kebajikan ini dapat diperoleh dari sebuah upaya
memahami nilai dan tujuan dari perbuatan tersebut. Hal ini
dilakukan dengan cara belajar prinsip-prinsip akhlak yang
bersumber dari ajaran ilahi. Di sana dijelaskan tentang hikmah dan
makna dari sebuah perbuatan, dan juga motivasi kenapa
seseorang harus melakukan atau meninggalkan sebuah
perbuatan.
Kedua, kebajikan itu tengah-tengah (wasath) di antara dua hal
buruk. Secara detail hal ini akan dibahas pada penjelasan tentang
jenis-jenis keutamaan nanti. Secara sederhana dapat ditegaskan
bahwa keutamaan itu ada pada titik tengah di antara dua hal yang
buruk. Di mana jika melampaui batas wasath tadi maka akan
masuk ke dalam keburukan.
Dan ketiga, keutamaan sangat terkait dengan rasa nikmat dan
Bahagia. Seorang yang memiliki sifat utama, ia melakukan
kebajikan bukan karena tekanan, paksaan dan juga rasa takut. Ia
melakukannya dengan enjoy dan menikmati betul perilakunya itu,
dan merasa bahagia dalam melakukannya. Jadi kenikmatan dan
kebahagiaan jiwa sangat erat kaitannya dengan keutamaan.
Adapun untuk mewujudkan sebuah keutamaan dibutuhkan
empat syarat yaitu, pertama, tahu. Untuk dapat disebut sebagai
sebuah keutamaan, dipersyaratkan seseorang harus tahu apa
yang ia perbuat, dan nilai dari perbuatannya. Seorang yang
melakukan kebaikan dan ia tidak tahu bahwa itu kebaikan, tidak
dapat disebut sebagai keutamaan akhlak. Seorang yang sedang
mabuk berat, lalu ia memberikan sumbangan sosial, ia tidak dapat
disebut sebagai dermawan. Sebab ia tidak sadar dengan
perbuatannya. Begitupun seorang anak kecil yang membagi-
bagikan mainannya kepada teman-temannya agar ia dibelikan
yang baru oleh bapaknya, tidaklah dapat dikategorikan sebagai
dermawan yang berjiwa mulia.
Kedua, kehendak sendiri. Yang dimaksud dengan syarat ini
adalah seseorang harus melakukan sebuah kebajikan atas dasar
kehendak dan pilihannya sendiri, bukan karena dipaksa oleh pihak
lain untuk melakukan sesuatu, dan juga bukan karena takut
sesuatu sehingga ia tidak melakukannya. Seorang yang punya
penyakit sehingga harus menghindari beberapa jenis makanan
enak karena penyakitnya tidak dapat disebut memiliki sifat ifah
atau sederhana. Begitupun seseorang yang lemah syahwat atau
memiliki kekurangan lainnya, lantas ia tidak melakukan perbuatan
asusila, tidaklah dapat disebut sebagai seorang afif atau suci.
Ketiga, terinternalisasi. Keutamaan bisa terwujud jika terpatri
dengan kuat dalam jiwa, tidak goyah oleh perubahan jaman.
Orang yang bajik dan berbudi luhur, ia tetap seperti itu dalam
berbagai kondisi, ketika kaya atau miskin, ketika senang atau
susah, ketika sendirian atau ramai-ramai, kepada teman atau
musuh. Untuk mencapai tingkatan ini, terinternalisasikannya
kebajikan dalam jiwa seseorang, dibutuhkan pembiasaan
sehingga perbuatan tersebut dapat terpatri dalam jiwa. Jadi tidak
cukup sebuah laku disebut sebagai keutamaan jika dilakukan
hanya sekali atau dua kali. Dalam syair Ibnu Maskawaeh
disebutkan, munculnya seekor burung tidak dapat dijadikan
petunjuk mulainya musim semi (Miskawaih, 1985, p. 12).
Keempat, niat yang baik. Syarat keempat ini merujuk kepada
motivasi perbuatan. Seorang berbuat kebajikan belum lengkap
jika motif yang hendak dicapai bukan ridho ilahi. Apalagi jika
motifnya adalah kepentingan duniawi. Maka dibutuhkan
keikhlasan dan ketulusan niat. Pentingnya niat ini digambarkan
dalam hadis yang diriwayatkan dari Sayyidina Umar Bin Khathab:

‫ َ َِس ْع ُت َر ُس ْو َل‬:‫هللا َع ْن ُه قَا َل‬ ُ ‫ِض‬ َ ِ ‫َع ْن َأ ِم ْ ِْي الْ ُم ْؤ ِم ِن ْ َْي َأ ِ ْيب َح ْف ٍص ُ ََع َر ْب ِن الْخ ََّط ِاب َر‬
‫ فَ َم ْن‬.‫ك ا ْم ِرئٍ َما ن ََوى‬ ِ ُ ‫ات َوان َّ َما ِل‬ِ َّ‫ ان َّ َما ْا َأل ْ ََع ُال ِِبلنِي‬:‫هللا صل هللا عليه وسَل ي َ ُق ْو ُل‬ ِ
ِ
‫ َو َم ْن ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ِ ُدلنْ َيا يُ ِص ْيُبُ َا‬،ِ ‫هللا َو َر ُس ْو ِ ِل‬
ِ ‫هللا َو َر ُس ْو ِ ِل فَ ِه ْج َرتُ ُه ا َىل‬ِ ‫ََكن َْت ِِه َْرتُ ُه ا َىل‬
ِ ِ
‫َأ ْو ا ْم َر َأ ٍة ي َ ْن ِك ُحهَا فَ ِه ْج َرتُ ُه ا َىل َما هَا َج َر الَ ْي ِه‬
“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab
ِ ِ
radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap
perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di
dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya
(akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhary)

Posisi niat ini sangat menentukan kelas dan level dari sebuah
kebajikan. Secara umum keutamaan dapat dibagi menjadi tiga
level, yaitu;
1. Level awam atau yang terendah. Kebajikan dilakukan karena
mengharap ganjaran dari Allah, dan takut akan siksaNya.
2. Level menengah, yaitu kebajikan dilakukan untuk
mendapatkan pujian dari Allah, dan menghindari celaan-Nya.
Ini kelasnya orang-orang salih.
3. Level tertinggi, yaitu kebajikan dilakukan untuk mendapatkan
ridho Allah. Ini kelasnya para Nabi, Syuhada dan Sholihin (As
Ashfahani, 1987).
Perbuatan baik yang muncul dari jiwa yang bersih manakala
memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas dapat
dikategorikan sebagai sebuah keutamaan akhlak. Hanya saja
kadangkala terjadi seseorang sebetulnya siap untuk berderma, ia
berharap bisa memberi dan membantu orang lain, tapi keadaan
tidak memungkinkan. Pertanyaannya apakah kesiapan berbuat ini
cukup untuk disebut sebagai keutamaan derma?
Jawabannya adalah cukup. Sebab keutamaan adalah sikap
mental yang darinya muncul perbuatan baik, apakah perbuatan
baik tadi sampai terwujud atau tidak. Jadi dapat dikatakan bahwa
kehendak dan niat berderma, meskipun tidak sampai
dilaksanakan, termasuk kategori keutamaan akhlak.
Ada sebagian ulama akhlak, termasuk Aristotelles dan diikuti
oleh Ibnu Miskawaih, yang mempersyaratkan untuk sempurnanya
sebuah keutamaan akhlak haruslah terwujud dalam dunia nyata.
Untuk mewujudkan keutamaan ini dibutuhkan kesehatan jasmani
dan beberapa faktor eksternal diri kita seperti ketersediaan harta
dan lainnya. Beberapa keutamaan tidak dapat dilakukan oleh
orang yang miskin harta, seperti zakat, sadaqah dan haji. Dalam
konteks ini orang fakir diibaratkan seperti tentara yang maju
perang ke medan laga tanpa senjata. Di samping itu juga
dibutuhkan dukungan lingkungan seperti keluarga dan teman.
Adapun tujuan dari keutamaan akhlak adalah terwujudnya
keseimbangan sosial di masyarakat. Dan ini merupakan impact
sosial dari keutamaan akhlak, di mana kesejahteraan dan
kebahagiaan akan dapat terwujud jika manakala ada
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Ini perwujudan dari
spirit wasatiyah akhlak Islam.
Keadilan dibutuhkan karena ia dapat memperbaiki pola
kehidupan sosial dan dapat menghapuskan kezaliman yang
merupakan salah satu sifat buruk. Sifat ifah, sederhana dan bisa
menahan diri merupakan keutamaan akhlak, sebab sifat tersebut
dapat mengangkat derajat luhur seseorang, dan menghindarkan
dari pengkhianatan yang dapat mengancam keselamatan
masyarakat dan juga keamanan mereka. Begitu juga sifat
pemberani, syaja’ah, merupakan keutamaan karena dengannya
seseorang dapat menghadapi situasi gawat dan tidak melarikan
diri dari kegaduhannya. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa keutamaan-keutamaan akhlak tadi sangatlah dibutuhkan
untuk mengatur pola komunikasi dan interaksi sosial, di mana hal
itu menjadi syarat dapat berlangsungnya kehidupan sosial yang
harmonis. Keutamaan akhlak bertujuan membentuk individu-
individu yang memiliki kesempurnaan diri. Jika individu-individu
yang merupakan anggota masyarakat telah mencapai keutamaan
akhlak, dan secara otomatis mencapai kesempurnaan diri, maka
masyarakat pada umumnya juga akan aman dan sejahtera.
Dalam lingkup yang lebih luas, keutamaan akhlak ini
bertujuan mewujudkan kebahagiaan individu dan juga sosial.
Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan dalam arti
seluas-luasnya, termasuk di dalamnya kebahagiaan jiwa yang
dirasakan oleh seseorang ketika ia dapat melakukan apa yang
menurutnya baik dan utama. Bukan hanya kebahagiaan di dunia,
tapi juga sampai di akhirat nanti. Inilah inti tujuan dari keutamaan
akhlak, mewujudkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Dari penjelasan tentang tujuan keutamaan akhlak di atas,
dapat dipahami bahwa ukuran kesempurnaan moral dalam akhlak
islami itu ada tiga, yaitu; masyarakat, individu dan aturan ilahi. Jadi
akhlak Islami tidak hanya diukur dari terwujudnya keharmonisan
kehidupan masyarakat yang nampak dari perilaku saling kompak
dan bekerjasama antar anggotanya. Dan bukan juga sekedar
diukur dari kebaikan individu-individu yang melakukan kebajikan
akhlak. Ukuran kebajikan dalam Islam diukur dari 2 unsur tadi,
individu dan sosial, ditambah satu lagi ukuran yang tidak dapat
dilupakan yaitu titah ilahi, unsur agama, yang sangat terkait
dengan akhlak dalam Islam. Sehingga kebahagiaan yang menjadi
tujuan utama kebajikan akhlak islami adalah kebahagiaan yang
lengkap, duniawi dan ukhrawi.
Telah dijelaskan di muka bahwa keutamaan adalah sebuah
sikap mental yang darinya muncul perbuatan-perbuatan baik.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah sikap mental tersebut
cukup sebagai bukti keutamaan seseorang meskipun baru sebatas
potensi belum mewujud ke perbuatan nyata? Dengan kata lain,
apakah cukup seseorang disebut sebagai dermawan hanya
dengan sikap mental atau kesiapan berderma saja tanpa aksi
nyata?
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa keutamaan butuh
perwujudan dalam aksi nyata. Keutamaan adalah perbuatan
positif yang memiliki dampak kepada orang lain. Seseorang belum
bisa dikategorikan dermawan jika dia belum pernah memberi.
Begitupun sifat kesederhanaan atau iffah, seseorang bisa disebut
afif jika dia mampu menghindari berbagai kekurangan, dan dapat
mencegah dirinya dari kenikmatan dan syahwat duniawi di saat
kesempatan terbuka lebar.
Ibnu Miskawaih kurang setuju dan bahkan mencela para
penyendiri yang mengasingkan diri di biara-biara mereka,
menghindari interaksi dengan masyarakat, fokus beribadah.
Bahkan Ibnu Maskawaeh menegaskan bahwa mereka tidak dapat
mencapai atribut fadhilah. Mereka salah dan zalim terhadap
masyarakat, di mana mereka telah mengambil sesuatu dan tidak
mau memberi. Mereka, para penyendiri itu menyangka bahwa diri
mereka potret dari sifat sederhana atau afif, juga dan dermawan.
Kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Bagaimana mereka bisa
menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga diri dari keburukan,
dan bagaimana mereka bisa membantu dan memotivasi orang
lain, sedangkan mereka terasing dari masyarakat di mana
keutamaan-keutamaan tersebut dapat terwujud (Miskawaih,
1985).
Ibnu Miskawaih mendasarkan kecenderungan moralitas
sosialnya ini kepada teks-teks keagamaan, ayat-ayat Al-Qur’an dan
juga hadis Nabi. Di antaranya adalah ajaran agama tentang
keutamaan shalat jama’ah yang lebih utama sampai 27 derajat
dibandingkan shalat sendirian. Di samping itu, Islam juga
mensyari’atkan shalat jum’at seminggu sekali, sebagai media
untuk berkumpulnya masyarakat jama’ah sekitar sebuah masjid.
Media perkumpulan yang lebih besar lagi adalah disunnahkannya
shalat hari raya. Dan yang terbesar adalah berkumpulnya jutaan
umat Islam jama’ah haji dari seluruh dunia di Padang Arafah untuk
wukuf haji.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Tiada kehidupan tanpa masyarakat yang menjadi
tempat mereka mencapai kesempurnaannya. Manusia saling
membutuhkan satu dengan yang lain. Menyingkir dan
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat sama saja
menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, dan juga menutup
jalan menuju keutamaan-keutamaan sosial yang hanya dapat
terwujud di tengah kehidupan masyarakat. Seseorang belum
dapat disebut sebagai dermawan manakala belum ada pihak lain
yang merasakan bantuan dan kepeduliannya. Sifat lembut hanya
bisa diuji manakala seseorang dihadapkan pada situasi dapat
memancing emosi.
Dalam hal ukuran moralitas, para filosuf akhlak terbagi
menjadi 2 mazhab besar; moralitas sosial dan individual. Dalam
pandangan penganut mazhab moralitas sosial ukuran moral, baik
dan buruk, ditentukan saat seseorang ada dalam kehidupan
sosial, di tengah masyarakat. Keutamaan-keutamaan akhlak pun
sebagian besar terkait langsung dengan masyarakat. Sementara
menurut paham yang kedua, moralitas individual, baik dan buruk
sangatlah personal. Kehidupan ramai masyarakat lebih sering
dipandang sebagai virus yang merusak pribadi-pribadi. Maka
solusinya menurut mereka, seseorang harus sering mengasingkan
diri. Pandangan yang pertama, moralitas sosial, banyak dianut dan
dikembangkan oleh para filosuf dan pegiat ilmu-ilmu sosial.
Sementara moralitas individual banyak dikembangkan oleh kaum
sufi.
Pertanyaan berikutnya adalah, lebih baik dan efektif yang
manakah antara dua pandangan moral di atas. Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan menjawab pertanyaan berikut ini; untuk
menjadi baik lebih berat yang mana, sosial atau individual? Atau
lebih ringan yang mana? Untuk menjadi orang baik, entengan
mana, pas sendirian di atas gunung, atau pas hidup di tengah
warga? Jawabannya adalah lebih ringan ketika kita menyepi
sendirian. Maksiat atau pelanggaran apa yang bisa diperbuat oleh
seseorang tatkala ia sendrian tidak berinteraksi dengan orang lain.
Kita tahu kebanyakan kesalahan dan dosa itu bermuara kepada
pelanggaran terhadap hak orang lain, atau terkait dengan sikap
terhadap orang lain.
Masing-masing pandangan di atas punya fadhilahnya. Hanya
saja sebagai makhluk sosial pandangan moralitas sosial tentu
lebih kena di kalangan muslim pada umumnya. Hal ini bukan
berarti ‘uzlah, menyendiri, mengasingkan diri itu tidak
dibutuhkan. ‘Uzlah yang proporsional sangatlah dibutuhkan
dalam mewujudkan berbagai keutamaan diri, dan juga saat kita
menyembah Sang Khalik. Dalam Kitab Adz-Dzari’ah disebutkan:
“Menyendiri itu hukumnya makruh kecuali untuk 3 orang: Sultan
untuk menyusun pemerintahannya, hakim untuk mencari
kebijaksanaan, dan seorang hamba saat bemunajat kepada
Tuhannya”.

C. Keutamaan Akhlak dan Pengetahuan


Adakah kaitan antara keutamaan dengan pengetahuan?
Sejauh mana pengaruh pengetahuan terhadap akhlak seseorang?
Seperti sudah dibahas di bab terdahulu, bahwa pengetahuan
menduduki posisi penting dalam akhlak. Dalam literatur Filsafat
Yunani Kuno, Socrates menegaskan bahwa keutamaan adalah
pengetahuan. Pendapat ini menjadi trend epistemologi klasik.
Tahu berarti baik, dan sebaliknya yang buruk karena tidak tahu.
Murid-murid Socrates kemudian menambahkan beberapa hal ke
dalam definisi tadi. Plato misalnya, dia mendefinisikan keutamaan
sebagai kesesuaian antara kebiasaan dan akal. Sementara
Aristotelles tidak sepakat dengan kedua gurunya yang idealis tadi.
Aristotelles memposisikan keutamaan sangat terkait dengan hal-
hal yang bersifat praktis. Menurutnya keutamaan adalah perilaku
khusus yang terbentuk karena pembiasaan dan dilakukan
berulang-ulang. Hal tersebut dapat terwujud manakala syahwat
keinginan kita tunduk kepada akal pikiran.
Sementara Ibnu Miskawaih memiliki 2 pandangan yang
kontras satu dengan lainnya. Pandangan pertama dapat dikatakan
sebagai pandangan idealis, bagaimana semestinya, ia sepakat
dengan guru-gurunya bahwa pengetahuan tentang kehinaan akan
membuat seseorang menjauhinya, dan sebaliknya pengetahuan
tentang kebaikan akan membuat seseorang melakukannya. Hal
tersebut karena pada dasarnya manusia itu suka terhadap apa-
apa yang bermanfaat bagi dirinya.
Pandangan yang kedua, Ibnu Miskawaih menjadi realistis.
Keutamaan bukan hanya didasarkan kepada pengetahuan atau
akal, tapi juga pada daya yang lain dan produknya. Ia tegaskan
bahwa akal bukanlah satu-satunya kekuatan yang mengatur
manusia untuk menjadi baik. Di sisi lain ada daya emosi
(ghadhabiyah) dan keinginan (syahwat) yang juga ikut berperan
menentukan perilaku seseorang. Jika dikendalikan baik akan
menjadi keutamaan. Sebaliknya jika daya emosi dan syahwat tidak
terkendali maka seseorang akan terjerumus kepada hal-hal yang
rendah dan hina.
Kedua pandangan di atas berbeda konteks. Yang pertama
konteks ideal, bagaimana mestinya sebuah kondisi. Dan yang
kedua realistis, bagaimana kondisi yang nyata. Ibnu Miskawaih
dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa pengetahuan
tentang keburukan meniscayakan seseorang untuk menjauhinya.
Dan barang siapa tahu kebaikan dan tingginya derajat kebaikan
tersebut pasti ia akan memilihnya menjadi perilaku dirinya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Miskawaih memposisikan
pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat penting. Pengetahuan
merupakan anasir terpenting dari proses terbentuknya
keutamaan. Buah dari pengetahuan itu adalah berbuat kebaikan
dan menjauhi keburukan. Maka kondisi ini adalah bentuk ideal
moralitas seseorang. Idealnya, seseorang yang tahu tentang
kebaikan dan lingkungan terpelajar, mereka adalah pihak yang
paling dekat untuk melakukan kebaikan dan keutamaan, dan yang
paling jauh dari keburukan dan kejahatan yang merupakan imbas
dari ketidaktahuan. Realitas menunjukkan bahwa ada pihak
terpelajar, tahu tentang kebaikan, paham tentang keburukan, tapi
mereka masih saja belum melakukan kebaikan, dan bahkan
melakukan kejahatan padahal mereka tahu betul perbuatannya
itu akan berakibat buruk bukan hanya untuk dirinya tapi juga
orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan manusia
bukan hanya ditentukan oleh pengetahuan akal semata, tapi juga
daya lainnya, emosi dan syahwat yang kadangkala mengalahkan
akal sehat.
Sebagai seorang filosuf akhlak, Ibnu Miskawaih menyadari
sepenuhnya bahwa jiwa manusia tidak selalu dalam kondisi ideal.
Kadang ada realitas yang dialami seseorang di bawah tekanan
daya emosi ataupun keinginan yang mendorongnya untuk
berbuat sesuatu yang tidak ideal. Dengan pemaparan kedua
pendapat Ibnu Miskawaih di atas, nampak jelas kondisi ideal yang
mesti dituju oleh seseorang. Itulah makna inti dari judul kitabnya
Tahdzib Al-Akhlaq, pendidikan, pembentukan menuju yang ideal.

D. Wasathiyah Sebagai Spirit Utama Keutamaan Akhlak


Bersikap dan berbuat secara wasathiyah, tengah-tengah,
dibutuhkan tidak hanya dalam bab akhlak saja. Tapi hampir di
semua bidang kehidupan, bahkan masuk ke dalam hal-hal
keseharian hidup kita seperti makan, minum, tidur dan lainnya.
Secara naluriah manusia cenderung untuk memilih sikap tersebut.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sikap tengah-tengah, tidak
ekstrim, adalah salah satu pilar kenyamanan hidup. Hal tersebut
bukan hanya untuk dunia manusia, tapi juga bangsa hewan yang
tidak berakal pun membutuhkan pilihan sikap tersebut.
Dalam ajaran Islam, sikap moderat atau tengah-tengah ini
sangat dianjurkan. Dalam berbagai ayat dan hadis dijelaskan
tentang sikap moderat ini.

َ ‫ ((الْ ُم ْس ِ َُل َم ْن َس َ ََل الْ ُم ْس ِل ُم‬:‫الل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََل‬


,‫ون ِم ْن ِل َسا ِن ِه َوي َ ِد ِه‬ ُ َّ ‫قَا َل َر ُسول هللا َص َّل‬
‫الل َع ْن ُه‬ُ َّ ‫))والْ ُمهَاجِ ُر ِم ْن َِه ََر َما َّنَ َىى‬
َ
"Seorang muslim yang menyelamatkan kaum muslimin dari lisan
dan tangannya. Dan muhajir adalah seorang yang mampu
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.”

Ada satu ayat al-Qur’an yang mengandung sumber


keutamaan dan intisari akhlak yang mulia. Allah berfirman dalam
Surat An-Nahl ayat 90:

‫الل يَأْ ُم ُر ِِبلْ َعدْ لِ َو ْاْل ْح َس ِان َواي َتا ِء ِذي الْ ُق ْر َب َويََّنْ َىى َع ِن الْ َف ْحشَ ا ِء َوالْ ُم ْن َك ِر‬ َ َّ ‫ا َّن‬
ِ ‫ون‬ ِ ِ
َ ‫َوالْ َب ْغ ِي ي َ ِع ُظ ُ ُْك لَ َعل َّ ُ ُْك تَ َذكَّ ُر‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dalam ayat pendek Surat Al-Hujurat terdapat penjelasan


singkat tentang tiga prinsip pokok keutamaan; hikmah, iffah, dan
syaja’ah.

‫ول ُ َُّث لَ ْم يَ ْرَتَ بُوا َو َجاهَدُ وا ِبأَ ْم َوا ِل ِه ْم َو َأنْ ُف ِس ِه ْم ِِف‬


ِ ِ ‫ون َّ ِاذل َين أ ي َمنُوا ِِب َّ ِلل َو َر ُس‬
َ ُ‫ان َّ َما الْ ُم ْؤ ِمن‬
َ ُ‫الصا ِدق‬
‫ون‬ َّ ‫الل ُأولَ ئِ َك ُ ُُه‬ ِ َّ ِ‫ِ َسبِيل‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-
orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.”

Ayat di atas menjelaskan, pertama, bahwa iman kepada Allah


dan Rasul-Nya tanpa keraguan adalah puncak keyakinan yang
merupakan buah dari kematangan akal dan jiwa, itulah klimaks
dari sifat hikmah atau kebijaksanaan. Kedua, berjuang dengan
harta benda adalah sifat dermawan yang merupakan buah dari
pengendalian yang apik terhadap syahwat keinginan kita, dan
biasanya disebut dengan Iffah. Dan ketiga, berjuang dengan
segenap jiwa dan raga merupakan representasi sifat syaja’ah,
pemberani, yang merupakan buah dari pengendalian terhadap
daya emosi manusia. Ketiga hal tersebut, hikmah, syaja’ah dan
iffah, ditambah satu lagi ‘adalah, merupakan umm al-fadha’il,
induknya keutamaan akhlak. Disebut induk karena di bawahnya
nanti terdapat banyak deretan sifat yang lainnya yang merupakan
sub atau unit kecil dari induk tersebut.
Ajaran Islam sendiri memposisikan sikap moderat atau
sedang-sedang saja ini sebagai sebuah perilaku yang terpuji. Islam
memerintahkan kepada para penganutnya untuk tidak berlebihan
dalam berinfak. Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 26:

َّ ‫َوأ ي ِت َذا الْ ُق ْر َب َحقَّ ُه َوالْ ِم ْس ِك َْي َوا ْب َن‬


‫السبِيلِ َو َْل تُ َب ِذ ْر تَ ْب ِذ ًيرا‬
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”

Pada ayat ke-29 Allah juga berfirman senada:


‫ك الْبَ ْسطِ فَ َت ْق ُعدَ َملُو ًما َم ْح ُس ًورا‬ ً َ ُ‫َو َْل َ َْت َع ْل يَدَ كَ َم ْغل‬
َّ ُ ‫وَل ا َىل ُع ُن ِق َك َو َْل تَب ُْس ْطهَا‬
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
ِ
dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal.”

Lebih tegas lagi firman Allah dalam surat Al-Furqan:

ِ ْ ‫َو َّ ِاذل َين ا َذا َأنْ َف ُقوا لَ ْم ي‬


‫ُْسفُوا َولَ ْم ي َ ْق ُ ُُتوا َو ََك َن ب َ ْ َْي َذ ِ َِل قَ َوا ًما‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
ِ
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya: “Setelah Allah


memerintahkan hamba-Nya untuk berinfak, Allah melarang
mereka berlebihan, dan Ia perintahkan untuk sedang-sedang
saja”. Terkait ayat yang kedua, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
Allah memerintahkan kesederhanaan dalam hidup, mencela sifat
bakhil, dan melarang boros dan berlebihan. “Dan janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu”, maksudnya adalah
jangan kamu jadi orang kikir, bakhil, yang tidak mau memberi atau
membantu siapapun. Sementara firman-Nya “dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya”, artinya jangan kamu boros dan
berlebihan dalam berinfak, dalam arti memberi di atas
kemampuan kita, atau mengeluarkan bantuan melebihi income
kita sendiri. Jika engkau bakhil maka manusia semua akan
mencelamu. Dan jika engkau boros dan berlebihan dalam berinfak
maka kamu akan bangkrut, seperti seekor kuda yang kehabisan
tenaga dan tidak mampu lagi melanjutkan perjalanannya.
Kemudian Ibnu Katsir meriwayatkan beberapa hadis yang
menjelaskan kandungan ayat di atas. Di antaranya:
‫ " ما أحسن‬:‫ قال رسول هللا صل هللا عليه وسَل‬:‫عن حذيفة رِض هللا عنه قال‬
‫ وأحسن القصد ِف العبادة‬،‫ وأحسن القصد ِف الفقر‬،‫" القصد ِف الغّن‬
“Dari Hudzaifah ra, Nabi Saw bersabda, “Alangkah indahnya sikap
tengah-tengah atau tidak berlebihan dalam kekayaan, kemiskinan
dan peribadatan”.

Hadis ini menegaskan bahwa sikap tengah atau tidak


berlebihan dalam banyak hal adalah yang terbaik. Bahkan dalam
ibadah pun demikian.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa bersikap dan berlaku
wasathi atau moderat ini merupakan perkara yang cukup berat.
Dalam Islam, menempuh jalan moderat ini merupakan jalan yang
terbaik, dan itu bukan hal yang mudah. Sering kali orang merasa
dirinya sudah moderat, namun secara tidak sadar ia terjebak
dalam titik ekstrim. Sebut saja misalnya para pihak yang
mengkritik cadar penutup wajah perempuan yang dianggap
sebagai identik dengan sikap ekstrim dan radikal. Dalam
mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap cadar mereka
melarang secara mutlak pemakaian hijab tersebut dan
memojokkan para pemakainya. Bukankah ini juga sikap ekstrim
yang lain.
Karena sulitnya bersikap dan berlaku moderat, Imam Ghazali
menegaskan dalam Ihya’ agar kita selalu memohon kepada Allah
agar ditunjukkan jalan yang lurus sebanyak 17 kali sehari semalam
dalam shalat kita. “Ya Allah, tunjukkan kami jalan yang lurus”,
yang merupakan salah satu ayat dalam Surat Al-Fatihah yang
wajib dibaca di setiap raka’at shalat. Untuk dapat konsisten atau
istiqamah dalam meniti jalan lurus bukanlah perkara mudah. Maka
kewajiban setiap insan adalah berusaha mendekati istiqamah,
meskipun belum mampu untuk mencapai hakikatnya.

E. Cara Menumbuhkan Fadhilah


Dalam hirarki kehidupan bumi, manusia menempati posisi
special jika dibandingkan dengan makhluk lainnya karena
kemampuan khas manusia yang dimilikinya. Manusia sama
dengan tumbuh-tumbuhan dalam daya reproduksi dan
pertumbuhan. Artinya manusia dan pohon sama-sama mampu
berkembang biak. Sementara jika manusia dibandingkan dengan
hewan, mereka sama-sama memiliki daya gerak, bahkan dalam
beberapa daya lainnya pun terdapat kemiripan. Seperti dalam
daya syahwat dan daya emosi, kedua daya ini juga terdapat dalam
komunitas binatang.
Dalam keseharian kita sering menyebut kedua sifat tersebut
sebagai sifat kebinatangan. Bahkan dalam ilmu akhlak pun kedua
daya itu disebut sebagai quwwah sabu’iyyah yang berarti binatang
buas untuk sebutan quwwah ghadhabiyah, dan quwwah bahimiyah
atau kebinatangan (kejorokan) untuk menyebut quwwah
syahwiyyah. Dan manusia menjadi istimewa adalah karena sifat
yang khas untuk mereka, yaitu kemampuan berbuat dan bersikap
dengan didasari oleh pemikiran dan pertimbangan, sejalan
dengan anugerah akal yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Berikut ini beberapa metode untuk menumbuhkan sifat baik
atau fadhilah:
1. Belajar atau mencari tahu tentang keutamaan dan kebaikan
Belajar tentang keutamaan dan mendalami nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya akan memposisikan seseorang dalam
derajat yang tertinggi di Mata Allah. Dan dalam konteks sosial,
pengetahuan tersebut akan mendorong seseorang untuk
melakukan dan istiqamah dalam kebaikan. Seperti diketahui
bahwa nasehat dan petunjuk dari orang ‘alim sangat
berpengaruh dalam menjelaskan tentang kebaikan dan
pelaksanaannya, sebaliknya juga dalam menjelaskan tentang
hal-hal buruk dan proses menjauhinya. Ini artinya bahwa
pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan sangatlah
penting.
2. Kebiasaan yang baik
Pembiasaan merupakan faktor terpenting kedua setelah
pengetahuan dalam pembentukan akhlak. Seorang anak yang
sejak dini dibiasakan dalam sebuah situasi, dapat dipastikan hal
tersebut akan membentuk sikap dan mentalnya kemudian.
Maka wajib hukumnya bagi para orang tua di rumah dan para
guru di sekolah untuk membiasakan anak-anak mereka dalam
perilaku yang baik. Contohnya membiasakan anak-anak untuk
hidup bersih, berkata jujur, berlaku taat dan sifat-sifat utama
lainnya, sehingga mereka terbiasa dengan sifat-sifat tersebut,
dan mereka akan tumbuh dewasa terus dalam situasi itu.
3. Tauladan yang baik
Contoh atau teladan yang baik adalah guru yang terbaik
dalam pembentukan sikap mental anak. Tauladan tersebut
sangat berpengaruh pada jiwa dan rasa sang anak, dan pada
gilirannya akan menunjukkan jalan menuju kebaikan.
Tauladan yang baik ini dapat dilihat dari teman, guru,
pejabat, keluarga dan lainnya, terutama orang tua di rumah
yang setiap saat mendampingi anak-anaknya. Makanya ada
ungkapan bahwa “ibu adalah sekolahan pertama bagi anak”.
Apa yang ditampilkan oleh orang tua di rumah adalah
percontohan pertama yang akan membentuk sikap mental
anak. Dari lingkungan inilah anak-anak akan terpengaruh dan
mengikutinya dalam ucapan dan tindakan. Jika mereka baik,
anak akan mengikuti kebaikannya. Sebaliknya jika yang
diperlihatkan adalah contoh buruk, maka anak pun akan
mengikuti keburukannya.
Karena pentingnya lingkungan tempat berkembang
seseorang inilah makanya dalam ajaran agama ada perintah
agar kita dapat memilih teman dengan pertimbangan kebaikan
perilakunya, dan kesempurnaan akhlaknya. Sebaliknya sedapat
mungkin menghindar dari teman yang berperangai buruk
seperti kita menjauh dari seseorang yang terkena penyakit
menular khawatir tertular penyakitnya. Akhlak yang buruk itu
memang laksana penyakit menular. Bahkan penularan
perangai buruk ini jauh lebih ganas dan lebih berbahaya
dibandingkan penyakit apa pun di dunia ini.
Salah satu media pengajaran teladan yang baik adalah
membaca kisah perjalanan para pahlawan dan tokoh-tokoh.
Dengan membaca perjalanan mereka, dan juga karya dan
perjuangan mereka, akan menanamkan ghirah untuk
mencontohnya. Misalnya dengan membaca sirah Nabi Saw,
kita dapat memahami sifat-sifat mulianya, keadilannya,
kebaikannya, untuk kemudian dapat diikuti. Dan secara tidak
langsung pembacaan tersebut juga menanamkan dalam jiwa
kita sifat-sifat yang luhur.
4. Muraqabah
Muraqabah atau evaluasi diri merupakan hal penting dalam
proses penanaman dan penjagaan akhlak yang mulia. Dengan
mengawasi dan mengevaluasi diri, seseorang dapat mengelola
keinginannya agar sejalan dengan kemuliaan akhlak. Saat
hasratnya mengajak kepada yang buruk, maka hasil evaluasi
diri itu dapat menghentikannya.
Imam Ghazali menegaskan dalam Ihya’, “Barang siapa
yang ingin mendapatkan sifat tawadhu’, sementara dalam
dirinya sudah dikuasai sifat sombong, maka caranya adalah
dengan mempraktekkan dan membiasakan sifat-sifat dari
orang-orang yang rendah hati dan terus melakukannya meski
dengan cara memaksa dirinya. Sampai sifat-sifat tersebut
menjadi karakter dan kebiasaannya.”(Al-Ghazali, n.d.).
5. Membatasi diri
Membatasi diri dari keinginan-keinginan yang tampaknya
wajar dan sebetulnya boleh dilakukan merupakan cara terbaik
untuk melatih penanaman akhlak mulia. Jika jiwa kita terbiasa
melakukan sesuatu terkendali, maka untuk membiasakan
akhlak mulia akan mudah.
6. Sabar dan telaten dalam pembentukan akhlak mulia
Kesempurnaan akhlak bukanlah proses yang berlangsung
instan. Seringkali kematangan akhlak membutuhkan
perjuangan panjang. Dan bahkan kadang juga melewati ujian
dan cobaan yang tidak ringan dalam perjalanannya. Maka
dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam hal ini.

F. Pengertian dan Jenis-jenis Radzilah


Radzilah atau sifat rendah dan buruk merupakan lawan dari
fadhilah atau keutamaan. Karenanya, dengan mengetahui salah
satunya akan dengan mudah mengetahui sifat lainnya. Di bagian
depan sudah dijelaskan bahwa fadhilah adalah sebuah sikap
mental yang muncul darinya perbuatan-perbuatan baik dengan
enteng dan mudah. Maka sebagai lawan dari fadhilah, radzilah
dapat didefinisikan sebagai sebuah sikap mental atau kondisi jiwa
yang muncul darinya perbuatan-perbuatan buruk dengan enteng
dan mudah.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
induknya keutamaan itu ada empat, yaitu hikmah, syaja’ah, ‘ifah
dan ‘adalah. Keempat induk ini meruapakan tengah-tengah dari 2
kutub ekstrim. Dua kutub ekstrim inilah yang dapat disebut
sebagai radzilah. Sehingga total ada 8 induk radzilah, yaitu: 1)
safah dan balah yang merupakan 2 kutub ekstrim dari sifat
hikmah. 2) tahawwur dan jubn yang merupakan 2 kutub ekstrim
dari syaja’ah. 3) syarh dan khumud yang merupakan dua kutub
ekstrim dari ‘ifah. Dan 4) jur dan mahanah yang merupakan dua
kutub ekstrim dari ‘adalah.
Seperti keempat induk keutamaan yang di bawahnya
terdapat sifat-sifat baik lainnya, dari 8 induk radzilah ini juga dapat
diderivasi menjadi sifat-sifat buruk yang tidak terhitung
jumlahnya. Sifat-sifat ini kesemuanya bersifat iktisabi, atau hasil
dari pembentukan sebuah proses, bukan bawaan lahir dan juga
bukan hal paten yang tidak dapat dirubah. Semuanya terbentuk
oleh proses pembiasaan dan latihan yang di antaranya tergambar
dalam pemberian contoh buruk dan juga ketidaktahuan.

G. Cara Memperbaiki Sifat Buruk (Radzilah)


Radzilah atau sifat-sifat yang buruk adalah penyakit rohani
yang mesti diobati jika seseorang ingin selamat dunia akhirat.
Berikut ini beberapa cara pengobatan terhadap akhlak yang buruk
agar hati bersih darinya dan segera dihiasi dengan akhlak yang
mulia:
1. Jika seseorang terjangkit perangai atau akhlak yang tercela, ia
harus menumbuhkan dalam hatinya keinginan yang kuat untuk
melepaskan diri dari perangai buruk tersebut. Keinginan kuat
ini menjadi kunci sukses seseorang dalam upayanya
membersihkan diri dari perangai buruk.
2. Selanjutnya ia harus mempersenjatai dirinya dengan tekad
yang kuat tanpa keraguan.
3. Tekad kuat ini harus didukung oleh faktor-faktor yang
mendukungnya seperti lingkungan dan situasi yang dapat
mendorongnya untuk terus menghindari perangai buruk.
4. Jangan sekali-kali memberikan toleransi kepada muncul
kembalinya perangai buruk dalam dirinya, misalnya dengan
memberikan kelonggaran atau pengecualian boleh berbuat ini
dalam kondisi tertentu. Perangai buruk tidak mungkin bisa
hilang kecuali jika dengan gigih kita memeranginya dan
menggantinya dengan sifat mulia.
5. Berhenti dari perangai buruk dengan sekali aksi, tidak secara
bertahap. Hal ini sangat mungkin membuat seseorang merasa
sakit atau beban berat, tapi sakit dan beban tersebut akan
hilang seiring munculnya sifat-sifat mulia penggantinya.
6. Senantiasa memposisikan sifat-sifat yang tercela sebagai
musuh yang harus dilawan atau dihindari.
7. Tidak terlalu lama berfikir tentang perangai buruk yang hendak
ia tinggalkan, dan segera menggantinya dengan akhlak mulia
yang baru. Terlalu lama berfikir dan menimbang-nimbang
sesuatu bisa jadi menyebabkan jiwa merasa lemah dan hilang
keyakinan. Untuk dapat menghilangkan kecenderungan di
atas, bisa dilakukan dengan cara menghindari tempat-tempat
di mana ia biasa melakukan perangai buruknya, dan segera
menggantinya dengan mengunjungi majlis ilmu, forum
peribadatan, dan mungkin juga tempat olah raga yang
bermanfaat agar tidak ada lagi kesempatan munculnya pikiran-
pikiran tentang perangai buruknya.
8. Memperluas cakrawala berfikir dan menambah wawasan agar
tidak berfikir sempit. Sering kali terjadi munculnya sifat tercela
disebabkan oleh sempitnya wawasan dan pengetahuan
seseorang. Misalnya sifat egois dan mau menang sendiri,
biasanya muncul karena minimnya kesadaran bahwa kita ini
hanyalah satu dari sekian anggota masyarakat. Masih banyak
orang lain yang punya hak sama dengan kita dan harus
dihormati.
Itu semua dapat diwujudkan dengan cara mempelajari ilmu
akhlak. Ilmu inilah yang dapat membimbing seseorang menuju
kebaikan dan jauh dari keburukan. Ilmu akhlak ini pula yang
mengajarkan daya nalar kritis dalam menilai baik buruknya sebuah
perbuatan. Karena pertimbangannya bukanlah karena disukai
atau dibenci oleh orang lain, tapi semuanya didasarkan kepada
kaidah-kaidah keilmuan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa melepaskan diri dari
perangai buruk bukanlah hal mudah. Terlebih jika sifat-sifat
tercela tersebut sudah terinternalisasi dalam diri seseorang. Tapi
dengan memahami berbagai poin di atas, dan juga melakukan
berbagai cara yang disebutkan tadi, pasti sifat-sifat buruk akan
dapat dihilangkan dan digantikan dengan sifat mulia.
H. Hikmah/Kebijaksanaan
Hikmah maksudnya adalah kemampuan seseorang untuk
memilih jalan terbaik dalam hidupnya. Atau dengan kata lain
hikmah adalah kemampuan untuk mengarahkan jiwa agar bekerja
di bawah bimbingan akal sehat. Inilah yang menurut Socrates
disebut sebagai pengetahuan dalam ungkapannya “keutamaan
adalah pengetahuan” (al-fadhilah hiya al-‘ilm). Plato menyebutnya
sebagai daya pikir (quwwah ‘aqilah). Dan Aristotelles
menyebutnya sebagai paduan antara kecerdasan dan
pengetahuan (al-fathanah wal ‘ilm).
Hikmah, atau dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kebijaksanaan, secara filosofis berpusat kepada kekuatan
akal manusia. Saat seseorang mampu memposisikan akal
pikirannya sebagai landasan bersikap dan berbuat, pikiran-pikiran
rasionalnya sebagai dasar pertimbangan saat ia berperilaku, itulah
sifat hikmah yang dimaksudkan di sini.
Sebagai induk dari keutamaan tertinggi, hikmah ini mencakup
beberapa sifat mulia yang lain, yaitu nalar kritis, tegas,
berpandangan jauh, jitu dalam memilih, cerdas, jernih dalam
berfikir, punya daya ingat dan daya pikir yang tajam dan dalam.
Sifat hikmah ini berada di antara dua sifat buruk yaitu safah
(salah dalam berfikir) dan balah (tidak menggunakan akal sehat).
Artinya seorang yang memiliki sifat hikmah maka ia mampu
mempergunakan kekuatan akal sehatnya sesuai porsi yang
dibutuhkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir yang ada.
Dalam tradisi filsafat Islam kita mengenal istilah al-hakim yang
sering dipakai bentuk jamaknya al-hukama’, dan mereka sering
diidentikkan dengan para filosuf. Di antara manusia ada
sekelompok orang yang dianugerahi al-hikmah, dan barang siapa
mendapatkan hikmah ini maka dia telah mendapatkan kebaikan
yang melimpah. Mereka adalah orang-orang yang segala
pengetahuannya bersumber dari akal sehat yang matang.
Merekalah orang-orang yang tahan menghadapi godaan syaitan
dan bujukan hawa nafsu. Kebahagiaan selamanya menjadi jalan
mereka. Dan sepanjang perjalanannya mereka menjadi penebar
keutamaan di mana-mana.
Di sisi yang lain, ada kelompok manusia yang terjebak dalam
sifat safah atau kesalahan berfikir. Mereka tersesat jalan dalam
kegelapan tanpa petunjuk. Mereka mempergunakan daya pikirnya
tapi dengan cara yang keliru, sehingga kesimpulan dan pilihan
yang diambil pun salah dan menjerumuskannya kepada hal-hal
tercela. Daya pikir, akal sehat, yang merupakan anugerah terindah
dari Tuhan untuk umat manusia, tidaklah banyak berarti manakala
kita salah dalam mempergunakannya.
Sementara di kutub lainnya ada sekelompok orang yang
dalam tindakan dan perilakunya tidak mempergunakan akal sehat.
Mereka mengabaikan kekuatan yang dimilikinya dan tidak mau
mempergunakannya. Ibarat biji-bijian, akal pikiran yang
sebenarnya merupakan bibit unggul, menjadi kering dan mati.
Ibarat sebilah pedang, karena tidak pernah dipakai dan diasah,
akan menjadi tumpul dan berkarat.
Berbahagialah al-hukama’, orang-orang yang mampu
menginternalisasikan sifat hikmah, mendasarkan setiap ucapan
dan lakunya kepada pertimbangan akal sehat. Na’udzu billah dari
dua sifat ekstrim safah dan balah, keduanya menurunkan derajat
kemanusiaan kita.

I. Syaja’ah/Keberanian
Syaja’ah atau keberanian ini merupakan buah dari
pengelolaan yang baik terhadap daya emosi atau quwwah
ghadhabiyah kita. Ibnu Miskawaih mendefinisikannya sebagai
kemampuan untuk menanggung rasa sakit dan menghadapi
bahaya dengan kuat dan tepat sesuai kebutuhan. Seorang yang
memiliki sifat syaja’ah ini tahu kapan ia harus bangkit melawan,
dan kapan ia harus siap sedia menanggung rasa sakit.
Sebagai induk keutamaan yang nomer kedua setelah hikmah,
sifat syaja’ah ini mencakup beberapa sifat mulia yang lain, yaitu
kebesaran jiwa, kepahlawanan, tekad kuat, ketetapan hati, sabar,
penyantun, mampu menahan beban berat.
Sifat syaja’ah ini berada di tengah antara dua sifat buruk yaitu
tahawwur (ceroboh) dan jubn (penakut). Yang perlu dipahami
dengan baik di sini adalah bahwa syaja’ah tidak sama dengan tidak
takut. Jadi seorang pemberani itu bukanlah seseorang yang sudah
tidak memiliki rasa takut lagi. Rasa takut dan khawatir merupakan
hal yang manusiawi. Bahkan pada saat yang tepat seseorang
harus memiliki rasa takut ini, terutama takut keburukan akan
menimpa dirinya. Bagaimana dengan al-jubn atau sifat penakut.
Sifat jubn ini adalah takut tidak pada tempatnya. Seorang
pemberani adalah seorang yang dengan gagah berani akan
bangkit maju berjuang saat dibutuhkan. Dan keberanian ini bukan
keberanian buta tanpa perhitungan. Semua diperhitungkan
dengan matang dan menghindari sifat ceroboh atau tahawwur.
Untuk mempermudah pemahaman kita tentang wasathiyah
sifat syaja’ah ini kita ambil sebuah contoh seorang anak muda
pengendara sepeda motor di jalan raya. Saat ia tengah
mengendarai sepeda motornya di jalurnya, sebelah kiri, tiba-tiba
dari arah berlawanan sebuah bus ngebut menyalip sebuah truk
gandeng. Pemuda pemotor tadi pada situasi harus memilih, jika
ingin selamat tidak tertabrak bus ia harus mengalah turun dari
jalan aspal. Tentu kita pahami bahwa bukan kategori syaja’ah jika
pemuda pemotor tadi memilih tetap berjalan di jalurnya dengan
alasan ia ada di jalur yang benar, bus tersebut salah. Hal tersebut
akan berakibat fatal, dan kemungkinan besar kematian. Jika opsi
ini yang dipilih, akal sehat akan menegaskan itu adalah
kecerobohan yang konyol. Itulah batas antara syaja’ah dengan
tahawwur, sangat tipis.
Secara umum ada dua jenis keberanian, yaitu keberanian fisik
dan keberanian moral.
1. Keberanian fisik
Jenis keberanian ini mudah kita pahami dari berbagai segi
kehidupan. Misalnya keberanian seorang tentara dalam
berperang, di mana ia setiap saat mempertaruhkan jiwa dan
raganya untuk mempertahankan kehormatan negaranya.
Keberanian jenis ini juga ada pada profesi-profesi lainnya
seperti pemadam kebakaran, kru ambulance, nelayan dan
pelaut, para penyelam, dan lainnya, di mana mereka
menghadapi berbagai bahaya dan tantangan yang bahkan
kadang mengancam jiwa mereka sampai tingkat kematian.
2. Keberanian moral
Keberanian jenis ini biasanya terkait dengan hal-hal non
material. Misalnya keberanian seseorang menyampaikan
pendapat dan keyakinannya serta mempertahankannya
meskipun ia diserang banyak pihak yang berbeda dengannya,
tidak peduli apa kata orang. Ia tidak pernah takut sesuatu
yang buruk akan menimpanya demi kebenaran yang ia
pertahankan. Ia akan selalu mengatakan yang benar meski
terasa pahit di mulut, dan menolak yang batil meski resikonya
berat. Ia merasa puas saat hatinya merasa tenang setelah
menunaikan kewajiban membela kebenaran.
Keberanian moral ini jauh lebih tinggi dibandingkan
keberanian fisik. Dalam konteks keberanian fisik, seseorang
membahayakan dirinya dan menantang maut untuk saat-saat
tertentu saja, sementara dan biasanya hanya sebentar.
Adapun keberanian moral berlangsung untuk waktu yang
lama, dan lebih membutuhkan kekuatan tekad yang tidak
goyah oleh bermacam godaan dan serangan. Keberanian
moral ini hanya dimiliki oleh sekelompok orang yang sudah
mencapai tingkat kemajuan peradaban yang luhur, di mana
masing-masing person merasa bahwa ia adalah seorang
manusia yang berakal sehat, dan memiliki hak kebebasan
berfikir dan menyatakan pendapat.
Di lapangan, keberanian moral biasanya
termanifestasikan dalam beberapa hal berikut ini:
a. Keberanian menyampaikan pendapat dan
mempertahankan kebenaran.
Masyarakat pada umumnya memiliki tradisi dan nilai-
nilai yang mengikat anggotanya. Seorang anggota
masyarakat biasanya tidak mampu untuk berseberangan
apalagi melawan pendapat umum yang sudah menjadi
tradisi dan keyakinan mereka. Saat seseorang berbeda
pendapat dengan mereka, pastilah ia akan dikucilkan
bahkan mungkin disingkirkan. Namun dalam perjalanan
sejarah kita menyaksikan sosok-sosok yang
memperlihatkan kekuatan prinsip, cahaya iman, dan juga
tekad yang bulat untuk melawan pendapat-pendapat
masyarakat yang keliru. Dengan gagah berani orang-
orang ini menyampaikan kebenaran yang mereka yakini.
Tinta emas sejarah telah mencatat banyak
pemberani yang telah mengorbankan jiwa dan harta
mereka dalam mempertahankan kebenaran. Mereka
terus mengibarkan bendera kebenaran, meskipun sakit
dan siksaan diterimanya. Tidak jarang para pemberani ini
disiksa bahkan diancam dibunuh, tapi dengan teguh
mereka tetap memegang panji-panji kebenaran. Lihatlah
para Nabi, para syuhada, filosuf, ulama, banyak di antara
mereka yang disiksa oleh masyarakatnya, diusir dari
kampungnya, namun mereka tetap kokoh dengan
prinsipnya, mereka pertaruhkan jiwa dan raganya demi
menggapai ridha ilahi dan demi tegaknya panji
kebenaran. Sosok Nabi Muhammad SAW adalah contoh
terbaik untuk jenis keberanian ini. Sang pemberani yang
menyampaikan kepada Abu Thalib saat pamannya
tersebut menyampaikan pesan dari Kaum Quraisy agar
Nabi menghentikan dakwahnya, “Pamanku.. Demi Allah,
seandainya mereka meletakkan matahari di tangan
kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku hentikan
dakwahku ini, tidak akan pernah aku berhenti”.
Sejarah bangsa Arab mencatat beberapa pahlawan
pemberani. Di antaranya adalah Ahmad Bin Hanbal,
seorang Imam Besar pemberani. Ia dipenjara dan disiksa
karena mempertahankan pendapat yang diyakininya.
Siksaan tersebut bahkan beberapa kali membuatnya
pingsan, tapi tidak pernah menggoyahkan keyakinannya.
Sosok lainnya adalah Ibnu Taimiyah yang berseberangan
pendapat dengan para ulama semasanya. Kemudian ia
difitnah dan dipenjarakan oleh penguasa. Tidak sedikit
siksaan dan tekanan ia terima saat di penjara. Ibnu
Taimiyah tetap mampu berkarya menulis risalah-
risalahnya di penjara.
b. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan kekurangan
diri
Mengaku bersalah dan menyadari kekurangan diri
bukanlah perkara mudah. Sungguh berat untuk
mewujudkannya. Pengakuan tersebut membutuhkan
kebesaran hati dari seseorang. Sering kali sifat egois dan
kesombongan menghalangi kita untuk mengakui
kesalahan yang telah diperbuat atau kekurangan yang
kita miliki. Karena beratnya ini, makanya keberanian
untuk mengaku bersalah dan menyadari kekurangan diri
ini termasuk salah satu jenis keutamaan, dan menjadi
salah satu manifestasi utama dari bentuk keberanian
moral yaitu Serius dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
Keseriusan dan kesungguhan dalam berkarya ini
sangat dibutuhkan dalam mewujudkan sebuah cita-cita.
Tidak jarang godaan dan ancaman menerpa saat kita
mengejar sebuah asa. Butuh keberanian dan kemantapan
jiwa untuk mewujudkannya.

J. ‘Ifah/Menahan Diri
Setiap manusia memiliki syahwat dan keinginannya. Tugas
kita adalah mengelola syahwat ini, bukan membunuhnya, agar
sejalan dengan tuntunan syariat. Saat syahwat dan keinginan kita
sudah dapat disalurkan sesuai dengan ajaran agama, berarti kita
sudah mencapai sifat ‘ifah. Inilah inti persoalan yang hendak
disampaikan oleh Ibnu Miskawaih ketika ia mendefinisikan ‘ifah
sebagai usaha manusia menyalurkan keinginan syahwatnya
sejalan dengan ajaran agama (Khudhair, n.d.). Atau dengan kata
lain, ‘ifah adalah menahan diri, mengelola keinginan dan
menyalurkannya sejalan dengan aturan syariat dan akal sehat.
Watak dasar manusia pada umumnya adalah cenderung
mengikuti naluri dan keinginannya, terutama terkait hal-hal yang
di dalamnya terdapat kenikmatan dan kesenangan. Dengan
berbagai cara mereka berusaha mengejarnya. Jika seseorang
tidak berusaha mengendalikan hasrat dan keinginannya,
membiarkannya tanpa kendali diri, dan tidak mendampinginya
dengan nalar rasional yang sehat, maka bisa dipastikan ia akan
diperbudak oleh hasrat dan keinginan tersebut. Hal ini akan
membahayakan dirinya baik secara mental spiritual bahkan sering
kali sampai ke fisiknya juga. Kesehatannya akan terganggu,
badannya melemah, ia semakin malas untuk mengerjakan banyak
hal yang bermanfaat. Akibatnya ia akan kehilangan kebebasan
dirinya sebagai manusia, dan menjadi penghamba syahwat dunia
dan tawanan dari hasrat dan nafsunya. Ia akan terjerumus
melakukan berbagai perilaku jahat dan tercela seperti mencuri,
berbohong, tamak, foya-foya, temperamental dan sifat-sifat
buruk lainnya.
Cara membebaskan diri dari perilaku buruk di atas adalah
seperti yang dilakukan oleh kaum sufi dengan menahan dan
mengendalikan keinginan nafsu kita sehingga kita tidak menjadi
hamba dari nafsu tersebut. Jika seseorang sudah diperbudak oleh
nafsu dan keinginannya maka tidak ada kebaikan yang bisa
diharapkan lagi. Kaum sufi melihat bahwa perilaku moral dan nilai
akhlak yang paling luhur adalah memerangi hawa nafsu. Karena
dasar inilah mereka banyak yang kemudian tidak menikah, terus
berpuasa, tidak makan daging, tidak mau tinggal di rumah-rumah
mewah, berpakaian sederhana bahkan kadang compang-
camping. Sebagian kaum sufi kadang berlebihan dalam sikap
zuhudnya, mereka tidak hanya menahan nafsunya, tapi kadang
sampai menyiksa diri mereka dengan berjemur di bawah panasnya
sinar matahari terus menerus, atau membiarkan tubuh mereka
menggigil kedinginan tanpa pakaian tebal pada saat musim dingin
yang ekstrim.
Pandangan ekstrim tentang zuhud di atas adalah pandangan
yang berlebihan dan keliru. Biasanya pandangan seperti itu
muncul dari orang-orang yang dendam terhadap kehidupannya,
atau putus asa menghadapi kenyataan hidup. Di sisi lain juga ada
sekelompok muslim yang keliru memahami ajaran agamanya
sehingga sampai pada kesimpulan yang salah tentang zuhud.
Dalam pandangan Muhammad Iqbal pandangan seperti itu
dianggap sebagai produk dari khatha’ al-fahm (pemahaman yang
keliru) atau su’ul fahm (pemahaman yang buruk) terhadap ajaran
agama. Dan hal ini dianggap oleh Iqbal menimbulkan kejumudan
atau sikap statis dalam memahami agama, dan ini berkontribusi
terhadap kemunduran umat Islam. Makanya kemudian Iqbal
menawarkan konsep Islam yang Dinamis.
Salah satu model zuhud yang terpuji adalah yang tidak
berlebihan, tidak ekstrim. Biasanya zuhud ini muncul karena
didasari niat berkorban demi kebahagiaan dan kesejahteraan
orang lain. Seperti zuhudnya Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ia
menghindari berbagai kenikmatan, makanan dan lainnya, yang
sebetulnya boleh saja ia nikmati, karena khawatir hal tersebut
akan mendorong para pejabat menuntut fasilitas mewah dan
pada gilirannya akan memberatkan umat para pembayar pajak.
Sikap berlebihan pada kedua kutubnya tetaplah perbuatan
buruk. Berlebihan dalam menuruti keinginan nafsu, sampai-
sampai seseorang menjadi budak nafsunya itu sangat tercela.
Sebaliknya berlebihan dalam menahan hawa nafsu, sampai-
sampai seseorang tidak memberikan hak-hak jasmaniahnya
seperti tubuh butuh makan, manusia butuh hubungan seksual dan
lainnya, juga tercela. Yang terbaik adalah tawassuth di antara dua
kutub ekstrim di atas. Seseorang boleh menuruti berbagai
keinginannya, selagi tidak keluar dari batas-batas nilai moral.
Sikap tawassuth yang demikian ini sejalan dengan tabiat manusia
pada umumnya.
Sifat ‘ifah atau menahan diri ini dapat dimanifestasikan dalam
beberapa hal berikut ini:
1. Menahan diri dari nafsu-nafsu jasmani
Nafsu jasmani yang dimaksud adalah keinginan berlebihan
yang terkait dengan makan, minum, pakaian, tempat tinggal
dan lainnya. Berlebihan dalam pola makan dan minum dapat
menyebabkan seseorang terkena penyakit. Berlebihan dalam
berpakaian biasanya dilandasi keinginan pamer dan tampil
menipu. Tentu saja hal tersebut bukan berarti seseorang tidak
boleh berpakaian bagus dan harus berpakaian jelek atau
compang-camping. Jika begitu sama saja kita tidak menghargai
badan kita dan juga orang lain. Yang tidak boleh adalah
berlebihan dalam berpakaian. Begitupun dalam makan dan
minum, yang dilarang adalah berlebihan. Senada dengan
firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 31:

ِ ْ ُ‫اْشبُوا َوْل ت‬
‫ْسفُوا ان َّ ُه ْل ُ ُِي ُّب‬ ِ ُ َ‫َي ب َ ِِن أ ي َد َم خ ُُذوا ِزينَتَ ُ ُْك ِع ْند‬
َ ْ ‫ك َم ْسجِ ٍد َو ُ ُُكوا َو‬
ِ
‫ْسِف َْي‬ِ ْ ‫الْ ُم‬
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”

Seorang yang berakal sehat akan menjauhi segala


kenikmatan yang tidak diperbolehkan oleh ajaran agama. Ia
akan sangat berhati-hati jangan sampai terjerumus melakukan
hal-hal tercela. Di antara cara untuk menjauhkan diri dari hal-
hal buruk itu adalah menghindari hal-hal yang mengarah
menuju perbuatan tercela, tidak berteman dengan orang-
orang yang dengan enteng berbuat sesuatu yang buruk, tidak
membaca cerita-cerita yang mengandung dan menyebarkan
perilaku tercela, tidak mengunjungi tempat-tempat maksiat.
2. Menahan diri dari sifat-sifat emosional atau mental yang labil.
Sifat emosional dan mental labil yang dimaksud adalah
berlebihan dalam marah, benci, suka, gembira. Itu semua
membahayakan kesehatan dan juga akal sehat. Jika seseorang
marah, dan ia larut dalam kemarahannya, ia lupa akan dirinya
dan tidak mampu berpikir jernih. Ia tidak bisa mengendalikan
ucapan dan tindakannya. Akibatnya ia berucap dan bertindak
keliru dan mungkin saja membahayakan dirinya dan juga orang
lain. Yang jelas amarah yang berlebihan dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit seperti darah tinggi, kelumpuhan,
TBC dan lainnya. Marah berlebihan ini dapat dikatakan sebagai
salah satu bentuk kegilaan, tapi gila sesaat. Karena saat marah
seseorang kehilangan akal sehatnya, dan ia lebih mirip dengan
binatang daripada manusia.
Hal ini bukan berarti sifat marah ini harus dihilangkan
secara total. Ada saatnya kita harus marah, dan bahkan keliru
jika tidak. Seperti ketika kebenaran diremehkan, kemuliaan
dihina, negeri diserang musuh, kehormatan diinjak-injak, ilmu
disalahgunakan, itu semua tentu saja harus membuat kita
bangkit dan marah. Amarah yang demikian termasuk dalam
kategori sifat terpuji.
Sikap wasathiyah ini juga berlaku untuk sifat-sifat yang lain
seperti sedih, gembira, benci, suka. Berlebihan dalam
kesedihan membahayakan kesehatan dan situasi lainnya.
Begitupun berlebihan dalam sifat-sifat lainnya. Sedih dan
gembira haruslah proporsional. Benci dan suka pun begitu.
3. Menahan diri dari berpikir dan berkhayal tentang hal-hal
tercela
Apa yang kita khayalkan sering kali mempengaruhi
perilaku dan sikap kita. Jika kita sering memikirkan dan
mengkhayalkan hal-hal yang buruk, dikhawatirkan itu akan
menimbulkan keinginan-keinginan mendekat dan bahkan
mencobanya. Makanya ilmu akhlak mengajari kita agar akal
pikiran kita sebisa mungkin diisi dengan hal-hal yang positif dan
baik.

K. ‘Adalah/Adil
Dalam bahasa arab kata adil atau keadilan merujuk kepada
kata al-‘adalah dan al-‘adl yang berarti kesetaraan atau perlakuan
yang sama. Dalam istilah ilmu akhlak adil berarti sebuah sikap
mental yang mempunyai kemampuan untuk memperlakukan
sesuatu secara sama, tidak lebih dan juga tidak kurang, sehingga
terjadi keseimbangan dan harmoni. Sikap mental tersebut
bukanlah berbuat atau kemampuan untuk berbuat saja
sebagaimana sudah dijelaskan di atas tentang pengertian
fadhilah. Seorang yang adil adalah seorang yang sudah memulai
pengelolaan terhadap kemampuan, perbuatan dan keadaannya
sehingga tidak terjadi overlapping antara satu daya dengan yang
lainnya. Artinya ia menempatkan daya yang ia miliki, mulai dari
daya pikir, daya emosi dan syahwat keinginannya sesuai dengan
porsinya.
Ibnu Miskawaih menegaskan, “jika seseorang berbuat adil
dalam sebuah urusan dengan motivasi guna memperoleh
kehormatan, harta, pujian atau motif bendawi lainnya maka kita
tidak menyebutnya sebagai seorang yang adil. Dia berbuat
sesuatu karena motif dan pamrih tertentu”(Miskawaih, 1985).
Untuk menjadi adil dipersyaratkan seseorang hendaknya tahu
tentang prinsip wasathiyah sehingga ia benar-benar mampu untuk
menghindari dua kutub ekstrimnya. Keadilan ini bukanlah
keutamaan yang berdiri sendiri seperti keutamaan lainnya seperti
syaja’ah dan ‘ifah. Tapi ia merupakan bagian dari setiap
keutamaan lainnya. Di mana semua keutamaan intinya adalah
keseimbangan, tengah-tengah, yang merupakan prinsip utama
dari keadilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah
keutamaan yang paling sempurna dan paling komplit. Ruang
lingkupnya meluas bukan hanya terkait dengan pribadi dari orang
yang adil, tapi juga mengait teman-temannya, keluarganya,
koleganya, bahkan juga seluruh umat manusia dan juga hewan.
Keadilan merupakan keutamaan yang terkait bukan hanya dengan
pribadi seseorang dan koleganya, bahkan hingga ke sistem alam
semesta. Ibnu Miskawaih menjelaskan poin ini dengan
mengatakan bahwa keadilan merupakan sifat Tuhan dalam
menciptakan dan mengelola semesta ini. Inilah salah satu makna
utama kenapa “imam yang adil” termasuk salah satu kelompok
yang memiliki posisi yang luar biasa tingginya dalam tradisi Islam.
Dalam hadis disebutkan imam yang adil ini termasuk orang yang
akan mendapatkan perlindungan khusus dari Allah kelak di
akhirat.
Sebagai salah satu induk keutamaan, sifat adil ini di bawahnya
terdapat banyak sifat-sifat utama lainnya. Berikut ini beberapa
sifat utama yang merupakan pengejawantahan dari sifat adil, atau
dengan kata lain keadilan harus menjadi spirit dari sifat-sifat
berikut ini:
1. Silaturrahmi.
Silaturrahmi adalah interaksi yang baik antara beberapa
orang yang memiliki hubungan darah dalam kebaikan. Kita
tahu tentang fadhilah dan keutamaan dari silaturrahmi ini
dalam berbagai hadis Nabi, salah satunya adalah, “Tidak akan
masuk sorga orang yang memutus silaturrahmi”.
2. Mukafa’ah atau memberikan santunan kepada pihak yang
membutuhkan
3. Persekutuan dagang yang baik
4. Memutuskan perkara dengan baik
5. Ibadah
6. Persahabatan
Dalam persahabatan dibutuhkan ketulusan, perhatian dan
loyalitas. Dan menghindari sifat iri, permusuhan dan
persaingan tidak sehat.

1. Jenis-jenis Keadilan
Sifat adil ini terbagi menjadi dua yaitu adil internal dan adil
eksternal. Yang dimaksud adil internal diri kita adalah
keseimbangan di antara potensi-potensi jiwa yang ada. Potensi
dan daya yang kita miliki ini bermacam-macam, yaitu daya pikir,
daya emosi dan daya syahwat. Masing-masing memiliki pola
dan tujuan sendiri. Jika tidak ada keseimbangan, atau terjadi
overlapping, saling berebut pengaruh satu dengan yang
lainnya, maka akan berakibat seseorang menjadi kacau
hidupnya. Keseimbangan akan terwujud manakala kekuatan
akal pikiran menjadi rujukan utama dan komando dari
perjalanan kehidupan seseorang. Jangan sampai yang menjadi
komando itu daya emosi, bisa berabe hidup kita. Terlebih daya
syahwat, jika ia yang memimpin hancurlah dunia akhirat. Itulah
keadilan internal diri.
Adapun keadilan eksternal yang dimaksud adalah keadilan
atau keseimbangan yang terwujud dalam interaksi seorang
manusia dengan pihak lain di luar dirinya. Yang tertinggi dari
jenis keadilan atau keseimbangan ini adalah dalam konteks
hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Adil dan seimbang
dalam beribadah. Allah SWT telah menganugerahkan kepada
umat manusia berbagai nikmat yang agung dan melimpah.
Sudah sepantasnya manusia sebagai makhluk yang paling
banyak menikmati anugerah Tuhan ini membalasnya dengan
sifat taat dan cinta. Dosa dan dzolim jika ada di antara kita yang
ingkar terhadap nikmat Tuhan ini.
Allah SWT berhak untuk disembah. Dan peribadatan kita
kepada Allah menjadi unsur utama dalam sifat keadilan atau
keseimbangan. Berikut ini beberapa jenis peribadatan manusia
kepada Allah SWT:
1. Ibadah badaniah seperti shalat, puasa dan lainnya, yaitu
peribadatan yang dilakukan oleh manusia dengan badan
mereka.
2. Ibadah batiniah seperti akidah yang benar, bertauhid, iman
dan lainnya. Jenis ibadah ini intinya apa yang ada dalam hati
kita.
3. Ibadah social, atau ibadah yang melibatkan orang lain dalam
pelaksanaannya. Seperti sedekah, membantu orang lain dan
lainnya.
2. Keadilan dan Kesetaraan
Adil dan setara atau sama rata merupakan dua istilah yang
sering membuat orang bingung. Apakah adil berarti setara dan
sama antara semua orang? Jika kesetaraan ini belum terwujud,
apakah dapat disebut situasi tersebut sebagai kedzaliman
(lawan dari keadilan)?
Sebagian orang mengatakan bahwa manusia seluruhnya
itu sama dalam hak-haknya. Maka mereka pun mestinya setara
dan sama dalam haknya untuk menikmati kehidupan dengan
berbagai hiasan dan kenikmatannya. Pendapat ini tentu saja
tidak sepenuhnya benar. Realitas menunjukkan kesetaraan
antar manusia itu tidaklah bersifat absolut. Di antara mereka
pasti ada perbedaan dalam hak ataupun kewajibannya
tergantung kondisi masing-masing. Ahmad Amin menjelaskan
dalam kitab Akhlaknya sebagai berikut:
1. Manusia tidaklah sama potensi dan kemampuan mereka,
baik sisi rasionalitas, fisik dan juga mental. Di antara mereka
ada orang yang cerdas, dan ada juga yang bodoh. Ada yang
dewasa, dan ada yang kurang dewasa pemikiran dan
tingkah lakunya. Ada yang kuat dan lemah, penyabar dan
emosional. Berdasarkan perbedaan-perbedaan ini, berbeda
pula dalam kepemilikan kapital, kehidupan, status sosial dan
juga produk kreasinya. Keliru sekali manakala kita
memposisikan pemalas, orang bodoh dan tidak memiliki
kemampuan, untuk mengelola pekerjaan besar,
memberikan biaya pendidikan untuk mereka, menyediakan
permodalan yang pastinya tidak akan menghasilkan sesuatu
seperti yang diharapkan.
2. Perbedaan dalam kekayaan ini mendorong iklim kompetisi.
Seorang yang miskin ketika ia melihat orang kaya dapat
menikmati kehidupan jauh di atas yang ia nikmati, dan itu
karena orang kaya tersebut bekerja dengan rajin, maka hal
tersebut akan mendorong si miskin berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam bekerja, agar dapat menikmati
seperti apa yang dinikmati oleh si kaya. Dengan begitu si
miskin akan naik level menjadi kaya. Ini merupakan hal
positif dalam konteks kemanusiaan secara umum. Yang
harus diwaspadai adalah jangan sampai pada kondisi di atas,
justru yang muncul dari si miskin adalah rasa iri dan dengki.
Keduanya merupakan sifat tercela yang akan melemahkan
spirit kompetisi, dan melukai martabat kemanusiaan.
Saat di antara kita muncul seorang yang sukses, kaya,
pandai, hendaklah kita ikut bergembira. Kita harus
menumbuhkan sikap positif thinking atau berpikir positif.
Setiap kali bertambah orang yang sukses, kaya, cerdik pandai
di masyarakat, akan semakin naik level kehidupan mereka.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kesetaraan
antar manusia tidaklah bersifat absolut atau dalam semua hal.
Bahkan dapat kita tegaskan bahwa dalam banyak hal di antara
mereka memang berbeda-beda. Dan Tuhan Yang Maha Adil
pun memberikan ganjaran yang berbeda-beda untuk hamba-
Nya. Semua tergantung amal usaha mereka. Apakah sama
antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu? Dalam
surat as Sajdah ayat 18 dan surat al Maidah ayat 100 dijelaskan
sebagai berikut:

‫َافَ َم ْن ََك َن ُم ْؤ ِمنًا َْكَ ْن ََك َن فَ ِاسقًاۗ َْل ي َْس تَو َن‬
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang
yang fasik? Mereka tidak sama.”

َ ‫الطي ُِب َولَ ْو َا ْ َْع َب َك َك ْ ََث ُة الْ َخ ِبي ِْث فَات َّ ُقوا‬
‫الل ي ُي ِوىل ْ َاْللْ َب ِاب‬ َّ ‫قُ ْل َّْل ي َْس َت ِوى الْ َخ ِبي ُْث َو‬
‫لَ َعل َّ ُ ُْك تُ ْف ِل ُح ْو َن‬
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu
mendapat keberuntungan".

Jadi adil tidaklah harus sama rata. Kadang kita melihat


kualitas di samping kuantitas. Menyandingkan hasil kerja
seorang arsitek bangunan dan gajinya yang tinggi dengan
pekerjaan para tukang batu penggarap konstruksinya yang
berpenghasilan pas-pasan dan pasti lebih berkeringat, tentu
bukanlah analogi yang berimbang. Yang demikian ini sering kali
membuat kita terjebak dalam kesalahan berfikir. Yang
namanya adil bukan menggaji insinyur bangunan sama dengan
tukang batu, tapi keadilan adalah memberi mereka
penghasilan sesuai dengan ukuran profesi mereka.
Dalam konteks kemanusiaan terdapat beberapa hal yang
harus sama antar semua manusia. Ini yang biasa disebut
sebagai hak asasi manusia atau HAM. Hak untuk hidup, hak
kebebasan berpendapat, hak memperoleh perlindungan
hukum dan lainnya. Seorang manusia bebas untuk
berkeyakinan, bebas mengemukakan pendapatnya tanpa
mendapatkan tekanan dari pihak lain. Begitu pun di mata
hukum, semua manusia sama dan sederajat. Tidak ada beda
antara si kaya dan si miskin.
3. Masyarakat Adil
Sebuah masyarakat dapat dikatakan adil manakala mereka
sudah mampu memberikan fasilitas yang membantu
anggotanya baik sebagai individu maupun kelompok untuk
mencapai kemajuan. Hal tersebut diwujudkan dengan
memberikan hak kepada yang berhak, dan memberlakukan
peraturan yang memudahkan anggota masyarakatnya menjaga
dan menikmati hak-hak mereka. Seperti hak hidup, kebebasan,
hak kepemilikan, menjaga kehormatan mereka, adanya
peradilan yang adil dalam memutuskan perkara, tersedianya
berbagai fasilitas yang dibutuhkan lapisan masyarakat. Jika
dalam sebuah masyarakat hal-hal tersebut di atas terpenuhi,
maka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang adil. Jika tidak
maka belum dapat dikatakan sebagai masyarakat adil.
Sebuah pemerintahan dapat dikatakan adil bila mereka
sudah menunaikan kewajibannya terhadap rakyat dengan
sebaik-baiknya. Mereka penuhi kebutuhan rakyat, dan juga
fasilitas-fasilitas penunjang lancarnya kehidupan. Ibnu
Miskawaih menegaskan ada 3 faktor yang mendorong
terwujudnya keadilan sosial, yaitu:
1. Faktor pasif (diam)
Uang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan
keadilan sosial. Faktor ini dapat dikategorikan sebagai
faktor pasif. Semua orang membutuhkan uang dalam
kehidupannya. Mereka bekerja mencari uang, belanja
kebutuhan mereka dengan uang, memberikan hadiah
kepada orang lain dengan uang, memberikan kompensasi
kepada pekerja juga dengan uang. Distribusi finansial atau
keuangan yang proporsional menjadi kunci utama
terwujudnya keadilan sosial di masyarakat.
2. Faktor aktif
Yang menjadi faktor aktif dalam kehidupan sosial ini
adalah pemerintah atau penguasa. Pemerintah atau
penguasa mereka menjalankan undang-undang yang
mengikat seluruh masyarakatnya agar mereka dapat hidup
aman dan damai, terhindar dari saling serobot satu dengan
yang lainnya. Merekalah penjaga keseimbangan kehidupan
masyarakat, dan pengawal utama terwujudnya keadilan
sosial bagi rakyatnya.
3. Faktor Ilahi (Hukum Tuhan)
Ini merupakan faktor yang lebih tinggi dari kedua faktor
sebelumnya, sebab muncul dari Penguasa jagad raya ini.
Maka dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat dibutuhkan ajaran agama. Agar ajaran agama
dapat mengejawantah di dalam kehidupan sosial,
dibutuhkan pemahaman dan sikap keberagamaan yang baik
dan benar (Khudhair, n.d.).
4. Islam dan Keadilan
Islam sebagai agama samawi menempatkan keadilan
sebagai salah satu ajaran utamanya. Islam mengajarkan
pandangan yang tawassuth dan seimbang. Islam juga
mengajarkan bahwa manusia punya kuasa untuk menentukan
pilihan dalam berbuat. Ibnu Miskawaih memadukan pesan
ajaran Islam ini dengan kekuatan nalar pikiran manusia dalam
mewujudkan keadilan sosial bagi umatnya.
Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang
sifat adil dan berbagai maknanya dalam Tafsir Ath-Thabari:
a. Al-An’am: 152

‫ِه َا ْح َس ُن َحت ي َ ْبلُ َغ َا ُشدَّه َو َا ْوفُوا الْ َك ْي َل‬ َ ِ ‫َو َْل تَ ْق َربُ ْوا َما َل الْ َي ِت ْ ِمي ِا َّْل ِِبل َّ ِ ِْت‬
‫َوالْ ِم ْ َْي َان ِِبلْ ِق ْسطِ َْل ُن َ ِك ُف ن َ ْف ًسا ِا َّْل ُو ْس َعهَا َو ِا َذا قُلْ ُ ُْت فَاعْ ِدلُ ْوا َولَ ْو ََك َن َذا قُ ْرب‬
‫ىُك بِه لَ َعل َّ ُ ُْك ت ََذكَّ ُر ْو َن‬
ْ ُ ‫الل َا ْوفُ ْوا ۗ ذ ِل ُ ُْك َوص‬ ِ ‫َو ِب َع ْه ِد‬
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai
(usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah
sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji
Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu
ingat.”
b. Al-Maidah: 8

‫ي َيُّيُّ َا َّ ِاذل ْي َن ا َمنُ ْوا ُك ْون ُْوا قَ َّوا ِم ْ َْي ِ ِلل ُشهَدَ ا َء ِِبلْ ِق ْسطِ َو َْل َ َْي ِر َمن َّ ُ ُْك َش نَا ُن قَ ْو ٍم عَ يل‬
‫الل َخب ْ رِْي ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن‬ َ ‫َا َّْل تَ ْع ِدلُ ْوا ۗ ِاعْ ِدلُ ْوا ۗ ه َُو َا ْق َر ُب لِلتَّ ْقوى َوات َّ ُقوا‬
َ ‫الل ۗ ِا َّن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

c. An-Nisa: 135

‫ي َيُّيُّ َا َّ ِاذل ْي َن ا َمنُ ْوا ُك ْون ُْوا قَ َّوا ِم ْ َْي ِِبلْ ِق ْسطِ ُشهَدَ ا َء ِ ِلل َولَ ْو عَ يل َانْ ُف ِس ُ ُْك َا ِو الْ َو ِ َادل ْي ِن‬
‫الل َا ْوىل ِبِ ِ َماۗ فَ َال تَت َّ ِب ُعوا الْه يَوى َا ْن تَ ْع ِدلُ ْوا‬ ُ َ‫َو ْ َاْل ْق َرب ْ َِْي ِا ْن يَّ ُك ْن غَنِ ًّيا َا ْو فَ ِق ْ ًْيا ف‬
‫الل ََك َن ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن َخب ْ ًِْيا‬َ ‫َوا ِْن تَلْوا َا ْو تُ ْع ِرضُ ْوا فَ ِا َّن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa)
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan
(kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah
Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Dalam berbagai hadis disebutkan tentang keutamaan sifat


adil ini. Di antaranya adalah bahwa orang-orang yang berbuat
adil mereka akan mendapatkan penerangan pada hari kiamat
nanti. Dalam hadis lain disebutkan bahwa seorang suami yang
tidak adil di antara dua istrinya, ia akan bangkit di hari kiamat
dalam keadaan salah satu bahunya miring. Dari perjalanan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya kita belajar banyak
contoh hidup tentang keadilan.
Mudah diomongkan, sulit dilaksanakan. Barangkali
ungkapan inilah yang paling pas untuk kita semua dalam
konteks keadilan. Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang
dapat menjadi penghalang terwujudnya sikap adil:
1. Kecenderungan memihak ke salah satu pihak
Kecenderungan untuk membela salah satu pihak yang
berperkara menjadi penghambat utama kita untuk bersikap
adil dalam menghukumi perkara. Kecenderungan tersebut
biasanya muncul saat kita membeda-bedakan satu pihak
dengan lainnya. Kepada pihak pertama kita berikan porsi
yang lebih dibandingkan pihak kedua.
Seorang hakim tentu saja tidak boleh memihak kepada
salah satu pihak. Ia harus adil ketika memutuskan sebuah
perkara, tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin,
pejabat dan bukan pejabat. Bisanya sikap memihak ini
didorong oleh beberapa hal berikut ini :
a. Nafsu angkara telah mengalahkan akal sehat
Saat nafsu angkara berbicara maka keburukan akan
tertutup, kebaikan yang akan nampak di mata. Hilanglah
obyektifitas dalam menilai sesuatu. Contoh dari model
pandangan ini adalah menyikapi sesuatu dengan prinsip
suka-tidak suka atau yang terkenal dengan like-dislike.
Maksudnya adalah menilai sesuatu bukan berdasarkan
penilaian obyektif, tapi atas dasar kita suka atau tidak.
Saat kita suka maka semuanya baik, dan sebaliknya saat
tidak suka maka semuanya jadi buruk. Tentu saja
pandangan model begini tidak boleh dianut oleh seorang
pemimpin, hakim, wasit dan lainnya.
b. Kepentingan pribadi
Seorang yang mengharapkan akan mendapatkan
sesuatu dari salah satu pihak yang berperkara tentu akan
sulit untuk bersikap adil dalam keputusannya. Begitupun
jika ia takut dengan ancaman dari pihak yang berperkara.
Makanya seorang hakim tidaklah boleh memiliki
kepentingan pribadi, atau mengharapkan akan
mendapatkan sesuatu, dalam memutuskan sebuah
perkara. Dan ia juga tidak boleh takut terhadap berbagai
bentuk ancaman.
c. Prestise dan penampilan luar
Sering kali status seseorang mempengaruhi penilaian
orang lain. Orang kaya dan terhormat misalnya dalam
berbagai kesempatan mendapatkan perlakuan yang lebih
dibandingkan dengan orang lain. Di sisi yang lain, kadang
gaya dan penampilan seseorang itu dapat membuat
terpesona dan bahkan menipu. Seorang dengan pakaian
rapi, setelan jas mahal, atau seorang yang pandai
merangkai kata-kata, mereka semua kadang membuat
orang lain terpesona dan pada gilirannya salah menilai.
Tentu saja bagi seorang hakim sikap mudah tertipu ini
harus dihindari.
d. Gejolak emosional kejiwaan
Seseorang yang tengah dikuasai oleh amarahnya, atau
rasa sedih, keputusasaan, dan keadaan-keadaan kejiwaan
sejenisnya, biasanya sulit untuk berlaku obyektif dan adil
jika harus memutuskan sebuah persoalan. Karenanya
Islam melarang keras seorang hakim memutus perkara
dan ia dalam keadaan marah (hadis).
e. Kurang menguasai persoalan
f. Tergesa-gesa dalam memutuskan perkara dan tidak detail
dalam kajiannya
g. Hanya melihat sebuah perbuatan dari aksi dan hasilnya,
dengan mengabaikan motivasi atau pendorong
munculnya perbuatan tersebut.
Bisa jadi sebuah perbuatan nampak kejam dan
membahayakan, tapi jika dilihat motivasinya baik. Dalam
kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dengan
niat mendidik mereka, seorang hakim tentu harus adil dan
bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan.
Kewajiban seorang hakim pemutus perkara, ia haruslah
waspada, teliti, berpandangan luas dan adil. Jangan sampai
ada faktor-faktor negatif yang mempengaruhi mereka.
Sebisa mungkin motivasinya hanyalah kebenaran dan
keadilan. Begitupun mestinya sikap dan jati diri seorang
pemimpin pada umumnya. Bangsa Romawi Kuno membuat
simbol keadilan dengan seorang Dewi Themis, perempuan
cantik dengan mata tertutup dan di tangan kananya
memegang sebilah pedang, tangan kirinya memegang
timbangan. Dengan simbol ini mereka menegaskan bahwa
seorang hakim yang adil adalah yang menutup matanya dari
berbagai hal yang dapat membuatnya tidak adil, dan dalam
membuat keputusan mereka harus adil dalam arti
menimbang dan memberikan hak bagi yang berhak, dan
dalam mengawal keputusannya ini haruslah dengan power
dan segala kekuatan yang ia miliki.

L. Ihsan
Ihsan dalam Al-Qur’an memiliki arti yang sangat luas. Bukan
hanya baik dalam ibadah kepada Allah, tapi juga mencakup
makna-makna lain termasuk ihsan atau baik dalam konteks akhlak
dan perilaku kehidupan. Kata hasan dengan berbagai pecahannya
termaktub dalam Al-Qur’an sebanyak 37 kali, kebanyakan
menceritakan tentang balasan terbaik untuk perilaku ihsan.
Berikut ini di antara ayat-ayat yang menyebutkan tentang
ihsan sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir:
1. Ali Imran: 134

ُ ‫الَّضاء َوالْ ََك ِظ ِم َْي الْغَ ْيظَ َوالْ َعا ِف َْي َع ِن النَّ ِاس َو‬
‫هللا ُ ُِي ُّب‬ َ ‫َّ ِاذل َين يُن ِف ُق‬
َّ َّ ‫ون ِِف‬
َّ َّ ‫الْساء َو‬
‫الْ ُم ْح ِس نِ َْي‬
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang
yang berbuat kebaikan.”
Ihsan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perilaku orang
yang dapat menahan amarah dan emosinya, juga orang yang
suka memaafkan orang lain dengan penuh ketulusan.
2. Al-Qashash: 77
ُ َ‫َوابْتَغ ِ ِفميَا أيَتَ ك‬
‫هللا ادلَّ َار ا َألي ِخ َر َة َو َْل ت ََنس ن َِصي َب َك ِم َن ادلُّ نْ َيا َو َأ ْح ِس ْن َ َمَك َأ ْح َس َن‬
‫هللا َْل ُ ُِي ُّب الْ ُم ْف ِس ِد َين‬
َ ‫هللا الَ ْي َك َو َْل تَ ْبغ ِ الْ َف َسا َد ِِف ا َأل ْر ِض ا َّن‬ ُ
ِ ِ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu
lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan di muka bumi ini


apapun bentuknya akan memicu murka Allah dan amarah-
Nya. Sebaliknya berbagai bentuk ihsan, kebaikan, dalam
kehidupan merupakan perpanjangan tangan dari kebaikan
Allah kepada umat manusia.
3. At-Taubah: 120
ِ ِ‫َما ََك َن َألهْلِ الْ َم ِدي َن ِة َو َم ْن َح ْولَهُم ِم َن ا َألع َْر ِاب َأن ي َ َت َخل َّ ُفو ْا َعن َّر ُسول‬
‫هللا َو َْل‬
‫يَ ْرغَ ُبو ْا ِبأَن ُف ِسه ِْم َعن ن َّ ْف ِس ِه َذ ِ َِل ِبأََّنَّ ُ ْم َْل يُ ِصيُبُ ُ ْم َظ َمأٌ َو َْل ن ََص ٌب َو َْل َم ْخ َم َص ٌة ِِف‬
َ ُ‫ون َم ْو ِطئًا ي َ ِغيظُ الْ ُكفَّ َار َو َْل يَنَال‬
‫ون ِم ْن عَدُ ٍو ن َّ ْي ًال اْلَّ ُكتِ َب‬ َ ‫هللا َو َْل ي َ َط ُؤ‬
ِ ِ‫َسبِيل‬
ِ
‫هللا َْل يُ ِضي ُع َأ ْج َر الْ ُم ْح ِس نِ َْي‬ َ ‫لَهُم ِب ِه َ ََع ٌل َصا ِل ٌح ا َّن‬
ِ
“Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab
Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi
mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri
Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak
(pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana
kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka
sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”

Mengedepankan kepentingan Nabi Saw daripada


kepentingan pribadi dan hawa nafsu, tidak ketinggalan dan
selalu taat kepada perintah Nabi Saw, sikap sabar terhadap
ujian dan cobaan yang diterima di jalan Allah, itu semua yang
dilabeli dengan sifat ihsan dalam ayat di atas.
4. Yusuf: 78
‫قَالُو ْا َي َأُّيُّ َا الْ َع ِز ُيز ا َّن َ ُل َأ ًِب َش ْيخًا َك ِبْي ًا فَخ ُْذ َأ َحدَ ًنَ َم ََكن َ ُه اًنَّ نَ َراكَ ِم َن‬
ِ ِ
‫الْ ُم ْح ِس نِ َْي‬
“Mereka berkata, “Wahai Al-Aziz! Dia mempunyai ayah yang
sudah lanjut usia, karena itu ambillah salah seorang di antara
kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat engkau
termasuk orang-orang yang berbuat baik.”
Ihsan atau kebaikan Aziz dalam ayat di atas tergambar dalam
sifat-sifat menjenguk orang sakit, membantu pengobatannya,
membantu orang yang tengah bersedih. Saudara-saudara
Yusuf as memberikan label sifat-sifat ihsan tersebut kepada
Aziz saat mengunjungi Nabi Ya’qub as yang tengah sakit
karena ditinggal Yusuf.
5. An-Nahl: 90
‫هللا يَأْ ُم ُر ِِبلْ َعدْ لِ َواْل ْح َس ِان َوايتَاء ِذي الْ ُق ْر َب َويََّنْ َىى َع ِن الْ َف ْحشَ اء َوالْ ُمن َك ِر‬ َ ‫ا َّن‬
ِ ‫ون‬ ِ‫ِوالْب ْغي ي ِع ُظ ُ ُْك لَعل َّ ُ ُْك ت ََذكَّر‬
َ ُ َ َ ِ َ َ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia
melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan
hamba-Nya untuk berbuat adil dalam menunaikan kewajiban
mereka kepada Allah berupa tauhid dan tidak syirik.
Begitupun adil dalam menunaikan hak sesama manusia. Allah
juga memerintahkan manusia untuk berihsan dalam
peribadatan mereka kepada Allah, dan juga berihsan
terhadap sesama makhluk dalam tindakan dan ucapannya.
Dalam hadis Nabi SAW yang terkenal dengan hadis Jibril
disebutkan, Jibril bertanya: “Apa itu Ihsan?” Nabi SAW menjawab:
“Ihsan adalah agar engkau menyembah Allah seakan-akan kamu
melihatNya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu”
(HR. Bukhari-Muslim). Ibadah yang dimaksudkan dalam hadis ini
adalah segala jenis ketaatan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis
yang lain, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan agar kita
berihsan dalam segala hal. Apabila kalian berperang, berperanglah
dengan ihsan. Bila kalian menyembelih binatang, sembelihlah
dengan ihsan. Sembelihlah binatang dengan alat yang tajam, agar
mereka tidak kesakitan”.
Untuk lebih jelasnya berikut ini disampaikan beberapa arti
dari ihsan:
1. Istilah ihsan secara bahasa berarti baik dan berbuat baik. Ayat-
ayat dan hadis di atas menunjukkan beberapa makna ihsan dan
sekaligus menggambarkan bentuk-bentuk sikap ihsan yang
perlu diterapkan umat manusia.
2. Ihsan berarti baik dalam berbuat, dan terus menerus
menyebarkan kebaikan. Perbuatan tersebut berupa amal
ibadah ataupun mu’amalah. Umar ibn Khattab pernah
mengungkapkan, ''Manusia dipandang dan dinilai karena
pengetahuannya tentang kebaikan dan konsistensinya
melakukan perbuatan baik sesuai dengan pengetahuan
tersebut.''
3. Ihsan berarti berbuat baik kepada orang lain seperti kedua
orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan seluruh
makhluk-Nya. Di antaranya adalah memberikan nikmat atau
sesuatu yang disenangi kepada orang lain
4. Ihsan juga berarti berbuat baik kepada alam sekitar, seperti
hewan, tumbuhan, bumi, air dan lainnya.
5. Ihsan lebih tinggi dari berlaku adil. Seseorang disebut adil
apabila melaksanakan kewajibannya, lalu ia menerima haknya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara ihsan
adalah melakukan pekerjaan melebihi dari yang diwajibkan
dengan tidak melanggar aturan dan mengambil atau menerima
hak kurang dari yang telah ditentukan. Jadi, orang yang ihsan
tidak pernah mengambil hak orang lain. Ia bahkan masih
menyisakan haknya demi kemaslahatan orang lain.
Keutamaan ihsan tumbuh dari sifat penyayang dan
penyantun. Ihsan termanifestasikan dalam berbagai sifat yang
lain, di antaranya adalah: 1) birrul walidain, berbuat baik kepada
kedua orang tua, dan berupaya mencari keridhoan mereka dalam
lingkup yang tidak melanggar ajaran agama. 2) berbuat baik
kepada kerabat dekat, menolong saat mereka membutuhkan. 3)
menyayangi anak-anak yatim, orang miskin, dan membantu
mereka. 3) memberikan maaf kepada orang yang bersalah.
Ihsan memiliki pengaruh kejiwaan yang luar biasa. Dengan
ihsan kita dapat menahan lisan dan hawa nafsu, hati pun menjadi
bersih dari berbagai macam penyakit seperti iri, dengki,
permusuhan dan lainnya. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik
dalam berbuat baik atau berihsan terhadap orang yang
memusuhinya. Para sahabat pun demikian, mereka berihsan
terhadap orang yang berbuat buruk terhadap mereka.

M. Cinta
Cinta sebagai sebuah kemampuan mengatur potensi dan
kekuatan jiwa manusia sehingga terwujud keseimbangan dapat
disebut sebagai keutamaan personal individual. Sedangkan jika
dilihat sebagai sebuah kemampuan mengatur hubungan
seseorang dengan pihak lain maka dapat disebut sebagai
keutamaan sosial. Gambaran ini sekaligus menjelaskan dua arah
konsen utama ilmu akhlak yaitu individu dan masyarakat,
moralitas personal individual dan moralitas sosial.
Kecenderungan moralitas sosial nampak dalam berbagai
pendapat Ibnu Miskawaih. Misalnya ia melihat bahwa seseorang
tidak bisa lepas dari kehidupan sosialnya, individu merupakan
bagian dari masyarakat. Banyak sekali kebaikan dan keutamaan
yang berbasiskan sosial kemasyarakatan. Perumpamaan
keberadaan seorang individu dalam masyarakatnya adalah
laksana organ tubuh yang saling bahu membahu bersama
mewujudkan target dan tujuan hidupnya (Miskawaih, 1985, p. 15).
Antara moralitas personal individual dan moralitas sosial,
keduanya memiliki posisi yang cukup penting dalam kehidupan
manusia. Kedua ukuran moralitas ini saling terkait satu dengan
lainnya. Personaliti yang baik dan berkarakter sangatlah
dibutuhkan untuk mewujudkan kebaikan bersama sebuah
masyarakat. Dan kebaikan individual personal akan dapat
sempurna jika itu dapat mewujudkan kebaikan sosial. Ajaran ini
terkait pula dengan ajaran agama tentang dua sisi peribadatan
kepada Tuhan. Di satu sisi peribadatan terkait dengan hablun
minallah, kesempurnaan diri seseorang di mata Tuhan. Di sisi lain
berbagai amal peribadatan juga memiliki sisi-sisi kebaikan sosial,
seperti menebarkan kasih sayang kepada sesama, membantu
manusia lainnya, dan berbagai kebaikan sosial yang lain.
Kesempurnaan terwujud manakala seseorang baik di mata Tuhan,
dan juga baik di mata dan terhadap sesama.
Di antara keutamaan moral terpenting dalam konteks
mewujudkan kebaikan bersama adalah cinta kasih dan
persahabatan. Berikut ini penjelasan sigkat mengenai dua
keutamaan tersebut:
1. Cinta dan Kasih Sayang
Dr Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Cinta dalam
Pandangan Islam (terj), menjelaskan bahwa cinta merupakan
perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri, dan terpautnya
hati orang yang mencintai pada pihak yang dicintainya, dengan
semangat yang menggelora dan wajah yang selalu
menampilkan keceriaan. Kebalikan dari cinta adalah benci,
yaitu menjauhi dan menghindari pihak yang tidak dicintainya.
Bertolak dari sini dapat dipahami bahwa keburukan seseorang
tidak mungkin menimpa kepada orang yang ia cintai. Jadi
mencintai identik dengan melimpahkan kebaikan dan kasih
sayang terhadap pihak yang dicintai, sebaliknya kebencian
akan memberikan keburukan dan kejahatan kepada pihak yang
dibencinya.
Harmoni atau cinta bagi masyarakat itu posisinya laksana
ruh bagi jasad. Badan kita tidak akan hidup tanpa ruh.
Begitupun masyarakat, tidak ada kehidupan dan eksistensi
kecuali dengan adanya cinta. Bangunan sebuah masyarakat
tidak akan kokoh, bagian-bagiannya tidak akan harmonis,
tanpa adanya cinta yang tulus. Cinta dan kasih sayang
seseorang terhadap orang lain akan mendorongnya untuk
memperlakukan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.
Inilah yang menjadi salah satu inti pesan Nabi dalam hadisnya,
“Orang mukmin satu dengan yang lainnya itu laksana
bangunan, satu menguatkan yang lain”.
Dalam bingkai cinta, seorang pecinta akan memperlakukan
orang yang dicintainya bukan hanya sebatas adil, tapi lebih dari
itu, seorang pecinta akan memperlakukan kekasihnya dengan
ihsan, mempersembahkan kebaikan lebih dari porsinya. Ibnu
Miskawaih memposisikan cinta ini lebih tinggi dari sifat adil.
Cinta ini terkait erat dengan harmoni alam semesta pada
umumnya, dan eksistensi manusia pada khususnya (Miskawaih,
1985, pp. 135–136).
Begitu pentingnya cinta, Islam mengajarkan bagaimana
cara merawat cinta:
1. Meluruskan niat. Agar cinta berbuah ibadah, sucikan niat
dalam bercinta karena Allah SWT semata. Senada dengan
hadis Nabi, “Segala amal itu tergantung niatnya dan setiap
orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (Muttafaq alaih).
2. Mencintai secara proporsional.
“.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216).
Nabi SAW pernah berpesan, “Cintailah kekasihmu
sekadarnya saja, karena boleh jadi suatu hari nanti dia akan
menjadi sesuatu yang engkau benci; dan bencilah sesuatu
yang tidak engkau sukai sekadarnya saja, karena boleh jadi
suatu hari nanti dia akan menjadi sesuatu yang engkau
cintai.” (HR Bukhari).
3. Memproklamirkan cinta.
Nabi SAW bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya
hendaklah memberitahukan kepadanya bahwa ia
mencintainya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
4. Memandang dengan penuh cinta.
Pandangan akan mempengaruhi segalanya. Jika kita
memandang sesuatu dengan pandangan cinta maka semua
akan indah, aib dan noda tidak akan nampak. Sebaliknya jika
melihat dengan pandangan benci maka semua keburukan
akan terbuka lebar. Model pandangan cinta ini selanjutnya
dalam ranah sosial bisa diwujudkan dalam bentuk berfikir
positif. Dengan positive thinking, maka keharmonisan dan
kenyamanan hidup akan mudah terwujud.
5. Kunjungan cinta.
Agar tanaman cinta bertambah subur, hendaklah saling
mengunjungi. Rasulullah SAW bersabda, “Berkunjung secara
berkala maka cinta pun akan bertambah.” (HR Baihaqi).
6. Merawat tanaman cinta secara berkala, taburkan pupuk
cinta secara merata, pasti akan menuai buah cinta, yaitu
dengan mendahuluinya dalam mengucapkan salam,
memanggilnya dengan nama yang paling disukainya, dan
melapangkan tempat duduk baginya.
7. Mengokohkan cinta dengan doa.
Nabi SAW mengajarkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon anugerah cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang
mencintai-Mu, serta usaha yang dapat mengantarkan aku
kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang
paling aku senangi.” (HR Ahmad).
2. Jenis-jenis Cinta
Ibnu Miskawaih membagi cinta dilihat dari sebab dan
motivasinya menjadi tiga macam:
1. Cinta yang didasari oleh kenikmatan dan kesenangan
lahiriah
Cinta model ini terjalin dengan cepat, dan bubar pun
dengan cepat pula. Hal ini sejalan dengan watak dari
kenikmatan sesaat yang dapat muncul dan hilang dengan
cepat. Makanya model ini dikategorikan sebagai jenis cinta
yang paling rendah.
2. Cinta yang didasari oleh kepentingan atau manfaat yang
didapatkan.
Proses menjalin model cinta ini biasanya lambat, karena
harus saling memahami kepentingan dan manfaat dari
masing-masing pihak, dan pada akhirnya dapat
mempertemukannya. Namun proses hilang cinta model ini
dapat berjalan dengan cepat, seiring hilangnya kepentingan
atau manfaat yang didapat. Meski demikian, cinta yang
didasari kepentingan dan manfaat yang diperoleh ini masih
lebih tinggi levelnya dari model pertama di atas.
3. Cinta yang didasari kebaikan.
Cinta model ini biasanya cepat terjalin, dan awet
perjalanannya atau tidak mudah bubar dan hilang. Sebab
sifat dasar kebaikan biasanya dapat bertahan lama, maka
cinta dengan bingkai kebaikan ini pun dapat awet dan
bertahan. Ibnu Miskawaih memposisikan cinta model ini
sebagai level tertinggi cinta. Jadi motivasi cinta haruslah
kebaikan, agar semuanya baik dan harmonis (Miskawaih,
1985, pp. 143–144).

Ada hal yang perlu diperhatikan, model-model cinta di atas


itu khusus di kalangan manusia, sebab cinta tersebut muncul
dan terjalin dengan didasari kesadaran dan keinginan mereka,
dan juga menuntut adanya komitmen dan pengorbanan untuk
pihak yang dicintai. Jadi jalinan hubungan yang terjadi pada
komunitas binatang yang notabene tidak berakal bukanlah
cinta, itu hanya bentuk kasih sayang yang muncul secara
naluriah.
Di samping cinta sesama makhluk, terdapat cinta yang
lebih tinggi derajatnya dari itu semua, yaitu cinta manusia
kepada Khaliqnya. Cinta manusia kepada Allah ini sebab
pendorongnya adalah kenikmatan rohani yang bersumber dari
diri dan hati kita. Cinta model ini khusus bagi manusia-manusia
yang baik, dan cinta ini tidak pernah berkurang dan hilang
(Miskawaih, 1985, p. 142).
Ajaran Islam mengajarkan cinta, dan memposisikannya
sebagai ikatan luhur antar sesama. Salah satu hikmah
disyariatkannya shalat berjama’ah adalah jiga cinta. Umat Islam
berkumpul berjamaah sehari 5 kali, seminggu sekali mereka
berkumpul untuk shalat jum’at, kemudian setahun dua kali
berkumpul bersama menunaikan shalat idul fitri dan idul adha,
dan kemudian ada semacam ijtima’ akbar seluruh umat Islam
sedunia dalam ibadah haji. Perkumpulan-perkumpulan yang
tertata sedemikian rupa ini, merupakan proses latihan yang
terus menerus guna menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang
antar sesama. Dengan jalinan cinta dan kasih sayang antar
mereka, maka masyarakat secara umum akan terjalin di
dalamnya keharmonisan, dan terwujud kesejahteraan
(Miskawaih, 1985, pp. 143–144).
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa cinta itu
dilihat dari pihak yang dicintai dapat dibagi menjadi; cinta
makhluk kepada Khaliknya, cinta kepada sesama manusia, dan
cinta kepada makhluk lain (binatang, tumbuhan dan lainnya).
Berikut ini akan dijelaskan tentang tingkatan cinta:
1. Cinta manusia kepada Khaliqnya
Cinta ini menempati level tertinggi dibandingkan cinta-
cinta yang lainnya. Kekuatan cinta kepada Allah ini
mengikuti kuatnya iman dan makrifat seorang hamba
kepada Tuhannya. Bukti kesungguhan cinta seorang hamba
kepada Khaliqnya ini terwujud dalam bentuk ketundukan
dan ketaatan kepada-Nya.
2. Cinta seorang murid kepada gurunya
Cinta model ini menempati level kedua setelah cinta
kepada Tuhan. Cinta ini lebih tinggi dan lebih mulia
dibandingkan cinta seorang anak kepada kedua orang
tuanya, karena para gurulah yang membentuk jiwa dan
mental mereka, dan juga memberikan kepada mereka
santapan-santapan rohani yang dapat membawa menuju
puncak kebahagiaan. Karenanya kita sebagai murid sangat
berhutang terhadap para guru kita.
3. Cinta anak kepada kedua orang tuanya.
Level ketiga cinta ditempati oleh cinta seorang anak
kepada kedua orang tuanya. Hal ini karena merekalah yang
menjadi wasilah keberadaan kita di muka bumi ini. Mereka
pula yang telah mengasuh kita sejak bayi sampai dewasa,
memberikan pendidikan awal kepada kita. Rasa cinta
kepada kedua orang tua ini meniscayakan seorang anak
hormat dan ihsan terhadap kedua orang tuanya sekuat
mungkin. Sebab jika orientasinya adalah membalas jasa
orang tua, maka tidak mungkin kita sebagai anak mampu
untuk membalasnya dengan sempurna. Cukuplah
balasannya adalah kita birrul walidain terhadap kedua orang
tua kita, semampu kita.
Cinta orang tua kepada anaknya adalah cinta yang kuat
dan mendalam. Ada peribahasa cinta ibu sepanjang jalan,
dan cinta anak sepanjang galah. Hal ini karena orang tua
melihat bahwa pada diri anaknya ada harapan baru. Anak
adalah generasi penerus orang tuanya. Apa yang masih
kurang pada diri orang tua, mereka berusaha menambalnya
pada diri anak-anaknya. Orang tua semuanya pasti
menghendaki anak-anak mereka akan menjadi generasi
yang lebih baik dan lebih sukses dari mereka sendiri.
Hubungan cinta orang tua dengan anak ini tergambar
juga, atau dapat dikatakan model yang setara, dalam
hubungan cinta antara pemimpin dengan rakyatnya.
Pemimpin ibarat dua orang tua yang harus mencintai dan
menyayangi anak-anaknya, memenuhi segala kebutuhan
mereka, dan kebahagiaan/kesejahteraan rakyat menjadi
orientasi utamanya. Sebaliknya rakyat mesti harus
menghormati pemimpinnya.
Itulah tiga level cinta tertinggi yang berorientasi kepada
terwujudnya kebaikan dan keutamaan. Cinta-cinta lainnya, baik
itu cinta sesama manusia, atau cinta terhadap makhluk lain,
menempati level-level di bawahnya. Manajerial yang baik akan
terwujud jika cinta level pertama, cinta kepada Allah, menjadi
spirit utama dari cinta-cinta di level berikutnya, termasuk cinta
kita kepada alam semesta.
Ingat, cinta itu harus tulus dan sungguh-sungguh, serta
membutuhkan pembuktian. Cinta kepada Allah dan Nabinya
harus dibuktikan dengan ketaatan menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya. Cinta kepada orang tua harus
diwujudkan dalam bentuk bakti dan mu’asyarah yang baik
dengan mereka. Begitu pun cinta kepada yang lainnya.

N. Persahabatan
Apabila cinta sudah terjalin di antara dua pihak, di mana di
antara mereka ada kesatuan rasa, kesepahaman dalam pendapat,
keharmonisan dalam sikap, maka akan terwujud persahabatan
yang sejati. Jadi persahabatan ini lebih spesifik dibandingkan
dengan cinta. Biasanya persahabatan ini terjalin di antara dua
pihak atau lebih, sementara cinta sifatnya umum.
Seperti juga cinta, lemah dan kuatnya persahabatan ini
tergantung kepada motivasi dan tujuan dari terjalinnya. Jika
persahabatan dijalin atas dasar kenikmatan dan kepentingan
sesaat, maka ia akan mudah pudar. Namun apabila persahabatan
dijalin atas dasar kebaikan, dan ini hanya terjalin di antara orang-
orang yang baik, maka model ini akan menjadi persahabatan level
tertinggi dan akan abadi.
1. Bagaimana Cara Memilih Sahabat?
Salah satu sifat yang banyak dimiliki manusia adalah
pandai menyembunyikan sesuatu, termasuk niat jahat dan
lainnya. Kadang orang berpura-pura baik, padahal ia berniat
mencelakai kita. Hal inilah yang mestinya mendorong kita
untuk berhati-hati dalam menjalin persahabatan dan memilih
sahabat. Tentu saja kita harus hati-hati dalam konteks ini.
Jangan sampai kehati-hatian kita justru membelenggu dan
membuat kita tidak bagus dalam bersahabat. Ibnu Miskawaih
secara tegas memberikan warning tentang hal ini, “Kita harus
berhati-hati jangan sampai persahabatan dengan pihak lain
justru memposisikan kita dalam bahaya. Kita haruslah waspada
terhadap pihak yang suka berpura-pura dan menipu. Mereka
berpenampilan baik di depan kita, begitu kita lengah mereka
akan memangsa kita seperti binatang buas yang mendapatkan
mangsanya” (Miskawaih, 1985, p. 162).
Untuk mendapatkan sahabat sejati dan persahabatan yang
baik kita mesti melakukan beberapa hal berikut ini:
1. Meneliti riwayat perjalanannya di masa muda, dan juga
keadaan sikap dan mentalnya kepada kedua orang tuanya,
saudara dan keluarganya.
2. Meneliti perilaku dan sikap-sikapnya bersama teman-teman
lamanya.
3. Menelisik sejauh mana keberpihakannya terhadap
kebajikan, dan kepandaiannya dalam mensyukuri nikmat
Tuhan.
4. Diharapkan sahabat yang hendak dipilih bukan orang yang
suka bermalas-malasan, dan suka menunda-nunda
kewajiban, serta cenderung kepada kenikmatan-kenikmatan
lahiriah. Karena seperti itulah biasanya ia akan
memperlakukan sahabatnya.
5. Mengetahui dengan baik bahwa sahabat yang hendak
dipilih bukan seorang yang materialis, suka mengumpulkan
harta benda dan cinta dunia. Sahabat yang model begini
tidak akan tulus. Mereka mengukur semuanya dengan
materi. Dan persahabatan didasarkan kepada materi dan
harta sangat mudah hancur, dan bahkan dalam sesaat dapat
berubah drastis dari sahabat menjadi musuh.
6. Sahabat yang hendak dipilih bukan orang yang ambisi
kekuasaan dan senang menindas orang lain. Ambisi
semacam ini sering kali menghalalkan segala cara, termasuk
mencelakai sahabat, atau mengkhianati teman.

2. Etika Persahabatan
Agar persahabatan dapat langgeng dan berjalan baik, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Bersahabat seperlunya.
Yang dimaksud dengan bersahabat seperlunya adalah
jangan sampai kita terjebak kepada prinsip “banyak teman,
banyak berkah dan manfaat” secara verbal tanpa isi.
Banyaknya sahabat tidak menjamin semua akan berjalan
baik. Maka yang mesti diperhatikan adalah kualitas
persahabatan, bukan kuantitasnya. Mungkin cukup dengan
satu orang sahabat yang baik semua akan baik-baik saja,
dibandingkan banyak sahabat tapi kita tidak mampu
memperlakukan mereka dengan baik, atau ada sebagian
mereka yang tidak tulus.
2. Menutupi aib sahabat.
Seperti yang disabdakan Beliau SAW, “Siapa yang
menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aib
orang itu di dunia dan akhirat. Dan, siapa mengumbar aib
saudaranya sesama Muslim maka Allah akan mengumbar
aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.”
(HR Ibnu Majah).
3. Memberikan perhatian kepada sahabat.
Perhatian kepada seorang sahabat dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk seperti mencari dan menanyakan
saat ia tidak muncul, menyambut dengan ramah saat
bertemu, menyapa dan memenuhi hak-haknya sebagai
sahabat. Perhatian ini juga harus diberikan kepada orang-
orang terdekat sahabat kita tadi seperti teman, anak, orang
tua, anak buah dan lainnya. Tentu saja bukan perhatian atau
perlakuan yang berlebihan, sebab sesuatu yang berlebihan
pasti tidak baik.
4. Bersama dalam suka dan duka.
Sahabat sejati adalah yang membersamai kita dalam
segala situasi, baik suka maupun duka, senang maupun
susah.
5. Berusaha mengerti dan menyempurnakan kekurangan
sahabat.
6. Hindari pertengkaran dan sifat hipokrit atau munafik
dengan sahabat.
Hal tersebut memang bukan hanya dengan sahabat,
tapi juga kewajiban kita kepada semua orang. Tapi yang
harus diperhatikan adalah bahwa pertengkaran dan sifat
munafik itu sangat ampuh untuk merusak persahabatan.
7. Hindari sifat pelit kepada sahabat.
8. Menjaga rahasia seorang sahabat.
9. Waspada terhadap gosip.
10. Merasa tidak nyaman dengan pihak yang menjelek-jelekkan
sahabatnya dan suka menceritakan kekurangannya.
11. Waspada kepada teman yang berbalik menjadi musuh.
Karena mereka sudah banyak mengetahui rahasia dan
kekurangan kita.
Syaikh Al-Azhar Ahmad Thoyyib menyampaikan dalam salah
satu acaranya yang ditayangkan di beberapa stasiun TV Mesir, dan
juga lewat channel YouTube dan Facebooknya, bahwa hilangnya
nilai-nilai moral dan keutamaan dari masyarakat muslim menjadi
salah satu penyebab utama kemunduran mereka dalam banyak hal.
Islam dengan segenap ajarannya mulai dari akidah, ibadah dan
hukum, semuanya terkait erat dengan akhlak. Lihatlah bagaimana
Allah berfirman dalam ayat-Nya, “Sesungguhnya shalat itu
menghalangi dari perbuatan keji dan munkar”.
Keluhuran akhlak menjadi tujuan utama dari ditegakkannya
rukun Islam mulai dari shalat, puasa, zakat dan juga haji. Dalam
ajaran Islam, antara ibadah dengan kemuliaan akhlak seperti 2 sisi
mata uang yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Inilah
yang menjadi spirit utama sabda Nabi SAW, “Tidak lain aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Ahmad Thoyyib juga menegaskan bahwa dalam Islam,
pelaksanaan peribadatan seperti shalat, puasa, zakat dan haji, jika
tidak mengejawantah dan membentuk akhlak yang mulia, maka itu
semua tidak bermanfaat bagi pelakunya kelak di hari kiamat. Bahkan
mereka tetap terancam masuk neraka. Seperti hadis yang
menceritakan tentang seorang perempuan yang rajin berpuasa di
siang hati, dan malam harinya ia tekun beribadah, tetapi lisannya
suka menyakiti tetangganya, maka puasa dan ibadahnya tidak akan
menolongnya kelak di akhirat. Sebaliknya manakala ada seorang
perempuan yang minimalis dalam beribadah, ia hanya melaksanakan
puasa ramadhan yang wajib, shalat 5 waktu saja, tetapi ia menjaga
lisannya, senang bersedekah membantu tetangganya, itu semua
justru membuatnya masuk surga.
Ada keterkaitan erat antara ibadah dengan akhlak. Salah satu
buktinya adalah Allah telah menjadikan akhlak yang mulia atau
husnul khuluq sebagai sebuah bentuk peribadatan. Nabi Saw
bersabda dalam sebuah riwayat: “Yang terbaik keisalamannya di
antara kalian adalah siapa yang paling baik akhlaknya”(Bukhari, n.d.,
p. 1328). Dalam ajaran Islam tidak ada satupun amal yang tidak
terkait dengan akhlak. Mulai dari thaharah, shalat, puasa, zakat dan
juga haji. Kesemuanya memiliki keterkaitan erat dan juga terdapat
nilai-nilai moral di dalamnya, di samping juga dimensi-dimensi
pendidikan.
Berikut ini akan dijelaskan keterkaitan antara amal peribadatan
umat Islam, mulai dari shalat, thaharah, puasa, zakat dan haji,
dengan akhlak. Dan juga kandungan nilai-nilai akhlak dalam setiap
peribadatan tersebut.
A. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Shalat
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa dalam ibadah
shalat terdapat nilai-nilai moral yang dapat membimbing jiwa
manusia menuju kebaikan, “Shalat itu bisa mendatangkan rejeki,
menjaga kesehatan, menolak bahaya, menjadi obat dari penyakit,
menguatkan hati, mencerahkan wajah, membuat jiwa ini lega,
menghilangkan kemalasan, membuat hati kita bersih,
melanggengkan nikmat dan menghilangkan laknat,
mendatangkan berkah, dan menjauhkan syaitan”.(ٌٌ‫ب‬ ٌ ‫يٌٌبكرٌٌأيو‬
ٌ ‫نٌٌأب‬
ٌ‫ب‬
‫يٌأب ٌوٌعبدٌهللا‬
ٌ ‫الزرع‬, n.d.).
Syaikh Abdulah Darraz mengatakan bahwa syi’ar iman yang
utama, dan sifat mulia dari seorang mu’min bukanlah terletak
hanya pada pelaksanaan shalat saja. Tetapi pelaksanaan shalat
dengan sempurna dan konsisten. Kesempurnaan pelaksanaan
shalat ini membutuhkan dua syarat, yaitu 1) hati yang khusyu’
mengagungkan Allah, dan organ tubuh yang aktif, sehat dan
thuma’ninah. Dan 2) akal pikir yang mampu mengendalikan kata
dan perbuatan, serta menghilangkan syak prasangka buruk yang
dapat membuat seseorang lalai (Darazi, n.d., p. 149).
Konsistensi dan kedisiplinan dalam melaksanakan shalat juga
dapat menumbuhkan sifat mulia yaitu terhindar dari hal-hal yang
sia-sia tidak berguna. Sifat mulia ini merupakan salah satu buah
dari shalat. Karena shalat itu ibarat training atau latihan untuk
terus menghiasi diri dengan perilaku mulia, dan menghindarkan
diri dari perilaku buruk.
Keterkaitan antara ibadah shalat dengan akhlak diawali
dengan nalar bahwa akhlak mulia level tertinggi adalah akhlak kita
sebagai hamba kepada Allah swt. Hal tersebut terejawantah
dalam peribadatan kita kepada-Nya, dan bagaimana kita
menjalankan apa yang membuat-Nya cinta dan ridha. Shalat
adalah ibadah umat Islam teragung. Jika kita perbaiki akhlak kita
kepada Allah dengan melaksanakan shalat, maka Allah akan
berikan kepada kita akhlak mulia dan terpuji. Berikut ini beberapa
pokok ajaran Islam yang menjelaskan kaitan erat antara shalat
dengan akhlak:
1. Kisah Abu Sufyan sebelum masuk Islam, dia menjelaskan ajaran
Nabi Muhammad tentang shalat dan akhlak lainnya:
“Muhammad memerintahkan kepada kami shalat, zakat, jujur,
kesederhanaan, menahan diri, dan menjalin silaturrahmi”. Shalat
dan zakat disandingkan dengan beberapa akhlak mulia seperti
jujur, sederhana, menahan diri dan lainnya. Ini membuktikan
bahwa antara peribadatan tersebut ada keterkaitan erat
dengan perilaku-perilaku terpuji dan tidak bisa dilepaskan
begitu saja.
2. Penjelasan Ja’far Bin Abi Thalib terhadap Raja Najasyi sebagai
berikut: “Wahai Raja.. kami dahulu adalah kaum jahiliyah
penyembah berhala, kami makan bangkai, kami melakukan
perbuatan-perbuatan kotor dan tercela, putuskan silaturrahmi,
bertindak jahat terhadap tetangga, yang kuat menindas yang
lemah. Kami terus dalam kondisi tersebut sampai kemudian Allah
mengutus Nabi-Nya. Seseorang yang kami kenal dengan baik,
dari keturunan orang-orang baik, jujur, amanah dan sederhana.
Lantas ia mengajak kami untuk menyembah Allah, bertauhid dan
melepaskan semua yang kami sembah sebelumnya. Ia juga
memerintahkan kami untuk jujur, amanah dan menjalin
silaturrahmi. Begitu juga berbuat baik kepada tetangga,
menghindari yang haram dan pertikaian. Melarang kami berbuat
dan berkata kotor, menipu, memakan harta anak yatim, dan
menuduh wanita-wanita terhormat. Ia memerintahkan kami
untuk hanya menyembah Allah saja dan tidak musyrik, shalat,
zakat dan puasa”.
Dalam penjelasan di atas, shalat dan ibadah lainnya
disebutkan belakangan setelah dijelaskan panjang lebar
tentang akhlak-akhlak terpuji dan juga yang tercela.
Sistematika penjelasan seperti ini, mendahulukan bercerita
tentang akhalk mulia sebelum peribadatan, sangat baik
pengaruhnya terutama ketika kita berdiskusi dengan penganut
agama lain atau non muslim, dalam rangka menampilkan Islam
sebagai sebuah agama yang pro akhlak mulia, secara otomatis
pro terhadap kemanusiaan.
3. Shalat adalah obat yang dapat menghilangkan beberapa
akhlak buruk. Seperti yang tergambar dalam Surat Al-Ma’arij
ayat 18-23
‫) َوا َذا َم َّس ُه الْخ ْ َُْي‬20( ‫الْش َج ُزوعًا‬ ُّ َّ ‫) ا َذا َم َّس ُه‬19( ‫ا َّن ْاْلن ْ َس َان ُخ ِل َق َهلُوعًا‬
ِ ِ ِ
23( ِ ‫ون‬ َ ‫) َّ ِاذل َين ُ ُْه عَ َل َص َالِتِ ِ ْم دَائِ ُم‬22( ‫) ا َّْل الْ ُم َص ِل َْي‬21( ‫َمنُوعًا‬
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
ِ
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan
apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang
yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan
salatnya”.

Dalam ayat-ayat di atas dijelaskan bahwa orang yang


mengerjakan shalat dengan khusyu’ dan konsisten dapat
terhindar dari beberapa perilaku tercela yang notabene
menjadi watak dasar umumnya manusia, yaitu sifat kikir dan
senang berkeluh kesah. Kebanyakan manusia ketika susah ia
akan berkeluh kesah, meratap dan gundah gulana. Sebaiknya
saat senang biasanya mereka akan pelit dan tidak sudi melirik
orang lain. Shalat dengan istiqamah merupakan salah satu obat
ampuh untuk menghilangkan sifat-sifat buruk tersebut.
Jika kenyataannya shalat kita ternyata belum berpengaruh
terhadap perilaku kita, maka kita harus bermuhasabah dan
evaluasi diri, pasti ada yang salah, terutama dengan shalat kita.
Sebab Allah telah menjamin dalam firmanNya dalam Surat Al-
‘Ankabut: 45, “Sesungguhnya shalat itu mencegah kita dari
perbuatan kotor dan munkar”.
4. Kisah dalam Hadis Abu Hurairah ra tentang dua orang
perempuan; satunya rajin shalat, puasa dan zakat, tapi ia suka
menyakiti tetangganya, dan ia masuk neraka. Yang satunya lagi
seorang perempuan yang minimalis dalam shalat, puasa dan
zakatnya. Artinya ia hanya melaksanakan yang wajib-wajib saja,
tapi ia baik dan tidak pernah menyakiti tetangganya, dan ia
masuk surga. Dapat dipahami bahwa shalat, puasa dan zakat
tidak banyak berpengaruh, atau tidak ada harganya, jika kita
masih berakhlak buruk seperti menyakiti tetangga dan lainnya.
B. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Thaharah
Thaharah atau sesuci dapat dibedakan menjadi 2: lahir dan
batin, fisik dan mental. Sesuci lahiriah terkait dengan kebersihan
anggota badan dan hal-hal fisik lainnya. Sementara sesuci batiniah
terkait dengan kebersihan dan kesucian hati dan mental
seseorang.
Islam mengajarkan sesuci dengan dua macamnya di atas. Jika
ditanyakan kenapa Islam memberikan perhatiannya kepada
kebersihan badan? Jawabannya adalah pasti, karena:
1. Akal sehat ada pada tubuh yang sehat. Tubuh yang sehat
adalah tubuh yang kuat. Kekuatan tubuh ini dapat diwujudkan
dengan kebersihan dan kesucian anggota badan.
2. Perintah agama untuk menjaga kebersihan sejalan dengan
perkembangan ilmu modern. Misalnya perintah untuk
beristinja’ setelah buang hajat. Satu gram kotoran manusia
mengandung jutaan bakteri yang dapat menyebarkan epidemi
atau penyakit. Makanya Islam mengajarkan istinja’ atau bersuci
setelah buang hajat dengan berbagai media untuk
membersihkan anggota tubuh dan menghilangkan najis.
Sucinya anggota tubuh tersebut menjadi syarat sahnya shalat.
3. Thaharah dalam Islam berupa mandi, wudhu, istinja’ dan
lainnya dapat menghilangkan bakteri dan mikroba yang
menempel pada anggota tubuh manusia. Menurut penelitian
ilmu kesehatan bakteri dan mikroba yang menempel pada
anggota tubuh kita yang terbuka jumlahnya mencapai ratusan
juta.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa manfaat thaharah dan
kebersihan bagi individu muslim.
1. Dicintai oleh Allah swt.
‫الل ُ ُِي ُّب التَّ َّواب َِْي َو ُ ُِي ُّب الْ ُم َت َط ِه ِر َين‬
َ َّ ‫ا َّن‬
“Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan yang suka
ِ
bersuci.”
2. Tiket masuk sorga.
‫ ُث رفع طرفه‬،‫ (من توضأ َنو وضويئ هذا‬:‫قال رسول هللا صل هللا عليه وسَل‬
‫ فتحت ل‬،‫ اللهم! اجعلِن من التوابْي واجعلِن من املتطهرين‬:‫اىل السامء وقال‬
(‫أبواب اجلنة الامثنية‬
“Rasululullah saw bersabda, “Barang siapa berwudhu seperti aku
berwudhu.. sambil Beliau menengadah ke langit, dan -orang yang
berwudhu tadi- berdo’a: ya Allah, jadikanlah aku termasuk
hambaMu yang bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk
hambaMu yang bersuci, maka akan dibukakan pintu sorga
baginya.”
3. Dihapuskan dosa dan kesalahannya
‫ (ما منُك رجل يقرب َوضوءه فيمتضمض‬:‫قال رسول هللا صل هللا عليه وسَل‬
‫ اْل خرت خطاي وهجه‬،‫)ويس تنشق‬.
“Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang dari kalian berwudhu,
kemudian ia berkumur dan menghisap air lewat hidungnya,
maka akan dihapus kesalahan-kesalahannya.”
4. Mendapat penerangan pada hari kiamat.
‫ (ان أمِت يبعثون يوم القيامة غر ًا حمجلْي من أياثر‬:‫قال النيب صل هللا عليه وسَل‬
)‫الوضوء‬
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya umatku akan dibangkitkan
pada hari kiamat dengan muka yang berseri-seri karena bekas air
wudhunya.

Sebagai individu muslim, secara teologis Islam mengajarkan


kebersihan dan kesucian akidah keimanan kita dari hal-hal yang
mengotorinya. Secara mental hati dan jiwa kita haruslah bersih
dari berbagai macam penyakit seperti iri, dengki, sirik dan lainnya.
Kemudian secara fisik anggota tubuh kita harus bersih dan suci.
Lisan harus bersih dari ucapan kotor dan menyakiti orang lain.
Tangan harus bersih dari barang-barang yang haram. Mata harus
terhindar dari hal-hal yang haram. Telinga kita pun harus dibatasi
agar tidak mendengarkan hal-hal yang dilarang agama. Dan pada
gilirannya akhlak kita harus bersih dari perilaku-perilaku kotor.
Thaharah dalam konteks sosial kemasyarakatan dapat
dimaknai sebagai terhindarnya masyarakat dari berbagai bentuk
kedzaliman. Juga mewujudkan masyarakat yang bersih dari
perpecahan dan pertikaian. Masyarakat yang optimis dan tidak
pesimis serta putus asa.

C. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Puasa


Puasa yang dalam bahasa arab asal kata dari shaum atau
shiyam secara bahasa artinya menahan diri atau al-imsak.
Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan dan merusak
puasa. Dalam kesempatan ini sengaja kita memakai dua istilah;
merusak dan membatalkan. Secara umum hal-hal yang merusak
puasa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu 1) Merusak puasa
sampai derajat membatalkan puasa, maksudnya adalah hal-hal
yang jika kita melakukannya maka puasa kita menjadi batal. Di
antaranya adalah makan/minum dengan sengaja, jima’, muntah
dengan sengaja, keluar darah haidh atau nifas, dan memasukkan
benda ke dalam tubuh. Dan 2) merusak dalam arti mengurangi
pahala atau merusak kualitas puasa. Beberapa hal yang dapat
mengurangi pahala dan merusak kualitas puasa di antaranya
dusta, ghibah, sumpah palsu, marah-marah, memandang dengan
syahwat dan lainnya.
Spirit al-imsak atau menahan diri merupakan satu hal yang
sangat terkait dengan akhlak. Terlebih dalam konteks proses
pembinaan dan pembentukan akhlak mulia. Seperti dijelaskan di
atas, hal-hal yang dapat merusak puasa dan mengurangi
ganjarannya adalah perilaku-perilaku tercela. Sehingga dapat
dipahami jika kualitas puasa kita bagus otomatis kita terhindar
dari banyak sifat buruk yang tercela. Di sisi yang lain proses
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dan
kebanyakan hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak di
larang di luar puasa, proses ini memastikan kita dapat
menumbuhkan mentalitas kemampuan menahan diri, dan ini
merupakan salah satu induk keutamaan akhlak, yaitu ‘Ifah atau
kemampuan menahan diri. Jika kita mampu menahan diri kita dari
perilaku yang sebetulnya di luar puasa dibolehkan, karena
menuruti perintah ilahi, maka menahan diri dari hal-hal yang
memang di larang dipastikan lebih mudah bagi kita.
Dengan puasa manusia muslim dilatih untuk meninggalkan
hal-hal yang tidak berguna, adu domba, ghibah, berdusta dan
berbagai sifat buruk lainnya yang dapat merusak kualitas
puasanya, dan juga mengurangi pahalanya. Jika dibumbui dengan
berbagai perangai buruk tadi, puasa menjadi kering akan makna,
dan tujuan utama puasa yaitu melatih jiwa untuk berhias dengan
akhlak mulia, jauh dari keburukan, itu semua tidak akan terwujud.
Nabi Saw bersabda: “Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan
perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka tidak ada gunanya ia
tinggalkan makan dan minum (saat berpuasa)”(Bukhari, n.d., p.
379). Sebaliknya, jika seseorang saat berpuasa ia menghiasi
dirinya dengan perilaku mulia, maka puasanya akan menjadi
pelindungnya dari api neraka kelak di akhirat.

D. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Zakat


Zakat adalah sejumlah harta yang dikeluarkan dengan syarat
telah mencapai ukuran dan waktu tertentu. Syarat ukuran atau
jumlah biasa disebut nishab untuk zakat mal bagi kepemilikan
harta tertentu. Termasuk ukuran atau jumlah harta yang harus
dikeluarkan pun ada aturan mainnya, baik itu untuk zakat fitrah
maupun zakat mal. Sementara aturan waktu terkait dengan
waktu pengeluaran zakat, dan juga waktu yang dipersyaratkan
dalam tenggang kepemilikan harta wajib zakat. Apabila telah
mencapai syarat yang diatur sesuai aturan agama, zakat
dikeluarkan dan ditasharufkan kepada 8 asnaf penerima zakat.
Menurut Bahasa kata “zakat” berarti tumbuh, berkembang,
subur atau bertambah. Zakat berasal dari bentuk kata "zaka"
yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang.
Dinamakan zakat, karena di dalamnya terkandung harapan untuk
beroleh berkah, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan
berbagai kebaikan (Sabiq, 1986, p. 5). Makna tumbuh dalam arti
zakat menunjukkan bahwa mengeluarkan zakat sebagai sebab
adanya pertumbuhan dan perkembangan harta, pelaksanaan
zakat itu mengakibatkan pahala menjadi banyak. Sedangkan
makna suci menunjukkan bahwa zakat adalah mensucikan jiwa
dari kejelekan, kebatilan dan pensuci dari dosa-dosa.
Dalam Al-Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka” (QS. at-Taubah [9]: 103). Menurut istilah
dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan
nama pengambilan tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-
sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.
Orang yang menunaikan zakat disebut Muzaki. Sedangkan orang
yang menerima zakat disebut Mustahiq.
Berbeda dengan shalat, puasa dan haji, zakat ini merupakan
ibadah sosial, atau ibadah yang langsung terkait dengan
kepentingan masyarakat. Hal ini dapat dipahami langsung
misalnya dari 8 golongan penerima zakat yang kebanyakan
membutuhkan bantuan finansial dari para aghniya’. Bantuan
finansial ini tentu saja muncul dari kepedulian sosial dari para
muzakki. Kepedulian terhadap orang lain, sifat suka membantu
pihak yang membutuhkan, peduli terhadap perjuangan dakwah
Islam, itu semua merupakan akhlak mulia. Jadi dapat disimpulkan
bahwa zakat ini sendiri merupakan akhlak mulia.
Ibnu Hassan Al-Qanuji menuliskan bahwa para muzakki ketika
mereka mengeluarkan zakat, mereka melatih diri mereka untuk
bisa mendapatkan 8 hal, yaitu:
1. Membangun kesadaran bahwa hanya satu yang menjadi tujuan
dan kekasih kita, yaitu Allah swt.
Ketika seorang muzakki berzakat, maka ia membayarkannya
lillahi ta’ala, bukan karena pamer atau pamrih lainnya. Di
samping itu zakat bertujuan untuk a) membersihkan harta
benda dari kotoran, b) membersihkan jiwa dari sifat kikir, dan
c) sebagai ungkapan syukur terhadap nikmat Allah Swt.
2. Menyegerakan pembayaran zakat dan tidak menunda-
nundanya.
Hal ini menunjukkan komitmen kita sebagai hamba Allah
untuk segera menjalankan perintah-Nya, sekaligus
menunjukkan keinginan kita untuk segera dapat membuat
kaum fakir miskin segera bergembira menerima bantuan kita.
3. Menjaga kerahasiaan agar terhindar dari riya’ dan pamrih.
4. Jika harus dimunculkan dalam pembayarannya, maka
dimaksudkan untuk proses edukasi masyarakat dan motivasi
bagi muslim lainnya agar mereka juga segera berzakat.
5. Tidak mengotori sedekahnya dengan ucapan atau perbuatan
buruk yang menyakitkan.
6. Membangun kesadaran dalam diri bahwa apa yang bayarkan
belum seberapa, jangan sampai muncul perasaan sebaliknya,
merasa yang bayarkan sudah cukup besar, dikhawatirkan hal
tersebut mendorong munculnya sifat ujub.
7. Untuk membayar zakat, seseorang diharapkan memilih
hartanya yang terbaik, yang paling ia suka, yang paling halal.
8. Memprioritaskan mustahiq dengan indikator ketaqwaan
mereka. Misalnya a) orang-orang yang hidupnya total untuk
akhirat, b) ulama yang shalih, c) orang yang jujur, d) orang fakir
yang tidak mengeksploitasi kefakirannya, e) anggota keluarga
yang terisolasi karena penyakit, atau f) banyak hutang, g)
kerabat terdekat, dan h) orang-orang yang punya hubungan
darah dengan kita (Al Qanuji, 2001).
Zakat sebagai sebuah ibadah memiliki dimensi hablun
minallah dan hablun minannas. Dari sisi hubungan hamba dengan
Tuhannya, zakat menggambarkan penghambaan yang total dari
seorang hamba terhadap Tuhannya, di mana apa yang ia miliki
semuanya sebetulnya adalah titipan dari Tuhan, sehingga saat
Sang Pemilik Hakiki menitahkan untuk mengeluarkan sejumlah
harta, tidak ada rasa owel atau eman-eman lagi.
Dari sisi hubungan dengan sesama manusia terdapat paling
tidak dua kluster manfaat; manfaat dari segi akhlak dan manfaat
sosial secara umum.
1. Manfaat zakat dari segi akhlak
a. Membentuk sifat dermawan.
b. Menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati dalam diri
terhadap sanak saudara.
c. Menumbuhkan sifat lapang dada dan kelegaan, dan juga
menumbuhkan ikatan cinta kasih antar sesama.
d. Menghilangkan sifat pelit dan bakhil dari dirinya. Seperti
yang dijelaskan dalam Qs. At-Taubah: 103 yang menyatakan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikan mereka”.
2. Manfaat zakat dari segi sosial
a. Membantu fakir miskin memenuhi kebutuhannya.
b. Memperkuat tali persaudaraan dan ukhuwah islamiyah.
c. Menghilangkan rasa iri hati dan dengki yang bersemayam di
dada para fakir miskin. Dengan zakat dari si kaya dan
didistribusikan kepada si miskin, maka hal itu akan
meminimalisir munculnya rasa iri dan dengki di pikiran orang
miskin terhadap orang kaya.
d. Menambah harta meningkatkan keberkahannya.
e. Memperluas peredaran harta, sehingga tidak hanya
menumpuk di kalangan orang kaya yang secara ekonomi
akan menimbulkan permasalahan sosial.

E. Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah Haji


Haji merupakan rukun Islam yang nomer lima setelah
syahadat, shalat, puasa dan zakat. Haji lebih spesifik
persyaratannya dibandingkan ibadah lainnya. Ada klausul “bagi
orang yang mampu” dalam prosesi pelaksanaannya. Ketika zakat
juga mensyaratkan kemampuan finansial bagi muzakki, haji pun
demikian. Bahkan kemampuan yang dimaksud bukan hanya
finansial saja, tapi juga kesehatan dan kesempatan. Artinya bagi
yang sakit dengan keadaan tertentu, misalnya sakit yang sudah
tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka ia tidak
berkewajiban haji, meskipun secara finansial ia sangat mampu.
Begitupun terkait dengan keadaan. Contoh penghentian haji di
tahun 2020 dan 2021 bagi Jemaah dari luar Arab Saudi karena
wabah Covid-19 menjadi contoh yang sangat jelas dari poin
tersedianya kesempatan dan terjaminnya kesehatan.
Dalam ibadah haji tergabung amalan badan dan pengorbanan
harta benda. Haji termasuk ibadah yang paling agung, di dalamnya
terkandung makna dan hikmah yang sangat mendalam. Para
ulama menyatakan, bahwa haji adalah salah satu madrasah yang
sangat agung, untuk menggembleng keimanan seorang muslim.
Allah berfirman dalam Surat Al-Haj: 27-28:

‫يق ِلي َْشهَدُ وا َمنَا ِف َع‬


ٍ ‫ك فَ ٍج َ َِع‬ ِ ُ ‫ك ضَ ا ِم ٍر يَأتِ ْ َْي ِم ْن‬ِ ُ ‫و َأ ِذن ِِف النَّ ِاس يَأْتُوكَ ِر َجا ًْل َوعَ َل‬
‫ات عَ َل َما َر َزقَهُم ِم ْن ِبَ ِ ميَة ا َألنْ َعام‬ ٍ ‫هللا ِ ِْف َأ َّي ٍم َم ْعلُو َم‬ َ ْ ‫لَهُم َوي َ ْذ ُك ُروا‬
ِ ‫اْس‬
“Dan kumandangkanlah ibadah haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang
kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan agar mereka
menyebut Nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas
rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak.”

Ayat di atas menegaskan bahwa berkumpulnya jutaan umat


Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia, salah satunya
adalah “liyasyhadu manafi’ lahum” untuk menyaksikan
(mendapatkan) berbagai manfaat bagi mereka. Ibnu Abbas
menafsiri kata ( ‫ ) َمنَافع‬ayat ini dengan mengatakan: “Manfaat di
dunia dan manfaat di akhirat, adapun manfaat di akhirat adalah
keridhoan Allah ‘azza wa jalla, dan manfaat di dunia adalah
mendapatkan pembagian daging korban, sesembelihan, dan
perdagangan.” (Ad Durrul Mantsur 6/37). Dan Al Mujahid
menafsirkan dengan berkata: “Manfaat adalah perdagangan dan
setiap hal yang menjadikan Allah ridho dari urusan dunia dan
akhirat.” (Tafsir At Thobari 17/147).
Islam adalah agama akhlak, yang menjadikan kesucian jiwa
dan kesiapan mental, dengan berbagai macamnya, sebagai tujuan
dari setiap syariatnya. Amalan-amalan yang terdapat pada ibadah
haji, masing-masing adalah bukti kuat akan kebenaran apa yang
telah disebutkan di atas, terutama terkait dengan akhlak, baik itu
akhlak dengan Allah dan juga akhlak kepada sesama.
1. Akhlak Dengan Allah
a. Talbiyah
Ucapan Talbiyyah
‫ ْل‬،‫ ان امحلد والنعمة ِل واملكل‬،‫ لبيك ْل ْشيك ِل لبيك‬،‫لبيك اللهم لبيك‬
‫ْشيك ِل‬
“Kusambut panggilan-Mu, Ya Allah, kusambut panggilan-
Mu, Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,
Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji,
karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu”.

Dalam lafal talbiyah terdapat ikrar kesetiaan dan


komitmen kita sebagai hamba Allah dengan memenuhi
panggilan-Nya. Dan dalam memenuhi panggilan ilahi ini
sembari memperbaharui ikrar tauhid dan
kemahakuasaan-Nya. Dalam kaitan akhlak kepada Allah
tauhid dan kesetiaan ini merupakan puncak dari
semuanya.
b. Thawaf dan Sa’i
Thawaf merupakan salah satu rukun ibadah haji yang
sangat dicintai oleh Allah SWT:
ُّ ‫للطائِ ِفْي َوالعا ِك ِفْي و ُالركَّع‬
‫السجود‬ َ ِ َ ‫َو َعهِدًنَ ِا َىل ِا ْب َرا ِه َمي وا ََساعيل َأ ْن َط ِهرا ب‬
َّ ‫يِت‬
“Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf , yang
I’tikaf, yang ruku’ dan sujud.”

Thawaf atau mengelilingi ka’bah 7 kali merupakan


ibadah khusus yang hanya boleh dilakukan di ka’bah, tidak
di tempat lainnya, termasuk makam Nabi saw. Dan sa’i pun
demikian, hanya boleh dilakukan di bukit Shafa dan Marwa.
Lagi-lagi ini menggambarkan komitmen suci kita kepada
Allah Swt. Termasuk amalan khas saat thawaf, yaitu
mencium hajar aswad, sebagai amalan sunnah yang
dilaksanakan berdasarkan contoh dari Nabi Saw, bukan
karena motivasi lain. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu
mengisahkan: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tatkala beliau tiba di Mekkah, dan menjalankan
thawaf pertama kali, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu
berlari-lari kecil sebanyak tiga kali putaran.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Dan saat Umar bin Khatthab mencium Hajar
Aswad, beliau berkata: “Sungguh demi Allah aku menyadari
bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak bisa memberi
manfaat atau madharat, dan seandainya aku tidak melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya
aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Wuquf di Arafah
Totalitas penghambaan dan komitmen kesetiaan kita
juga tergambar dalam prosesi wuquf di Arafah yang
merupakan inti dari amaliah haji. Di mana pada hari itu
setiap jamaah haji menunjukkan sikap tunduk, merendahkan
diri, banyak berdoa, menggantungkan segala harapannya
hanya kepada Allah ta’ala, banyak berzikir, berdoa,
meninggalkan segala kegiatan selain menghadapkan jiwa
dan hatinya hanya kepada Allah; agar ia termasuk orang
yang dibebaskan dari neraka pada hari ini. Nabi SAW
bersabda:
ُ َّ‫ َْل ا َ َل اْل‬:‫ وخ ْ ََْي َما قُلْ ُت َأًنَ والنَّبيُّون ِم ْن قَ ْب ِِل‬،‫خ ْ َُْي ادلُّ عَاء ُدعَا ُء يَو َم َع َرفَ َة‬
‫هللا‬
ِ ِ ُ ْ ُ ‫يك َ ُل َ ُل امل‬
‫ك َش ٍئي قَ ِديْر‬ ِ ُ ‫كل َو َ ُل احلَ ْمدُ َوه َُو عَ َل‬ َ ‫ْش‬ ِ َ ‫َو ْحدَ ُه َْل‬
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari arafah, dan sebaik-baik
doa yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah doa:
La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahul Mulku
Walahul Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qodir (Tiada
sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, milik-Nyalah kekuasaan, dan milik-Nyalah segala
pujian, sedangkan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa).”
2. Akhlak kepada Sesama Manusia
Prosesi amaliah manasik haji merupakan training dan
penggemblengan pembentukan akhlak mulia. Dari setiap
momen dan lokasi pelaksanaan rukun-rukun haji dapat diambil
pelajaran tentang kemuliaan akhlak terhadap sesama.
a. Larangan berbuat rafats, jidal dan fusuq saat berhaji
Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah: 197
ُ ‫احل َُّج َأ ْشه ٌُر َم ْعلُ ْو َم‬
‫ات فَ َم ْن فَ َر َض ِفْيْ ِ َّن احل ََّج فَ َال َرفَ َث َو َْل فُ ُس ْو َق َو َْل جِ دَ ا َل‬
‫ِِف احل َِج‬
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui,
maka barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini
untuk menunaikan haji, maka tidak boleh berbuat rafats,
berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam
melaksanakan haji.”
Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang
mengundang timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di
hadapan wanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)
Jidal atau perdebatan yang tidak berguna dan memicu
kepada pertengkaran dan perselisihan termasuk pemicu
kehancuran umat dan termasuk akhlak tercela. Begitupun
fusuq, menyakiti atau mencelakai orang lain, juga tindakan
tercela. Keduanya dilarang saat kita sedang melaksanakan
ibadah haji. Pelarangan ini sebagai media kita untuk berlatih.
Diharapkan pasca pelaksanaan ibadah haji nantinya akan
menjadi kebiasaan baik bagi kita. Dan tentu saja indikator
kemabruran haji salah satunya adalah menghindari
tindakan-tindakan tersebut.
Ibnu Katsir menjelaskan arti kata fusuq sebagai berikut:

“Fusuq adalah maksiat (Imam Muqassim dll, dari Ibnu Abbas).


Pendapat yang lain, fusuq adalah mencela orang mukmin
seperti dalam hadis disebutkan ‘mencela orang mukmin itu
fusuq, dan membunuhnya adalah kafir’. Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa fusuq adalah berbuat maksiat di tanah
haram” (Damsyiqi, 1999).

Dari berbagai penafsiran tentang rafats, jidal dan fusuq,


yang terpenting bagi kita adalah bahwa ibadah haji
dikaitkan langsung dengan pelarangan perbuatan buruk
atau maksiat di tanah haram. Ini memiliki arti bahwa akhlak
menjadi syarat sahnya peribadatan dalam Islam.
b. Tanah Haram (Makkah dan Madinah)
Salah satu yang unik dalam prosesi manasik haji adalah
lokasi berhaji yang khusus di Makkah. Ada area haram
(tanah yang mulia) di Kota Makkah di mana di area tersebut
ada aturan main tertentu. Ada hal-hal yang dilarang
dilakukan di sana. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 25
yaitu:

‫َو َم ْن ُي ِر ْد ِفي ِه ِِبلْ ِحا ٍد ب ُِظ ْ ٍَل نُ ِذ ْق ُه ِم ْن عَ َذ ٍاب َأ ِل ْ ٍمي‬


“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan
ِ
secara zalim di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami
rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih.”

Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk


keistimewaan kota Mekkah, adalah barang siapa yang
berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah, maka ia
akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum
melaksanakannya. Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan:
“Seandainya ada orang di kota Aden (Yaman) yang berniat
berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan semena-mena,
niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab
yang pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim).
Latihan hidup di tanah haram dengan berbagai aturan main
yang cukup ketat ini tentu saja memberikan manfaat bagi
setiap orang yang ada di sana. Sepulangnya dari tanah
haram, diharapkan suasana di sana akan terus berjalan
sepanjang hidupnya. Terciptalah akhlak-akhlak yang mulia
dalam kehidupan mereka.
c. Dimensi Moral dari Amaliah Haji
Secara umum amalan-amalan dalam manasik haji
mengajarkan kepada kita untuk dapat terhindar dari dua
penyakit; hawa nafsu yang tidak terkendali dan kebodohan.
Berbagai amaliah haji yang dijelaskan di atas mencerminkan
dengan gambling bagaimana kita dilatih untuk
mengendalikan hawa nafsu agar tidak liar dan sejalan
dengan ajaran agama. Di sisi yang lain, kerumitan
pelaksanaan ibadah haji menuntut seorang muslim untuk
belajar dan terus belajar. Otomatis prosesi ini akan
menghilangkan kebodohan yang menjadi pangkal berbagai
keruwetan moral di kalangan umat.
Saat orang mulai berihram, maka ia diharamkan
melakukan beberapa hal, yang sebelumnya diperbolehkan.
Ia tidak boleh berjima’ atau melakukan hal yang
membangkitkan syahwat, memakai wewangian,
mengenakan pakaian yang berjahit, memotong kuku,
rambut dll.
Suasana wukuf di Arafah menggambarkan bagaimana
umat manusia itu setara sederajat. Yang membedakan
hanyalah iman dan taqwa mereka, bukan pakaian pangkat
jabatan. Penghayatan akan situasi ini akan mengikis habis
kesombongan dalam diri kita dan memunculkan sikap
tawadhu’.
Pemikiran Ibnu Miskawaih yang datang 12 abad yang lalu
bagaimanapun masih sangat relevan untuk kita nikmati dan kita
jadikan sebagai standar utama dalam membicarakan perihal akhlak.
Pemikiran utamanya yang moderat dapat dikontekstualisasikan pada
masa kini dengan menggunakan konsep-konsep hikmah, iffah,
syajaah dan ‘adalah. Kontekstualisasi yang paling relevan adalah
dalam bidang pendidikan islam dengan menjadikan kebahagiaan
versi Miskawaih sebagai tujuan utama dari pendidikan
seseungguhnya. Selanjutnya, moderasi beragama yang bergaung
dan viral dalam bidang keagamaan di Indonesia juga dapat diperkaya
dengan tawaran-tawaran pemikiran Miskawaih yang selalu
mengambil jalan tengah dengan menghindari sikap keagamaan yang
ekstrim. Selain itu, pola rasionalitas keagamaan yang diyakini
Miskawaih juga dapat dijadikan sebagai alat analisa dalam melihat
realitas filsafat kontemporer saat ini seperti munculnya wacana
dunia baru yaitu dunia metaverse.
Miskawaih memandang akhlak sebagai suatu perilaku yang
terintegrasi dengan hati dan pikiran sehingga dalam perwujudannya
secara otomatis muncul dalam perilaku seseorang. Konsep dasar
akhlak yang diyakininya bahwa akhlak seseorang bukan menjadi
sesuatu yang paten, melainkan dapat dirubah. Dengan
menggunakan sumber-sumber utama ajaran islam yaitu al Qur’an
dan Hadist, kita dapat mengetahui mengapa akhlak penting untuk
manusia. Selain itu, dalam sumber tersebut juga dapat diketahui
secara detail jenis-jenis akhlak yang harus kita jadikan sebagai
standar utama sehingga kita tidak salah dalam mengarungi
kehidupan ini.
Akhlak yang baik atau utama dibahasakan Miskawaih dengan
bahasa fadhilah, sedangkan akhlak yang buruk disebut dengan istilah
Radzilah yang merupakan kebalikan dari akhlak utama. Akhlak
fadhilah dapat diperoleh dengan berbagai macam cara melalui
potensi-pontensi yang kita miliki baik berasal dari unsur fitrah,
lingkungan atau genitas. Melalui pengungkapan akhlak yang
mendasarkan pada al Qur’an dan Hadist, Miskawaih mengklasifikasi
secara detail macam-macam dari akhlak fadhilah dan juga radzilah.
Akhlak fadhilah diantaranya adalah kebijaksanaan, menahan diri,
keberanian, adil, ihsan, cinta dan persahabatan. Empat akhlak
fadhilah yang disebutkan pertama dapat melahirkan berbagai
macam akhlak yang lainnya yang macamnya sangat banyak. Hal
tersebut dikarenakan baik hikmah, iffah, syajaah maupun ‘adalah
adalah sikap tengah dari yang ekstrim kanan maupun kiri. Selain
standar akhlak secara umum, Miskawaih juga menggali nilai-nilai
akhlak yang terdapat dalam aktivitas ubudiyah seperti Shalat,
Thaharoh, Puasa, Zakat dan Haji. Wallahu a’lam bi shawab.
‫القرآن الكرمي‪.‬‬
‫حممد بن إمساعيل البخاري‪ ،‬صحيح البخاري‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار الكتاب العريب‪ ،2004-1425 ،‬الطبعة ‪،1‬‬
‫حتقيق وختريج أمحد زهوة‪ ،‬وأمحد عناية‪.‬‬
‫أبو احلسني مسلم بن احلجاج بن مسلم بن ورد بن كوشاذ القشريي النيسابوري‪ ،‬صحيح مسلم‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار‬
‫صادر‪.‬‬
‫أبو داود سليمان ابن األشعث السجستان األزدي‪ ،‬سنن أيب داود‪ ،‬دار الفكر‪ ،‬مراجعة وضبط وتعليق‪ :‬حممد‬
‫حمي الدين عبد احلميد‪.‬‬
‫عبد امللك ابن هشام‪ ،‬السرية النبوية‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار اجليل‪ ،1411 ،‬حتقيق طه عبد الرؤوف سعد‪.‬‬
‫حممد بن عبد هللا أبو عبد هللا احلاكم النيسابوري‪ ،‬املستدرك على الصحيحني الكتاب‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار الكتب‬
‫العلمية‪ ،1990 – 1411 ،‬الطبعة األوىل‪ ،‬حتقيق مصطفى عبد القادر عطا‪.‬‬
‫احلافظ نور الدين علي بن أيب بكر اهليثمي‪ ،‬جممع الزوائد ومنبع الفوائد‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار الفكر‪ 1412 ،‬هـ‪،‬‬
‫املوافق ‪ 1992‬م‪ ،‬حترير احلافظني‪ :‬العراقي‪ ،‬وابن حجر‪.‬‬
‫أبو الفضل أمحد بن علي بن حممد بن أمحد بن حجر العسقالن‪ ،‬التلخيص احلبري يف ختريج أحاديث الرافعي‬
‫الكبري‪ ،‬دار الكتب العلمية‪1419 ،‬هـ ‪1989‬م‪ ،‬الطبعة األوىل‪.‬‬
‫شهاب الدين البوصريى‪ ،‬مصباح الزجاجة‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار اجلنان‪.‬‬
‫حممد بن أيب بكر ابن قيم اجلوزية‪ ،‬مدارج السالكني بني منازل إايك نعبد وإايك نستعني‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار الكتاب‬
‫العريب‪1393 ،‬هـ‪1973/‬م‪ ،‬الطبعة الثانية‪.‬‬
‫أبو الفداء إمساعيل بن عمر بن كثري القرشي الدمشقي‪ ،‬تفسري القرآن العظيم‪ ،‬دار طيبة‪1420 ،‬هـ ‪1999 -‬‬
‫م حتقيق سامي بن حممد سالمة‪ ،‬الطبعة الثانية‪.‬‬
‫مشس الدين القرطب حتقيق هشام مسري البخاري‪ ،‬اجلامع ألحكام القرآن‪ ،‬الرايض‪ ،‬دار عامل الكتب‪1423 ،‬‬
‫هـ‪ 2003 /‬م‪.‬‬
‫حممد بن أيب بكر أيوب الزرعي أبو عبد هللا‪ ،‬زاد املعاد يف هدي خري العباد‪ ،‬بريوت‪ ،‬مؤسسة الرسالة‪ ،‬مكتبة‬
‫املنار اإلسالمية‪ ،1986 – 1407 ،‬الطبعة الرابعة عشر‪ ،‬حتقيق شعيب األرانؤوط ‪ -‬عبد القادر‬
‫األرانؤوط‪.‬‬
‫حممد بن عبد هللا اخلطيب التربيزي‪ ،‬مشكاة املصابيح‪( ،‬بريوت‪ ،‬املكتب اإلسالمي‪)1985 – 1405 ،‬‬
‫الطبعة الثالثة‪ ،‬حتقيق حممد انصر الدين األلبان‪.‬‬
‫حممد انصر الدين األلبان‪ ،‬صحيح األدب املفرد لإلمام البخاري‪( ،‬دار الص ّديق‪1421 ،‬هـ ) الطبعة األوىل‪.‬‬
‫مجال نصار‪ ،‬مكانة األخالق يف الفكر اإلسالمي‪ ،‬مصر‪ :‬دار الوفاء‪2004 ،‬م‪1425 -‬هـ‪ ،‬الطبعة األوىل‪.‬‬
‫حممد عبد هللا دراز‪ ،‬دستور األخالق يف القرآن‪ ،‬بريوت‪ ،‬مؤسسة الرسالة‪ ،1980-1400 ،‬الطبعة الثالثة‪،‬‬
‫حتقيق عبد الصبور شاهني‪ ،‬مراجعة حممد بدوي‪.‬‬
‫أبو إسحاق إبراهيم بن موسى بن حممد الغرانطي الشاطب‪ ،‬االعتصام‪ ،‬دار ابن عفان‪1992\ 1412 ،‬م‪.‬‬
‫أمحد بن علي أبو بكر اخلطيب البغدادي‪ ،‬اتريخ بغداد‪ ،‬بريوت‪ ،‬دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫حممد عبد هللا دراز‪ ،‬من خلق القرآن‪ ،‬قطر‪ ،‬إدارة الشؤون الدينية‪ ،1979-1399 ،‬حتقيق عبد هللا إبراهيم‬
‫األنصاري‪.‬‬
‫أمحد بن حجر آل بوطامي البنعلي‪ ،‬تطهري اجملتمعات من أرجاس املوبقات‪ ،‬قطر‪ ،1987-1407 ،‬الطبعة‬
‫الثانية‪.‬‬
‫زكي مبارك‪ ،‬األخالق عند الغزايل‪( ،‬بريوت‪ ،‬دار اجليل‪ )1988-1408 ،‬الطبعة األوىل‪.‬‬
‫عبد اإلله ميقايت‪ ،‬مدخل إىل فقه النعمة‪( ،‬بريوت‪ ،‬دار الكتب العلمية‪ )2010-1431 ،‬الطبعة الثانية‪.‬‬
‫أبو القاسم احلسني بن حممد بن املفضل املعروف ابلراغب األصفهان‪( ،‬القاهرة‪ ،‬دار الصحوة‪-1405 ،‬‬
‫‪ )1985‬الطبعة األوىل‪ ،‬حتقيق ودراسة أبو اليزيد العجمي‪.‬‬
‫صحيح البخاري‪ ،‬كتاب األدب‪ ،‬ابب حسن اخللق والسخاء‪ ،‬وما يكره من البخل‪ ،‬ص ‪.1238‬‬
‫حممد بن أيب بكر أيوب الزرعي أبو عبد هللا‪ ،‬زاد املعاد يف هدي خري العباد‪( ،‬بريوت‪ ،‬مؤسسة الرسالة‪ ،‬مكتبة‬
‫املنار اإلسالمية‪ )1986 – 1407 ،‬الطبعة الرابعة عشر‪ ،‬حتقيق‬
‫موسوعة مصطلحات أجبد العلوم‪ ،‬حممد بن صديق بن حسن القنوجي‪( ،‬بريوت‪ ،‬مكتبة لبنان انشرون‪،‬‬
‫‪ )2001‬مراجعة د‪ .‬رفيق العجم‪ ،‬حتقيق ونقل النص الفارسي د‪ .‬عبد هللا اخلالدي‪ ،‬الطبعة ‪،1‬‬
‫ص ‪388-387‬‬
- ‫هـ‬1420 ،‫ (دار طيبة‬،‫ أبو الفداء إمساعيل بن عمر بن كثري القرشي الدمشقي‬،‫تفسري القرآن العظيم‬
.544 ‫ ص‬،1 ‫ اجلزء‬،‫ الطبعة الثانية‬،‫ م) حتقيق سامي بن حممد سالمة‬1999

Mahali, A. Mudjab, 1996, Kode etik Kaum santri, Bandung: Al Bayan.


Asy’ari, M. Hasyim, 2014, Pendidikan Karakter Khas Pesantren; Kitab
Adabul ‘Alim wal Muta’alim, Jombang: Genius Media.
Rohayati, Enok, 2011, Pemikiran al Ghazali tentang Akhlak, Jurnal
Ta’dib, Vol. XVI No. 1.
Dwi Dayanti, Titi, Analisis Teori Belajar tentang Akhlak Murid
terhadap guru Menurut Ibnu Taimiyah, Prosiding PAI,
Gelombang 2 tahun 2016-2017.
Hanafi, Muhclis M, 2012, Moderasi Islam, Jakarta: LPMQ.
https://rumaysho.com/25874-pengertian-syukur-hakikat-syukur-dan-
rukun-syukur.html
https://muslim.or.id/452-reformasi-akhlak-melalui-ibadah-haji-1.html
https://muslim.or.id/453-reformasi-akhlak-melalui-ibadah-haji-2.html
https://www.almasryalyoum.com/news/details/1974713
https://www.republika.co.id/berita/q7aotk320/7-langkah-agar-
perasaan-cinta-sesuai-alquran-dan-sunnah
Dilahirkan di sebuah kampung di wilayah Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah, Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I adalah dosen filsafat Islam
di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Di samping itu, ia juga seorang ustadz tafsir dan ulum Al-Qur`an di
Pondok Pesantren MWI Kebarongan, Banyumas. Ia bertempat
tinggal di kampung halamannya, Desa Pasunggingan RT 26 RW 10,
kecamatan Pengadegan, kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Ia menyelesaikan pendidikan Ibtidaiyah di MI YAPPI Pasunggingan,
Purbalingga (1086), kemudian Tsanawiyah-Aliyah di PPMWI
Kebarrongan, Banyumas (1992), program S1 di Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir (1997), dan mengambil gelar M.S.I.
(Magister Studi Islam) dan Doktor (Dr.) pada program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, Prodi Agama-Filsafat, Konsentrasi
Filsafat Islam tahun 2005.
FILSAFAT
AKHLAK
IBNU MISKAWAIH

Anda mungkin juga menyukai